BAB I PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul Pemilihan judul menjadi bagian terpenting untuk memberikan ketertarikan pembaca terhadap isi secara keseluruhan dari penelitian ini, selain menjadi gambaran terhadap isi di dalamnya. Judul dibuat berdasarkan relevansi dengan program studi yang diambil, aktualitas, dan orisinalitas. Judul dari penelitian ini adalah “Strategi Koperasi dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunung Merapi”. Pemilihan judul ini karena dorongan dari peneliti sendiri terkait perlunya melakukan penelitian sesuai dengan judul tersebut. Pengalaman dari peneliti yang pernah terlibat aktif di Koperasi Mahasiswa, sehingga ingin melakukan penelitian seputar koperasi dan mencari latar belakang koperasi yang menarik dengan berbagai hambatan yang dihadapi koperasi tersebut. Koperasi Peternakan di Pakem yang memiliki riwayat terkait kerugian yang dialami karena terkena erupsi Gunung Merapi. Koperasi sebagai lembaga yang bertujuan untuk kesejahteraan anggota memiliki berbagai strategi yang digunakan dalam menghadapi bencana tersebut, dan sejauh apa strategi tersebut dapat optimal diterapkan kepada anggota maupun koperasi itu sendiri. Hal tersebut menjadi bahasan yang menarik bagi peneliti. Pemilihan judul tersebut berdasarkan pada dua pertimbangan yaitu yang pertama adalah pertimbangan praktis yang berkaitan dengan kemudahan dan hambatan yang dialami oleh peneliti, mulai dari awal melakukan penelitian
hingga selesai. Kedua pertimbangan teoritis, di mana sebuah judul penelitian harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Relevansi
dengan
Program
Studi
Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan Penelitian ini memiliki keterkaitan dengan disiplin ilmu yang telah dipelajari dalam program studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Jurusan ini memiliki minat konsentrasi pada pemberdayaan masyarakat, kebijakan sosial, dan Corporate Social Responsibility. Ekonomi Kerakyatan adalah salah mata kuliah dalam lingkup kosentrasi yang ada, disamping itu peneliti menjadikan mata kuliah tersebut sebagai teropong atas munculnya penelitian berbasis koperasi ini. Mata kuliah Ekonomi Kerakyatan membahas koperasi sebagai institusi yang hadir sebagai soko guru perekonomian Indonesia maupun sebagai wadah perekonomian masyarakat sebagai gerakan masyarakat. Melalui
koperasi
secara
mandiri
masyarakat
dapat
melakukan
pembangunan masyarakat. Pembangunan Masyarakat yang menjadi acuan bagi disiplin ilmu ini menurut (Soetomo 2010: 14-23), mengandung tiga unsur yaitu adanya
proses perubahan, mobilisasi sumber daya dan
pengembangan kapasitas masyarakat. Pembangunan masyarakat sebagai perubahan masyarakat yaitu adanya kemajuan yang dilihat dari peningkatan taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat. Mobilisasi sumberdaya adanya pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan adanya sumber dan potensi yang
dapat dimanfaatkan. Pengembangan kapasitas dengan adanya peningkatan kapasitas untuk membangun dirinya sendiri. Merujuk pada hal itu masyarakat (anggota koperasi) memiliki sumber-sumber daya hidup seperti hewan ternak yang menjadi kebutuhannya dan berupaya mengelolanya agar tercapai kesejahteraan bagi mereka. Selain itu melalui keberadaan koperasi, masyarakat (anggota koperasi) dapat mengembangkan kapasitas mereka melalui pelatihan dan pendidikan yang diberikan. 2. Orisinalitas Penelitian dapat dikatakan orisinil apabila penelitian yang dilakukan belum pernah diteliti oleh peneliti terdahulu, tetapi apabila penelitian sejenis sudah diteliti maka harus terlihat perbedaan-perbedaannya. Terdapat penelitian terdahulu terkait bencana erupsi Gunung Merapi yaitu yang dilakukan oleh Sugi Winarsih “Implementasi Kebijakan Penanganan Hewan Ternak Korban Bencana Erupsi Merapi 2010”. Penelitian ini fokus terhadap kebijakan yang dilakukan pemerintah dan adanya konflik antar dinas pemerintah, sehingga diperlukan koordinasi dan pembagian kerja antara Tim Merapi dengan Tim Penanganan Ternak Kabupaten. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Aditya Purnomo tentang “Kajian Kesiapsiagaan Pemerintah Kabupaten Sleman dalam Mengantisipasi Bencana Erupsi Gunung Merapi tahun 2010” yang berfokus pada kesiapsiagaan Pemkab Sleman dalam menghadapi bencana dengan
melakukan rencana darurat bencana, sistem peringatan dini Merapi dan mobilisasi sumber daya. Penelitian ini lebih mendalami permasalahan usaha ternak bagi korban erupsi Gunung Merapi, ketika pemilik usaha ternak dinaungi oleh lembaga perekonomian seperti koperasi. Kehadiran koperasi yang bertujuan untuk kesejahteraan bagi anggota tidak lepas dari upayanya ketika menghadapi hambatan seperti erupsi Gunung Merapi, sehingga koperasi memiliki tugas dalam melindungi usaha ternak milik anggota agar tujuan dari koperasi dapat tercapai. Peneliti fokus terhadap strategi-strategi yang digunakan oleh koperasi dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi yang terjadi secara berkala dan hal itu menjadi hambatan bagi anggota koperasi. 3. Aktualitas Permasalahan penanganan bancana erupsi Gunung Merapi menjadi bahasan yang perlu dikaji lebih lanjut lagi melihat kondisi Gunung Merapi yang aktif secara berkala, dan terkadang menimbulkan banyak korban jiwa. Berbagai kerentanan muncul pasca bencana erupsi melanda, seperti halnya hewan ternak yang menjadi usaha bagi masyarakat yang mati karena dampak dari erupsi. Aktivitas perekonomian warga mengalami kelumpuhan dalam beberapa waktu. Berbagai penelitian sudah mengkaji terkait penanganan bencana Merapi, namun perlu pembahasan lebih lanjut yaitu penanganan yang dilakukan oleh koperasi. Bagi masyarakat yang memiliki usaha ternak dan tergabung oleh lembaga perekonomian, sudah sewajarnya
bagi koperasi beserta anggota secara mandiri membuat strategi dalam menghadapi ancaman yang terus terjadi.
