PERLAWANAN PETANI TERHADAP KETIDAKADILAN AGRARIA DALAM STIGMA GEROMBOLAN PENGACAU KEAMANAN (Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur)
M. MAWARDI J
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perlawanan Petani Terhadap Ketidakadilan Agraria Dalam Stigma Gerombolan Pengacau Keamanan: Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016
M. Mawardi J NIM.I363110031
RINGKASAN
M. Mawardi J. Disertasi Perlawanan Petani Terhadap Ketidakadilan Agraria Dalam Stigma Gerombolan Pengacau Keamanan : Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI (Ketua), LALA M. KOLOPAKING dan ENDRIATMO SOETARTO (Anggota). Perlawanan komunitas Talangsari/tragedi Talangsari adalah sebuah perlawanan yang menuntut adanya keadilan agraria pada masa kekuasaan rezim Orde Baru, akan tetapi perlawanan tersebut distigma sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan yang ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain. Stigma negatif ini sebagai bentuk upaya rezim Orde Baru dalam meminggirkan peran Islam politik dalam pentas politik nasional. Pada masa reformasi telah dilakukan upaya untuk menghilangkan stigma negatif tersebut, akan tetapi sampai saat ini stigma sebagai komunitas pengacau keamanan tetap disandangnya. Masalahnya adalah : Mengapa di dalam struktur politik yang terbuka di era demokratisasi saat ini stigmatisasi terhadap perlawanan komunitas Talangsari tidak mampu dihilangkan secara substansif ?. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan : (1) kondisi-kondisi hubungan agraria yang menjadi pemicu utama terjadinya perlawanan komunitas Talangsari, (2) saling keterkaitan di antara unsur-unsur yang mendukung dilancarkannya aksi perlawanan komunitas petani Talangsari, (3) menjelaskan proses stigmatisasi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap komunitas Talangsari, (4) Seberapa jauh gerakan kolektif komunitas Warsidi di Talangsari mempunyai kesamaan dengan gerakan kelompok non action mission (kelompok sempalan) lainnya ? Penelitian ini sengaja dilakukan di komunitas Talangsari berdasarkan kreteria tertentu, menggunakan paradigma kritis, dengan desain studi kasus terhadap komunitas Talangsari, sebagai konsekuensinya adalah digunakan metode kualitatif. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam, dokumentasi, observasi dan data sekunder. Sumber data diperoleh dari komunitas Talangsari yang masih hidup dan berdomisili di dusun Talangsari, instansi pemerintah. Prosesdan analisis data mengikuti tahapan reduksi data dan klasifikasi berdasarkan kategori yang dibangun oleh konsep, selanjutnya dibuat hubungan antar konsep. Setelah komunitas petani Talangsari melakukan perlawanan pada tahun 1989 yang memakan korban kurang lebih 246 jiwa, negara membangun (mengkonstruk wacana) bahwa perlawanan yang dilakukan oleh komunitas petani Talangsari adalah gerombolan pengacau keamanan. Gerombolan pengacau keamanan tersebut merupakan bentuk nyata ancaman bahaya laten bagi bangsa Indonesia dari kekuatan kanan (Islam) yang menggunakan ideologi jihad sebagai basis gerakan dengan tujuan menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain. Pelabelan (stigma negatif) terhadap komunitas Talangsari melalui dua cara; pertama pelabelan dengan melakukan penilaian yang dilakukan oleh terhadap perilaku/tindakan sosial yang dianggap menyimpang (devians) dari norma-norma
yang berlaku, sedangkan yang kedua, pelabelan juga dapat dilakukan dengan melakukan intervensi dalam bentuk tindakan. Oleh sebab itu dalam kamus politik rezim Orde Baru, upaya stigmatisasi terhadap kekuatan Islam politik adalah dengan memunculkan kasus melalui program operasi khusus (Opsus). Adapun yang menjadi tujuan rezim Orde Baru adalah agar kekuatan Islam politik tidak muncul dalam pentas politik nasional, Islam hanya sebatas ritual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, adanya ketegangan struktural antara petani dengan otoritas kawasan hutan register 38 Gunung balak, yang merupakan prakondisi utama munculnya perlawanan komunitas petani Talangsari. Kondisi ini dipicu oleh kebijakan pembangunan yang tidak responsif terhadap kepentingan petani. Kedua, adanya aktor supra lokal yang ikut berperan menggerakkan petani untuk melakukan perlawanan, aktor supra lokal yang dimaksud adalah kekuatan di luar komunitas Warsidi tetapi mempunyai agenda lain yang tujuan jangka panjangnya untuk melemahkan posisi Islam politik di pentas politik nasional. Ketiga, adanya pelabelan komunitas petani Talangsari sebagai Gerombolan Pengacau Keamananan yang menggunakan ideologi Islam (Jihad) sebagai basis gerakan yang berhasil melumpuhkan kolektivitas gerakan petani. Keempat, Gerakan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari adalah gerakan yang muncul atas dasar kepentingan ekonomi, yang dilabel sebagai gerakan keagamaan yang menjadikan ideologi jihad sebagai basis gerakan, sedangkan perlawanan komunitas Moro di Filipina adalah gerakan perlawanan yang menuntut kemerdekaan politik (politik Islam) dalam bentuk negara merdeka. Kata kunci : perlawanan, petani, agraria, stigmatisasi
SUMMARY
Mawardi M. J. Dissertation Farmers Resistance Against Agricultural Injustice In a stigma as a Security Disturber Horde: A Study on Talangsari East Lampung community. Under direction of TITIK SUMARTI, LALA M. KOLOPAKING and ENDRIATMO SOETARTO. Talangsari community of resistance/ Talangsari tragedy is the product of New Order political manipulation that spawned a stigma as a Security Disturber Horde who wanted to replace the ideology of Pancasila with other ideology. This negative stigma as a form of attempt of the New Order regime to marginalize the role of political Islam in the national political stage. In the reformation period has made efforts to eliminate the negative stigma, but until now stigma as a security vandals still adheres. The problem is: Why in the political structure that is open in the current democratic era stigmatization of Talangsari community resistance not able to be removed substantively?. The purpose of this research was : (1) the conditions of agrarian relations which became the principal cause of Talangsari community resistance, (2) the interplay of the elements that support the launching of resistance action of Talangsari farmer community (3) describes the process of stigmatization carried out by New Order regime against Talangsari community, (4) How far the resistance movement farmers in Talangsari have in common with the other groups (non action mission) This research was deliberately done in the Talangsari community based on certain criteria, using the critical paradigm, with the design of case study of Talangsari community, as a consequence is used qualitative method. Data were collected by deep interview, documentation, observation and secondary data. Source of data obtained from Talangsari community that is still alive and living in the hamlet Talangsari, government agencies. Process and analysis of data followed the phases of data reduction and classification based category which constructed by the concept, and then made the relationship between concepts. To cripple resistance movement farmer at Talangsari East Lampung, the New Order that build discoursece resistance farming community is mob meddler security. The security distumber horder was tangible form threat latent for Indonesian using Islamic ideolgy movement as the basis for the porpuse replace ideology of Pancasila to other ideology. Labeling against community Talangsari East Lampung through two ways: first, labeling by conducting assessment in doing individual/groups considered deviate from norms prevailing, second, labeling could also be done to intervance of action. It is as praticed by the New Order regime is against the forces of political Islamic, namly with eliciting cases, cases Talangsari Each Lampung of them. The porpuse social engenering this proves that New Order regime, Islamic political do not want existance the state, Islam ic limeted only ritual without the interfere with national and state affairs.
The result showed that, first, the structural tension between farmers and authorities of forest area Register 38 Gunung Balak, which is the main precondition emergence of resistance of Talangsari farmer community. This condition is triggered by development policy that is not responsive to the interest of farmer. Second, the local supraactor who participate mobilize farmer to resist, local actor in question is the intelligence of New Order regime which his longterm goal to weaken the position of political Islam in the national political stage. Third, the labeling of the Talangsari farmer community as a Security Disturber Horde which uses the ideology of Islam (Jihad) as the base move who succeessful immobilise colective movement farmers. Fourth, Resistance movement Warsidi community in Talangsari is a appearing on the basis of the economic (agrarian) interest who was tagged as religiuos that made Islam ideologi (jihad) as the base movement, while resistance Moro community in the Phillippines is resistance movement independence politicsin the form of independence (Islamic state). Keywords: resistance, farmer, agrarian, stigmatization
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2016 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipannya hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan lain suatu masalah; Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERLAWANAN PETANI TERHADAP KETIDAKADILAN AGRARIA DALAM STIGMA GEROMBOLAN PENGACAU KEAMANAN (Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur)
M. MAWARDI J
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA. Dr. Sofyan Sjaf, M. Si. Penguji pada Ujian Terbuka
: Dr. Sofyan Sjaf, M. Si. Prof. Dr. HM. Bahri Ghozali, MA.
Judul Disertasi
: PERLAWANAN PETANI TERHADAP KETIDAKADILAN AGRARIA DALAM STIGMA GEROMBOLAN PENGACAU KEAMANAN (Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur)
Nama NPM
: M. Mawardi J : I363110031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Titik Sumarti, MS. Ketua
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Anggota
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD)
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian..............................
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Lulus.......................
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkat rakmat dan karunia-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 sampai Desember 2014. Proses penelitian ini relatif berlangsung lama dan merupakan penelitian kasus perlawanan petani yang terjadi pada tahun 1989 yang menggunakan pendekatan kritis. Oleh sebab ituuntuk mendapatkan data yang komprehensif dalam perpektif emik diperlukan waktu relatif lama. Pada kesempatan ini ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan pertama-tama kepada komisi pembimbing Dr. Ir. Titik Sumarti, MS., sebagai ketua dan masing-masing kepada Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS. dan Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai anggota atas bimbingannya sejak menyusun proposal hingga selesainya penyusunan disertasi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada bapak Sukidi mantan Kepala dusun Talangsari III dan bapak Muhadi selaku warga Talangsari yang telah menyediakan tempat tinggal dan membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016
M. Mawardi J
DAFTAR ISI DAFTAR MATRIK DAFTAR TABEL 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Permasalahan Tujuan penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kebaharuan (novelty)
1 1 7 8 8 9 9
2. TINJAUAN PUSTAKA Beberapa Penelitian Perlawanan Petani Beberapa Gerakan Sempalan Non Mainstrem Gerakan Sempalan Radikal Gerakan Sempalan Messianistik Gerakan Sempalan Thaumaturgical Konsep dan Kerangka Teoritik Perlawanan Petani Faktor-faktor Penyebab Perlawanan Petani Teori Tindakan Kolektif Komponen dalam Tindakan Kolektif (Tilly & Smelser) Faktor-faktor Pendukung Tindakan Kolektif Teori Labeling (Penjulukan) Latar Belakang dan Perkembangannya Elemen-elemen Dasar Teori Labeling Kerangka Pemikiran
10 10 14 14 15 16 17 17 20 22 22 25 31 31 35 37
3 Metodologi Penelitian Paradigma Penelitian Pokok dan Konsep Penelitian Lokasi Penelitian Metode Penelitian Pendekatan Utama: Sosiologi Sejarah dan sejarah sosiologi Metode Kasus Studi Riwayat Hidup Individu Riwayat Hidup Tineliti
40 40 41 42 42 43 43 43 44
Riwayat Hidup Peneliti Studi Sejarah Lokal Metode Pengumpulan Data Wawancara Mendalam dan Observasi Dokumentasi Analisa Data
44 45 45 46 46 46
4 Sosio-Historis Lampung dan Kebijakan Agraria Sosio-Historis Lampung Lampung Pada Masa Pra-Kolonial Falsafah Hidup dan Struktur Masyarakat Adat Lampung Sebagai Buffer Zone Jawa Heterogenisitas Masyarakat Lampung Petani dan Struktur Penguasaan Agraria Kebijakan Agraria kolonial Program Transmigrasi Masa Kolonial Pertumbuhan Penduduk Masa Orde Lama Pertumbuhan Penduduk Masa Orde Baru Kebijakan Agraria Register 38 Gunung Balak Lampung Timur Kebijakan Agraria di Register 38 Gunung Balak Masa Kolonial Kebijakan Agraria di Register 38 Gunung Balak Masa Orde Lama
47 47 47 49 50 51 53 53 54 57 58 60 60 61 64
5 Talangsari III: Bertahan dalam Himpitan Stigma Sejarah Dusun Talangsari III Kondisi Demografi Dusun Talangsari III Kehidupan Keagamaan di Dusun Talangsari III Keadaan Sosial-Ekonomi Dusun Talangsari III Struktur Sosial Masyarakat Dusun Talangsari III
70 70 73 76 79 82
6 Perlawanan Komunitas Petani Di Talangsari Kepentingan Ekonomi Dalam Perlawanan petani Pengorganisasian dalam Perlawanan Petani Mobilisasi Sumber Daya dalam Perlawanan Petani Ketegangan Struktural: Komunitas Warsidi dan Aparatus Daerah
85 85 90 95 98
7 Pelabelan (Stigma) Gerombolan Pengacau Keamanan Dalam Perlawanan Petani Penyimpangan Perilaku Komunitas Warsidi di Talangsari Pelabelan Terhadap Penyimpangan Komunitas Warsidi di Talangsari Pelabelan (Stigmatisasi) melalui Kekuasaan oleh Negara Pelabelan (Stigmatisasi) oleh Partai Politik Golongan Karya (Golkar) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Pelabelan (Stigmatisasi) oleh Organisasi Sosial/Keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nahdlatul Ulama (NU) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Komite Nasional pemuda Indonesia (KNPI) Pelabelan (Stigmatisasi) Melalui Propaganda Media Massa Penangkapan Anggota dan Aktor Gerombolan Gerakan Komunitas Moro di Filipina
109 111 113 115 119 120 121 123 124 124 125 127 128 129 132 135
7 Pelumpuhan Gerakan Kolektivitas Perlawanan Petani Terhadap Ketidakadilan Agraria Melalui Rekayasa Pelabelan 137 Pelabelan Gerakan Kolektivitas Petani 138 Ketegangan Struktural 139 Peluang 141 Mobilisasi Motivasi 141 Kontrol Sosial/Represi 142 Temuan Teoritik 144 Sumbangan Tilly dalam Teori Tindakan Kolektif 145 Aksi Kolektif 146 Mobilisasi Sosial 146 8 Simpulan, Saran dan Epilog Simpulan Saran Epilog
148 148 149 150
Daftar Pustaka Riwayat Hidup
154 159
DAFTAR MATRIK 1.
Pokok Penelitian, Unsur Data dan Teknik Pengumpulan Data
41
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. .
Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Tahun 2014 Jenis Kawasan dan Tingkat Kerusakan Hutan di Provinsi Lampung 2010 Jumlah Penduduk Menurut Usia di Dusun Talangsari III Luas Lahan yang Dimiliki Petani di Dusun Talangsari III, Tahun 2013 Sistem Pembagian Hasil Pertanian di Dusun Talangsari III
58 59 73 73 80
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Akhir–akhir ini isu terorisme internasional menjadi kejahatan yang banyak diberitakan media online di seluruh dunia, yakni mencapai 104. 061 kali atau mencapai 78,2 persen dari enam topik (terorisme internasional, perdagangan narkoba, perdagangan manusia, kejahatan siber, penyelundupan manusia, dan penyelundupan senjata) yang masuk dalam kategori kejahatan internasioanal. Media internasional memberikan atensi pada pergerakan kelompok radikal ISIS, Taliban, Bako Haram, Al-Shahab dan gerakan radikalime Islam lainnya, terlebih selepas serangan di Paris bulan November 2015 dan serangan bom Belgia pada bulan Maret 2016 yang mengatasnamakan agama dari Islamic State-ISIS. (Kompas, 24Maret 2016). Pantauan Intelligence Media Management, isu global terorisme ini melibatkan para pemimpin negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Perancis, Israel, Autralia dan Inggris. Donald Trump, kandidat pavorit bagi calon Presiden Amerika Serikat dari partai Republik telah mengubah sasaran serangannya, dari stigmatisasi terhadap emigran Amerika Latin menjadi serangan primer terhadap kaum muslim. Hal ini nampak pada seruan terbarunya melarang kaum muslim masuk ke Amerika Serikat, bahkan bagi warga Amerika Serikat yang beragama Islam yang dilabel sebagai teroris, yang secara tidak langsung telah mengkategorisasikan 1,5 milyar umat Muslim di dunia berpotensi sebagai teroris dan berperilaku radikal. (Kompas, 8 Desember 2015) Padahal terorisme hanyalah isu yang sengaja dikaitkan dengan keyakinan Islam yang benar. Perang melawan teroris merupakan agenda besar Amerika Serikat untuk melanggengkan hegemoninya, teroris dalam pandangan mereka adalah pihak-pihak yang tidak setuju dengan nilai-nilai barat dan menentang Amerika.Mantan presiden Bush mengatakan“Ether you are with us, or you are with terrorist‖, padahal Islam dengan jelas tidak mungkin sejalan dengan nilainilai barat, maka harus dimusuhi dan dilabel sebagai teroris. Sifat setiap ideologi yang berkuasa adalah mempertahankan kekuasaannya, maka ia tidak memberikan ruang apabila ada potensi ideologi lain yang akan merongrongnya. Jika dikorelasikan dengan Indonesia, negeri berpenduduk muslim terbesar (12,7 persen dari populasi penduduk dunia) pastinya dipandang sebagai ancaman serius bagi ideologi kapitalisme pimpinan Amerika apabila ideologi Islam bangkit di negeri ini. Oleh sebab itu perlu dihalangi, bagi individu maupun komunitas Islam yang jelas-jelas memperjuangkan tegaknya ideologi Islam. Salah satunya adalah memberikan stigma sebagai teroris padanya agar umat menjauhinya dan kemudian diharapkan menjahui apa saja yang disuarakannya, misalnya memberi stigma teroris kepada Ba‘asyir (pimpinan Jama‘ah Anshorut Tauhid) karena ia sosok yang begitu lantang menyerukan agar syari‘ah Islam diterapkan secara kafah dalam segala aspek kehidupan. Menurut Huntington (2000) terorisme muncul sebagai implikasi dari benturan dua ideologi utama di dunia (Islam versus Barat). Barat menemukan
2
seteru yang kemudian menjadi permanen dengan adanya kalaborasi Logika Huntington bertitik tolak dari gaya pandang realisme yang memandang politik dunia sebagai perebutan kekuasaan.Mujani (2004) mencoba melacak akar genealogis dari Islam Radikal dalam berbagai sudut pandang yang linier dengan teori Huntington di atas, dalam menganalisis keterkaitan Islam radikal dan demokrasi di Indonesia, keberadaan Islam Radikal bukan fenomena yang genuine lahir di Indonesia, akan tetapi kental dengan pengaruh-pengaruh eksternal dari Timur Tengah dan keberadaan gagasan ―Islamisme‖ yang mereka bawa pun tidak sepenuhnya mencerminkan ke-Indonesiaan. Ada dua hal yang menjadi faktor munculnya radikalisme dan tindakan teror di Indonesia ; Pertama, warisan sejarah umat Islam yang konfliktual dengan rezim, karena ada modus-modus penindasan politik Islam yang terjadi pada beberapa fragmen sejarah, khususnya Orde Baru. Kelompok yang termarjinalkan secara historis tersebut, dengan kesadaran sejarah, mencoba mengembalikan posisi politik Islam melalui instrumen non-negara dan struktural. Dalam konteks global, adanya marjinalisasi politik Islam oleh hegemoni dalam politik internasional (Amerika Serikat) menyebabkan adanya kesadaran untuk mengembalikan daulat politik Islam. Transnasionalisme membawa kesadaran tersebut ke Indonesia dalam bentuk gerakan-gerakan politik Islam. Kedua, fenomena ekonomi-politik. Radikalisme muncul karena ekses kapitalisme yang menciptakan mereka yang tidak memiliki akses pada sumber-sumber modal, yang dalam bahasa ekonomi-politik, pendekatan ini dikenal dengan ―pendekatan kelas‖. Artinya, respons radikalisme pada dasarnya adalah respons kelas untuk melawan hegemoni kapital yang oligarkis dengan negara. Lebih lagi ketika rezim Orde Baru kemudian mengambil alih peran sebagai pemilik sumber daya dan secara represif melakukan subordinasi kepada kelompok-kelompok yang berpotensi menjadi oposisi terhadap sentralisme peran negara. Menurut Hadiz (2004) memberikan analisis terhadap kemunculan gerakangerakan yang dinilai Islam radikal. Orde Baru, dengan perangkat-perangkat birokrasi, baik dalam jenis militer maupun sipil, mentransformasikan diri menjadi rezim otoritarian dengan cara menindas kekuatan-kekuatan yang berpotensi menjadi oposisi. Komunisme dijadikan ideologi terlarang yang berantas sampai keakar-akarnya. Nasionalisme sebagai kekuatan terkuat pasca 1955, rezim otoriter Orde Baru mempersempit ruang geraknya dengan membungkam hak politik tokoh-tokohnya bahkan memenjarakan mereka. Islam menjadi kekuatan tersisa yang tidak dapat dihabisi oleh rezim karena memiliki basis kultural yang sangat kuat. Untuk melakukan subordinasi terhadap kekuatan Islam, lahirlah diskursus mengenai ―Islam Radikal‖. Kasus pertama yang dimunculkan oleh rezim Orde Baru adalah Komando Jihad (pembajakan pesawat Woyla) yang disinyalir sebagai aksi terorisme pertama di Indonesia. Kemudian, lahirlah kasus-kasus lain yang sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik Orde Baru. Di sisi lain, borjuasi yang pada hakikatnya dibangun atas hubungan patrimonial antara negara dan pasar juga melahirkan disparitas dan kekecewaan di akar rumput. Sehingga, basis sosial dari kelompok yang disebut oleh Orde Baru sebagai ―Islam Radikal‖ ini pun lahir dan terkonstruksi oleh realitas politik. Pada
3
titik ini, Hadiz (2004) memberikan sebuah tesis: “Islam Radikal pada hakikatnya dilahirkan oleh Orde Baru‖. Kelahiran terorisme merupakan sebuah proses panjang dari turbulensi sosial dan politik yang mencuat karena rezim Orde Baru yang begitu represif telah menggunakan peran-perannya untuk menekan Islam sebagai kekuatan politik di Indonesia. Dengan demikian, radikalisme dibaca sebagai potret kesadaran sejarah yang berpadu dengan kesadaran kelas yang dimiliki oleh masyarakat Islam tidak terkecuali pada komunitas Warsidi di Talangsari, oleh sebab itu penting melihat perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari pada tahun 1989.Sebuah perlawanan petani yang ditumpas secara paksa oleh militer rezim Orde Baru yang berkekuatan tiga peleton tentara, lima puluh orang anggota satuan Brigade Mobil (Brimob) pada selasa 07 Februari 1989 dan dilumpuhkan melalui pelabelan sebagai gerombolan pengacau keamanan.Penumpasan inimerupakan puncak ketegangan antara komunitas tersebut dengan otoritas pemerintah setempat yang mengakibatkan tewasnya 246 orang anggota komunitasdan membawa trauma yang berkepanjangan serta penderitaan terhadap anak keturunan masyarakat dusun Talangsari hingga hari ini. Peristiwa tersebut menjadi perhatian dari berbagai media massa baik lokal maupun nasional, bahkan menjadi berita yang menarik bagi dunia internasional. (Fadilasari, 2007 : 72) Rezim Orde Baru menganggap mereka sebagai kelompok pemberontak yang ingin merongrong kedaulatan negara dengan menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain. Presiden Soeharto dalam pernyataannya ; ―mereka adalahgerombolan pengacau keamanan yang menyalahgunakan agama (Islam) untuk kepentingan yang sesungguhnya bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. (Angkatan Bersenjata, 13 Februari 1989). Akibatnya anak keturunan masyarakat dusun Talangsari memperoleh perlakuan yang diskriminatif mulai dari sikap sinis hingga diperlakukan tidak adil (hilang hak sebagai warga negara), seperti ditolaknya anak-anak korban Talangsari untuk mendapatkan pendidikan sekolah negeri sehingga harus terpaksa sekolah di luar Lampung, setiap orang yang menggunakan identitas Talangsarimaka akan memperoleh kesulitan dalam memperoleh pekerjaan baik di instansi swasta lebih lagi di instansi pemerintah, tidak diperkenankannya mengikuti kompetisi di ajang-ajang pemilihan kepemimpinan pada tingkat lokal (desa) sekalipun. Bahkan setelah dua puluh enam tahun berlalu, masih ada upaya secara sistematis untuk menyudutkan korban kekerasan tragedi Talangsari Lampung terus dilakukan, sebagaimana menurut Kepala Impunitas dan Pemulihan Korban Kontras : ‖Korban kekerasan dan aktivis Talangsari dianggap sebagai terorisme dengan cara memata-matai aktivitas warga secara berlebihan, yang membuat rasa panik, cemas dan resah warga serta aktivis Talangsari, menyesalkan Polisi Daerah (Polda) Lampung yang mengemukakan secara terbuka dan menyebut seseorang berinisial MT yang sedang dilacak yang merupakan aktivis Talangsari. Korban kekerasan politik Talangsari mendorong penyelesaian secara hukum, oleh sebab itu kami meminta Polri untuk berhati-hati agar tidak terkecoh oleh pihak-pihak yang berupaya menghidupkan kembali ―stigma‖ lama Orde Baru dengan mencurigai dan mengaitkan aktivis Talangsari dengan teroris. (Sumber; Kontras, 13 Maret 2010).
4
Perlawanan itu sendiri merupakan rangkaian panjang dari perlawanan sebelumnya, setelah mereka terusir dari hutan lindung register 38 Gunung Balak akibat adanya kebijakan untuk memfungsikan kembali waduk Way Jepara yang diestimasikan dapat mengairi lahan seluas kurang lebih 7.000 hektar. Perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari pada tahun 1989, bisa dimengerti, karena sebagai kolektivitas petani membutuhkan kenyamanan hidup, kelayakan dalam memanfaatkan sumber daya agraria (tanah), keamanan memiliki akses tanah, dengan kata lain bagi petani tanah mempunyai arti yang sangat penting, baik sebagai sumber kehidupan maupun sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial dalam masyarakat. Menurut Flor (2002, 15) bahwa; tanah pertanian bagi petani bersifat multi dimensi, yakni sebagai sumber mata pencaharian, sumber tata kehidupan, bernilai magis religio-kosmis, sebagai identitas, martabat, power, dan bahkan ideologis. Perlawanan bermula saatpemerintah Orde Baru berencana membangun proyek waduk Danau Way Jepara berikut saluran irigasi yang diestimasi dapat mengairi 7.000 hektar lahan pertanian (persawahan), dan telah dilakukan survei kelayakan oleh Direktorat Jendral Agraria Bersama SAE (Survey Agro Ekonomi)bahwa penggunaan lahan di bagian hulu danau Way Jepara membahayakan ketersediaan sumber air danau yang berasal dari sekitar ―Rawa Way Abar‖. Hal ini kemudian memunculkan gagasan untuk melakukan tindakan relokasi dalam upaya melestarikan daerah tangkapan air (water catchment area) untuk melindungi sumber-sumber air Danau Way Jepara, rencana relokasi penduduk memunculkan kegerahan dan ketidaknyamanan di kalangan petani. Upaya perelokasian penduduk dari area register 38 Gunung Balak secara besar-besaran dengan paksaan demi pembangunan sarana irigasi telah mengakibatkan munculnya berbagai bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani dalam mempertahankan subsistensinya, padahal petani adalah komunitas yang menyukai harmoni sekaligus senang mempertahankan tradisi yang diyakini telah menjamin kelangsungan hidupnya. Namun ketika ada kebijakan penguasa yang mengancam keamanan subsistensinya, petani bisa dipastikan akan melakukan perlawanan bahkan melakukan tindakan yang mengarah pada radikal. Sejarah gerakan dan perlawanan petani di Indonesia, radikalisme bukanlah suatu hal yang baru. Sejak zaman pemerintahan kolonial fenomena radikal dan kekerasan oleh petani sudah terjadi, terutama ketika pemerintahan kolonial mulai mengembangkan kebijakan yang memberikan kesempatan kepada swasta untuk membuat keuntungan dengan mengusahakan lahan untuk perkebunan tanaman industri. Studi yang dilakukan oleh Breman (1983) terhadap gerakan perlawanan petani di sekitar pabrik gula di Pasuruan dan Probolinggo menemukan bahwa perlawanan tersebut dipicu oleh paksaan untuk menanam tebu oleh pihak pabrik gula milik perusahaan dagang Belanda dengan sokongan pemerintah kolonial Belanda. Siahaan (1996) juga melakukan penelitian mengenai perlawanan petani peserta TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) di Papar Kediri dan menemukan bahwa perlawanan tersebut disebabkan oleh maraknya korupsi dan kecurangankecurangan dalam program TRI.Kebijakan ini memaksa petani untuk menanamkan tanaman yang dibutuhkan untuk industri (seperti tebu) dan juga memaksa sejumlah petani untuk membuka lahan baru
5
Kondisi inilah yang menjadi awal munculnya bibit-bibit perlawanan dari petani. Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh rezim otoriter Orde Baru, dalam upaya untuk meningkatkan ketersediaan pangan dengan memaksa petani untuk melepaskan lahan mereka yang selama ini menjadi tumpuan dan sumber kehidupannya. Pengusiran penduduk secara paksa oleh rezim kekuasan telah melahirkan kegerahan dan reaksi keras dari kalangan petani di register 38 Gunung Balak Lampung Timur.Muncul kolektivitas di kalangan petani untuk mempertahankan hak-haknya atas tanah dan lahan garapan yang selama ini sudah ditempati dan menopang kehidupannya. Kolektivitas dan solidaritas yang dilandasi adanya kepentingan bersama ini semakin menguat dan intensif, lebih lagi di Talangsari hadirnya pemimpin (Warsidi) yang mempunyai kewibawaan dan kharisma sehingga mempersubur kepemimpinan yang potensial untuk melakukan tindakan perlawanan dalam berbagai bentuk. Kolektivitas di kalangan petani semakin solid karena mereka dihadapkan pada musuh bersama, yakni aparatus daerah yang merupakan perpanjangan tangan dari kekuasan pusat di Jakarta dalam rangka mengamankan dan mengawal program pemerintah sebagaimana dalam repelita satu, selain itu perasaan senasib sebagai orang yang terusir semakin memperkokoh kolektivitas diantara sesama petani, meskipun sebelum adanya rencana pemerintah untuk merelokasi mereka dari kawasan register 38 Gunung Balak tidak jarang mereka mengalami persaingan hidup dalam memperoleh lahan garapan. Dengan kata lain kolektivitas petani sebelum adanya rencana perelokasian dari kawasan register 38 Gunung Balak tercerai berai/renggang akibat kepentingan masing-masing menjadi kuat dalam upaya mempertahankan kepemilikan dan pentingnya penguasaan tanah. Pentingnya penguasaan tanah bagi seseorang dengan sendirinya akan mendorong munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi pihak luar. Sumber daya agraria (tanah) juga mencerminkan bentuk dasar kemakmuran sebagai sumber kekuasaan ekonomi politik, serta mencerminkan hubungan dan stratifikasi sosial. Falsafah Jawa menurut Zam (75 thn) ―shadhumuk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohi mati‖ menunjukkan betapa eratnya hubungan antara manusia dan tanah yang dimilikinya. Setiap jengkal tanah merupakan harga diri yang akan dipertahankan matimatian dengan seluruh jiwa raga.Hal ini pada gilirannya selalu menimbulkan konflik, konflik perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu terjadi. Hal ini terbukti sampai saat ini masalah tanah masih saja menjadi persoalan yang sering kali memunculkan perlawanan dari rakyat. Bentuk perlawanan bermacam-macam, ada yang bersifat individual maupun kolektif, hanya sekedar berunjuk rasa atau bahkan melakukan pemberontakan. Salah satu bentuk perlawanan petani yang bersifat tersembunyi atau diamdiam sebagai bentuk perlawanan sehari-hari(everyday forms of resistens). Scott (2000) menjelaskan bahwaperlawanan sehari-hari merupakan upaya perjuangan petani yang biasa-biasa saja namun terjadi secara terus menerus antara kaum tani dengan orang-orang yang berusaha untuk menghisap tenaga kerja, makanan, pajak, sewa dan keuntungan dari mereka. Perlawanan petani tidak selalu merupakan bentuk aksi bersama, tetapi kadang-kadang merupakan resistensi individual yang dilakukan secara diam-diam.
6
Upaya untuk memadamkan gerakan perlawanan petani dengan melakukan stigmatisasi sebagai pemberontak/pembangkang pernah dilakukan dalam kasus Kedung Ombo pada tahun 1985, akibat adanya pembangunan Waduk Kedung Ombo yang menggenangi wilayah yang tanahnya sangat subur seluas 6.125 hektar (Stanley 1994). Demikian pula yang terjadi dalam pembangunan Waduk Nipah di Madura, memunculkan perlawanan petani ketika melihat tanah-tanah mereka akan dijadikan waduk, lebih lagi di lahan mereka terdapat kuburan-kuburan para leluhur.(Ratna, 2005). Namun kedua perlawanan petani tersebut tidak memiliki ekses yang berkepanjangan terhadap anak keturunan sebagaimana perlawanan yang terjadi di Talangsari. Negara orde baru sangat berkepentingan dengan beberapa kasus yang berkaitan dengan gerakan Islam politik, sejak awal gejala yang muncul dari adanya kekalahan Partai Komunis Indonesia (PKI) membuat politik umat Islam mendapatkan angin segar, dan ditangkap gejala tersebut oleh pemerintah dengan satu prediksi bahwa politik umat Islam memiliki kecenderungan hendak memperkuat posisinya, dimana kekuatan tersebut yang akan menghancurkan citacita nasionalisme sekuler yang telah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Oleh sebab itu, upaya untuk memberi label setiap gerakan yang mengusung legalitas-formalisme Islam senantiasa dilakukan oleh negara untuk memberi citra buruk terhadap Islam politik yang sekaligus menyingkirkan Islam politik dari arena politik nasional.Islam politik dianggap sebagai ancaman dan sumber konflik yang dapat mengganggu stabilitas politik di Indonesia. (Allan A. Samson 1985 : 158). Pemerintah melakukan labelisasi untuk melemahkan dan sekaligus melumpuhkan kolektivitas yang selama ini terkonsolidasi dengan melakukan penetrasi dalam setiap gerakan perlawanan baik dari mobilisasi aktivasi, pengorganisasian dan memunculkan ketegangan struktural, serta membelokkan arah tujuan gerakan perlawanan yang semula untuk mempertahankan dan memperoleh hak atas kepemilikan dan penguasaan lahan menjadi gerakan perlawanan dengan tujuan untuk mendirikan perkampungan muslim di Lampung (negara dalam negara). Melalui media masapemerintah pusat melakukan pembentukan opini dan pencucian otak melalui corong-corong kekuasaan dan pengkooptasian terhadap tokoh-tokoh lokal dan nasional, sehingga fakta perlawanan petani berbeda dengan yang sebenarnya terjadi. Opini yang terbangun di kalangan masyarakat adalah kebenaran kekejaman di luar perikemanusiaan yang dilakukan oleh komunitas Warsidi di Talangsari terhadap aparatur setempat dengan melakukan pemberontakan . Stigmatisasi adalah bentuk lahir dari hate crime, dan tidak jarang hal ini melahirkan kejahan-kejahatan lainnya seperti tindak kekerasan fisik. Ironisnya hate crime tidak hanya dilakukan oleh sekelompok masyarakat, melainkan juga oleh penguasa terhadap kelompok yang dianggap mengancam kekuasaannya. Penguasa Orde Baru menggunakan media, baik cetak maupun elektronik, dan berbagai media lainnya sebagai mesin-mesin propaganda yang bergerak leluasa untuk mempengaruhi dan merekayasa persepsi publik sejak peristiwa perlawanan komunitas Talangsari itu terjadi pada tahun 1989.
7
Permasalahan Stigmatisasi terhadap komunitas Talangsari sebagai gerombolan pengacau keamanan merupakan salah satu upaya negara dalam melumpuhkan kolektivitas petani yang selama ini dianggap sebagai komunitas penentang program perelokasian penduduk dari hutan register 38 Gunung Balak dalam upaya memfungsikan kembali waduk Way Jepara, sekaligus upaya mendekonstruksi kekuatan Islam politik yang dianggap dapat mengancam kelanggengan eksistensi penguasa. Proses dominasi melalui distorsi sejarah ini dapat berjalan mulus selama puluhan tahun tanpa disadari, bahkan dianggap sebagai sebuah dasar kebenaran. Walau sebetulnya, semua ini adalah suatu rangkaian realitas palsu. Berdasarkan hal tersebut, penulis menkonstruksi ulang perlawanan komunitas Talangsari melalui beberapa pertanyaan berikut; 1. Mengapa tindakan perlawanandijadikan sebagai pilihan bagi komunitas Warsidi di Talangsari dalam menyelesaikan ketidakadilan agraria padahal media penyelesaian lainnya masih tersedia ? 2. Mengapa kekuasaan (negara) memerlukan pembentukan opini dalam bentuk labelling, konsolidasi kekuasaan danmerangkul tokoh-tokoh lokal masyarakat untuk melumpuhkan kolektivitas komunitas Warsidi di Talangsari ? 3. Seberapa jauh gerakan kolektif komunitas Warsidi di Talangsari mempunyai kesamaan dengan gerakan kelompok non action mission (kelompok sempalan) lainnya ?
Tujuan Penelitian Pada umumnya penguasa ingin melanggengkan kekuasaannya, dan salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan menempatkan rakyatnya sebagai musuh negara. Negara secara sistematis melakukan stigmatisasi yang menempatkan rakyat sebagai musuh negara dan musuh rakyat, sehingga negara memiliki justifikasi untuk memberangusnya. Salah satu yang ditempatkan oleh rezim Orde Baru sebagai musuh negara setelah hancurnya kekuatan kiri (PKI) adalah ekstrim kanan (Islam radikal) diantaranya ―komunitas Talangsari‖ yang selanjutnya diberi stigma sebagai gerombolan pengacau keamanan. Penelitian ini bertujuan : 1. Menganalisis pilihan tindakan perlawananoleh komunitas Warsidi di Talangsari dalam menyelesaikan persoalan ketidakadilan agraria yang mereka dapatkan padahal media penyelesaian lainnya masih tersedia. 2. Menganalisis pembentukan opini dalam bentuk labelling, konsolidasi kekuasaan dan merangkul tokoh-tokoh lokal masyarakat oleh negara dalam melumpuhkan kolektivitas komunitas Warsidi di Talangsari. 3. Menganalisis kesamaan gerakan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari dengan gerakan kelompoknon action mission(kelompok sempalan) lainnya.
8
Manfaat Penelitian Pada tataran akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pengetahuan tentang aspek-aspek penting dalam perlawanan petani terutama dalam sosiologi pedesaan dapat menambah pengetahuan tentang gerakan petani yang berbasis pada persoalan agraria dan upaya stigmatisasi yang dilakukan oleh kekuatan supra struktur desa. Akhirnya pada tataran keilmuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan teoritis tentang perlawanan petani dan pelabelan oleh kekuatan di luar petani. Pada tataran praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat: (1) dipergunakan untuk mengevaluasi kebijakan pembangunan agraria di pedesaan agar tidak menimbulkan kegerahan bagi petani serta kewaspadaan petani terhadap intervensi kekuatan supra desa. (2) tidak menjadikan kekuatan Islam politik sebagai alat untuk memecah-belah persatuan dengan membenturkan ideologi Islam dengan ideologi Pancasila.
Ruang Lingkup Penelitian Untuk memfokuskan analisis dan pembahasan dalam studi perlawanan petani terhadap ketidakadilan agraria yang dilabeli sebagai gerombolan pengacau keamanan, maka ditetapkan batas-batas analisis sebagai berikut : 1. Perlawanan petani yang dikaji meliputi latar belakang munculnya penyebab tindakan perlawanan yang dilakukan oleh petani, realitas struktur hubungan agraria terkonstruksi sehingga menjadi prakondisi utama munculnya perlawanan petani. Hubungan yang memunculkan adanya ketegangan serta memberi peluang munculnya tindakan kolektive petani. Secara khusus akan dipaparkan pada persoalan penguasaan tanah masyarakat (di register 38 Gunung Balak) berkaitan dengan kebijakan negara untuk memfungsikan kembali waduk Way Jepara sebagai perwujudan peningkatan kesejahteraan hidup petani 2. Sejauh mana upaya labelisasi/pelumpuhan terhadap perlawanan petani dan gerakan Islam Radikal dengan melakukan pengkooptasian terhadap tokohtokoh lakan dan pemberangusan media massa sebagai control social. Persoalan ini berhubungan dengan kondisi-kondisi yang menunjukkan kemampuan negara dalam melumpuhkan gerakan perlawanan petani dan Islam radikal dengan berbagai kekuatan yang dimiliki. 3. Kondisi-kondisi utama yang memberi peluang munculnya aksi-aksi kolektif petani. Kondisi itu antara lain, adanya pengorganisasian yang dilakukan oleh aktor lokal, dan kepeimipinan kharismatik yang mempunyai kewenangan sehingga mampu menghimpun aksi kolektif petani, mobilasasi sumber daya, serta adanya pembingkaian tindakan kolektif yang dilakukan oleh aktor supra lokal dalam upaya melumpuhkan perlawanan petani.
9
Kebaharuan (Novelty) Kebaharuan penelitian ini berada pada temuan lapangan bahwa perlawanan petani terhadap ketidakadilan agraria yang selama ini seringkali dikaitkan dengan kekuatan kiri (Partai Komunis Indonesia), sebagaimanana hasil beberapa studi diantaranya;Kuntowijoyo (1994) melihat bahwa gerakan petani didukung oleh gerakan global kaum komunis yang di Indonesia dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (Kuntowijoyo, 1994 : 11). Demikian pula dengan diselenggarakannya konggres petani pada tanggal 22 – 25 November 1945 yang disponsori oleh Partai Komunis Indonesia di Yogyakarta, melahirkan empat pokok keputusan : 1) modernisasi pertanian, 2) menetapkan harga sewa tanah, 3) melaksanakan land-reform dan 4) melatih kader-kader tani untuk propaganda komunisme. Konggres tersebut menunjukkan bahwa Partai Komunis Indonesia merupakan salah satu partai yang sangat konsen dalam memperjuangkan kepentingan petani, dengan kata lain setiap perjuangan untuk mendapatkan sumber daya agraria tanah (petani), kekuatan kiri ini senantiasa berada dibelakangnya. Ternyata dalam kasus Talangsari perlawanan petani terhadap ketidakadilan agaria dilabel sebagai gerombolan pengacau keamanan, yang berhubungan dengan kekuatan kanan (agama Islam).
