PERLAWANAN TERSAMAR ORGANISASI PETANI (Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani)
HERU PURWANDARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER TULISAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perlawanan Tersamar Organisasi Petani: Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tesis ini dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2006
Heru Purwandari NIM: A152030071
ABSTRAK HERU PURWANDARI. Perlawanan Tersamar Organisasi Petani: Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani. Dibawah bimbingan LALA M. KOLOPAKING, sebagai ketua komisi dan FREDIAN TONNY sebagai anggota. Terbentuknya organisasi petani seringkali merupakan wujud respon petani terhadap kondisi ekonomi, sosial dan politik yang dihadapi. Disadari bahwa pilihan paradigma pembangunan sebuah rezim pemerintah pada faktanya turut menyumbang hambatan struktural pengorganisasian petani di tingkat komunitas. Namun demikian adakalanya muncul organisasi petani yang tetap bertahan dalam tekanan struktural yang ada. Respon atas masalah tersebut dikembangkan melalui pengorganisasian dengan menerapkan karakter organisasi yang unik sesuai dengan konteks sosio-ekonomi dan politik dan karakter pemerintah. Untuk memahami karakter organisasi petani dan strategi yang dikembangkan dalam menghadapi permasalahan sosial, ekonomi dan politik diperlukan rumusan pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian diarahkan pada pertama, bagaimana, mengapa dan dalam kondisi apakah organisasi petani terbentuk; kedua, karakter pengorganisasian petani; dan ketiga, karakter perlawanan petani. Tujuan studi ini adalah memahami perkembangan gerakan rakyat yang diartikulasikan melalui pembentukan organisasi. Konteks gerakan sosial tampak menonjol dalam penelitian ini. Melalui gambaran tersebut, dapat dipahami proses dinamika petani pada komunitasnya ketika dihadapkan pada kepentingan supra lokal, bahkan kepentingan global. Pemahaman karakter organisasi petani menjadi dasar menganalisis karakter perlawanan petani dalam merespon situasi/permasalahan yang ada. Gambaran realitas sosial dianalisis dengan menggunakan teori kritis dalam ranah interpretatif-kritis. Dalam paradigma kritis, pilihan ini merupakan pilihan metodologis. Dengan dukungan teoritis, secara kritis realitas sosial ditarik pada satu kesimpulan yang berupaya memahami makna dibalik realitas/fenomena sosial. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan tiga alur kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data. Petani sebagai entitas sosial dihadapkan pada tekanan struktural yang menghambat gerakan transformasi sosial. Ketertindasan petani yang dialami dalam bidang sosio -ekonomi dan politik memberikan peluan g terbentuknya organisasi. Kompleksitas masalah yang dihadapi petani dalam fase tertentu sampai pada upaya pengorganisasian petani. Dalam hal ini konteks sosio -ekonomi dan politik bersifat sebagai kendala berorganisasi disatu sisi, dan tampak mendominasi alasan pembentukan organisasi petani disisi lain. Aspek penting pembentukan organisasi terkait erat dengan upaya memperkuat posisi dan kedudukan petani. Menilik permasalahan yang muncul, wajar ketika respon diwujudkan dalam pilihan karakter organisasi. Tidak heran ketika pendekatan yang dikembangkan oleh organisasi petani adalah strategi pengembangan komunitas (CD). Permasalahan petani yang lebih banyak meliputi permasalahan ekonomi menuntut bentuk organisasi yang dapat mengakomodir kebutuhan tersebut. Muatan respon atas pola relasi yang eksploitatif harus dikompromikan dengan kebutuhan yang bersifat praktis. Ciri organisasi produksi yang lebih
mengarah pada production center oriented merupakan respon organisasi atas permasalahan nyata petani. Pilihan strategi diatas sejatinya dimaksudkan untuk menghindari resistensi dari pemerintah. Production-center development telah menjadi paradigma pembangunan selama 30 tahun terakhir. Kritik terhadap paradigma di atas lahir dalam bentuk pendekatan CD. Sayangnya CD menciptakan ketergantungan pada struktur elit dan program, adanya dominasi elit serta upaya mengintegrasikan petani menuju kapitalis yang tinggi. Disamping itu, CD bersifat mempertahankan kestabilan komunitas dan menghindari adanya perubahan sosial dan gerakan sosial. Melihat kenyataan demikian, organisasi petani yang dijadikan studi kasus mengembangkan paradigma baru pengembangan komunitas yang lebih berparadigma people-center development. Upaya ini dilakukan dengan cara membangun kemandirian dan kedaulatan pet ani. Dalam prakteknya, pilihan paradigma people-center development dilakukan dengan strategi community development. Perbedaan CD awal dengan CD sebagai strategi yang mengarah pada people-center development terletak pada dampak yang dihasilkan. CD sebagai strategi tidak menciptakan ketergantungan melainkan berupaya memperjuangkan akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang ada. Gambaran di atas sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa petani berupaya mencari cara-cara tertentu untuk dapat mencapai tujuan organisasi. Perlawanan terhadap paradigma yang berkembang dilakukan dengan menggunakan taktik tersamar. Perlawanan tersamar ini mengindikasikan strategi terselubung yang digunakan petani untuk mencapai agenda organisasi. Perlawanan tersamar merupakan model gabungan antara mempertahankan kemapanan sosial dan upaya melakukan dekonstruksi sosial. Melawan dilakukan di bawah payung slogan-slogan pembangunan pemerintah sambil mendefinisikan kembali slogan tersebut kedalam pengertian paradigma yang lebih berorientasi pada people-center oriented Key words: Perlawanan Tersamar, Gerakan Sosial Petani, Organisasi Petani, People-Center Oriented
ABSTRACT HERU PURWANDARI. A Disguised Resistence of Farmer Organization: Understanding Farmer Social Movement. Under the advisory of: LALA M. KOLOPAKING, as the head of commision and FREDIAN TONNY, as a member. The establishment of farmer organization usually represents farmer’s response to the economic, social and politic al condition they faced. It is known that the government regime’s development paradigm, in fact, contributes to set a structural barrier in organizing the farmers at a community level. However, sometimes there are farmer organizations that still exist amidst the structural pressures. The response to that problem is developed through organizing, by applying a unique organization character that conforms to socio-economic and political context of the state. In order to understand such character as well as the strategy of farmer organization, a research question is needed. The research question is directed to; first how, why and in what condition that the farmer organization is established; second farmer organization character; and third farmer resistance character. The aim of th is study is to understand the development of people movement that is articulated trough the formation of organization. Social movement context is clearly emphasized in this research. From such description, it can be understood farmer dynamics in their community when they are faced supra local interest or even global interest. An understanding toward farmer organization character serves as a basis in analy zing the character of farmer’s resistance in response to the situation/problems. The social reality is analyzed using critical theory in the interpretativecritical domain. In the critical paradigm, this choice is a methodological choice. With this theoretical support, social reality is concluded within an effort to understand the meaning behind the social reality or social phenomenon itself. Data is analyzed using three-way activity, i.e.: data reduction, presentation, and conclusion or data verification. Farmer as a social entity is faced to a structural pressure that obstructs the social transformation movement. Farmer oppression in the socio economic and politic al condition gives an opportunity to form an organization. The complexity of farmers’ problems –at a certain level- is reaching a stage where farmer organizing is needed. In that case, socio economic and politic al context hindered the organizing effort in one side, but on the other side it also dominated the reason of the farmer’s organization formation. The important aspect of the organization formation is the effort to strengthen farmers’ position and status. Referring to the problems, it is only natural that the farmers’ response is manifested in the choice of organization’s character. Therefore, it is no wonder that the farmer is approaching with a community development (CD) strategy. Farmer problem that mostly is economic one, demand a form of organization that is able to accommodate such need. A respond to exploitative relation is loaded with a compromise to practical needs. The character of production organization that is directed to the production center orientation is a response to the real problems.
The above strategy is chosen, basically, to prevent a resistance from the government. Production oriented development have become the development ideology for the last 30 years. A critique toward this paradigm is community development (CD) approach. Unfortunately, CD creates dependency to the elite structure and program, elite domination and effort to integrate farmer to high capitalistic condition. Besides that problem, CD maintains community stability and avoid s social change and movement. Looking to this fact, farmer organization that became a case study develops a new paradigm for the community development, which more adhere to the people center development. This effort is manifested by establishing a self govern, farmer authority. In practic e, the choice of people center development paradigm is manifested in community development strategy. The difference between the earlier CD with the CD as the strategy that oriented to the people center development lies on the result. CD as the strategy is not resulting dependency, but achieving an access and control to the resources. The explanation above intents to show that farmer is achieving certain ways to reach organization goals. A resistance to a dominating paradigm is done through a hidden tactic. This disguised resistance indicates a hidden strategy that is used by the farmers to reach organization agenda. The disguised resistance is a model of alliance between maintaining social existence and the effort to a social deconstruction. Resistance has been done under the government development propaganda while doing the redefinition of the propaganda into a more oriented people center paradigm.
Key words: Disguised Resistance, Organization, People-Center Oriented
Farmer
Social
Movement,
Farmer
PERLAWANAN TERSAMAR ORGANISASI PETANI (Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani)
HERU PURWANDARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis Nama NIM Program Studi
: Perlawanan Tersamar Organisasi Petani: Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani : Heru Purwandari : A152030071 : Sosiologi Pedesaan
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Fredian Tonny, MS. Anggota
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS. Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. MT. Felix Sitorus, MS.
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian: 21 Desember 2005
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bantul, 24 Mei 1979 sebagai putri pertama dari keluarga Bapak Ngadiman dan Ibu Muji Kartini. Kehidupan penulis semasa kecil dihabiskan di Bogor bersama orang tua dan tiga orang adik. Pendidikan sarjana ditempuh pada program studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Ju rusan Sosial Ekonomi Pertanian - IPB dan tamat pada tahun 2000. Atas dukungan Pusat Kajian Agraria (PKA-IPB), pada tahun 2003 melanjutkan pendidikan magister sains pada program studi Sosiologi Pedesaan dan di semester ke-3 memperoleh beasiswa BPPS dari DIKTI. Ketertarikan penulis pada dunia riset mengantarkannya pada aktivitas penelitian. Persinggungan dengan kerja riset telah dimulai sejak penulis masih berada di bangku kuliah. Sejak tahun 2002 penulis tercatat sebagai peneliti pada Pusat Kajian Agraria-IPB dan telah melakukan penelitian yang terkait dengan tema-tema agraria. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan diantaranya adalah Analisis Kebijakan Pertanahan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional, Pengkajian Pemberdayaan Ketahanan Pangan Masyarakat, Negotiating Land Rights and Natural Resource Regulations for Local People:The Role & Effectiveness of Federations, The Importance of Agrarian Issues in Addresing the Climate Change: The Case Study of Peat Land Rehabilitation in Jambi, dan lainlain. Keinginan selalu memperbarui ilmu pengetahuan membawa penulis pada kegiatan mengajar dan asisten pada beberapa mata kuliah. Semasa tingkat ke dua kuliah S1 penulis menjadi asisten Sosiologi Umum selama dua semester. Kemudian pada tahun 2002-2005 mengajar mata kuliah Ekologi Pertanian dan Kepemimpinan dalam Bisnis pada program D3 Sosek -Pertanian serta Sosiologi Agraria pada program studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM). Perkenalan dengan dunia gerakan dimulai ketika penulis melakukan penelitian panjang tentang organisasi petani bersama PKA-IPB dan sejak saat itu memfokuskan perhatian pada gerakan sosial masyarakat petani dalam kerangka agenda pembaruan desa dan agraria. Harapan kedepan tentang agen da pembaruan adalah memberikan kerja yang bermakna sebagai sumbangsih bagi tercapainya transformasi sosial. Semoga penulis mampu mengabdikan diri sebagai seorang intelektual organik.
PRAKATA Hanya karena ijin Allah SWT tesis ini selesai pada waktunya. Alhamdulillahirobbil’alamiin. Tesis ini mengambil tema gerakan petani dengan judul Perlawanan Tersamar Organisasi Petani: Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani. Disadari oleh penulis bahwa tesis ini diselesaikan dalam masa-masa paling sulit kehidupan penulis. Hanya kesabaran yang menjadi kunci selesainya tesis ini. Terimakasih disampaikan kepada dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing penulis hingga sampai pada tahap akhir penulisan tesis. Dr Lala M. Kolopaking atas kepercayaan serta arahan bagi perbaikan dan penyempurnaan kerangka analisis dan Ir. Fredian Tonny, MS atas diskusi-diskusi yang selalu baru dan berarti dalam pengembangan tesis. Terimakasih juga disampaikan kepada Pusat Kajian Agraria (PKA-IPB) yang memberi kesempatan penulis untuk terlibat dalam penelitian organisasi petani sekaligus dukungan ketersediaan dana penelitian lapang. Kerja keras ini tidak akan terwujud tanpa motivasi dan dorongan pihak -pihak yang memiliki ketertarikan terhadap isu gerakan petani dimana masing-masing menyumbang hal yang berbeda bagi tesis ini, diantaranya adalah: 1. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc sebagai dosen penguji. Terimakasih atas kesediaan waktu dan masukan yang sangat berharga bagi kesempurnaan tesis 2. Dr. Satyawan Sunito atas diskusi intensif yang selalu membuka wawasan penulis melihat sisi lain dari gerakan petani di Indonesia 3. Peneliti senior dan yunior di Pusat Kajian Agraria-IPB atas pengalaman yang berharga dalam mengembangkan sebuah penelitian, juga Pak Januar atas dukungan teknisnya 4. Rekan SPD-IPB angkatan 2003 atas kebersamaan sepanjang perkuliahan (Rokhani, Taya Toru, Witrianto, Jean, Purnomo, Jeter, Rita, Agustina, Pardamean, dan Sofyan) 5. Kawan-kawan di Salatiga, petani maupun aktivis organisasi 6. Kawan-kawan LAPERA (Mas Himawan, Kang Tukir, Ilyus, dll) atas dukungannya Dari sudut hati yang paling dalam, dengan penuh cinta kasih penulis menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua atas dukungan moril, pengorb anan, dan pengertian atas keterlambatan tesis ini serta adik -adikku (Lisa, Alit, Wahyu) yang selalu membuat penulis merasa berarti. Juga Mas Adi dan keluarga, terimakasih untuk pengertiannya. Semoga tesis ini berguna bagi kerja pembaruan.
Bogor, Januari 2006
Heru Purwandari
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xv PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................................. 1 Rumusan Masalah ........................................................................................ 5 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5 Kegunaan Penelitian .................................................................................... 5 TINJAUAN TEORITIS Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 7 Petani: Sebuah Entitas Sosial Khas ..................................................... 7 Gerakan Sosial: Sejarah, Perkembangan dan Mekanisme ............... 10 Perlawanan Petani ............................................................................ 16 Organisasi Petani: Respon Petani atas Kondisi Sosio -Ekonomi Politik ............................................................................................... 21 Hipotesis Pengarah .................................................................................... 32 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 33 PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian ..................................................................................... 36 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 37 Unit Analisis dan Teknik Penentuan Subyek Penelitian ........................... 38 Teknik Pengambilan Data ......................................................................... 39 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...................................................... 41 Sistematika Penulisan ................................................................................ 42 KENDALA STRUKTURAL PETANI DALAM BERORGANISASI Konteks Ekonomi-Politik Sebagai Kendala Berorganisasi........................ 46 Perjalanan Era Politik Soeharto hingga Neoliberalisme ................... 48 Kebijakan dalam Konteks Global ..................................................... 54 Konteks Ekonomi-Politik Sebagai Peluang Berorganisasi ....................... 56 Faktor Religi dan Kemunculan Sikap Progresif ................................ 58 Era Politik Reformasi Hingga Politik Kerakyatan ............................ 60 Konteks Ekonomi dan Politik Melahirk an Pilihan Bentuk Organisasi ...... 62 SPPQT Sebagai Organisasi Produksi dengan Ciri Production-Center Development ...................................................................................... 66 Apa dan Mengapa Organisasi Produksi ............................................. 67 Ikhtisar ........................................................................................................ 72
KARAKTERISTIK ORGANISASI PRODUKSI SPPQT Sebagai Organisasi Rakyat ........................................................... 76 Selayang Pandang Organisasi Petani “SPPQT” ................................ 77 Kajian Embrio Organisasi ................................................................. 81 Pola Pengorganisasian yang Dikembangkan ..................................... 83 Keterkaitan Antar Aras Organisasi ................................................... 88 Kegiatan Organisasi .................................................................................. 91 Pilihan Kegiatan Sebagai Upaya Mencapai Tujuan .......................... 92 Penguatan Kapasitas Organisasi: Pertarungan antar Orientasi Kepentingan ...................................................................................... 98 Jaringan Antar Aktor ....................................................................... 101 Ikhtisar ..................................................................................................... 104 PEOPLE-CENTER ORIENTED: PILIHAN GERAKAN Mainstream Umum Paradigma Pembangunan Pertanian ........................ 108 Production-Center Oriented dan Dampaknya ................................ 110 Strategi Organisasi Petani ....................................................................... 112 Adopsi Atas Production-Center Oriented ....................................... 114 Momentum Strategi Community Development ................................ 116 Community Development untuk Kemandirian ................................ 118 Dari Production ke People-Center Oriented .......................................... 119 Production dan People-Center Oriented : Sebuah Perbandingan ... 120 Ikhtisar ..................................................................................................... 124 PERLAWANAN TERSAMAR ORGANISASI PETANI Gerakan Transformasi Petani................................................................... 127 Mempertanyakan Secara Kritis Paradigma Pembangunan Pertanian .......................................................................................... 132 People-Center Oriented Sebagai Agenda Utama Organisasi ......... 133 Agenda Besar Organisasi: Gerakan dan Mekanisme Pencapaian ........... 136 Organisasi Petani Sebagai Perlawanan Petani ........................................ 138 Tipe Musuh dan Pilihan Model Perlawanan ................................... 139 Karakter Perlawanan Model People-Center Oriented ................... 141 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan ............................................................................................. 146 Implikasi Kebijakan ................................................................................ 149 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 151 LAMPIRAN .................................................................................................... 155
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Matriks Tipe Gerakan Sosial ........................................................................ 14
2.
Matriks Tipe Gerakan Sosial Menurut Aliran Neo-Marxian Perancis ......... 16
3.
Perbedaan Ciri Organisasi Anggota Serikat Sebelum dan Sesudah Tahun 1998 ................................................................................................... 75
4.
Pilihan Penelusuran Paguyuban dan Kelompok Petani ............................... 77
5.
Sebaran Anggota SPPQT Berdasarkan Kawasan ......................................... 86
6.
Perbedaan Ciri Organisasi Tiap Aras ........................................................... 89
7.
Perbandingan Community Organization dan Community Development .... 122
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Matriks Kebutuhan Data ............................................................................ 156
2.
Panduan Pertanyaan Wawancara Paguyuban ............................................. 157
3.
Kuesioner Terbuka ..................................................................................... 159
4.
Peta Lokasi SPPQT di Salatiga, Jawa Tengah ........................................... 162
5.
Peta Persebaran Anggota Organisasi Petani ............................................... 163
6.
Kerangka Kerja SPPQT Sampai Tahun 2004 ............................................ 164
7.
Kegiatan SPPQT per Divisi dan Capaian Target Tahun 2004 ................... 168
8.
Partisipasi dalam Teori dan Praktek Pembangunan ................................... 176
9.
Pengalaman dalam Proses Pengumpulan Data di Lapangan ...................... 177
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka Pemikiran dalam Pendekatan Masalah ........................................ 34
2.
Tahapan Proses Pembentukan dan Pilihan Strategi Pendekatan .................. 65
3.
Alur Perkembangan Embrio SPPQT ............................................................ 83
4.
Perkembangan Sejarah SPPQT .................................................................. 105
5.
Revolusi Hijau dalam Kerangka Paradigma Developmentalisme ............. 111
6.
Momentum Community Organizing dan Community Development .......... 116
7.
Pertarungan Paradigma Pembangunan Pertanian dalam Merespon Permasalahan Petani .................................................................. 125
8.
Perbedaan Tipe Perlawanan Sebelum 1998 dan Setelah 1998 ................... 139
DAFTAR SINGKATAN
AD ADB APBD ART Aswaja BPD BTI BUMN CD CO Depdiknas DPD FGD GDP GNP GNRHL HAM HGU HKTI IMF IOF IPB JSTS KCK KK KPA KTH KTNA KUB KUD LBH LSM NADIKA NGO NU Perdes PERTANU
Anggaran Dasar Asian Development Bank Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Rumah Tangga Ahlussunah wal Jamaah Badan Perwakilan Desa Barisan Tani Indonesia Badan Usaha Milik Negara Community Development Community Organization Departemen Pendidikan Nasional Dewan Perwakilan Daerah Focus Group Discussion Gross Development Product Gross National Product Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Hak Asasi Manusia Hak Guna Usaha Himpunan Kerukunan Tani Indonesia International Monetery Fund Integrated Organic Farming Institut Pertanian Bogor Jaringan Studi Transformasi sosial Koperasi Candak Kulak kepala Keluarga Konsorsium Pembaruan Agraria Kelompok Tani Hutan Kelompok Tani Nelayan Andalan Kelompok Usaha Bersama Koperasi Unit Desa Lembaga Bantuan Hukum Lembaga Swadaya Masyarakat Nadwah Dirosah Islam Kemasyarakatan Non Government Organization Nahdlatul Ulama Peraturan Desa Persatuan Tani Nahdlatul Ulama
PHBM PKA PKI PKK Poktan PPL PRA SDA SK SP SPPQT TKI TKW TNC’s TNMM UU UUPA WAD WID WTO YDM
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Pusat Kajian Agraria Partai Komunis Indonesia Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga Kelompok Tani Petugas Penyuluh Lapang Participatory Rural Appraisal Sumberdaya Alam Surat Keputusan Strategic Planning Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah Tenaga Kerja Indonesia Tenaga Kerja Wanita Trans-national Corporations Taman Nasional Merapi-Merbabu Undang-Undang Undang Undang Pokok Agraria Woman And Development Woman In Development World Trade Organization Yayasan Desaku Maju
xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang Posisi tawar petani terhadap pemerintah atau swasta akan lebih kuat ketika kelembagaan dibangun di tingkat komunitas. Berangkat dari pernyataan di atas, pengorganisasian petani menjadi sebuah keharusan untuk mengantarkan petani pada posisi yang lebih setara. Kajian historis tentang petani dan organisasi menunjukkan bahwa keduanya tidak dengan mudah dicari keterkaitan analisis. Penelitian memfokuskan pada keterkaitan diantara dua konsep tersebut. Peluang keterhubungan dapat muncul ketika petani menghadapi kondisi yang memicu proses pengorganisasian petani. Berbagai tulisan yang melukiskan sejarah gerakan sosial pedesaan, khususnya gerakan petani, telah berupaya mencari penjelasan rasional tentang latar belakang munculnya gerakan petani. Mengapa petani pedesaan yang jauh tinggal di wilayah pedalaman dan hidup bersahaja menjadi kelas sosial yang sangat gigih dan tak henti-hentinya melakukan gerakan perlawanan terhadap sistem kekuasaan (Bahari, 2002). Beberapa studi yang pernah dilakukan oleh Scott (1993) dan Popkin (1986) di pedesaan Asia mengenai gerakan petani di masa kolonial, menunjukkan tiga faktor utama yang menimbulkan kemarahan kaum petani pedesaan, yaitu perubahan struktur agraria, meningkatnya eksploitasi, dan kemerosotan status sosial. Sebagai respon atas permasalahan struktural, masing-masing komunitas mengembangkan strategi yang berbeda. Perkembangan terbaru menunjukkan salah satu strategi yang dikembangkan adalah pembentukan organisasi petani. Dalam kajian organisasi petani, perbedaan bentuk dan strategi organisasi terkait dengan konteks struktur masyarakat dan permasalahan yang dihadapi. Sisi lain yang perlu dilihat adalah berbagai kebijakan pemerintah dalam hal ekonomi dan politik yang berakibat pada marjinalisasi petan i. Faktor ini dapat menjadi penyebab terbentuknya organisasi petani sebagai respon atas permasalahan struktural. Britt (2003) menyumbang penjelasan bahwa pergerakan kelompok lokal banyak dilatarbelakangi oleh karakteristik struktur masyarakat dan
2
permasalahan struktural yang terjadi di tingkat komunitas yang kemudian memicu gerakan petani yang terpola sesuai karakteristik masyarakat yang bersangkutan. Namun demikian, dari penelusuran leb ih lanjut diperoleh fakta bahwa dibentuknya organisasi petani tidak hanya dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi semata. Terdapat faktor lain yang menjadi sesuatu yang penting bagi petani. Hasil penelitian Kartodirdjo (1984) tentang pemberontakan petani Banten menunjukkan bahwa ekonomi bukan satu-satunya pemicu gerakan sosial di kalangan petani. Tulisan tersebut memperlihatkan bahwa perebutan kekuasaan dan perebutan pengaruh atas masyarakat lebih menjadi penyebab gerakan sosial di Banten. Dengan demikian aspek ekonomi, sosial, dan politik erat mempengaruhi tumbuhnya organisas i. Bahkan dalam beberapa hal tumbuhnya organisasi petani tidak lepas dari tujuan petani dalam mencapai kemandirian atas tiga aspek tersebut. Keterkaitan upaya mencapai kemandirian ekonomi dengan kemandirian dalam hal pengelolaan sumber-sumber agraria dapat ditunjukkan melalui pembentukan organisasi tani. Kemandirian yang ingin dicapai terutama dalam kaitannya dengan perubahan tata cara produksi. Hal tersebut sekaligus digunakan untuk menghindari peran kapitalisme dalam proses produksi pertanian. Dengan demikian, upaya pencapaian kemandirian petani akan terkait dengan proses devolusi dimana peran petani lokal menjadi penting. Di negara berkembang, pengelolaan sumberdaya alam sedang mengalami perubahan dari pengelolaan oleh pemerintah otoritarian menjadi pengelolaan dan pengambilan keputusan oleh masyarakat lokal. Sayangnya, proses tersebut belum diimbangi oleh konsep yang matang tentang kelembagaan yang mendukung proses devolusi. Penjelasan ini mendukung pernyataan bahwa kelembagaan di tingkat petani memainkan peran penting dalam upaya mendukung kemandirian petani dalam berproduksi. Penelusuran
awal
menghasilkan
gambaran
tentang
fenomena
pengorganisasian petani yang dilakukan secara spesifik, tergantung permasalahan yang dihadapi. Penelitian Pusat Kajian Agraria (PKA-IPB) menunjukkan dua tipe organisasi yang dilatarbelakangi oleh persoalan konflik agraria dan persoalan produksi. Tipe pertama menunjuk pada organisasi yang dibentuk sebagai respon atas terjadinya konflik lahan. Sedangkan tipe kedua memperlihatkan organisasi dengan dasar keinginan meningkatkan produksi dan gerakan pemberdayaan petani
3
untuk mencapai kemandirian. Kajian atas dua tipe organisasi di atas dipandang penting terkait dengan keunikan karakteristik organisasi tersebut dan bagaimana strategi masing-masing organisasi dalam mencapai tujuan organisasi yakni menguatkan posisi tawar terhadap stakeholder lain. Berdasarkan sudut pandang di atas, menjadi penting untuk menelusuri perjalanan panjang kebijakan pemerintah Indonesia. Analisis politik dan kebijakan menunjukkan bahwa selama 32 tahun terakhir, negara menggunakan topdown approach dalam merespon persoalan-persoalan pembangunan, termasuk bidang pertanian. Program pembangunan pertanian yang dikembangkan menghasilkan strategi besar (grand strategy) yang menjauhkan petani dari persoalan nyata. Revolusi hijau, misalnya hanya merespon sebagian kecil masalah petani sehingga mewujud pada upaya melayani kepentingan elit tertentu tanpa melihat konteks permasalahan petani. Kondisi demikian menyebabkan petani harus dihadapkan pada tekanan permasalahan sebagai efek revolusi hijau diantaranya: persoalan ekologis, akses terhadap sumberdaya, kesenjangan, kesetaraan peran laki-laki dan perempuan, dan lain-lain. Upaya
menjawab
permasalahan
tersebut
dilakukan
dengan
mengembangkan bentuk pendekatan pembangunan yang melibatkan partisipasi petani. Program yang dikembangkan lebih berbasis lokal dimana penanggung jawab program bersama petani menganalisis kebutuhan-kebutuhan petani di tingkat lokal. Konsep yang kemudian muncul adalah pemberdayaan dan partisipasi yang didisain bagi keterlibatan petani. Paradigma ini lebih dikenal sebagai CD dengan ciri bottom up approach. Perkembangan selanjutnya menunjukkan pendekatan model CD yang berkembang tidak betul-betul menyentuh akar permasalahan petani. Kajian CD tidak menganalisis lebih lanjut ketergantungan yang dialami petani terhadap faktor luar. Sejauh ini, CD tidak lebih dari upaya mengukuhkan proses integrasi petani kedalam formasi kapitalis. Pernyataan tersebut didukung oleh Hickey dan Mohan bahwa CD masa kolonial maupun post-kolonial dimaksudkan untuk menjaga kestabilan komunitas pedesaan dan digunakan untuk menghambat gerakan petani, dalam upaya mempertahankan hegemoni negara (Hickey &
4
Mohan, 2005). Implikasi dari tidak tersentuhnya akar persoalan petani1 adalah persoalan tidak pernah diselesaikan dengan tuntas. Hal ini membutuhkan respon tersendiri dari petani. Upaya merespon permasalahan dapat dimulai dengan membangun kemandirian petani. Penelitian ini memaparkan usaha membangun bentuk-bentuk kemandirian petani dalam hal ekonomi, tata cara produksi dan pengelolaan sumber-sumber agraria. Kemandirian tingkat lokal menduduki peran penting terutama jika dikaitkan dengan keinginan menghindari intervensi kapitalis sekaligus memutus relasi kekuasaan dominan. Perkembangan terbaru menunjukkan respon mulai diwujudkan dalam bentuk organisasi petani. Kemandirian petani dapat didekati melalui pembentukan organisasi sebagai sebuah kelembagaan. Berangkat dari pernyataan di atas, tampaknya pengorganisasian petani dalam berbagai bentuk menjadi sebuah keharusan untuk mengantarkan petani pada posisi yang lebih setara dalam sebuah struktur sosial. Dengan demikian, dalam upaya memperkuat posisi petani, pembentukan organisasi petani menjadi penting d ikaji. Tipe organisasi yang dibangun merupakan respon terhadap pendekatan pengorganisasian komunitas desa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah menciptakan bangunan organisasi dengan menerapkan prinsip -prinsip topdown yang tidak berpihak pada petani. Disamping itu, organisasi petani dapat dikatakan merupakan perlawanan atas paradigma pembangunan pertanian yang selama ini dipilih pemerintah. Keterhubungan antara permasalahan petani dan pilihan tipe organisasi didekati dengan cara melihat karakter organisasi yang dibangun pada masa reformasi. Secara sengaja, penelitian ini akan difokuskan pada organisasi yang dibangun atas dasar motivasi ekonomi dan produksi untuk memperoleh gambaran karakter perlawanan organisasi tersebut. Menarik mengkaji tipe organisasi produksi yang menggunakan pendekatan CD yang dipahami dalam kerangka perlawanan petani.
1
Selain permasalahan petani tidak tersentuh, pekerja yang berada di bawah paradigma community development seringkali tidak menganggap sesuatu sebagai masalah. Implikasinya, banyak dimensi persoalan petani yang menjadi laten dan sewaktu-waktu bisa manifest.
5
Rumusan Masalah Kemunculan organisasi petani dapat menjadi bagian dari kajian teori gerakan petani. Gerakan petani ini tidak selalu dimanifestasikan sebagai organisasi. Berdasarkan latar belakang yang ditangkap di atas, dipandang perlu untuk melihat persoalan benturan sosial dalam kaitan pengembangan organisasi tani. Pertanyaan umum penelitian dalam hal ini d iarahkan pada bagaimana respon petani atas permasalahan sosio -ekonomi dan politik yang dihadapi sebagai implikasi paradigma pembangunan pertanian. Sedangkan, secara khusus pertanyaan penelitian yang ada sebagai berikut: 1.
Bagaimana, mengapa dan dalam kondisi apakah organisasi petani terbentuk sebagai respon atas permasalahan ekonomi dan politik?
2.
Karakter pengorganisasian petani bagaimana yang berpeluang memberikan solusi atas permasalahan yang ada?
3.
Bagaimana karakter perlawanan petani apabila dikaitkan dengan watak negara dan aktor global?
Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan studi tentang bentukbentuk respon petani atas permasalahan sosio -ekonomi dan politik yang dihadapi. Analisis sejarah dimaksudkan untuk memahami konteks ekonomi dan politik dibalik pembentukan organisasi yang menjadi kendala petani berorganisasi, disamping sebagai pendorong pembentukan organisasi petani. Melalui gambaran tersebut, dapat dipahami proses dinamika petani pada komunitasnya ketika dihadapkan pada kepentingan supra lokal, bahkan kepentingan global. Pemahaman karakter organisasi petani menjadi dasar menganalisis karakter perlawanan petani dalam merespon situasi/permasalahan yang ada.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini berguna untuk memberikan kesadaran tentang masalahmasalah yang muncul dibalik “kesuksesan” pembangunan pada masa orde baru. Bentuk-bentuk pendekatan pemerintah terhadap komunitas ditinjau secara kritis.
6
Ditinjau dari sisi praxis, penelitian ini menjadi penting untuk melihat sejauh mana organisasi petani memainkan perannya dalam membangun kesejahteraan anggota dan komunitasnya. Dalam konteks pemberdayaan lokal, studi ini memberi warna lain bagi pemegang kebijakan bahwa inisiatif lokal harus dibangun dan diberikan keleluasaan berkembang, sekaligus memberi kontribusi bagi terbentuknya pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan.
7
TINJAUAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Petani: Sebuah Entitas Sosial Khas Sosiologi pedesaan mencoba memberikan pemahaman mengenai unsurunsur dalam struktur sosial masyarakat pedesaan dengan ciri-ciri spesifiknya yang meliputi ciri sosial, politik, kultural, dan ekonomis. Secara lugas ini berarti bahwa pedesaan dengan ciri geografis dan kultural yang lebih dekat pada ciri pertanian memberikan perhatian yang khusus terhadap posisi petani sehingga dianggap perlu untuk memahami lebih lanjut tentang petani dalam kajian politik pedesaan. Fokus kajian sosiologi pedesaan mencoba memberikan gambaran tentang bagaimana unsur-unsur dalam sebuah struktur sosial memberi andil terhadap gambaran umum petani pedesaan. Hal tersebut dimaksudkan agar gambaran utuh mengenai kondisi yang dialami petani dapat terbaca sehingga tidak menghasilkan penafsiran yang keliru. Ketika pemahaman tersebut berusaha dimunculkan, maka perhatian pertama diarahkan pada pendefinisian petani sesuai dengan konteks pedesaan Indonesia yang memiliki ciri-ciri khusus baik dari sisi geografis, kultural, ekonomi, politik, dan sebagainya. Beberapa diangkat dari definisi para ahli sosiologi yang menggambarkan bagaimana petani memandang kehidupan serta bagaimana
pola-pola
relasi
yang
dikembangkan
agar
bertahan
dalam
kehidupannya. Petani dalam Dimensi Struktur Sosial Scott (1994) mengemukakan tesis bahwa petani merupakan golongan komunitas kecil yang memiliki prinsip ‘safety first’ yang merupakan konsekuensi dari ketergantungan ekologis yang dikembangkan petani. Prinsip ini kemudian mempengaruhi pengaturan teknis, sosial dan moral dalam tatanan agraris prakapitalis. Dalam menjalankan kehidupan ekonominya, petani subsisten akan merasa lebih dekat dengan pola subsistennya jika memiliki sarana subsisten yaitu sawah meskipun dalam jumlah yang terbatas. Kecenderungan menyukai kestabilan jangka panjang mempengaruhi sikap petani dalam merespon
8
perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian dimana petani tidak akan betah bekerja di sektor tersebut. Kondisi demikian beran gkat dari posisi petani yang masih terikat dalam tatanan nilai-nilai feodalistik. Nilai-nilai ini lebih mendahulukan sikap nrimo terhadap berbagai kondisi, bahkan ketika dihadapkan pada pertentangan politik. Sikap nrimo tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan keberadaan mereka. Petani kemudian membentuk kekuatan internal antar sesamanya sebagai perekat menghadapi berbagai tantangan. Sistem ekonomi dikembangkan hanya dalam lingkungan intern, misalnya biaya-biaya sosial yang dikeluarkan dalam bentuk hajatan, bantuan untuk tetangga yang kesulitan, dan lain -lain. Perdebatan tentang pertautan petani dalam relasi antar subyek membawa kembali pada sudut pandang sosiologi. Kajian sosiologis menempatkan petani sebagai bagian dari struktur masyarakat yang lebih bes ar. Sumbangan Scott (1993) tentang relasi sosial yang dibangun petani dengan aktor lain melahirkan prinsip “safety first” untuk menyelamatkan diri dari kekuatan lain. Kritik Popkin (1986) terhadap Scott menyatakan bahwa petani memiliki apek-aspek rasionalitas untuk menunjang kelangsungan kehidupan mereka. Selama masih ada tingkat-tingkat ekonomi ganda, keinginan untuk maju dari satu tingkat ke tingkat selanjutnya, dan keinginan untuk menghindari kejatuhan, para petani akan selalu terlibat baik dalam asuransi maupun dalam perjudian yakni investasi yang aman atau penuh resiko. Meskipun secara teoritis paparan Popkin merupakan kritik atas tesis Scott, namun prakteknya, masih terdapat prinsip ‘mencari aman’ yang muncul dalam investasi yang dijalankan dimana petani cenderung akan memilih investasi pribadi untuk kesejahteraan masa depan melalui anak dan tabungan daripada berinvestasi, dan mengandalkan resiprositas dan asuransi masa depan yang berasal dari desa. Pemaparan tentang definisi petani membawa diskusi pada bagaimana keterkaitan komunitas kecil tersebut dalam keterhubungannya dengan sistem masyarakat lain dalam hal sosial, ekonomi, dan politik. Dari beberapa definisi serta gambaran kondisi petani, ada beberapa benang merah yang dapat menjadi arahan untuk memahami petani secara lebih lanjut terkait dengan sosial, politik, budaya dan juga ekonomi. Pembedaan antara peisan dan farmer menarik dikaji
9
dalam konteks Indonesia tanpa melupakan ciri-ciri petani secara umum. Pembedaan tersebut terletak pada beberapa hal diantaranya adalah orientasi produksi; strategi hidup; nilai-nilai hidup yang dianut; sistem ekonomi; integrasi dengan struktur sosial diatasnya baik dalam ekonomi maupun politik; dan pola adaptasi ekologis menghasilkan struktur pertanian yang tidak seragam. Lain halnya dengan Pearse (1968) yang melahirkan respon aktif petani untuk mempertahankan keterlibatan dengan dunia luar. Keterhubungan petani dengan struktur ekonomi yang lebih besar berimplikasi pada adaptasi yang bermuara pada perubahan karakter petani. Keterlibatan petani dengan kapitalisme mendorong petani melakukan perubahan orientasi ekonomi yang cenderung mengedepankan aspek rasionalitas. Terkait dengan hal tersebut kemudian muncul konsep depeasantisasi dimana petani terintegrasi kedalam sistem ekonomi kapitalis sehingga ada perubahan pola kultural dan struktural. Pendekatan dimensi perubahan sosial dalam meninjau perkembangan karakter dan orientasi petani dalam tatanan sosial yang lebih kompleks diungkapkan oleh Migdal (1974). Migdal melakukan pendekatan kajian tersebut dari dimensi perubahan sosial. Perubahan sosial dan ekonomi diintegrasikan kedalam teori tentang partisipasi petani dalam politik dan revolusi. Tulisan Migdal memaparkan dengan gamblang karakter dari keterlibatan petani dalam ruang politik. Inisiatif keterlibatan petani dalam arena politik lebih banyak diinisiasi oleh non-petani. Dengan demikian keterlibatan petani dalam arena yang lebih besar belum berasal dari inisiatif lokal. Gambaran tersebut didukung oleh tulisan Friedmann (1992) tentang peasant dalam konteks sistem ekonomi global. Tulisan tersebut memudahkan melihat keterkaitan petani dengan sistem ekonomi dunia. Ketika petani terintegrasi dalam ekonomi, pada saat itu ciri-ciri kehidupan petani dalam berbagai segi akan mengadaptasikan diri sedemikian rupa sehingga perubahan perubahan yang muncul akan terkait dengan sistem ekonomi dan juga budaya. Keterlibatan petani dengan kapitalisme memberikan pengaruh kepada petani terutama dalam hal perubahan orientasi produksi, penyesuaian strategi hidup yang dilakukan serta berubahnya nilai-nilai hidup yang dianut.
10
Meski secara gamblang dipaparkan perjalanan petani hingga sampai pada keterkaitan dengan sistem ekonomi global, namun petani tetap menjadi entitas yang termarjinalkan. Fenomena demikian sesungguhnya menunjukkan bahwa petani masih berada dalam kerangka kungkungan struktural. Kondisi demikian didefinisikan oleh Soetomo (1997) sebagai kekalahan petani. 2 Kesadaran bahwa kemiskinan petani tercipta akibat tekanan struktural mulai menguat sejak konstelasi politik berubah dari represif menjadi terbuka. Periode ini ditandai sejak turunnya Soeharto pada tahun 1998. Iklim reformasi membuka celah terbentuknya organisasi petani dengan dukungan perubahan orientasi yang lebih mengarah pada political community. Gerakan Sosial: Sejarah, Perkembangan dan Mekanisme Harper (1989) memahami gerakan sosial sebagai kolektifitas -kolektifitas yang tidak konvensional dengan berbagai tingkatan organisasi yang berusaha mendorong maupun mencegah perubahan. Asal perubahan dikemukakan oleh Sztompka (1994) berasal dari bawah. Sebagai gerakan manifes dari bawah, gerakan sosial ini dicirikan oleh bersatunya orang-orang untuk mengorganisir diri dalam tujuannya membuat perubahan dalam masyarakat. Dalam perubahan sosia l, gerakan sosial bisa menjadi penyebab, efek maupun mediator yang mempengaruhi jalannya perubahan sosial. Gerakan sosial mencakup komponen bertindak bersama dengan tujuan perubahan pada masyarakat walau dengan derajat organisasi formal yang rendah sebaliknya unsur spontanitasnya amat tinggi atau cenderung non-institusional (Sztompka,1994) 3. Dalam kerangka Hayami dan Kikuchi (1987), tindakan kolektif ini diperlukan untuk merubah pranata atau institusi. Namun perubahan 2
Soetomo (1997) mengungkapkan bahwa kekalahan petani disebabkan oleh dua faktor; pertama, faktor alam (natural resource). Dalam hal ini mengemuka sebuah diskusi tentang perbedaan karakter yang tercipta yang muncul akibat perbedaan konteks ekologis, antara dataran tinggi dan dataran rendah. Jika dikaitkan dengan pengorganisasian, jelas terdapat hubungan antara keduanya. Kedua, faktor struktural. Terbentuknya kemiskinan struktural dipandang sebagai akibat yang dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: a) petani kecil merupakan kelompok marjinal karena keikutsertaannya dalam sistem sosial telah meletakkan mereka sebagai elemen yang dibuat bergantung tak berdaya sepenuhnya; b) pilihan-pilihan petani ditentukan oleh pihak-pihak diluar petani; c) petani terasing dari jaringan-jaringan informasi aktua l mengingat keterbatasan kemampuan kognitif mereka, sistem transportasi yang belum sempurna, dan perbedaan kultur serta posisi inferior. 3 Dalam hal ini Sztompka berbeda dengan Harper (1989), dimana menurut Harper istilah social movement terkait dengan derajat formalitas yang tinggi.
11
pranata menurut mereka tidak harus melalui transformasi mendadak dan menyeluruh, melainkan bisa melalui penyesuaian yang terus-menerus. Definisi gerakan sosial menggambarkan bahwa gerakan massa dalam berbagai variasi bentuk
mengisyaratkan
mengemukakan
adanya
pentingnya
keinginan
orang-orang
perubahan. yang
Hoffer
(1988)
termarjinalkan
dalam
4
mengungkapkan ide perubahan sosial . Potret Gerakan Sosial Kajian Fauzi (2005) tentang gerakan rakyat di beberapa Negara Dunia Ketiga berhasil memotret bentuk-bentuk karakter perlawanan. Perlawanan dimulai dengan konfrontasi terhadap dominasi pemerintah, pengusaha, atau penguasa. Strategi yang dikembangkan adalah mobilisasi rakyat, bahkan kasus Indonesia menunjukkan gerakan rakyat dilakukan dengan cara mengkonstruksi kembali identitas etnis. Buku tersebut memprofilkan dinamika ringkas masing-masing gerakan, terutama dalam 3 (tiga) pokok utama yang membingkai gerakan masingmasing, yakni (i) tafsir atas situasi yang dimusuhi, (ii) kesempatan politik yang memungkinkan para aktor gerakan menetapkan pilihan -pilihan strategis; dan (iii) pilihan jenis aksi kolektif yang diandalkan para pelaku gerakan (Fauzi, 2005: 7-8). Selain Fauzi (2005), tulisan Fakih (2000) juga mencoba menggambarkan perlawanan terhadap pemerintah dengan melihat keterkaitan antara arus besar model pembangunan dengan tumbuhnya gerakan sosial. Meski kajian keduanya menyandarkan pada kasus LSM - bukan organisasi petani - sebagai sumbangan pemikiran tentunya patut dipertimbangkan. Hanya, perlu merujuk pada kasus organisasi petani yang berpola gerak an rakyat. Fakih menggambarkan bahwa arus besar paradigma developmentalism turut membentuk karakter gerakan sosial (Fakih, 2000). Developmentalism menjadi landasan gerakan sosial. Hanya saja pada era 1970-an gerakan sosial berangkat dari upaya mencari alternatif/metode mengimplementasikan aspek metodologis dan teknis pembangunan tanpa pertanyaan kritik atas dasar filosofis pembangunan itu sendiri. Diskursus gerakan sosial dalam konteks pembangunan diramaikan oleh tulisan Korten (2001) yang 4
Peranan kaum tersingkir dan kaum yang termarjinalkan dapat ditingkatkan terutama karena pemahaman mereka terhadap kekinian dalam pandangan Hoffer sangat kurang sehingga berani menghancurkan tatanan hidup yang telah mapan. Disamping itu, kenyataan bahwa didapati tidak ada/terbatas peluang untuk maju dengan struktur yang ada menambah derajat motivasi gerakan.
12
menggarisbawahi masalah pembangunan yang dalam perspektif dialektis menunjukkan saling keterkaitan antara persoalan eksploitasi, dominasi dan penindasan politik. Masih dalam tulisan Korten, gerakan sosial diposisikan dalam upaya perjuangan transformasi yang menyangkut tiga persoalan dasar yakni masalah keadilan, kesinambungan sumber daya alam, dan partisipasi. Dengan demikian gerakan sosial menjadi prasyarat untuk melakukan transformasi hingga mencapai
alternatif
pembangunan
berorientasi
rakyat
(people-centered
development) Kontinuum Gerakan Petani: Dari Protes ke Mobilisasi ke Organisasi Hollnsteiner (1979) mengemukakan bahwa organisasi berangkat dari basic needs dan basic interest. Dalam perkembangannya, pola pendekatan gerakan yang dikembangkan akan menyesuaikan dengan kebutuhan yang dirasakan. Ketika analisis pembentukan organisasi berangkat dari dua hal yakni basic needs dan basic interest di atas dikaitkan dengan tulisan tentang ciri petani, tidak salah ketika
Dobrowolski
(1958
dalam
Shanin,
1971)
mengatakan
bahwa
kecenderungan manusia untuk mempertahankan eksistensinya dapat dikaitkan dengan dua hal yaitu: human relationship dan existence of natural environment. Ciri umum kontinuum perkembangan aksi kolektif petani yang dimulai dari protes-mobilisasi-organisasi merupakan suatu pola adaptasi atas kebutuhan yang ingin dicapai dan kondisi politik pada masa perlawanan. Penelusuran historis menemukan bahwa protes, mobilisasi dan organisasi identik dengan konstelasi politik dalam kurun waktu tertentu yang dicirikan oleh tipe penguasa. Wolf (1985) bahkan menerangkan gerakan-gerakan protes dalam bentuk yang sederhana dikalangan petani seringkali berpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan lebih samarata dibandingkan dengan tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkis. Mitos-mitos tentang kelahiran kejayaan suatu peradaban menuju pada pembentukan tatanan baru seringkali dapat memobilisasi kaum tani untuk beberapa waktu menimbulkan sebuah huru hara. Tinjauan atas berbagai literatur menunjukkan respon permasalahan petani diwujudkan dalam tipe perlawanan yang beragam. Dalam terminologi gerakan sosial, organisasi dipandang sebagai stadium lanjut dari aksi protes dan mobilisasi.
Gerakan
protes
sebagai
tahap
awal
perlawanan
lahir
atas
13
ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada. Teori gerakan sosial melihat fenomena ini sebagai respon psikologis atas kondisi tertentu. Perkembangan lanjut garis kontinuum sampai pada upaya mobilisasi petani. Mobilisasi ini dibangun oleh kalangan menengah pada kurun waktu 1980 -an hingga 1990-an ketika petani mulai dilibatkan dalam aksi. Keterlibatan tersebut menunjukkan satu ciri mobilisasi dimana petani tidak memiliki inisiatif dalam membangun gerakan. Pada kontinuum akhir, perkembangan gerakan petani bergulir pada pendekatan baru yang melibatkan petani dalam manajemen langsung. Dalam hal ini petani kemudian ditempatkan dalam suatu bentuk organisasi yang lebih tersistematis dengan inisiatif yang berangkat dari orang luar maupun petani itu sendiri. Organisasi petani dalam konteks ini merujuk pada sebuah kondisi dimana sifat perlawanan yang muncul dimanifestasikan dalam bentuknya yang lebih tersistematisasi. Sistematisasi gerakan diperlukan terkait dengan lawan yang mempunyai karakter sistematis. Muara gerakan dalam bentuk organisasi merupakan wujud adaptasi atas kebutuhan yang ingin dicapai dan situasi politik yang dihadapi. Pemahaman terhadap upaya mobilisasi petani pada kurun waktu tertentu diilhami oleh sebuah dinamika yang muncul di kalangan menengah. Untuk merespon masalah yang dihadapi, pada era ini petani telah tersadarkan namun belum mengambil peran penting dalam manajemen gerakan. Inisiatif tindakan aksi-demonstrasi lebih banyak muncul dari NGO. Tipe organisasi yang berangkat dari sudut pandang kepentingan pemerintah (organisasi lokal maupun nasional bentukan pemerintah) turut memperkuat aspek mobilisasi massa. Era mobilisasi secara teoritis didefinisikan sebagai gerakan radikal yang didukung oleh orangorang diluar petani. Mekanisme Gerakan Sosial Menurut Harper (1989), paling tid ak terdapat empat dimensi yang dapat dipergunakan untuk membedakan macam gerakan sosial. Dimensi pertama, meliputi gerakan umum yang berkembang dari sentimen luas dalam masyarakat, namun tidak terakumulasi serta memiliki tujuan yang tidak jelas dan gerakan spesifik, memiliki tujuan, ideologi dan organisasi yang terfokus. Dimensi kedua, terkait dengan gerakan sosial radikal yang bertujuan menciptakan perubahan
14
fundamental pada sistem, d ikonfrontasikan dengan reforma yang bertujuan menghasilkan perubahan ringan dalam sistem. Dimensi ketiga, perbedaan gerakan sosial instrumental bertujuan untuk mengubah struktur sementara dan ekspresif bertujuan untuk mengubah karakter dan perilaku individu. Dimensi keempat, gerakan sosial sayap kanan adalah gerakan yang konservatif bertujuan untuk mengembalikan jaman keemasan di masa lalu dan sebaliknya dengan gerakan sosial sayap kiri. Dimensi kedua dan ketiga tersebut dapat dibuat tipologi gerakan sosial seperti Tabel 1. di bawah ini. Tabel 1. Matriks Tipe Gerakan Sosial Dimensi Reforma, permutasi dari pengaturan sosial yang ada Radikal , perubahan signifikan dari pengaturan sosial yang ada
Instrumental
Ekspresif
reformatif
alternatif
transformatif
redemtif
Sumber: Harper, 1989:128
Dalam pandangan Harper (1989), terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan: bagaimana dan mengapa muncul gerakan sosial dan kondisi apakah yang dapat merangsang gerakan sosial?. Pendekatan pertama adalah penjelasan psikologis, dengan fokus pada karakteristik agregat dari individu-individu yang terlibat dalam gerakan sosial. Model penjelasan ini dibagi menjadi dua, yaitu penjelasan irasionalitas dan rasionalitas partisipan gerakan sosial. Dalam pandangan penjelasan irasionalitas, partisipan gerakan sosial adalah orang-orang yang mencari kompensasi terhadap rasa frustrasi dalam kehidupan mereka. Sedangkan penjelasan psikologis yang lebih kontemporer menyatakan bahwa, keikutsertaan dalam gerakan sosial dilandasi oleh perhitungan rasional keterlibatan partisipan dalam gerakan sosial. Selanjutnya dalam penjelasan psikologi sosial, munculnya gerakan sosial terkait dengan kondisi-kondisi sosial serta disposisi psikologis. Dua penjelasan paling populer dalam pandangan Harper adalah penjelasan deprivasi relatif 5 atau 5
Penjelasan deprivasi relatif ini menjelaskan mengapa orang-orang yang terlibat dalam gerakan sosial bukan berasal dar i mereka yang paling terdeprivasi secara obyektif. Sedangkan dalam teori ketegangan status, motivasi para partisipan dalam gerakan sosial dilandasi oleh ancaman statusnya dalam masyarakat. Status sekelompok orang mulai terancam manakala kelompok yang semula terpinggirkan mulai memperoleh posisi penting dalam masyarakat.Gerakan sosial yang dilandasi oleh ketegangan status merupakan gerakan yang hendak mencegah dan mengembalikan arah sejarah masa lampau yang lebih menguntungkan partisipan
15
teori ketegangan status. Penjelasan struktural mengenai gerakan sosial lebih menekankan upaya-upaya untuk menjelaskan perkembangan gerakan sosial, dihubungkan dengan struktur yang lebih luas dimana gerakan tersebut berkembang. Terdapat tiga pendekatan dalam penjelasan struktural; pertama, penjelasan kaitan perilaku kolektif dan gerakan sosial, yang melahirkan “ValueAdded” Theory yang dikembangkan oleh Smelser. Kedua, The Resource Mobilization Perspective. Ketiga, tradisi Marxian yang melahirkan penjelasan aliran Peranc is tentang gerakan sosial yaitu penjelasan Neo -Marxian oleh penulis seperti Alain Touraine dan Manuel Castells. Berbeda dengan penjelasan perilaku kolektif (Social Movement and Collective Behavior) yang menyatakan bahwa gerakan sosial berasal dari perilaku massa yang spontan, pendekatan struktural berkeyakinan bahwa gerakan sosial merupakan
kelanjutan
dari
organisasi-organisasi
yang
berupaya
untuk
memproduksi reforma sosial dan berupaya untuk memperoleh pengaruh terhadap struktur masyarakat yang telah mapan. Kritik terhadap pemikiran di atas dikemukakan oleh aliran pemikiran neo-Marxian Perancis 6. Merujuk pandangan bahwa organisasi petani merupakan sebuah upaya memperkuat basis sebagai jawaban atas hegemoni pusat, organisasi berbasis lokal kemudian menjadi respon atas pola pendekatan pemerintah dan implikasi yang ditimbulkannya. Organisasi petani juga menjadi wadah aspirasi mensikapi permasalahan struktural yang muncul di tingkat petani. Harper (1989) meninjau gerakan sosial demikian dengan menggunakan pendekatan struktural yang menekankan upaya-upaya untuk menjelaskan perkembangan gerakan sosial dihubungkan dengan struktur yang lebih luas dimana gerakan tersebut berkembang. Pendekatan struktural menyarankan perlunya aspek ekonomi, politik dan ideologi dalam memandang fenomena dalam masyarakat. Lebih lanjut dikemukakan oleh Hannigan dalam Harper (1989), terdapat dua dimensi yang membentuk karakter gerakan sosial, yaitu: (1) derajat kesadaran
6
Dalam pemikiran Neo-Marxian Perancis, dengan tokoh Touraine dan Castells, berargumen bahwa konsepsi Marx tentang basis dan superstruktur tidak memadai lagi untuk menjelaskan keadaan masyarakat industri maju. Mereka kemudian mengusulkan bahwa masyarakat harus dipandang sebagai kompleks yang saling berinteraksi pada tiga tingkat, yaitu ekonomi, politik dan ideologi, dimana kontradiksi berkembang di dalam maupun antar level. Dalam pandangan pemikir Neo-Marxian, gerakan sosial dapat tumbuh dari protes-protes moral yang spontan sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur-struktur yang telah mapan. Yang membuat pemikiran Neo-Marxian Perancis ini lebih dekat dengan penjelasan perilaku kolektif adalah penekanannya pada asal gerakan sosial yang non institusional.
