PERLAWANAN TERSAMAR ORGANISASI PETANI
Rubin and Rubin (2001) menggarisbawahi kontinuum lanjut dari bergabungnya banyak aktor dan banyak organisasi dalam melawan ketidakadilan dan ketimpangan akan melahirkan agenda gerakan sosial. Konsekuensi lanjut dari kontinuum tersebut adalah gagasan alternatif yang menggabungkan kepentingan ekonomi dengan analisis relasi sosial. Dalam hal ini, menjadi penting untuk melakukan analisis silang antara pendekatan modernisasi dengan kerangka Marxian yang kental konflik kelas dan penyadaran. Pada satu titik ada peluang bahwa organisasi komunitas dibangun dengan menggunakan variabel-variabel pembangunan namun dengan target kedaulatan petani dalam konteks perlawanan atas ketertindasan/ketimpangan yang menjadi point penting paradigma Marxian. Pemikiran neo-Marxian dalam hal ini ditempatkan pada posisi mengkaji faktor-faktor yang saling berkaitan dalam struktur masyarakat. Persoalan yang dihadapi petani adalah persoalan struktural yang harus dilihat dari integrasi tiga faktor yakni ekonomi, politik, dan ideologi. Dengan demikian, meminjam kerangka yang dikemukakan aliran ini, akan tampak bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat bersifat kompleks dan harus direspon dengan strategi yang integral dan holistik. Kontekstual masalah memerlukan respon yang tepat di tingkat petani. Analisis relasi kekuasaan yang tercipta di masyarakat memerlukan pendekatan pendekatan yang inovatif. Langkah ini terutama diperlukan untuk menghindari perlawanan yang lebih kuat dari perangkat keras dan perangkat lunak yang memarjinalkan petani. Meski dikemukakan bahwa musuh petani pada era setelah 1998 dinilai abstrak, namun kekuatan yang berada dibalik persoalan tersebut sangat kuat. Kondisi demikian memerlukan pertimbangan khusus tentang caracara perlawanan yang efektif. Secara teoritis perlawanan dapat dilakukan dengan cara yang halus, tanpa mengubah struktur yang ada, atau dengan cara dekonstruksi sosial. Perlawanan yang mempertahankan kemapanan dalam terminologi Scott (1993) dikenal dengan perlawanan tersembunyi, atau perlawanan dalam kepatuhan menurut Heryanto (2000). Sedangkan perlawanan dengan cara dekonstruksi dilakukan dengan
127
merombak struktur yang ada. Pola perlawanan yang dikembangkan oleh organisasi petani SPPQT tidak dilakukan dengan mengubah struktur yang ada, melainkan mempergunakan struktur yang ada dan menjadi bagian dari sistem tersebut untuk kemudian memperbaiki sistem dari dalam. Perlawanan dilakukan terhadap kemapanan yang ada dengan cara memperkuat aliansi dan menjadi bagian dari agenda negara. Isu pokok yang ditawarkan organisasi menjadikan gerakan ini tidak eksklusif, namun tetap dalam kerangka perlawanan yang diarahkan keluar dari mainstream umum yang berkembang. Kemapanan dalam pengertian SPPQT menjadi dasar landasan agar komunitas dap at tenang melakukan kegiatan produksi. Pertimbangan tersebut menghasilkan konsep IOF yang menjadi roh SPPQT. Konsep IOF dipilih agar petani dapat memanfaatkan potensi alam yang ada untuk mendukung terintegrasinya sumber-sumber kehidupan. Bahwa IOF kemudian menjadi gerakan perlawanan menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Gerakan perlawanan yang dikembangkan SPPQT merupakan basis melakukan dekonstruksi sosial. SPPQT dalam perkembangannya berupaya menghasilkan terciptanya gerakan baru dalam upaya pengembangan petani. Strategi alternatif tersebut lahir dalam bentuk people-center oriented dengan strategi CD. Menilik agenda dan langkah-langkah organisasi, terbaca bahwa gerakan perlawanan menjadi isu utama dan dilakukan dengan strategi membungkus langkah taktis dan strategis melalui kemandirian dan kebersamaan di tingkat internal organisasi. Perlawanan ditujukan terhadap paradigma pembangunan yang menjadi mainstream umum sekaligus terhadap ideologi kapitalis. Tanpa sadar, globalisasi dan kapitalisasi dianggap sebag ai budaya dan menafikkan tekanan struktural yang dilahirkan oleh kedua paham tersebut. Sebagai kekuatan besar, globalisme dan kapitalisme tidak mungkin dapat dilawan. Strategi yang dapat dilakukan dengan cara menghindar agar tidak terjebak kedalam jurang globalisme dan kapitalisme.
