KONFLIK PEMBANGUNAN DAN GERAKAN SOSIAL BARU (Upaya Memahami Perubahan Identitas Gerakan dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat”)
RINTO TAIB
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru (Upaya Memahami Perubahan Identitas Gerakan dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat”) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010
Rinto Taib NRP. A.152050031
ii
ABSTRACT RINTO TAIB. Development Conflict and New Social Movement (An Effort to Understand the Changes of Movement Identity from Peasants to Custom Community Supervised by ENDRIATMO SOETARTO and FREDIAN TONNY. Land conflict in Ternate have been in existence from the era of preindependence to the present reform era. One example is the conflict over the development of Sultan Babullah Ternate Airport, which has victimized the peasant communities in the village of Tafure. This srudy used a strategy of qualitative method of research. It is intended to development of Sultan Babullah Ternate Airport, examine the formation and development of new social movements in Ternate and its relation to the issues of environmental and socioeconomic impacts as well as the issues of ulayat (custom) land and the rights of custom communities, and determine to what extent the peasants’ movements could become a solution to win the peasants’ rights and at the same tme feasible as the forum to struggle for better life of peasants. This study found that the peasant communities initially launched protests to get the financial compensation for the land used for the airport and then in the next development they changed their movement identity from peasants to custom communities. It was also found that there were some factors that triggered the birth of the new social movement, for example lost farm land, lost housing land, disappearing acces to forest area, lost rights for custom land, lost houses or settlement, lost sources of livelihood or incomes, lost plantation land and cemetery, etc. The emergence of the peasants’ social movement in Ternate is motivated by equal feeling of poor life and strong desire for a change However, the management of organizational aspects have not yet fully run well such as filing, financing, and work division. In its development, the peasant’s movement has experienced some structural constraints, for example the weak position of peasants concerning the evidence of land ownership, while the cultural obstacle is the presence of internal conflicts or divisions in the movement.
Keywords:
Development conflict, New social movement, Peasant communities, Custom community.
iii
RINGKASAN
RINTO TAIB. Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru (Upaya Memahami Perubahan Identitas Gerakan dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat”). Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO dan FREDIAN TONNY. Paradigma pembangunan yang bersandar pada prinsip ekonomi semata yang diarahkan pada strategi trickle down effects dan economic growth oleh pemerintah, ternyata tidak dapat berjalan sebagaimana teorinya. Efek-efek yang menetes ke bawah dimana diharapkan mampu menjunjung golongan miskin ternyata malah sebaliknya. Dengan mengabaikan aspek sosial budaya lokal ternyata memberikan rangsangan bagi tumbuhnya Gerakan Sosial Baru yang terkait dengan kepentingan-kepentingan masyarakat lokal tidak terkecuali petani. Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian kualitatif guna memperoleh data dan informasi terutama yang berhubungan tentang konflik pembangunan dan gerakan sosial baru yang terjadi di Tafure Ternate. Penelitian dilaksanakan sejak tahun tanggal 1 Juni 2007 hingga 1 Juni 2010. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk memahami faktor-faktor penyebab munculnya gerakan-gerakan perlawanan rakyat terhadap perluasan pembangunan Bandara Sultan Babullah Ternate ?, mengkaji dimensi proses terbentuk dan berkembangnya gerakan sosial baru di Ternate serta kaitannya dengan isu-siu dampak dilingkungan, dampak sosial ekonomi dan isu-isu tentang tanah ulayat dan hak-hak masyarakat adat ?, serta untuk mengetahui sejauh mana gerakan petani dapat menjadi solusi dalam merebut hak-hak petani sekaligus diandalkan sebagai wadah perjuangan nasib petani ? Studi ini memperlihatkan bahwa masyarakat petani Tafure Ternate yang melakukan protes untuk menuntut ganti rugi lahan bandara kemudian dalam perkembangannya memaksa petani mereka merubah bentuk identitas gerakan dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat” dengan mengusung isu tuntutan atas pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Dari hasil penelitian ini ditemukan beberapa faktor pendorong lahirnya gerakan sosial baru tersebut adalah karena berbagai potensi kerugian yang dialami masyarakat sehingga memberi ruang bagi keberlangsungan gerakan sosial yang dilakoni. Beberapa potensi tersebut adalah hilangnya tanah pertanian, hilangnya kapling rumah, hilangnya akses ke tanah hutan, hilangnya hak atas tanah adat, hilangnya rumah atau tempat tinggal, hilangnya sumber mata pencaharian/pendapatan, hilangnya lahan perkebunan, pemakaman, dll. Proses terbentuknya gerakan sosial petani di Tafure didasarkan pada persamaan nasib dan keinginan untuk melakukan perubahan. Dalam ranah ini manajemen organisasi belum sepenuhnya berjalan dengan baik seperti pengarsipan, keuangan, dan pembagian tugas. Keberadaan organisasi gerakan ini dari terbentuknya sampai perkembangan selanjutnya tidak lepas dari keterlibatan kelompok pendamping non petani. Model atau tipe gerakan sosial yang dilakukan masyarakat petani Tafure dapat dikategorikan ke dalam gerakan sosial baru. Selanjutnya dari sisi efektifitas, dalam jangka pendek organisasi gerakan petani belum mendapat hasil yang maksimal. Tuntutannya atas pengembalian hak tanah
iv
adat menemui kendala yaitu lemahnya posisi petani dalam segi bukti hak kepemilikan tanah, maupun perpecahan dalam struktur internal gerakan itu sendiri. Meskipun demikian derajat radikalisme gerakan semakin mengalami peningkatan ketika persoalan sengketa lahan tersebut digiring ke isu-isu tuntutan pengakuan dan perlindungan hak-hak atas tanah adat. Secara strategis, penyelesaian konflik harus mengacu kepada usaha untuk memajukan, dan bukan untuk memenangkan satu pihak dan mengalahkan pihak lain. Dalam konflik pembangunan bandara di Ternate, dijumpai metode penyelesaian yang mengandung bias kepentingan. Dalam konteks ini pula maka semestinya, penyelesaian konflik patut menghindarkan diri dari berbagai bias kepentingan sebagaimana yang terjadi selama ini, sehingga resolusi merupakan keputusan yang demokratik, adil dan setara. Hal ini akan terwujud bila dibukanya ruang dialog bagi kedua belah pihak untuk mencari jalan keluar dari persoalan yang terjadi karena hingga saat ini, proses penyelesaiannyapun belum terwujud dan yang terjadi hanyalah “masa jedah”. Kondisi ini dapat dipastikan bahwa pada suatu ketika konflik ini bisa saja terjadi dengan eskalasi yang lebih tinggi. Konflik yang dimaksud tersebut adalah terkait dengan tuntutan masyarakat adat untuk mendapat pengakuan dan perlindungan atas hak-hak ulayat termasuk juga hak pemilikan dan penguasaan atas tanah adat yang selama ini dipertahankan. Konflik ideologis seperti ini sulit dicari jalan keluarnya bahkan tidak akan menemukan resolusinya kecuali oleh kehancuran ideologi salah satu pihak. Oleh sebab itu, manajemen kolaboratif merupakan pilihan pola pemgelolaan yang paling dianggap ideal bagi semua pihak. Dinamika gerakan petani dari setiap masa menunjukkan perjalanan yang hampir senada. Pada masa Soeharto, pemerintah melakukan tekanan yang sangat kuat terhadap munculnya gerakan perlawanan petani. Tindakan ini menghambat perjuangan petani dalam menuntut hak kepemilikan atas tanahnya yang diambil alih negara sehingga setiap organisasi yang dibentuk di tingkat lokal dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap negara. Transformasi ideologi dan isu dari tuntutan ganti menjadi gerakan kultural (pengakuan hak ulayat) ini ternyata mampu mensikapi persoalan struktural yang dialami petani.
Kata Kunci : Konflik pembangunan, Gerakan sosial baru, Petani, Masyarakat adat.
v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vi
KONFLIK PEMBANGUNAN DAN GERAKAN SOSIAL BARU (Upaya Memahami Perubahan Identitas Gerakan dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat”)
RINTO TAIB
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Satyawan Sunito
viii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis
: Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru (Upaya Memahami Perubahan Identitas Gerakan dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat”)
Nama Mahasiswa
: Rinto Taib
NRP
: A.152050031
Program Studi
: Sosiologi Pedesaan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Ketua
Ir. Fredian Tonny, MS Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc. Agr
Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 12 Juli 2010
Tanggal Lulus :
ix
PRAKATA Alhamdulillahirobbil’alamin ! Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala Rahmat dan Karunia-Nya. Akhirnya penulisan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pasca Sarjana IPB selesai juga. Banyak pihak yang telah memberikan kontribusi penyelesaian studi ini sehingga tesis dengan judul “Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru (Upaya Memahami Perubahan Identitas Gerakan dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat”) dapat diselesaikan. Kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang setulusnya kepada bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA dan Ir. Fredian Tonny, MS., sebagai ketua komisi pembimbing dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dari penyusunan proposal hingga selesainya tesis ini. Penulis sadari bahwa mereka berdua dengan caranya masing-masing telah mengajarkan penulis untuk belajar konsisten dan tertib dalam menggunakan paradigma atau teori dalam ilmu-ilmu sosial.
Ucapan terimakasih dan penghargaan setulusnya kemudian penulis sampaikan kepada kedua orang yang telah mendidik dan membesarkan penulis yaitu ayah Taib Hi. A. Rachman dan Ibu Djaitun S. Petta. Lebih sekedar itu, mereka berdua secara tidak langsung telah menanamkan prinsip-prinsip memahami makna hidup ini dalam diri penulis. Jika diri penulis ini dianggap sebagai “buah”, maka sejatinya hal itu merupakan hasil dari “benih” yang telah engkau tanam sejak lama. Atas seluruh doa dan ridhonya itu, penulis bersimpuh sebagai wujud terima kasih yang tak berujung. Rifanto, Rifon, dan Rifirda, yang selalu memahami kekurangan dan keterbatasan kakaknya, semoga kebahagiaan dan kesuksesan selalu menyertai kalian. Penulis juga ucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr. sebagai Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menjadi mahasiswa pada program studi yang dipimpinnya. Kepada seluruh staf pengajar pada Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB, penulis ucapkan terimakasih atas ilmu yang diberikan kepada penulis baik di dalam maupun di luar berlangsungnya perkuliahan.
x
Tak lupa kepada Dr. Satyawan Sunito, penulis menaruh rasa hormat dan simpatik atas kesediannya menjadi Penguji Luar Komisi dan memberikan masukan dalam proses berlangsungnya Ujian Akhir tesis ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara atas kesempatan belajar yang diberikan, dan kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memungkinkan penulis memperoleh dukungan dana BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional selama dua tahun. Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada Baginda Sultan Ternate Drs. H. Mudaffar Syah, MSi dan Permaisuri Ratu Boki Nita Budhi Susanty sebagai guru keduanya dengan caranya sendiri telah memotivasi penulis selama menempuh pendidikan S2. Penulis sadari ketika berinteraksi dengan beliau berdua banyak hal yang penulis pelajari terutama bagaimana menjadi seorang intelektual praksis dan bersahaja dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya. Demikian pun dengan Bung Abdon Nababan, penulis ucapkan terimakasih atas diskusi-diskusinya selama penulis bergabung di AMAN. Terima kasih juga penulis haturkan kepada Bpk. Ir. Hein Namotemo selaku Bupati Halmahera Utara dan sekaligus Ketua Dewan AMAN wilayah Maluku Utara, Bpk. H. Burhan Abdurrahman, SH selaku Walikota Ternate, Bpk. Ir. Arifin Djafar, MBA selaku Walikota Ternate sekaligus Ketua Dewan Pakar Kesultanan Ternate, Bpk. H. Taslim Badarudin, SH. MM selaku Kabandara Sultan Babullah Ternate, Dopolo Ngaruha Kesultanan Ternate, serta seluruh masyarakat adat Kesultanan Ternate yang telah membantu dan berjuang bersama penulis.
Kepada informan dan responden penulis di Tafure, Tabam, Sango dan Tarau diantaranya Bung Ely, Kimalaha Labuha, Kimalaha Payahe, Nyira Sanga Isa, Nyira Tafure, Om Ade, Om Daud, Bung Sarmin, serta lainnya dengan tidak menyebut satu per satu, ucapan terimakasih penulis sampaikan atas informasi dan data yang diberikan sesuai kebutuhan penelitian. Terimakasih kepada Bapak Ilyas Bayau beserta keluarga yang telah berkenaan meminjamkan satu kamar di rumahnya sebagai tempat penulis untuk menyelesaikan catatan lapangan dan beristirahat disaat merasa lelah. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih atas segala dukungan dan bantuan langsung maupun tidak langsung dari kawan-kawan Panpel Festival Legu Gam 2008-2010, diantaranya Bpk. Hi, Rusdi Huesn, Bung Ridwan (Ahong), Rahmat Hidayat, Ko Min, Zain Tomagola, Marina, Opa Hama, dll, yang tidak sempat penulis sebutkan semuanya.
xi
Begitupun penulis ucapkan terimakasih atas kebersamaan dan dukungannya selama ini kepada teman-teman kuliah di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB (Siti Masitoh, Awaludin Hamzah, Witra, Husen Asa’di, dan Septri). Kepada kawan-kawan penulis yang berkiprah sebagai dosen di UMMU Ternate, serta Ucapan Terima Kasih yang tidak terhingga kepada Bpk. Dr. Kasman H. Ahmad selaku Rektor UMMU Ternate atas izinnya kepada penulis untuk melanjutkan studi selama ini. Akhirnya, kepada teman-teman penulis yang tak dapat disebutkan satu per satu, penulis ucapkan terima kasih atas masukan, saran, dan kritikannya saat bersama penulis, terutama Bung Jusmun Moid, Msi. dll.
Last but not least, penulis ucapkan terima kasih setulusnya kepada sang isteri tercinta beserta anak-anak kami: Nia dan Nanda (Almarhuma) Nando, Widya, Putri, Intan, yang tidak saja memberi dukungan moril dan spirit yang menyemangati penulis dalam melanjutkan studi di negeri seberang. Semoga atmosfer seperti ini terus bertahan dan menjadi pijakan untuk meniti buih perjalanan hidup yang masih panjang. Dan biarlah komitmen serta kesejatian hidup yang akan menuntun arah perjalanan hidup ini.
Bogor, Agustus 2010
Rinto Taib NRP. A.152050031
xii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Ternate, pada tanggal 23 Mei 1979 dari Ayah Taib Hi. Abdurrachman, SPd dan Ibu Djaitun S. Petta, Am.Pd. Penulis anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan dasar, hingga sekolah menengah atas diselesaikan di Kota kelahiran. Pada tahun 1996 penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Sosiologi Fisipol pada Universitas Pattimura Ambon. Tahun 1999 diterima sebagai Mahasiswa jurusan Sosiologi Fisipol Universitas Sam Ratulangi Manado hingga memperoleh Gelar Sarjana Sosiologi (S1) Unsrat Manado di tahun 2001. Kegiatan penelitian ilmiah yang pernah dilakukan diantaranya: Membangun Daerah Pasca konflik di Sulawesi Tengah, Maluku Utara & Maluku, bersama Tim Peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta. Pernah terlibat dalam penelitian Lapang Potensi Ekonomi (Baseline Economic Survey / BLS) dan penelitian 16 komoditi agroindusteri berorientasi ekspor (SIABE) atas kerjasama BI bersama LP3M IPB). Aktif menulis di berbagai media lokal diantaranya: surat kabar harian Malut Post, Ternate Pos, tabloid kampus (Jelajah UMMU), jurnal ilmiah ilmu-ilmu sosial (Kawasa UMMU), Cermin Reformasi serta aktif dalam berbagai kajian, diskusi, dan seminar lokal, nasional dan internasional, baik sebagai peserta maupun narasumber. Selain beberapa artikel yang telah dipublikasi pada jurnal dan surat kabar juga telah di publikasi pada beberapa buku yaitu antara lain: ”Petani dalam Pusaran Negara dan Penguasa: Catatan Pendampingan atas Konflik Tanah Ulayat di Ternate Maluku Utara (dalam Jalan Panjang Perdamaian: PTD-UNDP Maluku Utara, Ternate, 2007) serta Ekspansi Kapitalisme dan Perlawanan Revolusioner Sultan Babullah (dalam Jejak Portugis di Maluku Utara: Ombak, Yogyakarta, 2007). Menulis buku Ternate: Sejarah, Kebudayaan dan Pembangunan Perdamaian Maluku Utara (2008).
xiii
Di bidang seni, sebagai penanggungjawab Komunitas Seni Gumutu (KSG) yang merupakan salah satu kelompok seni teater di Maluku Utara. Selain aktif menjadi Tenaga edukatif (Dosen) pada Fisip UMMU Ternate, pernah menjabat Sekretaris Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisip UMMU Ternate, Anggota Tim Perumus Hari Lahir Kota Ternate, juga direktur eksekutif
Lembaga
Pengkajian
dan
Pengembangan
Sosial
Ekonomi
(LEPPSEK–Maluku Utara). Rutinitas tugas dalam lembaga Kesultanan Ternate yang pernah dilakukan adalah sebagai Ketua Semiloka Nasional Legu Gam Moloku Kie Raha 2008 pada tanggal 12 April di Amara International Hotel. Koordinator Seminar dan Dialog Budaya utusan Kesultanan Ternate pada Festival Keraton Nusantara VI Gowa-Makassar 14-17 November 2008, Narasumber dalam Serasehan
Nasional
Sekretariat
Nasional
Masyarakat
Hukum
Adat
berkerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI, Departemen Sosial RI dan KOMNAS HAM, dengan topik: Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Melalui Pemenuhan Hak-hak Konstitusionalnya, Jakarta 13-14 Desember 2008. Selain itu, sebagai Koordinator Lembaga Kebudayaan Rakyat-Moloku Kie Raha (LEKRA-MKR), Dewan Pakar Kesultanan Ternate sekaligus Perumus Draft Ranperda No. 13 tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan Ternate.
xiv
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR SINGKATAN PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................................... 7 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 9 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 2.1. Konflik Pertanahan dan Pembangunan di Indonesia ................................ 2.2. Karakteristik Petani .................................................................................... 2.3. Masyarakat Adat ........................................................................................ 2.4. Analisis tentang Gerakan Sosial Baru ........................................................ 2.5. Hipotesis Pengarah ..................................................................................... 2.6. Kerangka Pemikiran ...................................................................................
10 10 16 20 28 39 39
METODE PENELITIAN................................................................................... 3.1. Strategi Penelitian ....................................................................................... 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 3.3. Penentuan Subjek Kasus ............................................................................. 3.4. Teknik Pengumpulan Data.......................................................................... 3.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ......................................................... 3.6. Kesulitan yang Dihadapi ............................................................................. 3.7. Sistimatika Penulisan ..................................................................................
44 44 45 47 48 49 50 50
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN.............................................................. 4.1. Gambaran Umum Provinsi Maluku Utara .................................................. 4.2. Kondisi Geografis dan Karakteristik Lokasi Penelitian.............................. 4.3. Struktur Sosial Penduduk ...........................................................................
52 52 53 56
xv
KONFLIK PEMBANGUNAN DAN GERAKAN SOSIAL BARU ............................................................................ 5.1. Akar Konflik Maluku Utara ....................................................................... 5.2. Faktor-faktor Penyebab Sengketa .............................................................. 5.2.1. Perubahan Struktur Soaial - Ekonomi ......................................... 5.2.2. Dampak Lingkungan .................................................................. 5.3. Ikhtisar ...................................................................................................... TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN DARI PETANI MENJADI MASYARAKAT ADAT ...................................... 6.1. Ideologi Utama dan Aktor Pentng Gerakan Petani ................................... 6.2. Isu-isu yang Diusung sebagai ”Roh” Perlawanan Petani ........................... 6.2.1. Hak atas Tanah Adat yang Bersifat Tetap ........................................ 6.2.2. Hak atas Tanah Adat yang Bersifat Sementara................................. 6.3. Posisi Petani ditengah Pusaran Negara dan Penguasa ............................... 6.4. Intervensi Pemerintah, Respon Petani dan Dampak Gerakan di Tengah Arus Kepentingan ..................................................................... 6.5. Ikhtisar ......................................................................................................
59 59 66 71 76 80
82 82 92 92 98 102 112 122
INVOLUSI GERAKAN AGRARIA 7.1. Masa Pra Kemerdekaan .............................................................................. 124 7.2. Masa Kemerdekaan .................................................................................... 130 7.3. Infolusi Gerakan Agraria ............................................................................ 137 PENUTUP 8.1. Kesimpulan ................................................................................................ 141 8.2. Saran ........................................................................................................... 143 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Matriks Gerakan Perlawanan Petani dari Masa ke Masa ............................. 87 2. Matriks Perubahan Identitas Gerakan dari ”Petani” menjadi ”Masyatarakat adat” ................................................. 90 3. Matriks Kapasitas Gerakan Agraria Dalam Setiap Episode Kekuasaan Rezim ........................................................................... 138
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kerangka Pemikiran dalam Pendekatan Masalah ......................................... 42
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Matrriks Kebutuhan Data ............................................................................. 149 2. Panduan Pertanayaan Wawancara ................................................................. 151 3. Kuesioner Terbuka ....................................................................................... 153 4. Panduan Observas ........................................................................................ 155 5. Panduan Diskusi Kelompok Terfokus .......................................................... 156 6. Surat Keterangan Hak Cocatu ...................................................................... 157 7. Peta Lokasi Penelitian .................................................................................. 158
xix
DAFTAR SINGKATAN
AMAN BRI GSB IP NICA NIT R I RMS RIS TNI VOC CD CO DPD FGD HAM LBH LKBH LSM NGO PERDA PP SDA SAMMURAI TPA UU UUPA UMMU
: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara : Bank Rakyat Indonesia : Gerakan Sosial Baru : Indegeneous Peoples : Netherlands Indies Civil Administration : Negara Indonesia Timur : Republik Indonesia : Republik Maluku Selatan : Republik Indonesia Serikat : Tentara Nasional Indonesia : Vereenigde Oost - Indische Compagnie : Community Development : Community Organozation : Dewan Perwakilan Daerah : Focus Group Discussion : Hak Asasi Manusia : Lembaga Bantuan Hukum : Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum : Lembaga Swadaya Masyarakat : Non Government Organization : Peraturan Daerah : Peraturan Pemerintah : Sumber Daya Alam : Solidaritas Mahasiswa Maluku Utara Untuk Rakyat Indonesia Tempat Pembuangan Akhir : Undang-Undang : Undang-Undang Pokok Pembaruan Agraria : Universitas Muhammadiyah Maluku Utara
xx
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Salah satu konflik sosial yang mengemuka dan terjadi hampir diseluruh pelosok republik ini adalah konflik tanah dan pembangunan, yang berkaitan dengan penggunaan tanah untuk aktivitas pembangunan itu sendiri seperti pembangunan lapangan terbang Sultan Babullah di Ternate Maluku Utara saat ini. Tanah dan pembangunan merupakan dua entitas yang tak dapat dipisahkan. Secara sederhana dapat dikatakan tak ada pembangunan tanpa tanah. Pembangunan selalu membutuhkan tapak untuk perwujudan proyek-proyek, baik yang dijalankan oleh instansi dan perusahaan milik pemerintah maupun perusahaan swasta. Dengan dalih bahwa proyek pembangunan itu adalah proyek kepentingan nasional, maka kewajiban rakyat pemilik tanah termasuk petani dan masyarakat adat untuk merelakan hak penguasaan mereka atas tanah demi berdirinya sebuah proyek pembangunan. Slogan pembangunan yang masih akrab ditelinga kita "berkorban untuk pembangunan" menjadi upaya untuk memotivasi rakyat pemilik tanah agar rela mengorbankan, bahkan semacam kewajiban agar rakyat tidak perlu menuntut ganti rugi yang tinggi terhadap tanah yang sudah dicadangkan bagi sebuah proyek pembangunan. UUPA tahun 1960 telah melegitimasi dan memberikan wewenang kepada negara untuk mengambil keputusan, mengontrol, mengelola penggunaan dan peruntukkan tanah dan membuat aturan mengenai hal tersebut termasuk untuk pembangunan sebuah proyek. Selain itu, berdasarkan ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam misalnya antara lain menyebutkan bahwa pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: menghormati supremasi hukum dengan
mengakomodasi
keanekaragaman
dalam
unifikasi
hukum,
mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi
dan optimalisasi partisipasi rakyat, mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban
negara,
pemerintah,
masyarakat
dan
individu,
melaksanakan
desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria (SDA). Idealnya, dalam mengimplementasikan wewenang negara dalam suatu proyek pembangunan, aparatur negara tidak boleh berbuat sewenang-wenang. Realitas kesewenag-wenangan ini sangatlah bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakan penyelenggaraan negara dalam pembangunan
nasional
untuk
membawa
rakyat
Indonesia
kepada
masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana selama ini dicita-citakan oleh mayoritas rakyat di negeri ini. Mereka perlu mengutamakan kepentingan rakyat seperti kemakmuran dan kesejahteraannya. Bila sebaliknya maka, masalah pembangunan sangat sulit dilepaskan kaitannya dengan kepentingan dan kekuasaan. apabila yang terlibat dalam konflik pembangunan tersebut melibatkan massa rakyat (petani) disatu sisi dan pemerintah (Pemda) pada sisi yang lain, meskipun secara hukum berada pada posisi yang kuat, tapi karena tak ada daya tawar politiknya, maka kekalahan selalu menjadi hal yang diterima oleh masyarakat (petani).1 Pembangunan sering disamakan dengan pertumbuhan ekonomi, dimana modal diinvestasikan melalui siklus umum produksi – distribusi – konsumsi. Dewasa ini kita menyaksikan implementasi dari model pertumbuhan ekonomi ini – yang biasa dikenal dengan kapitalisme terjadinya pemusatan kepenguasaan atas tanah yang luar biasa. Ini berlangsung melalui dua mekanisme utama: pasar dan intervensi negara. Intervensi negara dalam kepenguasaan atas tanah ini dapat kita lihat pada contoh kasus perluasan pembangunan lapangan terbang bandara 1
Disinilah nampaknya titik pangkal dari semua soal vang muncul dalam masalah pertanahan (Dadang Juliantara dan Angger Jati Wijaya, 1995: 85). Dalam kenyataannya masalah konflik tanah untuk kepentingan proyek pembangunan, sering memicu timbulnya permasalahan yang cukup kompleks adalah masalah ganti rugi yang tidak adil yang ditentukan secara paksa dan sepihak dari negara.
2
Sultan Babullah di Ternate yang terus menimbulkan posisi lain dari pemusatan ini adalah melepasnya akses dan kontrol masyarakat petani lokal atas tanah yang dikuasai sebelumnya. Pengendalian ide-ide dan pelaksanaan pembangunan yang didominasi oleh negara akhirnya menempatkan masyarakat dalam posisi yang bersebarangan dengan negara, baik dalam makna sebagai subjek dari pembangunan ataupun sebagai korban dari pembangunan yang dirancang oleh negara. Termasuk didalamnya adalah segala bentuk penerimaan, perlawanan, dan atau penolakan terhadap ide-ide pelaksanaan pembangunan itu maupun terhadap aparatur negara. Model kepenguasaan oleh negara tidak semata berdasar pada persoalan sosial - ekonomi yang terkait dengan ganti rugi, melainkan pula merupakan wujud dari model pembangunan politik otoritarian yang berkonsekuensi pada segala macam organisasi yang memiliki akses dan kontrol terhadap tanah harus merubah diri agar tunduk terhadap pelbagai implementasi dari otoritarianieme. Dalam hal ini, berbagai cara yang digunakan oleh institusi politik otoritarian adalah penggunaan instrumen hukum, manipulasi dan kekerasan. Intinya adalah bahwa ideologi "rapid growd economy" melalui pilar utama yakni modernisasi, melakukan delegitimasi terhadap pemilikan tanah-tanah komunal sehingga konflik tanah antara masyarakat petani vs pemerintah hingga saat inipun belum menemukan solusi yang dipandang adil bagi masyarakat petani. Fenomena inilah menunjukkan bahwa praktek pembangunan dengan menggunakan negara sebagai alat legitimasi atas kepenguasaan tanah demi pembangunan yang sebelumnya menjadi milik masyarakat akhirnya melahirkan
konflik
pembangunan
yang
memicu
protes
dikalangan
masyarakat dan memberi peluang lahirnya perlawanan rakyat “social movement”. Meskipun mendapat tantangan dan protes dari berbagai pihak, dalam kenyataannya sampai sekarang baik pemerintah dan pelaku pembangunan masih dirasakan kurang adanya keberpihakan kepada masyarakat adat pemilik tanah sehingga seringkali melahirkan lahirnya gerakan perlawanan rakyat yang berbasiskan kaum tani sebagaimana yang terjadi pada beberapa komunitas masyarakat di Ternate Maluku Utara saat
3
ini untuk melawan kebijakan pemerintah daerah dalam aktivitas proyek perluasan pembangunan lapangan terbang. Memang disadari bahwa aktivitas perluasan pembangunan bandara tersebut juga sebagai salah satu kebutuhan akan moda transportasi yang tidak dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang dikelola dalam sistem transportasi nasional. Pentingnya moda transportasi tersebut tercermin dari semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang dari dan ke seluruh pelosok tanah air bahkan antar negara. Di samping itu, aktivitas perluasan pembangunan bandara tersebut juga berperan sebagai faktor pendorong pertumbuhan daerah seperti Ternate Maluku Utara yang cukup potensial untuk dikelola secara profesional dan optimal demi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah ini tanpa mengabaikan aspek pelayanan angkutan, keselamatan penumpang, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat serta tidak menimbulkan dampak terjadinya konflik horizontal serta dampak ekologis yang menyertainya. Dapat disebutkan beberapa dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas perluasan / pelebaran pembangunan Bandar Udara Sultan Babullah adalah aspek sosial, budaya, ekologi dan kesehatan lingkungan bagi masyarakat adat disekitar Bandara tersebut sehingga telah menyebabkan lahirnya gerakan sosial sebagai manifestasi rasa ketidakpuasan masyarakat korban pembangunan tersebut. Terkait dengan dampak ekologis dari perluasan / pelebaran pembangunan Bandara ini, maka prinsip pembangunan berwawasan lingkungan merupakan salah satu prinsip yang harus digunakan untuk mengukur dampak ekologis yang lebih luas. Pengalaman pembangunan Bandar Udara di Indonesia selalu menunjukkan bahwa setiap daerah memiliki karakteristik kewilayahan, kondisi sosial budaya masyarakat setempat yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Sehingga perlu adanya kajian komprehensif atas setiap aspek kebijakan pembangunan sebelum rencana pembangunan tersebut dilaksanakan. Hal ini tentunya sangat diperlukan sebagai upaya pencegahan dini bagi munculnya konflik horizontal bahkan tidak tertutup kemungkinan bagi berlangsungnya konflik vertikal (antara rakyat vs negara) yang pada akhirnya semakin memperburuk situasi yang diinginkan dari tujuan pencapaian pembangunan itu sendiri. Termasuk didalamnya adalah adanya perhatian terhadap aspek pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah Bandara tersebut sehingga menciptakan iklim kerjasama dan
4
meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga stabilitas operasional penerbangan serta ikut memiliki akan berbagai fasilitas Bandara Udara tersebut. Kondisi seperti ini tentunya sangat diperlukan sebagai upaya meminimalisir terjadinya konflik akibat pembangunan itu sendiri yang telah menimbulkan kehilangan lahan untuk bertani dan hilangnya hak ulayat mereka. Hal ini tentunya harus
diperhatikan
karena
dalam
konteks
kehidupan
masyarakat
tani,
pembangunan adalah kondisi eksternal yang menekan mereka sehingga seringkali menimbulkan pemberontakan-pemberontakan atau memunculkan gerakan-gerakan petani. Seperti pernah dikataakan oleh Landberger atau Alexandrov bahwa permulaan suatu gerakan petani tidak hanya dengan sendirinya mewakili suatu perubahan,
tetapi
merupakan
suatu
konsekuensi
dari
perubahan
yang
mendahuluinya seperti halnya setiap kejadian historis. (Fauzi, 1997: 69). Segala bentuk penerimaan, perlawanan dan penolakan masyarakat terhadap pembangunan proyek fisik tersebut menyangkut hubungan sekelompok orang dengan tanahnya yang merupakan tanggapan atas kebijakan negara yang menimbulkan perubahanperubahan struktur penguasaan, pemilikan dan penyewaan tanah, perubahan dalam distribusi pendapatan dan status sosial dikalangan masyarakat setempat. Segala tanggapan itu bisa ditempatkan sebagai bentuk tanggapan masyarakat lokal terhadap perkembangan sosial masyarakat yang lebih luas dan telah dipenuhi unsur-unsur budaya, politik dan ekonomi dominan. Disini negara berperan sebagai agen inovatif dari perubahan dan juga berperan sebagai agen perantara dan penetrasi unsur-unsur budaya, politik dan ekonomi dominan, atau negara dan aparatusnya memiliki suatu kepentingan tersendiri atas perubahan tersebut yang tidak harus sejalan atau mencerminkan aspirasi rakyat, malah seringkali bertentangan dengan aspirasi dan kepentingan rakyat sebagaimana yang terjadi di Ternate Maluku Utara. Diketahui bahwa pihak pemerintah daerah propinsi dalam pembebasan tanah tidak dilakukan secara jual beli biasa dengan berpatokan pada harga umum yang berlaku merata di masyarakat, tetapi ditentukan secara sepihak tanpa musyawarah dengan warga masyarakat pemilik tanah, dan dasar acuan penetapan harga dasar tanah adalah harga dasar tanah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah propinsi yang nilainya sangat rendah yaitu sebesar Rp. 15.000,00 (lima belas ribu per meter) dengan jumlah total luas tanah yang
5
disengketakan adalah seluas + 1. 400.53..666 Ha. (satu juta empat ratus lima puluh tiga ribu enam ratus enam puluh enam hektar). Hal ini dianggap masyarakat tidak sesuai dengan harga yang berlaku umum dipasaran. Dan rakyat pemilik tanah tidak berdaya menghadapinya, karena posisi mereka baik secara ekonomi maupun politik lemah dalam negosiasi/tawar menawar. Meskipun demikian, mereka tetap menuntut pengambilalihan hak atas tanah mereka melalui tuntutan ke lembaga legislatif dan eksekutif, baik ditingkat daerah maupun ketingkat pusat (Jakarta), selain melakukan aksi-aksi protes lainnya hingga mewujud gerakan sosial yang mendapat dukungan perluasan jejaring antara warga masyarakat setempat dengan gerakan-gerakan yang bertujuan sama yaitu para aktivis Ornop dan elemen mahasiswa, (dalam terminologi Touraine disebut sebagai gerakan sosial baru) 2. Dengan demikian maka, proses berlangsungnya gerakan sosial masyarakat adat sesungguhnya merupakan indikator bahwa masyarakat adat kini semakin kritis terhadap gejala perubahan, serta makin tinggi kesadaran kritisnya dalam setiap fenomena sosial disekelilingnya, maka pembangunan yang
berkesinambungan
dapat
terwujud
apabila
masyarakat
dapat
mendukung sepenuhnya, dan dukungan itu muncul apabila mereka merasakan manfaat positif dari pembangunan tersebut terutama yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup mendasar. Gejala ini sangat menarik untuk diteliti, karena terlihat adanya paradoks antara gambaran ideal yang ingin dicapai dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Masyarakat yang seharusnya mendukung pembangunan atau ikut bangga dengan adanya lokasi proyek pembangunan yang berada
2
Touraine (dlm. Victor Silaen, 2006: 30) mendefinisikan gerakan sosial baru sebagai gerakan sejumlah warga masyarakat yang secara budaya terlibat dalam konflik sosial, yang tujuan dan strateginya memiliki pertalian sosial dan rasionalitas sendiri. Fungsi mereka tak dapat dipahami dalam logika tatanaan kelembagaan yang ada, karena fungsinya yang menyimpaang benar-benar merupakan tantangan bagi logika itu dan mentransformasikan hubungan sosial yang dicerminkan dan diperkuatnya. Sebagai perbandingan, Larana dkk. mengidentifikasi cirr-ciri gerakan sosial baru adalah: 1). mentransendensikan struktur kelas; 2). memperlihatkan kemajemukan gagasan dan nilai-nilai; 3). memfokuskan pada isu budaya dan simbolik yang terkait dengan identitas daripada ekonomi; 4). hubungan antara individu dan ekonomi menjadi kabur; 5). melibatkan segi-segi pribadi dan keakraban hidup manusia; 6). semangat anti kekerasan dan pembangkangan sipil; 7). terkait dengan krisis kredibilitas dan ruang partisipasi; 8). cenderung tersegmentasi, kabur dan terdesentralisasikan.
6
didaerahnya, ternyata bersikap sebaliknya, yaitu menentang secara terangterangan. Hal ini dapat ditelusuri dengan mengkaji faktor-faktor penyebab konflik sosial apabila dikaitkan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini. Selain itu, yang menarik dari penelitian ini adalah peran lembaga adat (Sultan) yang mampuh berperan sebagai figur netral ditengah upaya masyarakat adat untuk mendapatkan hak-hak atas tanahnya. Sekali lagi perlu diketahui bahwa tanah tersebut merupakan tanah milik Kesultanan (status tanah adat) yang diberikan kepada masyarakat untuk diolah sebagai lahan pertanian, sarana perumahan dan kebutuhan lainnya. Dalam posisinya sebagai Sultan, rakyat seolah mendapatkan kekuatan khususnya dalam hal penguasaan/pemilikan atas tanah, karena tidak ada pihak manapun termasuk negara yang bisa mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya. Hal ini terbukti ketika berlangsungnya beberapa bentuk aksi masyarakat dalam menyuarakan aspirasi dan tuntutannya ke pihak pemeerintah, terkesan seolah ”meminta restu” terlebih dahulu dari Sultan. Namun disatu sisi, sang Sultan juga adalah anggota DPD-RI bersama permaisurinya sebagai anggota DPR RI. Keberadaannya dalam instrumen alat negara yang demikian, seringkali terkesan memperlemah corak perlawanan dan pola hubungan yang terjalin diantara gerakan perlawanan masyarakat lokal. 1.2. Perumusan Masalah Berbagai penelitian telah dilakukan berbagai pihak untuk menemukan penjelasan rasional dan ilmiah tentang latar munculnya gerakan masyarakat adat. Sebuah pertanyaan besar yang selalu menjadi menarik atas persoalan ini adalah mengapa masyarakat adat yang tinggal jauh dari daerah kota yang sangat bersahaja dalam hidupnya menjadi kelas sosial yang sangat gigih dan tak
henti-hentinya
melakukan
gerakan
perlawanan
terhadap
sistem
kekuasaan. Industrialisasi pembangunan ternyata turut menyumbang kepada marjinalisasi masyarakat adat dan menaikkan jumlah masyarakat tani tak berlahan. Dengan kata lain, hal ini tidak terlepas dari mekanisme pelaksanaan
kebijakan
agraria
yang
bertumpu
pada
industrialisasi
pembangunan dan bersumber dari ideologi pertumbuhan ekonomi.
7
Pelaksanaan industrialisasi dan pembangunan tersebut akhirnya harus berhadapan secara langsung dengan masyarakat adat yang memiliki basis ekonomi bertani. Kebijaksanaan pembangunan selama ini telah menciptakan adikuasa-adikuasa ekonomi dan persaingan bebas yang mengakibatkan penindasan dari kelompok ekonomi kuat terhadap yang lemah, kecemburuan sosial dan disparitas pendapatan yang tinggi di antara kelompok masyarakat. Berbagai kebijakan negara dengan diterapkannya sistem yang sentralistis dan yang menolak prinsip kerakyatan, telah mematikan semangat rakyat di daerah untuk mampuh membuat keputusan sendiri; bahkan selanjutnya, kebijaksanaan yang terpusat dan represif itu telah menciptakan rasa suka dan tidak suka di antara rakyat, serta menimbulkan potensi konflik dikalangan rakyat. Ekspresi konflik pembangunan di Ternate misalnya menunjukkan bahwa dimensi persoalan pemanfaatan tanah demi pembangunan, sudah tidak cukup hanya dipahami sebagai persoalan sengketa tanah “an sich”. Sengketa tanah mengandung dimensi sistem ekonomi, politik, hukum dan ekologi dalam akses dan kontrol atas tanah. Selain itu, konversi tanah pertanian rakyat di Ternate yang menjadi lapangan terbang ini telah menyebabkan perubahan struktur sosial ekonomi yaitu terhapusnya sumber mata pencaharian dan perubahan struktur budaya lokal yang ditandai dengan hilangnya hak ulayat. Dengan demikian maka lahirnya gerakan sosial juga merupakan wujud situasi psikologis mereka ketika tatanan kehidupannya diperhadapkan dengan krisis struktural dan kultural tersebut diatas. Atas dasar hal tersebut, maka pertanyaan pokok yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana
faktor-faktor
penyebab
munculnya
gerakan-gerakan
perlawanan masyarakat terhadap perluasan pembangunan Bandara Udara Sultan Babullah Ternate ? 2. Bagaimana proses terbentuk dan berkembangnya gerakan sosial baru di Ternate serta kaitannya dengan isu-isu dampak lingkungan, dampak sosial ekonomi dan isu-isu tentang tanah ulayat dan hak-hak masyarakat adat ? 3. Sejauh mana gerakan petani dapat menjadi solusi untuk merebut hak-hak petani sekaligus diandalkan sebagai wadah perjuangan nasib petani ?
8
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menjawab ketiga pertanyaan penelitian tersebut, yaitu: 1. Memahami
faktor-faktor
penyebab
munculnya
gerakan-gerakan
perlawanan rakyat terhadap perluasan pembangunan Bandara Udara Sultan Babullah Ternate ? 2. Mengkaji dimensi proses terbentuk dan berkembangnya gerakan sosial baru di Ternate serta kaitannya dengan isu-siu dampak dilingkungan, dampak sosial ekonomi dan isu-isu tentang tanah ulayat dan hak-hak masyarakat adat? 3. Mengetahui sejauh mana gerakan petani dapat menjadi solusi merebut hak-hak petani sekaligus diandalkan sebagai wadah perjuangan nasib petani ? Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab ketiga pertanyaan penelitian munculnya
tersebut,
dengan
gerakan-gerakan
harapan,
apabila
perlawanan
faktor-faktor
rakyat
terhadap
penyebab aktivitas
pembangunan sebagai respon atas permasalahan tersebut dapat dijawab, maka konflik-konflik pembangunan berbasis masyarakat petani/adat versus negara dikemudian hari dapat dikurangi. Tujuan khusus penelitian ini ingin menjelaskan suatu gejala sosial yang disebut gerakan sosial, baik dari segi struktur internal, proses terjadinya hubungan dengan gerakan lainnya sehingga kita dapat menyelami kehendak masyarakat dan pada gilirannya dapat lebih mengoptimalkan manfaat pembangunan bagi seluruh lapisan masyarakat. Selain itu juga, dari sudut pandang akademik, kegiatan penelitian ini juga bermaksud untuk mengembangkan teori-teori yang sudah ada khususnya teori-teori gerakan sosial. Peneliti akan berusaha membangun teori dari bawah tanpa melepaskan dari kerangka teori yang sudah ada, sebab tanpa berpijak dari teori yang sudah ada, maka peneliti bisa kehilangan arah. Bertolak dari teori gerakan sosial yang sudah ada, peneliti berusaha membuat kategori, untuk melihat apakah gerakan sosial masyarakat Tafure Ternate tersebut dapat dimasukkan sebagai bentuk gerakan sosial baru atau bukan. Titik tolaknya adalah dengan melihat ciri-ciri yang melekat pada gerakan sosial pada umumnya.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konflik Pertanahan dan Pembangunan di Indonesia Dalam penelitian Ngadisah tentang Gerakan Sosial Politik di Papua digunakan alur kesinambungan sebuah gerakan sosial, dari adanya konflik, ke gerakan protes/perlawanan menuju terbentuknya gerakan sosial dan selanjutnya berkolaborasi dalam gerakan politik. Ngadisah mengibaratkan seperti pohon, gerakan sosial berasal dari suatu kondisi ketegangan sosial yang berperan sebagai “lembaga” yang berpotensi menjadi “pohon” dengan sistemnya sendiri, yang bias timbul, berkembang, atau mati. Dalam kasus Mimika, kondisi yang melandasi timbulnya gerakan sosial adalah konflik yang sudah ada sebelum PTFI berdiri, kemudian bertambah kompleks (rumit) dengan kedatangan perusahaan pertambangan tersebut. Konflik ini diibaratkan sebagai akar dari “pohon” gerakan sosial, protes ibarat sebagai batang dan gerakan adat ibarat ranting dan daun. Puncak pertumbuhan gerakan sosial adalah terbentuknya kelompok kepentingan atau gerakan politik. Permasalahan sengketa tanah dalam kasus pembangunan bandara antara masyarakat tani Tafure dengan pihak Bandara Sultan Babullah Ternate tidak lepas dari terjadinya konflik antara dua pihak. Konsep tentang konflik akan digunakan peneliti untuk secara mendalam mencermati apa saja hal yang menjadi harapan-harapan petani dan bagaimana keterbatasan kemampuan mereka dalam mewujudkan harapan tersebut, sehingga akan diketahui sumber penyebab terbentuknya gerakan petani di sana. Berikut ini peneliti akan menguraikan tentang teori konflik. Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaransasaran yang tidak sejalan1.
1
Chris Mitchell dalam Simon, dkk., Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Zed Books, Responding To Conflict (RTC), hal.4.
Teori transformasi konflik2 berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah
ketidaksetaraan
dan
ketidakadilan
yang
muncul
sebagai
masalahmasalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah: 1. Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi. 2. Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihakpihak yang mengalami konflik. 3. Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan. Teori konflik dialektis3 meliputi point-point berikut ini: 1. Kepincangan pada distribusi sumber daya akan mempengaruhi keleluasaan bagian-bagian suatu sistem sosial untuk mengungkapkan konflik kepentingan. 2. Kesadaran bahwa keabsahan sistem yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka. Adanya rasa rugi pada suatu golongan dan golongan yang lebih rendah menyadari bahwa ada konflik kepentingan dengan para pihak yang menguasai sebagian besar sumber-sumber daya yang tersedia. Hal itu menyebabkan ketegangan yang terjadi dalam situasi masyarakat yang dirugikan, perasaan terasing, kemampuan warga masyarakat untuk saling berhubungan, dan kemampuannya untuk mengembangkan suatu ideologi yang mempersatukan. Faktor-faktor tersebut memungkinkan mereka bersatu, diperkuat dengan konsentrasi ekologis dan kesempatan mendapatkan pendidikan. 3. Kelompok subordinat dalam sebuah sistem menyadari tentang kepentingan kolektif dan upaya besar menjamin keabsahan pada distribusi sumber daya yang terbatas, maka mereka bergabung dalam konflik terbuka melawan kelompok dominan. Hal itu disebabkan oleh tidak adanya kemampuan kelompok
dominan
untuk
memanifestasikan
kepentingan
kolektif,
kesenjangan pada kelompok subordinat dari landasan absolut ke landasan yang relatif, dan kemampuan kelompok subordinat untuk mengembangkan struktur kepemimpinan politik. 2 3
Ibid., Simon Fisher, hal. 9. Baca uraian menurut Jonathan H. Turner dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini, Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi, Sinar Grafika, 1988, hal.66-67.
