BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana perampasan kemerdekaan (penjara dan kurungan) masih dijadikan primadona dalam penetapan dan penjatuhan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama pencapaiaan efek jera bagi pelaku dan pencapain pencegahan umum. Padahal perkembagan konsepsi baru dalam hukum pidana, yang menonjol adalah perkembangan mengenai sanksi alternatif (alternatif sanction), dari pidana hilang kemerdekaan ke pidana denda, terutama terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah satu tahun. 1 Pidana perampasan kemerdekaan (penjara dan kurungan) jangka pendek telah banyak mendapat kritikan. Kritik tersebut didasarkan dari fakta-fakta dimana dampak buruk yang didapat oleh terpidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di lembaga pemasyarakatan terlalu besar dibandingkan dengan manfaatnya. Studi awal penerapan konsep pemasyarakatan oleh Tim Peneliti MAPPI FHUI, KRHN dan LBH Jakarta memberikan gambaran bahwa upaya pembinaan yang dilakukan oleh Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) tampaknya tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan saat ini masih belum didukung dengan perasarana dan sarana yang memadai sehingga menimbulkan berbagai permasalahan. Pada umumnya permasalahan timbul
1
Suhariyono AR, Pembaruan Pidana Denda di Indonesia (Pidana Denda Sebagai Sanksi Alternatif), Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2012, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
karena adanya pengabaian terhadap asas-asas pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Tim peneliti mengemukakan lebih lanjut bahwa permasalahan yang sering mengemuka adalah tidak adanya persamaan perlakukan kepada warga binaan pemasyarakatan, seringkali terjadi pungli, adanya kesulitan warga binaan pemasyarakatan untuk bertemu dengan pihak keluarganya, adanya kesan bahwa Lapas merupakan ajang sekolah bagi pengembangan kemampuan kriminalitas seseorang, minimnya standar pelayanan kesehatan yang diberikan, dan masih banyak permasalahan lain yang harus diperhatikan untuk segera dibenahi. Berbagai permasalahn yang timbul merupakan imbas dari kurangnya perhatian negara dan masyarakat terhadap Lapas. Kurangnya anggaran dan sistem perencanaan menambahkan kompleksnya permasalahan Lapas. 2 Dari aspek kebijakan hukum pidana, fenomena penggunaan pidana perampasan kemerdekaan (penjara) yang terkesan “boros”, sudah barang tentu sangat bertentangan dengan kecenderungan yang sedang melanda dunia internasional dewasa ini, yaitu untuk sejauh mungkin menghindari penjatuhan pidana penjara dengan menerapkan kebijakan selektif dan limitatif, 3 sebagai akibat semakin menguatnya kritik dan soroton tajam terhadap penggunaan pidana penjara. Dilain sisi pidana denda yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP yang dapat diterapkan sebagai pidana tunggal atau sebagai alternatif dalam KUHP, dalam perkembangan prakteknya dipengaruhi oleh
faktor-faktor
yang
menjadi
2
Tim Peneliti MaPPI FHUI, KRHN, dan LBH Jakarta, 2007, Menunggu Perubahan dari Balik Jeruji (Studi Awal Penerapan Konsep Pemasyarakatan), Partnership, Jakarta, 2007, hal. 4. 3 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 234-235.
Universitas Sumatera Utara
permasalahan antara lain inflasi mata uang yang tinggi yang mengakibatkan nilai sanksi pidana denda yang terdapat dalam KUHP menjadi terlalu ringan. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau alternatif pidana penjara atau kurungan. Sebaliknya, faktor kemampuan masyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda jika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang relatif tinggi. Demikian pula pidana denda
yang ditentukan sebagai ancaman kumulatif akan
mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana altenatif atau pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan, terutama untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan harta benda atau kekayaan. Faktor-faktor di atas mengakibatkan keengganan para penegak hukum untuk menerapkan pidana denda khususnya sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek dan cenderung memilih pidana penjara atau kurungan daripada pidana denda. Keengganan ini menjadikan putusan pidana tunggal seakan tabu dan asing dimata para penegak hukum. Contoh yang paling disorot baru-baru ini adalah Putusan Mahkamah Agung yang tertangga 21 Maret 2011 yang menolak permohonan kasasi dari Kejaksaan Negeri Magetan atas perkara atas Putusan Pengadilan Negeri Magetan Nomor : 42 / Pid.B / 2010 / PN.\\Mgt. tanggal 01 April 2010 yang amarnya Menyatakan Terdakwa Isnaini bin Sadimun telah
Universitas Sumatera Utara
terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “Menjual barang kena cukai yang tidak dilekati pita cukai ” dan melanggar Pasal 54 junto Pasal 29 ayat (1) Undang- Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 11 Tahun 1995 tentang cukai ; dan Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Isnaini bin Sadimun oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp 1.300.000, - (satu juta tiga ratus ribu rupiah ) dan apabila Terdakwa tidak membayar pidana denda tersebut, Terdakwa dipidana kurungan sebagai pengganti denda selama 3 ( tiga ) bulan. 4 Dimana dalam kasus tersebut Jaksa Penuntut Umum berbendapat bahwa Pengadilan Negeri telah salah dalam memberikan putusan tersebut dan Pengadilan Tinggi telah salah membenarkan Putusan Pengadilan Negeri tersebut. Dimana Hakim Pengadilan Negeri hanya menjatuhkan pidana denda tanpa adanya pidana penjara. Padahal dalam Undang – Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai ada kata (dan / atau) yang berarti pidana denda dan penjara dapat dijatuhkan secara kumulatif dan juga alternatif . Seolah jaksa penuntut umum tabu dan asing dengan putusan pidana denda tunggal yang diterapkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Magetan tersebut. Suatu perkembangan baru tetang jumlah pidana denda dalam KUHP adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah merubah batasan pidana denda dalam perkara-perkara tindak pidana ringan sebagaimana tercantum dalam
4
PUTUSAN No. 13 K / Pid.Sus / 2011 /M A H K A M A H A G U N G.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 364 KUH Pidana (pencurian ringan), 373 KUH Pidana (pengelapan ringan), 379 KUH
Pidana (penipuan
ringan),
384 KUH
Pidana (keuntungan
dari
penipuan), 407 KUH Pidana (perusakan ringan) dan pasal 482 KUH Pidana (penadah ringan yang semula dibatasi minimal Rp 250,- (dua ratus lima puluh rupiah) menjadi Rp 2.500.000) (dua juta lima ratus ribu rupiah). Berdasarkan Perma ini, Hakim patut memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang penahanan sekaligus mengkualifikasikan kembali arti tindak pidana ringan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Perma No. 2 Tahun 2012 yang pada pokoknya memerintahkan Ketua Pengadilan bila menerima limpahan perkara pencurian, pengelapan, penipuan, perusakan dan penadah dari Penuntut Umum dengan nilai barang atau uang dibawah Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu) segera menetapkan Hakim tunggal dan memeriksa perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat. Dalam ayat selanjutnya, yakni Pasal 2 ayat (3), pada pokoknya Mahkamah Agung juga menetapkan bahwasanya terhadap pelaku tidak perlu ada upaya penahanan dan bila selama pemeriksaan ditahan supaya dibebaskan. Melihat permasalahan perampasan kemerdekaan jangka pendek diatas, wajar apabila pidana denda menjadi pusat perhatian. Baik digunakan sebagai pengganti pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek maupun sebagai pidana yang berdiri sendiri (independent sanction), karena selain merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang bersifat non-costodial, juga dianggap tidak menimbulkan stigmatisasi dan prisonisasi serta secara ekonomis negara mendapat
Universitas Sumatera Utara
masukan berupa uang atau setidak-tidaknya menghemat biaya sosial dibandingkan dengan jenis pidana denda. Apalagi perkembangnya aliran modern dalam hukum pidana belakangan ini lebih menitik beratkan (berorientasi) pada si pembuat (pelaku tindak pidana) dimana menghendaki individualisasi pidana, artinya pemidanaan memperhatikan sifat-sifat dan keadaan si pembuat. 5 Sebagai konsekuensinya maka menuntut pengembangan lebih banyak jenis-jenis sanksi pidana non-custodial dalam stelsel pidana yang ada di dalam KUHP. Keseluruhan upaya di atas pada dasarnya ingin mewujudkan sila ke-2 Pancasila yakni “Kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama. Penerapan teori tujuan pemidanaan yang integratif yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana, pidana denda dapat mendekantkan pada kedua pandangan yakni retributive view dan ultiraterian view yang diintegarasikan dengan konsep kemanusiaan yang adil dan beradab untuk memenuhi humanitarian concerns combined with a greater awareness of the destructive effects of imprisonment. Lembaga pemasyarakatan (penjara) sedapat mungkin dijadikan tempat bagi terdakwa yang melakukan tindak pidana berat (serious crime) dan tindak pidana lainnya yang sangat membahayakan bagi masyarakat.
5
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah Masalah yang penulis angkat sehubungan dengan topik ataupun judul penelitian ini, adalah : 1. Bagaimana eksistensi pidana denda dalam hukum positif Indonesia ? 2. Bagaimana peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di masa mendatang ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan dari penelitian ini, adalah bertolak dari perumusan masalah di atas, yaitu : 1) Untuk mengetahui eksistensi pidana denda dalam hukum positif Indonesia baik yang ada dalam KUHP, Peraturan Perundang-Undangan Khusus di luar KUHP, maupun dalam Rancangan KUHP Indonesia. 2) Untuk mengetahui peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di masa mendatang.