Gerakan Transformasi Petani Pengalaman sejarah memperlihatkan karakter organisasi petani yang hampir sebagian besar melibatkan aktor luar sebagai pendamping pembentukan
128
atau mempertahankan keberadaan organisasinya. Kondisi tersebut tak dapat dipungkiri merupakan bagian dari sifat dasar petani. Scott (1993) mengemukakan bahwa keterlibatan petani dalam sebuah gerakan sosial hanya dapat terjadi melalui perantara kelas-kelas bukan petani. Perlawanan petani lebih banyak terjadi dalam bentuk perlawanan sehari-hari yang belum sampai pada gerakan protes. Pola perlawanan yang dikembangkan tidak bersifat pencegahan melainkan pengobatan terhadap sebuah kondisi yang sudah terjadi. Ciri-ciri gerakan sosial seperti dikemukakan Harper (1989) memiliki organisasi-organisasi segmental yang bersaing untuk mendapatkan loyalitas dari para pengikutnya, proses penerimaan orang per orang dalam kelompok kecil, partisipasi dimotivasi oleh komitmen personal yang tinggi, gerakan berusaha membangun ideologinya sendiri serta gerakan biasanya membutuhkan oposisi sebagai tekanan eksternal untuk membantu menciptakan solidaritas dalam gerakan. Kajian teori klasik tentang gerakan sosial petani menunjukkan bahwa wujud gerakan sosial biasanya dalam bentuk pemberontakan petani yang lahir akibat tekanan struktural. Merujuk pada penggunaan teori klasik maupun kontemporer, tampak bahwa teori tentang petani dan perlawanan petani tidak cukup baik dapat menerangkan keterhubungannya dengan pembentukan organisasi. Petani sebagai entitas sosial khas dipengaruhi oleh institusi supra lokal dalam berbagai tingkat; lembaga swasta, pemerintah, dan aktor global. Hal ini menunjukkan bahwa petani mengalami keterhubungan dengan dunia luar sekaligus melakukan respon aktif terhadap aspek sosial, ekonomi maupun politik. Namun keterhubungan tersebut tidak membawa petani keluar dari situasi marjinal, melainkan lebih sering menjadi penyebab kekalahan petani dalam relasi sosial tersebut. Perkembangan menunjukkan bahwa di beberapa tempat telah tumbuh gerakan perlawanan petani dalam bingkai kerangka gerakan sosial. Dalam beberapa kajian klasik, disebutkan bahwa perlawanan petani lebih sering diwujudkan dalam gerakan -gerakan pemberontakan yang tidak tersistematisasi. Padahal, sebagai respon atas kond isi sosial yang ada, bentuk perlawanan sebaiknya merujuk pada konteks sosio -ekonomi dan politik di tingkat supra
129
lokal1. Dengan demikian, gerakan sosial atau perlawanan yang akan dikembangkan harus terlebih dahulu merujuk pada situasi yang muncul. Gerakan sosial dalam perkembangan lanjut menemukan perubahan konteks dan karakter akibat gejala baru neoliberalisme (Fauzi, 2005). Kajian tentang gerakan rakyat pedesaan di Negara Dunia Ketiga telah berubah dalam konteks, watak maupun moda aksinya. Kehadiran neo-liberalisme mematahkan potret “klasik” mengenai gerakan atau pemberontakan baik secara teoritik maupun empirik. Dalam kasus SPPQT, sikap kritis atas sistem kapitalisme global tidak luput dari fakta empirik implikasi sistem tersebut. Keterpurukan yang dihadapi komunitas Salatiga akibat persoalan ekonomi dan politik melahirkan gagasan transformatif melakukan ide-ide perlawanan. Pilihan perlawanan dalam bentuk organisasi berangkat dari kerangka fikir bahwa musuh utama memiliki jalinan kekuatan yang kokoh. Gambaran atas siapa musuh dan karakternya memaksa komunitas mendisain bentuk perlawanan yang sistematis. Kekuatan globalismekapitalisme yang turut mewarnai karakter pemerintah dalam aras lokal maupun nasional menuntut komunitas memilih strategi perlawanan yang tepat. Tepat dalam artian sesuai dengan karakter lawan sehingga perlawanan bisa efisien. Merujuk tulisan Fauzi (2005), karakter gerakan memerlukan syarat-syarat politik tertentu. Perkembangan konstelasi politik modern dalam kenyataannya seringkali memerlukan adaptasi pola gerakan. Itulah sebabnya aliran teoritik klasik tentang pemberontakan petani sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian. Bacaan syarat politik terhadap tumbuh kembangnya organisasi rakyat disikapi dengan kritis oleh petani. Jika Eldridge (1988) mengungkapkan tipe NGO dalam merespon kebijakan pembangunan, maka gerakan sosial baru yang berorientasi rakyat seyogyanya perlu menampilkan citra baru sebuah gerakan rakyat. Perlu ada strategi cerdas untuk menyamarkan perlawanan hingga terhindar dari resistensi pihak musuh. Sayangnya, tulisan Fauzi (2005) belum sampai membahas contoh gerakan petani dalam bentuk organisasi yang telah menyesuaikan dengan situasi musuh dan konstelasi politik yang kemudian berpengaruh terhadap pilihan jenis aksi. 1
Gambaran ini diungkapkan oleh Fauzi (2005) bahwa gerakan rakyat sebaiknya memiliki karakter khas sesuai dengan situasi yang dimusuhi, kesempatan politik yang dihadapi, dan pilihan jenis aksi kolektif yang mereka andalkan.
130
Tulisan tersebut baru sampai membahas bagaimana gerakan rakyat tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan jaman sehingga teori klasik gerakan petani tidak dapat menjelaskan fenomena tersebut. Dalam perkembangan kajian gerakan petani, penelitian ini melengkapi kondisi empiris gerakan petani di Indonesia sehingga melengkapi pemaparan Fauzi. Pada tataran empiris telah ditemukan strategi organisasi petani dalam menghadapi rezim yang ada dengan menggunakan strategi perlawanan tersamar. Dalam literatur yang membahas kajian gerakan sosial, dikemukakan bahwa kemunculan LSM pada kurun 70-an merupakan bentuk perhatian dalam usaha pengembangan masyarakat (community development) sebagai kritik “ketidakmerataan pembangunan” dan pencarian “strategi alternatif” atau “kebutuhan pokok” yang dapat menguntungkan mayoritas kaum miskin, Eldridge (1989). Sayangnya, sepak terjang LSM lebih banyak berakar pada kegiatan yang bersifat sementara. Korten kemudian melengkapi fakta empiris dengan membagi tipe NGO kedalam empat generasi2. Dalam konteks politik yang memerankan percaturan global, generasi keempat lebih memiliki peluang menjawab persoalan global. Perkembangan gerakan sosial menunjukkan strategi pengorganisasian petani yang dilakukan melalui tiga tahap yakni community development, community organization dan political community. Apabila dicermati lebih lanjut, karakter organisasi yang dibangun dengan menggunakan pendekatan diatas sesungguhnya merupakan pilihan atas metode yang diterapkan. Dua metode yang dikenal dalam terminologi perlawanan petani adalah metode radikal (diwujudkan dalam bentuk politik garis keras) dan metode dengan pendekatan yang lebih halus dengan cara membangun kemapanan organisasi terlebih dahulu. Pendekatan sasaran pencapaian tujuan organisasi juga dapat dipahami dari sudut pandang aras organisasi. Perlawanan dalam setiap aras organisasi harus dilakukan dengan melihat kebutuhan politik organisasi yang bersangkutan. Makin tinggi aras
2
Generasi pertama merupakan gerakan yang bersifat jangka pendek. Generasi kedua merupakan gerakan untuk membantu mengembangkan swadaya dari masyarakat yang dibantu. Pada generasi kedua ada upaya mengembangkan kesanggupan masyarakat untuk mengatasi sendiri kesulitannya. Generasi keempat menampilkan pertautan dengan konteks politik nasional karena membicarakan konsep atau ideologi atau strategi alternatif pembangunan dengan cara melakukan transformasi pembangunan.