B. Latar belakang Bencana merupakan kejadian yang tidak diharapkan bagi masyarakat. Berbagai bencana menjadi ancaman, baik yang diakibatkan oleh ulah manusia itu sendiri, maupun bencana yang dipengaruhi alam, dan bencana sosial. Ketiga jenis bencana memberikan dampak negatif seperti kerugian materiil, dampak psikologis, bahkan menimbulkan korban jiwa. Mayoritas dari bencana itu terjadi melampaui kemampuan masyarakat dalam mengatasinya secara mandiri, karena terkait intensitas waktu bencana melanda dan dampak dari bencana yang melumpuhkan kehidupan masyarakat hingga aktivitas perekonomian mereka. Erupsi gunung api adalah salah satu bencana alam yang memberikan efek cukup dahsyat dan mengerikan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Garis besar bahaya gunung api dapat dibagi atas bahaya langsung dan bahaya ikutan. Bahaya langsung dapat terjadi karena lemparan batuan seperti lemparan bom, aliran lava, dan hembusan letusan seperti hembusan awan pijar, gas beracun dan pekatnya hujan abu atau masyarakat Yogyakarta menyebutnya “wedhus gembel”. Bahaya ikutan adalah bahaya yang timbul karena aliran lumpur yang bercampur dengan batuan. Aliran ini berupa banjir dan seringkali disebut lahar, baik yang masih panas ataupun yang sudah mendingin. Aliran lahar meluncur mengikuti lereng gunung api. Air hujan yang
turun bersamaan dengan letusan ataupun sesudahnya menimbulkan lahar yang dapat menyapu perkampungan, persawahan, ataupun peternakan (Sudradjat, 2007: 17). Namun, memang tidak dapat dihindari keberadaan gunung api yang memberikan bencana. Setidaknya bagi kawasan yang memiliki gunung api, sudah terdapat zona-zona seperti zona terlarang yang tidak boleh didirikan tempat huni, kemudian zona dimana masyarakat harus siap siaga ketika gunung api meletus yang disebut zona bahaya. Perlu adanya kesadaran bagi masyarakat yang tinggal di sekitar gunung api tentang ancaman bagi mereka akan bahaya yang dihasilkan. Kita perlu mewaspadai dampak negatif yang ditimbulkan oleh gunung api tersebut. Adanya batas-batas tersebut menjadi perhatian bagi masyarakat dalam mengatur dan menjaga jarak dengan puncak gunung api untuk mengurangi berbagai macam kerugian materi bahkan korban jiwa. Secara geografis wilayah Pasifik barat gunung api terbentuk karena bergeraknya lempeng Pasifik ke arah barat dan menabrak lempeng Asia. Namun di lain pihak Indonesia merupakan pula tempat pertumbukan Lempeng Hindia Australia yang merayap dengan kecepatan 6 cm per tahun ke arah utara dan menabrak lempeng Asia. Letaknya pada pertumbukan antara lempenglempeng yang berlainan sifatnya yaitu lempeng Asia yang asam dan lempenglempeng Indo-Australia dan Pasifik yang basa, maka gunung api di Indonesia sifatnya eksplosif, sulit diduga dan sulit dikendalikan ( Sudradjat, 2007: 15). Selain itu Indonesia merupakan negara yang terletak pada cincin api pasifik yang memiliki sekitar 129 gunung api aktif, atau sekitar 13-17% dari seluruh gunung api aktif di seluruh dunia. Beberapa gunung api yang tersebar,
Pulau Jawa merupakan pulau yang paling kaya akan gunung api, yaitu sebanyak 35 buah. Salah satu gunung api paling aktif dan telah memakan banyak korban adalah Gunung api Merapi (Sutikno dkk, 2007: 19). Gunung api Merapi merupakan gunung api teraktif di Indonesia. Tahun 2010 Gunung Merapi kembali aktif, dan harus dipantau secara hati-hati karena secara terus-menerus menghasilkan letusan, bahkan setelah 989 tahun letusan pertamanya yang telah memusnahkan Kerajaan Hindu Darmawangsa. Letusan terakhirnya mengakibatkan pengungsian besar. Sebanyak 54 ribu orang meninggalkan kampung halamannya ke berbagai lokasi pengungsian di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Rumah mereka hangus terbakar terlanda awan panas. Tercatat lebih dari 150 orang meninggal dunia, dan ratusan lainnya dinyatakan hilang. Dampak berubahnya perilaku merapi masih terasa hingga sekarang, khususnya bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Gunung aktif ini meletus, dan tidak ada yang menduga sebelumnya. Karakter letusannya berubah dari tipe awan panas guguran menjadi letusan eksplosif berskala besar disertai awan panas letusan dan membongkar sebagian besar puncaknya. Pemandangan langka ini tidak pernah disaksikan sejak seratus tahun terakhir (Abdurrrahman, 2011 : 4). Berawal pada tanggal 20 September 2010 Gunung Merapi berubah status menjadi waspada dari status awalnya normal. Hingga berubah status ke siaga hingga status awas dan pada tanggal 28 Oktober 2010 Gunung Merapi mengeluarkan awan panas yang disebut masyarakat sekitar dengan sebutan “wedhus gembel”. Kerugian yang berdampak sangat besar selain menimbulkan