2. Manfaat Penulisan Bertolak dari rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, maka kegunaan dan manfaat penulisan yang diharapkan dari penelitian ini, adalah : 1) Manfaat Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan di dalam menguraikan bagaimana eksistensi pidana denda dalam hukum positif Indonesia baik yang ada dalam KUHP, Peraturan
Universitas Sumatera Utara
Perundang-Undangan Khusus di luar KUHP, maupun dalam Rancangan KUHP Indonesia. 2) Manfaat Praktis, diharapkan dengan dikemukakannya tentang bagaimana kelemahan, kelebihan dan peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di masa mendatang, untuk selanjutnya dapat menjadi pertimbangan untuk menjadikan pidana denda sebagai salah satu altenative dari pidana perampasan jangka pendek.
D. Keaslian Penulisan Telah banyak tulisan tentang Pidana Denda terdahulu. Namum tentang Penerapan Pidana Denda sebagai Alternatif dari Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek yang penulis buat ini memang asli dibuat oleh penulis sendiri. Dalam proses pembuatan skripsi ini penulis memulainya dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah Kebijakan Pidana, Pemidanaan, Pidana Denda, Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek, Lembaga Pemasyarakatan, kemudian penulis merangkai sendiri menjadi suatu karya tulis ilmiah yang disebut dengan skrisi. Oleh karena itu penulis dapat menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis sendiri. Selain itu dalam pengajuan skripsi ini, penulis telah melewati pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas Hukum USU. Dengan demikian hal ini dapat mendukung tentang keaslian penulisan.
Universitas Sumatera Utara
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pemidanaan Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa : 6 “Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling.” Sedangkan “pemidanaan” atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim, merupakan pengertian “penghukuman” dalam arti sempit yang mencakup bidang hukum pidana saja; dan maknanya sama dengan “sentence” atau “veroordeling”, misalnya dalam pengertian “sentence conditionally” atau “voorwaardelijk veeroordeeld” yang sama artinya dengan “dihukum bersyarat” atau “dipidana bersyarat”. Dalam kesempatan lain Soedarto juga pernah mengatakan: 7 Pemberian pidana itu mempunyai dua (2) arti : a) Dalam arti umum ialah yang menyangkut pembentuk undangundang, ialah yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto); b) Dalam arti konkrit, ialah yang menyangkut berbagai badan atau jawatan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum Pidana itu.” Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa timbulnya dualisme istilah “pidana” dan “hukuman”, “pemidanaan” dan “penghukuman” adalah berpangkal dari perbedaan dalam mengartikan kata “straf” (bahasa Belanda) ke dalam Bahasa Indonesia yang oleh sementara kalangan ahli hukum ada yang 6 7
Ibid, hal. 71. Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
disinonimkan dengan istilah “pidana” dan ada pula yang menggunakan istilah “hukuman”. Sehubungan dengan dualisme istilah tersebut dikemukakan oleh Sudarto 8 bahwa istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman”. Perkataan penghukuman mempunyai pengertian lain yaitu suatu rangkaian pembalasan atas perbuatan si pelanggar hukum. 9 Penghukuman merupakan tindakan untuk memberikan tindakan penderitaan terhadap pelaku kejahatan sebanding atau lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kejahatan tersebut, apakah penghukuman berupa hukuman penjara atau bersifat penderitaan.
2. Tujuan Pemidanaan Untuk memahami pergeseran orientasi pemidanaan yang terjadi dalam hukum pidana, berikut ini akan dikemukakan secara singkat berbagai aliran yang berkembang dalam hukum pidana yang melandasi adanya pergeseran tersebut. a) Aliran Klasik Aliran ini merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan penguasa (ancient regime) pada abad ke-18 di Perancis yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidakadilan. Adapun beberapa ciri khas yang terdapat pada aliran ini, di antaranya: 10 1) Menghendaki hukum pidana tertulis yang tersusun sistematik dan menjamin adanya kepastian hukum;
8
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hal. 27 Abdulsyani, Sosiologi Kriminal, Remadja Karya, Bandung, 1987, hal. 36. 10 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992. 25-26. 9
Universitas Sumatera Utara
2) Membatasi kebebasan hakim dalam menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan, sehingga dikenal sistem definite sentence yang sangat kaku/rigit; 3) Menganut pandangan indeterminisme yang berarti bahwa setiap orang/individu bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukan (kebebasan kehendak manusia); 4) Perumusan undang-undang bersifat melawan hukum, merupakan titik sentral. Tindakan/perbuatan disini bersifat absrak dan dilihat secara
yuridik
belaka,
terlepas
dari
pelakunya,
sehingga