2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa Penelitian Perlawanan Petani Beberapa tulisan yang membahas tentang perlawanan petani terhadap penguasa sangat signifikan kontribusinya dalam memperkaya tinjauan teoritis yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam disertasi ini. Pemilihan tulisan ditekankan kepada konsep-konsep yang diintrodusirnya yaitu berkaitan dengan resistensi. Konflik-konflik agraria secara umum dan pergolakan-pergolakan petani secara khusus, apakah itu merupakan manifestasi dari gerakan milenari atau tidak, telah menjadi bahan studi yang banyak diminati. Sekitar tiga dekade yang lalu, banyak penelitian tentang gerakan petani dilakukan baik di luar maupun di dalam negeri. Tentang gerakan perlawanan petani di luar negeri, kita bisa menyebut misalnya Scott dan Popkin. Studi yang dilakukan oleh Scott (1974) dan Popkin (1976) di pedesaan Asia, mengenai maraknya gerakan perlawanan petani pada masa kolonial, memperlihatkan adanya empat faktor utama penyebab kemarahan kaum tani, yaitu perubahan struktur Agraria, meningkatnya eksploitasi, kemerosotan status sosial, dan desprivasi relatif. Perubahan struktur agraria di pedesaan Asia khususnya Jawa, dipengaruhiadanya sistem kolonialisme. Melalui kolonialisme, sebagian besar desa-desa di Asia terintegrasidengan sistem kapitalis dunia. Penduduk desa di Asia pada massa pra-kapitalismerupakan sebuah unit rumah tangga yang bertumpu pada tingkat subsisten.Eksploitasi kolonial ditambah dengan tekanan demografi yang semakinmeningkat, mengakibatkan rusaknya
10
pola-pola yang sudah ada, sertamengkhianati sendi-sendi moral ekonomi petani yang didasarkan pada etikasubsistensi. Lebih lanjut Scott (1981) menjelaskan bahwa tentang perlawanan petani dalam konteks struktural, bahwa struktur agraris yang rapuh dan eksploitatif pada umumnya merupakan produk interaksi antara tiga kekuatan: perubahan demografis, produksi untuk pasar dan pertumbuhan negara. Sementara itu peranan negara dalam memaksakan pelaksanaan kontrak-kontrak melalui pengadilan dan untuk mematahkan perlawanan kaum tani telah memungkinkan para pemilik tanah dan rentenir untuk merenggut keuntungan yang sebesar-besarnya dari kedudukan mereka yang lebih kuat. Kemerosotanekonomi secara mengejutkan yang disertai dengan peningkataneksploitasi dilakukan oleh negara atau tuan tanah. Eksploitasi yang dilakukan secara berkelanjutan dengan kualitas yang terus meningkat, menimpa banyak petani dan hampir terjadi di seluruh wilayah serta dapat mengancam jaring pengaman sosial mereka atas sumber-sumber subsistensial, maka besar sekali kemungkinan eksploitasi tersebut mencetuskan sebuah aksi perlawanan. Menurut Scott (1976), tekanan struktural, tekanan kultural hingga kondisi subsistensi petani yang sudah melampaui batas toleransi sudah cukup untuk menjadi pemicu bagi petani untuk melampiaskan kemarahannya terhadap tatanan sosial yang ada. Gerakan-gerakan perlawanan petani, pada bentuk sederhana seringkaliberpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan merataketimbang dengan tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkhis. Lahirnya suatumitos bersama tentang keadilan yang transedental sering dapat menggerakkankaum tani untuk melakukan gerakan sosial. Mitos-mitos seperti inimempersatukan kaum tani hingga mampu membentuk koalisi-koalisi petani,meskipun tidak stabil, sangat rentan dan hanya dipersatukan untuk sementarawaktu oleh suatu impian milenial (Wolf, 1966). Di Indonesia sendiri, sejumlah penelitian telah dilakukan tentang pokok persoalan ini. Sebelum studi Kartosudirdjotentang Pemberontakan Petani Banten menjelang akhir abad kesembilan belas kebanyakan studi didasarkan pada asumsi bahwa berbagai pemberontakan petani lebih merupakan suatu ledakan fanatisme atau huru-hara menentang pajak. Menurut Begawan sejarah Kartosudirdjo(1984) menguraikan bahwa, gerakan sosial adalah: gerakan perjuangan yang dilakukan oleh golongan sosial tertentu melawan eksploitasi ekonomi, sosial, politik, agama, dan kultural, oleh kelompok penekan, apakah itu penguasa atau negara. Termasuk dalam gerakan semacam ini, diantaranya, adalah kaum petani dan buruh. Peran nilai-nilai agama sangat signifikan dalam pemberontakan petani Banten, meskipun rakyat Banten memiliki tradisi memberontak, tanpa ada legitimasi agama pemberontakan tidak akan pecah, meskipun keresahan sosial sudah memuncak. Doktrin-doktrin keagamaan yang disampaikan Syekh ―Abdullah AlKarim Al-Bantani‖ yaitu kedatangan Imam Mahdi dalam peringatan terakhir Nabi Muhammad Saw., mendirikan negara Islam (Dar-Al-Islam) dan perang sabil (Jihad fisabilillah) yang kemudian disemaikan oleh murid-muridnya Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat dua transformasi penting diera kolonial. Pertama, pengalihan secara besar-besaran disektor pertanian, dariyang semula merupakan pertanian subsisten menjadi pertanianyang berorientasiekspor. Kedua, dibentuknya negara modern yang ditopang oleh birokrasi danmiliter untuk
11
mengontrol wilayah jajahan. Salah satu bentuk transformasi tersebutmengejawantah dalam bentuk perkebunan–perkebunan besar. Pengenalan sistempertanian modern dalam bentuk perkebunan berimplikasi pada meningkatnyakebutuhan atas tanah dan tenaga kerja. Penguasaan tanah semakin terlepas daritangan penduduk, mereka yang tidak memiliki tanah beralih menjadi penggarapburuh tani upahan dan buruh perkebunan.Kolonialisme dan masuknya ekonomi uang berangsur-angsur telahmenghapus jaminan sosial yang ada pada masa pra-kapitalis. Transformasi agrariayang terjadi telah menghilangkan jaring pengaman sosial keluarga-keluargapetani miskin dari bencana kelaparan. Kedermawanan sosial yang semula adapada masa bagi hasil, kini tidak lagi berlaku umum. Pemerintah kolonial samasekali tidak memberikan perlindungan kepada para petani miskin terhadapfluktuasi pasar (Kartodirjo, 1984). Menurut Kamaruddin (2012), Pemberontakan Petani Unra 1943 terhadap penjajah Jepang disebabkan adanya eksploitasi ekonomi, sumber daya alam, dan tenaga kerja, serta tekanan-tekanan dari pihak kekuasaan atau negara. Pemberontakan itu mempunyai pemimpin dan basis ideologi, yakni gerakan tarekat. Prakarsa pemberontakan diambil oleh petani biasa, tokoh tarekat, dan sekaligus tokoh agama yang berada di luar kalangan birokrat desa. Sementara itu, Romdloni (2005) menemukan bahwa latar belakang petani melakukan gerakan lebih didasari atas aspek ekonomi, sejarah kepemilikan tanah, budaya dan agama. Studi Romdloni ini diperkaya oleh penelitian yang dilakukan Safitri (2010), meneliti pola dan strategi gerakan yang dilakukan oleh FP2NB(Forum Paguyuban Petani Kabupaten Batang).Wahyudi (2005) memfokuskan perhatian pada formasi dan struktur gerakan, serta jaringan-jaringan pendukung gerakan petani. Mustain(2007), dalam tulisannya tentang ―Petani vs Negara : Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara” menemukan bahwa resistensi yang dilakukan oleh petani dipicu oleh faktor ekonomi ketimpangan kepemilikan tanah. Namun dibalik faktor ekonomi tersebut, secara politik resistensi petani muncul untuk menolak kebijakan negara mengenai masalah penguasaan pertanahan yang cenderung eksploitatif dan mengutamakan pemodal. Pada masa orde lama perlawanan petani semakin diperkuat dengan adanya kebebasan berorganisasi, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani Indonesia (RTI), Persatuan Tani Nasional Indonesia (PETANI). Organisasiorganisasi petani itu berafiliasi dengan partai-partai politik sehingga perlawanan mereka semakin kuat, seperti terbukti dengan terjadinya Peristiwa Tanjung Mowara pada tanggal 16 Maret 1953 yang mengakibatkan jatuhnya kabinet Wilopo dan dibentuknya Kementerian Urusan Agraria.(Karl J. Pelzer : 1991)Di dalam penelitian ini mengilustrasikan berbagai kegagalan pertanian pada tahun 1963 serta gagalnya aksi-aksi PKI, telah membuat masyarakat semakin mudah menerima berbagai penetrasi dan komersialisasi pertanian, seperti padi sentra yang diintruksikan pemerintah melalui program revolusi hijau. Ketergantungan petani pada asupan-asupan pabrik tidak terelakkan, bahkan menjadi ciri pertanian di wilayah tersebut saat itu. Pada intinya studi ini mencoba menemukan bentukbentuk perlawanan dan rangkaian perjuangan panjang petani-petani desa Kebun Sayur selama lima belas tahun terakhir tersebut dengan senjata-senjata resistensi biasa saat situasi bertahan pada tingkat subsistensi, dari perlawanan dengan bahasa-bahasa simbol dan menipu.
12
Selanjutnya studi yang dilakukan Pratikto (2000), studi ini menempatkan penulis dalam khazanah kajian politik lokal yang terjadi di Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta dengan melihat adanya pergeseran perjuangan melalui gerakan parlementer. Pergeseran tersebut telah membuka dan memberi ruang yang lebih luas bagi aktivis partai di daerah untuk menyesuaikan agenda perjuangan partai dengan situasi yang khas lokal. Gerayak adalah suatu pelebelan yang digunakan oleh aparat kemaanan setempat untuk menyebut sebuah aksi yang dilakukan oleh rakyat yang kelaparan serta dipelopori oleh tokoh-tokoh masyarakat dan guru untuk mencari dan mendapatkan bahan makanan dari orang kaya baik di daerah Gunung Kidul maupun di luar daerahnya. Demikian pula studi yang dilakukan oleh Kuntowijoyo (1994) tentang radikalisme petani, dalam studi ini Kuntowijoyo melihat bahwa gerakan petani didukung oleh gerakan global kaum komunis yang di Indonesia dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, serta menganalisis perjalanan para petani, priyayi, politisi, pedagang dan ulama, serta rakyat kecil yang semua berjuang mempertahankan martabat atau berjuang untuk memaknakan kehadirannya. Sementara itu, hubungan antara pemberontakan petani dengan reforma agraria sudah menjadi perbincangan sejak tahun 1950-an, dalam banyak studi terbaca bahwa kefrustasian mendalam pada umumnya dipandang sebagai faktor pendorong bagi petani untuk berani mengambil resiko, mendirikan atau bergabung dalam serikat petani dan melakukan pemberontakan. Berdasarkan karakter daerahnya, dari mana gerakan atau pemberontakan petani itu bermulamenunjukkan bahwa kawasan tersebut bukanlah kawasan termiskin atau (penduduk) daerah pertanian pelosok, melainkan daerah dimana pembangunan telah menciptakan tumbuhnya kesenjangan. Adanya pemimpin kharismatik di antara petani sangatlah penting untuk dijadikan sebagai panutan dan perekat disaat berhadapan dengan elit kekuasaan. Kepemimpinan kharismatik yang kuat seperti cerminan sejarah pemberontakan petani diperlukan terutama untuk menggugah keberanian penduduk melawan elitelit tradisional di samping memobilisasi mereka dalam menentang situasi atas keberadaan tanah yang semakin memburuk. Loyalitas kharismatik dan khususnya terhadap pemimpin-pemimpin yang mampu dan berani telah membawa petanipetani di Jawa dalam perjuangan untuk peningkatan dan perubahan hidup. Secara umum, sejarah perlawanan petani di Jawa biasanya memang memiliki variabel tokoh pemicu. Tokoh ini biasanya orang dalam, bisa juga dari luar komunitas. Studi yang dilakukan Subhan (2006) dalam kasus perlawanan petani di Gedangan Sidoarjo 1904, tokohnya Kasan Mukmin yang berasal dari Yogyakarta yang kemudian menetap di Gedangan sebagai guru ngaji. Aktor (Kasan Mukmin) mampu membangun identitas kolektif, solidaritas kolektif dan komitmen petani untuk melakukan perlawanan, meskipun faktor yang menjadi sumber perlawanan adalah keresahan petani akibat adanya pemaksaan untuk menanam palawija, penggunaan tanah dan tenaga kerja mereka untuk dipekerjakan di pabrik gula. Selain itu, pembagian air irigasi yang tidak adil antara petani dan pabrik gula. Perlawanan ini direkat oleh solidaritas kolektif yang didasarkan pada nilai-nilai agama dengan simbol perang suci, meletuslah gerakan perlawanan petani.
13
Studi yang dilakukan Purwanto (2008) tentang gerakan perlawanan Jabrak, seorang tuan tanah di Brangkal Mojokerto pada tahun 1912. Sawahnya dikerjakan oleh petani lain dengan sistem nggadu atau maro. Ketika terjadi pemaksaan oleh pihak kolonial untuk mengubah usaha tani yang selama ini ditekuni dengan menanam tebu sebagai komoditas ekspor yang banyak merugikan usaha pertaniannya, maka ia memberontak. Jabrak cepat memperoleh pengikut karena ada ikatan komunal dan homogenial yang kuat. Dalam sistem hubungan patronklien dimana Jebrak sebagai patron (tuan) dan petani maro sebagai buruh tani menjadi klien (hamba), hubungan saling ketergantungan/simbiosis mutualisma itu begitu kuat. Ada beberapa hal dari beberapa temuan studi di atas, diantaranya adalah bahwa gerakan perlawanan petani itu senantiasa melibatkan jaringan sebagai pendukung perjuangannya. Peneliti melihat, bahwa tanpa dukungan jaringan maka petani akan powerless. Fenomena semacam ini juga terjadi di Talangsari Lampung Timur. Keberadaan jaringan dalam mendukung gerakan perlawanan petani sangat menentukan keberhasilan perjuangan mereka. Atas dasar rasionalitas yang demikian, maka disamping meneliti tentang gerakan perlawanan petani, studi ini juga melengkapinya dengan gambaran tentang proses terbentuknya struktur jaringan Talangsari.
Beberapa Gerakan Sempalan (non-mainstreim) Untukmenguraifenomenagerakansempalandikalangan umatIslamdiIndonesia penulisterlebihdahulumengelaborasipandanganBryanWilson (1998, 430)seorangsosiologasal Inggris, yang menyebutkantentang tipesekteataugerakansempalan. Tipologi ini disusun Wilsonberdasarkansikapsekte-sekte terhadapduniasekitaryangkesemuanyahampir secaranyataterwakilidanberkembang diIndonesia.Beberapagerakansempalanyangmunculdanberkembangdikalanganum atIslam diIndonesia tersebutdiantaranyagerakansempalanradikal,gerakanmessianistik, thaumaturgical. Gerakan Sempalan Radikal Gerakan Khawarij adalah gerakansempalanyangpalingawal munculdiduniaIslam. Gerakansempalanini munculjauh-jauhharisebelum adanya modernisasi.KemunculangerakanKhawarijbermuladarikekecewaan para pendukungkekhalifahan Ali bin AbiThalibyang menerimausulperdamaiandaripara musuhmereka,MuawiyyahbinSufyandalamperistiwaShiffin,KhalifahAli binAbiThalibmengalamikekalahandiplomatisdankehilangankekuasaansecara de jurnya.Gerakan ini muncul sebagai bentuk protes terhadap dominasi kekuasaan yang menjadi mainstreim saat itu, dan saat ini gerakan sempalan khawarij berkembang ke penjuru dunia dalam bentuk yang berbeda. Gerakan sempalan ini melakukan gerakan yang mengatasnamakan Islam, akan tetapi justeru mengotori kesucian Islam dengan cara memutarbalikkan pemahaman otentik Islam yang telah
14
dikemas dengan baik dan tepat oleh para ulama yang kompeten dan bertanggungjawab. Gerakan sempalan ini berkembang di Indonesia dalam suatu organisasi besar yaitu NII (Negara Islam Indonesia), gerakansempalanNIImerupakangerakanbawahtanahyang tidakpernahpupus.Sejarah mencatatkeberadaanNIIpertamakalidiproklamirkanoleh SekarmajiMarijanKartosuwiryopada07 Agustus1949denganbasisgerakandidaerah Malangbong TasikmalayaJawaBarat.Gerakanserupakemudian meluasdiSulawesi Selatandengan di pimpinKaharMuzakarpada20Januari1952.KemudiandisusulpembentukanNIIdi Aceholeh AbuDaudBeureuh pada21 September 1953, bahkan di Lampung gerakan ini pernah berkembang di Way Jepara dan Warsidi diangkat sebagai Camat NII untuk wilayah Way Jepara. SelainNII,namalainyangsamaadalahDârulIslam.Kelompokinidapatdiangga pgerakansempalan,baikdalamartibahwamereka tidakdibenarkanolehlembagalembaga agamaresmimaupundalam artibahwa merekamemisahkandiridarimayoritas.Anggapansesatoleh mayoritasumatbukanlah persoalanakidah atau ibadah melainkan amal politik mereka. Seandainyapada tahun 1950-an bukan Republikyang menang tetapiNegara IslamIndonesia(NII)atauDârulIslam,merekalah yangmenentukanortodoksi dan membentuk"mainstream"Islam.Seandainyaitu yang terjadi,tidak mustahilsebagian "mainstream"Islam sekaranginilahyang merekaanggap sebagai"sempalan". Menurut Al-Chaidar terdapat14faksiyangsetia memperjuangkanberdirinya kembaliNII.SemisalFaksi Abdullah Sungkar, Faksi Abdul Fatah Wiranagapati,Faksi Mahfud Sidik,FaksiAceh,Faksi Sulawesi Selatan,Faksi Madura, Faksi Kahwi 7,FaksiKahwi 9, serta beberapa faksi lainnya.Basis NIIsendiriberadaditiga tempat.UntukwilayahJawa,basis NIIberada di Garut.WilayahSumateraberbasisdiAceh,danuntukbagianIndonesiaTimurberbasis di Sulawesi.JumlahpenganutajaranNIIini telahmencapai sekitar18jutaorang.Berbagai kalanganterlibatdalamkelompokini.Mulaidarirakyat bisa,petani,mahasiswa,militer, hinggapejabat, kesemuanyatersebar diseluruh Indonesiadan AsiaTenggara. Gerakan Sempalan Messianistik Gerakan messianistik dikenal pula dalam agama dan kepercayaan selain Islam, misalnya dalam agama Kristen percaya bahwasuatusaatnanti Yesusakan datanglagi. Karenaitu dalamagamaKristenterdapataliran Advent, yangberartikedatangankembali Yesuspadaakhirzaman. Sementara itu dalam agama Hindu, adakepercayaan bahwasuatu saatnanti KrisnayangmenitispadaKalkhiakanmenyelamatkanduniadarikehancuran. Bahkan pada agama-agama dan kepercayaan lokal di Nusantara muncul kepercayaan akandatangnyaRatu AdilatauSatriaPiningit.Jadi,konsepMessianismeini merupakanilhamyangmemiculahirnyagerakansempalan, apakahnamanyaImamMahdi, Mesiah, al-Masih,Ratu Adil ataupunSatriaPiningit.Itusemuadinyatakanolehhampir seluruhagamasebagai sesuatuyanguniversal.
15
KemunculanMessiah,RatuAdil,ImamMahdiataulainnyadipandangperluunt ukuntukmemberikanjawaban terhadapmasalahsosialyangmerekahadapi.Sepertihalnya di Indonesia yangdirundungkrisisdanpenderitaanyangkian lamakianterpuruk,kehidupan rakyatmakinmenderita,danorang-orang mengalamifrustasidemifrustasi.Bahkan beberapakaligantipresidendianggap tidakmenambahmakmur tetapimalah terpuruk. Dalamsituasi seperti itu, orangcenderung mencarijawaban yang palinghebatdanilusif denganmendatangkanjuru selamat.DidaerahJawa,misalnya,ekspresipsikologisini nampakdenganadanyakepercayaantentangakanmunculnyaSatria Piningit,sosok yang selamaini tersembunyi dan akanmuncul untukmenyelamatkan kita. Gerakan Messinistik ini muncul dalam berbagai bentuk aliran keagamaan seperti jama‘ah al-Qadariyah al-Islamiyah. Gerakan ini muncul di Jakarta sekitar tahun 2006 dan berkembang di Yogyakarta, yang menjadi sasaran adalah kelompok mahasiswa yang secara umum merupakan kaum intelektual dalam dunia ilmu pengatahuan tetapi miskin dalam penghayatan keagamaan. Menurut Burhanuddin (2010), pokok-pokok ajaran Al-Qiyadah yang menyimpang dari ajaran Islam antara lain : Pertama,MerekamenghilangkanRukunIslam yang telahdipegangiolehseluruhKaum Muslimindanjelas-jelas bersumberdarihadits-hadits RasulullahSaw.yang diriwayatkan oleh paraulamaahli hadits yang diterimaoleh seluruh kaum muslimin dari kalanganAhlussunnah.Kedua,MerekamenganggapbahwapimpinannyaadalahRasulull ahyaitubernamaAlMasihAl Maw’ud (Al-Masih yang dijanjikan).Ketiga,Menghilangkansyariatshalatlimawaktudalamseharisemalam,
dengandigantishalatlail.Bagimerekadalam duniayangkotorsepertisekaranginisyariatIslam tidakperluditerapkandandemikiantidaklayakkaummusliminmelakukan shalatlimawaktu.Keempat,Menganggaporangyangtidakmasukkepadakelompoknya danmengakuibahwapemimpin merekaadalah Rasul adalahorangmusyrik.
Aliraninijugaberusahamenyatukanajarantrinitas yangadapadaagamaNasrani dengan mengajarkan bahwa Tuhan Bapak adalah Rab,Yesus adalah Al-Malik, Ruhul QuddusadalahIlah.Inilahbentuk penakwilansesat yang ditengaraisebagaiupaya pembusukan(baca:pemurtadan)dariagamayangbenar. Gerakan Sempalan Thaumaturgical Gerakan ini dikategorikansempalanlantaranbersikaprevolusioner terhadapkaumpenjajahserta kalanganpenguasayang berkolaborasidengankaumkolonial. Sikap revolusioner mereka tumbuhpadatarekatitusendirilantaranjumlahdanlatar belakangsosialpenganutnya, struktur organisasinya (vertikal-hierarkis),serta aspek thaumaturgical-nya sempalan (kekebalan, kesaktian)yang dimiliki olehmereka.Gerakan thaumaturgical, juga berkembang dalam bentuk pengobatan,pengembangan tenagadalam ataupenguasaanatasalamgaib.Pengobatansecarabatin, kekebalan,kesaktian,dankekuatan"paranormal"lainnyamerupakandayatarikaliranaliranjenisini, danmembuatparaanggotanyayakinakankebenarannya.DiIndonesia, unsur-unsur thaumaturgical terlihat dalam berbagai aliran kebatinan dan sekte
16
Islam, sepertiMuslimin-Muslimat(di JawaBarat).Tentusaja,modelpengembangankekebalan, kesaktian dankekuatan paranormal yang menjadi dayamagisaliranini perludilihatdarisisi kemurnianakidahIslamsebagaiajaransuciyangberdasarpadafondasitauhid. Konsep dan Kerangka Teoritik Perlawanan Petani Sebelum membahas lebih jauh tentang perlawanan petani, terlebih dahulu perlu adanya kesamaan pemahaman tentang petani. Istilah peasant digunakan untuk merujuk kepada semua penduduk pedesaan secara umum, tidak peduli apapun pekerjaan mereka Hart (1986) dan Hefner (1990), sedangkan Scott (1981) dan Hashim (1984) membatasi pengertian petani kepada penduduk pedesaan yang bekerja sebagai petani saja. Batasan tersebut mirip dengan Redfield (1985) yang melingkupi masyarakat petani sebagai sekelompok orang yang sekurangkurangnya mempunyai kesamaan dalam cara mencari nafkah dan cara hidup yaitu dengan mengolah tanah. Batasan Wolf (1985) menggunakan konsep peasant untuk menunjuk kepada petani yang memiliki tanah dan menggarap sendiri tanah tersebut untuk menghasilkan produk yang digunakan untuk memenuhi keperluan hidupnya, bukan untuk dijual. Petani dalam studi ini lebih merujuk pada istilah peasant yang mempunyai pengertian sebagai buruh tani, atau petani yang tidak memiliki lahan, atau petani yang hasil produksinya hanya dapat untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya, bukan untuk diperdagangkan untuk pemenuhan kebutuhankebutuhan tersier.Sedangkan perlawanan petani, mengutip pendapat Wahyudi (2005) menyatakan bahwa perlawanan petani merupakan salah satu jenis dari gerakan sosial, artinya perlawanan petani adalah gerakan sosial yang dilakukan oleh petani. Perlawanan petani merupakan gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara kolektif, kontinue dan atau sistematis dengan tujuan untuk mendukung atau menentang keberlakuan tata kehidupan tertentu, dimana mereka memiliki kepentingan didalamnya, baik secara individu, kelompok, komunitas, atau pada level yang lebih tinggi. Resistensi (perlawanan) dikenal sebagai suatu reaksi dari hadirnya dominasi yang kuat terhadap yang lemah. Scott(1981) dalam Domination and the Arts of Resistance menjelaskan resistensi yang dilakukan dalam masyarakat melalui penjelasan antara hubungan kekuasaaan diantara mereka yang berada di posisi dominant yang menguasai dan yang berada diposisi subordinate yang dikuasai atau yang berada di posisi lebih lemah. Resistensi adalah semua tindakan dari anggota masyarakat kelas bawah dengan maksud untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Para petani melakukan resistensi atau melakukan perlawanan mempertahankan diri karena terpaksa untuk mempertahankan hidup. Perjuangan yang dilakukan para petani ini merupakan perjuangan yang biasa biasa namun dilakukan terus menerus. Hal yang menarik dari konsep Scott ini adalah resistensi hanya bersifat individual atau tidak bersifat kolektif. Scott sangat yakin bahwa kekuasaan, meski sangat mutlak dan dominan, tetaplah menyisakan ruang untuk perlawanan. Perlawanan dan ketidakpatuhan selalu hadir dimanapun, meski dalam ruang yang sempit dan sesak
17
oleh batasan dan kontrol yang ketat. Melacak ruang-ruang ekspresi perlawanan warga atau populer disebut ―arus bawah‖, dengan mengikuti Scott membawa pada konsepsi “transkrip tersembunyi” (hidden transcript). Konsep ini merujuk pada diskursus yang terjadi di luar panggung dominasi dan umum tampildalam ―transkrip publik‖ (public transcript), yang memiliki kecenderungan mensubordinasikan pihak rentan. Scott (2000) dalam bukunya ―Weapons of the Week” Everyday Forms of Peasant Resistence” menyatakan bahwa perlawanan-perlawanan yang dilakukan kaum tertindas (dalam hal ini petani), mengambil bentuk-bentuk humor, gosip, sinisme, dan akar-akar tradisi lokal. Kesemuanya merupakan sejarah tidak tertulis (unwritten history). Lebih lanjut Scott mengungkapkan bahwa bentuk perlawanan yang berada di luar panggung dominasi akan mengambil bentuk lisan dan tidak formal. Dengan demikian transkrip tersembunyi menampilkan diskursus gestur, omongan, praktek yang tertata di luar transkrip publik, dimana praktek-praktek kekuasaan telah tersubordinasikan. Maka setiap praktek dominasi akan menghasilkan transkrip tersembunyi yang baru pula. Reaksi kaum subordinan dari transkrip tersembunyi adalah melawan kaum elit dominan. Akhirnya terjadi perebutan kekuasaan dan kepentingan. Pada sisi lain ―transkrip tersembunyi‖ yang dihidupkan oleh kaum subordinan sehari-hari adalah upaya perlawanan terhadap gempuran kesadaran palsu dan hegemoni dari kaum elit dominan. Scott (1981)menawarkan konsep resistensi sebagai konsep negasi, yang menganggap bahwa resistensi tidak sekedar bersumber dari apropriasi basis material tetapi juga berasal dan memiliki karakteristik eksploitasi. Resistensi dalam pemahaman ini berarti pula aktivitas negasi, atau dalam konsepsi perlawanan terhadap ideologi dominan sebagai ―counter ideologi‖. Karena itu elaborasi transkrip tersembunyi tergantung tidak hanya pada penciptaan lokasi fisik yang tidak termonitor dan waktu bebas, akan tetapi juga pada agen-agen manusia yang menciptakan dan mendesiminasikan di antara mereka. Konsep tersebut sejalan dengan Giddens (1984) tentang ―strukturasi‖, dimana terjadi hubungan dialektis antara agen sebagai pelaku sejarah dan realitas struktural yang mengkerangkainya. Konsekuensi terobosan pemahaman yang demikianadalah reorientasi terhadap konsep aktor dalam proses politik. Masyarakat bawah haruslah dimengerti sebagai agen dan aktor politik yang sadar dan memiliki kemampuan tertentu untuk memahami dan bertindak atas setiap peristiwa yang ada disekitarnya. Menurut Scott transkrip tersembunyi memiliki beberapa gagasan yang dapat membangun gerakan perlawanan dalam ruang sosial, diantaranya; pertama, transkrip sembunyi merupakan produk sosial dan hasil dari relasi kekuasaan antara subordinat; kedua, seperti folk, cultur, transkrip tersembunyi tidak memiliki realitas seperti pemikiran murni, keberadaannya hanya perluasan dari praktek, artikulasi, deseminasi di dalam sisi luar panggung sosial; ketiga, ruang sosial antara transkrip tersembunyi tumbuh merupakan upaya sendiri dari resistensi. Dalam kaitan ini ruang-ruang kultural seperti agama, tradisi lokal, ekspresiekspresi lisan; humor, gosip, folkore menjadi ruang ekspresi perlawanan dan ketidakpatuhan. Transkrip tersembunyi muncul karena adanya ―control dan fantasy‖ di masyarakat, kontrol membawa pada kaum subordinan psikologi ketertindasan, kehinaan dan berbagai bentuk kelemahan yang lain. Di lain pihak,
18
rasa frustasi dan tertindas juga menghadirkan fantasi-fantasi tentang kekuasaan dan kepentingan. Kemudian lahirlah ungkapan-ungkapan perlawanan dan tidak menutup kemungkinan berubah menjadi perlawanan ekstrem dalam bentuk kemarahan, amuk dan perlawanan secara fisik. Ada 3 (tiga) kategori resistensi yaitu bisa dilakukan. Pertama, bersifat individual, spontan dan tidak terorganisasi. Kedua, tujuan resistensi agar ada reaksi dari pihak yang dilawan. Ketiga, resistensi ini bersifat ideologis atau mengarah pada resistensi simbolis. Berbeda dengan perjuangan yang bersifat ― frontal ― maka resistensi adalah penolakan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan. Sifat resistensi itu sendiri adalah informal, tersembunyi dan tidak teratur. Pernyataan Scott tentang adanya pembagian antara yang dominant dan subordinate miripdengan pengklasifikasian yang dibuat oleh Marx terhadap kelas yang saling bersebranganitu, yang menuliskan bahwa posisi dominant adalah sebagai pemilik sarana produksisedangkan kelas subordinate sebagai kelas yang diekspolitasi (Jones 2009: 79). Hubungan kedua kelastersebut dimana selalu ada yang menjadi minoritas kemudian menjadi sebuah hubunganyang dikatakan Marx sebagai hubungan konflik. Hadirnya hubungan konflik inilahkemudian resistensi dapat hadir diantara kaum minoritas yang berada dalam subordinate.Sedangkan disisi lain menurut Henry Murray, manusia memang memiliki kebutuhanuntuk melakukan dominasi terhadap yang lain, kebutuhan akan kekuasaan (need forpower). Dimana orang dengan bermotivasi untuk memiliki kekuasaan tertinggi biasanyamencari jabatan dan pekerjaan yang membuat mereka bisa menyatakan kuasa atas oranglain(Schutack 2008: 322). Resistensi juga dapat dilakukan tanpa disertai tindakan yang frontal dan langsung dengan tindakan perlawanan yang sama, yang dilakukan pihak yang lebih kuat mendominasi, yang menekan yang lebih lemah. Karena dominasi tidak selalu dalam bentuk penjajahan atau kasat mata seperti penindasan fisik, ekonomi dan sosial tetapi dalam bentuk simbolik yang sering secara sadar atau tidak disetujui oleh korbannya. Dominasi semacam ini tidak mendewasakan, bahkan menghambat perkembangan masyarakat untuk mencapai kemandirian kritis karena tersirat ada tekanan dan pengawasan yang menempel. Dalam dominasi simbolis, terlihat cara bagaimana dominasi itu dipaksakan dan diderita sebagai kepatuhan, efek dari kekerasan simbolis, kekerasan halus, tidak terasakan, tidak dapat dilihat bahkan oleh korbannya sendiri (Bourdieu 1980:216). Dominasi ini terlaksana melalui jalan simbolis komunikasi dan pengetahuan, atau lebih tepat dikatakan karena ketidaktahuan dan pengakuan korbannya. Faktor-Faktor Penyebab Perlawanan Petani Banyak teori yang menjelaskan latar belakang terjadinya perlawanan petani, Drewes Weselius, Brandes, Cohen Struat, mewakili pandangan yang melihat perlawanan petani dari sudut budaya dan motif-motif subjektif yang melatarbelakangi para pelaku (aktor) perlawanan. Tokoh perlawanan, nilai-nilai atau ajaran yang dibawanya, dan bagaimana ajaran-ajaran tersebut diajarkan kepada para pengikutnya sehingga sampai mau melakukan pemberontakan. Perlawanan yang dilakukan petani dikaitkan dengan cita-cita cultural mengenai tatanan masyarakat di masa lampau yang menurut mereka lebih adil, tentram dan
19
makmur. Cita-cita tersebut tercermin dalam gerakan mesianisme, milenarisme, dan nativisme yang mengharapkan kedatangan Ratu Adil atau Imam Mahdi. Suatu bentuk eskatologis masyarakat pedesaan yang mengalami beban penderitaan akibat penetrasi sistem kolonialisme untuk menghadapai berbagai persoalan yang dihadapinya. Scott (1981) lebih melihat pemicu perlawanan petani dari konteks struktural. Ia menunjuk faktor struktur agraris yang rapuh dan eksplosif sebagai penyebab utama terjadinya keresahan dan perlawanan kaum tani pedesaan. Perubahan demografi dan ekologi, pengembangan produksi untuk kepentingan pasar, massifnya sistem monokultur, serta intervensi negara yang sangat kuat mengatur pola produksi dan konsumsi, telah menciptakan kerawanan struktural dikalangan petani yang umumya mengantungkan diri pada sistem subsistensi. Derajat eksploitasi juga memegang peranan penting dalam mempercepat munculnya perlawanan petani. Jika tekanan eksploitasi mencapai tingkat tertentu atau melebihi batas subsistensi masyarakat pedesaan maka kondisi tersebut sangat memungkinkan meletusnya protes-protes sosial atau pemberontakan petani sebagaimana terjadi di dataran Mekong, Burma dan di sebagian pedesaan Jawa. Perubahan-perubahan yang sifatnya mendadak atau berupa kejutan-kejutan di bidang ekonomi yang mengacaukan dan merusak pola subsistensi yang telah berlangsung tetap di masyarakat pedesaan, seperti; kenaikan harga, pajak, bencana alam dan kegagalan panen, juga dapat menjadi faktor yang menimbulkan kemarahan dan frustasi kaum tani kemudian dapat memicu mereka melakukan perlawanan yang radikal di pedesaan. Bagi Scott, apapun bentuk perlawanan petani adalah bertujuan untuk kembali pada kehidupan yang dapat menjamin adanya keamanan subsistensi yang pernah mereka alami sebelum sistem ekonomi pasar hadir dan memporakporandakan siklus kehidupan mereka. Sementara itu, Popkin (1979) menyatakan bahwa gerakan perlawanan petani lebih karena faktor dominan individu bukan kelompok. Setiap manusia ingin hidup sejahtera, biang keladi atas terjadinya perlawanan petani akibat adanya penetrasi kapitalisme di kawasan pedesaan yang dalam banyak kasus melahirkan eksploitasi terhadap para petani oleh tuan tanah, oleh negara dan kaum kapitalis. Gurr dalam Mustaim (2007) juga memandang faktor frustasi dan pengurangan hak relatif yang terjadi dalam masyarakat petani dengan pihak lain menjadi pendorong bagi petani melakukan perlawanan. Lebih jauh Popkin (1979) menyebutkan bahwa semua perlawanan petani lebih dimaksudkan untuk mempertahankan tatanan demi keuntungan mereka. Penelitiannya di Vietnam menemukan bahwa; Pertama, perlawanan yang dilakukan petaniadalah gerakan anti-feodal bukan untuk mengembalikan tradisi lama, akan tetapi membangun tradisi baru yang menguntungkannya; kedua, tidak ada kaitan yang signifikan antara ancaman terhadap subsistensi dan tindakan kolektif dan yang ketiga, adalah kalkulasi keterlibatan dalam perlawanan lebih penting daripada isu ancaman kelas. Asumsi pendekatan ekonomi-politik,Mustaim (2007) menyatakan bahwa perlawanan petani sebenarnya didasari oleh pertimbangan rasional individual para petani terhadap perubahan yang dikalkulasikan akan merugikan dan bahkan mengancam mereka atau, sekurang-kurangnya, perubahan ini dinilai menghalanghalangi usaha yang telah mereka lakukan untuk meningkatkan taraf hidup, dengan
20
kata lain dapat dikatakan bahwa petani juga berorientasi ke masa depan. Hal ini senada sebagaimana yang dikatakan oleh Salert (1976) dalam Mustaim (2007) bahwa orang melakukan tindakan didasari oleh pilihan rasional yang relevan terhadap aksi revolusioner, karena teori ini melibatkan sifat efek faktor psikologis yang diperlukan untuk menjelaskan partisipasi orang dalam aksi kolektif dan teori ini dapat difokuskan pada proses pembentukan putusan sebelum melakukan aksi kolektif yang kemudian akan membentuk pengalaman sosial yangakan mengakibatkan perubahan perilaku sebagian masyarakat. Teori lainnya adalah yang dipakai Landsberger dan Alexandrov (1981), teori ini mengaitkan antara perlawanan petani dengan perubahan sosial. Mereka menjelaskan bahwa kemerosotan relatif akibat perubahan-perubahan di bidang sosial-ekonomi dapat menjadi pemicu perlawanan. Kemerosotan sehubungan dengan status di masa lalu atau yang diharapkan sekarang maupun ancaman di masa depan sehingga menimbulkan kerugian yang terus menerus dan tidak terkendali telah menimbulkan berbagai reaksi keputusasaan dalam kasus berbagai pemberontakan. Adanya sudut pandang yang berbeda-beda dalam mencari faktor-faktor penyebab munculnya perlawanan petani, menunjukkan bahwa perlawanan petani tidak dapat dipahami dengan hanya mengamati salah satu faktor yang menjadi determinan, seperti faktor ekonomi atau faktor politik semata, tetapi juga harus memperhatikan konfigurasi sosial, lembaga-lembaga sosial, norma-norma dan nilai-nilai, juga sikap ideologis sejauh itu membentuk dan mengkonsolidasikan perlawanan. Namun, dari semua itu penulis lebih melihat bahwa perubahanperubahan struktur dan kebijakan politik agraria memainkan peranan besar dalam menciptakan konflik-konflik agraria di wilayah pedesaan. Potret perlawanan petani sepanjang tahun 1980-an hingga sekarang bisa dikatakan tidak terlalu banyak perbedaan dengan perlawanan petani pada masamasa sebelumnya, baik dari sisi akar penyebab terjadinya perlawanan, bentukbentuk dan pola-pola perlawanannya, serta aktor pemimpin dan basis ideologinya. Pemicu aksi-aksi yang dilakukan oleh petani sejak kasus Kedung Ombo hingga Padega, keduanya berlangsung sepanjang pertengahan Orde Baru 1980-an hingga pasca pemerintahan Orde Baru bersumber dan berkaitan erat dengan masalah penguasaan tanah.
Teori Tindakan Kolektif Komponen dalam Tindakan Kolektif (Tilly & Smelser) Perlawanan petani adalah tindakan kolektif untuk mencapai tujuan yang sifatnya kolektif. Aksi atau tindakan kolektif merupakan salah satu jenis gerakan sosial. Aksi biasanya diawali dengan adanya sekelompok orang yang berkumpul dan melakukan aksi secara bersama. Setiap tindakan sudah bisa dipastikan disertai dengan penyebab yang menjadi pemicunya. Faktor-faktor pemicu tersebut bisa karena faktor politik, ekonomi, kultural, psikologis dan faktor lain yang mengakumulasi sehingga melahirkan aksi.
21
Salah satu pemikiran tentang tindakan kolektif ini bisa dipergunakan untuk menjelaskan tentang perlawanan petani di Talangsari adalah pemikiran Tilly (1978) dalam bukunya “From Mobilization to Revolution” Menurutnya teori tindakan kolektif adalah; ―.....teori yang mengkaji dimana manusia melakukan tindakan bersama untuk mengejar tujuan bersama. Analisis terhadap aksi kolektif memiliki lima kompenen besar, yakni; Petama, aspek kepentingan (interst) yang berkaitan dengan persoalan ekonomi dan kehidupan politik, Kedua, aspek organisasi yang berkaitan dengan organisasi yang well-defined groups. Ketiga, aspek mobilisasi yang berkaitan dengan faktor-faktor produksi seperti tanah, pekerja, kapital dan teknologi. Keempat, aspek peluang yang berkaitan dengan peluang politik, peluang koalisi, tingkat represi atau ancaman, serta relasi antara pemerintah dengan contender/pembangkang yang berjuang untuk mendapatkan power. Kelima, aspek tindakan kolektif berkaitan dengan konflik kepentingan....‖.
Selanjutnya pokok persoalan (subjek matter) dalam studi terhadap tindakan kolektif sering bersifat tumpang tindih atas tiga area yang saling bersilangan. Tiga area yang dimaksud adalah populalasi, kepercayaan, dan tindakan. Apabila mengambil kelompok sebagai unit studi terhadap tindakan kolektif, maka bisa memulainya dengan populasi, dimana populasi tersebut memiliki struktur dan kepercayaan, sehingga tindakan kolektif merupakan hasil kombinasi dari struktur. Sedangkan jika mengambil peristiwa (event) sebagai unit analisis terhadap tindakan kolektif, maka kita bisa memulainya dengan peristiwa semacam revolusi, serimoni, konfrontasi atau peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh kelas-kelas tertentu yang sedang melakukan tindakan kolektif. Dalam kasus seperti ini, peneliti dapat menaruh perhatian pada populasi dan kepercayaan yang terkait langsung dengan peristiwa kolektif tersebut. Selanjutnya, penempatan ―gerakan‖ sebagai unit studi terhadap tindakan kolektif adalah lebih rumit jika dibandingkan dengan kedua kategori sebelumnya. Dalam menstudi gerakan sosial, sering mengartikan sekelompok orang yang dapat diidentifikasikan dengan serangkaian kelengkapan kepercayaan yang dimiliki, padahal dalam kasus atau tahap tertentu serangkaian kepercayaan tersebut dapat berubah secara drastis. Dalam penelitian ini subjek maternya adalah peristiwa (event) perlawanan petani Talangsari pada tahun 1989 sebagai unit analisis dengan menaruh perhatian terhadap penduduk (struktur dan kepercayaan), sehingga tindakan kolektif tersebut merupakan hasil dari kombinasi keduanya. Beberapa teori tentang proses tindakan kolektif itu terjadi diantaranya yang dikemukakan oleh Marxian, Durkheimian, Weberian dan Tilly. Dalam analisis Marxian, umumnya menempatkan permasalahan tindakan kolektif kembali pada aspek solidaritas yang berada dalam kelompok dan konflik kepentingan diantara kelompok. Sementara itu, Durkheimian menganggap bahwa tindakan kolektif itu merupakan respon langsung terhadap integrasi dan disintegrasi yang terjadi di dalam masyarakat. Mereka membedakan tindakan kolektif yang bersifat rutin dan tidak rutin. Bentuk yang tidak rutin muncul dari adanya ketidaksenangan dan pengejaran interestindividu yang dihasilkan oleh adanya disintegrasi pembagian kerja. Bentuk yang rutin, menegaskan bahwa tindakan kolektif dipengaruhi oleh solidaritas, yang pada gilirannya akan memperkuat kembali solidaritas yang ada. Sementara itu, Weberian menganggap tindakan kolektif sebagai hasil pertumbuhan atau perkembangan komitmen ke dalam sistem kepercayaan
22
tertentu. Weberian juga membagi tindakan kolektif kedalam dua bentuk, yaitu yang bersifat rutin dan tidak rutin. Dalam bentuk yang tidak rutin, andil kepercayaan dari kelompok memiliki dampak yang kuat dan langsung terhadap tindakan kolektif kelompok. Sedangkan dalam bentuk yang rutin, ada dua hal yang terjadi, yakni organisasi berperan untuk memperantarai antara kepercayaan dan tindakan, serta bahwa interes kelompok memainkan peran yang besar dan langsung dalam tindakan kolektif. Tilly (1978;56) mengembangkan model mobilisasi dalam tindakan kolektif menjelaskan bahwa; ―....the main determinants dan mobilisasi kelompok itu meliputi; organisasi, interst, peluang atau ancaman, dan kemampuan kelompok dalam menyikapi represi atau fasilitasi...‖. Kemampuan kelompok atas tindakan represi merupakan fungsi pokok atas berbagai sifat interest yang muncul. Tindakan kolektif yang dilakukan oleh conteder/pembangkang adalah merupakan resultante dari aspek-aspek kekuasaan mobilisasi, peluang, ancaman yang saling berhadap-hadapan dengan interest yang ada. Model analisis mobilisasi Tilly dapat menopang kajian tentang perlawanan petani di Talangsari, dimana para petani yang menghendaki agar pemerintah mengembalikan hak-hak petani atau memperoleh ganti lahan setelah mereka terusir dari kawasan register 38 Gunung Balak. Tilly menjelaskan bahwa situasi revolusioner yaitu ketika beberapa jenis tindakan kolektif yang melawan pusat kekuasaan adalah jelas. Jenis tindakan ini dapat berupa demonstrasi, kerusuhan, gerakan sosial, revolt (perlawanan), perang sipil atau manifestasi antagonisme lain terhadap negara. Situasi revolusioner akan muncul ketika para pembangkang berhasil memobilisasi sumber-sumber finansial, organisasional, dan coercive resources. Sedangkan hasil yang revolusioner akan terjadi jika mobilisasi lebih besar daripada kemampuan negara dalam memanfaatkan kekuasaan, material, dan sumber-sumber alternatif untuk mencegah mobilisasi tersebut. MenurutSmelser (1981; 50) bahwa : ―....Tindakan kolektif muncul akibat adanya rasa ketidaksenangan, sedangkan rasa ketidaksenangan merupakan produk dari ketidaksesuaian antara kondisi objektif dan ide-ide tentang kondisi dan kenginan...‖. Ketidaksenangan juga dapat disebabkan oleh adanya rancangan struktur sosial yang menguntungkan kelompok tertentu, dan merugikan kelompok yang lain. Manusia memasuki episode perilaku kolektif karena ada sesuatu yang salah dalam lingkungan sosialnya. Kebanyakan formulasi ketegangan struktural itu tidak sistematik, semakin berbagai ketegangan muncul maka akan semakin cenderung muncul episode perilaku kolektif. Masih menurut Smelser (1981) dalam bukunya yang berjudul ―Theory of Collective Behavior” menjelaskan bahwa: ―....ketegangan struktural itu terkait dengan persoalan-persoalan; fasilitas situasional, mobilisasi motivasi, orientasi norma, dan orientasi nilai dalam gerakan....‖. Ia mengembangkan skema nilai tambah untuk menganalisis penentu perilaku kolektif. Penentu-penentu perilaku kolektif meliputi; ―.....pertama, kondusifitas struktural, yakni setting dimana perilaku kolektif dapat berlangsung, kedua, ketegangan struktural, yakni memburuknya hubungan diantara komponen-komponen tindakan dan sebagai konsekuensinya terjadi kemunduran fungsi dari komponen-komponen tindakan, atau terjadi unwillingnes dalam
23 mengikuti pola-pola tindakan yang sudah diatur secara institusional. Ketiga, tumbuh dan menyebarnya kepercayaan umum, yakni sesuatu yang mengidentifikasikan sumber ketegangan, kemudian menghubungkan karakter-karakter tertentu sumber itu, dan pada akhirnya menentukan respon tertentu atas ketegangan yang ada. Keempat, faktor-faktor yang mempercepat atau pemicu peristiwa. Kelima, mobilisasi partisipasi untuk bertindak, bahkan faktor ini sebagai awal munculnya perilaku kolektif aktual. Keenam, adanya kontrol sosial terhadap pelaksanaan perilaku kolektif...‖
Perlawanan atau gerakan sosial yang berhasil apabila ada dukungan dari pengikutnya, oleh sebab itu perlu adanya mobilisasi partisipasi dan pengkanalisasi serta penggiringan pemikiran para pengikutnya. Menurut Eric Hoffer dalam (Smelser, 1981; 448) menjelaskan bahwa ―....orang yang frustasi atau orang yang kehidupannya kurang terarah memiliki peluang yang tinggi untuk berpartisipasi...‖. Meskipun pendapat ini berbeda menurut Gomson, keikutsertaan seseorang itu bukan motif pribadi, akan tetapi justeru untuk memenuhi kebutuhan kolektif. Orang yang secara politik telah aktif dan memiliki komitmen bersama akan dapat berfungsi sebagai sumber perlawanan yang besar. Teori Mobilitas Sumber dalam pemikiran Mascur Olson‘s dalam Rajendra (2001; 106) menjelaskan bahwa ―....gerakan/perlawanan kontemporer memerlukan bentuk-bentuk komunikasi dan organisasi, dan yang lebih ditekankan adalah peran dari faktor-faktor objektif seperti; interest, organisasi, sumber, strategi dan peluang dalam berbagai mobilisasi kolektif yang berskala besar....‖ Sedangkan Mc. Charthy dan Zald dalam Rajendra (2001; 106-107) menjelaskan bahwa ―...teori mobilitas sumberdaya lebih menekankan adanya spirit dari organisasi dalam memobilisasi gerakan/perlawanan sosial, serta peran kelompok solidaritas dengan kepentingan kolektif dalam tindakan sosialnya...‖.
