BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perlawanan petani dimaksudkan dalam penelitian ini adalah perjuangan petani lahan pasir di Kulon Progo untuk mempertahankan lahan pertanian mereka dengan melawan pihak penambangan pasir besi. Petani yang seharusnya mendukung kesejahteraan
penambangan
pasir
masyarakat,
namun
besi
karena
senyatanya
bertujuan petani
meningkatkan
melawan
proyek
penambangan pasir besi tersebut. Ancaman alih fungsi lahan menjadi pendorong petani melakukan perlawanan. Isu-isu penting yang berkembang adalah persoalan lahan tentang status kepemilikan tanah apakah merupakan tanah Paku Alaman Ground (PAG) atau tanah hak milik yang rancu, sehingga timbul klaim-klaim kepemilikan tanah. Petani menolak klaim PT JMI terkait perluasan lahan 3000 hektar1 dalam peta pertambangan sebagai tanah milik Paku Alam Ground (PAG) dengan pembuktian fakta realitas peta desa dan keterangan buku besar di masingmasing desa di pesisir pantai Kulon Progo tanah PAG hanya sekitar 200 hektar (Kedaulatan Rakyat, 10 Juli 2012). Isu-isu yang berkembang seputar penambangan pasir besi menjadi penyebab perlawanan, terutama adanya kegiatan dan kebijakan penambangan pasir besi. Aksi-aksi kolektif menjadi pilihan yang dilakukan petani PPLP dalam memprotes kebijakan atau kegiatan yang mendukung pertambangan. Strategi
1
1 hektar sama dengan 10.000 m2.
perlawanan petani dapat dilakukan dengan demonstrasi atau mengganggu kegiatan yang berkaitan dengan penambangan pasir besi dan pendukungnya. Sedangkan bentuk perlawanan ditunjukkan dengan konfrontasi dan secara tegas menolak penambangan pasir besi. Bentuk perlawanan banyak diperlihatkan dalam aksi-aksi protes petani PPLP. Salah satu bentuknya seperti penutupan jalan menuju pilot plan oleh warga karena proyek penambangan memicu pencemaran udara dengan adanya debu yang beterbangan akibat kendaraan PT JMI yang lewat (Harian Jogja, 18 April 2012). Bentuk-bentuk penyampaian aspirasi melalui terbukanya peluang politik yang longgar adalah tuntutan pengusutan dan pembatalan Perda No. 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu pasal 58 dan 60 ayat 2b, yang secara substansi bertentangan dengan kepentingan rakyat dan secara proses tidak sesuai dengan mekanisme yang sah secara hukum (http://www.jogjatv.tv/berita/10/07/2012/aksi-penolakan-tambangpasir-besi, diakses 22 Juli 2012). Perlawanan PPLP juga mendapat simpati dari kalangan luar yang turut mendukung gerakan. Untuk mengorganisasi petani mereka membangun wadah paguyuban, mereka menamakan Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP). Paguyuban ini merupakan petani-petani yang berasal dari enam desa, meliputi Desa Banaran, Karang Sewu, Bugel, Pleret, Garongan dan Karangwuni dengan koordinator lapangan (korlap) di setiap desa untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi.
2
Penelitian gerakan petani ini memfokuskan pada komunitas atau paguyuban PPLP-KP, dikarenakan petani yang melakukan gerakan perlawanan menggabungkan
kelompok-kelompok
tani
dalam
paguyuban
dengan
memperlihatkan perlawanan menolak kebijakan penambangan pasir besi. Aksiaksi yang dilakukan menunjukkan suatu mobilisasi massa petani yang solid mampu memperjuangkan kepentingan atau tujuan bersama yakni penolakan penambangan pasir besi. Analisis penelitian ini mengkaji tentang strategi gerakan perlawanan petani PPLP-KP dan pihak-pihak yang mendukung perjuangan petani. Penelitian ini menjadi kajian yang menarik karena petani terus-menerus melawan dan menolak penambangan
pasir
besi
meskipun
petani
akan
mendapat
kompensasi
kesejahteraan. Di pihak petani sendiri, gerakan perlawanan diinisiasi oleh pemimpin dari kalangan petani sendiri bukan pihak luar petani. Perlawanan petani dalam pembahasan ini diuraikan dalam dua periodesasi perlawanan, namun ditegaskan bahwa perlawanan PPLP hingga sekarang (2013) perlawanan petani masih berlanjut. Data hasil penelitian ini terbatas hingga tahun 2012. Adapun periodesasi perlawanan tersebut adalah tahun 2006-2008 merupakan periode awal perlawanan petani PPLP. Pada masa ini perlawanan ditujukan untuk menggagalkan rencana penambangan pasir besi. Pihak penambangan pada masa ini berusaha untuk memberikan sosialisasi penambangan untuk meningkatkan kesejahteraan, namun selalu ditolak petani. Perlawanan periode berikutnya adalah tahun 2009-2012, pada masa ini PPLP banyak melakukan perlawanan dengan tindakan tegas bahkan dengan aksi
3
bentrokan fisik. Aksi-aksi perlawanan banyak dipengaruhi kebijakan pemerintah yakni ditandatanganinya Kontrak Karya (KK) tahun 2008 dan kebijakan Bupati Kulon Progo serta kegiatan sosialisasi penambangan pasir besi.