11
4. Peningkatan kesatuan ideologi anggota kelompok subordinat pada sebuah sistem, akan lebih mengembangkan struktur kepemimpinan politik mereka, dan lebih dapat menentang kelompok dominan dan menundukkan sistem. 5. Upaya menentang dominan dan menundukkannya, meningkatkan kekerasan dalam konflik. 6. Kehebatan konflik, akan mengakibatkan perubahan struktur dalam sistem dan kemajuan pada redistribusi kelangkaan sumber daya. Selanjutnya Georg Simmel mengembangkan teori konflik fungsional, menurutnya terjadinya konflik tidak terelakkan dalam masyarakat. Simmel lebih mengutamakan akibat-akibat konflik daripada perubahan sosial. Simmel menganggap konflik sebagai pencerminan dari pertentangan kepentingan maupun naluri untuk bermusuhan. Naluri demikian dapat meningkat karena ada pertentangan atau kurang karena hubungan serasi maupun kasih sayang4. Dalam proposisi-proposisi mengenai intensitas konflik, Simmel menyatakan bahwa hakekat organisasi kelompok dan konteks struktural yang lebih luas dari konflik akan mempengaruhi intensitas konflik. Namun dalam proposisi-proposisi mengenai fungsi konflik. Simmel menyatakan bahwa intensitas konflik menyebabkan terjadinya perubahan pada organisasi kelompok-kelompok yang bertikai, sehingga meningkatkan perbedaan pola-pola organisasi dalam keadaan yang berbeda5. Dalam sebuah paradigma gerakan yang semakin berkembang saat ini. Proposisi-proposisi dari Simmel akan membantu dalam memahami realita pergeseran karakteristik maupun orientasi gerakan akibat konflik dalam suatu sistem sosial. Penguatan intensitas konflik akan mendorong terjadinya perubahanperubahan paradigma gerakan untuk merealisasikan esensi dan tujuan gerakan. Simmel juga mengadakan visualisasi terhadap suatu proses umpan balik resiprokal, suatu organisasi kelompok pada titik tertentu menentukan intensitas konflik, yang mempengaruhi organisasi kelompok, yang kemudian mempengaruhi konflik-konflik selanjutnya, sehingga salah satu pihak atau pihak ketiga mampu mengakhiri konflik tersebut. Dalam proses yang merupakan siklus umpan balik itu, suatu taraf intensitas konflik yang tinggi menyebabkan terjadinya demarkasi batas-batas kelompok yang jelas, kepemimpinan despotis apabila sebelumnya terjadi disintegrasi kelompok.
4 5
Ibid, Soerjono Soekanto, hal. 70. Ibid, Soerjono Soekanto, hal. 73.
12
Kecuali itu juga akan terjadi solidaritas internal apabila kelompok itu kecil dan merupakan minoritas, serta kalau kelompok itu dalam posisi mempertahankan diri6.
Teori konflik dalam sosiologi mendapat banyak pengaruh dari tesistesis oleh Marx tentang perkembangan masyarakat. Marx memandang perkembangan masyarakat sebagai sebuah keniscayaan sejarah yang disebut Materialisme Historis (Giddens, 1986). Di dalam doktrin materialisme historis dinyatakan bahwa perkembangan masyarakat merupakan dialektika (thesis-antiteis-sintesis) dari pertentangan-pertentangan internal yang berasal dari mode of production. Mode of production inilah yang disebut sebagai basis material yang terdiri dari dua tiang (Johnson dlm. Agusta, 2000). Pertama, relation of production yang berupa hubungan sosial ekonomi yang terjadi antara produsen dan non produsen dalam produksi ekonomis. Kedua, Force of Production yang meliputi bahan mentah, perkakas dan instrumen, dan pembagian kerja teknis. Jika tidak ada pembagian kerja teknis maka disebut Means of production (alat-alat produksi). Konflik dalam masyarakat terbentuk karena distribusi kewenangan: (autaority) yang tidak merata. Kewenangan tidak melekat pada pribadi tetapi pada sejumlah posisi. Atas dasar asusmsi tersebut maka, masyarakat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok super ordinat dan subordinat. Proses sosial berlangsung atas kontrol dan paksaan pihak yang sedang berkuasa terhadap yang subordinat. Kepentingan kelompok ordinat ialah memelihara status quo sedangkan bagi kelompok subordinat adalah perubahan. Semua orang yang berada dalam kelompoknya mempunyai kepentingan dan perasaan yang sama untuk melakukan perubahan. Dalam pandangan sosiologi Marx, konflik agrarian yang tersebar merata di Indonesia sejak masuknya bangsa eropa yang dipahami sebagai sengketa antar cara produksi di dalam formasi sosial kapitalis. Nuansa konflik agrarian merupakan determinasi konflik cara produksi kapitalis dengan subsisten manakala alat produksi yang dikuasai petani, yaitu tanah, diambil alih oleh pihak pemerintah ataupun swasta untuk usaha komersial.
6
Ibid, Soerjono Soekanto, hal. 73.
13
Pemilikan dan penguasaan tanah merupakan faktor penting dalam setiap masyarakat, apa pun model sistem sosial-ekonomi-politik yang dianut di dalamnya. Kenyataan ini mendorong masyarakat untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi pihak luar termasuk negara. Dengan dasar ini maka, seringkali terjadi persoalan pembangunan dan sengketa tanah di Indonesia dengan melibatkan berbagai elemen negara baik pusat maupun daerah. Dengan sendirinya setiap usaha pihak luar termasuk negara untuk memiliki atau menguasai hak atas tanah di dalam suatu wilayah komunitas lokal maka akan mendapat perlawanan dari masyarakat setempat, dan konflik secara terbuka atau tersembunyipun tidak dapat dielakkan. Mengenai lingkup agrarian, Sitorus membedakan menjadi objek agraria dan subjek agrarian (Sitorus dalam Suhendar et al, 2002: 34-39). Objek agrarian terdiri dari tanah, air, hutan, bahan tambang, dan udara. Dengan objek inilah hubungan sosial ekonomi terbentuk menjadi kegiatan pertanian, perikanan, perhutanan, pertambangan, dan kedirgantaraan. Sedangkan subjek agrarian adalah pemanfaat sumber-sumber agrarian yang terdiri dari komunitas (rumah tangga), pemerintah (wakil Negara), dan swasta (perusahaan). Ketiga
subjek
menggambarkan
tersebut
bagaimana
diatas
merupakan
struktur
anatomi
gejala
umum
permasalahan
yang konflik
pembangunan dan sengketa agraria di Indonesia. Akan tetapi untuk kasus Ternate, perlu kami tambahkan satu unsur lagi dalam pemerintahan (wakil negara) yaitu pemerintahan kerajaan atau kesultanan sebagai insrumen terpisah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara (dalam arti formal). Pemisahan ini perlu dilakukan karena secara de jure maupun de facto, eksistensi penyelenggaraan pemerintahan kesultanan Ternate dalam tatanan masyarakat lokal hingga kini masih terus berlangsung pada segi yang lain, terdapat juga peran negara. Kenyataan ini seolah menunjukkan bahwa praktek negara bayangan (shadow state)7 melalui penyelenggaraan pemerintahan kesultanan disatu sisi 7
baca, Latar Historis: Otoritas Kesultanan Ternate dan Model Birokrasi Negara Bayangan ”shadow state”.
14
dan pemerintahan negara (RI) menjadi penyebab meluasnya dimensi permasalahan petani dan masyarakat adat di daerah ini. Hubungan sosial diantara unsur-unsur (subjek) tersebut membuahkan sengketa yang bernuansa budaya, sosial, ekonomi dan politik, bahkan secara ideologis. Sebagaimana dijelaskan oleh Aditjondro (Aditjondro dlm. Fauzi, 1999: 7-8) bahwa ekspansi konflik agrarian sudah tidak bisa dipahami sebagai sengketa tanah an sich. Sengketa tanah adalah akumulasi sengketa yang mendasar berupa sengketa antar sistem ekonomi, mayoritas-minoritas, rakyat versus negara. Menurut Fauzi (1997), bahwa pengambilan tanah-tanah rakyat demi pembangunan, dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penggusuran dengan menggunakan kekerasan, penaklukan dan manipulasi ideologis dengan cara-cara yang melanggar HAM. Beberapa cara yang sering dilakukan untuk melepaskan hak penguasaan dan pemilikan tanah rakyat antara lain adalah: a). Membuat kecelakaan massal seperti kebakaran, yang kemudian wilayah tersebut tidak diijinkan lagi untuk dibangun oleh penghuni yang lama; b). Mengembangkan calo-calo tanah yang beroperasi dari rumah ke rumah yang lain, yang berisiko pada rendahnya perolehan harga pelepasan hak atas tanah; c). Melakukan intimidasi, teror dan kekerasan fisik secara langsung maupun tidak langsung, seperti menjadikan lokasi daerah yang akan dibebaskan sebagai lokasi latihan perang-perangan bagi militer atau melakukan tindak kekerasan pada salah satu tokoh masyarakat yang paling keras mempertahankan hak-hak mereka atas tanah; d). Pemancangan pelang, pematokan tanah, perataan tanah, dan pembuldoseran yang akan dijadikan area proyek; e). Melakukan delegitimasi penguasaan tanah yang tidak mempunyai bukti sertifikat formal atau mendelegitimasi sertifikat yang telah dimiliki warga; f). Menetapkan ganti rugi tanah secara sepihak; g). Memanipulasi tanda tangan persetujuan untuk pelepasan hak atas tanah; h). Memberikan stigma sosial dan politik (seperti pemberian kode ET-Eks Tapol atau
PKI)
dan
mematikan
hak-hak
perdata
rakyat
yang
berusaha
mempertahankan tanah yang akan diambil untuk kepentingan proyek; i). Mengembangkan program bedol desa atau transmigrasi massal mereka yang tanahnya diperluaskan untuk proyek-proyek raksasa.
15
2.2. Karakteristik Petani Petani adalah seseorang, laki-laki maupun perempuan, yang secara sendiri, sebagai bagian dari sebuah rumah tangga yang selanjutnya disebut sebagai keluarga batih dan yang ikut tinggal satu atap dan makan satu dapur, sebagai bagian dari paguyuban, maupun kelompok masyarakat hak adat, baik yang diam di negara RI sebelum beradanya - sebagai kesatuan administrasi dan politik maupun sesudahnya, memiliki maupun menguasai, mengawasi
maupun
mengelola dan mengerjakan sebagai buruh, mengolah maupun mengembangkan sumber-sumber daya agraria dengan tenaga kerja serta daya cipta pikirannya dan asupan-asupan lainnya, sehingga menghasilkan sebagian maupun seluruh kebutuhan-kebutuhan hidup, yang digunakan untuk melangsungkan maupun mengembangkan diri dan keturunannya, dengan cara dikonsumsi, disimpan maupun ditukarkan dengan berbagai kebutuhan lainnya, agar semakin meningkatkan kelayakan hidupnya, semakin memberikan arti akan keberadaannya sebagai manusia, serta menjaga kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati karunia Tuhan Yang Maha Esa. Pembagian petani di Indonesia dalam berbagai pengertian, sebagai berikut: 1. Petani pemilik penggarap, yang memiliki mengelola sendiri (dengan tenaga keluarga dan/atau tenaga upahan dari luar) lahan pertaniannya. 2. Petani penyewa penggarap, yang menguasai lahan pertanian dari menyewa dan mengelola sendiri (dengan menggunakan tenaga keluarga dan/atau tenaga upahan dari luar) lahan pertaniannya tersebut. 3. Petani penggarap, yang menguasai lahan-pertanian berdasarkan hak menggarap (menyakap) dengan perjanjian “bagi hasil” yang telah disepakati dengan pemilik dan mengelola sendiri (dengan tenaga keluarga sendiri dan/atau tanpa tenaga upahan dari luar) lahan pertaniannya tersebut. 4. Petani pemilik bukan penggarap, yang memiliki lahan pertanian tetapi tidak mengelolanya sendiri karena beberapa sebab seperti: disewakan, digadaikan, disakapkan atau dibagi-hasilkan.
16
5. Buruh tani atau petani tak bertanah, yang hidup atau mata pencaharian pokoknya dari sektor pertaniannya tetapi ia sendiri tidak memiliki dan/atau menguasai sebidang tanah pun8. Sejarah pemilikan tanah di Indonesia modern setidaknya telah dimulai kira-kira abad ke-19. Itu menyangkut sejarah negosiasi di antara negara dan masyarakat tentang pemilikan dan pengelolaan tanah. Pihak lain yang semakin banyak mempengaruhi negosiasi ini adalah perusahaan-perusahaan transnasional dalam era Orde Baru. Pemerintah Indonesia, meminjam perspektif James C. Scott dengan ‘simplifikasi negara’ negara cenderung melegalisasi dan meregulasi pengelolaan dan penguasaan tanah yang terlalu ketat dan seragam untuk kepentingan sendiri, di tengah kelompok-kelompok masyarakat yang berbedabeda karena pluralitas kebudayaan9. Dalam konteks struktural, Scott mengkaji tentang hubungan negara dengan gerakan perlawanan petani sebagai berikut: “struktur agraris yang rapuh dan eksplosif pada umumnya merupakan produk interaksi antara tiga kekuatan: perubahan demografis, produksi untuk pasar, dan pertumbuhan negara. Arah perkembangan
demografis-pertambahan
penduduk,
okupasi
semua
tanah
pertanian-memperlemah kedudukan petani terhadap orang-orang yang menguasai tanah…peranan negara sebagai pemaksa-kekuatan untuk memaksa pelaksanaan kontrak-kontrak melalui pengadilan dan untuk mematahkan perlawanan kaum tani-memungkinkan
para pemilik
tanah
dan
rentenir untuk
merenggut
keuntungan-keuntungan yang sebesar-besarnya dari kedudukan mereka yang lebih kuat10. Peristiwa perlawanan petani di berbagai daerah pada era Orde Baru maupun sesudahnya menunjukkan petani bukan masyarakat yang diam dan pasif. Revolusi dapat mengalir dan berkekuatan besar di kalangan petani pedesaan dan menentukan arah perubahan masyarakat. Kegagalan teori modernisasi pembangunan dalam
8
9
10
Totok Mardikanto, dan Sri Sutami, Pengantar Penyuluhan Pertanian:Dalam teori dan Praktek, Lembaga Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (LSP3), Hapsara, Surakarta, 1982, hal. 54-55 Dalam Anu Lounela dan R. Yando Zakaria, Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berprespektif Kampus dan Kampung, Insist, Jurnal Antropologi UI, Karsa (Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria), 2002, hal.7 James Scott, Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, LP3ES Jakarta, 1981, hal. 300.
17
menjalankan tugasnya sebagai pemicu gerakan adalah akar pemikiran sosial untuk memahami revolusi dan realitas politik petani (sebagai kekuatan di masyarakat yang acap diandaikan terbelakang tersebut).11
Penelitian mengenai gerakan petani menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan moral-ekonomi, pendekatan historis dan pendekatan ekonomi-politik. Pendekatan perspektif moral-ekonomi dipelopori oleh Wolf (1969), Scott (1976), dan Migdal (1974). Pendekatan moral ekonomi menghubungkan gerakan perlawanan petani dengan ancaman terhadap subsistensi atau keamanan kesejahteraan mereka selama periode perubahan berlangsung. Pendekatan ini secara jelas menginterpretasikan gerakan perlawanan petani yang dianggap sebagai reaksi definitif terhadap penetrasi kapitalis untuk melindungi struktur sosial ekonomi prakapitalis yang mereka miliki, secara nyata memberikan kesejahteraan dan ketentraman kepada mereka. Masuknya kapitalisme pada suatu komunitas petani ditentang keras, karena selain dianggap mengancam kepentingan ekonomi mereka, juga dianggap akan mengancam pranata-pranata sosial budaya yang mereka miliki. Menurut Wolf12:
“Peasant are averse to risk and focus on avoiding drops, not on maximizing profits. Opportunities for gain will be eschewed if such opportunities even slightly increase the chance of failing below the subsistence line”
Konsep yang tidak kalah pentingnya digunakan oleh pendekatan moral ekonomi dalam menjelaskan gerakan petani adalah konsep struktur sosial dan relasi social ekonomi yang terdapat pada masyarakat ini secara horizontal ditandai oleh homogenitas yang tinggi dan secara vertikal ditandai oleh struktur yang berbentuk kerucut. Dalam struktur kerucut ini, posisi puncak strata sosial diduduki oleh kaum elit yang berjumlah sedikit, sedangkan struktur bawah yang jumlahnya cukup banyak diduduki oleh petani penggarap dan buruh tani. 11
12
Robert H. Bates dalam Zainuddin Maliki, Penaklukan Negara Atas Rakyat: Studi Resistensi Petani Berbasis Religio Politik Santri Terhadap Negarisasi, Gadjah Mada University Press, 1999, hal. 33. Wolf, E.J., Peasant Wars of Twentieth Century, New York: Harper & Rowy, 1969, hal 280, dalam Basrowi dan Sukidin, Teori-Teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif, Insan Cendikia, 2003, hal. 2.
18
Dalam struktur masyarakat seperti ini, faktor kepemimpinan memegang peranan penting, sedangkan jabatan pemimpin diduduki kelompok elit yang berada pada posisi puncak dari struktur sosial vertikal yang ada tersebut. Mengingat pentingnya faktor kepemimpinan dalam gerakan perlawanan petani ini diasumsikan tidak akan dapat terjadi bila tidak ada pemimpin yang menggerakkannya13. Menurut Azhar bahwa status kepemilikan tanah merupakan kepemilikan komunal atau kolektif. Status kepemilikan ini sebenarnya hanya ada pada tingkat ideasional semata, sedangkan dalam praktiknya sebagian besar tanah yang ada dikuasai oleh para tuan tanah. Namun karena hubungan produksi yang terjalin antara tuan-tuan tanah dengan para petani penggarap dan buruh tani tidak didasarkan pada perhitungan ekonomis semata, tetapi juga melibatkan aspek spiritual, sosial, dan kultural di dalamnya, maka status kepemilikan tanah menjadi kabur. Kekaburan inilah yang kemudian dipersepsikan sebagai milik bersama. Dari penjelasan yang telah dikemukakan, dapat dilihat terdapat dua aspek pokok yang menjadi pemicu gerakan petani menurut pendekatan moral ekonomi, yaitu: 1). gerakan ini merupakan reaksi defensif terhadap perubahan yang dianggap akan mengancam kelangsungan hidup para petani yang berbeda dalam kondisi subsisten dan 2) dalam gerakan petani, faktor pemimpin gerakan merupakan faktor kunci dan pemimpin gerakan ini biasanya berasal dari kalangan elit desa atau patron. Tanpa adanya pemimpin ini, gerakan para petani sulit terjadi14. Dalam berbagai konflik pertanahan yang terjadi, umumnya rakyat yang kehidupannya sangat tergantung sepenuhnya pada sumber daya alam sekitarnya, seperti petani selalu berada pada posisi yang lemah. Fenomena persoalan pembangunan dan konflik pertanahan di Indonesia hingga saat ini, menurut Scott (1989, seperti dikutip Endang Suhendar & Yohana Budi Winarni, 1998: 5) ialah munculnya kekuasaan negara serta semakin merasuknya jeratan kapitalisme dan komersialisasi yang merupakan ancaman terhadap pola subsistensi petani. Sementara kekuatan politik masyarakat masih sangat lemah, akan menyebabkan konflik kepentingan untuk menguasai sumber daya agraria. 13 14
Ipong S. Azhar, Radikalisme Petani…, Op.Cit., hal. 16-17. Ibid., hal.18.
19
Kondisi inilah yang mendorong lahirnya berbagai bentuk protes dalam wujud gerakan sosial masyarakat petani sebagai perlawanan terhadap kekuatan elit-elit pembangunan dan dominasi “negara”. Peran lainnya dari aktor elit ditingkat lokal adalah LSM dan gerakan mahasiswa yang menjadikan isu-isu pembangunan dan globalisasi sebagai alat untuk membangkitkan kesadaran rakyat dari dominasi kekuatan dominan dan eksploitasi kaum marginal. Analisis sosial yang dijadikan pintu masuk penyadaran masyarakat tani diarahkan pada kepentingan menganalisis kebijakan politik dan ekonomi lokal yang berdampak pada meluasnya dimensi persoalan yang dihadapi. Nilai-nilai yang ditanamkan pada masyarakat lokal melalui LSM dan gerakan mahasiswa ini adalah ide-ide advokasi hukum, HAM dan pembebasan dari jeratan
kapitalisme
yang
menindas.
Dengan
demikian
maka
dapat
digambarkan bahwa anatomi dan pola hubungan antara elit pembangunan baik ditingkat lokal maupun nasional cenderung bersifat konfliktual yang melibatkan masyarakat petani lokal sebagai korban yang selalu dirugikan.
2.3. Masyarakat Adat Masyarakat adat adalah istilah yang dipopulerkan oleh Ornop (organisasi non pemerintah) di Indonesia untuk menterjemahkan kosa kata "indigenous peoples / IP", sebuah istilah yang digunakan oleh ILO sebagai sebutan bagi entitas "penduduk asli". ILO memang telah menaruh perhatian terhadap isu IP sejak 1950-an. Dan perbincangan tentang indigenous peoples semakin mendunia, setelah World Bank (WB) mulai menjadikannya sebagai salah satu isu pokok dengan mengeluarkan Operational Manual Statement (1982) serta Operational Directive (1991). World Bank mendefenisikan indigenous peoples sebagai: "spektrum kelompok sosial yang luas (meliputi indigenous ethnic minorities, tribal groups, dan schedules tribes), yakni kelompok yang memiliki sebuah identitas sosial dan kultural yang dapat dibedakan dari masyarakat dominan, yang membuat mereka tidak diuntungkan dalam proses pembangunan."
20
Di Indonesia, istilah indigenous peoples mulai diperkenalkan pada pertemuan bertajuk "Lokakarya Pengembangan Sumberdaya Hukum Masyarakat Adat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam di dalam Kawasan Hutan", tanggal 25 - 29 Mei 1993 di Toraja, Sulawesi Selatan. Lokakarya menyepakati "masyarakat adat" sebagai terjemahan indigenous peoples, serta merumuskan defenisi "masyarakat adat" sebagai "kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan wilayah sendiri". Rumusan defenisi inilah yang digunakan kalangan Ornop sampai sekarang. Akan tetapi belakangan, defenisi tersebut nampaknya mulai mendapat kritikan, karena: Pertama, defenisi itu dinilai terlampau umum sehingga menyulitkan pemakaiannya secara deduktif dalam pengalaman empirik; Kedua, defenisi tersebut terkesan memahami masyarakat adat sebagai sesuatu yang statis dan final, sehingga seolah-olah tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan; Ketiga, dengan mengedepankan karakteristik "ketersendirian" (sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, sosbud dan wilayah sendiri), gerakan masyarakat adat bisa terjebak pada orientasi yang netral, yakni tidak adanya orientasi keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu, misalnya keadilan dan demokrasi. Dari perspektif sosio-ekologis, kritik diatas cukup logis, karena entitasentitas masyarakat adat di Indonesia yang tergabung dalam jaringan Gerakan Masyarakat Adat di bawah payung Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), ternyata cukup beragam dan menunjukkan dinamika perkembangan yang berbeda-beda. Secara garis besar, entitas masyarakat adat tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 tipe: Pertama, kelompok Masyarakat Kanekes di Banten dan Masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan, yang menempatkan diri sebagai "pertapa bumi". Mereka percaya bahwa mereka adalah kelompok masyarakat "terpilih" yang bertugas memelihara kelestarian bumi dengan berdoa dan hidup prihatin. Pilihan hidup prihatin mereka dapat dilihat dari adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lain;
21
Kedua, kelompok masyarakat Kasepuhan dan masyarakat Suku Naga. Kelompok ini pada dasarnya cukup ketat dalam memelihara dan menerapkan adat-istiadat, tetapi masih membuka ruang yang cukup luas bagi adanya hubungan-hubungan "komersil" dengan dunia luar; Ketiga, kelompok masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam (hutan, sungai, laut, dan lain-lain) dan mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang unik, tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan masyarakat Kanekes maupun Kasepuhan. Masuk dalam kelompok ketiga ini, antara lain: Masyarakat Dayak dan Penan di Kalimantan; Masyarakat Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah; Masyarakat Dani dan Deponsoro di Papua Barat; Masyarakat Krui di Lampung; dan Masyarakat Haruku di Maluku; Keempat, kelompok masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumber daya alam yang "asli" sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang selama ratusan tahun. Termasuk dalam kategori kelompok ini adalah Masyarakat Melayu Deli yang bermukim di wilayah perkebunan tembakau di Sumatera Utara. Mereka menyebut dirinya sebagai rakyat penunggu. Dari empat tipe kelompok masyarakat adat tersebut, tiga tipe kelompok yang disebut pertama, boleh dibilang adalah kelompok masyarakat yang oleh UU Kehutanan No. 41/1999 disebut sebagai "Masyarakat Hukum Adat", yakni kelompok masyarakat yang masih memenuhi unsur-unsur: (a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechts-gemeenschap); (b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; (c) ada wilayah hukum adat yang jelas; (d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; (e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup seharihari.17) Sedangkan khusus untuk masyarakat adat yang masuk dalam tipe kelompok ketiga, oleh Keputusan Presiden No. 111/1999 dan Keputusan Mensos No. 67/2000, disebut sebagai "Komunitas Adat Terpencil" (KAT), yakni kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang
22
atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik. Ciri-cirinya: (a) berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen; (b) pranata sosial bertumpu pada lembaga kekerabatan; (c) pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau; (d) pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten; (e) peralatan dan teknologi sederhana; (f) ketergantungan kepada lingkungan dan sumber daya alam setempat relatif tinggi; (g) terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik. Eksistensi komunitas adat sesungguhnya telah tercantum dalam sejumlah instrumen hukum nasional, meskipun disadari masih mengundang banyak tafsir. Karena di dalamnya terdapat pasal-pasal yang secara eksplisit mengatur berbagai hak yang melekat pada komunitas adat sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Negara haruslah melindungi hak-hak masyarakatnya atas tanah. Dalam kaitan ini, Prof. Dr. Soentandyo Wignjosoerbroto menulis ”Pengakuan oleh negara atas hak-hak tanah masyarakat tani/adat pada hakekatnya adalah suatu refleksi kesediaan para pengemban kekuasaan negara untuk mengakui eksistensi masyarakat adat yang otonom. Dan kemudian juga untuk mengakui hak-hak masyarakat itu atas tanah dan segenap sumber daya alam yang ada diatas dan / atau di dalam tanah itu yang bernilai vital, untuk menjamin kelestarian fisik dan non fisik masyarakat tersebut. 15 Jelas bahwa hak-hak ulayat setiap persekutuan hidup lokal demikian merupakan basis materi dari hak-hak adat. Jadi bukan pada satu “kategori kebudayaan”, atau “sub kebudayaan”, atau “etnisitas”, sebagaimana yang banyak disalahtafsirkan selama ini. Dengan demikian, pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat tidaklah akan mengancam kedaulatan Negara terlebih jika dikhawatirkan selama ini akan mengancam keutuhan Negara atau menciptakan disintegrasi bangsa adalah merupakan sebuah asumsi yang keliru karena hak masyarakat adat tidak terkait pada unit otonomi kedaerahan, kategori budaya tertentu maupun etnisitas tertentu. 15
Prof. Dr. Soentandyo Wignjosoerbroto (2003), Kebijakan Negara untuk mengakui atau tidak mengakui Eksistensi Masyarakat Adat. Berikut Hak-hak atas Tanahnya. Dalam Yando Zakaria (2003), Gelombang Perlawanan Rakyat: kasus-kasus gerakan sosial di Indonesia, JogyakartaInsist Press.
23
Dengan demikian, maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat atas tanah akan mengancam integrasi nasional. Malah, jika mencermati gejala-gejala gerakan sosial ditingkat akar rumput sebagai protes atas berbagai bentuk kebijakan pertanahan oleh Negara dalam beberapa kurun waktu belakangan semenjak bergulirnya era reformasi demokrasi 1998. Dalam konteks ini, penegasian hak-hak masyarakat adat itulah yang menjadi titik pangkal munculnya sentiment “anti Negara” seperti yang selama ini terjadi di beberapa daerah bahkan di Jakarta sehingga pada taraf lebih lanjut seiring dengan menguatnya peran sipil ketika berhadapan dengan Negara maka akan menjadi sebuah kesadaran politik bersama di tingkat etnis yang bukan saja menjadi “bom waktu” bagi munculnya konflik antara “masyarakat etnis” sebagai wujud konflik horizontal melainkan juga menguatnya jaringan “melawan” Negara yang merupakan manifestasi akumulasi konflik vertikal selama ini. Tentunya kondisi seperti ini harus dihindari. Dengan kata lain, masyarakat adat telah memiliki modal sosial dari budayanya sendiri. Baik untuk mempertahankan kehidupannya, bahkan untuk menciptakan masa depan yang lebih sejahtera dimasa-masa yang akan datang. Maka, penegasian orgaisasi desa yang sejati dalam upaya menciptakan masa
depan
yang
lebih
sejahtera
sebagaimana
dipraktekkan
sejak
berkuasanya rezim Orba dalam program pembangunan hingga saat ini adalah merupakan sebuah bentuk penghancuran terhadap berbagai sistem sosial budaya lokal yang merupakan modal sosial sekaligus sebagai kekuatan pembangunan itu sendiri sehingga jelas-jelas merugikan bagi eksistensi masyarakat adat pada umumnya. Jika realitas ini terus berlangsung maka, akan terbukti kekhawatiran Prof. Soetandyo, bahwa “pembangunan” sebagai upaya menjadikan the old tradisional societies (komunitas-komunitas masyarakat adat) sebagai a new modern state (Negara-bangsa Indonesia) haruslah lebih berorientasi pada upaya transformatif dan tidak transplantatif) misalnya, sebagaimana yang dicirikan oleh penerapan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa) Sebab,
transplantasi
yang
bukan
transformatif
ini
serta
merta
24
mensubordinasikan the old societies itu ke bawah kontrol-kontrol the new state, yang dengan segala tindakannya hampir selalu bermuatan politik dan ekonomi
daripada bermuatan motif sosial dan kultural. Akibatnya,
“pembangunan” yang hakekatnya untuk menciptakan kehidupan (seluruh warga) menjadi lebih sejahtera, berjalan tanpa peduli pada dampak-dampak yang destruktif pada tatanan-tatanan sosial dan budaya komunitas-komunitas lokal. Terutama sekali komunitas masyarakat Adat.16 Dari segi kepentingan pemerintah pusat, UU No. 5 Tahun 1979 tersebut jelas-jelas membawa manfaat. Penetrasi pemerintahan pusat pada daerah-daerah pedesaan di Indonesia, khususnya pada desa-desa di luar Jawa menjadi sangat nyata. Keseragaman struktur desa bagi seluruh desa juga menguntungkan pemerintahan pusat. Karena keseragaman itu memudahkan pemerintah pusat untuk melakukan pembinaan dan fungsi pengawasan terhadap pemerintah desa di seluruh Indonesia tanpa terkecuali. Sementara itu, masyarakat adat justeru merasakan dampak perubahan yang begitu hebat akibat penerapan Undang-undang tersebut, diantaranya: 1
Corak kesatuan territorial wilayah; hal ini kemudian terkait pada property right; dan wewenang pengaturannya (misalnya pelepasan hak berada ditangan Kepala Desa, manipulasi dan perseteruan antara Kepala Desa dengan pimpinan adat atau dengan warga desa bukan suatu yang jarang terjadi).
2
Corak persekutuan dan kesatuan sosialnya pun berubah. Ini secara langsung berpengaruh pada mekansme sosial bagi penciptaan solidaritas sosial.
3
Karena sebagai mesin sosial, desa mengalami perubahan nilai, norma, hukum yang menjadi pedoman warga (dulu diciptakan sendiri, sekarang menggunakan sesuatu yang sebenarnya asing, sehingga tidak dimengerti, masyarakat menjadi teralienasi dan menjadi warga yang merasa inferior-karena pengetahuan sendiri ternyata tidak baik, terbukti dari tidak diakuinya dalam sistem
16
Ibid
25
pemerintahan dan proses-proses pembangunan yang berlangsung. Kondisi seperti ini jelas menimbulkan sikap-sikap “ekstrim” seperti apatis, dispartisipatif, dan radikal kritis terhadap pembangunan dan pemerintah, baik yang ada di daerah maupun di pusat. Sikap-sikap tersebut biasa muncul secara terbuka dan mudah ditengarai atau tersembunyi, yang sewaktu-waktu muncul sebagai persolan yang sulit untuk dikendalikan. 4
Sistem nilai yang dipaksakan berlaku dan diterima oleh masyarakat adat
berdasarkan
hukum
nasional
(tertulis)
dirasakan
tidak
memberikan rasa keadilan. Misalnya, program pemukiman kembali dan
regrouping
(desanisasi)
yang
memberikan
tanah
bagi
pendatang, yaitu 2 ha untuk berkebun, 0,25 Ha untuk tapak rumah, 6 x 6 m Rumah, 0,25 lahan pertanian pangan. Pembagian ini dirasa tidak adil karena masyarakat adat harus merelakan tanah-tanah pribadi dan komunal yang lebih luas dan menjamin kelangsungan hidupnya. Sementara luas tanah bagian yang baru tidak cukup untuk memberikan jaminan atas kelangsungan hidupnya. Sebaliknya para pendatang umumnya dari petani miskin di pulau Jawa yang tidak memiliki tanah dianggap oleh masyarakat adat memperoleh tanah yang bukan miliknya tetapi berasal dari kepemilikan adat atau pertuanan. 5
Corak organisasi sosial desa khususnya dari aspek pemerintahannya, perangkat
pengaturannya,
kepemimpinan,
corak
mekanisme-
mekanisme pengambilan keputusan dalam berbagai hal, termasuk dalam penyelesaian perselisihan antara warganya. 6
Proses pemilihan pemimpin (termasuk persyaratannya); perangkat pemerintahan; mekanisme / orientasi pertanggungjawaban (dulu ke bawah berubah menjadi keatas); dan implikasinya pada corak / sumber legitimasi pemimpin dalam komunitasnya.
7
Hilangnya pengetahuan-pengetahuan (termasuk sistem pengobatan) dan teknologi yang arif terhadap lingkungan; akibatnya tekanan pada SDA menjadi besar. Hal ini diperparah oleh kebijakan
26
pembangunan dalam pengadaan pangan yang “bias padi”. Sehingga, karena dianggap inferior, bahan makanan non padi yang dikenal masyarakat ditinggalkan (seperti ladang Sagu, dll). Sebagai konsekuensi logis dari terjadinya perubahan tersebut maka, hal ini sering menimbulkan konflik yang terus bergulir hingga mewujud pada sebuah gerakan sosial. Gerakan sosial selalu dipahami sebagai wujud perubahan dari bawah dimana dimulai antara tanggapan rakyat luas dari elit sosial dan politik. Bagaimanapun gerakan sosial bisa juga digerakkan oleh pimpinan untuk menciptakan solidaritas serta komitmen. Tipe gerakan sosial menurut Harper adalah gerakan secara umum serta gerakan spesifik. Dalam hal ini Harper ingin mengatakan bahwa salah satu variabel penyebab perubahan sosial dalam suatu masyarakat adalah melalui gerakan sosial. Gerakan perlawanan rakyat terkadang juga kurang memberi kesan akan pentingnya peranan sebuah organisasi gerakan dalam mewujudkanya melainkan bisa terjadi secara spontan dan sporadis. Hal ini merupakan sebuah reaksi atas terganggunya struktur sosial, ekonomi dan kultur dalam masyarakat. Secara sepintas, protes yang timbul hanya berkisar pada motif ekonomi, khususnya mengenai ganti rugi tanah. Namun tidak mustahil bahwa dibalik motif tersebut, ada terkandung motif sosial dan budaya. Akhirnya, sasaran pembangunan yang mestinya mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat malah melahirkan kesengsaraan, penderitaan, dan ketdakpuasan yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan protes, atau gerakan-gerakan perlawanan sebagai respon terhadap persoalanpersoalan yang lahir dari proyek pembangunan sebagaimana lahirnya gerakan sosial baru (GSB) masyarakat adat Tafure Ternate dalam sengketa pembangunan dan perluasan terminal bandara Sultan Babullah Ternate saat ini. Singkat kata, jika persalan konflik tanah yang selalu melekat dengan isuisu pembangunan tidak segera dituntaskan secara serius maka, rakyat negeri ini akan terus berada pada kondisi ketidakstabilan sosial, politik dan ekonomi.
27
2.4. Analisis tentang Gerakan Sosial Baru Konon, menurut “ramalan” para futurolog, bahwa awal abad XXI ini adalah era kebangkitan gerakan-gerakan rakyat. Artinya arus perubahan tidak lagi tergantung kepada kepiawaian para agen perubahan yang senantiasa merujuk pada kelompok elit suatu masyarakat melainkan melalui aksi-aksi perlawanan gerakan rakyat yang terorganisasikan. Hal ini tentu saja bukan tak berdasar. Paling tidak, sejak dasawarsa 70-an pada abad XX silam, gerakangerakan rakyat menandai perubahan-perubahan yang terjadi terutama di Amerika Latin, Afrika dan Asia. Bangkitnya kekuatan rakyat kulit hitam di Afrika Selatan dibawah Nelson Mandela berhasil mentransformasikan negeri itu dari rezim apartheid yang dikutuk dunia, menjadi negara yang menjunjung tinggi rekonsiliasi antara ras-ras yang bertentangan. Di Asia, kekuatan rakyat menentang rezim otoriter telah menghadirkan Korea Selatan yang maju dan demokratis, diikuti oleh people power yang menumbangkan diktator Marcos dan mengubah wajah Filipina. Di ndonesia, kendati reformasi masih bergulir setengah hati, Soeharto dengan Orbanya bisa ditumbangkan oleh reaksi kolektif gerakan rakyat hingga kini beragam agenda reformasi tersebut masih terus diperjuangkan termasuk diantaranya agenda reforma agraria. a.
Definisi gerakan sosial Blumer menyatakan gerakan sosial sebagai suatu kegiatan bersama untuk
menentukan suatu tatanan baru dalam kehidupan17. Kemunculan gerakan sosial ditandai adanya kegelisahan akibat kesenjangan antara nilai-nilai harapan dan kenyataan hidup sehari-hari. Maka itu, suatu kelompok masyarakat mendambakan tatanan hidup yang baru, dengan membentuk sebuah gerakan yang terorganisir. David F. Aberle mengatakan gerakan sosial adalah suatu usaha yang terorganisir oleh sekelompok manusia untuk menimbulkan perubahan di hadapan tekanan manusia lainnya. Hal ini dibedakan dari usaha-usaha individu secara murni serta dibedakan pula dari aksi kerumunan. Gerakan yang demikian ini 17
Herbert Blumer, Social Movements, dalam Studies in Social Movements, edited by Barry McLaughlin, New York: The Free Press, 1969, hal.8.
28
diklasifikasikan menurut jumlah perubahan (total atau parsial) serta menurut tempat perubahan tertentu (pada sistem individu atau pada sistem supra induvidu tertentu) 18. Ritzer dan kawan-kawannya19 mengidentifikasi bahwa ada lima karakteristik yang terdapat pada suatu gerakan, yaitu: 1.
Suatu gerakan melibatkan sebagian besar individu yang berusaha memprotes suatu keadaan. Agar dapat dikategorikan sebagai suatu gerakan, maka usaha sejumlah individu tadi harus memiliki persyaratan dasar dari suatu organisasi.
2.
Suatu gerakan harus mempunyai skope yang relatif luas. Gerakan tersebut mungkin berawal dari skope yang kecil, tetapi akhirnya harus mampu mempengaruhi sebagian warga masyarakat.
3.
Gerakan tersebut dapat menggunakan berbagai macam taktik untuk mencapai tujuannya. Taktik-taktik tadi bervariasi dari yang sifatnya tidak menggunakan kekerasan sampai dengan yang menggunakan kekerasan.
4.
Meskipun dalam gerakan didukung oleh individu-individu tertentu, namun tujuan akhir dari gerakan tersebut adalah merubah kondisi yang ada pada masyarakat.
5.
Gerakan tersebut merupakan suatu usaha yang secara sadar dilakukan untuk mengadakan perubahan, dan bagi mereka yang terlibat didalamnya mungkin tidak menyadari segala tindakannya tetapi mereka tetap mengetahui tujuan utama dari gerakan tadi.
Untuk memperinci suatu reaksi kolektif tergolong gerakan sosial digunakan empat analisis, yaitu: 1). Tingkat kesadaran bersama tentang nasib yang dialami.; 2). Tingkat kolektivitas aksi baik dalam keluasan lingkup maupun tingkat koordinasi dan organisasi aksi. Ukuran yang diajukan adalah “kurang lebih“ tersebar meluas dan dimulai dari tingkat koordinasi rendah sampai organisasi kompleks; 3). Memiliki
orientasi
instrumental
dan
ekspresif.
Orientasi
instrumental berupa tujuan definitif diluar realitas aksi itu sendiri 18
David F. Aberle, A Clasification Of Social Movement, Aldine Publishing Aberle Co;Chicago, 1996, hal 315 lihat juga Tom Bottomore, Sosiologi Politik, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal 29-30. 19 Dalam Haryanto, Gerakan Sosial Politik, Op.Cit.
29
seperti dalam penguasaan tanah. Orientasi ekspresif merupakan wujud orisinil setiap aksi, seperti pembakaran sertifikat tanah. Kedua orientasi itu melekat secara bersamaan dalam sebuah gerakan sosial masyarakat serta kondisi yang memperlancar gerakan; 4). Tingkat eksklusifitas atas kerendahan status sosial, ekonomi dan politik. Basis kerendahan status ini terkadang bercampur dengan motif etnisitas/keagamaan yang kemudian menjadi ideologi anutannya. Gerakan sosial sebagai kombinasi prinsip identitas, oposisi, dan totalitas, dimana aktor sosial mengindentifikasikan diri mereka secara sosial. Identifikasi diri ini menurut Laclau & Mouffe melihat bahwa hegemoni akan muncul dalam situasi antagonisme dan menciptakan pertarungan hegemonik di antara kelompok sosial yang melakukan resistensi. Langkah selanjutnya adalah setiap aktor akan memahami identitas mereka melalui hubungan antagonistik, karena antagonisme mengidentifikasikan musuh mereka. Sebagai contoh, fakta bahwa masyarakat petani yang memiliki karakteristik kultural yang cukup kental (adat) yang ”dirampas” tanahnya oleh negara telah melahirkan hubungan antagonisme sehingga membuat masyarakat petani (masyarakat adat) tersebut menganggap institusi “negara” beserta aparaturnya sebagai musuh mereka, dan mengonstruksi identitas mereka. Menurut CL Harper, (1989) bahwa gerakan sosial dapat dibedakan dari bentuk-bentuk sosial lain sebab: (1) mereka selalu berada di luar kerangka kelembagaan dalam kehidupan sehari-hari serta (2) terdapat beberapa orientasi cara ke arah sebuah tingkat perubahan sosial.
b.
Tahap perkembangan gerakan sosial Dalam membahas muncul dan berkembangnya suatu gerakan digunakan konsep
‘value-added’ yang kemukakan oleh Smelser. Smelser menyatakan bahwa terdapat enam tahapan dalam perkembangan suatu gerakan, meliputi: a) structural conduciveness, b) structural strain, c) growth and spread of a generalized belief, d) precipitating factors, e) mobilization of participants for action, and f) application of social control. Enam tahap tersebut menunjukkan tahapan dari awal kemunculan suatu gerakan sampai dengan berhasil atau tidaknya gerakan tersebut.
30
Berdasarkan konsep Smelser, enam tahapan tersebut dipadatkan menjadi lima tahapan sebagai berikut: 20
Pertama: Pernyataan spontan tentang ketidakpuasan bersama. Suatu gerakan berawal ketika orang merasa tidak puas terhadap struktur sosial yang ada. Sebagian di antara mereka kemudian mengelompokkan diri dan menyatakan pandangannya tentang ketidakpuasannya. Pada tahap ini suatu gerakan masih menampakkan diri sebagai tindakan bersama yang bersifat spontan. Fungsi esensial dari tahap ini adalah untuk menarik perhatian massa yang diharapkan dapat memberikan dukungan bagi berlangsungnya suatu gerakan. Kedua: Pemilihan pimpinan gerakan. Tahap ini berawal ketika beberapa individu menyatakan bahwa perubahan yang diusulkan mempunyai peluang untuk berhasil. Mereka ini biasanya akan berperan sebagai pimpinan gerakan, dan sebagai pimpinan mereka mulai memberi arah bagi mempengaruhi tindakan para pengikutnya. Adapun fungsi yang essensial dari tahap ini adalah diterimanya beberapa individu sebagai pimpinan gerakan. Ketiga: Transformasi tindakan tidak berstruktur menjadi tindakan terorganisir. Tahap ini juga sering disebut sebagai periode pengorganisasian dan perencanaan. Sehubungan dengan hal tersebut peran pemimpin pada tahap ini menjadi sangat penting. Pimpinan harus mampu merumuskan tujuan gerakan secara menyeluruh, dan mampu pula merumuskan tujuan-tujuan antara yang membimbing tercapainya tujuan akhir dari suatu gerakan. Pada tahap ini pimpinan harus mampu merubah tindakan yang spontan dan tidak terorganisir menjadi suatu gerakan yang teratur dan terarah dengan baik. Selama periode ini pimpinan harus mampu memperkirakan berapa besar dukungan
yang
diperlukan
bagi
berhasilnya
gerakan,
harus
mampu
mengidentifikasikan masalah-masalah yang diperkirakan akan muncul sepanjang perjalanan gerakan dan menetapkan strategi dalam menyelesaikannya, menetapkan peran dan posisi dalam gerakan beserta orang-orang yang bertanggungjawab dalam peran tadi, dan lain-lain tindakan yang dapat memberikan jaminan bagi berhasilnya gerakan yang dipimpinnya. Ada pun esensi dari tahap ini adalah upaya yang dilakukan oleh pimpinan gerakan untuk mentransformasikan tindakan yang spontan dan tidak berstruktur menjadi tindakan yang lebih terarah dan terorganisir.