Faktor-faktor Pendukung Tindakan kolektif. Untuk mendukung tindakan kolektif terlebih dahulu harus terbentuk identitas kolektif. Klandermans(1995) mendefinisikanidentitas kolektif sebagaisalinginteraksidanberbagiyangdiproduksi olehbeberapaindividu(ataukelompokpadalevelyanglebihkompleks) danmemusatkanorientasinyapadatindakansertapeluangdankendala dimanaaksiterjadi.Terdapattigaunsurdalamidentitaskolektif,yakni: ―.....Pertama, identitaskolektifsebagaiprosesyangmelibatkandenifisi kognitif tentangtujuan, sarana, dan bidangtindakan; kedua,identitas kolektif adalahsebagaiproses yangmengacukepadajaringanrelasiaktif antara aktor yang berinteraksi, berkomunikasi, salingmempengaruhi,negosiasi,dan membuat keputusan. Bentuk organisasi dan model kepemimpinan,salurankomunikasi,danteknologikomunikasiadalah merupakan bagian dari jaringan relasi; dan ketiga,Tingkat tertentu dari investasi emosional, yang memungkinkan indivu merasakan seperti sebagaibagiandarisuatukesatuan.....‖.
Pengertianidentitasjuga bisa bermakna untuk berusaha menjadi seperti orang lain, adanya kesamaan sifat-sifat dasar dengan mengenyampingkan perbedaanperbedaansuperficial; suatuperasaankepribadianyang tetapsamadanberlanjutterus-menerus.MenurutTurner(2010) menyatakan ―...identitasadalahkesadaranakandiri,kedirian,tentang sosokyangsepertiapadirinyaitu.Identitasselalumelibatkanpersamaan
24
danperbedaan...‖. Terdapatkecenderunganuntukmelihatidentitassebagai sesuatu yang tetap, namun para sosiolog sebagian besar berpendapat bahwa identitas itu cair dan bisa berubah-ubah. Menurut Porta dan Diani (2006) bahwa ―... konstruksi identitas tidak dipandang secara sederhana sebagai prakondisi untuk suatu tindakan kolektif. Identitas sosial aktor dalam suatu periode tertentu, akan menuntun perilaku apa yang akan dimunculkan oleh aktor tersebut berikutnya...‖ Mengutip pendapat Tourine, Porta dan Diani menyatakan bahwa suatu tindakan terjadi ketika aktor mengembangkan kemampuan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri, aktor sosial yang lainnya, dan ditopang dari hubungan timbal balik diantara mereka. Dari uraian penjelasan teori berorientasi identitas, maka dapat dirumuskan tentang faktor-faktor determinan terjadinya gerakan sosial, yaitu : Adanya Identitas Kolektif.Menurut Polleta dan Jasper (2001) menjelaskan pentingnya identitas kolektif dalam tindakan kolektif adalah sebagai berikut : ―...identitas kolektif sebagai kognisi individu, moral, dan emosional yang dihubungkan dengan masyarakat luas, kategori, praktis, atau institusi. Identitaskolektifmenunjukkanpersepsitentang statusatau hubungan bersama yang mungkin bersifat imajinasidaripada pengalaman secara langsung, dan dibedakan dari identitas personal,meskipunidentitaskolektifmerupakanbagiandariidentitas personal. Identitas kolektif mungkin pertama kali dikonstruksi oleh orang luar, tetapi tergantung atas bagaimana orang-orang yang dikonstruksi itu penerimanya. Identitas kolektif diekspresikan dalam materi kultural, seperti; nama, narasi, simbol, gaya verbal, ritual, pakaian, dan sebagainya, meskipun tidak semua materi kultural mengekspresikan suatu identitas kolektif. Identitas kolektif tidak berimplikasi pada kalkulasi rasional sebagai evaluasi pilihan interes. Tidak juga seperti halnya ideologi, identitas kolektif menyertakanperasaanpositiftentanganggota-anggotakelompokyang lainnya...‖.
Definisi identitas kolektif yang dikemukakan oleh Polleta dan Jasper, dapat disimpulkan bahwa: pertama, identitas kolektif memiliki karakter multidimensional yang didalamnya menyangkut elemen-elemen kognitif, moral dan emosional, Kedua, identitas kolektif dibedakan dari beberapa konsep, seperti; ideologi, identitas personal, dan motivasi, Ketiga, identitas kolektif mengidentifikasikan beberapa referensi atau indikator. Sedangkan Tafjel dalam Turner (1986) mengemukakan bahwa : ―....terdapat empat komponen dalam identitas kolektif, yakni: 1) komponen kognitif, yang mengacu kepada proses tentang kategorisasi; 2) komponen evaluasi, yang mengacu kepada pemahaman tentang posisi relatif kelompok terhadap kelompokkelompok lain; 3) komponen afektif, yang mengacu kepada tingkat keterikatan dengan kelompok atau kategori; dan 4) komponen behaviour, yang mengacu kepada partisipasi dalam kelompok identitas....‖
Menurut Kriesi (2004) mengemukakan tentang tiga alat analisis untuk memahami bagaimana konstruksi suatu identitas kolektif, yaitu; ―....batas-batas, kesadaran dan negosiasi...‖. Ketiga alat analisis identitas kolektif ini (batas-batas, kesadaran dan negosiasi), meskipun analisisnya berbeda namun secara empiris ketiganya saling terkait. Batas-batas mengacu kepada struktur sosial, psikologis, dan fisik yang membangun perbedaan antara kelompok penentang dan kelompok dominan. Kesadaran mengacu kepada kerangka kerja interpretatif yang memunculkan perjuangan kelompok penentang untuk mendefinisikan dan mewujudkan kepentingannya. Sedangkan negosiasi meliputi simbol-simbol dan tindakan sehari-hari dari kelompok subordinat yang dipergunakan untuk
25
melawan dan merestrukturisasi dominasi sistem sosial. Dewasa ini para psikolog sosial secara sistematis mulai melakukan investigasi tentang bagaimana prosesproses identitas di dalam konteks tindakan sosial. Beberapa studi tentang peran identitas kolektif dalam mendorong terjadinya tindakan kolektif, diantaranya; Kelly dan Breinlinger (1996) mengkaji tentang bagaimana peran identitas kolektif dalam mendorong partisipasi pada gerakan buruh dan gerakan perempuan. Simon (1998) melakukan studi tentang peran dari identitas kolektif dalam mendorong partisipasi pada gerakan gay dan manula, De Weerd dan Kalndermans (1998) mengkaji tentang peran dari identitas kolektif pada protes petani di Belanda. Dari berbagaihasilstudiinimenunjukkanbahwapalingtidakadadua cara untuk mendorong partisipasi dalam suatu gerakan sosial, yakni: pertama, diarahkan oleh alasan-alasan instrumental tentang untung-rugi(costandbenefits) tentangpartisipasi;dankedua,diarahkanoleh proses-prosesdariidentifikasi. Prosesprosesidentitasmemilikiefek baik langsung maupun tidak langsung terhadap partisipasi dalam tindakan kolektif (protes) Selain identitas kolektif, diperlukan solidaritas dalam tindakan kolektif. Ritzer,George;Goodman,DouglasJ. ( 2009)memberikan Durkheim dalam perhatian terhadap kajian solidaritas melalui tulisannya tentang “The Division of Labor in Society”. Ia menjelaskan bahwa fungsi sesungguhnya dari pembagian kerja adalah untuk menciptakan solidaritas antara dua orang atau lebih. Durkheim membagi dua tipe solidaritas, yakni solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justeru dengan perbedaaan yang ada di dalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Menurut Friman dan Gomson dalam Snow, Soule dan Kriesi (2006) menyatakan bahwa; ―...solidaritas berakar dalam konfigurasi relasional yang menghubungkan anggota-anggota kelompok yang satu dengan yang lainnya...‖. Blumer dalam Snow, Soule dan Kriesi (2006), memberikan pandangan tentang ; ―....solidaritas melalui terminologi of esprit de corps, yakni perasaan pengabdian dan antusiasme untuk suatu kelompok yang dibagi oleh anggotanya. Esprit de corps menekankan bahwa solidaritas memiliki dua wajah, yakni: 1) suatu persekutuan badan yang dapat diidentifikasi sebagai kolektivitas (identificationof), dan 2) suatu spirit yang melibatkan perasaan identifikasi dengan kelompok (identification with). Dengan demikian, solidaritas mensyaratkan adanya identificationof dan identification with, yakni identifikasi entitaskolektive dan identifikasi partisipan dengan kumpulan aktor. Secarakonseptual, solidaritas dibedakan dari identitas kolektif, namun dua kontruk ini saling terpadu....‖.
Sejalan dengan pandangan Melluci, selanjutnya Della Porta dan Diani dalam dalam Snow, Soule dan Kriesi (2006) mendefinisikan bahwa; ―.....solidaritas sebagai kemampuan aktor untuk mengenali orang lain dan diakuisebagaimilikunitsosialyangsama. Solidaritasmemilikidua fokus fundamental, yaitu solidaritas internal dan solidaritas eksternal. Solidaritas internal difokuskan kedalam kelompok dan kepada para anggota kelompok, sedangkan solidaritas eksternal adalah suatu
26 identifikasidari(identificationof)danidentifikasidengan(identification with) kelompok. Konstruksi dari solidaritas internal dan solidaritas eksternaltergantungdaripembingkaian(framing)daripandangandunia (worldviews) atau ideologi....‖
Solidaritas memiliki dua ciri, yaitucorpus dan spiritus. Aspek Corpusdalamsolidaritasterkaitdenganciri-cirifisiktubuhsebagai sarana untuk realitas pengalaman dan merupakan komponen esensial dari identitas personal dan sosial. Identitas kolektif tergantung atas identifkasifisik tubuhdenganaktorterkait.Bagibeberapakelompok, identifikasifisikaktordiperlukansebagaigambaranataucitraentitas aktual. Sebagai contoh, Organisasi Militer menunjukkan citranya melalui penggunaan baju seragam sebagai suatu kesatuan. Kelompokkelompoklainnya,termasukgerakansosial,menggunakan berbagai cara untuk membangun lingkaran keanggotaan, misalnya denganmemakaiTshirts,stiker,dantanda-tandayanglainnya. Sedangkan aspekspiritusdalam solidaritas, sebagaimana dikatakan Blumer bahwa solidaritas melibatkan perasaan memiliki terhadap kolektifitas.Solidaritasmengisyaratkansuatuperasaantentangloyalitas dan interes emosional. Sebagaimana solidaritas, komitmen juga dipandang sebagai kunci untuk mengeksplorasi tentang partisipasidalamgerakansosial.ZurcherdanSnow(2006)menyatakan bahwa ―....komitmen (commitment) bersifat relatif, bervariasi dari satu gerakan ke gerakan yang lainnya, termasuk juga dalam gerakan yangsama...‖.KanterdalamSnow,Soule,&Kriesi(2006)memberikan pandanganyangberbeda,menurutnyakomitmenadalah― . . . kesediaan ataukerelaandiriuntuksyaratbagisuaturelasisosial...‖. BagiKanter, komitmenmengacukepadakerelaanseseoranguntukmencapaisyaratsyaratbagisuatutindakansosial.Komitmendapatdipandangsebagai identifikasiindividualdengankolektifitasyangmengarahkankepada pelengkap instrumental, afektif, dan moral bagi investasi aktivitas gerakan. MenurutKanter(1968) mendefinisikan bahwa: ―...komitmenadalahproses melalui kepentingan individu menjadi terikat dengan pola-pola organisasisosialdariperilakuyangdipandangdapat memenuhi kepentingannya, sebagai ekspresi alami dan kebutuhankebutuhandariorang...‖.DefinisikomitmenyangdikemukakanKanterini memilikikesamaandenganpandanganParsontentanginstitusionalisasi (institutionalization),yakniintegrasitentangharapan-harapandariaktor dalam sistem yangsesuai(relevan)denganperanpola-polanormatif tentang nilai-nilai bersama. Mayer dan Allen (2007) berdasarkan hasil penelitiannya, kemudian merumuskan bahwa : ―....terdapat tiga karakteristik komitmen dalam organisasi, yaitu; komitmen afektif : sebagi emosi positif keterkaitan dengan organisasi, komitmen kontinuitas : merupakan komponen kebutuhan atau keuntungan dibandingkan apabila tidak menjadi bagian dari anggota kelompok, dan komitmen normatifberkaitan dengan alasan seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok karena perasaan sebagai suatu kewajiban....‖.
27
Komitmen afektif merupakan komponen yang mendorong komitmen kelompok. Para anggota suatu kelompok yang memiliki komitmen afektif dengan kuat akan mengidentifikasikan dirinya dengan tujuan dari kelompok dan memunculkan hasrat untuk menjadi bagian dari kelompok tersebut. Karena merupakan komponen kebutuhan atau keuntungan dibandingkan apabila tidak menjadi bagian dari anggota kelompok, maka seseorang akan merasa rugi apabila dia tidak menjadi anggota atau meninggalkan kelompok tersebut ini bagian dari komitmen kontinuitas. Seseorang mungkin berkomitmen terhadap suatu organisasi karena dia memahami bahwa resiko biaya yang harus ditanggung terlalu tinggi apabila kehilangan keanggotaannya dalam kelompok tersebut. Ketiga konsep ini, yakni; identitas kolektif, solidaritas dan komitmen membentuk basissistematiskomprehensifyangmensintesakanperspektif-perspektif psikologi,psikologisocialdansosiologimakrodalammengkajigerakan sosial. Secara umum, identitas kolektif menjelaskan bahwa kelompok individu memiliki kepentingan, nilai, perasaan, dan tujuan bersama.Identitas kolektif di dalamnyameliputimenekankanpadakomitmendariindividu,danpada solidaritasdarikolektivitas,sertamenyorotisecaralebihluas,struktur makrososial dan dinamika yang melampaui gerakan kolektivitas, termasukyangmembantumembentukdanmemberikaninteres,konteks politik,simbolkultur,tujuan,dansebagainya. Sementara, komitmen memfokuskan perhatian kepada investasiindividudalam garis aksiindividu yangkonsisten dengan garis aksi yang dimunculkan oleh kolektivitas. Komitmen membantu menjelaskan hubungan individu dengan kolektivitas melalui perhatian yang utama kepada aktivitas individu. Sedangkan solidaritas memberikan perhatian kepada tingkat kohesivitas sosial yang eksis di dalam dan bersama kelompok. Solidaritas melakukan eksplorasi tentang hubungan individu dan kolektivitas dengan fokus utama pada kolektivitas. Selanjutnya, tindakan kolektif dalam bentuk perlawanan akan terjadi apabila ada jaringan sosial yang terbagun diantara aktor yang yang ada dalam komunitas tersebut. Menurut Simmel dalam Turner (1991; 551) dijelaskan bahwa pendekatan jaringan digunakan untuk mengetahui struktur dan relasi sosial yang merupakan ikatan bentuk ikatan diantara posisi atau titik. Penggunaan teori jaringan sosial secara kategoris ada dua pendekatan, yakni pendekatan melalui teori pertukaran rasional dan teori interaksionisme. Menurut Turner(1986), teori pertukaran memiliki beberapa pemikiran atau pendapat bahwa dalam transaksi sosialnya manusia selalu berusaha mendapatkan keuntungan melalui perhitungan cost dan benefit. Kalkulasi manusia tersebut tidak selalu akurat, karena manusia memiliki keterbatasan informasi tentang berbagai alternatif yang sedang dihadapinya. Manusia lebih cenderung mengejar tujuantujuan material dalam transaksi sosialnya. Tetapi juga mereka memobilisasi dan melakukan pertukaran sumber-sumber non material, seperti sentimen, layanan dan simbol-simbol tertentu. Sementara itu, Emerson (1962) mengemukakan serangkaian teorema yang mengandung prinsip bahwa ―....dalam interaksi sosialnya manusia senantiasa berinisiatif untuk mendapatkan rewards...‖. Menurutnya seseorang akan memiliki
28
power atau kekuasaan atas orang lain, jika dia memiliki rewards yang diinginkan oleh orang lain. Inisiatif senantiasa dilakukan oleh orang yang tergantung, bukan oleh orang yang memiliki kekuasaan, dan dalam hubungan pertukaran akan terjadi ketidakseimbangan, akan tetapi dalam perjalanan waktu para aktor akan berusaha menciptakan keseimbangan yang baru. Ide pokok Emerson (1962) sebagai tertulis dalam karyanya ―powerdependency realtion” terkait dengan konsep kekuasaan, keseimbangan, dan ketergantungan. Menurutnya, ketergantungan itu merupakan sumber utama kekuasaan. Aktor yang memiliki kekuasaan cenderung untuk melakukan eksploitasi terhadap mereka yang tergantung padanya, dalam relasi pertukaran pasti akan terjadi ketidakseimbangan pertukaran yang akan diikuti oleh upaya untuk membuat keseimbangan. Pendekatan yang lain dalam teori jaringan, adalah teori jaringan emosi, Menurut Lawler‘s keterjangkauan dan konektifitas di antara posisi merupakan hal yang sangat penting dalam jaringan. Jika individu dapat saling menjangkau satu dengan yang lain, membuat kontak, dan saling tukar sumber-sumber, maka keterjangkauan adalah merupakan kondisi struktural pertama yang paling utama bagi upaya produksi solidaritas yang tertinggi (terjadi kohesi). Kekuatan yang dapat memunculkan ikatan dan kerja yang kuat sehingga dapat melawan bahaya perpecahan adalah emosi. Emosi adalah lem yang mengikat struktur sosial untuk tetap bersama, mapan, memelihara ikatan dan kerja, serta menyelesaikan ancaman perpecahan jaringan kedalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Menurut Sheller(2000) studi tentang gerakan sosial telah bergerak dari pendekatan regional menuju pendekatan jaringan dan pendekatan arus. Pendekatan jaringan mengajukan proposisi bahwa jaringan merupakan fungsi relasi antara komponen-komponen yang berada pada jaringan. Pendekatan jaringan dapat memberi sumbangan yang baik tentang bagaimana gerak membentuk cluster yang tumpang tindih dari organisasi serta merupakan simbol dan tema yang saling mempersambungkan satu sama lain. Sementara itu, pendekatan ‗fluid‘ Sheller(2000) berasumsi bahwa ; ― ruang sosial itu berperilaku seperti cairan...‖. Gerakan sosial memiliki sifat seperti air yang mengalir. Oleh sebab itu diantaranya memiliki sifat kedatangannya tidak disertai dengan tanda yang jelas. Gerakannya tidak dapat dikaitkan dengan teori secara kaku, ada mobilitas dalam arah tertentu dan dalam kecepatan tertentu, tanpa akhir yang jelas, dan tujuannya pun sering kali tidak pasti. Adapun rasionalitas dalam pendekatan fluid adalah; ―pertama, tidak bisa mengabaikan aktor sosial secara phisik bergerak melalui ruang, kapan, dan dimana mereka bertemu dengan orang lain. Kedua, gerakan sosial secara instrinsik berhubungan dengan gerakan aktual manusia, informasi, dan jenis arus lain dalam wilayah geografis tertentu. dipengaruhi oleh sesuatu yang ada disekitarnya. Ketiga, selalu mengaitkan dengan insentif, ideologi, emosi, peluang politik dan aneka isu disekitarnya....‖.
Roger Gould (2000) melihat pembentukan jaringan sosial dari perspektif strukturalis dan rasionalis. Dalam perspektif strukturalis, jaringan sosial muncul karena dipengaruhi oleh konteks pola lokal atau struktur sosial. Aktor sosial terkait dalam peran khusus atau berada dalam kerangka kerja institusi tertentu. Bahwa perilaku sosial tidak hanya dipengaruhi oleh posisi ekonomi, sikap dan
29
pertimbangan untung rugi saja, akan tetapi juga oleh ―strong social attachments‖ terhadap orang lain. Sedangkan dalam perspektif rasionalis dikatakan bahwa formasi jaringan itu dipengaruhi adanya self-interest. Penelitian lapangan tentang perlawanan petani terhadap ketidakadilan agraria ini menggunakan telaah teori jaringan pertukaran dari Emerson. Adapun yang menjadi pertimbangannya adalah, ―.....pertama, peneliti bermaksud meneliti konsep-konsep teori jaringan dari Emerson dan pengikutnya seperti: power, power use, balancing, strong power, weak power, exchange. Kedua, dalam penelitian perlawanan petani di Talangsari ini peneliti bertujuan untuk melihat bagaimana konsekuensi-konsekuensi relasi sosial yang terjadi sebagai akibat dari struktur jaringan yang ada...‖.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, maka teori jaringan yang dipergunakan dalam studi ini adalah yang dapat menerangkan tentang bagaimana proses terciptanya struktur jaringan itu. Khususnya tentang pertimbangan atau motif yang dipergunakan oleh aktor untuk masuk berada, dan keluar dari jaringan. Beberapa pertimbagan atau motif yang sudah dikemukakan oleh temuan terdahulu misalnya; Lawler tentang kalkulasi rasional cost and benefit dalam teori pertukaran dan Turner, pertimbangan self-interest dari Gould, peran emosi sebagai perekat dari Lawler, dan pandangan bahwa jaringan itu mengalir dari Sheller.
Teori Labeling (Penjulukan). Latar Belakang dan Perkembangannya Teori labeling diasosiasikan memperkenalkannya pada tahun 1963 :.
dengan
Howard
Becker
yang
......”Deviasi bukanlah merupakan kualitas dari perilaku seseorang, namun lebih merupakan konsekuensi dari pelaksanaan aturan yang ditetapkan oleh kekuasaan dan sanksi yang dijatuhkan. Seorang deviasi adalah orang yang mendapatkan label dan menjalankan perilaku deviasi sesuai dengan label yang diberikan orang-orang kepadanya.
Teori labeling muncul sebagai akibat dari studi mengenai deviasi (penyimpangan perilaku), sekitar akhir tahun 50-an dan awal tahun 60-an, dan merupakan suatu penolakan terhadap teori konsensus atau teori struktural fungsional yang memahami deviasi sebagai perilaku yang menyimpang yang dapat mengganggu norma-norma sosial di masyarakat. Menurut teori labeling, deviasi bukanlah sebuah cara berperilaku, melainkan ―nama‖ yang diberikan kepada sesuatu, sebuah label/penandaan. Ini menandakan bahwa deviasi bukanlah sesuatu yang inheren dengan perilaku melainkan suatu outcome bagaimana individu dan perilaku mereka dilabel. Dengan demikian, makaperilaku yang melanggar hukum/aturan ini bukanlah yang difokuskan oleh teori labeling, melainkan ketika label tersebut mengenai orang-orang yang tidak bersalah dituduh dan diperlakukan seolah-olah devians oleh sistem hukum. Kebanyakan teori labeling meyakini bahwa sistem telah menjadi bias pada masyarakat kalangan menengah kebawah, sehingga dapat menimbulkan anggapan bias yang menyudutkan hingga akhirnya menjadi pelabelan sosial.
30
Becker mengklaim, bahwa kelompok sosial menciptakan penyimpangan (deviasi) dengan membuat aturan mendasar kepada orang-orang tertentu dan memberikan label mereka sebagai orang luar. Menurut Backer, dalam Study Sociology of Deviance, setelah individu mendapat julukan tersebut karena orang lain melihatnya dengan status individu menunjuk orang luar (Outsiders). Ini menunjukkan, ketika mempelajari devians, sesorang tidak harus menerima penyimpangan mereka sebagaimana adanya karena sesorang menganggap orang-orang tersebut benar telah melakukan penyimpangan atau melanggar beberapa aturan, karena proses teori labeling tidak sempurna. Label menyimpang tidak perlu berarti bahwa individu telah melakukan pemyimpangan di masa lalu. Becker juga menyatakan bahwa teori labeling memusatkan kajian terhadap reaksi orang lain (di luar dirinya) dan pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat untuk kemudian menghasilkan penyimpangan. Becker menguatkan bahwa deviasi bukanlah suatu properti yang melekat pada bentuk tingkah laku tertentu, tetapi properti yang digunakan individu untuk berperilaku. Perilaku menyimpang sesungguhnya tidak ada, setiap tindakan bersikap ―netral‖ dan ―relative‖. Artinya makna tindakan itu relative tergantung pada sudut pandang orang yang menilainya. Sebuah tindakan disebut sebagai perilaku menyimpang karena orang lain/masyarakat memaknai dan menamai (label) sebagai perilaku menyimpang. Jika orang atau masyarakat tidak menyebut sebuah tindakan sebagai perilaku menyimpang, maka perilaku menyimpang itu tidak ada. Penyebutan sebuah tindakan perilaku menyimpang sangat tergantung pada proses deteksi, definisi, dan tanggapan seseorang terhadap tindakan. Labeling dalam studi sosiologi adalah pemberian cap atau penjulukan terhadap seseorang yang dianggap menyimpang terhadap reaksi sosial di dalam masyarakat. Sejalan dengan pandangan tersebut, Nitibaskara (1994) berpendapat bahwa :―....labeling merupakan suatu teori yang muncul akibat reaksi masyarakat terhadap perilaku seseorang yang menyimpang...‖. Pada sisi lain Sujono (1994) berpendapat bahwa ―.....seseorang yang diberi label akan mengalami perubahan peranan dan cenderung akan berlaku seperti label yang diberikan kepadanya...‖. Deviasi (penyimpangan) dalam perlawanan komunitas petani Talangsari, adalah penyimpangan dari segi makrososiologi dengan mencari akar penyimpangan dari struktur sosial. Teori Merton dalam Sunarto (2004; 180) mengemukakan penyimpangan sosial pada jenjang makrososiologi, menurut hipotesis Merton perilaku menyimpang merupakan pencerminan tidak adanya kaitan antara aspirasi yang ditetapkan kebudayaan dan cara yang dibenarkan struktur sosial untuk mencapai tujuan tersebut. Teori Labeling disebut juga teori reaksi sosial, teori ini diilhami oleh teori interaksi simbolik dari George Herbert Mead. Menurut teori interaksi simbolik, manusia belajar memainkan berbagai peran dan mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran ini, terlihat dalam kegiatan yang menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka, serta mendefinisikan situasi-situasi tersebut. Lahirnya paradigma interaksionis simbolik mengubah pandangan yang berlandaskan pada paradigma positivis bahwa penjahat adalah jenis manusia yang unikdimana tingkahlakunya diatur oleh hubungan sebab akibat yang unik pula.
31
Menurut Michalowki (1987) dalam bukunya; Perspektif and Paradigm Structuring Criminological Thought, “Theory in Criminology” mengatakan; ―...kejahatan tergantung pada orang yang melihatnya; perbuatan tertentu adalah jahat karena kita mendefinisikan perbuatan tersebut sebagai kejahatan dan lalu kita bertindak sesuai dengan definisi tersebut. Selanjutnya Michalowki menjelaskan perilaku yang dianggap sebagai kejahatan akan diberi label jahat, dan individu yang melakukan perbuatan itu akan dilabel sebagai penjahat pula...‖.
Erving Goffman (2002) dalam bukunya “Stigma and Social Identity” menyatakan bahwa; ―...kondisi sosial membentuk kelompok-kelompok orang di dalamnya, seseorang yang berbeda dalam kategori tertentu selama proses sosialisasi akan diharapkan untuk dapat memiliki atribut tertentu sesuai dengan yang diisyaratkan kelompoknya...‖. Atribut inilah yang kemudian dapat membuatnya menjadi berbeda dengan orang lain di dalam kelompoknya, bahkan dapat membuat ia menjadi seseorang yang jahat dan berbahaya sehingga tidak diinginkan oleh kelompoknya. Inilah yang kemudian membawa seseorang ke dalam stigmatisasi. Selanjutnya Goffman mengemukakan tiga jenis stigma : pertama, sesuatu yang dibenci pada tubuh (cacat fisik), kedua, karakter individu, seperti kemauan yang lemah, gangguan mental, ketidakjujuran, perilaku politik yang radikal; ketiga, kesukuan, seperti ras, bangsa dan agama. Goffman meyakini bahwa semua jenis stigma tersebut di atas memiliki ciri sosiologis yang sama, yaitu adanya suatu perbedaan yang tidak diinginkan dari individu, sehingga ia berbeda dari yang diharapkan oleh kelompoknya. Stigma tersebut membuat orang meyakini bahwa orang yang memiliki stigma bukanlah manusia seutuhnya, dan hal ini mendorong rasionalisasi rasa permusuhan terhadap perbedaan. Masih menurut Erving Goffman, perilaku menyimpang terjadi karena adanya stigma, adalah penamaan (label) yang sangat negatif kepada seseorang/masyarakat sehingga mampu mengubah secara radikal konsep diri dan identitas sosial mereka. Adanya stigma akan membuat seseorang atau sebuah kelompok negatif dan diabaikan, sehingga mereka disisihkan secara sosial. Lebih lanjut, menurut Horald Garfinkel ada kalanya masyarakat secara formal melakukan stigmatisasi melalui penghinaan (dation ceremony) yang menjadikan orang sakit secara mental (mental illness) dan akibatnya mereka terus menerus melakukan perilaku menyimpang. Labeling adalah proses melabel seseorang, artinya sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu persatu. Ketika seseorang mendapatkan pelabelan yang mengarah ke arah kejahatan atau perilaku kriminal, maka orang tersebut dapat menjadi ―awas‖ untuk melihat sisi negatif mereka (misalnya seperti orang yang diberi julukan nakal, kriminal dan lain-lain). Calhoun menyatakan, teori labeling juga membantu dalam menjelaskan konsekuensi jangka panjang dalam pengaruh label sebagai deviasi pada identitas sosial seseorang. Pada prinsipnya, pelabelan sosial terbentuk dengan sistematisasi sebagi berikut :
32 Pertama, orang dapat terlibat dalam perilaku yang memiliki resiko untuk dilabeli sebagai penyimpangan, kenakalan, atau kriminal; Kedua, ada dua jenis perilaku divians; Primary deviance, yaitu mengasumsikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk melanggar norma-norma dan peraturan sosial dengan ataupun tanpa alasan yang jelas. Secondary deviance, yaitu setelah perilaku menyimpang dilakukan dan diberikan label sebagai trouble maker atau pembuat masalah, maka label ini akan melekat dan mengarahkannya untuk melakukan penyimpangan lebih banyak (ini yang menjadi fokus teori labeling). Secondary deviance terbentuk setelah masyarakat/sosial peduli dan hati-hati terhadap perilaku penyimpangan pertama, setelah label melekat, maka pergerakan perilaku kriminal justeru semakin meningkat.
Menurut Gidden dalam Mulyana (2004;162) dinyatakan bahwa ―....teori labeling penting, karena teori ini berangkat dari asumsi bahwa tidak ada suatu tindakan yang secara instrinsik kriminal...‖. Definisi kriminalitas ditetapkan oleh pihak yang berkuasa, melalui perumusan hukum dan interpretasi oleh polisi, pengadilan dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Proses pelabelan sangat dahsyat sehingga korban-korban pendefinisian salah kaprah ini tidak dapat menahan pengaruhnya. Karena hantaman pelebelan yang bertentangan dengan pandangan mereka sendiri, citra diri asli mereka sirna dan digantikan citra diri baru yang diberikan orang lain. Meskipun pada awalnyahal tersebut bertentangan dengan keinginan mereka. Dampak pelabelan ini lebih hebat terutama bagi orang yang berada pada posisi yang lemah dan termarginalkan dari kancah kehidupan sosial. Dengan kata lain, teori ini menyatakan bahwa bagaimana identitas diri dan perilaku dipengaruhi atau diciptakan oleh sistem sosial. Dalam teori labeling, ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan bahwa seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devians dan diperlakukan seperti orang yang devians akan menjadi devians. Dalam sosiologi dan kriminologi, teori ini memfokuskan pada tendensi linguistik yang mayoritas memiliki label negatif daripada keadaan sebenarnya atau seperti deviasi dari normanya dan ini terkait dengan konsep diri dan stereotyping. Sebagai terapan dari fenomenologi, hipotesis teori ini menyatakan bahwa label yang diberikan akan mempengaruhi perilakunya, sebagian besar penerapan ini memiliki label dan stigma yang negatif (pemberontak, kriminal), meningkatkan perilaku yang menyimpang dan menjadi suatu konsep diri. Sebagai contoh, seorang individu yang diberi label memiliki kesempatan yang kecil untuk menginformasikan arti sebenarnya dari penilaian (pelabelan) tersebut. Dalam pandangan sosiologis, pelabelan berkaitan dengan seseorang yang kemudian diberi label spesifik diagnosa penyakit mental sehingga mengakibatkan penyimpangan perilaku, sehingga orang lain kemudian mendapatkan perawatan medis sebagai orang yang sakit mental. Ada dua jenis masyarakat yang melakukan penjulukan terhadap orang lain: (1) Hard labeling, orang-orang yang tidak memperpercayai adanya sakit mental. Itu hanyalah penyimpangan perilaku dari norma masyarakat yang menyebabkan orang-orang percaya adanya sakit mental. Hingga sebenarnya, sakit mental merupakan penyakit hasil dari konstruksi sosial dan kelainan psikotis yang sebenarnya tidak ada. (2) Soft Labeling, orangorang yang mempercayai adanya sakit mental, dan sakit mental bukalah hasil dari konstruksi sosial.
33
Elemen-eleman Dasar Teori Labeling Menurut Becker dan Lemert (1997), ada empat elemen dasar dari teori labeling, yaitu : (1) Label sosial yang diberikan pada perilaku tertentu. Teori labeling menyatakan bahwa perilaku abnormal pada faktanya diciptakan oleh harapan sosial (social expectations). Hal ini berarti bahwa kondisi sosial menciptakan norma-norma dan aturan-aturan yang mengharuskan setiap individu untuk mengikutinya, dan apabila tidak mengikutinyamaka akan didefinisikan sebagai perilaku yang abnormal. Teori labeling melihat bagaimana konteks sosial dan faktor sosial berpengaruh pada dianogsis perilaku abnormal. Thomas Scheff (1948) menyebutnya sebagai kesalahan adaptasi aturan sosial. Thomas mengungkapkan bahwa kondisi seseorang yang mengalami penyimpangan mental akan semakin menderita setelah diberi label gila. (2) Kriminalitas kebanyakan disebabkan oleh peraturan sosial. Ketika peraturan dianggap sebagai sesuatu yang harus ditaati, akan tergantung pada signifikansi moral masyarakatnya. Misalanya; perilaku seks bebas bukanlah suatu hal yang salah di negara Amerika ataupun negara-negara Eropa lainnya. Namun, perilaku seks bebas, misalnya dalam melakukan hubungan sebelum menikah, termasuk dalam kategori perzinahan di negara Islam, dan ini disebut sebagai pelanggaran bahkan pelakunya dilabel/stigma sebagai perilaku kriminal. (3) Kontrol sosial memperburuk masalah kriminal. Teori labeling meyakini bahwa pelabelan dan reaksi yang keluar sebagai ―kriminal‖ diantisipasi dengan cara yang negatif, sehingga menyebabkan masalah kriminalitas menjadi semakin buruk. Teori ini meyakini bahwa campur tangan peradilan terhadap kriminalitas sudah terlalu jauh, dan ini sangat berbahaya, sehingga justeru akan menjadi penyakit kriminal yang inheren dengan diri seseorang. Broadly (1989), mendefinisikan kriminal sebagai penolakan terhadap konsep legalitas dari arti kejahatan itu sendiri. Teori labeling memiliki konsep yang kritis terhadap perilaku kriminal dan pelanggaran hukum. Untuk memastikan, para ahli sepakat bahwa pembunuh, misalnya memang patut untuk dicela, namun argumentasi ini tidak membahayakan lantas membuat orang bertindak kriminal. Walaupun pada akhirnya, ternyata pelabelan dapat menyebabkan aksi yang bervariasi dari situasi ke situasi. Masyarakatlah yang menyebabkan suatu perilaku dijulukisebagai tindakan kriminal. Ini disebut sebagai titik pandang konstruksi sosial dimana variasi kriminalitas kian berubah dari situasi ke situasi yang lain, melewati ruang dan waktu. Ini juga disebut sebagai titik pandang interaksi simbolik dimana kriminalitas didefinisikan dengan simbol dan makna yang dikomunikasikan antara seseorang dengan orang lain. Perilaku menyimpang bukan merupakan perlawanan terhadap norma, tetapi berbagai perilaku yang berhasil didefinisikan atau dilabeli menyimpang. Penyimpangan tidak inheren dalam tindakan itu sendiri tetapi merupakan respon terhadap orang lain dalam bertindak. Pelabelan itu sendiri menghasilkan atau memperkuat penyimpangan. Respon orang-orang yang menyimpang terhadap reaksi sosial menghasilkan penyimpangan sekunder yang mana mereka mendapatkan citra diri atau definisi diri (self-image or self definition) sebagai orang yang secara permanen ―terkunci‖ dengan peran orang yang menyimpang.
34
Penyimpangan merupakan outcome atau akibat dari kesalahan sosial dan penggunaan kontrol sosial. (4) Adanya kekuatan yang saling berhubungan antara orang yang dilabeli dengan label yang diberikan. Teori labeling melihat terkadang manusia adalah korban dari interpretasi atau label yang diberikan orang lain sehingga identitas sosial mereka dapat dipaksakan kepada mereka, sekalipun bertentangan dengan kemauan mereka. Pelabelan sebenarnya problematik, benar atau salah pelabelan itu, reaksi yang akan diberikan objek yang dilabeli terhadap orang lain ―membenarkan‖pelabelan tersebut, sehingga pelabelan ini telahdibuatnya sendiri. Kasus ini menjadi realitas bagi pelabel dan orang yang dilabeli. Ungkapan William I Thomas ―if men define situations as real, they are real in their consequence” masih aktual. Manusia memutuskan melakukan sesuatu berdasarkan penafsiran atas dunia di sekeliling mereka. Lebih lanjut Howard S.Becker (1963) dalam Outsiders : Studies in the Sociology of Deviancemenggambarkan bahwa : proses pelabelan itu bisa berlangsung melalui tahapan sebagai berikut ― “.....Pertama, orang berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang, tergantung pada bagaimana orang lain menilainya. Segala sesuatu yang dianggap tidak masuk kedalam kategori-kategori yang dianggap sudah baku oleh masyarakat (dinamakan residual), otomatis akan dikatakan meyimpang (seorang devians). Kedua, penilaian itu berubah dari waktu ke waktu, sehingga orang yang katakanlah hari ini dinyatakan sakit bisa dinyatakan sehat (dengan gejala yang sama) beberapa tahun kemudian, atau sebaliknya....‖.ketiga, penonton sosial (masyarakat) kemudian berhubungan dengan agen kontrol sosial untuk melakukan tindakan dalam bentuk penangkapan/penahanan terhadap individu atau kelompok sosial yang dianggap menyimpang; keempat, setelah melakukan penangkapan dan penahanan kemudian diproses secara hukum dan mendapatkan vonis sebagai pelaku penyimpangan serta mendapatkan hukuman (dipenjara/kurungan) atau masuk rumah sakit jiwa yang merupakan vonis atau penjatuhan sangsi.
Kekuatan suatu label yang kemudian berwujud antara pemberi label dan yang diberi label dipengaruhi siapa yang memberi label dan siapa yang diberi label, semakin kuat kewenangan suatu pihak yang memberi label, maka akan semakin lemah posisi tawar pihak (individu atau kelompok) untuk melakukan pembelaan terhadap diri atau pihaknya. Adanya kekuatan yang saling berhubungan antara orang yang dilabeli dengan pelabelan yang diberikan; Pertama, master status, adalah label yang dicantelkan yang biasanya terlihat sebagai karakteristik yang lebih atau paling menonjol dari aspek lainnya pada orang yang bersangkutan. Kedua, Deviant Career dimana konsep dirinya mengacu pada suatu tahapan ketika si devians mulai menjadi devians secara penuh. Erikson menyatakan bahwa penyimpangan bukanlah suatu bentuk perilaku yang inheren tetapi merupakan pemberian dari anggota lingkungan yang mengetahuinya dan menyaksikan tindakan mereka secara langsung maupun tidak langsung.
Kerangka Pemikiran
35
Perlawanan (resistensi) dalam pandangan umum senantiasa berasosiasi dengan tindakan yang dilakukan untuk memberikan respon dan reaksi atas kondisi tertentu (realitas sosial) di masyarakat. Berbicara realitas sosial meliputi hubungan-hubungan yang spesifik seperti antar individu, hubungan sosial, ekonomi dan politik. Oleh sebab itu disertasi ini perlu membatasi ruang pembahasan dimana fokus perhatian lebih kepada kajian atas reaksi terhadap relasi-relasi sosial yang ada di masyarakat dan juga relasi-relasi kekuasaan yang terjadi antara masyarakat dan negara. Mengingat kondisi relasi kuasa sosial suatu negara di bawah kekuasaan tertentu, maka perlawanan dalam konteks ini dapat bermakna sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa, kendati demikian bentuk perlawanan ini merupakan kumpulan keinginan dan kepentingan untuk mengubah keadaan. Terkait dengan perlawanan petani dengan melihat berbagai kasus terdahulu yang terjadi di Indonesia pada era 1980-an termasuk yang terjadi di Register 38 Gunung Balak yang berujung pada kasus Talangsari, rakyat atau petani senantiasa ditempatkan pada posisi yang tertindas dan dikalahkan. Setiap langkah perlawanan petani sebagian besar dapat dipatahkan bahkan dihancurkan. Manipulasi, intimidasi, represi, pembantaian, penindasan dan demoralisasi dan yang berkaitan dengan perlawanan komunitas Talangsari adalah stigmatisasi dari militer dan aparat negara lainnya, didukung oleh tokoh-tokoh dan elit-elit lokal. Kekalahan dalam konteks ini menjadi sesuatu yang nyata dan itu berarti semakin memarginalkan posisi petani. Perlawanan petani di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan pergolakan agraria. Politik penataan dan penggunaan ruang kawasan yang dipraktekkan dalam kebijakan pembuat akses, hak dan ruang hidup dalam setiap perubahan rezim dari waktu ke waktu tetap menempatkan masyarakat pada posisi yang terabaikan. Kebijakan rezim Orde Baru yang bernuasa semi-otoriter lebih mengedepankan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan setiap persoalan, baik dalam kebijakan di bidang ekonomi maupun di bidang politik. Sementara itu, pada basis struktural kita dapat melihat bahwa adanya oligarki elit yang menguasai sumber daya politik dan ekonomi ternyata berdampak pada munculnya kelompok-kelompok yang termarjinalkan dan termiskinkan secara struktural yang pada akhirnyaberdampak pada kesadaran kelas mereka dengan menggunakan ―syariat Islam‖ sebagai basis ajaran sentral yang dapat menggantikan peran negara yang gagal mengantisipasi kesenjangan struktural tersebut. Hal ini karena kebijakan yang dianut oleh otoritas pengelola kawasan (negara) dengan segenap pendukungnya sangat dipengaruhi paradigmatik yang lebih bercorak konservatif develepmentalistik. Dalam sudut pandang paradigmatik ini, masyarakat disekitar dilihat sebagai ancaman, dari pada solusi pengelolaan. Hal ini berbenturan dengan pandangan masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan yang meyakini bahwa pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang ada memberi ruang dan hak akses bagi masyarakat. Perbedaan pandangan antara negara dan masyarakat inilah yang seringkali melahirkan konflik agraria. Konflik agraria merupakan buah dari beragam ketimpangan agraria, baik penguasaan, kepemilikan maupun peruntukan sumber-sumber agraria (Wiradi, 2009). Untuk kasus perlawanan petani di Talangsari Way Jepara Lampung Timur tidak terlepas dari persoalan agraria yang terjadi di kawasan itu.