mengabaikan individualisasi dalam penerapan pidana.Karenanya dapat disebut Hukum Pidana Tindakan (Daad-Strafrecht): 5) Berpatokan kepada justice model, sebab sangat memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat, sehingga tidak menilai keadaan diri pribadi pelaku; 6) Pidana bersifat pembalasan (punishment should fit the crime) dan dilaksanakan dalam equal justice; 7) Dengan perhatian terhadap hak asasi manusia yang demikian, aliran
ini
mengutamakan
perlindungan/jaminan
terhadap
kepentingan individu (yang sudah banyak dikorbankan). b) Aliran Modern Aliran ini timbul pada abad ke-19 dan dikenal sebagai Aliran Positif, karena dalam mencari kausa (sebab) kejahatan dipergunakan metode ilmu alam
Universitas Sumatera Utara
dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh ia masih dapat diperbaiki. Adapun beberapa ciri aliran ini ialah : 11 1) Dipengaruhi oleh perkembangan ilmu-ilmu kemasyarakatan seperti sosiolagi, antropologi dan kriminologi; 2) Mengakui bahwa perbuatan seseorang dipengaruhi watak dan pribadinya,
faktor
faktor
biologis
maupun
lingkungan
kemasyarakatannya (sosiologis); 3) Berpandangan determinisme karena manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan kehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya
sehingga
tidak
dapat
dipersalahkan
atau
dipertanggungjawabkan; 4) Memberikan keleluasaan bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana (indeterminate sentence), sebab bertolak dari pandangan punishment should fit the criminal; 5) Menolak adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif. Pertanggungjawaban seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pelaku (etat dangereux); 6) Bentuk pertanggungjawaban kepada si pelaku lebih bersifat tindakan untuk perlindungan masyarakat. Kalau toh pidana digunakan istilah pidana, maka harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Jadi aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi si pelaku.
11
Ibid, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
Setelah Perang Dunia II Aliran Modern berkembang menjadi Aliran Social Defence (Gerakan Perlindungan Masyarakat) dengan pelopor Filippo Gramatica dan Marc Ancel. Selanjutnya aliran ini terbagi menjadi dua kelompok setelah diadakan The Second International Social Defence pada tahun 1949, yaitu : 12 a) Konsepsi Radikal (Ekstrim) Tokohnya adalah Fillipo Gramatica; Salah satu tulisannya yang mengandung kontraversi berjudul “La lotta contra pena” (The fight against punishment). Ia berpandangan bahwa hukum perlindungan sosial harus menggantikan
hukum
pidana
yang
ada
sekarang,
menghapus
konsep
pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan menggantinya dengan pandangan tentang
anti
sosial.
Tujuan
dari
Hukum
perlindungan
sosial
ialah
mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Pada prinsipnya ia menolak konsepsi mengenai pidana, penjahat dan pidana. b) Konsepsi Moderat (Reformist) Konsepsi ini dipelopori oleh Marc Ancel, dengan menamakan alirannya “Defence Social Nouvelle” (New Social Defence) dengan pokok-pokok pemikiran sebagai berikut : 13 “ (a) Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumuan yang tepat mengenai hukum pidana, karena itu sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus tetap dipertahankan, namun tidak digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial;
12 13
Ibid, hal. 35-36. Ibid, hal. 36 – 38.
Universitas Sumatera Utara
(b) Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial (a human and social problem) yang tidak begitu saja mudah dipaksa untuk dimasukkan ke dalam perumusan suatu perundang-undangan; (c) Kebijaksanaan pidana bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban pribadi (individual responsibility) yang menjadi kekuatan penggerak utama dari proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban pribadi ini menekankan pada kewajiban moral individu ke arah timbulnya moralitas sosial.” c) Aliran Neo Klasik Pengaruh perkembangan kesadaran hukum masyarakat mengakibatkan Aliran Klasik yang rigit mulai ditinggalkan dengan timbulnya Aliran Neo Klasik. Aliran ini menitikberatkan pada pengimbalan/pembalasan terhadap kesalahan si pelaku. Dalam pemidanaan memberikan kewenangan kepada hakim untuk menetapkan pidana penjara antara minimum dan maksimum yang telah ditetapkan (the indefinite sentence). Aliran Neo Klasik dipandang ileh pelbagai negara sangat manusiawi dan menggambarkan perimbangan kepentingan secara proporsional. Ciri-ciri pokok aliran ini adalah : 14 1) Modifikasi doktrin kebebasan kehendak atas dasar usia, patologi dan lingkungan; 2) Asas pengimbalan/pembalasan (vergelding) dari kesalahan si pelaku. Pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai suatu hasil/tujuan yang bermanfaat melainkan setimpal dengana beratnya kesalahan yang dilakukan. Oleh karena itu aliran ini disebut sebagai Daad-dader Strafrecht; 3) Menggalakkan kesaksian ahli (expert testimony); 4) Pengembangan hal-hal yang meringankan dan memperberat pemidanaan; 14
Ibid, hal. 26 – 27.