20
Haryanto, Ibid., hal.7.
31
Keempat: Konfrontasi dengan ‘lawan’ gerakan. Pada tahap ini gerakan sampai pada puncak keseriusan dalam mengajukan tuntutan dan kepentingannya, serta berupaya demi diterimanya tuntutan tadi. Pada periode ini gerakan berada dalam posisi aktif melakukan tindakan untuk berhadapan dengan ‘lawannya’, yaitu pihakpihak yang akan mengalami kerugian apabila kondisi ‘status quo’ yang ada diguncang oleh gerakan. Tahap ini dapat merupakan suatu periode yang singkat apabila gerakan dan ‘lawannya’ dapat dengan segera menyelesaikan permasalahan yang dihadapi; dan merupakan periode yang panjang apabila keduanya sama-sama mempunyai kekuatan yang seimbang dan tidak ada pihak yang bersedia untuk mengolah dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Esensi yang ada pada tahap ini adalah bahwa gerakan dalam posisi ‘action’ berhadapan dengan ‘lawannya’ dan berupaya memaksakannya untuk memenuhi tuntutan dan kepentingannya. Kelima: Pencapaian hasil. Tahap ini merupakan periode di mana dapat disaksikan apakah gerakan mampu atau tidak mencapai sasaran tujuan yang telah dicanangkan sebelumnya. Dengan berakhirnya suatu gerakan, masyarakat akan mengadaptasi pola tindakan yang baru yang muncul dari ‘persaingan’ antara gerakan dan ‘lawannya’. Jika gerakan sukses biasanya diperlukan waktu yang cukup untuk menyebarluaskan pola tindakan yang baru ke seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi jika gerakan tidak berhasil, biasanya akan diikuti dengan tindakan pembubaran diri dari para partisipan gerakan, dan tidak tertutup kemungkinan mereka akan merumuskan kembali tujuan yang telah ditetapkan serta mencoba meraihnya melalui gerakan yang baru sama sekali. Ringkasnya, tahap ini merupakan periode di mana gerakan mampu atau tidak mencapai tujuannya. Dalam perkembangan gerakan sosial hingga saat ini, terdapat tiga tipe gerakan sosial. Singh21 menjelaskan secara garis besar tipe gerakan sosial, yaitu tipe klasik, neo-klasik dan gerakan sosial baru. Pertama: Tipe klasik. Gerakan sosial tipe klasik dilatarbelakangi oleh adanya pertentangan ideologi yaitu antara ideologi Kapitalis dan Marxis. Faktor pendorong utama gerakan ini adalah dominasi para pemilik modal atas kaum buruh, di mana berbagai sarana produksi dikuasai oleh kaum pemodal. Dominasi ini melahirkan kemiskinan dan kesengsaraan bagi kaum buruh. Tokoh gerakan ini, Karl Marx menganjurkan cara revolusi untuk memulihkan hak-hak kaum proletar. Sasaran akhir perjuangannya adalah terciptanya masyarakat
21
Dalam Ngadisah, ibid., hal. 297.
32
tanpa kelas. Kedua: Tipe Neo-klasik, beberapa ciri menonjol dalam gerakan sosial tipe ini adalah: 1. Berada dalam kerangka dialektis Marxis, yang dielaborasi dalam formasi kelas, historis materialistis dan materialisme deterministis. 2. Gerakan
dilandasi
oleh
rangsangan–rangsangan
emosional
seperti:
kegelisahan, kegembiraan, stress dan ketergantungan, sehingga melahirkan perilaku spontan. 3. Ada nuansa politis, karena ada unsur perlawanan terhadap kelas tertentu. 4. Para aktor yang melibatkan diri dalam gerakan bukan orang-orang yang secara objektif kekurangan. Faktor pendorong terjadinya gerakan adalah ketimpangan kekuasaan yang telah melahirkan ketegangan struktural. Ketimpangan terjadi karena ada dominasi dari salah satu pihak yang melahirkan pula ketegangan status dan perasaan terampas secara relatif (deprivasi relatif). Isue perjuangan yang dikembangkan adalah: harga diri, revitalisasi dan munculnya “Ratu Adil”. Metode perjuangannya adalah dengan pengerahan massa (crowd, riot, rebellion) atau aksi kolektif Ketiga: Tipe gerakan sosial baru (New Social Movement). Sasaran perjuangannya adalah membangun “Civil Society”, sedangkan faktor pendorong utama gerakan ini adalah kontrol atau campur tangan negara yang terlalu besar atas rakyatnya. Kontrol yang ketat yang telah mempersempit ruang publik dan untuk membukanya perlu dikembangkan wacana otonomi dan kebebasan individu, kolektivitas dan identitas. Beberapa ciri yang melekat pada gerakan ini antara lain: 1. Tidak mengikatkan diri pada ideologi tertentu. 2. Bersifat transnasional. 3. Menghasilkan “ends” 4. Aktor-aktor non-segmental, berasal dari grass root segala segmen. 5. Menolak pendekatan “collective behavior” 6. Organisasi dan komunikasi canggih (information is power). 7. Melawan diskriminasi
33
Merujuk pada Pichardo dan Singh, Menurut Suharko22 bahwa Ciri menonjol GSB yang dianggap membedakannya dari gerakan sosial “lama” atau tradisional, dapat diformulasikan sebagai berikut: 1. Ideologi dan Tujuan: GSB menanggalkan orientasi ideologis yang kuat melekat pada gerakan sosial lama, sebagaimana sering terungkap dalam ungkapan-ungkapan “anti kapitalisme”, “revolusi kelas”. GSB menepis semua asumsi Marxian bahwa semua perjuangan dan pengelompokan didasarkan atas konsep kelas. Dengan penekanan pada isu-isu spesifik dan non materialistik, GSB tampil sebagai perjuangan lintas kelas. Singh (2001) menambahkan bahwa GSB pada dasarnya merupakan bentuk respon terhadap hadir dan menguatnya dua institusi yang menerobos masuk ke hampir semua relung kehidupan warga, yakni negara dan pasar. Karena itu, GSB
membangkitkan
isu
“pertahanan
diri
komunitas
dan
masyarakat untuk melawan ekspansi aparat negara dan pasar yang makin meningkat. Ekspresi terjelasnya mewujud dalam lahirnya agen-agen yang memperjuangkan pengawasan dan kontrol sosial, kaum urban marginal, aktivis lingkungan, kelompok anti otoritarian, kaum anti rasisme, dan juga para feminis. GSB melawan tata sosial dan kondisi yang didominasi oleh negara dan pasar dan menyerukan sebuah kondisi yang lebih adil dan bermartabat. 2. Taktik dan Pengorganisasian: GSB umumnya tidak lagi mengikuti model pengorganisasian serikat buruh industri dan model politik kepartaian. GSB lebih memilih saluran diluar politik normal, menerapkan taktik yang mengganggu, dan memobilisasi opini publik untuk mendapatkan daya tawar politik. Para aktivis GSB juga cenderung mempergunakan bentuk-bentuk demonstrasi yang sangat dramatis dan direncanakan matang sebelumnya, lengkap dengan kostum dan representasi simboliknya.
22
Fadillah Putra (2006), Gerakan Sosial: Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan, dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia, Averroes Press. Hal. vii-x.
34
3. Struktur: GSB berupaya membangun struktur yang merefleksikan bentuk pemerintah representatif yang mereka inginkan. GSB mengorganisir diri dalam gaya yang mengalir dan tidak kaku untuk menghindari
bahaya
oligarkisasi.
Mereka
berupaya
merotasi
kepemimpinan, melakukan pemungutan suara untuk semua isu, dan memiliki organisasi ad hoc yang tidak permanen. Mereka juga mengembangkan format yang tidak birokratis sambil berargumen bahwa
birokrasi
modern
telah
membawa
kepada
kondisi
dehumanisasi. Singkatnya, mereka menyerukan dan menciptakan struktur yang lebih responsif kepada kebutuhan-kebutuhan individu, yakni struktur yang terbuka, terdesentralisasi, dan non khirarkhis. 4. Partisipasi atau Aktor: Partisipan GSB berasal dari berbagai basis sosial yang melintasi kategori-kategori sosial seperti gender, pendidikan, okupasi dan kelas. Mereka tidak terkotakkan pada penggolongan tertentu seperti kaum proletar, petani, dan buruh, sebagaimana aktor-aktor gerakan sosial lama yang biasanya melibatkan kaum marginal dan teralienasi. Para aktor GSB juga berbeda dari gerakan sosial lama yang biasanya melibatkan kaum marginal dan teralienasi. Ada kesan yang kuat bahwa partisipan GSB umumnya berasal dari kalangan kelas menengah baru sebuah strata sosial yang muncul belakangan yang bekerja di sektor-sektor non-produktif (baca bukan industri pabrikan). Mereka yang termasuk dalam kelompok ini umumnya tidak terikat oleh motifmotif keuntungan korporasi. Mereka umumnya bekerja di sektorsektor yang sangat bergantung pada belanja negara seperti kaum akademisi, seniman, agen-agen pelayanan kemanusiaan, dan mereka umumnya merupakan kaum terdidik (Pichardo, 1997). Aktor-aktor GSB sebagaimana dikemukakan oleh Claus Offe (1985), dicirikan secara jelas oleh penolakan mereka terhadap basis identifikasi diri yang mapan, yang dalam bahasa politik disebut sebagai “kiri” atau “kanan”. “Liberal” atau “konservatif”.
35
5. Medan atau Area: Medan atau area aksi-aksi GSB juga melintasi batas-batas region dari arus lokal hingga internasional. Isu-isu yang menjadi
kepedulian
GSB
melintasi
sekat-sekat
bangsa
dan
masyarakat. Dalam hal ini GSB menunjukkan wajah trans manusia dengan mendukung kelestarian alam dimana manusia merupakan salah satu bagiannya. Ini secara jelas terpantul dari gerakan-gerakan anti
nuklir,
ekologi,
perdamaian,
dan
sebagainya,
yang
menghemparkan kebersamaan warga dari beragam nasionalitas, kebudayaan dan sistem politik (Singh, 2001). Dengan ciri-ciri tersebut diatas, GSB menampakkan wajah gerakan sosial yang plural. Pluralitas ini terpantul jelas dari bentuk-bentuk aksi GSB yang
menapaki
banyak
jalur,
mencita-citakan
beragam
tujuan,
dan
menyuarakan aneka kepentingan. Baik gerakan sosial versi lama maupun GSB memiliki dasar-dasar tujuan yang sama, yakni keinginan untuk melahirkan perubahan sosial sebagaimana yang dicita-citakan. Namun demikian dari perkembangan zaman, kemunculan GSB dianggap bisa mengisi ruang-ruang kosong yang tidak terperhatikan oleh agenda-agenda gerakan sosial lama. GSB secara prinsip bisa dilakukan tidak saja dalam kerangka global, melainkan penting untuk mendesakkan isu-isu lokal yang kurang mendapat perhatian. Misalnya isu tentang lingkungan sampai pada pengelolaan sumber alam yang timpang. Gerakan sosial masyarakat Tafure Ternate misalnya memprotes tentang proses pembangunan dan perluasan bandara sehingga mendapat tanggapan luas dari elemen gerakan mahasiswa dan LSM secara luas. Faktanya, tak ayal bahkan gerakan ini juga berujung pada penggunaan caracara kekerasan. Tuntutan pengakuan hak ulayat, dan keadilan ekonomi juga menjadi isu penting dibalik gerakan sosial tersebut. Rajendra Singh, Prasetyo (2006) menyatakan beberapa karakteristik umum dalam GSB, yaitu23: 1. GSB menaruh konsepsi ideologis mereka pada asumsi bahwa masyarakat sipil tengah meluruh, ruang sosialnya mengalami
23
Ibid. Hal. 65-68.
36
penciutan dan aspek masyarakat sipil tengah digerogoti oleh kemampuan kontrol negara. Karenanya, GSB membangkitkan isu “pertahanan diri” komunitas dan masyarakat guna melawan meningkatnya ekspansi aparatus negara agen-agen pengawasan dan kontrol sosial. Beberapa isu yang sering diagendakan ke dalam GSB adalah
hamparan
beragam
perjuangan
urban,
ekologis,
anti
otoritarian, anti institusionalitas, feminisme, anti rasis, etnik dan regional. Dalam konteks ini maka medan perjuangannya bisa bergerak melintasi wilayah kerja tradisional dari industri dan pabrik, pertanian, dan peternakan. GSB menyerukan sebuah kondisi yang adil dan bermartabat bagi konsepsi kelahiran, kedewasaan, dan reproduksi mahluk manusia yang kreatif dan berseiring dengan alam. 2. Secara radikal, GSB mengubah paradigma Marxis yang menjelaskan konflik dan kontradiksi dalam istilah “kelas” dan konflik kelas. Pikiran akademis kiri mengajukan gugatan pada sistem paparan Marxis materialis tentang gerakan dan perubahan dalam masyarakat. Sebuah gugatan atas disingkirkannya isu-isu gender, ekologi, ras, kesukuan, dsb. Marxisme memandang semua bentuk perjuangan kelas
dan
semua
bentuk
pengelompokan
manusia
sebagai
perkelompokan kelas. Banyak perjuangan kontemporer seperti anti rasisme, perlucutan senjata, gerakan feminis dan lingkungan bukanlah perjuangan kelas dan bukan cerminan sebuah gerakan kelas. Ada penolakan umum “paradigma kelas” sebagai “general theory” dalam ilmu-ilmu sosial. GSB mencari jawaban atas pertanyaan yang terkait dengan perdamaian, perlucutan senjata, polusi nuklir, perang nuklir; yang berhubungan dengan ketahanan planet (bumi), ekologi, lingkungan, dan HAM. Komitmen mereka melintasi
paradigma
kelas
dan
melampaui
ketidakmampuan
penjelasan materialistik Marxis untuk menjawab gerakan baru kontemporer ini.
37
3. Mengingat latar belakang kelas tidak menentukan identitas aktor ataupun penopang aksi kolektif. GSB pada umumnya mengabaikan model organisasi serikat buruh industri (Corz, 1982) dan model politik kepartaian (Arato, 1981). Dengan beberapa pengecualian seperti Kelompok Hijau Jerman dan partai Hijau, GSB umumnya melibatkan politik akar rumput, aksi-aksi akar rumput, kerap memprakarsai gerakan-mikro kelompok-kelompok kecil, membidik isu-isu lokal dengan sebuah dasar institusi yang dibatasi. Dengan demikian, GSB umumnya merespon isu-isu yang bersumber dari masyarakat sipil, mereka membidik domain sosial “masyarakat sipil” daripada perekonomian atau negara, membangkitkan isu-isu sehubungan
demoralisasi
struktur
kehidupan
sehari-hari
dan
memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk komunikasi dan identitas kolektif. 4. Berbeda dengan gerakan sosial klasik, struktur GSB didefinisikan oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak, orientasi dan oleh heterogenitas basis sosial. Merujuk Touraine, dimasa lalu, kapasitas sebuah masyarakat untuk memproduksikan dirinya adalah terbatas. Ia dibatasi oleh atas perhitungan sebuah jaminan meta sosial mengenai tatanan sosial, aturan ilahiah, hukum-hukum alam, evolusi sejarah, termasuk meta sosial yang menandai pengertian modernitas. Bentuk-bentuk aksi dan gerakan sosial menjadi plural, menapaki banyak jalur, mencita-citakan beragam tujuan, dan menyuarakan aneka kepentingan. Lebih lengkap Offe menyatakan bahwa aktor atau partisipan GSB berasal dari tiga sektor utama, yaitu24: 1. Kelas menengah baru; 2. Unsur-unsur kelas menengah lama (petani, pemilik toko, dan penghasil karya seni) dan
24
Ibid, Hal.68.
38
3. Orang-orang yang menempati posisi pinggiran yang tidak terlalu terlibat dalam pasar kerja, seperti mahasiswa, ibu rumah tangga dan para pensiunan. Memahami tipologi aktor dan karakteristik GSB diatas, bagaimanapun juga bisa dinyatakan bahwa GSB adalah sebuah tipe gerakan sosial.GSB hadir untuk mengisi ruang-ruang kosong yang luput dari perhatian agenda gerakan sosial klasik. Adanya prinsip visi, motivasi, dan tujuan berbeda dibandingkan dengan gerakan sosial lama pada akhirnya juga melahirkan strategi dan aksi yang baru dalam fenomena GSB ini.
2.5. Hipotesis Pengarah Untuk sampai pada analisis tentang gerakan sosial masyarakat adat, penelitian ini menggunakan hipotesis pengarah sekaligus sebagai pedoman peneliti untuk menggali fakta dan data dilapangan, sesuai dengan pertanyaan penelitian yang dirumuskan. 1. Lahirnya
gerakan
sosial
mempunyai
kaitan
dengan
kebijakan
perencanaan dan aktivitas pembangunan yang berjalan secara “linear” dan “top down”. 2. Konteks sosial, ekonomi dan dan isu-isu tentang tanah ulayat dan hakhak masyarakat adat menyumbang sebagai reaksi atas persoalan pembangunan yang berpengaruh terhadap dimensi permasalahan hidup petani yang kemudian. 3. Karakter perlawanan masyarakat lokal terkait erat dengan konteks permasalahan dan paradigma pembangunan skala nasional dan global.
2.6. Kerangka Pemikiran Studi tentang gerakan sosial pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk kajian mengenai realitas konflik yang ada dalam masyarakat. Gerakan sosial adalah suatu bentuk perilaku kolektif dimana ada sekelompok orang yang penuh dedikasi, mengorganisasikan diri untuk meningkatkan atau menentang perubahan (Ngadisah, 2003).
39
Agar diperoleh gambaran yang utuh tentang gerakan sosial, dengan mengikuti Lofland, ada tujuh pertanyaan pokok yang perlu dikaji yaitu: aspek kepercayaan (beliefs), organisasi (organization), sebab-sebab (causes), para pengikut (participant), strategi (stategies), reaksi (reaction), dan akibatakibat (effects) (Lofland, 1996:99, dlm Ngadisah 2003:31). Dengan demikian kesatuan analisis dalam penelitian ini adalah “lingkungan” situasi dimana gerakan itu timbul yang meliputi lingkungan proyek pembangunan (perluasan) lapangan terbang dan kelompok-kelompok masyarakat yang terkena dampak proyek. Disamping menggambarkan sosok gerakan secara internal,
peneliti
juga
bermaksud
melihat
interaksi
antara
proyek
pembangunan bandara dengan masyarakat. Dalam hubungan ini, Loffland (1996: 21) menjelaskan adanya prosedur khusus yang terdiri dari 4 langkah dalam melakukan studi kasus tentang gerakan sosial, yaitu : a). memilih kasus atau kasus-kasus apapun yang akan dipelajari
(diteliti);
b).
berpkir
secara
luas
tentang
bentuk-bentuk
pengumpulan atau kasus-kasus; c). mengajukan pertanyaan-pertanyaan ilmu sosial tentang data; d). menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dari perspektif sosiologis. Ada gerakan sosial yang timbul dengan latar belakang konflik, pertentangan atau ketegangan, ada pula karena adanya keinginan untuk melakukan perubahan dari keadaan yang biasa. Namun demikian, kejadian sosial dalam bentuk gerakan pada umumnya disebabkan karena konflik antara kelompok masyarakat atau antara penguasa dengan rakyat. Konflik yang gejalanya dapat ditangkap melalui pemunculan gerakan-gerakan sosial atau bentuk-bentuk perilaku kolektif yang lain tidak dapat dijelaskan dengan model linier karena banyak faktor didalamnya. Faktor-faktor tersebut diantaranya bersumber dari dalam diri individu maupun diluar diri individu “supra individual”. Hal ini sangat tergantung pada momentum atau konteks sosial yang meliputinya. Konteks sosial yang dimaksud adalah dampak dari pelaksanaan pembangunan proyek yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap tatanan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat adat.
40
Dampak positif yang dirasakan secara langsung misalnya: meningkatnya pendapatan masyarakat melalui terbukanya lapangan kerja baru karena keterlibatannya dalam pembangunan proyek tersebut sehingga hal ini dapat mengurangi ketergantungan masyarakat adat terhadap sumber daya alam. Meskipun lapangan kerja tersebut lebih bersifat temporer karena berdasarkan waktu penyelesaian proyek pembangunan tersebut. Sedangkan dampak negatifnya adalah terjadinya krisis dalam struktur sosial-ekonomi dan budaya yang ditandai dengan terbentuknya beberapa tipe baru kelompok sosial, munculnya elit baru yang bermuara pada kesenjangan politik lokal, melemahnya peran lembaga adat serta hilangnya mata pencaharian pokok keluarga yang sebelumnya bersumber dari hasil pertanian dan perkebunan. Perubahan ini tidak semata menimbulkan krisis ekonomi ditingkat masyarakat, tidak juga sekedar menimbulkan krisis sosial politik ditingkat lokal yang pada akhirnya bermuara pada terjadinya kerusuhan sosial berupa konflik horizontal dikalangan masyarakat, tetapi juga telah menimbulkan krisis kebudayaan lokal. Kondisi ini disebabkan oleh kelemahan struktural serta menguatnya peran negara dalam ruang-ruang publik. Kelemahan struktural ini berangkat dari kebijakan pemerintah dan paradigma pembangunan yang dirasakan semakin jauh keberpihakannya dari kepentingan masyarakat lokal. Lemahnya struktur sosial-politik ini juga merupakan akibat dari penekanan pendekatan keamanan dengan penciptaan kestabilan sosial-politik yang dipaksakan penguasa. Kestabilan ini dicapai melalui cara-cara represip, menghilangkan semua unsur yang berpotensi menjadi pesaing dari penguasa dan negara dengan cara apapun. Hal ini secara sengaja dilakukan oleh penguasa untuk menciptakan kestabilan sosial-politik negara. Kestabilan yang tercapai dengan rekayasa ini merupakan kestabilan semu yang justru terus menyemai bibit perlawanan masyarakat itu sendiri. Analisis dan kajian perlawanan masyarakat tani dapat dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu bagaimana, mengapa, dan dalam kondisi apakah sebuah gerakan sosial bisa muncul. Dalam konteks ini maka, komunitas dipandang sebagai kompleks yang saling berinteraksi pada tiga tingkat, yaitu ekonomi, politik, dan ideologi dimana kontradiksi berkembang di dalam maupun antar aras.
41
POLITIK : Tekanan struktural Akses Terhadap Input Pertanian Peningkatan terhadap Eksploitasi Kemerosotan Status Sosial
Dimensi
BUDAYA, RELIGI : Kehilangan identitas budaya dan hak ulayat Kehilangan tanah pemakaman dan tempat ibadah
Dipengaruhi konteks politik Negara/global
Organisasi yang dibentuk dari produksi atas isu : Menggunakan isu ganti rugi Menggunakan isu hak ulayat Mengsistimatisasi gerakan rakyat Memisahkan diri dari struktur pemerintah Membangkitkan kesadaran budaya
Pengakuan dan perlindungan atas hak petani / masyarakat adat
Masalah Petani Secara Umum
SOSIAL : Kehilangan tanah pertanian Kehilangan kapling rumah dan tempat rumah Segregasi wilayah dan pudarnya solidaritas sosial
EKONOMI : Pola Pertanian konvensional menuju diversifikasi jenis profesi
Dipengaruhi ideologi aktivis
Pola pengelolaan sumber-sumber agrarian Ketergantungan pada kekuatan eksternal (pasar, input pertanian mahal)
Bentuk-bentuk perjuangan : Pendekatan kultural Pendekatan transformasi gerakan rakyat Mengubah perlawanan radikal menjadi supremasi hukum Mempertahankan logika dan asumsi gerakan komunitas
Organisasi mengalami kontinum perkembangan, focus pada isu advokasi hak atas tanah
Dipicu krisis moneter
Terkait konteks sosioekonomi dan politik (permasalahan) petani
Memperkuat posisi petani menghadapi dominasi negara dalam berbagai kebijakan, baik ekonomi dan politik dalam bentuk akses dan kontrol
GERAKAN PETANI MENJADI MASYARAKAT ADAT Melawan di bawah payung slogan-slogan hak ulayat sambil mendefinisikan kembali slogan tersebut ke dalam pengertian paradigma yang lebih berorientasi ke arah struktur keadilan hukum, HAM, partisipasi dan transparansi
People center Development
Production CenterDevelopment
42 Gambar 1. Kerangka Pemikiran dalam Pendekatan Masalah
Dari uraian diatas, pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana faktorfaktor
penyebab
munculnya
gerakan-gerakan
perlawanan
masyarakat
setempat terhadap perluasan pembangunan bandara udara Sultan Babullah Ternate ? Bagaimana proses terbentuk dan berkembangnya gerakan sosial baru tersebut serta kaitannya dengan isu-isu dampak dingkungan, dampak sosial ekonomi dan isu-isu tentang tanah ulayat dan hak-hak masyarakat adat ? dan Bagaimana bentuk-bentuk penyelesaian terhadap berkembangnya gerakan perlawanan rakyat terhadap perluasan pembangunan bandara udara Sultan Babullah Ternate ? Penelitian ini bermaksud memperdalam atau mengkaji dampak pembangunan daerah (proyek fisik) dengan mengarahkan pada reaksi sosial masyarakat
adat
terhadap
dampak
yang
ditimbulkan
pembangunan tersebut, khususnya dampak negatif.
25
dari
proyek
Jalinan aspek ekonomi,
politik dan ideologi harus dipahami sebagai basis pijakan untuk menganalisa konteks sosial lahirnya gerakan sosial baru tersebut. Penelitian ini akan mengkaji penyebab dan kemunculan lahirnya gerakan, tujuan, strategi dan aktivitas jaringan yang dibangun serta implikasinya terhadap persoalan yang dihadapi. Selain itu, karena konflik ini bukan bersifat single variable, maka kajiannya tidak mungkin hanya dari satu aspek saja. Misalnya aspek ekonomi semata (terkait dengan ganti rugi atas konversi lahan), melainkan juga aspek sosial dan budaya lokal yang terkait antara satu dengan yang lain. (Gambar 1).
25
Baik dampak negatif dan positif keduanya dilihat dari sudut pandang masyarakat setempat.
43
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Strategi Penelitian Mengingat penelitian ini mengambil tema “Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru (Upaya Memahami Perubahan Identitas Perjuangan dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat)”, maka pembahasan dalam tulisan ini menggunakan metode penelitian ilmu sosial yang terdiri atas beberapa tahapan diantaranya adalah pengumpulan data (heuristik), kritik data, interpretasi sumber, dan penulisan yang dilakukan dengan cara deskriptif analisis. Penggunaan metode tersebut juga didukung dengan pendekatan ilmu sosiologi, politik, antropologi dan ilmu hukum (hukum adat). Dengan menggunakan analisis sosiologi, antropologi, ilmu politik dan ilmu hukum dalam penulisan sejarah kritis, oleh Sartono Kartodirdjo disebut sebagai pendekatan multidimensional yang memungkinkan tulisan dapat memberikan keterangan yang lebih jelas dan realistis. Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif dan strategi studi kasus karena kekhasan masalah dan kemampuannya untuk menjelaskan fenomena sosial secara lebih mendalam (Babie 2004). Studi kasus merupakan salah satu kerangka kerja yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Sebagai suatu kategori desain penelitian, studi kasus tidak mudah untuk dispesifikasi dari segi akurasi dan generalisasi. Meskipun dari dua aspek itu masih bisa diperdebatkan, akan tetapi bila diikuti pembahasan para ahli dalam metode kualitatif, nampak jelas bahwa pemahaman atas makna, proses pemaknaan dan produksi makna sebagaimana dibicarakan oleh interaksionisme simbolik, ethnometodologi dan ethnografi praktis, semuanya mengarah pada penentuan objek yang spesifik. Hal ini hanya dapat dipenuhi dengan penelitian studi kasus. Studi kasus terdiri dari dua jenis yakni intrinsik dan instrumental. Intrinsik menunjuk pada penelitian dimana obyek telah ada dan ditentukan sebagai misal evaluasi program. Jika dalam penelitian itu terdapat pertanyaan penelitian (research question) yang dibangun dari rumusan masalah,
sehingga perlu dipilih kasus tertentu, maka disebut studi kasus instrumental (Stake 1995; 3). Dengan demikian karena penelitian ini terdapat pertanyaan penelitian juga dibangun konsep secara jelas untuk menganalisis fakta sosial, maka dapat dikategorikan sebagai studi kasus instrumental. Dalam hubungan dengan studi kasus gerakan sosial di Ternate, model studi kasus tunggal1 lebih cocok untuk diterapkan, karena kasus ini bersifat spesifik, dimana pemunculannya terkait dengan keberadaan suatu proyek. Disamping itu, sifat dari suatu gerakan sosial adalah berjalan menurut logika sendiri, keluar dari realitas umum, sehingga untuk memahaminya perlu melakukan
interpretasi
terhadap
gejala-gejala
yang
muncul
dengan
menggunakan “frame” orang-orang yang ada dalam gerakan.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Maluku Utara, khususnya pada masyarakat Tafure Ternate. Lokasi Penelitian jelasnya di kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, yang dilakukan secara bertahap dari tahun 2005 hingga 2010. total waktu yang digunakan untuk melakukan penelitian lapang berlangsung sekitar tiga tahun yaitu dimulai sejak 1 Juni 2007 hingga 1 Juni 2010. Dipilihnya Ternate sebagai lokasi penelitian karena alasan lemahnya posisi rakyat dalam persoalan pertanahan merupakan hal yang historis, sejak zaman pra kemerdekaan, kemerdekaan hingga kini. Masyarakat adat Ternate terdiri dari 4 komunitas yakni Soa Sio, Sangaji, Heku dan Cim yang tersebar pada 41 Soa (Kampung). Dengan menggunakan kriteria terdapat masyarakat hukum adat yang masih taat menerapkan hukum adat, terdapat institusi / lembaga adat, serta memiliki wilayah masyarakat hukum adat sebagai tempat mencari kebutuhan hidup sehari-hari. 1
Ada beberapa pilihan model studi kasus yang dapat diikuti, seperti yang dikemukakan oleh Ragin (1994: 93-103), dlm. Ngadiah, (2003: 26). Cara kerja penelitian kualitatif menekankan pada tiga macam model yaitu: induksi analitik, sampel teoritik dan studi kasus tunggal. Studi kasus tunggal, bertujuan untuk membuat interpretasi terhadap fakta-fakta secara tepat. Interpretasi dan fakta adalah ”double fitted”, yakni suatu keadaan saling mempengaruhi antara interpretasi peneliti dengan fakta-fakta. Setiap interpretasi yang berbeda dilandasi oleh kerangka pikir (frame) yang berbeda pula, sehingga banyak cara untuk memperkaya data guna membantu peneliti menggali interkoneksi gagasan-gagasan melalui ”frame” yang berbeda,
45
Sebagaimana diketahui bahwa dalam aturan masyarakat lokal, tanah merupakan milik raja yang diberikan secara cuma-cuma kepada rakyat tanpa diperjualbelikan untuk dikelola dan dijaga secara otonom oleh setiap anggota masyarakat lokal demi kelangsungan hidup mereka. Pada zaman dulu, tanah juga menjadi sumber pendapatan kerajaan yang diambil dari upeti. Upeti dalam pengertian umum dimaksudkan sebagai pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada raja, dapat bersifat mengikat. Mengikat artinya menjadi kewajiban atas dasar kesetiaan/loyalitas karena mendapatkan hak mengelola sumber daya tanah, atau karena bersangkutan berada dalam perlindungan raja / Sultan. Hal ini berlanjut ketika dominasi negara mulai memasuki ruang-ruang publik dimana semua SDA diatur oleh negara termasuk tanah. Posisi rakyat yang lemah ini menjadi semakin lemah dengan kurangnya dukungan perangkat hukum negara atau peraturan perundang-undangan, bahkan sejumlah aturan main saling tumpang tindih, tidak sesuai satu sama lain, dan tidak jarang menyimpang dari aturan dasar yang di atasnya. Apalagi dalam penerapannya dominasi kekuasaan dan otoritas negara menjadi Iebih diutamakan. Karenanya berbagai perangkat yang ada seringkali kehilangan vitalitasnya ketika berhadapan dengan birokrasi negara. Kondisi ini tidak saja melahirkan perubahan struktur sosial dan perubahan struktur budaya masyarakat lokal melainkan juga telah melahirkan tindakan progresif massa melalui gerakan sosial ketika berhadapan dengan otoritas “negara”. Dengan
demikian
pilihan
terhadap
Ternate
sebagai
daerah
penelitian sangat tepat karena adanya kekhasan masalah dengan kerangka teoritis yang dibangun. Selain itu, permasalahan yang diteliti menjadi semakin menarik karena telah berlangsung lama sejak tahun 1970 hingga kini. Dalam penelitian ini peneliti terkosentrasi pada desa Tafure yang bersentuhan langsung dengan lokasi proyek pembangunan bandar udara Sultan Babullah Ternate. Selain itu, beberapa lembaga pendidikan baik SD, SMP dan SMU bahkan 2 perguruan tinggi yang berada di bibir / sisi bandara mengalami dampak yang sangat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar terlebih ketika pesawat mengalami landing dan take off.
46
3.3. Penentuan Subyek Kasus Kelompok masyarakat petani sebagai unit analisis dipilih berdasarkan kriteria ada tidaknya kegiatan yang berbasis konflik, dengan merujuk pada tipe kelompok yang terbentuk karena anggota masyarakat petani tersebut dihadapkan pada isu persoalan pembangunan dan konflik agraria. Subyek kasus dipilih berdasarkan kesesuaian antara masalah yang akan diteliti dengan subyek yang menjadi sumber informasi. Data digali dari sejumlah informan kunci yang dianggap mengetahui keadaan dilokasi penelitian. Pengumpulan informan dalam penelitian ini dilaksanakan dengan menempatkan dua macam narasumber yaitu informan dan responden. Informan adalah orang-orang yang dimintai keterangan tentang berbagai hal yang diketahui tentang gerakan sosial dan setting sosialnya, sedangkan responden adalah orang-oramg yang dimintai keterangan tentang pandangan, sikap, persepsi, dan harapannya serta keterlibatannya dalam gerakan dan ditetapkan secara “purposive“ dengan mencari orang-orang kunci“ yang berada di “lingkaran“ gerakan. Mulai dari penggerak inti, pendukung dan partisipan, simpatisan dan penentang. Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 11 orang dan responden 47 orang. Responden dalam penelitian ini dibagi dalam beberapa kategori menurut intensitas keterlibatannya dalam gerakan tersebut. Kelompok responden terdiri atas: a). Para pemimpin gerakan (kelompok inti), terdiri dari ketua lembaga adat, 3 orang; b). Orang-orang kepercayaan (pendukung setia), pengurus lembaga adat, 3 orang; c). Pengikut biasa (partisipan), warga masyarakat yang mendukung secara aktif, 8 orang; d). Orang marginal (simpatisan), warga masyarakat yang mendukung secara pasif, 19 orang. Di luar lingkaran orang-orang termasuk dalam kategori tersebut, turut diwawancarai kelompok-kelompok masyarakat yang berada diluar lingkaran terdiri atas: a). Kelompok orang yang tidak peduli terhadap gerakan dan bersikap kompromistis dengan pihak proyek, 5 orang; b). Para penentang gerakan 3 orang; c). Pendukung dari luar (LSM) 3 orang; d). Pemerintah + pengelola bandara, 5 orang.
47
3.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik
pengumpulan
data
menggunakan
wawancara
mendalam,
wawancara bebas dan mengamati secara langsung fenomena sosial. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data primer tentang dinamika masyarakat. Datadata ini selanjutnya dituliskan langsung menjadi catatan harian yang akan dijadikan bahan dasar untuk analisa. Wawancara mendalam dilakukan dengan subyek kasus sebagai informan kunci yang telah ditentukan sebelumnya. Wawancara dilakukan dengan dengan beberapa orang untuk satu topik dan diulang kembali untuk mencocokkan data. Penyebaran koesioner untuk mengetahui hal-hal yang bersifat umum yang berisi pertanyaan terbuka dalam tujuan untuk menangkap data-data kualitatif. Koesioner ini juga ditujukan kepada para responden yakni anggota masyarakat yang terkena dampak secara langsung dari proyek perluasan bandara di lokasi penelitian yang berisikan antara lain tentang status kepemilikan tanah, proses ganti rugi pembebasan tanah, dampak sosial, ekonomi
dan
budaya
yang
ditimbulkan
sebagai
dampak
aktivitas
pembangunan / bandara tersebut. Sedangkan koesioner yang ditujukan untuk narasumber (Pemda Propinsi dan Kota) berisi alasan pengembangan bandara, mekanisme ganti rugi, hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses perluasan bandara, upaya yang dilakukan Pemda. Data primer diperoleh dengan menggunakan instrumen penelitian yang terdiri dari panduan pertanyaan dan kuesioner singkat yang disusun berdasarkan kebutuhan data. Selain data primer, juga dilakukan telaah dokumen dari sejarah wilayah juga sejarah sosial ekonominya. Sejarah berguna untuk menelusuri perkembangan desa dan wilayah penelitian. Untuk data sekunder, peneliti mengambil laporan-laporan kegiatan organisasi sekaligus untuk melakukan cross-cek data tersebut dengan data lapang. Data sekunder juga diperoleh dari media komunikasi massa lokal yang meliput aktivitas-aktivitas masyarakat tani Tafure dan aktivitas lembaga kesultanan Ternate selama kurun waktu tertentu. Berbagai teknik dan strategi pengambilan
data
ini
dipergunakan
untuk
lebih
mengarahkan
dan
mempertajam informasi yang ingin diperoleh.
48
3.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data Data yang berhasil dikumpulkan selanjutnya diproses melalui kegiatan penyusunan satuan atau pemilahan data dalam bidang masing-masing. Data yang telah tersusun tersebut selanjutnya diolah berdasarkan pada kerangka analisis / kerangka pemikiran yang telah dirumuskan. Pengujian keabsahan data dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi yaitu, check, recheck, and cross check terhadap data yang diperoleh. Triangulasi
adalah
teknik
pemeriksaan
keabsahan
data
yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data yang ada untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data tersebut (Moleong, 1998:178). Teknik triangulasi merupakan prosedur pencocokan data melalui beberapa sumber yang dan dapat dilakukan pada beberapa aspek penting dari data yakni sumber data, metode, penyidik dan teori. Triangulasi menggunakan sumber data yang dilakukan dengan jalan : (1) membandingkan data hasil penelitian dengan hasil wawancara; (2) membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi; (3) membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan orang sepanjang waktu; (4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan pendapat dan pandangan orang lain; (5) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Pemeriksaan metode dilakukan melalui pengecekan pada data pertama, kedua, dicocokkan dengan data ketiga dan seterusnya dengan data pertama untuk memastikan kebenaran dari data. Hal itu dapat dilakukan melalui : 1). membandingkan fakta lapangan dengan data hasil wawancara; 2). membandingkan data hasil wawancara dengan isi dokumen yang saling berkaitan; 3). mengecek keabsahan data yang diberikan antara informan-informan yang datanya saling berkaitan.
49
3.6. Kesulitan yang Dihadapi Bentuk kesulitan yang dihadapi seperti para narasumber yang sering meninggalkan daerah untuk melakukan perjalanan dinas keluar daerah, kesulitan untuk bertemu secara langsung dengan orang yang berkompeten menjelaskan jalannya perluasan bandara dan dampaknya, ciri usaha perluasan bandara dan problematikanya dan lain-lain sehingga peneliti harus berusaha menemui staf yang diserahi tugas atau membidangi staf perencanaan pelaksanaan proyek untuk memberikan keterangan seputar materi yang ditanyakan. 3.7. Sistimatika Penulisan Rancangan
tesis
ini
terdiri
atas
tujuh
bab
dalam
usahanya
menggambarkan Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru (Upaya Memahami
Perubahan
Identitas
Perjuangan
dari
“Petani”
menjadi
“Masyarakat Adat”). Masing-masing bab mewakili fokus pembahasan yang berbeda sehingga mempermudah pemahaman peneliti dan proses penelitian ini. Bab 1 “Pendahuluan” berisi pemaparan mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Bab II “Tinjauan Pustaka” sarat dengan pendekatan teori tentang aspek yang akan dikaji dalam kegiatan penenlitian ini. Gerakan sosial menjadi bagian dari basis ide kesadaran kolektif yang melahirkan perilaku kolektif. Perspektif perilaku kolektif ini mencoba untuk memperlihatkan bahwa munculnya gerakan masyarakat petani adalah sebagai respon atas intervensi pemerintah
(negara)
yang
berdampak
terhadap
dimensi
kehidupan
masyarakat petani secara umum. Bab ini memaparkan kerangka pemikiran sebagai panduan analisis dalam penelitian tesis. Bab III “Metode Penelitian” merupakan uraian tentang langkah-langkah metodologis atau pendekatan lapang yaitu menyangkut: strategi penelitian, lokasi dan waktu penelitian, unit analisis, teknik pengambilan data, dan teknik pengolahan dan analisis data. Bab ini menggambarkan kearah mana alur penelitian ini akan dibawa melalui rumusan pertanyaan penelitian.
50
Bab IV “Desktipsi Daerah Penelitian”. Bab ini menguraikan tentang Gambaran umum Maluku Utara, Kondisi Geografis dan Karakteristik Lokasi Penelitian, dan Struktur Sosial Penduduk. Bab
VI “Transformasi
Identitas
Gerakan
dari
Petani
menjadi
Masyarakat Adat”. Bab ini mengetengahkan tentang Ideologi Utama dan Aktor Penting Gerakan, Isyu-isyu yang diusung sebagai “Roh” Perlawanan Petani, Posisi Petani di tengah Pusaran Negara dan Penguasa, Intervensi Pemerintah,
Respon
Petani
dan
Dampak
Gerakan
di
tengah
Arus
Kepentingan. Bab VII “Involusi Gerakan Agraria” Bab ini menguraikan tentang analisis perjuangan atas nasib petani dalam setiap episode kekuasaan rezim dan pengaruhnya terhadap perubahan prinsip-prinsip struktur agraria yang berkeadilan. Bab VII berjudul “Penutup”, menguraikan tentang rangkuman (review) atas pokok penelitian dan hasil-hasil analisanya yang telah diuraikan pada setiap bab sebelumnya, dan akhirnya ditutup dengan kesimpulan dan saran.
51
BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Provinsi Maluku Utara Sebagai salah satu provinsi kepulauan di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibentuk sejak dikeluarkan Undang-undang No. 46 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat serta diresmikan pada tanggal 12 Oktober 1999.1 kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2003, Tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Provinsi Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan, yang terdiri dari 395 buah pulau besar dan kecil, sebanyak 64 pulau yang dihuni dan 331 pulau tidak dihuni dengan luas wilayah secara keseluruhan 140.366,32 Km2 dimana luas wilayah daratan 33.278 Km2 (23,72%). Luas wilayah perairan seluas 106.977,32 Km2 (76,28%). Pulau-pulau yang tergolong besar antara lain pulau Halmahera, (18.000 Km2), pulau Obi (3.900 Km2), pulau Taliabu (3.195 Km2), pulau Bacan (2.878 Km2) dan pulau Morotai (2.325 Km2 ). Jumlah penduduk provinsi Maluku Utara tahun 2002 adalah 794.024 jiwa, tahun 2003 sebanyak 849.346 jiwa, dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,16% / tahun. Dari jumlah penduduk tersebut, maka yang tergolong Penduduk Usia Kerja (PUK) yang didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun ke atas di Provinsi Maluku Utara pada tahun 2004 berjumlah 562.653 jiwa yang terdiri dari perempuan 280.214 jiwa atau 49,8% dan laki-laki berjumlah 282.439 jiwa atau 50,2%. Tahun 2006 berdasarkan hasil proyeksi SUPAS2 2005 adalah 919.160 jiwa yang tersebar di 8 kabupaten/kota, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 180.354 jiwa yang mendiami di kabupaten Halmahera Selatan. 1
Rencana Strategis (Renstra) Propinsi Maluku Utara tahun 2003/2007.
2
BPS Propinsi Maluku Utara dan Bappeda Propinsi Maluku Utara. Maluku Utara Dalam Angka, 2007. p. 45.
Untuk transportasi udara, selain untuk membuka isolasi daerah terpencil, juga mempertinggi aksesibilitas antar kota-kota penting inter dan antar wilayah Maluku Utara. Keseluruhan jumlah bandara di Maluku Utara sebanyak 11 buah yang terdiri dari Bandara Babullah dan bandara perintis lainnya yaitu Kao, Galela, Bacan, Sanana, Morotai, Gebe, Buli, Gosowong, Lili (Halmahera) dan Falabisahaya (P. Taliabu). Armada penerbangan yang digunakan untuk melayani penumpang internal Maluku Utara adalah pesawat kecil jenis Cassa. Beberapa masalah yang dihadapi oleh penerbangan perintis ini adalah disamping rendahnya frekwensi penerbangan, kondisi bandara perintis cukup memprihatinkan. Dengan adanya bandara ini, kelancaran roda pemerintahan, mobilitas pelaku ekonomi dan masyarakat dapat terselenggara sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Hal ini dapat dilihat pada frekuensi penerbangan dari dan ke Bandar Babullah yang dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan dengan frekuensi penerbangan tertinggi ke Manado dan Makassar yaitu rata-rata 20 kali per minggu, disusul Ambon dengan 6 kali perminggu dan Sorong 2 kali perminggu.