36
Maka pada titik inilah, kebijakan penghapusan beberapa desa yang dilanjutkan dengan relokasi penduduk yang berada di register 38 Gunung Balak Lampung melahirkan aksi perlawanan dalam berbagai bentuk. Adapun tujuan aksi perlawanan petani adalah untuk menuntut pengakuan dan mengembalikan hak dan akses atas sumberdaya tanah yang dimilikinya yang sebagian besar terhempas oleh berbagai kebijakan negara yang terkesan tidak konsisten dan tidak memenuhi rasa keadilan.Ternyata kegerahan dan reaksi petani yang diwujudkan dalam bentuk tetap bertahan dan tidak mau meninggalkan tempat tinggal dan lahan garapan serta upaya untuk melakukan pendudukan lahan yang sudah ditinggalkan dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan elit, baik penguasa lokal di daerah maupun elit supra lokal yang ada di Jakarta. Penguasa lokal memang tidak lain adalah ―political broker‖ bagi keberlangsungan kekuasaan pusat. Mau tidak mau kekuasaan lokal harus mengikuti kemauan kekuasaan pusat. Dengan kata lain, kekuasaan lokal tidak dapat beranjak dari kekuasaan pusat dalam arti meringankan tekanan politik selalu tidak dimungkinkan. Lebih lagi kolektivitas petani yang ada diantaranya dikomandoi oleh Warsidi yang selama ini telah membangun solidaritas kolektif disamping karena adanya kepentingan akan pemilikan dan penguasaan lahan juga didasarkan pada nilai-nilai kebersamaan sebagai sesama muslim. Oleh sebab itu, dilakukanlan operasi-operasi intelejen oleh kekuasaan pusat untuk melemahkan dan sekaligus melumpuhkan kolektivitas yang selama ini terkonsolidasi dengan melakukan penetrasi dalam setiap gerakan perlawanan baik dari mobilisasi aktivasi, pengorganisasian dan memunculkan ketegangan struktural, serta membelokkan arah tujuan gerakan perlawanan yang semula untuk mempertahankan dan memperoleh hak atas kepemilikan dan penguasaan lahan menjadi gerakan perlawana dengan tujuan untuk mendirikan perkampungan muslim di Lampung (negara dalam negara). Stigmatisasi adalah bentuk lahir dari hate crime, dan tidak jarang hal ini melahirkan kejahan-kejahatan lainnya seperti tindak kekerasan fisik. Ironisnya hate crime tidak hanya dilakukan oleh sekelompok masyarakat, melainkan juga oleh penguasa terhadap kelompok yang dianggap mengancam kekuasaannya. Penguasa Orde Baru menggunakan media—baik cetak maupun elektronik, dan berbagai media lainnya sebagai mesin-mesin propaganda yang bergerak leluasa untuk mempengaruhi dan merekayasa persefsi publik sejak peristiwa perlawanan komunitas Talangsari itu terjadi pada tahun 1989. Sehingga perlawanan komunitas petani Talangsari dianggap sebagai gerombolan yang menimbulkan kekacauan dan stabilitas negara dan perlu ditumpas sampai keakar-akarnya. Padahal mereka melakukan perlawanan untuk memperoleh hak-hak agrarianya yang selama ini menjadi penopang kehidupannya. Oleh karena itu, perlu adanya rekostruksi ulang untuk mengetahui bahwa perlawanan komunitas petani di Talangsari merupakan proses sejarah ketidakadailan agraria yang dilabelkan sebagai gerakan pengacau keamanan. Perlawanan komunitas Talangsari semakin berani/bringas, ketika keterlibatan aktor supra lokal yang berperan aktif dalam mengkonstruksi pemikiran dengan menggunakan basis ideologi (Islam) dalam memobilisasi kekuatan perlawanan.Akibatnya mereka terjebak dalam tindakan perlawanan yang menggunakan simbol-simbol keagamaan (Islam) yang seringkali dijadikan oleh
37
aktivis Darul Islam dalam perjuangannya. Sehingga menimbulkan kesan publik yang menyatakan bahwa para pejuang Darul Islam selalu ingin mengadakan konfrontasi dengan pihak ABRI dan penguasa, melalui tindakan pengacauan, pemberontakan. Kuatnya hegemoni negara mengakibatkangagalnya perlawanan petani, bahkan label sebagai gerombolan pengacau keamanan melumpuhkan kolektivitas gerakan, bahkan yang lebih parah lagi akibat adanya pelabelan, kolektivitas masyarakatnya menjadi lumpuh dan tercerai berai; ada endapan kolektivitas sejarah masyarakat lokal sebagai pencilan.
38
KERANGKA TEORI (TEORI PELUMPUHAN) TEORI LABELING
Islam Politik (NII)
NEGARA
PELABELAN
Gerombolan Pengacau
AKTOR SUPRALOKAL TINDAKAN KOLEKTIF ( II)
PETANI
1. 2. 3. 4. 5.
Kepentingan Organisasi Mobilisasi Peluang Ancaman
Identitas Kolektif, Solidaritas dan Komitmen
Penilaian
TINDAKAN KOLEKTIF (I)
Penangkapan Saat, sesudah peristiwa
Penghukuman Jaringan Sosial
Pemenjaraan (proses/tidak hukum)
LUMPUH KOLEKTIVITAS PETANI
39
3 METODOLOGI PENELITIAN Paradigma Penelitian Seturut dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian ini, studi ini mengacu kepada model paradigma post-positivistik. Mengingat penelitian ini memfokuskan pada tindakan-tindakan kolektif petani dan pelabelan oleh aktoraktor supra lokal dalam perlawanan petani. Ketegangan struktural agraria menjadi prakondisi perlawanan petani yang peneliti gunakan untuk mencari penjelasan tentang sumber utama munculnya perlawanan komunitas petani Talangsari. Berdasarkan penjelasan di atas, perlawanan komunitas petani Talangsari diasumsikan bahwa perlawanan terdiri atas struktur sumber daya yang dikonstruksikan oleh aktor yang terlibat dalam upaya untuk mencapai tujuannya. Kapasitas pelaku perlawanan berada dalam dua ruang sekaligus, yakni dependensi dan otonomi dalam memproduksi makna-makna, mengaktivasi dan mengambil keputusan dalam gerakan perlawanan. Artinya, asumsi ini lebih menekankan pada kapasitas aktif dan kreatif para aktor perlawanan daripada selalu tunduk terhadap kondisi-kondisi struktural yang ada. Perlawanan petani merupakan hasil konstruksi para aktor dalam mendefinisikan isi yang sangat bermakna dalam perjuangan jangka pendek dan jangka panjang dan dalam mengorganisir perilaku kolektif petani. Oleh sebab itu, teori utama yang digunakan untuk menganalisis perlawanan petani adalah teori tindakan kolektif dengan tindak mengabaikan aspek sosial psikologis, seperti grievances, values, ideology. Alat analisis ini oleh Barkan dan Snowden (2000, 25) disebut dengan perspektif konstruksionis sosial. Mengacu pada pengertian dan pembagian paradigma penelitian yang dikemukan oleh Guba dan Lincoln (1994, 107-109), pada tataran metodologis digunakan pendekatan pemahaman timbal balik antar-subjektif (intersubjektive understanding), peneliti berusaha melakukan dialog intersubjektif antara peneliti dan tineliti. Disinilah terjadi arus timbal balik antara duania sosial yang diperbuat oleh tineliti dan wacana ilmiah yang dilakukan oleh peneliti, karena subjektivitas itu tumbuh dan berkembang di dalam praktek-praktek hubungan sosial di antara keduanya melalui cara dialogis. Namun demikian, peneliti tidak menafikkan penggunaan paradigma lain (paradigma kritis), mengingat untuk memahami realitas historis yang dibentuk oleh proses sejarah, paradigma kritis mengakui dan memberi ruang pada sifat-sifat objektif dari realitas. Pada titik ini pemahaman atas dimensi historisitas menjadi utama.Dalam paradigma ini, termasuk pada aras aksiologis, untuk apa penelitian ini dilakukan. Sebab, sebuah aksi kolektif petani tidak bisa dilepaskan atau selalu melibatkan subjektivitas dari setiap aktor yang memiliki kepentingaan terangterangan atau tersembunyi. (manifest atau latent).Maka interpretatif menjelaskan bahwa setiap ungkapan memiliki semantik terhadap maksud peneliti dalang lingkup kebudayaan di tempat penelitian. Sebagaimana dijelaskan Suseno (1992) tujuan teori kritis adalah untuk menjelaskan dan memetakan realitas sosial dengan jernih dan analitik. Dengan paradigma kritis, studi ini diharapkan dapat mengurai dan membongkar selubung, akar, sejarah dan karakteristik, strategi batas dan
40
kesempatan dari perlawan petani sekaligus untuk memetakan kontestasi politik penataan dan penguasaan kawasan register 38 Gunung Balak Lampung. Sebab paradigma teori kritis juga menghendaki sebuah usaha pencerahan dan berkepentingan mengungkap tabir yang menutup dan menyelubungi kenyataan yang tidak adil dan tidak manusiawi yang terkadang hinggap dalam kesadaran manusia. Sehingga paradigma kritis memiliki tujuan membongkar kesadaran struktur-struktur sosial, ekonomi, politik dan budaya yang membutakan dan menutupi beragam kenyataan yang sebenarnya terjadi. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil tempat di dusun Talangsari Way Jepara Lampung Timur Propinsi Lampung tempat terjadinya perlawanan petani pada tahun 1989. Adapun alasannya; pertama, beberapa orang penduduk Talangsari adalah petani yang berasal dari beberapa daerah yang di register 38 Gunung Balak yang direlokasi, akibat adanya upaya pemerintah memfungsikan kembali Waduk Way Jepara. Kedua, Talangsari adalah tempat terjadinya kasus perlawanan petani ―Komunitas Warsidi‖ pada tahun 1989. Pokok dan Konsep Penelitian Persoalan yang menjadi pokok dalam penelitian ini, yaitu: kondisi-kondisi yang berpotensi sebagai pendorong utama munculnya perlawanan petani, bentukbentuk perlawanan petani serta implikasi perlawanan pertani terhadap kehidupan saat ini. Berdasarkan ketiga pokok penelitian tersebut di dalamnya dapat dijabarkan tiga konsep utama sebagai berikut: a. Ketegangan struktural agraria akibat dari adanya ketidakpastian struktur agraria dapat menstimulir munculnya perlawanan petani, dalam studi ini secara khusus konsepsi ini difokuskan terjadi dalam bentuk konflik-konflik pertanahan antara komunitas lokal (petani) dengan negara, karena petani mempertahankan kuasa atas tanah (sumberdaya agraria) berhadapan dengan kekuatan institusi supra desa tersebut (negara). Akibatnya terjadi ketegangan yang melahirkan perlawanan pada komunitas petani. b. Tindakan kolektif dalam perlawanan petani, yang dalam arti sempit (praktis) dimaknai sebagai tindakan terorganisir dan non institusional yang dikonstruksi sebagai perwujudan reaksi atau respon petani terhadap tindakan pihak lawan atas penguasaan tanah pertanian yang merugikan petani. Dalam arti luas (strategis) dimaknai sebagai suatu usaha kolektif petani terorganisir dengan tujuan untuk merombak tatanan sosial agraria yang adil dan demokratis sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan petani. c. Pelabelan (Stigmatisasi) terhadap gerakan kolektivitas komunitas Warsidi di Talangsari sebagai gerombolan pengacau keamanan yang berusaha menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain (Islam), melalui kekuatan media sosial dan kekuatan sosial lainnya, dengan melakukan pembentukan opini dan pencucian otak, sehingga fakta perlawanan petani berbeda dengan yang sebenarnya terjadi. Opini yang terbangun di kalangan masyarakat, yakni kebenaran akan kekejaman di luar perikemanusiaan yang
41
dilakukan oleh komunitas Warsidi di Talangsari terhadap aparatur setempat dengan melakukan pemberontakan dan pembunuhan. Matrik 1. Pokok Penelitian, Unsur Data dan Teknik Pengumpulan Data 2014 No
Pokok Penelitian
Unsur-unsur Data
Metode Pengumpulan D
DS
Kondisi fisik, V V perkembangan Wilayah administrasi dan budaya Dinamika Petani Lampung dari masa ke masa V V 2 Ketegangan Proses dan status V V Struktur Agraria penguasaan tanah pertanian oleh petani Proses pengambilalihan V V dan pembebasan tanah petani oleh negara Perlakuan pemerintah terhadap petani yang V V menolak direlokasi 3 Aksi Kolektif Latar Belakang lahirnya V V Perlawanan Petani aksi kolektif petani Bentuk-bentuk aksi petani V V 4 Pelabelan negara Proses pelabelan negara V terhadap aksi terhadap aksi kolektif kolektif petani petani V V Bentuk-bentuk pelabelan Dampak pelabelan negera V V terhadap kehidupan petani Ket : D (Dokumentasi), DS (Data Sekunder), W (Wawancara), O (Observasi). 1
W
O
Potret Lampung dari masa ke masa
V
V
V V V V V V
V
Metode Penelitian Pilihan paradigma penelitian di atas jelas mengarahkan pada penelitian ini adalah penelitian kwalitatif, sehingga bersifat multi-disiplin sebagaimana dijelaskan berikut ini : Pendekatan Utama : Sosiologi Sejarah dan Sejarah Sosiologis Dengan melihat pilihan paradigma dan bentuk pertanyaan penelitian, maka strategi yang paling tepat untuk penelitian ini adalah studi kasus. Sebenarnya ada tiga kemungkinan strategi penelitian untuk menjawab pertanyaan “mengapa‖ dan ―bagaimana” yaitu studi kasus, analisis historis, dan eksperimen (Yin, 1996; 9). Namun dalam penelitian ini dipilih hanya studi kasus karena masalah penelitian ini adalah ―perlawanan petani‖. Menurut Yin (1996; 18) kreteria untuk studi kasus adalah gejala sosial yang tidak dapat dilepaskan dari konteksnya sehingga mustahil untuk melakukan misalnya eksperimen. Gejala tersebut, sejauh menyangkut perlawanan petani di Talangsari masih tergolong fenomena kontemporer, artinya masih berada dalam rentang sejarah Indonesia modern dan sebagian dari para pelaku dan saksi sejarah masih hidup. Dengan demikian
42
metode historis dalam pengertian Yin (1996: 12), yaitu semata-mata mendasarkan diri pada sumber-sumber sekunder (dokumen dan peninggalan fisik). Namun teknik-teknik analisis historis tersebut, yaitu analisis dokumen dan peninggalan fisik, akan digunakan juga melengkapi dua teknik utama metode studi kasus, yaitu pengamatan dan wawancara mendalam. Mengingat gejala ―perlawanan petani di Talangsari‖ adalah gejala yang mengandung dimensi-dimensi struktural (sosiologis) dan prosesual (historis) sekaligus, maka—agar kedua dimensi itu tertangkap—pilihan strategi studi kasus tadi harus memadukan dua pendekatan sekaligus yaitu sosiologi sejarah (sejarah struktural) dan sejarah sosiologis (sejarah prosesual). Pendekatan pertama menjelaskan mengapa terjadi sesuatu (konteks sosial kejadian) sedangkan yang kedua menjelaskan ―bagaimana proses terjadinya sesuatu itu‖urutan kejadian (Kartodirdjo, 1992:4-5). Dengan memadukan kedua pendekatan tersebut, maka penelitian ini tidak lagi semata-mata studi sosiologi sejarah (historikal sociology) yang bersifat statis tetapi lebih dari itu telah menjadi studi sosiologi tentang sejarah sosial, yakni studi tentang perlawanan yang dilakukan oleh komunitas Warsidi di Talangsari terhadap pemerintah setempat. Metode Kasus Metode penelitian ini adalah ―metode kasus historis‖ karena pokok kajian penelitian ini bukan suatu kejadian sosial pada suatu waktu tertentu, melainkan suatu gejala atau proses sosial dalam suatu rentang waktu tertentu. Metode kasus historis dalam penelitian ini memadukan dua aras studi, yaitu aras individu dan aras masyarakat lokal. Dengan demikian secara teknis studi ini terbagi ke dalam dua bagian yang saling berkaitan yaitu studi riwayat hidup individu dan studi sejarah lokal atau sejarah masyarakat Lampung lebih khusus masyarakat Talangsari. Studi Riwayat Hidup Individu. Menurut Denzim (1970; 220) studi riwayat hidup di sini tidak hanya membatasi diri pada kajian pengalaman individu tineliti sebagai cara memahami tindakan sosial yang dilakukan oleh seseorang yang berkaitan dengan tindakan orang lain, akan tetapi juga mencakup kajian pengalaman dan pemahaman dari sisi pandang individu peneliti itu sendiri sebagai suatu metode untuk memahami tindakan sosial. Riwayat individu tersebut mencakup tiga aspek, yaitu : pertama, cerita individu tersebut tentang kehidupannya, kedua, situasi sosial dan kultural yang menjadi ajang tindakannya, dan ketiga, rentetan pengalaman dan situasi masa lalu dalam kehidupannya.(Denzim, 1970; 220, 222). Langkah ini ditempuh sebagai implikasi dari paradigma penelitian yang mengharuskan dialog antara subjek tineliti dan subjek peneliti. Dialog tersebut ditafsirkan disini sebagai dialog‖riwayat hidup dimana tineliti saling membanding pengalaman hidup mereka, tentunya dalam hal-hal yang relevan dengan tujuan penelitian ini, sampai tercapai suatu kesepakatan tentang ―mengapa dan bagaimana‖ suatu peristiwa/gejala sosial terjadi.
43
Riwayat Hidup Tineliti Alport (1942) dalam Denzim (1970: 221-3) membedakan tiga tipe riwayat hidup, yaitu; pertama, riwayat hidup lengkap yang mencakup keseluruhan pengalaman hidup tineliti, kedua, riwayat hidup topikal yang berkenaan hanya dengan suatu aspek ataupun fase dalam kehidupan tineliti, dan ketiga, riwayat hidup tersunting yaitu riwayat hidup lengkap ataupun topikal yang telah dibumbuhi komentar ataupun penjelasan orang lain. Dalam penelitian ini studi riwayat hidup tineliti menggunakan riwayat hidup tersunting yang mencakup 8 (delapan) baik aktor lokal dan aktor supra lokal. a. Empat orang aktor lokal dalam perlawanan petani, yaitu; Zm (55), Riy (68) dan Us (54). Mh (50) b. Tiga orang aktor supra lokal dalam perlawanan petani ; Nh (60), Sd (50) dan Fi(49). Studi riwayat hidup ke 8 orang tersebut mengambil tipe riwayat hidup topikal tersunting yang meliputi suatu aspek atau fase saja dalam kehidupan tineliti. (Alport dikutip Denzim, 1970; 222) Riwayat Hidup Peneliti Studi riwayat hidup peneliti dalam penelitian ini dipandang perlu yakni dengan menggunakan teknik rekoleksi dalam bentuk mengumpulkan dan memberi tafsiran kembali atas pengalaman peneliti sebagai subjek komunitas tertentu, dalam rangka memahami ragam aspek sosial dan pemikiran komunitas pemikiran dan perilaku keagamaan yang sama. Rumusan ini mencakup tiga aspek pokok sebagai berikut : a) Aspek syarat; peneliti juga merupakan subjek pemikiran keagamaan dari komunitas yang dikaji. Syarat ini menjamin peneliti dan tineliti memiliki relatif kesamaan ―pemikiran keagamaan‖ sehingga resiko salah tafsir dalam upaya memahami makna tindakan sosial dapat dikurangi. b) Aspek tujuan: pengumpulan dan penafsiran kembali pengalaman pribadi subjek peneliti bertujuan untuk memahami beragam pemikiran dan perilaku keagamaan dalam komunitas subjek tineliti. c) Aspek kegiatan: pengumpulan dan penafsiran kembali pengalaman pribadi subjek peneliti, mencakup keseluruhan pengetahuan, sikap, dan tindakan sosial sebagai subjek pemikiran tertentu. Integrasi riwayat hidup peneliti dan studi riwayat hidup ini hanya akan efektif jika aspek syarat di atas terpenuhi, yaitu peneliti dan tineliti memiliki simpul penyatu yaitu kedua belah pihak merupakan subjek pemikiran keagamaan yang sama. Dalam hal ini saya memenuhi persyaratan karena merupakan etnis Jawa yang mempunyai kesamaan dengan etnis komunitas Talangsari (etnis Jawa), walaupun saya tidak tinggal di Talangsari, sehingga saya lebih mudah memahami komunitas tersebut. Saya lahir dalam keluarga muslim yang mempunyai pemikiran keagamaan yang cenderung puritan, bahkan semasa studi S1 (sarjana) saya tergabung dalam organisasi sosial keagamaan Front Pembela Islam (FPI) wilayah Lampung periode 2001-2002 sebagai sekretaris umum, sehingga saya tidak perlu lagi belajar dari nol untuk memahami pemikiran keagamaan komunitas
44
Talangsari, karena untuk sebagian besar hal-hal tersebut sudah tertanam dalam diri saya melalui proses sosialisasi yang saya alami selama ini. Dengan demikian, pemahaman atau penafsiran saya atas tindakan komunitas Talangsari dalam melakukan perlawanan menjadi lebih valid, justeru karena saya (sebagai peniliti) dan komunitas Talangsari (sebagai tineliti) tersebut merupakan subjek dari komunitas musli yang mempunyai pemikiran keagamaan yang relatif sama. Studi Sejarah Lokal Menurut Denzim (1970; 221) dijelaskan bahwa pemahaman mengenai masyarakat lokal merupakan prasyarat untuk masuk pada pemahaman atas tindakan sosial individu yang berada didalamnya. Riwayat komunitas Talangsari hanya bisa ditafsirkan secara bermakna—dalam arti memberi pemahaman tentang gejala perlawanan petani—apabila sejarah sosial (struktural dan prosesual) masyarakat Talangsari III menjadi ajang sosial individu-individu tersebut juga dipahami. Kajian sejarah sosial memungkinkan memperoleh pengetahuan mengenai terbentuknya komunitas Talangsari akibat adanya perubahan struktur kekuasaan dan kebijakan politik dari satu periode ke periode rezim pemerintahan. Dengan menempatkan riwayat hidup tadi dalam konteks terbentuknya masyarakat Talangsari, maka gejala perlawanan petani di sana dapat diterangkan dan dipahami secara memadai. Informan dalam studi sejarah lokal diantaranya ; Kepala dusun Talangsari (SM, 40), Kepala Desa Rajabasa Lama (AR, 45 ) dan tokoh masyarakat (MH, 50).
Metode Pengumpulan Data Sebagai sebuah penelitian studi kasus, penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dilaksanakan dengan pendekatan kerja lapangan (field work), tanpa mengabaikan data dan metode kuantitatif yang diperlukan. Penekanan utamnya untuk melihat sedekat mungkin sasaran penelitian dalam kondisinya yang paling empirik. Metode ini bertujuan untuk lebih memahami realitas dan segala hal dari kondisi kehidupan objek penelitian sehari-hari (Patton 1987; Moleong 1993). Selain itu metode kualitatif ini digunakan untuk memberikan penjelasan dan memahami peristiwa yang sedang atau telah terjadi, yang menekankan pada interpretasi makna kategari yang berkembang, yang diberikan orang terhadap peristiwa yang dialami. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui multi-metode pengumpulan data seperti; Observasi partisipan, Indepth Interview (wawancara mendalam), studi literatur/dokumen. Wawancara Mendalam dan Observasi. Sebelum wawancara mendalam dilaksanakan, peneliti mencari orang yang sudah dikenal dan dipastikan dapat dijadikan informan kunci. Mereka adalah penduduk setempat yakni teman seangkatan ketika peneliti masih kuliah pada
45
tingkat sarjana dan kepala dusun Talangsari yang saat terjadi kasus tersebut masih aktif menjadi kepala dusun. Setelah itu, secara metodologis wawancara mendalam dilakukan melalui kontak atau hubungan pribadi dalam bentuk tatap muka (face to face relationships) antara peneliti dengan subjek penelitian (responden yang telah ditentukan/dipilih) Untuk pengumpulan data sejarah sosial masyarakat lokal teknik utamanya adalah teknik sejarah lisan: informan utama adalah tokoh-tokoh masyarakat yang mengetahui tentang kejadian perlawanan petani, dan pelaku yang masih hidup. Dokumentasi Melalui teknik ini peneliti mendapatkan bahan-bahan tertulis dan gambar yang berhubungan dengan konflik pertanahan, pembebasan dan pengambilalihan lahan, kebijakan agraria dan kebijakan kependudukan (khususnya transmigrasi lokal), gerakan petani dan organisasi tani. Secara teknik pengumpulan data melalui studi arsip/dokumen dan literatur yang mencakup laporan kronologi dan analisis konflik pertanahan dan dampaknya terhadap komunitas petani, data wilayah dan komunitas petani yang mengalami konflik, keputusan pemerintah, surat-surat penting tentang aktivitas perlawanan petani, keterlibatan pelak darisurat kabar lokal (Lampung post) dan surat kabar nasional lainnya. Dalam konteks dialog antar subjek, informan lokal dan penulis, bahan-bahan arsip/dokumen/literatur tersebut ditempatkan sebagai subjek ketiga yang berdialog dengan subjek peneliti.
Analisa Data Data-data yang diperoleh dari berbagai metode pengumpulan data ini, dianalisis sejak awal penelitian menurut tiga alur kegiatan yang dilakukan secara bersamaan yaitu; a) reduksi data dan klasifikasi berdasarkan kategori yang dibangun oleh konsep, reduksi data sebagai bentuk analisis yang mempertajam, mengarahkan, menggolongkan, membuang yang dipandang tidak perlu serta mengorganisasi data. Adapun cara yang ditempuh, adalah ; meringkaskan data, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus dan memo. b) Penyajian data, yaitu suatu aktifitas pengelompokkan informasi yang tersusun sehingga memberi kemungkinan adanya kemudahan penarikan kesimpulan dan pengambilan keputusan bertindak. Bentuk-bentuk penyajian data yang dilakukan, yakni : teks naratif dalam bentuk catatan lapangan, pembuatan matrik, grafik, jaringan dan bagan-bagan. c) Penarikan kesimpulan, yaitu aktifitas yang bermula dari awal penelitian melalui sebuah pencatatan spesifik tentang pengertian dan pemaknaan terhadap benda-benda, catatan keteraturan pola, konfigurasi yang mungkin terjadi, alur sebab akibat maupun preposisi. Kesimpulan yang dihasilkan penelitian ini juga diverifikasikan dengan cara : pemikiran ulang atas data lapangan selama penulisan, melakukan tinjauan ulang terhadap catatan lapangan, diskusi dengan orang-orang yang dianggap sebagai sumber informasi yang memiliki
46
kemampuan di bidang penelitian maupun pemahaman tentang fenomena sosial, dan langkah selanjutnya diselesaikan dengan menempatkan salinan temuan tersebut berdasarkan seperangkat data yang ada dalam suatu deskripsi serta interpretasi yang dilakukan oleh peneliti untuk menjaga agar tidak terdapat bias atau terpengaruh adanya stereotif masyarakat pada umumnya.(Miles dan Hubermen, 1992). Dalam proses pengumpulan dan analisis data, peneliti akan selalu melakukan dialog dengan tineliti untuk mengonstruksi perlawanan petani. Semua ini berkonsekuensi pada proses dari bawah yang bersifat konstruktif, atau dikenal dengan istilah grounded meskipun disadari tidak sampai dalam bentuknya yang murni. Pilihan ni didasarkan pada asumsi menempatkan realitas perlawanan petani sebagai hasil konstruksi dan bekerjanya proses pembingkaian kolektif (collective framingprocess) antar para aktor yang di dalamnya melibatkan berbagai proses pemaknaan subyektif dan intersubyektif.
4 SOSIO HISTORIS DAN KONFLIK AGRARIA DI LAMPUNG Sosio Historis Lampung Lampung Pada Masa Pra-Kolonial Lampung merupakan sebuah wilayah peradaban yang terbangun dari berbagai peralihan kerajaan. Power shift yang terjadi di wilayah yang subur ini kemudaian membentuk sebuah agraris yang makmur. Daerah lampung merupakan salah atu bagian dari rencana invasi kerajaan Sriwijaya yang dijadikan sebagai batu loncatan kedua setelah Bangka dalam menaklukkan ―Yan bhumi Jawa tida bhakti ka Criwijaya”. Bukti tertulis mengenai usaha Sriwijaya untuk menaklukkan kerajaan Tarumanegara dapat dilihat pada prasasti Kota Kapur Bangka yang berangka tahun 688 M. Dengan ditemukannya Prasasti Palas Pasemah di kampung selatan dekat Kalianda bahwa daerah lampung dijadikan basis untuk menguasai pulau Jawa. Dengan demikian, Lampung memang sudah lama dijadikan daerah basis atau ―Buffer zone‖ secara politik untuk memantau Jawa sebagai pusat kekuasaan.Di samping prasasti Palas Pesamah yang terdapat di pantai Timur bagian selatan daerah Lampung, didapati pula prasasti Ulu Belu di kecamatan Wonosobo Tanggamus. Kemungkinan juga pengaruh wangsa Sailendra sudah sampai di daerah Lampung Dalam buku Sejarah Daerah Lampung dijelaskan bahwa orang Lampung berasal dari keturunan Umpu Serunting, kemudian setelah kerabat mereka bertempat tinggal di Skala Brak dan mendirikan Keratunan Pemanggilan. Umpu Surinting ini melahirkan 5 (lima) anak laki-laki, yaitu; (1) Indra Gajah yang menurunkan orang Abung, (2) Blunguh menurunkan orang Peminggir, (3)Pak Lang menurunkan orang Pubian, (4) Pandan dikabarkan menghilang dan (5)
47
Sangkan dikatakan ada di Sukadana Ham. (Supangat, 1978). Kelima anak ini kemudian terbentuk kerajaan-kerajaan kecil yang menyebar. Terbentuknya kerajaan-kerajaan kecil ini akibat adanya konflik, perpecahan dan kejadiankejadian yang secara sosial, politik dan ekonomi mengharuskan mereka menyebar. Sebagaimana yang diuraikan di dalam kitab ―Kuntara Raja Niti‖, disebabkan oleh orang-orang Bajau (perampok/bajak laut) datang menyerang tempat tinggal mereka di Keratun Pemanggilan, bahkan akhirnya Keratun Pemanggilan runtuh dan masyarakatnya meninggalkan dan menyebar dari Skala Brak ke daerah dataran rendah Lampung lebih tepatnya di wilayah Abung Lampung Utara. (Supangat, 1978). Sebagaimana masyarakat yang lain pada umumnya, konflik diantara sesama mereka yang berakibat adanya perpecahan pun terjadi pada masyarakat Lampung, misalnya konflik yang mengakibatkan keturunan Indra Gajah harus menetap di Ulok Tigou Ngawan di hulu sungai Way Abung (Kecamatan Tanjung Raja Lampung Utara) di bawah kepemimpinan Minak Rio Beguduh dan mendirikan Keratun di Puncak. Di masa pemerintahan Minak Rio Beguduh Lampung mengalami pertubuhan pesat sebagai wilayah pesisir yang membentuk masyarakat agraris pedalaman yang dinamis, sehingga menarik perhatian para armada Angkatan lau Majapahit singgah di pantai bagian timur daerah kekuasaan Keratun Pugung sekitar tahun 1365. Sementara itu, menurut Olivier Sevin (1989: 49 – 69) memperkirakan sebagai masyarakat asli Lampung adalah orang Pubian yang menempati kawasan antara Padangratu, Kota Agung, Teluk Betung, serta wilayah selatan Gunung Sugih di mana kawasan ini dibelah Way Sekampung. Pada sekitar abad ke-17 hingga ke-19 terjadi gelombang migrasi dari luar memasuki Lampung. Selanjutnya pada abad ke-19 terjadi kolonisasi dari Jawa. Menurut tradisi sejarah lisan, emigran yang masuk ke Lampung juga berasal dari Pagaruyung, Bengkulu, Jambi, masyarakat Melayu, dan Bugis (Warganegara, 1994: 3 – 13; Hadikusuma, 1989: 44 – 52). Ketika Banten memasuki Lampung pada tahun 1530, daerah Lampung terbagi dalam wilayah keratuan (persekutuan hukum adat) yang terdiri Keratuan di Puncak menguasai wilayah Abung dan Tulangbawang, Keratuan Pemanggilan menguasai wilayah Krui, Ranau, dan Komering, Keratuan di Pugung menguasai wilayah Pugung dan Pubian, serta Keratuan di Balau menguasai wilayah sekitar Teluk Betung. Ketika Banten berpengaruh kuat di Lampung, Keratuan di Pugung terbagi lagi dan berdiri Keratuan Maringgai (Melinting) dan Keratuan Darah Putih (Kalianda). Dengan demikian setelah punahnya Kerajaan Tulangbawang di Lampung tidak dikenal adanya pemerintahan dalam bentuk kerajaan tetapi yang berkembang adalah sistem pemerintahan demokratis dalam bentuk keratuan (Soebing, 1988: 35). Pada sekitar abad ke17–18 keratuan tersebut membentuk pemerintahan persekutuan adat berdasarkan buay (keturunan) yang disebut paksi (kesatuan buay inti atau klan) dan marga (kesatuan dari bagian buay atau jurai dalam bentuk kesatuan kampung atau suku (Hadikusuma, 1989: 157). Sistem pemerintahan marga di Sumatera diciptakan oleh Kesultanan Palembang dalam rangka upaya
48
menguasai kehidupan politik dan perekonomian daerah-daerah yang berada di bawahnya (Mintosih, 1993: 42 -45). Sistem pemerintahan marga cenderung lebih birokratis untuk kepentingan kehidupan sosial politik yang lebih besar dan kompleks. Berbeda dengan sistem kepemimpinan tradisional seperti keratuan di Lampung, pemerintahan marga merupakan bagian dari sistem pemerintahan otoriter di mana para pemimpinnya dipilih dan diangkat secara rasional (tidak secara turun temurun) oleh pemegang kekuasaan yang lebih tinggi. Pembentukan marga mengacu pada Undang-undang Simbur Cahaya, yaitu suatu kodifikasi ketentuan hukum kerajaan yang berlaku abad ke-17 di wilayah Kesultanan Palembang. Kodifikasi undang-undang itu dilakukan oleh Ratu Sinuhun Sending, permaisuri Sultan Sending Kenayan (1629 – 1636). Hierarki pemerintahan di bawah sultan terdiri dari daerah-daerah yang dipimpin pejabat setingkat gubernur masa sekarang yang disebut Rangga. Kerangga, atau Tumenggung,wilayah kekuasaannya disebut Ketemenggungan. Daerah kekuasaan Rangga terdiri beberapa Marga yang dipimpin Pesirah Marga. Para pesirah yang banyak berjasa kepada sultan diberi gelar Adipati atau Depati. Sebuah marga terdiri sejumlah desa yang dipimpin Kerio atau Proatin. Kepala desa yang di desanya terdapat Pesirah tidak disebut Kerio tetapi disebut Pembarap. Kedudukan pembarap sedikit lebih tinggi dari kerio, karena pembarap juga merupakan wakil Pesirah. Setiap desa terdiri beberapa kampung yang dipimpin Penggawa. Pada tahun 1826 sistem pemerintahan marga diambil alih pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sejak itu dalam struktur pemerintahan, marga berada di bawah dan tunduk kepada kekuasaan Residen. Pada masa Kesultanan Banten, masyarakat adat Lampung sudah tidak lagi berbentuk keratuan, tetapi dalam bentuk ―marga‖ yang membawahi ―pekonpekon‖. Makna substantif marga sudah digeser ketika kedudukan pengetua marga dijadikan kepala marga yang disebut ―bandar‖, meskipun masih didasarkan pada faktor keturunan. Falsafah Hidup dan Struktur Masyarakat Adat Masyarakat Lampung mengenal falsafah hidup yang lebih dikenal dengan sebutan Pi-il Pesenggiri. Dalam Pi-il Pesenggiri mengadung makna keharusan hidup bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri dan kewajiban. Falsafah Fi‘il pesenggiri ini mencakup empat nilai dasar yang dijadikan sebagai pedoman dalam pergaulan hidup sehari-hari. Keempat nilai dasar itu, yakni; pertama, bejuluk beadek (memiliki gelar adat) yang bermakna keharusan berjuang meningkatkan kesempurnaan hidup, bertata tertib dan tatakrama yang sebaik-baiknya. Kedua,nemui nyimah (ramah, terbuka, peduli), yang berarti keharusan berlaku hormat dan sopan terhadap semua anggota masyarakat, tolong menolong dan menghormati tamu. Ketiga, nengah nyappur (bermasyarakat, bergaul) bermakna keharusan untuk bergaul di tengah-tengah masyarakat dengan mengemukakan pikiran dan pendapat dalam bentuk musyawarah mufakat. Kelima, sakai sambayan bermakan keharusan berjiwa sosial, tolong menolong, gotong-royong, bahu membahu, saling memberidan menerima), yang dijadikan pedoman bagi
49
masyarakat adat lampung baik―Pepadun” yang berdiam di pedalaman dan “Saibatin” atau ―Peminggir‖ yang berdiamdi sepanjang wilayah pesisir. Prinsip nilai Pi-il Pesenggiri ini berpedoman pada Titie Gematei adat dari leluhur, merupakan nilaidasar yang intinya setiap anggota dituntut untuk bermoral tinggi atau berjiwa besar agar hidup secara logis, etis dan estetis. (Rizani Puspawidjaja. 2002; 8). Nilai dasar tersebut diwadahi dalam struktur adat, dimana para penyimbang (kepala atau pemuka suku) berperan penting dalam menentukan tata cara dan haluan hidup masyarakat adat. Peran para penyimbang dalam kelembagaan adat antara lain selalumelakukan proatin (bermusyawarah), yang diketuai oleh pemuka adat tertua,setiap melaksanakan kegiatan adat. Karena sikap terbuka masyarakat adat lampung lebih besar daripada sikap tertutupnya, maka dalam hubungan keluar mereka bersikap hati-hati. Apabila hubungan itu akan meninggikan martabat dan harga dirinya tentu saja hubungan yang dijalin akan berbeda sifatnya dengan hubungan yang biasa saja. Lampung Sebagai Buffer Zone Jawa Propinsi Lampung yang luasnya sekitar 35.000. kilometer persegi atau 7 persen luas Sumatera merupakan daerah yang sangat strategis. Daerah tersebut merupakan daerah penghubung antara pulau Jawa dan Sumatera serta daerahdaerah lainnya seperti Kalimantan. Hubungan antara daerah Lampung dengan daerah Sumatera bagian selatan lainnya sudah lama terjalin, dengan demikian Lampung merupakan daerah yang selalu terbuka dengan dunia luar. Lebih lagi ketika pelabuhan Bakauheni diresmikan pada tahun 1981, terjadi penyatuan antara Sumatera dan Jawa yang hanya dipisahkan oleh selat sunda dengan jarak tempuh tidak lebih dari tiga jam pelayaran. Maksudnya antara dua pulau yang berbeda ini tentang hal transportasi bisa dikategorikan sebagai transportasi antar daerah. Walaupun terpisah dengan selat sunda, keberadaannya bukan sebagai penghalang untuk terciptanya komunikasi yang lancar, bila menghitung lama perjalanan Jakarta-Bandar Lampung terasa lebih dekat dibanding perjalanan JakartaSemarang. Hal ini sebagaimana ditulis oleh mantan Bupati Lampung Tengah dalam harian kompas dengan judul ―Bakauheni, Pintu Masuk lampung‖.....dari Jakarta ke Merak hanya ditempuh dua jam dengan kendaraan pribadi, setelah menyeberang di Bakauheni Lampung yang berjarak 87 km bisa ditempuh dengan menggunakan bus umum dalam waktu satu setengah jam, bila demikian adanya ibarat propinsi yang berada di ujung selatan pulau Sumatera adalah Buffer Zone yang mendukung DKI Jakarta. (Kompas, 15 Maret 1989). Apalagi setelah daerah lampung menjadi daerah penerima program transmigrasi, rupanya kemudahan prasarana dan program transmigrasi itu banyak mengundang pendatang berbondong-bondong turut masuk ke wilayah Lampung, bahkan para spekulan tanah pun sudah menguasai jauh sebelum jalan-jalan yang menghubungkan antar daerah yang ada di Lampung di buat. Artinya, orang yang melakukan perambahan hutan di Lampung, bukan hanya mereka yang mencari lahan untuk bercocok tanam, akan tetapi juga mereka yang mencari lahan untuk investasi. Hal ini menunjukkan bahwa Lampung merupakan daerah yang sangat strategis dalam pengembangan wilayah dan ekonomi pada era selanjutnya.
50
Heterogenisitas Masyarakat Lampung Wilayah Lampung secara administratif menjadi provinsi sejak tahun 1964. Hingga saat ini provinsi Lampung dibagi menjadi 2 (dua) kota dan 12 (dua belas) kabupaten. Sejak dulu wilayah Lampung sudah dihuni oleh beragam etnik, meskipun etnik pendatang bermukin dalam bentuk kampung (desa) mulai sejak awal abad 20. Kemajemukan etnik ini menurut sejarah sudah terjadi sejak menjadi bagian Kesultanan Banten dan kerajan Sriwijaya. Asimilasi dan amalgamasi juga sudah terjadi sejak lama. Contohnya di desa Canti, Lampung Selatan, terdapat tokoh adat Lampung yang disebut ―Dalom‖ ternyata berasal dari keturunan etnik Jawa Timur (Surabaya). Kedudukan sebagai tokoh adat ini (keturunan Jawa) berlanjut secara turun-temurun hingga sekarang (Bappenas, 2000). Masyarakat Lampung memiliki sikap pluralisme yang berproses secara mendalam dan dalam jangka sangat panjang. Pada awalnya kemajemukan etnik tersebut dibedakan menjadi dua, yakni etnik asli Lampung (kalau bisa disebut asli) dan pendatang. Oleh karena itu wilayah Lampung disebut dengan ―Sang Bumi Ruwa Jurai‖. Dengan alasan bahwa perkembangan dan kemajuan daerah Lampung tidak terlepas dari saling hubungan di antara kedua kelompok etnik tersebut, maka daerah Lampung disimbolkan sebagai "Sai Bumi Ruwa Jurai‖. Artinya, dalam masyarakat Lampung terbangun komitmen moral yang mengakui adanya perbedaan etnik, tetapi perbedaan itu dimaknai sebagai persatuan dan kesatuan dimana masing-masing etnik dapat mengaktualisasikan diri dan berprestasi secara bebas tanpa memandang afiliasi kelompok etniknya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa suku asli Lampung itu terbagi menjadi beberapa kesatuan sistem masyarakat adat yang lazim disebut marga, diantara marga-marga tersebut adalah marga; Abung, Sungkai, Tulang Bawang, Way Kanan dan Pubian, kelima marga ini memakai sistem adat ―Pepadun‖.(Depdikbud, 1984). Mereka mempunyai sistem dan pandangan hidup tersendiri sebagaimana terlihat dari adat masyarakatnya, dan hingga kini masih berlaku. Tradisi kuat seperti ini terlihat pada upacara perkawinan, pengangkatan menjadi keluarga besar atau keluarga batih (nuclear family), termasuk dalam hal pemberian gelar-gelar kehormatan serta acara adat lainnya yang bersifat kemasyarakatan pada tingkat desa. Secara teritorial, sampai saat ini etnik Lampung masih tetap eksis dan dipelihara sebagai suatu komunitas masyarakat adat, berbasis genealogis dan memiliki wilayah teritorialnya sendiri. Pada mulanya pemukiman mereka terkonsentrasi di wilayah pegunungan dan dataran rendah sepanjang sungai di sekitar pantai timur dan selatan. Kemudian berkembang dalam wilayah kampung (desa) seiring dengan semakin bertambahnya jumlah warga. Kampung-kampung tersebut semakin menyebar dengan lahan pertanian disekitarnya. Mereka tetap berpegang pada garis keturunan laki-laki (patrilineal) yang tegas dengan anak laki-laki tertua sebagai pemimpin utama dalam struktur otoritas adat. Anak laki-laki tertua mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga adikadiknya, dimana anak laki-laki tertua harus menyediakan rumah untuk adik lakilakinya yang akan menikah beserta peralatan rumah tangga/perabotan. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa rasa ikatan kekeluargaan dan kesukuan terasa
51
sangat kuat. Terkadang untuk melanggengkan ikatan kekeluargaan dan kesukuan tersebut, mereka rela berkorban baik moral, material dan tenaga serta hal-hal yang mereka anggap mampu untuk dikorbankannya. Orang lampung baik yang saibatin maupun yang pepadun mempunyai tanggungjawab yang besar terhadap keberlangsungan hidup keluarganya, oleh sebab itu ikatan kekerabatan antara sesama orang lampung begitu kuat dan kokoh. Tanggung jawab ini tidak hanya sebatas dalam aktivitas-aktivitas serimonial dalam bentuk perkawinan, akan tetapi tanggung jawab tentang keberlangsungan kehidupan terhadap orang yang masih ada ikatan kekerabatan. Setelah menetap, tata kehidupan masyarakat adat Lampung menganut sistem keratuan, yang dipimpin oleh Ratu atau Umpu dan dipilih berdasarkan asas primus inter pares.(Depdikbud. 1977/1978 : 54) Masing-masing Ratu berkuasa di wilayahnya bersama para pengikutnya dalam satu keturunan. Kesatuan masyarakat adat ini berbeda menurut asal suku yang masing-masing terdiri atas berbagai buai atau kebuwayan dan masing-masing kebuwayan terdiri atas beberapa suku. Setiap suku asal memiliki wilayah teritorial disebut marga dan setiap kebuaiyan memiliki wilayah teritorial disebut kampung atau pekon, anek, dan tiyuh. Masing-masing wilayah pekon terdiri atas beberapa suku dan masingmasing suku terdiri atas beberapa keluarga besar (cangkai). Kemudian pada masing-masing keluarga besar terdiri atas beberapa keluarga inti (nuwa).(Joan Hardjono, 1985: 17) Selain sistem masyarakat adat Lampung ―Pepadun‖, di daerah Lampung masih terdapat enam kesatuan masyarakat adat Pesisir/Peminggir, diantaranya; Belalau/Ranau, Krui, Pesisir Semangka, Pesisir Teluk, Pesisir Rajabasa, Pesisir Milingting-Meringgai. Keenam kesatuan sistem masyarakat adat ini bertempat tinggal di daerah pinggiran propinsi Lampung di pesisir pantai bagian barat, selatan dan timur.Kesatuan masyarakat adat peminggir/pesisir seasal keturunan dengan marga Abung, Way Kanan, Sungkai, Tulang Bawang dan Pubian, yakni semuanya berasal dari Skala Brak, suatu daerah dataran tinggi di kaki gunung Pesagi kecamatan Belalau (Kenali) kabupaten Lampung Barat, termasuk pula kesatuan masyarakat adat marga Komering dan Kayu Agung yang bertempat tinggal secara menetap di sepanjang Sungai Komering Sumatera Selatan.(Abadullah Subing, 1983). Sedangkan marga Pesisir Semangka, Pesisir Teluk, Pesisir Rajabasa, pesisir Melinting-Meringgai berasal dari keturunan suku Banten dan percampuran perkawinan diantara keduanya (Pemda Bandar Lampung, 1984). Bila dilihat dari struktur sosial dan struktur budaya, diantara sebelas (11) bagian-bagian kesatuan adat Lampung, maka marga Abung merupakan yang terbanyak jumlah anggotanya dan menempati wilayah yang paling luas, dan kekerabatan Abung juga merupakan yang paling menonjol dengan sistem adat ―Pepadunnya‖. Kesatuan adat Abung mempunya sembilan (9) persekutuan kebuaian (marga) yang lazim disebut dengan ―Abung Siwomego” artinya Abung 9 (sembilan) marga. Dari 9 (sembilan) marga tersebut 4 (empat) diantaranya berasal dari satu ayah yang bernama ―Minak Paduka Begedtgh‖yang mempunyai dua orang istri ratu, dari istri ratu yang pertama lahirlah 4 orang nak yaitu; Unyai (Minak Trio Diso), Unyi (Minak Ratu di Bumi), Uban (perempuan) dan Betan Subing yang bergelar Minak Permata Jagad.(Dekdibud, 1984;15-22).