B. Rumusan Masalah Dengan latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik pertanyaan penelitian tentang bagaimana tindakan kolektif digunakan sebagai strategi perlawanan Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) dalam menolak penambangan pasir besi? Dari pokok pertanyaan penelitian tersebut maka dapat diturunkan menjadi bentuk-bentuk perlawanan apakah yang dilakukan petani?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan memahami konsep tindakan kolektif dalam gerakan perlawanan petani PPLP dalam menghadapi perubahan kebijakan pemerintah. Tujuan praktis penelitian ini adalah untuk menguraikan tentang strategi dan bentuk-bentuk perlawanan petani PPLP secara kolektif yang dilakukan untuk melakukan aksi protes.
D. Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian yang berkaitan dengan gerakan petani dalam literasi ilmu sosial antara lain penelitian yang dilakukan Wahyudi (Wahyudi, 2005),
4
dalam penelitiannya tentang reklaiming/ penjarahan atas tanah PTPN XII Kalibakar Malang Selatan yang mengkaji berbagai determinants of collective behavior saling berhubungan, saling mempengaruhi, serta saling melengkapi sehingga terjadi perilaku kolektif yang berupa gerakan petani. Penelitian tersebut mengkaji lebih jauh tentang formasi dan struktur gerakan sosial petani Kalibakar yang terjadi rentang waktu 1992-1993 sampai tahun 2005. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa formasi gerakan sosial petani Kalibakar ditentukan the important determinants perilaku kolektif, struktur gerakan sosial petani selalu berubah-rubah atau fluid, gerakan sosial petani juga dipengaruhi aktor yang memiliki kesamaan nilai subyektif seperti ideologi dan pertimbangan untung-rugi, serta kemampuan membangun pola komunikasi yang efektif. Petani di sini merupakan kelas sosial yang powerless, sehingga bargainingposition-nya lemah. Orientasi aktor berbeda-beda, para pemimpin gerakan sosial, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan mahasiswa aktivis berorientasi pada norma. Sedangkan petani biasa, free riders, dan pemegang kekuasaan lebih pada resources atau interest ekonomi politik. Penelitian dari Yudhanto S.A., mahasiswa Sosiologi tahun 2010 dengan tesisnya yang berjudul “Strategi Perlawanan Petani Tambang Tradisional dalam Menjaga Kelangsungan Hidup di Tengah Rendahnya Imbal Jasa”, hasil penelitiannya adalah bentuk perlawanan petani tambang dalam menjaga kelangsungan hidup, dengan cara melakukan penyulingan sendiri, penjualan hasil tambang tanpa melalui KUD Bogo Sasono, dan pengurangan suplai hasil tambang (Yudhanto.S.A, 2010).
5
Sedangkan penelitian ini lebih memfokuskan pada strategi gerakan petani yang cenderung agresif, aksi yang ditunjukkan dengan perlawanan terbuka (konfrontasi), demonstrasi dan tindakan kolektif sebagai bentuk perjuangan mempertahankan lahan akibat berlakunya kebijakan pemerintah tentang rencana penambangan pasir besi di Kulon Progo. Jika dibandingkan dengan strategi perlawanan petani tambang dari tesis hasil penelitiannya Yudhanto S.A., yang membedakan adalah petani tambang melalui cara-cara tanpa kekerasan fisik karena lebih mensiasati penjualan dan penyulingan minyak secara individual atau mandiri.
E. Kerangka Konseptual Untuk menjelaskan dan memahami terjadi gerakan perlawanan petani dalam menolak penambangan pasir besi, penulis menggunakan konsep tindakan kolektif sebagai dasar pemikiran untuk menganalisis strategi perlawanan petani PPLP di Kulon Progo. Berikut kerangka konseptual tersebut: 1. Tindakan Kolektif Pada umumnya tindakan kolektif dapat diawali sekelompok orang yang berkumpul, kemudian melakukan tindakan atau aksi bersama-sama, tindakan kolektif ini bisa dilakukan oleh kerumunan massa secara spontanitas, tidak terstruktur atau tidak bersifat rutin. Menurut Tilly (dikutip Wahyudi, 2005:24) tindakan kolektif adalah teori yang mengkaji manusia dalam melakukan tindakan bersama untuk mengejar tujuan bersama. Setiap tindakan manusia disertai sebab akibat. Pemikiran barat menganalisis tindakan kolektif yang dilakukan melalui
6
aksi protes, pemberontakan dan dalam gerakan sosial dihubungkan dengan kepentingan, keluhan dan aspirasi setiap hari, atau berhubungan dengan ketidakadilan. Tilly (dikutip Santoso, 2002) menjelaskan bahwa tindakan kolektif sebagai pelepasan ketegangan akibat perubahan sosial yang cepat dan ekstensif menciptakan ketidakpastian, kebimbangan dan tekanan yang berakumulasi mencari kesempatan melepaskannya dalam protes kekerasan dan aksi massal yang katarsis. Kerusuhan dan kekacauan merupakan reaksi orang yang sudah lama ada terhadap kesukaran dan keluhan. Tindakan kolektif dapat juga dilakukan dalam gerakan sosial. Penjelasan aksi kolektif dalam gerakan sosial merupakan tindakan yang terhenti-henti, tetapi tidak dapat diubah-ubah, sekelompok orang dengan masalah, keluhan, atau harapan sama menjadi sadar akan persamaan nasibnya, mendirikan organisasi menciptakan gerakan sosial untuk mencapai tujuannya. Penjelasan diatas dapat ditarik maknanya bahwa tindakan kolektif dalam gerakan sosial sebagai jalan untuk melepaskan ketegangan yang tidak terpecahkan. Selanjutnya tindakan kolektif dalam studi gerakan sosial dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang dapat diidentifikasikan dengan serangkaian kelengkapan kepercayaan yang dimilikinya, akan tetapi serangkaian kepercayaan tersebut dapat saja sudah berubah secara drastis (Wahyudi, 2005:25). Tindakan kolektif petani dalam penetrasi kapital sebagai pergolakan petani menentang kekuasaan
pasar
tidak
mendorong
pemberontakan
petani,
melainkan
pemberontakan dilakukan atas dasar untung rugi yang akan ditanggungnya dari ketidakpuasan atas keadaan tetap (status quo) (Olson dikutip Mustain, 2007:61). Orang turut berpartisipasi dalam gerakan apabila dirasakan menguntungkan atau
7
membawa hasil. Perspektif ini sering disebut menggunakan pertimbangan untungrugi (costs and benefits analysis). Sedangkan organisasi dalam gerakan secara signifikan berfungsi: pertama, dalam konstruksi dan rekonstruksi keyakinankeyakinan kolektif. Kedua, dalam mentransformasikan ketidakpuasan dalam aksi kolektif.