4.2. Kondisi Geografis dan Karakteristik Lokasi Penelitian Dasar hukum terbentuknya Kota Ternate adalah Undang-undang Nomor 11 tahun 1999, tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Ternate. Jumlah kecamatan di wilayah administratif pemerintahan Kota Ternate pada saat pembentukan adalah hanya 3 Kecamatan dengan 58 Desa/Kelurahan. Wilayah Kota Ternate dengan luas wilayah 249,75 km2. Seluruh wilayah ini dikelilingi laut. Batasbatas Kota Ternate adalah: a). sebelah Utara dengan laut Maluku; b). sebelah Selatan dengan laut Maluku; c). sebelah Timur dengan selat Halmahera; d). sebelah Barat dengan laut Maluku. Wilayah Kota Ternate merupakan daerah kepulauan karena wilayahnya terdiri dari delapan buah pulau, dimana lima pulau berukuran sedang, tiga pulau lainnya berukuran kecil hingga sekarang belum dihuni penduduk. Pulau-pulau tersebut adalah:
53
a. Pulau Ternate
(110,7 km2 / dihuni)
b. Pulau Hiri
(12,4 km2 / dihuni)
c. Pulau Moti
(24,6 km2 / dihuni)
d. Pulau Mayau
(78,4 km2 / dihuni)
e. Pulau Tifure
(22,1 km2 / dihuni)
f. Pulau Maka
(0,5 km2 / tidak dihuni)
g. Pulau Mano
(0,5 km2 / tidak dihuni)
h. Pulau Gurida
(0,55 km2 / tidak dihuni)
Pulau-pulau di wilayah kota Ternate terletak dalam lingkup yang bergerak melalui kepulauan Filipina, Sangihe Talaud, dan Minahasa yang dilingkupi lengkung Sulawesi dan Sangihe yang berwatak vulkanis. Pertumbuhan penduduk Kota Ternate pada tahun 2000 berjumlah 152.097 jiwa dengan ratsio jenis kelamin laki-laki 76.347 jiwa dan perempuan 75.750 jiwa sedangkan pada tahun 2002 jumlah penduduk menjadi menurun mencapai 120.865 jiwa, dengan ratsio jenis kelamin laki-laki 59.803 jiwa dan perempuan 61.062 jiwa. Terjadinya penurunan jumlah penduduk disebabkan karena program repatriasi (pemulangan) pengungsi ke masing-masing daerah asal pasca konflik horizontal bernuansa SARA yang terjadi pada akhir tahun 1999, sedangkan angka pertumbuhan selama 10 tahun (1990-2000) mencapai 5,45 / tahun.3 Angka kepadatan penduduk Kota Ternate adalah 4.323 jiwa Km2 (dengan jumlah kepadatan terbesar berada di wilayah Kecamatan Ternate Selatan (1.832 orang/Km2 ) diikuti kecamatan Ternate Utara (2.111 orang/Km2), Kecamatan Pulau Ternate (169 orang/Km2 ) dan Kecamatan Moti (211 orang/Km2 ). Program prioritas pembangunan Kota Ternate adalah “Catur Program” atau empat program prioritas, yaitu: a). reformasi administrasi pemerintahan; b). peningkatan kualitas sumber daya manusia; c). pemberdayaan masyarakat; d). peningkatan infrastruktur perkotaan. Sebagai daerah kepulauan, sumber pendapatan kota Ternate bertumpuh pada sektor jasa (lebih 50% PDRB), 3
Profil Kabupaten/Kota, 2004. “Wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua” Kementrian Lingkungan Hidup. Hal 308.
54
disamping potensi sumber daya alam yang dimiliki. Penyebaran pendapatan daerah meliputi sektor pertanian 13,34%; pertambagan galian 0,90%; industri pengolahan 6,26%; listrik, gas dan air bersih 1,57%; bangunan 4,98%; perdagangan, hotel/restoran 32,55%; pengangkutan dan komunikasi 13,77%; keuangan, persewahan dan jasa perusahan 6,87%; dan jasa lainnya 19,76%. Sektor pertanian kota Ternate didominasi oleh subsektor tanaman perkebunan cengkih (komoditi ekspor) luas lahan 1578 ha dengan hasil produksi 734 ton/tahun; kelapa
dengan luas lahan 1373 ha dengan hasil
produksi 1.500 ton/tahun; tanaman pala dengan luas lahan 789 ha menghasilkan 375 ton/tahun; subsektor perikanan dengan potensi luas wilayah perairan atau laut 903,73 km2, memiliki potensi ekonomis tinggi, yaitu ikan cakalang/tuna 5.038,73 ton produksi/tahun, ikan tongkol 1.309,3 ton/tahun, ikan layar/selar 1.027,3 ton/tahun, dan ikan kakap 219,4 ton. Sedangkan subsektor kehutanan dikota Ternate tidak terdapat hutan produksi, yang ada hanya area hutan lindung seluas 2.500 ha/tahun dan hutan konversi seluas 13.000 ha. Sebagai daerah penelitian, masyarakat Tafure Ternate memiliki falsafah hidup yang dikenal ”Adat se Atorang” (sesuai dengan adat dan aturan), memiliki institusi sosial dan budaya yang ditaati oleh anggota masyarakatnya. Kewenangan institusi adat sampai saat ini masih eksis terutama
terhadap
persoalan-persoalan
perdata
seperti
perkawinan,
perceraian, pembagian waris, hibah, tanah yang diwakafkan dan bahkan ada kasus pidana sebelum diselesaikan oleh peradilan formal, terlebih dahulu diselesaikan oleh Sultan melalui perangkat adatnya. Hal inilah yang mendorong kami untuk meneliti pada komunitas masyarakat tani Tafure yang dikenal cukup kuat dalam mempertahankan tradisi dan nilai-nilai adat yang dianut dimana masyarakatnya merupakan komunitas masyarakat adat yang menjadi korban pembangunan dan perluasan bandar udara Sultan Babullah.
55
4.3. Struktur Sosial Penduduk Awal
keberadaan
masyarakat
Tafure
terbagi
dalam
susunan
masyarakat yang tradisional, meskipun penggolongan masyarakat tidak setajam pembagian kasta-kasta, namun ada penggolongan yang bertolak atas dasar keturunan. Dangan kata lain pembagian atau stratifikasi masyarakat Ternate pada umumnya tidak bersifat fungsional. Soelarto4 melihat stratifikasi sosial Masyarakat Ternate terdiri dari: 1. Golongan Jou: Golongan ini merupakan golongan istana yang terdiri dari Sultan dan keluarganya sampai pada keturunan ketiga. 2. Golongan Dano-Dano: Yaitu golongan cucu Sultan dan anak-anak yang dilahirkan dari putri sultan dan dengan orang dari luar istana. 3. Golongan Rakyat: Mereka yang berada diluar golongan diatas 4. Golongan budak (berlaku pada masa dahulu) Disamping ketiga golongan diatas terdapat golongan budak pada saat itu karena belum beragama islam, serta mereka yang pernah melakukan pemberontakan terhadap sultan tapi akhirnya dapat dikalahkan juga. Selain stratifikasi
diatas,
juga
terdapat
pembagian
masyarakat
berdasarkan
kelompok kekerabatan berdasarkan marga atau Soa yang merupakan kekerabatan murni masyarakat Ternate. Kelompok ini terdiri 4 suku yakni: Soa Sio, Sangaji, Pembagian struktur kekerabatan masyarakat tersebut lebih didasarkan pada kelompok Soa/Suku serta untuk menunjukan asal-usul keberadaan mereka dalam masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya Soa melayu dan Soa Jawa sebagai representasi bahwa moyang mereka berasal dari Melayu dan suku Jawa. Sebagai catatan5 asal usul Soa Jawa berasal dari para ulama Jawa dan Tuban atau Gresik yang pada saat Sultan Zainal Abidin (1484-1500) menuntut ilmu agama di pulau Jawa dan kembali ke Ternate membawa mubaliq yang berasal dari daerah tersebut. Demikian halnya dengan Soa Melayu, mereka dibawa oleh Sultan terdahulu ke Ternate dengan jalan asimilasi melalui pernikahan dengan warga Ternate. 4
B. Soelarto, Sekelumit Monografi Daerah Ternate. Penerbit, Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia, (tanpa tahun),, p. 52.
5
B. Soelarti, Seelumit Monografi....,, op. c it. p. 55.
56
Selain itu ada Soa/marga tertentu yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam kerajaan Ternate. Mereka memiliki fungsi khusus seperti Soa Heku dan Soa Cim yang mempunyai tugas kemiliteran dalam kerajaan, namun mereka tidak mamiliki hak-hak khusus/istimewa (hak privelage). Walaupun demikian, pada saat-saat tertentu seperti upacara-upacara adat mereka diberikan pengutamaan seperti memberikan kesempatan untuk makan bersama, sebagai pemangku adat dan tokoh agama ditempatkan pada bagian ujung meja (bagian utama). Pada sisi lain, Abdul Hamid6 menyebutkan bahwa stratifikasi masyarakat adat Ternate terdiri dari empat kelompok besar yang berjumlah 42 suku bangsa dalam kedudukan di Gam Raha atau empat kekuasan besar. Bilangan empat puluh dua dipilih menjadi angka empat dan dua dengan pengertian filosofinya: empat merupakan empat pilar rumah besar, rumah tempat hunian manusia dan dua adalah dua sosok manusia lelaki perempuan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini masyarakat adat Tafure Ternate masih menghormati dan mengakui sistem kekerabatan yang telah turun temurun berlaku dalam masyarakat. Begitu juga dengan pengakuan terhadap para golongan Jou dan Dano sebagai kelompok elit atau memiliki kedudukan atau kelompok terhormat dalam masyarakat. Sedangkan kelompok budak sejak lama, serta akibat perkembangan masyarakat, telah dihapus atau tidak di kenal lagi dalam masyarakat. Desa Tafure didirikan tahun 1964, yang terdiri dari tiga dusun, yaittu dusun Tafure, Akehuda, dan Tubo. Pada saat didirikan, Tafure merupakan pusat pemerintahan dari tiga dusun tersebut dengan kepala desa pertamanya adalah H. Achmad Ici yang menjabat sejak tahun 1964 hingga tahun 1984, dengan jumlah peduduknya hingga tahun 2007 telah mencapai 7739 jiwa dan di tahun 2008 menurun menjadi 4214 jiwa. Secara administratif Desa Tafure berada dalam wilayah kecamatan Ternate Utara Kota Ternate. Desa Tafure terletak di bagian Utara kota Ternate. Penamaan Tafure adalah berasal dari Pulau Tifure yang merupakan sebuah kerajaan kecil di zaman dahulu namun hingga kini telah “tenggelam”” oleh zaman. Dengan demikian maka 6
Abdul Hasan Hamid, Aroma Sejarah...., op. cit. p. 30.
57
masyarakat desa Tafure awal adalah hasil relokasi penduduk yang melarikan diri dimasa kolonial Belanda dari Pulau Tifure ke Kerajaan Ternate. Menurut pengakuan Madjid Bayau sebagai tokoh Adat setempat (Fanyira Tafure) bahwa keberanian seorang Ratu Kerajaan Tifure yang membunuh pimpinan Belanda
diwilayah
kerajaannya
menimbulkan
serangan
balik
yang
mengancam keselamatan diri dan warganya. Menghadapi ancaman tersebut, sang Ratu terus meminta warga kerajaannya untuk exodus dan menetap di Ternate dan hingga akhirnya mereka tetap bertahan hingga saat ini. Wilayah desa Tafure terletak di pesisir pantai, sebelah Utara berbatasan dengan desa Tabam, sebelah selatan berbatasan dengan desa Akehuda, sebelah Timur berbatasan dengan desa Tubo, sebelah Barat berbatasan dengan selat Halmahera. Luas keseluruhan wilayah Tafure 4050 km2. Kondisi jalan darat cukup baik dengan jarak tempuh 5 km menjadikan Tafure mudah dijangkau, dari dan ke pusat kota Ternate sebagai pusat ekonomi dan perdagangan di propinsi Maluku Utara. Hal ini memberi peluang bagi masyarakat setempat dalam melakukan segala bentuk aktivitas ekonomi. Dekatnya jarak dengan pusat kota serta tersedianya sarana transportasi umum membuka kesempatan bagi penduduk desa untuk melakukan interaksi dengan desa-desa sekelilingnya. Dengan kondisi tanah yang cukup subur, menyebabkan mayoritas penduduk Tafure memiliki mata pencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 735 orang/jiwa. Kondisi tingkat pendidikan penduduk pada tahun 2009 berdasarkan pendidikan SD/sederajat yang tamat 600 tidak tamat adalah 12 orang, Jumlah penduduk yang tamat SLTP/sederajat 600 orang, tamat SLTA/sederajat 600 orang, tamat D I berjumlah 10 orang, D II 42 orang, D III 15 orang, SI 600 orang, S2 15 orang. Rata-rata tingkat dan kualitas pendidikan masyarakat sangat rendah7. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan, kualitas sumber daya tenaga pendidik yang rendah serta terbatasnya sarana dan prasarana penunjang. Tentunya ini semua tidak terlepas dari kurangnya peran dan perhatian pemerintah daerah setempat dalam memajukan dunia pendidikan, kesehatans, dan lainnya. 7
Ibid.
58
BAB V KONFLIK PEMBANGUNAN DAN GERAKAN SOSIAL BARU
Salah satu konflik yang terjadi di Indonesia pasca runtuhya pemerintahan orde baru adalah yang terjadi di Maluku Utara. Akibat dari konflik tersebut, baik dilihat dari jumlah korban langsung akibat kekerasan telah menimbulkan ribuan korban jiwa manusia yang tak berdosa, (kematian dan cacat badan), kerusakan sarana dan prasarana sosial-ekonomi (Rumah penduduk, tempat ibadah dan sarana perekonomian), maupun trauma psikologis yang diakibatkan. Selain itu juga telah terganggu sistem pendidikan, mandeknya aktivitas ekonomi masyarakat, rusaknya hubunganhubungan sosial yang selama ini berkembang dalam masyarakat. 5.1. Akar Konflik Maluku Utara Dampak negatif pelaksanaan pembangunan yang dirasakan pada era reformasi adalah terjadinya konflik dibeberapa daerah serta menguatnya gejala konflik baru, baik yang bersifat sosial-horisontal bersifat
maupun
yang
politik-vertikal, termasuk yang terjadi di Kota Ternate propinsi
Maluku Utara. Menguatnya gejala konflik ini harus dipandang sebagai salah satu implikasi negatif dari kebijakan pembangunan dan hubungan pusatdaerah yang tersentralisasi pada era terdahulu, serta melemahnya hubungan sosial masyarakat. Kerusuhan yang berkempanjangan dengan akar konflik yang selalu berkembang secara eksplisit memberi indikasi bahwa potensi konflik internal yang ada dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Maluku Utara telah melemahkan kearifan budaya lokal. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti, akar persoalan sumber konflik di Maluku Utara tidaklah tunggal. Persoalan kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam serta pertikaian elit politik dan birokrasi merupakan faktor pembungkus ”konflik agama” yang selama diyakini oleh sebagian besar masyarakat.
Dalam konteks lokal, setidaknya ada dua faktor penting yang mendasari konflik di wilayah ini yaitu : (1) Rivalitas elit dalam merebutkan pengelolaan sumberdaya alam dan jabatan-jabatan birokrasi serta politik, (2) Menguatnya etnosentrisme sebagai alat untuk merebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik. Agusalim Bujang menyebutkan akar masalah konflik Maluku Utara karena (1) Adanya Upaya Kristenisasi di Maluku Utara, (2) Perebutan Wilayah Agama (3) Perebutan sumberdaya Ekonomi/Tambang Emas PT. NHM, (4) Perebutan Kursi Gubernur Maluku Utara (5) Keterlibatan Negera-Negara Luar.1 Tamrin Amal Tomagola menyebutkan 3 akar masalah konflik Maluku Utara, yang meliputi kompetisi memperebutkan territorial agama; perebutan tambang emas di Malifut dan perebutan jabatan Gubernur Maluku Utara. Sedangkan Sri Yanuarti, dkk. Penyebab konflik meliputi:
2
(1) perseturuan
antara Ternate dan Tidore; (2) Eksistensi Wilayah Adat; (3) ketegangan masalah agama; dan (3) Perebutan sumberdaya. Dari berbagai pendapat terhadap diatas, menurut penulis akar penyebab konflik Maluku Utara meliputi; a) Persaingan etnis; b) Perebutan wilayah dan sumberdaya alam; c) Persaingan
antara
pemerintahan;
e)
agama; Perebutan
d)
Pemerataan
sumber
daya
distribusi politik
sumberdaya
(kekuasaan);
f)
Ketidakadilan; g) Lemahnya peran lembaga adat lokal serta kearifan lokal yang selama ini menjadi modal sosial. Melemahnya sosial capital, kemudian dimanfaatkan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab (provokator) melalui cara-cara yang sistematis dengan berbagai kepentingan oleh aktor intelektual yang hampir dapat dipastikan sulit dijamah hukum. Dengan demikian, maka menurut penulis bahwa konflik Maluku Utara umumnya dan kota Ternate khususnya bukan semata-mata konflik agama, akan tetapi terjadi dinamika konflik yang berawal dari perebutan (pengakuan) wilayah adat dan sumberdaya politik (kekuasaan) dan ekonomi yang terbatas. Salah satu konflik di Maluku Utara yang telah berlangsung lama hingga kini adalah konflik pembangunan bandara Sultan Babullah Ternate.
1
2
Kasman Hi. Ahmad dan Herman Oesman (penyunting), Damai Yang Terkoyak, Catatan Kelam Dari Bumi Halmahera. Podium-Madani Press. Ternate, 2000, Hlm. 120-123. Yuniarti, Sri, dkk. 2004. Konflik Maluku Utara, Penyebab, Karakteristik dan Penyelesaian Jangka Panjang. LIPI, Jakarta, 2004, hlm. 86-110.
60
Indikasi kuat dari pernyataan ini karena bagian Utara kota Ternate dengan struktur sosial yang terkesan homogen dengan kultur masyarakat adat yang cenderung menguat sehingga merupakan kawasan dengan tingkat heterogenitas penduduk yang cukup rendah. Meskipun demikian, sejarah sosial di kota ini menunjukkan bahwa konflik sosial merupakan hal yang selalu muncul dalam bentuk perang suku maupun sengketa dalam bentuk yang lain, terutama dengan kalangan yang dianggap “berlawanan” dengan perangkat hukum adat setempat. Berlangsungnya proyek pembangunan lapangan terbang sejak tahun 1970-an dengan demikian memanfaatkan tanah milik petani lokal untuk proyek tersebut telah menjadi sumber konflik antara masyarakat sekitar dengan pihak pelaksana proyek (Pemda). Disamping itu, operasi proyek pembangunan tersebut juga menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan budaya yang luar biasa, sehingga masyarakat yang terkena dampaknya merasa dirugikan. Kenyataan ini menyebabkan konflik semakin menjadi meluas terutama yang terkait dengan dampak yang ditimbulkan tersebut, dan untuk meredam konflik dan protes yang dilakukan oleh petani dan masyarakat korban pembangunan bandara tersebut maka pihak Pemerintah Daerah Propinsi menyediakan dana untuk pembayaran ganti rugi bagi para pemilik tanah yang telah dikonversi untuk proyek pembangunan tersebut. Kebijakan ini ternyata tidak mampuh mengatasi konflik, karena model pengelolaannya tidak pernah memuaskan semua pihak. Meskipun model pengelolaan sudah diperbaiki, dari pengelolaan oleh Pemda propinsi sampai dengan model pengelolaan dengan melibatkan tokoh masyarakat setempat, ternyata belum memuaskan masing-masing pihak bahkan
melahirkan
perpecahan
dikalangan
masyarakat
sehingga
menimbulkan konflik-konflik baru (konflik budaya). Secara kultural, pertemuan dua orientasi nilai budaya yang sangat kontras diwilayah seputar proyek pembangunan juga menjadi sumber konflik budaya. Pada satu sisi ada masyarakat sangat taat pada sistem hukum adat setempat, pada sisi yang lain ada pelaksana proyek pembangunan dengan budaya industri modern dan
61
dalam perkembangannya lebih mendapat dukungan dari sebagian masyarakat korban proyek pembangunan yang memilih sikap untuk menerima proses ganti rugi dengan nilai yang dianggap tidak wajar dengan syarat adanya pengakuan negara tentang status tanah sengketa sebagai tanah adat. Sementara korban lainnya yang menolak ganti rugi karena dianggap ada unsur manipulasi data dan dugaan pelanggaran hukum (KKN) yang dilakukan oleh perwakilan masyarakat penyelesaian ganti rugi (Tim 6) dalam peoses pembayaran ganti rugi tersebut. Bab ini membahas beberapa sumber konflik baru yang bersumber dari proyek pembangunan bandara tersebut, yaitu diantaranya terkait dengan dampak perubahan sruktur ekonomi dan kultural, dampak lingkungan, dll. Konflik bagi masyarakat Ternate khususnya di bagian Utara merupakan hall yang biasa, yang ditunjukkan dengan kebiasaan perang dimana sebagian besar pasukan tentara kerajaan Ternate berdomisili di wilayah ini. Kehadiran proyek pembangunan bandara merupakan sumber konflik baru bagi beberapa desa seperti yang telah disebutkan (Tafure, Tabam, Sango dan Tarau). Kegiatan proyek pembangunan bandara sejak tahun 1970 telah menimbulkan perubahan sosial yang sangat cepat dikawasan beberapa daerah sekitar bandara. Ini berarti faktorfaktor material nampak lebih nyata pengaruhnya terhadap perubahan sosial karena memerlukan penyesuaian sikap mental manusianya. Apalagi dengan adanya perubahan lingkungan hidup yang berpengaruh langsung terhadap sumber mata pencaharian penduduk sekitar bandara tersebut sehingga diperlukan kemampuan adaptasi secara signifikan agar masyarakat tetap bisa bertahan hidup. Perubahan yang begitu cepat melahirkan konflik-konflik sosial yang begitu tajam, karena ketegangan meningkat. Meningkatnya ketegangan lebih disebabkan karena situasi sosial yang telah ada yaitu selain karena perubahan mata pencaharian penduduk disekitar bandara, juga karena dampak kebisingan suara akibat penerbangan pesawat terbang yang berlangsung pada setiap saat. Sebagai perusahaan modern pihak pengelola bandara dituntut untuk bertindak secara rasional dalam menghadapi segala bentuk tuntutan masyarakat sekitar sedangkan pihak masyarakat sekitar sangat lekat dengan nilai-nilai tradisionalnya.
62
Sementara itu perubahan-perubahan tidak terhindarkan sehingga masyarakat adat terasa makin sulit beradaptasi dengan situasi maupun nilai-nilai baru. Akhirnya, perubahan dan konflik berjalan beriringan sebagai suatu kenyataan yang tidak terhindarkan, yang dipicu oleh kehadiran pembangunan proyek bandara Sultan Babullah Ternate yang berdampak pada beberapa desa sekitar lokasi bandara tersebut. Bagaimana konflik itu berproses? dapat dilihat dari tahap awal perencanaan pembangunan bandara sampai tahap operasional dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan setelah proyek berjalan. Dalam kaitannya dengan masyarakat sekitar bandara, dengan segala pasang surutnya perusahaan ini seolah-olah tidak peduli terhadap masyarakat korban pembangunan proyek bandara disekitarnya. Baru setelah ada peristiwa aksi pemblokiran dan boikot aktivitas penerbangan pada tanggal 01 Februari 2005 dan kemudian berulang kembali pada tanggal 05 Desember 2006, kebijakan-kebijakan pihak departemen perhubungan sebagai pengelola bandara mulai diarahkan pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat khususnya untuk mengakomodir tuntutan-tuntutan ganti rugi bagi masyarakat pemilik lahan yang telah dijadikan sebagai lahan beroperasinya aktivitas bandara. Langkah nyata ini ditandai dengan dikeluarkannya kebijakan penyediaan dana ganti rugi bagi pihak penduduk sekitar yang menuntut adanya ganti rugi atas lahan penduduk yang digunakan sejak awal pembangunan proyek bandara hingga mengalami perluasan pada tahuntahun belakangan ini. Peran lembaga adat kesultanan Ternate sangatlah lemah dalam menanggapi persolan penyelesaian ganti rugi bagi masyarakat korban pembangunan bandara tersebut. Indikasi ini dapat dibuktikan dengan berbagai surat yang dikeluarkan oleh Sultan Ternate yang sekedar berupa surat himbauan, baik kepada masyarakat korban untuk tidak terprovokasi dengan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab maupun himbauan kepada pihak pengelola bandara (kepala bandara).
63
Hal
ini
dapat
dibuktikan
dengan
surat
himbauan
yang
ditandatangani oleh Sultan Ternate tertanggal 5 Mei 2009 No. 109/MKRKT/V/2009 perihal himbauan kepada Kepala Bandara Sultan Babullah Ternate beserta pihak-pihak terkait agar menangguhkan pembayaran ganti rugi lahan bandara dalam batas waktu yang belum ditentukan, karena persoalan ini sedang diproses secara hukum. Semestinya lembaga adat kesultanan melakukan negosiasi-negosiasi konkrit yang tidak merugikan
masyarakat
sekitar
bandara
sembari
aktif
meciptakan
perdamaian. Dalam perkembangannya, persoalan sengketa lahan bandara tersebut ternyata tidak semata-mata terkait dengan tuntutan ganti rugi semata melainkan tuntutan masyarakat adat yang menginginkan adanya kejelasan atas pengakuan dan perlindungan atas hak-hak ulayatnya (tanah). Hal ini terlihat jelas dalam pernyataan sikap kelompok masyarakat yang menamakan diri sebagai Aliansi Masyarakat Peduli Korban Pembangunan Bandara Sultan Babullah Ternate pada tanggal 30 Juli 2009 lalu. Lebih lengkapnya tentang isi dari pernyataan sikap tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Berdasarkan Perda No. 13 tahun 2009, Lembaran Daerah No. 45 tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan Ternate serta mengacu pada kesepakatan bersama antara pemerintah dan masyarakat tertanggal 1 Februari 2005 bahwa lahan bandara Sultan Babullah Ternate adalah tanah “Kaha Kie se Kolano” (tanah adat), oleh karena itu maka pemerintah RI cq. Pemerintah Daerah harus mengakui hak-hak masyarakat adat yang termasuk penyelesaian ganti rugi lahan bandara. Kepala Bandara harus melibatkan Sultan Ternate sebagai pemangku adat. 2. Pihak bandara Sultan Babullah Ternate segera menangguhkan surat perintah membayar (SPM) sampai selesainya proses hukum di pengadilan. 3. Pemerintah RI cq. Dirjen Perhubungan Udara bersama masyarakat pemilik lahan segera merevisi data dan kesepakatan bersama (MoU) yang sangat merugikan masyarakat pemilik lahan dan melecehkan lembaga adat Kesultanan ternate. 4. Polres kota Ternate bersama Polda Maluku Utara segera menangkap oknum-oknum Tim 6 dan kroninya yang diduga kuat melakukan penipuan, pembohongan dan penggelapan uang
64
5. 6.
7. 8.
berdasarkan laporan polisi No. Pol: LPB/331/V/2009/SPK tertanggal; 14 Mei 2009. Ganti rugi lapangan sepak bola Ganefo harus segera direalisasi. Rekruitmen CPNS di lingkup Perhubungan Udara harus transparan dan harus memprioritaskan anak daerah sekitar terutama masyarakat (Tafure, Tabam, Sango dan Tarau). Setiap kegiatan proyek pembangunan Bandara harus melibatkan tenaga kerja (buruh) dari masyarakat tersebut. Apabila poin 1-7 tidak diakomodir maka kami akan memboikot aktifitas bandara dengan melibatkan masyarakat adat kesultanan Ternate.
Demikian surat pernyataan sikap para demonstran yang ditujukan kepada Menteri Perhubungan RI Cq. Dirjen Perhubungan Udara di Jakarta yang ditandatangani oleh penanggungjawab aksi Ilyas Bayau. Sebulan sebelumnya aksi tersebut diatas dilakukan tepatnya tanggal 15 Juni 2009, Tim 4 penyelesaian ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate Bpk. Ilyas Bayau selaku koordinator tim tersebut menyurat kepada Kapolres Kota Ternate cq. Kasat Reskrim Polres Kota Ternate tentang laporan tindak pidana Kriminal
untuk menindak
proses penyidikan
kasus
manipulasi
dan
penggelapan uang ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate tahap I yang berasal dari dana DIPA. T.A. 2006 Rp. 1.500.002.000,- (satu milyar lima ratus juta dua ribu rupiah), yang berimbas pada 53 orang yang dirugikan sebesar Rp. 149.250.000,- (seratus empat puluh sembilan juta dua ratus lma puluh ribu rupiah). Pembayaran tahap II berasal dari DIPA T.A. 2008 Rp.5.000.000.000,(lima milyar rupiah) yang menyebabkan 20 orang dirugikan dengan nilai kerugian sebesar Rp.148.125.000,- (seratus empat puluh delapan juta seratus dua puluh lima ribu rupiah). Hingga kini, proses penyidikan kasus manipulasi dan penggelapan uang ganti rugi lahan bandara yang bersumber dari dana DIPA tahap I dan II tersebut masih ditangani oleh pihak Polres Kota Ternate yang telah melakukan pemanggilan terhadap beberapa oknum anggota masyarakat yang diduga terlibat dalam tindakan kriminal tersebut bahkan terindikasi juga kasus ini akan menyeret nama beberapa pejabat birokrasi setempat.
65
5.2. Faktor-faktor Penyebab Sengketa Faktor penyebab sengketa sumber daya alam berbasis tanah disebabkan karena multi interpretasi dan ketidakadaan pegangan bersama dari berbagai pihak tentang siapa yang berhak menguasai tanah dan sumber daya alam, siapa yang berhak memanfaatkan, dan siapa pula yang berhak dalam pengambilan keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam tersebut3. Akibat dari ketidakjelasan tersebut sehingga masingmasing pihak, pemerintah, perusahaan, saling mengklaim bahwa merekalah yang lebih berhak dari pihak lain. Dari hasil penelitian ini ditemukan berbagai potensi kerugian yang dialami masyarakat sehingga melahirkan gerakan sosial di daerah penelitian ini adalah hilangnya tanah pertanian, hilangnya kapling rumah, hilangnya akses ke tanah hutan, hilangnya hak atas tanah adat, hilangnya rumah atau tempat tinggal, hilangnya sumber mata pencaharian/pendapatan, hilangnya lahan perkebunan, pemakaman, dll. Kaitan dengan terjadinya konflik sumber daya alam, menurut Nyoman Nurjaya bersumber dari persoalan-persoalan seperti: 1). Penguasaan, pemanfaatan, dan distribusi sumber daya alam yang menjadi pendukung kehidupan manusia; 2). Ekspansi batas wilayah kehidupan suatu kelompok; 3). Kegiatan ekonomi masyarakat; 4). Kepadatan penduduk. Sumber konflik tersebut sejalan dengan realitas konflik perebutan sumberdaya alam (tanah) pada masyarakat hukum adat Tafure di Ternate dengan pihak pengelola Bandara Sultan Babullah Ternate. Tanah-tanah yang dimiliki sebagai tempat penghidupan sehari-hari telah diambil oleh pihak Departemen Perhubungan sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam sengketa tanah bandara tersebut dengan tidak memberikan ganti rugi yang layak, akibatnya taraf kehidupan masyarakat secara ekonomi justru menjadi terpuruk dan menjadi tidak sejahtera.
3
Iksan Malik, et. al. Op cit p. 337.
66
Kejadian ini semakin diperburuk dengan tidak adanya payung hukum yang berpihak pada kepentingan masyarakat adat setempat sehingga seolah tidak ada landasan hukum bagi masyarakat adat dalam memperjuangkan dan menuntut pengakuan atas hak-hak ulayatnya. Menurut masyarakat, keberadaan Bandara telah merampas hak tanah adat mereka. Masyarakat adat Tafure merasa diperlakukan secara tidak adil dan
membuat
mereka
merasa
terganggu
karena
bunyi
rutinitas
penerbangan pesawat pada setiap harinya, yang diekspresikan dengan berbagai aksi protes. Pihak bandara dianggap tidak menghargai hak-hak adat mereka. Kompensasi ganti rugi yang diberikan dianggap tidak sepadan dengan yang diharapkan. Ketidakberesan dalam merespon tuntutan masyarakat telah ikut mendorong tindakan kolektif masyarakat untuk merebut apa yang diklaim sebagai hak ulayat mereka selama ini. Tuntutan pengakuan dan perlindungan keberadaan hak masyarakat hukum adat mereka telah dilakukan dengan berbagai cara. Pilihan hukum yang ditempuh baik berdasarkan hukum adat, maupun hukum negara telah lama
diperjuangkan
dan
terus
dilakukan
hingga
saat
ini
demi
mempertahankan sejengkal tanah yang telah dikuasai. Perjuangan inipun tak menjadi sia-sia dengan disahkannya Perda No. 13 tahun 2009 tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan Ternate. Upaya perjuangan tersebut karena adanya harapan bahwa bentuk penyelesaian yang ditempuh akan memberikan hasil yang memuaskan dengan kembalinya tanah adat mereka yang selama ini digunakan untuk bertani dan bercocok tanam sebagai sumber utama mata pencaharian mereka yang mendiami daerah sekitar bandara. Pemerintah sering memperhadapkan masyarakat
dalam setiap konflik pembangunan
yang berbasis pada
penguasaan dan pemilikan sumber daya tanah dengan bukti-bukti yang bersifat formal jika terjadi sengketa antara masyarakat dengan pemerintah atau perusahaan, akibatnya komunitas masyarakat adat selalu berada pada posisi yang dirugikan dan menjadi kalah karena harus diakui penguasaan sumber daya tanah oleh masyarakat adat dilakukan secara tidak tertulis.
67
Pembuktian secara formal hak atas tanah menyebabkan nilai tawar masyarakat adat dalam proses ganti rugi tanah semakin lemah, karena jika masyarakat dan pihak bandara tidak mencapai kata sepakat, maka pemerintah dalam hal ini secara yuridis dalam konteks hukum positif melalui berbagai macam produk Undang-undang yang berpihak dan cenderung memperkuat otoritas kewenangan negara dalam mengatur penguasaan dan pemilikan atas tanah. Dengan demikian, maka pemberian ganti rugi kepada masyarakat korban seolah mengedepankan peran pemerintah sebagai alat negara yang cenderung memaksa masyarakat untuk tunduk dan takluk terhadap segala bentuk kebijakan negara. Dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat, dan lebih lanjut diperjelas dengan Surat Menteri Agraria/Kepala BPN No. 400-2626 tanggal 21 Juni 1999 tentang Penyampaian Pedoman dan Penjelasan Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat, pemerintah berusaha untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan hak ulayat. Menurut ketentuan tersebut, yang dimaksud hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Definisi ulayat menurut (versi) pemerintah ini menunjukkan bahwa pemerintah memberikan persyaratan tertentu dalam menentukan masih ada tidaknya hak ulayat dalam suatu daerah tertentu. Peraturan ini menetapkan ada tiga syarat (unsur) yang harus dipenuhi dalam menentukan masih ada atau tidaknya hak ulayat. yaitu: a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam kehidupannya seharihari;
68
b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan tersebut. Persyaratan di atas menunjukkan, pemerintah tidak secara tegas atau bersifat setengah hati dalam mengakui keberadaan hak ulayat. Ini merupakan dampak pola pikir masa lalu yang masih sentralistik, yaitu upaya ke arah unifikasi hukum tanah masih sangat dominan. Upaya penyeragaman sistem hukum tidaklah senantiasa buruk, namun tidak seharusnya pemerintah memaksakan kehendaknya tanpa memperdulikan realitas yang ada di dalam masyarakat adat di sejumlah daerah, terutama
di luar pulau Jawa yang
selama Orde Baru telah dirusak dan dihancurkan. Meskipun di dalam peraturan tersebut, memberikan wewenang kepada daerah untuk mengadakan penelitian mengenai ada tidaknya hak ulayat atas dasar tiga unsur dimaksud dengan cara mengikut sertakan pihak-pihak yang berkepentingan dan pihak-pihak yang dapat menyumbangkan pemikiran dan peranannya, seperti para ketua adat, para pakar adat, wakil lembaga swadaya masyarakat
dan
wakil
instansi
yang
bertanggung
jawab
mengenai
pengelolaan sumberdaya alam (misalnya instansi kehutanan dan perkebunan yang berkaitan dengan tanah ulayat di kawasan hutan, begitu pula instansi pertambangan, apabila tanah ulayat tersebut diperkirakan didalamnya terkandung bahan pertambangan). Pelaksanaan dari ketentuan tersebut di atur lebih lanjut dengan peraturan daerah (Perda). Kebijakan pemerintah reformasi di bidang pertanahan ini memang agak selangkah lebih maju dibandingkan pada era Orde Baru. Akan tetapi ketentuan kebijakan ini tetap saja memposisikan hak ulayat masyarakat adat pada posisi yang lemah, karena pengakuan ada tidaknya hak ulayat ditentukan oleh penguasa di daerah.
69
Apalagi penguasa/pejabat beserta aparat di daerah sebagian besar masih diduduki oleh orang-orang yang anti terhadap masyarakat adat. Meskipun demikian,
upaya
pemerintah
ini
perlu
disikapi
secara
arif
oleh
penguasa/pejabat beserta aparat di daerah. Jika ini dapat dilakukan secara baik dan penuh kearifan maka akan dapat mengurangi muncul konflik pertanahan di masa mendatang. Persoalan lain yang tidak kalah rumit dan kompleksnya, adalah persoalan hak ulayat yang selama Orde Baru sebagian besar telah dikuasai oleh negara dan swasta. Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 antara lain menetapkan bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam peraturan tersebut tidak lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkan peraturan daerah sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA 1960, juga atas bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkan peraturan daerah, merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan, sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku. Ketentuan ini tentunya menimbulkan persoalan bagi masyarakat adat untuk memperoleh keadilan terhadap tanahnya yang dirampas secara paksa oleh negara sehingga konflik menjadi sesuatu yang sulit dihindari antara masyarakat adat versus negara sebagaimana terjadi pada masyarakat adat Tafute Ternate. Meskipun kebijakan ganti rugi telah ditempuh oleh pihak pengelola bandara atau Departemen perhubungan propinsi Maluku Utara sebagai upaya berdamai dengan masyarakat sekitar namun ternyata kebijakan ini ternyata belum mampuh meredam konflik yang sudah lama terpendam, bahkan menjadi sumber konflik baru. Dari hasil penelitian ini juga ditemukan faktor-faktor lainnya selain yang disebutkan diatas yang menjadi sumber penyebab terjadinya konflik pertanahan yang merugikan masyarakat petani sekitar proyek pembangunan bandara Sultan Babullah Ternate, yaitu :
70
5.2.1. Perubahan Struktur Sosial-Ekonomi Berbicara mengenai dampak sosial ekonomi, sangat erat kaitannya dengan dampak lingkungan fisik yaitu yang terkait dengan perubahan alih fungsi lahan pertanian masyarakat yang diperuntukkan bagi proyek pembangunan bandara, karena perubahan-perubahan sosial yang terjadi, disamping karena pengaruh ide-ide, pengaruh fisik juga tidak dapat diabaikan peranannya. Bahkan kehidupan sosial masyarakat Ternate secara keseluruhan pada kawasan tertentu dipengaruhi langsung oleh perubahan lingkungan fisik. Salah satu pengaruh nyata terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat adat setempat adalah perubahan pola dan struktur mata pencaharian mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu dengan cara menjadi PKL di pasar-pasar tradisional bagi sebagian besar kaum perempuannya sedangkan para lelaki harus terpaksa beralih profesi menjadi buruh bangunan, supir angkot maupun truk, dll. Kondisi ini jelas sangat berbeda dengan keadaan sebelumnya dimana sebagian besar dari kaum petani perempuan bersama suaminya secara bersama-sama bekerja di kebun untuk mengolah lahan pertanian mereka dengan beragam tanaman terutama yang berhubungan dengan bahan-bahan makanan seperti singkong, buah-buahan dan sayur-sayuran yang langsung dikonsumsi saat tibanya waktu panen guna memenuhi kebutuhan pokok kehidupan mereka dan sebagiannya lagi untuk dijual di pasar-pasar tradisional. Kehidupan mereka sangat tergantung pada alam yang menyediakan bahan-bahan makanan untuk diambil secara langsung pada saat itu. Sebelum digunakan sebagai lahan proyek pembangunan bandara, lahan itu adalah kebun singkong, pala, cengkeh, kelapa, serta beberapa tanaman holtikultura lainnya. Dengan keberadaan hutan seperti inilah memungkinkan mereka melakukan pola hidup peramu. Kebiasaan hidup masyarakat setempat dengan ketegantungannya terhadap SDA seperti diatas misalkan singkong, daunnya dimanfaatkan sebagai bahan sayur-sayuran sedangkan buahnya untuk membuat makanan pokok yang disebut sagu, dan dari sagu ini pula dapat diproses menjadi –popeda yang hingga kini masih menjadi makanan khas masyarakat Ternate khususnya bahkan Maluku pada umumnya.
71
Sementara dari tumbuh-tumbuhan hutan diperoleh buah-buahan, obat-obatan, serta kayu pembuat rumah. Bahan kayu pembuat rumah ini diperoleh dari sumber tanaman pohon kelapa yang buahnya diproses menjadi minyak goreng untuk dikonsumsi maupun untuk dijual. Setelah proyek pembangunan bandara itu dilaksanakan maka sejak tahun 1970, sebagian besar hutan primer tersebut menjadi disfungsional bagi pemenuhan kebutuhan rakyat sekitar dan seluruh aktivitas tradisional masyarakat sekitar berubah drastis. Secara fisik hutan rakyat (kebun) tersebut telah berubah menjadi landasan pacu pesawat terbang sehingga tak dapat digunakan lagi oleh masyarakat seperti semula. Padahal lahan tersebut merupakan hak ulayat masyarakat dan mereka tahu betul akan hal tersebut. Melihat hamparan luasnya lapangan terbang yang memusnahkan tanaman, bagi masyarakat sekitar merupakan bencana yang akan mengganggu kehidupan mereka dalam kurun waktu yang relatif lama. Tidak mudah bagi mereka yang sudah demikian akrab dengan kehidupannya dengan alam tibatiba beralih kebiasaan dan mata pencaharian. Oleh karena itu dalam penelitian ini terlihat bahwa kesedihan mereka cukup dalam sehingga muncul tuntutan untuk memulihkan tanah mereka seperti sedia kala meskipun hal ini diakui mereka sangatlah sulit bahkan tak mungkin untuk dilakukan. Sedikitnya terdapat beberapa dampak sosial yang dapat diidentifikasi dari pembangunan proyek bandara Sultan Babullah Ternate, yaitu: 1.Akses masyarakat sekitar bandara ke hutan yang menjadi terhalang. Oleh karena hak ulayat masyarakat sekitar masih terpelihara namun diperhadapkan dengan kekuatan dominan negara yang begitu menguat maka pendudukpun tak kuasa menerima resiko bahwa sumber kehidupan mereka dari bertanam menjadi hilang sedangkan untuk berganti mata pencaharian hal ini sangat sulit untuk dilakukan karena terbatasnya ketrampilan dan wawasan. Disamping itu, upaya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru sangat lambat karena terkait dengan orientasi nilai budaya dan kebiasaan hidup masyarakat bersangkutan sehingga butuh proses yang sangat lama bagi mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan baru serta segala resikonya.
72
2.
Ketergantungan terhadap alam bergeser kearah ketergantungan terhadap proyek bandara. Salah satu resiko bahwa sumber kehidupan mereka dari bertanam menjadi hilang sedangkan untuk berganti mata pencaharian hal ini sangat sulit untuk dilakukan karena terbatasnya ketrampilan dan wawasan, maka satu-satunya jalan yang dapat dilakukan adalah menggantungkan kehidupan mereka pada profesi sebagai buruh bagasi di bandara atau menjadi supir taxi bagi sebagian besar kaum laki-laki penduduk sekitar sedangkan lainnya adalah menjadi tukang jual karcis, dll. Meskipun kondisi ini dianggap bukan jaminan pekerjaan yang ideal bagi mereka akan tetapi bagi sebagian dari mereka merupakan pilihan hidup yang harus dijalani. Ketergantungan kepada orang luar bagi masyarakat Tafure merupakan perubahan sosial yang cukup signifikan karena secara tradisional mereka adalah orang-orang bebas yang pada dasarnya mampuh menentukan sendiri apa yang diinginkan. Sedangkan kini, mereka terpaksa harus bersabar untuk menerima kesempatan dan peluang pekerjaan yang memang sangat terbatas seperti jenis profesi yang disebutkan
diatas.
Kekesalan
yang
bertumpuk
sesungguhnya
merupakan sumber konflik antara penduduk sekitar dengan pihak bandara. 3.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Tafure dan sekitarnya
karena
pengaruh
alam
yang
bergeser
kearah
ketergantungan terhadap pihak luar yang menyebabkan jati diri penduduk setempat menjadi luntur bahkan terasing. Nilai-nilai spritual yang berpengaruh sangat besar terhadap hakekat keberadaan mereka sebagai manusia sangat terpengaruh oleh perubahanperubahan fisik dilingkungan mereka. Identitas mereka sebagai komunitas masyarakat adat yang menyatu dengan alam menghilang karena pemukimannya berpencar (dipindahkan dari lokasi asal) seperti yang terjadi pada masyarakat Tafure yang harus terpecah antara Akehuda dan Tubo yang secara spasial dipisahkan oleh batas areal bandara yang begitu luas.
73
Dengan adanya pemisahan wilayah geografis seperti ini justeru turut berpengaruh terhadap pola hubungan atau relasi sosial yang dulunya bersifat berdekatan dengan sistem kekerabatan menjadi terpecah belah dan cenderung mengedepankan individualisme sebagai manifestasi perubahan spasial lingkungan pemukiman tersebut. Kondisi ini jelas berpengaruh pada perubahan sosial budaya komunitas setempat. 5.
Konsekuensi langsung dari perubahan spasial atau pemukiman yang berpencar tersebut adalah memudarnya solidaritas organik atau sistem kekerabatan komunitas sehingga menjadikan mereka sebagai pribadipribadi yang “modern” meskipun prosesnya mengalami loncatan yang begitu
jauh
sehingga
dapat
menimbulkan
keputusasaan
dan
ketidakpuasan yang berkepanjangan. Manifestasi dari kondisi ini adalah timbulnya perilaku negatif dengan mengharapkan pemberian terus-menerus untuk memperoleh materi secara gampang. Dengan demikian, dampak yang ditimbulkan akibat perluasan Bandar Udara Sultan Babullah Ternate sangat beragam dengan dilakukannya penggusuran terhadap lahan masyarakat di sekitar lokasi bandara yang tidak semata menimbulkan dampak lingkungan hidup melainkan juga melahirkan dampak sosial dan gejolak politik dengan munculnya gerakan sosial baru di daerah tersebut. Mulai dari dampak kesehatan, sosial budaya, politik, keamanan, hilangnya kesempatan kerja dan lapangan kerja, perubahan pola konsumsi, akibat tanah masyarakat digusur tingkat kebisingan pesawat terbang yang selalu mengganggu kenyamanan hidup masyarakat sekitar. Pada tahun 1970, karena pembangunan landasan pacu bandara Sultan Babbullah Ternate dimulai maka penduduk beberapa Desa sekitar (Tafure, Tabam, Sango, Tarau) pada saat itu menjadi terpecah pada beberapa wilayah sekitar yang kemudian secara administratif pemerintahan disederhanakan oleh pemerintah Kota Ternate. Akibat dari relokasi ini maka anggota masyarakat penduduk sekitar menjadi terpecah belah menjadi beberapa desa yang pada waktu sebelumnya mereka hidup bermukim secara bersatu padu, penuh kekeluargaan dan kini terjadi pemekaran atau pemencaran dan letaknya relatif berjauhan satu sama lainnya.