52
Petani dan Struktur Penguasaan Agraria Kebijakan Agraria Masa Kolonial Perubahan kekuasaan di tangan kolonial Belanda tidak banyak merubah sistem pemerintahan adat masyarakat lampung. Pada tahun 1873, Belanda menetapkan Karesidenan Lampung dibagi dalam enam Onder Afdeeling (Kawedanaan). Pada tahun 1928, Belanda menetapkan Ordonansi yang disebut Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan. Dengan peraturan ini, marga diberi legitimasi struktural dalam pemerintahan Hindia Belanda. Kepala-kepala marga (Pasirah) dipilih dari para pemimpin adat tingkat marga dan ketika Jepang berkuasa seluruh sistem adat tidak berjalan. Meskipun tidak merubah sistem pemerintahan adat masyarakat Lampung, pemerintah kolonial Belanda berusaha mengaburkan makna kepemimpinan marga sehingga semakin jauh dari makna substantifnya sehingga kedudukan kepala marga menjadi terancam. Pada pertengahan abad 19 sistem marga tidak diakui dan dipersempit pada wilayah kampung (desa). Ini berarti hak ulayat marga menjadi hilang dan juga diperparah ketika berpedoman pada kekuatan hukum domeinverklaring. Struktur otoritas adat diubah menjadi struktur otoritas wilayah administrarif pemerintah kolonial. Di atas kampung diangkat seorang Demang (banyak yang bukan dari etnik Lampung) yang berada dibawah kontrol langsung seorong controleur Belanda.(Bruno Verbist dan Gamal Pasya. 2004: 22). Baru pada tahun 1928 sistem marga diakui kembali sebagai inlandsegemeente, yakni daerah otonom tingkat terbawah yang membawahi kampung-kampung. Sebelum kedatangan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) kehidupan masyarakat Lampung di bawah kekuasaan kesultanan Banten cukup tenteram, terutama masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Masyarakat Lampung mulai terusik ketika VOC masuk menguasai hasil pertanian di wilayah Lampung. Ini diperoleh dari hasil adu domba mendukung Sultan Haji dalam merebut kedudukan Sultan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak itu mulai terjadi perpecahan antar tokoh adat, yakni ada yang mendukung Sultan Haji (seperti Jenang Raja Ngembar di Semangka) dan ada yang menolak (pendukung Sultan Ageng Tirtayasa). Masyarakat Lampung mulai terang-terangan menolak menjadi bagian dari wilayah kesultanan Banten ketika dipimpin oleh Aria Adi Sendika (1751) yang diangkat atas dukungan VOC. Resistensi secara besarbesaran melawan kolonial Belanda berlangsung sekitar selama 40 tahun (18171856) dan menewaskan ratusan korban di kedua belah pihak. Pada masa ini wiIayah marga bukan lagi hanya dimiliki oleh masyarakat adat Lampung, tetapi juga untuk kelompok pendatang. Kepala marga masyarakat adat Lampung disebut Pesirah sedangkan kepala marga penduduk pendatang disebut Pasemah. Pasemah dipilih melalui pemilihan umum dan hubungan genealogis tidak lagi menjadi faktor utama. (Joan Hardjono,1985:21). Disini terkonstruksi dualisme ikatan sosio-kultural antar penduduk dalam kesatuan wilayah teoritorial marga, yakni diikat secara adat dan secara administatif
53
pemerintahan. Ini jelas bahwa pembentukan struktur otoritas baru tersebut lebih ditujukan untuk memudahkan kontrol politik. Wilayah marga dengan hak ulayatnya dipersempit setelah dikurangi untuk wilayah cadangan hutan dan untuk dijadikan hak erfpacht yang kemudian diserahkan kepada pemodal asing, tahun 1890 sudah dibuka wilayah perkebunan di dekat pelabuhan Panjang dengan mendatangkan pekerja dari Jawa. Kedudukan tanah ulayat yang sudah berkurang itu menjadi terkonsentrasi kepada kewenangan kepala marga adat (pesirah) sebagai pemimpin wilayah otonom tingkat bawah. Di bawah kewenangan pesirah itulah banyak penduduk pendatang memanfaatkan untuk mendapatkan tanah.(Joan Hardjono. 1985 : 23) Bersamaan dengan peperangan yang belum selesai, pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan cultuurstelsel (1830-1870). Sistem ini merupakan intensifikasi sistem tradisional, dimana usaha perkebunan negara sedapat mungkin mereduksi biaya produksi dan kalau mungkin menghilangkannya dengan mengkaitkan sistem tradisional yang masih berjalan. (Suhartono. 1995 :67).Peran dominan negara dalam sektor pertanian ini mendapat tekanan dari kelompok liberal karena menutup pintu akses mereka dalam mengembangkan usaha pertanian di daerah jajahan. Akhirnya dikeluarkan kebijakan Domeinverklaring melalui Agrarische Wet (1870) dan lebih dipertegas dalam Agrarische Besluit (1870). Kebijakan agraria ini mencabut keberlakuan hukum adat atas pemilikan tanah dan berubah menjadi tunduk di bawah hukum Eropa. Sejak ini semua tanah adat di Lampung menjadi tanah negara. Tanah ulayat marga diakui setelah dikurangi sebagai cadangan hutan dan tanah untuk hak erfpacht yang kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda diberikan hak pengelolaannya kepada para pemodal asing.(Joan Hardjono, 1985). Menjelang akhir abad 19 banyak perkebunan di buka di Lampung, yang pertama kalinya (1890) dibuka dionderafdeling Telukbetung.
Program Transmigrasi Masa Kolonial Pada permulaan abad ke XX pemerintah Kolonial Belanda mulai menyadari bahwakemiskinansedang meningkatdipulauJawa,kemiskinaninisalahsatunya diakibatkan karenakepadatan pendudukyangsemakin tinggi.Untuk memperbaiki kondisi rakyat pedesaan di Jawa, pemerintah HindiaBelanda mulai memperkenalkankebijakan baruyang disebut denganPolitik Etis.PemerintahKolonialBelanda mulaimemikirkankemungkinanterlaksananya kolonisasi,yaitupenempatanpetanipetanidaridaerahyangpadatpenduduknya di Jawa ke desa-desa baru yang kosong di luar jawa, yang disebut dengan ―koloni‖. Sebagai pelaksanaannya,makadilakukan pemindahan penduduk dari pulau Jawa keluarJawayang lebihdikenaldenganistilahtransmigrasi,yaituperpindahan dalamhalinimemindahkanorang daridaerahyangyang padatpenduduknyake daerahyang jarang penduduknyadalambatasnegaradalamrangkakebijaksanaan nasionaluntuktercapainyapenyebaranpendudukyang lebihseimbang(H.J. Heeren, 1976, 6). Programituatasusulan
54
dariC.Th.VanDeventertahun1899dalamPolitikEtis. Programtersebutmencakuptigahal yaitupendidikan,pembuatanirigasi,dan pemindahan penduduk dari daerahyangpadat diJawakedaerah di luar Jawa. Pada tahun 1905diberangkatkanrombongantransmigran(kolonis)yangpertama sebanyak155keluargake daerahGedongTataan,keresidenanLampung. Pemindahan rombongantransmigran di Gedong Tataan terus dilakukansampai tahun1921,lama-kelamaandaerahGedong Tataaninipunmenjadipadatdengan adanyarombongan transmigranini. PemerintahKolonial pun berupayauntuk membukadaerahbaru karenasudahtidakadalagitanahyang bisadibukauntuk perluasandiGedong Tataanini.Makauntukmengatasikepadatanpendudukdi daerahGedong Tataantersebut pemerintah kolonial pun membukadaerah kolonisasikeduayaitudidaerahWonosobo,terletakkira-kira 10kilometer sebelahbarat Kota Agung,daerahinidipilihkarena air untukirigasicukupbanyakdanmudah dialirkankedaerahtanahpertanian. Pemindahan rombonganke daerahWonosobo inihanyasampaiduatahunsajayaknisampaitahun 1923,karena terhambat biayapemindahannya.Namunsetiaptahunnyamasihbanyak rombongan transmigranyang datangdengankemauandanbiayasendiriuntuktinggalditanah kolonisasiLampung.Rombongantransmigraninirata-rata berasaldariKedu, Banyumas, Yogyakarta, Solo, Kediri, Madiun dan Pekalongan. KemudiandibukalagidaerahkolonisasibarudengannamaGedong Dalamyang dilanjutkandenganpenempatanrombongantransmigrandidaerahkolonibaru yangluasyaitu daerah Sukadana. Selanjutnyadibukalagidaerahkolonisasibaru dengannamaKarangrejo,terletak kira-kira20kmdarikampungGunung Megangyangletaknya17kmdariTalang Padang.Danmulaitahuninilah untukpertamakalinya dipindahkanrombongan transmigran dariBloradanLumajang. Keadaan di daerah-daerah kolonisasi di Lampungmakinlamamakinbaik.Karena itusetiaptahun makinbesar jumlah kolonis-sukarelayang datangpindahkesana.Begitupulajumlahkolonisyang dipindahkan olehpemerintah pun semakin bertambah besar (Amral Sjamsu, 1956, 8). Sampaitahun1937jumlahrombongantransmigranyang dipindahkan kedaerah Sukadanamencapai6176jiwa (Sjamsu 1956 : 45).DitanahSukadana inilah pararombongantransmigranmemulaikehidupannya,sebidangtanahyang diberikanolehpemerintahkolonialkepadamerekamenjadimodalhidupmereka ditanahSukadana.Tanahyang diberikan kepadatiap-tiapkeluargacukupuntuk pekarangandantanahpersawahan.Mereka juga diberikan tanahuntukdikerjakan karenapemerintah kolonisinginmenetapkansistimbawon. Namunkarenaterlalu luasnyatanahyang harusdikerjakanolehpara kolonis,merekamerasatidakcukup tenaga untukmemanenhasilpertanian mereka. Sehingga mereka meminta penambahantenagakerjadari Jawayang terdiridarisanakkeluarga, kenalan, tetanggadesa dan lain-lain. Jika dilihatdariperkembangannya tanah-tanahkolonisasidalamkeresidenan Lampung, seperti tanah kolonisasi Sukadana, menunjukkan kemajuanyang sangat pesat.Sukadanayang dibukapadatahun1932telahmempunyaipendudukkolonis
55
kurang-lebih91.000jiwa,yaitukira-kira dua kalilipatjumlahpendudukkolonisdi Gedong Tataan.KolonisasidiSukadanainimasihdapatdiperluasdengan pembukaandaerah-daerahbarusepertiPengubuan,Way Seputih,Rumbia, Punggur, Raman dan WayJepara. Bersamaan dengan bergulirnya program kolonisasi, pemerintah kolonial Belandaberkonsentrasi pada pembangunan sarana dan prasarana fisik, administrasi pemerintahan, kependudukan, kolonisasi, dan lain-lain. Semuanya menunjang kekuatan kontrol secara politik dan pertumbuhan ekonomi melalui meningkatkan hasil produksi pertanian. Langkah pertama wilayah Lampung dijadikan daerah Karesidenan, bagian dari provinsi Sumatera Selatan. Kemudian dikembangkan wilayah perkebunan dan pengadaan kebutuhan tenaga kerja melalui kebijakan kolonisasi. Selain berkembang desa-desa inti dari etnik Jawa, juga terjadi migrasi penduduk secara spontan menuju ke Lampung, terutama alasan ekonomi.(Sugianto. 1988). Memasuki abad ke-20 ini perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda mulai dibuka di daerah Lampung dan semakin banyak pula kuli kontrak yang didatangkan dari pulau Jawa. Perkebunan baru muncul di Way Halim, Langkapura, Kedaton, Natar, Bekri dan sebagian lainnya yang letaknya tidak jauh dari Teluk Betung. Pembukaan perkebunan semakin banyak, lebih-lebih setelah dimulainya pembangunan jaringan jalan kereta api antara Tanjung Karang dan Kertapati pada tahun 1902. Pada umumnya perkebunan-perkebunan tersebut membuka wilayah dengan tanaman untuk komoditi yang bernilai internasional, seperti kopi, karet, kelapa sawit, dan pisang manila. Dalam bidang perkebunan ini banyak sekali kaitannya dengan keadaan di Sumatera Selatan, saat itu di Palembang juga didirikan perkebunan teh dan perkebunan karet. Program kolonisasi membuat desa-desa pendatang menjadi menyendiri (enclave) terpisah secara geografis dan sosio-kultural dengan komunitas etnik Lampung (segregated pluralism). (Joan Hardjono, 1985: 13). Kondisi ini menyebabkan berkembangnya situasi saling keterasingan, perselisihan dan pertentangan antar etnik. Selain itu, kondisi para kolonis kembali miskin sebagaimana kemiskinan yang mereka alami di daerah asal.Syamsu (1985: 12) Kondisi ini juga dialami oleh para migran yang menjadi buruh perkebunan di Sumatra Timur pada umumnya. Program kolonisasi ternyata hanya sebatas slogan kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda guna membungkus kepentingan ekonomi agar lebih leluasa dan efektif dalam penguasaan tanah pertanian dengan tenaga kerja murah. (Sugianto. 1987/88: 1-2) Disinilah nilai-nlai eksploitatif berbasis kapitalisme kolonial berkembang dengan leluasa. Arah perkembangan tata kehidupan politik-ekonomi yang mendukung deagrarianisasi sudah dibangun sejak masa kolonial. Pertumbuhan Penduduk Masa Orde Lama Program transmigrasi yang dimulai tahun 1950 telah berhasil memukimkan penduduk pendatang secara menyebar dalam desa-desa baru. Dalam kurun waktu 15 tahun (1950-1965) kurang lebih ada 55.000 keluarga telah dimukimkan oleh Jawatan Transmigrasi Lampung. (Sugiyanto H. 1987/88: 2). Program ini memicu terjadinya migrasi swakarsa dan spontan murni yang juga membutuhkan lahan.
56
Akibatnya, pertumbuhan penduduk di Lampung menjadi semakin melaju dengan cepat. Kondisi tersebut menciptakan bertambahnya jumlah penduduk miskin dan mendorong dibukanya tempat-tempat pemukiman dan lahan-lahan pertanian baru (kondisi ini sebenarnya sudah terjadi pada masa kolonisasi). Pelzer menyimpulkan bahwa hanya dalam jangka waktu satu generasi saja mereka sudah akan menghadapi kekurangan lahan dan beberapa orang dari generasi baru sudah harus mencari lahan baru di luar daerah tersebut.(Joan Harjono, 1985) Penduduk pendatang banyak yang membuka lahan-lahan baru di kawasan hutan yang tidak terkait sama sekali dengan ―marga‖, karena daerah-daerah baru tersebut tidak berada di bawah wilayah ―marga‖. Salah satu hutan yang menjadi tujuan para migran dari luar lampung adalah hutan di kawasan Gunung Balak.Gunung Balak adalah kawasan hutan register 38 melalui Besluit Residen No.664 tahun 1935 dengan luas lahan 19.680 hektar. Kawasan ini mulai dibuka penduduk pada tahun 1963 (Lampung Post, 28 Maret 1995), ketika itu beberapa orang tokoh organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) yang menjadi underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI) datang dan mulai membuka bagian timur kawasan hutan dan membuat perkampungan.Areal yang dibuka berada di bagian dalam hutan sedangkan bagian luarnya dibiarkan tetap berhutan sebagai tabir, sehingga tidak terlihat dari arah luar, selanjutnya puluhan penduduk di sekitar wilayah tersebut diajak oleh para tokoh BTI untuk menggarap dan menempati lahan yang luasnya mencapai 1.200 hektar. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Propinsi Lampung 1995, Penduduk yang menempati lahan tersebut pada pertengahan tahun 1965 mencapai 2.560 jiwayang terbagi kedalam empat wilayah yaitu Berdikari Blok I, II, III, dan IV. Pada masa terjadi peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965, delapan tokoh BTI setempat ditangkap oleh aparat militer, dua diantaranya yaitu Mid dan Mur meninggal dalam perjalanan, sementara yang lain ditahan. Dalam perkembangannya keempat wilayah yang terdiri dari empat blok dirubah namanya; blok I menjadi dukuh Srikaton, blok II menjadi dukuh Srimulyo, blok III menjadi dukuh Srikaloka, dan blok IV menjadi dukuh Sriwidodo. Pedukuhan-pedukuhan ini kemudian dikenal dengan sebutan 4-Sri. Desa Srikaloka adalah tempat Warsidi bermukim sebelum hijrah ke Talangsari, sebelum adanya rencana rencana pembangunan proyek waduk Danau Way Jepara berikut saluran irigasi yang diestimasi dapat mengairi 7.000 hektar lahan pertanian (persawahan), di desa inilah Warsidi hidup bersama keluarga serta membangun jama‘ah pengajian yang anggotanya tersebar di beberapa desa, baik yang berada di kawasan hutan Gunung Balak maupun di luar kawasan Gunung Balak. Kehadiran para migran ini berpengaruh terhadap keberadaan penduduk etnik Lampung yang juga sudah mengalami penyempitan lahan dan merasa terancam kelangsungan hidupnya.(Sayogyo. 1982). Oleh karena itu pada masa ini gejala ―saring poverty‖ (Geertz) atau berbagi kemiskinan (Sajogjo) dan keterkaitan antara ―carrying capacity‖ dan ―sustainabledevelopment‖ sudah mulai tampak. Beberapa bentuk solusi baik langsung maupun tidak langsung antara lain adalah: (1) pada tahun 1960, persoalan tersebut sudah di diantisipasi oleh
57
pemerintah daerah dengan memberi izin membuka kawasan hutan kepada penduduk untuk dijadikan lahan pertanian; (2) terjadi proses nasionalisasi perkebunan kolonial yang secara berangsur dikuasai petani. Ini dianggap sebagai bentuk ‗land-reform spontan‘ yang dilakukan oleh mereka yang dahulunya tergusur; (3) dengan disahkan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 memberi peluang penduduk yang memiliki tanah luas untuk ikut melaksanakan program land reform, dengan menyerahkan sebagian tanahnya kepada negara untuk dibagikan kepada penduduk yang membutuhkan. (Mansur Faqih, 1995). Pertumbuhan Penduduk Masa Orde Baru Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung tahun 2010 mencatat bahwa laju pertumbuhan penduduk semakin cepat dan kepadatan penduduk per km2 semakin meningkat. Faktor penyebabnya diduga karena tingginya pertumbuhan penduduk alami, keberhasilan para transmigran yang mampu menarik arus migrasi swakarsa, dan keberhasilan pembangunan di daerah Lampung menjadi daya tarik para migran spontan dari daerah lain, terutama dari pulau Jawa, daya tarik itu antara lain; dekatnya Lampung dengan pulau Jawa sehingga para migran tidak membutuhkan dana yang besar jika ingin kembali ke kampung halaman atau sebaliknya, akibatnya Lampung menjadi propinsi yang tingkat kepadatan penduduknya terbesar di luar pulau Jawa, sebagaimana dalam tabel 1. Tabel 1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Tahun 2014 NO Tahun Jumlah Penduduk Kepadatan/Km2 1961 1.667.511 52 1 1971 2.775.695 78 2 1981 4.624.785 131 3 1990 6.015.803 170 4 2000 6.998.535 189 5 2010 7.596.115 195 6 Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2011. Program transmigrasi, meskipun transmigrasi umum sudah dihentikan sejak tahun 1980, membawa dampak kepada bertambahnya jumlah penduduk Lampung. Sehingga dalam persoalan pertumbuhan penduduk, propinsi Lampung menduduki angka tertinggi di Indonesia. Kalau secara nasional rata-rata pertumbuhan penduduknya 2,3 persen pertahun, maka Lampung lebih dari 5 persen pertahunnya. Kebijakan formal tersebut tidak bertahan lama karena arus migrasi dari beragam etnik ke Lampung masih tetap besar. Bahkan mengalami peningkatan di luar kemampuan kontrol pemerintah daerah, tidak terkoordinir dan sebagian menempati kawasan hutan. Wilayah Lampung memang strategis menjadi tempat persinggahan awal para migran ke pulau Sumatera, dan sejak ketentuan Belanda tentang adat gemeenschappen dihapus, maka tidak ada rintangan lagi bagi mereka yang bukan warga ―marga” untuk mendapatkan hak pakai tanah dalam wilayah bekas ―marga”. Daya tarik hak pakai tanah tersebut antara lain yang mendorong penduduk luar bermigrasi ke Lampung. Mereka itu kemudian dikenal sebagai
58
penduduk liar (perambah hutan). Program translok sebagai solusi juga dianggap gagal, karena selain kurang diminati masyarakat juga memunculkan sejumlah masalah baru.(Slamet Rusmialdi. 1995). Mereka banyak yang frustasi, terluntalunta, sedangkan persoalan yang terjadi di desa asal (kawasan hutan) juga belum seluruhnya tuntas dapat ditangani.(Kompas, desember 1992). Kemudian mereka banyak kembali di daerah asal, memasuki kawasan hutan lebih jauh lagi untuk membuka lahan-lahan pertanian baru, menduduki lahan-lahan bekas hutan yang telah ditebang perusahaan HPH (Hak Penguasaan Hutan), menjadi pencuri kayu, dan menjadi kelompok yang oleh Loekman Soetrisno disebut sebagai environment refugee.(Loekman Soetrisno, 1995). Akibatnya, sebagaimana tampak pada Tabel 3 menurut catatan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung bahwa hingga tahun 2010 sebanyak 54,46% kawasan hutan di Provinsi Lampung yang rusak dan sebagian besar berada di kawasan hutan lindung. Meskipun tidak semua akibat dari ulah para petani, tetapi pemerintah pusat dan daerah tetap menuduh akibat ulah para petani. Kebijakan agraria pada satu sisi dengan jelas diorientasikan dengan meminimalisir akses petani, tetapi pada sisi lain membuka luas akses para pemodal. Jadi pada masa kemerdekaan, terutama selama masa kekuasaan rezim Orde Baru dengan jelas deagrarianisasi semakin diperkuat, secara tidak langsung petani yang menjadikan tanah sebagai sumber kehidupannya semakin terhempas dari duniannya. Hal ini secara realitas historis membuktikan bahwa nasib petani dalam setiap episode kekuasaan rezim selalu ditentukan oleh sistem agraria dengan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan kultural. Dalam setiap episode kekuasaan rezim selalu diwarnai oleh gerak perjuangan petani dalam mempertahankan tanah pertanian yang dikuasai dan dikelola secara produktif. Artinya, eksistensi petani tidak pernah lekang dari resistensinya terhadap kebijakan agraria dalam sistem hubungan agraria yang mapan. Pada kondisinya seperti itu sangat logis jika memperhatikan hasil kajian Stephan (1992) yang menyimpulkan bahwa petani di banyak negara agraris secara politik tidak memiliki hak suara, secara ekonomi termarginalkan, dan secara kultural sebagai elemen masyarakat yang terancam. (Brohman, 1996: 258). Tanah pertanian semakin bergeser ke arah fungsi ekonomi dari pada fungsi sosial, karena terjadi penetrasi kapitalisme. Hal ini terlihat dari tingkat kerusakan hutan di propinsi Lampung yang asemakin mengalami peningkatan akibat adanya pengeksploitasian terhadap hutan yang ada di Lampung meskipun dari dinas Kehutanan yang berupaya secara maksimal untuk mempertahankan keberadaan hutan, hal ini sebagaimana dalam tabel 2 Tabel 2 Jenis Kawasan dan Tingkat Kerusakan Hutan di Lampung 2010 No 1 2 3 4 5
Jenis Kawasan Hutan
Luas (ha)
Hutan Suaka Hutan lindung Hutan produksi terbatas Hutan produksi tetap JUMLAH
462.030 317.615 33.358 191.732 1.004.735
Kerusakan Hutan Luas(Ha) % 191.003 41,34 222.012 69,90 19.891 59.63 114.329 59.63 547.235 54.46
59
Sumber : Sunarto. 2010. Op. Cit., hal. 10.
Kebijakan Agraria Register 38 Gunung Balak Lampung Timur Hutan Lindung register 38 Gunung Balak terletak di sekitar Kecamatan Labuhan Maringgai dan Kecamatan Jabung kabupaten Lampung Timur. Kabupaten tersebut sudah 15 tahun yang berdiri pada tahun 1998 setelah terpisah dari kabupaten Lampung Tengah yang menjadi kabupaten tersendiri. Hutan lindung ini berada pada 105,34 Bujur timur dan antara 5,12 –5,16 derajat lintang selatan. Luas hutan lindung register 38 Gunung Balak menurut SK. Menteri Kehutanan dan Perkebunan terakhir adalah 18.817,193 ha. Kawasan ini bercurah hujan tinggi dan mampu meresapkan air ke dalam tanah. Kawasan ini dimasukkan kedalam kawasan yang dianggap dapat memberikan perlindungan yang terutama berkaitan dengan fungsi hidrologis untuk pencegahan banjir dan menahan erosi. Fungsi resapan air kawasan Gunung Balak dipertahankan guna menunjang kelangsungan fungsi waduk Way Jepara. Hutan Lindung Gunung Balak Register 38 mempunyai tipe hutan tropik basah(tropical rain forest). Terletak di daerah dataran rendah dengan 25-245 meter di atas permukaan laut. Keadaan tanahnya bergelombang dengan sedikit berbukit dengan kelerengan lebih dari 40 %. Jenis tanah di daerah yang subur ini umumnya adalah jenis tanah latosol. Di daerah cacthment area Way Jepara terdapat 3 jenis tanah yaitu jenis tanah latosol yang berwarna coklat kemerahan dan merah serta tanah alluvial coklat kelabu. Erosi di daerah ini umunya hanya dijumpai di daerah yang berlereng terjal di pegunungan. Terbentuknya hutan lindung register 38 Gunung Balak tidak terlepas dari masa kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, pemerintahan desa-desa di propinsi Lampung masih dikelola dengan sistem adat yaitu marga. Namun sistem pemerintahan lokal ini tentu saja tidak dapat berkuasa seperti sebelum zaman kolonial. Pada zaman tersebut hutan di area Gunung Balak disebut hutan negeri setelah diserahkan kepada pemerintahan Hindia Belanda yang dilakukan pada tahun 1935 oleh 4 (empat) kepala marga (pimpinan masyarakat adat) yang ada di daerah sekitar Gunung Balak tersebut. Marga-marga tersebut adalah ; Marga Subing, Marga Labuhan, Marga Malinting, Marga Sekampung Ilir dan Marga Sekampung Udik. Penyerahan ini dikukuhkan dengan Besluit Residen Lampung tanggal 30 November 1935 nomor 644 dan diperbaharui lagi dengan Surat Keputusan Residen Lampung tanggal 30 November 1953 No. 44.53 jo. SK. Dinas Kehutanan Propinsi Lampung tahun 1968 No. 429/VI/1968. Tidak heran kalau banyak hutan lindung yang ada di kecamatan dan kabupaten di Lampung berhasil dikuasakan kepada pemerintahan kolonial Belanda dan bukan kepada pemerintahan marga. Hutan lindung Gunung Balak Register 38 dikuasakan kepada pemerintah berdasarkan Besluit Residen Lampung No. 644 tanggal 30 November 1935 untuk lahan seluas 26.620 ha. yang dikenal dengan sebutan hutan negeri.Pada saat besluit residen Lampung nomor 644 tanggal 30 November 1935 dikeluarkan pada
60
zaman Kolonial Belanda, daerah kawasan hutan lindung Register 38 Gunung Balak memang benar-benar masih merupakan kawasan hutan yang lebat dan disana belum banyak area permukiman seperti sekarang ini. Kebijakan Agraria di Register 38 Gunung Balak Masa Kolonial Sebelum tahun 1935 lahan di areal Gunung Balak merupakan milik dari marga-marga atau pemerintahan lokal Lampung. Sistem kelembagaan adat Lampung adalah lembaga adat marga yang dicirikan oleh adanya batasan wilayah teritorial dengan pimpinan adat tertentu. Masing-masing lembaga adat marga memiliki batas-batas wilayah teritorial tertentu. Umumnya batas-batas alam seperti sungai, bukit, batu dan lain-lain dengan pimpinan/kepala adat (sai batin) tertentu pula. Lembaga Adat Marga yang berada di sekitar areal Gunung Balak tersebut yaitu; Marga Suling, Labuahan Marinting, Sekampung Ilir dan Sekampung Udik. Marga merupakan satuan unit pemerintahan yang memerintah dusun-dusun pada waktu itu, sistem pemerintahan ini telah ada sejak sebelum zaman kolonial. Pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda telah dikeluarkan peraturan perundang-undangan yang disebut “Agraris Wet”(1870). Menurut UU Agraria 1870 ada dua kategori domain. Kategori pertama adalah domain bebas, yang merujuk kepada semua tanah yang tidak dilekati hak-hak tertentu. Kategori kedua disebut dengan domain terikat, yang merujuk kepada area yang dikenai pajak. Pada kategori domain ini orang pribumi biasanya dapat memperoleh hak pemilikan yang dapat diwariskan. Dalam peraturan juga ditetapkan bahwa domain terikat hanya berlaku pada tanah-tanah yang ditanami secara permanen. Dengan peraturan semacam ini, semua tanah yang penggunaannya bersifat temporer seperti yang dijumpai pada sistem pertanian berpindah tidak termasuk domain terikat, melainkan masuk dalam kategori domain bebasyang menjadi milik negara (Gautama dan Hornick 1972 : 80). Oleh sebab itu semua domain bebas menjadi milik pemerintahan kolonial, praktik pertanian berpindah konsekuensinya dipandang sebagai kegiatan ilegal sehubungan dengan fakta bahwa petani berpindah tidak memiliki izin untuk mengerjakan tanah tersebut. Negara memposisikan sebagai pemilik tanah, sebuah klaim yang dikembangkan dari teori “Vorstaindomain” dan dibangun pada landasan ide bahwa semua tanah merupakan milik penguasa pribumi.(Rouffaer 1931: 67-68). Di Lampung tidak terkecuali di area Gunung Balak, hak pemilikan atas tanah sudah ditransfer kepada pemerintahan kolonial, sebagai konsekuensi dari fakta bahwa penguasa pribumi (marga) telah mengakui dan menyerahkan daerah ini kepada kekuasaan VOC pada tahun 1743 (Kumar 1983: 78). VOC dan pemerintah kolonial Belanda sebagai penggantinya memegang hak dalam penentuan berbagai transaksi tanah seperti menjual, menyewakan dan memindahkan hak atas tanah, dalam prinsip, hanya para pemilik tanah mempunyai hak-hak seperti ini. Dekrit domain negara membentuk basis legal bagi pemerintah kolonial yang menjadi dasar bagi pemberian hak-hak kepada para pengusaha asing untuk menyewa tanah dan membangun usaha perkebunan (Gautama dan Harsono 1972: 8). Hak-hak semacam ini diberikan dalam bentuk hak erfpacht, yakni penyewaan tanah yang dapat diwariskan hingga jangka waktu75 tahun dengan luas
61
maksimum 500 bau atau 354,8 hektar (Furnivall 1939 : 178). Tanah-tanah erfpacht diberikan kepada para pengusaha asing baik secara individual maupun korporasi (Sutter 1959 : 28). Melalui permohonan hak erfpacht banyak usaha perkebunan dikembangkan di wilayah propinsi Lampung dengan berbagai macam komoditas terutama karet. Komoditas karet inilah yang dikemudian hari memberi trade mark wilayah Lampung dalam jangka waktu yang sangat panjang. Pemberian hak penggunaan tanah atas dasar erfpacht dimungkinkan untuk dilakukan di wilayah Lampung sehubungan dengan masih tersedia lahan kosong dalam jumlah besar. Dalam kaitan dengan hak-hak pemilikan atas tanah bagi kaum pribumi, UU Agraria 1870 mengakui hukum adat yang dapat diperoleh melalui tiga cara pokok: pembukaan hutan, pemindahan hak tanah dan penganugrahan hak atas tanah yang ditinggalkan (Holleman 1981 : 186-87). Pencabutan secara bertahap Tanam Paksa telah memperkokoh sistem pemilikan tanah secara individual (Sutrisno 1996 : 4). Tanah yang dimiliki kaum pribumi tidak terdapat pada kadester. Namun demikian, tanah yang dipergunakan untuk pertanian oleh petani merupakan objek pajak tahunan. Untuk mengadministrasikan pajak tanah para kepala desa diwajibkan untuk mencatat tanah pertanian dalam register pajak tanah. Bukti pembayaran pajak petuk merupakan satu-satunya bukti yang dipunyai sebagai bukti pemilikan tanah. Pada tahun 1935 para tokoh adat dari lima marga yang ada di area Gunung Balak yakni Marga Suling, Labuahan Marinting, Sekampung Ilir dan Sekampung Udik. Menyerahkan tanah tersebut kepada pemerintah Kerajaan Belanda untuk diakui sebagai hutan negeri seluas 26.620 ha. Penyerahan itu dikukuhkan dengan besluit Residen Lampung tanggal 30 November 1935 no. 664 dan diperbaharui lagi dengan surat Residen Lampung tanggal 30 Juni 1968 no. 429/VI/1968. Mengapa hal ini terjadi. Kita perlu melihat pada kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada zaman kolonial Pemerintah Belanda pada waktu itu telah terbiasa menerima upeti berupa pajak dari pemimpin marga-marga tersebut termasuk pajak pertanahan. Untuk itu lebih baik hutan Gunung Balak dibuat saja statusnya menjadi hutan negeri karena hasil hutan tersebut kemungkinan hanya dapat diambil oleh para pencari hasil hutan berskala kecil yang merupakan penduduk asli Lampung. Mereka tidak suka membuka hutan untuk dijadikan persawahan seperti yang dilakukan oleh para petani di Jawa yang selanjutnya. Lagi pula dalam peraturan agraria yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1870, yakni. “Agrarische Wet & Agrarische Besluit (peraturan Agraria) tidak pernah meyakini hak individual kepada petani. Sebaliknya mereka menyatakan bahwa semua tanah tanpa kepemilikan yang disertifikasi menjadi milik negara (Demain Van Der Staat)‖(Noer Fauzi, 1977: 33). Masyarakat petani hanya dapat mengambil hasil hutan dan mengolah tanah yang dikuasai negara. Sebaliknya pemerintah Kolonial Belanda tidak diizinkan menjual lahan-lahan tidak bertuan kepada pihak manapun walaupun memiliki hak menguasainya. Mereka hanya berhak menyewakan lahan-lahan yang dianggap tidak bertuan kepada pengusaha-pengusaha perkebunan. Lalu apakah daerah Gunung Balak akan disewakan juga untuk dijadikan areal perkebunan oleh pemerintah Belanda. Ternyata tidak, pemerintah Kolonial Belanda pada waktu itu
62
ternyata melihat bahwa hutan negeri Gunung Balak mempunyai fungsi yang cocok sebagai areal resapan air dan harus dilindungi kelestariannya. Hutan negeri Gunung Balak ditetapkan sebagai Hutan Tutupan dengan tujuan lindung (Hidrourologi) dengan nomor register 38 pada tanggal 12 Agustus 1935 tidak lama setelah penyerahan areal tersebut dari kepala marga-marga sekitar kepada pemerintah Kolonial Belanda. Danau Way Jepara yang ada di areal hutan Negeri Gunung Balak tersebut ditetapkan menjadi lokasi untuk proyek pembuatan resapan air yang pengesahannya dilakukan di Bogor pada tanggal 24 Februari 1938. Niat baik pemerintah kolonial Belanda terhadap kelestarian alam tersebut tidak bisa dilepaskan dari faktor ekonomi juga. Keberadaaan hutan lindung Gunung Balak sebagai daerah resapan air sangat diperlukan bagi perkebunanperkebunan besar seperti teh, kopi dan pisang yang sejak zaman Belanda sudah dihasilkan di propinsi Lampung. Pada waktu itu politik tanam paksa yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia menghasilkan hasil yang besar untuk diangkut ke negeri Belanda. Secara materil, isi peraturan perundang-undangan ini mengutamakan kepentingan ekonomi pemerintahan jajahan. Pada saat itu, Indonesia dijadikan sebagai tempat memperoleh bahan mentah untuk keperluan industri yang pengolahannya dilakukan oleh negara-negara Eropa (Bachriadi, 1997; 200). Pada awal abad ke 19 di propinsi Lampung terjadi pembukaan program transmigrasi pertama di Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sebagai wujud dari politik ethis dari pemerintah. Program ini melakukan pemindahan penduduk dari pulau Jawa dan Bali yang penduduknya mempunyai pengalaman dan ethos kerja yang tinggi dalam mengolah lahan pertanian seperti sawah dan perkebunan secara menetap. Pemerintah Kolonial Belanda sangat memerlukan tenaga-tenaga para pendatang baru di Propinsi Lampung tersebut untuk mengolah perkebunan-perkebunan karena penduduk Lampung sebagaimana petani di luar Jawa lebih menyenangi cara pengolahan lahan yang berpindah-pindah. Kebijakan Agraria di Register 38 Gunung Balak Masa Orde Lama Pada awal kemerdekaan tahun 1945 hutan lindung register 38 Gunung Balak belum mendapat perhatian oleh para pendatang dan masih dalam bentuk hutan liar. Beberapa program pemerintah kolonial Belanda yang masih dilanjutkan oleh pemerintah Republik Indonesia adalah program transmigrasi. Pemerintah kolonial Belanda memberikan lahan yang subur dan membuat para penduduk pendatang baru dari pulau Jawa dan Bali betah dan tidak banyak yang berpindah-pindah sehingga menghasilkan kota-kota eks transmigrasi (Metro dan Pringsewu), dan Metro saat ini merupakan Kota Administrasi (Kota terbesar kedua di propinsi Lampung). Pada bulan desember 1949 setelah adanya pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda, keprihatinan atas kehadiran dan pemilikan tanah perkebunan Belanda bermunculan. Sejumlah partai politik memandang perkebunan milik Belanda sebagai representasi kepentingan kolonial yang eksistensinya di Indonesia kontradiktif dengan kemerdekaan politik yang baru
63
saja dicapai. Pemilikan tanah oleh perkebunan-perkebunan asing dianggap sebagai rintangan bagi kaum tani dalam upaya mendapatkan akses yang lebih luas terhadap tanah yang sangat diperlukan dalam rangka mengembangkan produksi pertanian rakyat. Pergeseran orientasi Partai Komunis Indonesia pada awal 1950an dari gerakan yang didasarkan pada kaum buruh ke arah gerakan yang didasarkan pada kaum tani menghidupkan kesadaran akan isu-isu ketunakismaan (landlessness). Penolakan terhadap keberadaan tuan-tuan tanah dan perkebunan barat kapitalistis yang lekat diasosiasikan dengan sebuah bentuk eksploitasi, serta kebutuhan akan redistribusi tanah pertanian kepada para petani tidak bertanah (Kroef 1963 : 54-57). Pada tanggal 24 September 1960 pemerintah Indonesia memberlakukan peraturan baru dalam bidang agraria yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 sebagai pengganti Undang Undang Agraria 1870 (Soehadi tt :11). Dengan peraturan baru ini, reformasi agraria (landreform) diintroduksikan untuk mengakomodasi kebutuhan akan kepastian hukum dan jaminan keamanan dalam pemilikan tanah (Syamsuddin 1982 : 14-15). Melalui implementasi beberapa kebijaksanaan ini diharapkan konflik-konflik tanah akan berkurang dan pada gilirannya akan menciptakan iklim yang positif bagi perkembangan pertanian rakyat khususnya dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. Pada tahun 1950-1960 muncullah keinginan dari berbagai kelompok masyarakat untuk memiliki lahan pertanian sendiri. Sebelum kemerdekaan keinginan ini sulit untuk direalisasikan sehubungan dengan undang-undang agraria dari pemerintahan Kolonial Belanda yang tidak mengizinkannya. Pada era ini semangat landreform yang tengah melanda dunia pertanian sangat terlihat, dimana para petani merasa mendapatkan angin segar untuk memperoleh hak dan memiliki tanah sendiri. Maka pada tahun tersebut diberlakukannya UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Pada awalnya undang-undang ini dimaksudkan sebagai ―Undang-undang untuk induk keagrariaan yang mencakup pola relasi sosial di atas tanah... (Fauzi, 1977). Pasal yang memuat ayat ini dalam UUPA adalah pasal 6. UUPA 1960. Undang-undang ini bersifat populis yang mengakui hak-hak individu atas tanah, akan tetapi hak atas tanah tersebut mempunyai fungsi sosial. Populisme di jalankan bukan dengan kekuasaan sentral pada pemerintah saja melainkan desentralisasi kekuasaaan politik melalui organisasi masa petani. Jadi politik agraria dijalankan dengan langgam politik yang populis pula (Bachriadi, 1977 ; 69). Lebih lanjut dalam pasal 19 UUPA 1960 menugaskan pemerintah untuk melakukan registrasi tanah di seluruh Indonesia. Agen yang secara khusus menangani kegiatan ini adalah Kantor Urusan Agraria. Program registrasi tanah mencakup tiga kegiatan pokok;pertama, adalah kadastral yang bertujuan mensurvei, memetakan dan mencatat tanah dalam rangka pembuatan peta-peta registrasi;kedua, adalah urusan legal yang mencakup pencatatan titel tanah, pemegang hak pemilikan dan urusan legal lainnya seperti pemindahan dan terminasi hak pemilikan tanah;ketiga, adalah penerbitan bukti formal atas status tanah (Harsono 1973 :1-2, 7). Tindakan ini adalah dalam rangka implementasi reformasi tanah mencakup registrasi tanah, perluasan maksimum area pemilikan
64
tanah yang diizinkan secara formal dan redistribusi tanah kepada kaum petani tidak bertanah (Utrecht 1969 : 76). Pada masa tahun 1960-an tersebut ruang untuk organisasi petani sangat terbuka lebar dalam dinamika politik populis di bawah kepemimpinan presiden Soekarno. Aspirasi petani pada waktu itu merupakan unsur politik yang menjadi perhatian dalam issu-issu nasional di bawah pemerintahan Soekarno. Organisasi petani terbesar pada waktu itu adalah Barisan Tani Indonesia (BTI) yang beraliran komunis, yang pada tahun 1964 ikut serta pula membuka hutan lindung register 38 Gunung Balak serta membagi-bagikannya kepada petani. Mereka adalah Mid (70), Kar (65), Djar (65), Djam (77), Tjo (70), dan Mur (72), datang dan mulai membuka bagian timur kawasan hutan dan membuat calan perkampungan (umbulan). Areal yang dibuka berada di bagian dalam hutan sedangkan bagian luarnya dibiarkan berhutan sebagai tabir sehingga tidak terlihat dari luar. Selanjutnya puluhan penduduk sekitar diajak para tokoh BTI (Barisan Tani Indonesia) untuk menggarap dan menempati sekitar 1.200 hektar lahan. Pada tahun 1965 petani yang menempati areal tersebut mencapai 2.560 orang yang terbagi ke dalam empat wilayah yaitu berdikari blok I, II, III, dan IV, akan tetapi dengan adanya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) suasana menjadi berubah, sebagaimana dikisahkan oleh Sup (81th) : ............Saat terjadi pemberontakan G.30S/PKI 1965 yang gagal, delapan tokoh BTI ditangkap oleh aparat militer, dua diantaranya yaitu Midjo dan Murdjito meninggal dalam perjalanan, sementara yang lainnya ditahan. Oleh aparat pemerintah dan keamanan setempat warga lain yang terlibat PKI tidak ditangkap, tetapi hanya diwajibkan melapor seminggu sekali. Warga yang tidak terlibat PKI tetap diperbolehkan menggarap lahan hutan yang telah ditebangi akan tetapi tidak boleh menebang lagi. (Wawancara, 22 Desember 2013).