Ketiga,
dalam
mempertahankan
komitmen
terhadap
gerakan
(Klandermans dikutip Dimpos Manalu, 2009). Untuk keberlanjutan tindakan kolektif diperlukan suatu organisasi gerakan sosial. Menurut Tarrow untuk memelihara tindakan kolektif dan untuk mengkoordinasi dalam gerakan sosial dipengaruhi faktor dari eksternal seperti peluang (opportunities), konvensi, kesepakatan dan jaringan sosial. Pengaruh besar dari luar adalah jaringan sosial di mana terjadi tindakan kolektif, dan dalam kerangka budaya dan simbol ideologi. Material untuk membentuk gerakan terdiri peluang (opportunities), repertoires, jaringan sosial dan kerangka (frames) (Tarrow, 1996:17). Tindakan kolektif dengan konsep struktur peluang politik akan menjelaskan gerakan; bagaimana tindakan kolektif dikomunikasikan dan jaringan sosial baru terbentuk dari kelompok sosial satu dengan yang lain. Perubahan yang penting adalah akses kekuasan, pergeseran dalam kekuasaan yang sama dan perpecahan diantara elit. Dalam peluang politik (political opportunity), gerakan sosial muncul ketika terbuka peluang hubungan politik. Peluang berpolitik yang berpotensi untuk gerakan sampai mobilisasi, kemudian melalui kelompokkelompok dengan beberapa sumber daya internal muncul dalam gerakan.
8
Tindakan secara kolektif dalam gerakan sosial sering memunculkan kekerasan, konvensi dan tindakan yang mengganggu. Melalui tindakan kolektif, permasalahan menjadi tanggung jawab bersama dan diselesaikan secara praktis serta tidak jarang disertai kekerasan. Dalam kaitannya dengan studi gerakan sosial petani, tindakan pengrusakan atau intimidasi dengan paksaan menjadi karakteristik perlawanan petani yang terbuka. Kebanyakan bentuk tindakan kolektif tradisional memfokuskan pada kekerasan untuk mengisolasi dan menginisiasi kelompok lokal. Kekerasan terjadi dalam interaksi antara protestors dan aturan yang kuat. Bentuk tindakan kekerasan seperti merusak properti atau menyerang kelompok lawan. Tetapi pada demokrasi sekarang kekerasan lebih jarang sebagai tindakan kolektif. Tarrow melihat penelitiannya Charles Tilly tentang tindakan kolektif di Inggris, pada pertengahan abad sembilan belas terjadi perubahan dari keributan dan pembakaran beralih pada mengajukan petisi dan demonstrasi-demonstrasi (Tarrow, 1996:103). Tindakan kolektif konvensional tanpa kekerasan dikoordinasi melalui proses yang lebih menyerupai “konvensi dengan kontrak” (contract by convention) kemudian dalam bentuk kontrol organisasi. Bentuk konvensional tindakan kolektif yang dicontohkan Tarrow seperti pemogokan (strike) dan demonstrasi. Pemogokan memberikan gambaran bagaimana tindakan kolektif diawali sebagai konfrontasi yang mengganggu. Pemogokan menjadi sumber solidaritas pekerja, ini merefleksikan penambahan dukungan antar pekerja dan memperkuat soldaritas. Tindakan pemogokan dapat dikombinasikan dengan
9
pendudukan, gerakan berbaris atau jalan kaki, sabotase, petisi dan kegiatan legal (Tarrow, 1996:105-106). Sedangkan demonstrasi sebagai tindakan mengganggu yang akhir-akhir ini menjadi terintitusional, memperlihatkan perkembangan ketika bergerak dari target satu ke target lainnya, yang lain menyerang pihak lawan atau menyampaikan tuntutan. Demonstrasi publik dihubungkan dengan demokratisasi- sedikitnya muncul kampanye terbuka untuk politik dan hak sosial. Demonstrasi dilakukan untuk kepentingan klaim, melawan pihak lawan, untuk menunjukkan eksistensi kelompok atau sebagai solidaritas dengan kelompok lain, atau merayakan kemenangan atau sebagai bentuk berkabung. Negara yang tertekan melihat demonstrasi sebagai potensi terjadinya revolusi (Tarrow, 1996: 106-107). Aksi-aksi kolektif tidak mesti dilakukan dengan kekerasan namun dengan memaksa pihak lawan atau menuntut pada otoritas yang disertai ancaman. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai bentuk tindakan mengganggu atau mengacaukan. Menurut Tarrow (1996: 108), tindakan mengganggu ditempat umum mempunyai alasan sebagai bentuk ekspresi nyata, menandakan demonstran dan membentuk solidaritas. Tindakan mengganggu dapat dilakukan dengan menghalangi aktivitas rutin pihak lawan atau otoritas juga sebagai perluasan dari konflik. 2. Gerakan Sosial dan Bentuk-bentuk Perlawanan Petani Gerakan sosial yang terjadi sering dikaitkan dengan kebijakan pemerintah dalam
program
pembangunan.