16
bahwa diperlukan perubahan anti-institusional, dan (2) derajat tumbuhnya kesadaran akan identitas kelompok diantara partisipan. Dengan menggunakan dua dimensi tersebut, Hannigan membuat sebuah matriks tentang tipe gerakan sosial seperti terlihat pada Tabel 2. di bawah ini. Tabel 2.
Matriks Tipe Gerakan Sosial Menurut Aliran Neo -Marxian Perancis
Kesadaran AntiInstitusional
Tinggi Rendah
Kesadaran Identitas Kelompok Tinggi Rendah Gerakan Pembebasan Gerakan Revolusioner Sosial Gerakan reforma Gerakan Kultural profesional
Sumber: Harper, 1989:141
Perlawanan Petani Dalam konteks sosiologi agraria, struktur agraria dipahami sebagai pola hubungan antar subyek agraria dan antara subyek agraria dengan obyek agraria (Sitorus, 2002). Relasi agraria yang muncul melibatkan tiga aktor yakni pemerintah, komunitas, dan swasta yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda terhadap sumber-sumber agraria (SSA). Salah satu faktor yang menimbulkan “kemarahan” petani yakni perubahan struktur agraria yang lebih disebabkan karena pengelolaan agraria cenderung berubah dari pengelolaan subsisten/primitif menuju sistem pengelolaan yang berorientasi kapitalis. Perubahan tersebut berimplikasi pada pola-pola pengelolaan agraria yang dilakukan oleh para pengguna agraria atau subyek agraria. Dalam hubungan agraria, subyek agraria yang dimaksud dikenakan pada tiga stakeholders yaitu: komunitas, pemerintah dan swasta. Hubungan ketiga subyek dengan sumber agraria memunculkan suatu pola hubungan produksi yang bentuk dan derajat eksploitasinya terhadap komunitas tergantung dari tingkat dominasi dari salah satu stakeholder. Hubungan demikian menghasilkan berbagai model pemanfaatan agraria yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing subyek agraria. Pada berbagai komunitas, petani selalu dihadapkan pada permasalahan permasalahan struktural yang menggiring petani pada benturan dengan aktor-aktor eksternal. Komunitas yang akan dikaji adalah komunitas masyarakat lahan kering
17
yang tinggal di lahan upland dengan ciri permasalahan struktural yang sama. Petani di kawasan Salatiga menghadapi persoalan struktural terutama ketika petani mengalami masalah dengan pasar atau ketergantungan terhadap input pertanian yang harganya makin tinggi. Sebagai
upaya
menghadapi
permasalahan
struktural,
petani
mengembangkan pengorganisasian terkait dengan tipe permasalahan yang akan direspon. Mengapa respon atas permasalahan struktural menjadi demikian penting? Fakta empiris menunjukkan bahwa permasalahan struktural akan melahirkan
kemiskinan
yang
berangkat
dari
hubungan
petani
dengan
kelembagaan supra lokal. Dari banyak kasus juga diperoleh fenomena bahwa hubungan agraria yang terbentuk antara petani dan pemerintah/swasta cenderung menciptakan ketergantungan. Sebagai contoh, mengapa di Salatiga muncul organisasi yang berbasis produksi sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi ketergantungan petani terhadap pasar dan harga input-input pertanian yang relatif tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa dimensi hubungan agraria menyumbang peran yang besar terhadap terbentuknya organisasi petani. State of the Art Gerakan Perlawanan Petani Berbagai literatur menjelaskan permasalahan yang dihadapi kaum tani seringkali direspon melalui perlawanan kaum tani dalam konteks gerakan sosial. (Suhartono, 1995; Kartodirdjo, 1984; Scott, 1993; Pelzer, 1991). Kajian tersebut berpijak pada teori gerakan sosial yang menempatkan petani sebagai pihak yang melawan ketidakadilan yang terjadi. Suhartono (1995) menggambarkan bentukbentuk protes petani melalui gerakan perkecuan atau bandit yang dari sisi masyarakat yang termarjinalkan dianggap sebagai tindakan heroik yang membantu masyarakat. Karakteristik utama pola perlawanan tipe ini adalah kecu bergerak sendiri dan daerah jangkauannya masih bersifat lokal. Secara spasial, skala operasional perbanditan lebih bersifat terbatas dan lokal, dan tidak tampak adanya
jaringan
(Suhartono,
1995).
Alasan
dibalik
perlawanan
petani
dikemukakan melalui tulisan Scott (1993) sebagai respon atas tercerabutnya prinsip subsistensi yang selama ini menjadi sandaran kehidupan petani. Hubungan patron-klien yang memudar turut memicu perlawanan petani dan konflik vertikal.
18
Rangkaian kajian gerakan petani diramaikan oleh tulisan Kartodirdjo (1984) tentang pemberontakan petani di Banten. Berbagai gerakan petani di hampir semua karesidenan di Jawa memperlihatkan karakteristik yang sama. Pemberontakan -pemberontakan itu bersifat tradisional, lokal atau regional, dan berumur
pendek7.
pembahasan
pada
Pada
dasarnya,
bangkitnya
pemberontakan
petani
melawan
petani
tirani
mengantarkan
kekuasaan
yang
membelenggu ruang gerak petani. Pemberontakan juga dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional yang mulai diintervensi oleh nilai-nilai kapitalisme. Dalam konteks agraria, tulisan Pelzer (1991) tentang sengketa antara petani dan perkebunan melahirkan bentuk perlawanan yan g tidak kalah menarik dan turut menyumbang deretan perlawanan kaum tani di masa kolonialisme. Memasuki era baru, perlawanan petani banyak dipicu oleh ketimpangan struktur agraria yang dihasilkan oleh perbedaan kepentingan para stakeholders terhadap sumber-sumber agraria yang ada. Tindakan represif pemerintah orde baru menyumbang deretan kasus perlawanan petani. Meski literatur dan fakta menunjukkan perlawanan petani pernah menjadi alat yang ampuh dalam melawan pemerintah, namun dalam banyak hal tidak ditemukan sifat perlawanan petani yang terorganisir dengan baik. Beberapa literatur menunjukkan bahwa kasus perlawanan petani yang muncul menunjukkan bahwa perlawanan petani tidak serta merta terkait dengan pengorganisasian petani. Perlawanan petani hanya sebagai simbol protes terhadap kondisi yang ada tanpa disertai pembentukan organisasi petani sebagai basis massa. Organisasi petani dalam bentuk yang nyata baru muncul pada periode 1952-1959 ketika muncul Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berafiliasi dengan partai sejenis yaitu pemuda rakyat, SOBSI, Gerwani, Lekra, dan HSI untuk bersama-sama membangun Partai Komunis Indonesia (PKI) (Mortimer,1974). Barisan Tani Indonesia sebagai organisasi petani, seperti halnya organisasi lain
7
Sebagai gerakan so sial, pemberontakan- pemberontakan itu semuanya tidak menunjukkan ciri-ciri modern seperti organisasi, ideologi-ideologi modern, dan agitasi yang meliputi seluruh negeri. Pemberontakan lebih bersifat lokal dan tak mempunyai hubungan satu sama lain. Implikasi atas hal tersebut adalah tidak disusunnya rencana-rencana yang realistis seandainya pemberontakan berhasil. Ketidakmampuan membangun organisasi juga dipengaruhi oleh tidak terciptanya hubungan antara pemimpin agama yang saat itu menjadi pemimpin gerakan petani.
19
merupakan alat kepentingan partai yang saat itu sangat diperlukan. Dalam hal ini kegiatan yang ada dalam BTI diarahkan pada kepentingan partai. Gambaran organisasi petani dilanjutkan pada kurun waktu 1980 -an. Pada masa orde baru, gerakan dan organisasi petani mengalami tantangan yang keras terkait dengan arah politik pemerintah yang bertujuan mempertahankan status quo. Rezim orde baru melakukan pendiktean terhadap partai politik sekaligus melakukan penggembosan terhadap kekuatan dan kemandirian organisasi massa. Aturan tidak tertulis menyatakan bahwa semua organisasi massa harus berada di bawah pengawasan pemerintah. Khusus untuk petani, semua organisasi dipaksa digabung dalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sebagai upaya pemerintah menghegemoni kekuatan petani (Firmansyah, dkk. 1999). Pertengahan tahun 1980 mulai bangkit gerakan petani yang ditujukan pada perlawanan. Petani mulai berkenalan dengan organisasi mahasiswa dan mulai melakukan kegiatan aksi dan demonstrasi. Ciri gerakan pada masa ini lebih pada kegiatan memobilisasi petani untuk aksi-aksi tertentu yang bersifat insidental dengan tipe kegiatan demonstrasi. Fenomena tersebut berlanjut pada sekitar tahun 1997-an, kondisi politik dan moneter Indonesia turut menyumbang lahirnya pengorganisasian di tingkat petani yang juga dipicu oleh konstelasi politik dan kondisi moneter di Indonesia. Karakteristik organisasi pada era ini masih spontan dan sporadis tanpa pengorganisasian yang jelas. Aksi dan demonstrasi baru dilakukan ketika muncul permasalahan yang dihadapi petani. Petani mengembangkan perlawanan dalam berbagai bentuk dan sesuai dengan karakternya sebagai petani. Scott (1993) menyatakan bahwa petani dapat melakukan
perlawanan
sehari-hari
atas
kekuasaan
yang
lebih
besar.
Dilatarbelakangi adanya suatu konsep dasar tentang peningkatan bargaining position ketika dihadapkan pada relasi sosial yang lebih kompleks yang menekan petani, maka perlu ada suatu perlawanan. Definisi Scott tentang perlawanan merujuk pada “perlawanan (resistence) penduduk desa dari kelas yang lebih rendah adalah tiap (semua) tindakan oleh (para) anggota kelas itu dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak, penghormatan) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas -kelas yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk
20
mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan” (Scott, 1993). Penjelasan definisi tersebut sampai pada pemahaman bahwa 1) tidak ada keharusan bagi perlawanan untuk mengambil bentuk aksi bersama. 2) tujuan tujuan dibentuk kedalam definisi itu. 3) definisi tentang perlawanan yang relatif longgar yang dikemukakan Scott membawa pada pengakuan terhadap bentuk perlawanan simbolis atau ideologis (misalnya gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan, penarikan kembali sikap hormat) sebagai bagian yang terpisahkan dari perlawanan berdasarkan kelas. Berbagai literatur tentang bentuk perlawanan yang dilancarkan petani tentang perlawanan dalam definisi Scott misalnya dikemukakan oleh (Heryanto, 2000) tentang perlawanan dalam kepatuhan sebagai protes petani dalam merespon doktrin ideologi stabilitas kesatuan negara jaman Soeharto, atau tulisan Samandawai (2001) tentang Mikung, sebuah komunitas yang menarik diri dari program-program pembangunan dengan cara mendorong kemandirian di tingkat komunitasnya. Perdebatan tentang definisi perlawanan ini sampai pada upaya membuat satu garis batas yang jelas antara perlawanan yang bersifat politis dengan perlawanan sehari-hari. Apabila kedua perspektif ini digabungkan, akan tampak sebuah dikotomi antara perlawanan sesungguhnya di satu pihak dan “tanda-tanda kegiatan” yang bersifat insidental, bahkan epifenomenal. Perlawanan yang sesungguhnya, bersifat 1) terorganisasi, sistematis, dan kooperatif. 2) berprinsip atau tanpa pamrih, 3) mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan/atau 4) mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Dengan penjelasan di atas, ada kecenderungan untuk menegaskan bahwa perlawanan yang bersifat politis harus diwujudkan dalam bentuk yang lebih sistematis. Masih dalam buku yang sama, Scott (1993) kemudian memaparkan tandatanda sebuah organisasi yang bersifat insidental yaitu: 1) tidak terorganisasi, tidak sistematis dan individual, 2) bersifat untung -untungan dan ‘berpamrih’ (nafsu akan kemudahan), 3) tidak mempunyai akibat -akibat revolusioner, dan/atau 4) dalam maksud dan logikanya mengandung arti penyesuaian dengan sistem
21
dominasi yang ada. Ciri perlawanan tipe ini ketika dikonfrontasikan dengan tipe perlawanan yang bersifat politis seolah -olah memperlihatkan kenyataan bahwa tipe perlawanan yang bersifat epifenomenal - tipe perlawanan kedua - tidak mempunyai arti apa-apa dalam kerangka gerakan. Satu alternatif pemikiran kemudian dikemukakan tentang bagaimana memandang bentuk perlawanan yang muncul dari sebuah organisasi yang relatif lebih baik namun tidak dilakukan secara radikal. Organisasi sebagai ciri perlawanan yang bersifat politis (menurut Scott) masih memerlukan sudut pandang lain ketika secara kontekstual petani yang terlibat dalam persoalan struktural perlu menerapkan strategi lain agar perlawanan yang dikembangkan oleh
komunitas
yang
bersangkutan
menjadi
tidak
tampak.
Perlawanan
tersembunyi dalam konteks Indonesia menjadi penting terkait dengan doktrin pembangunan yang masih mengedepankan ideologi pembangunan dengan segala doktrin modernis/developmentalis -nya. Dengan kata lain, perlawanan insidental bahkan bersifat epifenomenal dalam terminologi yang dikemukakan Scott, menemukan bentuknya yang lain dalam konteks gerakan di Indonesia. Organisasi Petani: Respon Petani atas Kondisi Sosio -Ekonomi Politik Organisasi Petani: Konflik dan Produksi sebagai Basis Dewasa ini konflik pertanahan menjadi isu yang marak menyangkut persoalan akses sumberdaya agraria antar subyek agraria. Konflik tersebut tidak saja dipicu oleh ketimpangan akses tetapi juga karena terusiknya masyarakat petani dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Apa yang dikemukakan Scott tentang perlawanan petani tampaknya menjadi signifikan dalam menerangkan kasus perlawanan petani. Thesis yang diungkapkan oleh Scott menyatakan bahwa ketika batas subsistensi petani dilanggar maka diperkirakan muncul gerakan perlawanan untuk merebut kembali apa yang diambil. Peningkatan konflik pertanahan dari waktu ke waktu menunjukkan perkembangan data yang cukup signifikan. Data KPA menunjukkan angka 1.920 kasus sengketa tanah yang melibatkan 1.284.557 KK dengan luas tanah yang disengketakan sekitar 10.512.938,41 ha. Berdasarkan fakta dan pertimbangan urgensi masalah tersebut di atas, penyelesaian konflik agraria memungkinkan dibentuknya kelembagaan yang menyangkut perjuangan masyarakat sekitar
22
perkebunan.
Berbagai
literatur
menunjukkan
bahwa
petani
melakukan
pengorganisasian dilatarbelakangi oleh berbagai sebab diantaranya adalah sosial, ekonomi, politik, dan kekuasaan yang cenderung memarjinalkan keberadaan dirinya. Sebuah fenomena menarik ketika petani yang biasanya sulit diorganisir, pada tahun-tahun 1990-an ‘mendadak’ melakukan upaya-upaya menata diri dalam bentuk organisasi. Selain alasan konstelasi politik yang menguat kearah reformasi - untuk organisasi petani yang berangkat dari kasus tanah - tampaknya transformasi agraria menjadi motivasi utama melakukan pengorganisasian. Transformasi agraria selalu menyangkut perubahan organisasi sosial produksi, yaitu perubahan hubungan sosial didalam proses produksi, misalnya dari hubungan klien-patron menjadi hubungan buruh-majikan. Perubahan demikian menyangkut perubahan didalam sistem dan struktur penguasaan faktor-faktor produksi, seperti tanah, tenaga kerja, dan modal. Transformasi agraria dapat mengakibatkan petani menjadi termarjinalkan, terdesak ke kawasan yang tidak subur atau miskin sumberdaya. Sebagian besar sumberdayanya jatuh ketangan subyek agraria lain, negara atau melalui negara ke tangan swasta. Dari tiga tipe struktur agraria (Wiradi, 2000) konteks Indonesia seharusnya mengarah pada tipe populis/neo -populis dimana sumber -sumber agraria dikuasai oleh keluarga/rumah tangga pengguna. Perjuangan gerakan rakyat untuk sampai pada struktur agraria yang populis mengarahkan pada tindakan pengorganisasian. Kesadaran tumbuhnya organisasi itu disadari maupun tidak merupakan suatu proses panjang menuju terwujudnya reforma agraria dimana konsep tanah untuk penggarap (land to the tiller) benar-benar diperjuangkan dan penghapusan ketimpangan pemilikan lahan dan peningkatan akses petani terhadap lahan. Seperti yang diungkapkan oleh Suhendar (2002) bahwa upaya perwujudan land reform by leverage memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1.
adanya organisasi petani yang kuat. Land reform by leverage dilakukan atas dorongan dan tekanan organisasi petani. Untuk melakukan tekanan dibutuhkan organisasi petani yang kuat, baik ditingkat lokal tempat kebijakan operasional diputuskan maupun ditingkat nasional.
23
2.
pemerintah terdesentralisasi. Dalam sistem pemerintahan sentralistik, proses pengambilan keputusan dilakukan secara terpusat sehingga keberagaman lokal tidak terakomodasi.
3.
adanya political representatif dari petani. Secara ideal, keberadaan organisasi yang kuat dapat terbentuk dari
terciptanya jaringan antara petani dengan lembaga lain di luar petani terutama pembuat kebijakan, sehingga gerakan petani yang muncul dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan pada aras pemerintah. Namun satu hal yang juga tidak boleh terlupakan adalah bagaimana organisasi yang lebih besar tersebut membuat basis perjuangan melalui pembentukan organisasi-organisasi tani lokal yang merupakan subyek agraria yang terkait erat dengan sumberdaya lahan. Alasan lain menyangkut pembentukan organisasi diluar konflik lahan adalah alasan peningkatan pendapatan. Dengan demikian produksi menjadi basis terbentuknya organisasi petani. Aspek produksi menjadi kajian yang menarik karena dalam sebuah struktur sosial yang sudah mapan, beberapa literatur menunjukkan bahwa organisasi sulit terbentuk karena faktor keamanan telah dicapai dalam struktur masyarakat tersebut. Dalam hal ini petani memiliki prinsip kapitalis murni sehingga kegiatan produksi menjadi prioritas penting. Rasionalitas petani yang diungkapkan Popkin menunjukkan bahwa petani cenderung berusaha memanfaatkan waktunya semaksimal mungkin untuk meningkatkan produksi (Popkin, 1986). Berangkat dari alasan demikian, maka organisasi tani dianggap menjadi sebuah kegiatan yang dapat menghabiskan waktu. Jika demikian halnya, maka ada anggapan bahwa petani yang tingkat subsistensinya telah stabil, dia merupakan kapitalis-kapitalis kecil yang berusaha memanfaatkan setiap detik waktunya untuk meningkatkan surplus hingga tidak ada peluang untuk menata diri dalam bentuk kegiatan. Namun dari fakta yang ditemukan di lapang, tampak bahwa organisasi menjadi bagian dalam komunitas petani berciri demikian. Bahkan organisasi petani yang dilatarbelakangi oleh produksi digambarkan sebagai organisasi yang solid dan sistematis. Mengapa organisasi dengan tipe seperti ini relatif lebih solid? Beberapa pandangan mengemukakan bahwa organisasi ini memfokuskan diri pada ikatan sosial, komunikasi, dan struktur organisasi (Bebbington dan Carol dalam Britt
24
2003). Namun demikian ada bantahan terhadap pandangan di atas dimana organisasi yang menggunakan pendekatan sektoral dengan menggunakan isu-isu ekonomi jika dikaitkan dengan perlawanan petani tidak akan sampai pada upaya gerakan merebut sumberdaya. Pendekatan yang biasa dilakukan meliputi kegiatan yang bersifat ekonomis, seperti menumbuhkan kelompok usaha simpan pinjam, usaha bersama produksi, usaha pengadaan pupuk, pertanian organik, dll menyebabkan isu-isu besar seperti masalah petani yang tidak bertanah, berlahan sempit atau tidak meratanya penguasaan akses atas tanah, dsb tidak tersentuh. Menelaah berbagai akar masalah sebagai motivasi terbentuknya organisasi petani, benang merah yang muncul adalah terbentuknya organisasi petani sebagai strategi perlawanan. Perlawanan yang muncul menemukan perbedaan bentuk ketika dihadapkan dengan konteks masalah dan konteks pemahaman konsep perlawanan. Untuk itulah kemudian muncul tipe organisasi yang menerapkan advokasi dalam pola -pola gerakan yang cenderung bersifat radikal. Disisi lain muncul organisasi yang melakukan politik perlawanan dengan strategi yang lebih halus untuk menghindari resistensi yang kuat dari elit birokrasi. Jika dilihat dalam sudut pandang reforma agraria, kedua strategi ini sesungguhnya bermuara pada terciptanya transformasi masyarakat dalam upaya mencapai keadilan agraria. Perbedaan hanya pada prioritas pilihan masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Komunitas satu melihat bahwa persoalan land tenure dapat menjadi pintu masuk untuk dapat mencapai keadilan agraria. Sedangkan yang lain melihat bahwa persoalan land tenancy menjadi sebuah persoalan mendesak untuk segera diselesaikan. Sekali lagi ini hanya masalah prioritas, terkait konteks masalah dan pemahaman akan ideologi perlawanan yang dianut komunitas yang bersangkutan. Dalam beberapa hal, strategi tersebut harus dapat saling melengkapi karena naif ketika melihat persoalan petani hanya dari satu sudut pandang. Diyakini dalam berbagai literatur (Koentjaraningrat, 1984; Tjondronegoro, 1984; Scott, 1993; Wolf, 1985; Fauzi, 1999; dll)
bahwa petani sebagai sebuah entitas sosial
mengalami berbagai persoalan yang multidimensional. Organisasi Komunitas Intervensi pemerintah dalam mentransfer program-program pembangunan disalurkan
melalui
organisasi
formal.
Organisasi
ini
berfungsi
sebagai
25
perpanjangan
tangan
modernis/developmentalis,
pemerintah. organisasi
Sebagai ini
turunan
diarahkan
dari untuk
paradigma mendukung
terintegrasinya komunitas kedalam sistem kapitalis/pasar dominan. Dalam paradigma modernisasi, organisasi bentukan pemerintah merupakan bentuk lanjut dari konsep modernisasi yang paternalistik dan topdown di era 1950 hingga 1960. Respon atas karakter pembangunan yang bersifat topdown dilakukan melalui pendekatan CD. Kontinuum lanjut dari CD dikemukakan oleh Hollnsteiner (1979) sebagai Community Organization (CO). Konsep CD tipe petani muncul dalam kondisi politik yang relatif bebas di tahun 1998. Berbeda dengan CD tipe pemerintah, CD petani lebih mengarahkan pada upaya memperjuangkan prasyarat sendiri untuk dapat membangun kemandirian. Ditilik dari ciri tersebut, maka CO bisa dikategorikan sebagai sebuah upaya perlawanan yang mengadopsi desain CD. Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, perlu dilihat bangunan organisasi dan karakter yang muncul. Dengan demikian dalam penelitian ini akan dikaji tentang penyebab dan kemunculan, tujuan, strategi & aktivitas, jaringan yang dibangun serta implikasi terhadap persoalan yang dihadapi. CD gaya petani menghasilkan kemandirian petani yang berbasis pada kebutuhan dan permasalahan nyata yang dirasakan petani. Dalam perkembangannya, model CD diwujudkan dalam bentuk organisasi rakyat dengan mengembangkan pemberdayaan,
empowerment,
partisipasi, dan lain -lain. Sebagai kritik atas production-centered development, patut disayangkan bahwa CD belum mencapai hasil yang maksimal. Konsep partisipasi masih merujuk pada proses integrasi komunitas untuk melayani golongan tertentu. Cooke dan Kothari (2002) mengemukakan partisipasi sebagai tirani baru dalam mengkooptasi komunitas dan masih tetap menciptakan ketergantungan pada struktur pasar global. Sebuah alternatif melibatkan komunitas secara sungguhsungguh harus dibangun hingga bermuara pada kemandirian. Hal ini berangkat dari sebuah fenomena dimana komunitas sebagai satu unit lokal selalu menjadi sasaran berbagai proyek dan ideologi global. Dengan demikian, sebagai satu komunitas yang sudah terjalin dengan dunia global, karakter perlawanan yang dikemukakan Scott (1993) tidak mencukupi untuk menjelaskan fenomena yang
26
terjadi pada organisasi petani di Salatiga. Tipe perlawanan dalam kajian Scott terbatas pada aksi boikot, komunitas menolak tunduk pada struktur sosial yang lebih mapan, serta tidak memberikan alternatif solusi atas persoalan yang terjadi. Dalam kerangka gerakan dan pembangunan, pengorganisasian petani menjadi bagian dari proses penguatan petani. Pengorganisasian petani dalam konteks pembangunan menunjukkan CO merupakan tipe pengorganisasian yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari pengorganisasian berciri CD, Hollnsteiner (1979). Dalam kerangka CO, organisasi petani lebih dipandang sebagai paradigma baru dalam mengorganisir petani. Hal ini terkait dengan ketidakpuasan atas bentuk organisasi pada masa orde baru yang menghasilkan organisasi yang lebih berciri topdown dan hanya memenuhi kebutuhan stakeholder tertentu. Organisasi komunitas melakukan pendekatan memobilisasi orang
untuk
mengidentifikasi
bentuk-bentuk paksaan, menganalisis
dan
mengembangkan strategi untuk mengurangi prinsip -prinsip top down dari pemerintah. Dalam prosesnya, anggota organisasi tipe ini tumbuh dalam bentuk yang lebih efisien, memiliki kesadaran pribadi dan memiliki kapasitas untuk menolong kehidupan di masa depan. Sejak masa orde baru, konsep organisasi petani dimaknai pemerintah dalam konteks pembangunan. Kepentingan yang diusung adalah menggulirkan agenda pembangunan secara topdown. Dengan begitu, hingga tahun 1990-an organisasi petani di tingkat lokal merupakan perpanjangan tangan pemerintah. Campur tangan pemerintah memunculkan kegagalan ketika ditingkat lokal kurang terjadi penjalinan fungsi antara bentuk-bentuk organisasi formal dengan lembaga tradisional. Pandangan lain mencoba mengemukakan bahwa lembaga ditingkat lokal yang berangkat dari kebutuhan komunitas dapat menjadi alat bagi petani untuk mencapai tujuan tertentu dalam hubungannya dengan aktor luar. Hasil penelitian Firmansyah dkk (1999) membuktikan bahwa organisasi yang dibentuk oleh petani dapat secara efektif dan efisien membangun kekuatan petani di tingkat lokal. Keberhasilan dibuktikan melalui makin banyaknya organisasi petani yang tumbuh dan berhasil mencapai tujuan organisasinya. Organisasi yang tumbuh dibangun dengan berbagai isu awal pembentukan organisasi tergantung tipe akar masalah
27
yang dihadapi petani. Strategi perlawanan yang muncul akan menemukan perbedaan bentuk ketika dihadapkan dengan konteks masalah dan ideologi aktivis (melahirkan pilihan radikal atau halus). Perbedaan pilihan pintu masuk, dalam konteks tujuan besar reforma agraria bermuara pada terciptanya transformasi masyarakat dalam upaya mencapai keadilan agraria. Merujuk posisi organisasi dalam perkembangan gerakan, organisasi merupakan perkembangan lanjut dari gerakan sosial. Dalam terminologi gerakan, organisasi/terbentuknya organisasi merupakan satu fase tersendiri setelah sebuah komunitas terlebih dahulu mengalami fase protes dan mobilisasi. Tahapan tersebut berangkat dari karakter petani pada masa tersebut. Dalam kerangka gerakan, pengorganisasian petani juga sebagai bagian dari proses penguatan struktural organisasi. Kecenderungannya, dalam gerakan, sebuah aksi kolektif menjadi organisasi berangkat dari tipe masalah yang menyangkut kasus tanah/konflik. Isu yang dibangun berimplikasi pada ciri aksi yang dipilih yakni bersifat spontan dan sporadis dan terkadang primordial. Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa pembentukan organisasi petani mengalami hambatan terutama ketika dikaitkan dengan sifat dan karakter petani. Wolf (1985) mengemukakan ciri dan karakter petani dari sudut pandang antropologis lebih memperlihatkan satu tatanan petani yang terikat dengan ekologi dan tidak melakukan usaha dalam skala ekonomi. Meski secara sosial mereka terkait dengan tatanan sosial yang lebih kompleks namun masih bekerja secara sendiri-sendiri sehingga sulit diorganisir. Hal ini senada dengan Scott (1994) yang menganalogikan petani sebagai sekarung kentang yang berada dalam satu karung namun satu sama lain terpisah. Dalam hal ini sangat berbeda dengan karakter buruh industri yang terbuka dan lebih terbiasa dengan organisasi dan pengorganisasian. Organisasi Vis a Vis Institusi Terminologi institusi dan organisasi seringkali dapat saling dipertukarkan tanpa merubah makna dan definisi diantara keduanya (Uphoff, 1986). Hal tersebut mengacu pada definisi bahwa institusi merupakan kompleks norma dan perilaku yang terdapat dalam nilai-nilai kolektif. Dalam hal ini penjelasan bahwa institusi
28
dapat berada dalam organisasi mengacu pada pokok pikiran bahwa institusi sebagai norma akan melekat pada bangun organisasi. Esman dan Uphoff’s (1984) memberikan perhatian pada pentingnya organisasi lokal sebagai variabel pokok dalam pembangunan pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi dibangun atas dasar kebutuhan dan kepentingan tertentu tergantung kesepakatan diantara pendirinya. Sebagai organisasi lokal, anggota dapat mengambil tugas dengan sifat yang multidimensi, khusus, maupun tugas yang menyangkut kebutuhan anggota. Perkembangan organisasi dibahas oleh Selznick dalam Etzioni (1985), perhatian yang mendalam terhadap masalah intern akan menyebabkan organisasi lebih banyak memikirkan dirinya sendiri sehingga tidak lagi melayani tujuannya semula.
Kondisi
ini
memungkinkan
organisasi
melakukan
penggantian,
penambahan, dan perluasan ruang lingkup tujuan. Kecenderungan mencari tujuan baru dilakukan apabila tujuan telah tercapai atau tidak tercapai. Hal demikian menunjukkan kebutuhan yang sangat mendalam untuk tetap mempertahankan eksistensi organisasi yang telah dibentuk. Tipe ideal organisasi digambarkan dalam buku Etzioni (1985) dimana pembentukan organisasi akan terkait dengan tujuan kelompok dalam mendirikan organisasi. Etzioni menerangkan bahwa organisasi sebagai unit sosial (atau pengelompokkan manusia) yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu akan mengembangkan strategi dalam memenuhi tujuan yang ditetapkan. State of the art pembahasan teoritis tentang organisasi dimulai sejak lahirnya teori klasik administrasi atau aliran manajemen ilmiah (scientific management). Aliran ini lebih menekankan bahwa manusia berorganisasi dilandasi oleh alasan ekonomi. Pendekatan ekonomis menghasilkan karakter organisasi yang cenderung formal dan kaku dengan definisi pembagian kerja yang tegas. Dari aliran ini muncul ciri khas organisasi formal yang merupakan cetak biru pembentukan organisasi (Etzioni, 1985). Aliran di atas oleh sebagian orang dianggap terlalu kaku sehingga muncul kritik yang melahirkan aliran baru yaitu aliran hubungan manusia. Ide aliran hubungan manusia lebih menekankan kepada elemen emosional, tidak berencana
29
serta non-rasional dalam perilaku organisasi. Aliran ini mementingkan rasa persahabatan dan pengelompokkan peker ja bagi kemajuan organisasi. Aliran ini dalam perkembangannya melahirkan konsep organisasi informal. Ciri informal tersebut terkadang dipandang sebagai apa yang tersirat di balik struktur organisasi yang formal; selain itu tidak jarang dipandang juga sebag ai bagaimana hakekat kehidupan organisasi sebenarnya yang justru sangat berbeda dengan cetak biru maupun bagan-bagan yang telah tersedia. Dua aliran di atas menyajikan sebuah realitas dikotomis antara tipe organisasi formal dan informal. Pada prakteknya, di tingkat komunitas lokal dikotomi demikian tidak ditemukan karena dalam banyak hal seringkali formal dan informal selalu menjadi bagian dari sebuah organisasi. Dalam kerangka teoritis, telaah terhadap dua karakter melahirkan tradisi ketiga yakni organisas i yang merupakan gabungan antara organisasi formal dan informal dengan konsep organisasi yang lebih lengkap dan terpadu. Etzioni (1985) memberikan definisi organisasi sebagai unit sosial (atau pengelompokkan manusia) yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh anggota organisasi. Sampai saat ini ditemukan fakta bahwa organisasi menjadi wadah komunitas dalam upaya mengelola kegiatan hingga sampai pada tujuan yang telah ditetapkan. Terkait dengan arah penelitian yang bersifat eksploratif, penelitian ini bertujuan menemukan pola-pola pembentukan organisasi petani. Penelitian Firmansyah dkk (1999) menemukan bahwa karakteristik organisasi yang selama ini muncul adalah 1) dibangun atas dasar kebersamaan, 2) ketergantungan pada peran aktivis/kyai/tokoh, 3) gerakan lebih terorganisir sebagai respon atas penguasa atau lawan yang terorganisir. Karakter
demikian
tidak
pelak
lagi
mempunyai
dua
implikasi;
melemahkan atau justru memperkuat organisasi. Untuk lebih mendalam ketika melihat keberadaan organisasi, perlu penjelasan lebih lanjut tentang karakter organisasi. Organisasi yang dibentuk dari konflik tanah biasanya menggunakan isu kasus dengan ciri organisasi hanya cukup untuk bertahan hidup, bersifat sporadis, memiliki daerah cakupan terbatas serta belum terorganisir. Sedangkan organisasi yang dibentuk dari produksi atau peningkatan pendapatan berciri
30
membangun kemandirian, melepaskan diri dari struktur pemerintah, dan menggunakan isu ekonomi dalam berorganisasi. Namun demikian, apapun bentuk atau tipe organisasi, yang jelas keberhasilan organisasi tidak lepas dari bentuk -bentuk strategi organisasi yang dapat dianalisis berdasarkan karakter dan jaringan yang dibentuk oleh organisasi. Setiap bentuk strategi organisasi harus diarahkan bagi penguatan hak atas tanah dan pengelolaan sumber-sumber agraria. Pada akhirnya karakteristik yang terbangun akan mengarah pada upaya penguatan kedudukan petani. Dengan mempelajari penyebab timbulnya organisasi berbasis konflik, tampak bahwa organisasi tipe ini menunjukkan sebuah sifat organisasi yang belum terstruktur karena muncul tergantung tipe persoalan pada saat itu. Seperti yang diungkapkan dalam penelitian yang sama bahwa salah satu kelemahan mendasar gerakan petani pada dekade 1980-an adalah terletak dalam kenyataan bahwa gerakan -gerakan tersebut belum terorganisir dengan baik sehingga mudah ditumpas dan dikalahkan. Kondisi ini yang memicu aktivis melakukan pengorganisasian secara intensif sehingga lahirlah serikat petani di berbagai daerah. Meski kesiapan berorganisasi telah dipupuk sejak periode 1980-an, kenyataan masih menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga persoalan besar yang masih dihadapi petani terkait dengan pengorganisasian, diantaranya (Firmansyah, 1999): pertama, persoalan daya tahan. Daya tahan petani dalam aktivitas gerakan relatif terbatas, menyangkut ketersediaan sarana ekonomi dalam mendukung kegiatan. Kedua, ketergantungan pada tokoh. Peralihan peran tokoh mengalami pergeseran dari dekade 1980-an dengan gerakan petani pada masa kolonial. Kepemimpinan pada dekade 1980-an dipegang oleh kaum muda, sedangkan pada masa kolonial tokoh dipegang oleh kaum elit. Namun demikian fenomena tetap menunjukkan bahwa ketika tokoh menghilang, petani serta merta kehilangan semangat melanjutkan perjuangan. Ketiga, persoalan kemampuan berorganisasi dan manajemen gerakan. Persoalan di atas makin rumit jika tidak segera disikapi dengan penataan manajemen organisasi. Pada beberapa bentuk organisasi diluar tipe konflik, manajemen lebih diarahkan pada peningkatan kapasitas organisasi. Dengan demikian karakter organisasi yang muncul menjadi berbeda dimana organisasi
31
tipe ini lebih fokus pada penataan perkembangan kegiatan dan aktivitas anggota. Pengorganisasian pada organisasi yang tumbuh dari persoalan non-konflik dikerangkai oleh paradigma bahwa perjuangan kemandirian petani harus pula didukung oleh sistem organisasi yang baik, tidak sekedar menyandarkan pada gerakan perlawanan yang frontal/keras. Dalam pandangan organisasi yang tumbuh dari persoalan non-konflik, perjuangan petani tetap mengarah pada reforma agraria dengan dua jalan yang berbeda. Menjadi penting untuk kemudian melihat sejauh mana organisasi yang memiliki manajemen organisasi yang lebih solid mampu mendefinisikan gerakan dalam setiap langkah-langkah berorganisasi. Dalam hal ini manajemen dan karakter organisasi yang dibangun tidak dipahami sebatas peningkatan kapasitas, tetapi lebih dari itu merupakan strategi menciptakan perlawanan. Dengan demikian pemaknaan bangunan organisasi petani tidak dipandang secara sempit. Pilihan atas pendekatan CD dalam membangun sebuah organisasi terkait dengan pilihan yang dianggap sesuai dengan konteks masalah. Dalam kepentingan tersebut, pendamping (biasanya NGO atau orang maju dalam komunitasnya) cenderung memilih organisasi yang telah ada. Pengalaman pengorganisasian petani masa orde baru memperlihatkan konsep organisasi petani dimaknai oleh pemerintah dalam konteks pembangunan. Pembentukan organisasi petani pada masa ini lebih untuk menghubungkan kepentingan pemerintah dengan komunitas lokal. Dengan demikian organisasi di tingkat lokal seringkali hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam menggulirkan agenda-agenda pembangunan yang bersifat top down. Dalam pembahasan yang agak berbeda, organisasi seringkali diarahkan pada sebuah organisasi bentukan pemerintah untuk merespon program -program pembangunan dari
atas
(Israel,
1990;
Cernea,
1988).
Program
pembangunan
yang
diintroduksikan ke tingkat desa membawa serta ideologi baru tentang peran masyarakat lokal dalam proyek pembangunan. Alasan ini yang mendorong pemerintah membentuk organisasi petani untuk memfasilitasi pembangunan di tingkat desa. Israel (1990) dalam tulisannya tentang program irigasi bank dunia memaparkan kelembagaan irigasi yang dibangun oleh pemerin tah. Dalam
32
pemaparannya, Israel mengemukakan bahwa organisasi di tingkat komunitas diperlukan pemerintah untuk mensosialisasikan proyek pembangunan. Senada dengan tulisan Cernea (1988) yang membahas terbentuknya organisasi di tingkat petani namun dengan pendekatan topdown. Dengan begitu, sampai tahun 1990-an organisasi petani yang ada merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam berbagai bidang misalnya pertanian dengan kelompok tani-nya, demikian juga kehutanan dengan KTH-nya. Tulisan
Tjondronegoro
(1984)
kemudian
menunjukkan
bahwa
pembangunan dengan pendekatan dari atas hanya menegasikan keberadaan lembaga lokal. Ketika program masuk ke masyarakat, muncul organisasi bentukan pemerintah. Seperti yang dikemukakan di awal bahwa organisasi dengan ciri demikian tidak cukup efektif memenuhi kebutuhan di tingkat lokal. Organisasi bentukan lebih berorientasi pada kekuasaan dan pemerintah sehingga gagal menjadi bagian dari masyarakat. Penelitian Tjondronegoro (1984) berhasil menunjukkan bahwa di tingkat lokal ada relung sodality yang terbangun di tingkat dukuh. Sodality inilah yang kemudian menjadi solusi atas ketidakberhasilan pembangunan melalui organisasi melalui pendekatan alternatif kelembagaan. Pandangan lain mencoba mengemukakan bahwa lembaga di tingkat lokal dan berangkat dari kebutuhan komunitas itu sendiri dapat menjadi alat bagi petani untuk mencapai tujuan tertentu dalam hubungannya dengan aktor luar. Hasil penelitian Firmansyah dkk (1999) membuktikan bahwa organisasi yang dibentuk oleh petani dapat leb ih efektif dan efisien dalam membangun kekuatan petani di tingkat lokal. Keberhasilan dibuktikan melalui makin banyaknya organisasi petani yang tumbuh dan berhasil mencapai tujuan organisasinya.
Hipotesis Pengarah Untuk sampai pada analisis tentang organisasi petani, penelitian ini menggunakan hipotesis pengarah yang sekaligus digunakan sebagai pedoman peneliti menggali fakta-fakta lapang yang sesuai dengan pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini. 1. Perlawanan petani dan organisasi petani mengusung ide kedaulatan petani sebagai respon marjinalisasi masyarakat petani.
33
2. Konteks ekonomi dan politik akan menyumbang pada bentuk organisasi yang dibangun, sekaligus pola-pola perlawanan yang dikembangkan oleh organisasi yang bersangkutan. 3. Karakter perlawanan mempunyai watak, dan moda aksi yang terkait dengan konteks permasalahan dan paradigma pembangunan skala nasional dan global.
Kerangka Pemikiran Analisis perlawanan petani dalam pandangan Harper (1989) dapat dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu bagaimana, mengapa, dan dalam kondisi apakah sebuah organisasi8 bisa muncul. Konteks sosial yang memicu perlawanan harus dilihat secara holistik. Komunitas harus dipandang sebagai kompleks yang saling berinteraksi pada tiga tingkat, yaitu ekonomi, politik dan ideologi dimana kontradiksi berkembang di dalam maupun antar aras. Jalinan aspek ekonomi, politik, dan ideologi harus dipahami sebagai basis pijakan
menganalisis
konteks
sosial
dibangunnya
perlawanan
melalui
pembentukan organisasi petani. Alternatif memindahkan pola perlawanan - akibat pengaruh konteks sosial komunitas - dari radikal menuju perlawanan halus dan lebih berciri CD perlu melihat konfigurasi kekuasaan negara atas faktor ekonomi dan politik sebagai dasar analisis. Dengan kata lain, perlawanan petani yang berangkat dari persoalan spesifik melahirkan pendekatan organisasi yang khas pula. Pilihan atas bangunan organisasi pada akhirnya menjadi strategi lanjut dari organisasi untuk mengembangkan perlawanan. Sebagai organisasi yang mempunyai tujuan memperkuat posisi petani dan memperjuangkan kedaulatan petani, karakter perlawanan harus mengarah pada perlawanan yang berkelanjutan. Dengan demikian dalam penelitian ini akan dikaji tentang penyebab dan kemunculan, tujuan, strategi & aktivitas, jaringan yang dibangun serta implikasi terhadap persoalan yang dihadapi. Pendekatan pengembangan komunitas gaya petani menghasilkan kemandirian petani yang berbasis pada kebutuhan dan permasalahan nyata yang dirasakan petani. Dalam hal ini organisasi sebagai bentuk perlawanan yang bersifat politis masih 8
Organisasi dapat didefinisikan sebagai manifestasi perlawanan petani. Melalui organisasi petani dapat melawan tekanan struktural yang muncul. Organisasi juga bisa dianggap sebagai perkembangan lanjut strategi perlawanan yang dikembangkan petani.
34
Dimensi masalah petani secara umum
POLITIK • Tekanan struktural • Akses terhadap input pertanian • Peningkatan eksploitasi • Kemerosotan status sosial
EKONOMI Pola pertanian konvensional menuju pertanian alternatif
Production Center Development
Dipengaruhi konteks politik negara/global Penguatan, pengakuan serta perlindungan yang adil atas hak petani terhadap akses keadilan dan kesempatan
• Pola pengelolaan sumbersumber agraria • Ketergantungan pada kekuatan eksternal (pasar, input pertanian mahal)
Dipicu krisis moneter
Dipengaruhi ideologi aktivis
Organisasi yang dibentuk dari produksi atau income generating, berciri: • Menggunaka n isu ekonomi • Mensistematisasi gerakan rakyat • Melepaskan diri dari struktur pemerintah • Membangun kemandirian
Karakter perlawanan • Pendekatan CD • Pendekatan transformasi gerakan rakyat • Memindahan perlawanan radikal menjadi halus • Menjalin hubungan dengan pemerintah sebagai langkah taktis
Terkait konteks sosioekonomi dan politik (permasalahan) petani
Organisasi mengalami kontinum perkembangan, fokus pada isu advokasi hak atas tanah
Memperkuat posisi petani menghadapi dominasi negara dalam berbagai kebijakan baik ekonomi dan politik dalam bentuk akses dan kontrol
PERLAWANAN TERSAMAR Melawan di bawah payung slogan-slogan pembangunan pemerintah sambil mendefinisikan kembali slogan tersebut kedalam pengertian paradigma yang lebih berorientasi kearah struktur partisipatif
People Center Development Gambar 1. Kerangka Pemikiran dalam Pendekatan Masalah
35
memerlukan sudut pandang lain untuk memahami secara utuh. Ketika petani terlibat dalam persoalan struktural maka perlu diterapkan strategi lain agar perlawanan yang dikembangkan oleh komunitas yang bersangkutan tidak tampak dan tidak menimbulkan penolakan dari pihak yang dilawan. Penyamaran ini, dalam konteks Indonesia menjadi penting terkait ideologi pembangunan dengan segala doktrin modernis/developmentalis-nya. Jika dikaitkan dengan pemaparan Korten (2001) dapat dikemukakan bahwa organisasi mengarah pada paradigma people-centered development dan merujuk pada upaya transformasi pembangunan. Dalam sumbangan pemikiran Korten, organisasi dengan karakter demikian dapat dikategorikan kedalam organisasi rakyat generasi keempat yang bicara tentang konsep atau ideologi strategi alternatif pembangunan dan melihat bahwa masalah dasar pembangunan tidak lagi berskala lokal/nasional, tetapi global. (Gambar 1.)
PENDEKATAN LAPANG
Strategi Penelitian Penelitian tentang karakteristik organisasi petani dalam tesis ini sebelumnya telah didahului oleh penelitian untuk menentukan klasifikasi organisasi petani yang ada di Jawa. Penelitian yang difasilitasi oleh lembaga penelitian internasional tersebut menghasilkan dua tipologi besar organisasi petani yaitu organisasi berbasis konflik (conflict based organizations) dan organisasi berbasis produksi (production based organization). Tipologi pertama merujuk tipe organisasi yang terbentuk karena anggota dihadapkan pada isu konflik agraria sebagai isu awal pembentukan. Karakter yang menonjol untuk tipe ini adalah pembentukan seringkali dibidani oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sehingga kegiatan lebih banyak diarahkan pada advokasi dan pendekatan hukum. Embrio organisasi tipe ini telah ada sejak kasus agraria muncul, jauh sebelum reformasi. Namun demikian, pendekatan pengorganisasian secara lebih tersistematisir baru terinspirasi pada era reformasi. Tipologi kedua memperlihatkan tipe organisasi yang terbentuk karena isu produksi dimana ide awal pembentukan lebih pada pengelolaan pertanian dan isu peningkatan kesejahteraan. Tipe organisasi ini biasanya dibidani oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak pada isu produks i. Embrio organisasi tipe produksi biasanya telah ada dalam bentuk kelompok PKK, karang taruna, atau kelompok tani bentukan pemerintah. Pendekatan pengorganisasian yang dikembangkan cenderung mengadopsi model-model CD meskipun dalam hal ini menjadi jauh lebih maju terutama dengan diterapkannya pendekatan CO yang lebih berbasis lokal. Teori yang dibangun dalam memahami fenomena organisasi petani berangkat dari kesadaran bahwa realitas yang ada harus dipahami secara kritis. Pada ranah metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kritis dengan menggunakan teknik interpretatif-kritis tanpa mengabaikan makna-makna dibalik respon petani atas permasalahan struktural yang dialami. Fenomena keberadaan organisasi petani diinterpretasikan secara kritis dari realitas sosial yang ada. Secara ontologi, teori ini berangkat dari sebuah paradigma kritis, suatu tradisi
37
paradigma dalam ilmu sosial yang ingin memperlihatkan upaya membuka kebenaran. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan meminjam pendekatan kuantitatif untuk mendapatkan pemahaman utuh tentang organisasi petani setelah sebelumnya dilakukan pemilihan secara purposive terhadap organisasi tani sekunder yang akan diteliti. Metode kualitatif dilakukan untuk memperoleh data-data yang terkait dengan mengapa dan bagaimana respon petani terhadap permasalahan struktural. Untuk memperoleh data kualitatif digunakan panduan pertanyaan yang diarahkan pada sejarah munculnya organisasi serta bagaimana keberlanjutan organisasi tersebut. Metode kuantitatif dipergunakan dengan
meminjam
penggunaan
kuesioner
terbuka
(yang
sesungguhnya
menampilkan wawancara terstruktur) dengan data yang diperoleh merupakan data kualitatif. Dengan demikian, kuesioner yang berisi pertanyaan terbuka tetap dalam tujuan menangkap data-data kualitatif. Kualitatif sebagai sebuah metode penelitian yang didalamnya menerapkan perangkat interpretatif atas realitas sosial bermuara pada dapat digunakannya seperangkat metode untuk menerangkan makna. Dalam hal, ini kualitatif sebagai upaya interpretasi atas realitas sosial melibatkan alur proses yang didalamnya melibatkan kegiatan ontologi (pilihan teori), epistemologi (pilihan atas metode) dan metodologi (pilihan atas analisis). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode penelitian kualitatif mend asarkan pada sebuah aktivitas interpretatif dengan multi-metode Strategi yang digunakan adalah studi kasus dimana tipe organisasi yaitu production based organization menjadi subyek penelitian. Studi kasus dilakukan dengan alasan penelitian tentang organisasi petani memerlukan gambaran utuh dalam menangkap fenomena organisasi petani yang telah banyak tumbuh di Indonesia. Yin (1996) mengemukakan bahwa studi kasus adalah studi aras mikro yang bersifat multi-metode dengan titik berat pada metode-metode non-survei.