Organisasi-organisasi lainnya yang ikut membuka areal hutan lindung register 38 Gunung Balak adalah : Bumi (1951), Praja(1953), Sadar (1954), dan BTI (1964). Dalam tindakannya organisasi-organisasi kerakyatan tersebut terlihat memperjuangkan kepentingan petani untuk memperoleh lahan pertanian sebagai sumber daya ekonomi petani yang potensial. Munculnya organisasi-organisasi tersebut syarat dengan kepentingan politik dan dapat dianggap sebagai pemicu lahirnya sengketa lahan di area hutan lindung register 38 Gunung Balak. Para pengurus organisasi-organisasi rakyat tersebut memperoleh keuntungan secara finansial dengan ―menjual hak pakai” kepada para petani yang dahaga dan lapar akan lahan garapan, yang telah hengkang dari lahan pembagian proyek transmigrasi yang tidak subur dan para petani pendatang bari dari Jawa dan Bali. Pada waktu itu Lampung memang sudah dikenal oleh orang Jawa yang berada di pulau jawa sebagai daerah tujuan untuk bertani dan yang lebih dekat dengan pulau Jawa. Program transmigrasi dibawah pemerintahan Soekarno dilakukan oleh Departemen Transmigrasi, dan program transmigrasi di Lampung baru berhenti pada tahun 1977 karena lahan sudah penuh bagi proyek tersebut, program transmigrasi yang dilaksanakan oleh Departemen Transmigrasi pada zaman Orde Lama era Soekarno, dalam pembagian lahan kepada peserta program transmigrasi terkesan asal-asalan dengan tidak terlalu memperhatikan kesuburan lahan yang memang sangat dibutuhkan oleh para petani menetap dari Jawa dan Bali yang
65
sudah terbiasa dengan lahan yang subur di daerah asalnya. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan kalau banyak dari para peserta transmigrasi di Lampung pada tahun 1960-an pergi meninggalkan tanah/lahan jatah pembagian dari pemerintah dan mencari sendiri lahan yang subur di Lampung, dan menjadi awal permasalahan pertanahan di hutan lindung register 38 Gunung Balak justeru bermula (awal terjadinya) dengan bergantinya pelaksanaan proyek transmigrasi dari pemerintahan kolonial Belanda ke pemerintah. Pada awal tahun 1960-an sebelum muncul gerakan G.30.S/PKI areal kawasan Hutan Lindung Gunung Balak secara berangsur-angsur diduduki oleh masyarakat yang dianggap illegal oleh Departemen Kehutanan. Kondisi areal Gunung Balak berangsur-angsur berbalik dari hutan lindung menjadi areal perladangan dan kemudian permukiman. Masyarakat itu mayoritas merupakan masyarakat petani pendatang dari Jawa dan Bali yang tidak mempunyai lahan di tempat asalnya. Mereka datang ke Lampung sebagai anggota transmigran atau datang dengan inisiatif sendiri. Para transmigran yang berpindah ke areal Gunung Balak adalah orang-orang yang tidak memperoleh lahan yang subur di area transmigrasi yang mereka ikuti. Hasil wawancara seorang perintis Sup (81th), menurutnya : Tanah di areal hutan lindung register 38 Gunung Balak diperjualbelikan oleh oknum-oknum dari organisasi tersebut sekitar RP. 2500 (dua ribu lima ratus rupiah) untuk lahan yang luasnya dua setengah hektar. Organisai-organisasi tersebut merasa berhak untuk menjual hak pakai di areal hutan lindung register 38 Gunung Balak, padahal pada waktu itu areal tersebut sudah resmi dan jelas merupakan wilayah yang tercatat sebagai hutan lindung dengan nomor register 38 yang dikuasai oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan, akan tetapi departen tersebut pada waktu itu tidak bertindak tegas kepada para pendatang tersebut dan saat ini yang disalahkan adalah petani (Wawancara, 22 Desember 2013).
Ketidaktegasan aparat dalam hal ini oknum Departemen Kehutanan bisa dimaklumi, karena kondisi saat itu tidak terlepas dari kondisi politik kerakyatan yang memihak kepada petani dengan dalih landreform (reforma agraria) yang berlaku pada masa pemerintahan Soekarno sehingga seolah-olah masalah tersebut sebagai masalah yang serius. Walaupun Dinas Kehutanan pemerintah daerah pada waktu itu sudah mengetahui posisi hutan lindung register 38 Gunung Balak yang sebagian arealnya merupakan daerah resapan air, mereka justeru yang memberikan Surat Izin Tumpang Sari (SITS) yang isinya memperkenalkan masyarakat cara mengolah lahan di huatan lindung register 38 Gunung Balak tanpa berhak memilikinya. Anehnya lagi, organisasi-organisasi masyarakat yang bemunculan di ataslah yang memiliki surat tersebut untuk lahan yang sangat luas sehingga mereka dapat membagi-bagikan izin tersebut kepada para petani dengan cara menjualnya. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan kalau pada tahun 1960-an tersebut petani-petani pendatang di areal hutan lindung register 38 Gunung Balak telah merasa memiliki tanah yang mereka buka karena mereka merasa telah membayar/membeli kepada organisasi-organisasi yang notabenenya mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah TK.II Lampung Tengah untuk membuka lahan di area hutan lindung register 38 Gunung Balak. Akan tetapi itu hanya : perasaan memilik tanah dari para petani karena ternyata pemerintah tidak kunjung memberikan sertifikat atas tanah yang mereka buka tersebut.
66
Hal ini bisa dipahami karena situasi politik yang sedemikian inilah yang menyebabkan Pemerintah Daerah TK.I Lampung saat itu tidak dapat menahan/melarang organisasi-organisasi yang bermunculan untuk melakukan aksinya mencari masa petani dengan menjual hak pakai tanah. Bahkan Pemerintah Daerah TK. I Lampung memberikan izin kepada masyarakat untuk melakukan tanaman tumpangsari kepada para petani melalui organisasi-organisasi tersebut yang telah menjual izin tersebut kepada para petani dari Jawa dan Bali. Meskipun saat itu mereka mengetahui bahwa areal disekitar Gunung Balak masuk dalam kawasan hutan lindung, yang seharusnya terlarang untuk dibuka. Lebih ironis lagi, pihak yang mendapat kewenangan dari pemerintah pusat untuk menjaga kelestaian hutan tersebut yaitu Dinas Kehutanan Propinsi Lampung tidak atau belum mampu mengadakan aksi yang kuat untuk melindungi hutan tersebut. Adapun beberapa organisasi yang ikut serta dalam mengelola lahan area hutan lindung register 38 Gunung Balak, sebagaimana dokumen yang tercatat di Dinas Kehutanan Propinsi Lampung antara lain : Pertama, PRAJA berdiri pada tahun 1953, organisasi ini mengkoordinir pembukaan lahan hutan nagari di dekat kampung Raja Basa yang bernama Pusaran dan kemudian menjadi desa Sidorejo. Kedua, SADAR pada tahun 1954 yang mengkoordinir pembukaan seluas 4 km x 6 km yang terletak di areal sekitar Kubu Siring. Organisasi ini selanjutnya bersatu dengan organisasi PRAJA dan mendirikan desa Bandar Agung. Ketiga, Barisan Tani Indonesia (BTI) pada tahun 1964 mengkoordinir pembukaan lahan yang tujuannya adalah untuk membentuk basis kekuatan G.30S/PKI. yakni dengan membuka lahan seluas 15 km x 5 km di areal hutan lindung Register 38 Gunung Balak yang kemudian menjadi desa-desa seperti, Sriwidodo, Srikaloka, Srikaton dan Srimulyo. (Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, 2010).
Kehadiran organisasi-organisasi tersebut semakin mempermudah masyarakat luas untuk masuk ke areal tersebut, hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut ini; Sum(68 thn), Sum adalah seorang petani lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berasal dari Klaten. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah ia berniat untuk merantau ke Lampung, tepatnya di kota Metro tempat neneknya menetap/tinggal selama ini. Akan tetapi ia mengurungkan niatnya ke Metro dan pergi ke Sribawono sebuah kota kecil yang ada sejak zaman Belanda, yang pada waktu itu masih masuk wilayah Kabupaten Lampung Tengah. Di sana ia bertemu dan berkenalan dengan seorang yang mengajaknya untuk bertani kedelai di kota kecil tersebut. (Wawancara, 22 Desember 2013).
Organisasi lain yang ikut dalam perencanaan pembukaan lahan di kawasan register 38 Gunung Balak adalah organisasi BUMI (Badan Usaha Masyarakat Indonesia), organisasi tersebut merencanakan membuka lahan pertanian yang disebut sebagai tanah perjuangan Veteran, menurut keterangan Sam (75 th) Sam memperoleh informasi bahwa tanah tersebut telah diberikan oleh Gubernur Sumatera Selatan (pada saat propinsi Lampung masih bergabung dengan Sumatera Selatan) kepada para pejuang Veteran laskar‘45 tersebut. Tanah tersebut berukuran 4 km x 6 km. Pada tahun 1966 pak Sumardi memperoleh jatah lahan dari organisasi BUMI, untuk rumah dan pekarangan masing-masing seluas 1,5 hektar dan ladang seluas 3 hektar. Kepemilikan lahan dibatasi dengan memberi tanda berupa patok besi. Akhirnya pak Su bertani di lahan yang dibuka oleh mantan para pejuang yang tergabung dalam laskar‘45 tersebut yang kemudian berdiri sebuah desa yakni Bandar Agung, desa yang letaknya berdampingan dengan kota Sribawono tersebut, sementara itu, organisasi Barisan Tani Indinesia (BTI) salah satu organisasi
67 underbownya PKI juga membuka lahan pertanian di hutan sebelah utara kota Bandar Agung. (Wawancara, 20 Desember 2013).
Ia merupakan pemimpin para pendatang (kepala susukan) di Sribawono yang semua anggotanya berasal dari Jawa. Setelah berhasil membuka lahan pertanian dan permukiman keluarga merekapun mendatangkan orang-orang dari pula Jawa termasuk keluarga pak Sum dari Klaten. Pada mulanya keluarganya masih dimukimkan di Sribawono karena desa Bandar Agung masih berupa areal perkebunan bekas hutan. Pada tahun 1965 diadakan pemilihan kepala desa di kota Sribawono, orang-orang yang tidak memiliki rumah di Sribawono diminta untuk pindah. Akhirnya pak Sum beserta keluarganya pindah ke areal pertaniannya di desa Bandar Agung bersama rombongan petani lainnya yang bernasib sama dan membuka permukiman di desa baru tersebut. Ia tidak pernah memiliki tanah seluas itu di pulau Jawa tentu saja sangat senang dengan keadaan tersebut. Ia bertani dengan penuh semangat, baginya tanah adalah harta atau sumberdaya yang paling berharga. Pada waktu memperoleh lahan tersebut sebenarnya pak Sum mengetahui bahwa daerah yang dibuka tersebut merupakan hutan kawasan (hutan lindung). Akan tetepi ia tidak mengetahui untuk apa sebenarnya peruntukan hatan cadangan itu. Tokoh lain yang merupakan pioner pembuka hutan di hutan lindung register 38 Gunung Balak adalah pak Sad (70 thn) mantan Kepala desa Sidorejo pada tahun 1977, yang juga berasal dari Klaten, demikian kisahnya; Walaupun ia berhasil menyelesaikan pendidikan sampai Sekolah menengah Atas (SMA) akan tetapi ia tidak mendapatkan pekerjaan di daerah asalnya. Lahan pertanian ya ia miliki juga adalah dari hasil pembagian organisasi BUMI, Ia memutuskan untuk merantau ke Lampung untuk mengubah hidupnya yang tidak mempunyai lahan di daerah asalnya. Seperti halnya banyak dilakukan oleh orangorang di propinsi Jawa Tengah pada masa tersebut. Di perjalanan dia bertemu dengan seseorang yang memberi informasi bahwa ia dapat menjadi buruh tani di desa Bandar Agung pada saat petani disana sedang panen raya. Pada tahun 1968 ada pembukaan lahan di desa Bandar Agung oleh Legium Veteran Sadar Sriwijaya. Seorang yang membuka lahan harus membayar ke Legium veteran sebesar Rp.2.500,- per kavling. (Wawancara, 20 Desember 2013).
Sebagaimana diketahui bahwa Legium Veteran Sadar Sriwijaya yang merupakan bagian dari program BRN (Biro Rekonstruksi Nasional) memiliki izin untuk melakukan tumpang sari, tebang pilah di atas lahan register 38 Gunung Balak dari Dinas Kehutanan Tingkat II Kabupaten Lampung Tengah. Pada waktu itu izin pengelolaan lahan hutan tersebut juga diberikan kepada petani secara perorangan, dengan catatan status tanah tetap menjadi milik dinas Kehutanan. Masyarakat yang mengelola lahan pertanian disana dipertanggungjawabkan oleh organisasi-organisasi tersebut. Akhirnya setelah lahan pertanian tersebut menjadi penuh penghuninya dan pondok-pondok tempat bermukim, masyarakat diizinkan mendirikan desa di kebun-kebun yang dibuka tersebut. Mereka beranggapan bahwa mereka sudah memiliki syarat-syarat untuk dapat mendirikan sebuah desa dengan memiliki kepala desa yang berasal dari kepala susukan, memiliki wilayah dan kepemilikan Kartu tanda Penduduk (KTP) yang disyahkan oleh pejabat setempat.
68
Namun demikian sampai saat ini (kecuali sebagian tanah di Bandar Agung karena kesalahan dari Badan pertanahan Nasional (BPN) yang melakukan sertifikasi, status tanah para petani di daerah tersebut masih tidak resmi milik mereka atau dengan kata lain belum bersertifikat hak milik, akan tetapi jumlah mereka yang bermukim di area hutan lindung register 38 Gunung Balak sudah mencapai ribuan orang dan permukiman mereka sudah dalam bentuk bangunan yang permanen.
5 TALANGSARI : BERTAHAN DALAM HIMPITAN STIGMA Sejarah Dusun Talangsari III Talangsari III, sebuah nama yang diusulkan oleh APM(60 th) saat menjadi kepala desa, bagi orang Lampung, kata ―Talang” dan “umbul‖ bukan hal baru. Ada beberapa wilayah yang bernama umbul, misalnya Umbul Kapuk atau Umbul Hujan Emas di Pakuan Haji. Bila ada beberapa rumah yang mengelompok terdiri dari 5 atau 6 rumah di peladangan, maka kelompok hunian itu disebut umbul, dan apabila beberapa umbul itu bertambah, maka dengan sendirinya menjadi talang. Kumpulan talang itulah disebut dusun yang nantinya menjadi cikal-bakal terbentuknya sebuah desa. Sedangkan sari adalah sebuah harapan akan kemakmuran bagi penduduk yang tinggal atau menempati talang. Talangsari berarti kesejahteraan penduduk dalam suatu tempat, Talangsari III adalah urutan dari nama Talangsari I, Talangsari II yang sudah ada jauh sebelum Sukidi membuka kebun durian kepala desa APM. Kalau saja APM (Kepala Desa Rajabasa Lama) orang asli Lampung itu tidak ngotot memutuskan sebuah nama Talangsari yang berada di sisi selatan jalan propinsi yang melitas di wilayahnya, mungkin wilayah itu sudah bernama salah satu daerah yang ada di Banyuwangi (daerah asal mayoritas penduduk dusun Talangsari), hal ini disebabkan, sangat jarang perintis hunian baru di Lampung yang tidak membawa serta nama kampungnya ke wilayah rintisan. Oleh sebab itu tidak perlu heran bila daerah di Lampung bagaikan tanah di Jawa yang dipindahkan, tidak hanya orang-orangnya yang pindah akan tetapi kampung halamannyapun ikut pindah. Pekalongan, Blambangan, Sukoharjo dan Wonosobo adalah bukti nyata pindahnya nama-nama daerah asal yang ada di pula Jawa ikut serta dipindahkan oleh yang melakukan pembukaan hunian baru. Membicarakan sejarah Talangsari terasa kurang lengkap tanpa mengikutsertakan sosok Suk (saat terjadi pergolakan menjabat sebagai kepala dusun). Suk (62 th) adalah orang yang pertama kali menginjakkan kaki di Bumi “Ruwai Jurai” tepatnya di Way Jepara pada awal tahun 1972. Pada saat itu, Way Jepara masih merupakan kawasan hutan yang tidak setiap jengkal tanah mampu dijamah orang. Masih banyak hutan yang dijadikan istana hewan buruan. Untuk mengubah hutan menjadi hunian, tidak semua orang boleh mengatakan pekerjaan yang gampang. Hanya orang-orang pilihan dan tahan ujilah yang mampu melakukannya. Sukidi membabat alas Talangsari, setelah menemukan lokasi yang cocok untuk dijadikan daerah hunian. Di suatu lahan yang dipenuhi oleh pohon durian,
69
Suk tertarik untuk menjadikannya sebagai tempat tinggal. Dalam bayangan Suk, tempat inilah yang kelak akan menjadi daerah terbaik, karena kesuburan tanahnya terbukti dengan tanah merah yang tidak berpasir sebagaimana umumnya tanah yang ada di daerah Lampung. Orang Banyuwangi ini segera mencari tahu pemilik tanah tersebut, dan diperoleh informasi ternyata tanah itu milik APM (Kepala desa Rajabasa Lama), tokoh adat Lampung yang dikenal memiliki harta peninggalan berupa tanah yang luas, dan beliau sepakat dengan Sukidi yang berminat ingin memperoleh lahan garapan. Bersama Soe (45 th) dan Nga (40 th) teman seperjuangan Suk mulai menebang hutan dan menyiapkan daerah hunian. Pohon kecil dan pohon besar ditumbangkan, sepetak dijadikan permukiman dan sepetak yang lain dijadikan lahan pertanian. Ketiga orang inilah yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya sebuah dusun yang kelak diberi nama Talangsari. Talangsari III adalah gabungan dua dusun dari dua desa yang berbeda (desa Rajabasa Lama dan desa Pelabuan Ratu). Kedua desa tersebut saling tukar wilayah. Menurut keterangan Sukidi, ada satu dusun (dusun Umbul Kacang) yang merupakan bagian dari desa dan letaknya jauh dari desa Rajabasa Lama yakni mencapai 25 kilometer, dan justeru lebih dekat ke desa Pelabuan Ratu. Sebaliknya ada dusun milik desa Pelabuan Ratu yang letaknya lebih dekat ke desa Rajabasa Lama yakni dusun Cihideung yang berbatasan langsung dengan kebun durian Suk Karena lokasi yang berjauhan antara desa dengan dusun yang merupakan bagian wilayah kekuasaannya dan untuk mempermudah administrasi dan pengawasan bagi petugas desa untuk mengunjungi dusunnya masing-masing, maka kedua pemegang otoritas di tingkat desa sepakat untuk melakukan tukar wilayah kekuasaan tepatnya pada pertengahan bulan Juli 1988; Umbul Kacang masuk ke wilayah desa Pelabuanratu dan Cihideung masuk ke wilayah desa Rajabasa Lama yang berdampingan dengan permukiman Sukidi (Talangsari). Cihideung merupakan dukuh yang dihuni oleh keluarga Ja (Tokoh komunitas Cihideung pimpinan Warsidi). Informasi tentang cikal bakal Cihideung, dukuh tetangga pagar dengan Talangsari misalnya, mempunyai pengalaman yang menarik. Konon, beberapa waktu sebelum Suk (62 th) membabat alas kebun duren Talangsari, ada sekelompok orang yang juga ingin menjadikan kawasan hutan duren ini menjadi daerah hunian. Tanpa sebab yang jelas mereka meninggalkan kawasan tersebut setelah sempat memberi nama Cihideung, namun berdasarkan informasi yang penulis dari warga setempat, pemberian nama Cihideung berasal dari orang sunda yang tinggal di sekitar wilayah tersebu; cihideung dalam bahasa sunda artinya ―air yang hitam‖, meskipun demikian warna air yang ada di wilayah tidak hitam hanya saja air yang keluar berasal dari bebetuan yang sebagian besar berwarna hitam. Pembukaan Cihideung kemudian dilanjutkan oleh penduduk setempat, tetapi gagal juga dan akhirnya ditinggalkan begitu saja. Dalam kurun waktu dua tahun setelah Suk (62 th) dan teman-temannya (Nga dan Soe) bekerja keras membuka kebun Duren Talangsari, datang rombongan baru yang meneruskan pembukaan kawasan hutan Cihideung. Kali ini tiada aral melintang, mereka (Ja dkk) berhasil dan menjadikan tempat hunian yang diberi nama Cihideung. Di Cihideung inilah jama‘ah War bermukin dengan memanfaatkan lahan seluas sepuluh hektar yang diperoleh dari tokoh kaya di dukuh Cihideung yakni Ja. Sebuah lokasi yang terpencil dikelilingi rawa-rawa, dan hanya memiliki tiga jalan
70
kecil untuk mencapainya. Cihideung dan kebun duren Talangsari letaknya berdampingan dan hanya dipisahkan dengan pagar. Masyarakat desa Rajabasa Lama sepakat dalam perundingan untuk menggabungkan menjadi satu dusun. Gabungan dari kedua dusun tersebut diberi nama Talangsari III. Dusun Talangsari III secara administratif berada di wilayah Desa Rajabasa Lama Kecamatan Labuhanratu Kabupaten Lampung Timur Propinsi Lampung. Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama Kecamatan Labuhanratu Lampung Timur dikukuhkan pada tanggal 01 Januari 1988, dusun ini terletak kurang lebih 9 kilometer arah utara wilayah administrasi Desa Rajabasa Lama Kecamatan Labuhanratu Lampung Timur tidak ubahnya seperti dusun-dusun yang lain, sebelum terjadi peristiwa pergolakan berdarah awal bulan tepatnya tanggal 6 – 8 Februari 1989. Dusun dengan luas sekitar 60 hektar dari 200 hektar luas desa Rajabasa Lama, termasuk kawasan yang subur dan terkenal makmur. Kalau dulu penduduknya tergolong dalam dusun yang tertinggal, kini mereka sudah menikmati berbagai kemajuan. Rumah-rumahnya yang dulu tak satu pun permanen, sekarang sudah ada 11unit rumah permanen. Dusun Talangsari III sebelah utara berbatasan dengan dusun Talangsari II, sebelah selatan berbatasan dengan desa Kelahang dan sebelah barat berbatasan dengan desa Hujan Emas dan sebelah Timur berbatasan dengan desa Pulau Sari. Namun demikian, di ujung dusun Talangsari korban tragedi 1989 masih hidup dalam himpitan stigma yang tidak berkesudahan. Stigma sebagai gerombolan pengacau tidak hanya melekat secara individual pada orang yang terlibat dalam gerakan perlawanan 26 tahun yang lalu, akan tetapi juga pada keluarga dan keturunannya. Kepala desa Rajabasa dan aparatnya segera menggelar berbagai wacana penghapusan pemahaman keagamaan yang dianggap sesat demi menjaga stabilitas keamanan desa. Slogan bersih diri dan bersih lingkungan menjadi saringan birokrasi sosial politik yang sangat rapat bagi masyarakat warga yang tidak bersih, tidak dapat menjadi bagian dari struktur formal pemerintahan seperti pegawai negeri, ABRI dan guru. Di tingkat desa, pengendalian dan pengawasan terhadap warga masyarakat Talangsari terus dilakukan dengan ketat hingga sekarang melalui kegiatan keagamaan seperti pengajian-pengajian di masjid, bahkan diberlakukan absensi warga yang tidak hadir mendapatkan nilai negatif. Kehidupan keluarga dan keturunan orang yang mendapat stigma gerombolan pengacau menjadi sulit. Banyak yang harus memulai lagi usahanya karena harta bendanya dihancurkan disaat penumpasan gerombolan tersebut.
Kondisi DemografiDusun Talangsari III Penduduk dusun Talangsari III terdiri dari 225 KK atau sekitar 1.195 jiwa tersebar di tiga RT sebagian besar terdiri dari para pendatang, berasal dari Jawa Timur terutama Banyuwangi dan Jember.Sebaran penduduk Dusun Talangsari III menurut usia dapat dilihat pada Tabel 3.2. Komposisi penduduk yang terbanyak di Dusun Talangsari III adalah usia balita (0-5 tahun). Penduduk yang tergolong usia angkatan kerja dari usia 18-56 tahun di Dusun Talangsari III yang memiliki pekerjaan berjumlah 722 jiwa. Dari tenaga kerja tersebut masing-masing
71
berprofesi sebagai petani, buruh tani, pedagang, dan lainnya. Jumlah warga berdasarkan jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Usia di Dusun Talangsari III Penduduk No Usia (tahun) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0–5 6 – 10 11 – 15 16 – 20 21 – 25 26 – 30 31 – 40 41 – 50 ≥ 51 Jumlah
Laki-Laki 94 91 70 68 39 32 64 41 86 585
Perempuan 98 81 76 79 42 38 66 42 88 610
Jumlah 192 172 146 147 81 70 130 83 174 1.195
Sumber : Data Monografi Dusun Talangsari, 2013
Sebagian besar masyarakat Dusun Talangsari bekerja di sektor pertanian mengingat lahan yang telah mereka peroleh dipergunakan sebagai sumber mata pencaharian dan menopang kehidupannya, baik untuk perkebunan maupun dimanfaatkan untuk bercocok tanam seperti pada dan jagung, hal ini tercermin di dalam data monografi desa. Penduduk dusun Talangsari yang terdiri dari 225 KK (Kepala Keluarga) semuanyabekerja disektor pertanian. Banyaknya warga masyarakat yang bekerja di sektorpertanian, tidak serta merta membuat adanya pemerataan dalam kepemilikantanah. Stratifikasi di dusun yang sekarang namanya sudah berubah menjadi Subing putra III ini, dapat dibaca langsung dari data kepemilikan lahan dan usaha tani masyarakatnya pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Luas Lahan Petani di dusun Talangsari III, Tahun 2013 NO Luasan Tanah Jumlah Kepala Jumlah Kepala (Hektar) Keluarga Petani Keluarga Petani (KK) (%) 0 15 6,67 1 0 – 0,5 53 23,55 2 0,5 – 1 117 52 3 1- 2 30 13,33 4 Lebih 2 hektar 10 4,44 5 225 100 Sumber : Data Monografi Desa Rajabasa Lama 2013 Struktur kepemilikan tanah yang ada di Dusun Talangsari III dirasa masih timpang. Seluruh penduduk yang berjumlah 225 Kepala Keluarga (KK) yang bekerja sebagai petani, lebih dari separuh (52%) penduduk hidup dengan kepemilikan tanah seluas 0,5 – 1 hektar dari keseluruhan lahan yang dimiliki dan diusahakan sebagai tempat bercocok tanam diantaranya padi dan palawija, serta tanaman keras seperti pohon karet. Luas usaha tani rata-rata separuh dari penduduk di dusun Subing Putra III ini, diperuntukan sebagai usaha untuk menjamin standar hidup minimum bagi keluarga yang rata-rata beranggotakan lima jiwa. Ada lima belas keluarga yang sama sekali tidak mempunyai lahan dan
72
sedikit lebih dari separuh jumlah rumah tangga di dusun ini mempunyai pendapatan di bawah garis kemiskinan yang ditentukan oleh pemerintah. Menurut Suk (62 th), kelima belas kepala keluarga adalah pendatang baru dan hanya memiliki tanah setancap tempat yang didiami untuk rumah. Sementara itu, di ujung lain dari stratifikasi, sepuluh keluarga yang berada dengan kepemilikan luas lahan lebih dari dua hektar atau lebih dari setengah lahan padi yang dimiliki penduduk, dan menggarap rata-rata lebih dari delapan hektar. Rumah tangga-rumah tangga ini ini merupakan elit ekonomi di dusun Subing Putra III ini. Kondisi ini seperti diungkapkan oleh Hayami dan Kikuchi (1981 : 177-179) bahwa struktur agraris di pedesaan ditandai oleh ketimpangan distribusi penguasaan tanah sebagai sumber pendapatan yang cukup tajam. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa bersamaan dengan pergeseran sistem pertanian tersebut justeru kesenjangan pemilikan aset pertanian, informasi dan sumber keuangan semakin melebar. Begitu pula, potensi masyarakat lokal akan semakin tersungkur digerus modernisasi pertanian dengan rendahnya kemampuan mempertahankan ruang hidup berupa lahan pertanian. Menurut Suk (62 th), ada sebagian penduduk di wilayah itu adalah pendatang spontan dari berbagai daerah yang ada di Lampung, diantaranya ada yang berasal dari daerah relokasi Kecamatan Gunung Balak akibat adanya rencana untuk mengembalikan fungsi hutan. Sebenarnya mereka yang direlokasi dari kawasan hutan register 38 Gunung Balak oleh pemerintah ditransmigrasikan di beberapa daerah, baik daerah yang ada di wilayah propinsi Lampung seperti yang ada di Mesuji Tulang Bawang maupun di wilayah luar propinsi Lampung (Sumatera Selatan), akan tetapi ada beberapa daerah yang dijadikan sebagai tempat permukiman baru tidak cocok untuk pertanian sehingga mereka meninggalkan areal transmigrasi dan mencari daerah yang subur dan memungkinkan untuk bercocok tanam diantaranya adalah di dusun Talangsari III. Mereka datangnya hanya ingin mengubah nasib hidupnya. Adapun tanahtanah yang dikerjakan adalah tanah milik penduduk setempat, seperti dirinya yang menggarap tanah milik APM. Meskipun sebagian adalah para pendatang warga Talangsari pun cukup akrab dengan penduduk asli di desa Rajabasa Lama. Tidak ada rasa esklusifisme sebelum kedatangan Warsidi ke Talangsari yang tumbuh dalam diri para pendatang tersebut. Antara pendatang dengan penduduk asli yang kurang lebih sekitar 20 persen dari jumlah penduduk di Rajabasa Lama, hubungan mereka satu sama lain nampak terjalin akrab. Dalam perkembangan masyarakat seperti ini, maka ciri menonjol adalah tradisionalisme dusun yang terkenal subur itu, dengan pengairan yang cukup baik serta beberapa areal sawah tadah hujan, menghasilkan beberapa jenis hasil pertanian maupun perkebunan. Seperti palawija, padi, coklat, kopi dan lain sebagainya. Meskipun Talangsari adalah daerah yang makmur, akan tetapi struktur kepemilikan lahan masih terbatas hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu yang telah mengolah tanah miliknya yang berhasil mereka beli melalui jerih payah dari pemilik semula. Dalam masyarakat desa yang tradisional dan bersifat pertanian, maka pranata-pranata yang menghubungkan antar personal di dalam masyarakat di Talangsari adalah (1) bersifat pribadi, (2) tak lengkap, (3) bersaluran sedikit, (4)
73
ditandai oleh lebih banyak komunikasi ke bawah ketimbang komunikasi ke atas, dan (5) jarang dimanfaatkan. Sementara pilihan-pilihan ―kekuasaan‖ yang digunakan dalam masyarakat pedesaan di Talangsari lebih menekankan aspek kewibawaan tradisional dan kekerasan fisik. Sebagai suatu wilayah yang masih tergolong ―tradisional,‖ dalam pola-pola struktur sosial masyarakat daerah Talangsari dan di daerah-daerah lain di Lampung lebih menekankan pola hubungan pribadi atau patron client. Jika struktur dipahami sebagai tingkatan status sosial yang berbeda dalam masyarakat secara sosiologis, maka struktur sosial daerah Lampung ditempati oleh: (1) golongan struktur atas, adalah kelompok orang-orang kaya, kiyai, aparat desa dan kaum terdidik yang memiliki ―jabatan‖ terpandang; (2) golongan menengah adalah para petani yang mampu mengelola tanahnya dengan baik, agak mandiri, atau kelompok petani agak cukupan: dan (3) golongan bawah, yaitu petani gurem, dan petani kekurangan, yang cenderung menjadi client, abdi dari patron atas. Sebagaimana lazimnya masyarakat pedesaan, rasa sikap gotong-royong di Talangsari III memang cukup menonjol. Terbukti setelah rapat pemilihan Rukun Keluarga usai, kemudian oleh pengurus dusun dibentuk berbagai tata-tertib maupun berbagai aturan desa. Sampai-sampai dalam menentukan aturan dan tata tertib, mereka mengundang para tokoh masyarakat maupun agama. Oleh karena itu, kehidupan warga desa Talangsari III nampak rukun dan penuh kedamaian. Tidak pernah terusik hal-hal yang menggelisahkan. Rasa gotong-royong yang dimiliki dusun yang belum lama terbentuk itu ternyata banyak membawa hasil. Antaranya melakukan perbaikan jembatan atau jalan-jalan yang menuju di desa tersebut. Melakukan kegiatan Siskamling dan berbagai kegiatan musyawarah desa untuk menjadikan dusun lebih baik dari sebelumnya. Khusus untuk keamanan desa para warga pun tak lupa bergotongroyong membangun pos-pos penjagaan demi keamanan desa. Beberapa pos atau cakruk berhasil didirikan di setiap sudut-sudut desa yang dianggap rawan kejahatan. Memang belum ada prestasi menonjol yang diraih desa Rajabasa Lama. Ditambahkannya, hal itu menunjukkan bahwa desa Rajabasa Lama mempunyai potensi lebih dibandingkan dengan desa-desa lainnya mengenai hasil pertaniannya. Termasuk maju di bidang ekonomi. Dan mempunyai posisi yang lebih baik dibandingkan dengan desa-desa lainnya. Karena berdekatan dengan jalan transportasi tidak berada pada daerah yang terpencil.
Kehidupan Keagamaan Dusun Talangsari III Mayoritas Warga Dusun Talangsari III beragama Islam yang bermazhab Ahli Sunnah wal Jama‘ah hal ini ditandai dengan pengamalan keagamaan yang masih diwarnai oleh kegiatan-kegiatan keagamaan yang mengakomodasi dari budaya lokal, sehingga praktek keagamaan cenderung bersikap senkritis, seperti adanya upacara tahlilan, kenduren, dan Suroan. Sukidi sebagai kepala dusun yang sekaligus tokoh agama menjelaskan bahwa ; Tahlilan adalah upacara agama yang berintikan pembacaan tahlil dalam rangka mendoakan para arwah leluhur. Kenduren adalah upacara agama yang berintikan pembacaan doa keselamatan dan
74
pembagian makanan berupa nasi dengan lauk pauk. Penyelenggaraan upacara ini dikaitkan dengan peristiwa penting dalam siklus kehidupan individu. Suroanmerupakan upacara semacam kenduri tahunan pada setiap bulan Suro menurut tahun Jawa Islam yang dimaksudkan untuk mendoakan keselamatan leluhur dalam menjalani hidup di alam sesudah mati atau alam akhirat. Tahlilan biasanya diselenggarakan oleh suatu rumah tangga atau oleh suatu kelompok tahlilan. Bila suatu rumah tangga menyelenggarakan tahlilan, biasanya mereka mengundang tetangga dekat dan kaum kerabat. Mereka menyelenggarakan tahlilan dalam rangka mendoakan keselamatan arwah anggota keluarga yang baru saja meninggal. Tahlilan semacam ini diselenggarakan setiap hari, pada malam hari, selama 7 hari sejak hari kematian. Tahlilan yang diselenggarakan oleh suatu kelompok tahlilan biasanya hanya dihadiri oleh anggota kelompok bersangkutan. Tahlilan semacam itu biasanya diselenggarakan sebulan sekali secara bergiliran di rumah anggota kelompok. Biaya penyelenggaraan dipikul bersama oleh para anggota kelompok dengan cara penarikan iuran setiap diadakan tahlilan. Kenduren diselenggarakan oleh suatu rumah tangga dengan mengundang para tetangga terdekat. Penyelenggaraan kenduren dikaitkan dengan peristiwa penting dalam siklus hidup seseorang manusia atau peristiwa tertentu yang tidak tergolong siklus hidup akan tetapi dianggap sebagai masa gawat bagi kehidupan individu atau rumah tangga. Kenduren yang berkaitan dengan siklus hidup manusia mencakup mitoni (janin berumur 7 bulan), puputan (hari kesembuhan luka pemotongan tali pusar bayi), supitan (peralihan dari masa kanak-kanak ke remaja), walimahan (pengumuman akad pernikahan), dan rangkaian upacara kematian. Kenduren yang dikaitkan dengan peristiwa gawat yang tidak termasuk siklus hidup manusia hanyalah mencakup kenduren dalam rangka menempati rumah baru. Berbeda dengan pengamalan keagamaan yang dipimpin oleh Warsidi bersama jama‘ahnya, meskipun masih dalam satu dusun mereka dalam melaksanakan praktek keagamaan cenderung lebih bersikap tertutup. Keberadaan Warsidi sendiri di Cihideung mulai dari tahun 1987. Warsidi memperoleh hibah tanah seluas 4,5 hektar dari tokoh kaya di Cihideung yakni Jayus yang kemudian di atas tanah tersebut dibangun sebuah Mushola dengan ukuran 6 X 9 meter yang diberi nama mushola Mujahidin. Di sekitar mushola dibangun beberapa rumah gubuk dan rencananya di lokasi ini sebagai pusat pengajian. Memasuki akhir tahun 1988, perkembangan pondok pimpinan Warsidi secara fisik dilakukan, diantaranya pembenahan pondok semi-permanen (papan) dengan luas masingmasing 8 X 16 meter sebanyak 4 pondok. Dalam mengkonstruksi pemikiran keagamaan jama‘ah Warsidi lebih radikal dalam penerapannya, yaitu pada prinsip purifikasi (pemurnian) ajaran Islam melalui metode tashfiyah dan tarbiyah. Konstruksi pemikiran ini memiliki akar yang kuat untuk melakukan pembersihan ajaran Islam dari penambahan (Bid‘ah) dan pengurangan. Struktur pemikiran ini merespon bahwa modernitas merupakan sebuah keharusan sejarah yang menghasilkan berbagai pergeseran pemahaman terhadap konsep-konsep agama. Oleh karena itu, umat Islam harus mampu
75
mempertahankan nilai-nilai Islam di tengah modernitas, bukan larut di dalamnya sehingga hilang identitas aslinya. Salah satu karakteristik atau ciri terpenting dari jama‘ah Warsidi ialah pendekatannya yang literal terhadap sumber Islam (al-Qur‘an dan al-Sunnah). Literalisme tampak pada ketidaksediaan mereka untuk melakukan penafsiran rasional dan intelektual, karena mereka kalaulah membuat penafsiran sesungguhnya adalah penafsir-penafsir yang sempit dan sangat ideologis. Interpretasi ajaran agama yang berbeda atau berseberangan dengan tradisi yang berlaku. Kemudian secara aktif, kelompok ini akan bergerak untuk memperjuangkan hasil penafsirannya tersebut dengan pelbagai cara; dari kritik persuasif hingga tindakan tegas yang menjurus anarkisme. Bahkan sebagaimana disampaikan oleh MT, Warsidi tidak segan menyatakan orang yang berbeda dengan pengajiannya digugat dan dianggap kafir. Pemahaman dan sikap keagamaan yang demikian membuat resah masyarakat yang tidak sipemahaman dengannya. Kelompok Warsidi terang-terangan menentang dan melawan pemerintah. Komplek yang mereka tempati, diberi nama ― Pondok Al Mahdil Aqwal‖, artinya sebuah tempat untuk menggalang kekuatan. Al Mahdil Aqwal yang ada di Cihideung adalah bentuk lain pemberontakan kepada pemerintah melalui lembaga keagamaan (pesantren), hal itu akan memecah belah dan merugikan. Sementara itu, keanggotaan jama‘ah Warsidi tidak hanya sebatas orang yang tinggal di Cihideung Talangsari, akan tetapi tersebar di beberapa daerah sekitar, misalkan saja di Sidorejo salah satu desa yang masuk dalam kawasan hutan lindung register 38 Gunung Balak, bahkan saat terjadi perlawanan terhadap otoritas pemerintah setempat, desa Sidorejo tepatnya di rumah Zam (72 th) dijadikan markas oleh para jama‘ah Warsidi. Demikian pula halnya dengan Azwar Kaili, tenaga medis yang tinggal di Sidorejo adalah jama‘ah Warsidi. Acmad Sarikun penduduk Gedung Wani Lampung Tengah adalah jama‘ah tetap dan rajin meskipun tempat tinggalnya jauh dengan Talangsari. Menurut Suk (62 th); Mengenai kehidupan beragama, di daerah penghasil kopi tersebut cukup marak. Hal itu bisa ditandai dengan berdirinya berbagai mushola dan pendidikan pesantren. Di daerah tersebut, telah berdiri tiga Pondok Pesatren, yakni Pondok Pesantren Al Islam di Labuhanratu, Pondok pesantren Darul Ulum di Plangkawati dan Pondok pesantren Darussalam di Brajadewa. Namun letaknya cukup jauh dari desa Rajabasa Lama, khususnya di daerah Talangsari III yang mayoritas Warga Talangsari sendiri, maupun Rajabasa Lama penduduknya memang pemeluk agama Islam yang taat. Maka tidak mengherankan bila di daerah tersebut berdiri Mushola-mushola atau Masjid. Di samping itu direncanakan akan berdiri pula tempat pendidikan semacam pondok pesantren oleh seseorang yang bernama War. Sayangnya, keberadaan pondok tersebut tidak dikoordinasikan baik dengan jajaran Pemda, aparat keamanan maupun kepala desa serta kepala dusun setempat. Padahal telah berduyun-duyun orang-orang yang tidak dikenal penduduk setempat datang dari pulau Jawa dan mulai bermukim di Dukuh Cihideung. Kejadian seperti itu membuat heran warga sekitarnya serta aparat lainnya. ―Dari mana bekal logistik mereka yang konon ingin belajar di pondok pesantren
76
Mujahidin itu. Sebab mereka tidak ada yang mengolah ladang, padahal jumlahnya cukup banyak. Dari mana uang atau penghasilan mereka untuk hidup selama di barak itu. Begitu kira-kira rasa keheranan mereka atas komunitas di Cihideung. Apalagi, sebelum terjadi peristiwa berdarah itu terjadi di sekitar barak tersebut dibuka dapur umum. Bagi warga setempat fenomena ini memang banyak yang serba tidak masuk akal tentang berbagai kegiatan kelompok itu. Terutama menyangkut kebutuhan sehari-hari mereka. Oleh sebab itu juga tidak mengherankan jika sebagian dari jama‘ah War ada yang keluar jalur dengan mencuri ubi kayu tanaman penduduk. Kondisi yang tidak saling kenal dalam kehidupan desa yang penuh paguyuban menjadi sangat rentan terhadap terjadinya konflik sosial, meskipun hanya oleh sebab sesuatu ketidaksesuaian kecil sekalipun. Apalagi tatkala penduduk melihat kegiatan mereka yang lebih sering berupa latihan memanah daripada belajar agama dan mengaji.