korban jiwa, yaitu lumpuhnya perekonomian warga dalam beberapa hari seperti yang dirasakan oleh peternak. Ternak sapi yang menjadi nadi perekonomian masyarakat mati keracunan abu vulkanik. Beberapa sapi milik peternak mati, terjadi kerusakan pada infrastruktur penunjang usaha ternak sapi dan terjadi penurunan pendapatan bagi peternak. Arus usaha pada input, proses, dan output terjadi kemacetan. Menurut BNPB (2011:35) Erupsi Merapi tahun 2010, mengalami kerusakan pada sub-sektor peternakan sebesar Rp 48.048.000.000,00 yang terdiri dari ternak mati, sarana prasarana peternakan, lahan sumber pakan dan minumnya. Terdapat jumlah ternak mati khususnya sapi sebanyak 2.445 ekor dan terdapat sekitar 3.000 ekor sapi terlantar tidak mendapatkan makanan (Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Sleman, 2011). Makanan mereka yang berupa rerumputan rusak akibat abu gunung sehingga bahaya untuk dikonsumsi ternak sapi. Kesulitan pakan tentu memberikan dampak terhadap kesehatan ternak sapi seperti pada gangguan pernafasan dan produksi susu yang menurun. Gunung Merapi tidak hanya memberikan ancaman bahaya atau bencana. Setelah masa bahayanya lewat atau pada masa gunung api tersebut istirahat dalam waktu yang lebih lama dibanding masa bahayanya, Gunung Merapi memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Wilayah Gunung Merapi memberikan peluang dan sangat potenisal untuk dikembangkan. Manfaat tersebut salah satunya dirasakan bagi warga di Kecamatan Pakem sebagai bidang ekonomi produktif dengan usaha ternak sapi. Lahan yang subur
mendukung bagi pakan ternak sapi milik mereka. Selain sisi positif dari lokasi yang dekat dengan lereng Gunung Merapi, ternak sapi perah rupanya memang menjadi salah satu usaha di dalam sektor peternakan yang memiliki peluang prospektif. Melalui usaha ternak sapi dapat meningkatkan gizi peternak dan keluarga, serta secara makro memperbaiki gizi nasional disamping dapat menghemat devisa dengan menekan jumlah impor susu. Susu sapi dapat diolah menjadi permen, karamel dan jenis makanan lain. Selain dari susu, bagian dari sapi yang dapat dimanfaatkan seperti pada kotorannya yang digunakan sebagai pupuk kandang. Selain itu, usaha ternak sapi tergolong sangat ekonomis, baik dari sisi biaya pemeliharaan maupun biaya pembuatan kandang. Lahan yang digunakan juga tidak harus luas, sehingga usaha ini menjadikan ladang pendapatan bagi peternak yang menggelutinya dengan tekun. Berbagai manfaat yang dirasakan peternak inilah, mereka tidak menjadikan alasan bencana Gunung Merapi untuk menghentikan usaha ternaknya. Bahkan seiring dengan bertambahnya jumlah peternak sapi perah, pada tahun 1978 para peternak mengadakan rapat pembentukan lembaga ekonomi di pedesaan
yang berbentuk koperasi. Terbentuknya koperasi
membantu masyarakat melangsungkan usahanya dan memberikan jalan keluar dalam kendala yang dihadapi oleh peternak seperti membantu dalam pelayanan pemasaran susu yang sehat dengan kualitas yang tetap dijaga. Koperasi sebagai wadah bagi peternak untuk memberdayakan peternak agar dapat meningkatkan produksinya. Selain itu sesuai dengan lokasi para ternak sapi di kawasan rawan
akan bencana Gunung Merapi, keberadaan koperasi tentu membantu anggota membantu mengurangi dampak kerugian dan membantu dalam pemulihan ekonomi anggota. Koperasi merupakan sebuah perkumpulan masyarakat yang bersifat sukarela dan demokratis, dan juga sebuah usaha yang berisiko dalam bidang sosial-ekonomi, yang berdasarkan atas asas persamaan (dalam kontrol dan kesempatan), keadilan (dalam distribusi), dan saling tolong menolong dalam mempromosikan kebutuhan mereka sehari-hari sebagai penjual maupun pembeli. Sebuah koperasi harus dapat langsung memenuhi hasrat para anggotanya dengan menyediakan keperluan mereka sehari-hari, tanpa mengharapkan keuntungan sendiri, karena koperasi merupakan kesatuan ekonomi yang tidak terikat pada biaya (Hasan, 1992:1). Koperasi berdasarkan anggotanya terdiri dari Koperasi Pegawai Negeri, Koperasi Pasar, Koperasi Sekolah dan Koperasi Unit Desa. Koperasi Unit Desa adalah koperasi yang beranggotakan masyarakat pedesaan dan bergerak pada usaha kegiatan ekonomi. Seperti koperasi pertanian, koperasi perikanan, koperasi industri, dan sama halnya koperasi di Pakem yang didirikan oleh masyarakat yaitu koperasi susu dari peternakan sapi. Koperasi susu yang dibentuk oleh peternak sapi perah di Yogyakarta yang tergabung dalam Perhimpunan Peternak Sapi Indonesia (PPSI) bernama Koperasi Warga Mulya. Koperasi Warga Mulya resmi berbadan sejak tanggal 30 Januari 1979 dengan nomor 27/BH/PAD/Kwk.12/V/1998 dengan Visi menjadi koperasi yang kuat, mandiri, profesional, yang memberikan