74
Situasi ini secara sosial budaya selain mengubah pola pemukiman, juga berpengaruh terhadap organisasi sosial mereka. Akibat lebih lanjut adalah makin memudarnya identitas diri sebagai orang adat Ternate. Salah satu bukti memudarnya identitas diri orang Ternate adalah bahwa sebagian diantara mereka tidak lagi bergantung atau mengikuti petunjuk-petunjuk dari para pemangku adat di masing-masing desa setempat yang sebelumnya adalah seratus persen tuntuk dan takluk mendengar, menghormati dan menghargai para pemangku adat setempat. Orang yang dianggap pemimpin adalah kepala desa, camat dan walikota. Meskipun demikian, pada sebagian besar anggota masyarakatnya masih tetap mengakui peran dari perangkat adat lokal dalam tatanan kehidupan sosial politik masyarakat sehingga tidak mengherankan ketika dalam praktek pemerintahan masyarakat seolah memperlihatkan adanya dualisme model pemerintahan negara dengan model pemerintahan negara bayangan (baca: shadow state). Perubahan ikatan sosial juga terjadi yang ditunjukkan oleh makin longgarnya ikatan solidaritas antara seluruh lapisan masyarakat setempat. Mereka jarang sekali saling mengunjungi seperti yang pernah dilakukan sebelumnya karena faktor segregasi wilayah sehingga berpengaruh pada intensitas pertemuan diantara mereka. Melonggarnya ikatan sosial didalam dan antar masyarakat sekitar juga disebabkan oleh makin luasnya pegaulan mereka dengan kelompok sosial dari luar suku/etnis penduduk asli Tafure Ternate yang beragam seperti suku Jawa, Bugis, Gorontalo, dan sebagainya yang tinggal sementara di Tafure dan umumnya Mahasiswa dan pedagang. Dari perspektif masyarakat, hilangnya tanah ulayat yang digunakan untuk pembangunan bandara juga telah turut memperlemah lembaga sosial. Bagi masyarakat Tafure yang bercorak agraris yang berpusat pada tanah, sungguh berat beban psikologis mereka yang harus beralih profesi dan mengganti mata pencaharian yang sudah dijalaninya secara turun temurun. Sebagian orang Tafure justeru merasa stress dan kondisi seperti ini tidak jauh berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya yang secara tibatiba harus beralih mata pencaharian dan sistem budaya yang menyertainya.
75
Mata pencaharian terutama hasil alam terutama dari hutan / kebun secara musiman, membawa kebiasaan ikutan seperti berkemah didaerah kebun mereka pada waktu tertentu. Kini mereka diarahkan untuk mengikuti kebiasaan hidup yang diperkenalkan sebagai kebudayaan modern, yang berarti harus mengubah cara-cara hidup yang lama dan tercerabut dari akar budaya yang menyatu dengan alam. Budaya bertani modern mengharuskan adanya “treatment” khusus bagi tanah agar menghasilkan, sedangkan budaya asli mereka tinggal mengambil apa yang sudah disediakan atau tersedia di alam sekitarnya. Ini berarti ada “keharusan” untuk memperlakukan tanah sebagai sumber penghidupan mereka secara berbeda. Konsekuensinya, kebiasaan dan budaya mereka juga harus berubah. Perubahan budaya sebenarnya satu gejala yang umum terjadi pada setiap masyarakat namun bagi masyarakat Tafure, perubahan ini menjadi beban yang sangat berat karena terjadi tanpa diinginkan bahkan cenderung terjadi secara cepat dan radikal sehingga hampir merubah semua tatanan kehidupan masyarakat. Proses industrialisasi dimanapun selalu menjadi pendorong perubahan sosial, dimana ada pihak-pihak yang memerintah setengah hati, ada pula yang menolak. Bahkan, dampak sosial berupa perubahan-perubahan fisik maupun struktur sosial ditanggapi oleh masyarakat disekitar areal pembangunan bandara dengan rasa putus asah karena ketidakmampuannya mengikuti perputaran roda industrialisasi menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
5.2.2. Dampak Lingkungan Dampak adalah sebuah perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas yang bersifat alamiah, baik kimia, fisik maupun biologi. Dampak adalah pengaruh sesuatu yang menimbulkan akibat benturan, benturan yang cukup hebat sehingga menyebabkan perubahan.4 Dalam kajian tentang studi pembangunan, dampak menjadi sebuah masalah yang bisa berkepanjangan terlebih bila terkait dengan dampak negatif dari pembangunan itu sendiri.
4
Hazairin (Lihat Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Eem Zulfajri, edisi revisi. Hal 234
76
Hal ini tentunya lebih disebabkan karena perubahan yang disebabkan oleh pembangunan selalu lebih luas daripada yang menjadi sasarannya yang direncanakan. Dampak lingkungan hidup yang dirasakan oleh penduduk sekitar dari pembangunan bandara ini adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan dari aktivitas pembangunan yang menimbulkan pengaruh negatif berupa gangguan pernapasan yang dialami oleh mayoritas penduduk sebagai akibat angkutan material bandara. Tanah-tanah yang digunakan untuk dalam proses penimbunan di areal bandara diangkut dari hasil galian sekitar areal kebun rakyat yang diangkut ke bandara dengan menggunakan truk-truk angkutan besar dengan kapasitas angkutan yang melebihi daya muat sehingga hampir setiap hari selama beberapa tahun ini sangat meresahkan masyarakat yang berada disekitar bandara maupun yang berada sepanjang jalur jalan raya. Kegiatan pembangunan bandara tersebut yang semakin meningkat mengandung resiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat mengalami kerusakan sehingga turut menimbulkan dampak sosial lainnya. Misalnya penggalian tanah dari beberapa areal kebun rakyat yang berada di perbukitan menimbulkan bahaya longsor pada musim hujan terutama pada beberapa titik yang menjadi lokasi pemukiman masyarakat. Oleh karena itu, dalam aktivitas pembangunan seperti ini, perhatian terhadap lingkungan hidup haruslah menjadi bahan pertimbangan utama dalam melaksanakan sebuah perencanaan pembangunan. Pengelolaannya mesti dilaksanakan dengan prinsip melestarikan fungsi lingkungan hidup yang
serasi,
selaras
dan
seimbang
untuk
menunjang
pembangunan
berwawasan lingkungan hidup bagi peningkatan mutu hidup manusia yang berada dilokasi pembangunan tersebut. Hal ini perlu diantisipasi sejak dini karena disadari bahwa makin meningkatnya upaya pembangunan yang dilaksanakan saat ini telah menyebabkan makin meningkatnya dampak ekologis bagi masyarakat luas. Langkah antisipatif ini sangat diperlukan karena pada dasarnya semua kegiatan pembangunan akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
77
Perencanaan awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus memuat perkiraan dampaknya terhadap lingkungan hidup guna dijadikan pertimbangan apakah untuk rencana tersebut perlu dibuat analisis mengenai dampak lingkungan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih rinci tentang dampak negatif dan dampak positif yang akan timbul dari usaha atau kegiatan tersebut, sehingga sejak dini telah dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkannya tersebut. Meskipun setiap rencana pelaksanaan pembangunan wajib dilengkapi dengan
analisis
mengenai
dampak
lingkungan,
namun
tetap
ada
pengecualiannya karena hanya beberapa kegiatan tertentu saja yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Yang dimaksud dengan dampak penting tersebut adalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu kegiatan pembangunan sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Tafure dan sekitarnya saat ini. Analisis mengenai dampak lingkungan ini merupakan bagian dari proses perencanaan kegiatan yang menjadi pangkal tolak pengaturan dalam prosedur perizinan lingkungan. Dalam upaya melestarikan kemampuan lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan bertujuan untuk menjaga agar kondisi lingkungan tetap berada pada suatu derajat mutu tertentu demi menjamin
kesinambungan
pembangunan.
Dari
hasil
penelitian
ini,
diidentifikasi beberapa dampak yang penting untuk ditentukan antara lain: a. Besarnya manusia yang terkena dampak: Suatu kegiatan umumnya mempunyai sasaran, berapa jumlah manusia yang akan menikmati dampak tersebut. Suatu kegiatan mempunyai dampak penting bila jumlah manusia yang terkena dampak tetapi tidak termasuk yang menikmati manfaat tersebut, jumlahnya sama atau lebih besar dari yang menikmatinya. Kriteria lain adalah bila jumlah manusia yang terkena dampak baik yang tidak maupun yang menikmati sasaran manfaat kegiatan jumlahnya sama atau lebih besar dari yang tidak terkena dampak. Hasil penelitian ini memperlihatkan banyaknya jumlah penduduk yang terkena dampak negatif pembangunan bandara tersebut.
78
b. Luas wilayah penyebaran dampak: Dampak lingkungan dari suatu kegiatan
pembangunan
bandara
ini
menjadi
penting
untuk
dikemukakan bahwa sesungguhnya dampak tersebut tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Tafure saja melainkan dirasakan pula oleh warga desa sekita proyek bandara lainnya seperti Tabam, Sango Tarau, Akehuda dan Tubo, bahkan lebih luas lagi dampaknya dirasakan pula oleh seluruh pemukiman masyarakat yang dilalui oleh setiap kendaraan angkutan material yang diperlukan dalam proyek pembangunan bandara tersebut. Debu yang mengganggu masyarakat di sepanjang jalur yang dilalui angkutan kendataan milik pihak bandara yang mengangkut material bangunan tersebut. Selain itu juga, becek sebagai akibat dari tanah yang terlepas dari setiap kendaraan
angkutan
material
sangat
meresahkan
masyarakat
sepanjang jalan yang dilalui kendaraan tersebut. c. Lamanya dampak berlangsung: Dampak kegiatan pembangunan bandara ini menjadi penting untuk dilihat dampak tersebut berlangsung pada seluruh tahap kegiatan pembangunan, baik pada tahap prakonstruksi maupun tahap konstruksi ataupun pasca konstruksi atau bila berlangsung minimal selama separuh dari umur kegiatan. Hingga saat ini berbagai kondisi yang diuraikan tersebut diatas masih terus terjadi dan diperkirakan akan memerlukan waktu yang cukup lama bagi masyarakat sekitar untuk terbebas dari dampak tersebut diatas. d. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak: Dampak aktivitas pembangunan bandara tersebut menjadi penting untuk dikemukakan karena dari hasil penelitian ini ditemukan banyaknya komponen atau aspek lingkungan yang terkena dampak, baik komponen sosial budaya, komponen abiotik, maupun komponen biotik. Selain itu juga, sifat kumulatif dampak tersebut: terkadang menjadi sangat berbahaya. Fenomena ini terjadi karena dampak-dampak tersebut ditingkatkan derajat bahayanya seiring dengan rutinitas aktivitas proyek bandara tersebut.
79
5.3.
Ikhtisar Paradigma pembangunan yang bersandar pada prinsip ekonomi semata
dengan mengabaikan aspek sosial budaya tempatan (lokal) ternyata memberikan rangsangan bagi tumbuhnya perlawanan rakyat yang terkait dengan kepentingan petani dan isu hak ulayat masyarakat adat. Ini artinya bahwa faktor yang menyebabkan ketertindasan petani dan memicu lahirnya perlawanan petani adalah ekonomi dan politik. Dua faktor ini dalam sejarahnya menciptakan deretan permasalahan yang harus diselesaikan oleh petani. Disisi lain, keberadaan dua faktor ini ternyata mampu memunculkan motivasi petani untuk membangun aksi kolektif dan mengakumulasikan energi kolektif melalui sebuah gerakan sosial baru. Dalam beberapa peristiwa gerakan sosial sebagai langah protes terhadap pembangunan dan perluasan areal bandara Sultan Babullah Ternate, seolah memperlihatkan bahwa praktek pembangunan saat ini, sarat dengan persengketaan (konflik). Konflik ini lebih didasarkan pada akar konflik perebutan sumber daya agraria yang terbatas (tanah). Konflik inipun telah berlangsung cukup lama, baik terjadi pada tataran persepsi, pengetahuan, tata nilai, kepentingan dan akuan terhadap hak kepemilikan atas tanah yang menjadi objek sengketa selama ini. Artinya bahwa spektrum sengketa itu tidak hanya terbatas pada akuan hak-hak kepemilikan (penguasaan) dan batas-batas yuridisnya. Intensitas konflik pun terjadi secara beragam dikalangan
masyarakat
yang
berangkat
dari
ketidaksetujuan,
protes,
penentangan, perusakan sampai dengan pemboikotan aktivitas penerbangan pesawat. Konflik pembangunan yang berawal dari persoalan tanah sebagai penyulut lahirnya Gerakan Sosial Baru memiliki tata nilai yang jika diterjemahkan sebagai pemaknaan, maka tanah memiliki nilai yang berbeda di mata setiap stakeholder. Bagi masyarakat adat (setempat), tanah merupakan
habitat
perekonomiannya
tempat
serta
mereka
menggantungkan
mengejewantahkan
kehidupan
kehidupan budaya
dan
spritualnya. Karena itu, mereka akan menjaganya karena hal demikianlah yang dianggap akan menjamin keutuhan identitas masyarakatnya.
80
Sebenarnya otonomi daerah adalah jawaban untuk membangun kepercayaan publik atas penyelenggaraan negara. Namun, bergesernya sistem politik yang sentralistik ke desentralistik yang juga ternyata diikuti dengan perilaku pejabat publik yang ada di daerah yang korup. Otonomi daerah telah melahirkan “otoritarianisme” baru di daerah yang kemudian menjelma menjadi ancaman kekerasan politik dan terjadinya akumulasi modal kepada kelompok-kelompok tertentu. Pembangunan yang digulirkan oleh pemerintah pusat dalam label otonomi daerah tetapi dalam pelaksanaannya masih berkarakter top down aprouch meski masih membuka ruang partisipasi yang “berlebihan” sehingga lahirlah gerakan sosial baru. Munculnya gerakan-gerakan sosial yang terjadi di Tafure Ternate pada khususnya, hampir memiliki pemicu dan inspirasi gerakan yang serupa. Adapun pemicu konfliknya lebih disebabkan karena berbagai potensi kerugian yang dialami masyarakat sehingga melahirkan gerakan sosial yaitu hilangnya tanah pertanian, hilangnya kapling rumah, hilangnya akses ke tanah hutan, hilangnya hak atas tanah adat, hilangnya rumah atau tempat tinggal, hilangnya sumber mata pencaharian/pendapatan, hilangnya lahan perkebunan, pemakaman, dampak kebisingan, polusi udara, dll.
81
BAB VI TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN DARI PETANI MENJADI MASYARAKAT ADAT
Studi ini difokuskan untuk melihat secara lebih rinci tentang dinamika gerakan agraria yang menggunakan strategi perubahan identitas perjuangan dari ”petani” menjadi ”masyarakat adat” sebagai strategi utamanya yang diharapkan mampu menjadi suatu upaya untuk melakukan perubahan. Selain itu, studi ini juga hendak melihat bagaimana mereka–sebagai kelompok gerakan–menghadang gelombang pengaruh-pengaruh dari luar, khususnya kebijakan Negara, yang dianggap merugikan hak-hak masyarakat tani dan masyarakat adat setempat.
6.1.
Ideologi Utama dan Aktor Penting Gerakan Petani Melemahnya otoritas tradisional yang diharapkan mampuh menjembatani
persoalan struktural yang dihadapi petani memaksa mereka untuk merubah bentuk perjuangan dari petani menjadi masyarakat adat. Secara umum tujuan utama petani ikut dalam sebuah gerakan sosial lebih bersifat pragmatif dan berorientasi material, yakni hanya terpaku pada motif penguasaan tanah pertanian semata. Tindakannya cenderung pada upaya paksa mengambil-alih tanah pertanian sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para penguasa dan pengusaha terhadap petani pada umumnya. Wujud nyata dari derasnya tuntutan petani adalah unjuk rasa, maupun aksi-aksi protes lainnya yang dilakukan dengan secara damai maupun dengan cara kekerasan. Dalam banyak kasus unjuk rasa yang dilakukan oleh para petani yang kehilangan tanahnya karena digunakan sebagai areal pembangunan bandara Sultan Babullah di Tafure Ternate, para petani sering melaksanakan aksi demonstrasi ke Polres Kota Ternate, DPRD Kota Ternate, Polda Maluku Utara, dll. Mereka menuntut ganti rugi lahan yang dikuasai pemerintah daerah, seolah memberi penjelasan aktual yang terkait dengan transformasi struktur gerakan sosial petani.
Berbagai simbol perjuangan petani diproduksi berbasis pada rasa ketidakadilan, sebagai bentuk reaksi terhadap stigma-stigma politik (tuduhan eks PKI), tekanan fisik dan sosial-psikologis yang dialami oleh para orang tuanya serta berbagai bentuk praktek-praktek yang merugikan petani lainnya. Dalam kasus ini pula para petani selalu memegang teguh atas janji dan berbagai bentuk kesepakatan penyelesaian sengketa pembangunan bandara tersebut yang telah dibuat baik tertulis maupun tidak tertulis. Kerelaan sebagian petani untuk memberikan tanahnya yang dijadikan sebagai bandara tersebut sejak awal adalah karena mereka dijanjikan bahwa anak-anak mereka akan dipekerjakan sebagai tenaga kerja PNS dilingkungan bandara tersebut. Namun seiring berjalannya waktu mereka justeru dikhianati karena kebanyakan dari penduduk sekitar bandara tak terkecuali masyarakat desa Tafure tidak diakomodir secara memuaskan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang telah disebutkan diatas. Selain itu juga, masyarakat sekitar bandara yang umumnya adalah masyarakat adat Ternate merasa seolah telah diabaikan keberadaan institusi adat dan nilai-nilai budaya mereka yang selama ini dipelihara sebagai akibat dari hilangnya hak mereka atas tanah ulayat yang menurut mereka tidak saja memiliki nilai ekonomis semata melainkan juga nilai sosial dan spritual, kondisi ini akhirnya memaksa mereka untuk merubah identitas gerakan dari perlawanan masyarakat tani menjadi masyarakat adat. Hal ini tidak membuat semangat perjuangan petani semakin surut. Secara internal, kondisi diri petani sudah semakin siap melakukan mobilisasi kolektif. Berkembangnya konflik petani menjadi gerakan sosio-politik akibat dari berbagai kesalahan pembangunan yang menyengsarakan petani. Cerita pilu tentang petani yang kehilangan tanahnya semakin terdengar biasa di telinga para pemegang otoritas karena sesunggunya petani merupakan tumbal dan menjadi bantalan jalannya roda pembangunan. Perlakuan demikian justru menciptakan situasi sengketa dan konflik pertanahan struktural yang akut. Kesadaran petani yang semakin meningkat ditandai oleh upaya kolektif di berbagai komunitas dalam menyelesaikan konflik agraria yang mereka alami selama ini melalui tahapan kelompok-kelompok kepentingan berkembang menjadi gerakan tradisional yang pada akhirnya menjadi gerakan sosial politik.
83
Terbukanya struktur peluang politik nasional dan lokal yang memberi ruang bagi munculnya perubahan identitas perjuangan tersebut diatas pada hakekatnya tidak terlepas dari :peran gerakan mahasiswa yang didukung oleh segenap elemen organisasi masyarakat sipil (NGO). Ada persinggungan yang kuat antara agenda gerakan reformasi mahasiswa dengan keinginan perjuangan lanjut rakyat petani. Gerakan reformasi merupakan pintu pembuka berkembangnya gerakan sosio-politik petani. Negara juga dihadapkan pada posisi kontrol politik yang lemah terhadap setiap aksi terlebih ketika aksi kekerasan menjadi salah satu bentuk bagian. Peluang politik ini dengan cepat direspon petani, karena mereka sudah memiliki rasa kepekaan konfliktual sekaligus berperan sebagai oposisi. Seiring bergulirnya reformasi yang merupakan era perubahan politik penuh keterbukaan dari masa sebelumnya yang bercorak otoriter ke demokrasi, ternyata tidak membawa dampak berarti bagi masyarakat petani Tafure untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Baik para elit politik, elit agama, kalangan intelektual dan berbagai organisasi rakyat ternyata cenderung membiarkan para petani bergerak dengan semangatnya sendiri dalam menuntut hak yang selama ini diabaikan. Meskipun demikian hanya sedikit saja organisasi mahasiswa (SAMURAI) dan sebuah lembaga bantuan hukum (LKBH UMMU) yang melakukan advokasi dan pendampingan hukum bagi para petani dalam perjuangan mereka. Sehingga seiring berjalannya waktu, semakin lama intensitas perlawanan inipun semakin menurun. Hasil kajian ini menemukan bahwa ketika sistem politik yang ada tidak terbuka terhadap tuntutan-tuntutan rakyat, maka aktivitas gerakan sosial mungkin agak kecil skalanya, tetapi radikal hal ini terlihat dari kronologis aksi demonstasi yang
mereka
lakukan
seringkali
juga
menggunakan
kekerasan
berupa
menghancurkan fasilitas bandara bahkan pernah menaburkan pecahan botol dan gelas sepanjang landasan pacu bandara. Ketika struktur politik membuka peluang bagi gerakan sosial mereka, aktivitas gerakannyapun cenderung menjadi lebih besar, tetapi dan semakin radikal. Pada masa Orde Baru tekanan politik sangat kuat sehingga petani yang berani melawan benar-benar militan. Perilaku militansi petani dan kontrol politik negara masih ada hingga saat ini membuat reaksi petani justru cenderung terbuka
84
dan lebih berani dibanding pada waktu-waktu sebelumnya. Ini jelas mungkin berbeda dengan komunitas petani di berbagai wilayah konflik lainnya yang beragam dalam merespon peluang-peluang politik yang ada. Hal ini terkait dengan perbedaan pandangan tentang situasi yang mereka hadapi, kemungkinan resiko yang akan mereka tanggung dan kemungkinan hasil yang akan mereka capai. Dengan demikian, kalkulasi peta politik dan mengukur partisipasi bukan hanya mempertimbangkan faktor obyektif (eksternal) tetapi juga dipengaruhi oleh faktor subyektif. Faktor inipula dipertimbangkan petani korban pembangunan bandara sehingga mengubah strategi dan taktik mereka untuk bagaimana melakukan sebuah gerakan sosial yang dianggap lebih tepat dalam mencapai tujuannya. Pertama, perubahan peluang politik di dalamnya masih tidak bebas dari tekanan yang dapat menjadi mendorong atau menghambat berkembangnya gerakan-gerakan petani. Fenomena di Tafure menunjukkan masih adanya tekanantekanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam perjuangan petani. Hal ini memberi tanda masih belum terbuka sepenuhnya peluang politik, yang dalam beberapa kasus oleh petani masih dianggap memiliki konsekuensi negatif dan bahkan mampu melemahkan gerakan-gerakan mereka. Kedua, tekanan-tekanan politik berpengaruh terhadap menurunnya aktivitas gerakan petani selanjutnya, khususnya terhadap petani yang ingin memperoleh ganti rugi atas tanah mereka, identitas mereka didata oleh pihak bandara untuk dipersulit dalam proses pembayaran ganti rugi sementara yang tidak melakukan protes akan dimudahkan dalam segala bentuk pelayanan. Fenomena ini memunculkan situasi perpecahan dalam tubuh anggota gerakan itu sendiri. Mencermati gejala perpecahan yang terjadi dari dalam gerakan tersebut, kesadaran sosial konfliktual petani berkembang menjadi kesadaran politik secara umum dengan mengubah identitas gerakan dari gerakan petani menjadi gerakan masyarakat adat. Hal ini dilakukan untuk mendapat simpati dan dukungan dari komunitas petani diluar Tafure yang lahannya juga diambil alih untuk proyek pembangunan bandara tersebut. Dengan adanya perubahan identitas gerakan tersebut maka mulai bergulir dukungan para aktivis non petani (Mahasiswa: SAMURAI dan HMI, LKBH) yang sudah memiliki kesadaran politik yang matang, berdasarkan pengalaman praksis mereka.
85
Melalui proses pendampingan dan penyadaran bersama para pelaku non petani, kesadaran politik rakyat petani dapat dibangun. Kerja bersama ini merupakan proses dimana para petani dapat melakukan penilaian kembali atas dirinya sendiri, pengalaman subyektif, peluang-peluang, dan kepentingan bersama di antara mereka. Kesadaran politik petani tidak hanya memahami posisi marginal rakyat petani baik secara sosial maupun secara politik sehingga memberi peluang untuk mencari alternatif strategi gerakan lain untuk mencapai tujuan mereka. Termasuk dengan mengubah identitas gerakan itu sendiri dari ”petani” menjadi ”masyarakat adat”. Menurut Tilly1, kelompok-kelompok berbagai kekuatan identitas dalam menjalin jaringan antar pribadi, antar anggota yang menunjukkan tingginya organisasi dan kesiapan untuk dimobilisir. Dengan adanya solidaritas dan komitmen awal antar organisasi petani di tingkat basis, maka jaringan di antara mereka menyediakan dasar berlakunya insentif kolektif yang mereka harapkan bersama. Konsep "bloc recruitment' ini dengan tersedianya solidaritas antar kelompok/organisasi basis merupakan bentuk yang sangat efisien dari rekruitmen dan nampak menjadi tipikal dari gerakan perubahan institusional skala besar. Penguatan kesadaran politik petani dan aktualisasinya dalam mobilisasi konsensus, formasi konsensus dan mobilisasi tindakan dalam gerakan petani tidak terlepas dari peran utama para aktivis non petani. Sebelum era reformasi bergulir, gerakan-gerakan para aktivis non petani masih dikonsentrasikan pada upaya menjatuhkan kekuatan rezim Orde Baru. Pada waktu itu gerakan-gerakan mereka juga melibatkan berbagai elemen rakyat bawah termasuk di dalamnya rakyat petani. lsu persoalan petani disuarakan dalam ruang-ruang publik, tetapi upaya untuk membantu gerakan rakyat petani secara langsung dalam penyelesaian berbagai konflik pertanahan dan mengubah nasib mereka belum menghasilkan cita-cita yang diimpikan. Lebih jelasnya tentang nasib petani dan perlawanannya sepanjang sejarah negeri ini ikuti gambaran dalam tabel dibawah ini:
1
Bert Klandermans.1989. Social Movements and Resource Mobilization: The European and the American Approach. In International Journal of Mass Emengencies and Disaster Vol.4.
86
Tabel 1. Matriks Gerakan Perlawanan Petani dari Masa ke Masa Periode Waktu
Status Tanah
Kebijakan Agraria
Krisis Agraria
Isu Utama
Organisasi Gerakan Petani
Tanah milik Upeti raja/bangsa (pajak wan tanah)
Rakyat tidak memiliki kontrol atas tanah “kemiskinan ; konflik/perlawanan rakyat (vertikal)
Eksploitasi petani
Tidak terorganisir (individual)
Kolonial Belanda (18701941)
Tanah milik Negara dan atau dikuasai perusahaa n swasta
Tanam paksa; pajak tanah perkebunan
Rakyat tidak memiliki kontrol atas tanah “kemiskinan; konflik/perlawanan rakyat (vertikal)
Eksploitasi petani
Organisasi lokal, informal dan sementara
Kolonial Jepang (19421945)
Tanah dikuasai secara individual
Redistribusi tanah
Rakyat tidak memiliki kontrol atas tanah “kemiskinan; konflik/perlawanan rakyat (vertikal)
Eksploitasi petani
Organisasi lokal, informal dan sementara
Feodalisme
Orde Lama
Orde Baru
Masa Reformasi
Rakyat tidak memiliki kontrol Nasionalisas Tanah atas tanah dikuasai i perusahan “kemiskinan; secara asing konflik petani individual Land reform miskin vs petani kaya (horizontal) Tanah Rakyat tidak milik memiliki kontrol HPH, Negara PMA/PMD atas tanah dan atau “kemiskinan; N, PIR, dikuasai konflik tanah HTI, dll perusahaa (vertikal) n swasta
Tanah milik Negara dan atau dikuasai perusahaa n swasta
HPH, PMA/PMD N, PIR, HTI, dll
Rakyat tidak memiliki kontrol atas tanah “kemiskinan ; konflik tanah (vertikal)
Organisasi formal, dibentuk oleh partai Anti kolonialisme politik (BTI, Land reform RTI, SAKTI, PETANI, STII)
Kemiskinan struktural
Organisasi formal, dibentuk dan didukung Negara (HKTI)
Kemiskinan struktural
Organisasi formal, dibentuk dan didukung Ornop, mahasiswa dan pendukung demokrasi lainnya (SPI, PETANI MANDIRI, API, AGRA, SERTANI, dll)
87
Agenda gerakan reformasi pasca jatuhnya presiden Soeharto memang sudah mereka siapkan karena telah diprediksi kuat bahwa Soeharto dalam waktu dekat akan benar-benar jatuh. Termasuk di dalam agenda reformasi tersebut adalah penguatan kesadaran sosial-konfliktual ke dalam kesadaran politik, karena pelaku ini yang paling berpengaruh terhadap kemungkinan dilakukan mobilisasi tindakan. Setelah presiden Soeharto lengser dan rezim Orde Baru dapat dijatuhkan, kemudian para aktivis non petani mulai beralih pada pentingnya membantu rakyat petani melalui gerakan-gerakan sosial petani. Dalam konstruksi gerakan dari bawah, pada tahap awal dibuka "Pos Pengaduan" kasus rakyat petani di berbagai lokasi. Pertama di LKBH UMMU dan kemudian di buka juga oleh organ-organ mahasiswa di berbagai kampus sebagai pintu masuk (entry point) untuk dapat melakukan advokasi lebih jauh terhadap rakyat petani. Upaya ini yang oleh Klanderman (1984, 1988) disebut dengan "mobilisasi konsensus' yang berbeda dengan "mobilisasi tindakan" dan Formasi konsensus". Mobilisasi konsensus merupakan upaya sengaja yang dilakukan oleh para pelaku non petani untuk menciptakan konsensus di antara berbagai komunitas petani wilayah konflik untuk melakukan gerakan petani, atau sebagai prakondisi dilakukanya "mobilisasi aksi". Mobilisasi konsensus dibagi dua, yakni dalam konteks formasi potensial mobilisasi dalam masyarakat dan dalam konteks mobilisasi tindakan. Konteks pertama menunjuk pada bangkitnya sekumpulan predisposisi individual untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial, sedangkan konteks kedua menunjuk pada aktivasi partisipan di dalam tindakan kolektif2. Dalam gerakan sosio-politik petani, pandangan di atas pada dasarnya menjelaskan keterkaitan antara sistem sosio-kultural oposisional petani dengan mobilisasi sumber daya gerakan. Tetapi, peluang sistem sosio-kultural oposisional petani tidak akan berarti dalam mobilisasi sumberdaya gerakan jika tidak didukung oleh kesadaran politik petani, meskipun era reformasi sedang bergulir. Hal ini secara umum terjadi karena kuatnya hegemoni dan dominasi, serta pengalaman traumatik pada masa Orde Baru. Oleh karena itu unsur-unsur sumberdaya gerakan sosio-politik harus dibangun terlebih dahulu dengan cepat 2
Charles Tilly. 1978. Op.Cit.
88
melalui pengembangan unsur-unsur sistem sosio-kultural oposisional yang sudah dimiliki petani termasuk system kelembagaan adat setempat yang perlu untuk diperkuat peran dan fungsinya dalam tatanan kehidupan masyarakat luas. Seperti yang dilakukan oleh SAMURAI pada awal tahun 2005 yang melakukan pendampingan bersama petani untuk melakukan aksi boikot aktivitas bandara Ternate sehingga merugikan pihak pengelola bandara ratusan juta rupiah. Demikian pula yang dilakukan LKBH UMMU dengan menindaklanjuti berbagai pengaduan rakyat petani yang dapat ditampung kemudian direspon dan ditindaklanjuti dengan melakukan pendampingan dan penyadaran secara langsung turun ke tengah-tengah rakyat, yakni ke wilayah komunitas petani konflik. Beragam upaya dilakukan oleh LKBH UMMU, baik pada konstruksi gerakan dari bawah maupun dari atas, di wilayah Komunitas rakyat petani dilakukan diskusi identifikasi dan analisis kasus, perumusan tuntutan petani, penyadaran sosial-politik melalui kegiatan pendampingan hukum bagi masyarakat korban pembangunan bandara, selain itu juga melakukan aktivitas “diskusi kampong” pada beberapa desa lainnya diluar Tafure untuk mengidentifikasi dan merumuskan strategi bersama. Disini petani dan non petani (sebagian masyarakat adat) mendiskusikan berbagai hal yang mengakibatkan penderitaan petani dan tidak terselesainya konflik pertanahan yang dialami selama ini. Kemudian dilakukan artikulasi pemecahan masalah petani yang berhasil diidentifikasi, paling tidak berupa rencana dan strategi tindakan kolektif yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan konflik pertanahan yang menguntungkan rakyat petani. Disinilah kemudian muncul penguatan dan bahkan perubahan rumusan tuntutan-tuntutan petani atas persoalan pertanahan yang dihadapi dan cara-cara yang tepat untuk memperjuangkan tuntutan tersebut yaitu dengan merubah identitas gerakan dari “petani” menjadi “masyarakat adat”. Oleh karena itu, peran para aktivis non petani dalam peningkatan kesadaran politik dan mobilisasi sumberdaya petani menjadi sangat menentukan. Ketika identitas kolektif petani tersebut sudah masuk pada ranah gerakan sosio-politik dan mengalami perubahan identitas gerakan dari “petani” menjadi “masyarakat adat” maka akan menjadi politik identitas yang memungkinkan para petani untuk masuk dalam aktivitas sosial-politik.
89
Tabel 2. Matriks Perubahan Identitas Gerakan dari Petani menjadi Masyarakat Adat: Ciri Taksonomi Gerakan Basis Gerakan
Semangat yang disusung
Ideologi Utama Aktor-aktor penting
Respon terhadap pemerintah
Isyu-isyu yang diusung
Arena Konflik
Moda Gerakan/Tipe Gerakan
Derajat Radikalisme Dampak Gerakan
Gerakan Petani
Gerakan Masyarakat Adat
- Petani - Menata kembali relasi negara dan masyarakat, petani.
- Land reform
- Masyarakat adat - Kearifan lokal, penegakan hukum adat - Pengakuan dan Perlindungan hak-hak masyarakat adat - Kesadaran bahwa perubahan sosial yang menjadi cita-cita gerakan sosial sangat ditentukan oleh mobilisasi sumber daya yang meliputi faktor struktural, ketersediaan sumber daya khusus, jaringan relasi, dll. - Hak ulayat dan hukum adat tempatan
- Petani
- Petani, Masyarakat adat, Mahasiswa, LKBH
- Frustrasi kolektif - persamaan nasib (susah, miskin, dll).
- Frustrasi kolektif - persamaan nasib (susah, miskin, dll). - Berjuang untuk otonomi, pluralitas dan kebebasan tanpa menolak prinsip-prinsip egalitarian formal dari demokrasi, partisipasi politik, representasi publik pada struktur yuridis. - Menata kembali relasi negara dan masyarakat adat - Menciptakan ruang publik dalam wacana demokrasi. - Pengakuan dan Perlindungan hak-hak masyarakat adat. - Aksi Protes (Demonstrasi)
- Menata kembali relasi negara dan masyarakat petani
- Aksi Protes (Demonstrasi) - Reformist Movement: (mengubah istitusi dan nilai)
- Mempertimbangkan keberadaan formal negara dan ekonomi pasar. - Ganti rugi lahan
- Reactonary Movement (berusaha mengembalikan keadaan kedudukan sebelumnya karena kecewa dengan keadaan sosial yang sedang berjalan) - Gerakan Ekspresif Gerakan Regresif - Gerakan Progresif - Gerakan Konservatif - Gerakan Utopian - Memperjuangkan otonomi kolektivitas identitas dan orientasi.
- Terbitnya Perda No. 13 tentang Perlindungan Hak-hak adat dan Budaya Masyarakat Adat Ternate
Tabel diatas menunjukkan bahwa kesadaran politik petani dapat berkembang dalam kerangka identitas kolektif, karena dikonstruksi dan dipelihara melalui interaksi dalam komunitas gerakan petani itu sendiri kemudian berubah sesuai peluang politik dan kemampuan mobilisasi sumber daya yang tersedia dan peluang bagi perubahan identitas sebuah gerakan.
90
Studi ini menunjukkan bahwa gerakan petani dengan strategi utama dan pertamanya pendudukan tanah yang dilakukan pada tahun 2005 telah menunjukkan keberhasilan untuk membangun kekuatan sebuah gerakan sosial baru yang sekaligus memperlihatkan kekuatan politik tertentu sehingga terdorong untuk mengembangkan strategi berikutnya yang mereka sebut dengan merubah strategi dan isu gerakan dari ”petani” menjadi masyarakat adat, yakni strategi untuk memobilisasi opini publik yang mayoritasnya adalah masyarakat adat. Untuk tahap pertama, kelompok gerakan ini memulainya dengan berusaha menjadikan anggota-anggota dan pengurus aliansi mereka adalah para tokoh adat setempat untuk menarik simpati khalayak dalam memperjuangkan isu hak ulayat sebagai bentuk lain dari tuntutan ganti rugi atas tanah yang diperuntukkan bagi pembangunan lahan bandara tersebut. Merebut dukungan kepemimpinan informal di desa dianggap penting karena dalam perhitungan mereka hal itu dapat “menyelamatkan” kepentingan mereka dari persoalan tanah yang selama ini terjadi khususnya untuk memperoleh dukungan masyarakat adat secara luas atas tanah-tanah yang sekarang tidak lagi mereka kuasai. Perubahan strategi perjuangan dari ”petani” menjadi ”masyarakat adat” tersebut ditargetkan dapat memberikan perubahan kehidupan sosial di pedesaan, dan lebih jauh lagi dalam rangka pembentukan komunitas dengan watak baru di pedesaan. Diasumsikan bahwa pemimpin informal di desa-desa yang berasal dari tokoh-tokoh adat akan dapat memberikan arahan atau dianggap lebih memiliki kapasitas dalam memobilisasi opini publik terkait dengan nilai dari perjuangan mereka bahwa sesungguhnya adalah benar adanya perjuangan mereka tidak semata-mata memperjuangkan tuntutan ganti rugi semata melainkan upaya memperjuangkan nilai kultural dan spritual dari tanah tersebut yang dikuasai mereka selama ini. Ini sama halnya dengan orang Papua yang menyebut tanah mereka seperti susu Ibu yang memiliki kedalaman dan hubungan batiniah3..
3
Lihat Noer Fauzi. 2006. (Penyunting), Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Resist Book. Yogyakarta.
91
6.2.
Isu-isu yang Diusung sebagai “Roh” Perlawanan Petani Frame tindakan kolektif dalam gerakan petani dengan demikian
merupakan tindakan yang diorientasikan pada seperangkat kepercayaan, nilainilai, dan makna-makna kultural yang mendukung berkembangnya kesadaran politik, dan yang mengilhami sekaligus meligitimasi gerakan sosial baru tersebut. Dalam kerangka ini pula maka isu-isu hak-hak tanah adat (ulayat) masyarakat adat menjadi isu lain dari isu ekonomi seperti ganti rugi, dll. Isu tentang hak ulayat ini dalam perkembangannya justeru lebih populer sehingga mampuh menggiring opini publik ketimbang isu lainnya. Untuk memahami secara utuh tentang hak penguasaan dan pemilikan tanah berdasarkan hukum adat, berikut penjelasannya: 6.2.1 Hak atas Tanah Adat yang Bersifat Tetap Aha Kolano dan Raki Kolano Aha Kolano secara terminologi berasal dari kata kaha yaitu tanah / areal, sedangkan aha adalah hak atas tanah atau areal. Pada masyarakat adat Ternate, hak Sultan atas sumber daya alam terdiri atas aha kolano (hak sultan), raki kolano. Aha Kolano adalah hak Sultan atau areal tanah yang ditanami tanaman sagu. Pada aha ini tidak ada tanaman lain selain tanaman sagu4. Sedangkan raki kolano merupakan hak yang dikuasai oleh raja dimana diatas tanah tersebut ditanami dengan tanaman tahunan selain sagu, seperti pala, cengkih, coklat, durian, bambu, kelapa, mangga, dll. Raki Jo ou merupakan hak yang diberikan/dikuasai khusus oleh keluarga/keturunan Sultan. Di atas tanah Raki Jo ou dapat ditanami oleh berbagai macam tanaman yang dikehendaki oleh keluarga Sultan, misalnya dibuat dengan batu, gunung dan pada umumnya dengan pohon yang disebut pohon galala kuning. Terjadinya aha kolano dan raki kolano berdasarkan pewarisan secara turun-temurun semenjak zaman dahulu kala hingga sekarang.
4
Wawancara dengan Bpk. Nyong Umar Mantan Kepala Desa Sango. Tgl. 13 Maret 2008.
92
Pihak yang dapat memanfaatkan aha kolano dan raki kolano harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Masyarakat yang ingin memanfaatkan tanah tersebut harus merupakan masyarakat hukum adat Ternate. 2. Masyarakat hukum adat yang dimaksud dan harus co ou ikhlas kie se kolano (harus mempunyai pengabdian secara ikhlas kepada negeri dan pemerintahan). 3. Harus mendapatkan izin oleh Sultan dalam bentuk Idin (fatwa) yang dilafalkan secara lisan dihadapan partada dan yang bersangkutan Jangka waktu pemanfaatan aha kolano dan raki kolano tidak dibatasi, sepanjang eksistensi masyarakat hukum adat dan institusi kerajaan masih ada,
maka
hal
tersebut
tetap
melekat
menjadi
hak
Sultan,
yang
pengelolaannya diserahkan kepada partada. Jika partada yang diberikan amanah untuk menjaga tanah tersebut meninggal dunia, maka keturunannya dapat melanjutkan dengan status sama seperti pendahulunya yakni sebagai penjaga tanah. Aha kolano dan raki kolano dapat dialihkan dengan cara pemberian kepada Soa (marga) yang dikena dengan aha soa atau kepada individu yang mempunyai pengabdian di kesultanan dengan nama aha cocatu. Terhadap aha kolano yang telah diberikan dengan aha soa, maka tanah tersebut dilarang untuk diperjualbelikan, karena tanah tersebut hanya diberikan kepada seseorang karena jabatannya (sangaji), sehingga jika yang bersangkutan tidak lagi menduduki jabatan sebagai sangaji dalam soa tersebut, maka hak pemanfaatan tanah beralih kepada Sangaji yang baru ditunjukan beserta keturunannya. Sedangkan aha cocatu kepada pemegang hak diberikan hak untuk menjual atas seizin Sultan. Aha Kolano dan Raki Kolano juga dapat dialihkan (fuku se fodi) atau diperjual belikan kepada pihak lain, jika tanah tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umum, terutama pembangunan bagi masyarakat hukum adat yang berada dalam wilayah adat Tafure-Ternate.
93
Aha Soa (Hak Marga) Aha Soa (hak marga) adalah hak bersama (ulayat) yang diberikan kepada suatu komunitas yang secara hukum tata negara adat diakui wilayah hukum dan teritorial Soa. Soa dalam pengertian masyarakat adat Ternate adalah suatu kelompok kekerabatan yang hidup dalam suatu daerah. Aha soa, juga dapat diartikan sebagai hak meguasai yang ada pada masyarakat dan bukan sebagai hak milik. Karena tanah memiliki fungsi sosial yang dikuasai oleh pemimpin adat guna kemaslahatan masyarakat. Tanah yang dialihakan haknya kepada Soa berfungsi untuk memenuhi hajat hidup orang banyak (anggota Soa). Sebagai kepala Soa dia mempunyai tugas untuk melindungi wilayah hukum hak Soa, terhadap penguasaan dari pihak manapun. Batas Soa (bati) adalah wilayah yang telah ditetapkan oleh Sultan atas wilayah kekuasaan yang diberikan. Saat ini menimbulkan kesulitan dalam penentuan batas-batas Soa satu dengan lainnya disebabkan karena kebijakan pemerintah
yang
telah
membentuk
sistem
pemerintahan
dengan
menyeragamkan Soa dengan desa. Pada masing-masing Soa memiliki norma, pemimpin, anggota dan harta bersama yang diberikan oleh Sultan atas pengabdiannya dalam melayani masyarakat serta kesetiaannya dalam menjalankan perintah Sultan. Salah satu bentuk harta bersama adalah tanah yang dikenal masyarakat dengan Aha Soa (tanah marga). Bila dilihat dari mekanisme pengaturan aha Soa, maka hak adat atas tanah ini sama dengan hak ulayat, dimana tanah dengan hak bersama yang diatur penggunaannya oleh kerajaan melalui Sangaji/Fanyira sebagai penguasa mewakili masyarakat. Dengan demikian, tanah dalam wilayah Soa berada dalam kekuasaan Kesultanan atau pemerintahan kerajaan yang diberikan kewenangan untuk mengurusnya yaitu kepada Sangaji dan Fanyira ditingkatan Soanya, untuk itu apapun yang dilakukan warga Soa atas tanah Soa, maka hak yang diperoleh lebih bersifat sementara atau hak pakai. Karena hak Soa hanya diberikan kepada Sangaji dan warganya (keturunan) yang bersifat sementara. Jika yang bersangkutan tidak lagi memangku jabatan Sangaji, maka hak mengaturnya ikut beralih kepada Sangaji yang telah ditunjuk oleh Sultan.
94
Uraian hak atas tanah yang dikuasai dengan istilah aha soa pada masyarakat adat Tafure-Ternate terungkap, bahwa seluruh tanah yang ada dalam wilayah masyarakat adat Ternate adalah tanah kesultanan, yang diberikan kepada bala (rakyatnya) untuk dimanfaatkan bagi kehidupan mereka. Tanah-tanah tersebut telah didistribusiakan berdasarkan hak yang dimiliki, sehingga bagi mereka tidak ada tanah dalam wilayah Tafure bahkan Ternate adalah tidak bertuan, artinya seluruh tanah yang ada, telah dikuasai oleh pemiliknya berdasarkan jenjang hak yang diberikan. Walaupun dalam kenyataannya batas-batas antara satu soa dengan soa yang lain semakin lama terhapus
akibat
kebijakan
pemerintah
yang
menyeragamkan
sistem
pemerintahan desa, namun masyarakat percaya bahwa pada setiap Soa memiliki batas teritorial satu dengan yang lain. Penentuan batas-batas Soa tersebut dikembalikan kepada proses pemufakatan antar Soa yang berbatasan tersebut, dan disaksikan oleh para pemuka adat dalam wilayah adatnya.