Keadaan Sosial-Ekonomi Dusun Talangsari III Masyarakat dusun Talangsari sebagian besar adalah petani, mengingat kondisi geografis yang memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan bercocok tanam. Penggunaan lahan pertanian di desa Talangsari sebagian besar ditanami padi pada musim penghujan dan sayuran pada musim kemarau secara bergantian. Pengolahan sawah di wilayah Talangsari ini pada umumnya dilakukan oleh pemiliknya sendiri, kalaupun ada yang digarapkan oleh orang lain jumlahnya tidak banyak melalui mekanisme bagi hasil. Penggarapan sawah melalui mekanisme bagi hasil yang dikenal dengan istilah maro, mrapat dan mrolimo. Mekanisme yang paling lazim terdapat di wilayah ini, dan perjanjian ini cukup dilakukan secara lisan saja. Sebagian tanah yang lain ditanami tanaman keras, seperti durian, kopi dan coklat. Sedangkan tanah pekarangan yang dimiliki berupa tegalan sebagian besar ditanami ketela yang hasilnya dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan warga. Untuk ketela sebagian masyarakat Talangsari memanfaatkannya untuk membuat gaplek (sebagai bahan dasar untuk membuat tiwul, makanan pengganti di saat panen padi mengalami kegagalan), seperti yang dilakukan oleh mbah Sai (65 th), selain dari pada itu ada juga petani yang menjual hasil panen ketela (singkong) di pasar terdekat pasa Rajabasa lama yang merupakan ibu kota kecamatan. Menurut keterangan mbah pikir (70), harga singkong mencapai Rp. 1.500,/kilonya, untuk mendapatkan singkong ia menanam di lahan-lahan kosong yang ada di wilayah Talangsari III dan membeli ke penduduk Hasil pertanian dan perkebunan, terutama coklat dan buah-buahan yang berasal dari dusun Talangsari banyak terdapat di pasar lokal seperti di pasar terdekat yaitu pasar Sukadana dan pasar di Rajabasa Lama dan Way Jepara maupun pasar regional di Kota Metro dan di Bandar Lampung, kondisi ini sebagai akibat masuknya para pemodal lokal maupun regional ke dusun ini, dengan menggunakan sistem tebasan atau menjual tanaman yang belum dipanen/dipetik. Melalui sistem tebasan ini maka berkembang hubungan saling ketergantungan antara petani dengan para pedagang dari luar dusun, sebagai dampak komesialisasi pertanian di dusun Talangsari ini, maka terjadi pula perubahan pola
77
hubungan berkembang secara luas dengan mempolakan pertimbangan komersial dalam keputusan produksi. Kondisi ini telah merubah hubungan tradisional petani lapisan atas dengan petani lapisan bawah, oleh karena telah mengakibatkan sistem panen tidak lagi berfungsi untuk menenguhkan saling ketergantungan antara tetangga dalam produksi pertanian yang mencakup sistem maro, mrapat dan mrolimo. Sistem tebasan di dusun Talangsari ini, telah memisahkan hubungan antara petani pemilik lahan (owner) dengan petani penggarap (sharecropper). Padahal bila diruntut lebih jauh, sebenarnya sistem maro, mrapat dan mrolimo cukup baik untuk terus dikembangkan mengingat mampu untuk meningkatkan kerekatan sosial. Maro adalah bagi usaha dengan jalan membagi beban pembiayaan dan dan hasil produksi secara sama (50% : 50%) antara pemilik lahan dengan petani penggarap. Dalam hal ini, beban pembiayaan yang dibagi adalah beban pengadaan bibit dan pupuk. Sedangkan biaya pembiayaan tenaga kerja ditanggung sepenuhnya oleh petani penggarap. Mrapat adalah bagi usaha dengan ketentuan bahwa biaya penggarapan sepenuhnya (100%) ditanggung oleh petani penggarap, sedangkan hasil produksi dibagi dengan menerapkan rumus 25 % untuk pemilik tanah dan 75% untuk petani penggarap. Sedangkan Mrolimo adalah bagi usaha dengan ketentuan bahwa biaya penggarapan sepenuhnya (100%) ditanggung oleh petani penggarap sedangkan hasil produksi dibagi dengan menggunakan rumus 20% untuk petani pemilik tanah dan 80% untuk petani penggarap. (lihat tabel 5) Tabel 5. Sistem pembagian hasil Pertanian di dusun Talangsari III NO
1 2 3
Sistem Pertanian
Maro Mrapat Mrolimo
Tanggung Jawab (%) Penggarap
Pemilik
50 % 100 % 100 %
50 % 0% 0%
Pembagian Hasil (%) Penggarap
50 % 75 % 80 %
Pemilik
50 % 25 % 20 %
Sumber : Hasil temuan data di lapangan 2013
Perubahan tersebut merupakan aspek pembentuk stratifikasi sosial di dusun Talangsari. Situasi ini dipertegas oleh adanya kenyataan bahwa hubungan tradisional antara petani lapisan atas dengan petani lapisan bawah menjadi semakin lemah, sedangkan hubungan rasional-ekonomi antara kedua lapisan tersebut semakin kuat, dengan munculnya lembaga-lembaga seperti penyewaan, buruh atau pengerahan tenaga kerja dengan imbalan upah, tebasan atau sistem panen dengan cara menjual hasil tanaman yang belum dipetik dan pemrosesan secara mekanis hasil-hasil produksi di dusun ini semakin berkembang luas. Pemudaran hubungan ini tidak berlangsung seketika akan tetapi berlangsung secara perlahan-lahan. Hal ini tercermin pada kenyataan sebagaimana yang dijelaskan oleh Sup (55) bahwa kebanyakan petani yang dapat ditemui masih belum secara terang-terangan menyatakan lebih mengutamakan pertimbangan komersial daripada pertimbangan sosial. Keputusan menebaskan hasil panen, kebanyakan para petani menyatakan lebih didasarkan pada alasan bahwa tebasan merupakan cara yang lebih praktis dalam menguangkan hasil panen. Di samping itu, penebas masih mengutamakan tetangga terdekat dalam merekrut tenaga kerja
78
tebasan, sehingga tebasan menjadi pilihan bagi masyarakat Talangsari (Wawancara, 17 Januari 2014) Deskripsi di atas, menjelaskan bahwa proses memudarnya hubungan tradisional tersebut merupakan konsekuensi logis dari komersialisasi dan penerapan teknologi baru di bidang pertanian yang berkembang di desa Rajabasa Lama yang merupakan induk dari dusun Talangsari III. Hal ini terlihat pada pemakaian sarana pertanian berupa handprayer (traktor tangan) sebanyak 5 buah, bajak/garu sebanyak 7 buah, dan perontok gabah sebanyak 5 buah. Petani di Talangsari III sampai saat ini masih memanfaatkan usaha sawah tadah hujan karena belum adanya irigasi, sehingga musim panen terkadang hanya bisa sekali dalam satu tahun. Belum lagi persoalan kelangkaan pupuk yang senantiasa dihadapi oleh sebagian besar petani. Setiap kali menjelang musim tanam, warga selalu kesulitan mendapatkannya, oleh sebab itu petani di dusun Talangsari membentuk kelompok tani agar dalam mengurus kebutuhan pupuk yang diperlukan untuk tanaman mereka diperoleh dengan mudah kalau saja ada wadah yang menanganinya. Hidup bertani memang belum bisa mengangkat terlalu tinggi derajat kehidupan warga dusun. Dari sensus yang pernah dilakukan pada tahun 2010, menurut Sukidi, 92 KK masih termasuk keluarga Prasejahtera, dan 10 KK lagi termasuk kelompok Sejahtera I. Sebagian tanah yang lain ditanami tanaman keras, seperti kopi dan cokelat. Sementara itu sistem pertanian yang sudah lama dikembangkan oleh para petani di desa Talangsari adalah denganmenggunakan sistem atau siklus mongso. Dalam sistem ini, kegiatan pertanian dibagi menjadi empat tahap, yakni mongso ketigo, mongso labuh, mongso rendheng, dan mongso wareng.Mongso ketigo (kemarau), antara bulan Juni sampai Agustus merupakan waktu pengolahan tanah pertanian dan mempersiapkan lahan pertanian. Mongso Labuh, antara bulan September sampai November, saat hujan mulai turun merupakan awal masa tanam beberapa jenis tanaman seperti padi dan jagung. Mongso labuh juga merupakan awal penanaman kacang tanah dan kedelai. Pada mongso rendheng (penghujan), biasanya mulai pada bulan Desember sampai Februari, petani melakukan kegiatan pemeliharaan tanaman, penyiangan dan pemberantasan hama tanaman. Pada mongso wareng, antara bulan Maret sampai Mei, biasanya para petani melakukan panen terhadap tanaman-tanaman tertentu seperti jagung, padi dan kacang tanah. Dengan cara bercocok tanam semacam itu, para petani mencoba untuk fleksibel terhadap keteraturan alam sekaligus untuk menghindari bahaya kegagalan panen. Dalam sistem tersebut, persoalan yang muncul adalah kurang bisa maksimalnya hasil produksi pertanian (padi), karena para petani hanya memanen padi sekali dalam setahun. Satu hal lagi yang sangat menunjang sektor pertanian rakyat di sana adalah peternakan lembu. Bagi sebagian besar petani yang memiliki lebih dari satu ekor lembu dapat dijadikan modal untuk usaha lainnya yakni dengan menjualnya setelah lembu tersebut besar. Para petani juga seringkali memanfaatkan lembunya untuk membajak ladang serta adakalanya untuk menghela gerobak sebagai alat pengakutan hasil-hasil produksi pertanian. Menurut anggapan masyarakat di dusun Talangsari bahwa orang yang memiliki banyak binatang ternak dianggap orang yang berada atau mampu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Merton dalam Soemardjan (1992), bahwa di
79
samping fungsinya di bidang pertanian, ternak mempunyai fungsi tersembunyi dalam menaikkan prestise sosial bagi pemiliknya, karena dipandang sebagai lambang atau ukuran kekayaan di desa. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, penduduk dusun Talangsari III mempunyai beberapa alternatif dalam hal pencaharian nafkah, di antaranya selain bertani juga sebagai buruh baik dalam lingkup rumah tangga maupun beberapa perkebunan (Pisang) yang ada di sekitar desa. Daerah ini sebagian besar penduduknya hidup dari pertanian, mereka menanam padi dan jagung. Sementara itu di areal persawahan yang mengenal irigasi hanya petani-petani yang membuat serta memelihara saluran air saja yang berhak memanfaatkan saluran tersebut, karena memang saluran air di sana tidak ada yang dibuat untuk kepentingan umum, hal ini pula yang bisa menjadikan kerjasama yang baik sesama petani yang memanfaatkan salaran tersebut. Oleh karena minimnya jaringan irigasi di wilayah ini, maka penduduk hanya mampu panen padi sekali satu tahun, kecuali pada musim yang banyak penghujan petani bisa panen dua kali dalam satu tahun, berbeda dengan daerah lain yang ada di Lampung, seperti di Metro memang jaringan irigasinya tertata dengan baik. Dalam lingkup rumah tangga mereka umumnya melakukan pekerjaan sebagai penyadap karet yang dimiliki orang lain dengan sistem bagi hasil 50 : 50 (dari semua hasil), bagi pemilik kebun karet dibebani untuk menyediakan segala perlengkapan penyadap. Selain itu ada pekerjaan pemelihara kebun pisang, yaitu membersihkan tumbuh-tumbuhan di sekitar pohon pisang (ngoret). Pekerjaan itu dapat dilakukan oleh anggota keluarga pemilik perkebunan pisang atau diupahkan pada orang lain. Upah untuk membersihkan kebun karet pada tahun 2014 dengan sistem harian berkisar antara Rp. 56.000-Rp.60.000/harinya, Di sisi lain dengan adanya beberapa alternatif pekerjaan (di bidang pertanian dan jasa) yang ada ternyata membawa dampak pada menurunnya motivasi masyarakat pada bidang pendidikan, karena mereka dapat melakukan pekerjaan tanpa adanya tuntutan pendidikan yang memadai.
Struktur Sosial Masyarakat Dusun Talangsari III Masyarakat Talangsari mempunyai struktur sosial yang mengkombinasikan 3 struktur utama, yaitu struktur masyarakat komunal, agraria dan struktur otoritas dusun. Struktur komunal adalah kesatuan masyarakat yang relatif kecil dan homogen serta ditandai dengan pembagian kerja yang minimal, hubungan sosial yang menonjol adalah hubungan primer dan masih terkait kuat pada tradisi. Struktur masyarakat komunal mempolakan hubungan sosial berdasarkan ikatan ketetanggaan, kekerabatan dan keagamaan. Struktur ini lebih bercorak struktur organisasi daripada struktur pasar. Struktur agraris mempolakan hubungan sosial dalam sistem produksi pertanian, terutama berkenaan dengan produksi padi. Sedangkan struktur otoritas desa mempolakan hubungan sosial dalam pemerintahan desa. Struktur ini lebih bercorak struktur organisasi daripada struktur pasar. Pengaruh struktur otoritas desa terhadap struktur komunal mencakup pengaruh distribusi prestise, koordinasi sumberdaya komunal dan pemenuhan kewajiban komunal. Dalam distribusi prestise, kedudukan dalam
80
pemerintah desa merupakan salah satu faktor penentu. Dalam hal sumberdaya komunal, kedudukan sebagai pejabat desa mampu meningkatkan kemampuan dalam pengerahan sumberdaya manusia. Dalam pemenuhan kewajiban komunal, kedudukan sebagai pejabat desa mempengaruhi pembagian pekerjaan dalam sistem sambatan. Pengaruh otoritas desa terhadap struktur agraria adalah mencakup pengaruh terhadap sistem pengalihan penguasaan tanah dan sistem produksi pertanian. Dalam sistem pengalihan hak dan penguasaan tanah, keputusan pemerintah desa merupakan faktor penentu keabsahan jual-beli tanah serta berpengaruh pada penyelesaian konflik antara pemilik tanah dengan penyewa tanah. Dalam aspek produksi pertanian, pemerintah desa sangat berpengaruh pada penyelesaian konflik yang terjadi antara petani penggarap dengan buruh tani. Di dalam struktur masyarakat komunal yang ada di desa ini terdapat dua golongan sosial utama, yaitu golongan tokoh terkemuka dan penduduk desa. Tokoh terkemuka di desa ini mencakup kyai (pemuka agama), wong tuwo (tokoh adat), sarekat (pejabat desa), wong pinter (tokoh terpelajar), dan wong sugih (orang kaya). Penduduk biasa lazim menyebut diri mereka sebagai wong cilik (golongan tidak berdaya), wong bodho (orang bodoh), dan wong ora duwe (orang miskin). Hubungan komunal merupakan kerja sama dalam kerangka solidaritas vertikal. Hubungan ini bersifat personal dan dilegitimasikan oleh nilai-nilai budaya jawa dan agama Islam. Di desa ini juga ditemukan semacam mekanisme untuk sekedar survival yang dilakukan dibawah prinsip-prinsip “dahulukan selamat”, meminjam istilah yang dikemukakan oleh Scott (1981), melalui pranata-pranata tradisional sebagai pengikat hubungan sosial masih bertahan di desa ini, meskipun daya ikatnya telah melemah. Lembaga semacam itu masih ada dan dijumpai di desa ini melalui kerjasama dalam kerangka jaringan sosial hubungan komunal baik atas dasar kerabat, maupun tetangga yang diwujudkan dalam 3 bentuk tindakan kolektif, yaitu; sistem sambatan, sistem sumbangan, serta sistem perukunan. Sambatan adalah tolong menolong dalam bentuk pengerahan tenaga manusia untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang cukup besar seperti pembangunan rumah, pesta perkawinan, penguburan jenazah dan kenduri atau selamatan. Sumbangan adalah tolong menolong dalam bentuk pemberian barang atau uang untuk biaya penyelesaian pekerjaan rumah tangga yang cukup besar seperti penyelenggaraan pesta perkawinan atau upacara kematian. Perukunan adalah bentuk perkumpulan yang bertujuan untuk saling membantu dalam penyediaan alat-alat perkawinan dan pembangunan rumah, dengan menerapkan prinsip pertukaran yang sepadan. Di desa Talangsari terdapat bentuk perukunan uang, perukunan pesta perkawinan, dan perukunan bahan bangunan rumah. Selain itu, kekompakan sosial warga masyarakat komunal juga terpelihara melalui penyelenggaraan berbagai upacara keagamaan berasarkan tradisi Islam setempat. Dalam perkembangan masyarakat seperti ini, maka ciri menonjol adalah tradisionalisme. Sebagai suatu wilayah yang masih tergolong ―tradisional,‖ dalam pola-pola struktur sosial masyarakat daerah Talangsari dan seperti halnya daerah lain di Lampung lebih menekankan pola hubungan pribadi atau patron client. Jika
81
struktur dipahami sebagai tingkatan status sosial yang berbeda dalam masyarakat secara sosiologis, maka struktur sosial daerah Lampung ditempati oleh: (1) golongan struktur atas, adalah kelompok orang-orang kaya, kiyai, aparat desa dan kaum terdidik yang memiliki ―jabatan‖ terpandang; (2) golongan menengah adalah para petani yang mampu mengelola tanahnya dengan baik, agak mandiri, atau kelompok petani agak cukupan: dan (3) golongan bawah, yaitu petani gurem, dan petani kekurangan, yang cenderung menjadi client, abdi dari patron atas.Dalam masyarakat desa yang tradisional dan bersifat pertanian, maka pranata-pranata yang menghubungkan antar personal di dalam masyarakat di Talangsari adalah (1) bersifat pribadi, (2) tak lengkap, (3) bersaluran sedikit, (4) ditandai oleh lebih banyak komunikasi ke bawah ketimbang komunikasi ke atas, dan (5) jarang dimanfaatkan. Sementara pilihan-pilihan ―kekuasaan‖ yang digunakan dalam masyarakat pedesaan di Talangsari lebih menekankan aspek kewibawaan tradisional dan kekerasan fisik. Sebagaimana lazimnya masyarakat pedesaan, rasa sikap gotong-royong di Talangsari III memang cukup menonjol. Terbukti setelah rapat pemilihan Rukun Keluarga (RK) usai, kemudian oleh pengurus dusun dibentuk berbagai tata-tertib maupun berbagai aturan desa. Sampai-sampai dalam menentukan aturan dan tata tertib, mereka mengundang para tokoh masyarakat maupun agama. Oleh karena itu, kehidupan warga desa Talangsari III nampak rukun dan penuh kedamaian. Tidak pernah terusik hal-hal yang menggelisahkan. Rasa gotong-royong yang dimiliki dusun yang belum lama terbentuk itu ternyata banyak membawa hasil yang kongkrit, diantaranya melakukan perbaikan jembatan atau jalan-jalan yang menuju di desa tersebut. Melakukan kegiatan Siskamling dan berbagai kegiatan musyawarah desa untuk menjadikan dusun lebih baik dari sebelumnya. Khusus untuk keamanan desa para warga pun tak lupa bergotong-royong membangun pos-pos penjagaan demi keamanan desa. Beberapa pos atau cakruk berhasil didirikan di setiap sudut-sudut desa yang dianggap rawan kejahatan. Memang belum ada prestasi menonjol yang diraih desa Rajabasa Lama. Namun demikian menurut Rahmat (Kepala desa Rajabasa Lama) bahwa Rajabasa Lama di banding 26 desa lainnya di wilayah kecamatan tersebut mempunyai satu kelebihan, yakin mempunyai pasar desa yang besar setelah Way Jepara. Ditambahkannya, hal itu menunjukkan bahwa desa Rajabasa Lama mempunyai potensi lebih dibandingkan dengan desa-desa lainnya mengenai hasil pertaniannya. Termasuk maju di bidang ekonomi. Dan mempunyai posisi yang lebih baik dibandingkan dengan desa-desa lainnya. Karena berdekatan dengan jalan transportasi tidak berada pada daerah yang terpencil. Dusun yang terkenal subur itu, dengan pengairan yang cukup baik serta beberapa luas lahan persawahan tadah hujan, menghasilkan beberapa jenis hasil pertanian maupun perkebunan. Seperti palawija padi, coklat, kopi dan lain sebagainya. Sebagai bukti bahwa daerah itu makmur, ada penggilingan padi di dusun tersebut, dan rata-rata para penghuninya sebagian besar telah mengolah tanah miliknya yang berhasil mereka beli melalui jerih payah dari pemilik semula. Letak dusun Talangsari III yang dikukuhkan pada 1 Januari 1988 sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dicapai, dusun yang terdiri dari umbul (gerumbul) terletak di antara Kebon Duren dan Cihideung. Jarak dari kantor desa Rajabasa Lama kurang lebih 9 kilometer ke arah utara meskipun harus melalui jalan tanah dan
82
becek jika musin hujan. Sedangkan kantor desa Rajabasa Lama sendiri berada di Barat Laut perempatan jalan besar yang menghubungkan Sukadana Way Jepara dan Talangsari.
6 PERLAWANAN KOMUNITAS PETANI DI TALANGSARI Kepentingan Ekonomi Dalam Perlawanan Petani Perlawanan petani adalah tindakan kolektif yang dilakukan oleh petani. Salah satu pemikiran tentang tindakan kolektif ini bisa dipergunakan untuk menjelaskan tentang perlawanan petani di Talangsari adalah pemikiran Charles Tilly (1978). Analisis terhadap aksi kolektif perlawanan petani di Talangsari dipicu oleh adanya aspek kepentingan (interest), baik mengenai kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi petani adalah berkaitan dengan sumberdaya agraria(tanah), karena tanah adalah sumber daya ekonomi yang paling vital, petani tidak bisa dilepaskan dari tanah, di tanah itulah para petani menggantungkan nasib dan keberlanjutan hidupnya, oleh karena itu pilihan petani adalah dalam bentuk perlawanan. Semenjak adanya pemberitahuan dari pemerintah pada tahun 1980 bahwa kawasan hutan register 38 Gunung Balak yang sudah menjadi permukiman penduduk tersebut ditetapkan ulang sebagai kawasan hutan melalui TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan), maka penduduk yang sudah bermukim dan berusaha tani di dalamnya dinyatakan sebagai perambah dan diharuskan meninggalkan kawasan hutan tersebut.Penduduk akan dipindahkan melalui program transmigrasi lokal, pemerintah setempat mulai memerintahkan warga untuk menghentikan kegiatan penggarapan lahan sebab pemerintah pada Repelita II mulai membangun waduk dan jaringan irigasi Way Jepara untuk mengairi persawahan di sekitarnya, oleh sebab itu kawasan Gunung Balak dijadikan daerah tangkapan curah air (Catchment area) dan perlu dibebaskan dari permukiman. Penghijauan kembali harus dilakukan dan para perambah hutan harus dipindahkan suka rela atau terpaksa. Penduduk yang bermukim di kawasan hutan register 38 Gunung Balak dalam menyikapi perintah pengosongan dan penghentian kegiatan penggarapan lahan terbagi menjadi 2 (dua) kelompok, kelompok yang pertama mereka setuju untuk dipindahkan melalui program ―transmigrasi lokal‖ ke beberapa daerah yang ada di yang ada di Sumatera, adapun yang menjadi alasan mereka setuju untuk dipindahkan, sebagaimana keterangan petani asal desa Mojopahit yang saat ini menjadi penduduk desa Sidodadi kecamatan Sungkai Selatan Lampung Utara, Sad (60 th) : ―.....Penduduk atau petani setuju saja untuk dipindahkan ke tempat lain, dengan alasan (1) ditempat yang lain siapa tahu tempatnya lebih baik dibandingkan dengan tempat sebelumnya; (2) kalau kami menolak di pindahkan nanti dikatakan anti pemerintah atau disebut PKI; (3) tanah yang selama ini ditempati dan dimanfaatkan
83 untuk bertani tidak jelas, bahkan sampai saat ini kamipun tidak memegang surat tanah ...‖
Menurut catatan dari team Karya Bhakti Golongan Karya TK.I Lampung, pada pertengahan September 1971 petugas pengosongan melakukan pemindahan penduduk areal hutan lindung register 38 Gunung Balak, akan tetapi pelaksanaannya berbentuk pengusiran dan kurang memberikan pengertian serta penyadaran kepada masyarakat, bahkan dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparatus pengosongan yang karena penuh dengan emosi yang justeru menyinggung dan melukai perasaan hati nurani masyarakat yang akan dipindahkan. Pada tahun 1982 pemerintah melanjutkan program pemindahan penduduk dari areal hutan lindung register 38 Gunung Balak dengan sistem transmigrasi lokal, penduduk yang berhasil dipindahkan berjumlah 12.000 Kepala Keluarga(KK) yang merupakan penduduk dari 9 (sembilan) desa dari ke-13 (tiga belas) desa yang berada di eks Kecamatan Gunung Balak. Lokasi baru sebagai tempat penerimaan diantaranya di Mesuji dan di Pakuan Ratu Lampung Utara. Pada tahun 1988 program transmigrasi lokal dilanjutkan dengan memindahkan penduduk dari area perluasan hutan lindung di desa Way Abar. Kegiatan tersebut berhasil memindahkan penduduk sebanyak 1.819 Kepala Keluarga (KK). Sementara itu, kelompok kedua adalah kelompok yang menolak dan ingin tetap bertahan di lakosi permukiman area hutan lindung register 38 Gunung Balak, kelompok ini sebagian besar bermukin di empat wilayah yaitu berdikari blok I, II, III, dan IV yang mengalami metamorfosis menjadi desa 4 (Sri); Srikaloka, Sriwidodo, Srikaton dan Srimulyo. Keempat desa tersebut pembukaan lahannya dikoordinir oleh organisasi petani terbesar pada waktu itu adalah Barisan Tani Indonesia (BTI) yang beraliran komunis, yang pada tahun 1964 ikut serta pula membuka hutan lindung register 38 Gunung Balak serta membagibagikannya kepada petani. Mereka adalah Mid, Kar, Djar, Djam, Tjok, dan Mur, datang dan mulai membuka bagian timur kawasan hutan dan membuat calan perkampungan (umbulan). Areal yang dibuka berada di bagian dalam hutan sedangkan bagian luarnya dibiarkan berhutan sebagai tabir sehingga tidak terlihat dari luar. Selanjutnya puluhan penduduk sekitar diajak para tokoh BTI (Barisan Tani Indonesia) untuk menggarap dan menempati sekitar 1.200 hektar lahan. Bagi mereka tanah adalah ruh kehidupan, pengusiran adalah tindakan pelanggaran hak-hak petani terhadap penguasaan dan pemakaian lahan sebagai sumber daya ekonomi. Tanah/lahan mempunyai arti yang sangat penting bagi petani, baik sebagai sumber kehidupan maupun sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial dalam masyarakat. Tanah pertanian bagi petani bersifat multi dimensi, yakni sebagai sumber mata pencaharian, sumber tata kehidupan, bernilai magis religio-kosmis, sebagai identitas, martabat, power, dan bahkan ideologis. Tanah juga mencerminkan bentuk dasar kemakmuran sebagai sumber kekuasaan ekonomi politik, serta mencerminkan hubungan dan stratifikasi sosial. Falsafah hidupnya yang memandang tanah sebagai cerminan kedudukan seseorang sebagaiman disampaikan oleh Zam (75 th) yang dalam ungkapan bahasa Jawa ―shadhumuk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohi mati‖ menunjukkan betapa eratnya hubungan antara manusia dan tanah yang
84
dimilikinya. Setiap jengkal tanah merupakan harga diri yang akan dipertahankan mati-matian dengan seluruh jiwa raga. Pentingnya penguasaan tanah bagi seseorang dengan sendirinya akan mendorong munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi pihak luar. Apalagi tanah yang dimanfaatkan untuk menyambung kehidupannya di tanah sebarang (Lampung) mereka dapatkan dengan cara membelinya walaupun tidak ada sertifikatnya, hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh seorang perintis Sutrisno (67 th), menurutnya : Tanah di areal hutan lindung register 38 Gunung Balak diperjualbelikan oleh oknum-oknum dari organisasi tersebut sekitar RP. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah) untuk lahan yang luasnya dua setengah hektar. Organisai-organisasi tersebut merasa berhak untuk menjual hak pakai di areal hutan lindung register 38 Gunung Balak, padahal pada waktu itu areal tersebut sudah resmi dan jelas merupakan wilayah yang tercatat sebagai hutan lindung dengan nomor register 38 yang dikuasai oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan, akan tetapi departemen tersebut pada waktu itu tidak bertindak tegas kepada para pendatang tersebut dan saat ini yang disalahkan adalah petani (Wawancara, 22 Desember 2013).
Oleh sebab itu, negara (pemerintah) tidak bisa melakukan pengusiran begitu saja, petani juga harus diperhatikan hak-haknya. Penolakan petani untuk direlokasi ke tempat yang baru ini muncul di beberapa desa tersebut di atas, mereka melakukan perlawanan ketika petugas keamanan berusaha merobohkan dan membongkar tempat tinggalnya. Kepentingan mereka satu, bagaimana mempertahankan lahan yang mereka tempati, tanpa membeda-bedakan agama, suku dan daerah asalnya mereka bersatu dan menentang upaya pemindahan/relokasi ketempat yang baru, namun dalam perkembangannya di antara mereka ada yang dengan kesadarannya sendiri dan didukung dengan dana meninggalkan desa dengan cara membeli tanah/lahan di luar kawasan, seperti yang di alami oleh Mus (50 th) yang saat ini tinggal di desa Sumber Rejo simpang danua Way Jepara, berikut ini penuturannya : ―........Adapun yang menjadi alasan tidak mau mengikuti transmigrasi lokal, karena tanah di tempat transmigrasi (Mesuji) tidak subur dan berkerikil sehingga susah untuk bercocok tanam sebagaimana suburnya tanah di area register 38 Gunung Balak, selain itu lokasinya jauh dari sanak saudara dan saya sendiri sudah mempunyai pekerjaan tetap sebagai guru (PNS), sehingga harus mutasi ke daerah lain. Oleh sebab itu lebih baik saya mencari tanah di sekitar sini saja...‖
Sikap dan pilihan ini dilakukan penuh dengan pertimbangan yang matang, di samping ketersediaan dana untuk memperoleh tanah di luar kawasan register 38 Gunung Balak yang tidak jauh dari tempat pekerjaan tetapnya (sebagai PNS), pilihan hidup seperti ini banyak dilakukan oleh beberapa orang yang tidak ingin ikut transmigrasi lokal ke tempat yang baru dan memilih untuk mencari tempat tinggal di luar hutan lindung register 38 Gunung Balak, maka desa-desa terdekat yang menjadi pilihannya, menurut keterngan Mu (50 th); ‗......Banyak penduduk yang terusir dari area hutan register 38 Gunung Balak mencari/membeli tanah di desa terdekat sebagaimana yang dilakukan oleh bapak Zam, Sum, Hin, dan Mus) keempatnya memilih desa Sumberrejo (Simpang Danau) sebagai tempat untuk melangsungkan hidupnya, dan saat ini mereka mencoba untuk memanfaatkan lahan-lahan yang mereka tinggalkan untuk kegiatan pertanian......‖
85
Sementara bagi petani yang tidak memiliki dana akan tetapi tidak mau dipindahkan (ditranslokkan), mereka tetap memilih bertahan dan mempertahankan satu-satunya sumber kehidupan yang mereka miliki dengan cara bersama-sama melakukan perlawanan yang pada gilirannya selalu menimbulkan konflik, konflik perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu terjadi. Hal ini terbukti sampai saat ini masalah tanah masih saja menjadi persoalan yang sering kali memunculkan perlawanan dari rakyat. Bentuk perlawanan bermacam-macam, ada yang bersifat individual maupun kolektif, hanya sekedar berunjuk rasa atau bahkan melakukan pemberontakan. Kelompok yang tetap bertahan dan tidak mau ikut transmigrasi lokal (translok) dan tidak memiliki dana untuk membeli lahan di luar kawasan hutan register 38 Gunung Balak diantaranya, adalah Warsidi dan beberapa temannya yang tersebar di empat desa (Srikaloka, Sriwidodo, Srikaton dan Srimulyo), adapun yang menjadi alasan mereka untuk tetap bertahan adalah ; ―...Mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh negara, hanya karena atas nama pembangunan rakyat harus menjadi korban, bukankan kami juga menempati wilayah ini atas izin pemerintah...‖. Memang pada zaman Orde Baru, secara formal Undang-Undang Pokok Agraria lebih bersifat populis itu memang masih berlaku, akan tetapi sudah tidak populer lagi seiring dengan perubahan arah kepentingan politik. Dalam masalah kehutanan misalnya Pemerintah membuat Undang-Undang Pokok Kehutanan nomor 5 tahun 1967 yang notabenenya tidak dilandasi oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 yang seharusnya merupakan landasan kebijakan agraria. Bahkan disebutkan UUPA.1960 sering dikatakan sebagai sumber terjadinya konflik politik di pedesaan dan dianggap sebagai hasil golongan kiri (Fauzi, 1999. 101). Undang-Undang Pokok Kehutanan nomor 5 tahun 1967 tersebut dijadikan landasan bagi pemerintah untuk menarik dana pembangunan dari hasil hutan termasuk menguasai lahan hutan yang dianggap bukan milik masyarakat seperti hutan lindung register 38 Gunung Balak. Melalui Keputusan Dinas Kehutanan Propinsi Lampung No.429/V/1/1968 tanggal 20 Juni 1968hutan di kawasan Gunung Balak ditetapkan sebagai hutan kawasan (hutan lindung register 38) dengan luas 19.680 hektar. Negara melalui aparatus pemerintah daerah dan Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Tengah dibantu oleh dua pelton pasukan sipil (Hansip) yang dilatih selama 20 hari membentuk Team pengosongan yang beranggotakan sekitar 350 orang. Team ini bertugas memaksa penduduk segera pergi meninggalkan lahan dan permukiman mereka. Sasaran pengosongan adalah desa 4 Sri (Desa Sri Widodo, Desa Sri Katon, Desa Sri Kaloka, Desa Sri Mulyo); sekitar 350 KK dari desa-desa ini dipersiapkan dalam program transmigrasi umum ke Way Abung Lampung Utara. Sebagian penduduk kemudian pergi mengungsi, tetapi sebagian lagi tetap bertahan dan mengadukan masalah ini ke berbagai lembaga di Jakarta. Para kepala desa ini dengan segala kemampuannya mencari dukungan dari orang-orang dan intitusi-intitusi yang dikenalnya, bagi mereka langkah-langkah yang ditempuh ini merupakan bagian dari prinsip hidupnya yakni memperjuangkan nasib para petani agar kehidupannya lebih baik, terpenuhi hakhaknya, terjamin kemanan untuk memiliki akses sumber daya agraria (tanah)
86
secara syah. Dengan tidak mengenal lelah dan dengan menanggung segala resiko sosial, ekonomi, politik dan keamanan dirinya, mereka terus bergerak untuk merealisir keyakinan perjuangannya. Kepala dukuh Srikaloka AR (45 th), Kepala Desa Srikaton MT (55 th) dan dua tokoh warga lain mengadukan masalah ini ke Markas RPKAD, pengaduan ini juga disampaikan kepada Kopkamtib, Menhankam dan DPR RI di Jakarta. (Wawancara dengan Supardi, 17 Januari 2014). Menanggapi pengaduan tersebut dua anggota RPKAD mengunjungi dukuh Sidodadi, setelah itu pula pada bulan Februari 1984 datang pula rombongan dari Jakarta; Brigjen Samiyono dan Mayor Ibnu dari Hankam, Supeno dari Fraksi Karya Pembangungan DPR RI yang didampingi Letkol Ruslan dari Korem 043 Garuda Hitam Lampung dan Kapten KS (40 th) dari Kodim 0411 Lampung Tengah. Rombongan ini datang untuk melihat keberadaan lahan yang digarap penduduk dan melakukan dengan warga Srikaton dan Sidodadi. Kunjungan-kunjungan ini ternyata tidak banyak membantu warga, bahkan pada bulan April 1985 Team Pengosongan yang terdiri dari; aparatus kecamatan, Koramil, Polsek dan desa kembali memerintahkan penduduk untuk meninggalkan area Gunung Balak. Sebagian warga pergi mengungsi akan tetapi sebagian besar warga tetap bertahan, terjadilah ketegangan dan bentrokan tidak bisa dihindari antara team pengosongan dan warga yang tetap bertahan sehingga menimbulkan korban jiwa. Hujan air mata mengiringi kepergian mereka dengan tujuan daerah yang baru yakni Mesuji. Komunitas Warsidi yang tersebar di empat desa (Srikaloka, Sriwidodo, Srikaton dan Srimulyo), dengan terpaksa harus keluar setelah tidak mampu melawan paksaaan yang dilakukan oleh aparatus pemerintah yang tergabung dalam team pengosongan, perlawanan yang sia-sia dan selanjutnya mencari lahan untuk dijadikan sebagai tempat tinggal yang baru, akhirnya mendapatkan tempat dari wakaf tokoh kaya (Ja) untuk bermukim, wilayah yang tidak terlalu jauh dari wilayah hutan register 38 Gunung Balak. Di pedukuhan kecil dengan luas lahan 1,5 hektar War memimpin komunitasnya memulai kehidupan baru.Perlu diketahui bahwa selama tinggal di register 38 Gunung Balak (desa Srikaloka) Warsidi telah berhasil membangun komunitas (jama‘ah pengajian) yang anggotanya tersebar di beberapa desa yang ada, baik yang beradadi dalam maupun yang berada di luar di kawasan hutan register 38 Gunung Balak, seperti di desa Sidorejo ada anggota komunitas Warsidi yang menjadi pengikut setianya (Zm, 75 th).
Pengorganisasian Dalam Perlawanan Petani Pengorganisasian merupakan proses refleksi dari kesadaran yang muncul dan dari pengalaman yang dialami. Dengan menemu kenali ancaman atau masalah, siapa yang terlibat dalam lingkar masalah itu, kemudian mendorong kesadaran dan motivasi untuk melaksanakan sesuatu. Mereka melakukan identifikasi, klarifikasi, menentukan keputusan dan program aksi, evaluasi dan refleksi. Proses seperti ini merupakan proses yang tiada henti dan selalu
87
tersambung dari fase ke fase. Partisipasi dari kelompok basis, merupakan suatu yang tidak bisa dilepaskan, karena pengorganisasian ditujukan untuk menyikapi kebijakan-kebijakan yang merugikan. Di Cihideung Talangsari War membangun kembali komunitas (jama‘ah pengajian) yang diawali dengan membangun tempat tinggal yang sederhana untuk berteduh anak dan istrinya, demikian juga para anggota komunitas yang lain, komunitas ini terbangun sejak mereka masih tinggal di desa Srikaloka register 38 Gunung Balak. Untuk memudahkan beribadah terutama sholat berjama‘ah dibangunlah sebuah mushola yang berukuran 6 X 9 meter dengan menggunakan dinding papan dan atap genting bantuan dari masyarakat setempat yang diberi nama ―Mushola Mujahiddin‖. Sebagai seorang kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, Warsidi menjadi buruh ngoret (membersihkan rumput di sela-sela tanaman padi dan jagung) milik warga setempat dengan upah harian sebagaimana warga yang lain. Sementara sebagai pimpinan komunitas Cihideung Warsidi sangat peduli terhadap para anggotanya, berikut ini beberapa penuturan Fadhillah orang dekat Warsidi sebagaimana ditulis oleh Widjoyo Wasis (2001) dalam buku Geger Talangsari : ―.....Kebaikan Warsidi sebagai tokoh bagi dirinya, sulit diukur dan dicari padaannya. Suatu hari ketika Fad sedang melarikan diri ke tengah hutan akibat kejaran aparat keamanan saat pengosongan hutan register 38 Gunung Balak, War datang menemuinya dengan ucapan yang menyentuh kalbu, bagaikan puisi para pujangga yang mampu menyinari remang-remangnya belantara. War menawarkan agar Fad bergabung bersama teman-teman seperjuangan ―berjuang tidak bisa sendirian kata War, Kalau masih ada kawan, mengapa bersendiri di hutan. Kemudian Fad bersama keluarganya di boyong ke Cihideung Talangsari
Hari-hari di tempat yang baru, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para anggota komunitas Cihideung Talangsari ini mencoba memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam padi dan jagung, selain itu mereka bekerja secara serabutan yang penting dapat menghasilkan uang; ada yang bekerja sebagai buruh harian pembuat batu-bata di ―Tobong‖ pak Jayus, ada juga yang bekerja sebagai buruh ngoret di lahan-lahan pertanian milik penduduk yang sudah terlebih dahulu hadir. Di sela-sela kesibukan sebagai buruh tani ―War‖ masih menyempatkan diri memberi pelajaran agama setiap malam jum‘at. Pilihan dukuh Cihideung sebagai tempat permukiman sementara bagi para petani, diantaranya wilayahnya tidak jauh dari register 38 Gunung Balak, di samping itu diantara mereka sudah terbangun solidaritas kolektif yang didasarkan pada nilai-nilai ideologis (agama) sehingga mereka merasa nyaman dan terlindungi. Untuk membangun komunitas yang mempunyai soliditas yang tangguh ―War‖ menggunakan doktrin-doktrin keagamaan. Doktrin atau ajaran yang disampaikan oleh War dalam rangka membentuk kesadaran sebagai anggota komunitas, sebagai seorang muslim yang harus patuh dan taat kepada Allah, kepada rasulullah dan kepada pemimpin sebagaimana tertuang dalam Al-Qur‘an surat An-Nisa ayat 59 :―Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. Oleh sebab itu kewajiban setiap anggota komunitas untuk mentaati pemimpin adalah kewajiban mutlak tanpa reserve. Untuk membangun ketaatan terhadap pemimpin, maka setiap anggota wajib berbai‘at (sumpah setia) terhadap kepemimpinan bahkan ini
88
menjadi syarat dibolehkannya orang hijarah ke Talangsari, ketika NH menghijrahkan orang-orang dari luar Lampung. Bai‘at dijadikan sebagai instrumen untuk membangun solidaritas dari masing-masing anggota, baik anggota yang berasal dari Lampung maupun anggota yang berasal dari luar Lampung. Anggota (jama‘ah) tidak akan ada harganya apabila individu-individu tidak diikat oleh sistem dan tidak dipersatukan oleh pemimpin yang mengatur urusan mereka. Sementara itu, pemimpin (imam) tidak akan ada nilai dan eksistensinya apabila direndahkan oleh anggota (jama‘ahnya). Oleh sebab itu Warsidi menekankan akan pentingnya loyalitas kepada jama‘ah dan keta‘atan kepada imam yang ada, serta tidak boleh keluar dari jama‘ah kecuali dengan terpaksa. Bahkan untuk menjadikan para anggotanya tetap setia dengan kepemimpinannya, Warsidi selalu menjadikan dalil-dalil dalam Al-Qur‘an maupun As-sunah sebagai alasan agar para anggotanya mentaatinya secara maksimal, sebagaimana yang dikemukan Sy (50 th) tentang hadits yang selalu disampaikan War kepadanya, yaitu : Barangsiapa yang membai‘at (janji setia) kepada seorang imam/pemimpin sambil ia memberikan jabatan tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaati sekemampuannya, jika ada pihak lain yang menyerangnya, hendaklah dia memukul tengkuk yang lain. Sementara itu agar anggota jama‘ah tetap berada dalam genggamannya (kekuasaannya) War seringkali mengancam akan membunuh bahkan kalau mati, mati dalam keadaan jahiliyah.
Berdasarkan hadits tersebut di atas, War berusaha membangun solidaritas kolektif di antara sesama komunitas, sebagai mana diketahui bahwa solidaritas melahirkansuatu spirit yang melibatkan perasaan identifikasi dengan kelompok.Dengan demikian, solidaritas mensyaratkan identifikasi entitaskolektive dan identifikasi partisipan dengan kumpulan aktor.War mencoba membangun solidaritas internal dengan memfokuskan kedalam kelompok dan kepada para anggota kelompok. Menurut Sofyan Sjaf (2012) aktor dapat dengan leluasa mengkonstruksi identitas yang ada dalam dirinya, meskipun demikian pengalaman dan kesejarahan serta latar belakang kehidupan sosial tidak dapat dikesampingkan karena memberikan pengaruh terhadap tindakan aktor bernuasa identitas. Konstruksi identitas kolektifdibangun dengan menggunakan basis religion ideology (iman-hijrah dan jihad) dan mengecilkan local comunity (falsafah hidup orang Lampung), hal ini bisa terjadi mengingat mayoritas anggota jama‘ah Warsidi adalah pendatang dari Jawa. Ideologi jihad dapat membangkitkan semangat dan tindakan bersama untuk melakukan perlawanan (pemberontakan), Kartosudirdjo (1984) menjelaskan bahwa peran nilai-nilai agama (Islam) yang disemai oleh Syekh Abdullah Al Karim Al-Bantani telah mampu menggerakkan petani untuk melakukan perlawanan, terhadap eksplotasi ekonomi, sosial, budaya oleh kelompok penekan. Demikian pula studi yang dilakukan oleh Kamarudin (2012) bahwa pemberontakan petani Unra 1943 terhadap Jepang dimotori oleh pemimpin (elit agama) dan basis ideologi (tarekat Naqsabandiyah), sehingga mereka mampu keluar dari tekanan ekonomi dan sosial. Studi lain yang dilakukan oleh Subhan (2006) tentang perlawanan petani Gedangan Sidoarjo 1904, tokohnya Kasan Mukmin. Ia berasal dari Yogyakarta yang kemudian menetap di Gedangan
89
sebagai guru ngaji, perlawanan itu direkat dengan solidaritas kolektif yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan simbol perang suci, demikian pula yang dilakukan oleh Warsidi terhadap komunitasnya.Warsidi dengan kemampuannya sebagai elit agama di pedesaan mampu membangkitkan komunitasnya untuk melakukan penjarahan/pendudukan terhadap lahan-lahan yang telah mereka tinggalkan. Beberapa isu atau desas-desus yang tumbuh dan berkembang di komunitas Talangsari sebelum melakukan gerakan reklaiming itu adalah sebagaimana berikut :Pertama, di komunitas Talangsari muncul wacana sosial bahwa cara terbaik dalam menyelesaikan masalah pertanahan dengan pemegang otoritas hutan register 38 Gunung Balak (Dinas Kehutanan) propinsi Lampung adalah dengan cara mereklaiming/pendudukan/penjarahan. Pemikiran semacam ini diantaranya dipengaruhi oleh gagalnya jalur lobi yang pernah dilakukan oleh Kepala desa Srikaloka AR (55 th), Kepala Desa Srikaton MT (50 th) dan dua tokoh warga lain mengadukan masalah ini ke Markas RPKAD, pengaduan ini juga disampaikan kepada Kopkamtib, Menhankam dan DPR RI di Jakarta.