131
organisasi, karakter perlawanan sebaiknya menjadi semakin abstrak. Kegiatan yang menjadi bagian dari agenda politik sebaiknya diarahkan pada perkembangan isu strategis yang mengarah dari kegiatan yang bersifat praxis, berkembang kearah kebijakan, sampai pada pilihan advokasi atau politik. Pada tataran empiris, penelitian yang dilakukan Firmansyah dkk (1999) menghasilkan point penting bahwa penyebab gerakan perlawanan dan tumbuhnya organisasi dapat dijelaskan melalui beberapa faktor: 1. pada dekade 1980-an, intensitas pembangunan yang gencar banyak mengandung konflik sehingga menempa gagasan dan bentuk pertahanan diri (perlawanan) yang kemudian memungkinkan petani untuk melakukan gerakan. 2. pada dekade ini terdapat satu persoalan besar yang selalu memunculkan situasi tegang yang berlangsung terus menerus, yang bersumber pada situasi dimana sebagian besar petani mengalami ketersingkiran politik dan hilangnya hak-hak dasar mereka atas tanah sebagai alat produksi (modal kerja petani). 3. dampak langsung pembangunan dan hegemoni negara mengacaukan berbagai sendi kehidupan petani. 4. kehadiran aktor-aktor yang terlibat secara langsung dalam pembelaan petani, sehingga semangat perlawanan tumbuh subur, pulihnya kepercayaan diri untuk melakukan gerakan karena ada teman 5. semangat untuk menumbuhkan organisasi, sebagai alat perjuangan, sehingga segala sumber daya dapat dikerahkan secara maksimal untuk mengatasi berbagai kendala dalam melakukan gerakan perlawanan, yang kadangkala bersifat teknis seperti dana. Dengan demikian pada dasarnya organisasi sebagai bagian gerakan sosial dapat dikatakan sebagai fenomena baru. Berbeda dengan pemberontakan atau perlawanan petani dalam kajian klasik yang tidak dilakukan melalui strategi yang tersistematisasi. Pertautan petani dengan konteks politik baik lokal, nasional, bahkan global memerlukan respon tersendiri di tingkat petani. Gerakan transformasi petani dengan demikian menuntut pengorganisasian di tingkat basis.
132
Mempertanyakan Secara Kritis Ideologi Pembangunan Pertanian Perbandingan
people-center
development
dan
production-center
development3 memberikan pemahaman bahwa people-center development dalam perkembangannya menjadi paradigma baru dalam gerakan perlawanan rakyat. Sejarah panjang pendekatan pembangunan memperlihatkan sampai saat ini pemerintah masih menerapkan paradigma production -center development. Hal ini tidak saja berlaku pada pembangunan secara makro melainkan juga pembangunan pertanian. Production-center development dengan segala sifat dan karakter4 yang melekat menciptakan ketergantungan petani terhadap program. Implikasi dari kondisi
tersebut
adalah
sistem
pasar
diciptakan
untuk
menciptakan
ketergantungan baru bagi petani. Orientasi pemerintah yang masih mengarah pada modernisasi tampaknya menjadi pemicu tetap digunakannya ukuran ekonomi dalam melihat keberhasilan pembangunan. Kritik terhadap mainstream pembangunan diarahkan pada ukuran ukuran ekonomi sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Kajian sosial menyumbang aspek sosial untuk pengukuran keberhasilan pembangunan. Tulisan Weede dan Tiefenbach (1981) secara gamblang mengungkapkan bahwa variabelvariabel sosial dapat digunakan untuk melihat keberhasilan pembangunan sekaligus sebagai variabel kontrol dalam mengukur pembangunan. Meskipun Weede dan Tiefenbach (1981) masih menggunakan ukuran ekonomi pada variabel kontrolnya, namun mereka juga berupaya menunjukkan bahwa variabel sosial ternyata memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia (Gambar 8). Dalam konteks tersebut, pengembangan komunitas akan lebih baik jika dilakukan pendekatan sosiologis disamping pendekatan ekologis dan ekonomis. Keterkaitan diantara ketiganya menunjukkan keterhubungan secara fungsional karena dipandang sebagai suatu sistem kelembagaan lokal yang berpengaruh terhadap kehidupan dan perkembangan komunitas. Analisis yang dikemukakan Weede dan Tiefenbach (1981) menunjukkan bahwa pada aras komunitas, penting melihat kajian kelembagaan dan modal sosial untuk menciptakan sebuah 3
Penjelasan gamblang terdapat di Bab VI Berorientasi pertumbuhan, mengutamakan komoditas, menggunakan pendekatan yang bias struktur masyarakat, dan lain-lain 4
133
pembangunan yang lebih bersifat bottom up. Oleh karenanya kelembagaan dan modal sosial menjadi penting dalam menganalisis pembangunan di aras komunitas. Ukuran -ukuran variabel sosial yang dimaksud misalnya organisasi sosial yang terbentuk, hubungan sosial, interaksi sosial, kelembagaan, dan sebagainya. Jadi sepanjang pembangunan dilakukan pada aras komunitas dan memperhatikan aspek/variabel sosial, maka pembangunan tersebut akan berhasil. Segera tampak bahwa aspek sosial menyumbang peranan yang besar dalam mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Hal ini mendukung gerakan yang berupaya mempertanyakan ideologi pembangunan. Bahwa pembangunan yang mengarah pada production-center development sudah tidak tepat diterapkan dalam konteks negara dimana gerakan rakyat mulai mengembangkan perlawanan. Persentuhan negara dengan faktor eksternal turut menyumbang berkembangnya arah transformasi masyarakat dalam dimensi yang lebih luas. People-Center Oriented Sebagai Agenda Utama Organisasi Belajar dari kesenjangan yang besar antara production dan people-center development, organisasi memandang perlu mengarahkan agendanya pada pencapaian kegiatan yang lebih mengutamakan anggota. Organisasi sebagai alat mencapai tujuan yang berciri people-center oriented
diperlukan untuk
meningkatkan rasa memiliki anggota terhadap organisasinya. Berdasarkan pertimbangan di atas, SPPQT mengembangkan simpul-simpul yang dibangun berdasarkan pendekatan administrasi dan kawasan. Untuk mendukung tujuan di atas, SPPQT kemudian menerapkan konsep community organizer dimana anggota yang bertindak sebagai community organizer harus bisa mempengaruhi masyarakat untuk berjuang di tingkat komunitas. Organisasi petani mengusung konsep bahwa desa harus menjadi wilayah otonom. Pengelolaan harus didasarkan atas kepentingan manusia yang mendiami wilayah desa tersebut. Upaya itu lebih pada harapan untuk menumbuhkan perasaan memiliki wilayah dalam diri petani. Ketika penguatan di tingkat desa sudah tercapai, maka apabila akan ditarik ke ranah politik menjadi lebih mudah. Serikat melakukan tugas dalam hal menganalisis akumulasi persoalan di tingkat desa untuk dicari solusinya melalui akses politik di tingkat pemerintahan yang