Aha Cocatu (Hak Individu) Aha Cocatu adalah bidang tanah yang diperoleh karena pemberian langsung Kolano. Biasanya diberikan kepada orang-orang yang telah berjasa dalam menjalankan tugas-tugas kerajaan. Cocatu hanya diberikan oleh Kolano, berdasarkan suatu izin dari Kolano. Aha Cocatu adalah hak yang diperoleh seseorang atas tanah, yang hampir mendekati hak eidendom menurut hukum perdata barat, kecuali bahwa Soa berhak menolak bila aha cocatu itu
dipindah tangankan
pada orang asing.
Anggota-anggota
memperoleh prioritas dalam meberi aha cocatu dan tidak harus atas izin kepala Soa. Tapi kalau yang memberi itu orang diluar Soa maka harus mendapat persetujuan kepala Soa. Umumnya aha cocatu diberikan/dialihkan dalam bentuk tertulis yang isinya membuat sejarah asal-usul tanah. Pemberian aha cocatu ini dapat berbentuk penyerahan hak maupun dalam bentuk jual beli yang ditegaskan dalam surat cocatu. Batas-batas serta luas tanah termasuk bagian yang tidak terpisahkan dalam pemberian atau pelepasan hak. Bentuk surat cocatu dapat dilihat sebagai berikut:
95
Bahwa paduka yang maha mulia As Sultan Tadjul Mashul bi Inajatillahil Mannan Siradjul Mulku Amiruddin Iskandar Munnawarus Sadik wahua Minal Adlilin Syah Putra Hadji Muhammad Usman Chalifatul Rasul, Ku memegang urusan pemerintahan di daerah Maluku Istana Kerajaan Ternate, setelah ku ijinkan kepada sekretaris imam juru tulis lamo haji Ismail untuk membubuhi cap Maha Mulia diatas surat ini menjadi tanda bukti kebenaran pada hari kemudian anak cucu sekalian tak dapat merombak lagi. Yaitu Kadhi tuan haji Asad telah beritahukan kepada juru tulis lamo (sekretaris) minta ganti surat dari sebidang tanah yang terletak di belakang kampong Sangaji yang ia dapat beli pada Saharbadun (bibi sultan) dengan harga Rp. 60. Asal tanah tersebut bibi Sultan dapat kekasih dari bapaknya Sultan Al Mahfuds bi Inajatullahil Manan Siradjul Mulki Amiriddin Iskandar Muhammad Arsyad wahua minal adilina Syah. Tetapi tanah itu asalnya dahulu kepunyaan bapak muda dari datuk saya Kapten Laut Kecil Mudaffar ia beli pada tukang Abdjal lalu ia berikan kepada anaknya Dano Abdal, kemudian Dano Abdal jual kembali tanah itu kepada datukku Sultan Tadjul Mulku Amiriddin Iskandar Kaolaini syah dengan harga Rp. 48. harga mana Dano Abdal telah terima lalu ia (datukku) memeritahkan kepada ngofanyira Tolangara Kamari, Chatib Sangaji bahran juru tulis Jusuf, Soseba batae Dano Abdal Dano Engge turut bersama untuk ukur tanah itu, pula telah dipanggil kepada semua orang yang mempunyai tanah yang berbatasan dengan tanah itu untuk menerangkan batas-batas tanah tersebut, terdapat pada sebelah: Timur panjangnya 40 depa bersifat dengan tanah beli pada Dano Kodja, Dano Abdal dan Chatif juru tulis Itji, sebelah utara panjang 176, 5 depa bersifatan dengan barangka, barat panjangnya 106 depa bersifatan dengan tanah beli pada bekas Sadaha Kie, dan selatan panjang 158,5 depa bersifatan dengan barangka. Kemudian waktu teteku Chalifat menjadi Sultan antara 4 bulan lebih menghadap Sultan dan angkat sumpah jual tanah itu kepada teteku sudah serahkan pada nenekku Boki Maryam sudah terima dengan sempurna. Kemudian baru teteku berikan tanah itu kepada bibi saya seperti tersebut diatas dan bibi saya setelah menerima pemberian dan sudah menguasai tanah itu dan telah serahkan harganya kepada bibiku Saharbanun yang telah menerima dengan sempurna, hanya pergantian surat tanah belum dibuat pada waktu itu. Sampai saat aku dinobatkan menjadi sultan antara 10 tahun baru Kadli tua minta ganti surat tanah tersebut.
96
Jadilah tanah tersebut tetap selama-lamanya menjadi milik Kadli tua haji As Ad tersebut, sampai pada anak cucu. Bila pada hari kemudian anak cucu dari bibiku Saharbanun, baik laki-laki maupun perempuan menaruh kecurigaan dan menyebut-nyebut nama tanah itu tidak boleh sekali-kali dan menjadi harga mutlak karena penjualan dan pembelian telah sempurna dengan bukti tanda cap Sultan yang tercantun diatas surat ini dan yang si penjual dan bertanda tangan pada akhir surat ini menjadi tanda kerajaan pada hari kemudian anak cucu sekalian tak dapat merombak lagi sampai hari kiamat. Surat aha cocatu ini dikeluarkan pada hari ahad tanggal 2 Safar tahun 1335 dan cap dan ditandatangani oleh Imam Juru tulis Lamo atas nama Sultan. Dari penjelasan-penjelasan tentang Aha Soa, Aha Kolano dan Raki Kolano, maka disimpulkan bahwa hak menguasai ada pada masyarakat melalui pengawasan Sultan. Walaupun pemanfaatan tanah telah diatur penggunaan dan pemanfaatan menurut hukum adat sebagai pedoman tingkah laku warga masyarakat, namun dalam kehidupan keseharian tidak menutup kemungkinan terjadi ketidakharmonisan. Kondisi ini mengharuskan warga masyarakat untuk kembali pada falsafah adat se atorang, guna menjalin tali silaturrahmi kekerabatan yang terganggu tersebut, karena keharmonisan dalam hubungan sosial merupakan harapan yang harus dijaga oleh siapapun. Keharmonisan hubungan masyarakat ini juga tercermin dalam penguasaan hak atas tanah
yang dikenal dengan Aha Cocatu.
Walaupun dalam masyarakat adat Ternate mengenal hak komunal (aha kolano dan aha soa) terhadap anggota masyarakat diberikan hak individu untuk mengolah atau membuka tanah. Untuk memperoleh aha cocatu maka yang bersangkutan harus mempunyai pertalian darah atau mempunyai hubungan kekerabatan dengan kelompok masyarakat adat, namun tidak menutup kemungkinan aha cocatu ini diberikan kepada orang luar pertalian darah seperti pendatang untuk memperoleh hak. Orang luar dapat memperoleh cocatu dengan cara jual-beli, tukarmenukar, sewa-menyewa, kerjasama pengolahan maupun pemberian kepada yang bersangkutan karena dianggap telah melakukan pengabdian atau berjasa dalam masyarakat adat maupun kesultanan.
97
6.2.2. Hak atas Tanah Adat yang Bersifat Sementara Selain hak atas tanah yang bersifat tetap, pada masyarakat adat Tafure juga dikenal dengan hak-hak yang bersifat sementara. Walaupun demikian hak tersebut dapat menjadi hak yang bersifat tetap, jika pemegang hak memanfaatkan dan memelihara secara terus-menerus. Pada hak yang bersifat sementara dapat terjadi secara bertahap yakni diawali dengan kegiatan melakukan tolagumi, kemudian hak safa, ruba banga dan pada akhirnya menjadi hak jurame. Namun pada kondisi tertentu pentahapan memperoleh hak diatas dapat ditiadakan, misalnya langsung mengusahakan tanah tersebut dan menjadi hak safa atau ruba banga. Adapun hak-hak yang bersifat sementara tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Hak Tolagumi (hak memotong tali) Hak tolagumi merupakan hak yang bersifat sementara yang dapat diperoleh oleh masyarakat hukum adat. Hak ini biasanya dilakukan pada saat seseorang yang menolak membongkar hutan dengan hak safa atau hak ruba banga. Tolagumi ini dilakukan karena diyakini oleh masyarakat, bahwa hutan yang hendak dimanfaatkan tersebut memiliki kekuatan magis, sehingga diperlukan izin dari penguasa hutan. Untuk menghormati penghuni atau penjaga hutan tersebut, maka masyarakat menyiapkan sesajian dan pembacaan doa agar penghuni hutan tersebut tidak marah dan mengganggu kegiatan perombakan hutan tersebut. Sesajian biasanya dibuat dari nasi kuning dan telur, dimasukkan kedalam tempat yang terbuat dari tanah liat, kemudian pemuka agama atau adat membacakan doa-doa agar dalam melakukan pembukaan hutan tidak ada kendala maupun gangguan dari makhluk halus. Hak tolagumi selain dapat dilakukan oleh warga masyarakat adat setempat, juga dapat dilakukan oleh orang lain diluar komunitas. Namun jika orang luar yang akan melakukan pembongkaran hutan maka yang bersangkutan harus mendapatkan izin dari pemuka adat dimana wilayah hutan itu berada dengan catatan yang bersangkutan harus tinggal bersama dengan komunitas masyarakat adat dalam wilayah hutan tersebut, serta harus memanfaatkan tanah tersebut dengan sebaik-baiknya.
98
Hak Safa Safa dalam bahasa Indonesia berarti sayat, menyayat, mengupas, mengiris, sedangkan hak safa adalah hak yang diberikan kepada masyarakat adat maupun orang luar untuk membuka hutan atau mengambil hasil hutan. Menurut Rusli Andi Atjo, hak safa adalah hak utama (mengenai damar) yang ditandai dengan cara safa yaitu pohon-pohon damar dihikal/dikuliti/dikupas/disayat. Orang yang pertama memberi tanda itulah yang mempunyai hak untuk mengambil/memiliki hasil damar, demikian pula keluarganya berhak atas hasil damar tersebut5 Bagi orang pertama yang membuka tanah atau melakukan safa, maka ia mempunyai hak pertama. Yang diperoleh disini bukan disebabkan karena membuka tanah, tetapi dengan melakukan safa, maka seseorang telah meletakkan dasar hukum bagi dirinya untuk menguasai sebidang tanah yang dinamakan hak safa. Berdasarkan hak safa inilah seseorang memperoleh hak pertama mengolah sebidang tanah. Bila seseorang menemukan tanda safa diatas sebidang tanah maka dengan sendirinya dia mengetahui bahwa telah ada orang lain yang membuka tanah di tempat tersebut, akan tetapi jika hak safa seseorang tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, maka hak itu kembali kepada Soa. Bagi yang memiliki hak safa hanya ada dua jalan, yakni mengolah tanah dengan hak safa yang ada padanya, atau menyerahkan kepada anggota Soa yang lainnya. Ruba Banga (membuka lahan) Ruba banga berarti membuka lahan. Hak ini terjadi bila seorang warga dengan seizin kepala persekutuan, dengan maksud untuk membuka lahan yang belum dipunyai hak orang lain (hutan belukar). Dalam hutan tersebut kemudian dengan cara memotong tali atau kayu sebagai tanda, maka yang bersangkutan telah memiliki hak safa. Sedangkan dari hak safa tersebut, lantas yang bersangkutan melakukan penebangan pohon dan sekaligus membersihkan areal tersebut untuk menanami tanaman, maka ia telah diberikan hak ruba banga. Dengan demikian maka ruba banga adalah hak untuk membuka hutan/lahan dengan cara ditebang.
5
Rusli Andi Atjo, Kamus....., op. cit. pp. 136
99
Untuk menghindari sengketa dalam komunitas, maka ruba banga hanya diberikan kepada seseorang setelah yang bersangkutan telah melakukan tolagumi dan hak safa. Ruba banga dapat diberikan atau dialihkan kepada pihak lain, jika ada izin dari orang yang melakukan tolagumi atau hak safa. Pada hak ruba banga dikenal batas waktu atau dikenal dengan kadaluarsa. Untuk pemegang hak ruba banga tidak memanfaatkan lahan dengan menanami tanaman perkebunan atau tidak mengerjakan tanah/lahan yang telah dibuka tersebut, maka yang bersangkutan dapat hilang hak ruba banganya. Tanda terjadinya kadaluarsa hak ruba banga bila lahan yang telah dibuka (lahan kosong) tersebut kembali ditumbuhi semak belukar atau pepohonan. Sebagai catatan, bahwa terjadinya hak ruba banga dapat dilakukan tanpa melalui proses perolehan hak melalui tata cara yang dilakukan pada hak safa. Hak Jurame Jurame adalah hak seseorang atau sebidang tanah yang pernah diusahakan dan telah ditanam dengan tanaman musiman seperti kacang, jagung, ubi, pisang, dll. Terjadinya hak jurame disebabkan karena orang yang membuka lahan (ruba banga) yang meninggalkan atau tidak melakukan proses penanaman dan menyebabkan tumbuhnya pohon-pohon diatas tanah/lahan. Ditinggalkannya tanah dengan hak jurame oleh pemiliknya dimaksudkan
agar
tanah
tersebut
memiliki
kesuburan
dengan
cara
ditinggalkan ditumbuhi rumput dan pepohonan. Sistem pemulihan lahan yang dipraktekkan pada masyarakat adat Tafure dilakukan secara tradisional, tanpa menggunakan zat kimia seperti pupuk dan sebagainya, namun dengan cara meninggalkan tanah tersebut maka kesuburan tanah akan kembali normal. Masyarakat percaya bahwa penyuburan tanah dengan menggunakan zat-zat kimia akan dapat merusak lingkungan sekitarnya. Menurut Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Maluku Utara6, hak jurame merupakan sebidang tanah yang telah tumbuh pohon-pohon kecil, sebagai bekas kebun tanaman bulanan oleh seseorang. Jadi jurame adalah tanah yang sementara diistrahatkan untuk pemulihan kesuburannya. Tanah jurame ini ditandai dengan adanya:
6
Ibid, op. cit. hal. 71-72.
100
1. Songa, yaitu suatu tanda melekatkan rumput pada pohon-pohon di dalam lokasi tersebut. 2. Tolagumi: yaitu memotong tali pada pohon untuk membuka lahan. 3. Tamako Maace: bekas kapak pada pohon besar sebagai tanda 4. Ruba banga, adalah hak melakukan pembongkaran hutan. Setelah terjadinya Songa, Tolagumi, Tamako Maace dan Ruba banga, maka orang yang melakukan kegiatan tersebut harus melaporkan kepada kepala Soa/kampung bahwa ia pernah melakukan songa, tolagumi atau tamako maace diatas tanah atau hutan dimaksud. Adapun hak songa, tolagumi dan tamako maace tersebut hanyalah berlaku selama 3 bulan dan apabila telah melewati 3 bulan yang bersangkutan tidak melanjutkan usahanya, maka batal hak-hak tersebut. Terjadinya hak jurame pertama-tama setelah melakukan ruba banga, diatas tanah tersebut ditanami dengan tanaman bulanan seperti padi tadah hujan, kacang, jagung, ubi sebanyak 2 sampai dengan 3 kali panen (kurun waktu 1 tahun – 11/2 tahun setelah membuka lahan), kemudian pemegang hak jurame meninggalkan tanah tersebut agar kembali memiliki kesuburan. Di atas tanah jurame selain dapat ditanami dengan tanaman bulanan, juga tanaman jangka panjang seperti kelapa, cengkih, pala dll. Hak jurame yang dikerjakan secara terus-menerus, maka tanah tersebut menjadi hak milik dari orang yang melakukan jurame, dan dapat juga hak tersebut kembali kepada Soa, jika si pemilik meninggal dunia dan tidak meninggalkan keturunan, atau tanah tersebut diperlukan Soa seperti untuk membangun fasilitas umum, dll. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tanah adat adalah tanah persekutuan, setiap anggota dapat memperoleh hak untuk menggunakannya, serta terhadap tanah-tanah tertentu (aha cocatu) dapat diwariskan kepada keturunannya, dan dalam mewujudkan haknya ia terikat pada aturan-aturan yang sudah ada. Dengan kata lain bahwa tanah adat merupakan suatu konsepsi abstrak karena dalam kenyataan istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya jenis hak ini cukup beragam, karena hak ini berhubungan dengan jenis tanah yang dikuasai, status tanah, jenis tanaman yang tumbuh, siapa yang memiliki, cara memperoleh, dan diakui atau tidaknya hak tersebut dalam masyarakat.
101
6.3.
Posisi Petani di Tengah Pusaran Negara dan Penguasa Pada masa Orde Baru7, kelompok-kelompok kepentingan petani di Ternate
menurut ciri-cirinya cenderung berupaya menyelesaikan persoalan konflik pembangunan sesuai dengan prosedur yang ada dan berhubungan dengan para pemegang otoritas negara. Kelompok-kelompok kepentingan tersebut berpeluang berkembang menjadi gerakan sosial ketika mampu menggerakkan anggotanya dalam bentuk perilaku atau tindakan-tindakan kolektif namun itu terjadi secara spontan dan sangat bersandar pada momentum sehingga proses kejadiannya terjadi secara tiba-tiba tanpa ada koordinasi dan konsolidasi yang matang diantara para elit dan pelaku gerakan. Tindakan kolektif yang dilakukan cenderung keluar dari tata aturan dan proses normal atau lebih mengandalkan pada aksi massa untuk mencapai tujuannya8. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok kepentingan tersebut menjadi gerakan tradisional, karena berbagai upaya penyelesaian persoalan tanah yang dilakukan melalui mekanisme institusional termasuk melalui bantuan advokasi hukum dari LSM meskipun hal ini berakhir dengan tidak memuaskan, memakan waktu lama dan tidak ada kejelasan dan kepastian. Upaya lobbi dan negosiasi dengan pemerintah kabupaten Maluku Utara (sebelum daerah ini dimekarkan menjadi Provinsi) dan perusahaan (penerbangan) untuk dapat mengakomodir warga sekitar bandara sebagai PNS namun tetap tidak diperbolehkan. 7
8
Pada mass Orde Baru banyak komunitas petani di Ternate termasuk Tafure yang tidak mau membentuk kelompok kepentingan hingga melakukan gerakan perlawanan. Hal ini disebabkan karena pendekatan represif yang dipraktekkan oleh negara menimbulkan rasa takut dikalangan petani untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan sehingga yang terjadi hanyalah perlawanan ”tersamar” melalui forum-forum diskusi terbatas. Sebaliknya, banyak juga kelompok kepentingan yang sudah terbentuk kemudian bubar sehingga perjuanganya menjadi mentah dan berhenti tanpa hasil karena tanpa dukungan yang nyata.. Menurut Michael Schwartz dan Shuva Paul, terdapat dua faktor kunci yang membedakan antara kelompok kepentingan dan gerakan sosial. Pertama, kelompok kepentingan selalu berhubungan dengan para pemegang otoritas yang diberi mandat secara institusional dan mengikuti prosedur institusional yang ada untuk mencapai tujuannya. Sedangkan gerakan sosial dapat melakukan itu, tetapi juga melakukan tindakantindakan kolektif yang merusak aturan dan mengacaukan proses normal dalam upaya untuk mencapai tujuanya. Kedua, kelompok kepentingan dapat menyerukan konstituennya untuk aktif mendukung, tetapi modus operandi utamanya (dan barangkali eksklusif) adalah interaksi antara pemimpinya dengan para pemegang otoritas institusional. Sedangkan gerakan sosial lebih mengandalkan mobilisasi massa konstituen untuk mencapai tujuannya (Aldon D. Morris dan Carol McClurg Mueller (editor's). 1992. Op.Cit., hal. 221).
102
Artinya, para pemegang otoritas cenderung menolak dan mempertahankan status quo dengan tetap memperkuat hegemoni dan mengandalkan pendekatan keamanan. Situasi tersebut memungkinkan kesadaran kolektif petani untuk melakukan perlawanan atau berkembang menjadi kesadaran konfliktualoposisional9.
Kegagalan
petani
menggunakan
pendekatan
institusional
memungkinkan beralih menggunakan pendekatan non institusional yang diwujudkan dalam gerakan tradisional. Sebagai gerakan tradisional berarti masih mengandalkan tara cara, model kepatutan terhadap tokoh informal, struktur organisasi, data-data dan strategi sederhana serta diwarnai oleh menejeman otoritas tradisi lokal yaitu lembaga adat setempat. Gerakannya masih berskala lokal atau dilokalisir secara terpisah-pisah dalam batas wilayah komunitas tertentu, lebih didasarkan pada kesadaran sosial konfliktual (belum sampai pada kesadaran politik) dan lebih ditujukan untuk mencapai kepentingan material daripada untuk merubah kebijakan agraria. Perilaku kolektif tradisional ini cenderung terpaksa dilakukan sebagai upaya bertahan (seperti keinginan memperoleh ganti rugi yang adil dan transparan dalam proses pembayaran ganti rugi tersebut, dll. Pada sisi lain terdapat indikasi semakin menguatnya ikatan solidaritas, loyalitas dan komitmen moral yang semuanya menjadi pertanda telah disituasikan identitas kolektif petani. Dalam gerakan tradisional, antar petani di masing-masing wilayah komunitas konflik semakin kuat dalam pendefinisian bersama tentang siapa "kita (in-groups)" dan siapa "pihak lawan (out-groups)"10. Mereka telah melakukan proses interaktif dan dalam pendefinisian bersama (konstruksi, negosiasi, aktivasi dan formasi) berkaitan dengan orientasi aksi kolektif, menginterpretasikan peluang dan tekanan-tekanan dimana aksi kolektif tersebut dilakukan11. 9 10
11
Aldon D. Morris dan Carol McClurg Mueller (editors). 1992. Ibid., hal. 55. Hank Johnston dan Bert Klandermans (editors). 1995. Op.Cit., hal.44. Pada mass Orde Baru banyak komunitas petani di Ternate termasuk Tafure yang tidak mau membentuk kelompok kepentingan hingga melakukan gerakan perlawanan. Hal ini disebabkan karena pendekatan represif yang dipraktekkan oleh negara menimbulkan rasa takut dikalangan petani untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan sehingga yang terjadi hanyalah perlawanan ”tersamar” melalui forum-forum diskusi terbatas. Sebaliknya, banyak juga kelompok kepentingan yang sudah terbentuk kemudian bubar sehingga perjuanganya menjadi mentah dan berhenti tanpa hasil karena tanpa dukungan yang nyata..
103
Selain itu juga perasaan curiga terhadap partisipasi kelompok luar justeru menjadi semakin lebih besar karena dilandasi oleh rasa takut ketika diperhadapkan pada kenyataan jikalau ada intervensi pihak asing yang merugikan eksistensi keberlanjutan komunitasnya. Berkembangnya kelompok kepentingan menjadi gerakan sosial tradisional -nenunjukkan kepercayaan (belief) bersama tentang hak penguasaan atas tanah secara adat dan non adat) diperkuat, semakin kuatnya ikatan solidaritas dan komitmen moral, formasi dan aktivasi konfliktual, upaya reaktif petani dalam bentuk aksi-aksi perlawanan dari cara damai hingga amuk massa (expressive violence). Kepercayaan kolektif tersebut selalu direkonstruksi selama konflik berlangsung hingga dalam gerakan petani secara massive dikemudian hari. Dalam konteks waktu, sesuai dengan pandangan Smelser, kepercayaan umum (generalized beliefs) menurut alas hak yang diyakini benar oleh petani sudah ada dalam jangka waktu lama dan selalu diaktifkan sesuai dengan perkembangan kondisi yang memungkinkan12. Ini berarti bahwa sandaran sebuah gerakan tak luput dari momentum yang dianggap tepat untuk diwujudkan. Kepercayaan kolektif atau collective belief (menurut istilah Klandermans) tersebut berkembang dalam berbagai ruang seperti melalui proses interaksi antar pribadi, di dalam ruang-ruang publik setempat, dan dalam proses meningkatnya kesadaran selama episode tindakan kolektif13. Berangkat dari logika dan asumsi gerakan sosial ”tradisional” maka partisipan dalam perilaku kolektif petani Tafure tidak selalu berasal dari anggota komunitas wilayah terkena dampak pembangunan bandara melainkan juga oleh para pelaku non petani dan para anggota masyarakat dari luar desa Tafure yang disatukan secara kultural. Terdapat banyak kelompok kepentingan dalam proses pengadaan tanah untuk perluasan bandara Sultan Babullah Ternate, disini dapat diketahui bahwa pembentukan panitia pengadaan tanah tidak sesuai dengan yang ditetapkan dalam Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 tahun 1993.
12
13
Niel Smelser. 1962. Theory of Collective Behavior. New York: Free Press, Collier-Macmillan Limited, London, hal.292. Bert Klandermans dalam Aldon D. Morris dan Carol McClurg Mueller (editor’s). 1992. Op.Cit, hal. 99.
104
Dalam peraturan ini ditetapkan bahwa syarat pembentukan panitia pengadaan tanah sebanyak 9 (sembilan) orang yang terdiri dari berbagai unsur/instansi, namun dengan otonomi daerah melalui kewenangan yang diberikan dalam Kepres No. 34 tahun 2003, Pemerintah daerah justru membentuk tim kerja (bukan panitia) pengadaan tanah yang unsurunsurnya tidak terkait dengan proses pengadaan tanah yang akan dilakukan. Bahkan keterlibatan BPN Kota sebagai instansi teknis yang memiliki pengetahuan terhadap status tanah di daerah tidak dilibatkan. Akibatnya
pasca
pembangunan/perluasan
bandara
Sultan
Babullah
tersebut menimbulkan konflik dikalangan masyarakat adat serta tuntutan ganti rugi atas tanah yang telah diambil. 14 Contoh lain adalah proses izin lokasi, sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur atau mengganti proses dan format administrasi yang berkaitan dengan pemberian izin lokasi, namun Pemda dalam proses pemberian izin lokasi sering membuat format sendiri, tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, padahal format yang berlaku masih menggunakan ketentuan yang ditetapkan oleh BPN yakni PMNA/KBPN No. 3 tahun 1999 tentang izin lokasi. Dapat dikatakan bahwa, dengan Kepres 34 tahun 2003 permasalahan bidang pertanahan menjadi kewenangan
Pemerintah
Daerah,
namun
peraturan
tekhnis
untuk
penjabaran lebih lanjut masih mengacu pada ketentuan perundangundangan yang selama ini ditetapkan oleh BPN, dimana secara struktural BPN merupakan lembaga vertikal non departemen. Melalui surat Keputusan Kepala BPN No. 2 tahun 2003 yang dikeluarkan pada tanggal 28 Agustus 2003 memberikan penjabaran melalui Norma Standar dan Mekanisme Ketata-laksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Khusus terhadap penetapan dan penyelesaian tanah ulayat, dinyatakan bahwa hak ulayat dan yang serupa dengan itu dari
14
Hasil wawancara Kepala BPN, pada tanggal 2 Agustus 2007 di Kantor BPN Kota Ternate.
105
masyarakat hukum adalah kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat tertentu atau wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warga yang mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah, batiniah, turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan yang diklaim sebagai tanah adat oleh masyararakat. Tanah yang dimaksud adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat. Begitu pula masyarakat yang dimaksud adalah sekelompok orang yang terkait dalam tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan
tempat
tinggal
ataupun
atas
dasar
keturunan.
Untuk
mengantisipasi tuntutan yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat atas tanah mereka, maka pemerintah dengan Keputusan Kepala BPN No. 3 tahun 2003 mengeluarkan standar penyelesaian masalah hak ulayat (hak-hak adat). Mengacu pada UU No. 5 tahun 1960 tentang UUPA dan Peraturan Mentri Negara Agraria / KBPN Nomor 5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat, dengan mekanisme standar melalui tiga tahap, yakni tahap persiapan, pelaksanaan dan pelaporan. Pada tahap persiapan, Walikota menerima permohonan dari masyarakat yang memenuhi standar adanya hak ulayat, kemudian membentuk panitia peneliti yang keanggotannya terdiri dari para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat, LSM dan instansi terkait; Pada tahap
pelaksanaan,
Waikota
dan
panitia
peneliti
melakukan
rapat/pertemuan persiapan, melaksanakan penelitian yang meliputi keberadaan masyarakat adat, adanya wilayah dan hubungan antara masyarakat adat dengan wilayahnya. Setelah itu mempublikasikan hasil penelitian, dan menampung saran pendapat melalui seminar, lokakarya, dan lain-lain. Melaksanakan dengar pendapat umum dalam rangka penyiapan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang penetapan tanah ulayat.
106
Menerbitkan Perda tentang tanah ulayat, mengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor BPN Kota, menangani masalah tanah ulayat melalui musyawarah/mufakat, serta apabila tidak
terjadi
kata sepakat,
permasalahan
diselesaikan
melalui
jalur
pengadilan. Tahap pelaporan, hasil penelitian kemudian Bupati/Walikota menyampaikan laporan kepada Pemerintah Pusat cq. BPN Pusat melalui BPN Provinsi Maluku Utara. Pada tingkat lokal, sampai saat ini pemerintah Kota Ternate belum memiliki produk hukum daerah dalam bidang pertanahan, terutama yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat hukum adat. Masing-masing instansi yang mengurus masalah pertanahan, bekerja secara sektoral tanpa ada koordinasi satu dengan yang lain, padahal permasalahan hak atas tanah masyarakat hukum adat melibatkan berbagai instansi terkait. Asumsi ini bukanlah berangkat dari logika yang tidak berdasar karena pada kenyataannya sebagaimana yang terjadi dilapangan. Hingga kini, belum ada satu Perdapun yang mengatur tentang bidang pertanahan di Maluku Utara secara umum maupun Ternate khususnya. Menurut Dr. Husen Alting: “Ada anggapan dalam kalangan pemerintah
daerah,
jika
tanah
adat
diidentifikasi,
maka
akan
bermunculan klaim tanah adat oleh masyarakat adat yang akhirnya akan menghambat proses pembangunan di Kota Ternate terutama bagi investor” 15 Realitas polemik bandara yang selama ini terjadi seolah membenarkan asumsi ini, bahkan polemik bandara seolah menjadi representasi persolan sengketa tanah adat yang terjadi di Maluku Utara. Berbeda halnya dengan institusi pemerintah daerah yang memiliki kewenangan mengimplementasi otonomi pertanahan belum dilakukan secara nyata, namun BPN Kota Ternate sebagai lembaga vertikal yang berada di daerah, tetap melakukan pelayanan administrasi pertanahan, termasuk terhadap permohonan/penetapan hak atas tanah yang berasal dari masyarakat hukum adat. 15
Hasil wawancara dengan Dr. Husen Alting, (Direktur Lembaga Mitra Lingkungan / LML Maluku Utara, tanggal 11 Ferbruari 2008.
107
BPN Kota Ternate sebagai lembaga teknis cukup memberikan apresiasi terhadap perlindungan hak masyarakat hukum adat. Misalnya dalam hal pengakuan aha cocatu, BPN tetap mengakui adanya tanah hak masyarakat hukum adat, karena dari sejarah pemerintahan sebelumnya Kota Ternate merupakan daerah kerajaan dengan sistem pemerintahan swapraja, dimana pemberian hak atas tanah umumnya berdasarkan hukum adat. Walaupun demikian, pada kasus tertentu diterapkan perlindungan hukum yang bersyarat terhadap hak masyarakat adat, terutama setelah berlakunya UUPA, maka BPN Kota Ternate tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberian tanah. Terhadap tanah masyarakat hukum adat, pemberian hak dilakukan dengan dua cara, yakni pemberian berdasarkan ketentuan pemberian hak atas tanah negara (Kepmen Agraria/KBPN No. 9 tahun 1999), dan terhadap tanah yang berdasarkan hukum adat menggunakan ketentuan konversi dalam UUPA dan Peraturan Mentri Agraria No. 2 tahun 1981. Tanah adat yang dikonversi terlebih dahulu dilakukan penelitian terhadap data fisik dan data hukum yang terdapat pada surat pemberian hak, yang dikeluarkan oleh pemerintah swapraja maupun oleh Sultan. Jika ditemukan data dilapangan sesuai dengan keterangan yang termuat dalam surat tersebut, maka dalam proses pemberian hak, BPN akan melakukan berdasarkan ketentuan konversi. Namun pada umumnya surat cocatu yang dijadikan dasar bagi masyarakat hukum adat untuk mendapatkan tanah, tidak memiliki kejelasan dari segi luas tanah dan batas-batasnya. Luas tanah dalam cocatu
umumnya
tidak
menggunakan
ukuran
meter,
akan
tetapi
menggunakan ukuran depa (bentang tangan), hal ini menyebabkan terjadi kesulitan dalam menentukan luas tanah berdasarkan ukuran meter. Bagi BPN Kota Ternate, tanah yang dikuasai masyarakat hukum adat dengan surat cocatu tetap diakui, sepanjang surat tersebut dikeluarkan sebelum tahun 1960 dan jika setelah tahun 1960 maka tanah tersebut dianggap sebagai tanah negara.
108
Seiring dengan tuntutan kepastian hak bagi masyarakat berdasarkan hukum negara, termasuk tanah yang dikuasai berdasarkan hukum adat, langkah yang dilakukan oleh BPN sebelum dilakukan proses permohonan sertifikat tanah adat, terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan pihak kesultanan atau pemuka adat, guna memperjelas status tanah, sekaligus memberikan informasi adanya tanah adat yang akan dilakukan proses sertifikat.
Koordinasi
ini
dilakukan
untuk
menghindari
timbulnya
permasalahan dikemudian hari. Akibat banyak tanah dikuasai dengan sistem hukum adat, menyebabkan kewajiban bagi masyarakat untuk melakukan pendaftaran tanah yang dikuasai, karena mereka masih memegang prinsip bahwa tanah tersebut adalah tanah bersama, sehingga terlebih dahulu harus mendapat izin dari Sultan atau pemuka adat setempat. Ide pendaftaran tanah melalui proses sertifikasi selama ini telah menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat adat. Pihak yang mendukung pendaftaran ini berpendapat, bahwa dengan adanya kepastian hak atas tanah adat (melalui proses sertifikasi) dapat menghilangkan sumber konflik serta sesuai dengan tuntutan institusi hukum negara maupun perkembangan zaman modern. Sebaliknya dari pihak yang menolak berpendapat, bahwa jika tanah adat didaftarkan, maka tindakan ini merupakan awal kehancuran bagi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya termasuk sistem kekerabatannya. 16 Masyarakat adat tidak memiliki sejarah dalam proses pendaftaran tanah. Salah satu ciri yang menonjol dari masyarakat hukum adat adalah sebagai hukum yang tidak tertulis. Karena itu, Sihombing menyebutkan bahwa hukum tanah adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat hukum adat pada masa lampau dan masa kini, serta ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara otentik (berdasarkan hukum negara) atau tertulis, kemudian pula ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis.17 16
Erizal Jamal, Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan Pada Komunitas Lokal http://www.psedeptan.go.id/hasil%20penelitian struktur dan dinamika.htm
17
Sihombing. Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia. Toko Gunung Agung. Jakarta, 2005, p. 67.
109
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bagi masyarakat adat Tafure, sertifikat bukanlah suatu alat untuk dijadikan sebagai jaminan perlindungan terhadap hak-hak adat. Bagi mereka selama tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dalam masyarakat hukum adat, maka perlindungan dan pertahanan kedudukan dan hak-hak tersebut (wilayah hukum) diperoleh dari kekuatan pembelaan sendiri atau melalui saling hormat-menghormati hak masingmasing. Pengakuan sesama masyarakat telah memberikan kepastian hukum dalam penguasaan hak atas tanah. Masyarakat hukum adat beranggapan bahwa di samping kekuatan yang dimiliki dalam masyarakat, terdapat pemuka adat (tokoh adat) yang ditugaskan untuk melindungi hak-hak mereka. Pada segi yang lain, perlindungan hukum yang diberikan BPN kepada masyarakat hukum adat atas tanah, selain melalui ketentuan konversi hak, juga dilakukan dengan berdasarkan pada ketentuan pemberian hak atas tanah negara. Hal ini dilakukan, karena keterbatasan pembuktian hak masyarakat adat, terutama berkaitan dengan batas dan luas tanah yang kurang jelas dalam surat pemberian hak atas tanah adat, serta prosedur pemberian hak dengan menggunakan ketentuan konversi hak melalui Kepmen Agraria/KBPN No. 9 tahun 1999, dimana tanah yang dikuasai dengan hukum adat dianggap sebagai tanah negara, dengan maksud agar perlindungan hak masyarakat hukum adat melalui hukum negara dapat diberikan dan tidak mendapatkan hambatan. Berbelitnya proses pemberian hak atas tanah masyarakat hukum adat dalam konteks hukum negara, ini menunjukkan bahwa negara/pemerintah masih setengah hati untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat. Baik konstitusi, Undang-undang maupun peraturan pelaksanaan yang lebih rendah, memberikan pengakuan dan perlindungan bersyarat, berlapis serta bertentangan dengan peraturan satu dengan yang lainnya. Kekacauan substansi peraturan perundang-undanagan dalam bidang agraria, telah menepatkan masyarakat adat pada posisi yang lemah dan tidak berdaya ketika berhadapan dengan negara.
110
Menurut Husen Alting, upaya menciptakan rasa aman dalam pemilikan dan penguasaan tanah masyarakat hukum adat, maka harus segera memberikan
jaminan
kepastian
hak
dan
perlindungan
hukum
bagi
pemiliknya. Perlu dilakukan sinkronisasi dan perubahan perundang-undangan yang berpihak pada perlindungan hak masyarakat hukum adat, sebelum meluasnya tuntutan-tuntutan politis yang akan mengancam keutuhan NKRI. Bentuk pengakuan yang harus diberikan dengan cara, mengukuhkan masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak atas tanah dan memberikan kesempatan memanfaatkan sumberdaya tanah berdasarkan kearifan yang dimiliki. Pengukuhan tersebut dilakukan terhadap semua jenis hak-hak atas tanah yang saat ini telah dikuasai oleh masyarakat hukum adat; (baik yang sudah terputus hubungan hukumnya maupun yang masih eksis), baik terhadap hak-hak individu, maupun hak-hak komunitas (hak ulayat). Dengan kata lain, perlu mewujudkan pula hubungan yang seimbang antara negara dengan masyarakat hukum adat, dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus memberikan kepastian hukum atas pola-pola penguasaan dan pemanfatan yang telah dilakukan.18 Prinsip-prinsip kearifan adat yang berbasis komunitas haruslah dipandang sebagai social capital dan memiliki potensi sosial-budaya yang perlu dipertahankan dan dikembangkan, diperkaya, serta diperkuat melalui perlindungan dalam penataan sebagai landasan baru menuju perubahan kebijakan yang tepat untuk tujuan keberlanjutan ekologis. Melalui peran dan tindakan yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat adat dengan kearifan lokal yang dimiliki dalam pengelolaan sumberdaya alam, maka tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa masa depan keberlanjutan hidup kita sebagai bangsa berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan alam untuk kebutuhan makhluk lainnya secara lebih luas. 18
Husen Alting, Pengakuan....., op. cit. pp. 352-353.
111
6.4.
Intervensi Pemerintah, Respon Petani dan Dampak Gerakan di Tengah Arus Kepentingan Fenomena penyelesaian ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah
Ternate yang buntutnya terjadi aksi boikot aktifitas penerbangan dibandara Sultan Babullah Ternate pada tanggal 01 Pebruari 2005 kemudian ditanggapi pemerintah
dengan
penyelesaiannya,
mengakomodir
tidak
memenuhi
tuntutan
keinginan
masyarakat, dan
tuntutan
namun kalangan
masyarakat itu sendiri yang mana dengan diterbitkannya nota kesepakatan (MoU) tertanggal 01 Pebruari 2005 dimana tim (wakil masyarakat) yang dibentuk bukan atas ditunjuk berdasarkan musyawarah dari masyarakat, telah ikut menandatangani MoU tersebut tanpa mengetahui lebih dulu isi dari kesepakatan itu, sehingga dapat merugikan masyarakat ahli waris misalnya didalam pasal 5 MoU ayat (1) “Cara pembayaran harga tanah sebagaimana tersebut pada pasal 2 dan 3 dilakukan secara bertahap dan dimulai pada tahun anggaran 2006 serta dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. Ayat (2) pembayaran sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan tahapan-tahapan selanjutnya akan diprogramkan / diusulkan oleh pemerintah sampai terlunasi seluruh harga tanah.” Menurut pemahaman masyarakat korban bahwa pengertian dari dua ayat tersebut diatas adalah penafsirannya tidak jelas jangka waktu sampai kapan.
Belakangan
diketahui
oleh
masyarakat
pemilik
tanah
maka
dipertanyakan hal itu kepada tim dan oleh tim memberikan penjelasan bahwa pada saat terjadinya penandatanganan MoU, mereka (Tim) diarahkan ke Terminal bandara disaat Dirjen Tekhnik Perhubungan Udara beserta rombongannya akan berangkat dengan pesawat kembali ke Jakarta.19 Menurut masyarakat korban bahwa satu hal yang lebih janggal lagi didalam MoU adalah
bahwa
ternyata
pihak
Kesultanan
tidak
dilibatkan
didalam
penyelesaian ganti rugi pembayaran, justru melibatkan anggota Komisi II DPR RI, Komisi A DPRD Propinsi dan Komisi A DPRD II Kota Ternate.
19
Penjelasan Hi. Jailan Habsi (Ketua Tim 6) pada saat wawancarai penulis tgl 3 Agustus 2007 di kediamannya Tabam-Ternate.
112
Realisasi dari pembayaran ganti rugi yang telah dilaksanakan walaupun belum tuntas, ditinjau dari kelayakannya berdasarkan hak maka perlu menyimak UU. PA No. 5 Tahun 1960 pasal 18 sebagai berikut; Untuk kepentingan
umum,
termasuk
kepentigan
bangsa
dan
negara
serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. belumlah sepadan dengan apa yang diterima oleh masyarakat pemilik lahan secara bertahap tanpa jelas jangka waktunya. Semakin berlarut-larutnya penyelesaian ganti rugi dan ketidak-pastian sehingga oleh masyarakat pemilik tanah telah membuat pernyataan sikap penolakan kepada tim kuasa dan pembentukan tim kuasa yang baru, selanjutnya memberi kuasa kepada Sultan Ternate untuk mengurus sampai tuntas. Perihal pernyataan sikap tersebut, dilampirkan dengan surat pemberitahuan kepada Menteri Perhubungan cq Dirjen Perhubungan Udara di Jakarta tertanggal 20 Juni 2006 dengan tembusan-tembusannya meliputi Gubernur Maluku Utara, ketua DPRD Propinsi, Walikota Ternate, Ketua DPRD II Kota, Camat Kota Ternate Utara, dll. Kecemasan masyarakat dengan ketidakpastian akan sangat rentan sekali
berpotensi
terjadinya
pertkaian
dalam
masyarakat.
Namun
kenyataannya kepala bandara berdasarkan koordinasinya dengan pemerintah Kota telah nekad mengambil untuk melakukan pembayaran secara bertahap dan entah alokasi besar kecilnya jumlah uang yang diterima oleh tiap pemilik berdasarkan apa? Sebelumnya diterbitkannya surat perintah membayar (SPM) oleh kepala bandara (Kabandara), sekelompok masyarakat mendatangi kabandara di ruang kerjanya menyampaikan persoalan data yang tidak valid yang diusulkan oleh tim dengan maksud pembayaran ditangguhkan dulu sebelum
merevisi
data
dan
mempertanyakan
legitimasi
tim
yang
mengusulkan data tersebut. Inilah awal dari terpecahnya tim masyarakat yang dikenal dengan tim 6 disatu sisi dan tim 4 pada sisi yang lain yang masingmasing dari keduanya adalah sama-sama merupakan perwakilan dari masyarakat petani.
113
Masyarakat juga mempertanyakan soal dasar dari pembayaran tersebut dilakukan, namun tidak mendapatkan jawaban yang pasti dan oleh Kabandara masyarakat dipersilahkan mempertanyakan kepada pihak pemerintah kota. dari pemerintah kota yang diwakili oleh H.Amas Dinsie (Wakil Walikota Ternate) memberikan keterangan bahwa pembayaran tersebut bukan atas dasar dari petunjuk baik dari Dirjen Perhubungan maupun menteri Perhubungan, akan tetapi Pemerintah Kota dan Kabandara berkoordinasi dengan
Dinas
Perhubungan
mengembil
kebijakan
untuk
melakukan
pembayaran. Lanjut kata H.Amas bahwa ini adalah seperti rezeki jatuh dari langit, jadi harus mengambilnya, kata beliau pula tidak usah mempersoalkan tentang data fiktif dan pemotongan ilegal yang dilakukan oleh tim, karena persoalan itu adalah urusan akhirat. 20 Mencermati kronologis pembayaran yang dilakukan, terkesan adanya unsur pemaksaan oleh pihak tertentu, oleh karena itu kelompok masyarakat melakukan presure ke Polda Maluku Utara dan mendapat respon sangat baik dengan membuat surat pemblokiran ke kantor BRI dan KPKN untuk dipending pembayaran sampai batas waktu yang belum ditentukan. kecurigaan tentang adanya unsur pemaksaan dalam pembayaran itu sangat beralasan karena pada saat Kapolda berkunjung ke luar negeri, kesempatan itu tidak disia-siakan untuk dilakukan pembayaran di Bank Mandiri. Pada hari pertama dilakukan pembayaran di Bank Mandiri telah terjadi sedikit pertikaian mulut diantara masyarakat pemilik lahan dengan tim yang memaksakan untuk melakukan pemotongan dari bagian yang diterima. Melihat situasi yang rentan sekali terjadinya pertikaian yang lebih besar maka pembayaran kemudian ditunda oleh pimpinan Bank Mandiri dan selanjutnya pembayaran dilakukan ke secara bergiliran dengan membuka rekening kartu ATM. Giliran hari pertama ke masyarakat Sango sempat terjadi pertikaian diantara warga karena terkait dengan orang yang bukan pemilik ikut mendapatkan jatah bagian sementara ada pemilik ahli waris yang tidak didaftarkan oleh tim. 20
Penjelasan Ilyas Bayau, SE (Ketua Tim 4) pada saat wawancarai penulis tgl 5 Agustus 2007 di kediamannya Tabam-Ternate.