Universitas Sumatera Utara
5) Pengembangan twintrack-system / double track system / zweispurig keit/ “sistem dua-jalur”. yakni pidana dan tindakan; 6) Perpaduan antara Justice Model dan perlindungan terhadap hak-hak terdakwaterpidana termasuk pengembangan non-institusional treatment (Tokyo Rules) dan dekriminalisasi serta depenalisasi. Memang keberadaan aliran-aliran dalam ilmu hukum pidana itu tidak bermaksud mencari dasar hukum atau pembenar dari pidana, tetapi harus diakui bahwa pertentangan paham aliran-aliran tersebut telah mempunyai pengaruh secara praktis, baik di dalam pemilihan dari sarana-sarana pemidanaan maupun di dalam pengaturan dan penerapannya; atau menurut istilah Muladi dan Barda Nawawi Arief, 15 bermaksud memperoleh suatu sistem hukum pidana yang praktis dan bermanfaat. Sementara itu pada tataran teoritis mengenai pemidanaan Muladi dan Barda Nawawi Arief menulis, bahwa secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni : 16 a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorie); b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorien). Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan seperti disebut di atas, ada teori ketiga yang disebut teori gabungan (verenegings theorien) 17 Selanjutnya di bawah ini akan dikemukakan beberapa prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan oleh teori-teori tentang pemidanaan tersebut, sebagai berikut: 15
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal.25 Ibid, hal. 9 – 10. 17 Ibid. 16
Universitas Sumatera Utara
a. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorie); Teori ini berkembang pada akhir abad ke-18, dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik dan sudah tentu yang para sarjana Hukum Islam mendasarkan teorinya pada ajaran Kisas dalam Alquran. Teori absolut mencari dasar pembenar pidana dengan memandang ke masa lampau, yaitu memusatkan argumennya pada tindak pidana yang sudah dilakukan. Pidana diberikan karena pelaku tindak pidana harus menerima pidana itu demi kesalahannya. Pidana menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan. Demi alasan itu, pidana dibenarkan secara moral. 18 Mengomentari pemikiran Kant tentang tuntutan keadilan yang sifatnya absolut atau yang kemudian dikenal dengan “de Ethische Vergeldingstheorie”, Yong Ohoitimur mengatakan, pandangan Kant tersebut berada dalam konteks etika deontologis yang mempunyai landasan pada otonomi moral yang harus dihargai. Pelanggaran-pelanggaran hukum yang muatannya identik dengan penyimpangan imperative kategoris, menurut keyakinan Kant, merupakan pelecehan terhadap martabat luhur manusia yang otonom. Itu berarti, setiap tindakan yang memperlakukan orang lain sebagai sarana atau objek belaka, misalnya untuk kepentingan diri atau kelompok sendiri secara eksklusif, dan atas cara itu melanggart otonomi dan membatasi kebebasannya, patut dihukum demi keadilan. 19
18
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Bineka, Jakarta, 1994, hal. 31. Yong Ohoitimur, Teori Tentang Hukuman Legal.,Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya, Jakarta, 1997, hal. 8. 19
Universitas Sumatera Utara
Tokoh lain Teori absolute, yaitu Hegel berpendapat bahwa hukum atau keadilan merupakan kenyataan, maka apabila orang melakukan kejahatan atau tindak pidana itu berarti ia menyangkal adanya hukum atau keeadilan, hal itu dianggap tidak masuk akal. Dengan demikian keadaan menyangkal keadilan itu harus dilenyapkan dengan ketidak adilan pula, yaitu dengan dijatuhkan pidana karena pidana itu merupakan suatu ketidakadilan. Cara berpikir yang demikian ini adalah
dialektis
sehingga
teorinya
dinamakan
“de
Dialectiche
Vergeldingstheorie”. 20 Herbert mempunyai jalan pemikiran bahwa apabila orang yang melakukan tindak pidana berarti ia menimbulkan rasa tidak puas kepada masyarakat. Dalam hal terjadi tindak pidana maka masyarakat itu harus diberikan kepuasan dengan cara menjatuhkan pidana sehingga rasa puas dapat dikembalikan lagi. Cara berpikir demikian ini mempergunakan pokok pangkal aesthetica, maka teorinya dinamakan “de Aesthitiche Vergeldingstheori”. 21 Teori pembalasan yang menarik perhatian adalah persyaratan yang diajukan oleh Leo Polak bahwa pidana harus mempunyai tiga syarat, yaitu : Pertama, bahwa perbuatan yang tercela itu harus bertentangan dengan etika, Kedua, bahwa pidana tidak boleh meperhatikan apa yang mungkin akan terjadi (prevensi) melainkan hanya memperhatikan apa yang sudah terjadi; dan Ketiga, bahwa penjahat tidak boleh dipidana secara tidak adil, berarti beratnya pidana harus seimbang/tidak kurang tetapi juga tidak lebih dengan beratnya delik
20
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta,1994,
21
Ibid.
hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
“verdiend leed”. Teori Leo Polak ini dikenal dengan “het leer der objectieve betreurens-swaardigheid atau objectieveringstheorie. 22 b Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian / doeltheorien). Teori relatif ini bertentangan dengan teori pembalasan/retributif yang memandang ke belakang, yaitu pada tindak pidana yang telah dilakukan, maka teori relatif/utilitarian memusatkan perhatian pada konsekuensi-konsekuensi di masa depan dari suatu pidana. Teori ini memberikan dasar pemikiran bahwa dasar hukum dari pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Pidana itu mempunyai tujuantujuan tertentu, maka harus dianggap di samping tujuan lainnya terdapat tujuan pokok berupa mempertahankan ketertiban masyarakat.