Skenario
pembangunan
mengacu
pada
kesejahteraan rakyat. Namun kenyataannya pembangunan justru meminggirkan
10
rakyat kecil yang melahirkan perlawanan dalam bentuk gerakan sosial. Gerakan sosial merupakan tindakan kolektif yang diorganisir secara longgar, tanpa cara terlembaga untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat (Sztompka, 2007). Sedangkan dalam pemikiran Sidney Tarrow (dikutip Suharko, 2006), gerakan sosial adalah tantangan tindakan kolektif yang didasarkan pada tujuan-tujuan bersama dan solidaritas sosial dalam interaksi berkelanjutan dengan para elit, penantang dan pemegang wewenang. Tantangan tindakan kolektif merupakan dasar gerakan sosial, bukan karena gerakan selalu dengan kekerasan atau ekstrim, tetapi karena merupakan pokok dan jalan lain yang lebih baik dimana kebanyakan orang melawan. Menurut Tarrow, properti dasar yang membentuk gerakan sosial adalah tantangan kolektif (collective challenge), tujuan bersama (common purpose), solidaritas (solidarity) dan memelihara tindakan kolektif (sustaining collective action). Dalam tantangan kolektif, gerakan merupakan tantangan-tantangan melalui perlawanan langsung yang mengganggu terhadap elit, pemegang kekuasaan, kelompok-kelompok lain atau aturan-aturan kultural. Kebanyakan secara umum, gangguan dapat dalam bentuk resistensi personal atau secara kolektif afirmatif nilai baru. Tantangan
kolektif
kebanyakan
ditandai
dengan
mengganggu,
menghalangi atau membuat ketidakpastian terhadap aktivitas-aktivitas lain. Dalam sistem yang represif tantangan kolektif disimbolisasikan lewat slogan, corak pakaian dan musik, atau penamaan baru objek-objek yang familiar dengan simbol yang berbeda atau baru.
11
Tujuan bersama (common purpose) merupakan alasan yang paling jelas mengapa orang terikat bersama dalam gerakan yakni untuk menyusun klaim bersama melawan pihak lawan, penguasa atau elit. Ini bukan asumsi bahwa semua konflik muncul oleh kepentingan kelas atau kepemimpinan yang tidak otonom, akan tetapi tumpang tindih kepentingan dan nilai adalah latar belakang tindakantindakan bersama. Solidaritas (solidarity), properti ini memberikan deskripsi bahwa pemimpin hanya dapat menciptakan gerakan sosial ketika membangkitkan perasaan solidaritas atau identitas secara mendalam. Inilah mengapa nasionalisme dan etnisitas bersumber pada yang riil atau dari kepercayaan agama yang bersumber pada ketaatan bersama yang lebih diandalkan dalam gerakan organisasi masa lalu dari kelas sosial. Sesuatu yang menggerakkan secara bersama-sama dari gerakan sosial adalah pertimbangan partisipasi tentang kepentingan bersama yang kemudian menghubungkan perubahan dari sekedar potensi gerakan menjadi aksi nyata. Memelihara tindakan kolektif (sustaining collective action), hanya dengan cara ini untuk melawan pihak musuh, suatu episode pertikaian dapat berkembang menjadi suatu gerakan sosial. Tujuan bersama, identitas kolektif dan tantangan yang bisa diidentifikasi mendukung gerakan untuk memelihara perlawanan ini. Tetapi ketidakmampuan memelihara tantangan bersama maka gerakan mereka akan menguap menjadi apa yang disebut kebencian (resistance) atau menarik diri dalam isolasi.