peningkatan kesejahteraan bersama dan memiliki sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi. Sedangkan Misi koperasi adalah peningkatan kualitas dan produksi susu, membangun komitmen yang lebih kuat, penganekaragaman usaha yang mendukung koperasi, membangun jaringan pasar, dan pengembangan pendidikan yang berkelanjutan. Koperasi yang saat ini dipimpin oleh H. Danang Iskandar, saat ini memiliki anggota aktif 272 orang, anggota pasif sebesar 1.018 orang, dengan total anggota 1.290 orang. Anggota yang bergabung dalam koperasi tersebut juga disebut sebagai pemegang saham, karena anggota memiliki simpanan wajib, simpanan pokok, dan lainnya. Keberhasilan dari koperasi tersebut juga dilihat dari keberhasilan peternak itu sendiri. Berbagai peran aktif dari anggota menunjukkan tetap berdirinya Koperasi Warga Mulya yang menjadi wadah bagi peternak hingga sekarang. Mulai dari sadarnya anggota untuk tetap membayar simpanan hingga semangat mereka belajar menjadi peternak yang lebih baik melalui kegiatan koperasi. Pada dasarnya koperasi memiliki tugas untuk menjadikan anggota yang produktif agar dapat menghadapi persaingan pasar dan Koperasi Warga Mulya tetap dipercaya sebagai mitra kerja oleh perusahaan. Koperasi Warga Mulya memiliki enam unit bidang usaha, diantaranya Unit Susu, Unit Makanan Ternak, Unit Kredit dan Sapi Import, Unit Pasteurisasi, Unit Simpan Pinjam, dan Unit Pelayanan Kesehatan Hewan, IB dan PKb. Melihat Perkembangan usaha Koperasi Warga Mulya pada tahun 2010-2011 mengalami penurunan karena terkena erupsi Gunung Merapi.
Koperasi Warga Mulya adalah salah satu koperasi yang menderita kerugian karena letak dan usaha anggota yang relatif dekat dengan Gunung Merapi. Anggota dari koperasi tersebut berdomisili di berbagai desa di sekitar kantor koperasi berdiri. Kerugian yang dialami selain dari omset milik anggota yang dipelihara koperasi, dampak yang sama juga dialami omset yang dipelihara anggota sendiri. Seperti kerugian kondisi infrastruktur koperasi yang menunjang usaha ternak milik anggota, kondisi sapi perah yang sakit akibat abu vulkanik bahkan mati dalam jumlah yang besar. Perlu adanya sebuah strategi untuk memulihkan kondisi finansial koperasi tersebut agar tetap eksis. Melihat lokasi dari beberapa anggota koperasi ini berada di kawasan rawan bencana dan erupsi bisa terjadi kapan saja. Hal tersebut merupakan wujud dari konsekekuensi yang bisa terjadi tidak hanya sekali mengingat Gunung Merapi merupakan gunung api dengan periode eksplosif yang pendek. Masyarakat berencana untuk berpindah lokasi menjadi suatu hal yang tidak mungkin karena mayoritas anggotanya adalah warga sekitar, dan mengandalkan kekayaan alam menjadi sumber penghasilan mereka. Jalan satu-satunya adalah menyiasati agar pihak koperasi beserta anggota mulai menyadari dan bekerja bersama-sama dalam penanganan Gunung Merapi. Pihak keduanya berupaya menekan kerugian yang dialami, supaya tidak mengalami kerugian yang sama seperti yang telah terjadi di tahun 2010. Keberadaan koperasi yang menjalin kerjasama dengan berbagai mitranya, memberikan dampak yang dirasakan para anggota yaitu
berkembangnya kegiatan agribisnis persusuan di pedesaan, menguatnya modal kelompok peternak (melalui kegiatan simpan pinjam) sehingga mampu menjadi kelompok ternak yang kuat dan mandiri. Selain itu dampak hadirnya koperasi telah membantu peternak mengubah pengetahuan, keterampilan dan sikap para anggotanya terutama dalam mengelola usaha sapi perah dan mengolah hasil produksinya, dapat meningkatkan pendapatan para anggotanya. Berbagai pelatihan bagi peternak atau anggota koperasi yaitu pembinaan anggota berupa kegiatan penyuluhan pada para anggota tentang pemeliharaan sapi perah, penanganan susu dan kualitas susu serta tentang kesehatan ternak. Ada juga pembinaan petugas kelompok meliputi cara pengecekan susu di kelompok, penakaran dan pencatatan susu dan pemeliharaan peralatan. Serta pelatihan baik pengurus maupun anggota koperasi dalam manajemen perkoperasian. Selain menambah kapasitas individu, dengan adanya koperasi pada wilayah dengan titik produksi menyebar memberikan dampak positif bagi pemasaran di daerah tersebut. Salah satunya adalah persamaan harga yang diatur oleh koperasi, sehingga meminimalisir adanya kecurangan dalam menentukan harga di pasaran. Kestabilan harga dari hasil produksi juga lebih terjaga karena harga ditentukan berdasarkan kondisi keseluruhan anggota yang disesuaikan dengan pasar. Hadirnya koperasi dirasakan sangat besar manfaatnya ketika kondisi peternakan di Pakem mengalami kerugian, seperti halnya kendala yang dijelaskan sebelumnya terkait lokasi yang berada di lereng pegunungan.