Lokasi dan Waktu Penelitian Dari hasil penelitian sebelumnya, ditetapkan bahwa penelitian ini difokuskan pada sebuah organisasi petani yang dibangun atas permasalahan
38
ekonomi-produksi. Dengan pertimbangan tersebut dipilih organisasi petani di Salatiga, Jawa Tengah. Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah (SPPQT) merupakan organisasi yang beranggotakan paguyuban petani di tiap kawasan yang masing-masingnya beranggotakan kelompok tani lokal. SPPQT mewakili sebuah bentuk organisasi yang dibangun atas permasalahan ekonomi yang dialami oleh anggotanya. Dengan kata lain, organisasi ini merupakan sebuah organisasi petani berbasis produksi. Fokus penelitian ini diarahkan pada karakteristik serikat, paguyuban dan kelompok tani yang menjadi anggota paguyuban. Serikat, paguyuban dan kelompok tani menjadi studi kasus sebagai media menangkap karakter organisasi petani yang berada di tingkat basis/lokal. Sebagai bagian dari sebuah proyek, penelitian ini dilakukan secara bertahap dari tahun 2002 hingga 2005. Dalam periode waktu tersebut, total waktu efektif yang digunakan untuk melakukan penelitian lapang sekitar tiga bulan. Penelitian tahap akhir dilakukan pada bulan Januari sampai Pebruari 2005. Dalam proses penulisan tesis, peneliti merasa perlu kembali terjun ke lapang guna melakukan pendalaman dan triangulasi hasil studi yang dilakukan pada tanggal 16 Agustus hingga 3 September 2005.
Unit Analisis dan Teknik Penentuan Subyek Penelitian Organisasi tani sebagai unit analisis dipilih berdasarkan kriteria ada tidaknya kegiatan produksi atau ekonomi dalam organisasi tersebut. Pilihan organisasi atas dasar basis pembentukan menjadi penting karena unit analisis penelitian ini adalah organisasi. Dengan demikian pemilihan secara purposive atas tipe organisasi menjadi dasar validitas data. Pilihan unit analisis penelitian ini membutuhkan kejelian untuk menangkap karakter perlawanan yang ditampilkan. Penggalian informasi, dinamika dan karakter organisasi secara utuh mengharuskan peneliti melakukan pengamatan di tiga aras organisasi sekaligus. Terkait dengan hal tersebut, serikat, paguyuban dan kelompok tani menjadi subyek tineliti dalam waktu yang relatif berurutan. Paguyuban yang menjadi subyek tineliti sebanyak 4 paguyuban yang masing-masingnya diambil tiga kelompok tani yang mewakili kekhas -an karakter setelah sebelumnya didiskusikan dengan SPPQT.
39
Teknik Pengambilan Data Sebagai sebuah penelitian dengan metode kualitatif, teknik pengambilan data dapat dilakukan dengan menerapkan berbagai cara. Penelitian kualitatif merupak an suatu metode berganda dalam fokus, yang melibatkan suatu pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahannya (Salim, 2001). Ini berarti metode kualitatif bekerja secara emic dalam upaya memahami, memberi tafsiran pada realitas sosial yang terlihat dan disampaikan oleh subyek tineliti. Realitas sosial yang ingin ditangkap pada dasarnya merupakan bagian dari pertanyaan penelitian yang ingin dijawab. Dengan demikian, untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang diteliti, penelitian ini menggunakan secara inheren strategi yang merupakan multi-metode yang dikerangkai oleh satu fokus yaitu masalah penelitian. Permasalahan yang kompleks dalam hal pengakuan, penguatan dan perlindungan memunculkan sebuah keinginan untuk menggali lebih lanjut kaitan antara keberadaan organisasi petani dengan perjuangan menegakkan kesetaraan. Disamping itu, penggalian tentang organisasi petani akan lebih bermakna ketika diarahkan pada upaya pengelolaan sumber -sumber agraria yang suatu saat berbenturan dengan pemerintah sehingga memaksa petani membangun organisasi dalam bentuk yang lebih kokoh agar dapat melakukan serangkaian kegiatan advokasi atas hak -haknya di masa depan. Data-data primer diperoleh dengan menggunakan instrumen penelitian yang terdiri dari panduan pertanyaan dan kuesioner singkat. Data tersebut diperoleh melalui wawancara mendalam atau interview yang dilakukan terhadap informan kunci dan responden. Perkiraan kebutuhan data yang dianggap penting untuk membangun kerangka teori dan menjawab masalah yang diajukan, disusun dengan menggunakan panduan pertanyaan. Panduan pertanyaan digunakan untuk memperoleh data kualitatif tanpa bermaksud mengarahkan tineliti untuk menjawab dengan jawaban tertentu. Dengan demikian pertanyaan yang ada bersifat pertanyaan terbuka (Lihat Lampiran 1 dan 2.). Keperluan atas data-data primer diperoleh dari kuesioner singkat yang disusun berdasarkan kebutuhan data. Penggunaan kuesioner penting terutama
40
untuk memudahkan peneliti menganalisis berdasarkan kategori data. Data akan lebih cepat ditangkap ketika pertanyaan dimunculkan secara lebih sistematis. Untuk data sekunder, peneliti mengambil laporan-laporan kegiatan organisasi petani sekaligus untuk melakukan cross -cek data tersebut dengan data lapang. Data-data sekunder diperoleh dari jurnal kegiatan organisasi. Jurnal tersebut memperlihatkan kegiatan -kegiatan organisasi yang terkait dengan tujuan pembentukan organisasi petani yakni memperkuat kedudukan petani. Data sekunder juga diperoleh dari media-media komunikasi yang dikeluarkan oleh organisasi. Pada organisasi yang berciri sistematis, media menjadi sarana yang tepat dalam mempublikasikan kegiatan-kegiatan organisasi sekaligus sebagai sarana mensosialisasikan eksistensi sebuah organisasi. Kegiatan organisasi tergambar dalam media sehingga memudahkan penelusuran perkembangan organisasi. Sebagai sebuah penelitian kualititatif, penelitian ini menggunakan metode berganda yang melibatkan suatu pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahannya. Untuk mendapatk an pemahaman yang lebih mendalam mengenai fenomena yang sedang diteliti, diterapkan triangulasi sebagai alternatif terhadap pembuktian untuk menambah kekuatan, keluasan dan kedalaman suatu penelitian. Sebagai sebuah penelitian studi kasus, penelitian ini memadukan metode pengamatan berperanserta, wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD) dan studi analisis data dokumen. Berbagai teknik dan strategi pengambilan data sekaligus dipergunakan untuk lebih mengarahkan dan mempertajam pokok-pokok informasi yang ingin diperoleh dalam penelitian ini. Data awal bagi penulisan tesis ini sesungguhnya telah diperoleh dari rangkaian kegiatan penelitian PKA-IPB. Namun demikian, ada beberapa hal yang menjadi fokus kajian dari tesis ini yang belum tercakup dalam penelitian tersebut. Atas pertimbangan tersebut maka penulis memutuskan untuk kembali melakukan penelitian ditengah proses penulisan tesis. Turun lapang kedua lebih memfokuskan pada kelengkapan data terkait dengan hasil analisis sementara yang dilakukan penulis. Dalam kepentingan tersebut, penelitian diarahkan pada aspek filosofis dari bangunan organisasi. Wawancara diarahkan pada pendiri dan inisiator organisasi untuk memperoleh gambaran arah organisasi.
41
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Ilmu sosial yang bermuara pada output pencarian makna memperbolehkan ilmuwannya menggunakan berbagai metode baik kualitatif maupun kuantitatif (Salim, 2001) agar makna atas segalanya dapat saling mendukung. Penelitian ini, meskipun menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, namun data dianalisis secara kualitatif. Penggunaan kuesioner terbuka memungkinkan digunakannya pertanyaan terbuka sehingga jawaban diperoleh dalam bentuk kualitatif. Gambaran realitas sosial dianalisis dengan menggunakan teori kritis dalam ranah interpretatif-kritis. Dengan dukungan teoritis, secara kritis realitas sosial ditarik pada satu kesimpulan yang berupaya memahami makna dibalik realitas/fenomena sosial. Analisis kritis juga dikembangkan dengan melibatkan proses dialogis-komunikatif. Proses dialo gis-komunikatif mutlak diperlukan dalam paradigma kritis karena secara filosofis realitas sosial tidak hakiki melainkan hasil interpretasi individu yang bersifat relatif-subyektif terkait dengan pengalaman individu. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan tiga alur kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data (Miles dan Huberman, 1992: 15-21). Tiga alur tersebut dilakukan selama peneliti masih berada di lapang sehingga jika ada bagian -bagian yang masih belum lengkap dapat dilakukan pencarian data kembali. Reduksi data merupakan kegiatan pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis lapangan. Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memungkinkan penarikan kesimpulan. Data yang diperoleh dari realitas sosial dipahami secara mendalam untuk mendapatkan gambaran yang mendekati persepsi subyek tineliti. Dalam hal ini, kesamaan persepsi atas sebuah realitas sosial dapat saja terjalin antara penelitisubyek tineliti, namun peneliti akan menggunakan kerangka teoritis untuk menginterpretasikan realitas sosial kedalam sebuah pemahaman yang lebih jauh dapat menggambarkan posisi sosial atas sebuah realitas . Ini merupakan refleksi lebih lanjut, tidak hanya sekedar menafsir, menginterpretasi dan memaknai, melainkan
sebuah
upaya
melihat
realitas
dari
sudut
pandang
kritis,
42
mempertanyakan dan membangun dasar teoritis yang kuat untuk membangun jawaban atas pertanyaan kritis. Penelitian
ini
relatif
tidak
memiliki
tingkat
kesulitan
dalam
mengumpulkan data dan menganalisis realitas empiris. Hal tersebut didukung oleh keberadaan SPPQT sebagai organisasi formal, bersifat terbuka sehingga pendekatan relatif mudah dilakukan. Kendala yang mengemuka justru ketika harus melakukan wawancara di empat paguyuban yang letaknya berjauhan, terlebih ketika harus menentukan studi kasus kelompok tani dari masing-masing paguyuban. Terkait dengan organisasi sebagai unit analisis, diakui ada bias dalam proses pengumpulan informasi dimana wawancara banyak diarahkan pada pengurus organisasi. Hal ini tidak dapat dihindari karena pertanyaan yang disusun mengarah pada sejarah, tujuan dan perkembangan organisasi yang lebih banyak diketahui pengurus dibanding anggota organisasi. Kegiatan FGD yang dilakukan kurang dapat merangsang anggota organisasi untuk bicara dan mengungkapkan pengetahuan tentang organisasi. Dengan demikian proses FGD lebih banyak didominasi oleh pengurus organisasi. Menempatkan realitas empiris dalam kerangka teoritis memerlukan curahan waktu dan pikiran lebih mengingat sifat unik organisasi (Lampiran 7). Informasi tentang organisasi yang dikumpulkan sebagian besar berada pada ranah pembangunan, namun setelah melakukan diskusi lebih lanjut dan melakukan kegiatan turun lapang tahap dua, diperoleh gambaran bahwa kegiatan tersebut hanya sebatas strategi dan langkah taktis untuk membungkus gerakan. Dibutuhkan waktu sekitar enam bulan untuk memahami posisi SPPQT dalam ranah gerakan sosial petani.
Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri atas delapan bab dalam usahanya menggambarkan karakter perlawanan petani. Masing-masing bab mewakili fokus pembahasan yang berbeda sehingga mempermudah pemahaman pembaca. Bab I (pendahuluan) berisi pemaparan mengenai mengapa perlawanan petani menarik untuk dikaji. Pilihan fokus penelitian didasarkan atas fakta bahwa keterpurukan petani disebabkan ketidakberpihakan kebijakan pemerintah. Konteks sosial politik dan ekonomi
43
menjadi arena percaturan yang melahirkan gagasan perlawanan petani. Dalam perkembangan baru tampak bahwa perlawanan petani diwujudkan dalam bentuk organisasi petani. Bab ini menggambarkan kearah mana alur penelitian ini akan dibawa melalui rumusan pertanyaan penelitian. Bab II (tinjauan teoritis) sarat dengan pendekatan teori tentang aspek yang akan dikaji dalam tesis. Berbicara tentang perlawanan petani tentunya tidak akan lepas dari uraian tentang siapa sesungguhnya petani dan bagaimana karakternya. Gerakan sosial menjadi bagian dari basis ide kesadaran kolektif. Perlawanan petani terjadi sebagai respon atas kondisi yang dihadapi. Terkait dengan hal tersebut, pengorganisasian petani dapat dianggap sebagai strategi dalam melawan struktur yang ada. Secara khusus bab II juga memaparkan kerangka pemikiran sebagai panduan analisis tesis. Bab III (pendekatan lapang) merupakan pendekatan yang dikembangkan untuk bisa menjawab pertanyaan penelitian. Bab ini berisi strategi penelitian, lokasi dan waktu penelitian, unit analisis, teknik pengambilan data, dan teknik pengolahan dan analisis data. Strategi analisis dilakukan dengan menggunakan kerangka gerakan sosial dalam pendekatan neo-Marxian. Fakta yang diperoleh dengan cara dialogis diinterpretasi secara kritis. Bab IV (kendala struktural petani dalam berorganisasi) mengemukakan sesuatu yang menjadi kendala struktural petani dalam berorganisasi. Disisi lain, kendala tersebut dapat dilihat sebagai sesuatu yang mendorong lahirnya pengorganisasian petani. Persoalan mendasar yang paling bersentuhan dengan petani adalah ekonomi dan politik. Perkembangan kebijakan yang terkait dengan dua hal tersebut menciptakan keterpurukan petani. Bab ini berbicara tentang mekanisme faktor tersebut dalam sumbangannya melahirkan organisasi. Disamping itu, terdapat gambaran tentang perkembangan faktor sosio -ekonomi politik yang menghambat pengorganisasian petani sehingga organisasi petani relatif baru muncul pada masa reformasi. Bab V (karakteristik organisasi produksi) bicara tentang karakter organisasi komunitas yang menggunakan strategi CD. Didalamnya terdapat gambaran perkembangan internal organisasi produksi. Pola pengorganisasian organisasi tipe ini diperlihatkan untuk memperoleh pemahaman tentang keterkaitan organisasi antar aras. Pilihan kegiatan yang dikembangkan tampak berbeda dengan organisasi yang berangkat
44
dari kasus agraria. Organisasi produksi mempunyai tanggung jawab dalam hal peningkatan kesejahteraan anggota melalui pendekatan ekonomi. Dengan demikian dinamika organisasi mengarah pada kegiatan yang berorientasi persoalan ekonomi dan produksi sebagai basis organisasi ini. Bab VI (people-center oriented : pilihan gerakan) berisi state of the art organisasi yang dibangun atas dasar kebutuhan ekonomi produksi namun berujung pada perlawanan. Bab ini berusaha memaparkan bahwa paradigma yang dikembangkan oleh organisasi petani adalah people-center oriented. Pilihan atas paradigma yang diusung lebih mendekatkan pada upaya mencapai kedaulatan petani. Didalamnya juga diperlihatkan perbandingan antara production-center oriented
dengan
people-center
oriented.
Perbedaan
diantara
keduanya
menyebabkan petani lebih memilih pendekatan kedua dalam berorganisasi. Perbedaan antara CO dengan CD yang dipaparkan dalam bab ini merujuk pada tulisan Hollnsteiner (1979). Untuk lebih memahami perbedaan diantara keduanya, dikemukakan contoh dalam konteks lain. Bab VII (perlawanan tersamar organisasi petani) mengarahkan pada hasil analisis tiga bab terdahulu yang menceritakan tentang kendala struktural berorganisasi, karakter organisasi produksi dan pilihan paradigma petani. Organisasi petani dengan cita-cita menggapai kedaulatan petani harus mempunyai strategi yang tepat ketika berhadapan dengan aktor yang lebih kuat. Bab ini berisi kritikan atas paradigma pembangunan pertanian yang berorientasi production center
development.
Sebagai
organisasi
produksi,
perlawanan
tersamar
mengindikasikan cara-cara petani menampilkan model baru pemberdayaan petani namun dengan menerapkan mainstream lama agar terhindar dari resistensi pemerintah. Sebuah istilah yang mungkin mendekati tepat dengan realitas sosial yang muncul adalah upaya memindahkan jalur perlawanan dari pola radikal ke pola yang lebih halus. Dalam kerangka ini, terjadi pemindahan strategi perlawanan yang kemudian menghasilkan perlawanan tersamar organisasi petani. Tersamarkan oleh jargon pembangunan yang diusung namun disadari maupun tidak, bermuara pada efektifitas perlawanan terhadap kekuatan struktural.
KENDALA STRUKTURAL PETANI DALAM BERORGANISASI Pembentukan organisasi petani tidak dengan mudah dikemukakan terutama jika dikaitkan dengan karakter petani. Berbagai literatur (Scott: 1994, Popkin: 1986, Shanin: 1971) tentang petani menghasilkan gambaran yang hampir senada. Sebagai satu entitas sosial, petani digambarkan memiliki sifat tertutup dan sulit untuk sampai pada pengorganisasian. Tulisan Scott mengantarkan kajian pada bentuk perlawanan sehari-hari yang tidak terorganisir (Scott,1993). Namun demikian, penting dikaji sebuah fase dimana perubahan orientasi petani dapat terjadi karena dorongan -dorongan tertentu. Worsley (1982) mengemukakan melalui konsep depeasantisasi. Petani menghadapi tekanan yang demikian kuat sehingga mencoba bangkit dan keluar dari ciri moralitas petani-nya Scott. Tekanan tersebut oleh tulisan lain (Smith and Buttel, Johnson, Shanin; 1971) didefinisikan lahir dari sebuah proses modernisasi dan industrialisasi. Kedua proses tersebut mengintegrasikan petani kedalam sistem ekonomi berciri kapitalis. Gejala depeasantisasi mulai tampak ketika pertanian mengarah pada intensifikasi dan diversifikasi tanaman dengan tujuan meningkatkan produksi. Pada masa itu, petani sudah masuk pada lingkaran kekuatan global dan terintegrasi kedalam sistem ekonomi kapitalis. Analisis tentang fenomena tersebut dapat berangkat dari konteks dimensi hubungan agraria sebagai landasan analisis dalam kajian organisasi petani. Lahirnya perlawanan, secara empiris dapat dihubungkan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi petani. Persoalan yang tampak dan mengemuka pada petani Salatiga terutama terkait dengan struktur agraria yang timpang, sewa lahan mahal, ketimpangan struktur kerja dan posisi buruh, upah buruh yang tidak adil, dan maraknya tengkulak. Persoalan kesejahteraan dan kemiskinan dapat ditelusuri dari kondisi struktur agraria pada komunitas. Ini tentu saja akan menyangkut tidak hanya persoalan kepemilikan melainkan juga relasi sosial yang terjalin antara stakeholder yang ada. Tampak bahwa pendekatan struktur kepemilikan lahan menjadi penting dan harus mendapat porsi perhatian yang luas dan menjadi sandaran pokok mengurai permasalahan yang dihadapi petani. Hal tersebut terkait dengan struktur kepemilikan lahan di Jawa yang di
46
dalamnya terdapat kepemilikan perhutani maupun swasta dalam bentuk HGU yang meminggirkan kepemilikan masyarakat. Kajian tentang permasalahan petani didasarkan pada dua pijakan besar yaitu permasalahan yang menyangkut aspek kultural dan permasalahan yang menyangkut aspek struktural. Dalam konteks dimensi agraria, dua permasalahan ini kemudian berakibat pada kemiskinan yang berakar dari tekanan yang terjadi atas petani. Pearse (1968) melengkapinya dengan uraian bahwa persoalan yang paling berat menimpa petani adalah persoalan struktural 1 . Soetomo (1997) meninjau implikasi atas permasalahan ini pada bermuaranya kekalahan manusia petani yang selalu terjadi sepanjang sejarah kehidupan petani. Telah dikemukakan di awal bahwa bentuk organisasi memperlihatkan pola gerakan yang dianut embrio organisasi sebelum organisasi SPPQT diformalkan. Penelusuran sejarah terbentuknya organisasi membawa pada upaya menyingkap persoalan-persoalan kontekstual yang dihadapi petani. Paling tidak, ada dua faktor yang terkait erat dalam mengilhami terbentuknya SPPQT. Kondisi ekonomi dan politik yang secara signifikan berpengaruh pada menguatnya keinginan membentuk organisasi di tingkat lokal sekaligus menjadi kendala terbentuknya organisasi.
Konteks Ekonomi dan Politik Sebagai Kendala Berorganisasi Jauh sebelum penelitian ini dilakukan, petani telah dihadapkan pada konteks relasi dengan supra lokal. Sayangnya relasi tersebut menciptakan pola hubungan yang tidak seimbang yang mengakibatkan petani selalu mengalami kekalahan. Hegemoni kekuatan orang luar terhadap petani diungkapkan pula oleh Shanin (1971) sebagai salah satu tipe umum karakteristik petani. Menurut Shanin, posisi petani adalah posisi paling bawah (underdog ) yang selalu di bawah bayangbayang kekuatan yang selalu ada di luar diri petani itu sendiri. Sering dikatakan bahwa petani merupakan “perpanjangan tangan” dari pusat-pusat kekuatan sosio 1
Dikatakan oleh Pearse bahwa: satu, petani kecil merupakan kelompok marjinal karena keikutsertaannya dalam sistem sosial telah meletakkan mereka sebagai elemen yang dibuat bergantung tak berdaya sepenuhnya (a dependent powerless element). Dua, pilihan-pilihan petani ditentukan oleh pihak-pihak di luar petani. Tiga, petani terasing dari jaringan-jaringan informasi aktual mengingat keterbatasan kemampuan kognitif mereka, sistem transportasi yang belum sempurna, dan perbedaan kultur serta posisi inferior dalam pasar.
47
politik. Kekuatan sosio -politik tadi membentuk jaringan bersama dengan kondisi budaya dan ekonomi untuk melakukan subordinasi dan eksploitasi yang menekan masyarakat petani. Melihat demikian, rasanya tidak berlebihan ketika petani beserta pihak yang peduli terhadap petani mencoba melepaskan belenggu ketertindasan. Alternatif kemudian jatuh pada dibangunnya sebuah kekuatan konsolidasi internal dalam bentuk organisasi petani. Menilik perjalanan panjang sejarah kebijakan yang menyangkut petani, tampak bahwa respon terhadap kondisi yang ada dipengaruhi oleh tidak adanya keberpihakan kebijakan terhadap petani. Penelusuran periode kesejarahan paling tidak membuktikan hal tersebut. Tonggak pergerakan atau perlawanan kaum tani dimulai dengan p emberontakan petani di Cianjur Tahun 1845, Banten Tahun 1850, Cilegon Tahun 1888, serta beberapa daerah lain. Pemberontakan pertama di Banten dan Cilegon dipelopori oleh para kyai dan jaringan tarekatnya. Gerakan ini dilatarbelakangi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang telah meminggirkan kepentingan rakyat miskin pada masa itu. Karakter perlawanan masih terkesan sekterian (aliran islam) pemimpinnya adalah para guru atau ustadz. Situasi yang mempengaruhi gerakan petani dalam konteks ini adalah mulai terancamnya tradisi budaya islam. Pada masa ini terjadi pengaruh pola pendidikan barat yang mengancam pesantren atau pondokan pondokan yang mengajarkan ajaran islam. Pasca kolonialisasi, pemerintahan Bung Karno menentukan sikap politik. Pengamanan aset-aset negara pasca perang dingin, ternyata mempengaruhi sikap politik pemimpin nasional untuk melakukan pengamanan harta pampasan perang. Kebijakan menasionalisasi perusahaan asing yang ada di Indonesia dilakukan dengan cara menguasai perusahaan perkebunan, pertambangan dan kilang-kilang minyak (Tauchid, 1952). Pergerakan politik mewarnai gerakan petani, untuk merebut obyek-obyek landreform yang ditetapkan oleh negara. Kelompok petani menjadi kekuatan basis bagi organisasi politik dengan cara gerakan petani sebagai ormas-ormas berafiliasi dengan organ induknya. Keberpihakan Soekarno tidak sampai disitu. Sekitar tahun 1960 lahir UUPA yang merupakan produk kebijakan yang mampu
48
mengakomodir kebutuhan petani. Tanah sebagai obyek landreform dibagikan kepada petani. Stigma PKI muncul sebagai konsekuensi atas aksi sepihak yang dilakukan BTI yang merupakan underbouw PKI. Peristiwa ini memunculkan trauma di kalangan petani. Pembatasan ruang gerak terjadi di setiap organisasi non-bentukan pemerintah. Pada masa itu, gerakan rakyat mengalami kekalahan. Kekuasaan mengatur dan mengelola sumber-sumber agraria berada di tangan pemerintah Orde Baru. Perjalanan Era Politik Soeharto Hingga Neoliberalisme Politik ekonomi negara pada rezim Soekarno berkuasa, lebih bercorak sosialis populis dengan menasionalisasi aset-aset Belanda (perusahaan asing) menjadi milik negara dan produk kebijakan UUPA No. 5/1960 tentang pembagian tanah untuk rakyat miskin. Warisan sistem feodalisme dan kolonialisme melahirkan konsentrasi tanah pertanian pada golongan petani kaya. Benih pertanian, pestisida, dan pupuk kimia diproduksi dengan subsidi sekaligus dimonopoli oleh pemerintah. Pemerintah memberikan paket kredit subsidi keuangan dan kredit ketahanan pangan. Pemerintah mengembangkan dan mengontrol sistem irigasi dengan mengandalkan pinjaman luar negeri. Pemerintah juga menentukan dan mengatur harga sebagai bagian dari alat kontrol politis pemerintah. Jaringan revolusi hijau dan isu ketahanan pangan menerapkan program dengan didasarkan pada asumsi terjadinya kelangkaan bahan pangan. Sebagai akibat dari pola-pola yang bias pemerintah, pola pertanian tradisional berubah menjadi pola pertanian modern yang sangat bias jender dan telah meminggirkan peran perempuan dalam bidang pertanian. Kontrol pemerintah juga terlihat dalam pembatasan organisasi petani. Hanya organisasi petani nasional (resmi) yang didukung oleh pemerintah dan menjadi alat kekuatan politik pemerintah. Demi menjaga kewibawaan kekuasaan pemerintahan orde baru, pemerintah mengatur dan mendominasi pendidikan petani melalui perluasan wilayah kerja buruh dan sistem perusahaan dalam proses produksi maupun distribusinya. Pasar bebas (perusahaan pertanian), yang tidak mengenal batas-batas negara menjadi trend perdagangan internasional. Penguasaan bisnis pertanian
49
dipegang oleh negara dengan kepemilikan modal kuat. Kebijakan pengelolaan tanah oleh pengusaha pertanian (corporate) menyingkirkan petani gurem dari alat produksi mereka. Implikasinya adalah petani menjadi buruh di lahannya sendiri. Pemerintah memotong dan menghentikan semua bentuk subsidi pertanian bagi petani. Hal ini dilakukan untuk melindungi mekanisme pasar bebas dan dikuatkan dengan produk kebijakan dan undan g-undang yang menjamin investasi asing untuk memonopoli bidang pertanian. Privatisasi perusahaan publik (milik negara) dilakukan dengan menggunakan pinjaman dana luar negeri. Periode revolusi hijau (1965 -an sampai 1980-an) Organisasi petani sebagai sebuah fenomena pedesaan membawa kembali pada penelusuran historis tentang program intensifikasi pertanian pada awal Tahun 1980 yang kemudian dikenal sebagai revolusi hijau. Kelompok petani yang dibentuk
pada
masa
itu
merupakan
perpanjangan
pemerintah
dalam
kepentingannya mentransfer teknologi pertanian secara efisien. Sejak masa itulah kelompok petani menjadi rumah tangga dalam lingkaran pembangunan pertanian. Dari penjelasan demikian, tidak mengherankan bila organisasi petani tumbuh sebagai bagian dari program pemerintah dalam konteks pembangunan pertanian pedesaan. Hal ini berarti organisasi petani menjadi tidak mandiri dalam mengembangkan kapasitas dan aktivitasnya. Karakter organisasi demikian biasanya berada di bawah pengawasan salah satu departemen pemerintah. Hal ini berarti organisasi petani menjadi tidak mandiri dalam mengembangkan kapasitas dan aktivitasnya. Sebagai contoh adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) yang merupakan inisiatif dan diorganisir oleh Perum Perhutani atau kelompok tani yang merupakan inis iatif dan diorganisir oleh departemen pertanian. Kebijakan massa mengambang pada pemerintah orde baru - pemaksaan terhadap aktivitas politik di aras dusun - mengharuskan organisasi petani tidak keluar dari aktivitas ekonomi semata. Pada masa orde baru yang dicirikan oleh karakter sentralistik, kekuasaan berada di tangan pemerintah. Organisasi-organisasi kemasyarakatan harus mendapat ijin resmi dari pemerintah, termasuk organisasi tani. Bahwa organisasi tani dianggap sebagai organisasi illegal terancam dibubarkan atau dikategorikan sebagai tindakan subversif. Sentralistik juga terjadi dalam hal pertanian. Kontrol
50
atas kestabilan harga dan distribusi hasil produksi pertanian serta penyediaan sarana produksi pertanian menjadi agenda penting pemerintah. Tidak heran karena pada masa itu pemerintah menjadi perpanjangan kaum kapitalis. Proyek atas nama pembangunan dilakukan dengan menggusur tanah rakyat. Pembangunan waduk, irigasi atau dam-dam yang diperoleh dari bantuan luar negeri makin mengukuhkan jebakan kapitalisme. Paket sarana pertanian yang ditawarkan (meliputi bibit, pupuk dan pestisida) seringkali menjadi alat eksploitasi terhadap petani terutama ketika pada tahun 1970/1980-an, pemerintah mencanangkan revolusi hijau. Program inmas bimas merupakan wujud kebijakan dengan capaian peningkatan produksi swasembada
beras.
Dalam
prakteknya,
pemerintah
mewajibkan
petani
menggunakan bibit dan pupuk kimia dari pemerintah. Dampak dari kebijakan yang tidak tepat adalah tingginya tingkat ketergantungan petani kepada pemerintah dalam memenuhi seluruh sarana produksi pertanian. Implikasinya adalah monopoli pemerintah terhadap sektor pertanian, diantaranya harga pupuk pertanian dan distribusi yang ditentukan pemerintah. Dampak lainnya adalah kerusakan lahan pertanian akibat asupan kimia yang cukup tinggi dari pupuk yang digunakan oleh petani. Sawah menjadi rakus pupuk dan penggunaan kebutuhan pupuk terus meningkat. Kepemilikan lahan pertanian rata-rata petani di Indonesia adalah kurang dari 0,25 ha sawah. Hasil produksi luas an lahan tersebut sangat jauh dari mencukupi. Kondisi makin buruk ketika keberadaan pupuk kimia menambah sulitnya peningkatan hasil produksi pertanian. Sejak tradisi pertanian di pedesaan petani terusik oleh desakan relasi kepentingan internasional, berakibat pada porak poranda-nya institusi pertanian. Fenomena ini menciptakan model ketergantungan yang mutlak karena mata rantai ekosistem di pertanian telah rusak oleh kebijakan yang mengacu pada produktifitas semata (swasembada pangan). Akibat lain yang terkait dengan pola relasi internal dalam komunitas adalah terjadinya polarisasi antar kelas sosial. Penguasaan modal dan kapital terakumulasi pada golongan petani kaya sehingga tercipta kesenjangan sosial yang tajam antara petani kaya dan petani miskin. Memudarnya kepercayaan antar elemen dalam komunitas lebih disebabkan program revolusi hijau diintroduksikan
51
melalui golongan elit atau melalui agen pembangunan. Tidak dipergunakannya relung sodality (Tjondronegoro, 1984) sebagai satuan kelembagaan yang berbasis kan hubungan kepentingan menyebabkan program tidak bersifat berkelanjutan. Dampak lain adalah hilangnya kemampuan petani untuk mengolah lahan pertaniannya. Petani tidak lagi memiliki otoritas produksi karena diharuskan merujuk peraturan yang ada. Akibatnya, pengetahuan lokal perlahan hilang. Peran perempuan dalam proses produksi mulai tergilas dengan penggunaan teknologi modern. Teknologi revolusi hijau yang bias jender menyebabkan perempuan kehilangan kemampuan beradaptasi dengan teknologi baru. Disadari ataupun tidak, revolusi hijau telah memulai deretan masalah yang dihadapi petani. Persoalan tidak hanya menyangkut masalah teknis produksi. Persoalan yang dihadapi petani juga diakibatkan oleh instrumen politik, terutama ketika pemerintah menjadi kaki tangan kaum imperialis-kapitalis melalui investasi sekaligus membuka kran bagi kaum investor. Program pembangunan kemudian diarahkan pada industri pemodal, dan bukan pada industri lokal. Jadi sesungguhnya sejak masa Soeharto sampai saat ini, kebijakan pemerintah, terutama karakter ekonomi-politiknya tetap tidak berpihak pada rakyat/petani. Jika ini tetap terjadi, maka persoalan ini harus direspon dengan penataan struktur agraria dengan solusi yang ditawarkan adalah reforma agraria. Pasca 1998 persoalan juga mengarah pada tidak berubahnya persoalan ekonomi dan politik. Program revolusi hijau yang didisain pemerintah berimplikasi pada orientasi tujuan peningkatan produksi melalui intensifikasi pertanian. Strategi yang diterapkan adalah teknologisasi, perkreditan rakyat, koperasi dan rehabilitasi pengairan yang bertujuan untuk peningkatan produksi pangan. Program yang hanya berorientasi produksi di atas dilakukan tanpa terlebih dahulu merubah struktur sosial yang ada. Implikasi dari pilihan tersebut adalah dominasi elit lokal desa dan tersubordinasinya golongan kecil di desa. Banyak literatur menunjukkan bahwa dampak revolusi hijau meluas pada aspek distribusi input produksi, dampak lingkungan, dan persoalan jender mainstream. Segera tampak bahwa revolusi hijau hany a menjadi awal proses peminggiran sektor pertanian. Revolusi hijau menjadi media berjalannya proses
52
ketergantungan secara ekonomi, teknologi, budaya, pengetahuan, sekaligus politik. Modernisasi pertanian melalui tangan revolusi hijau telah mencabut secara paksa formasi sosial non-kapitalis yang selama ini bertahan di masyarakat pedesaan. Selanjutnya, proses ini berkembang kearah ketergantungan petani pada sistem kapitalis global yang diwakilkan pada negara dan pemerintah lokal melalui investasi dan orientas i pertumbuhan. Periode 1980-an sampai neo -liberal Paham globalisasi dimulai dari berkembangnya paham merkantilisme yang menunjukkan gerakan ekspansi negara besar terhadap negara kecil. Paham merkantilisme mengedepankan prinsip “mengekspor sebanyak-banyaknya dan mengimpor sesedikit-sedikitnya”. Dari sinilah dikenal balance of trade dimana negara harus mengejar surplus perdagangan dengan memaksimalkan ekspor ke berbagai negara sehingga mendatangkan keuntungan besar. Kaum merkantilis juga menerapkan pola proteksi atas produk-produk pertanian yang ada di negaranya. Dalam perkembangan selanjutnya, paham merkantilisme melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan konteks dunia pada saat itu sehingga jalur politik negara berubah menjadi paham perdagangan bebas (free trade) yang merupakan upaya meningkatkan pasar dalam negeri dengan sasaran negara Dunia Ketiga. Paham free trade membawa implikasi pada terciptanya mekanisme globalisasi di negara maju dengan cara menerapkan model pembangunan berorientasi ekspor. Prinsip utama globalisasi yang diterapkan adalah keinginan untuk mengintegrasikan dan menggabungkan seluruh aktivitas ekonomi dari semua negara ke dalam suatu model tunggal pembangunan yang diseragamkan (sebuah sistem yang tersentralisasi). Prinsip kedua adalah kepentingan utamanya terletak pada pencapaian pertumbuhan ekonomi korporasi yang senantiasa melaju pesat. Negara berkembang sebagai sasaran pasar bagi negara maju untuk kemudian mengikuti berbagai kebijakan politik yang diambil oleh tatanan ekonomi dunia sehingga berpengaruh di tingkat petani. Dalam prinsip globalisasi, kebijakan negara berkembang sebagai refleksi kebijakan negara maju dalam sektor perdagangan dan ekonomi Untuk mempengaruhi kebijakan politik pemerintah negara berkembang, peran aktor sangat signifikan dalam permainan globalisasi, diantaranya adalah:
53
1. TNC’s yakni perusahaan multinasional besar yang membentuk dewan perserikatan perdagangan global yakni WTO 2. WTO (World Trade Organizations) 3. Lembaga keuangan global IMF dan Bank Dunia yang menetapkan aturan seputar investasi Keberadaan tiga aktor di atas sangat berpengaruh terhadap mekanisme globalisasi yang berkembang terutama terkait dengan implikasinya dalam perubahan kebijakan yang memihak kepentingan perusahaan transnasional. Hal tersebut tidak hanya akan memarjinalkan mayoritas rakyat miskin namun juga akan berhadapan dengan kepentingan dan nasib petani kecil, nelayan, pedagang sektor informal, dan masyarakat adat, khususnya dalam hal perebutan sumber daya alam terutama tanah, hutan, dan laut. Segera tampak bahwa paradigma pembangunan pemerintah tidak berpihak pada penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Penguasaan tanah sebagai alat produksi oleh petani tidak pernah menjadi prioritas sehingga penguasaan atas tanah garap petani diabaikan dan belum dianggap sebagai faktor utama dalam ketersediaan pangan oleh negara. Sementara konsolidasi lahan yang dilakukan oleh perusahaan besar lebih mengarah pada kepentingan perkebunan (monokultur). Proyek-proyek agribisnis, hak pengelolaan hutan, industri-industri besar, pabrik-pabrik multinasional dan Trans-National Corporations (TNC’s) yang menempatkan rakyat sebagai buruh justru difasilitasi negara. Disisi lain tindak kekerasan yang dilakukan oleh alat negara terhadap petani yang mencoba memperjuangkan hak-hak atas tanah mereka makin mencuat. Beberapa
dampak
kebijakan
pemerintah
yang
merugikan
petani
diantaranya (Setiawan, 2003) adalah: pertama, penghapusan subsidi ekspor. Pemerintah mengurangi subsidi untuk ekspor produk pertanian. Sementara negara maju justru melakukan subsidi ekspor melalui subsidi domestik negaranya. Kedua, penghapusan subsidi domestik bagi petani sehingga harga pupuk mahal. Dilain pihak negara maju justru meningkatkan subsidi untuk petaninya. Ketiga, akses pasar melalui tarif impor. Pajak impor di negara berkembang sangat kecil jika dibandingkan dengan negara maju yang mencapai 300%. Seluruh kesepakatan WTO tidak bisa ditawar oleh negara miskin seperti Indonesia. Apalagi secara
54
beruntun IMF dan World Bank menawarkan hutang dengan syarat pemerintah Indonesia harus menurunkan pajak impor gula, beras, gandum dan bawang putih. Semua dilakukan oleh kartel-kartel perusahaan swasta (BUMN yang sudah diprivatisasi), diposisikan untuk mengisi jalur-jalur perdagangan. Liberalisasi pengadaan pangan menyebabkan produk lokal petani kesulitan bersaing dengan produk impor. Petani yang tidak bisa bertahan akan gulung tikar menjadi buruh di tanahnya sendiri atau menjadi TKI/TKW ke luar negeri. Tekanan WTO mempengaruhi kebijakan politik pemerintahan seh ingga kebijakan yang dihasilkan justru memfasilitasi kepentingan perusahaan perusahaan besar yang berada di negara-negara maju. Pendekatan pada akses pasar internasional merupakan slogan penanaman investasi asing. Kebijakan dalam Konteks Global Sejarah menunjukkan bahwa peta politik sebuah negara akan ditentukan oleh konstelasi politik internasional. Posisi satu negara terhadap negara lain seringkali terkait dengan kemampuan negara yang bersangkutan dalam membuktikan kekuatan negaranya. Implikasinya adalah akan muncul negara dengan tingkat dominasi yang berbeda. Sebab itulah kemudian lahir stratifikasi negara di dunia. Indonesia sebagai salah satu negara di dunia tentu tidak lepas dari percaturan politik internasional. Sayangnya, sebagai negara berkembang Indonesia lebih sering menempati posisi sebagai negara yang terkena imbas politik bangsa lain yang lebih maju. Dalam wacana isu global, Indonesia kemudian hanya menjadi penonton bagi pertarungan kebijakan antar negara maju. Indonesia terseret dalam arus kebijakan yang justru memarjinalkan bangsanya. Perjanjian demi perjanjian hanya menciptakan efek ketergantungan bagi penduduk negeri. Perjanjian tersebut memang diciptakan untuk mendominasi negara berkembang. Proses globalisasi ditandai dengan pesatnya paham kapitalisme dalam konteks imperialisme gaya baru yang ditandai dengan intervensi politik negara maju terhadap negara berkembang untuk memicu pemerintah menyediakan kebutuhan pangan dengan harga murah yang hal tersebut hanya bisa dilakukan melalui mekanis me impor. Didukung oleh konsep ketahanan pangan yang
55
pemahamannya
baru
sampai
pada
tataran
ketersediaan
pangan
tanpa
memperhatikan mutu dan kualitas pangan, kebijakan ini seolah-olah menjadi sebuah pemicu untuk lebih memberi ruang bagi mekanisme pasar bebas karena basis ketahanan pangan hanya dipahami sebagai ketersediaan dan keterjangkauan pangan oleh semua lapisan masyarakat. Konsep dari kedaulatan pangan sendiri tidak dijadikan sebagai mainstreaming untuk menghalangi membanjirnya pangan impor. Praktek liberalisme diilhami oleh sebuah harapan meniadakan peran negara. Ideologi yang dijunjung adalah persaingan bebas dengan paham memperjuangkan hak -hak atas pemilikan dan kebebasan individual. Fakih dalam Khudori (2004) menyatakan bahwa golongan liberal mempercayakan pada mekanisme pasar (power of market) untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial ketimbang paket -paket regulasi atau intervensi pasar oleh negara. Ketika negara disetir oleh paham ini baik langsung maupun tidak langsung dapat diprediksikan berakibat bagi keterpurukan petani. Kapitalisme dan globalisasi ekonomi menjadi alat ampuh di kalangan LSM untuk membangkitkan kesadaran petani. Analisis sosial yang menjadi pintu masuk penyadaran petani dibawa kedalam kepentingan menganalisis kebijakan ekonomi global dan persoalan yang dihadapi petani. Nilai-nilai yang ditanamkan pada petani adalah kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah merupakan perpanjangan tangan kaum kapitalis yang akan mengeksploitasi rakyat. Relasi sosial yang mengemuka antara negara, modal dan kaum tani diungkapkan oleh Fauzi (1998) terbukti menghegemoni kekuatan petani terlebih ketika Indonesia turut dalam arus kapitalisme global. Sejak tahun 1969 Indonesia turut menyumbang keterpurukan di tingkat petani melalui dibukanya pintu bagi modal asing. Sejak saat itu negara mulai mengokohkan dirinya sebagai alat kapitalis. Terbukti bahwa grand strategy yang diterapkan dalam bidang pertanian (revolusi hijau) justru membawa kehancuran bagi petani kecil dan buruh tani. Kondisi demikian diperparah oleh berbagai kebijakan yang lebih berorientasi pada pemodal. Melalui strategi revolusi hijau petani diperkenalkan dengan teknikteknik pertanian baru untuk menggantikan pertanian tradisional. Lalu lintas
56
ekonomi berorientasi pada pemodal yang kemudian berimplikasi pada hancurnya tata sosial-ekonomi seraya memperkuat kekuatan unsur-unsur ekonomi kapitalis. Kondisi di atas merupakan implikasi dari pilihan paradigma pembangunan pemerintah orde baru yang berorientasi pada modernisasi. Pendekatan yang bersifat topdown direspon dengan lahirnya pendekatan yang berbasis partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Namun, persoalan masih tetap dirasakan petani karena pendekatan yang dilakukan bias pada kepentingan kapitalis. Fokus pendekatan CD kurang dapat melihat akar permasalahan yang dihadapi. Meskipun paradigma yang dikembangkan telah berubah dari production oriented ke people oriented, namun banyak permasalahan yang terlewatkan dari pendekatan ini. Pendekatan CD sebagai turunan dari teori modernisasi hanya menjad i bagian dari proses pengintegrasian petani kedalam struktur ekonomi kapitalis. Permasalahan terus bergulir hingga masa reformasi. Pada masa ini, orientasi pemerintah tetap berpihak pada pemodal besar. Pembangunan dimaknai sebagai pertumbuhan dengan variab el GNP dan GDP. Orientasi ini diwujudkan melalui pendekatan pembangunan yang masih bersifat paternalistik. Negara dengan berbagai cara berusaha menancapkan kukunya dalam komunitas. Meski pada masa ini pemerintahan bergulir kearah otonomi, namun hegemoni pusat masih dirasakan. Bagi petani, hegemoni negara dirasakan terutama dalam bentuk pencabutan subsidi atas kebutuhan yang menampung hajat hidup orang banyak. Petani
sangat
tergantung
pada
keberadaan
sarana
produksi
pertanian.
Meningkatnya harga saprotan pada masa reformasi dapat dilihat sebagai awal keterpurukan petani. Permasalahan demikian jika ditarik pada skala global tidak lepas dari peran negara yang menginduk pada paradigma liberal dan neoliberal. Perusahaan saprotan yang dikuasai perusahaan asing berimplikasi pada ketidakberdayaan pemerintah menolong petani.
Konteks Ekonomi-Politik Sebagai Peluang Berorganisasi Keterpurukan ekonomi Indonesia menjadi tonggak sejarah penting dalam berorganisasi. Menggeliatnya organisasi massa rakyat dapat dihubungkan dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Tampak dalam perjalanan sejarah bangsa, persoalan akses atas sumberdaya makin mengemuka ketika rakyat sulit mencari
57
alternatif lain untuk hidup. Perjuangan akses dapat pula ditinjau sebagai kelanjutan perjuangan memperoleh keadilan. Krisis ekonomi yang terjadi diyakini sebagai impak dari pilihan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Orientasi pemerintah pada proyek berskala besar makin memperburuk kondisi perekonomian bangsa. Dari sisi gerakan, krisis ekonomi pada tahun 1998 berakibat positif. Paling tidak, kondisi masa tersebut memicu tumbuhnya organisasi tani terutama yang berbasis pada pertanian. Krisis ekonomi yang berdampak pada makin mahalnya kebutuhan pokok termasuk harga sarana produksi pertanian memicu petani mencari alternatif cara-cara produksi. Manifestasi dari alasan ini adalah dilaksanakannya kegiatan produksi pupuk organik. Persoalan politik menempati peran yang juga penting dalam kaitannya dengan pembentukan organisasi petani. Gerakan dalam bentuk organisasi petani yang relatif lebih mandiri merupakan fenomena baru. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi politik di era reformasi yang membuka pintu kebebasan petani dalam hal ekonomi dan juga ruang politik. Reformasi politik pada tahun 1998 membawa momentum formasi pada banyak organisasi petani di berbagai aras. Era ini juga membawa serta berbagai implikasi struktural dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Pilihan bentuk organisasi Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah (SPPQT) terkait dengan bentuk embrio organisasi sebelum berdiri. Konteks sosial, ekonomi dan politik pada masa itu menyumbang peran penting bagi lahirnya organisasi. Organisasi yang terbentuk merupakan respon atas permasalahan petani dalam hal ekonomi dan politik. Muara dari respon petani adalah menciptakan perlawanan dalam bentuk kemandirian petani di tingkat komunitas. Kemandirian yang dimaksud meliputi berbagai aspek terutama dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan potensi yang ada di desa agar terbangun hak pengelolaan potensi desa yang otonom. Kemandirian di tingkat desa dapat dibangun dengan cara mengatur indigenous autonomy melalui kebersamaan. Mekanisme gotong royong misalnya, dapat menghasilkan komitmen yang bersifat tidak eksploitatif. Komitmen dibangun untuk bisa memperoleh akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam
58
tanpa harus memiliki. Medianya dapat melalui Peraturan Desa (perdes). Perdes dapat dijadikan sebagai landasan pengaturan dan pengelolaan tanah dalam satu wilayah yang dikuasai oleh desa. Dalam hal ini, yang harus digali adalah: 1. cara pengelolaannya diarahkan pada dukungan terhadap daya dukung alam 2. bagaimana perhitungan bagi hasil antara sektor swasta tingkat desa dengan penduduk desa 3. pengelolaan sumber daya alam diarahkan pada upaya menghindari eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Tiga cara tersebut akan bermuara pada keberdayaan desa. Dengan demikian konsep kewilayahan dibangun atas dasar upaya pengelolaan dan kontrol atas sumberdaya. Faktor Religi dan Kemunculan Sikap Progresif Penelusuran latar belakang pendirian SPPQT dan embrio organisasi “memaksa” peneliti menelusuri riwayat hidup aktor yang menjadi inisiator organisasi. Peneliti memandang penting untuk menelusuri latar belakang ideologi individu yang erat dengan proses pembentukan organisasi. Penelusuran tersebut sampai pada melihat keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi yang membesarkan aktor yang bersangkutan. Ide-ide progresif yang dimiliki oleh aktor tersebut sebagian besar lahir dari persentuhannya dengan tokoh NU. NU Sebagai Basis Sosial NU telah memiliki basis sosial yang terhimpun dalam wadah organisasi dan gerakan lokal jauh sebelum secara politik NU eksis. Basis sosial NU adalah komunitas ahlussunah wal jama’ah (aswaja), pondok pesantren, kelompok tahlilan, dan kelompok khaul (Irsyam, 1999). Basis sosial yang terbentuk lebih pada upaya mempertahankan identitas sosial kaum NU. Basis sosial yang terbentuk mengembangkan dinamika internalnya berupa gerakan yang ruang lingkupnya masih lokal. Struktur sosial dalam basis sosial ini yang kemudian menjadi dasar menyusun struktur formal organisasi NU. Penyelaman NU tidak dapat dilakukan hanya dengan pendekatan NU sebagai organisasi melainkan harus dilihat NU sebagai gerakan basis sosial. NU sebagai sebuah gerakan melahirkan konsekuensi yang menjadi sebuah paradigma gerakan dimana ulama memainkan peran sentral dalam tiga perspektif yaitu;
59
pertama, dalam kehidupan sosial ulama menjadi acuan, kedua, ulama menjadi satu-satunya kekuatan yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan berorganisasi, ketiga, dalam gerakan, ulama menjadi imam yang harus dipatuhi dengan taat (Irsyam, 1999). Dengan demikian, visi misi NU sebagai sebuah gerakan menjadi penting untuk memaknai NU dari sisi gerakan. NU memilih jalur kultural dalam upay a melakukan transformasi sosial. Sebagai basis kultural berangkat dari persepsi bahwa sosialisasi dan institusionalisasi ajaran islam dilakukan melalui upayaupaya yang menekankan pada perubahan kesadaran dan tingkah laku umat/masyarakat tanpa keterlibatan negara dan tanpa perubahan sistem nasional menjadi sistem yang islami. Dalam perspektif gerakan, gerakan islam kultural yang menjadi bagian aktivitas NU dilakukan melalui aktivitas non-politik, seperti melalui organisasi massa, aktivitas dakwah, lembaga sosial, dan sebagainya. Pilihan islam kultural dan gerakan kultural dikemudian hari meneguhkan gerakan kerakyatan NU. Peran yang dimainkan kemudian adalah gagasan tentang civil society yang melakukan kontrol terhadap negara (Rumadi, 2004). Tradisi islam kultural yang dibangun melahirkan politik kerakyatan, bukan politik atas nama kekuasaan yang selama ini muncul sebagai akibat NU membuat parpol. Dalam konstelasi kehidupan bernegara NU menggabungkan kekuatan tradisi dengan modernisasi. Kedua elemen tersebut dipergunakan untuk mengiringi proses transformasi sosial. Tradisi yang mengakar kuat dalam tubuh NU adalah pandangan bahwa kyai sebagai simbol kebenaran hakiki. Pandangan ini dikemudian hari melahirkan sikap kurang kritis di kalangan NU. Perkembangan NU selanjutnya banyak diwarnai oleh Gus Dur. Pemikiran progresif banyak muncul dari sosok ini, melalui berbagai forum kajian yang mengangkat tema-tema keagamaan, hukum, demokrasi dan ketatanegaraan, HAM, politik, dan sosial kemasyarakatan. NU dan lahirnya kaum muda progresif Basis gerakan yang dibangun SPPQT adalah basis kultural. Pemikiran Gus Dur sebagai tokoh progresif banyak diadopsi di kalangan kampus dan golongan menengah keatas. Kaum muda NU yang berada di luar jalur struktural NU lebih mudah menyerap ide-ide progresif yang ditawarkan dan banyak melakukan
60
kajian-kajian untuk merespon sikap kolot NU senior. Wujud respon tersebut adalah dibentuknya Jaringan Studi Transformasi Sosial (JSTS) pada Tahun 1989. JSTS ini dibangun oleh seorang kyai yang dikalangan kyai NU merupakan tokoh yang mempunyai pemikiran -pemikiran progresif. Geliat kaum muda NU diilhami oleh pernyataan Gus Dur yang menyatakan bahwa politik ekonomi Indonesia adalah politik kerakyatan dan kebangsaan. Gagasan transformasi Gus Dur direspon NU muda yang berada diluar sistem NU. Mereka memilih berkiprah di luar sistem yang ada karena NU masih terkooptasi oleh senior NU. Kaum muda NU juga mencoba membangun gerakan berangkat dari romantisme NU masa lalu yang memiliki sikap kritis terhadap fenomena sosial yang ada. Pada masa lalu, NU membangun PERTANU sebagai media pengorganisasian ditingkat grassroot. NU juga banyak melakukan kajian dalam bidang perburuhan dan petani. Melihat sejarah demikian, kaum muda NU mempertanyakan NU jaman PKI yang lebih memiliki pandangan terhadap persoalan sosial. Kondisi masa kini dilihat sebagai keterpurukan ideologis karena NU mengalami kemandekkan pemikiran dan perhatian terhadap petani dan kaum marjinal. Menilik kembali pertautan antara NU dengan inisiator organisasi akan segera tampak bahwa latar belakang kegiatan kemahasiswaan membentuk kepribadian inisiator. Dalam perkembangannya, persentuhan inisiator organisasi dengan tokoh NU progresif berhasil membawa inisiator kedalam arus pengorganisasian rakyat di tingkat basis. Bentuk organisasi yang dipilih berbasis ekonomi mengingat permasalahan ekonomi menjadi permasalahan umum di kalangan masyarakat. Era Politik Reformasi Hingga Politik Kerakyatan Seringkali dikatakan bahwa tahun 1998 menjadi titik balik konstelasi politik di Indonesia. Tahun tersebut menjadi pembeda antara politik sebelumnya dan politik di tahun 1998. Tekanan politik pemerintah orde baru menciptakan suasana represif dari rezim pemerintah orde baru sehingga membatasi kekuatan petani. Berbeda dengan politik tahun 1998 dimana peluang masyarakat tingkat grass root makin terbuka dalam menciptakan keberdayaan.