134
lebih luas. Itulah sebabnya dalam rumusan rencana strategi (renstra) perdes menempati prioritas. Perdes diarahkan pada bagaimana desa terlindungi secara hukum. Gerakan nyata harus dibangun di tingkat desa. Pilihan ini akan mampu melibatkan semua pihak yang ada di desa, baik lembaga formal maupun informal untuk bersama membangun desa. Gambaran bahwa desa dimiliki oleh komunitasnya harus dibangun sehingga keputusan berada di tangan kelembagaan lokal. Dinamika internal menghasilkan perkembangan yang agak berbeda tentang konsep community organizer. Konsep awal tidak menempatkan community organizer sebagai staf serikat. Community organizer sejatinya dimaknai sebagai leader community. Idenya adalah community organizer bekerja di komunitas dan bekerja bersama komunitas. Beruntung bahwa pada strategic planning (SP) 2004 posisi community organizer dikoreksi, dan community organizer dikembalikan ke komunitas. Community organizer harus menjadi sandaran komunitas, dan harus mengaktualisasikan dirinya di komunitas. Community organizer bukan kelembagaan melainkan pola pikir. Sebagai mainstream, keberadaan community organizer berimplikasi bahwa seluruh staf harus melakukan agenda pengorganisasian. Sebagai strategi baru dalam perlawanan, CD ala petani harus mempunyai rumusan pembagian tugas yang jelas. Terutama karena serikat memiliki jenjang organisasi dari mulai paguyuban hingga kelompok tani. Apabila dilihat struktur organisasi yang meliputi serikat-paguyuban-kelompok, pembagian tugas dapat dilakukan sebagai berikut; kebutuhan praktis dipenuhi di tingkat kelompok, paguyuban mengurusi kebijakan, sedangkan serikat menganalisis persoalan ideologi/gerakan yang harus dibangun. Mekanisme mentransformasikan gerakan dapat dilakukan
dengan
membawa petani pada diskusi tentang isu. Isu harus ditarik pada ideologi yang bisa mengarahkan pada gerakan perlawanan. Dalam hal ini paguyuban harus dewasa dalam membawa diskusi tentang isu. Paguyuban harus bisa merumuskan bagaimana mentransformasikan gerakan kepada kelompok melalui media tertentu. Kelompok menjadi saluran untuk membangun gerakan perlawanan yang berbasis lokalitas. Sebagai contoh kasus busung lapar. Isu ini harus didiskusikan hingga
135
sampai pada pemahaman ideologis. Penyadaran dengan basis isu dan ideologi akan lebih mengkonkritkan tindakan di tingkat petani. Jika pendekatan ini bisa dilakukan maka serikat berfungsi sebagai institusi yang memainkan isu. Di tingkat petani tidak harus setiap saat berkutat dengan isu. Petani harus dib iarkan mendiskusikan hal-hal konkrit menyangkut persoalan nyata dan tidak harus berkutat dengan isu ideologis. Pola transformasi ideologi dengan cara demikian dipandang membuat petani paham terhadap pihak yang harus dilawan sekaligus strategi yang dapat diterapkan. Perbedaan mendasar karakter organisasi dalam kerangka CD dan organisasi
dalam
kerangka
gerakan
ditinjau
dari
beberapa
mekanisme
pengorganisasian. Organisasi komunitas mengusung ideologi dasar bahwa mekanisme organisasi dibangun atas dasar keterlibatan seluruh anggota untuk berjuang
bersama
dalam
memecahkan
masalah
terutama
meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam membuat keputusan yang menyangkut kehidupan sosial. Organisasi komunitas terjadi ketika anggota saling memperkuat ikatan satu sama lain melalui penguatan jaringan sosial dan peningkatan kapasitas dalam menyelesaikan masalah. Prinsip dasar organisasi komunitas adalah pemberdayaan kolektif yang sedikit mengadopsi paradigma modernisasi. Terkait dengan ranah tanggung jawab antar aras organisasi, ada upaya membagi peran. Dalam tataran ideal, serikat lebih memikul tanggung jawab membangun opini yang pengejawantahannya dilakukan di tingkat kelompok dengan membangun kemandirian. Perjuangan serikat saat ini sedang dalam tahap memacu kemampuan petani berbicara. Upaya ini didasarkan pada pertimbangan agar gerakan tidak dikooptasi oleh golongan aktivis. Dengan demikian membentuk kecerdasan emosional petani menjadi agenda yang paling berat bagi serikat. Masih terkait dengan pembagian kerja, secara ideal serikat diharapkan mengkaji sesuatu yang bersifat global. Berbeda dengan tingkat paguyuban yang lebih memfokuskan pada kebijakan di tingkat menengah. Lain halnya pula dengan petani yang lebih bergerak pada pemenuhan basic needs. Merujuk pada AD/ART organisasi, jelas bahwa terdapat tingkatan menganalisis kondisi baik lokal maupun nasional. Pada tingkat serikat, dia harus menganalisis dan memonitor produksi nasional. Paguyuban harus menganalisis dan memonitor tingkat kecamatan dan
136
kabupaten. Tingkat kelompok tani diharapkan menganalisis tingkat desa, sedangkan individu menganalisis di tingkat keluarga. Membangun kesadaran melawan bersama didahului dengan pembacaan kontekstual. Dalam hal ini peran analisis sosial (ansos) menjadi sangat penting. Semangat perlawanan akan tumbuh ketika petani dihadapkan pada kenyataan bahwa ada masalah yang menyangkut ketersediaan bahan pangan mereka. Melalui ansos dapat ditunjukkan keterhubungan antara kemampuan sumberdaya dalam menampung kebutuhan hidup manusia. Persoalan sumberdaya menjadi pijakan analisis yang dianggap tepat. Ansos juga seringkali dilakukan dengan pendekatan bahwa dalam relasi sosial muncul pihak yang dikategorikan sebagai superordinat dan subordinat. Analisis bahwa golongan superordinat akan meng -eksploitasi golongan subordinat sekaligus sumberdaya alamnya menimbulkan respon tersendiri di kalangan petani. Pendekatan dominasi superordinat terhadap subordinat dilakukan untuk mengukuhkan keinginan kuat perlawanan. Namun demikian pertimbangan bahwa masalah produksi menjadi masalah utama memerlukan pola perlawanan yang menyandarkan kegiatan teknis produksi.