Koperasi sebagai badan usaha menjadi perantara bagi peternak dan pihak eksternal yang andil dalam membangkitkan perekonomian anggota, sehingga bantuan yang disalurkan bagi peternak dapat dikelola dengan baik. Namun, dengan keadaan yang dihadapi oleh peternak yang berlokasi di bawah lereng Gunung Merapi diperlukan berbagai strategi. Strategi ini juga diperlukan bagi Koperasi Warga Mulya agar anggota tidak mengalami kerugian parah setiap bencana erupsi Gunung Merapi terjadi karena bencana dari letusan Gunung Merapi ini cenderung memiliki intensitas yang cukup tinggi dan jarak wilayah dari puncak Gunung Merapi yang cukup dekat. Strategi yang perlu diterapkan bagi koperasi dapat dimulai dari pra bencana dengan membuat perencanaan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana, karena bencana erupsi Gunung Merapi terjadi secara berkala dibutuhkan upaya melalui Koperasi Warga Mulya dalam menghimbau anggota untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana serta tindakan strategis yang diperlukan sebelum bencana erupsi melanda. Kemudian dengan melakukan strategi saat bencana dengan memberikan bantuan terhadap kerugian yang dialami anggota, baik bantuan materiil atau pun non materiil seperti melakukan pendekatan psikologis anggota, karena mereka mengalami kepanikan saat bencana.
Selanjutnya upaya yang dilakukan saat pasca
bencana dengan melakukan perbaikan yaitu rehabilitasi dan mengevaluasi dari hasil perbaikan dan diperlukan penguatan seperti menyusun rencana tindak lanjut dampak bencana, pengkondisian situasi aman bencana, dan membuat laporan dan rekomendasi.
Selanjutnya perlu adanya evaluasi dari dampak erupsi Gunung Merapi bagi peternak. Evaluasi tersebut digunakan untuk memperbaiki halhal yang sekiranya terabaikan oleh pihak koperasi saat bencana erupsi 2010 silam, sehingga memberikan kerugian bagi anggota. Selanjutnya ditindak lanjuti dengan adanya strategi. Strategi yang dilakukan akan memberikan dampak positif bagi para anggota dengan diringankan beban mereka menghadapi bencana dan tidak terulang kerugian yang parah ketika erupsi Gunung Merapi.
C.Rumusan masalah Bagaimana strategi Koperasi Warga Mulya dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui bagaimana strategi yang digunakan Koperasi Warga Mulya dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi. Koperasi berupaya membuat strategi yang dibuat khusus dalam menghadapi bencana erupsi, atau koperasi menggunakan strategi dengan memanfaatkan sesuatu yang sudah ada sebelumnya, namun tetap bermanfaat untuk diterapkan dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi.
2. Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah: a) Penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi dan referensi untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, serta memberikan kontribusi bagi pengembangan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. b) Bagi koperasi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tentang pentingnya strategi khusus bagi koperasi dalam menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi. c) Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam evaluasi terhadap bencana erupsi tahun 2010 maupun membantu koperasi dalam mengupayakan strategi internal, sebagai usaha dalam mengupayakan tindakan preventif menghadapi bencana erupsi ke depan.