12
Merujuk pemikiran di atas, fokus penekanan gerakan sosial adalah pada upaya/ memelihara tindakan kolektif secara luas sebagai penentangan terhadap pihak lawan atau pihak penguasa. Gerakan sosial dapat terlihat sebagai aksi massa. Dalam konteks ini menurut Hoffer (1988), menyebutkan gerakan sosial sebagai gerakan massa yang dicirikan oleh terbangkitkannya kerelaan anggotanya untuk berkorban sampai mati, beraksi secara kompak, adanya fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, intoleransi, kepercayaan buta dan kesetiaan tunggal. Gerakan sosial sebagai aksi ketidakpuasan masyarakat terhadap perubahan sosial. Dalam pandangan Hoffer, gerakan massa digerakkan oleh kaum frustasi yang memuncak atau sebagai the true believers. Anggota gerakan massa ini diidentifikasikan sebagai orang-orang yang tidak puas dan mengalami kekecewaan, yaitu mereka yang tersingkir dalam kehidupan, kelompok marginal di tengah masyarakat, hingga kelompok minoritas tertekan. Sementara itu, Doug McAdam dan W. Richard Scott, menyatakan bahwa Gerakan sosial juga memperlihatkan protes dan aktivitas pembaharuan dari satu perilaku irasional (melawan ketidakadilan) menyertakan tindakan instrumental. Gerakan sosial memfokuskan perhatian pada mekanisme mobilisasi dan mencari peluang (Gerald F. Davis, Doug McAdam, W. Richard Scott, dan Mayer N. Zald., 2005:6). Sementara
itu gerakan sosial dapat berubah menjadi suatu perlawanan yang radikal didukung dengan kondisi politik yang longgar. Perlawanan petani yang makin terbuka, eksplosif memungkinkan terjadinya gerakan sosial radikal, gerakan ini menolak secara menyeluruh tertib
13
sosial yang sedang berlaku dan ditandai kejengkelan moral kaum yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang mempunyai hak istimewa dan berkuasa (Kartodirdjo,1984:38). Sementara itu, Giddens (dikutip Mustain, 2007), berpendapat bahwa gerakan radikal terbatas pada upaya mengubah tatanan tertentu yang dianggap tidak benar dan merugikan, gerakan sosial tidak sama dengan gerakan revolusioner, tidak menghancurkan seluruh tatanan sosial, politik, hukum dan kebudayaan. Dalam pandangan Calhoun (dalam Mustain, 2007:339), “Radicalisme is to designate to basic or extreme challenge to establish order”. Karakteristik gerakan radikal (radical movement) adalah bertujuan mengubah tatanan yang dianggap merugikan dan tidak benar secara ekstrim atau mendasar yang biasanya disertai dengan pemaksaan kehendak untuk terjadinya perubahan. Dalam hubungannya dengan gerakan sosial di Jawa pada abad XIX dan XX yang bercorak radikal, Sartono Kartodirdjo (Kartodirdjo, 1973:18) memberikan karakteristik ideologis yakni: millenarisme (bersifat Ratu Adil) atau chiliasm, eschatologism (kepercayaan kehidupan akhirat), mesianisme (juru selamat), nativisme (pribumi) dan kepercayaan pada perang suci (the holy war idea) serta revivalism (kebangkitan kembali). Ciri-ciri gerakan ideologis dipengaruhi oleh kepercayaan akan datangnya zaman keemasan yang mengatakan bahwa semua ketidakadilan akan diakhiri dan keharmonisan akan dipulihkan, pemerintahan akan damai dan rakyat akan bahagia. Ketika zaman keemasan datang tidak ada lagi konflik dan penderitaan, masyarakat akan bebas dari pajak yang memberatkan. Tidak ada lagi penyakit, kehidupan akan keberlimpahan makanan dan pakaian, setiap orang akan memiliki tempat tinggal dan hidup
14
damai. Muatan ideologis itu menjadi sumber motivasi dan tali pengikat untuk solidaritas melakukan suatu gerakan perlawanan dan pengaruh tokoh yang menjadi pemimpin gerakan menjadi rujukan. Pemikiran Kartodirdjo, Calhoun dan Giddens, memberikan deskriptif bahwa gerakan sosial radikal merupakan pertentangan antar kelompok untuk merubah tatanan masyarakat yang merugikan dan dianggap tidak benar. Tatanan dapat berupa kebijakan pemerintah dan atau tatanan sosial yang berlaku. Gerakan sosial radikal biasanya dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tertindas. Penganut teori ini adalah melihat pola gerakan yang cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Buruh melakukan pemogokan karena buruh sebelumnya juga melakukan pemogokan, petani melakukan klaim tanah sebagai simbol yang mana leluhurnya juga telah menggarap tanah. Gerakan ini ditempuh ketika cara-cara persuasif menemui kegagalan. Kasus-kasus gerakan petani yang terjadi di Jember dan di Malang Selatan terlihat melakukan gerakan perebutan tanah ketika jalur legal atau hukum tidak berhasil. Para petani menggunakan cara-cara kekerasan untuk mempertahankan tanah. Secara rasional, tindakan radikal diambil karena tidak ada alternatif tindakan untuk melakukan perubahan. Gerakan radikal petani pada masa lalu dapat dimotori aktor elit kota atau aktor elit desa sendiri. Banyak kasus pemberontakan petani yang dipimpin oleh bangsawan dan lebih banyak lagi dipimpin tokoh ulama pedesaan atau guru. Pada masa lalu pihak-pihak luar banyak mengambil inisiatif gerakan. Seperti pada