61
Iklim politik Tahun 1998 memberi nuansa yang cukup kondusif bagi terciptanya organisasi petani. Pada masa itu, gerakan LSM mendapat ruang yang cukup besar dalam memobilisasi petani untuk sampai pada gerakan. Beberapa fenomena yang cukup penting pada masa itu adalah: Pertama, LSM mendapat ruang cukup untuk aktif di pedesaan tidak hanya terbatas pada aktivitas pemberdayaan komunitas, tapi juga mendukung perjuangan petani dalam memperjuangkan hak tanah. Keterbukaan politik bagi kemandirian organisasi petani membawa keuntungan dalam hal motivasi berpolitik seperti dalam hal aktivitas ekonomi. Kedua, Fenomena aktivitas petani setelah tahun 1998 tidak hanya tampak dalam hal perjuangan akses petani terhadap lahan, melainkan juga pada beberapa kasus organisasi petani yang tidak terkait dengan konflik tanah. Iklim politik demikian menjadi media bagi komunitas untuk membangun gerakan di tingkat lokal. Kemunculan gerakan di tingkat lokal disambut oleh LSM dengan meleburkan diri kedalam cita-cita komunitas lokal. Bahkan seringkali LSM yang mengambil partisipasi aktif meng -inisiasi kelembagaan di tingkat lokal. Kasus SPPQT menunjukkan bahwa LSM menjadi ujung tombak in isiatif lebih tersistematisasinya sebuah kelembagaan ditingkat petani. Perbedaan orientasi gerakan yang berhaluan produksi dan peningkatan pendapatan dengan organisasi radikal sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang LSM yang membantu membidani lahirnya organisasi petani. Organisasi petani sebagai sebuah gerakan sosial merupakan media perlawanan yang diarahkan pada rezim negara yang orientasi ekonomi dan politik -nya tidak pernah berpihak pada rakyat. Ketika negara/pemerintah menjadi kaki tangan lembag a-lembaga internasional, maka kendali dipegang oleh lembaga dunia seperti IMF, ADB, dan World Bank. Perlawanan petani diarahkan pada gerak pemerintah dalam menerapkan kebijakan privatisasi dan deregulasi. Sejak tahun 1998, peran pemerintah tetap berlangsung dan tetap memposisikan petani dalam golongan marjinal. Apabila dilihat periodisasi kemunculan yang baru terjadi pada tahun 1998, lebih disebabkan bahwa sebelum tahun 1998 organisasi massa rakyat ditolak oleh pemerintah. Penolakan lebih disebabkan karena pemerintah alergi terhadap bangunan organisasi petani meski organisasi yang ada dilakukan dengan pendekatan yang mengadopsi cara-cara pemerintah.
62
Perjalanan politik kemudian sampai pada gerakan politik kerakyatan. Pada masa ini hak dan kedaulatan petani atas penguasaan sumber-sumber agraria menjadi kekuatan utama dalam gerakan petani. Kepemilikan tanah dibagi untuk petani-petani kecil melalui redistribusi tanah yang penting sebagai alat produksi. Setiap petani berhak memiliki tanah bagi keberlanjutan proses produksi dan kehidupannya. Kelompok perempuan dalam organisasi tani memiliki bagian dalam bidang pertanian dan berperan besar dalam produksi bahan pangan terutama untuk kepentingan
ketersediaan
pangan
bagi
keluarganya.
Kedaulatan
pangan
didasarkan pada asumsi bahwa bahan pangan merupakan salah satu bentuk hak dasar yang mesti dipenuhi oleh manusia. Harga bahan makanan dan produk makanan ditentukan oleh para petani guna menciptakan akses pangan sebagai pemenuhan kebutuhan dasar. Benih lokal dikelola bersama petani dan menjadi milik komunal melalui mekanisme yang demokratis. Petani mengembangkan usaha dan kelompok mandiri bersama. Perlindungan tanaman dan pupuk organik yang diproduksi sendiri oleh petani dilakukan melalui kerjasama antar mereka. Ketersediaan air difasilitasi melalui sistem irigasi yang dikelola secara komunal. Petani membentuk organisasi tani yang demokratis dan mandiri sebagai alat untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan bersama. Organisasi petani membuat pelatihan -pelatihan partis ipatoris untuk penguatan kapasitas para kader tani. Terbentuknya serikat-serikat dan organisasi petani yang bersifat komunal akan mampu menjadi basis gerakan tani. Serikat dan organisasi petani menjadi jaringan permanen yang berpotensi mencegah pelanggaran hak asasi manusia terutama yang mengatasnamakan kepentingan perusahaan bermodal besar yang cenderung monopolistik.
Konteks Ekonomi dan Politik Melahirkan Pilihan Bentuk Organisasi Fakta menunjukkan bahwa petani selalu mengalami kondisi tidak menentu terkait dengan pola hubungan dengan lembaga supra lokal. Beberapa kajian menunjukkan bahwa respon yang dibentuk tidak lepas dari peran aktor luar yang telah terlebih dahulu bersentuhan dengan permasalahan yang sama. Aktor luar
63
dapat muncul dalam bentuk petani yang visinya lebih maju ataupun lembaga lain, misalnya LSM. Di awal diperkenalkan bahwa respon struktural menjadi basis perubahan orientasi. Kasus petani di Salatiga menunjukkan fenomena dimana petani yang menjadi anggota SPPQT mengalami tekanan struktural yang menyebabkan mereka dan generasinya tidak cukup akses dalam berbagai bidang. Organisasi yang ada tidak mampu menjawab persoalan yang dihadapi petani. Organisasi bentukan pemerintah kemudian tidak mendapat kedudukan di mata petani. Pertanyaan tentang pemihakan pemerintah terhadap aspek pemberdayaan petani menjadi point penting dalam hal kepercayaan petani terhadap pemerintah. Solusi yang selama ini diberikan pemerintah melalui pendirian organisasi tidak cukup mampu melepaskan belitan petani terhadap heg emoni kekuasaan pemerintah. Organisasi yang ada hanya menjadi syarat bahwa mainstream pembangunan sudah dilaksanakan pada setiap komunitas sampai tingkat desa. Tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan yang dialami petani akan senantiasa terkait dengan konteks sosial ekonomi pada komunitas yang bersangkutan. Masalah yang paling sering dihadapi di tingkat komunitas terkait dengan persoalan teknis produksi yang harus dengan cepat disikapi oleh petani dan organisasinya. Sebagian besar petani anggota serikat tinggal di lahan kering sehingga
mengalami
keterbatasan
sumber-sumber
ekonomi
yang
bisa
meningkatkan tingkat kesejahteraan anggotanya. Persoalan lain yang juga dominan mempengaruhi perkembangan komunitas adalah rendahnya posisi tawar petani terhadap berbagai pihak yang berhubungan dengan petani baik langsung maupun tidak langsung. Distribusi informasi pada komunitas petani belum dikemas dengan baik sehingga seringkali informasi penting tidak tersebarluaskan. Apabila dikaitkan dengan hak petani selaku manusia, maka hakekat kebutuhan manusia adalah memperoleh hak untuk aman ketika mengelola sumber-sumber penghidupannya. Mereka juga harus memiliki kebebasan untuk memperoleh haknya mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi, politik dan budaya. Untuk maksud tersebut, manusia petani harus memiliki kebebasan untuk mengekspresikan dirinya, membangun dan terlibat secara aktif dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Namun hal tersebut menjadi kontradiktif
64
ketika melihat fenomena yang menimpa petani dimana mereka hanya menjadi bagian kecil dari masyarakat yang bercirikan kelompok yang lemah dan dilemahkan oleh struktur yang ada. Dengan demikian, pengorganisasian menjadi kepentingan bersama untuk menciptakan; 1) kesetaraan hak, akses dan kontrol terhadap kesetaraan distribusi, 2) membangun kesadaran sosial ditingkat petani sehingga petani bisa mengartikulasikan kebutuhannya, 3) berupaya meningkatkan aktivitas produksi untuk memenuhi kebutuhan tanpa merusak alam, dan 4) meningkatkan kemampuan petani untuk dapat mandiri dalam memecahkan masalah di tingkat mereka. Tekanan struktural yang dialami petani tidak hanya terkait persoalan teknik produksi, namun juga menyentuh akar kehidupan petani terutama terkait dengan hak atas tanah. Bagi komunitas di salah satu kelompok anggota SPPQT, persoalan hak tanah menjadi bahasan utama bahkan memunculkan peluang terjadinya konflik. Potensi konflik terbesar yang terjadi antara organisasi petani tersebut menyangkut penetapan kawasan pertanian dan pemukiman rakyat menjadi taman nasional dengan kategori zona inti. Penetapan zona inti di daerah pemukiman berimplikasi pada dipindahkannya permukiman dari lokasi awal menuju lokasi yang berada di luar kawasan taman nasional. Implikasi proses tersebut adalah berkurangnya akses warga terhadap sumberdaya alam. Dalam konteks disain awal organisasi, isu Taman Nasional MerapiMerbabu (TNMM) merupakan warna baru. Pengorganisasian di Kawasan Merbabu secara umum dikategorikan dalam kaitannya dengan pencarian solusi atas persoalan teknis produksi sekaligus pemasaran hasil-hasil komoditas yang dihasilkan oleh petani dikawasan tersebut. Namun demikian petani dan organisasi tidak menafikkan respon tertentu ketika muncul permasalahan baru yang menghantam petani. Dalam hal ini, penataan awal organisasi yang lebih memfokuskan diri pada pertanian secara teknis mengalami penyesuaian ketika muncul konflik dengan pemerintah dalam kaitannya dengan taman nasional. Situasi subordinat yang dialami petani sepanjang sejarah hidupnya menyebabkan petani mengalami kekalahan demi kekalahan. Pandangan modernis memberikan solusi bahwa petani harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup. Wujud dari semua itu adalah petani menjadi bagian dari pendidikan non-formal
65
yang berorientasi pada penyadaran. Namun Soetomo (1998) memberikan peringatan bahwa pendidikan pun bukan berarti tidak menjadi masalah bagi petani. Pendidikan yang hanya menghasilkan transfer ilmu pengetahuan tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Bagi petani yang lama tertindas, model pendidikan yang mencerahkan, menggunakan metode dialogis dan menghasilkan pendidikan yang mengungkap penyadaran, Freire (1984) menjadi satu kebutuhan khusus. Sebagai upaya keluar dari bentuk-bentuk pembodohan, petani melakukan respon dengan cara mengorganisir diri. Pilihan berorganisasi muncul untuk mengimbangi kekuatan musuh yang terstruktur. Dengan demikian, melawan harus dilakukan dalam satu ikatan. Sekaligus sebagai pembuktian bahwa petani dapat menciptakan model-model pemberdayaan komunitas yang mencerdaskan. Proses demikian tidak serta merta. Dalam pembentukan SPPQT pun, nuansa politik menentukan tahapan proses pembentukan organisasi dan pilihan strategi perlawanan. Gambar 2. di bawah ini menunjukkan proses tersebut. 1980-an
1995-an
1998-an
1999-an
YDM
Kelompok Progresif
Nadika
SPPQT
CD
Radikal
Kajian
People-center oriented
Gambar 2. Tahapan Proses Pembentukan dan Pilihan Strategi Pendekatan Perkembangan
di
atas
menunjukkan
bahwa
perbedaan
ciri
pengorganisasian komunitas melahirkan strategi pendekatan yang berbeda. Masing-masing strategi merujuk pada tujuan organisasi dan persoalan mendasar yang dihadapi pada tiap fase. Pilihan strategi berkembang dari CD sampai pada pendekatan people-center oriented. Pada masanya, masing-masing strategi tersebut tepat diterapkan.
66
SPPQT Sebagai Organisasi Produksi dengan Ciri Production-Center Development Persoalan praktis yang dihadapi petani membutuhkan respon cepat dari organisasi. Hal ini disadari oleh serikat petani sekaligus direspon dengan mengembangkan Pertimbangan
kegiatan
bahwa
yang
kebutuhan
menjawab petani
kebutuhan
tidak
cukup
jangka
pendek.
hanya
dengan
pengorganisasian menyebabkan serikat mencari cara lain yang lebih menjawab kebutuhan petani. Permasalahan produksi yang banyak dihadapi diantaranya adalah persoalan teknis pertanian, harga input pertanian yang mahal, pemasaran hasil-hasil pertanian yang sulit, jaringan tengkulak yang menghambat, dan sebagainya. Sebagai sebuah organisasi yang memperjuangkan kedaulatan petani, SPPQT memilih mengembangkan usaha-usaha organisasi untuk mencapai tujuan tersebut, diantaranya adalah: melakukan pengorganisasian masyarakat petani, memperkuat dan membangun jaringan organisasi petani, mengembangkan gerakan konservasi kawasan, mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan, mengembangkan ekonomi komunitas petani, mengembangkan pendidikan bagi generasi muda petani, membangun sistem perlindungan kesehatan bagi keluarga petani, mengembangkan media dan jaringan komunikasi petani, mengembangkan data dasar komunitas, mengembangkan pembaruan tata ruang desa, serta melakukan advokasi kebijakan pertanahan dan usaha lain yang relevan. Pilihan atas usaha di atas terkait dengan hasil analisis permasalahan yang dihadapi petani yang meliputi dua faktor yakni ekonomi dan politik. Persoalanpersoalan kebijakan yang tidak berpihak pada petani memaksa organisasi mencari bentuk organisasi yang bisa mengakomodir setiap permasalahan. Sebagai organisasi
komunitas,
pengorganisasian
SPPQT
sebelum
tampak
melakukan
memfokuskan
kerja
pada
pengembangan
kegiatan komunitas.
Tampaknya hal inilah yang membedakan SPPQT dengan organisasi lain. SPPQT menerapkan proses pengorganisasian komunitas sebelum mengagendakan kegiatan pengembangan organisasi. Meski demikian ciri sebuah organisasi produksi melekat pada karakter SPPQT karena SPPQT menempatkan persoalan ekonomi dalam prioritas kerja organisasi.
67
Sebagai organisasi yang berciri ekonomi produksi dengan tujuan utama peningkatan kesejahteraan, SPPQT dan anggotanya menerapkan strategi yang lebih mengarah pada pemberdayaan petani dan fokus pada aktivitas ekonomi. Karakter SPPQT secara umum adalah: 1) berupaya memutus ketergantungan pada pemerintah dalam hal penyediaan sarana produksi pertanian dengan cara melakukan kegiatan pertanian organik. Kegiatan tersebut dimaksudkan juga bagi kerja membangun kemandirian petani, 2) struktur organisasi dibentuk secara rapi dan sistematis dimaksudkan untuk memudahkan jalur koordinasi, 3) memperkuat struktur organisasi supaya memiliki posisi tawar dan kekuatan tawar dihadapan pengambil keputusan, dan 4) kemandirian petani yang menjadi tujuan pokok organisasi diwujudkan dalam bentuk melakukan pembinaan berjenjang pada satu tingkat di bawahnya. Merujuk
permasalahan
yang
dihadapi
petani,
organisasi
dengan
pendekatan program dalam prakteknya lebih dapat diterima oleh anggota. Pertimbangan agar organisasi dapat diterima memerlukan strategi tersendiri bagi penggerak organisasi. Petani dan organisasi yang sulit mencari pertautan teoritis menunjukkan bukti dalam hal ini. Pengorganisasian petani harus dapat menunjukkan keuntungan yang dapat diterima oleh petani, tidak sekedar berjuang untuk sesuatu yang abstrak dan tidak dipahami petani. Melihat sejarah pembentukan SPPQT, tidak dapat dipungkiri bahwa bentuk organisasi produksi yang diambil mengacu pada persoalan yang menyangkut pembangunan pertanian. Strategi production-center development dalam hal ini menjadi tepat terkait dengan konteks masalah yang dihadapi. Sebagai sebuah organis asi yang memilih strategi awal production-center development, pada tahap awal SPPQT menerapkan pola yang cenderung berbasis teknologi pertanian. Apa dan Mengapa Organisasi Produksi Dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan petani, muncul pilihan bangunan organisasi petani dengan cara yang berbeda. Aktivis NGO yang membidani SPPQT memandang bahwa cara radikal yang selama ini dikembangkan kurang mengena dalam konteks permasalahan petani Salatiga. Petani Salatiga tidak dihadapkan pada permasalahan konflik tanah sehingga lebih
68
memilih pola organisasi yang lebih halus tanpa menghancurkan struktur sosial yang telah mapan 2. Sebagai bentuk baru, perlawanan ini terkait dengan tipe NGO yang berada di balik pembentukan SPPQT. Ideologi aktivis dan NGO akan menyumbang pada bangunan organisasi yang dipilih. Menanggapi kondisi demikian, komunitas petani di Salatiga melakukan pendekatan lain yang lebih berorientasi kebutuhan dan masalah. Upaya yang dibangun adalah membentuk organisasi yang lebih bisa meneropong berbagai persoalan petani baik yang tersembunyi maupun yang tampak. Organisasi yang dikembangkan lebih berbasis kebutuhan dan permasalahan nyata di tingkat petani. Tampak dari model pengorganisasian yang menggunakan pendekatan kawasan. Pilihan ini digunakan karena kepentingan petani akan lebih terakomodir ketika pengorganisasian menggunakan konsep kawasan dengan tujuan mempertimbangkan kesamaan faktor-faktor ekologis. Dari sudut konsolidasi, pendekatan kawasan dipandang lebih efisien dibanding pendekatan administratif. Permasalahan yang dihadapi mudah dicarikan solusi karena komunitas memiliki kesamaan aspek masalah terkait dengan kesamaan faktor geografis dan ekologis. Dalam konteks perlawanan terhadap globalisasi, gerakan rakyat berupaya memberdayakan masyarakat lokal melalui kontrol komunitas yang demokratis atas sumberdaya lokal. Penelusuran mundur menghasilkan gambaran awal terbentuknya SPPQT. Embrio SPPQT berasal dari sebuah yayasan yaitu Yayasan Desaku Maju (YDM). YDM mengembangkan pola CD. Karakter CD yang dikembangkan masih konservatif dengan menerapkan pola CD lama. Pendekatan yang diterapkan berorientasi pada pemberdayaan. Faktor ideologis sebagai latar belakang pilihan strategi melahirkan dua strategi yaitu advokasi dengan saluran gerakan politik, dan pemberdayaan ekonomi. Bentuk organisasi CD yang dipilih sebagai basis karakter organisasi petani di Salatiga lebih banyak merupakan pilihan ideologi di tingkat aktivis disamping konteks masalah yang dihadapi. Pilihan tersebut didasarkan pada latar belakang
2
Meskipun CD petani dimaknai sebagai CD yang melahirkan dekonstruksi sosial, namun dilakukan tanpa merubah struktur sosial yang ada. Dekonstruksi disini diartikan sebagai membangun upaya kemandirian untuk melawan konstruksi berbentuk integrasi pre-kapitalis menuju kapitalis.
69
kegiatan aktivis sebelum terlibat dalam organisasi petani. Aktivitas kelompok aktivis sebelumnya lebih banyak memposisikan pada isu -isu produksi dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Gaya pendekatan ini tampaknya diterapkan pada organisasi baru sehingga ciri organisasi SPPQT lebih merujuk pada CD sebagai jalan mengatasi permasalahan nyata di tingkat petani. Warna gerakan organisasi sedikit banyak juga dipengaruhi sebuah LSM internasional. Salah satu LSM internasional yang berfungsi sebagai lembaga pen yandang dana dari organisasi petani ini memfokuskan kegiatan pada usaha-usaha pertanian organik. Meski isu yang dibangun LSM internasional ini lebih kepada keamanan pangan, namun isu tersebut didefinisikan lebih lanjut oleh petani sebagai jalan menuju kedaulatan pangan. Interpretasi ini merupakan pemahaman lebih lanjut atas kondisi struktur sosial yang merugikan posisi petani. Gerakan ini yang kemudian melahirkan karakter khas organisasi yaitu organisasi produksi dengan orientasi membangun kedaulatan petani. Kegiatan yang dikembangkan oleh organisasi SPPQT bermuara pada membangun kemandirian. Kegiatan dengan ciri ekonomi produksi diawali dengan melepaskan diri dari ketergantungan produksi yang diciptakan orde baru. Upaya ini kemudian muncul melalui kegiatan pertanian organik. Pertanian organik dibangun atas ide menghindarkan diri dari pengaruh kebijakan supra lokal. Pertanian organik merupakan langkah awal untuk mencapai kedaulatan pangan. Ide bahwa ketersediaan pangan anggota komunitas harus bisa dicukupi secara silang merupakan bentuk perwujudan kemandirian tingkat lokal. Sistem pertanian berbasis masyarakat berskala kecil, terdiversifikasi dan mandiri dibangun dalam komunitas ini. Gerakan ini bermuara pada gerakan kedaulatan pangan sebagai lawan terhadap ketahanan pangan yang hanya berorientasi pada pasar tanpa mempertimbangkan siapa produsen. Gerakan ini didukung oleh upaya petani menciptakan jalur pemasaran sendiri atas komoditas pertanian yang dihasilkannya. Sebagai upaya melepas ketergantungan terhadap tengkulak, pilihan ini juga dapat dikategorikan sebagai strategi menuju kemandirian. Jalinan ekonomi internal anggota dipadukan melalui berdirinya gardu tani sebagai wadah/media ekonomi anggota.
70
Implikasi strategi CD tampak dari pilihan kegiatan yang dikembangkan SPPQT. Organisasi ini mengembangkan program Integrated Organic Farming (IOF) yang diharapkan tidak sebatas menjadi program, melainkan menjadi ideologi organisasi. IOF dimaknai sebagai satu pola pertanian yang melihat persoalan petani secara lebih holistik. Dengan demikian, capaiannya adalah pengembangan petani dan menghindari jebakan pengembangan pertanian . IOF diarahkan pada muara akses dan kontrol terhadap SDA yang dilakukan dengan usaha bersama. Hubungan yang dibangun melalui pertanian organik yang terintegrasi adalah aspek keadilan, dan terciptanya hubungan yang sejajar. Tidak ada hubungan buruh-majikan yang merupakan bagian dari cara-cara eksploitasi. Dengan demikian, IOF akan bisa berjalan jika persoalan awal yang disorot adalah struktur kepemilikan tanah. IOF berusaha menjawab persoalan ketimpangan struktur lahan dan nilai tukar yang seringkali menjadi momok yang menakutkan. Indikator keberhasilan pertanian organik adalah jika petani tidak menjual hasil pertaniannya. IOF yang dimaksud jelas untuk menghindari pola-pola pertanian organik murni. Jika pertanian organik dipahami sebagai teknologi organik semata, maka kegiatan menjadi berorientasi pada hasil dan mengejar pada terlaksananya program tanpa mempertimbangkan aspek keterhubungan. Misalnya penyediaan pupuk kandang dipasok dari desa lain. Bukan ini sesungguhnya makna organik yang ingin dibangun. Juga ketika organik hanya difokuskan pada bagaimana program harus terlaksana. Sebidang lahan kemudian disewa oleh petani, dan petani yang bersangkutan menyewa tenaga petani lain. Model ini adalah bentuk kegagalan jiwa organik yang sesungguhnya. Bidang pendidikan menunjukkan fenomena yang tak kalah menarik. Beberapa paguyuban membangun sekolah alternatif di komunitasnya. Sekolah alternatif yang dibangun masih menggunakan kurikulum Depdiknas namun dengan metode pengajaran yang berbeda, lebih mengarahkan pada tujuan pendidikan kritis, humanisasi, dan kebebasan. Pilihan ini didasarkan pada keprihatinan
akan
model
pendidikan
konvensional
yang
menciptakan
dehumanisasi, Freire (1984). Pendidikan yang ada selama ini lebih berorientasi pada birokrasi dan kekuasaan, tanpa memperhatikan esensi dari pendidikan itu
71
sendiri. Kapitalisme pendidikan juga menjadi alasan tersendiri dikembangkannya sekolah alternatif di Salatiga. Pandangan terhadap kesetaraan jender diperlihatkan melalui proses pelatihan jender yang diberikan baik pada perempuan maupun lakilaki. Banyak pelatihan jender yang hanya diperuntukkan bagi perempuan. Padahal, pemahaman akan kesetaraan jender harus dibangun pada komunitas perempuan dan terlebih lagi laki-laki. Perbedaan mendasar dalam merespon kasus agraria diperlihatkan oleh organisasi di Salatiga. Perlawanan dilakukan dengan cara mengajukan draf akademis untuk menolak penetapan Taman Nasional Merapi-Merbabu (TNMM). Serikat dalam hal ini menjadi ujung tombak perjuangan di tingkat nasional. Perlawanan dilakukan dengan cara beradu konsep dengan pembuat kebijakan tentang wilayah konservasi. Dukungan konseptual diperoleh dari hasil PRA yang memperlihatkan kondisi sekitar kawasan Merapi-Merbabu. Aksi yang dilakukan lebih mengarah pada pembentukan opini publik. Pendekatan jaringan dilakukan sebagai upaya mendapatkan akses informasi dari luar. Keterbukaan menjadi ciri khas organisasi tipe ini. Upaya membangun jejaring dengan berbagai pihak dianggap sebagai investasi modal sosial dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Sebagai organisasi yang memiliki tujuan akhir menciptakan mainstream baru, perlu menggandeng stakeholder lain dalam mencapai agenda besar organisasi. Untuk melancarkan bangunan jaringan, beberapa paguyuban membuat akte yayasan. Status sebagai yayasan memudahkan terbinanya hubungan dengan dunia luar. Aspek formalitas ini secara umum membedakan organisasi ini dengan tipe organisasi yang berangkat dari isu konflik. Peningkatan kapasitas manusia sekaligus upaya akses teknologi salah satunya dilakukan dengan menggandeng satu provider internet. Hasilnya adalah jaringan internet telah menjangkau beberapa wilayah komunitas. Langkah ini sekaligus berguna untuk membuka saluran informasi dan komunikasi antar anggota maupun dengan dunia luar. Keterlibatan anggota organisasi dalam konstelasi politik lokal menunjukkan geliatnya pada tahun-tahun terakhir. Hal ini dibuktikan melalui keterlibatan anggota organisasi menjadi anggota BPD atau
72
DPD. Dalam hal ini tumbuh kesadaran politik yang berangkat dari masalah produksi. Perkembangan selanjutnya mengalami penyesuaian ketika organisasi dihadapkan pada kasus konflik agraria di dua paguyuban anggota. Pendekatan CD kemudian dirasa perlu untuk ditambah dengan strategi lain sebagai upaya akses dan kontrol. Akses dan kontrol sebagai muara tidak cukup diraih dengan pilihan salah satu model melainkan CD maupun advokasi harus dilakukan. Penguatan terhadap organisasi merupakan prasyarat. Implikasinya adalah terbentuknya kelompok tani, paguyuban, jakertani, dan serikat yang semuanya harus dikembangkan.
Dalam
upaya
memperjuangkan
akses
dan
kontrol,
mempertanyakan proses advokasi tanpa terlebih dahulu melakukan penataan organisasi, yang terjadi adalah kooptasi.
Ikhtisar Faktor yang menyebabkan ketertindasan petani adalah ekonomi dan politik. Dua faktor ini dalam sejarahnya menciptakan deretan permasalahan yang harus diselesaikan oleh petani. Disisi lain, keberadaan dua faktor ini ternyata mampu memunculkan
motivasi
mengakumulasikan
petani
energi
untuk
kolektif
membangun melalui
aksi
kolektif
pembentukan
dan
organisasi.
Permasalahan petani yang lebih banyak meliputi ekonomi menuntut bentuk organisasi yang dapat mengakomodir kebutuhan tersebut. Muatan respon atas pola relasi yang eksploitatif harus dikompromikan dengan kebutuhan yang bersifat praktis. Ciri organisasi produksi yang lebih mengarah pada paradigma production center oriented merupakan respon organisasi atas permasalahan nyata petani. Alasan organisasi mengembangkan strategi CD menyangkut pertimbangan karakter petani dan juga karakter musuh. Bacaan awal terhadap bentuk musuh menghasilkan analisis bahwa organisasi petani harus dibangun dalam bentuk yang terorganisir dengan baik. Alasan pilihan tersebut disandarkan pada dua hal, yaitu: pertama, yang paling penting dalam organisasi adalah memperkuat daya resistensi petani, bukan dengan cara-cara seperti reklaiming. Kedua , pilihan radikal lebih rawan perlawanan/resistensi dari pemerintah. Pertimbangan atas dua alasan di atas kemudian menghasilkan organisasi dengan ciri yang terstruktur.
73
Peranan faktor ekonomi dan politik sebagai pendorong gerakan pengorganisasian menarik untuk dipahami terutama dalam hal pengaruhnya terhadap kehidupan petani. Penelusuran periodisasi konteks ekonomi berhasil menunjukkan bahwa pada setiap fase, petani tidak pernah didudukkan dalam tempat yang benar dalam struktur masyarakat. Revolusi hijau merupakan kebijakan pertanian yang dampaknya paling nyata dirasakan petani, terutama bagi petani miskin dan buruh tani. Terciptanya kesenjangan makin menempatkan dua golongan petani ini kedalam struktur paling bawah dalam kelas sosial. Gambaran bahwa revolusi hijau membatasi akses masyarakat miskin makin tampak ketika paket-paket
teknologi
pertanian
yang
ditawarkan
hanya
dimungkinkan
menjangkau golongan petani kaya. Petani menjadi sandaran kebijakan pembangunan sekaligus korban pembangunan yang dikembangkan. Itulah sebabnya mengapa ketika krisis ekonomi muncul pada tahun 1998, petani sebagai golongan masyarakat yang paling marjinal berupaya “menarik keuntungan” dari keterpurukan bangsa. Keterkaitan dengan konteks ekonomi global dapat dilihat dalam kasus pemberlakuan kebijakan pasar bebas dan globalisasi. Pemerintah tanpa perhitungan terseret dalam arus kapitalisme sehingga persaingan global makin menyudutkan langkah petani. Relasi sosial yang mengemuka antara negara, modal dan kaum tani diungkapkan oleh Fauzi (1998) terbukti menghegemoni kekuatan petani terlebih ketika Indonesia turut dalam arus kapitalisme global. Pengalaman pengorganisasian petani juga menunjukkan bahwa konteks politik turut memicu lahirnya organisasi. Reformasi politik pada tahun 1998 membawa momentum formasi pada banyak organisasi petani di berb agai aras. Era ini juga membawa serta berbagai implikasi struktural dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Perjalanan politik masa ke masa menunjukkan perjalanan yang hampir senada dengan perjalanan ekonomi. Pada masa Soeharto, pemerintah melakukan tekanan yang sangat kuat terhadap munculnya organisasi rakyat. Tindakan ini menghambat perjuangan tingkat grass root yang seringkali dilakukan dengan organisasi. Banyak organisasi yang dibentuk di tingkat lokal dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap negara. Gerakan yang relatif tidak mendapat hambatan dari pemerintah adalah gerakan yang bersifat kultural. Dalam
74
sejarah organisasi SPPQT, gerakan kultural ini ternyata sampai pada gerakan yang mensikapi persoalan struktural yang dialami petani. Peran organisasi kultural yang dimaksud di atas adalah gerakan NU. NU yang dalam perkembangannya menunjukkan bentuk transformasi gerakan memberi
ruang
yang
cukup
kepada
kadernya
untuk
mengembangkan
pengorganisasian. Hal ini tidak lepas dari peran NU senior dengan pemikiranpemikiran yang progresif. Persentuhan inisiator organisasi dengan tokoh NU progresif melahirkan kelompok tani sebagai embrio SPPQT. Kelanjutan gerakan rakyat mendapat ruang yang lebih luas ketika suasana gerakan kerakyatan mulai menguat. Bisa dikatakan bahwa tahun 1998 merupakan titik balik gerakan rakyat di Indonesia. Perjuangan petani pasca 1998 tidak lagi dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Ideologi perlawanan terhadap perangkat
keras
dan
perangkat
lunak
yang
merugikan
petani
mulai
ditransformasikan ke tingkat petani. Maka mulailah ditemukan organisasi rakyat/organisasi komunitas di pelosok pedesaan. Sebagai wadah memenuhi kebutuhan kolektif, organisasi kemudian berkembang dan menjadi multifungsi sesuai kebutuhan anggotanya. Mengingat pentingnya menempatkan kebutuhan anggota sebagai dasar bangunan organisasi, SPPQT memilih kegiatan yang dapat menjawab kebutuhan anggota. Alasan ini mendorong pilihan pola organisasi yang lebih halus tanpa menghancurkan struktur sosial yang telah mapan. Pilihan ini tid ak lepas dari sejarah terbentuknya SPPQT serta embrio kelompok tani. SPPQT hendak memaknai organisasi dalam kerangka pengembangan petani, tidak sekedar pengembangan pertanian. Pemaknaan ini diimplementasikan dalam bentuk organisasi produksi meski dalam perkembangannya, SPPQT juga menempuh cara-cara advokasi untuk merespon persoalan agraria. Keduanya merupakan strategi untuk sampai pada akses dan kontrol atas sumberdaya.
75
KARAKTERISTIK ORGANISASI PRODUKSI Organisasi petani yang relatif tersistematis baru muncul di era reformasi. 1 Tumbuhnya organisasi di Salatiga berangkat dari fakta tentang permasalahan seputar isu produksi dan pemberdayaan. Dalam hal ini serikat memiliki peran yang besar dalam menumbuhkan terbentuknya organisasi. Peran tersebut terutama dalam hal pembentukan, penyediaan fasilitas, pembinaan, dan membangun jaringan. Embrio kelompok anggota SPPQT telah ada sebelumnya dalam bentuk kelompok-kelompok tani bentukan pemerintah maupun organisasi lokal komunitas setempat. Model
pendekatan
diwadahi
dalam
kegiatan -kegiatan
yang
mengartikulasikan kebutuhan petani baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pendekatan ini dianggap sebagai bagian dari pembagian kerja organisasi. Pembagian kerja manajemen organisasi menjadi modal untuk lebih mengarahkan petani pada tujuan strategis. Disamping itu, seluruh kegiatan diarahkan pada pencapaian kemandirian petani. Kemandirian ini merupakan ciri organisasi yang berasal dari komun itas dan muncul setelah tahun 1998. Tentunya berbeda dengan ciri organisasi sebelum tahun 1998. Perbedaan ciri organisasi sebelum 1998 dan sesudah 1998 ditampilkan dalam Tabel 3. di bawah ini: Tabel 3. Perbedaan Ciri Organisasi Anggota Serikat Sebelum dan Sesudah Tahun 1998 No 1.
Analisis Pembeda Organisasi Inisiatif
Sebelum 1998
Sesudah 1998
Pemerintah/komunitas lokal Keagamaan, sosial kemasyarakatan
Komunitas lokal dibantu oleh Serikat Pertanian, dan upaya menjawab permasalahan petani Membangun kemandirian
2.
Cakupan kegiatan
3.
Tujuan organisasi
4.
Respon atas
5.
Model pendekatan Bentukan pemerintah, pembentukan bagian dari pemerintahan
Membangun kebersamaan Permasalahan sosial
Permasalahan petani secara umum Inisiatif lokal yang didorong serikat
1 Dari penelitian awal terungkap bahwa banyak gerakan yang dimulai jauh sebelum era reformasi namun belum sampai pada pengorganisasian. Organisasi petani pertama kali tumbuh adalah BTI.
76
Serikat merupakan aras paling atas dalam susunan organisasi SPPQT. Bangunan organisasi yang dikembangkan oleh paguyuban dan kelompok tani didisain atas prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh SPPQT. Pada masa-masa awal pembentukan, SPPQT menerapkan pendekatan bantuan ala pemerintah berupa “iming-iming” dalam bentuk kredit. Tentangan muncul dari petani karena model tersebut dianggap hanya akan melemahkan bangunan organisasi. Struktur organisasi ditata untuk memudahkan pembagian kerja dalam mendukung manajemen organisasi. Pola pengorganisasian demikian mengadopsi model organisasi formal yang mempunyai struktur vertikal dan horizontal. Secara keorganisasian, permasalahan petani direspon dengan membentuk divisi yang sesuai yaitu pengorganisasian, pemberdayaan, kelembagaan, IOF, pendidikan, ekonomi, dan infodotkom. Divisi IOF, pendidikan, dan advokasi hampir selalu dapat ditemukan di setiap organisasi. Persepsi pemerintah terhadap bangunan organisasi dalam hal ini memberi warna pada perkembangan organisasi. Paguyuban dan kelompok petani dipandang dalam persepsi yang berbeda oleh pemerintah. Pengakuan pemerintah sebatas pada kelompok tani sedangkan paguyuban dianggap berada di luar struktur sehingga dianggap sebagai musuh pemerintah desa. Gejala ini menunjukkan bahwa pola pengorganisasian “ala petani” tidak pernah mendapat pengakuan dari pemerintah desa, demikian pula dari pemerintah supra desa. Terbukti bahwa kegiatan beberapa dinas terkait seringkali menjadikan kelompok tani sebagai sasaran kegiatan, tanpa mengindahkan keberadaan paguyuban, yang nota bene “atasan” kelompok tani.
SPPQT Sebagai Organisasi Rakyat SPPQT merupakan organisasi dengan isu produksi terkait dengan masalah teknis produksi sebagai latar belakang pembentukannya. Khusus untuk organisasi petani yang berada di bawah koordinasi SPPQT, peran serikat dalam pembentukan paguyuban sangat besar. Beberapa dibuktikan oleh pengakuan pengurus dan anggota paguyuban bahwa serikat memiliki peran terutama dalam hal manajemen organisasi, pemberian dana pembentukan, pendampingan, dan aspek manajemen organisasi. Meskipun demikian tidak sepenuhnya dapat
77
dikatakan bahwa terbentuknya paguyuban dan kelompok adalah atas prakarsa SPPQT. Karena dalam beberapa kasus pembentukan organisasi petani telah didahului oleh embrio organisasi informal. Pilihan organisasi sebagai studi kasus diarahkan pada organisasi yang terdapat di daerah upland dengan fokus isu pada pengelolaan sumberdaya alam dan penguatan hak atas tanah. Pilihan atas kelompok tani yang menjadi subyek penelitian didiskusikan dengan paguyuban. Dari pertimbangan tersebut, dipilih empat paguyuban dan 12 kelompok tani seperti yang tercantum pada Tabel 4. di bawah ini: Tabel 4. Pilihan Penelusuran Paguyuban dan Kelompok Petani No.
Organisasi Petani Sekunder (SLO) - Paguyuban
1
Paguyuban Petani Gunung Payung Temanggung
2
Paguyuban Petani Gedong Songo Semarang
3
Paguyuban Petani Otek Makmur Boyolali
4
Paguyuban Candi Laras Merbabu Semarang
Organisasi Lokal (LO) - Kelompok Tani 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3.
Gunung Payung I Sumber Rejeki Manunggal Makmur Ngudi Rahardjo Al-Kahfi Putri Maju dan Putri Tunggal Sumber Pangan Putri Mandiri Subur dan Sumber Rejeki Argo Kusumo Kuncup Pendhing Bekti Pertiwi
Disain organisasi diharapkan menjawab kebutuhan dan permasalahan petani. Organisasi juga menjadi wadah perjuangan petani untuk menciptakan peluang kerja serta meningkatkan kapasitas petani melalui pendidikan dan pelatihan. Keberadaan organisasi/paguyuban dengan demikian menjadi strategi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani anggota. Dalam beberapa hal, pengorganisasian model apapun harus tetap menjunjung semangat mengeluarkan petani dari pembodohan dan pemarjinalan. Selayang Pandang Organisasi Petani “SPPQT” Konteks sosial yang dialami oleh petani yang berada di kawasan ekologis tertentu tidak terlepas dari belitan persoalan yang menghimpit petani terutama terkait dengan kepentingan meningkatkan derajat kesejahteraan keluarga petani. Disadari oleh petani bahwa kelompok petani yang bersifat lokal kurang mampu
78
mengakomodir kepentingan yang bersifat global. Oleh karenanya, ada ide besar untuk menyatukan perjuangan dalam wadah yang lebih luas. Dengan pertimbangan tersebut, maka dibentuklah sebuah serikat petani yang merupakan gabungan beberapa paguyuban petani di tingkat kawasan. Beberapa paguyuban petani berinisiatif membentuk serikat petani yang kemudian dikenal dengan Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah (SPPQT). Pilihan atas nama mengindikasikan harapan yang ingin dicapai. Qoryah Thayyibah diartikan sebagai desa yang indah, yang berarti organisasi yang berbasis pada komunitas petani pedesaan. Organisasi ini merupakan sebuah organisasi non-partisan, mandiri dan tidak berorientasi profit serta berada di bawah kontrol anggotanya. Latar belakang pembentukan adalah keinginan yang kuat untuk mengajak petani berjuang bersama-sama keluar dari kemiskinan. Kemiskinan petani menunjukkan kelemahan atas posisi tawar ketika dihadapkan dengan kondisi politik, ekonomi, dan struktur sosial. Perjalanan sejarah menunjukkan petani selalu ditempatkan pada posisi yang marjinal. Suatu kontradiksi mengingat petani merupakan pilar kehidupan yang seharusnya mendapat perhatian dan memperoleh akses yang layak. Revolusi hijau sebagai grand policy bidang pertanian, misalnya justru menimbulkan ketergantungan petani terhadap sekto r non-pertanian. Disamping itu, petani juga dihadapkan pada resiko lingkungan sebagai dampak dari kebijakan tersebut. Kondisi menjadi tambah buruk ketika petani tidak mampu atau tidak memiliki kemampuan untuk mengorganisir diri. Pada akhirnya, secara ekonomi petani lemah dan akan terus termarjinalkan dibawah tekanan kapitalis dan negara. Dalam konteks ini penting dibangun organisasi petani yang bisa menghasilkan kesejahteraan dan peningkatan posisi tawar dalam tujuan mengakses dan turut melakukan kontrol atas sumberdaya. SPPQT merupakan sebuah organisasi petani yang beranggotakan paguyuban yang menyebar pada kawasan-kawasan di Kendal, Magelang, Sragen, Salatiga, Semarang, Boyolali, dan Temanggung. Konteks berdirinya kelompok tani di masing-masing kawasan tidak lepas dari persoalan yang dihadapi oleh petani setempat. Sebagian besar paguyuban dan kelompok berada pada daerah dataran tinggi. Daerah dataran tinggi merupakan daerah dengan kondisi ekologi yang unik
79
serta kondisi sosial ekonomi yang khas. Antara keduanya memiliki hubungan yang erat dimana kondisi sosial ekonomi masyarakat dataran tinggi dibentuk oleh kondisi ekologis. Keberadaan wilayah dataran tinggi seringkali identik dengan jauhnya komunitas dari sumber informasi dan akses transportasi. Tidak mengherankan apabila kondisi sosial ekonomi masyarakat relatif lebih rendah dibanding masyarakat yang berada di dataran rendah. Permasalahan utama yang dihadapi petani bergerak diseputar isu-isu pertanian dari mulai masalah pengadaan sarana produksi dan alat produksi, masalah teknik budidaya, masalah penanganan pasca panen, masalah pengolahan hasil dan pemasaran. Beberapa permasalahan tersebut sebagian atau seluruhnya hampir dapat ditemui di tingkat petani. Diantara masalah-masalah tersebut, masalah pemasaran merupakan masalah utama. Permasalahan pemasaran selalu berujung pada masalah harga yang rendah di tingkat petani. Ketiadaan lembaga pendukung kegiatan pertanian yang kurang menyentuh lapisan petani, menjadi faktor penyebab timbulnya masalah-masalah tersebut. Lembaga tersebut dapat berada pada ranah formal maupun informal. Dalam banyak kasus, kelompok tani difasilitasi oleh lembaga pendukung formal. Kegiatan yang difasilitasi oleh lembaga formal seringkali hanya memanfaatkan kelompok yang secara struktural berada di bawah pemerintah seperti kelompok tani. Keberadaan kelompok tadi didukung oleh kehadiran lembaga-lembaga seperti; Potugas Penyuluh Lapang (P PL), Dinas Pertanian, perusahaan-perusahaan dan Pemerintah Daerah. Sangat disayangkan bahwa peran-peran lembaga tadi dirasa kurang berarti dilihat dari sudut menciptakan inisiatif tingkat lokal karena petani selama ini hanya menjadi penerima inovasi. Demikian pula ketika petani dihadapkan pada jalur distribusi yang lebih sering dijegal oleh tengkulak ataupun free rider baik dalam tingkat harga maupun konsumen. Secara struktural petani diciptakan menjadi golongan yang tidak mampu bangkit. Petani menjadi pihak yang lemah dan kurang diperhatikan. Kondisi demikian diperparah oleh adanya kenyataan bahwa petani memiliki sifat yang cair sehingga seringkali sulit disatukan dalam perjuangan meningkatkan kesejahteraan. Masing-masing petani bekerja atas kepentingan sendiri dan sulit ditemukan bentuk organisasi antar mereka. Kalaupun pernah dibentuk organisasi tani, lebih
80
pada wujud representasi penguasa di tingkat lokal masyarakat desa. Organisasi tani seperti KTNA, Poktan, dan KTH merupakan organisasi petani yang ada di tingkat desa. Organisasi ini dalam persepsi petani dikenal dengan organisasi bentukan pemerintah. Akan tetapi bukan organisasi seperti ini yang dikehendaki oleh petani. Organisasi tani yang diharapkan petani adalah yang mampu menampung aspirasi kepentingan petani, mampu melibatkan petani dalam setiap pengambilan keputusan dan mampu memberi akses seluas-luasnya baik informasi maupun teknologi. Jadi organisasi tani yang dibutuhkan adalah yang berasal dari masyarakat petani sendiri dan dalam proses pembentukan melibatkan semua anggotanya mulai dari awal hingga akhir. Dengan demikian, tampak bahwa latar belakang pendirian SPPQT diantaranya adalah: pertama, persoalan yang dihadapi petani yang semakin sempit dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya tanah dan kepemilikan tanah. Tercatat rata-rata kepemilikan tanah sekitar 2000 m2 dengan kondisi rusak. Kedua, kepemilikan sumber daya air menjadi milik pemodal (privatisasi) yang sebelumnya milik publik. Ketiga, ketergantungan petani terhadap benih, pupuk, bibit, dan obat-obatan sebagai akibat revolusi hijau. Program ini menimbulkan pergeseran budaya petani. Keempat, lemahnya kelembagaan ekonomi petani. Kelima, biaya pendidikan yang mahal bagi anak-anak petani. Keenam, sulitnya akses kesehatan. Ketujuh, peraturan/kebijakan pemerintah yang tidak memihak keluarga petani. Kedelapan, tekanan penguasa selama 32 tahun menciptakan budaya petani, terutama menurunnya tingkat kepercayaan pada kemampuannya, keengganan berkumpul dengan sesama petani, dan kecenderungan sikap individual,. Merujuk persoalan di atas, alat perjuangan SPPQT yang dikembangkan adalah pengorganisasian, penguatan perempuan (karena kesetaraan jender akan membangun kemandirian), pengembangan pertanian organik sebagai jawaban dari sistem yang tidak menempatkan petani sebagai kontrol, pengembangan ekonomi komunitas karena lembaga ekonomi yang sudah ada yaitu KUD tidak mampu menjawab kebutuhan petani, advokasi kebijakan dan pendidikan politik, dan media/data base sebagai dukungan gerakan petani.
81
Terkait dengan keinginan membangun kelompok tani yang lebih berbasis komunitas, fenomena umum yang terjadi adalah keberadaan lembaga pendukung yang dianggap penting dan menyentuh lapisan petani adalah organisasi petani. Keberadaan organisasi tani mutlak dalam peningkatan kesejahteraan kaum tani. Peranan organisasi tidak saja sebagai alat melawan kekuatan struktural akan tetapi sebagai media pemberdayaan petani dan proses pembelajaran serta media penghubung dengan lembaga di luar petani.
Latar belakang inilah yang
menyebabkan petani membentuk organisasi yang kemudian dinamakan paguyuban. Penggunaan istilah paguyuban berasal dar i bahasa Jawa, yaitu ngguyub yang berarti bersatu. Latar belakang istilah paguyuban didasarkan pada tradisi masyarakat Jawa yang selalu ingin berkumpul dan bersatu dalam beragam perbedaan. Dari sisi bahasa, petani tidak merasa sulit memahami makna paguyuban karena dalam sistem sosial mereka istilah itu sudah lazim dipergunakan. Sedangkan nama untuk paguyuban, tergantung dari kesepakatan anggotanya masing-masing dan dipengaruhi pula oleh latar belakang sejarah wilayah dimana mereka tinggal. Secara umum pemil ihan nama berdasarkan nama daerah atau tempat di mana mereka tinggal, seperti nama gunung atau nama tempat keramat. Kajian Embrio Organisasi Latar belakang pengorganisasian telah jauh dilakukan sejak tahun 1980-an melalui organisasi YDM (Yayasan Desaku Maju) yang diinisiasi oleh seorang tokoh agama (MR-kyai) yang cerdas dalam menangkap fenomena sosial yang terjadi pada komunitas. Kelompok yang dibangun pada saat itu menjadi sebuah gerakan dan memfokuskan pada kegiatan semacam KUB (Kelompok Usaha Bersama). Pola yang dikembangkan YDM pada masa itu adalah dengan menggunakan pendekatan developmentalis, melalui peningkatan ekonomi anggota. Embrio SPPQT dimulai dengan adanya kelompok tani yang memiliki kegiatan dibidang Koperasi Candak Kulak (KCK) pada tahun 1993. Kelompok tani ini memfokuskan kegiatan simpan pinjam. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul sebuah kelembagaan keagamaan yaitu Nadwah Dirosah Islam Kemasyarakatan (NADIKA). Nadika adalah sebuah forum, tempat refleksi
82
bersama antara tokoh pesantren dan tokoh NU di Kabupaten Semarang. Forum ini melibatkan senior NU yang mulai merespon transformasi. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah dekonstruksi pemikiran keislaman yang dikaitkan dengan perubahan sosial. Kegiatan ini melibatkan golongan NU senior yang oleh golongan NU muda dianggap masih konservatif dan hanya fokus pada politik praktis. NU senior belum memahami konteks sosial sebagai penyebab perubahan sosial. Berangkat dari pertemuan Nadika, beberapa tokoh senior NU mulai merespon dengan baik pemikiran kaum muda NU. Pada tahun 1997-1998, beberapa simpul jaringan berkumpul di rumah MR, dan mencoba membangun perkumpulan yang kemudian menjadi kelompok studi keagamaan, filsafat, sosial-ekonomi, dan budaya. Perkumpulan tersebut lahir karena sistem ekonomi di komunitas tidak berkembang sehingga petani mengalami kemandekkan perekonomian. Hal tersebut terutama dipengaruhi oleh adanya intervensi teknologi sehingga persoalan petani bermuara pada kejenuhan perekonomian sebagai akibat langsung dari kejenuhan sumberdaya akibat revolusi hijau. Ketergantungan terhadap input pertanian dari luar jelas-jelas merugikan petani. Diskusi kemudian sampai pada kemungkinan menggulirkan ide kembali ke alam (back to nature ) melalui pola pertanian organik yang harapannya kedepan adalah mengembalikan pemberdayaan umat. Jaringan KUB pada saat itu memfokuskan pada persoalan-persoalan pertanian, misalnya tata niaga, serta kebijakan politik yang tidak pernah dapat diakses oleh masyarakat. Perkembangan bergeser pada bentuk organisasi paguyuban. Pada tahun 1998 muncul dukungan dari PT. Remdec yang bergerak di jasa konsultasi. Pada tahun 1999 Kelompok Tani (Poktan) Berkah Alam melakukan Strategic Planning Program (SP program) untuk seluruh paguyuban yang telah ada sebelumnya. Akhirnya SP program yang sesungguhnya diperuntukkan bagi Poktan Berkah Alam diperuntukkan bagi SP program seluruh paguyuban dan menghasilkan program serikat. Sebelum organisasi lain menerapkan organik, Berkah Alam telah terlebih dahulu memusatkan pada kegiatan organik tanpa ada dukungan dana dari lembaga donor. SP program terselenggara atas dana dari Hivos dan difasilitasi oleh PT. Remdec serta melibatkan 13 paguyuban yang pada saat itu telah berdiri.