Agenda Besar Organisasi: Gerakan dan Mekanisme Pencapaian Realitas
empiris
menunjukkan
bahwa
petani
mengalami
kondisi
penindasan, ketimpangan sosial, ketidakberdayaan, dan ketidakadilan yang membelenggu kemampuan pengelolaan sumber daya yang ada. Fakta yang tampak adalah tidak adanya keberpihakan terhadap petani yang merupakan pemegang hak atas pengelolaan dan kontrol sumberdaya lokal, sebagai sumber penghidupan. Petani terbebani dengan kondisi alam yang tidak bersahabat akibat penggunaan teknik pertanian yang tidak ramah lingkungan dan sistem sosial yang cenderung eksploitatif. Dengan demikian perjuangan menjadi kebutuhan terutama dilihat dari aspek kultural maupun struktural sehingga kedepan dapat tercipta peradaban baru yang lebih manusiawi dan kepentingan strategis kaum tani dapat terlindungi dari berbagai bentuk penghisapan. Semangat yang dikembangkan adalah aksi dan refleksi sesuai dengan semangat dan tuntutan perkembangan jaman.
137
Tujuan besar organisasi seperti yang tercantum dalam Anggaran Dasar (AD) adalah mewujudkan masyarakat tani yang mampu mengelola dan mengontrol segala sumberdaya yang tersedia beserta seluruh potensinya sesuai dengan prinsip keadilan dan kelestarian lingkungan serta kesetaraan antara lakilaki dan perempuan. Akses dan kontrol yang diperjuangkan terkait dengan tanah sebagai alat produksi petani dan upaya penyediaan benih serta memperjuangkan kedaulatan masyarakat petani. SPPQT memiliki motto “siapa menguasai benih akan menguasai kehidupan” yang memicu harapan petani untuk terus maju. Kedaulatan petani menjadi ideologi penting dalam perlawanan ini. Kedaulatan yang dimaksud mencakup banyak dimensi, baik dalam kaitannya dengan persoalan produksi maupun partisipasi publik dan penentuan kebijakan. Kedaulatan petani dilakukan dengan cara membangun gerakan kultural yang dimaksud untuk melawan globalisasi, ketidakadilan dalam perdagangan, dominasi kapital oleh negara kaya, penguasaan teknologi demi keuntungan segelintir orang dan usaha-usaha kerusakan lingkungan yang memutus rantai kehidupan. Upaya mencapai semua itu dilakukan dengan memperkuat jaringan kerjasama perdagangan antar organisasi petani berbasis produksi setempat dan menggunakan teknologi dan budaya setempat dengan mempertimbangkan keadaan geografis. Langkah tersebut diyakini akan mempercepat tercapainya kedaulatan petani. Gerakan struktural juga dikembangkan terutama ketika merespon pola relasi yang berkembang. Kritik terhadap pola relasi yang tidak menguntungkan petani dilakukan sebagai bagian dari perlawanan. Perangkat keras dan perangkat lunak yang merugikan petani lebih banyak tercipta dari tidak adanya keberpihakan terhadap petani. Menilik karakter kegiatan demikian, pada dasarnya SPPQT menerapkan pola perlawanan yang sekaligus memberi peluang menjawab persoalan nyata di tingkat petani. Ide ini sekaligus dapat dikembangkan oleh organisasi berbasis konflik. Seringkali organisasi petani mandek dalam kegiatannya karena terlalu sarat dengan pertimbangan ideologis dan muatan perlawanan radikal. Kebutuhan petani jangka pendek seringkali tidak mendapat porsi perhatian. Itulah sebabnya banyak organisasi yang tidak berlanjut. Meski diawal karakter embrio organisasi menampakkan karakter organisasi CD, dalam perkembangannya, organisasi ini
138
lebih memiliki jiwa community organization (CO dalam pengertian organisasi yang dibangun oleh komunitas)5. Kegiatan yang dibangun berbasis pada ide bahwa kemandirian petani menjadi modal dasar perlawanan atas status quo dari pihak supra lokal. Perlawanan ini terselubung dalam jargon-jargon pembangunan sehingga ada sebuah ruang bagi organisasi petani untuk “lebih bebas” berkreatifitas dan mengambil inisiatif perlawanan. Pilihan ini memberi warna tersendiri bagi organisasi petani yang terbiasa dikelola dengan jalur protes dan mobilisasi massa dalam pendekatan radikal. Perlawanan yang dikembangkan oleh SPPQT dilakukan dengan mendobrak
kemapanan
yang
ada.