23
Dengan demikian, pidana
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Mengenai cara mencapai tujuan pidana, di dalam teori relatif atau tujuan ini ada beberapa aliran-aliran : a) Prevensi umum (Generale preventie) Tujuan pokok pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan kepada khalayak ramai/kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Menurut Vos, bentuk teori prevensi umum yang paling lama berwujud pidana yang ada mengandung sifat menjerakan/menakutkan dengan pelaksanaan di depan umum yang 22 23
Ibid. Ibid, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
diharapkana menimbulkan suggestieve terhadap anggota masyarakat yang lainnya agar tidak berani melakukan kejahatan lagi. Jadi anggota masyarakat lain dapat ditakutkan, perlu diadakan pelaksanaan pidana yang menjerakan dengan dilaksanakan di depan umum. Pelaksanaan yang demikian menurut teori ini memandang pidana sebagai suatu yang terpaksa perlu “noodzakelijk” demi untuk mempertahan ketertiban masyarakat.24 Keberatan terhadap teori prevensi umum ini ialah dipergunakannya penderitaan orang lain untuk maksud prevensi umum. Bahkan ada kemungkinan orang yang tidak bersalah dipidana dengan maksud untuk prevensi umum tersebut. Selain aliran yang menakut-nakuti (afschrikkingstheorieen) di atas, dikenal pula aliran/teori ‘tekanan (paksaan) psikologis’ (theori van de psychologische dwang) yang dikembangkan oleh Anselm von Feurbach. Dasar pemikiran teori ini, yaitu apabila setiap orang mengerti dan tahu bahwa melanggar peraturan hukum itu diancam pidana, maka orang itu mengerti dan tahu juga akan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan. Dengan demikian tindak pidana dapat dicegah dengan memberikan ancaman-ancaman pidana, agar di dalam jiwa orang masing-masing telah mendapat tekanan atas ancaman-ancaman pidana. 25
24
Ibid. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, Semarang, 1978, hal. 61. 25
Universitas Sumatera Utara
Dari teori itu Feurbach telah menurunkan 3 (tiga) buah asas dasar yang berlaku tanpa kecuali, yaitu “nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine dan nullum crimen sine poena legali”. 26 (b) Prevensi khusus (Speciale preventie) Aliran/teori prevensi khusus mempunyai tujuan agar pidana itu mencegah si pelaku tindak pidana mengulangi lagi perbuatannya. Penganut teori ini antara lain Van Hamel, dengan pendapatnya bahwa tujuan pidana di samping mempertahankan ketertiban masyarakat (teori tujuan), juga
mempunyai
tujuan
kombinasi
untuk
menakutkan
(afschrikking),
memperbaiki (verbetering) dan untuk tindak pidana tertentu harus membinasakan (onschadelijkmaking). 27 Bambang Poernomo, menguraikan lebih jauh tentang memperbaiki si pembuat/pelaku (verbetering van de dader). Tujuan pidana menurut aliran ini ialah untuk memperbaiki si pelaku tindak pidana agar menjadi manusia yang baik dengan reclassering. Menjatuhkan pidana harus disertai pendidikan selama menjalani pidana. Pendidikan yang diberikan terutama untuk disiplin dan selain itu diberikan pendidikan keahlian seperti menjahit, pertukangan dan lain-lain, sebagai bekal kemudian setekah selesai menjalankan pidana. Selain itu, dijelaskan pula cara lain yaitu menyingkirkan penjahat (Onschadelijk maken van de misdadiger). Adakalanya pelaku-pelaku tindak pidana tertentu karena keadaan yang tidak dapat diperbaiki lagi dan mereka itu tidak mungkin lagi menerima pidana dengan tujuan pertama, kedua, dan ketiga karena tidak ada manfaatnya, 26
D. Simons, Leerboek Van Het Nederlanches Strafrecht (Kitab Pelajaran Hukum Pidana) (diterjemahkan P.A.F. Lamintang), Pionir Jaya, Bandung, 1992, hal. 13. 27 Bambang Poernomo, Op.Cit., hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
maka pidana yang dijatuhkan harus bersifat menyingkirkan dari masyarakat dengan menjatuhkan pidana seumur hidup atau pun dengan pidana mati. 28 c. Teori Gabungan (Verenigings theorieen) Keberatan-keberatan
terhadap
teori pembalasan
dan
teori relatif
telahmenimbulkan aliran ketiga yang mendasarkan pada jalan pemikiran bahwa, Pidana hendaknya didasarkan atas tujuan unsur-unsur pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitik beratkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsure yang lain, maupun pada semua unsur yang ada. 29 Penulis yang pertama kali mengajukan teori ini adalah Pallegrino Rossi (1787-1884). Teorinya disebut teori gabungan karena sekalipun ia tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, tetapi ia berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. 30 Muladi di dalam disertasi yang telah dibukukan dengan judul “Lembaga Pidana Bersyarat” pada intinya menyatakan bahwa dalam konteks Indonesia maka teori pemidanaan yang paling cocok digunakan dalam sistem hukum pidana Indonesia adalah kombinasi tujuan pemidanaan yang didasarkan pada aspek sosiologis, ideologis dan yuridis filosofis masyarakat Indonesia sendiri. Teori