E. Tinjauan Pustaka E.1 Teori Strukturasi Teori strukturasi Giddens yang memusatkan perhatian pada praktik sosial yang berulang itu pada dasarnya adalah sebuah teori yang menghubungkan antara agen dan struktur. Menurut Bernstein, “ tujuan fundamental dari teori strukturasi adalah untuk menjelaskan hubungan dialektika dan saling pengaruh-mempengaruhi antara agen dan struktur” (1989:23). Dengan demikian, agen dan struktur tak dapat dipahami dalam keadaan saling terpisah satu sama lain; agen dan struktur ibarat dua sisi dari
satu mata uang logam. Menurut Giddens, agen dan struktur adalah dwi rangkap. Seluruh tindakan sosial memerlukan struktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosial. Agen dan struktur saling jalin menjalin tanpa terpisahkan dalam praktik atau aktivitas manusia (Ritzer,2010: 508). Menurut Giddens, aktivitas-aktivitas sosial tidak dilaksanakan oleh aktor, melainkan secara terus menerus mereka ciptakan melalui alat-alat yang mereka gunakan untuk mengekspresikan dirinya sebagai aktor. Struktur lebih berperan dalam menggerakkan suatu lembaga dari pada aktor itu sendiri. Struktur dalam hal ini berupa aturan dan sumber daya (Giddens, 2011: 3). Dalam kasus ini, koperasi digunakan oleh anggota sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan, untuk meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan, untuk hal-hal yang dimanfaatkan sebagai aktivitas sosial mereka. Aktor memiliki motivasi untuk bertindak dan motivasi ini meliputi keinginan dan hasrat untuk mendorong tindakan. Menurut Giddens agen memiliki kemampuan untuk menciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial. Artinya, aktor akan berhenti menjadi agen bila aktor kehilangan kemampuan untuk menciptakan pertentangan. Inti dari teori strukturasi Giddens adalah struktur, sistem, dan dwi rangkap stuktur. Struktur yaitu aturan dan sumber daya (Ritzer, 2010; 509-510). Aktivitas-aktivitas berulang yang terletak dalam suatu konteks waktu dan ruang, telah mengatur konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan oleh mereka yang melakukan aktivitas-aktivitas itu, dan secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi kondisi-kondisi selanjutnya (Giddens,
2011: 17). Begitu pula dengan aktivitas anggota yang dilakukan secara berulang dengan tingkat partisipasinya di dalam sebuah koperasi. Ketika anggota memiliki partisipasi tinggi dengan tidak melupakan kewajibannya sebagai anggota, maka mempengaruhi kondisi koperasi kedepannya yang berjalan lebih baik. Begitu pula sebaliknya, dengan aktivitas berulang dari anggota dengan tidak ada perannya sebagai anggota mempengaruhi hubungan antara anggota dan koperasi yang semakin jauh dan mengancam eksistensi koperasi itu sendiri. Parker memberikan catatan kritis terhadap teori stukturasi yang disampaikan oleh Giddens. Bagi Parker, hubungan antara struktur dan agen memiliki posisi yang berbeda atau dualism struktur, sehingga dalam menjelaskan masing-masing posisi, dapat dibedakan satu dengan yang lain (Parker dalam Kusworo, akan terbit: 146-147). Jadi dalam hal ini, struktur dan agen menjadi bagian yang berbeda namun tetap saling mempengaruhi. Kemajuan maupun kemerosotan yang dialami struktur tidak lepas dari campur tangan aktor. Struktur dan aktor memiliki peran masing-masing guna mencapai tujuan yang diharapkan. Kesimpulan yang diambil dalam pendapat yang diutarakan oleh Giddens dan Parker, bahwasanya struktur dan agen sama-sama memiliki peran yang menentukan kemajuan maupun kemerosotan yang dialami oleh suatu lembaga. Hubungan saling mempengaruhi dari keduanya tersebut, menjadi faktor saling tergantung antara keduanya. Maka, nasib dari lembaga tidak bisa dipegang oleh salah satu dari mereka.
E.2 Koperasi sebagai sebuah Lembaga Lembaga dalam istilahnya dipergunakan untuk menunjuk pada pola perilaku yang telah mapan, akan tetapi penggunaannya kadang-kadang tidak seragam dan dapat mencakup perilaku sederhana maupun pola perilaku yang sangat
kompleks
(Soekanto,
1983:
196).
Namun,
disini
lembaga
kemasyarakatan akan digunakan karena pengertian lembaga lebih menunjuk pada suatu bentuk, sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut (Soekanto, 2010: 171). Paul B. Horton dan Chester L. Haunt menggambarkan lembaga sebagai suatu sistem norma untuk mencapai tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau secara formal yaitu sekumpulan kebiasaan-kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia (Horton dan Hunt, 1993: 244). Gillin dan Gillin di dalam karyanya yang berjudul General Features of Sosial Institution, telah menguraikan beberapa ciri umum lembaga kemasyarakatan sebagai berikut: 1. Suatu lembaga kemasyarakatan adalah organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Lembaga kemasyarakatan terdiri dari adat-istiadatnya, tata kelakuan, kebiasaan, serta unsur-unsur kebudayaan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung tergabung dalam satu unit yang fungsional.
2. Suatu tindakan kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan. Sistem-sistem kepercayaan dan aneka macam tindakan baru akan menjadi bagian lembaga kemasyarakatan setelah melewati waktu yang relatif lama. 3. Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu. Mungkin tujuan tersebut tidak sesuai atau sejalan dengan fungsi lembaga yang bersangkutan apabila dipandang dari sudut kebudayaan secara keseluruhan. Pembeda antara tujuan dan fungsi sangat penting oleh karena tujuan suatu lembaga merupakan tujuan pula bagi anggota masyarakat tertentu dan golongan masyarakat bersangkutan pasti akan berpengaruh teguh padanya. Sebaliknya fungsi sosial lembaga tersebut, yaitu peranan lembaga dalam tadi dalam sistem sosial dan kebudayaan masyarakat, mungkin tak diketahui atau disadari golongan masyarakat tersebut. Fungsi tersebut mungkin baru disadari setelah diwujudkan dan kemudian ternyata berbeda dengan tujuannya. 4. Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga bersangkutan, seperti bangunan, peralatan, mesin, dan lain sebagainya. Bentuk serta penggunaan alat-alat tersebut biasanya berlainan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