83
Alur sejarah perkembangan embrio SPPQT ditampilkan pada Gambar 3. di bawah ini: 1980-an
1993-an
KUB-YDM - Pendekatan ekonomi - Gaya CD oleh Bina Desa - Keterlibatan ulama
Kelompok Candak Kulak (KCK) - Bina Desa mundur karena program selesai - Muncul Paguyuban Berkah Alam
1998-an
NADIKA - Forum kajian - Simpul jaringan KUB berkumpul - Pertemuan terakhir membahas kemungkinan pendirian SPPQT
1999-an
SPPQT - Menerapkan strategi CD - Kerjasama dengan pemerintah sebagai langkah taktis
Gambar 3. Alur Perkembangan Embrio SPPQT Dengan demikian gerakan utama yang dikembangkan adalah membangun kemandirian dan kebersamaan di tingkat internal organisasi. Kemandirian dan kebersamaan dilakukan dan dibangun atas kepentingan kultural. Kultural dalam hal ini dimaknai sebagai pengaruh dari sistem yang ada dan telah terinternalisasi ideologi kapitalisme. Gelombang besar kapitalisme memerlukan respon kultural agar tidak terseret lebih jauh. Meski demikian, melawan globalisme dan kapitalisme adalah sesuatu yang tidak mungkin. Tindakan yang paling mungkin dilakukan adalah menghindari agar tidak terjebak dalam arus globalisme dan kapitalisme. Pola Pengorganisasian yang Dikembangkan Sebagai organisasi rakyat, kerja-kerja pengorganisasian masyarakat petani merupakan program utama organisasi. Ranah kerja dari divisi ini meliputi dua pekerjaan yaitu; pertama, program pengorganisasian komunitas petani, dan kedua, program penguatan petani perempuan. Aspek pengorganisasian komunitas petani difokuskan pada upaya mendorong kaum petani, termasuk keluarga buruh migran utamanya yang berbasis di pedesaan untuk membangun dan memperkuat organisasi petani sebagai wadah perjuangan kepentingan-kepentingan petani. Sedangkan aspek penguatan petani perempuan ditempatkan secara tersendiri
84
dalam struktur program dimaksudkan sebagai bentuk keprihatinan terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan (Laporan Progress Report SPPQT, 2004). Tujuan strategis yang hendak dicapai dari pola pengorganisasian di atas adalah meningkatkan soliditas organ isasi paguyuban petani untuk mendukung gerakan pemberdayaan petani. Dalam agenda pengembangan petani, langkah pengorganisasian merupakan tahap awal sebelum dikembangkan agenda-agenda yang menyangkut kegiatan perekonomian komunitas. Organisasi pada dasarnya merupakan wadah akumulasi energi kolektif dalam mencapai kesepakatan atas solusi yang akan diambil untuk merespon persoalan di tingkat petani. Penelusuran perjalanan panjang aksi petani menuju embrio organisasi massa mendapatkan ruang yang cukup berarti di kalangan aktivis lokal. Pendekatan organisasi massa yang memberi tekanan besar pada isu konflik agraria memperlihatkan bentuk pengorganisasian yang relatif cair dan tidak stabil. Sifat tersebut terkait dengan karakter petani yang tidak memiliki basis kepemilikan lahan sehingga cenderung tidak memiliki resiko ketika melakukan pendekatan advokasi yang cenderung radikal. Dengan demikian, organisasi yang dibangun pun menunjukkan sifat “kiri” dan dibangun atas dasar logika perjuangan secara “fisik”. Karakter demikian dimanifestasikan dalam bentuk strategi perjuangan yang cenderung “memilih” bentuk aksi massa, demonstrasi fisik, dan menggunakan pola-pola yang dianggap radikal oleh pemerintah. Dari sisi politis strategis, persepsi negatif yang sudah terskemakan pada pandangan pemerintah menjadi sandungan untuk melangkah ke tahap perjuangan lebih lanjut. Dalam kerangka organisasi petani yang berhaluan pola-pola pendekatan radikal, keterlibatan petani terbatas pada contact person sebagai sumber informasi; contact person adalah orang yang memobilisir petani-petani untuk aksi-aksi delegasi; dan petani sebagai peserta dari aksi-aksi delegasi. Dengan demikian kegiatan advokasi petani lebih banyak dikendalikan oleh unsur di luar petani. Jika ini tidak segera ditindaklanjuti muncul kekhawatiran bahwa aksi akan tercapai tanpa diiringi perubahan yang mendasar, Fauzi (1998). Dengan demikian, pada tingkat lokal yang terjadi hanya tingginya intensitas hubungan antara petani dengan orang luar desa. Petani dalam komunitasnya sendiri justru tidak
85
mengorganisir diri membangun kekuatan nyata yang terorganisir dan menandingi kekuatan politik lokal. Karakter demikian tentunya berbeda ketika petani yang menjadi subyek pengorganisasian tidak lagi memperjuangkan tanah sebagai isu utama perjuangan. Petani yang mempunyai masalah seputar produksi dan hubungan dengan kekuatan supra desa memerlukan strategi tersendiri ketika akan dibawa pada bentuk pengorganisasian. Petani yang memiliki status kepemilikan lahan cenderung lebih berorientasi pada ekonomi produksi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan. Meski tampak lebih “mudah” dibanding organisasi konflik, dalam kenyataannya upaya pengorganisasian dan hal-hal lain yang terlibat didalamnya juga tidak mudah. Petani yang selalu terbelenggu oleh permasalahan struktural mau tidak mau harus dihadapkan pada stakeholder yang telah menyebabkan keterpurukan tersebut. Target kemandirian dan konsolidasi harus menjadi output utama karena sejauh ini bentuk organisasi petani yang ditawarkan sangat bias kepentingan elit birokrasi. Pengorganisasian berbasis rakyat kental dengan ciri sporadis, lokal dan kecil-kecil. Pendekatan yang sering dilakukan adalah pendekatan administratif dengan pertimbangan memudahkan proses konsolidasi. Pertimbangan ini kemudian berimplikasi pada jalur tanggung jawab yang mengarah pada lembaga birokrasi supra desa. Berbeda dengan pengorganisasian yang dilakukan oleh SPPQT dimana organisasi dibentuk dengan dua sistem yaitu pendekatan administrasi dan pendekatan kawasan. Sistem pertama dib entuk sebagai respon peraturan daerah. Sedangkan pendekatan gugus kawasan dilakukan sebagai respon atas persoalan yang terkait dengan persoalan ekologi. Pertimbangannya terkait dengan fokus kepentingan yang dirasakan oleh anggota dan kelompok. Pendekatan kawasan menjadi penting dalam menumbuhkan kesadaran ekologis petani. Organisasi yang dibentuk berdasarkan kepentingan ekologis akan membawa arah perjuangan pada kesadaran pengelolaan sumberdaya alam yang relatif lebih baik dan mendahulukan prinsip-prinsip konservasi dalam setiap tindakan manajemen organisasi. Serikat membangun paguyuban dalam bentuk pendekatan kawasan dengan tujuan mempersiapkan petani dalam menghadapi isu desentralisasi. Kesiapan ini
86
merupakan potensi dalam kaitannya dengan otonomi daerah s ekaligus penanganan potensi sumber daya alam. Pemahaman potensi SDA dapat menjadi basis penguatan komunitas. Pendekatan kawasan dianggap tepat karena kegiatan yang diarahkan pada ekonomi dan produksi memerlukan keseragaman dalam hal pola produksi. Keseragaman karakter ekologis memudahkan penataan program masing-masing paguyuban disamping menimbulkan kedekatan emosional antar petani. Disamping itu, isu yang diangkat juga lebih mengarah pada persoalan nyata yang dialami. Tiga belas kawasan yang ada beserta paguyuban anggotanya seperti tercantum pada Tabel 5. di bawah ini: Tabel 5. Sebaran Anggota SPPQT Berdasarkan Kawasan No.
Kawasan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Merapi Merbabu I Merbabu II Sumbing Gunung Payung Ungaran Hulu Ungaran Hilir Jogosatru Senjoyo
10 11 12 13
Penyangga KO KO Rawapening Pantai Sekucing
Paguyuban Merapi, Setyo Tunggal Merbabu Candi Laras Merbabu, Jabal Syarif, Tajuk, Samirono Sumbing Inti, Hayatan Thayyibah Gunung Payung Gedongsongo Bekti Pertiwi Al-Barokah Joko Tingkir, Berkah Alam, Karyo Raharjo, al Falah, Merdeka, Wijaya Kusuma, Gotong Royong, An Nur, Pasar Pagi, Bestari RR, Subur, TUM, Otek Makmur PSM, Sendang Rejeki, KOB, SSR Rapensa, Sodong, Makmur, Baruklinting Wahyu Samudro
Sumber: SPPQT, 2005
Meski secara keseluruhan organisasi yang ada muncul atas kesadaran anggota, namun dalam skala kecil masih dapat dilihat bahwa pada dasarnya muncul motivasi yang berbeda terkait dengan pembentukan organisasi tani tingkat lokal. Salah satu strategi pengorganisasian yang dipergunakan oleh serikat petani adalah dengan menawarkan program/proyek kepada petani sebagai momentum awal pendirian organisasi. Biasanya penawaran dilakukan dalam bentuk bantuan dana PKM yang menjadi agenda kegiatan pertama bagi organisasi yang baru tumbuh tersebut. Tampak bahwa inisiasi ekonomi dan model pendekatan CD tetap menjadi pilihan meskipun jika dipandang dari sisi inisiatif lokal, organisasi ini telah sedikit maju dibandingkan model CD.
87
Disamping itu, sebagai organisasi yang menggunakan pendekatan CD sebagai strategi perjuangan, organisasi anggota SPPQT juga dibentuk dengan memanfaatkan kelompok bentukan pemerintah yang sudah ada (misalnya kelompok religi atau ekonomi). Pengorganisasian yang dilakukan mengadopsi model organisasi formal yang memiliki struktur organisasi vertikal-horizontal. Organisasi petani memiliki divisi-divisi yang meskipun seringkali kurang sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi petani tetap digunakan sebagai cetak biru dari SPPQT. Meskipun organisasi yang berciri CD ini baru muncul setelah situasi politik memberikan ruang gerak yang bebas, namun ide pengorganisasian tampaknya telah muncul terlebih dahulu di tingkat lokal. Organisasi berciri CD dengan cakupan wilayah yang relatif luas baru mendapat pengakuan pada masa reformasi terkait dengan persepsi pemerintah terhadap keberadaan organisasi petani. Kemunculan organisasi petani dalam konteks sosial yang “mapan” oleh pemerintah dianggap keluar dari jalur yang “seharusnya” sehingga harus dibatasi pertumbuhannya.
Makna
yang
ditangkap
dari
realitas
tersebut
adalah
kekhawatiran pemerintah terhadap bentuk perlawanan petani. Harapan yang ingin dibangun adalah organisasi yang bersifat well organized agar dapat mengurai persoalan laten misalnya biaya pendidikan mahal, harga komoditas pertanian murah, dan input pertanian yang mahal. Respon atas persoalan laten ini penting karena apabila persoalan ini tidak disikapi dengan segera, maka persoalan akan meruncing menjadi manifes dengan resiko kebutuhan energi perjuangan lebih besar. Dengan kata lain, organisasi massa rakyat harus dimaknai sebagai respon atas ketidakadilan yang terjadi pada rakyat. Tumbuhnya organisasi petani tidak lepas dari dukungan pihak luar sejak dari masa pembentukan hingga perjalanan organisasi itu sendiri. Kenyataan lapang menunjukkan bahwa banyak organisasi petani tumbuh didukung oleh berbagai bantuan yang sengaja dipersiapkan untuk membentuk embrio sebuah organisasi. Dalam hal ini dukungan aktor dalam pembentukan bisa menjadi petunjuk tipe organisasi yang dibangun. Banyak kasus menunjukkan bahwa aktor yang pertama kali bersentuhan dengan organisasi petani, dalam perkembangannya akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan organisasi petani yang
88
bersangkutan. Apabila diklasifikasi, bentuk dukungan dapat dibedakan: 1) dukungan dalam pembentukan, 2) dukungan dalam fasilitas, 3) dukungan dalam pembinaan, dan 4) dukungan dalam membangun jaringan. Dukungan dalam pembentukan diartikan sebagai bentuk keterlibatan aktor lain yang turut membidani kelahiran organisasi. Keterlibatan pendamping dalam hal ini cukup kuat karena sejak semula keberadaan pendamping menjadi semacam ujung tombak pembentukan sekaligus agen perubahan dalam komunitas. Apabila pembentukan kelompok dikaitkan dengan jenis inisiasi yang digunakan, tampak pada beberapa paguyuban dan kelompok pembentukan didasari oleh program pembangunan yang dibawa serikat. Persepsi anggota organisasi terhadap model pendekatan ini berbeda. Pandangan positif lebih menilai bahwa pendekatan ini sah dan dalam beberapa hal masih diperlukan untuk pengembangan organisasi tani. Pandangan negatif menilai bahwa ketika organisasi terbentuk karena ada program dari atas, maka keberlanjutan organisasi tersebut dipertanyakan. Tingkat ketergantungan organisasi tipe ini terhadap program sangat tinggi. Perdebatan kemudian bergulir pada fakta yang diperoleh bahwa keberlanjutan organisasi tidak dapat didasarkan hanya pada satu indikator saja. Keterkaitan Antar Aras Organisasi Memahami organisasi petani membawa kita pada upaya pemahaman akan kohesi sosial, komunikasi, dan struktur organisasi dalam bentuk organisasi petani dan arti pentingnya bagi keberlangsungan sebuah organisasi tingkat sekunder. Meskipun secara sekilas akan tampak perbedaan antara satu organisasi dengan lainnya, namun hal tersebut tidak bisa menjadi pembeda yang kaku. Sulit untuk mendasarkan pada perbandingan dengan cara demikian. Hampir semua organisasi dapat diklasifikasikan kedalam salah satu dari tiga kategori yaitu: organisasi kerjasama, organisasi yang berbentuk proyek pembangunan atau atas instruksi agen pemerintah, dan NGO (Uphoff, 1986). Organisasi yang berbasis produksi merepresentasikan perdagangan dan ketertarikan dalam aspek produksi dan telah sedikit lebih modern dibandingkan organisasi tradisional lain. Organisasi seperti ini berbasis pada upaya memprioritaskan agen penyebaran pertanian atau pembangunan.
89
Kasus di lapang menunjukkan bahwa beberapa paguyuban memiliki ‘ketergantungan’ yang tinggi terhadap keberadaan organisasi di bawahnya. Hal ini dapat dikatakan wajar terutama dalam hal penyediaan dana kegiatan organisasi. Basis massa berada di bawah kelompok tani, sehingga yang lebih berhak melakukan penggalangan dana adalah kelompok tani. Dukungan dana untuk kegiatan organisasi terutama di tingkat paguyuban lebih sering mengand alkan kekuatan kelompok tani. Dalam beberapa hal, ini bisa dianggap sebagai “balas jasa” kelompok tani terhadap paguyuban. Balas jasa ini berlaku terutama jika paguyuban memainkan peran membangun jejaring dengan pihak lain yang menguntungkan bagi perkembangan kelompok tani. Namun demikian, gejala ketergantungan paguyuban terhadap kelompok tidak dapat digeneralisir. Akan tampak berbeda pada paguyuban yang sudah memiliki stabilitas dalam berorganisasi dan memiliki jaringan yang luas untuk mendukung program kelompok. Dalam kondisi ini kelompok akan sangat berkepentingan terhadap paguyuban atas dukungan yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing aras mempunyai ranah tugas dan tanggung jawab tertentu. Analisis di atas diperkuat oleh Carroll dalam Britt, 2003 yang menyatakan perbedaan ciri pada tiap aras organisasi. Tabel 6. di bawah ini menunjukkan perbedaan orientasi organisasi pada aras yang berbeda. Tabel 6. Perbedaan Ciri Tiap Aras Organisasi Aras Organisasi Kelompok Paguyuban
SPPQT
Perbedaan Cakupan petani lokalkomunitas kawasan ekologis yang sama aktivis
Aras
Kompleksitas
Fungsi
village
simple
praksis
kecamatan atau kabupaten serikatpropinsi
relatif belum jelas
kebijakan
multidimensional
advokasi/ politik/ ideologi
Dalam struktur pengorganisasian yang memiliki tiga aras (serikatpaguyuban-kelompok tani), paguyuban berperan penting bagi kelompok terutama dalam fungsinya sebagai penghubung antara kelompok dengan serikat, membuat administrasi yang tertib, dan juga membuat jaringan. Pada aras lokal sebagian
90
besar organisasi yang eksis adalah kelompok tani karena mereka lebih memfokuskan pada kegiatan nyata. Kelompok tani lebih akrab dengan kerangka kebijakan dan aktivitas pemerintah tingkat lokal. Sebagai konsekuensinya, program pemerintah seringkali hanya bersinggungan dengan kelompok, sedangkan paguyuban lebih banyak melakukan kegiatan dalam jalur koordinasi SPPQT. Peran paguyuban dalam struktur organisasi sebagai sarana atau wadah untuk pembelajaran bersama. Jalur komunikasi dilakukan langsung dalam forum yang di dalamnya terdapat mekanisme pertemuan rutin sebagai ajang berbagi informasi. Proses pertukaran informasi dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat dan melibatkan kepengurusan kelompok dalam bentuk pertemuan. Hampir sebagian besar paguyuban melakukan pertemuan selapanan sekali (35 hari sekali), merujuk pada kultur yang biasa dibangun. Dalam pertemuan tersebut, disamping membicarakan persoalan yang menyangkut kelompok/paguyuban, juga sebagai media untuk mengumpulkan iuran ru tin. Mekanisme formal penyaluran kepentingan/aspirasi anggota paguyuban melalui rapat dewan pleno yang diadakan setiap 3 bulan sekali dan dihadiri oleh perwakilan ketua kelompok masing-masing. Rapat dewan pleno dilakukan untuk mengevaluasi program yang telah dilaksanakan sebelumnya untuk pelaksanaan program selanjutnya. Perkembangan lebih lanjut memperlihatkan keinginan untuk menerapkan desentralisasi paguyuban. Paguyuban diharapkan mempunyai peran lebih dibanding serikat mengingat yang paling dekat deng an kelompok adalah serikat. Tim penilai desentralisasi melakukan evaluasi terhadap seluruh paguyuban dan menghasilkan kategorisasi paguyuban yang dianggap telah terdesentralisasi maupun yang belum. Beberapa kriteria hasil penilaian tentang tingkatan otonomi di paguyuban sebagai berikut; terdesentralisasi penuh, sedang dalam proses desentralisasi, paguyuban yang selama ini tidak terdesentralisasi, dan masih berupa calon paguyuban. Parameter desentralisasi dengan menggunakan alat ukur diantaranya adalah; pertama, parameter obyektif yaitu persoalan di luar anggota. Dalam hal ini penting dipertimbangkan aspek kondisi alam, kemiskinan, gerakan perempuan, kondisi politik, dan struktur pemerintah. Kedua , parameter internal
91
yang menyangkut manajemen (administrasi, pengambilan keputusan, kontrol, perencanaan, dan pelaksanaan). Makin tinggi parameter obyektif (misalnya kondisi luar buruk) maka organisasi harus diprioritaskan.
Kegiatan Organisasi Kesadaran terhadap kebutuhan organisasi berangkat dari keinginan mencapai kebutuhan di tingkat petani. Organisasi yang dibangun atas dasar basic needs dan basic interest memiliki kecenderungan untuk mempertahankan keberadaan dirinya sebagai manusia. Hollnsteiner (1979) dengan gamblang menggambarkan bahwa “basic needs strategy requires ‘motivational, institutional and organizing change as much as narrowly defined economic reform’ broad based participation of people at the local level as a key factor in generating and articulating the demand for basic needs and for the efficient management of supportive services”. Kebutuhan yang paling jelas dirasakan oleh petani terkait dengan persoalan hidup adalah pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama. Komunitas sekitar dataran tinggi mengalami persoalan yang khas menyangkut kondisi geografis. Komoditas yang ditanam biasanya terbatas pada jenis tertentu yang sesuai dengan iklim. Ketersediaan air yang terbatas menyebabkan tanaman hanya menghasilkan produksi yang sedikit. Kasus terbentuknya organisasi petani pada wilayah ini diilhami oleh kuatnya tekanan struktural yang muncul dan menghantam kehidupan petani. Apabila dikelompokkan motivasi terbentuknya organisasi petani atas dasar basic needs dan basic interest, maka kebutuhan mendasar yang dialami oleh petani adalah terkait dengan masalah produksi. Paling tidak kebutuhan inilah yang pertama kali memunculkan motivasi membangun organisasi. Atas dasar alasan tersebut, maka tidak heran bahwa pilihan tipe organisasi mengedepankan prinsip pemenuhan kebutuhan yang paling dirasakan. Oleh karenanya,
organisasi
dengan
pendekatan
CD
menjadi
pilihan
karena
menyandarkan upaya pencapaian kesejahteraan anggota, penerapan program pada anggota, dan mengembangkan prinsip pemberdayaan dan kemandirian tingkat lokal.
92
Pilihan Kegiatan Sebagai Upaya Mencapai Tujuan Relasi kekuasaan yang terbentuk mau tidak mau menempatkan petani pada kondisi yang diharuskan mengikuti pola -pola yang telah dikokohkan. Dalam praktek pertanian, petani mengalami ketergantungan terhadap pertanian konvensional tanpa bisa keluar dari status quo pemodal. Sarana produksi pertanian yang disediakan pemerintah makin menjauhkan petani dari kemampuan menangkap potensi lokal. Artinya, pemerintah justru menambah deretan pekerjaan rumah bagi perbaikan nasib petani. Dari sudut pandang sosiologis, relasi yang menciptakan implikasi demikian membawa pengaruh pada posisi superordinatsubordinat. Ketika hal ini terjadi akan menciptakan sisi ketergantungan petani terhadap golongan superordinat. Selain pembentukan organisasi petani dipandang sebagai strategi penyelamatan dari tekanan struktural, dalam wilayah internal petani, organisasi merupakan wadah ikatan sosial. Ikatan sosial menjadi penting sebagai sarana berbagi permasalahan. Petani mengemukakan bahwa motivasi pembentukan kelompok adalah memupuk rasa persaudaraan diantara mereka. Motivasi ini terutama ditemukan pada kelompok petani perempuan. Atas dasar motivasi itu kelompok petani perempuan mengembangkan kegiatan ekonomi sekaligus berorientasi pada menjalin hubungan kebersamaan diantara anggota. Kegiatan yang dilakukan biasanya meliputi arisan, tabungan kelompok atau simpan pinjam. Permasalahan sosial-ekonomi yang dihadapi petani tidak lepas dari konteks politik yang ada. Permasalahan yang diwarnai oleh kekuasaan politik supra lokal “memaksa” petani untuk menciptakan kondisi yang bisa meningkatkan posisi tawar. Dalam situasi demikian, petani tidak hanya berkiprah dalam bidang produksi melainkan dalam bidang politik. Dalam beberapa kasus, petani sebagai anggota organisasi produksi memainkan perannya di ruang publik yang lebih luas. Dinamika politik lokal menjadi media bagi petani untuk memantapkan posisinya menjadi bagian dari unsur-unsur pengambilan keputusan. Kegiatan berciri ekonomi produksi Respon atas persoalan produksi yang sudah sejak lama dialami petani di wilayah organisasi SPPQT diwujudkan dalam bentuk mengelola sumber-sumber produksi dengan menggunakan kekuatan sendiri. Bentuk aktivitas yang dapat
93
dikategorikan sebagai kegiatan ekonomi produksi adalah simpan pinjam, gardu tani, pemasaran produk dan pertanian organik. Untuk itulah, satu divisi yang selalu ada di setiap paguyuban adalah divisi IOF (Integrated Organic Farming ). Divisi ini menjadi media petani untuk dapat melakukan kegiatan produksi tanpa dipengaruhi mekanisme politik. Permasalah an yang cukup menguat di kalangan petani anggota SPPQT adalah masalah akses terhadap input-input pertanian yang mahal. Tingginya tingkat harga input pertanian yang sampai ke petani dominan dipengaruhi konteks geografis dan struktural. Kondisi geografis anggota SPPQT yang sulit dijangkau makin mempersulit distribusi. Disamping itu, input pertanian menjadi komoditas politik sehingga tingkat harga sulit dijangkau oleh mekanisme pasar. Melalui divisi IOF, peningkatan pemahaman pentingnya memanfaatkan sumber yang ada di sekitar komunitas menjadi fokus tersendiri, disamping juga keterampilan yang menyertai penyadaran tersebut. Kegiatan ini kemudian difokuskan pada pertanian organik melalui praktek pertanian organik di tingkat komunitas. Petani memanfaatkan modal yang ada di alam untuk mendukung pola pertanian tersebut. Beberapa keluhan yang muncul sebagai dampak dari diterapkannya pertanian sistem ini adalah makin berkurangnya produktivitas lahan per satuan luas. Penyadaran tentang hal ini terus menerus diberikan oleh kader organisasi bahwa pengurangan produksi pada kurun waktu 2-3 tahun pertama sebagai akibat tanah yang terlalu jenuh pupuk kimia. Kader kemudian memberikan contoh kepada petani tentang keberhasilan padi sistem organik yang di tahun ketiga menghasilkan produksi jauh diatas padi dengan sistem pertanian konvensional. Kegiatan lain menyangkut aspek ekonomi produksi adalah kegiatan pemasaran yang ditangani langsung oleh petani dengan dukungan SPPQT dalam hal jaringan. Beberapa kelompok telah dapat memas arkan sendiri hasil pertanian bahkan telah masuk ke supermarket secara rutin. Sebagai bagian dari upaya menunjukkan eksistensi organisasi petani, model pemasaran demikian menjadi alat ampuh untuk mensosialisasikan kemandirian petani. Dengan demikian pengakuan atas eksistensi organisasi tidak saja diperoleh dari internal organisasi melainkan juga dari pihak eksternal.
94
Ketika petani telah sampai pada kesadaran bahwa mereka bisa membangun pola-pola yang tidak tergantung kepada pihak luar, sejak saat itu pula mereka secara tidak langsung berikrar pada terputusnya relasi dengan kekuasaan struktural di luar komunitasnya. Kemampuan berbudidaya dengan menggunakan input yang ada di sekitar alam serta memasarkan sendiri hasilnya tanpa melalui tangan tengkulak berhasil memberikan contoh/gambaran peran petani dalam ajang pertarungan ekonomi. Ketergantungan yang tinggi terhadap input-input pertanian mulai dikurangi oleh petani melalui kegiatan pertanian organik. Pertanian organik yang berciri model pertanian murah input mendapat tempat pada komunitas petani. Namun dalam jangka pendek petani memerlukan “subsidi” terkait dengan menurunnya produktivitas lahan. SPPQT sebagai fasilitator, dalam hal ini harus memperhatikan kebutuhan jangka pendek petani. Pertanian organik ditahun-tahun awal memerlukan pengorbanan sehingga diperlukan strategi untuk tetap mempertahankan berlangsungnya kegiatan pertanian organik. Kekhawatiran yang muncul adalah; implikasi dari diberlakukannya pertanian organik yang berpeluang menciptakan kesenjangan antara petani dengan serikat-nya. Hal ini berbahaya karena pertanian organik di tingkat basis tidak dipahami secara filosofis dari sisi manfaat dan keuntungan melainkan karena didasari motivasi mengikuti program. Bagi sebagian petani, capaian yang diharapkan dari pertanian organik belum memberi nilai tambah dalam ekonomi petani, karena terlalu besar biaya dan resiko yang harus diterima petani. Seperti pernyataan mereka bahwa bertani organik membutuhkan waktu minimal tiga tahun untuk berhasil karena harus mengembalikan kesuburan tanah akibat timbunan bahan kimia. Disisi lain petani dalam jangka pendek memerlukan hasil untuk menghidupi keluarga. Belum lagi tingkat penguasaan lahan yang rendah turut mempengaruhi pendapat ini. Alasan keengganan menerapkan pertanian organik adalah petani membutuhkan agen perubahan yang berasal dari golongan mereka sendiri. Dalam hal ini bimbingan dan penyuluhan masih menjadi kebutuhan yang penting bagi petani. Kegiatan ekonomi lain ditemukan pada kegiatan simpan pinjam dan gard u tani. Pada beberapa kelompok, kegiatan simpan pinjam menjadi sebuah media kerukunan antar anggota. Gardu tani analog dengan kegiatan koperasi dimana
95
konsep gardu tani mengadopsi konsep koperasi. Pilihan kata gardu tani dimaksudkan untuk menghilangkan image sebuah institusi yang dibangun oleh pemerintah. Kelembagaan yang dibangun oleh pemerintah menimbulkan trauma tersendiri bagi petani. Itulah sebabnya konsep koperasi diterapkan dengan menggunakan terminologi yang berbeda. Pendekatan ekonomi dilakukan untuk mengembangkan permodalan dalam usaha organisasi petani baik di aras paguyuban maupun kelompok tani. Cara ini secara umum dapat dilakukan melalui dua mekanisme yaitu pengembangan modal internal dan pengembangan modal eksternal. Pengembangan modal internal dilakukan dalam bentuk usaha simpan pinjam, arisan (bagi beberapa kelompok tertentu), gardu tani, iuran pokok dan wajib, usaha kolektif dan pemasaran produk. Sedangkan pengembangan modal eksternal menekankan pada pemberi dana baik dari serikat, maupun lembaga lain seperti dinas pemerintah dan lembaga swasta, maupun partai politik. Pengembangan modal internal, secara umum lebih banyak menggunakan mekanisme usaha simpan pinjam dan iuran. Selain itu terdapat juga pengembangan modal melalui kegiatan usaha kolektif dalam bentuk gotong royong. Usaha kolektif adalah kegiatan yang melibatkan keseluruhan anggota organisasi guna menambah pendanaan organisasi. Usaha kolektif yang dilakukan seperti, mencangkul bersama, memanen bersama, buruh angkut, beternak kambing dan sapi, menanam tanaman jahe dalam lahan kolektif, dan usaha penyewaan tenda, pompa air serta penyewaan mesin pipil jagung. Hasil yang didapat, dari pengembangan modal digunakan sebagai kas organisasi, dan sebagian diperuntukkan bagi anggota yang terlib at dalam usaha kolektif (kasus usaha ternak kambing dan sapi). Ada hal yang cukup menarik dalam penggunaan kas organisasi. Terdapat organisasi di tingkat kelompok yang menggunakan kas untuk pembangunan fisik dusun dan desa di lingkungan mereka seperti pembuatan jalan aspal dan pemasangan lampu penerangan jalan. Hal ini dilakukan karena kelengkapan sarana dan prasarana dirasa kurang. Kegiatan berciri pendidikan Pendekatan pendidikan dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas SDM pengurus maupun anggota dalam bentuk pelatihan manajerial dan pelatihan pembukuan. Model pendekatan ini lebih mengarah pada perbaikan lembaga
96
(institusi), sedangkan pendekatan pendidikan yang mengarah pada perbaikan kualitas SDM per individu dilakukan melalui kegiatan pelatihan pertanian organik, pelatihan pemetaan partisipatif, dan pelatihan jender. Strategi lain yang dilakukan adalah pelatihan jender. Pelatihan jender dilakukan untuk memberi penyadaran kepada baik perempuan dan laki-laki dan pola relasi d iantara keduanya. Kegiatan ini berhasil dalam peningkatan pengetahuan anggotanya namun tidak berhasil dalam aplikasi. Budaya patriarkhi yang dominan menciptakan sulitnya kesetaraan jender diwujudkan. Keterlibatan dan partisipasi perempuan dalam ranah publik baru terwujud dalam bentuk berorganisasi. Di aras komunitas, gender mainstreaming belum memberikan warna. Terlihat dari proses penyusunan kebijakan tingkat desa yang menunjukkan minimnya keterlibatan perempuan. Kondisi ini dipertajam pada ranah domestik yang lebih menonjolkan peran perempuan pada fungsi reproduksi dibanding fungsi produksi dan sosial. Hal ini mengakibatkan (bagi anggota organisasi) terhambatnya akses dan kontrol terhadap informasi. Dalam akses informasi, antara anggota perempuan dengan laki-laki hampir seimbang, namun dalam hal kontrol masih didominasi oleh laki-laki. Satu kegiatan yang menarik dilakukan oleh organisasi SPPQT adalah sekolah alternatif. Pendirian sekolah ini merupakan hasil refleksi para pemuda tani setelah mendapat pencerahan melalui pendidikan kritis. Kebutuhan awal yang dirasakan ketika pendirian sekolah alternatif dibangun adalah respon atas jarak sekolah yang jauh dari lokasi pemukiman. Kondisi demikian menyebabkan anak anak petani banyak yang putus sekolah. Beberapa orang yang mempunyai pemikiran progresif kemudian mencoba mendirikan sekolah dengan harapan kualitas yang sama bahkan sedapat mungkin mengungguli sekolah pemerintah. Pertimbangan pendirian sekolah alternatif juga dipicu oleh mahalnya biaya pendidikan yang mengusik kesadaran emansip asi. Sekolah alternatif merupakan bentuk kepedulian terhadap persoalan komersialisasi dan kapitalisme pendidikan yang marak terjadi. Sekolah dibangun dengan menggunakan kurikulum depdiknas dan menginduk pada sekolah terbuka namun didisain dengan pendekatan pengajaran yang progresif. Sekolah ini
97
menciptakan bentuk kemandirian yang merupakan ciri dasar dan semangat yang dijunjung dalam ideologi pendidikan alternatif ini. Berbagai metode telah dikembangkan dalam pola pengajaran termasuk suatu uji coba yang belajar tanpa guru yang diterapkan di kelas tiga. Sedangkan kelas satu dan kelas dua masih tetap menerapkan pengajaran yang didampingi oleh
guru.
Sekolah
ini
menerapkan
sistem
pembelajaran
yang
lebih
mengedepankan aspek pemaknaan terhadap ilmu pengetahuan. Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan adalah terlibat dalam diskusi dan hubungan dialogis antara murid, guru dan lingkungan. Siswa diajak untuk belajar dengan alam dan menemukan sendiri pengetahuan. Dalam pola ini dituntut kreatifitas dan daya inovatif siswa. Pola pendidikan ini dalam sistem Freire (1984) merupakan sebuah sistem pendidikan yang lebih humanis dan mengedepankan hubungan pendidik dan peserta didik. Dalam hal ini yang dibangun bukan pengajaran namun pembelajaran, dimana posisi guru tidak sebagai pengajar melainkan bagian dalam sistem pendidikan yang juga melakukan pembelajaran bersama dengan murid. Kegiatan kerciri aksi-advokasi Beberapa paguyuban dan kelompok memiliki permasalahan terkait dengan lahan perhutani. Disamping mencari lahan untuk pertanian, petani lokal menolak tanaman pinus yang ternyata memberi kontribusi cukup tinggi pada berkurangnya ketersediaan air di musim kemarau. Tanaman pinus ditebang secara selektif untuk memberi ruang yang cukup bagi tumbuhnya tanaman perintis. Sebagian besar organisasi lokal menolak bentuk PHBM yang ditawarkan petani karena dirasa tidak adil bagi petani. Oleh karenanya organisasi lokal mengambil inisiatif untuk menanam pohon di lahan perhutani. Fenomena paling baru yang terjadi saat ini adalah organ isasi petani melakukan gerakan protes terhadap penetapan TNMM berdasarkan SK Menhut No 134 dan 135 Tahun 2004. Pendekatan aksi-advokasi dilakukan sebagai wujud pendekatan politik. Kegiatan aksi yang tampak pada paguyuban dan kelompok tani adalah demonstrasi, penghijauan, pemekaran lahan pertanian, dan pembangunan sarana fisik. Sedangkan kegiatan yang dikategorikan menggunakan pendekatan advokasi misalnya talk show gender via media massa, diskusi kampung, dan penolakan SK tentang penetapan TNMM. Konflik kepentingan yang terjadi seperti dalam kasus
98
PHBM dan isu TNMM. Sasaran advokasi ditujukan bagi anggota paguyuban. Tujuan advokasi adalah anggota dapat memahami sekaligus terlibat dalam permasalahan yang terjadi di lingkungan mereka. Penyadaran menjadi kata kunci dalam pendekatan advokasi. Pendekatan aksi merupakan kelanjutan dari pendekatan -pendekatan yang telah dilakukan sebelumnya terkait dengan berbagai masalah dan isu baik ekonomi, sosial, politik dan lingkungan. Tujuan aksi adalah membentuk opini publik . Strategi ini tampak dalam aksi demonstrasi menuntut dihentikannya proyek TNMM yang ditujukan kepada pemerintah daerah maupun pusat. Aksi lain dilakukan secara nyata dalam hal kegiatan penanaman tanaman keras bagi tanah tanah dengan kondisi kritis (terintegrasi dalam program GNRHL Perhutani), diskusi desa mengenai jatah perempuan dan otonomi desa, penebangan dan penggarapan lahan Perhutani. Penguatan Kapasitas Organisasi: Pertarungan antar Orientasi Kepentingan Paguyuban petani yang berbasis aktivitas pen ingkatan pendapatan mempunyai struktur organisasi yang lebih baik dibandingkan organisasi konflik. Paguyuban menjadi bagian dari organisasi yang lebih besar yaitu SPPQT. Namun demikian, paguyuban juga memiliki otoritas untuk mengembangkan struktur manajemen dan agenda tersendiri untuk memajukan paguyuban. Bahkan ketika dihadapkan dengan kelompok petani anggota, paguyuban memiliki hak lebih banyak dibanding SPPQT. Hal tersebut tampak dari model pembinaan berjenjang yang dilakukan SPPQT, yaitu SPPQT membina paguyuban, sedangkan paguyuban membina kelompok tani anggotanya. Model pembinaan demikian didasarkan pada pertimbangan menghindari fokus perhatian yang melebar. Dalam hal ini kedekatan paguyuban dengan kelompok tani memberi dukungan terhadap kemandirian paguyuban dalam mendisain arah pengembangan organisasi, bersama-sama dengan kelompok tani di bawahnya. Peningkatan kapasitas organisasi basis kemudian didisain oleh kelompok bersama-sama dengan paguyuban. Dengan demikian fokus paguyuban ditujukan pada beberapa hal diantaranya adalah (Sunito & Purwandari, 2005); pertama, penguatan organisasi petani yang bertujuan untuk mencapai penguatan posisi tawar petani dalam situasi politik untuk mengejar tujuan organisasi. Kegiatan
99
dirinci kedalam beberapa jenis kegiatan, misalnya pelatihan berorganisasi, manajemen organisasi, atau pelatihan dalam upaya mencari solusi atas berbagai persoalan. Kedua, membangun jaringan pasar antar petani. Ide ini berangkat dari kenyataan bahwa petani yang tinggal di daerah dataran tinggi (lahan kering) dapat melakukan pertukaran (jual-beli) komoditas pertanian dengan petani di dataran rendah (lahan basah). Komoditas yang dipertukarkan adalah komoditas yang dapat saling melengkapi. Strategi ini dalam jaringan organisasi SPPQT sedang dalam upaya dikembangkan. Cara ini sekaligus juga sebagai bagian dari membebaskan petani dari sistem pemasaran yang eksploitatif. Ketiga, strategi membebaskan petani dari penyediaan input pertanian yang memerlukan
modal
yang
intensif.
Hal
ini
terutama
terkait
dengan
mengembangkan ketersediaan input pertanian - pupuk dan pestisida – yang berada di bawah kontrol petani dengan menerapkan bahan -bahan alami lokal. Sejak krisis ekonomi tahun 1997, biaya import sarana produksi pertanian menjadi sangat tinggi sehingga harga jual sarana produksi pertanian menjadi mahal. Terdorong oleh kondisi demikian, organisasi petani difasilitasi oleh NGO mencari upaya untuk menciptakan alternatif pupuk dan obat-obatan murah dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Melalui strategi ini, margin keuntungan petani meningkat karena biaya produksi bisa ditekan lebih rendah, dan harga pertanian organik cenderung lebih tinggi dibanding hasil pertanian konvensional. Kondisi ekonomi seperti dikemukakan di atas mendorong petani untuk mengadopsi sistem pertanian yang lebih banyak bertumpu pada sumber daya lokal dan pengetahuan lokal. Usaha ini didukung oleh NGO’s yang bergerak di bidang CD, sebagian besar dengan mengusahakan informasi, pelatihan dan jejaring dengan organisasi-organisasi yang dapat memberikan dukungan. Namun terdapat juga NGO’s yang mengkhususkan diri pada sistem pertanian organik dan berusaha meyakinkan petani tentang potensi sistem pertanian alternatif tersebut. Dalam hal ini terjadi pertemuan dua kepentingan yang sejalan dan kerjasama yang sinergis. Paguyuban di bawah SPPQT tidak secara eksplisit menerapkan pendekatan sistem pertanian alternatif atau pertanian organik, namun giat mengembangkan
elemen-elemen
dari
pertanian
organik
dalam
rangka
menumbuhkan kemandirian seperti dikemukakan di atas. Paling umum dilakukan
100
adalah membuat pupuk dan insektisida organik. Beberapa kelompok tani menanam kembali benih-benih padi lokal, yang kini mulai disalurkan ke konsumen melalui NGO’s di kota. Keempat, media cetak sebagai alat komunikasi dan advokasi. Sistem komunikasi yang dikembangkan adalah penerbitan news-letter dan majalah. Secara umum dapat dikatakan bahwa peranan NGO sangat besar didalam mengembangkan
media
cetak
yang
dimanfaatkan
petani
untuk
saling
berkomunikasi dan sebagai media informasi atas permasalahan yang dihadapi petani. Organisasi yang mengelola media cetak biasanya dari serikat organisasi (SPPQT) karena sifat beritanya yang cukup padat. Paguyuban atau kelompok tani jarang melakukan kegiatan ini kecuali mempunyai sumber daya manusia dan infrastruktur cukup untuk mengelola media cetak. Nampak adanya pembagian kerja yang umum dilakukan, dimana NGO pendamping petani dibebani penerbitan media cetak sebagai corong advokasi permasalahan petani. SPPQT pun mengembangkan media informasi melalui penerbitan bulletin “Rembug”. Kemampuan organisasi petani dalam menerbitkan informasi didukung oleh jaringan luas dan mampu mengembangkan program-program CD, pelatihan dan advokasi yang didanai oleh lembaga donor dalam maupun luar negeri. Kelima, sistem komunikasi yang bertujuan untuk mengakomodir kebutuhan informasi yang dirasakan oleh petani yang secara geografis terpisah. Di kawasan SPPQT kini tengah dikembangkan sistem komunikasi dan informasi digital antar kelompok petani. Dengan infrastruktur ini organisasi anggota dapat saling berkomunikasi, dan informasi dari internet yang diterima di organisasi pusat dapat didistribusikan ke organisasi anggota. Sistem informasi pasar digital ini dirancang untuk dapat dimanfaatkan oleh siapapun dan menerima informasi langsung dari petani yang sedang melakukan negosiasi di pasar, sehingga sistem informasi ini akan mendapat ciri real-time. Perkembangan organisasi petani dapat dilihat terutama dari bentuk dan derajat agregasi yang merefleksikan kebutuhan-kebutuhan diantaranya: 1) meningkatkan kemampuan
distribusi negosiasi
dan dan
pertukaran komunikasi
informasi, dengan
2)
lembaga
mengembangkan lain,
dan
3)
101
mempromosikan kerjasama pada aras regional dan internasional untuk dapat memberikan pengaruh pada pengambilan keputusan. Merujuk pada fokus paguyuban yang dikemukakan di atas, dipahami bahwa orientasi paguyuban kurang dianggap bersentuhan dengan kepentingan petani pada tingkat kelompok tani. Dalam hal ini kepentingan organisasi dalam fokus yang lebih luas tidak dapat dikomunikasikan dengan baik dengan kelompok. Kondisi demikian menunjukkan perbedaan orientasi antar aras organisasi. Sejauh ini hal tersebut dapat diterima mengingat ranah tugas dan tanggung jawab pada masing-masing aras organisasi memang berbeda. Jaringan Antar Aktor Uphoff (1986) mengemukakan bahwa tujuan organisasi akan lebih mudah dicapai dengan cara membangun jaringan dengan institusi lain. Mekanisme hubungan yang dibangun dengan organisasi di luar petani didasarkan atas asas saling percaya. Mereka bersedia membangun jaringan karena menganggap petani memiliki tujuan perjuangan yang murni. Alasan ini tampaknya menjadi dasar kesediaan NGO atau lembaga lain untuk membantu perjuangan petani. Pendekatan jaringan dilakukan untuk mendapatkan akses terhadap informasi di luar SLO, disamping untuk mengembangkan kerjasama dengan lembaga di luar SLO baik organisasi tani maupun lembaga pemerintah serta perusahaan swasta. Keberhasilan menjalin hubungan dengan lembaga lain dicontohkan dengan tambahan kegiatan organisasi seperti pendirian sekolah alternatif. Pendidikan sekolah alternatif dalam tujuan strategis tidak tercakup dalam agenda organisasi. Namun karena terdapat jaringan yang dapat bekerja sama mewujudkan hal ini, maka pendirian sekolah alternatif dapat dijalankan. Jaringan dapat mempengaruhi organisasi dalam hal perubahan strategi kegiatan Jejaring yang dikembangkan oleh organisasi petani menguntungkan dalam beberapa hal, diantaranya adalah: 1) Jejaring yang terbina berdampak pada makin stabilnya keberadaan organisasi. Support NGO atau SLO yang berada pada aras supra struktur menjadikan organisasi lokal lebih mudah mencari bentuk organisasi dan melakukan kegiatan yang dapat mendukung organisasinya. 2) Memudahkan organisasi lokal melakukan berbagai kegiatan dan melebarkan kegiatan hingga sampai pada aras yang lebih tinggi. 3) Organisasi tani dapat mendesakkan
102
kepentingan mereka kepada pemerintah, dengan cara terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan. Bantuan dari berbagai NGO akan makin meluaskan jaringan organisasi petani. Melebarnya jaringan organisasi sebagai impak dari berjaringan dengan NGO dikarenakan NGO memiliki jaringan yang luas. 4) Jaringan dengan organisasi sejenis makin memantapkan arah perjuangan karena pembelajaran kasus-kasus dapat dilakukan secara bersamasama dengan organisasi sejenis (Britt, 2003). Kerugian dikembangkannya jaringan juga perlu dilihat sebagai alat instrospeksi diri organisasi. Jejaring mempunyai dampak negatif (Britt, 2003) terutama dalam hal: 1) Organisasi petani memiliki ketergantungan yang demikian tinggi kepada organisasi induknya sehingga kedepan ini dikhawatirkan justru menyebabkan mudahnya petani disetir oleh kepentingan -kepentingan pihak tertentu yang menjerumuskan perjuangan petani. 2) Jaringan yang dibuat oleh organisasi belum menyentuh seluruh kepentingan anggota organisasi. Terkadang, organisasi di tingkat lokal mencari cantolan kepada lembaga lain yang sekiranya dapat membantu perjuangan mereka. Disatu sisi ini mungkin menguntungkan dalam perjuangan. Namun di sisi lain hal ini agak membahayakan karena organisasi lokal yang relatif belum memiliki tingkat kematangan berorganisasi yang kuat mudah disisipi pengaruh buruk yang mengancam keberlangsungan perjuangan. Jejaring dikembangkan secara kontekstual. Pilihan didasarkan pada kondisi dan situasi lingkungan. Kualitas dan kuantitas jaringan juga berbeda antara paguyuban dengan kelompok. Bahkan ada kelompok yang jaringannya justru lebih luas dibandingkan paguyubannya. Hal tersebut didasarkan atas penjelasan: pertama, paguyuban memberikan kebebasan kepada kelompok untuk mengakses jaringan lain dengan pertimbangan mendidik kemandirian kelompok. Kedua, posisi paguyuban kurang menguntungkan dihadapan birokrasi pemerintah. Alasan yang mengemuka adalah aspek legalitas paguyuban. Paguyuban dianggap tidak memiliki basis yang jelas dan dianggap sebagai kelompok liar. Berbeda dengan posisi petani yang dianggap sebagai bentukan pemerintah (departemen pertanian).
103
Fenomena membangun jejaring dengan berbagai stakeholders merupakan ciri keterbukaan organisasi yang bergaya CD. Sebagai lembaga yang terbuka, SPPQT menerapkan prinsip tanpa prasangka. Jejaring dimaknai sebagai modal sosial (social capital), karena manfaat yang didapat sangat luas dan tidak terbatas pada dukungan material, melainkan juga dukungan moral. Asas ini harus dipenuhi dengan pertimbangan bahwa organisasi selalu memerlukan partisipasi semua pihak, dan bahwa tugas mencerdaskan petani adalah tanggung jawab semua pihak. Prinsip terbuka berimbas pada tingginya tingkat kepercayaan pihak yang akan bersentuhan dengan organsiasi. Persentuhan SPPQT dengan negara/pemerintah merupakan ciri khas organisasi ini. Pilihan tersebut berangkat dari pertimbangan bahwa negara dalam ranah-ranah tertentu masih tetap diperlukan oleh organisasi tani dalam mengembangkan kemandirian dan keberdayaannya. Sebagai contoh, ketika produksi petani baik dan tengkulak juga sudah berhasil diberantas, apabila tidak didukung dengan sarana infrastruktur yang baik, petani tetap tidak mendapatkan harga yang layak atas komoditas pertaniannya. Dalam hal ini tanggung jawab pemerintah dituntut untuk dapat memberikan hak kepada masyarakat. Secara strategi, pilihan ini tetap diperlukan dalam kerangka kepentingan taktis. Sebagai contoh strategi taktis ketika SPPQT memperjuangkan APBD. Muncul pemikiran bahwa meng-akses APBD merupakan hak masyarakat. Kerjasama dengan pemerintah tetap perlu dengan alasan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya harus diminta. Upaya memperjuangkan akses dan kontrol tentunya mau tidak mau akan melibatkan pemerintah. Cara-cara kerjasama dibangun agar tidak menimbulkan resistensi dari pemerintah. Ide baru keterlibatan petani dalam konstelasi politik baik lokal maupun nasional muncul ketika dilihat bahwa perjuangan petani selalu dipatahkan oleh kekuatan politik yang ada. Apabila ditelaah dari sudut pandang advokasi, kegagalan ini disebabkan petani tidak memiliki saluran pada struktur politik sehingga aspirasi petani tidak pernah sampai pada pengambil kebijakan. Bagi sebagian besar organisasi petani, keterlibatan politik yang paling memungkinkan adalah menjadi anggota BPD di desa. Badan Perwakilan Desa (BPD) menjadi alat
104
kontrol petani untuk memantau kinerja pemerintah desa sekaligus bisa memberikan masukan kegiatan yang diperlukan.