114
Berlanjut pada hari kedua giliran masyarakat Tabam dan terjadi perkelahian
yang
menyebabkan
dua
orang
warga
menjadi
korban
penganiayaan. Oleh karena situasi semakin memanas maka masyarakat Tafure mendapat giliran pada hari berikut dibatalkan, namun ternyata pengalihan pembayaran dilakukan dari rumah ke rumah secara sembunyisembunyi. Ada kesan terburu-buru dalam pelaksanaan pembayaran ganti rugi lahan Bandara yang mengharuskan tahap pertama harus tuntas sebelum tahun 2007, sehingga pentahapan selanjutnya diprogramkan kembali pada tahun anggaran berikutnya, demikian hingga kini pembayaran ganti rugi tersebut masih belum pasti karena tidak ada ketegasan didalam MoU sebagaimana disebutkan sebelumnya. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa realisasi pembayaran pada tahap pertama, uang yang sudah diterima oleh sebagian besar masyarakat berfariasi antara Rp 2 juta sampai dengan yang paling tertinggi Rp 5 juta per pemilik lahan. Oleh pemilik lahan uang itu kemudian dibagikan lagi per keluarga ahli waris didalam keluarganya. Menurut penjelasan Bapak Abdul Madjid Bayau yang merupakan seorang pemangku adat Tafure menyatakan dalam sebuah wawancara dengan penulis bahwa: “Uang yang kami peroleh tersebut sangatlah kecil bila dibandingkan dengan luas lahan yang dimiliki masyarakat. Uang tersebut jangankan dibagikan kepada sanak saudara ahli waris, dipakai buat hajatan Tahlilan sebagai bentuk ritual keagamaan demi keselamatan keluarga itupun tidak cukup sehingga wajar bila masyarakat korban pembangunan bandara yang rela menerima ganti rugi secara pasrah tidak mau bila proses pembayarannya dilakukan secara bertahap melainkan secara langsung lunas. Apakah artinya uang sebesar itu diterima bila dibandingkan dengan kehilangan tanah dan kebun pertaniannya sebagai penunjang hidup hari-hari. 21
21
Penjelasan Bpk. Madjid Abdullah (Fanyira / tokoh adat masyarakat Tafure) pada saat wawancarai penulis tgl 2 Juni 2007 di kediamannya Tafure Ternate.
115
Polemik ganti rugi lahan Bandara Sultan Babullah yang memicu aksi boikot aktifitas penerbangan pada tanggal 5 Desember 2006 yang lalu sampai saat ini belum ada tindak lanjut dari pemerintah. Ada 8 butir tuntutan yang telah disampaikan dalam aksi tim 4 yang dilaksanakan pada tanggal 5 Desember 2006 tersebut tampaknya hingga kini belum ada follow up dari pemerintah yang memuaskan bagi masyarakat. Menurut tim 4 bahwa Indikasi tindak pidana yang telah dilakukan oleh tim 6 beserta “konco-konconya” pun tidak ada presure dari polres selaku aparat penegak hukum di kota Ternate. Dalam konteks ini pula maka supremasi hukum yang menjadi kewenangan utama intitusi penegak hukum di daerah mestilah proaktif dalam merespon persolan ini sesulit apapun keputusan/ketegasan hukum yang akan diambil adalah merupakan bentuk pembelajaran dan penyadaran kepada masyarakat agar taat kepada equality before the law (persamaan di hadapan hukum). Dengan demikian konsekuensi logisnya adalah efek jera yang dirasakan oleh pelaku yang akan menjadi teladan dan contoh masyarakat luas untuk turut menegakkan kepastian hukum (due of law). Polres kota Ternate menurut Ilyas Bayau sepertinya mandul, padahal instansi tersebut merupakan lembaga pengayom hukum dalam masyarakat. Banyak data yang merupakan bukti disertai para saksi yang menunggu untuk dimintai keterangan seperti dilaporkan oleh tim 4 hingga saat ini belum ada tanda-tanda
penyelidikan.
Dari
pihak
pemerintah
sendiri
terkesan
mengabaikan inti dari permasalahan yang sebenarnya. Misalnya pertemuan tertutup yang telah diadakan di kedaton kesultanan Ternate yang dihadiri oleh para pejabat pemerintah kota Ternate, Badan Pertanahan Negara (BPN), Polda Maluku Utara, kepala Bandara Sultan Babullah Ternate hanya membicarakan ganti rugi yang selanjutnya diserahkan kepada Sultan Ternate. Sedangkan tuntutan masyarakat seperti yang tertuang dalam surat pernyataan
sikap,
ketidak
absahan
Nota
Kesepahaman
(MoU)
dan
pembayaran secara bertahap yang dipaksakan yang mana telah menimbulkan banyak masalah, tidak disinggung sama sekali oleh pihak pemerintah dalam rapat tertutup tersebut. Untuk lebih jelasnya di sini dicantumkan isi dari pernyataan sikap sbb:
116
1. Berdasarkan kesepakatan bersama antara pemerintah dan masyarakat pada tgl 1 februari 2005, butir a. Tentang lahan Bandara Sultan Babullah Ternate adalah tanah “Aha Kie Se Kolano”, oleh karena itu pemerintah RI, Cq. Pemerintah Daerah harus mengakui hak-hak masyarakat adat sesuai dengan undang-undang. 2. Segera Tim Ditjen Perhubungan Udara bersama pemerintah Kota Ternate dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk duduk satu meja bersama Kesultanan Ternate dalam menyelesaikan soal ganti rugi hak ulayat masyarakat adat pada lahan Bandara Sultan Babullah Ternate. 3. Segera dilakukan revisi kesepakatan bersama (MoU). 4. Kepada Polda Maluku Utara untuk sergera menangkap oknumoknum Tim 6 yang diduga kuat melakukan penipuan data dan pemerasan kepada masyarakat dengan dalih pemotongan 10% dan pungutan-pungutan lainnya. 5. Pembangunan terminal baru harus mengakomodir Tenaga Kerja di sekitar Bandara. 6. Segera tertibkan taksi yang beroperasi di bandara dan jangan ada pungutan-pungutan liar terhadap para sopir taksi. 7. Dishub Kota Ternate harus menempatkan petugas/warga korban pembangunan bandara sebagai juru parkir. 8. Tenaga honorer pada bandara agar segera diangkat menjadi PNS. 9. Bila poin 1 s/.d 8 tidak diakomodir maka kami akan boikot bandara dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Menurut Ilyas Bayau22, bahwa hasil dari pertemuan tertutup tgl 28 desember 2006 tersebut, pihak pemerintah kota maupun BPN bungkam atau aksi tutup mulut pada saat dikejar oleh wartawan. Sehari setelah pertemuan itu ahirnya Drs.Hi.Amas Dinsie (wakil walikota) dan Isnain Hi.Ibrahim (kabag pemerintahan Pemkot Ternate) memberikan penjelasan sekitar hasil pertemuan.
22
Ibid.
117
Lebih lanjut Menurut Ilyas Bayau23 bahwa latar belakang status tanah sengketa tersebut mengandung berbagai kejanggalan bila dikaji secara cermat. Hal ini berdasarkan sertifikat dengan nomor 03 tahun 1991 tertanggal 27 juni 1991, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Pertama : Tanah yang digunakan oleh bandara Sultan Babullah adalah sejak tahun 1970, sedangkan sertifikat dengan nomor 03 tahun 1991 dikeluarkan pada tahun 1991. Nah selama kurang lebih 21 tahun hak masyarakat atas tanah tersebut dimana ? Kedua : Dasar status sertifikat tersebut adalah Hak Pakai. Berbicara hak pakai berarti ada hak miliknya. Jika tanah tersebut mutlak milik rakyat, seharusnya ada perjanjian jual beli atau hibah dari masyarakat selaku pemilik tanah. Atau jika tanah tersebut milik Kolano maka koordinasinya dengan Kolano selaku Sultan Ternate. Namun setelah dikonfirmasi dengan Sultan Ternate, ternyata Sultan tidak mengetahui keberadaan sertifikat tersebut. Ketiga : kepemilikan hak pakai sertifikat tersebut adalah Departemen Perhubungan RI berkedudukan di Jakarta. Apakah patut sebuah Departemen tanpa ganti rugi yang layak telah mengambil hak rakyat yang sebelumnya menjadi
sumber dan
penunjang
kehidupan
sehari-hari
seperti
yang
diamanatkan didalam UUPA Nomor 5 tahun 1960? Lebih lanjut Menurut Ilyas Bayau bahwa: ”........Seharusnya Isnain Ibrahim selaku pejabat pemerintah memihak kepada kepentingan rakyat, bukan memberikan komentar yang memojokkan rakyat turut membodohi rakyat yang nota bene jauh dari jangkauan hukum. Bila ternyata para pejabat pemerintah masih bersikukuh mempertahankan egonya melalui MoU yang merupakan sebuah pembohongan publik dan jebakan disertai penjelasan tentang status tanah yang membingungkan masyarakat maka membuka peluang untuk aksi babak selanjutnya yang akan lebih dahsyat dari aksi sebelumnya. Instrumen yang dimainkan oleh oknum pejabat pemerintah terkesan mengadu domba masyarakat adat, terlebih lagi mengabaikan Sultan Ternate selaku pemangku adat.
23
Ibid.
118
Konflik yang melibatkan pemerintah daerah, pengelola bandara dan masyarakat adat Tafure tersebut telah diupayakan berbagai upaya negosiasi oleh Pemda setempat dengan masyarakat adat, namun negosiasi tersebut tidak membawa perubahan sikap pemerintah untuk dapat memenuhi tuntutan masyarakat. Berbagai upaya protes terhadap kebijakan pembangunan dan perluasan areal bandara hingga kini terus dilakukan baik melalui aksi ekstra parlementer hingga berbagai upaya hukum lainnya terus dilakukan. Diantaranya, penuntutan untuk dilibatkannya lembaga adat kesultanan Ternate dalam polemik konflik pembangunan tersebut hingga pada persoalan penyelesaian ganti rugi yang dinilai sarat dengan penyelewenagan dana dan dugaan manipulasi data hingga dugaan korupsi yang dilakukan oleh sebagaian tim perwakilan penyelesaian ganti rugi lahan bandara tersebut dan hingga kini proses legal action tersebut sedang ditangani Polres Kota Ternate yang dalam perkembangan proses penyidikannya dinilai tidak transparan oleh masyarakat pelapor (Tim 4) selaku perwakilan masyarakat penyelesian ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate. Hal ini terbukti dengan hasil riset kami yang menemukan sejumlah dokumentasi melalui pemberitaan media lokal yang memperlihatkan ketidakjelasan penyelesaian proses hukum di Polres Ternate bagi pihak pelapor yang dalam hal ini masyarakat korban pembangunan dan perluasan areal lahan bandara tersebut. Terkait dengan persoalan tersebut, Tim 4 penyelesian ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate pernah melayangkan sebuah press release tentang dugaan manipulasi dan penggelapan dana ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate ke Malut Post sebuah koran lokal terkemuka di Maluku Utara yang kemudian diterbitkan beritanya pada sehari kemudian edisi Kamis tanggal 21 Januari 2010 bahwa Tim 6 melakukan pembohongan publik dengan mencantumkan nama Sultan Ternate kedalam komposisi Tim diserta tanda tangan dan cap Kolano (Kesultanan). Hal ini dilakukan agar pertama:
untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka
masih diakui karena Yang Mulia Sultan telah bergabung dalam Tim 6 meskipun hal ini tidak benar, kedua: untuk meyakinkan kepada pihak bandara unruk mengurus pencairan dana ganti rugi lahan bandara tahap ketiga.
119
Oleh karenanya, kami Tim 4 selaku Tim yang didukung oleh Sultan Ternate menghimbau kepada kepala bandara Sultan Babullah Ternate untuk menghentikan pencairan dana tahap ketiga penyelesaian ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate sampai proses hukum ini selesai. Sebelumnya, Tim 4 juga pernah menyurat ke Kapolres Ternate perihal pelimpahan laporan tertanggal 11 Januari 2010 sebagai wujud ketidakpuasan mereka terhadap kinerja Polres Ternate yang dianggap lamban bahkan terkesan “dipolitisir” karena perkara tersebut melibatkan beberapa elit pejabat eksekutif dan legislatif pusat maupun daerah sehingga proses penyidikan tersebut sengaja dihambat. Menanggapi surat tersebut, pihak polres Ternate langsung memanggil Tim 4 perwakilan masyarakat dalam penyelesaian ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate untuk membicarakan permohonan pelimpahan laporan yang mereka ajukan. Dalam pertemuan tersebut, pihak polres Ternate meminta kepada pelapor untuk menangguhkan niatnya melimpahkan kasus tersebut ke Polda Maluku Utara. Pihak Polres meminta kepada Tim 4 untuk membuat laporan dugaan korupsi ke Polda Maluku Utara terkait manipulasi dan penggelapan dana ganti rugi yang dilakukan oleh Tim 6 pada pembayaran tahap pertama sebesar 1, 5 milyar rupiah pada tahun 2006 dan tahap kedua pada tahun 2009 sebesar 5 milyar rupiah. Banyak penduduk lokal lainnya yang membawa ingatan kebencian dan ketidakpercayaan terhadap pihak pengelola bandara. Selain itu juga kondisi ini diperburuk dengan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat lokal manakala tuntutan mereka agar pihak bandara bersedia untuk mengangkat status honorer beberapa pegawainya yang berasal dari masyarakat sekitar lokasi bandara untuk diangkat sebagai pegawai tetap
(PNS) yang
diperjuangkan pada tahun-tahun terakhir melalui jalur dialog bahkan hearing bersama DPRD Kota Ternate dengan pemerintah kota Ternate pada tahun 2003 hingga berlanjut kemudian pada tahun 2004 akan tetapi tidak membuahkan hasil apapun. Faktor-faktor inilah yang turut memberi warna dan mempengaruhi proses pembentukan gerakan sosial sebagaimana yang terjadi pada tahun 2005 sebagai manifestasi ketidakpuasan yang dihadapi oleh masyarakat petani.
120
Menurut Kepala bandara Sultan Babullah Ternate dalam sebuah wawancara menyatakan bahwa24: “......peristiwa awal terjadinya protes ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate adalah ketika dalam sebuah undangan hajatan masyarakat, mantan kepala bandara (sebelumnya) pernah menjajanjikan kepada masyarakat Tafure bahwa beliau akan memperjuangkan putra daerah selitar Bandara yang sedang honor di kantor Bandara untuk segera diangkat menjadi PNS. Namun seiring berjalannya waktu dan setiap momen rekrutmen CPNS, tak seorangpun yang dijanjikan lolos dalam pengangkatan CPNS tersebut. Hal ini memicu kemarahan warga sekitar bandara yang bermula dari Tafure hingga meluas pada beberapa tempat sekitar lainnya seperti Sango, Tarau dan Tabam. Dalam konteks inilah perilaku kolektif mulai muncul secara spontanitas meskipun diakui bersandar pada momentum yakni disaat rekrutmen CPNS tersebut. Gerakan sosial baik yang bersifat sementara atau permanen, didahului oleh perilaku kolektif (colektive behavior) sebagai wujud adanya ketidakpuasan terhadap kondisi sosial. Namun demikian, orang-orang
yang
bergabung
kedalam
tindakan
massa
tidak
selalu
mempunyai tujuan yang sama. Motivasi mereka terjun dalam gerakan sangat beragam pula, ada yang benar-benar dilandasi idealisme yang yang tinggi untuk suatu tujuan yang bersifat non materi, ada pula yang mencari keuntungan materi. Diatas motivasi yang beraneka ragam itu, sumber persoalan timbulnya gerakan sosial di Ternate adalah kehadiran Bandara. Jika di masa Orde Baru terjadinya konflik pertanahan umumnya antara rakyat dengan pemerintah pusat dan pemilik modal nasional/asing, maka kini telah bergeser menjadi konflik pertanahan antara rakyat dengan pemerintah daerah dan pemilik modal. Keadaan ini kemungkinan di masa depan ada kecenderungan pihak pemerintah daerah untuk meniadakan hak ulayat. Mengapa demikian, pemerintah daerah dipacu untuk mendapatkan sumber pendapatan sebanyak mungkin, sehingga adanya hak ulayat dan sistem pemerintahan adat dirasakan sebagai penghalang.
24
Wawancara dengan Bpk. Taslim Badarudin di ruang kerjanya pada tanggal 16 Desember 2010.
121
Apa yang telah dilakukan pemerintah menyangkut kasus-kasus atau konflik pertanahan antara masyarakat adat dengan pemerintah dan swasta (pemilik modal), baik kasus konflik pertanahan peninggalan Orde Bam maupun kasus konflik tanah yang muncul pada era reformasi; belum mendapat penanganan yang serius. Karenanya kasus-kasus konflik/sengketa/perkara tanah di Indonesia pada era reformasi masih tetap semarak dan masih tetap mengundang perhatian. Studi ini juga menemukan data perkara tanah di Pengadilan Negeri Ternate sejak tahun 1998 sampai dengan bulan Januari 2010 menangani perkara perdata tanah sebagai berikut: Pada tahun 1998 jumlah perkara perdata yang masuk 11 kasus tanah; kemudian pada tahun 1999 jumlah perkara perdata yang masuk 14 kasus tanah; berikutnya tahun 2000 jumlah perkara perdata yang masuk 8 kasus perkara tanah; Tahun 2001 jumlah perkara yang masuk 9 kasus tanah; dan pada tahun 2002 jumlah perkara perdata yang masuk 7 kasus tanah, pada tahun 2003 jumlah perkara perdata yang masuk 8 kasus tanah, pada tahun 2004 jumlah perkara perdata yang masuk 2 kasus tanah, pada tahun 2005 jumlah perkara perdata yang masuk 3 kasus tanah, pada tahun 2006 jumlah perkara perdata yang masuk 5 kasus tanah, pada tahun 2007 jumlah perkara perdata yang masuk 1 kasus tanah yang sementara diproses di tingkat kasasi. pada tahun 2008 jumlah perkara perdata yang masuk 10 kasus tanah, dan sementara diproses ditingkat Banding/kasasi berjumlah 4 perkara. Sedangkan pada tahun 2009-2010 jumlah perkara perdata yang masuk 10 kasus tanah, dan sementara diproses ditingkat Banding/kasasi berjumlah 1 perkara. Sejumlah sumber perkara tersebut diatas lebih didominasi oleh persoalan warisan keluarga serta sertifikat ganda yang menempatkan BPN sebagai tergugat.
6.5.
Ikhtisar Hak penguasaan atau pemilikan atas tanah bagi petani merupakan
insentif bagi masyarakat adat yang diberikan pihak kesultanan Ternate yang didasarkan pada pertimbangan latar belakang budaya, sejarah, maupun bukti nyata kinerja yang telah ditunjukkan oleh masyarakat petani setempat terhadap otoritas tradisional selama ini.
122
Namun demikian, dalam sebarang pola hak penguasaan atau pemilikan, sumber daya alam termasuk tanah pada kenyataannya juga selalu melekat hak-hak publik yang tidak dapat ditransfer kepada kelompok masyarakat tertentu, misalnya tanah untuk pembangunan bandara, sekolah, RSU, dll. Karena itu, tidak ada satu pihak pun (termasuk negara, swasta, dan masyarakat adat) yang berhak menampik atau meniadakan hak-hak publik tersebut. Sehingga perlu dikaji strategi penyelesian konflik secara dini untuk tidak terulang terjadi dimasa-masa akan datang. Secara strategis, penyelesaian konflik harus mengacu kepada usaha untuk memajukan, dan bukan untuk memenangkan satu pihak dan mengalahkan pihak lain. Dalam konflik pembangunan bandara di Ternate, dijumpai metode penyelesaian yang mengandung bias kepentingan. Dalam konteks ini pula maka semestinya, penyelesaian konflik patut menghindarkan diri dari berbagai bias kepentingan sebagaimana yang terjadi selama ini, sehingga resolusi merupakan keputusan yang demokratik, adil dan setara. Hal ini akan terwujud bila dibukanya ruang dialog bagi kedua belah pihak untuk mencari jalan keluar dari persoalan yang terjadi karena hingga saat ini, proses penyelesaiannyapun belum terwujud dan yang terjadi hanyalah “masa jedah”. Kondisi ini dapat dipastikan bahwa pada suatu ketika konflik ini bisa saja terjadi dengan eskalasi yang lebih tinggi. Konflik yang dimaksud adalah mengenai tujuan dan / atau ideologis, yaitu terkait dengan tuntutan masyarakat adat untuk mendapat pengakuan dan perlindungan atas hak-hak ulayat termasuk juga hak pemilikan dan penguasaan atas tanah adat yang selama ini dipertahankan. Konflik ideologis seperti ini sulit dicari jalan keluarnya
bahkan
tidak
akan
menemukan
resolusinya
kecuali
oleh
kehancuran ideologi salah satu pihak. Oleh sebab itu, manajemen kolaboratif merupakan pilihan pola pemgelolaan yang paling dianggap ideal bagi semua pihak. Dalam manajemen kolaboratif, masyarakat petani bertindak sebagai pelaku yang mendayagunakan dan sekaligus memelihara sumber daya, sedangkan pemerintah mestinya memfasilitasinya secara bijaksana.
123
BAB VII INVOLUSI GERAKAN AGRARIA
Menurut Geertz konsepsi “Involusi” mengandung arti kiasan sekaligus perbandingan sebagaimana digambarkan Sayogyo1, involusi terjadi karena adanya gerak realitas yang mandeg atau macet yang ditunjukkan tidak adanya kemajuan hakiki. Jika pun ada gerak, misalnya orang berjalan, berlari atau menunjukkan gerakan lain di dalam lingkungan air, tidak ada gerakan yang menghasilkan kemajuan. Orang tetap berada di tempat yang sama, misalnya di perairan, berenang di tempat menjaga diri agar tidak tenggelam tanpa mencapai tujuan lain. Gerakan-gerakan petani di Ternate sejak zaman pra kemerdekaan, hingga reformasi saat ini masih terus berada pada kondisi yang involutif. Gerakangerakan petani tersebut terus dilakukan baik ketika menghadapi sistem kolonilaisme bangsa asing, rezim orde lama, orde baru hingga era reformasi saat ini yang membuka peluang begitu besar namun hasilnya tetap saja tidak mengubah nasib petani. Memang disadari bahwa setiap rezim kondisi iklim politik berbeda antara satu sama lainnya yang dapat meningkatkan atau menurunkan derajat radikalisme, isu yang diusung, tipe/model gerakan serta dampak gerakannya. Tetapi perbedaan itu hanyalah sebatas bentuk adaptasi petani dengan gerakan agrarianya dalam setiap ruang politik dan waktu yang berbeda. Nasib petani tetap saja menjadi pihak yang dimarginalkan.
7.1
Masa Pra Kemerdekaan Awal kedatanganya, Portugis dianggap pihak Ternate sebagai sekutu yang
akan membantunya melakukan ekspansi politik ekonomi terhadap daerah sekitarnya. Pada tahun 1512, Portugis di bawah pimpinan Antonio Abrew dan Fransisco Serrao, tiba di Banda dan Hitu. Hal ini terdengar oleh Kolano Ternate, Bayan Sirullah, yang dengan segera mengutus adiknya, Kaicil Darwis, ke Hitu untuk mengundang orang Portogis ke Ternate. Fransisco Serrao kemudian 1
Clifford Geertz, 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta. Bhratara Krya Aksara., hal. xxiii.
menetap di Ternate setelah ia diangkat oleh Kolano Ternate menjadi Kapitan Jenderal dan penasihat Sultan. 2 Kericuhan mulai terjadi pada waktu Portugis campur tangan urusan pemerintahan dalam negeri, termasuk dalam hal penataan hubungan produksi, distribusi atas tanah dan sumber daya agraria lainnya dengan harapan kedudukan mereka akan lebih teguh dan dapat mendominasi situasi politik-ekonomi terutama penguasaan atas sumber daya alam di seluruh wilayah kerajaan ini.3 Sultan Khairun (1537-1570), Kolano ke-25 atau Sultan ke-7 Ternate, yang selama ini sangat toleran dalam beragama dan banyak memberi kemudahan pada misi Jesuit, dikhianati oleh Portugis, dibunuh secara keji di dalam benteng Gamlamo. Akibatnya sangat tragis, bukan hanya bagi keberadaan Portugis di Maluku, tetapi juga pada misi Jesuit. Ketika Sultan Babbullah (1570-1584), anak Sultan Khairun dilantik menggantikan bapaknya, ia bersumpah menuntut balas pada Portugis atas kematian bapaknya. Sultan Babullah bertekad akan berjuang hingga tak seorang Portugis pun ada di Ternate. Setelah berhasil mengusir orang Portugis pada tanggal 29 Desember 1575, Sultan Babbulah pindah ke benteng Gam Lamo yang diubahnya menjadi istana kerajaan. Ia hidup dan memerintah di sana dalam keadaan penuh kecemerlangan. Dibawah Sultan Babbullah, wilayah Kesultanan Ternate meliputi 92 pulau (belum lagi terhitung pulau-pulau karang dan pulau lain-lain yang tidak didiami orang) yang membentang luas, di sebelah utara meliputi pulau Mindanao dan Saranggani; di sebelah Selatan, sampai dengan pulau Solor; di sebelah Barat meliputi seluruh pesisir Timur Sulawesi dari bagian Utara hingga Selatan Tenggara; bagian pesisir Timur berbatasan dengan Irian Barat. Pada waktu itu Sultan Baabullah telah mempersatukan hampir seluruh Maluku. Kehidupan para petani diwilayah kekuasaan kesultanan Ternate menjadi lebih baik tanpa ada intervensi dari Portugis lagi dalam tata kelola sumber daya agraria. Inilah zaman keemasan Kesultanan Ternate yang dipimpin oleh Sultan Babulah.
2
3
Willard, Hanna dan Des Alwi. 1996. Ternate dan Tidore: Masa Lalu Penuh Gejolak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 12 Irza Arnyta Djafaar. 2007. Jejak Portugis di Maluku Utara, Ombak, Yogyakarta, hal. 32
125
Berakhirnya kekuasaan politik kolonial Portugis di Ternate, Spanyol kemudian meneruskan jejak Portugis untuk melakukan penjajahan kepada masyarakat Ternate hingga pada tahun 1606 Spanyol menyerang Ternate dari tempat bercokolnya di Tidore yang menyebabkan Sultan Said Barakati ditangkap dan diasingkan ke Manila. Untuk menghadapi kekuatan Spanyol maka Sultan Ternate (Sultan Mudaffar I) mengadakan perjanjian dengan Belanda yang tiba kemudian pada tanggal 26 Juni 1607. Isi perjanjian tersebut adalah4: 1. Belanda berkewajiban membantu Ternate mengusir Spanyol dan diberi wewenang penuh untuk mengatur perencanaan dan pelaksanaannya. Semua biaya perang akan ditentukan besarnya oleh Dewan Hindia dan akan dibebankan kepada Ternate. 2. Garnisum Belanda yang dibentuk akan ditempatkan dalam daerah kekuasaan Kesultanan dan akan dibiayai oleh Kesultanan. 3. Belanda berjanji akan melindungi kawula Kesultanan Ternate, baik yang ada di Ternate maupun di daerah seberang laut yang masuk ke dalam lingkup kerajaan - seperti Buru, Kambelo, Mau, Sangir Talaut, Moro dan Mindanao – serta mencegah agar rakyat Ternate tidak memberikan kepatuhannya kepada Spanyol. 4. Kesultanan Ternate tidak akan menjual rempah-rempahnya kepada bangsa manapun atau kepada siapapun, kecuali kepada Belanda. 5. Tanpa persetujuan kedua belah pihak, tidak boleh diadakan perdamaian dengan Spanyol, termasuk Kesultanan Tidore. 6. Belanda diizinkan membangun benteng di dekat perkampungan Melayu; Untuk memperkuat dan memperbesar kekuatan Belanda maka dalam tahun 1609 diadakan lagi suatu perjanjian guna memerkuat dan memperbaharui perjanjian tahun 16075. Perjanjian lain juga dilakukan pada 1638, dimana untuk bisa mengetatkan monopolinya VOC bersedia mengakui kedaulatan Ternate atas semua daerah Islam di Maluku (Seram, Hitu, dan Ulias) serta menggaji raja Ternate sebesar 4000 real per tahun, dengan imbalan sebuah persetujuan agar
4
5
Francois Valentijn dalam M. Adnan Amal, 2007. “Menelusuri Kelahiran Kota Ternate”, Laporan Rumusan Hasil Seminar Sejarah Lahirnya Kota Ternate 2003, Tim Perumus, Ternate 8-9 Juli 2003, hlm. 65. Ibid, hal. 44
126
”penyelundupan” cengkih dihentikan, semua saudagar dari Jawa dan Makassar dilarang beroperasi di wilayahnya, dan VOC diberi kekuasaan de facto atas Maluku Selatan6. Dalam perundingan tanggal 31 Januari 1652 antara Sultan Mandar Syah beserta pembesar-pembesar kesultanan dengan VOC
dan
pejabatnya tentang penebangan dan pemusnahan pohon-pohon cengkih ditolak oleh beberapa Sangadji di Halmahera Utara yang masih berada dalam lingkup wilayah adat kesultanan Ternate, sepanjang yang menyangkut daerah mereka. Alasan
penolakannya
sederhana;
mereka
tidak
dilibatkan
dalam
perundingan yang menghasilkan persetujuan itu. Mereka menuntut agar suatu perundingan bilateral yang menyangkut dengan mereka kembali dibuka dan pesertanya cukup antara para Sangadji itu dengan VOC, tanpa perlu melibatkan Sultan Ternate. Selain itu, Sultan Mandar Syah7 juga membuat pejanjian dengan VOC pada tanggal 31 Januari 1653 yang isinya adalah8: 1. Kesultanan Ternate tidak boleh mengangkat Salahakan baru untuk kawasan Hoamoal, dan sejak perjanjian ini ditandatangani, wilayah tersebut langsung berada di bawah pemerintahan VOC di Ambon. 2. Sultan Ternate memberi izin kepada VOC untuk menebang semua pohon cengkih yang terdapat dalam Wilayah Kesultanan Ternate, termasuk di Hoamoal dan pulau-pulau sekitarnya. 3. VOC kan membayar ganti rugi setiap tahun kepada Sultan dan Pejabatpejabat Kesultanan Ternate, dengan rincian sebagai berikut: a). Untuk Sultan: 2.000 ringgit; b). Kaicil Kalamata 500 ringgit; c). Para pembesar Kesultanan sebesar 1.500 ringgit (dibagi rata diantara mereka); d). Para Sangadji Makian sebesar 500 ringgit (dibagi rata diantara mereka). 4. Kompeni akan melakukan pelayanan untuk menebang pohon-pohon cengkih, dan sebagai ganti rugi Kesultanan Ternate akan memperoleh 12.000 ringgit tiap tahun. 5. Pulau Mayau dan Tifure akan dikembalikan kepada Kesultanan Ternate.
6
7
8
Djoko Sunaryo et al, “Bulan Sabit di Bawah Rerimbunan Cengih: Islamisasi Ternate atau Ternateisasi Islam? dalam Sukardi Syamsudin dan Basir Awal (Editor), Moejarahloku Kie Raha Dalam Perspektif Bufaya dan Sejarah Masuknya Islam. HPMT, 2003, hal. 147. Sultan ini pada tahun 1950 dikudeta sehingga melarikan diri ke benteng VOC dan kemudian diamankan di Batavia, lihat Djoko Sunaryo et al, Ibid, hal. 170. Francois Valentijn dalam M. Adnan Amal, loc. cit....hal. 65.
127
Pada tanggal 12 Oktober 1676, dibawah pemerintahan Sultan Kaicil Sibori Amsterdam dilakukan perundingan dengan VOC tentang daerah seberang laut Ternate di kepulauan Ambon dan Maluku Tengah. Isi perjanjian tersebut adalah: a). Wilayah seberang laut Kesultanan Ternate di Kepulauan Ambon di gabungkan kedalam Propinsi; b). Akan diangkat penguasa-penguasa khusus di Pulau Buru, Ambalau, Buano dan Kelang. Pada masa Sultan Kaicil Sibori Amsterdam, dilakukan pertempuran melawan Belanda namun berhasil dipadamkan oleh Belanda. Sebagai akibatnya, Sultan terpaksa menandatangani persetujuan dengan Belanda yang isinya9: a). Hak Gubernur VOC untuk duduk dalam Dewan Kerajaan Ternate; b). Semua eksekusi hukuman mati harus dengan persetujuan VOC; c). Setiap pergantian Sultan harus dengan persetujuan VOC. Sejak berlakunya perjanjian tersebut, Ternate praktis kehilangan kedudukannya. Kewenangan dasar kerajaan ini dalam pengangkatan Sultan, penarikan dan penentuan, telah dikuasai oleh Kompeni. Dengan demikian, status de jure Kesultanan ini tidak lebih dari sebuah kerajaan vazal Pemerintahan VOC10. Setelah traktat London 1824 dilakukan reorganisasi pemerintahan oleh Belanda yang didasarkan pada persetujuan antara Sultan Ternate dan Sultan Tidore dengan Belanda (G.J. van der Capellen) pada tanggal 3 mei 1817 yang dilangsungkan di benteng Oranje. Dalam persetujuan ini antara lain dinyatakan bahwa11: a). Kesultanan Ternate dan Tidore mengakui kekuasaan tertinggi dan kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda yang berlaku atas kedua Kesultanan Tersebut; b). Kedua Kesultanan itu menyatakan seluruh wilayah Kesultanannya menjadi wilayah Pemerintah Hindia Belanda, dan berjanji membantu Gubernemen bila terjadi perang dengan menyediakan sarana dan personil secara bersama; c). Kedua Kesultanan berjanji tidak akan membuat perjanjian atau perikatan apapun tanpa izin Gubernemen dan keduanya tidak akan membuat peraturan-peraturan perdagangan dalam negeri; d). Kedua Kesultanan itu mengakui hak-hak Gubernemen atas pegawai-pegawai pribumi yang berada dibawah kewenangan Sultan. Dalam keadaan darurat. Sultan harus membantu Gubernemen dengan tenaga dan sarana yang diperlukan. 9 10 11
Ibid....hal. 85. Ibid....hal. 85. Ibid....hal. 93.
128
Dengan penandatanganan perjanjian tersebut, Ternate – demikian pula Tidore – resmi menjadi Kesultanan dalam lingkungan kekuasaan pemerintah kolonial hindia Belanda, dan kemerdekaan serta kedaulatan keduanyapun berakhir12. Meskipun demikian, dalam urusan penerapan hukum adat yang terkait dengan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah masih terus berlangsung digunakannya instrumen hukum adat setempat. Sebelum tahun 1912 terdapat hak atas tanah yang disebut dengan eto. Eto berarti bagian. Eto adalah tanah yang diberikan oleh Sultan kepada Pejabat Kesultanan seperti Sangadji, Kimalaha, dan Fanyira dalam kedudukan mereka selaku pembantu Sultan. Oleh para pejabat tersebut tanah itu dibagikan kepada rakyat yang dianggap berjasa. Hak eto ini tidak berlaku turun-temurun karena sewaktu-waktu dapat dicabut kembali apabila13: a). Pemegang eto terbukti menanam tanaman umur panjang; b). Pemegang eto terbukti membuat kesalahan, malas atau berkhianat; c). Eto tersebut hendak dimanfaatkan/digarap oleh para pejabat pembantu Sultan Pada tahun 1912 diadakan rapat para Sultan dari keempat Kesultanan yang ada (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo). Hasil keputusan dari rapat tersebut adalah bahwa tanah-tanah eto yang masih kosong dan tidak digarap dinyatakan hapus. Tanah tersebut diserahan kepada pemerintah Desa untuk kepentingan desa, yaitu dijadikan kebun-kebun desa bersangkutan. Tanah-tanah yang ditanami dengan umur panjang maka oleh pemerintah diberikan kepada rakyat penggarap dengan semacam hak pakai14. Selain itu, diwilayah Swapraja terdapat tanah-tanah bekas hier contract (HC) yaitu tanah yang disewakan kepada orang-orang Cina dan Arab. Tanah-tanah yang disewakan tersebut berada di wilayah Swapraja Ternate tetapi oleh yang menguasainya minta didaftarkan kepada pemerintah Belanda sebagai HC dengan masa sewa selama 10 tahun. Masa sewa HC ini umumnya berakhir pada tahun 1930 dan 195715.
12 13
14 15
Ibid....hal. 94. Masyhud Ashari, 2008. Laporan Hasil Penelitian: Status Tanah-tanah Kesultanan Ternate di Provinsi Mluku Utara, “Tinjauan Juridis Hukum Tanah Nasional”. DPPM-UII, Yogyakarta, hal. 54-55. Ibid......hal. 55. Ibid......hal. 56.
129
7.2.
Masa Kemerdekaan Pada masa awal Orde Lama situasinya telah berubah dari situasi
sebelumnya yang berada di masa penjajahan bangsa asing. Pada masa awal kemerdekaan secara nasional terjadi proses nasionalisasi perkebunan kolonial. Tetapi secara substantif terpinggirkannya akses petani miskin di pedesaan dalam penguasaan sumber-sumber agraria tetap tidak jauh berbeda dengan suasana dizaman kolonialisme. Persoalan agraria di awal kemerdekaan merupakan periode transisi dari kolonialisme ke developmentalisme. Masa transisi ini bersamaan dengan periode revolusi Indonesia dengan kebijakan agraria yang masih didominasi oleh kepentingan elit politik (pertarungan partai politik) dan elit ekonomi. Konflik kepentingan antar para elit menyebabkan munculnya konflik agraria vertikal dan kemudian bergeser menjadi konflik horizontal antar petani miskin dan tuan tanah. Proses perebutan tanah pertanian pada masa ini merupakan bentuk dari Vandreform spontan' yang dilakukan oleh petani yang dahulunya tergusur16. Kemudian berhasil disahkan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang oleh banyak pihak berbasis pada semangat land reform yang populis. Tetapi, dalam praktek masih dianggap gagal karena masih banyak tanah pertanian yang belum didistribusikan dan masih banyak rakyat petani miskin yang tidak memiliki tanah. Program land reform nampaknya merupakan bagian dari permainan panggung sandiwara dari skenario pihak luar yang dimainkan oleh para elit politik yang berwujud perang tanding saling berebut kekuasaan dengan basis ideologi yang berbeda secara diametral antara sosialisme dan kapitalisme. Pada masa Orde Lama, dengan disahkannya UUPA Nomor 5 Tahun 1960 merupakan upaya memodernisir kebijakan agraria nasional dengan tidak mengabaikan keberadaan kepemilikan tanah ulayat masyarakat adat. Skenario struktur legitimasi hukum ini lebih dekat dengan sosialisme, dan karena itu mendapat dukungan dari PKI. Sebaliknya, justru skenario tersebut merupakan penghalang bagi jalannya kapitalisme.
16
Mansour Fakih. 1995. Tanah, Rakyat dan Demokrasi, Yogyakarta: Forum LSM, hat. 5.
130
Setelah keluarnya UUPA, meskipun dinyatakan bahwa tanah-tanah Swapraja atau bekas Swapraja dinyatakan sebagai tanah negara, namun dalam praktek penggunaan tanah oleh pemerintah kota Ternate dilakukan dengan meminta Izin kepada Sultan. Beberapa contoh dapat dikemukakan seperti pembangunan tempat pembuangan akhir (TPA). Selain itu pembangunan beberapa fasilitas umum seperti Universitas Khairun dan beberapa Mesjid serta Gereja di Ternate juga dilakukan dengan meminta izin kepada Sultan. Atas pembangunan tersebut Sultan meminta agar diberikan ganti rugi tanaman kepada masyarakat yang telah melakukan penggarapan diatas tanah tersebut17. Selain itu, kewenangan Sultan atas tanah-tanah Swapraja tersebut masih terlihat dalam hal pemberian tanah kepada pihak tertentu. Contohnya adalah pemberian tanah oleh Sultan kepada adik kandungnya seluas lebih kurang 11 ha. Tanah diberikan melalui Cocatu lisan pada tahun 2005 terletak di Salero (Jere Madehe) Kecamatan Ternate Utara. Penyelesaian tanah-tanah bekas Swapraja Ternate sebagaimana diatur dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Di dalam PP tersebut diatur bahwa tanah-tanah bekas Swapraja peruntukannya dibagi 318: a. Sebagian untuk kepentingan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; b. Sebagian untuk penguasa atau ahli waris penguasa dari Swapraja atau bekas Swapraja tersebut; dan c. Sebagian diberikan kepada rakyat yang membutuhkan melalui program redistribusi tanah. Dalam kenyataannya tanah-tanah bekas Swapraja tersebut tidak ada yang diberikan kepada ahli waris penguasa dari Swapraja. Sebagian dari tanah tersebut ada yang diretribusikan kepada masyarakat setempat, yaitu retribusi tahun 1984 di desa Hate Bicara Halmahera Barat; tahun 1992 di desa Susupu Tacim. Balisoang Jailolo Halmahera Barat; tahun 1993 di Mandowong di Bacan Halmahera Selatan dan tahun 1994 di Falabisahaya di Kabupaten Kepualauan Sula.
17
18
Masyhud Ashari, 2008. Laporan Hasil Penelitian: Status Tanah-tanah Kesultanan Ternate di Provinsi Mluku Utara, “Tinjauan Juridis Hukum Tanah Nasional”. DPPM-UII, Yogyakarta, hal. 58. Ibid....hal. 58-59
131
Setelah berlakunya UUPA maka tanah-tanah yang terdapat Cocatu (surat pemberian hak oleh Sultan) dikonversi menjadi hak milik. Pelaksanaan konversi tersebut tidak terdapat di pulau Ternate dan hanya ditemukan di pulau Tidore. Keterangan lain mengatakan bahwa di Halmahera Barat, pendaftaran hak atas tanah yang memiliki Cocatu- yang dikeluarkan sebelum tahun 1960 diproses melalui penegasan hak, sementara itu Cocatu yang dikeluarkan setelah tahun 1960 diproses melalui pemberian hak. Pemberian hak atas tanah di wilayah Kesultanan Ternate dilakukan dengan mengkategorikan tanah-tanah Kesultanan Ternate sebagai tanah negara – sebagian ditempuh melalui Konversi atau kegiatan proyek yaitu PRONA pada tahun 1982 di desa Moya Ternate dan di desa Tafure sebagai tempat dilakukannya penelitian ini pada tahun 1984. Kedua kegiatan tersebut yaitu Redistribusi dan PRONA meskipun dilakukan pada tanah-tanah kesultanan Ternate namun tidak meminta izin kepada Sultan Ternate. Sultan
dalam
Sistem
hukum
tanah
Ternate
merupakan
kepala
pemerintahan yang memiliki kewenangan publik sehingga proses penyelesaian tanah-tanah yang berada dalam kewenangannya tunduk pada Diktum keempat UUPA jo PP Nomor 224 tahun 1961. Mengingat ketentuan PP Nomor 224 tahun 1961 yang menegaskan bahwa tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang dengan ketentuan Diktum IV huruf A UUPA beralih kepada negara diberi peruntukkan sebagian untuk kepentingan pemerintah, sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu dan sebagian itu dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan, menururt ketentuan dalam peraturan ini; maka perlu dilakukan kompensasi dimaksud kepada pihak kedaton Ternate19. Soa sebagai persekutuan adat memberikan kewenangan publik kepada Soa untuk melakukan pengaturan penguasaan dan pemanfaatan atas tanah di masingmasing Soa. Oleh karena itu Aha Soa merupakan tanah ulayat bagi masing-masing Soa dan pengaturannya tunduk pada hukum tanah adat setempat. Dalam sistem hukum tanah nasional, Soa dumungkinkan sebagai subjek hak atas tanah, meskipun untuk itu perlu dilakukan pengaturan tentang keberaan Soa sebagai subjek hak atas tanah. 19
Ibid....hal. 63-64
132
Tanah-tanah yang dikuasai oleh perorangan memberikan kewenangan perdata kepada yang menguasainya. Oleh karena itu proses pendaftaran hak-hak atas tanah tersebut ditempuh melalui konversi hak (penegasan hak) jika memiliki Cocatu, dan tanah-tanah yang dikuasai tanpa memiliki Cocatu diproses melalui pengakuan hak, perorangan maupun kelompok yang memungkinkan sebagai subjek hak atas tanah sehingga tidak menimbulkan persoalan dalam pengaturan penguasaan hak atas tanah oleh perorangan. Pada kenyataannya telah banyak tanah-tanah kesultanan Ternate yang diberikan kepada pemerintah daerah Maluku Utara dan pemerintah Kota Ternate, oleh karena itu penyelesaian hak atas tanah tersebut perlu dilakukan sesuai ketentuan hukum tanah nasional yang berlaku. Demikian pula atas perorangan yang diberikan oleh kedatonTernate. Praktek kapitalisme yang ditandai dengan developmentalisme di Ternate lebih terlihat mulai tahun 1970-an yaitu ketika dilaksanakannya pembangunan lahan bandara Sultan Babullah Ternate yang telah berakibat pada hilangnya hak atas tanah yang dikuasai dan dikelola masyarakat lokal secara turun temurun kemudian diambil alih oleh para penguasa negara hingga akhirnya mulai lahirlah protes dan perlawanan yang berlangsung sejak tahun 1970-an hingga saat ini. Perlawanan rakyat terjadi secara akumulatif dan menyebar di beberapa wilayah areal bandara tersebut. Selama masa Orde Baru, perlawanan rakyat petani selalu menimbulkan ketakutan dan dampak yang sangat merugikan bagi rakyat bahkan nyawa bisa menjadi taruhan sehingga kondisi rakyat petani benar-benar tertekan. Sementara itu, upaya untuk menyelesaikan persoalan tanah pertanian yang memperhatikan kepentingan kehidupan rakyat petani semakin diabaikan dan tidak diselesaikan secara tuntas. Gerakan rakyat petani pada masa ini hanya sebatas gelombang-gelombang kecil yang tclah mampu menyentuh pusat kekuasaan sehingga tidak mampu merubah struktur dominasi negara yang hegemonik Dampak negatif pelaksanaan pembangunan yang dirasakan pada era reformasi adalah terjadinya konflik agraria dibeberapa daerah serta menguatnya gejala konflik baru, baik yang bersifat sosial-horisontal maupun yang bersifat politikvertikal, termasuk yang terjadi di Ternate Mal uku Ut ara.