15
tahun 1926-1927 di Banten dan Sumatra, gerakan dimotori oleh komunis dan di dalamnya banyak melibatkan ulama-ulama (Kuntowijoyo, 1994:4-5). Konsep strategi menurut Barry (dikutip M. Zainuddin, 2011), bahwa strategi merupakan rencana apa yang ingin dicapai dan bagaimana cara mencapai keadaan yang diinginkan tersebut. Sementara itu James C. Scott (2000), gaya perlawanan petani Asia (bentuk perlawanan sehari-hari) adalah perlawanan yang normal yang dilakukan secara berkesinambungan antara kaum tani dan orangorang yang menarik tenaga kerja, makanan, pajak, sewa dan keuntungan dari petani. Bentuk perlawanan petani tidak sampai pada pembangkangan perlawanan terbuka dan secara kolektif. Perlawanan dilakukan dengan menghambat, purapura menurut, perusakan, berlaku tidak jujur, membuat skandal, membakar, sabotase dan mengakhiri pertentangan secara kolektif. Tujuan perlawanan petani bukannya secara langsung menggulingkan atau mengubah sistem dominasi melainkan labih terarah untuk tetap hidup dalam sistem itu. Sifat perlawanan petani lebih informal dan sering tidak terbuka. Scott juga menjelaskan perlawanan yang sungguh-sungguh dan incidental. Perlawanan yang sungguh-sungguh mempunyai sifat terorganisir, sistematis, berprinsip atau tanpa pamrih, mempunyai sebab akibat revulusioner dan mengandung tujuan menghilangkan dominasi. Demikian sebaliknya, perlawanan incidental bersifat tidak terorganisasi, tidak sistematis, individual bersifat untung-untungan dan menyesuaikan sistem yang dominan (Scott, 1993:302). Lain
halnya,
dalam
perspektifnya
Kuntowijoyo
petani
pedesaan
melakukan tindakan radikal, namun dikendalikan oleh pihak luar yakni oleh Partai
16
Komunis Indonesia (PKI) akan tetapi kurang berhasil (Kuntowijoyo, 1994:vi.) Pada rentang masa tahun 1950 hingga 1965, ada empat tujuan radikalisasi petani, yakni meningkatkan jumlah anggota, untuk Pemilu 1955/1957, land reform dan perjuangan kelas. Organisasi yang dijadikan alat untuk memobilisasi adalah Barisan Tani Indonesia (Wahyudi, 2005:42). Menurut Situmorang yang merangkum dari pendapat ahli gerakan sosial adalah bentuk strategi gerakan sosial meliputi struktur kesempatan politik, struktur mobilisasi, proses framing, bentuk aksi (repertoire contention), dan sumber-sumber intelektual (Situmorang, 2007). Bentuk perlawanan petani Banten yang diteliti oleh Kartodirdjo menunjukkan hubungan jaringan di mana terjadi pertarungan antara pemuka agama Islam yang berhasil membentuk jaringan dengan petani melalui organisasi tarekat kadiriah melawan pejabat pemerintah Belanda tingkat bawah yang juga mempunyai jaringan dengan beberapa aristokrat tradisional. Selain penelitian Kartodirdjo, studi tentang perlawanan lainnya adalah ditulis Hafid tentang Perlawanan Petani: Kasus Tanah Jenggawah yang menemukan data lapangan bahwa taktik demonstrasi yang digelar oleh para petani banyak digerakkan oleh petani muda (Wahyudi, 2005:39). Taktik perlawanan petani dengan cara reclaiming seperti yang dilakukan petani di Kalibakar Malang Selatan, hasil penelitiannya Araf dan Paryadi tentang “Perebutan Kuasa Tanah”, menegaskan bahwa dampak positif reclaiming bagi masyarakat petani adalah petani bisa mengatur hidupnya sendiri dengan baik dan ternyata kehidupam mereka sendiri lebih baik dari dulu. Melihat dari uraian
17
tersebut, dapat disimpulkan beberapa strategi perlawanan petani adalah melibatkan jaringan atau organisasi dari pihak luar untuk melakukan penguatan perlawanan dan perlawanan secara kolektif menjadi kekuatan dari gerakan. Kajian penelitian ini melihat perlawanan petani dari aspek tindakan kolektif yang terpelihara dalam gerakan sosial petani. 3. Kerangka Pemikiran Untuk melihat gerakan perlawanan yang dilakukan PPLP-KP, penulis membuat kerangka pemikiran tentang bagaimana kebijakan penambangan pasir besi ini memunculkan perlawanan petani. Kebijakan penambangan ini meliputi proses awal sejak adanya konsesi penambangan yang diamini oleh pemerintah pusat dengan ditandatanganinya Kontrak Karya (KK) penambangan pasir besi di Kulon Progo. Selanjutnya kebijakan dan kegiatan penambangan berkembang dengan berdirinya pilot project yang kemudian direncanakan akan dibangun pabrik pengolahan bijih besi di kawasan penambangan pasir besi. Kebijakan (KK) tersebut menimbulkan penolakan petani yang disertai perlawanan-perlawanan petani. Perlawanan petani diawali dengan membentuk wadah paguyuban petani yang dikenal dengan PPLP. Paguyuban ini sebagai tempat untuk mengorganisasi gerakan sosial petani. Hal ini ditandai dengan adanya tujuan bersama yakni menolak atau menggagalkan penambangan pasir besi. Petani menentang atau melawan secara kolektif terhadap pihak penambangan dan pemerintah sebagai pemegang kebijakan penambangan pasir besi. Sejak adanya kebijakan penambangan itulah bentuk-bentuk perlawanan