Ikhtisar Sebagai sebuah organisasi yang memperjuangkan kedaulatan petani, SPPQT dan anggotanya menerapkan strategi yang lebih mengarah pada pemberdayaan petani dan fokus pada aktivitas ekonomi. Karakter SPPQT secara umum adalah: pertama, berupaya memutus ketergantungan pada pemerintah dalam hal penyediaan sarana produksi pertanian dengan cara melakukan kegiatan pertanian organik yang disamping bertujuan memutus hubungan dengan pemerintah juga untuk membangun kemandirian petani. Kedua, struktur organisasi dibentuk secara rapi dan sistematis dimaksudkan untuk memudahkan jalur koordinasi. Ketiga, memperkuat struktur organisasi supaya memiliki bargaining position dan bargaining power dihadapan pengambil keputusan. Keempat, kemandirian petani yang menjadi tujuan pokok organisasi diwujudkan dalam bentuk melakukan pembinaan berjenjang pada satu tingkat di bawahnya. Untuk sampai pada karakter di atas, kegiatan organisasi banyak diarahkan pada kegiatan pertanian dan pengembangan petani. Aspek pertanian menjadi fokus utama kegiatan pertanian. Tidak mengherankan jika dikaitkan dengan faktor pendorong terbentuknya organisasi petani yang banyak diilhami oleh persoalan ekonomi dan politik. Kegiatan pertanian menjadi agenda penting mengingat petani merupakan keanggotaan terbesar dari organisasi. Bidang-bidang kegiatan yang dikembangkan oleh organisasi meliputi kegiatan ekonomi produksi, kegiatan pendidikan, dan kegiatan berciri aksi-advokasi. Dalam hal ini pilihan strategi yang diambil oleh SPPQT terkait dengan embrio SPPQT. Dalam banyak hal, SPPQT memperlihatkan bentuk -bentuk kooperatif dengan pemerintah. Ini agak berbeda dengan asumsi organisasi sebagai gerakan sosial yang cenderung menghindari kerjasama dengan pemerintah. (Gambar 4.)
105
Tipe 1 Kerjasama tingkat tinggi: pembangunan akar rumput 1. Karakter NGO 2. Siapa yang mewakili 3. Tipe permasalahan petani yang direspon 4. Bagaimana mekanisme membantu petani
Tipe 2 Politik tingkat tinggi: mobilisasi akar rumput
Tipe 3 Penguatan akar rumput
1. Karakter NGO 2. Siapa yang mewakili 3. Tipe permasalahan petani yang direspon 4. Bagaimana mekanisme membantu petani
1. Karakter NGO 2. Siapa yang mewakili 3. Tipe permasalahan petani yang direspon 4. Bagaimana mekanisme membantu petani
1999 Embrio SPPQT
SPPQT
Karakter pengorganisasian
Gambar 4. Perkembangan Sejarah SPPQT
106
Embrio SPPQT adalah kelompok simpan pinjam yang telah berdiri sejak Tahun 1980-an. Merujuk pada tipologi yang dikemukakan Eldridge (1989) tentang karakter NGO, tampaknya NGO yang mendampingi kelompok simpan pinjam adalah kelompok yang menerapkan kerja-kerja pengorganisasian sekaligus pemberdayaan masyarakat. Itulah sebabnya, pilihan bentuk kelompok adalah kelompok dengan mengembangkan kegiatan ekonomi. Tampak bahwa Tahun 1999 merupakan waktu dimana terjadi perubahan bentuk organisasi. Tahun 1999 merupakan tahun dimana bentuk SPPQT lebih sistematis dan mengambil bentuk organisasi modern. Pertimbangan bentuk organisasi demikian adalah adaptasi terhadap tujuan organisasi yang mengarah pada organisasi petani yang kuat dan melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang ada. Berbeda dengan bentuk embrio SPPQT yang masih berciri informal. Sejajar dengan analisis yang dikemukakan Eldridge (1989), SPPQT pada masa ini menunjukkan karakter lembaga dengan tujuan penguatan dan mobilisasi akar rumput. Namun tujuan tersebut ditempuh dengan pendekatan pembangunan akar rumput. Dua hal di atas berbeda ranah mengingat penguatan dan mobilisasi akar rumput berorientasi pada gerakan sedangkan pembangunan akar rumput lebih berorientasi pada kerjasama. Dalam perkembangannya, meskipun dominan oleh kegiatan ekonomi, namun kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak lepas dari kaitan gerakan perlawanan. Sebagai contoh, kegiatan ekonomi produksi yang dikembangkan adalah IOF yang dimaknai sebagai proses pertanian yang terintegrasi, tidak terbatas pada pertanian organik. Petani diharapkan mampu memanfaatkan sumberdaya lokal yang ada, sekaligus tanggap terhadap persoalan agraria yang ada.
Masalah
kepemilikan
tanah
menjadi
fokus
perhatian.
IOF
tidak
mengharapkan petani kaya menyewa lahan dari petani miskin. Kegiatan pendidikan juga dimaknai sebagai respon terhadap kapitalisasi pendidikan yang terjadi. Model pembelajaran yang dikembangkan adalah pola pendidikan pembebasan (Freire, 1984) dimana peserta dibebaskan menggali ilmu dari alam sekitar yang menjadi laboratorium pendidikan. Kasus TNMM disikapi dengan membuat draf yang bernuansa akademis sebagai draf tandingan atas status TNMM.
107
PEOPLE-CENTERED ORIENTED: PILIHAN GERAKAN Sebagai turunan dari paradigma modernisasi, pendekatan pengorganisasian pada organisasi yang memilih pendekatan CD menunjukkan karakter yang dekat dengan ciri-c iri modernisasi yang dibawa oleh teori besarnya. Kesamaan karakter terutama ditunjukkan melalui jalur-jalur pendekatan yang dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat. Bentuk organisasi dengan menggunakan pendekatan CD versi baru mengarah pada karakter organisasi dalam bentuk organisasi komunitas dan sedang dalam proses menuju organisasi politik. Tampak dari kegiatan yang berbasis lokal sebagai ciri khas organisasi komunitas. Proses mengarah pada organisasi politik diperlihatkan ketika anggota kelompok tani/paguyuban melibatkan diri dalam konstelasi politik lokal. Keterlibatan petani dalam konstelasi politik tingkat lokal dan nasional merupakan perkembangan lanjut membangun posisi tawar petani. Bentuk organisasi gaya CD ditinjau dari sudut perlawanan memerlukan justifikasi tersendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa terminologi CD merupakan jargon pemerintah orde baru. Meski makna yang muncul pada masa orde baru lebih mengarah pada upaya “pemaksaan” ideologi, namun CD yang muncul kemudian memiliki sifat yang berbeda. Pendekatan pemberdayaan petani dalam mencapai akses dan kontrol dilakukan dengan strategi CD yang sekaligus digunakan untuk menjaga keberlangsungan perlawanan. Dalam tahap-tahap tertentu dapat dikatakan bahwa SPPQT belum mencapai separuh dari target awal perlawanan. Terutama ketika dikaitkan dengan transformasi gerakan yang harus sampai pada tingkat paguyuban dan kelompok. Program yang dikembangkan SPPQT belum sampai pada kesadaran bahwa program tersebut berangkat dari nilai-nilai gerakan tertentu. Tapi bahwa program tersebut dianggap sebagai tahap awal membangun gerakan patut mendapat perhatian tersendiri. Apabila disimak, model-model perlawanan telah dapat ditelusuri dari kegiatan yang dikembangkan organisasi, misalnya pertanian organik atau sekolah alternatif. Kegiatan tersebut dikembangkan dengan tujuan penyediaan sarana produksi pertanian secara mandiri. Adapun pengembangan sekolah alternatif merupakan wujud respon terhadap modernisasi dan kapitalisasi yang berkembang
108
dalam bidang pendidikan. Dua tujuan kegiatan tersebut dimaksudkan untuk membangun perlawanan melalui kemandirian. Sebagai perlawanan, pilihan ini dianggap sebagai sabotase dan protes terhadap sistem yang bias elit dan pemilik modal.
Mainstream Umum Ideologi Pembangunan Pertanian Sejak dua dasawarsa terakhir Indonesia mengadopsi pemban gunan yang ditawarkan oleh negara barat. Ideologi pembangunan yang diadopsi oleh Indonesia menawarkan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Perubahan dan perbaikan nasib sebagai hasil pembangunan menjadi daya tarik pembangunan itu sendiri. Selama masa pembangunan pemerintah berorientasi pada pertumbuhan sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan mengindikasikan pengukuran yang bersifat makro. Indikator keberhasilan dan pengukuran skala makro inilah yang kemudian menjerumuskan bangsa kedalam kemiskinan absolut dan persoalan kemiskinan lain. Pengukuran bersifat makro mendefinisikan pertumbuhan ekonomi dari sudut pandang kuantitatif. Keberhasilan pertumbuhan diukur dari GNP negara dan tingkat investasi yang dicapai. Karena ukuran lebih mengarah pada ukuran kuantitatif maka pertumbuhan ekonomi tampak sebagai sesuatu yang bias ekonomi. Ukuran makro yang digunakan pemerintah dalam mengukur keberhasilan pembangunan adalah Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product (GDP). GNP dan GDP merupakan ukuran agregat yang tidak dapat meneropong skala mikro. Itulah sebabnya, pada tingkat mikro, pembangunan justru menimbulkan efek negatif dari mulai kesenjangan yang makin lebar antara golongan kaya dan miskin sampai pada persoalan akses orang miskin terhadap sumberdaya. Pembangunan yang sejatinya dimaksudkan untuk menciptakan perubahan dan perbaikan justru menciptakan kemiskinan bahkan menambah jumlah orang miskin. Sebagai turunan teori modernisasi, pembangunan yang diartikan sebagai cara mencapai perubahan kearah yang lebih baik menggunakan indikator keberhasilan yang bias barat. Ekonomi suatu negara dikatakan berhasil jika telah mencapai tahap pembangunan seperti yang telah lebih dulu dialami Negara Barat.
109
Tahap pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan Rostow diadopsi oleh Indonesia tanpa kritik. Lima tahapan pembangunan ekonomi menurut Rowtow dalam Suwarsono dan So (2000) meliputi tahapan masyarakat tradisional hingga tahap masyarakat dengan konsumsi massa tinggi. Kenyataannya di negara berkembang, perencanaan ekonomi/pembangunan biasanya dilakukan dengan cara; perencanaan proyek demi proyek, perencanaan sektoral
yaitu
perencanaan
kebijaksanaan
dan
kegiatan
usaha
untuk
perkembangan suatu sektor kegiatan ekonomi tertentu, perencanaan investasi menyeluruh sektor publik, perencanaan komprehensif meliputi sektor pemerintah dan
sektor
masyarakat
(Tjokroamidjojo,
1979).
Gambaran
tersebut
memperlihatkan bahwa pembangunan lebih mengarah pada pembangunan yang berorientasi ekonomi. Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai pendorong pembangunan (agent of change). Dengan demikian dalam paradigma modernisasi, masyarakat lokal tidak pernah mendapat peran dalam menentukan arah pembangunan yang sejatinya diperuntukkan bagi mereka. Pertumbuhan
ekonomi
saat
ini
menjadi
indikasi
keberhasilan
pembangunan di setiap negara. Ukuran kuantitatif yang digunakan memicu upaya pencapaian tingkat pertumbuhan dengan memaksimalkan setiap sumberdaya yang ada terutama sumber daya modal. Pertumbuhan ekonomi berada pada level makro sehingga sulit diterapkan dalam konteks lokal karena ukuran-ukuran yang digunakan memiliki skala luas. Variabel-variabel yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi juga tidak relevan jika diterapkan di tingkat lokal. Kelemahan dari pertumbuhan ekonomi terletak pada sifatnya yang hanya menekankan pada ukuran ekonomi tanpa memperhatikan aspek lain yang sesungguhnya penting untuk mengukur pembangunan terutama di negara berkembang. Modernisasi sebagai pilihan paradigma pemerintah menampilkan ciri production-center development dengan tujuan utama mencapai pertumbuhan dan hasil yang dapat dihitung secara makro. Pilihan pembangunan model demikian tidak memperhatikan kondisi mikro dan jelas tidak menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan. Pengalaman program pemb angunan yang mengejar produktivitas dikemukakan oleh banyak ahli sosiologi (Cernea, 1988; Israel,
110
1992; Fakih, 2000). Tidak mengherankan karena kemudi disain pembangunan lebih banyak dipegang oleh ekonom tanpa mempertimbangkan aspek sosial. Pembangunan dengan karakter demikian menimbulkan banyak masalah. Terbukti bahwa tidak terdapat pencapaian hasil yang menggembirakan dalam upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Lebih jauh, pendekatan pembangunan di atas menciptakan dekade krisis yang ditunjukkan oleh fakta kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, dan integrasi sosial. Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan menciptakan kekalahan pada satu pihak. Production-Center Oriented dan Dampaknya Watak utama pembangunan dengan pertumbuhan sebagai indikator keberhasilan adalah ukuran-ukuran yang bersifat ekonomi makro. Gambaran makro ini dianggap sebagai prestasi dan indikator kesuksesan ketika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Kedudukan sebuah negara dalam stratifikasi negara di dunia ditunjukkan oleh angka pertumbuhan ekonomi. Pengukuran didasarkan pada akumulasi tingkat pendapatan seluruh lapisan masyarakat. Model pengukuran
demikian
seringkali
tidak
dapat
menggambarkan
kondisi
sesungguhnya. Padahal negara berkembang memiliki struktur sosial unik, terdiri dari banyak lapisan sosial yang timbul dari tidak terdistribusikannya pendapatan secara merata. Tidak dapat disangkal bahwa masalah pembangunan ditinjau dari perspektif dialektis menunjukkan saling keterkaitan antara persoalan eksploitasi, dominasi dan penindasan politik. Meminjam analisis Fakih (2000) tentang revolusi hijau sebagai contoh pengalaman developmentalisme dan modernisasi di negara Dunia Ketiga memperlihatkan watak production-center development, seperti tampak dalam Gambar 5. di bawah ini:
111
IMF Bank Dunia Lembaga Keagamaan
Keamanan Militer Pemerintah
Bank Nasional
Hukum
N E G A R A
Perwakilan Rakyat
Pendidikan Pengaturan Media massa Kapitalis
Manajer Buruh
Cacat
Anak-anak
Perempuan dalam Rumah Tangga
M A S Y A R A K A T
S I P I L
Sumber: Fakih, 2000
Gambar 5. Revolusi Hijau dalam Kerangka Paradigma Developmentalisme Revolusi hijau merupakan suatu keterkaitan hubungan yang sangat kompleks yang melibatkan banyak aspek seperti: pengetahuan dan teknologi pertanian; kebijakan politik pemerintah; penanaman modal dan
modal
multinasional serta proses eksploitasi kelas. Kebijakan kultural ini sangat bergantung pada proses kelas utama (fundamental class processs) yang terjadi dalam suatu formasi sosial di pedesaan negara-negara Dunia Ketiga. Aparat program revolusi hijau dari tingkat lokal, nasional, dan internasional pada dasarnya menerima nilai lebih yang diambil dari hasil keringat petani pedesaan dan
sebagai
imbalannya
mereka
mengupayakan
berbagai
hal
untuk
melanggengkan proses kelas di kawasan pedesaan tersebut (Fakih, 2000: 81).
112
Analisis di atas memperlihatkan gambaran keterkaitan antara petani dengan kelas sosial yang bersifat global. Segera tampak bahwa setiap kelas dalam struktur sosial melakukan penghisapan pada kelas sosial di bawahnya dalam berbagai bentuk. Petani sebagai kelas sosial paling rendah mengalami akumulasi eksploitasi dari seluruh rangkaian proses eksploitasi yang terjadi. Tampak dalam gambar bahwa pemerintah sesungguhnya hanya menjadi agen kapitalisme paling kuat di sebuah negara. Pendekatan production-center development untuk menyelesaikan masalah dilakukan dengan penyuluhan, pemberdayaan dan partisipasi. Strategi di atas terbukti hanya merespon sebagian kecil dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi petani, disamping melahirkan kondisi ketergantungan struktur elit dan program, dominasi elit dan integrasi pre-kapitalis menuju kapitalis. Permasalahan yang terutama direspon dalam hal ini adalah rendahnya tingkat produksi.
Strategi Organisasi Petani Sejarah telah membuktikan bahwa petani merupakan golongan yang resisten ketika kepentingannya berhadapan dengan kepentingan stakeholder lain. Penyebab dan kemunculan organisasi petani pun dalam kenyataannya tidak terlepas dari konteks masalah dan kepentingan yang dihadapi petani dalam mempertahankan kehidupannya. Banyak kasus menunjukkan bahwa petani yang mengorganisir diri tidak lepas dari tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh anggota. Bagi SPPQT dan anggota-nya, tipologi masalah yang dihadapi mengantarkan pada pilihan organisasi dengan pendekatan CD. Persoalan yang dihadapi petani dapat dirinci dari Gambar 7. Secara umum permasalahan dapat dikelompokkan kedalam beberapa bidang yakni persoalan produksi, relasi antar aktor, akses, kebijakan, peran perempuan, distribusi sumberdaya yang tidak merata, dan sebagainya. Ketika program revolusi hijau digulirkan, persoalan yang direspon terbatas pada persoalan produksi dan pangan. Solusi atas masalah tersebut tidak mampu membawa petani keluar dari situasi marjinal. Mengingat tanggung jawab kesejahteraan anggota berada di tangan organisasi, maka organisasi sebagai wadah aspirasi kepentingan harus mampu
113
mengakomodir kebutuhan anggota melalui strategi yang dapat mencapai tujuan. Sebagai organisasi yang didisain berada dalam mainstream gerakan sosial dan perlawanan petani, perlu dicari bentuk yang sesuai dengan watak rezim yang berkuasa. Merujuk pada watak rezim yang berkuasa, maka SPPQT memilih strategi CD dalam berorganisasi. Alasan pilihan organisasi mengambil bentuk CD dilatarbelakangi oleh beberapa hal, yaitu: 1. sebagian besar organisasi yang tumbuh bersifat konfrontasi. Organisasi demikian dianggap tidak menjawab masalah, dan tidak membawa pada kebaikan melainkan mengarah pada kekacauan dan merugikan petani. 2. kondisi psikologis masyarakat belum sepenuhnya ekpresif untuk menuntut hak-hak mereka. Tradisi yang berkembang dan masih kental melekat dalam diri petani saat ini adalah diam. Ada perasaan takut apabila mengikuti demo atau mendesak kebijakan pemerintah. Pilihan CD sebagai cara menjaga stigma tersebut. 3. kebutuhan saat ini adalah memperkuat/membangun institusi. Sebelum meluas pada tujuan lebih besar, perlu disadari bahwa komunitas perlu bentuk organisasi
yang
berfungsi
sebagai
penjaga
komunitas.
Ketika
pengorganisasian berhasil dilakukan, kedepan akan sangat mudah melawan kebijakan pemerintah. Biaya operasional sedikit karena tinggal menggerakkan simpul-simpul yang telah dibangun. 4. masalah mayoritas petani adalah pemasaran hasil pertanian. Permasalahan ini harus segera dicari solusinya jika tidak ingin petani dikungkung para pedagang/tengkulak. Dengan demikian, persoalan penting dan mendesak biasanya adalah persoalan praktis. 5. media pengorganisasian telah ada karena petani pada dasarnya dapat dipastikan sebagai bagian dari organisasi dalam skala luas atau terbatas. 6. pengorganisasian diperlukan untuk menjawab aspek manajemen pertanian. Selama ini persoalan pemasaran hasil pertanian tidak dapat diselesaikan karena hasilnya hanya sedikit dan terpencar-pencar. Jawaban atas persoalan tersebut adalah pengorganisasian kawasan/hamparan. Pertimbangan pola CD juga terkait dengan gejala yang selama ini terjadi baik pada petani maupun pada musuh petani. Bacaan awal terhadap bentuk musuh
114
menghasilkan analisis bahwa organisasi petani harus dibangun dalam bentuk yang terorganisir dengan baik (well organized ). Alasan pilihan tersebut disandarkan pada dua hal, yaitu: pertama , yang paling penting dalam organisasi adalah memperkuat daya resistensi petani, bukan dengan cara-cara rad ikal seperti reklaiming. Kedua, pilihan radikal lebih rawan perlawanan/resistensi dari pemerintah. Contoh organisasi petani di Garut, tanah hasil reklaiming yang kemudian ditanami jagung mengakibatkan longsor. Kondisi ini akan berpeluang menciptakan penolakan berbagai pihak terhadap keberadaan organisasi tani radikal. Di bawah ini diuraikan strategi pengorganisasian yang dikembangkan serta momentum yang tepat untuk melakukan kerja -kerja pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat. Adopsi Terhadap Production-Center Development Ide demokratisasi, transformasi sosial, dan keadilan sosial yang dikembangkan
oleh
SPPQT
dicapai
dengan
melaksanakan
proyek
developmentalisme seperti proyek pengembangan masyarakat (community development), atau proyek peningkatan pendapatan (income generating). Tapi bahwa ide transformasi sosial tetap menjadi tujuan utama SPPQT tidak diragukan. Senada dengan Dag Hammarskjold Foundation dalam Fakih, 2000 mengajukan apa yang disebut “pembangunan yang lain” (another development). Mereka percaya
bahwa
pembangunan
harus
berorientasi
kebutuhan,
sanggup
mempertemukan kebutuhan materi dan non-materi manusia; endogenous, berasal dari “hati” setiap masyarakat; percaya kepada diri sendiri, yang secara tidak langsung menyatakan bahwa setiap masyarak at intinya mengandalkan kekuatan dan sumberdayanya sendiri; mempunyai pertimbangan ekologis, pemanfaatan secara rasional sumberdaya biosphere; dan didasarkan kepada transformasi struktural secara keseluruhan yang terpadu (Fakih, 2000: 9). Bagi SPPQT, bungkus developmentalisme dalam melawan ideologi developmentalisme menjadi semacam strategi dengan pertimbangan organisasi membutuhkan respon terhadap kebutuhan anggota (misalnya kebutuhan hidup, makan, dan kebutuhan mendesak lain) yang bersifat mendesak, disamp ing usaha menghindari resistensi pemerintah. Strategi harus diterapkan mengingat energi untuk melakukan perlawanan terhadap arus metodologi dan pendekatan terlebih
115
terhadap konsep dan diskursus pembangunan harus dihemat untuk mencapai hasil yang optimal. Tujuan organisasi mengarah pada perjuangan akses dan kontrol dengan kerangka gerakan sosial. Mengingat persoalan utama petani memerlukan strategi lain, maka organisasi memutuskan menyelesaikan persoalan tersebut terlebih dahulu. Pilihan strategi yang dilakukan adalah mengadopsi model-model pembangunan komunitas yang pernah dilakukan oleh pemerintah. Pilihan ini didasarkan pada keinginan memberikan solusi bagi petani yang memiliki persoalan. Namun demikian, kerangka gerakan sosial tetap dibangun dalam strategi ini dengan cara mengembangkan program yang berbasis pada kemampuan lokal dan menyisipkan gerakan kesadaran relasi sosial yang timpang. Dengan demikian, meski organisasi mengadopsi pola-pola production -center development tetapi tetap berada dalam kerangka gerakan. Model pengadopsian paradigma production-center development tampak dari kegiatan yang dikembangkan oleh serikat terhadap paguyuban dan kelompok tani anggota. Kerangka kerja yang dikembangkan SPPQT pada tahun 2004 menunjukkan bahwa SPPQT fokus pada kegiatan yang mengarah pada terwujudnya masyarakat tani yang kuat yang mampu mengakses dan mengontrol seluruh sumber dayanya dengan mendasarkan diri pada keadilan, kelestarian lingkungan dan kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan. Program kerja yang dilakukan serta indikator keberhasilan tiap program ditunjukkan pada Lampiran 5 dan 6. Kegiatan yang dilakukan per divisi diarahkan pada penguatan kapasitas organisasi, dibuktikan dengan pilihan kegiatan yaitu training, workshop, pelatihan maupun asistensi yang ditujukan bagi paguyuban maupun kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi memfokuskan pada upaya mendidik anggota agar siap menghadapi situasi dan tekanan supra lokal. Kegiatan ekonomi tetap menjadi prioritas utama dalam kegiatan organisasi secara keseluruhan. Pengenalan terhadap aspek politik pada anggota mulai dilakukan dengan cara menerapkan sistem pemilihan umum (pemilu) di paguyuban. Secara lokal anggota terlibat dalam kegiatan politik.
116
Momentum Strategi Community Development Pilihan terhadap pendekatan radikal dan CD memerlukan tahapan analisis yang mendalam. Pemberdayaan dan penguatan basis organisasi petani akan tepat ketika petani telah terlebih dahulu diorganisir. Strategi yang dipilih dengan cara community organizing di tingkat komunitas. Proses pengorganisasian ini menduduki tahap yang penting agar kesadaran kolektif terbangun sehingga proses transfer filosofis organisasi sebagai sebuah gerakan dapat dilakukan melalui model pemberdayaan. Model ini akan mengarah pada akses dan kontro l. Pendekatan model CD menemukan jalan yang efektif ketika persoalan yang dihadapi petani menyangkut aspek produksi. Dengan demikian organisasi dengan pendekatan CD haruslah dibangun dalam komunitas yang relatif mapan dan memiliki kejelasan status lahan. Dengan demikian petani akan lebih mudah menganalisis
kebutuhan
sekaligus
menentukan
solusi,
misalnya
dengan
mendirikan koperasi atau usaha simpan pinjam. Ketika komunitas telah dapat menentukan basic needs, maka pengetahuan tersebut menjadi pijakan pengorganisasian. Bagi sebagian besar organisasi, persoalan basic needs menjadi sangat penting dan menduduki prioritas dalam urutan kebutuhan hidupnya. Pilihan model CD akan berimplikasi pada cara dan strategi petani ketika dihadapkan pada setiap persoalan termasuk persoalan konflik agraria. Pada persoalan konflik agraria, upaya penyelesaian ditarik ke bidang pemberdayaan. Solusi atas persoalan diarahkan pada pendekatan ekonomi, dimana ketika lahan dikuasai negara, harus dilihat dampaknya terhadap keterbatasan akses masyarakat terhadap sumberdaya. Menjadi pertanyaan kemudian adalah kapan waktu yang tepat penerapan strategi CD dan pengorganisasian. Perdebatan metodologis tentang momentum CD dan pengorganisasian diperlihatkan dalam Gambar 6.
CD
Pengembangan ekonomi
Ornop masuk Negara/ Indonesia
Pengorganisasian komunitas
Penguatan basis massa
Gambar 6. Momentum community organizing dan community development
117
Gambar di atas menunjukkan bahwa pendekatan pengorganisasian dan CD bukan merupakan pilihan melainkan keduanya harus dilakukan. Pengorganisasian komunitas berfungsi sebagai penguatan basis massa. Jika massa sudah memiliki kekuatan, maka CD dapat diterapkan. Pendekatan yang dilakukan biasanya dengan menggunakan pengembangan ekonomi. Pengorganisasian massa yang dilakukan sebelum CD diterapkan menjadi syarat agar kegiatan komunitas mendapat dukungan dari berbagai pihak yang terlibat dalam komunitas tersebut. Pengorganisasian komunitas dan CD merupakan dua pendekatan yang saling melengkapi. Pengorganisasian komunitas lebih mengarah pada penguatan masa terdidik melalui penguatan basis, sedangkan CD bermuara pada pengembangan ekonomi. Rubin dan Rubin (2001) menguraikan bahwa community organizing (dalam pengertian pengorganisasian komunitas) membawa keterlibatan orang untuk bersama-sama melawan masalah bersama dan meningkatkan kemampuan berbicara orang-orang yang bersangkutan tentang keputusan yang akan mempengaruhi hidupnya. CD terjadi ketika terdapat ikatan yang kuat antar tetangga, membangun jaringan sosial dan bentuk organisasi pribadi untuk menyediakan kapasitas jangka panjang untuk menyelesaikan masalah. Dengan demikian, untuk menyambungkan dua kepentingan yakni perlawanan dan pemenuhan kebutuhan, analisis harus ditarik pada persoalan basic needs. Penerapan model advokasi beresiko diterapkan pada organisasi di Salatiga yang sebagian besar bermasalah dalam hal tata produksi. Ada kecenderungan bahwa perlawanan yang dilakukan selama ini bias pada komunitas yang berkasus. Padahal perlawanan juga harus dibangun pada komunitas yang sedang memperjuangkan akses dan kontrol. Muncul pertanyaan apakah ketika komunitas tidak mengalami konflik lahan tidak memerlukan perlawanan? Dari sudut pandang perlawanan, kebersamaan petani dapat dipandang sebagai gerakan karena muncul di tingkat grass root dan muncul dari kesadaran. Menumbuhkan perasaan kolektif ini yang banyak menimbulkan kesulitan. Terlebih ketika harus mencari pembuktian adanya keters ambungan antara kebutuhan praktis/pragmatis dan penguatan gerakan.
118
Banyak kasus menunjukkan model CD tidak berhasil diterapkan. CD yang mensyaratkan pencapaian target memerlukan proses kontrol yang bisa menjangkau semua pengguna CD. Proses kontrol yang dimaksud tidak akan berhasil tanpa pengorganisasian di tingkat basis. Membangun kekuatan di tingkat basis dengan demikian menjadi agenda penting. Kekuatan di tingkat basis juga menjadi tahapan peningkatan capacity building . Community Development untuk Kemandirian Basis kekuatan petani terletak pada pemahaman mereka terhadap kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya. Pemahaman kondisi tersebut diarahkan pada enam (6) aspek yaitu budaya, penegakkan hukum, sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan. Pemahaman terhadap enam elemen ini menjadi penting karena merupakan basis kegiatan penduduk dan sumber kekuatan komunitas. Upaya menemukenali enam elemen dilakukan dengan cara musyawarah dan diskusi di tingkat petani. Strategi tersebut dapat menjadi sumber penguatan wacana di tingkat petani. Posisi petani akan mudah dikenali oleh petani itu sendiri. Namun demikian, untuk membawa kesadaran tersebut pada stakeholder lain perlu dialog berbagai pihak sehingga menghasilkan sebuah keputusan yang menjadi rumusan bersama. Dalam konteks pemberdayaan, dialog dapat dilakukan antara fasilitator atau inisiator dengan petani sehingga menyatu menjadi keputusan bersama dan memiliki ketersambungan pemikiran dengan petani. Proses ini akan berbeda dengan program pemerintah yang diakui melalui proses usulan dari bawah namun prosesnya sarat dengan kepentingan. Apabila proses pemahaman dilakukan bersama antara masyarakat dan inisiator, kesenjangan kepentingan relatif berkurang. Proses inisiatif lokal baru akan tumbuh apabila mempergunakan ideo logi gerakan. Selama ini SPPQT masih mengurusi hal yang bersifat persoalan praktispragmatis dengan ujung tombak kegiatan (simpan pinjam, arisan, tabungan tahunan). Sejauh ini program dengan pendekatan development tetap perlu sebagai sumber kekuatan tanpa meninggalkan sesuatu yang lebih penting. Unsur penting perlawanan yang dimaksud adalah membangun kesadaran kritis transformatif. Perlu ada pemicu dalam menumbuhkan sikap kritis. Bisa melalui pendekatan
119
ekonomi terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan pemah aman gerakan lebih lanjut. Integrated Organic Farming (IOF) sebagai ciri kemandirian dan kedaulatan organisasi didukung dengan kegiatan fasilitasi pengembangan pertanian organik. Bidang kegiatan yang dikembangkan meliputi workshop revisi manual praktis pengembangan pertanian organik, pelatihan uji tanah, training pembibitan tanaman sayuran, tanaman pangan, pembuatan pupuk organik , training pembuatan pestisida alami, training budidaya ternak (kambing), dan training budidaya ikan. Program
pengembangan ekonomi komunitas petani dilakukan secara terus
menerus untuk membangun penguatan koperasi dengan cara peningkatan kapasitas pengelola koperasi terutama pada tingkat pelaksananya Dari Production ke People-Center Oriented Pembangunan
berbasis
masyarakat
(people-center
development)
merupakan antithesa dari pola pembangunan berbasis produksi (production centered development) yang berciri topdown. Paradigma kedua menuntut nilainilai, sistem, dan metodenya disesuaikan dengan eksploitasi dan manipulasi sumberdaya alam untuk menghasilkan produksi bagi masyarakat konsumen massal. Logika ini menciptakan birokrasi-birokrasi besar yang mengorganisasi masyarakat kedalam unit-unit produksi yang dikontrol secara terpusat dan bersifat sentralistik. Paradigma pertama berakar pada ide-ide, nilai-nilai, teknik-teknik sosial dan teknologi lokal (alternatif). Paradigma ini mengutamakan bentukbentuk kelompok dan organisasi swadaya. Untuk mencapainya, diperlukan perubahan struktural yang berpusat pada: 1) perubahan pemikiran dan tindakan kebijakan pemerintah pada penciptaan keadaan yang mendorong/mendukung usaha-usaha masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri pada tingkat individual, keluarga dan komunitas, 2) perubahan dan pengembangan struktur dan proses organisasi masyarakat yang berfungsi menurut kaidah -kaidah sistem yang mandiri, 3) perubahan dan pengembangan sistem produksi-konsumsi yang diorganisasi secara teritorial yang berlandaskan pada kaidah -kaidah pemilikan dan pengendalian lokal. Prinsip ini melahirkan bentuk desentralisasi, partisipasi, pemberdayaan, pelestarian, jejaring sosial, keswadayaan lokal dan berkelanjutan.
120
Dari sekian banyak masalah yang dihadapi petani, hanya persoalan persoalan produksi saja yang direspon. Karena hal tersebut tidak bisa membawa petani keluar dari belitan permasalahan, maka diperlukan perubahan paradigma pembangunan pertanian menuju people-center oriented. Perubahan mainstream dari production menuju people-center oriented inilah yang sedang diupayakan SPPQT. Tentunya perubahan mainstream ini memerlukan energi kolektif yang besar mengingat mainstream production -centered development di Indonesia telah bercokol selama dua dasawarsa terakhir. Disamping memerlukan energi yang besar tentu juga memerlukan strategi yang cerdas. Dengan demikia n peoplecenter oriented sesungguhnya ingin bermuara pada; membangun kedaulatan petani, membangun kemandirian melalui pembentukan organisasi petani dan pilihan kegiatan, dan mengembangkan perlawanan terhadap production-center development dengan merubah men jadi people-center tapi dengan strategi pendekatan
production -center
development.
Untuk
lebih
memberikan
pemahaman, perlu diperlihatkan perbandingan antara dua mainstream tersebut dan akibatnya bagi petani. Production dan People-Center Oriented : Sebuah Perbandingan Literatur tentang CD menghasilkan berbagai perdebatan diantara berbagai ahli. Fakta yang tampak, program-program pemerintah lebih dekat dengan polapola CD dibandingkan CO. Program-program yang dikembangkan pemerintah menghasilkan mekanisme ketergantungan di tingkat sasaran program. Seringkali program pemerintah hanya berupaya mengintegrasikan petani kedalam sistem pasar yang lebih besar. Tujuan utama CD gaya ini adalah mempertahankan kestabilan yang telah ada. Kestabilan semu yang harus dibayar mahal dengan kemandekkan petani dan tetap dalam kondisi terpuruk. Pola -pola yang dikembangkan selama ini baik oleh LSM maupun pemerintah identik dengan pembangunan fisik. Yang dikembangkan misalnya kambing etawa, irigasi, dan air bersih (padahal belum tentu satu kawasan cocok dengan program fisik demikian). Seringkali
prinsip
penguatan
kapasitas
lokal
dilupakan
dalam
proses
pemberdayaan masyarakat. Ketakutan pemerintah adalah penguatan kapasitas lokal dikhawatirkan mengarah pada perjuangan akses dan kontrol.
121
Berbeda dengan pengorganisasian dan kegiatan yang dibangun dan dikembangkan oleh komunitas. Perbedaan ini berangkat dari perbedaan tahapan pendekatan yang dikembangkan. Organisasi melakukan tahapan CD dengan terlebih dahulu membangun instrumen untuk bermusyawarah tentang masalah lingkungan, sistem ekonomi, politik, dan sistem sosial yang ada di komunitasnya melalui pendekatan akses dan kontrol. Gerakan yang ingin dibangun dari tindakan ini adalah membangun kemandirian untuk mencapai perubahan sosial dan integrasi terhadap kekuatan politik yang ada. Hal ini tidak menjadi orientasi pada konsep CD dan partisipasi. Hickey dan Mohan (2005) mengemukakan konsep partisipasi dalam teori pembangunan seperti pada (Lampiran 8.) Dari Tabel tersebut segera tampak bahwa paradigma CD menuai banyak kritik terutama terkait dengan metode dan hasil yang dicapai. Hasil kegiatan CD tidak menghasilkan keterlibatan petani dalam politik, bahkan hanya menjaga kestabilan komunitas dan menghindari gerakan sosial. Problem yang muncul kemudian adalah, ketika petani bicara masalah akses dan kontrol maka pengorganisasian menjadi prasyarat agar petani lebih baik dan lebih kuat. Persoalannya kemudian adalah persoalan politik, karena kebutuhan berikutnya bagi organisasi dan petani secara umum adalah bagaimana membangun kekuatan politik dalam pengertian sistem demokrasi sehingga petani bisa menentukan bentuk akses dan kontrol. Segera tampak perbedaan mendasar antara CD konvensional dengan CD petani. Keduanya dipisahkan atas nama output dan implikasinya. CD konvensional menghasilkan output petani yang tidak cerdas dengan hasil yang hanya diperuntukkan bagi kepentingan program bahkan untuk mempertahankan kemapanan/status quo. CD demikian menimbulkan ketergantungan di pihak petani. Prinsip yang dikembangkan pemerintah adalah topdown approach. Berbeda dengan CD petani yang berupaya menciptakan kemandirian yang mengarah pada global corporations. Output yang berbeda dilahirkan atas dasar kepentingan yang berbeda, terlebih ketika didukung oleh karakter, orientasi, dan latar. Sesuatu yang menjadi latar belakang bagi mereka yang mengorganir diri untuk menciptakan keberdayaan akan berbeda dengan sesuatu yang menjadi latar belakang pihak
122
yang mengorganisir kelompok untuk menghasilkan kemapanan. Dalam hal in i, model CD bisa diadopsi oleh siapa saja, tetapi dengan latar atau dasar filosofis yang berbeda. Pandangan tentang perbedaan antara CD dan CO sangat baik diungkapkan oleh Hollnsteiner (1979). Dalam pandangannya, pendekatan CD menggunakan prinsip harmoni dan kerjasama melalui kemampuan menolong diri sendiri. Orang dimotivasi agar dapat meningkatkan kehidupan mereka menjadi modern dengan memanfaatkan jasa pemerintah atau agen penyuluhan. Ringkasan perbandingan antara dua pendekatan tersebut dikemukakan dalam Tabel 7. d i bawah ini: Tabel 7. Perbandingan Community Organization dan Community Development
Definisi
Community Development (CD) Sebuah proses yang membawa pada sebuah peningkatan kapasitas penduduk pedesaan untuk mengontrol lingkungannya Kontrol akan berdampak pada distribusi hasil. (Inayatullah in Hollnsteiner, 1979)
Proposisi
• Pendekatan dilakukan tanpa melihat struktur sosial yang ada di pedesaan
Gaya pendekatan
• Pendekatan dilakukan dengan program pelatihan teknologi tanpa memperhatikan struktur dan kelembagaan yang ada di tingkat lokal • Menekankan sisi harmoni dan cooperation seolah-olah komunitas berciri homogen • Bias pada pendekatan top-down • Menekankan pelatihan kepemimpinan yang tidak proporsional • Pekerja CD terlalu merefleksikan golongan elit yang memiliki strategi top-down Pembangunan masih dirasakan sebagai yang dikerjakan untuk orang, bukan oleh mereka bahkan bukan pula dengan mereka
Tujuan
Sumber: Hollnsteiner, 1979
Community Organizations (CO) Proses memobilisasi orang untuk dapat mengidentifikasi bentuk -bentuk paksaan, menganalisa dan menyelesaikannya serta mengembangkan strategi untuk menghilangkannya. Dalam prosesnya, orang tumbuh dalam percaya diri, memiliki kesadaran dan memiliki kapasitas untuk menentukan masa depan mereka. • Mengorganisasi orang miskin agar dapat berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan kolektif yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka karena mereka sekaligus menjadi obyek dan subyek yang kehilangan kekuatan • Gabungan antar individu yang lemah dalam ikatan kelompok yang lebih besar • Secara umum orang bertindak pada basis ketertarikan mereka • Orang bergerak dari sesuatu yang simpel, konkret, jangka pendek dan isu personal mengarah pada sesuatu yang lebih kompleks, abstrak, jangka panjang dan isu sistemik yang panjang • Mempertahankan reaksi dengan jalan memberi kesempatan pada orang untuk menjadi marah dan militan • Taktik melawan kekuatan dominan harus diperdalam dari pengalaman powerless dan keluar dengan pengalaman powerfull • Melalui proses pengorganisasian orang membuat sendiri keputusan mereka Berupaya mencari/mempertahankan partisipasi dan kekuatan organisasi agar dapat terlihat dalam pengambilan keputusan
123
Berdasarkan Tabel di atas, segera tampak bahwa perbedaan mendasar antara CD dan CO adalah strategi dan hasil akhir dari diterapkannya dua pendekatan tersebut. Merujuk pada perbandingan antara keduanya, SPPQT dapat dikategorikan sebagai organisasi CO yang menggunakan strategi CD dalam mengembangkan kegiatannya. Sebagai organisasi CO yang menghasilkan model pemberdayaan yang people-center oriented , memilih menggunakan pendekatan kooperatif dengan pemerintah merupakan pilihan berat karena dapat dianggap sebagai lembaga kaki tangan pemerintah. Namun sebagai upaya menjaga keberlanjutan perjuangan sekaligus menjawab kebutuhan praktis petani, strategi ini layak menjadi cerminan organisasi lain. Menarik untuk melihat perbandingan CO dan CD dalam konteks yang berbeda. Konsep Woman In Development (WID) dengan Woman And Development (WAD) adalah dua konsep dengan tataran dan pengertian yang berbeda.
WID
hanya
melibatkan
perempuan
dalam
pembangunan,
mengintegrasikannya dalam proses pembangunan tanpa upaya mengkritisi keterlibatan tersebut. WID sebagai bagian dari agenda developmentalism justru melanggengkan penindasan terhadap perempuan. WID sebagai bagian utama developmentalisme dirancang untuk mendorong keterlibatan kaum perempuan dalam pembangunan, dan tidak mempersoalkan manifestasi ketidakadilan dan diskriminasi jender, Fakih (2000). Sedangkan konsep WAD memberi ruang yan g lebih besar kepada perempuan untuk terlibat dalam sektor publik sekaligus melakukan kritik terhadap filosofis pembangunan yang dikembangkan.
Ikhtisar Kondisi yang memaksa petani mengorganisir diri telah dibahas dengan lengkap pada bab 1. Namun demikian, persambungan akan tetap dijumpai dalam bab ini. Kerangka ideologi pembangunan yang telah berkembang memaksa petani ditempatkan dalam posisi sebagai obyek pembangunan tanpa dilibatkan dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan. Mainstream pembangunan pertanian menghasilkan paradigma production-center oriented yang menghasilkan kondisi dimana petani mengalami ketergantungan pada struktur elit dan program, adanya dominasi elit serta upaya mengintegrasikan petani menuju kapitalis.
124
Pembangunan pertanian dengan paradigma di atas hanya merespon permasalahan petani secara parsial. Salah satunya adalah ketika revolusi diterapkan di Indonesia. Program revolusi hijau yang sejatinya dimaksudkan membantu ketersediaan pangan justru menimbulkan masalah di kalangan masyarakat pedesaan. Gerakan rakyat kemudian mencoba merespon kondisi tersebut dengan membangun kelembagaan yang kemudian dikenal dalam bentuk organisasi petani. Organisasi petani sebagai organisasi yang mengarah pada upaya pemberdayaan memainkan peran sebagai wadah untuk mencapai cita-cita petani yaitu kemandirian dan kedaulatan petani atas sumberdayanya. Organisasi sebagai kritik atas paradigma pembangunan pertanian kemudian menerapkan paradigma baru yang lebih menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan (Gambar 7.) tanpa meninggalkan agenda gerakan sosial petani. Pilihan atas paradigma pembangunan pertanian yang berorientasi peoplecenter development memaksa orang di luar organisasi untuk memahami alasan di balik pilihan tersebut. Dari sekian permasalahan yang dihadapi petani, pendekatan people-center oriented diharapkan menjadi instrumen bagi tercapainya kedaulatan petani. Paradigma people-center oriented pada prakteknya memerlukan strategi untuk menghindari resistensi pemerintah. Untuk menghindari hal tersebut, organisasi mengembangkan kerjasama dengan pemerintah dan mengembangkan strategi CD sebagai sebuah pendekatan yang dapat diterima di mata pemerintah. Melalui strategi tersebut terbukti organisasi petani mampu memperjuangkan kedaulatan petani, membangun kemandirian melalui pembentukan organisasi petani dan mengembangkan perlawanan terhadap production-center development dengan mengubah menjadi people-center oriented tapi dengan strategi pendekatan production-center oriented.
125 Gerakan Rakyat REVOLUSI HIJAU
NEGARA
CD gaya petani
“People-center oriented”
“Production -center oriented“
1. Rendahnya tingkat produksi 2. Ketersediaan pangan
Permasalahan Petani:
Penyuluhan Pemberdayaan Partisipasi
Rendahnya tingkat produksi
1. Ketergantungan pada struktur elit dan program 2. dominas i elit 3. integrasi pre-kapitalis menuju kapitalis
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
rendahnya tingkat produksi ketersediaan pangan tekanan struktural akses terhadap input pertanian peningkatan eksploitasi kemerosotan status sosial kemerosotan kualitas lingkungan ketergantungan kapitalisme secara tidak langsung 9. kemiskinan 10. rendahnya partisipasi perempuan (tersingkir) 11. ketergantungan terhadap program 12. akses to market 13. akses to land 14. tingkat kesejahteraan 15. ketiadaan kelembagaan 16. rendahnya posisi tawar 17. kebijakan pemerintah yang tidak memihak 18. akumulasi resource pada sekelompok elit
1. Membangun kedaulatan petani 2. Kemandirian melalui pembentukan organisasi petani dan pilihan kegiatan 3. Mengembangkan perlawanan terhadap production-center dengan mengubah menjadi people-center tapi dengan strategi pendekatan production-center
Gambar 7. Pertarungan Paradigma Pembangunan Pertanian dalam Merespon Permasalahan Petani
PERLAWANAN TERSAMAR ORGANISASI PETANI
Rubin and Rubin (2001) menggarisbawahi kontinuum lanjut dari bergabungnya banyak aktor dan banyak organisasi dalam melawan ketidakadilan dan ketimpangan akan melahirkan agenda gerakan sosial. Konsekuensi lanjut dari kontinuum tersebut adalah gagasan alternatif yang menggabungkan kepentingan ekonomi dengan analisis relasi sosial. Dalam hal ini, menjadi penting untuk melakukan analisis silang antara pendekatan modernisasi dengan kerangka Marxian yang kental konflik kelas dan penyadaran. Pada satu titik ada peluang bahwa organisasi komunitas dibangun dengan menggunakan variabel-variabel pembangunan namun dengan target kedaulatan petani dalam konteks perlawanan atas ketertindasan/ketimpangan yang menjadi point penting paradigma Marxian. Pemikiran neo-Marxian dalam hal ini ditempatkan pada posisi mengkaji faktor-faktor yang saling berkaitan dalam struktur masyarakat. Persoalan yang dihadapi petani adalah persoalan struktural yang harus dilihat dari integrasi tiga faktor yakni ekonomi, politik, dan ideologi. Dengan demikian, meminjam kerangka yang dikemukakan aliran ini, akan tampak bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat bersifat kompleks dan harus direspon dengan strategi yang integral dan holistik. Kontekstual masalah memerlukan respon yang tepat di tingkat petani. Analisis relasi kekuasaan yang tercipta di masyarakat memerlukan pendekatan pendekatan yang inovatif. Langkah ini terutama diperlukan untuk menghindari perlawanan yang lebih kuat dari perangkat keras dan perangkat lunak yang memarjinalkan petani. Meski dikemukakan bahwa musuh petani pada era setelah 1998 dinilai abstrak, namun kekuatan yang berada dibalik persoalan tersebut sangat kuat. Kondisi demikian memerlukan pertimbangan khusus tentang caracara perlawanan yang efektif. Secara teoritis perlawanan dapat dilakukan dengan cara yang halus, tanpa mengubah struktur yang ada, atau dengan cara dekonstruksi sosial. Perlawanan yang mempertahankan kemapanan dalam terminologi Scott (1993) dikenal dengan perlawanan tersembunyi, atau perlawanan dalam kepatuhan menurut Heryanto (2000). Sedangkan perlawanan dengan cara dekonstruksi dilakukan dengan
127
merombak struktur yang ada. Pola perlawanan yang dikembangkan oleh organisasi petani SPPQT tidak dilakukan dengan mengubah struktur yang ada, melainkan mempergunakan struktur yang ada dan menjadi bagian dari sistem tersebut untuk kemudian memperbaiki sistem dari dalam. Perlawanan dilakukan terhadap kemapanan yang ada dengan cara memperkuat aliansi dan menjadi bagian dari agenda negara. Isu pokok yang ditawarkan organisasi menjadikan gerakan ini tidak eksklusif, namun tetap dalam kerangka perlawanan yang diarahkan keluar dari mainstream umum yang berkembang. Kemapanan dalam pengertian SPPQT menjadi dasar landasan agar komunitas dap at tenang melakukan kegiatan produksi. Pertimbangan tersebut menghasilkan konsep IOF yang menjadi roh SPPQT. Konsep IOF dipilih agar petani dapat memanfaatkan potensi alam yang ada untuk mendukung terintegrasinya sumber-sumber kehidupan. Bahwa IOF kemudian menjadi gerakan perlawanan menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Gerakan perlawanan yang dikembangkan SPPQT merupakan basis melakukan dekonstruksi sosial. SPPQT dalam perkembangannya berupaya menghasilkan terciptanya gerakan baru dalam upaya pengembangan petani. Strategi alternatif tersebut lahir dalam bentuk people-center oriented dengan strategi CD. Menilik agenda dan langkah-langkah organisasi, terbaca bahwa gerakan perlawanan menjadi isu utama dan dilakukan dengan strategi membungkus langkah taktis dan strategis melalui kemandirian dan kebersamaan di tingkat internal organisasi. Perlawanan ditujukan terhadap paradigma pembangunan yang menjadi mainstream umum sekaligus terhadap ideologi kapitalis. Tanpa sadar, globalisasi dan kapitalisasi dianggap sebag ai budaya dan menafikkan tekanan struktural yang dilahirkan oleh kedua paham tersebut. Sebagai kekuatan besar, globalisme dan kapitalisme tidak mungkin dapat dilawan. Strategi yang dapat dilakukan dengan cara menghindar agar tidak terjebak kedalam jurang globalisme dan kapitalisme.
Gerakan Transformasi Petani Pengalaman sejarah memperlihatkan karakter organisasi petani yang hampir sebagian besar melibatkan aktor luar sebagai pendamping pembentukan
128
atau mempertahankan keberadaan organisasinya. Kondisi tersebut tak dapat dipungkiri merupakan bagian dari sifat dasar petani. Scott (1993) mengemukakan bahwa keterlibatan petani dalam sebuah gerakan sosial hanya dapat terjadi melalui perantara kelas-kelas bukan petani. Perlawanan petani lebih banyak terjadi dalam bentuk perlawanan sehari-hari yang belum sampai pada gerakan protes. Pola perlawanan yang dikembangkan tidak bersifat pencegahan melainkan pengobatan terhadap sebuah kondisi yang sudah terjadi. Ciri-ciri gerakan sosial seperti dikemukakan Harper (1989) memiliki organisasi-organisasi segmental yang bersaing untuk mendapatkan loyalitas dari para pengikutnya, proses penerimaan orang per orang dalam kelompok kecil, partisipasi dimotivasi oleh komitmen personal yang tinggi, gerakan berusaha membangun ideologinya sendiri serta gerakan biasanya membutuhkan oposisi sebagai tekanan eksternal untuk membantu menciptakan solidaritas dalam gerakan. Kajian teori klasik tentang gerakan sosial petani menunjukkan bahwa wujud gerakan sosial biasanya dalam bentuk pemberontakan petani yang lahir akibat tekanan struktural. Merujuk pada penggunaan teori klasik maupun kontemporer, tampak bahwa teori tentang petani dan perlawanan petani tidak cukup baik dapat menerangkan keterhubungannya dengan pembentukan organisasi. Petani sebagai entitas sosial khas dipengaruhi oleh institusi supra lokal dalam berbagai tingkat; lembaga swasta, pemerintah, dan aktor global. Hal ini menunjukkan bahwa petani mengalami keterhubungan dengan dunia luar sekaligus melakukan respon aktif terhadap aspek sosial, ekonomi maupun politik. Namun keterhubungan tersebut tidak membawa petani keluar dari situasi marjinal, melainkan lebih sering menjadi penyebab kekalahan petani dalam relasi sosial tersebut. Perkembangan menunjukkan bahwa di beberapa tempat telah tumbuh gerakan perlawanan petani dalam bingkai kerangka gerakan sosial. Dalam beberapa kajian klasik, disebutkan bahwa perlawanan petani lebih sering diwujudkan dalam gerakan -gerakan pemberontakan yang tidak tersistematisasi. Padahal, sebagai respon atas kond isi sosial yang ada, bentuk perlawanan sebaiknya merujuk pada konteks sosio -ekonomi dan politik di tingkat supra
129
lokal1. Dengan demikian, gerakan sosial atau perlawanan yang akan dikembangkan harus terlebih dahulu merujuk pada situasi yang muncul. Gerakan sosial dalam perkembangan lanjut menemukan perubahan konteks dan karakter akibat gejala baru neoliberalisme (Fauzi, 2005). Kajian tentang gerakan rakyat pedesaan di Negara Dunia Ketiga telah berubah dalam konteks, watak maupun moda aksinya. Kehadiran neo-liberalisme mematahkan potret “klasik” mengenai gerakan atau pemberontakan baik secara teoritik maupun empirik. Dalam kasus SPPQT, sikap kritis atas sistem kapitalisme global tidak luput dari fakta empirik implikasi sistem tersebut. Keterpurukan yang dihadapi komunitas Salatiga akibat persoalan ekonomi dan politik melahirkan gagasan transformatif melakukan ide-ide perlawanan. Pilihan perlawanan dalam bentuk organisasi berangkat dari kerangka fikir bahwa musuh utama memiliki jalinan kekuatan yang kokoh. Gambaran atas siapa musuh dan karakternya memaksa komunitas mendisain bentuk perlawanan yang sistematis. Kekuatan globalismekapitalisme yang turut mewarnai karakter pemerintah dalam aras lokal maupun nasional menuntut komunitas memilih strategi perlawanan yang tepat. Tepat dalam artian sesuai dengan karakter lawan sehingga perlawanan bisa efisien. Merujuk tulisan Fauzi (2005), karakter gerakan memerlukan syarat-syarat politik tertentu. Perkembangan konstelasi politik modern dalam kenyataannya seringkali memerlukan adaptasi pola gerakan. Itulah sebabnya aliran teoritik klasik tentang pemberontakan petani sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian. Bacaan syarat politik terhadap tumbuh kembangnya organisasi rakyat disikapi dengan kritis oleh petani. Jika Eldridge (1988) mengungkapkan tipe NGO dalam merespon kebijakan pembangunan, maka gerakan sosial baru yang berorientasi rakyat seyogyanya perlu menampilkan citra baru sebuah gerakan rakyat. Perlu ada strategi cerdas untuk menyamarkan perlawanan hingga terhindar dari resistensi pihak musuh. Sayangnya, tulisan Fauzi (2005) belum sampai membahas contoh gerakan petani dalam bentuk organisasi yang telah menyesuaikan dengan situasi musuh dan konstelasi politik yang kemudian berpengaruh terhadap pilihan jenis aksi. 1
Gambaran ini diungkapkan oleh Fauzi (2005) bahwa gerakan rakyat sebaiknya memiliki karakter khas sesuai dengan situasi yang dimusuhi, kesempatan politik yang dihadapi, dan pilihan jenis aksi kolektif yang mereka andalkan.