28
Ibid. Ibid, hal. 30-31. 30 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 19. 29
Universitas Sumatera Utara
pemidanaan ini disebut sebagai pemidanaan yang integratif (Kemanusiaan dalam Sistem Pancasila). 31 Tujuan pemidanaan yang demikian didasarkan pada asumsi dasar, bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan kerusakan individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana; dan untuk mewujudkan tujuan pemidanaan yang integratif (kemanusiaan dalam Sistem Pancasila) seperangkat tujuan harus dipenuhi, dengan catatan, bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis. Adapun perangkat tujuan yang dimaksud adalah : (1) pencegahan (umumdan khusus); (2) perlindungan masyarakat; (3) memelihara solidaritas masyarakat; (4) pengimbalan/pengimbangan. 32 Pemikiran untuk
mengkombinasikan beberapa tujuan pemidanaan
tercermin pula dalam pandangan Barda Nawawi Arief. Bertolak dari konsepsi bahwa tujuan menetapkan suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari tujuan politik kriminal secara keseluruhan, yaitu perlindungan masyarakat (social defence), maka menurut Barda Nawawi Arief, sangatlah tepat apabila ingin mengetahui tujuan pemidanaan dengan melihat apa yang ingin dicapai pada aspek-aspek perlindungan masyarakat. Ada empat (4) aspek social defences yang menentukan tujuan dari pemidanaan, yaitu: 33
31
Muladi , Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992, hal. 61. Ibid. 33 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 85-87. 32
Universitas Sumatera Utara
1) Aspek social defence berupa perlindungan masyarakat terhadap kejahatan (perbuatan jahat), maka pemidanaan bertujuan untuk menanggulangi kejahatan; 2) Jika aspek social defence berupa perlindungan terhadap pelaku (orang jahat) yang ingin dicapai, maka tujuan pemidanaan adalah perbaikan si pelaku (merubah tingkah laku); 3) Apabila aspek social defence berupa perlindungan terhadap sanksi/reaksi yang hendak dicapai, maka tujuan pemidanaan adalah mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan penguasa dan warga masyarakat; 4) apabila aspek social defence berupa keseimbangan kepentingan / nilai yang terganggu yang ingin dicapai, maka tujuan pemidanaan tidak lain untuk memelihara atau memulihkan masyarakat. Satu hal yang patut dicatat berkaitan dengan perkembangan teori pemidanaan tersebut adalah adanya pergeseran orientasi pemidanaan dari prinsip “menghukum” yang cenderung mengabaikan aspek hak asasi manusaia ke arah gagasan/ide “pembinaan” (treatment) yang lebih menghargai dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Menanggapi
adanya
pergeseran
(perkembangan)
tentang
tujuan
pemidanaan tersebut Stanley E. Grupp menyatakan, bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung pada anggapan-anggapan seseorang terhadap hakekat manusia; informasi yang diterima seseorang sebagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat; macam dan luas pengetahuan yang dirasakan seseorang mungkin dicapai; penilaian terhadap persyaratapersyaratan untuk menerapkan teori tertentu, dan kemungkinan-kemungkinan yang benar-benar dapat dilakukan untuk menekan persyaratan-persyaratan tersebut. 34 Keengganan untuk memahami, apalagi mendalami aliran-aliran hukum pidana dan teori-teori pidana dan pemidanaan di kalangan para pemegang
34
Muladi, Op.Cit., hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
kebijakan legislatif, hakim dan mereka yang terlibat dalam criminal justice system, terlebih kalangan akademisi, niscaya akan menjadikan hukum hukum pidana itu sendiri mengalami stagnasi dalam mengantisipasi perkembangan kehidupan masyarakat. Meskipun hukum pidana itu bersifat normatif sistematis, keberadaannya tak dapat melepaskan diri dari fenomena perubahan dan perkembangan masyarakatnya. Selain itu studi ilmu hukum positif tanpa filsafat (hukum) akan menjadi tidak berisi dan tidak lengkap. 35 Dari uraian di atas, tersimpul pendapat bahwa pandangan, pengetahuan serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sangat menentukan di dalam memilih serta merumuskan hakekat pidana dan pemidanaan. Dengan demikian maka timbul suatu pertanyaan sejauh mana aliran-alian dalam hukum pidana dan teori-teori pemidanaan berpengaruh pada kebijakan legilatif dalam menetapkan tujuan
pemidanaan
yang
hendak
digariskan
di
dalam
sistem
operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana? Teori pidana mana yang dianut, sudah pasti akan membawa hasil yang berbeda. Namun yang terpenting , ketiadaan tujuan pemidanaan yang dinyatakan secara tegas dan formal dalam hukum pidana materiil/substantive potensial menciptakan fragmentasi penerapan hukum pidana, karena persepsi masingmasing tahap pemidanaan (tahap legislatif, tahap yudikatif dan tahap eksekutif/administratif) akan menjadi subjektif; dan hal ini erat kaitannya dengan latar belakang sosial yang bersangkutan. Yang berpandangan pembalasan merasa mendapat
legitimasi
dari
undang-undang
yang
sudah
ketinggalan
35
A. Gunawan Setiadji, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Perkembangan Masyarakat Indonesia, Kanisius dan PT. BPK. Gunung Mulia, Yogyakarta dan Jakarta, 1990, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
jaman.sedangkan mereka yang berpandangan maju akan bertindak ragu-ragu karena tidak memiliki legalitas formal. F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yaitu dengan pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan yang kemudian mengadakan analisa terhadap masalah yang dihadapi tersebut. 1. Jenis penelitian Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif, dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundangundangan buku-buku dan data-data yang berkaitan dengan pidana denda dan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. 2. Jenis Data dan Sumber Data Adapun jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : a. Bahan hukum primer, yang diperoleh dari peraturan perundangundangan, yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak yang berwenang. b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer seperti buku-buku dan literarur-literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder atau
Universitas Sumatera Utara
dengan kata lain bahan hukum tambahan seperti kamus bahasa Indonesia. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, adalah : a) Library Research, yaitu penelitian kepustakaan seperti melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan dan dokumen serta literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji. b) Field Research, yaitu penelitian lapangan, yang dilakukan melalui wawancara terhadap responden. (Hakim Pengadilan Negeri Stabat, Pejabat Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta, dan Dosen Fakultas Hukum USU). 4. Analisis Data Analisa data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas yang berhubungan dengan skripsi ini dalam hal ini.
G. Sistematika Penulisan Secara sistematik, organisasi penelitian dan penulisan skripsi ini, dirumuskan sebagai berikut : Bab I, yang berjudul PENDAHULUAN, terdiri atas sub-sub bab yang datangnya dari penulis, terhadap topik dan atau pokok persoalan yang akan diteliti dan dibahas. Sub-sub bab yang dimaksud adalah : Latar Belakang Penelitian, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keasliaan
Universitas Sumatera Utara
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode penelitian dan terakhir Sistematika Penulisan. Bab II, yang berjudul EKSISTENSI PIDANA DENDA DALAM HUKUM POSITIF
DI
INDONESIA,
yang
berisikan
mengenai
bab-bab
pembahasan, yang merupakan pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi dan terorganisir dalam beberapa bab yang tersusun secara logis, yang terdiri atas sub-sub bab : Pidana Denda di Dalam KUHP Indonesia, Pidana Denda di Undang-Undang di Luar KUHP Indonesia dan terakhir Pengaturan Pidana Denda dalam Rancangan KUHP Indonesia. Bab III, yang berjudul PIDANA DENDA SEBAGAI ALTERNATIF PIDANA PERAMPASAN JANGKA PENDEK DI MASA MENDATANG, yang berisikan uraian-uaraian mengenai pokok permasalahan yang menitik beratkan kepada bagaimana peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan jangka pendek yang didasrkan dari permasalahan penerapan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek dan kelemahan maupun keuntungan penerapan pidana denda. Terdiri dari sub-sub bab : Permasalahan Penerapan Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek di Indonesia, Kelemahan dan Keuntungan Penerapan Pidana Denda Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Jangka Pendek di Indonesia dan terakhir Peluang Penerapan Pidana Denda Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Jangka Pendek di Masa Mendatang.
Universitas Sumatera Utara
Bab IV, yang berjudul KESIMPULAN DAN SARAN, yang berisikan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap permasalahan-permasalahan yang ada dan saran-saran penulis dari hasil penelitian untuk perbaikan hukum kedepan khususnya yang berhubungan dengan pidana denda dan pidana perampasan kemerdekaan. Terdiri dari sub-sub bab : Kesimpulan dan Saran.
Universitas Sumatera Utara