18
mulai dilakukan dengan cara kolektif, terbuka, massal, ekspresif, mengacaukan, demonstrasi dan adanya kekerasan. Untuk
menguraikan
strategi
perlawanan
petani
PPLP,
penulis
menggunakan perspektifnya Tarrow. Sebagaimana konsep gerakan sosial bahwa properti dasar gerakan sosial meliputi tantangan kolektif (collective challenge), tujuan bersama (common purpose), solidaritas (solidarity) dan memelihara tindakan kolektif (sustaining collective action). Dengan indikator tersebut penulis mengkaji perlawanan PPLP dalam konteks gerakan sosial dengan memfokuskan tindakan kolektif sebagai strategi perlawanan petani. Kemudian dengan konsep tindakan kolektif ini diuraikan bentuk-bentuk perlawanan petani. Penulis memilih konsep tindakan kolektif menurut Tarrow dengan melihat bahwa tindakan secara kolektif yang dilakukan petani PPLP cenderung memunculkan kekerasan (violence), melakukan tindakan mengganggu (disruptive) dan demonstrasi menjadi strategi melawan pihak penambangan. Menurut Tarrow, aspek dasar dari tindakan kolektif adalah kapasitas untuk menantang pihak lawan yang mampu membangun solidaritas, tantangan kolektif dan menciptakan kondisi ketidakpastian. Dari uraian di atas penulis membuat kerangka pemikiran seperti berikut:
19
Diagram 1.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Permasalahan Petani Ancaman alih fungsi lahan Tergusurnya pemukiman penduduk Ancaman kerusakan lingkungan
Kebijakan Penambangan pasir besi Kelompokkelompok Tani
PPLP-KP Aktor Pendukung LSM Akademisi Aktivis
Gerakan Sosial Petani
Strategi Perlawanan (Tindakan Kolektif) Tanpa Kekerasan Kekerasan
Keterangan : hubungan searah : hubungan timbal balik Sumber : Analisis
F. Metode Penelitian Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yang menurut Kirk dan Miller (dikutip Moleong, 1990) mendefinisikan sebagai tradisi tertentu
20
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam istilahnya. Sedangkan Bogdan dan Taylor (Moleong, 1990:3), mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara utuh (holistic) jadi tidak boleh mengisolasi individu dalam variable atau hipotesis. 1.
Teknik Pengumpulan Data Data primer diperoleh melalui observasi serta berbagai keterangan dan
masukan dari beberapa informan melalui wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan yang ditulis dalam catatan lapangan (field notes). Untuk mendapatkan data sekunder diperoleh dari catatan atau dokumen dari wilayah penelitian tersebut serta dari lembaga atau instansi yang terkait dengan penelitian, kemudian data dari publikasi media dan dokumen yang terkait dengan penelitian. a. Wawancara Metode wawancara digunakan untuk mendapatkan data yang mendukung keperluan penelitian dengan melakukan teknik wawancara mendalam (indepth interview) dan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) terhadap informan yang telah terpilih. Pada awalnya penulis mewawancarai pengurus gerakan (Sekretaris PPLP), kemudian diarahkan untuk mewawancari bagian Humas PPLP kemudian kepada
21
Ketua PPLP. Pada awalnya wawancara menggunakan pedoman pertanyaan tentang
perjuangan/
berlangsung
perlawanan
pembicaraan,
PPLP,
wawancara
kemudian
dilakukan
ketika
secara
sudah informal
menyesuaikan kondisi informan. Selama wawancara penulis merekam pembicaraan. b. Observasi Penulis mengamati subyek penelitian dan kondisi lapangan. Penulis mengamati perilaku petani dalam kegiatan sehari-hari mereka yakni bertani di lahan pasir dan kondisi di lokasi penelitian, kemudian mendokumentasi, mencatat hal-hal yang berhubungan dengan perlawanan berupa simbol-simbol atau tulisan perjuangan PPLP. Selain kegiatan sehari-hari petani, penulis mengamati perilaku petani memberi informasi atau memberi tanggapan orang asing yang datang ke wilayah mereka. c. Pengumpulan Data Sekunder Studi ini melakukan pengkajian dan telaah terhadap tulisan, dokumen, dan naskah yang berkaitan dengan data yang diperlukan dalam penelitian ini. Data-data tersebut berupa berita yang dimuat media, dokumen dari PPLP-KP dan laporan data dari kepolisian. Tujuan pengumpulan data sekunder adalah untuk mendukung hasil penelitian yang diharapkan tepat serta nyata. Data sekunder tersebut berkaitan dengan bentuk perlawanan atau kegiatan PPLP-KP.
22
2.