5. Lambang-lambang biasanya juga merupakan ciri khas dari lembaga kemasyarakatan.
Lambang-lambang
tersebut
secara
simbolis
menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan. 6. Suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi tertulis ataupun tak tertulis yang merumuskan tujuannya, tata tertib yang berlaku, dan lain-lain. Tradisi tersebut merupakan dasar bagi lembaga itu di dalam pekerjaannya memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat, di mana lembaga tersebut menjadi bagiannya (Soekanto, 2010: 184185). Menurut Leopold von Wiese dan Howard Becker, institutionalization yaitu proses yang dilewati oleh suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan, sehingga norma kemasyarakatan itu oleh masyarakat dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari ( Soemardjan, 1964:64). Lembaga kemasyarakatan bertujuan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan pokok manusia pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi, yaitu: 1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan 2. Menjaga keutuhan masyarakat 3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian
sosial.
Artinya,
sistem
pengawasan
masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya (Soekanto, 2010: 173) Koperasi (struktur) menjadi salah satu contoh lembaga yang berdiri karena bentukan dari masyarakat yang tergabung menjadi anggota (agen). Koperasi memiliki ciri-ciri seperti halnya yang disebutkan dalam sebuah lembaga. Aturan dalam koperasi diterapkan sebagai tata tertib bagi seluruh elemen dalam koperasi, yaitu pengurus, pengawas, karyawan, maupun anggota. Suatu lembaga, koperasi memiliki alat penunjang dalam aktivitasnya seperti bangunan, peralatan, dan alat penunjang lainnya. Berdirinya suatu lembaga tidak lepas dari tujuannya, koperasi memiliki visi dan misi yang harus dilaksanakan. Koperasi dalam bahasa inggris disebut cooperation atau cooperative yang artinya kerja sama. Melihat istilah dari kerjasama dapat ditinjau dari sosiologis, bahwasanya koperasi dipandang sebagai konsep sosiologis yang primer. Menurut Dr. C.C Taylor ada dua ide dasar yang bersifat sosiologis yang berperan dalam kerja sama, yaitu: bahwa orang menyukai hubungan langsung diantara sesamanya dan orang lebih menyukai hidup bersama yang saling menguntungkan dan damai daripada bersaing. Sesuai dengan pandangan tersebut, koperasi dianggap lebih bersifat perkumpulan orang daripada perkumpulan modal. Tinjauan dari segi ekonomis, koperasi sebagai suatu alat yang bersifat komprehensif dan revolusioner untuk memperbaiki kepincangankepincangan dan kelemahan dari perekonomian kapitalis (Direktorat Penyuluhan Koperasi, 1985: 9-11).
Menurut International Cooperative Alliance (ICA) dalam buku The Cooperative Principles, koperasi adalah kumpulan orang-orang atau badan hukum, yang bertujuan untuk perbaikan sosial ekonomi anggotanya dengan memenuhi kebutuhan anggotanya dengan jalan berusaha bersama saling membantu antara yang satu dengan yang lainnya dengan cara membatasi keuntungan, usaha tersebut harus didasarkan prinsip-prinsip koperasi (Suwandi, 1982: 11). E.3 Strategi dalam Konteks Lembaga Strategi menurut Argyris (1985), Mintzberg (1979), Steiner dan Miner (1977), adalah respon secara terus menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi (Rangkuti, 1998:4). Ancaman eksternal yang dihadapi oleh koperasi berupa bencana erupsi Gunung Merapi. Koperasi perlu menindaklanjut dengan merencanakan berbagai upaya yang dapat dilakukan, guna mengurangi dampak dari ancaman yang diberikan. Hax dan Maljluf dalam Salusu (1996: 101), merumuskan strategi sebagai berikut: -
Suatu pola keputusan yang konsisten, menyatu, dan integral
-
Menentukan dan menampilkan tujuan organisasi dalam arti sasaran jangka panjang, program bertindak, dan prioritas alokasi sumber daya
-
Menyeleksi bidang yang digeluti dan akan digeluti organisasi
-
Mencoba mendapat keuntungan yang mempu bertahan lama dengan memberikan respon tetap terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal organisasi dan kekuatan serta kelemahan organisasi
-
Melibatkan semua tingkat hierarkis organisasi
Koperasi memiliki visi yaitu menjadi koperasi yang kuat, mandiri, profesional, yang memberikan peningkatan kesejahteraan bersama. Salah satu misinya adalah dengan komitmen yang kuat. Komitmen tersebut dapat dibuktikan dengan berbagai cara, salah satunya yaitu mempedulikan kemajuan dan hambatan yang dialami koperasi di dalam lingkungan internal maupun eksternalnya. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan merancang suatu strategi dengan melibatkan seluruh elemen dalam koperasi. Strategi itu ada karena interaksi antara koperasi dan anggota (struktur dan agen). Jadi, pihak koperasi dan anggota bekerja sama dalam merumuskan strategi yang dibuat sesuai dengan kesepakatan bersama. Jika strategi sudah dirancang dengan baik dan diterapkan dengan optimal, maka akan mudah bagi koperasi untuk mewujudkan visi yang telah dimilikinya. E.4 Siklus Manajemen Bencana Siklus manajemen bencana merupakan suatu rangkaian berupa tahapan-tahapan yang digunakan dalam menghadapi bencana dan bertujuan untuk mengurangi dampak kerugian. Berikut ini adalah model siklus dalam manajemen bencana.