133
Menguatnya gejala konflik ini harus dipandang sebagai salah satu implikasi negatif dari kebijakan pembangunan dan hubungan pusat-daerah yang tersentralisasi pada era orde baru, serta melemahnya hubungan sosial masyarakat. Salah satu konflik agraria yang menguat di Indonesia pada pasca runtuhya pemerintahan orde baru adalah yang terjadi pada masyarakat tani Tafure. Akibat dari konflik tersebut adalah masyarakat menjadi kehilangan lahan dan kehilangan sumber mata pencaharian serta hilangnya hak ulayat masyarakat adat, maupun trauma psikologis yang diakibatkan. Selain itu juga telah terganggu sistem pendidikan, mandeknya aktivitas ekonomi masyarakat, rusaknya hubungan-hubungan sosial, kekerabatan dan kemanusiaan yang selama ini menjadi referensi bersama dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di Tafure dan sekitarnya akibat segregasi wilayah pemukiman yang dibatasi oleh talud bandara. Konflik agraria (tanah) yang terjadi di Maluku Utara secara umum dan terjadi besar-besaran yang berdampak luas bagi masyarakat Maluku Utara umumnya dan Kota Ternate di era reformasi adalah konflik perebutan lahan pertambangan pada tahun 1999 antara Suku Kao dan Malifut (Makian) di daerah beroperasinya perusahaan pertambangan Nusa Halmahera Mineral (NHM). Konflik ini awalnya terjadi di teluk Kao, Halmahera Utara pada tahun 1999, dengan puncaknya ketika pada tanggal 26 Mei tahun 1999 pemerintah pusat mengeluarkan
PP
42
tahun
1999
tentang
Pembentukan
Kecamatan
Makian/Malifut dimana dalam PP tersebut menggabungkan 16 Desa pendatang dari suku Makian digabungkan dengan 5 Desa asli suku Kao dan Jailolo. Permasalahan yang muncul dengan pemberlakukan PP 42, warga Kao merasa sebagai bentuk pencaplokan wilayah/tanah adat mereka, karena wilayah Malifut merupakan bagian dari wilayah adat yang dipinjamkan sementara kepada warga Malifut akibat meletusnya Gunung Kie Besi di Pulau Makian yang kemudian pada tahun 1975 Pemerintah Tk II Maluku Utara dengan persetujuan DPRD memindahkan warga Makian Pulau dengan cara bedol pulau ke Daerah Malifut. Sedangakan warga Malifut menganggap bahwa tanah yang mereka duduki selama mengungsi merupakan hak miliknya, karena diberikan oleh pemerintah pada saat ancaman meletus Gunung Berapi Kie Besi yang berada di pulau Makian tersebut.
134
Respon warga Kao dan Malifut terhadap PP 42 sangat beragam, masyarakat Kao mendesak pencabutan terhadap PP 42 karena dianggap seabagai suatu bentuk pencaplokan hak atas tanah adat, sedangkan warga Malifut memaksakan untuk diberlakukan peraturan tersebut sebagai salah satu bentuk kepastian hak atas tanah dan sumberdaya alam. Realitas ini menunjukan bahwa pemerintah dalam menetapkan suatu kebijakan kurang memperhatikan masyarakat kecil yang hidup disekitar wilayah pembangunan tersebut. Realitas ini sama halnya dengan yang dialami oleh masyarakat tani Tafure Ternate yang hingga kini berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Konflik agrarian yang terkait dengan pembangunan bandara di Ternate sedang berlangsung hingga saat ini dan konflik ini telah menoreh berbagi luka dan kesedihan. Masyarakat berharap ke depan yang situasi harus lebih lebih baik dan menjadi kesadaran bersama untuk berdamai serta menghargai nilai-nilai tradisi lokal termasuk hak ulayat mereka. Namun harapan masyarakat, tidak semudah membalik telapak tangan, tantangan selalu dihadapi dengan terjadinya perubahan konstalasi hubungan sosial dan politik didaerah yang pada akhirnya akan selalu menghantui masyarakat. Konflik sumberdaya agraria ini akan terus berlangsung seiring dengan banyaknya kuasa aktivitas pembangunan yang berlangsung di Maluku Utara tidak terkecuali di daerah penelitian ini sehingga perubahan tersebut telah menghilangkan hak-hak masyarakat disekitarnya dengan pemberian ganti rugi yang tidak manusiawi. Penciptaan situasi yang kondusif pasca konflik tidak terlepas dari bantuan berbagai lembaga nasional mapun internasional di Maluku Utara. UNDP sebagai salah satu lembaga donor internasional selama ini sangat konsen dan berperan untuk mengupayakan pemulihan dan pencegahan konflik di Maluku Utara dengan berbagai program yang dilaksanakan, salah satunya melalui program Peace Trough Development (perdamaian melalui pembanguan). Sebagai fasilitator, PTD dilaksanakan dengan tujuan pengembangan kapasitas
pemerintah
dan
masyarakat
madani
dalam
merumuskan
dan
melaksanakan kebijakan dan program dibidang pembangunan yang tanggap krisis. Tindaklanjut dari tujuan tersebut maka PTD berupaya untuk memberikan penguatan kepada pemerintah dalam perencanaan yang sensitif konflik guna menuju pada tata
135
pemerintahan yang lebih baik. Tentunya apa yang telah dilakukan sangat besar manfaatnya dan menyentuh langsung akar permasalahan dalam kehidupan masyarakat, termasuk pada masyarakat petani di Tafure Ternate yang pernah diberikan pelatihan dan pendampingan hukum terkait dengan konflik bandara yang hingga kini belum selesai. Sebagaimana
diketahui
bahwa
persoalan
tanah
pertanian
yang
disengketakan oleh masyarakat Tafure terjadi secara akumulatif, massive dan menyebar di seluruh wilayah sekitar bandara tersebut. Bahkan terjadi gerakan sosio-politik petani yang dilakukan secara terorganisir dengan baik yang berbeda dengan gerakan petani sebelumnya dan terjadi peningkatan kualitatif gerakan. Ini berarti bahwa pintu jalan masuk landreform atas inisiatif rakyat sudah mulai terbuka. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa kekuatan kapasitas gerakan tersebut tidak berlangsung lama. Pasca upaya ganti rugi yang dilakukan oleh pemerintah daerah, kapasitas gerakan dan organisasi gerakan petani menjadi melemah
dan
para
pelaku
strategis
gerakan
mulai
menurun
derajat
radikalismenya. Tujuan ideologis gerakan yang sangat berpihak pada perbaikan nasib petani semakin dibuat berjarak dengan tujuan politik dan ekonomi yang menjadi kepentingan sesaat para pelaku strategis gerakan. Tujuan pragmatis sebagian petani dalam memperoleh biaya ganti rugi menimbulkan perpecahan dikalangan anggota gerakan. Akibatnya, dimana-mana terjadi pembagian ganti rugi lahan yang kacau, muncul para “raja” kecil, dll. Semua itu membawa suatu kondisi bahwa konflik agraria masih rentan terjadi. Suatu fenomena yang masih kuat muncul di permukaan adalah selain belum nampak adanya tanda-tanda upaya penyatuan persepsi antar pelaku strategis petani dan pemerintah daerah, juga belum nampak adanya upaya menyatukan gerak langkah antar pelaku strategis organisasi gerakan petani itu sendiri. Semakin menurunnya kapasitas organisasi gerakan petani bukan hanya berdampak pada kacaunya pembagian ganti rugi lahan, tetapi juga berdampak pada semakin menurunnya ikatan solidaritas, komitmen moral dan jaringan (networks) gerakan antara para pelaku strategis petani dan non petani.
136
7.3. Involusi Gerakan Agraria Secara lebih jelas kapasitas gerakan agraria di Ternate dari setiap episode kekuasaan rezim yang satu ke episode kekuasaan rezim berikutnya sebagaimana tampak pada Tabel 7.1. Fenomena yang terjadi di Ternate tidak meskipun memiliki karakteristik khusus tetap tidak terlepas dari fenomena sirkuit kekuasaan agraria secara nasional, karena terdapat keterkaitan antara fenomena makro nasional dan mikro daerah. Fenomena feodalisme masa kejayaan kesultanan Ternate tempo dulu kondisinya justru lebih baik dengan otoritas tradisionalnya dan hasil pertanian ekspor (cengkih dan pala) dibanding yang terjadi di Jawa dengan sistem pertanian sawah dan hasil pertanian tanaman pangan. Meskipun di Ternate terjadi dua lapis struktur kekuasaan (kesultanan dan adat) tetapi daya tekannya secara ekonomi terhadap rakyat tidak sampai menyentuh pada ranah kebutuhan ontologis petani. Perlawanan petani Ternate pada masa kekuasaan kesultanan Ternate tempo dulu nyaris tidak terjadi sama sekali hingga masa kolonialisme Portugis, Belanda dan Jepang justeru yang terjadi adalah lebih tampak pada perlawanan untuk mengembalikan posisi otoritas tradisional (adat) Kesultanan yang diintervensi oleh pihak kolonial itu sendiri. Perlawanan Sultan Babullah adalah jawaban atas hal ini sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya. Fenomena gerakan rakyat menjalang berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda sudah mengarah pada fenomena yang lebih umum dialami oleh masyarakat tingkat nasional, seperti menentang kolonialisme, feodalisme (sistem marga stelsel) dan kapitalisme (perusahaan perkebunan modal asing). Menyimak fenomena gerakan rakyat petani dalam memperoleh kesetaraan dan keadilan agraria yang terjadi dalam Setiap episode kekuasaan rezim sebagaimana tampak pada Tebel 7.1 di bawah ini seolah menunjukkan bahwa penyelesaian persoalan agraria (tanah) bagi rakyat petani tidak cukup hanya diatasi dengan gerakan-gerakan rakyat bawah yang berjalin secara sinergis antara petani dan non petani. Peran lembaga negara dalam hal ini sangat menentukan karena otoritas dalam struktur dominasi agraria adalah berada padanya.
137
Tabel 3. Matriks Kapasitas Gerakan Agraria Dalam Setiap Episode Kekuasaan Rezim.
Periode Waktu Feodalisme
Status Tanah Tanah dikuasai Sultan dan otoritas masyarakat adat
Kebijakan Agraria
Krisis Agraria
Upeti (pajak tanah dan hasil bumf)
Rakyat tidak memiliki kontrol atas tanah; kemiskinan; konflik horizontal dan vertikal Rakyat tidak memiliki kontrol atas tanah; kemiskinan: konflik horizontal (adu domba) dan vertikal Rakyat tidak
Kolonialism Tanah milik negara dan atau dikuasai perusahaan swasta
Tanam paksa; pajak tanah Perkebunan
Orde Lama
Nasionalisa si perusahaan asing:
Tanah dikuasai secara individual
Land reform
Orde Baru
Reformasi/ Transisi demokrasi
Tanah dikuasai oleh negara dan atau perusahaan swasta
HPH, PMA,FMDN, PIR, HTI, dll.
Tanah dikuasai oleh negara dan atau perusahaan swasta
HPH, PMA/PMDN, PIR, HTI, dll.
memiliki kontrol atas tanah; kemiskinan; Konflik horizontal
Isu Utama
Gerakan Petani
Eksploitasi petani dan kooptasi otoritas tradisional
Kolektif tradisional, radikal dan lokal.
Tidak ada berubahan yang berarti terhadap kesejahtera an petani
Eksploitasi petani dan kooptasi otoritas tradisional
Kolektif tradisional, radikal dan lokal.
Tidak ada perubahan yang berarti terhadap Kesejahtera an petani
Anti kolonialisme; Land reform
Organisasi formal bentukan Partai Politik (nasional); Kolektif tradisional dan lokal. Kolektif tradisional dan lokal.
Tidak ada perubahan yang berarti terhadap kesejahteraan petani
Rakyat tidak
Kemiskinan struktural; kontrol atas tanah; Pengakuan Kemiskinan; hak atas tanah memiliki
Konflik vertikal Rakyat tidak Memiliki kontrol atas tanah;
Kemiskinan Structural; Konflik vertikal
Nasib Rakyat Petani
Kemiskinan Struktural; Pengakuan hak atas tanah; Marginalisasi; Diskriminasi
Kolektif tradisional dan lokal; Organisasi gerakan moderen (nasional)
Tidak ada perubahan yang berarti terhadap kesejahteraan petani Tidak ada perubahan yang berarti terhadap Kesejahteraan petani
Peran lembaga negara dalam posisinya secara politik harus konsisten dengan terbukanya peluang-peluang politik bagi partisipasi para pelaku strategis elemen subyek agraria baik dari masyarakat petani maupun dari perusahaan. Partisipasi politik para pelaku strategis dalam ranah institusi negara harus bisa berjalan mengarah pada hubungan simbiosis dalam merekonstruksi sifat-sifat struktur signifikasi, struktur dominasi dan struktur legitimasi. Struktur signifikasi agraria diwujudkan melalui praktek komunikasi dialogis, struktur dominasi sumberdaya otoritatif (politik) dan alokatif (ekonomi) agraria diwujudkan melalui praktek kekuasaan, dan struktur legitimasi agraria diwujudkan melalui kebijakan agraria.
138
Semua gerakan agraria yang terjadi di Ternate dalam setiap episode kekuasaan rezim dengan jelas tidak menunjukkan kapasitasnya dalam merubah sifat-sifat struktural SSA sesuai persyaratan di atas. Persoalan pertanahan dan gerakan-gerakan agraria nampaknya bukan hanya menyangkut persoalan lokal melainkan merupakan persoalan nasional bahkan global. Oleh karena itu, persoalan petani dan gerakan agraria di Ternate paling tidak secara historis dalam bebeberapa hal dapat ditarik dalam skala persoalan dan dalam ruang yang lebih luas, yakni pada gerakan agraria tingkat nasional. SSA pada masa feodalisme dalam potret historis di Ternate tidak mencengkeram kehidupan petani sebagaimana daerah kesultanan lainnya di Indonesia dimana tanah pertanian dIkuasai oleh Sultan, para bangsawan dan para pemuka adat. Bahkan rakyat sewaktu-waktu dapat dimobilisir harta kekayaan dan tenaganya untuk kepentingan para penguasa. Semakin banyak lapisan kekuasaan supra lokal maka semakin besar (berlipat) pula beban rakyat yang harus ditanggung untuk memenuhi kepentingan penguasa. Semakin kuatnya hubungan antara otoritas tradisional lokal dengan otoritas supra lokal, maka semakin lebar pula ruang pemisah SSA dan gerakan petani semakin sulit untuk merubahnya. Kondisi di Ternate menunjukkan sebaliknya, Sultan, para bangsawan dan para pemuka adat mengatur dan mendistribusikan hak penguasaan dan pemilikan atas tanah berdasarkan hokum adat setempat kepada seluruh masyarakat petani di setiap kampong (Soa) sehingga pemanfaatan atas sumber-sumber agrarian (tanah) menjadi terbagi habis secara merata pada seluruh lapisan masyarakat petani dalam masing-masing wilayah adatnya (Soa). Meskipun demikian, menghadapi politik dan hukum agraria yang begitu hebat pada masa kolonial, masyarakat tidak selalu bersikap adaptif terhadap keberlakuan SSA dominan dan bahkan bersikap reaktif melawan. Mereka secara terns menerus melakukan perlawanan melalui ideologi tandingan melawan dominasi kolonialisme dan kapitalisme di pedesaan. Menurut Sartono (1984) terdapat empat unsur ideologis dalam setiap pemberontakan kaum petani, yaitu millerianisme (ajaran akan datangnya jaman keemasan), mesianisme (kepercayaan kepada ratu adil), nativisme (gerakan kembali ke abad kuno) dan perang suci (ajaran untuk berjihad).
139
Pemberontakan petani atas dasar perang suci tidak saja terjadi di Jawa, terkait dengan jumlah penduduk yang memeluk agama Islam dan banyaknya penjajah yang beragama lain. Peristiwa perlawanan masyarakat Ternate mengusir Portugis dan Belanda misalnya merupakan salah satu contoh perlawanan masyarakat atas dasar ideologi agama yang didengungkan sebagai perang melawan kaum kafir. Di Ternate nampaknya perlawanan terhadap kolonial lebih karena dorongan ideologi nativisme, yakni kembalinya tata kehidupan masyarakat berdasarkan sistem adat yang telah lama dikoyak-koyak oleh spirit dan praktek kolonialisme dan kapitalisme agraria. Setelah kemerdekaan, eksistensi petani menjadi sangat penting artinya bagi keberlangsungan hidup masyarakat karena peranannya sebagai penyokong ekonomi dan kemandirian bangsa di bidang pangan maupun sebagai lumbung suara dalam setiap momen pesta demokrasi (pemilu). Meskipun demikian, di era Orde Lama, para petani masih tetap tidak memiliki akses dan kontrol yang berarti terhadap penguasaan dan pemilikan atas tanah. Gerakan petani berhasil dilumpuhkan, karena terjebak pada ideologi kelas yang dikembangkan oleh partai politik dan petani berhasil menjadi instrumen mobilisasi untuk kepentingan partai. Kondisi tersebut terus terjadi hingga pada masa Orde Baru kondisi petani semakin tertekan, sumber daya tanah sebagai tumpuan kehidupan utama masyarakat petani banyak yang diambilalih/ dibebaskan oleh para penguasa negara dengan dalih untuk kepentingan "pembangunan" sebagaimana yang dialami oleh masyarakat Tafure Ternate saat ini. Proses pengambil-alihan tanah masyarakat (adat) untuk kepentingan usaha perkebunan para pemodal asing sudah terjadi pada kolonial Portugis, Belanda hingga Jepang. Pemindahan penguasaan atas tanah menjadi lebih hebat pada era “developmentalisme” dibawah rezim Orde Baru hingga era reformasi saat ini.
140
PENUTUP KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
Gerakan petani Tafure Ternate yang tergabung dalam AMPKB (Aliansi Masyarakat Peduli Korban Bandara) lahir pasca runtuhnya Orde Baru. Terbukanya katup demokrasi dan kebebasan menyuarakan berbagai tuntutan kepentingan merupakan kondisi yang mendukung bagi bangkitnya masyarakat petani untuk mengorganisir diri mlakukan gerakan sosial politik. Faktor penyebab munculnya gerakan sosial masyarakat petani Tafure adalah karena berbagai potensi kerugian
yang dialami masyarakat sehingga melahirkan gerakan sosial yaitu hilangnya tanah pertanian, hilangnya kapling rumah, hilangnya akses ke tanah hutan, hilangnya hak atas tanah adat, hilangnya rumah atau tempat tinggal, hilangnya
sumber
mata
pencaharian/pendapatan,
hilangnya
lahan
perkebunan, pemakaman, dampak kebisingan, polusi udara, dll. Fenomena gerakan petani Tafure Ternate disebabkan oleh: Pertama, kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kondisi ekonomi yang terbatas disebabkan hilangnya penghasilan dan mata pencaharian mereka yang mayoritas sebagai petani. Ketidakmampuan itu menyebabkan masyarakat tidak dapat mengakses pendidikan yang lebih tinggi, kesehatan, pemukiman yang layak, dan untuk mempunyai alternatif usaha lain selain bekerja sebagai buruh bangunan, supir angkutan, PKL, dll. Keadaan ekonomi yang kurang menimbulkan pola sosial di masyarakat khususnya kaum perempuan menjadi “berhutang”, adanya pola tersebut menunjukkan masyarakat memang sangat tergantung aktivitas pertanian yang selama ini menyokong kehidupan mereka, namun kini mereka kehilangan semua itu. Kedua, ketika krisis melanda Indonesia, kebutuhan petani Tafure akan tanah pertanian semakin tinggi akibat hilang atau menyempitnya kesempatan-kesempatan kerja lain di perkotaan. Sebelum krisis, kadang-kadang persoalan kebutuhan akan tanah ini sedikit teredam, karena kesempatan kerja dan peluang berusaha di kota sebagai pekerjaan sampingan selain bertani dapat dijadikan pengganti atas kehilangan atau makin kecilnya kesempatan kerja di desa mereka.
Proses terbentuknya gerakan sosial petani di Tafure didasarkan pada persamaan nasib dan keinginan untuk melakukan perubahan. Dalam ranah ini manajemen organisasi belum sepenuhnya berjalan dengan baik seperti pengarsipan, keuangan, dan pembagian tugas. Keberadaan organisasi gerakan ini dari terbentuknya sampai perkembangan selanjutnya tidak lepas dari keterlibatan kelompok pendamping non petani, diantaranya dari masyarakat adat Kesultanan Ternate umunya, LKBH UMMU dan kelompok mahasiswa (SAMURAI dan HMI). Kelebihan kedua kelompok yang disebutkan terakhir adalah mempunyai jaringan yang kuat sehingga mempermudah mereka dalam menjalankan gerakan protes (ke pihak-pihak terkait) dan penyelesaian kasus, selain itu mereka mempunyai militansi perjuangan yang diperlukan. Model atau tipe gerakan sosial yang dilakukan masyarakat petani Tafure dapat dikategorikan ke dalam tipe antara neo-klasik menuju gerakan sosial baru. Selanjutnya dari sisi efektifitas, dalam jangka pendek organisasi gerakan petani belum mendapat hasil yang maksimal. Tuntutannya atas pengembalian hak tanah adat menemui kendala yaitu lemahnya posisi petani dalam segi bukti hak kepemilikan tanah, maupun perpecahan dalam struktur internal gerakan itu sendiri. Meskipun demikian derajat radikalisme gerakan semakin mengalami peningkatan ketika persoalan sengketa lahan tersebut digiring ke isyu-isyu tuntutan pengakuan dan perlindungan hak-hak atas tanah adat sebagai implikasi dari transformasi ideologi gerakan dari “petani” menjadi “masyarakat adat”. Dinamika gerakan petani dari setiap masa menunjukkan perjalanan yang hampir senada. Pada masa Soeharto, pemerintah melakukan tekanan yang sangat kuat terhadap munculnya gerakan perlawanan petani. Tindakan ini menghambat perjuangan petani dalam menuntut hak kepemilikan atas tanahnya yang diambil alih negara sehingga setiap organisasi yang dibentuk di tingkat lokal dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap negara. Transformasi ideologi dan isyu dari tuntutan ganti menjadi gerakan kultural (pengakuan hak ulayat) ini ternyata mampuh mensikapi persoalan struktural yang dialami petani. Meskipun demikian, hingga saat
ini kondisi nasib petani Tafure belum juga berubah. Ini juga merupakan fenomena umum yang berlaku bagi setiap gerakan perlawanan petani di negeri ini, dimana masih banyak gerakan petani yang hasilnya masih tetap mengambang.
142
Saran
Gerakan petani merupakan bagian dari gerakan sosial. Seiring waktu tipologi gerakan petani mengalami perubahan corak perjuangan. Awal mula gerakan perlawanan bersifat insidental, tidak terorganisir, tidak sistematis, individual, dengan derajat radikalisme yang tidak menimbulkan akibat-akibat revolusioner. Selanjutnya gerakan perlawanan mulai menemukan jati dirinya untuk bergerak secara terorganisir, kolektif dan mempunyai visi dan misi yang mampu membawa perubahan atas nasib mereka, termasuk perubahan sikap kebijakan pihak yang berkuasa. Dari aspek ini; Kepada kelompok gerakan petani penulis mengharapkan militansi yang dibangun bukan saja terbentuk karena perjuangan pemenuhan tuntutan pada pihak Pemda atau pengelola bandara tapi lebih dari itu militansi untuk pemberdayaan anggota gerakan tentang kemandirian organisasi secara bertahap dan menjadikan wadah gerakan sebagai sarana pendidikan politik unruk mengawal aspirasi mereka, demokratisasi, pendidikan, dan partisipasi politik untuk mewujudkan civil society di level desa. Hal pertama, kemandirian ekonomi dapat dilakukan dengan membangun usaha produktif seperti home industry, usaha simpan pinjam yang bekerjasama dengan pemerintah maupun LSM. Hal kedua dilakukan dengan upaya melibatkan partisipasi anggota dalam mekanisme demokratisasi di tingkat desa, dan membuka diri terhadap peran lembaga tradisional (kesultanan) terutama dalam fungsinya di level desa (Soa) yang bukan hanya menggiring massa petani yang nota bene masyarakat adat untuk dimobilisasi secara politis ketika tiba momen Pemilu. Fungsi dan peran lembaga kesultanan dan pranata lembaga adat lainnya mestinya: 1) sebagai representasi kelompok kepentingan di masyarakat yang mengartikulasikan kepentingan masyarakat petani; 2) kelompok mediasi antara pemerintah dan masyarakat untuk menggolkan tuntutan, mengontrol kinerja pemerintah, dan mendorong kebijakan agar sampai ke masyarakat petani; 3) melakukan pengkaderan politik dan rekrutmen untuk membina kader pemimpin yang berkualitas yang berasal dari kalangan masyarakat petani sehingga mereka memiliki akses yang lebih terhadap penentuan masa depan nasib mereka.
143
Kepada pemerintah, hal yang perlu dilakukan adalah pembaruan politik hukum agraria yang tidak mengundang high social cost, di mana konflik-konflik agraria banyak bermunculan yang dikhawatirkan sebagai bibit persemaian disintegrasi bangsa. Sudah saatnya pembangunan agraria mempunyai keberpihakan kepada rakyat kecil, dengan melakukan pemerataan penguasaan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan tanah dan kekayaan alam untuk pembangunan sosial. Pemerintah perlu menciptakan dan mendukung program pengembangan ekonomi untuk masyarakat termarginal yaitu masyarakat adat yang merasa kehilangan nilai-nilai yang dulu mereka miliki dan nilai-nilai harapan, termasuk memperhatikan dan memperbaiki kondisi sosial ekonominya. Pemerintah daerah dalam konteks otonomi daerah seharusnya memberikan kompensasi atas lahan yang disengketakan berupa pembayaran ganti rugi atas tanah yang wajar serta memberi insentif permodalan sehingga masyarakat petani dapat hidup mandiri melalui jenis diversifikasi usaha produktif non pertanian lainnya.
144
DAFTAR PUSTAKA
Araf, Al & Puryadi Aman. 2002. Perebutan Tanah. Lappera. Yogyakarta. Afrizal, MA. 2006. Sosiologi Konflik Agraria. Andalas University Press. Alting, Husen. 2006. Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat Atas Tanah di Maluku Utara. Disertasi Univ. Brawijaya, Malang. Andi, Rusli Atjo, 1996. Kamus Ternate Indonesia. Ambon. Ashari, Masyhud. 2008. Laporan Hasil Penelitian: Status Tanah-tanah Kesultanan Ternate di Provinsi Mluku Utara. DPPM-UII, Yogyakarta. Budiman, A. 1995. Teori-Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia. Jakarta. Babie, E. 2004. The Practies Of Social Research, Wadsworth, Belmonth Bakri, Muhammad. 2007. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara. Citra Media Hukum, Jakarta. Harper, Charles L. 1989. Exploring Social Change. New Jersey: Prentice Hall. Clammer, John. 2003. Neo-Marxisme Antropologi. Sadasiva. Yogyakarta. Djafaar, Irza Arnyta. 2007. Jejak Portugis di Maluku Utara, Ombak, Yogyakarta. Fauzi, Noer. (editor). 2005. Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Resist Book, Yogyakarta. ……….., Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Insist Press, Yogyakarta. ……….., (penyunting). 1997. Tanah dan Pembangunan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Fakih, Mansour, 1998. Petani dan Penguasa. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. ............... 1995. Tanah, Rakyat dan Demokrasi. Forum LSM. Yogyakarta. Geerzt, C. 1976. Involusi Pertanian “Perubahan Ekologis Pertanian Di Indonesia. Terdj. IPB, Bogor. Gunanegara, SH, Dr. 2008. Rakyat & Negara dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. PT. Tatanusa, Jakarta. Harper, Charles L. 1989. Exploring Social Change. New Jersey: Prentice Hall. Harsoyo, 2010. Involusi Gerakan Agraria dan Nasib Petani. Disertasi IPB, Bogor.
Jamal, Erizal. Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan Pada Komunitas Lokal http://www.psedeptan.go.id/hasil penelitian struktur dan dinamika.htm Kartodirdjo, S. 1984. Pemberontakan Petani Banten. Pustaka Jaya, Jakarta. Kartodirdjo, S dan Suryo J., 1991, Sejarah perkebunan di Indonesia, Aditya media, Jogjakarta. Klandermans. Bert. 1989. Social Movements and Resource Mobilization: The European and the American Approach. In International Journal of Mass Emengencies and Disaster Vol.4. Lauer, Robert H. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Laclau, Ernesto & Mouffe, Chantal, 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis. Resist Book, Yogyakarta. Lofland, John. 2003. Protes: Terdj. Insist Press, Yogyakarta. Maleong, Lexi J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung, Penerbit Remaja Rosda Karya. Maliki, Zainudin. 1999. Penaklukan Negara Atas Rakyat. Gadjah Mada University Press. Mahardika, Timur. 2000. Gerakan Massa. Lappera, Yogyakarta. Mirsel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial. Resist Book, Yogyakarta. Nader, L. Dan Todd, H.F, 1978. The Disputing Procces Law in ten Societies. Colombia University Press. New York. Nirwana, Irwan. 2003. Landreform di Desa. Read Book, Yogyakarta. Ngadiah, MA. Dr. 2003. Konflik Pembangunaan dan Gerakan Sosial Politik di Papua. Pustaka Raja, Yogyakarta. Putra, Fadillah, dkk. (2006), Gerakan Sosial. Averroes Press. Purwandari, Heru, 2006. Perlawanan Tersamar Organisasi Petani. Thesis IPB, Bogor. Puryadi, Awan & Al Araf. 2002. Perebutan Tanah. Lappera, Yogyakarta. Roxborough, 1986, Teori-teori Keterbelakangan, LP3ES, Jakarta. Rahardjo, Satjipto. 2005. (Makalah). Hukum Adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lokakarya Nasional Inventarisasi Masyarakat Adat, Kerjasama Mahkamah Konstitusi, Komnas HAM, Depdagri, 4-6 Juni 2005, Jakarta. Ritzer George, 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Rajawali, Jakarta.
146
Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada. .............., 1994. The Sociology of Social Change. Oxford: Blackwell Publishers. Sihombing. 2005. Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia. Toko Gunung Agung. Jakarta. Sumardjono, Maria S.W. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Suhendar, Endang, dkk. (penyunting). 2002. Menuju Yayasan Akatiga Bandung..
Keadilan Agraria.
Suharko, Ph. D.2006. Gerakan Sosial. Averroes Press, Malang. Simarmata, Rikardo. 2002. Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah Oleh Negara. Insist Press, Yogyakarta. Silaen, Victor. 2006. Gerakan Sosial Baru. Ire Press, Yogyakarta. Sodiki, Achmad. 1999. Politik Hukum Agraria; Univikasi ataukah Pluralisme Hukum. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Malang. Suhendar, Endang dan Winarni, Bud, Yohana. 1998. Petani dan Konflik Agrari. Yayasan Akatiga, Bandung. Stake, R., E., 1995, The Art of Case Study Research, Sage Publication Saifudin, Fedyani, Achmad. 1986. Konflik dan Integrasi. CV. Rajawali, Jakarta. Soelarto, B. (tanpa tahun). Sekelumit Monografi Daerah Ternate. Penerbit, Departemen Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia. Stake, R., E. 1995. The Art of Case Study Research, Sage Publication. Sihombing. Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia. Toko Gunung. Jakarta Sumardjono, S.W. Maria, Dr. 2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kompas, Jakarta. Smelser. Niel. 1962. Theory of Collective Behavior. New York: Free Press, Collier-Macmillan Limited, London. Triwibowo, Darmawan, (editor). 2006. Gerakan Sosial: Wahana Civil Society bagi Demokratisasi. LP3ES Jakarta. Tjondronegoro, S. M. P. dan Wiradi, Gunawan, penyunting. 2008. Dua Abad Penguasaan Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. YOI. Jakarta. Untoro dan Masruschah. 1995. (editor) Tanah Rakyat dan Demokrasi. Yogyakarta. Forum LSM – LPSM DIY.
147
Wertheim, W.F. 1999, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Studi Perubahan Sosial. Yogjakarta, Tiara Wacana. Wiradi, G. 2001. Tonggak-Tonggak perjalanan Kebijakan Agraria di Indonesia. Lappera, Jogjakarta. Wolf. Eric R. 1966. Petani “Suatu Tinjauan Antropologis” Terdj., YIIS, Jakarta. Wahyudi, Dr. 2005. Formasi dan Struktur Gerakan Sosial Petani. UMM Press, Malang. ............., 2004. Perang Petani. Insist Press, Yogyakarta. Wahono, Francis et al. 2003. Gelombang Perlawanan Rakyat. Insist Press, Yogyakarta. Willard, Hanna dan Des Alwi. 1996. Ternate dan Tidore: Masa Lalu Penuh Gejolak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Zakaria, R. Yando & Loumela Anu, (editor). 2002. Berebut Tanah. Insist Press, Yogyakarta.
148
Lampiran: 1. Matriks Kebutuhan Data: Konsep, Panduan Wawancara, Metode dan Sumber Data. No. 1.
Kebutuhan Data : Konsep Sejarah Gerakan Petani
Rincian Pertanyaan - Tahun dan teampat deklarasi. - Aktor Pemrakarsa (petani, non petani). - Sebab-sebab munculnya gerakan. - Sumberdaya, mobilisasi, materi & non materi. - Faktor pendukung & penghambat gerakan. - Perkembangan jaringan dengan organisasi non petani.
Cara pengambilan data - Wawancara mendalam penelusuran dokumen sejarah pendirian organisasi. - Sumber data: para aktor, pelaku sejarah yang terlibat dalam perkembangan gerakan petani,
2.
Tujuan gerakan
- Apa saja tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang ingin dicapai. - Bagaimana tujuan itu dirumuskan - Apa alasan yang mendasari perumusan tujuan. - Apakah pernah terjadi perubahan rumusan tujuan. - Siapa saja aktor utama yang terlibat dalam setiap perumusan tujuan. - Apa saja faktor pendukung dan penghambatnya. - Posisi-posisi sosial apa saja yang akan dan sudah dicapai. - Sumberdaya ekonomi apa saja yang akan dan sudah dicapai.
- Wawancara: mendalam penelusuran dokumen sejarah pendirian organisasi. - Sumber data: para aktor, pelaku gerakan petani,
3.
Kemandirian gerakan
- Siapa saja yang menentukan dalam pengambilan keputusan - Adakah pihak lain yang berperan dalam pengambilan keputusan. - Siapa saja konstituen yang berperan dalam gerakan. - Dari mana saja dana diperoleh untuk menunjang aktivitas gerakan.
Metode: Wawancara, dokumentasi. Sumber data: - Utama: pengurus organisasi petani. - Pendukung: Ornop, organisasi petani, Mahasiswa
4.
Konflik & Perpecahan dalam gerakan.
- Apakah pernah terjadi konflik dalam gerakan. - Siapa saja yang terlibat dalam konflik. - Bagaimana konflik tersebut berlangsung.
Metode: Wawancara, dokumentasi. Sumber data: - Utama: pengurus organisasi petani. - Pendukung: Ornop,
149
organisasi petani, Mahasiswa 5.
Perubahan Identitas Gerakan
- Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan identitas gerakan. - Apakah terjadi perubahan jumlah anggota gerakan. - Semangat yang diusung. - Ideologi utama. - Aktor-aktor penting. - Respon terhadap pemerintah. - Isu-isu yang didukung. - Arena konflik. - Tipe gerakan. - Derajat radikalisme. - Dampak gerakan.
Metode: Wawancara, dokumentasi. Sumber data: - Utama: pengurus organisasi petani. - Pendukung: Ornop, organisasi petani, Mahasiswa
150
Lampiran: 2. Panduan Pertanyaan Wawancara I. Faktor Penyebab dan Proses Gerakan Sosial Petani 1. Apa yang diangap benar itu digunakan untuk menentang realitas. Termasuk dalam pengertian kepercayaan adalah: ideologi, doktrin, pandangan, harapan, kerangka berpikir, wawasan dan perspektif. - Realitas apa yang mereka tuntut/pertentangkan - Siapa yang dianggap lawan dan siapa yang diteladani - Perubahan sosial secara total atau parsial - Pada tingkat individual atau supra individual (politik, ekonomi & budaya). 2. Bagaimana cara orang-orang yang mempunyai “pandangan” yang sama, yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. - Bagaimana orang-orang diorganisasikan/cara-cara mengorganisasikan. - Bagaimana proses pengambilan keputusan (sentralistik/desentralistik) - Adakah pembagian kerja didalam organisasi gerakan - Kriteria apa yang digunakan untuk menentukan orang-orang yang ditangani - Cara memelihara agar orang-orang tetap melaksanakan tugasnya. - Cara-cara memperoleh dana bagi gerakannya - Organisasi bersifat sementara atau permanen 3 Sebab-sebab atau variabel-variabel apa yang berpengaruh terhadap gerakan sosial. - Bagaimana dan kapan gerakan sosial dimulai/dibentuk - Mengapa gerakan itu muncul. Secara teoritik ada 16 variabel yang berpengaruh, yaitu : a. Perubahan dan Ketimpangan Sosial b. Kesempatan politik c. Campur tangan negara terhadap kehidupan warga d. Kemakmuran (yang menimbulkan deprivasi ekonomi) e. Konsentrasi geografis dan Identitas kolektif f. Persepsi-persepsi ketidakadilan g. Solidaritas antar kelompok h. Krisis kekuasaan i. Melemahnya kontrol kelompok yang dominan j. Adanya pemimpin k. Jaringan komunikasi l. Integrasi jaringan diantara para pembentuk potensial m. Adanya situasi yang memudahkan para pembentuk potensial n. Kemampuan memprsatukan II. Proses Gerakan Perlawanan Rakyat serta isu-isu yang diusung 1. Bagaimana keikutsertaan keanggotaan gerakan dalam arti yang paling lemah, sampai yang paling kuat. - Mengapa orang ikut dalam gerakan - Sampai seberapa jauh keterlibatannya dalam organisasi - Siapa yang menjadi pendukung gerakan - Bagaimana menyosialisaikan gerakan kepada pengikutnya. 2. Hubungan yang terjalin diantara gerakan-gerakan perlawanan rakyat: - Siapa yang berinisiatif membangun gerakan - Karakteristik kelompok seperti apa yang dapat menjadi anggota gerakan
151
- Bentuk hubungan antara gerakan perlawanan rakyat (kerjasama, anggota) - Keuntungan yang diperoleh diantara organisasi gerakan dari hubungan yang terbina - Pola hubungan yang dikembangkan dan alasan mengapa pola tersebut yang dipilih - Adakah potensi konflik yang kemungkinannya akan muncul dari pola hubungan antara gerakan 3. Sejarah pembentukan afiliasi dan bentuk ”sumbangan” dari setiap organisasi terafiliasi - Siapa yang berinisiatif - Bagaimana profil dari masing-masing organisasi - “sumbangan” berbentuk materil - “sumbangan” berbentuk non materil III. Perubahan identitas gerakan bila dikaitkan dengan Solusi Permasalahan Petani 1. Strategi apa yang digunakan untuk melakukan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan gerakan. - Usaha-usaha apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan gerakan - Apa tujuan utama dari setiap strategi yang digunakan - Dalam mencapai tujuan itu, lebih menekankan pada perubahan institusiinstitusi sosial ataukah dengan mengubah identitas gerakan. - Strategi yang digunakan bersifat terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. - Menggunakan taktik serangan frontal atau pengkisan - ”Pendirian” mereka dinyatakan secara halus melalui aksi protes atau kekerasan - Mekanisme taktik yang digunakan terhadap kelompok sasaran persuasi, negosiasi atau paksaan. 2. Bagaimana tanggapan atau reaksi kalangan luar terhadap perubahan identitas gerakan. - Reaksi penguasa (pemerintah) - Reaksi elit lokal (tokoh adat) - Reaksi media - Reaksi sesama antara anggota gerakan (petani dan non petani).
152
Lampiran: 3. Kuesioner Terbuka
Kuesioner No:................... A 1. 2. 3.
4.
5.
6. 7.
B 8. 9. 10. 11. C 12. 13.
14. 15. 16. D 17.
18. 19. 20. 21.
DATA DIRI Nama dan Alamat Organisasi Waktu didirikan : Tgl. Bln. Tahun. Legal Status formal terdafatar di pemerintah Informal Keterangan lain: Bentuk organisasi lainnya, sebutkan : 1. jaringan 2. asosiasi 3. federasi Juamlah anggota : Organisasi Dusun Desa Jumlah anggota Perorangan Rumah Tangga Bagaimana ciri anggota gerakan (dapat lebih dari satu) Organisasi Pok tani dalam konflik Organisasi Pok tani kegiata produksi/ekonomi Organisasi Pok tani perempuan Lain-lain Keterangan : ............. PROSES PEMBENTUKAN Mengapa organisasi ini didirikan, apa latar belakangnya Apakah ada peran pendamping dalam proses pembentukan Siapa pendamping tersebut Kendala yang dihadapi dalam proses pembentukan TUJUAN ORGANISASI Apa tujuan awal pembentukan orgaanisasi ini Apakah ada perubahan tujuan semenjak organisasi ini dibentuk & sebab perubahan: Tidak ada perubahan Ada perubahan Kapan perubahan tersebut terjadi: Apa peruabahan tujuan tersebut: Mengapa terjadi perubahan tujuan: KEGIATAN ORGANISASI Apa sajakah kegiatan organisasi saat ini: Teknologi produksi Kesehatan masyarakat Permodalan/simpan-pinjam Pendidikan hukum & politik Pemasaran produk Advokasi kepentingan petani Pendidikan & Pelatihan Mempengaruhi kebijakan Aksi massa untuk hak petani Lain-lain Keterangan : Apakah terjadi perubahan aktivitas gerakan, terangkan Mengapa terjadi perubahan kegiatan Apakah ada bentuk kegiatan yang memperbesar partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam Apakah ada bentuk kegiatan dalam rangka memperkuat hak masyarakat terhadap tanah dan sumber daya alam
Kode
153
E 22. 23. 24. 25. F 26.
27. 28. 29. G 30.
31. 32. 33. H 34. 35. 36. 37.
STRATEGI ORGANSISASI & PERUBAHAN IDENTITAS GERAKAN Strategi apa saja yang dikembangkan untuk mencapai tujuan Perubahan strategi yang terkait dengan perkembangan gerakan petani Kapan terjadi perubahan strategi tersebut Mengapa terjadi perubahan strategi tersebut HUBUNGAN ANTARA ORGANISASI GERAKAN PETANI DENGAN JARINGAN GERAKAN LAINNYA Peran gerakan non petani (lembaga adat) (Bisa lebih dari satu) Manajemen Jejaring Dana Legitimasi Politik Teknologi & Informasi Pendampingan hukum Pendidikan hukum Advokasi kepentingan petani Lain-lain Organisator & Koordinator Keterangan : Apa kewajiban organisasi gerakan lainnya bila bergabung dengan organisasi gerakan petani Apakah kelompok tani mempunyai mekanisme formal untuk menyalurkan aspirasinya Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan di tingkat organisasi petani dan hubungannya dengan afiliasi kelompok lain dalam sebuah gerakan bersama KERJASAMA & NET-WORKING Apakah organisasi gerakan petani mengembangkan jaringan pergerakannya dengan pihak lain ? Ya Tidak Bagaimana bentuk hubungan dengan pihak-pihak tersebut Apa pengaruh jaringan gerakan rakyat lainnya dengan organisasi gerakan petani Apa pengaruh jaringan terhadap aktivitas gerakan petani DAMPAK GERAKAN Apakah ada contoh-contoh nyata dari hasil gerakan ? Prmasalahan yang dihadapi di dalam organisasi petani ? Permasalahan yang dihadapi dari dalam maupun dari luar ? Apa hambatan struktural dan hambatan kultural yang dihadapi ?
154
Lampiran: 4. Panduan Observasi
PANDUAN OBSERVASI A. Petunjuk :
Observasi dilakukan oleh peneliti secara langsung dilokasi kajian, selanjutnya peneliti diharuskan melakukan pencatatan hasil observasinya dengan alat pencatatan manual maupun alat bantu yang dapat merekam serta mencatat kejadian yang berkaitan dengan substansi kajian yang dilakukan. Catatan singkat ditulis dalam lembaran yang kosong dibawah kotak aspek-aspek yang diobservasi, untuk dikembangkan kemudian menjadi laporan.
B. Observasi Partisipasi Hasil Observasi Hari / Tanggal
: : :
Aspek-aspek yang diamati: 1. Kondisi Fisik Responden : a. Kondisi rumah / tempat tinggal b. Perlengkapan rumah tangga yang dimiliki c. Kondisi kesehatan fisik / jasmani d. Kondisi lingkungan 2. Kondisi Ekonomi Responden : a. Ketersediaan Makanan b. Luas kepemilikan lahan pertanian c. Jenis dan jumlah tanaman d. Aktivitas kerja sehari-hari / produktivitas kerja 3. Kondisi Sosial Responden a. Hubungan dengan tetangga b. Hubungan dengan sesama anggota keluarga c. Hubungan dengan aparat pemerintahan 5. Potensi dan Sumber Daya yang dimiliki
155
Lampiran: 5. Panduan Diskusi Kelompok Terfokus
PANDUAN DISKUSI KELOMPOK TERFOKUS (FOCUS GROUP DISCUSSION)
A. Petunjuk :
FGD dilakukan dipimpin oleh peneliti termasuk ketika mengajukan pertanyaan, hasilnya dicatat oleh enumerator. Catatan singkat ditulis dalam ruangan yang kosong dibawah kotak pernyataan kemudian dikembangkan menjadi laporan.
B. Lokasi Wawancara : Hari / Tanggal Status dan jabatan yang hadir Subjek Kajian Tokoh masyarakat Aparat pemerintah Petugas Diskusi Tugas Pemimpin Diskusi Pencatat Diskusi
: : : ....... orang : : :
Nama
Instansi
Tanda Tangan
Aspek-aspek yang didiskusikan: 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi sikap petani terhadap pembangunan proyek tersebut ? 2. Langkah-langkah apa yang dilakukan petani untuk mencapai tujuan yang diinginkan sebagai bentuk reaksi terhadap pembangunan proyek tersebut ? 3. Kondisi yang dirasakan petani selama pembangunan proyek tersebut berlangsung ? 4. Variabel–variabel apa yang berpengaruh terhadap perubahan identitas gerakan ? 5. Bagaimana mengikutsertakan seluruh massa rakyat petani untuk mendukung aksi protes tersebut ? 6. Bagaimana cara atau metoda sebagai bentuk strategi gerakan yang dipakai untuk mencapai tujuan yang diinginkan ? 7. Bagaimana tanggapan atau reaksi pihak luar terhadap gerakan sosial petani tersebut ? 8. Kendala atau hambatan yang dihadapi petani dalam melakukan perlawanan terhadap pembangunan proyek tersebut ?
156
Lampiran: 6. Surat Keterangan Hak Cocatu
157
Lampiran: 7. Peta Lokasi Penelitian
158