130
Tulisan tersebut baru sampai membahas bagaimana gerakan rakyat tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan jaman sehingga teori klasik gerakan petani tidak dapat menjelaskan fenomena tersebut. Dalam perkembangan kajian gerakan petani, penelitian ini melengkapi kondisi empiris gerakan petani di Indonesia sehingga melengkapi pemaparan Fauzi. Pada tataran empiris telah ditemukan strategi organisasi petani dalam menghadapi rezim yang ada dengan menggunakan strategi perlawanan tersamar. Dalam literatur yang membahas kajian gerakan sosial, dikemukakan bahwa kemunculan LSM pada kurun 70-an merupakan bentuk perhatian dalam usaha pengembangan masyarakat (community development) sebagai kritik “ketidakmerataan pembangunan” dan pencarian “strategi alternatif” atau “kebutuhan pokok” yang dapat menguntungkan mayoritas kaum miskin, Eldridge (1989). Sayangnya, sepak terjang LSM lebih banyak berakar pada kegiatan yang bersifat sementara. Korten kemudian melengkapi fakta empiris dengan membagi tipe NGO kedalam empat generasi2. Dalam konteks politik yang memerankan percaturan global, generasi keempat lebih memiliki peluang menjawab persoalan global. Perkembangan gerakan sosial menunjukkan strategi pengorganisasian petani yang dilakukan melalui tiga tahap yakni community development, community organization dan political community. Apabila dicermati lebih lanjut, karakter organisasi yang dibangun dengan menggunakan pendekatan diatas sesungguhnya merupakan pilihan atas metode yang diterapkan. Dua metode yang dikenal dalam terminologi perlawanan petani adalah metode radikal (diwujudkan dalam bentuk politik garis keras) dan metode dengan pendekatan yang lebih halus dengan cara membangun kemapanan organisasi terlebih dahulu. Pendekatan sasaran pencapaian tujuan organisasi juga dapat dipahami dari sudut pandang aras organisasi. Perlawanan dalam setiap aras organisasi harus dilakukan dengan melihat kebutuhan politik organisasi yang bersangkutan. Makin tinggi aras
2
Generasi pertama merupakan gerakan yang bersifat jangka pendek. Generasi kedua merupakan gerakan untuk membantu mengembangkan swadaya dari masyarakat yang dibantu. Pada generasi kedua ada upaya mengembangkan kesanggupan masyarakat untuk mengatasi sendiri kesulitannya. Generasi keempat menampilkan pertautan dengan konteks politik nasional karena membicarakan konsep atau ideologi atau strategi alternatif pembangunan dengan cara melakukan transformasi pembangunan.
131
organisasi, karakter perlawanan sebaiknya menjadi semakin abstrak. Kegiatan yang menjadi bagian dari agenda politik sebaiknya diarahkan pada perkembangan isu strategis yang mengarah dari kegiatan yang bersifat praxis, berkembang kearah kebijakan, sampai pada pilihan advokasi atau politik. Pada tataran empiris, penelitian yang dilakukan Firmansyah dkk (1999) menghasilkan point penting bahwa penyebab gerakan perlawanan dan tumbuhnya organisasi dapat dijelaskan melalui beberapa faktor: 1. pada dekade 1980-an, intensitas pembangunan yang gencar banyak mengandung konflik sehingga menempa gagasan dan bentuk pertahanan diri (perlawanan) yang kemudian memungkinkan petani untuk melakukan gerakan. 2. pada dekade ini terdapat satu persoalan besar yang selalu memunculkan situasi tegang yang berlangsung terus menerus, yang bersumber pada situasi dimana sebagian besar petani mengalami ketersingkiran politik dan hilangnya hak-hak dasar mereka atas tanah sebagai alat produksi (modal kerja petani). 3. dampak langsung pembangunan dan hegemoni negara mengacaukan berbagai sendi kehidupan petani. 4. kehadiran aktor-aktor yang terlibat secara langsung dalam pembelaan petani, sehingga semangat perlawanan tumbuh subur, pulihnya kepercayaan diri untuk melakukan gerakan karena ada teman 5. semangat untuk menumbuhkan organisasi, sebagai alat perjuangan, sehingga segala sumber daya dapat dikerahkan secara maksimal untuk mengatasi berbagai kendala dalam melakukan gerakan perlawanan, yang kadangkala bersifat teknis seperti dana. Dengan demikian pada dasarnya organisasi sebagai bagian gerakan sosial dapat dikatakan sebagai fenomena baru. Berbeda dengan pemberontakan atau perlawanan petani dalam kajian klasik yang tidak dilakukan melalui strategi yang tersistematisasi. Pertautan petani dengan konteks politik baik lokal, nasional, bahkan global memerlukan respon tersendiri di tingkat petani. Gerakan transformasi petani dengan demikian menuntut pengorganisasian di tingkat basis.
132
Mempertanyakan Secara Kritis Ideologi Pembangunan Pertanian Perbandingan
people-center
development
dan
production-center
development3 memberikan pemahaman bahwa people-center development dalam perkembangannya menjadi paradigma baru dalam gerakan perlawanan rakyat. Sejarah panjang pendekatan pembangunan memperlihatkan sampai saat ini pemerintah masih menerapkan paradigma production -center development. Hal ini tidak saja berlaku pada pembangunan secara makro melainkan juga pembangunan pertanian. Production-center development dengan segala sifat dan karakter4 yang melekat menciptakan ketergantungan petani terhadap program. Implikasi dari kondisi
tersebut
adalah
sistem
pasar
diciptakan
untuk
menciptakan
ketergantungan baru bagi petani. Orientasi pemerintah yang masih mengarah pada modernisasi tampaknya menjadi pemicu tetap digunakannya ukuran ekonomi dalam melihat keberhasilan pembangunan. Kritik terhadap mainstream pembangunan diarahkan pada ukuran ukuran ekonomi sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Kajian sosial menyumbang aspek sosial untuk pengukuran keberhasilan pembangunan. Tulisan Weede dan Tiefenbach (1981) secara gamblang mengungkapkan bahwa variabelvariabel sosial dapat digunakan untuk melihat keberhasilan pembangunan sekaligus sebagai variabel kontrol dalam mengukur pembangunan. Meskipun Weede dan Tiefenbach (1981) masih menggunakan ukuran ekonomi pada variabel kontrolnya, namun mereka juga berupaya menunjukkan bahwa variabel sosial ternyata memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia (Gambar 8). Dalam konteks tersebut, pengembangan komunitas akan lebih baik jika dilakukan pendekatan sosiologis disamping pendekatan ekologis dan ekonomis. Keterkaitan diantara ketiganya menunjukkan keterhubungan secara fungsional karena dipandang sebagai suatu sistem kelembagaan lokal yang berpengaruh terhadap kehidupan dan perkembangan komunitas. Analisis yang dikemukakan Weede dan Tiefenbach (1981) menunjukkan bahwa pada aras komunitas, penting melihat kajian kelembagaan dan modal sosial untuk menciptakan sebuah 3
Penjelasan gamblang terdapat di Bab VI Berorientasi pertumbuhan, mengutamakan komoditas, menggunakan pendekatan yang bias struktur masyarakat, dan lain-lain 4
133
pembangunan yang lebih bersifat bottom up. Oleh karenanya kelembagaan dan modal sosial menjadi penting dalam menganalisis pembangunan di aras komunitas. Ukuran -ukuran variabel sosial yang dimaksud misalnya organisasi sosial yang terbentuk, hubungan sosial, interaksi sosial, kelembagaan, dan sebagainya. Jadi sepanjang pembangunan dilakukan pada aras komunitas dan memperhatikan aspek/variabel sosial, maka pembangunan tersebut akan berhasil. Segera tampak bahwa aspek sosial menyumbang peranan yang besar dalam mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Hal ini mendukung gerakan yang berupaya mempertanyakan ideologi pembangunan. Bahwa pembangunan yang mengarah pada production-center development sudah tidak tepat diterapkan dalam konteks negara dimana gerakan rakyat mulai mengembangkan perlawanan. Persentuhan negara dengan faktor eksternal turut menyumbang berkembangnya arah transformasi masyarakat dalam dimensi yang lebih luas. People-Center Oriented Sebagai Agenda Utama Organisasi Belajar dari kesenjangan yang besar antara production dan people-center development, organisasi memandang perlu mengarahkan agendanya pada pencapaian kegiatan yang lebih mengutamakan anggota. Organisasi sebagai alat mencapai tujuan yang berciri people-center oriented
diperlukan untuk
meningkatkan rasa memiliki anggota terhadap organisasinya. Berdasarkan pertimbangan di atas, SPPQT mengembangkan simpul-simpul yang dibangun berdasarkan pendekatan administrasi dan kawasan. Untuk mendukung tujuan di atas, SPPQT kemudian menerapkan konsep community organizer dimana anggota yang bertindak sebagai community organizer harus bisa mempengaruhi masyarakat untuk berjuang di tingkat komunitas. Organisasi petani mengusung konsep bahwa desa harus menjadi wilayah otonom. Pengelolaan harus didasarkan atas kepentingan manusia yang mendiami wilayah desa tersebut. Upaya itu lebih pada harapan untuk menumbuhkan perasaan memiliki wilayah dalam diri petani. Ketika penguatan di tingkat desa sudah tercapai, maka apabila akan ditarik ke ranah politik menjadi lebih mudah. Serikat melakukan tugas dalam hal menganalisis akumulasi persoalan di tingkat desa untuk dicari solusinya melalui akses politik di tingkat pemerintahan yang
134
lebih luas. Itulah sebabnya dalam rumusan rencana strategi (renstra) perdes menempati prioritas. Perdes diarahkan pada bagaimana desa terlindungi secara hukum. Gerakan nyata harus dibangun di tingkat desa. Pilihan ini akan mampu melibatkan semua pihak yang ada di desa, baik lembaga formal maupun informal untuk bersama membangun desa. Gambaran bahwa desa dimiliki oleh komunitasnya harus dibangun sehingga keputusan berada di tangan kelembagaan lokal. Dinamika internal menghasilkan perkembangan yang agak berbeda tentang konsep community organizer. Konsep awal tidak menempatkan community organizer sebagai staf serikat. Community organizer sejatinya dimaknai sebagai leader community. Idenya adalah community organizer bekerja di komunitas dan bekerja bersama komunitas. Beruntung bahwa pada strategic planning (SP) 2004 posisi community organizer dikoreksi, dan community organizer dikembalikan ke komunitas. Community organizer harus menjadi sandaran komunitas, dan harus mengaktualisasikan dirinya di komunitas. Community organizer bukan kelembagaan melainkan pola pikir. Sebagai mainstream, keberadaan community organizer berimplikasi bahwa seluruh staf harus melakukan agenda pengorganisasian. Sebagai strategi baru dalam perlawanan, CD ala petani harus mempunyai rumusan pembagian tugas yang jelas. Terutama karena serikat memiliki jenjang organisasi dari mulai paguyuban hingga kelompok tani. Apabila dilihat struktur organisasi yang meliputi serikat-paguyuban-kelompok, pembagian tugas dapat dilakukan sebagai berikut; kebutuhan praktis dipenuhi di tingkat kelompok, paguyuban mengurusi kebijakan, sedangkan serikat menganalisis persoalan ideologi/gerakan yang harus dibangun. Mekanisme mentransformasikan gerakan dapat dilakukan
dengan
membawa petani pada diskusi tentang isu. Isu harus ditarik pada ideologi yang bisa mengarahkan pada gerakan perlawanan. Dalam hal ini paguyuban harus dewasa dalam membawa diskusi tentang isu. Paguyuban harus bisa merumuskan bagaimana mentransformasikan gerakan kepada kelompok melalui media tertentu. Kelompok menjadi saluran untuk membangun gerakan perlawanan yang berbasis lokalitas. Sebagai contoh kasus busung lapar. Isu ini harus didiskusikan hingga
135
sampai pada pemahaman ideologis. Penyadaran dengan basis isu dan ideologi akan lebih mengkonkritkan tindakan di tingkat petani. Jika pendekatan ini bisa dilakukan maka serikat berfungsi sebagai institusi yang memainkan isu. Di tingkat petani tidak harus setiap saat berkutat dengan isu. Petani harus dib iarkan mendiskusikan hal-hal konkrit menyangkut persoalan nyata dan tidak harus berkutat dengan isu ideologis. Pola transformasi ideologi dengan cara demikian dipandang membuat petani paham terhadap pihak yang harus dilawan sekaligus strategi yang dapat diterapkan. Perbedaan mendasar karakter organisasi dalam kerangka CD dan organisasi
dalam
kerangka
gerakan
ditinjau
dari
beberapa
mekanisme
pengorganisasian. Organisasi komunitas mengusung ideologi dasar bahwa mekanisme organisasi dibangun atas dasar keterlibatan seluruh anggota untuk berjuang
bersama
dalam
memecahkan
masalah
terutama
meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam membuat keputusan yang menyangkut kehidupan sosial. Organisasi komunitas terjadi ketika anggota saling memperkuat ikatan satu sama lain melalui penguatan jaringan sosial dan peningkatan kapasitas dalam menyelesaikan masalah. Prinsip dasar organisasi komunitas adalah pemberdayaan kolektif yang sedikit mengadopsi paradigma modernisasi. Terkait dengan ranah tanggung jawab antar aras organisasi, ada upaya membagi peran. Dalam tataran ideal, serikat lebih memikul tanggung jawab membangun opini yang pengejawantahannya dilakukan di tingkat kelompok dengan membangun kemandirian. Perjuangan serikat saat ini sedang dalam tahap memacu kemampuan petani berbicara. Upaya ini didasarkan pada pertimbangan agar gerakan tidak dikooptasi oleh golongan aktivis. Dengan demikian membentuk kecerdasan emosional petani menjadi agenda yang paling berat bagi serikat. Masih terkait dengan pembagian kerja, secara ideal serikat diharapkan mengkaji sesuatu yang bersifat global. Berbeda dengan tingkat paguyuban yang lebih memfokuskan pada kebijakan di tingkat menengah. Lain halnya pula dengan petani yang lebih bergerak pada pemenuhan basic needs. Merujuk pada AD/ART organisasi, jelas bahwa terdapat tingkatan menganalisis kondisi baik lokal maupun nasional. Pada tingkat serikat, dia harus menganalisis dan memonitor produksi nasional. Paguyuban harus menganalisis dan memonitor tingkat kecamatan dan
136
kabupaten. Tingkat kelompok tani diharapkan menganalisis tingkat desa, sedangkan individu menganalisis di tingkat keluarga. Membangun kesadaran melawan bersama didahului dengan pembacaan kontekstual. Dalam hal ini peran analisis sosial (ansos) menjadi sangat penting. Semangat perlawanan akan tumbuh ketika petani dihadapkan pada kenyataan bahwa ada masalah yang menyangkut ketersediaan bahan pangan mereka. Melalui ansos dapat ditunjukkan keterhubungan antara kemampuan sumberdaya dalam menampung kebutuhan hidup manusia. Persoalan sumberdaya menjadi pijakan analisis yang dianggap tepat. Ansos juga seringkali dilakukan dengan pendekatan bahwa dalam relasi sosial muncul pihak yang dikategorikan sebagai superordinat dan subordinat. Analisis bahwa golongan superordinat akan meng -eksploitasi golongan subordinat sekaligus sumberdaya alamnya menimbulkan respon tersendiri di kalangan petani. Pendekatan dominasi superordinat terhadap subordinat dilakukan untuk mengukuhkan keinginan kuat perlawanan. Namun demikian pertimbangan bahwa masalah produksi menjadi masalah utama memerlukan pola perlawanan yang menyandarkan kegiatan teknis produksi.
Agenda Besar Organisasi: Gerakan dan Mekanisme Pencapaian Realitas
empiris
menunjukkan
bahwa
petani
mengalami
kondisi
penindasan, ketimpangan sosial, ketidakberdayaan, dan ketidakadilan yang membelenggu kemampuan pengelolaan sumber daya yang ada. Fakta yang tampak adalah tidak adanya keberpihakan terhadap petani yang merupakan pemegang hak atas pengelolaan dan kontrol sumberdaya lokal, sebagai sumber penghidupan. Petani terbebani dengan kondisi alam yang tidak bersahabat akibat penggunaan teknik pertanian yang tidak ramah lingkungan dan sistem sosial yang cenderung eksploitatif. Dengan demikian perjuangan menjadi kebutuhan terutama dilihat dari aspek kultural maupun struktural sehingga kedepan dapat tercipta peradaban baru yang lebih manusiawi dan kepentingan strategis kaum tani dapat terlindungi dari berbagai bentuk penghisapan. Semangat yang dikembangkan adalah aksi dan refleksi sesuai dengan semangat dan tuntutan perkembangan jaman.
137
Tujuan besar organisasi seperti yang tercantum dalam Anggaran Dasar (AD) adalah mewujudkan masyarakat tani yang mampu mengelola dan mengontrol segala sumberdaya yang tersedia beserta seluruh potensinya sesuai dengan prinsip keadilan dan kelestarian lingkungan serta kesetaraan antara lakilaki dan perempuan. Akses dan kontrol yang diperjuangkan terkait dengan tanah sebagai alat produksi petani dan upaya penyediaan benih serta memperjuangkan kedaulatan masyarakat petani. SPPQT memiliki motto “siapa menguasai benih akan menguasai kehidupan” yang memicu harapan petani untuk terus maju. Kedaulatan petani menjadi ideologi penting dalam perlawanan ini. Kedaulatan yang dimaksud mencakup banyak dimensi, baik dalam kaitannya dengan persoalan produksi maupun partisipasi publik dan penentuan kebijakan. Kedaulatan petani dilakukan dengan cara membangun gerakan kultural yang dimaksud untuk melawan globalisasi, ketidakadilan dalam perdagangan, dominasi kapital oleh negara kaya, penguasaan teknologi demi keuntungan segelintir orang dan usaha-usaha kerusakan lingkungan yang memutus rantai kehidupan. Upaya mencapai semua itu dilakukan dengan memperkuat jaringan kerjasama perdagangan antar organisasi petani berbasis produksi setempat dan menggunakan teknologi dan budaya setempat dengan mempertimbangkan keadaan geografis. Langkah tersebut diyakini akan mempercepat tercapainya kedaulatan petani. Gerakan struktural juga dikembangkan terutama ketika merespon pola relasi yang berkembang. Kritik terhadap pola relasi yang tidak menguntungkan petani dilakukan sebagai bagian dari perlawanan. Perangkat keras dan perangkat lunak yang merugikan petani lebih banyak tercipta dari tidak adanya keberpihakan terhadap petani. Menilik karakter kegiatan demikian, pada dasarnya SPPQT menerapkan pola perlawanan yang sekaligus memberi peluang menjawab persoalan nyata di tingkat petani. Ide ini sekaligus dapat dikembangkan oleh organisasi berbasis konflik. Seringkali organisasi petani mandek dalam kegiatannya karena terlalu sarat dengan pertimbangan ideologis dan muatan perlawanan radikal. Kebutuhan petani jangka pendek seringkali tidak mendapat porsi perhatian. Itulah sebabnya banyak organisasi yang tidak berlanjut. Meski diawal karakter embrio organisasi menampakkan karakter organisasi CD, dalam perkembangannya, organisasi ini
138
lebih memiliki jiwa community organization (CO dalam pengertian organisasi yang dibangun oleh komunitas)5. Kegiatan yang dibangun berbasis pada ide bahwa kemandirian petani menjadi modal dasar perlawanan atas status quo dari pihak supra lokal. Perlawanan ini terselubung dalam jargon-jargon pembangunan sehingga ada sebuah ruang bagi organisasi petani untuk “lebih bebas” berkreatifitas dan mengambil inisiatif perlawanan. Pilihan ini memberi warna tersendiri bagi organisasi petani yang terbiasa dikelola dengan jalur protes dan mobilisasi massa dalam pendekatan radikal. Perlawanan yang dikembangkan oleh SPPQT dilakukan dengan mendobrak
kemapanan
yang
ada.
Strategi
yang
dikembangkan
adalah
memperkuat jaringan dengan cara membangun aliansi dalam kepentingan memperjuangkan agenda terbatas tetapi sedikit demi sedikit mempersiapkan “tandingan” bagi sistem yang telah ada. Kegiatan organisasi pada dasarnya menjadi bagian agenda Indonesia yang memperbaiki sistem dari dalam. Isu pluralisme yang dikembangkan oleh organisasi disinyalir menampilkan kesan bahwa gerakan yang dikembangkan organisasi bukan gerakan yang ekslusif.
Organisasi Petani Sebagai Perlawanan Petani Apabila ditelaah kesamaan antara organisasi sebelum kemerdekaan hingga era 1980-an menunjukkan bahwa gerakan dan organisasi bukan merupakan sesuatu yang otomatis. Ketiadaan hubungan antara perlawanan petani dengan pengorganisasian petani menimbulkan pertanyaan besar. Namun penelitian ini tidak sampai menjelaskan mengapa perlawanan petani pada masa awal tidak otomatis menimbulkan pengorganisasian. Penelitian ini lebih memfokuskan pada strategi petani dalam merespon konteks sosio -ekonomi politik yang kompleks sekaligus menemukan karakter perlawanan petani pasca 1998. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tipe perlawanan diposisikan dalam kondisi ekonomi sosial politik masa itu. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, organisasi petani yang betul-betul berangkat dari tingkat basis menjadi kajian yang menarik karena menyangkut manajemen petani dalam menghadapi permasalahan struktural. 5
Hollnsteiner (1979) mengemukakan perbedaan antara CD dan CO dengan sangat baik. Kesimpulan yang dikemukakan adalah CO lebih memiliki sifat dekat dengan kebutuhan anggota komunitas.
139
Pentingnya mengkaji kekuatan petani melalui pembentukan organisasi mulai dirasakan ketika memasuki masa krisis moneter dan terbukanya ruang politik bagi semua pihak. Pada masa reformasi, terbukti petani belum siap memanfaatkan moment yang ada sehingga era reformasi dilewatkan tanpa perjuangan yang berarti. Kesadaran membangun organisasi di tingkat basis didukung kenyataan bahwa peningkatan posisi tawar akan mampu dicapai jika dibangun kekuatan ditingkat basis. Dalam periode ini, beberapa organisasi petani mulai menajamkan fokus pada capacity building dengan mengembangkan kegiatan yang tidak semata-mata aksi dan demonstrasi. Kegiatan lebih difokuskan pada peningkatan kapasitas organisasi sebagai wahana perjuangan rakyat dalam rangka memperkuat kemandirian sesama rakyat marjinal dan membongkar status quo. Solidaritas organisasi dibangun dalam mendukung gerakan pemberdayaan petani secara lebih tersistematisasi. Tipe Musuh dan Pilihan Model Perlawanan Perbedaan perlawanan sebelum dan sesudah Tahun 1998 dapat dilihat dari sasaran perlawanan dan siapa yang dianggap musuh. Perlawanan sebelum Tahun 1998 ditujukan pada negara/pemerintah orde baru. Ada keinginan melakukan perlawanan politis. Perlawanan kemudian dilakukan melalui konsolidasi tingkat paguyuban dan kelompok tani, dengan menggunakan media pengajian atau kelompok yang telah berdiri sebelumnya. Perlawanan terhadap negara Orde baru
Perlawanan terhadap politik 1998
dan akses kontrol Advokasi yang dimulai dari kasus Senjoyo dan Damatex
Gambar 8. Perbedaan Tipe Perlawanan Sebelum 1998 dan Setelah 1998 Membedakan kurun waktu rezim pemerintahan menghasilkan perdebatan tentang jenis musuh yang harus dilawan petani. Pada masa orde baru, musuh yang tampak adalah negara. Namun, pasca orde baru keberadaan musuh menjadi abstrak karena negara bisa dikatakan tidak melakukan tindakan represif. Posisi negara dalam hal ini perlu dilihat secara kritis. Diskusi demikian mau tidak mau harus mempertautkan dengan konteks global. Sebagai contoh, selama ini
140
kebijakan pertanian hanya dimaknai sebagai kegiatan teknis produksi. Saat ini negara berada pada pihak yang berpotensi memarjinalkan petani, sebagai perpanjangan kapitalisme. Sebagai contoh adalah UU privatisasi air. Produk hukum tersebut terbit dalam kepentingannya memfasilitasi kepentingan kaum kapitalis. “ Apabila didefinisikan, maka musuh petani adalah perangkat keras dan perangkat lunak yang menstimulir upaya-upaya kapitalisasi. Perangkat keras dalam bentuk pemerintahan baik nasional maupun lokal bahkan global, sedangkan perangkat lunak meliputi produk hukum dan kebijakan”. (Wawancara dengan informan). Perbedaan pemahaman terhadap musuh masa lalu dengan masa kini menghasilkan strategi perlawanan yang berbeda. Pada masa lalu negara tampak sangat jelas memainkan peran sebagai musuh yang tidak memiliki keberpihakan terhadap petani. Negara berada pada posisi dengan ideologi yang berseberangan dengan masyarakat/petani bahkan seringkali bertindak represif. Berbeda dengan peran masa kini dimana negara tampak mengurangi tindakan kekerasan, bahkan dalam beberapa hal berupaya mengembangkan pemberdayaan komunitas. Namun kebijakan yang diterapkan tetap tidak berpihak pada petani. Negara banyak dikendalikan oleh kepentingan global, demikian juga dalam paradigma pembangunan pertanian. Karakter musuh terbukti melahirkan respon perlawanan yang berbeda. Pada masa lalu semua yang berbau pemerintah akan langsung dilawan. Saat ini strategi yang dikembangkan adalah SPPQT mulai masuk dalam pembahasan APBD dan masuk dalam ranah politik. SPPQT mulai ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan. Upaya yang saat ini dikembangkan adalah penguatan pola gerakan sebagai upaya mempengaruhi kebijakan lokal. Cara yang ditempuh adalah mendudukkan orientasi politik yang didukung dengan proses format ulang langkah -langkah taktis agar gerakan politik tidak salah. Organisasi mengambil bentuk CD dalam program dan pendekatannya sebagai respon atas tipe musuh yang ada. Strategi diarahkan pada akses polit ik yang diharapkan merembes pada kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi masyarakat memerlukan penyelesaian yang bersifat praktis/pragmatis. Kebutuhan ini harus segera dipenuhi. Perlu satu langkah agar perjuangan mencapai posisi tawar politik menguat tanpa mengabaikan keperluan
141
praktis di tingkat petani. Aspek praktis yang harus dijawab segera meliputi bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Hal ini dimaksudkan agar petani mempunyai daya tahan berjuang. Pendekatan dengan menggunakan aspek praktis dan persoalan nyata menjadi media bagi petani untuk tergabung dalam organisasi. Ketertarikan awal biasanya dimulai dari pembicaraan yang menyangkut persoalan yang berkaitan dengan mereka. Organisasi ada baiknya terlebih dulu membicarakan sesuatu yang bisa dengan segera menjawab persoalan petani ketimbang langsung ditarik pada aras pendidikan politik terlebih apabila diajak melakukan perlawanan. Posisi SPPQT saat ini pada tahap menjawab persoalan nyata petani dan belum sampai pada menjawab/mempertautkan mainstream perlawanan. Kesulitan di tingkat SPPQT adalah menyambungkan isu. Pertautan ideologi perlawanan belum sampai di tingkat kelompok tani. Karakter Perlawanan Model People-Center Oriented Berbagai literatur yang memaparkan tentang karakter dan sifat petani sampai pada kesimpulan bahwa organisasi dan petani merupakan sesuatu yang tidak
serta
merta
tersambungkan
(Scott,1993,1994,2000;
Wolf,1985;
Shanin,1971). Dalam hal ini diperlukan satu kiat khusus untuk mempertahankan keberlanjutan sebuah organisasi petani. Beberapa strategi yang bisa dijadikan pertimbangan menjaga keberlanjutan tersebut adalah awal pembentukan, alternatif kegiatan, dan strategi mencapai tujuan bersama. Pada kasus SPQQT, pembentukan organisasi lebih banyak memanfaatkan anggota dari organisasi tipe lama bentukan pemerintah. Dalam kajian ilmu penyuluhan, orang-orang demikian dikategorikan sebagai early adopter dan merupakan golongan masyarakat dengan pemikiran yang lebih maju. Dari sisi manajemen, golongan early adopter sudah memiliki kultur berorganisasi. Disamping memanfaatkan lembaga bentukan pemerintah, pembentukan organisasi juga dilakukan melalui organisasi lokal yang telah mapan, misalnya kelompok pengajian, arisan, gotong royong, ronda, dan lain-lain yang merupakan ciri khas organisasi lokal setempat. Strategi lain sebagai upaya mempertahankan keberadaan organisasi adalah memilih kegiatan yang dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh anggota. Kegiatan yang dekat dengan tujuan tersebut adalah kegiatan ekonomi produksi.
142
Kegiatan berbasis ekonomi produksi menjadi satu pilihan karena sederhana dan mudah dipahami dan lebih bersifat berbasis kepentingan. Seperti hal-nya kelompok petani perempuan, kelompok petani laki-laki pun mengembangkan kegiatan arisan atau simpan pinjam. Kegiatan ini lebih dianggap sebagai selingan bagi kegiatan produksi yang lebih banyak menghabiskan curahan waktu. Ketertarikan terhadap kegiatan pertanian didasarkan pada motivasi bertani sebagai sumber penghidupan. Karena alasan itulah, SPPQT memfasilitasi kegiatan anggota organisasi petani dengan teknik-teknik pertanian yang bermanfaat, misalnya pertanian organik, cara budidaya tanaman tertentu, pembibitan, dan lain lain tergantung kebutuhan dan konteks ekologi komunitas yang bersangkutan. Perlu diingat bahwa pola perlawanan berangkat dari masalah teknologi dan tata produksi. Perlawanan dengan menyandarkan pada prinsip CD dipilih dengan pertimbangan petani memerlukan strategi pengorganisasian dan pemberdayaan yang berkesinambungan. Strategi alternatif yang layak dipertimbangkan adalah menjadikan kegiatan organisasi sebagai bagian dari mainstream yang berkembang dalam konstelasi politik sehingga tidak menimbulkan resistensi yang kuat dari pemerintah. Disini diperlukan sebuah upaya mengadaptasikan norma-norma yang berkembang dalam ideologi negara untuk sampai pada tujuan organisasi yang lebih besar. Taktik “membunglon” diperlukan untuk mengambil hati pemerintah agar tidak menghalangi perjuangan yang sedang dilakukan. Membunglon disini diartikan sebagai bentuk adaptasi kultural dan struktural atas keinginan dan kepentingan politik negara yang cenderung ingin mempertahankan status quo. Beberapa contoh strategi di atas mendukung keberlangsungan keberadaan organisasi. Strategi ini cenderung bersifat lo kal dan sangat spesifik, dimana pilihan-pilihan akan kembali pada kontekstual wilayah. Kembali pada konteks lokal dan potensi kewilayahan akan mendukung eksistensi organisasi di tingkat basis. Pentingnya menengok konteks lokal dan potensi kewilayahan juga menjadi satu kebutuhan untuk dapat mengakomodir kebutuhan petani secara nyata. Ditilik dari skala nasional, ketika sebuah organisasi mendapatkan dukungan dari anggota, organisasi tersebut dianggap sebagai organisasi yang berbasis lokal sehingga berwibawa dimata pemerintah. Sama halnya dengan sekolah alternatif yang
143
dikembangkan oleh beberapa paguyuban dibawah SPPQT. Keberadaan sekolah alternatif ini lebih didasarkan pada kebutuhan pendidikan. Namun dalam perkembangannya, keberadaan sekolah alternatif ini menjadi alat ampuh perlawanan kapitalisasi pendidikan yang sedang marak. Keberadaan SPPQT dan organisasi di bawahnya merupakan sebuah upaya memindahkan perlawanan pada strategi alternatif dengan tujuan sama yakni membangun kekuatan di tingkat lokal dengan metode pendekatan yang berbeda. Bagi kebanyakan organisasi, metode yang dikembangkan adalah pendekatan radikal sehingga cenderung berbenturan dengan sikap resistensi birokrasi. SPPQT memindahkan pola perlawanan ke dalam sebuah bentuk lain yang lebih halus, dengan metode pengembangan organisasi yang lebih sesuai dimata pemerintah sehingga cenderung mendapat dukungan. Strategi ini bagi SPPQT merupakan pilihan alternatif dimana petani dipersiapkan untuk mandiri sekaligus membangun kekuatan perlawanan yang tersamarkan. Perlawanan dengan mengedepankan prinsip kemandirian meliputi beberapa ranah, diantaranya adalah pertama , kemandirian organisasi yang meliputi kesekretariatan/staf, paguyuban, dan kelompok. Kedua, kemandirian hakiki yang diupayakan dengan cara menghindari lembaga pemberi dana yang dapat menyebabkan ketergantungan. Ketiga, kemandirian rumah tangga/keluarga petani dalam hal produksi yang berarti pupuk dan benih dibuat sendiri. Konsep pemberdayaan yang utuh dilakukan dalam ranah ekonomi dan dianggap telah mencapai tingkatan yang paling tinggi jika sudah memiliki kontrol terhadap sumberdaya. Pada saat ini petani belum mampu sampai pada kontrol, bahkan akses pun belum utuh diperoleh. Menelusuri kegiatan organisasi dalam kerangka perlawanan, tampak bahwa perlawanan yang dikembangkan memiliki karakter yang lebih baru. Pilihan memperjuangkan people-center oriented sebagai paradigma baru yang diusung didekati dengan cara-cara persuasif. Dengan demikian, perlawanan tidak tampak sebaagi perlawanan. Taktik ini menguntungkan organisasi karena secara tidak langsung strategi ini menjaga keberlanjutan SPPQT sebagai organisasi rakyat atau organisasi komunitas.
144
Dengan demikian, agenda besar yang diusung organisasi adalah kemandirian dan kedaulatan petani. Pendekatan kegiatan yang diarahkan pada kemandirian memenuhi kebutuhan penyediaan sarana produksi sendiri dalam terminologi gerakan merupakan sebuah bentuk perlawanan. Ideologi dasar perlawanan yang dikembangkan adalah merubah mainstream pembangunan yang berorientasi production -center development menuju people-center development. Strategi organisasi yang dikembangkan dengan mengadopsi cara-cara yang biasa dilakukan pemerintah. Pendekatan kegiatan dan jaringan yang dikembangkan organisasi mengarah pada paradigma pertama. Paradigma kedua sebagai hasil akhir perlawanan merupakan antithesa paradigma pertama yang dilakukan dengan menggunakan strategi CD. Dalam banyak kasus, CD belum betul-betul melibatkan petani dalam pengambilan keputusan, berbeda dengan CO yang menempatkan petani sebagai subyek pembangunan. Perbandingan antara konsep WID dan WAD memperlihatkan bagaimana integrasi perempuan dalam pembangunan. Paralel dengan pengertian di atas, pola perlawanan yang dikembangkan oleh organisasi petani tidak dilakukan dengan mengubah struktur yang ada, melainkan mempergunakan struktur yang ada dan menjadi bagian dari sistem yang ada untuk kemudian mendorong perbaikan dari dalam. Strategi CD digunakan untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan setelah terlebih dahulu disesuaikan dengan konteks permasalahan yang dihadapi petani. CO sebagai wadah perjuangan turut mengarahkan pada upaya mencapai pembangunan pertanian yang berorientasi komunitas. Perlawanan tersamar sebagai gagasan alternatif tidak dengan otomatis bisa diterapkan pada seluruh tipe organisasi. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa organisasi muncul dilatarbelakangi oleh konteks situasional komunitas. Implikasinya adalah akan ada perbedaan karakter organisasi yang lahir dari persoalan yang dihadapi oleh komunitas yang bersangkutan. Perbedaan persoalan ini yang menyebabkan organisasi memiliki tampilan yang berbeda satu sama lain. Sebagai sebuah gagasan teoritis, perlawanan tersamar bisa diadopsi melalui tahap adaptasi dengan terlebih dahulu menyesuaikan dengan konteks masyarakat dimana organisasi dibangun.
145
Konsep yang lahir dari penelitian ini adalah “perlawanan tersamar” sebagai sebuah adaptasi terhadap perkembangan tipe musuh. Ketika politik dan negara tidak bisa dipisahkan, maka akan terjadi adu kekuatan antara berbagai pihak. Langkah memilih bentuk organisasi yang tersistematisasi dengan demikian menjadi pilihan tepat mengacu pada karakter lawan. Perlawanan tersamar merupakan model gabungan antara mempertahankan kemapanan sosial dan upaya melakukan dekonstruksi sosial. Perlawanan tersamar mengindikasikan pilihan strategi perlawanan yang disamarkan oleh organisasi untuk mencapai agenda organisasi. Namun demikian perlawanan tersamar tidak merujuk pada tersamarnya agenda organisasi, dengan kata lain perlawanan tersamar tidak sejajar dengan agenda tersembunyi. Pengorganisasian yang diterapkan oleh organisasi petani berangkat dari prinsip -prinsip perlawanan dalam kerangka gerakan yang dibungkus dengan pendekatan production-center oriented. Melawan dilakukan di bawah payung slogan-slogan pembangunan pemerintah sambil mendefinisikan kembali slogan tersebut kedalam pengertian paradigma yang lebih berorientasi pada people-center oriented. Model pembentukan organisasi yang menggunakan jargon-jargon
pembangunan
sekilas
mencerminkan tipe organisasi yang
memenuhi kepentingan pemerintah. Namun bagi organisasi, model perlawanan demikian merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan konteks politik negara. People-center oriented yang sedang diperjuangkan merupakan kritik atas pembangunan yang lebih berorientasi pada production-center development. Pengorganisasian yang diterapkan oleh organisasi petani berangkat dari prinsip prinsip perlawanan dalam kerangka gerakan yang dibungkus dengan pendekatan production-center oriented. Melawan dilakukan di bawah payung slogan -slogan pembangunan pemerintah sambil mendefinisikan kembali slogan tersebut kedalam pengertian paradigma yang lebih berorientasi pada people-center oriented.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Tinjauan lebih baru tentang pemberontakan/perlawanan petani dalam kerangka gerakan sosial menghasilkan pemahaman bahwa gerakan sosial dapat diwujudkan melalui organisasi petani. Pembentukan organisasi petani merupakan pembuktian bahwa konteks permasalahan petani dan iklim politik mengalami perkembangan dibandingkan dengan latar belakang pemberontakan dalam teori klasik. Teori klasik tentang pemberontakan petani tidak dapat menjawab permasalahan kontemporer. Permasalahan masa kini mempunyai banyak dimensi yang meliputi ekonomi, politik dan ideologi pembangunan. Dengan demikian keterkaitan antara tiga ranah yaitu ekonomi, politik, dan ideologi komunitas menjadi berharga sebagai batu pijakan analisis terhadap bentuk perlawanan petani. Kajian teoritis menghasilkan sebuah analisis tentang satu realitas sosial yang ditinjau dalam dua kerangka pendekatan dan menghasilkan satu sudut pandang baru dalam melihat persoalan petani. Gerakan sosial yang dipilih dengan memindahkan jalur perlawanan radikal menuju kooperatif menjadi sebuah alternatif gerakan sosial baru. Konsep perlawanan sehari-hari sebagai senjatanya orang-orang yang kalah yang dikemukakan Scott (2000) dapat muncul dalam bentuk lain. Sebuah perlawanan versi petan i yang bermula dari sebuah pendekatan yang “manipulatif” terhadap orientasi pemerintah untuk menerapkan pola -pola modernis/developmentalis. Permasalahan ekonomi dan politik yang dihadapi petani bersumber dari kebijakan yang diterapkan baik oleh pemerintah maupun aktor global. Berbagai kebijakan yang ada berakibat pada marjinalisasi petani. Kondisi demikian merupakan
implikasi
dikembangkan
dari
pendekatan
production-center
oriented
yang
pemerintah.
Pendekatan
production-center
oriented
yang
dikembangkan hanya merespon masalah secara parsial sehingga revolusi hijau sebagai
manifestasi
dari
keberpihakan
pemerintah
terhadap
paradigma
pembangunan yang bias kepentingan golongan superordinat melahirkan tragedi di tingkat petani. Kebijakan ekonomi dan politik kemudian diarahkan pada upaya mensukseskan program revolusi hijau sehingga tidak ada ruang bagi petani untuk menunjukkan eksistensinya. Sebagai kelanjutan, kemudian dibentuk kelompok di
147
pedesaan yang diupayakan dapat mentransfer ide-ide pemerintah. Organisasi pedesaan dibawa kedalam kepentingan pemerintah yang bermuara pada terciptanya ketergantungan massal golongan petani. Sebagai respon atas pendekatan production-center development di atas, SPPQT kemudian melakukan kritik dengan mengembangkan pendekatan peoplecenter oriented. Pendekatan ini dianggap tepat bagi bentuk organisasi yang berbasis komunitas. Pilihan ideologi yang dibangun oleh SPPQT adalah membangun kemandirian dan kedaulatan petani. Bagi petani, kemandirian dan kedaulatan merupakan pondasi untuk sampai pada merebut akses dan kontrol. Upaya mencapai akses dan kontrol merupakan perjuangan kearah pemberdayaan petani. Merujuk persoalan di atas dalam kaitannya dengan upaa petani memperjuangkan akse dan kontrol, maka dapat dirinci gambaran respon petani diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Tumbuhnya organisasi petani di Salatiga tidak terlepas dari konstelasi politik pada Tahun 1998 yang memberi peluang pengorganisasian di tingkat basis. Pada masa reformasi ini kesadaran petani akan posisinya dalam struktur sosial mulai muncul dan menghasilkan gerakan -gerakan yang berhaluan kerakyatan. Perjuangan akses dan kontrol mulai diwujudkan dalam bentuk organisasi petani. Dapat dikatakan bahwa tumbuhnya organisasi petani yang berbasis produksi di Salatiga merupakan respon atas kondisi ekonomi dan politik yang tidak berpihak terhadap petani. Sejarah panjang kebijakan ekonomi dan politik menunjukkan bukti-bukti empiris bahwa petani termarjinalkan. Dalam situasi keterpurukan dan ketidakpastian, muncul keinginan untuk membangun kekuatan kolektif melalui ikatan yang berbasis pada kesamaan tujuan. Kekuatan kolektif difungsikan untuk menghadang kekuatan luar yang menimbulkan tekanan struktural. Permasalahan struktural sebagai akibat pemerintah
mengintegrasikan
petani
kedalam
masyarakat
kapitalis
menghasilkan respon petani melalui pembentukan organisasi petani. Pengorganisasian dilakukan dengan mengedepankan prinsip pencerdasan dan pemberdayaan petani. Dalam ranah ini, petani “dipaksa” untuk dapat berkiprah aktif dalam upaya merebut akses dan kontrol.
148
2. Permasalahan petani di Salatiga dominan dipengaruhi oleh faktor produksi menyangkut teknis pertanian, ekonomi, kesejahteraan, pemasaran hasil pertanian, dan lain-lain. Dengan demikian, kegiatan yang dikembangkan organisasi harus terkait dengan persoalan konkrit yang dihadapi petani. SPPQT
berupaya
untuk
memfasilitasi
kebutuhan
anggota
dengan
mengarahkan fokus utama pada kegiatan pertanian dan pengembangan petani. Merujuk hal di atas, Strategi yang dikembangkan adalah community development (CD) melalui pendekatan produksi dan kesejahteraan komunitas. 3. Disain perlawanan SPPQT dan organisasi yang ada di bawahnya adalah bentuk
perlawanan
tersamar
melalui
strategi
kemandirian
produksi.
Perlawanan tersamar merupakan proses adaptasi terhadap kemapanan sosial yang sedang berlangsung. Metode yang dipilih sebagai taktik perlawanan diarahkan agar sekaligus dapat menjawab persoalan nyata yang dihadapi petani. Dengan cerdik, petani memanfaatkan pendekatan -pendekatan yang biasa dilakukan pemerintah . Pilihan tersebut mendapat jalan ketika konteks masalah yang dihadapi petani adalah persoalan produksi. Dalam pandangan pembangunan yang lebih baru, persoalan teknis produksi dapat segera diselesaikan dengan jalur CD. Membungkus mainstream baru (people-center oriented) dengan menggunakan paradigma lama (production-center oriented ) melalui strategi pengembangan CD tidak menciptakan resistensi yang kuat dari pemerintah. Perlawanan tersamar sebagai strategi perlawanan petani di Salatiga tidak berangkat dari asumsi agenda tersamar. Sebaliknya, agenda SPPQT bersifat terbuka dan dapat diterima oleh semua pihak. SPPQT menerapkan strategi perlawanan tersamar dalam tujuannya menghindari menguatnya resistensi pemerintah. Perlawanan yang dibangun oleh SPPQT tidak dilakukan dengan menciptakan struktur baru yang paralel dengan sistem yang ada melainkan mencari cara agar gerakan bisa diterima oleh pemerintah. Hal yang diperjuangkan yakni akses dan kontrol sejatinya juga diperjuangkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun SPPQT membungkusnya dengan sesuatu yang dapat diterima bagi rezim yang berkuasa. Dapat dikemukakan di sini bahwa SPPQT mengembangkan perlawanan terhadap kemapanan yang ada dengan upaya
149
mengintegrasikan petani kedalam sistem yang ada tanpa meninggalkan upaya memperjuangkan kedaulatan petani. Perlawanan tersamar dipilih sebagai terminologi untuk memperlihatkan bahwa musuh (pemerintah) sebetulnya mengetahui tindakan petani. Namun musuh tidak bereaksi karena perlawanan dilakukan dengan pola-pola yang biasa dilakukan oleh pemerintah. Strategi CD menjadi berbeda ketika ditangani oleh komunitas. Perbedaan terutama terletak pada hasil akhir dan implikasi yang ditimbulkan. CD gaya lama lebih sebagai upaya mempertahankan kemapanan dan menciptakan ketergantungan petani, sedangkan CD gaya petani merupakan upaya menciptakan kemandirian dan mencapai kedaulatan petani.