Bagan I.2 Model Siklus Manajemen Bencana 4. PENANGANAN DARURAT
3. KESIAPSIAGAAN
Manajemen Krisis
BENCANA
5. REHABILITASI
Manajemen Resiko 2.
MITIGASI 6. 1. PENCEGAHAN
REKONSTRUKSI
7.PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Sumber: ( Wacana, Petrasa.2007. Bencana. Yogyakarta: Seminar Mitigasi Bencana) Langkah awal dalam manajemen bencana dengan pencegahan yaitu merupakan suatu upaya preventif dalam mengelola ancaman dan kerentanan dari risiko bencana dengan merumuskan berbagai cara dan upaya dengan membuat program-program, untuk mengurangi bahkan menghilangkan ancaman dan kerentanan penyebab risiko bencana. Berbagai jenis kerentanan, yaitu kerentanan fisik, kerentanan sosial, kerentanan ekonomi, dan kerentanan lingkungan. Kerentanan fisik dapat berupa infrastruktur yang menunjang usaha ternak sapi, seperti kandang sapi, tempat pengolahan dan pendinginan susu, dan kantor koperasi beserta aset. Kerentanan sosial seperti konflik yang terjadi akibat tidak tersentuh bantuan. Kerentanan ekonomi dengan pemasukan anggota yang berkurang, tidak adanya pendapatan yang aman bagi anggota,
dan tidak adanya jaminan sosial bagi mereka yang bekerja di sektor informal sehingga di antara mereka ada yang mendadak jatuh miskin setelah terjadi bencana. Kerentanan lingkungan yaitu rusaknya tanaman hijau yang dimanfaatkan anggota sebagai pakan sapi karena teracuni oleh abu vulkanik. Selanjutnya diperlukan adanya kegiatan mitigasi yang bertujuan untuk meminimalisasi dampak ancaman dalam tahapannya kegiatan mitigasi dilakukan ketika telah melakukan identifikasi ancaman dengan programprogram yang di prioritaskan untuk mengelola ancaman. Mitigasi Bencana menurut (Ramli, 2010: 13), terdapat berbagai pendekatan yaitu, pendekatan teknis, pendekatan manusia, dan pendekatan administratif. Pendekatan teknis diantaranya:
1) membuat rancangan bangunan yang kokoh, 2) membuat
material yang tahan terhadap bencana, 3) membuat rancangan teknis pengaman. Pendekatan manusia, ditujukan untuk membentuk karakter manusia yang paham dan sadar mengenai bahaya bencana, oleh karenanya perilaku dan pola hidup manusia harus dapat diperbaiki dengan kondisi lingkungan dan potensi bencana yang dihadpainya. Pendekatan administratif, yaitu 1) penyusunan tata ruang dan tata lahan yang memperhitungkan aspek resiko bencana, 2) sistem perizinan dengan memasukkan aspek analisa resiko bencana, 3) penerapan kajian bencana untuk setiap kegiatan dan industri bersiko tinggi, 4) menyiapkan prosedur tanggap darurat dan organisasi pelaksananya baik pemerintah maupun industri bersiko tinggi. Selanjutnya adalah kesiapsiagaan yang merupakan serangkaian kegiatan
yang
dilakukan
untuk
mengantisipasi
bencana
melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU No. 24 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat (7)). Upaya ini dilakukan ketika bencana erupsi Merapi sudah mulai mengancam, dan sudah siap dengan berbagai bekal yang ada juga menerapkan program-program yang dibuat sebelumnya, sehingga tidak akan terjadi kebingungan dalam menyelamatkan hewan ternaknya dan mengkhawatirkan kondisinya pasca bencana. Langkah selanjutnya adalah penanganan ketika bencana erupsi Gunung Merapi telah terjadi yaitu dilakukan dengan memberi peringatan dini dan tanggap darurat bencana. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat (anggota koperasi) tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang (UU No 24 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat (8)). Sedangkan Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, pelindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana (UU No. 24 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat (10)). Upaya dengan saling berkoordinasi dalam penanganan bencana sesuai program yang telah disiapkan dalam mitigasi bencana, seperti koordinasi dalam penyelamatan dan pengungsian hewan ternak beserta logistik. Rehabilitasi menjadi upaya tindak lanjut ketika bencana telah usai yaitu dengan melakukan perbaikan dan normalisasi di wilayah pasca bencana.
Melakukan sterilisasi lingkungan untuk melangsungkan kembali usaha ternak anggota. Selanjutnya diperlukan rekonstruksi untuk menunjang kegiatan usaha anggota dengan pembangunan kembali sarana prasarana yang mungkin saja rusak walaupun sudah dilakukan pencegahan, namun kerugian akan semakin kecil dan upaya rekonstruksi tidak perlu menghabiskan dana besar. Upaya terakhir dalam manajemen bencana yaitu perencanaan pembangunan. Perencanaan pembangunan dilakukan dengan upaya untuk mengurangi kerentanan pasca bencana bukan justru sebaliknya menambah kerentanan.