Strategi
yang
dikembangkan
adalah
memperkuat jaringan dengan cara membangun aliansi dalam kepentingan memperjuangkan agenda terbatas tetapi sedikit demi sedikit mempersiapkan “tandingan” bagi sistem yang telah ada. Kegiatan organisasi pada dasarnya menjadi bagian agenda Indonesia yang memperbaiki sistem dari dalam. Isu pluralisme yang dikembangkan oleh organisasi disinyalir menampilkan kesan bahwa gerakan yang dikembangkan organisasi bukan gerakan yang ekslusif.
Organisasi Petani Sebagai Perlawanan Petani Apabila ditelaah kesamaan antara organisasi sebelum kemerdekaan hingga era 1980-an menunjukkan bahwa gerakan dan organisasi bukan merupakan sesuatu yang otomatis. Ketiadaan hubungan antara perlawanan petani dengan pengorganisasian petani menimbulkan pertanyaan besar. Namun penelitian ini tidak sampai menjelaskan mengapa perlawanan petani pada masa awal tidak otomatis menimbulkan pengorganisasian. Penelitian ini lebih memfokuskan pada strategi petani dalam merespon konteks sosio -ekonomi politik yang kompleks sekaligus menemukan karakter perlawanan petani pasca 1998. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tipe perlawanan diposisikan dalam kondisi ekonomi sosial politik masa itu. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, organisasi petani yang betul-betul berangkat dari tingkat basis menjadi kajian yang menarik karena menyangkut manajemen petani dalam menghadapi permasalahan struktural. 5
Hollnsteiner (1979) mengemukakan perbedaan antara CD dan CO dengan sangat baik. Kesimpulan yang dikemukakan adalah CO lebih memiliki sifat dekat dengan kebutuhan anggota komunitas.
139
Pentingnya mengkaji kekuatan petani melalui pembentukan organisasi mulai dirasakan ketika memasuki masa krisis moneter dan terbukanya ruang politik bagi semua pihak. Pada masa reformasi, terbukti petani belum siap memanfaatkan moment yang ada sehingga era reformasi dilewatkan tanpa perjuangan yang berarti. Kesadaran membangun organisasi di tingkat basis didukung kenyataan bahwa peningkatan posisi tawar akan mampu dicapai jika dibangun kekuatan ditingkat basis. Dalam periode ini, beberapa organisasi petani mulai menajamkan fokus pada capacity building dengan mengembangkan kegiatan yang tidak semata-mata aksi dan demonstrasi. Kegiatan lebih difokuskan pada peningkatan kapasitas organisasi sebagai wahana perjuangan rakyat dalam rangka memperkuat kemandirian sesama rakyat marjinal dan membongkar status quo. Solidaritas organisasi dibangun dalam mendukung gerakan pemberdayaan petani secara lebih tersistematisasi. Tipe Musuh dan Pilihan Model Perlawanan Perbedaan perlawanan sebelum dan sesudah Tahun 1998 dapat dilihat dari sasaran perlawanan dan siapa yang dianggap musuh. Perlawanan sebelum Tahun 1998 ditujukan pada negara/pemerintah orde baru. Ada keinginan melakukan perlawanan politis. Perlawanan kemudian dilakukan melalui konsolidasi tingkat paguyuban dan kelompok tani, dengan menggunakan media pengajian atau kelompok yang telah berdiri sebelumnya. Perlawanan terhadap negara Orde baru
Perlawanan terhadap politik 1998
dan akses kontrol Advokasi yang dimulai dari kasus Senjoyo dan Damatex
Gambar 8. Perbedaan Tipe Perlawanan Sebelum 1998 dan Setelah 1998 Membedakan kurun waktu rezim pemerintahan menghasilkan perdebatan tentang jenis musuh yang harus dilawan petani. Pada masa orde baru, musuh yang tampak adalah negara. Namun, pasca orde baru keberadaan musuh menjadi abstrak karena negara bisa dikatakan tidak melakukan tindakan represif. Posisi negara dalam hal ini perlu dilihat secara kritis. Diskusi demikian mau tidak mau harus mempertautkan dengan konteks global. Sebagai contoh, selama ini
140
kebijakan pertanian hanya dimaknai sebagai kegiatan teknis produksi. Saat ini negara berada pada pihak yang berpotensi memarjinalkan petani, sebagai perpanjangan kapitalisme. Sebagai contoh adalah UU privatisasi air. Produk hukum tersebut terbit dalam kepentingannya memfasilitasi kepentingan kaum kapitalis. “ Apabila didefinisikan, maka musuh petani adalah perangkat keras dan perangkat lunak yang menstimulir upaya-upaya kapitalisasi. Perangkat keras dalam bentuk pemerintahan baik nasional maupun lokal bahkan global, sedangkan perangkat lunak meliputi produk hukum dan kebijakan”. (Wawancara dengan informan). Perbedaan pemahaman terhadap musuh masa lalu dengan masa kini menghasilkan strategi perlawanan yang berbeda. Pada masa lalu negara tampak sangat jelas memainkan peran sebagai musuh yang tidak memiliki keberpihakan terhadap petani. Negara berada pada posisi dengan ideologi yang berseberangan dengan masyarakat/petani bahkan seringkali bertindak represif. Berbeda dengan peran masa kini dimana negara tampak mengurangi tindakan kekerasan, bahkan dalam beberapa hal berupaya mengembangkan pemberdayaan komunitas. Namun kebijakan yang diterapkan tetap tidak berpihak pada petani. Negara banyak dikendalikan oleh kepentingan global, demikian juga dalam paradigma pembangunan pertanian. Karakter musuh terbukti melahirkan respon perlawanan yang berbeda. Pada masa lalu semua yang berbau pemerintah akan langsung dilawan. Saat ini strategi yang dikembangkan adalah SPPQT mulai masuk dalam pembahasan APBD dan masuk dalam ranah politik. SPPQT mulai ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan. Upaya yang saat ini dikembangkan adalah penguatan pola gerakan sebagai upaya mempengaruhi kebijakan lokal. Cara yang ditempuh adalah mendudukkan orientasi politik yang didukung dengan proses format ulang langkah -langkah taktis agar gerakan politik tidak salah. Organisasi mengambil bentuk CD dalam program dan pendekatannya sebagai respon atas tipe musuh yang ada. Strategi diarahkan pada akses polit ik yang diharapkan merembes pada kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi masyarakat memerlukan penyelesaian yang bersifat praktis/pragmatis. Kebutuhan ini harus segera dipenuhi. Perlu satu langkah agar perjuangan mencapai posisi tawar politik menguat tanpa mengabaikan keperluan
141