Implikasi Kebijakan Pengalaman pengorganisasian yang dikembangkan SPPQT dapat menjadi cermin bagi pola-pola pengorganisasian sejenis. Analisis permasalahan yang dihadapi petani harus menjadi dasar dalam mengembangkan agenda penguatan komunitas. Sebagai sebuah organisasi informal (dalam arti di luar struktur pemerintah) ditemui banyak hambatan yang dialami oleh organisasi petani. Meski demikian, setiap stakeholder dapat menciptakan kondisi bagi tumbuhnya organisasi rakyat sebagai pondasi bagi terciptanya kemandirian lokal. Merujuk
hasil
analisis
penelitian,
tampak
bahwa
kesulitan
menyambungkan kepentingan praktis/pragmatis dan ideologis di tingkat kelompok
petani
perlu
mendapat
porsi
tersendiri
dalam
kerangka
pengorganisasian. Seringkali didapati kesulitan ketika memberi pemahaman bahwa program yang dikembangkan hanya menjadi pintu masuk merespon kebutuhan jangka pendek. Ada kekhawatiran bahwa petani menanggapi program hanya sekedar kegiatan sesaat. Dikhawatirkan kegiatan yang sejatinya merupakan implementasi sebuah gerakan tertentu tidak dimaknai sebagai sebuah gerakan. Solusi atas masalah itu tampaknya perlu dilakukan dengan membagi peran antar aras organisasi. Organisasi pada aras yang lebih tinggi harus membiasakan diri untuk mengemas isu dengan kegiatan yang dapat dengan mudah dilihat ketersambungan gerakan perlawanannya. Dalam hal ini, kelompok tani dapat memfokuskan pada kegiatan praktis, paguyuban melihat dari sisi kebijakan,
150
sedangkan serikat petani yang memiliki cakupan tanggung jawab lebih besar harus dapat memainkan peran -peran membangun kesadaran gerakan. Kegagalan perjuangan petani melawan tekanan struktural perlu ditinjau dari kesinambungan makna organisasi di tingkat lokal dengan tingkat nasional (dalam hal ini biasanya terkait dengan politik). Sejarah telah membuktikan bahwa organisasi petani pertama di Indonesia yaitu BTI telah mendisain kesinambungan antar aras organisasi. Petani di tingkat grass root dengan partai sebagai wadah petani menjadikan organisasi tidak hanya mengurusi hal-hal yang bersifat praksis melainkan juga memiliki saluran politik yang jelas untuk mendukung kegiatan di tingkat praksis. Dengan demikian, organisasi tidak hanya menjadi arena berkumpul melainkan menghasilkan kerja nyata bagi penyelesaian masalah petani. Organisasi juga harus jeli memotret perkembangan yang terjadi. Gambaran karakteristik organisasi bermanfaat untuk meneropong dinamika organisasi petani terutama dalam kepentingannya membantu gerakan pengorganisasian petani. Sebagai bagian dari upaya kemandirian yang sejati, perlu dilihat ideologi yang dianut oleh pimpinan organisasi di tingkat aktivis. Pembedaan harus tegas antara membangun gerakan karena motivasi politik (mencari peluang strategis) ataukah motivasi keberpihakan pada petani (upaya humanisasi terhadap petani. Dua motivasi ini akan berimplikasi pada perkembangan lanjut dari sebuah organisasi. Dari pengalaman pengorganisasian dan gambaran realitas empiris di atas, tentunya penting bagi berbagai pihak baik pemerintah, perguruan tinggi bahkan organisasi itu sendiri untuk memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya organisasi. Bagi perguruan tinggi, perlu difikirkan bagaimana menciptakan program pengembangan komunitas melalui organisasi. Stigma organisasi sebagai organisasi kiri tidak boleh menjadi penghalang bentuk-bentuk bantuan. Organisasi dengan ciri informal ini seringkali “dijauhi” dari berbagai program pemerintah. Disini perlunya perguruan tinggi sebagai penghubung dengan berbagai pihak. Bagi pemerintah, organisasi petani layak ditempatkan sebagai tindakan yang mengurangi “beban” pemerintah. Bahwa kemandirian yang dibangun membantu pemerintah dalam program membangun. Cara pandang demikian akan mengurangi res istensi pemerintah terhadap munculnya organisasi sejenis.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, B. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana. Yogyakarta Bahari, S. 2002. Petani dalam Perspektif Moral Ekonomi dan Politik Ekonomi dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. AKATIGA. Bandung Britt, Charla Danelle. 2003. Collective Action and Resource Management in Upland Watersheds of Southeast Asia: Farmer Organizing and Secondary Organizations. ICRAF Cernea, Michael M. 1988. Mengutamakan Manusia dalam Pembangunan: Variabel-variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan. UI Press. Jakarta Cooke, Bill dan Uma Kothari. 2002. Participation: The New Tyranny. Zed Books. London. New York Denzin, K. Norman dan Yvonna S. Lincoln. 2003. Collecting and Interpreting Qualitative Materials. Sag e Publication. London Dobrowolski, Kazimierz. 1958. Peasant Tradisional Culture dalam Teodor Shanin, Peasant and Peasant Societies (Teodor Shanin, ed; 1971). Penguin Books. Australia Eldridge, Philip. 1989. LSM dan Negara. Prisma No. 7: 1-21 Etzioni, Amitai. 1985. Organisasi-organisasi Modern. UI Press. Jakarta Fakih, Mansour. 2000. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Fauzy, Noer. 2005. Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Insist Press. Yogyakarta Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. INSIST, KPA, PUSTAKA PELAJAR. Yogyakarta Fauzi, Noer. 1998. Dari Aksi Protes Petani Menuju Embrio Organisasi Massa Petani dalam Perlawanan Kaum Tani: Analisis Terhadap Gerakan Petani di Indonesia Sepanjang Orde Baru. Yayasan Sintesa dan Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). Medan Firmansyah, dkk. 1999. Gerakan dan Pertumbuhan Organisasi Petani di Indonesia: Studi Kasus Gerakan Petani Era 1980-an. YAPPIKA dan Bina Desa. Jakarta Firth, R. et al. 1960. Tjiri-tjiri dan Alam Hidup Manusia: Suatu Pengantar Anthropologi Budaja. Sumur Bandung. Bandung Freire, Paulo. 1984. Pendidikan, Pembebasan, Perubahan Sosial. Penerbit PT. Sangkala Pulsar. Jakarta. (Hal. 1-161)
152
Friedmann, J. 1992. Empowerment: the Politics of Alternative Development. Blackwell Publishers. USA Hannigan, A. 1985. Alain Touraine, Manuel Castells and Social Movement Theory: a Critical Appraisal dalam Harper, C. L. 1989. Exploring Sosial Change. New Jersey: Prentice Hall. Hal 125-143 Harper, C. L. 1989. Exploring Sosial Change. New Jersey: Prentice Hall. Hal 125-143 Hayami, Yujiro dan Masao Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Heryanto, Ariel. 2000. Perlawanan dalam Kepatuhan.: Esai-esai Budaya. Mizan. Bandung Hickey, Sam and Giles Mohan. 2005. Relocating Participation Within a Radical Politics of Development. Development and Change. Institute of Social Studies. Blackwell Publishing. Oxford. USA Hoffer, Eric.1988. Gerakan Massa. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Hollnsteiner, Mary Racelis. 1979. Mobilizing the Rural Poor Through Community Organization. Reprinted from Philippine Studies 27 (1979) 387-416. Institute of Philippine Culture Irsyam, Mahrus. 22 Nopember 1999. Memahami Hakikat Nahdlatul Ulama. Kompas: 11 Israel, Arturo. 1992. Pengembangan Kelembagaan: Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia. LP3ES. Jakarta Kartodirdjo, S. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya. Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya. Jakarta Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan. Resist Book. Yogyakarta Korten, David C. 2001. Menuju Abad ke-21: Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Laporan Progress Report. 2004. Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah. Salatiga Lincoln, Yvonna S dan Eegon G. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. Sage Publication. London Migdal, Joel. 1974. Peasants, Politics, and Revolution: Pressure Toward Political and Social Change the Third World. Princeton University Press. London Miles, Matthew B dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualit atif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. UI Press. Jakarta Mortimer, Rex. 1974. Indonesian Communism Under Sukarno. Cornell University. London
153
Pearse, Andrew. 1968. “Metropolis and Peasant: The Expansion of the Urban. Industrial Complex and the Changing Rural Structure dalam Teodor Shanin, Peasant and Peasant Societies (Teodor Shanin, ed; 1971). Penguin Books. Australia Pelzer, J.K. 1991 Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Popkin. Samuel. 1986. Petani Rasional. Yayasan Padamu Negeri. Jakarta Rubin and Rubin. 2001. Community Organizing and Development. A Pearson Education Company. Massachusetts Rumadi. 9 Oktober 2004. Meneguhkan Gerakan Kerakyatan NU. Kompas: 47 Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Soisal: Pemikiran Norman K. Denzin & Egon Guba, dan Penerapannya. Tiara Wacana. Yogyakarta Samandawai, Sofwan. 2001. Mikung: Bertahan dalam Himpitan (Kajian Masyarakat Marjinal di Tasikmalaya. AKATIGA. Bandung Scott, James. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Terj. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Scott, James. 1994. Moral Ekonomi Petani. Terj. LP3ES. Jakarta Scott, James. 2000. Senjatanya Orang-orang yang Kalah: Bentuk -bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Setiawan, Bonnie. 2003. Globalisasi Pertanian: Ancaman atas Kedaulatan Bangsa dan Kesejahteraan Petani. Institute for Global Justice. Jakarta Shanin, Teodor. 1970. A Russian Peasant Household at the Turn of the Century dalam Peasant and Peasant Societies (Teodor Shanin: ed, 1971). Penguin Books. Australia Sitorus, MTF. et.al. 2002. Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. AKATIGA. Bandung Soetomo, Greg. 1997. Kekalahan Manusia Petani: Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian. Pengantar: Dr. Ir. Wiryono. Kanisius. Yogyakarta Suhartono. 1995. Bandit-bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942. Aditya Media. Yogyakarta Suhendar, E. 2002. Land Reform by Leverage: Perjuangan Petani Mewujudkan Kebijakan Agraria yang Berkeadilan dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. AKATIGA. Bandung Sunito, Satyawan and Heru Purwandari. 2005. Farmers Organizations in Indonesia: Their Development and Role in Strengthening Farmer Rights. Progress Report. PKA-IPB. Bogor Suwarsono dan Alvin Y. So. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. LP3ES. Jakarta Sztompka, Piotr. 1994. The Sociology of Social Change. Blackwell Publishers
154
Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada. Jakarta Tauchid, M. 1952. Masalah Tanah: Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia. Penerbit Tjakrawala. Jakarta Tjokroamidjo, Bintoro. 1979. Perencanaan Pembangunan. PT. Gunung Agung. Jakarta Tjondronegoro, S.M.P. 1984. Social Organization and Planned Development in Rural Java. Oxford University Press. Singapore Tjondronegoro, SMP. 1999. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. AKATIGA. Bandung Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook with Cases. Kumarian Press. Cornell University Weede, E. and Horst Tiefenbach. 1981. Three Dependency Explanations of Economic Growth: A Critical Evaluation. European Journal of Political Research Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar Yogyakarta Wolf, Eric R. 1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Rajawali Press. Jakarta Worsley, Peter. 1982. The Three World: Culture and World Development. Weidenfeld and Nicolson. London Yin, Robert K. 1996. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada
LAMPIRAN
Lampiran 1 Matriks Kebutuhan Data
No
1.
2.
3.
Kebutuhan Data di Tiap Aras Organisasi Sejarah Organisasi Petani • LSM yang melatarbelak angi pembentukan SPPQT
Rincian Pertanyaan
Penunjang Menganalisis
-
SPPQT • Bent uk permasalaha n struktural yang dihadapi petani • Kondisi yang menyebabka n munculnya organisasi petani
-
analisis konteks politik dan ideologi aktivis dalam perannya membangun organisasi petani konteks permasalahan sosial dan ekonomi penyebab kemunculan organisasi petani
Paguyuban • Karakter organisasi
-
-
-
-
-
4.
Kelompok tani • Karakter organisasi
-
Peran NGO dalam pembentukan organisasi petani Mengapa dan bagaimana NGO terlibat Dalam bentuk apa keterlibatan tersebut Sejarah SPPQT Bagaimana peran /keterlibatan dimainkan Kehilangan akses atas sumberdaya yang ada Benturan dengan paradigma pertanian yang dominan Krisis moneter Konstelasi politik nasional Penyebab dan kemunculan Strategi dan aktivitas organisasi Jaringan organisasi Respon atas isu khusus Permasalahan petani Penyebab dan kemunculan Strategi dan aktivitas organisasi Jaringan organisasi Respon atas isu khusus
justifikasi perlawanan petani dari kegiatan yang dilakukan
justifikasi perlawanan petani dan orientasi paguyuban
Cara pengambilan data Wawancara, mendalam, penelusuran dokumen sejarah pendirian organisasi Penelusuran literatur, wawancara mendalam, kajian historis,
Wawancara mendalam dengan pengurus dan anggota organisasi, pengamatan berperan serta Wawancara mendalam dengan pengurus dan anggota organisasi, pengamatan berperan serta
Lampiran 2 Panduan Pertanyaan Wawancara Paguyuban I. 1.
2.
3.
4.
Proses Pembentukan & Profil Paguyuban Kapan Paguyuban dibentuk & bagaimana prosesnya: • Waktu pembentukan • Siapa yang mengambil inisiatif • Siapa yang menjadi anggota/bergabung saat pembentukan • Apakah terdapat kondisi sosial, politik dan ekonomi tertentu atau khusus sehingga paguyuban didirikan pada saat itu? Motif pembentukan paguyuban • Bagaimana proses lahirnya paguyuban Tujuan Pembentukan paguyuban • Tujuan paguyuban pada saat pendirian • Proses sampai pada perumusan tujuan tersebut, apakah diformalkan? • Apakah sejak itu terdapat perubahan -perubahan dalam tujuan: o Apa perubahan-perubahan tersebut o kapan, o sebab atau faktor-faktor yang melatarbelakangi, o Apakah perubahan telah merubah organisasi dan keanggotaan Apakah terjadi perubahan profil anggota paguyuban sejak didirikan? • Bagaimana ciri anggota paguyuban pada saat didirikan • Apakah sejak berdiri terdapat perubahan dari keanggotaan paguyuban Hubungan antara paguyuban dengan organisasi anggota • Siapa yang berinisiatif membangun kelompok • Karakteristik kelompok seperti apa yang dapat menjadi anggota paguyuban • Bentuk hubungan paguyuban dengan kelompok (kerjasama, anggota) • Keuntungan yang diperoleh paguyuban maupun kelompok dalam hubungan yang terbina • Adakah potensi konflik yang kira-kira akan muncul dari pola hubungan yang ada
II. Jaringan Kelembagaan 1. Institusi/organisasi/kelompok apa saja yang berafiliasi dengan paguyuban secara formal maupun informal • Alasan (latent maupun manifest) organisasi lain berafiliasi secara formal • Alasan (latent maupun manifest) organisasi lain berafiliasi secara informal • Pola hubungan yang dikembangkan dan alasan mengapa pola tersebut yang dipilih 2. Sejarah pembentukan afiliasi • Siapa yang berinisiatif • Bagaimana prosedurnya 3. Bentuk ‘sumbangan’ paguyuban terhadap organisasi terafiliasi • ‘sumbangan’ berbentuk materiil • ‘sumbangan’ berbentuk moril
158
III. Partisipasi paguyuban dalam Formulasi Kebijakan Sumberdaya Alam Sekaligus Implementasinya 1. Tingkat efektifitas paguyuban dalam mengembangkan isu pengelolaan sumberdaya alam lokal sekaligus isu kesejahteraan lokal • Cara yang dilakukan paguyuban untuk menggulirkan isu-isu tersebut di atas • Cara yang dilakukan paguyuban dalam mempengaruhi kebijakan sumberdaya alam, kebijakan apa yang menjadi fokus paguyuban • Proses, dan aktor yang dilibatkan dalam membuat kebijakan • Peran paguyuban dalam keseluruhan proses • Menurut paguyuban ybs, apakah cara di atas efektif • Apa kelebihan dan kekurangan strategi yang ditempuh • Mampukah strategi tersebut mempengaruhi formulasi kebijakan yang ada, melalui mekanisme apa • Respon kelompok terhadap strategi yang diterapkan paguyuban 2. Evaluasi terhadap partisipasi mempengaruhi pembuatan kebijakan di tingkat government IV. Keuntungan Pembentukan Paguyuban bagi Tujuan Perjuangan 1. Dalam hal peningkatan posisi tawar masyarakat terhadap negara dalam kaitannya dengan hak -hak terhadap tanah dan sumberdaya agraria • Sejauhmana pembentukan organisasi berpengaruh terhadap proses pembelajaran masyarakat dalam hal memperjuangkan hak-haknya. • Apakah keberadaan paguyuban mendapat pengakuan dari pemerintah
Lampiran 3 Kuesioner Terbuka Kuesioner No: ________________ A 1.
DATA DIRI Nama dan alamat organisasi:
2.
Waktu didirikan: Tgl.
3.
Legal status:
Kode
Bln.
Tahun
formal terdaftar di pemerintah o Informal o
Keterangan lain: 4.
Bentuk organisasi: 1. jaringan o 2. asosiasi o 3. federasi o 4. lainnya, sebutkan :
5.
Jumlah anggota : o Organisasi : ....................... o Dusun : ....................... o Desa : ...................... Jumlah anggota: o Perorangan : .................... o Rumah Tangga : ...................
6.
7.
Bagaimana ciri anggota paguyuban (dapat lebih dari satu) o Organisasi/Pok tani dalam konflik o Organisasi/Pok tani kegiatan produksi/ekonomi o Organisasi/Pok tani perempuan o Lain -lain Keterangan:.............
8.
Bangun Organisasi (Perhatikan struktur horisontal organisasi: apakah tersusun dalam bagian2, devisi & struktur vertikal : hirarki organisasi, pusat, cabang, ranting)
B 9.
PROSES PEMBENTUKAN Mengapa organisasi ini didirikan, apa latar belakangnya
10.
Apakah ada peran pendampping dalam proses pembentukan
11.
Siapa pendamping tersebut
12.
Kendala yang dihadapi dalam proses pemben tukan
160
C 13.
TUJUAN ORGANISASI Apa tujuan pada awal pembentukan organisasi ini?
14.
Apakah ada perubahan tujuan semenjak organisasi dibentuk & sebab perubahan: o tidak ada perubahan o ada perubahan* *) Bila ada perubahan maka ke no.11, 12
15.
Kapan perubahan tersebut terjadi:
16.
Apa perubahan tujuan tersebut:
17.
Mengapa terjadi perubahan tu juan:
D 18.
KEGIATAN ORGANISASI Apa sajakah kegiatan organisasi saat ini: o Teknologi produksi o Permodalan / simpan-p injam o Pemasaran produk o Pendidikan & pelatihan
o o o o o o
kesehatan masyarakat Pendidikan hukum & politik Advokasi pepentingan petani Mempengaruhi kebijakan NRM Aksi massa untk hak petani Lain-lain
Keterangan:
19.
Apakah terjadi perubahan kegiatan, terangkan
20.
Mengapa terjadi perubahan kegiatan
21.
Apakah ada bentuk kegiatan yang memperbesar partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberd aya alam
22.
Apakah ada bentuk kegiatan dalam rangka memperkuat hak masyarakat terhadap tanah dan sumberdaya alam
E 23.
STRATEGI ORGANISASI Strategi apa saja yang dikembangkan organisasi untuk mencapai tujuan
24.
Perubahan strategi yang terkait dengan p erkembangan organisasi
25.
Kapan terjadi perubahan strategi tersebut
26.
Mengapa terjadi perubahan strategi tersebut
161
F 27.
HUBUNGAN PAGUYUBAN DENGAN KELOMPOK TANI Peran paguyuban bagi organisasi anggota: (Bisa lebih dari satu kotak) o Manajemen o Dana o Teknologi & informasi o Pendidikan hukum o Lain-lain
o Jejaring o Legitimasi politik o Pendampingan hukum o Advokasi kepentingan petani o Organisator & Koordinator
Keterangan:
28.
Apa kewajiban organisasi anggota bila bergabung didalam paguyuban
29.
Apakah kelompok tani mempunyai mekanisme formal untuk menyalurkan aspirasinya
30.
Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan di paguyuban
G 31.
KERJASAMA & NET-WORKING Apakah organisasi mengembangkan jaringan dengan pihak lain? Ya
32.
Bagaimana bentuk hubungan dengan pihak -p ihak tersebut
33.
Apa pengaruh jaringan terhadap organisasi ini
34.
Apa pengaruh jaringan terhadap kegiatan
H 35.
DAMPAK KEGIATAN Apakah ada contoh-contoh nyata dari hasil kegiatan?
36.
Permasalahan yang dihadapi didalam organisasi sendiri?
37.
Permasalahan yang dihadapi dari luar?
Tidak
Lampiran 4 Peta Lokasi SPPQT di Salatiga, Jawa Tengah
Peta Lokasi SPPQT di Salatiga, Jawa Tengah
Lampiran 5 Peta Persebaran Anggota Organisasi Petani
Keterangan : Anggota SPPQT tersebar di daerah yang diarsir transparan
Peta Persebaran Anggota Organisasi Petani
Lampiran 6 Kerangka Kerja SPPQT Sampai Tahun 2004 KERANGKA KERJA SERIKAT PAGUYUBAN PETANI QARYAH THAYYIBAH Visi:
Terwujudnya masyarakat tani yang kuat yang mampu mengakses dan mengontrol seluruh sumber dayanya dengan mendasarkan diri pada keadilan, kelestarian lingkungan dan kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan. GOAL
MISI (STRATEGIC GOAL): 1. Meningkatnya soliditas organisasi untuk mendukung gerakan pemberdayaan petani.
2. Berkembangnya ekonomi komunitas petani dengan mengembangkan pertanian organik sesuai dengan potensi kawasan.
3. Meningkatnya kesadaran politik dan kemampuan petani untuk mengakses sumber daya yang tersedia. 4. Tersedianya sistem informasi dan komunikasi berbasis komunitas untuk
INDIKATOR Pada akhir tahun 2004: a. Telah tersedia 60 pemimpin paguyuban dan 70 community organizer dengan ciri-ciri, sbb.: 1. Selalu melindungi kepentingan petani. 2. Mampu mengkonsolidasikan anggotanya. 3. Memperjuangkan kepentingan petani/anggotanya. 4. Konsisten dalam melindungi, memperjuangkan dan mengkonsolidasikan petani. 5. Tidak bisa disogok. b. Buruh migran dari keluarga petani anggota paguyuban telah mulai tertangani secara baik. Pada akhir tahun 2004: a. 6 learning center telah berjalan dengan baik sebagai tempat belajar bagi paguyuban lain, khususnya dalam implementasi konsep IOF dan pengelolaan gardu tani paguyuban, dan telah berkembang pada 12 paguyuban diluar 6 learning center b. KSP: Qaryah Thayyibah dan gardu tani paguyuban telah berfungsi untuk mendukung gerakan ekonomi petani melalui pengembangan pertanian organik. c. Konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) model petani telah terumuskan dan konsep konservasi di 3 kawasan sudah mulai ada kejelasan. Pada akhir tahun 2004: a. Paguyuban-paguyuban telah mendesakkan dan bisa mengakses APBD. b. Ada 6 Paguyuban yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan P eraturan Desa (Perdes) dan Anggaran Pembangunan Desa (APD) di desa sekitar paguyuban masing-masing. c. Meningkatnya kesadaran politik masyarakat petani anggota serikat dalam berpartisipasi pada Pemilu 2004 Pada akhir tahun 2004: a. Sistem informasi dan komunikasi di 6 learning center telah tertata secara baik.
165 menunjang gerakan pemberdayaan petani. 5. Meningkatnya kapasitas dan performance Sekretariat SPPQT sebagai pusat gerakan pemberdayaan petani. 6. Berfungsinya SPPQT sebagai organisasi pergerakan petani. OUTPUT (OPERATIONAL GOAL): Meningkatkan kemampuan pengorganisasian masyarakat dan kepemimpinan petani. Memperkuat institusi paguyuban sebagai organisasi gerakan petani.
b. Telah tersedia hardware yang memadahi untuk mendukung sitem informasi, dokumentasi dan komunikasi. Pada akhir tahun 2004: a. Peningkatan kapasitas staf telah dilakukan secara memadai. b. Sarana dan prasaran yang memadai telah tersedia di sekretariat. c. Tresedia paling tidak 16 staff di sekretariat. d. Standart Operational and Procedure di Sekretariat telah berjalan secara baik. Pada akhir tahun 2004: a. Instrumen utama dan pendukung organisasi telah tersedia secara memada i. b. Sistem monitoring dan evaluasi telah terumuskan dengan baik. c. Suksesi organisasi berjalan secara demokratis.
a. b. a. b.
c. Memperkuat akses keluarga petani untuk memperoleh pekerjaan di luar negeri secara mudah dan aman. Pengembangan Integrated Organic Farming (IOF).
a. b. a. b. c. d.
INDIKATOR Akhir Tahun 2004 Telah terlatih pemimpin petani dari 60 Paguyuban, terdiri dari 30 Pimpinan Dewan Pleno dan 30 Pimpinan Dewan Pelaksana/Pengelola Paguyuban. Telah terlatih 70 orang CO Utama, 70 CO Pemula Paguyuban dan 30 CO petani perempuan dari 30 Paguyuban. Telah terbentuk Paguyuban baru di Kawasan Merbabu (3), Kawasan Merapi (2), Kawasan Kedung Ombo (1) dan Kawasan Rawapening (1). Telah tertata Paguyuban baru di Kawasan Merbabu (2), Kawasan Sumbing (1), Kawasan Gunung Payung (1), Kawasan Gedong Songo (1), Kawasan Kendali Sodo (1), Kawasan Ungaran (1), Kawasan Rawapening (1), Kota Salatiga (2), Kawasan Gunung Cicak (2), Jogosatru (1), Kawasan Kedung Ombo (2). 6 Paguyuban telah melaksanakan Pekan Pemilihan Umum (P emilu) Paguyuban; PP Gedong Songo, PP Rawapening Bersatu, PP Al Falah, PP Otek Makmur, PP Sumbing Inti, dan PP Saka Walu. 500 Buruh Migran telah terbekali sebelum berangkat dan setidaknya 300 Keluarga Buruh Migran anggota Paguyuban telah terdampingi dalam pengelolaan Remittance. Lembaga informasi ketenagakerjaan dan lembaga pengelolaan remittance keluarga buruh migran telah berjalan dengan baik. Konsep IOF telah dikembangkan pada 18 paguyuban diluar 6 learning center. Gerakan penanaman padi organik telah berkembang pada 6 paguyuban diluar 3 paguyuban pengelola demplot. Gerakan pembibitan kentang secara organik telah berkembang ke 2 paguyuban diluar PP Merbabu. Pengembangan Tanaman Obat Keluarga (Toga) telah berkembang pada 6 paguyuban diluar 3 paguyuban pengelola demplot.
166 Penataan kawasan untuk mendukung gerakan pertanian organik. Memperkuat KSP: Qaryah Thayyibah untuk mendukung pengembangan Gardu Tani Paguyuban.
a. Konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) model petani telah didesakkan pada penguasa. b. Konsep Konservasi Kawasan Merbabu telah diimplementasikan dan 2 Kawasan lainnya (Rawapening dan Kedung Ombo) telah terumuskan dan terimplementasikan. a. KSP: Qaryah Thayyibah telah bisa memenuhi kebutuhan permodalannya. b. 22 Gardu Tani telah terlegalisasi dan 7 diantaranya (PP Gedong Songo, Karyo Raharjo, Al Falah, Al Barokah, Otek Makmur, Joko Tin gkir dan Merbabu) telah tertata managemennya dan 5 Gardu Tani Paguyuban telah berdiri lagi di PP Saka Walu, Sido Dadi, Raga Runting, Merapi, Kartini). c. Jaringan kerja sama usaha antar gardu tani paguyuban sudah mulai berjalan dan konsep pengembangan usaha untuk kemandirian organisasi SPPQT telah jelas dan telah terimplementasikan dengan baik.
Meningkatkan politik petani.
a. Terselenggaranya training (husus) penyadaran Pemilih (Pemilu 2004) bagi seluruh pemilih anggota SPPQT b. Berbagai issue aktual telah direspon oleh Paguyuban dan Sekretariat SPPQT sesuai dengan tingkatannya masing-masing.
kesadaran
Meningkatkan kemampuan petani dalam mengakses sumber daya.
Sistem informasi, dokumentasi dan komunikasi yang mudah diakses oleh petani.
a. 18 Paguyuban di 6 Kawasan telah berhasil memberikan kontribusi pembuatan Peraturan Desa (Perdes) dan Anggaran Pembangunan Desa (APD) di desa tempat kedudukan masing-masing; Kawasan Merbabu (PP Merbabu dan Saka Walu), Kawasan Rawapening (PP Rawapening Bersatu), Kawasan Gedong Songo (PP Gedong Songo) dan Kawasan Kedung Ombo (PP Otek Makmur). b. Paguyuban-Paguyuban di wilayah Kota Salatiga, Kabupaten Semarang dan Boyolali, dan Magelang telah bersama-sama mendesakkan peningkatan anggaran pertanian tahun 2004 ke Pemda masing-masing. c. Beberapa Paguyuban di wilayah Kota Salatiga, Kabupaten Semarang dan Boyolali dan Magelang telah memperoleh alokasi anggaran pertanian tahun 2003 dari pemda masing-masing. d. Telah terimplementasikannya kerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka penanganan dan pengelolaan Merbabu, Rawa Pening dan Kedung Ombo. a. Konsep jaringan informasi telah terselenggara dengan baik. b. Sumber daya manusia untuk penanganan jaringan informasi, dokumentasi dan komunikasi telah dipersiapkan secara baik, melalui workshop, training dan pelatihan. c. Participatory Rural Appraisal (PRA) telah tera plikasikan pada 18 pa guyuban diluar 6 learning center. d. 5 Jaringan komunikasi radio telah terpasang di beberapa paguyuban sesuai dengan hasil appraisal. e. Majalah Kalawarta telah diterbitkan secara rutin. f. Perpustakaan SPPQT telah dibangun dan dioperasikan dengan baik
167 Peningkatan kapasitas dalam managemen pengelolaan program.
Meningkatkan performance Sekretariat sebagai pusat gerakan pemberdayaan petani.
Memperkokoh organisasi SPP-QT sebagai organisasi gerakan kaum tani.
a. Training Managemen Pengelolaan Program dan workshop outcome mapping telah dilaksanakan dengan diikuti oleh seluruh staff dan Dewan Pengurus Serikat. b. Konsultansi penguatan kelembagaan, pengembangan IOF dan konservasi kawasan, serta pengembangan ekonomi kerakyatan (petani) secara periodik dilakukan dengan pendampingan para konsultan yang sesuai dengan bidangnya masing-masing. c. Kursus bahasa Inggris dan Akuntansi. d. sistem monitoring dan evaluasi telah diterapkan dengan baik. a. Pelayanan Study Wisata Tani dan bentuk pelayanan lainnya dijalankan dengan baik. b. Telah mempunyai sebidang tanah untuk kantor sekretariat sendiri c. SOP Kesekretariatan telah direvisi sesuai dengan keadaan dan telah dijalankan secara baik. d. Audit keuangan dilakukan tepat waktu. e. Monitoring pelaksanaan program dijalankan secara periodik oleh Dewan Pengurus Serikat. f. Evaluasi dan penyusunan program tahun berikutnya dilakukan secara terbuka dengan melibatkan seluruh paguyuban, semua stakeholders dan strategic partners. g. Pelaporan dilakukan tepat waktu. a. Atribut organisasi telah dilengkapi: Mars, hymne, bendera, KTA, Papan Nama, dll. b. Instrumen Akreditasi Anggota Serikat telah dijalankan dengan baik c. Perayaan Ulang Tahun Serikat IV berlangsung meriah.
Sumber: Laporan Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah
168
Lampiran 7 Kegiatan SPPQT per Divisi dan Capaian Target Tahun 2004 Program Kegiatan No. DIVISI PENGORGANISASIAN A Program Training dan Pengorganisasian Workshop Komunitas Petani
Asistensi dan Fasilitasi
B
Program Penguatan Perempuan
Training, Diskusi Kelompok, Diskusi Publik, Talk Show dan Riset
Asistensi dan Fasilitasi
Penjabaran
Capaian
Kegiatan ini difokuskan pada peningkatan kesadaran, pemahaman dan ketrampilan pada aspek pengorganisasian masyarakat, kepemimpinan, managemen organisasi, perbaikan buku panduan pengorganisasian masyarakat dan perumusan manual pembentukan bakortani kawasan Asistensi Pembentukan dan Penguatan Organisasi Paguyuban
Output: training dan workshop melebihi dari yang direncanakan Hasil: 1) secara kualitas terjadi peningkatan kesadaran, kemampuan dan ketrampilan alumni peserta didik yang diindikasikan dari berkembangnya praktek-praktek pengorganisasian masyarakat. 2) peningkatan keterlibatan petani perempuan dalam ruang-ruang organisasi.
Sampai tahun 2004, terdapat peningkatan hasil yang cukup signifikan, diindikasikan dengan peningkatan jumlah anggota dari 36 paguyuban menjadi 38 paguyuban
Asistensi dan Fasilitasi Pemilu Paguyuban Asistensi dan Pembentukan Bakortani Kawasan Peringatan Migran Day (Hari Buruh Migran)
Dilakukan pemilu di 2 paguyuban yaitu Paguyuban Rawa Pening dan Sumbing Inti Dibentuk Bakor Tani Kawasan Merbabu.
Riset Kerjasama dengan SP, Jakarta
Dihasilkan pemahaman dan juga perilaku untuk lebih “berhati-hati”/mencegah terhadap virus HIV/Aids. Telah terbentuk 8 kelompok perempuan.
Pengorganisasian Petani Perempuan
Berhasil mengundang 150 keluarga buruh migran dengan bahasan “Mendorong Pengelolaan Remittance untuk Mengembangkan Usaha Produktif bagi Keluarga Buruh Migran”.
171
DIVISI PEMBERDAYAAN A Program konservasi Training dan kawasan Worshop
Asistensi dan Fasilitasi
Konsultansi
B
Program Pengembangan Pertanian Organik Terpadu (Iof)
Training dan Workshop
Asistensi Paguyuban dalam Penyelenggaraan Diskusi Kampung Pertemuan Kader Perempuan
Fokus pada penguatan paguyuban dalam penyelenggaraan diskusi kampung pendidikan politik untuk perempuan. Berhasil ditumbuhkan kader perempuan sebanyak 45 orang yang tersebar d masing-masing paguyuban
Kegiatan ini difokuskan pada perumusan instrumen riset aksi kerusakan ekologi kawasan dan pendidikan action research - Focus Group Discusion Pengumpulan Data Ekologi Kawasan - Asistensi Pendalaman SPHoOR (Sistem Pengelolaan Hutan oleh Organisasi Rakyat) - Asistensi Pengembangan Tanaman Obat Keluarga - Melakukan loby untuk persoalan penetapan kawasan TNMM
Focus Discusion Group ( FGD) Konservasi di paguyuban Merbabu, anggota SPPQT.
-
-
-
Workshop Revisi Manual Praktis Pengembangan Pertanian Organik Pelatihan Uji Tanah Training Pembibitan Tanaman Sayuran dan Tanaman Pangan Training Pembuatan Pupuk Organik Training Pembuatan Pestisida Alami Training Budidaya Ternak (kambing) Training Budidaya Ikan
-
FGD di 8 kawasan dan menghasilkan data dasar ekologi Sosialisasi di 3 kawasan yang paling rusak
-
Penguatan pengorganisasian di kawasan Merapi dan Merbabu yang terkena penetapan taman nasional tersebut Mencoba kegiatan baru seperti perikanan dan ternak Fasilitasi modal untuk pengembangan usaha ternak dan ikan
-
172
Asistensi dan Fasilitasi
C
Program Pengembangan Ekonomi Komunitas Petani
Training dan Workshop
Asistensi/Fasilit asi
-
Fasilitasi Pengembangan Pertanian Organik - Asistensi dan Fasilitasi Pengendalian Hama Terpadu - Fasilitasi Magang Pengembangan Pertanian Organik Upaya yang harus terus menerus dilakukan untuk membangun penguatan koperasi adalah peningkatan kapasitas pengelola koperasi utamanya pada tingkat pelaksananya - Pendirian, RAT (Rapat Anggota Tahunan) dan Pengurusan Badan Hukum - Asistensi Penataan Administrasi dan Rencana Usaha Gardu Tani - Fasilitasi magang antar Gardu Tani. - Asitensi Pengelolaan Jaringan Kerja Gardu Tani - Asistensi Gardu Tani untuk Mengakses Sumber Daya dari Pihak Lain -
Telah dikembangkan pertanian organik secara swadaa di beberapa paguyuban Telah dihasilkan 6 orang kader yang handal, yang kemudian memfasilitasi pengembangan pertanian organik di kawasannya masing-masing Terjadi peningkatan jumlah Gardu Tani Paguyuban (GTP)
Munculnya GTP baru tersebut diharapkan bisa membuka akses petani terhadap sumber dana yang selama ini tertutup Menghasilkan beberapa perbaikan diantaranya adalah (1) kepengurusan menjadi lebih aktif, (2) terbangun kerjasama antar gardu tani, dan (3) secara umum terjadi peningkatan jumlah simpanan angota di semua gardu tani Selain peningkatan pada aspek manajemen administrasi juga berhasil dilakukan kerjasama langsung dalam pemasaran beras organik. Sampai dengan akhir tahun 2004 berhasil dihimpun pemasaran beras organik ke Jakarta dan pasar lokal
A
DIVISI ADVOKASI Program Advokasi Training, Kebijakan Pertanian Workshop dan Studi
Training Advokasi Komunitas Petani
Training diikuti 40 orang petani (30 laki -laki dan 10 perempuan). Materi-materi yang disampaikan dalam training ini diantaranya adalah: (1) analisis aktor (stakeholder), (2) resolusi konflik dan (3) tehnik-tehnik advokasi. Training ini menjadi penting untuk membekali pengurus dan kader paguyuban dalam melakukan advokasi di tingkat komunitas.
173
Workshop mendesakkan (Pengelolaan Hutan Masyarakat)
PHBM Bersama
Studi tentang APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Dearah) Asistensi dan Fasilitasi
Asistensi dan Fasilitasi Paguyuban Mendesakkan Usulan dan Mengakses APBD Asistensi Paguyuban dalam Pengurusan Sertifikat Tanah Asistensi Paguyuban Mendesakkan Konsep PHBM
B
Program Pendidikan Politik Petani
Training
Asistensi dan Fasilitasi
dalam
Kegiatan training difokuskan pada 3 tema penting yaitu: (1) Pendidikan pemilih untuk petani, (2) Pemerintahan Desa dan (3) Pengelolaan SLTP alternatif. Paguyuban dalam Pendidikan Pemilih
Paguyuban dalam Uji Publik Calon Legislatif
Muncul kesepakatan untuk dapat mengakses program PHBM. Meskipun dari kajian yang dilakukan, program tersebut tidak menguntungkan petani, tapi paling tidak untuk sementara petani dapat memanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya yaitu pangan. Hasil: struktur anggaran terjadi ketidakadilan, yang diindikasikan dari minimnya pos anggaran untuk sektor pertanian. Meskipun persentasi kenaikan belum memuaskan, setidaknya mulai ada sensitifitas penyusun anggaran untuk mulai memperhatikan sektor pertanian. Dengan program ini diharapkan petani dapat menggunakan sertifikat tanahnya secara bertanggungjawab untuk kebutuhan akses permodalan ke perbankan. Dari asistensi ini ada 2 paguyuban yang berhasil mengakses program PHBM yaitu Paguyuban Candi Laras Merbabu, di Kawasaan Merbabu dan Paguyuban Otek Makmur di Kawasan Penyangga Kedung Ombo. Ada peningkatan jumlah partisipan termasuk keterlibatan perempuan, muncul kader-kader advokasi pasca training yang secara khusus dipersiapkan untuk melakukan pendidikan pemilih di tingkat paguyuban. Pendidikan ini dilakukan di 8 titik kawasan dengan peserta baik laki-laki maupun perempuan, dengan melibatkan kader advokasi lokal. Kegiatan ini difokuskan pada asistensi terhadap paguyuban dalam melakukan Uji Publik terhadap calon legislatif utamanya di Tingkat Kabupaten/Kota. Kegiatan uji publik ini dilakukan di tingkat paguyuban dengan basis konsolidasi wilayah administrasi kabupaten/kota
174
A
Paguyuban dalam Penyusunan Perdes Sampai dengan akhir tahun 2004 Perdes sudah dapat (Peraturan Desa) diselesaikan Paguyuban dalam Mendirikan dan Berhasil dirintis 4 sekolah alternatif Qaryah Thayyibah di 4 Mengelola SLTP Alternatif paguyuban. DIVISI INFODOTCOM (INFORMASI, DOKUMENTASI DAN KOMUNIKASI) Program Training dan Kegiatan ini difokuskan pada 3 hal Realisasi anggota yang hadir melebihi target yang Pengembangan Data Workshop yaitu: (1) Revisi pengumpulan data base ditetapkan Base komunitas, (2) Managemen perpustakaan komunitas dan (3) Training Fasilitator PRA (Participatory Rural Apraisal) Asistensi Fasilitasi
dan Implementasi PRA di Paguyuban
Pendirian Perpustakaan Paguyuba n Pengelolaan Data Base di Paguyuban.
B
Program Pengembangan Media Komunitas Petani
Training
Asistensi
Training difokuskan pada: (1) Dasardasar jurnalistik, (2) Pengelolaan jaringan komunikasi melalui Handy Talky (HT) dan (3) Ketrampilan pendokumentasian utamanya dengan foto dan Handycam. dan Capacity Building Kader Media
Asistensi difokuskan pada penggalian data sosial, ekonomi dan ekologis di 3 kawasan utama yaitu Merbabu, Merapi dan Penyangga Kedung Ombo. Tersedia perpustakaan di 3 paguyuban. Koleksi buku diprioritaskan pada buku-buku pengembangan pertanian - Asistensi difokuskan pada pengelolaan data base di paguyuban meliputi: data keanggotaan, notulensi kegiatan dan laporan tahunan paguyuban. - Salah satu hasil penting dari kerja-kerja ini adalah secara umum paguyuban sudah mulai sadar dan mengembangkan data sebagai basis pendukung dari kerja-kerja pengorganisasian dan pemberdayaan. Realisasi anggota yang hadir melebihi target yang ditetapkan. Terutama pada kegiatan training Penggunaan Alat-alat pendokumentasian
Kegiatan ini dilakukan secara periodik 3 bulan sekali selama
175
Fasilitasi
Pengembangan Radio Komunitas.
Pembuatan Paguyuban
Penerbitan
Profile
dan
Atribute
Penerbitan Bulletin “Rembug”
Penerbitan buku tahunan dan profile Qaryah Thayyibah
A
DIVISI KELEMBAGAAN Program Sekretariat Peningkatan Kapasitas Pegiat Organisasi
Kegiatan ini difokuskan pada : (1) Pengelolaan program, (2) Penilaian hasil dengan outcome mapping, (3) Revisi SOP Kesekretariatan dan (4) Workshop Strategic Planning dan Programming 2005 - 2007
1 tahun, yang diikuti oleh 10 orang kader media. Pertemuan Capacity Building difokuskan untuk mendalami materi dasar-dasar jurnalistik dan persiapan penerbitan buletin rembug. Pengembangan radio komunitas di Paguyuban Joko Tingkir. Sampai dengan sekarang radio komunitas tersebut masih berjalan dengan fungsi utama untuk pendidikan dan penyadaran petani serta media komunikasi antar petani. Kegiatan ini diperuntukkan bagi paguyuban dalam membuat profile dan atribute lain seperti (lambang/logo, bendera) di paguyuban. Secara menyeluruh semua paguyuban anggota Qaryah Thayyibah sudah mempunyai profile paguyuban. Kegiatan ini dapat terlaksana sesuai dengan yang direncanakan, yaitu selama 1 tahun telah diterbitkan 4 kali penerbitan masing-masing sebanyak 1500 eksemplar. Muatan utama dari penerbitan bulletin adalah pendidikan petani yang meliputi, gerakan konservasi oleh organisasi rakyat, pemerintahan desa, pengembangan sekolah alternatif dan ke-Qaryah Thayyibah-an. Pada tahun 2004 telah diterbitkan buku tahunan Qaryah Thayyibah sebanyak 500 eksemplar dan profile Qaryah Thayyibah tahun 2004 sebanyak 1000 eksemplar. Peruntukan dari penerbitan ini utamanya didistribusikan kepada anggota. -
-
Meningkatnya kemampuan pegiat organisasi kesekretariatan dan lapangan dalam menilai perkembangan kerja-kerja gerakan pemberdayaan kaum tani Dari kegiatan ini dihasilkan master plan Qaryah Tahyyibah 2005 – 2007, Program Kerja tahun 2005, dan SOP kesekreatriatan dan sudah diterapkan
176
B
Program Organisasi Perserikatan
Peningkatan Performance Sekretariat Sebagai Pusat Gerakan Pemberdayaan Petani
Pada tahun 2004 telah dilakukan upayaupaya mendasar untuk meningkatkan performance kesekretariatan. Tuntutan ini harus terus menerus diupayakan karena sekretariat sebagai pusat gerakan pemberdayaan petani memegang peranan penting sebagai support sistem gerakan.
Workshop Instrumen Akreditasi dan Monitoring dan Evaluasi Pengembangan Jaringan Organisasi dan Respons Isu Aktual
Workshop ini adalah kelanjutan dari training Outcome Maping II. Workshop diikuti oleh Pimpinan dan anggota Dewan Pimpinan Petani (DPP) dan Ketua Pelaksana. Pengembangan jaringan organisasi dan respons isu aktual difokuskan untuk memperkuat advokasi penunjukkan kawasan merbabu dan merapi sebagai taman nasional. Lobby dan Audiensi
Studi Banding
Respon Isu Aktual
-
Dihasilkan pemahaman bersama tentang pengelolaan uang organisasi antara staf program dengan keuangan
-
Dihasilkan instrumen akreditasi dan instrumen monitoring dan evaluasi. Instrumen monitoring dan evaluasi pada tahun 2004 ini sudah diterapkan, sedangkan instrumen akreditasi akan diterapkan pada awal tahun 2007 menjelang RUAS (Rapat Umum Anggota Serikat) III Qaryah Thayyibah. Sebagian konsentrasi kerja organisasi dan program difokuskan pada upaya penolakan Taman Nasional Merbabu dan Merapi.
Serangkaian lobby dan audiensi sudah dilaksanakan dalam rangka mendialogkan penolakan penunjukan kawasan Merbabu dan Merapi sebagai taman nasional. Lobby dan Audensi dilakukan kepada Komisi II DPRD Propinsi Jateng dan Dinas Kehutanan Propinsi Jateng. Studi banding difokuskan pada pendal aman kasus-kasus Taman Nasional dengan mendatangi kawan-kawan petani korban Taman Nasional Dongi-Dongi di Sulawesi Selatan. Dari kegiatan ini diperoleh pembelajaran dari kasus taman nasional di Dongi -Dongi, yang dapat memperkuat keyakinan kawan-kawan petani di Merbabu dan Merapi. Secara umum sampai dengan saat ini dihasilkan perkembangan positif yaitu terbentuk forum masyarakat
177
Kampanye
Salah satu rangkaian dari pendidikan pemilih untuk petani, setelah dilakukan pendidikan pemilih untuk petani, dialog publik dengan calon legislatif juga telah dilaksanakan seminar, aksi massa dan pembuatan poster.
Pertemuan Anggota
Rapat Rutin Dewan Pimpinan Petani Penggadaan/ Penggandaan Atribut Organisasi Monitoring dan Evaluasi
Rapat diselenggarakan secara rutin 4 bulan sekali, difokuskan pada pembahasan perkembangan organisasi dan program.
Merbabu dan Merapi sebagai wadah penyerapan aspirasi masyarat. Melalui forum inilah medan perlawanan masyarakat yang dimotori oleh Qaryah Thayyibah dilakukan. Dengan kegiatan ini telah meningkatkan kesadaran politik petani, dimana selama ini secara mayoritas petani masih takut bicara politik.
Memperkuat kebersamaan dan keberanian anggota Qaryah Thayyibah dalam memperjuangkan kepentingankepentingannya. Selain itu secara kongkrit juga ditemukan keberhasilan dan utamanya kelemahan-kelemahan organisasi selama ini. Dihadiri oleh pimpinan dan anggota DPP
Telah dihasilkan: (1) Hak Paten Hymne dan Mars Qaryah Thayibah sudah diselesaikan, (2) Penggandaan AD/ART sejumlah 1000 eksemplar, dan sudah didistribusikan kepada anggota, (3) Cetak Kartu Anggota Serikat sebanyak 1000 kartu dan (4) Pengadaan bendera organisasi sejumlah 100. Monitoring dan evaluasi dilakukan satu bulan sekali oleh Dewan Pimpinan Petani (DPP). Hasil monitoring bulanan ini kemudian dibawa dalam rapat DPP bersama dengan Ketua Pelaksana 4 bulan sekali. Evaluasi telah dilaksanakan pada akhir tahun 2004 dengan melibatkan DPP, Pengurus Paguyuban dan Pelaksana Serikat
Sumber: Laporan Kegiatan Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah, Tahun 2004
Lampiran 9 Pengalaman dalam Proses Pengumpulan Data di Lapangan Penelitian ini merupakan rangkaian dari kegiatan penelitian yang dilakukan Pusat Kajan Agraria (PKA-IPB) bekerjasama dengan ICRAF. Penelitian ini dimulai sejak Tahun 2002 dengan judul “Negotiating Land Rights and Natural Resource Regulations for Local People:The Role & Effectiveness of Federations”. Analisis data empiris menghasilkan dua tipologi organisasi yakni organisasi produksi dan organisasi konflik. Masing-masing tumbuh dilatarbelakangi oleh hal yang berbeda yakni persoalan produksi da persoalan konflik agraria. Jadwal penelitian PKA ”memaksa” penulis melakukan penelitian lapang mendahului jadwal penelitian yang ditetapkan oleh sekolah pascasarjana IPB. Penelitian tersebut dilakukan persis satu minggu setelah pelaksanaan kolokium, yaitu pada Bulan Januari-Pebruari 2005. Pada kurun waktu tersebut, penulis bekerja bersama dua orang asisten peneliti lapang. Metode yang dikembangkan dalam proses pengambilan data adalah wawancara, pengisian ku esioner terbuka, dan Focus Group Discussion (FGD). Berbagai metode di atas dipergunakan untuk menangkap realitas empiris yang muncul. Dalam proses penelitian tersebut, Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah (SPPQT) meminta PKA untuk melibatkan kader organisasi. SPPQT meminta supaya kegiatan ini tidak sekedar kegiatan proyek melainkan mempunyai agenda pembinaan anggota organisasi. Kader organisasi yang ada di tingkat paguyuban yang menjadi studi kasus disertakan dalam proses pengumpulan data, baik berfungsi dalam proses pengisian kuesioner (sebagai enumerator lokal) maupun dalam proses FGD (sebagai peserta). Proses tersebut pada kenyataannya tidak maksimal karena wawancara yang dilakukan kader organisasi seringkali terjadi sangat kaku dan berpatokan pada kuesioner dan panduan pertanyaan. Hal tersebut menyebabkan data/informsi yang dikumpulkan oleh kader organisasi sangat terbatas dan formal. Tetapi tidak semua kader organisasi melakukan proses enumerasi. Beberapa kader di paguyuban tertentu hanya menjadi pendamping peneliti PKA sehingga proses yang dilakukan merupakan proses pembelajaran. Penggunaan kuesioner terbuka menjadi salah satu pilihan strategi terkait dengan keterlibatan asisten lapang dan enumerator. Bekal turun lapang berupa kuesioner dirasa memudahkan kerja pengumpulan data mengingat pertanyaan telah disusun secara sistematis. Pengembangan pertanyaan disiapkan dalam bentuk panduan pertanyaan yang mendampingi penggunaan kuesioner terbuka. Kesulitan yang muncul dari penggunaan kuesioner terbuka adalah data-data menjadi relatif seragam dari tiap organisasi terlebih ketika proses pengumpulan data dilakukan oleh kader organisasi (enumerator lokal). Sebagai orang lokal, kader organisasi merasa informasi yang ditanyakan merupakan informasi umum sehingga merasa malas menanyakannya dan melewatkan beberapa pertanyaan yang dianggap mereka tahu untuk kemudian diisi sendiri. Dengan demikian proses pendampingan terus dilakukan dalam proses wawancara dengan cara peneliti utama terlebih dahulu melakukan wawancara agar dapat dilihat oleh enumerator lokal. Untuk menghindari celah kekurangan data, peneliti utama tetap melakukan wawancara dengan informan kunci dan tidak menyerahkannya pada enumerator lokal. Dalam beberapa kasus, adakalanya enumerator lokal melakukan
178
wawancara dengan informan kunci namun dalam pendampingan peneliti utama untuk mempertanyakan informasi yang tidak ditanyakan enumerator lokal. Data yang diperoleh dalam proses di atas bersifat data keras yang meliputi data diri organisasi, tujuan pembentukan organisasi, peran perempuan dalam organisasi, kerjasama dan jejaring yang dibangun, hubungan paguyuban dan kelompok tani, kegiatan yang dikembangkan organisasi, dan dampak kegiatan. Data tersebut merupakan data yang berasal dari 12 Secondary Local Organization (SLO) dan 36 Organisasi Tani Lokal (OTL). Data-data tersebut menggambarkan karakter organisasi pada aras paguyuban maupun kelompok tani. Meskipun penelitian ini telah dilakukan sejak tiga tahun terakhir, namun penulis mengalami kesulitan ketika harus mencari fokus penelitian untuk menghindari tumpang tindih dengan fokus penelitian PKA mengingat keduanya berangkat dari data yang sama. Kesulitan tersebut belum dapat diatasi sampai tahap pengumpulan data selesai dilakukan. Fakta menarik yang menggelitik keingintahuan penuls adalah organisasi petani yang selama ini diletakkan dalam ranah gerakan sosial ternyata melakukan kegiatan dengan strategi dan pendekatan community development (CD). Satu bulan menjelang pelaksanaan seminar hasil penelitian, penulis mulai dapat mengkontruksi realitas empiris kedalam analisis dan menghasilkan konsep perlawanan tersamar. Konsekuensi dari pilihan fokus penelitian adalah penulis harus kembali melakukan penelitian lapang untuk menambah data-data yang menyangkut latar belakang pendirian organisasi dan mengapa organisasi memilih bentuk pendekatan CD. Turun lapang kedua dilakukan pada Bulan Agustus hingga September 2005. Jika pada Bulan Januari-Pebruari penulis memfokuskan penelitian pada paguyuban dan kelompok tani, maka pada periode turun lapang ke-dua penulis mengarahkan kegiatan pada wawancara di tingkat serikat petani (SPPQT). Wawancara tidak lagi diarahkan pada karakter organisasi melainkan menyesuaikan dengan kekurangan informasi dalam kepentingannya menjustifikasi analisis sementara yang dilakukan penulis. Dengan demikian, yang menjadi subyek tineliti adalah orang-orang yang menjadi inisiator organisasi untuk mengetahui tujuan awal pembentukan, disamping orang-orang yang terlibat pada perumusan pembentukan organisasi petani. Sayangnya, orang-orang yang dimaksud tidak lagi berkiprah secara formal dalam organisasi, sehingga penulis betul-betul menelusur satu persatu riwayat orang-orang yang berkiprah di masa awal pendirian organisasi. Beberapa sudah bekerja pada lembaga lain, maupun kembali ke aras komunitas dan tidak lagi menjadi pengurus organisasi. Metode yang dilakukan adalah metode snow ball yang memungkinkan penulis memperoleh informasi secara perlahan namun meluas. Dalam usahanya mengejar subyek tineliti tersebut, selama dua puluh hari keberadaan penulis di lapang, penulis lebih banyak bergerak di luar organisasi dalam kepentingannya menelusur informasi-informasi penting untuk mengkaitkan dengan hasil analisis sementara. Pada periode ini, penulis banyak bersentuhan dengan tokoh-tokoh Salatiga yang berfikiran progresif dalam gerakan petani di Salatiga. Dibandingkan penelitian periode terdahulu, penelitian Agustus -September 2005 relatif lebih mudah dilakukan oleh penulis terkait dengan beberapa pertimbangan; pertama, proses penggalian informasi dilakukan langsung oleh penulis. Kedua, peneliti memiliki alur pemikiran yang jelas dan telah siap dengan kebutuhan informasi yang masih kurang sehingga waktu penelitian lebih singkat
179
dan tepat sasaran. Ketiga, penelitian ini sekaligus merupakan proses triangulasi data sehingga penulis makin fokus menuliskan hasil penelitian. Pertanyaan yang baru muncul beberapa saat menjelang seminar hasil penelitian dicoba dicari jawabannya pada periode turun lapang ke-dua. Proses penelitian ini meng arahkan pada aspek filosofis gerakan petani dan hal-hal yang menjadi latar belakang pilihan strategi yang dikembangkan oleh organisasi. Pertanyaan diarahkan pada mengapa bangun organisasi SPPQT pada masa kini memilih strategi CD, sesuatu yang sangat tidak lazim dalam ranah gerakan sosial petani. Jawaban-jawaban yang muncul dari hasil wawancara mendalam menjadi pijakan untuk makin mengukuhkan penulis menuliskan konsep “perlawanan tersamar” sebagai keluaran dari penelitian ini. Fakta di atas menunjukkan gamb aran tentang proses penelitian, menganalisis realitas lapang hingga mengkonstruksikan dalam bentuk konsep. Kesulitan relatif tidak ditemukan dalam proses penelitian mengingat penulis telah sejak Tahun 2002 terlibat dengan organisasi petani di Salatiga. Penelitian menjadi lebih cepat karena waktu penelitian tidak banyak dihabiskan untuk mengenal subyek tineliti. Kedekatan dengan mereka telah dibangun jauh sebelum proses penelitian dilakukan. Dengan demikian tinggal melanjutkan hubungan yang telah terbina dengan baik.