Penentuan Informan Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat dan atau petani yang
tergabung dalam PPLP-KP dari Kecamatan Wates, Panjatan dan Galur Kabupaten Kulon Progo. Selain informan dari petani, juga dari kalangan pihak luar seperti dari tokoh masyarakat, aparat desa dan dari pihak kepolisian. Penentuan informan ini ditentukan dengan kriteria memiliki pemahaman aspek sosial budaya, terlibat dalam perlawanan, dan bersedia untuk memberikan informasi (mempunyai pemikiran terbuka). Atas pertimbangan tersebut didapatkan beberapa informan sebagai berikut: a. Kalangan Petani Ada 5 (lima) informan dari petani yakni: Pak Sukarman berasal dari Desa Bugel, Pak Supriyadi dari Desa Pleret, Pak Widodo dari Desa Garongan, Pak Sutar dari Desa Garongan dan Pak Slamet dari Dusun Gupit Desa Karangsewu. Alasan memilih mereka adalah merupakan pengurus dan anggota PPLP-KP yang mempunyai peran pokok dari masing-masing jabatannya dan selalu terlibat dalam setiap aksi. Dari tokoh tersebut didapatkan pengetahuan pengalaman atau informasi terkait dengan gerakan perlawanan petani pesisir dan sejarah perlawanan mereka. b. Kalangan Tokoh Masyarakat Dari kalangan tokoh masyarakat ada 2 (dua), mereka adalah BSW. Adjikoesoemo yang merupakan kerabat keraton dan aktivis yang memperjuangkan tanah rakyat. Pak Adjikoesoemo merupakan lulusan Filsafat UGM yang di masa kuliah aktif dalam pembelaan kasus
23
pertanahan di Indonesia, mulai kasus tanah Parangtritis, Cilacap, Tanah Badega, Manggala dan Belangguan. Selain Pak Adjikoesoemo juga saudara Tatang yang merupakan aktivis yang mendampingi perjuangan petani. c. Pihak Aparat Desa Pamong Desa yang menjadi subyek penelitian adalah Pak Anton yang merupakan Lurah Desa Karangsewu. Sebelum menjabat Lurah beliau merupakan aktivis Aliansi Gerakan Reforma Agraria (Agra). d. Pihak Kepolisian Informan dari institusi kepolisian adalah Pak Zakariya yang merupakan Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas). Sebagai petugas sudah selama lebih 10 tahun di Desa Karangsewu sehingga memahami kondisi sosial masyarakatnya. Alasan memilih dari pihak kepolisian adalah dapat memberikan informasi yang terkait dengan bentuk perlawanan warga PPLP-KP. Sumber lainnya adalah Pak Azam yang merupakan anggota Intelkam Polres Kulon Progo, beliau banyak membantu informasi terkait dengan data-data sekunder atau dokumen. Penelitian ini terbatas pada komunitas petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai. Penentuan informan ini berhenti pada sepuluh orang tersebut di atas, hal ini disebabkan informasi yang didapat dari informan sudah banyak mengalami kesamaan atau tidak ditemukan variasi informasi, akan tetapi peneliti mencari data melalui media dan
24
melakukan studi dokumen lain yang berkaitan dengan aktivitas PPLP-KP yang telah banyak dipublikasikan. 3.
Unit Analisis Penelitian ini memfokuskan pada kelompok/ komunitas yang dalam hal ini
adalah Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo. Komunitas ini awalnya merupakan kelompok-kelompok tani dari enam desa yang terkena dampak langsung penambangan pasir besi. Karena ancaman alih fungsi lahan dirasakan warga di sepanjang pantai selatan Kulon Progo yang membentang dari sebelah barat sungai Progo hingga sebelah timur sungai Serang maka petani menyatukan tekad melawan penambangan dalam paguyuban. 4.
Analisis Data Dalam hal ini, pengumpulan data dan analisa data yang terpisahkan dan
berproses secara simultan, serta berbentuk siklus interaktif. Dalam hal ini Huberman dan Miles (dalam Denzin dan Yvonna S. Lincoln, 2009:592) menggambarkan siklus tersebut sebagai berikut:
25
Diagram 1.2 Komponen Analisis Data Model Interaktif
Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data
Kesimpulan/ Verifikasi
Sumber: Huberman, A. Michael, dan Mattew B. Miles dikutip Norman K Denzin dan Yvonna S. Lincoln. 2009, hal 592.
Analisis data merupakan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat dipresentasikan semuanya pada orang lain. Dalam penelitian ini teknik analisa yang digunakan adalah dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Reduksi Data Kegiatan yang dilakukan dalam reduksi data meliputi pemilihan data, pemusatan
perhatian
pada
penyederhanaan,
pengabstrakan
dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di lapangan. Data yang diperoleh di lokasi penelitian dituangkan dalam bentuk uraian atau laporan yang lengkap dan terperinci. Laporan lapangan tersebut dirangkum, diseleksi, difokuskan pada hal-hal yang mendasar,
26
penting dan mempunyai keterkaitan erat, kemudian dicari polanya melalui proses penyuntingan. b. Penyajian data Penyajian data dilakukan dengan mengkaji reduksi data untuk memberikan
kemungkinan
adanya
penarikan
kesimpulan
dan
pengambilan tindakan dengan penyederhanaan informasi ke dalam suatu bentuk konfigurasi yang mudah dipahami, yang terfokus pada ringkasan yang terstruktur, deskripsi singkat, dan diagram-diagram, matriks teks. c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Penulis mencari makna dan menganalisa dari data yang telah dikumpulkan melalui pencarian pola, tema, hubungan persamaan atau pengelompokan, cek silang dengan hasil dari informan, hal-hal yang sering timbul yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat tentatif (belum pasti), akan tetapi dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi dan data dianalisis secara terus-menerus dengan memberikan interpretasi, baik pada waktu pengumpulan data di lapangan, ketika dalam proses dan sesudah di lapangan, maka dilakukan penarikan kesimpulan.
27