praktis di tingkat petani. Aspek praktis yang harus dijawab segera meliputi bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Hal ini dimaksudkan agar petani mempunyai daya tahan berjuang. Pendekatan dengan menggunakan aspek praktis dan persoalan nyata menjadi media bagi petani untuk tergabung dalam organisasi. Ketertarikan awal biasanya dimulai dari pembicaraan yang menyangkut persoalan yang berkaitan dengan mereka. Organisasi ada baiknya terlebih dulu membicarakan sesuatu yang bisa dengan segera menjawab persoalan petani ketimbang langsung ditarik pada aras pendidikan politik terlebih apabila diajak melakukan perlawanan. Posisi SPPQT saat ini pada tahap menjawab persoalan nyata petani dan belum sampai pada menjawab/mempertautkan mainstream perlawanan. Kesulitan di tingkat SPPQT adalah menyambungkan isu. Pertautan ideologi perlawanan belum sampai di tingkat kelompok tani. Karakter Perlawanan Model People-Center Oriented Berbagai literatur yang memaparkan tentang karakter dan sifat petani sampai pada kesimpulan bahwa organisasi dan petani merupakan sesuatu yang tidak
serta
merta
tersambungkan
(Scott,1993,1994,2000;
Wolf,1985;
Shanin,1971). Dalam hal ini diperlukan satu kiat khusus untuk mempertahankan keberlanjutan sebuah organisasi petani. Beberapa strategi yang bisa dijadikan pertimbangan menjaga keberlanjutan tersebut adalah awal pembentukan, alternatif kegiatan, dan strategi mencapai tujuan bersama. Pada kasus SPQQT, pembentukan organisasi lebih banyak memanfaatkan anggota dari organisasi tipe lama bentukan pemerintah. Dalam kajian ilmu penyuluhan, orang-orang demikian dikategorikan sebagai early adopter dan merupakan golongan masyarakat dengan pemikiran yang lebih maju. Dari sisi manajemen, golongan early adopter sudah memiliki kultur berorganisasi. Disamping memanfaatkan lembaga bentukan pemerintah, pembentukan organisasi juga dilakukan melalui organisasi lokal yang telah mapan, misalnya kelompok pengajian, arisan, gotong royong, ronda, dan lain-lain yang merupakan ciri khas organisasi lokal setempat. Strategi lain sebagai upaya mempertahankan keberadaan organisasi adalah memilih kegiatan yang dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh anggota. Kegiatan yang dekat dengan tujuan tersebut adalah kegiatan ekonomi produksi.
142
Kegiatan berbasis ekonomi produksi menjadi satu pilihan karena sederhana dan mudah dipahami dan lebih bersifat berbasis kepentingan. Seperti hal-nya kelompok petani perempuan, kelompok petani laki-laki pun mengembangkan kegiatan arisan atau simpan pinjam. Kegiatan ini lebih dianggap sebagai selingan bagi kegiatan produksi yang lebih banyak menghabiskan curahan waktu. Ketertarikan terhadap kegiatan pertanian didasarkan pada motivasi bertani sebagai sumber penghidupan. Karena alasan itulah, SPPQT memfasilitasi kegiatan anggota organisasi petani dengan teknik-teknik pertanian yang bermanfaat, misalnya pertanian organik, cara budidaya tanaman tertentu, pembibitan, dan lain lain tergantung kebutuhan dan konteks ekologi komunitas yang bersangkutan. Perlu diingat bahwa pola perlawanan berangkat dari masalah teknologi dan tata produksi. Perlawanan dengan menyandarkan pada prinsip CD dipilih dengan pertimbangan petani memerlukan strategi pengorganisasian dan pemberdayaan yang berkesinambungan. Strategi alternatif yang layak dipertimbangkan adalah menjadikan kegiatan organisasi sebagai bagian dari mainstream yang berkembang dalam konstelasi politik sehingga tidak menimbulkan resistensi yang kuat dari pemerintah. Disini diperlukan sebuah upaya mengadaptasikan norma-norma yang berkembang dalam ideologi negara untuk sampai pada tujuan organisasi yang lebih besar. Taktik “membunglon” diperlukan untuk mengambil hati pemerintah agar tidak menghalangi perjuangan yang sedang dilakukan. Membunglon disini diartikan sebagai bentuk adaptasi kultural dan struktural atas keinginan dan kepentingan politik negara yang cenderung ingin mempertahankan status quo. Beberapa contoh strategi di atas mendukung keberlangsungan keberadaan organisasi. Strategi ini cenderung bersifat lo kal dan sangat spesifik, dimana pilihan-pilihan akan kembali pada kontekstual wilayah. Kembali pada konteks lokal dan potensi kewilayahan akan mendukung eksistensi organisasi di tingkat basis. Pentingnya menengok konteks lokal dan potensi kewilayahan juga menjadi satu kebutuhan untuk dapat mengakomodir kebutuhan petani secara nyata. Ditilik dari skala nasional, ketika sebuah organisasi mendapatkan dukungan dari anggota, organisasi tersebut dianggap sebagai organisasi yang berbasis lokal sehingga berwibawa dimata pemerintah. Sama halnya dengan sekolah alternatif yang
143
dikembangkan oleh beberapa paguyuban dibawah SPPQT. Keberadaan sekolah alternatif ini lebih didasarkan pada kebutuhan pendidikan. Namun dalam perkembangannya, keberadaan sekolah alternatif ini menjadi alat ampuh perlawanan kapitalisasi pendidikan yang sedang marak. Keberadaan SPPQT dan organisasi di bawahnya merupakan sebuah upaya memindahkan perlawanan pada strategi alternatif dengan tujuan sama yakni membangun kekuatan di tingkat lokal dengan metode pendekatan yang berbeda. Bagi kebanyakan organisasi, metode yang dikembangkan adalah pendekatan radikal sehingga cenderung berbenturan dengan sikap resistensi birokrasi. SPPQT memindahkan pola perlawanan ke dalam sebuah bentuk lain yang lebih halus, dengan metode pengembangan organisasi yang lebih sesuai dimata pemerintah sehingga cenderung mendapat dukungan. Strategi ini bagi SPPQT merupakan pilihan alternatif dimana petani dipersiapkan untuk mandiri sekaligus membangun kekuatan perlawanan yang tersamarkan. Perlawanan dengan mengedepankan prinsip kemandirian meliputi beberapa ranah, diantaranya adalah pertama , kemandirian organisasi yang meliputi kesekretariatan/staf, paguyuban, dan kelompok. Kedua, kemandirian hakiki yang diupayakan dengan cara menghindari lembaga pemberi dana yang dapat menyebabkan ketergantungan. Ketiga, kemandirian rumah tangga/keluarga petani dalam hal produksi yang berarti pupuk dan benih dibuat sendiri. Konsep pemberdayaan yang utuh dilakukan dalam ranah ekonomi dan dianggap telah mencapai tingkatan yang paling tinggi jika sudah memiliki kontrol terhadap sumberdaya. Pada saat ini petani belum mampu sampai pada kontrol, bahkan akses pun belum utuh diperoleh. Menelusuri kegiatan organisasi dalam kerangka perlawanan, tampak bahwa perlawanan yang dikembangkan memiliki karakter yang lebih baru. Pilihan memperjuangkan people-center oriented sebagai paradigma baru yang diusung didekati dengan cara-cara persuasif. Dengan demikian, perlawanan tidak tampak sebaagi perlawanan. Taktik ini menguntungkan organisasi karena secara tidak langsung strategi ini menjaga keberlanjutan SPPQT sebagai organisasi rakyat atau organisasi komunitas.
144
Dengan demikian, agenda besar yang diusung organisasi adalah kemandirian dan kedaulatan petani. Pendekatan kegiatan yang diarahkan pada kemandirian memenuhi kebutuhan penyediaan sarana produksi sendiri dalam terminologi gerakan merupakan sebuah bentuk perlawanan. Ideologi dasar perlawanan yang dikembangkan adalah merubah mainstream pembangunan yang berorientasi production -center development menuju people-center development. Strategi organisasi yang dikembangkan dengan mengadopsi cara-cara yang biasa dilakukan pemerintah. Pendekatan kegiatan dan jaringan yang dikembangkan organisasi mengarah pada paradigma pertama. Paradigma kedua sebagai hasil akhir perlawanan merupakan antithesa paradigma pertama yang dilakukan dengan menggunakan strategi CD. Dalam banyak kasus, CD belum betul-betul melibatkan petani dalam pengambilan keputusan, berbeda dengan CO yang menempatkan petani sebagai subyek pembangunan. Perbandingan antara konsep WID dan WAD memperlihatkan bagaimana integrasi perempuan dalam pembangunan. Paralel dengan pengertian di atas, pola perlawanan yang dikembangkan oleh organisasi petani tidak dilakukan dengan mengubah struktur yang ada, melainkan mempergunakan struktur yang ada dan menjadi bagian dari sistem yang ada untuk kemudian mendorong perbaikan dari dalam. Strategi CD digunakan untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan setelah terlebih dahulu disesuaikan dengan konteks permasalahan yang dihadapi petani. CO sebagai wadah perjuangan turut mengarahkan pada upaya mencapai pembangunan pertanian yang berorientasi komunitas. Perlawanan tersamar sebagai gagasan alternatif tidak dengan otomatis bisa diterapkan pada seluruh tipe organisasi. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa organisasi muncul dilatarbelakangi oleh konteks situasional komunitas. Implikasinya adalah akan ada perbedaan karakter organisasi yang lahir dari persoalan yang dihadapi oleh komunitas yang bersangkutan. Perbedaan persoalan ini yang menyebabkan organisasi memiliki tampilan yang berbeda satu sama lain. Sebagai sebuah gagasan teoritis, perlawanan tersamar bisa diadopsi melalui tahap adaptasi dengan terlebih dahulu menyesuaikan dengan konteks masyarakat dimana organisasi dibangun.
145
Konsep yang lahir dari penelitian ini adalah “perlawanan tersamar” sebagai sebuah adaptasi terhadap perkembangan tipe musuh. Ketika politik dan negara tidak bisa dipisahkan, maka akan terjadi adu kekuatan antara berbagai pihak. Langkah memilih bentuk organisasi yang tersistematisasi dengan demikian menjadi pilihan tepat mengacu pada karakter lawan. Perlawanan tersamar merupakan model gabungan antara mempertahankan kemapanan sosial dan upaya melakukan dekonstruksi sosial. Perlawanan tersamar mengindikasikan pilihan strategi perlawanan yang disamarkan oleh organisasi untuk mencapai agenda organisasi. Namun demikian perlawanan tersamar tidak merujuk pada tersamarnya agenda organisasi, dengan kata lain perlawanan tersamar tidak sejajar dengan agenda tersembunyi. Pengorganisasian yang diterapkan oleh organisasi petani berangkat dari prinsip -prinsip perlawanan dalam kerangka gerakan yang dibungkus dengan pendekatan production-center oriented. Melawan dilakukan di bawah payung slogan-slogan pembangunan pemerintah sambil mendefinisikan kembali slogan tersebut kedalam pengertian paradigma yang lebih berorientasi pada people-center oriented. Model pembentukan organisasi yang menggunakan jargon-jargon
pembangunan
sekilas
mencerminkan tipe organisasi yang
memenuhi kepentingan pemerintah. Namun bagi organisasi, model perlawanan demikian merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan konteks politik negara. People-center oriented yang sedang diperjuangkan merupakan kritik atas pembangunan yang lebih berorientasi pada production-center development. Pengorganisasian yang diterapkan oleh organisasi petani berangkat dari prinsip prinsip perlawanan dalam kerangka gerakan yang dibungkus dengan pendekatan production-center oriented. Melawan dilakukan di bawah payung slogan -slogan pembangunan pemerintah sambil mendefinisikan kembali slogan tersebut kedalam pengertian paradigma yang lebih berorientasi pada people-center oriented.