Kedua, bahwa tindakan reklaiming/pendudukan/penjarahan itu tidak bertentangan dengan hukum sepanjang yang dilakukan itu bermaksud untuk mengambil hak-hak atas tanah mereka, dan tanah yang didapat benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan bersama petani. Sementara itu berdasarkan sejarah mereka dalam memperoleh tanah adalah hasil perjuangan mereka dengan cara membelinya pada awal tahun 1960-an sebelum adanya rencana pemungsian kembali waduk Way Jepara. Ketiga, bahwa dengan tindakan reklaiming/pendudukan/penjarahan maka pemerintah nantinya tidak mempunyai pilihan lain, kecuali harus menerbitkan sertifikat atas tanah yang sudah diduduki. Pemikiran semacam ini berangkat dari peristiwa yang terjadi di desa Bandar Agung disaat para petugas prona di Direktorat Badan Pertanahan Nasional (BPN) tanpa disadari melakukan sertifikasi tersebut di areal Hutan Lindung register 38 Gunung Balak. Pada mulanya sertifikasi itu hendak dibatalkan, namun perjuangan penduduk desa yang gigih dengan mengadakan protes pembatalannya sampai ke tingkat pemerintah pusat di Jakarta menjadikan sertifikat yang sudah terlanjur diserahkan atas luas tanah seluas 862.802 Ha tersebut tetap berlaku Setidaknya ketiga isu atau desas-desus di atas begitu kuat menghembus di kalangan petani, sehingga ketika melakukanpendudukan seolah-olah tidak ada beban ketakutan sama sekali. Bahkan adanya pemimpin (elit agama) ―War‖ yang mempunyai kemampuan dan kewibawaan mampu memotivasi petani lain untuk melakukan tindakan secara bersama-sama. Seolah-olah mereka sedang mengambil hak-nya yang untuk sementara waktu direbut oleh orang lain. War mampu menumbuhkan identitas kolektif dari setiap anggota jama‘ahnya, ia berusaha mereproduksi piil pesenggiri sebagai kekuatan sebagai invensi tradisi yang diolah menjadi modal budaya dan strategi identitas untuk melakukan resistensi terhadap kekuasaan (negara). Sisi penting dan signifikan dari piil pesenggiri inilah yang tampaknya sejajar dengan konsep honour (kehormatan dan harga diri), dalam perspektif ini pi’il pesenggiri dilihat sebagai suatu integritas dari martabat (Bourdieu, 1979).Namun hadirnya aktor supra lokal
90
(melalui NH dan SD) membawa terjadinya perubahan, struktur perlawanan petani yang tadinya hanya berfokus pada pendudukan lahan (untuk mendapatkan lahan yang selama ini sudah ditempati) mengalami perubahan struktur baru yang tidak mengarah pada penguatan formasi gerakan dalam rangka memperoleh kembali lahan yang selama ini ditinggalkan, yakni lahan-lahan yang berada di desa di kawasan register 38 Gunung Balak. Struktur perlawanan petani justeru mengarah pada tujuan lain yakni membangun perkampungan muslim di tanah Lampung dan Talangsari dipilih sebagai tempat untuk menyemaikan cita-cita ini. Pemilihan Lampung sebagai basis gerakan yang direkayasa oleh aktor supra lokal bukan tanpa alasan, mengingat War selama ini sudah ditetapkan menjadi Camat NII Way Jepara berdasarkan ketetapan NII Lampung yang dipimpin oleh AKB sebagai ketua dan sekretaris ZA, yang merupakan faksi yang diketuai oleh Ajengan MD. Menurut Al Chaidar (1999; 227) ; Wilayah kekuasaannya meliputi Purwokerto, Subang, Cianjur, Jakarta dan Lampung. Jama‘ah yang ada dalam koordinasinya hingga kini sudah mencapai 3 juta orang. Dalam pembinaan jama‘ah tidak hanya difokuskan pada pembinaan aqidah, syari‘ah dan syiasyah, serta menghendaki pemusatan lebih kepada tarbiyah sesuai yang dianut Ikhwanul Muslimin. Aktor supra lokal (NH, dan SD, FI) merupakan faksi NII yang diketuai oleh Abdullah Sungkar yang memilih jalan yang lebih militan dalam mencapai tujuannya. Pada pertengahan April 1988, kelompok di sekitar NH, termasuk FI, dan SD (mantan ketua BKPMI dari Jawa Timur), memutuskan untuk menghidupkan kembali usroh Abdullah Sungkar dengan cara menghubungi kembali mantan anggota Darul Islam serta orang-orang yang memiliki visi yang sama, dan merekrut anggota baru bagi suatu gerakan yang lebih kuat, lebih praktis, dan lebih efisien dibanding yang pernah ada sebelumnya. Dipilihnya War sebagai imam (pimpinan) Lampung, karena selama ini ternyata War tidak puas dengan hanya menjabat sebagai Camat Way Jepara dalam faksi Darul Islam yang diketuai oleh AMD. Setelah mendapat persetujuan War untuk menjadikan Talangsari sebagai basis perjuangan, maka langkah selanjutnya adalah menarik kelompok alumni Ngruki dan pengikut Abdullah Sungkar, mata rantai Ngruki di Lampung merupakan akibat langsung dari tindakan keras oleh pemerintah pada tahun 19841985 terhadap gerakan usroh yang didirikan oleh Sungkar dan Ba‘asyir di Jawa Tengah. Mulai akhir 1985, beberapa anggota gerakan melarikan diri ke Lampung untuk menghindari penangkapan dan lambat laun mendapat perlindungan dari War sebagai imam di Lampung. Dua kelompok (Ngruki dan Lampung) dapat diprovokasi oleh kelompok Jakarta (NH) untuk sama-sama mendirikan pesantren di Cihideung Talangsari Lampung dan membangun perkampungan muslim. Oleh sebab itu, melalui kegiatan dakwah yang intensif para aktor supra lokal mencoba menarik peminat dengan iming-iming dalam kegiatannya menuju kepada terciptanya kehidupan Islami dengan pembentukan perkampungan Islam (Islamic Village) terus diupayakan. Pemikiran yang sangat fundamentalis ini pada saatnya nanti dipersiapkan sebagai basis tegaknya syariat Islam dengan pola Darul Arqam di
91
masa Rasulullah SAW di Mekkah, dan dari usaha da‘wah itu disusun beberapa shaf, di antaranya ialah: shaf Ali, shaf Umar, shaf Abu Bakar dan shaf Usman. Jumlah keanggotaan jama‘ah semakin bertambah setelah beberapa orang yang terusir dari perkampungan yang selama ini ditempati, akibat adanya kebijakan untuk menghutankan kembali kawasan register 38 Gunung Balak. Sebagian orang yang terusir dari kawasan register 38 Gunung Balak melakukan migrasi ke berbagai daerah di Sumatera, namun ada beberapa warga yang tetap tinggal di propinsi Lampung diantara yang tergabung dengan komunitas Warsidi di Cihideung. Hal ini dilakukan karena selama ini mereka memang sudah menjadi anggota komunitas, jadi wajar mereka lebih memilih untuk bergabung dengan sesama komunitas yang selama ini sudah terjalin silaturrahmi diantara mereka.
Mobilisasi Sumber Daya Dalam Perlawanan Petani Tilly (1978, 56) memaparkan pentingnya mobilisasi kepada partisipan dalam tindakan kolektif yang selalu berkaitan dengan alat-alat produksi yang menjadi ajang konflik kepentingan. Di antara alat produksi itu menurutnya dapat berupa tanah, labour, capital dan teknologi. Dalam kasus Talangsari, alat produksi yang menjadi arena konflik kepentingan adalah tanah di kawasan hutan lindung register 38 Gunung Balak yang selama ini dikelola oleh petani. Berdasarkan hasil wawancara mendalam terhadap beberapa orang petani di Talangsari, peneliti dapat mengetahui bahwa keberanian petani untuk melakukan pendudukan atas lahan yang ditempati selama ini dikarenakan mereka tidak ditempatan/diberi lahan sebagai tempat tinggal yang baru. Perlawanan petani dikonstruksi dari Talangsari diawali dengan melakukan penampungan terhadap petani-petani yang terusir dari hutan register 38 Gunung Balak dengan menempati lahan-lahan yang tersedia. Di bawah kepemimpinan Warsidi komunitas petani Talangsari berusaha untuk mendapatkan hak-haknya sebagai petani. Oleh sebab itu mereka menggerakkan petani untuk tertarik dan terlibat dalam perlawanan dan menjadikan lahan (hak atas tanah) sebagai isu yang digulirkan sehingga banyak petani tertarik dan terlibat karena isu yang diperjuangkan menyangkut masalah mereka. Solidaritas sosial dan komitmen moral untuk mendukung perjuangan petani nampak menonjol dalam awal tahap perlawanan sehingga mempermudah proses konsolidasi para partisan kelompok pendukung. Gerak langkah mereka sangat solid di dalam mengawali aksi-aksi kolektif lebih-lebih setelah diikat secara formal dalam suatu wadah organisasi. Berdasarkan keterangan dari beberapa petani diperoleh penjelasan bahwa kenekatan petani untuk mengambil kembali tempat tinggal mereka di kawasan hutan register 38 Gunung Balak (Sri Widodo, Sri Kencana) dikarenakan tidak kunjung selesainya persoalan sengketa tanah dengan dinas kehutanan. Pihak komunitas petani Talangsari telah mengkomunikasikan, baik kepada pemerintah maupun dinas kehutanan, bahwa tanah tersebut harus segera dikembalikan kepada petani yang selama ini menggarapnya. Namun demikian keinginan petani tidak mendapatkan respon yang positif sebagaimana yang mereka inginkan.
92
Kesulitan untuk mengambil tanah yang selama ini mereka tempati, karena tanah tersebut sudah di area hutan lindung register 38 Gunung Balak, memaksa petani berpikir strategis tentang cara yang tepat untuk mendapatkan tanahnya kembali. Mereka menyadari bahwa dukungan petani saja tidak akan cukup untuk merealisasikan tujuan mulia tersebut, oleh sebab itu masih perlu adanya dukungan dari berbagai elemen masyarakat sipil dan politik. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari dukungan dariberbagai elemen masyarakat sipil dan politik pihak luar tidak memperolehkan hasil, hal ini disebabkan oleh konstruksi struktur politik rezim otoritarianisme Orde Baru masih bertengger dengan kokohnya. Kondisi ini sekaligus menutup gerakan sosio-politik petani. Kekuatan rezim Orde Baru masih kokoh dan para elit palitik sangat solid di dalam mengawal otoritarianisme. Kekuatan tekanan politik negara masih sangat kuat dan kelompok elit kontra Orde Baru tidak berani mendukung gerakan masyarakat sipil dalam melakukan perubahan. Tersumbat dan tertutupnya peluang politik diposisikan sebagai unsur penghambat utama berkembangnya kesadaran kolektif dan penguatan struktur mobilisasi sumber daya perlawanan petani. Indikasinya dapat dilihat dari keangkuhan rezim Orde Baru terhadap tuntutan-tuntutan petani. Berbagai elemen masyarakat sipil, seperti LSM, partai politik, elit agama, organisasi sosial semua tidak ada yang mendukung gerakan petani. Bukti keangkuhan rezim Orde Baru adalah dilarangnya aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa di dalam kampus lebih-lebih di luar kampus, tidak adanya dialog dengan pemerintah daerah untuk menyelesaikan kasus-kasus pertanahan yang dialami petani. Asumsi dasar pentingnya struktur peluang politik adalah bahwa mobilisasi sumberdaya gerakan dimungkinkan ketika terjadi perubahan iklim politik yang membuat tindakan kolektif lebih memungkinkan untuk sukses. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa para pemegang otoritas tidak memberi peluang politik adanya aksi-aksi kolektif petani atau dalam melakukan penstrukturan kembali hubungan-hubungan kekuasaan yang ada. Akhirnya tanpa adanya dukungan dan peluang dari masyarakat sipil dan politik, komunitas petani Talangsari dengan penuh keberanian melakukan rekalimin/pendudukan/penjarahan terhadap tanahtanah yang mereka miliki sebelumnya tersebut, tepatnya pada tanggal 13 April 1988 petani komunitas Talangsari dibawah komando War melakukan penjarahan dan mengalami kegagalan. Mencermati peristiwa reklaiming/pendudukan/penjarahan komunitas petani pada tahun 1988, peneliti melihat bahwa tidak adanya dukungan jaringan dari masyarakat sipil dan politik dari luar sangat menentukan kegagalan gerakan tersebut. Bahkan berdasarkan hasil wawancara terhadap salah seorang petani, sebenarnya mereka ada perasaan enggan untuk melakukan penjarahan, hal sebagai mana yang disampaikan oleh Wt (65 th) ―.....sebenarnya para petani itu umumnya sudah enggan untuk memperjuangkan tanah di kawasan hutan register 38 Gunung Balak dengan berbagai alasan diantaranya : pertama, percuma saja kita memperjuangkan hak tanah yang sudah ditentukan sebagai hutan lindung, kalau kita salah melangkah justeru penjara yang didapatkan; kedua, setiap tindakan yang mempertanyakan hak petani atas tanah yang ada di kawasan register 38 Gunung Balak selalu dikaitkan dengan ciri atau kharakter gerakan PKI; ketiga, mereka yakin mengenai status tanah pasti akan mengalami kegagalan, kalaupun ada wilayah yang masuk register 38 Gunung balak akan tetapi sertifikat tanahnya bisa terbit, seperti desa Bandar Agung itu semata-mata karena kesalahan orang BPN (Badan Pertanahan Nasional) dalam menerbitkan sertifikat.
93
Kegagalan dalam memperoleh lahan yang selama ini telah ditinggalkan membuat petani semakin antipati terhadap pemerintah, kekecewaan ini seringkali diwujudkan dalam bentuk kecaman-kecaman yang disampaikan dalam khutbah dan ceramah di depan anggota komunitasnya, misalnya pemerintah itu kafir dan tidak perlu ditaati, Pancasila itu berhala dan batal untuk diibadahi. Kekecewaan yang ada pada diri War dan anggota komunitasnya dimanfaatkan oleh aktor-aktor supra lokal (NH dan SD) untuk menggiring pemikiran mereka dalam melaksanakan missi mereka, yakni bertindak radikal dan melakukan penentangan terhadap pemerintahan. Dengan dijanjikan akan memperoleh bantuan persenjataan dari Jakarta, aktor supra lokal juga memobilisasi kekuatan dengan mendatangkan para anggota yang lain. Melalui peranan tiga orang yakni; NH, SD dan FI melakukan mobilisasi aktivasi dengan berbagai kegiatan melalui dakwah untuk menarik simpati dalam kegiatannya menuju terciptanya kehidupan masyarakat yang Islami dengan membentuk perkampungan Islam (Islamic Village) terus diupayakan. Untuk menjalankan program memobilisasi tersebut, diadakan pertemuan khusus pada tanggal 12 Desember 1988 di Cibinong Jawa Barat. Dalam pertemuan itu dihasilkan kesepakatan bahwa Warsidi di Cihideung bertanggung jawab sebagai penerima komunitas yang akan di hijrahkan, sedangkan sebagai penanggungjawab untuk menghijrahkan anggota komunitas yang lain adalah NH sebagai amir musafir, SD dan FI sebagai anggotanya. Menurut keterangan Suk (62 th) setelah melakukan penangkapan terhadap beberapa anggota komunitas War, alasan yang dikemukan oleh para aktor supra lokal saat mengajak pindah ke Lampung adalah ―....Seorang muslim yang baik harus tinggal di tempat yang baik‖. Memang kalau kita lihat realitasnya di negera Indonesia begitu subur tumbuh berbagai bentuk kedzaliman, seperti penindasan, keseweang-wenangan, pembunuhan, perjudian dan kejahatan-kejahan lainnya membuat gerah para penghuninya.Argumentasi tersebut merupakan bentuk mobilisasi aktivasi terhadap anggota komunitas untuk bisa bertindak sesuai dengan yang diharapkan, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Smelser bahwa mobilisasi motivasi terhadap anggota komunitas itu perlu dilakukan sehingga mereka siap bertindak, meskipun dalam aksinya memerlukan waktu yang cukup lama. Mobilisasi motivasi terhadap para anggota komunitas yang ingin di hijrahkan ke Lampung memang memerlukan waktu yang cukup lama, akan tetapi karena kegigihan para aktor supra lokal akhirnya mereka siap juga untuk berhijrah. Penekanan adanya penambahan konsep aktivasi disini, karena realitas di lapangan menunjukkan bahwa mobilisasi aktivasi untuk masuk ke dalam perilaku kolektif, oleh sebab itu peneliti memandang penting penegasan konsep aktivasi ini. Mobilisasi motivasi dalam bentuk hijrah mencari daerah baru itu bisa dipahami kalau mereka menganggap jalan satu-satunya jalan satu-satunya untuk mempurifikasi dan menghindari diri dari pengaruh-pengaruh negatif tersebut dengan jalan hijrah. Hijrah dalam pengertian, mencari tempat yang kondusif dalam rangka memproteksi diri (meninggalkan) dari apa-apa yang dalam keyakinannya diharamkan oleh Allah. Pada tanggal 12 Februari 1988 sampai dengan tanggal 6 Februari 1989 yakni memakan waktu kurang lebih satu tahun, aktor supra lokal yang dimotori oleh NH tanpa melakukan sosialisasi dan koordinasi dengan aparat dan penduduk
94
setempat telah mendatangkan kurang lebih 50 orang, diantaranya keluarga Mar dan keluarga kar. Kehadiran pendatang di wilayah yang baru ini ternyata menimbulkan masalah tersendiri bagi aparatus setempat. Keharusan untuk melaporkan warga baru dari ketua dusun III Talangsari (Suk) ternyata diabaikan, dan inilah yang melahirkan terjadinya ketegangan struktural dengan aparatus lokal.
Ketegangan Struktural Antara Komunitas Warsidi dengan Aparatus Daerah. Ketegangan struktural dalam arti ketidakhamonisan relasi sosial diantara komponen-komponen tindakan. Merujuk pada teori Smelser, yang dimaksud dengan komponen tindakan meliputi empat hal, yakni nilai, norma, mobilisasi motivasi, dan fasilitas situasional. Jika teori ini dikaitkan dengan penelitian kasus perlawanan petani di Talangsari, maka nilai yang dimaksud adalah nilai tentang keadilan yang harus mereka peroleh setelah mereka terusir dari kawasan register 38 Gunung Balak, dan memperoleh hak-hak mereka sebagai warga negara. Sedangkan yang dimaksud dengan mobilisasi motivasi adalah mobilisasi motivasi para petani eks Gunung Balak yang tergabung dalam komunitas War untuk ikut serta melakukan perlawanan terhadap otoritas setempat. Sedangkan fasilitas situasional adalah berupa pengetahuan, informasi dan keterampilan dan ketersediaan kapital untuk melakukan perlawanan. Kondisifitas struktural dalam proses awal perilaku kolektif ini menimbulkan reaksi struktural yang lebih dikenal dengan proses artikulasi interest dan agregasi interest. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa petani yang terusir dari kawasan register 38 Gunung Balak akibat adanya restrukturisasi agraria berupa penataan hutan kawasan, petani berharap adanya kepastian aturan yang memberlakukan mereka tidak boleh menempati kawasan hutan register 38 Gunung Balak. Permintaan penerapan aturan ini dipengaruhi oleh adanya bukti dan keyakinan kesejarahan tentang tanah yang mereka peroleh dari hasil redistribusi pemerintah saat itu, yakni ketika pemerintah Orde Lama menggulirkan program reforma agraria, meskipun ketika terjadi pergantian kekuasaan ke Orde Baru lahan/tanah yang mereka miliki diklaim masuk dalam kawasan hutan lindung register 38 Gunung Balak sebagai daerah tangkapan air agar terjaganya ketersiadaan air bagi waduk Way Jepara. Ketegangan struktural yang terjadi antara anggota jama‘ah Warsidi dengan aparatus setempat, pada tahapan selanjutnya ikut menyempurnakan terjadinya kondisifitas struktural. Mekanisme demokrasi yang berlaku di pedesaan saat itu sangat menekankan pada pertimbangan ketertiban dan keamanan. Ini berakibat hilangnya dinamika rakyat pedesaan dan digantikan dengan berbagai organisasi dan kelembagaan desa yang merupakan perpanjangan tangan dari birokrasi Negara. Pada masa kekuasaan Orde baru, desa telah dijadikan sebagai unit terbawah tangan kekuasaan (negara) yang palin bawah. Posisi desa saat itu, tidak lepas dari sentralisasi kekuasaan yang dibangun oleh penguasa Orde Baru, yang
95
dimaksudkan menjadi bagian dari mesin stabilitas politik demi mencapai apa yang disebut sebagai tujuan pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Masalahnya bukan saja sentralisasi, melainkan pula adanya penyeragaman yang bermakna, bahwa entitas desa yang unik pada masing-masing daerah telah dinegasikan dan diseragamkan demi efisiensi pembangunan dan standarisasi kontrol. Permasalahan yang muncul dengan skema organisasi kekuatan yang seperti ini adalah, Pertama, segala sesuatu yang dianggap baik oleh kekuasaan pusat, secara otomatis dianggap baik oleh penguasa desa. Desa hanya dipandang sebagai cerminan negara, oleh sebab itu itu pula negara hadir dalam banyak dimensi kehidupan masyarakat desa. Artinya bahwa desa harus tunduk secara mutlak dengan keputusan dan kebijakan pemerintah pusat. Kedua, dengan model yang demikian, segala institusi yang berada di luar skema kekuasaan yang merupakan institusi lokal dinyatakan tidak mempunyai hak untuk hidup kecuali jika sejalan dengan kepentingan nasional dan yang paling berhak untuk memberikan penilaian tentu bukan masyarakat lokal, melainkan pemerintah pusat. Ketiga, apa yang disebut dengan aspirasi rakyat setempat menjadi kehilangan momentum untuk ikut ambil bagian, sebab seluruh saluran yang ada merupan saluran bagi kepentingan nasional dan bukan bagi kepentingan rakyat. Hal ini sangat terlihat dari berbagai bentuk organisasi di tingkat desa yang ada. Terdapat berbagai ragam birokrasi kelembagaan di tingkat pedesaan, seperti: Organisasi Bidang Sosial dan Kesejahteraan semisal Lembaga Sosial Desa (LSD) yang kemudian berubah menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Organisasi Bidang usaha Ekonomi semisal KUD, Organisasi Bidang Produksi semisal Gerakan Padat Karya, Organisasi Bidang Keamanan semisal Hansip, Organisasi Bidang Kependudukan semisal Gerakan Keluarga Berencana. (Saparin, 1972: 166-167). Keputusan Mendagri No. 1/1981 tentang susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa dan perangkat desa, diletakkan pula fungsi LKMD. (LKMDadalah sebuah lembaga pengganti LSD. Pertama kali diputuskan melalui Keppres No. 28 tahun 1980. Meskipun merupakan lembaga kemasyarakatan desa, akan tetapi perubahan nama dari lembaga ―sosial‖ menjadi lembaga ―ketahanan‖ menimbulkan pengertian sendiri. Tugas utama dari LKMD ini adalah menggerakkan pembangunan di desa serta mengembangkan ketahanan desa/kelurahan. Sebelumnya telah dimaklumi adanya Satgas Hansip (meskipun kini telah dibubarkan), yang bertugas menjaga ketentraman dan ketertiban desa, sebagaimana diatur dalam keputusan Mendagri No. 1/1977. Sementara itu telah ada pula nama Babinsa (Bintara Pembina desa dari militer) dan Bimas (Pembina masyarakat dari kepolisian) yang mempunyai tugas serupa). Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa yang ikut membantu tugas-tugas yang dilakukan kades, di mana Kepala Desa bertindak pula sebagai ketuanya. Penekanan terhadap segi ‗Ketahanan, Ketertiban dan Keamanan‘ (security approach) telah dilakukan sejak dari tingkat atas. Sebagaimana diketahui, di tingkat provinsi telah ada badan yang bernama Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah). Keputusan Presiden No. 10/1986, pasal 1 ditegaskan bahwa Muspida adalah suatu forum konsultasi dan koordinasi antara Gubernur Kepala Daerah Tk. I dan
96
Bupati/Walikota madya Kepala Daerah Tk. II dengan pejabat-pejabat ABRI/TNI di daerah serta aparatur-aparatur pemerintah lainnya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara stabilitas nasional dan pembangunan nasional di daerah. Anggota dari Muspida ini adalah Bupati/Walikota, KODIM (Komando Distrik Militer), POLRES (Kepolisian Resort), dan Kejaksaan. Sedangkan di tingkat kecamatan adalah Camat, KORAMIL (Komando Rayon Militer), POLSEK (Kepolisian Sektor), dan Kejaksaan. Peranan TRIPIKA (Tiga Pembina Kecamatan), yaitu Camat, Koramil dan Polsek di pedesaan adalah sangat besar, khususnya dalam memantau dan melaksanakan ―ketertiban dan keamanan‖ di desa-desa yang menjadi wilayahnya. Keadaan di desa yang sangat menitikberatkan pada kamtibmas, di alam kemerdekaan dan situasi yang sangat stabil selama lebih dari dua dasawarsa ini, tentu ada baiknya ditinjau kembali. Keadaan yang terus demikian, pada gilirannya bisa menimbulkan kurangnya prakarsa dan inisiatif dari rakyat desa. Hal ini mungkin juga karena tidak jelasnya pengertian ―ketahanan, ketertiban dan keamanan‖ tersebut, sehingga suatu kegiatan atau inisiatif dari warga desa dapat saja digolongkan ke dalam aspek ketertiban dan keamanan. Khususnya bila berkaitan dengan adanya konflik atau potensi konflik antara pihak penguasa desa dengan rakyat warga desa pada umumnya, dan inilah kiranya kasus yang selalu berulang dalam peristiwa-peristiwa sengketa tanah ataupun masalah-masalah lainnya, apakah itu masalah sosial, politik dan ekonomi. Semua ini tentulah tidak kita kehendaki bersama di dalam sistem demokrasi politik yang kita pakai. Ketegangan demi ketegangan terus berlanjut, oleh sebab itu di samping mempersiapkan secara mental, Warsidi bersama komunitasnya mempersiapkan secara fisik untuk melakukan perlawanan, diantaranya dengan melatih mereka bela diri, memanah yang kesemuanya itu sebagai langkah persiapan untuk membela diri dan melakukan perlawanan terhadap aparatus setempat. Fase ini merupakan fase yang sangat menentukan bagi fase-fase selanjutnya, mobilisasi sangat diperlukan sehingga terbangun motivasi serta terciptanya sikap positif atas tujuan gerakan perlawanan, dan akhirnya timbul semangat yang luar biasa dalam diri setiap anggota komunitas. Dalam hal ini Smelser (1962, 299) mengatakan : The enthusiastic phase display a bulge of activity and membership which can be analyzed in term of the real and derived aspects of a movement (Fase antusiasistik merupakan suatu aktivitas yang menonjol dan keanggotaan, yang dapat dianalisa dalam pengertian sebagai aspek gerakan yang nyata). Arti anggota atau keanggotaan dalam gerakan perlawanan komunitas Warsidi adalah siapa saja yang mendukung gerakan dan dibuktikan dengan kesediaannya mengemban peran yang diberikan, ikut turun ke lapangan untuk melakukan tindakan dan terus mengikuti pertemuan-pertemuan yang dilakukan. Dalam tiga bulan terakhir tahun 1989 kegiatan anggota jama‘ah pengajian sangat meningkat; mereka mengadakan pertemuan-pertemuan, melakukan perjalanan dan mempropaganda perjuangan mereka di satu pihak, dan melatih murid-murid pengajian dengan cara melumpuhkan lawan. Menjelang waktu itu semangat pemberontakan sudah mencekam anggota-anggota komunitas. Khusus pembuatan panah dilakukan oleh SD, dengan bahan dasar dari jeruji sepeda atau becak, panjangnya lebih kurang 30 Cm, pada bagian ujungnya yang lancip diberi pengait
97
dari bahan semacam timah, sedangkan bagian ekornya dijurai-jurai dari tali rafia sebayak tujuh lembar yang disisir menjadi serabut. Untuk melontar panah beracun ini, cukup dengan cangkang ketapel yang dilengkapi dengan sepasang karet elastis yang bisa melar hingga sedepa, dan bila dilepaskan bisa mencapai jarak sejauh 200 meter. Sedangkan untuk mematikan mangsanya, panah tersebut diberi racun dari serbuk getah poh ( racun ini diperoleh dengan menderes pohon poh, setelah kering getah dijadikan serbuk) dengan merendam bagian ujungnya, bagian yang mengandung racun segera diberi selongsong berupa slang plastik kecil untuk melindungi pemakainya dari sengatan racun getah poh tersebut. Panah beracun ini kebanyakan dibuat di Jakarta dan selebihnya dikerjakan di Cihideung Talangsari. Pondok Pesantren Mujahiddin di Talangsari pada akhir tahun 1988 secara fisik mengalami perkembangan, diantaranya pembenahan pondok menjadi semi permanen (dinding papan) dengan luas masing-masing 8 X 16 meter yang berjumlah 4 buah bangunan yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal jama‘ah, di ―negara‖ Talangsari itu, Warsidi dijadikan Imam oleh NH dan kawan-kawan, dengan pertimbangan senioritas (usia), juga karena Warsidi pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh jiwa. Untuk memperkuat pertahanan di markas Cihideung telah disiapkan parit-parit sebagai benteng pertahanan, sehingga ada kesan tempat ini bukan tempat pengajian akan tetapi sebagai basis perjuangan. Ketegangan demi ketegangan antara komunitas Warsidi dengan aparatus setempat (Sukidi sebagai kepala Dusun) semakin terasa, genderang peperangan sudah ditabuh, terompet sudah ditiup. Apalagi mekanisme demokrasi yang berlaku di pedesaan saat itu sangat menekankan pada pertimbangan ketertiban dan keamanan.Oleh sebab itu sebagai ketua RT di dusun Talangsari III(sebagai aparatur negara di tingkat paling bawah), Sukidi merasa terusik dengan kehadiran orang-orang yang semakin banyak di wilayahnya, lebih lagi mereka datang dengan membawa atribut baru yang tergabung dalam komunitas Warsidi. Sukidi melaporkan keatasannya yakni Kepala desa Rajabasa lama dan diteruskan ke Kecamatan Way Jepara. Pada hari Jum‘at 12 Januari 1989 dikirimlah sepucuk surat dari Camat Way Jepara yang isinya mengundang Imam Warsidi untuk datang ke kecamatan. Warsidi sebagai pimpinan jama‘ah mengirimkan surat balasan kepada Camat Way Jepara yang isinya keberatan untuk memenuhi undangan camat. Alasan penolakan tersebut menurut Sukidi dikarenakan pihak Warsidi berpegang pada hadits yang berbunyi ―Sebaik-baik Umaro adalah yang dekat dengan ulama dan sejelek-jelek ulama adalah yang dekat dengan Umaro‖. (Wawancara, 23 Januari 2014). Respon dari Warsidi adalah bentuk kongkrit dari perlawanan yang dilakukan terhadap pemerintah setempat, artinya Warsidi menolak keberadaan lembaga resmi yang mempunyai kekuasaan untuk mengawasi dan mengontrol semua tindakan yang dilakukan oleh warganya, bahkan Warsidi memposisikan diri lebih tinggi dengan menyebutkan bahwa Ulama (ahli ilmu) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari Umaro (pemerintah). Genderang perang sudah ditabuh, lebih-lebih saat itu pemerintah yang otoriter birokratik yang diterapkan di Indonesia selama rezim Orde Baru.
98
Masih menurut Sukidi, bapak Camat Way Jepara Zul sangat terkejut mendapatkan jawaban dari Warsidi yang meminta dirinya yang datang dan bukan sebaliknya. Ia tidak menyangka suratnya akan mendapat jawaban seperti itu. Pada hari jum‘at 13 Januari 1989 untuk memenuhi permintaan Warsidi, Zul (camat Way Jepara) bersama rombongan diantaranya; kepala desa Rajabasa Lama, kepala desa Labuhanratu, kepala dusun Talangsari III, kepala dusun Kelahang dan beberapa staf kecamatan yang lain datang ke lokasi jama‘ah pengajian Warsidi di Cihideung. Dalam pertemuan itu selaku Camat (Zul) mempertanyakan mengapa Warsidi tidak mau memenuhi panggilannya dengan berdasarkan pada hadits yang dikutip dalam surat balasannya. Namun Warsidi tidak mampu memberi penjelasan bahkan setelah melihat kepada para jama‘ahnya dan memberi persetujuan dengan menganggukkan kepala, dengan tegas Warsidi mengatakanpokoknya itu ada dihadits tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Dalam pertemuan tersebut tergambar ketegangan diantara tamu dan tuan rumah, ada sekitar 30 orang di bangunan rumah tersebut, bahkan dari arah belakang terdengar suara teriakan ―bunuh saja camat itu‖. Sebelum pamit Zul mengundang Warsidi untuk menemuinya di kantor kecamatan Way Jepara. Warsidi pun berjajni akan memenuhi undangan pada hari sabtu tanggal 14 Januari 1989, walau janji itu tidak pernah dipenuhi oleh Warsidi. Selama beberapa hari sebelum terjadinya perlawanan petani di Talangsari III Way Jepara. Setelah kelompok Jakarta bergabung, suara Warsidi semakin nyaring. Masyarakat setempat menggambarkan bahwa perilaku Warsidi dan kelompoknya semakin tidak terkendali, dalam setiap khotbahnya selalu menyalakan api permusuhan, menentang pemerintah dan menentang Pancasila. Pemerintah dikatakan sebagai orang-orang kafir yang kerjanya hanya mengkorup uang rakyat. Oleh sebab itu, haram hukumnya memakan uang gaji dari pegawai negeri dan dengan sendirinya juga tidak perlu membayar pajak. Menurut keterangan Suk ; pernah ia mengajak warganya termasuk komunitas Warsidi yang berada di dusun Talangsari III untuk bergotong royong mengeraskan jalan desa, ―Qur‘an tidak mengajarkan orang bergotong royong jawab mereka‖. Ajakan untuk ronda siskamling mendapat jawaban yang serupa sehingga sangat sulit dimengerti alasan mereka, termasuk mengambil tanaman penduduk tanpa seizin pemiliknya. Sejak saat itu keharmonisan yang terajut dalam masyarakat menjadi tidak tenang, masyarakat terusik dengan sikap dan perilaku mereka yang bertentangan dengan norma-norma kehidupan yang selama ini terbangun dan terjaga. Lebih lagi setelah beberapa anggota jama‘ah Warsidi mendatangi kepala dusun Talangsari III (Sukidi) dengan mengancam dan membawa sebilah golok. Tanda-tanda konflik sudah mulai nampak kepermukaan, perang sudah digelar. Sebagian penduduk dusun Talangsari III satu demi satu meninggalkan harta benda yang dimilikinya demi keselamatan jiwanya, dengan kata lain mengungsi dari tempat tinggal yang sudah bertahun-tahun ditempatinya. Termasuk keluarga Sukidi yang sudah pindah ke dusun lain menjauhkan diri dari ancaman para anggota Warsidi. Saat penulis menanyakan kenapa dan kemana pak Sukidi mengungsi, beliau memberi keterangan sebagai berikut : ―Kalau saya keluar, dan tetap tinggal di rumah sangat bahaya. Mereka mengatakan ini garagara Sukidi. Jadi, mereka mencari saya terus untuk di bunuh, oleh sebab itu saya mengungsi di kekurahan dan saya anggap tempat yang paling aman‖.
99
Ketegangan terus menerus berlangsung sampai menjelang akhir Januari 1989, suasana ketegangan yang ada belum menunjukkan tanda-tanda reda. Sinyalemen komunitas Warsidi menyimpang dari ajaran agama terjadi di kalangan masyarakat dan diperkuat oleh tokoh-tokoh agama yang ada saat itu, diantaranya; K.H. MI (Pimpinan Pondok Pesantren Roudhatul Hidayah desa Mengandung Sari Jabung Lampung Timur) menurutnya, pengajian Warsidi menganggap kafir semua umat Islam yang tidak mendukung kelompoknya, melakukan perlawanan kepada pemerintah yang syah dengan mempersiapkan peresenjataan perang seperti bom molotov, parang dan panah beracun. Sementara itu di tempat lain, pada hari selasa 17 Januari 1989 di Pondok Pesantren Al-Islam desa Labuhanratu terdengar kabar ada seorang Ustad (guru ngaji) bernama Us di pondok tersebut membuat keonaran dengan melakukan pengusiran terhadap Kiai Jun (pemilik pondok) Al Islam yang pernah menolongnya beberapa waktu sebelum menjadi pengajar di pondok tersebut. Drama pengusiran terhadap tuan rumah ini berdampak panjang, belakang diketahui ternyata Us ada kaitannya dengan Warsidi. Us pria kerempeng kelahiran Semarang 13 September 1960 pernah diadili di Pengadilan Negeri Sleman Yogyakarta pada tahun 1985 karena penghinaan terhadap Presiden Soeharto. Selepas menjalani hukuman, Usman menghilang dan belakangan ini diketahui dia sudah berada di pondok pesanteren Al-Islam yang dikudeta. Oleh sebab itu Us dilaporkan oleh pengurus yayasan Al-Islam, dan kepala desa Labuhanratu I ke kantor Camat Way Jepara. Sepuluh hari setelah membaca surat dari Pondok pesantren Al-Islam tepatnya pada hari Jum‘at 27 Januari 1989, Zul (camat Way Jepara) melaporkan kepada Kapten Soe (Komandan Rayon Militer) Way Jepara, yang dalam laporannya Zulkifli meminta Soe agar segera memeriksa Us sekaligus memanggil Jayus dan Warsidi pimpinan jama‘ah pengajian di Cihideung. Di dalam suratnya Zul menjelaskan bahwa ia pernah melakukan pemanggilan terhadap kedua orang tersebut (Jaydan War), akan tetapi yang bersangkutan tidak pernah memenuhinya bahkan sebaliknya mereka justeru mengancam akan membunuh Camat saat mendatangi markas mereka di Cihideung. Membaca dan mendapat laporan seperti itu darah sang kapten bergolak, hari itu juga sabtu 28 Januari 1989 Komandan Rayon Militer (Koramil) Way Jepara mengeluarkan surat No.B/313/I/1989 perihal panggilan menghadap kepada Usm, War dan Jay, dan diberi batas waktu sampai hari rabu 1 februari 1989. Sementara itu pada hari rabu1 Februari 1989, kepala desa Rajabasa Lama (APM) melapor kepada Kapten Soe tentang kegiatan War beserta komunitasnya yang semakin hari menunjukkan kegiatan-kegiatan yang tidak selayaknya dilakukan, seperti belajar memanah, latihan bela diri, dan merakit bahan peledak dari botol bekas minuman anggur. Oleh Soe informasi tersebut diteruskan ke Kodim (Komando Distrik Militer 0411 Lampung Tengah) di Metro, dan Soe diperintahkan untuk memantau lokasi dan mengamankan situasi. Sementara itu, Suk sebagai Kepala Dusun Talangsari III mempunyai tanggung jawab dalam bentuk keingintahuan tentang kegiatan yang dilakukan oleh warganya, secara diam-diam Sukidi menyelinap mendekati lokasi yang memang tempatnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Dari semak Suk melihat kejadian aneh sejumlah anak muda mengenakan seragan pangsi hitam dan ikat kepala. Mereka sedang berlatih perang
100
dengan menggunakan senjata pedang, celurit dan golok serta panah, kejadian ini dilaporkan kepada Kapten Soe. Kapten Soe sebagai komandan rayon militer (Koramil) tidak ingin kehilangan momentum, pada hari minggu 5 Februari 1989 ia segera memerintahkan 2 orang anggotanya (Serma Dah dan Kopda Rah) untuk ke lokasi melihat dan memantau kegiatan di markas Warsidi. Sebelumnya mereka menghubungi perangkat desa Rajabasa Lama yakni; Baheram (pamong desa), Suk (kepala dusun Talangsari III), Pon (ketua RW) dan Supr (ketua RT). Malam itu juga sekitar pukul 23.30 mereka mendekati lokasi dan menyergap satu pos Cakruk (gardu ronda) jama‘ah War dan menangkap 6 orang anggota jama‘ah dan satu orang lepas, dalam penyergapan itu disita 61 pucuk anak panah dan ketepel kayu, 5 golok, 2 pedang dan 2 bom molotov. Keenam pemuda tersebut adalah SS (15 th), Muj bin SO (15 th), Par bin Be (19 th), Sid(16 th), Sar (16 th) mereka diamankan dan dibawa ke rumah Sukidi (kepala dusun Talangsari III), dan seorang lagi bernama Sad alias Jo berhasil melarikan diri di dalam perjalanan saat akan dibawa ke kantor desa, namun ia terluka parah akibat dihantam popor senjata. Pada hari senin 6 Februari 1989 dini hari Imam Warsidi terbelalak ketika mendapat kabar anggota komunitasnya di tangkap aparat militer, segera mengirimkan 11 orang anggota jama‘ah (Fad, Her, Tar, Ri, Mun, Sug, Muc, Beni, Sod, Mua dan Abl) untuk merebut kembali anggota komunitasnya yang ditahan aparat militer. Malam itu juga, Fad berangkat dengan disertai 10 orang pasukan terlatih yang bersenjatakan golok, panah dan bom molotov, mereka berjalan kaki menerobos perkampungan menuju markas Komando Rayon Militer(Koramil) di Way Jepara. Pagi hari (06.00 WIB) Fad berserta 12 orang anggotanya sampai di depan Markas Komando Rayon Militer (Koramil) di Way Jepara, sebelum beraksi membebaskan teman-temannya yang semalam di tahan oleh aparat militer, mereka mendapat kabar bahwa semua tahanan Talangsari sudah dibawa ke Komando Resort Militer (Korem 043) Garuda Hitam di Bandar Lampung. Fad berunding dengan para anggotanya dan sepakat melanjutkan perjalanan ke Bandar lampung. Namun sebelumnya mereka singgah di Sidorejo markas Zam (salah satu Jama‘ah Warsidi di luar Cihideung) untuk beristirahat dan mengatur siasat perlawanan. Pada hari yang sama Senin 6 Februari 1989 pukul 08.30 WIB. Serma DH. Menyerahkan kelima orang tersebut ke Komando Distrik Militer (Kodim 0411) Lampung Tengah di Metro, kemudian Kasdim Mayor Ols mengirim berita ke Muspika dan melapor ke komandan Komando Resort Militer (Korem 043 Garuda Hitam) tentang rencana penyergapan lanjutan di Cihideung. Pukul 09.30 Kasdim bersama 9 anggotanya antara lain Sertu Yat, Sertu Mask, Koptu Mus, Koptu Sum, Koptu Tasl, Koptu Sub, dan Pratu Kust (pengemudi Jeep), Pratu Idr dan Pratu Sri di desa Rajabasa Lama. Muspika menyampaikan situasi dan keadaan di lokasi Talangsari III, Kasdim Mayor OS memberi petunjuk dan pengarahan kepada rombongan sebelum berangkat ke lokasi. Sekitar pukul 11.00 Wib, rombongan bersama Muspika, diantaranya Mayor E.O. (Kasdim 0411 Lampung Tengah), Kapten Soe (Danramil Way Jepara), Zul (Camat Way Jepara), Letkol Har (Kakansospol Lampung Tengah), AP (Kepala
101
desa Rajabasa Lama), Zarn (Kepala desa Pakuan Aji), Suk (Kepala dusun Talangsari III), dan Serda Dac (Ka,TU. Koramil Way Jepara). Rombongan tersebut dengan menggunakan dua buah jeep dan tiga buah sepeda motor menuju ke Talangsari III desa Rajabasa lama memenuhi undangan War, dari kantor desa Rajabasa lama rombongan Kasdim 0411 ini dipandu oleh Kapten Soet beriringan menuju markas jama‘ah Warsidi yang berjarak kurang lebih 7 Km. Iring-iringan rombongan ini dibagi menjadi tiga, yakni regu Koramil, regu Kasdim, dan regu Camat. Kapten Soet dengan mengendarai sepeda motor berada di barisan depan dan disusul dua jeep kendaraan Kasdim, dan diikuti oleh camat Zul. Tengah hari (11.30 wib) rombongan sampai di lokasi, suasana sepi seperti tidak ada penghuni. Tanpa didahului dialog dan memberi peringatan terlebih dahulu, mereka menembaki perkampung pada saat jama‘ah baru tiba dari sawah dan ladang. Penyerbuan ini diawali dengan tembakan satu kali dari aparat. Para jama‘ah War secara tegang dan ganas menyambut serangan tersebut sambil meneriakkan pekik “Allahu Akbar” dan bersenjatakan panah, golok dan parang, yang lainnya ikut menyusul dan menyambut kedatangan rombongan Kapten Soe (Danramil Way Jepara) dengan seperangkat alat pembunuh. Suara takbir disambut susul-menyusul bagaikan nyanyian perang sabil. Puluhan anggota jama‘ah War bertabur, keluar dari rumah-rumah bambu sambil mengacungkan senjata pembunuh menyambut serangan rombongan pejabat yang datang. Ketegangan dan pertikaian nampaknya memang tidak bisa dihindari, menurut penuturan Mar (kakak kandung War) menuturkan berikut ini; Saat itu aparat datang dengan mengacungkan senjata mau menangkap kita, masa dibiarkan. Anak-anak sudah ditangkapi pada malam Senin itu. Ada lima orang yang dibawa dan belum kembali. Sekarang dia datang, pasti akan menangkap lagi, jadi kita bunuh saja. Apalagi suasananya sudah kacau dan tidak menentu, jadi saya tidak bisa berpikir lain.(Wawancara, 25 Januari 2014),
Ketika salah satu anggota jama‘ah meneriakkan takbir yang tergambar dalam benaknya adalah isyarat perang. Pertempuran yang tidak seimbang ini berlangsung kurang lebih setengah jam, malang bagi Kapten Soe tubuhnya tertembus anak panah beracun. Melihat Kapten Soe terhuyung-huyung sambil mengacung-ngacungkan pistolnya, Mar segera mengejarnya dan dengan sekali tebas di pundaknya, Soe masih sempat menghindar dan melarikan diri. Mar pun mengejar, dan dengan sekali tebasan lagi tepat mengenai tengkuknya bagian belakang dan akhirnya tewas dan Sertu Yat cidera terkena panah. Sedangkan anggota rombongan yang dipimpin oleh Mayor OS melarikan diri dan jama‘ah berhasil menyita sebuah Jeep, dua sepeda motor, sepucuk pistol dan uang tunai lebih kurang 1.000.000,- Di pihak jama‘ah, dua orang cidera berat berupa luka tembak. Masih pada hari yang sama pukul 12.30 setelah melakukan penyerangan terhadap rombongan pejabat, di markas Cihideung terjadi perdebatan antara sesama jama‘ah yang pro dan kotra atas tindakan yang baru saja mereka lakukan, suasana jama‘ah di markas War menjadi tidak mengental. Persatuan antara jama‘ah buyar setelah sadar bahwa mereka telah membunuh aparat keamanan yakni Kapten Soe (Danramil Way Jepara). Ternyata tidak semua anggota jama‘ah War setuju dengan perlakuan itu, akhirnya mereka yang tidak mempunyai nyali kemudian meninggalkan markas di Cihideung melalui berbagai jalan diantaranya
102
melalui Pakuan Aji, Talangsari dan Kelahang. Masyarakat di sekitar menggambarkan adanya ketakutan yang menghantui wajah mereka setelah terjadi pembunuhan terhadap aparat keamanan (Kapten Soe Danramil Way Jepara), hal ini sebagaimana dituturkan oleh Sukidi : .........Setelah terjadi pembunuhan terhadap kapten Soetiman (Danramil Way Jepara), siang itu adasebagian anggota komunitas Warsidi yang lari meninggalkan lokasi. Warga saya menceritakan, anak buah Warsidi yang keluar lokasi itu benar-benar seperti pindah. Laki-laki, perempuan, dan anak-anaknya pun dibawa pergi. Jumlah mereka yang pergi meninggalkan Warsidi diperkirakan sekitar 70 sampai 80 orang. Sambil berjalan keluar, mereka mengatakan: "Jangan ikut Warsidi lagi. Kita ini ingin hidup. Orang Islam kok membunuh. Kita nggak mau mati, kita ingin hidup".(Wawancara, 23 Januari 2014)
Dengan melihat adanya eksodus besar-besaran yang dilakukan oleh anggota komunitas War di Talangsari, menunjukkan berpudarnya komitmen sebagai unsur untuk melakukan tindakan kolektif, hal ini boleh jadi disebabkan oleh keterjebakan untuk hijrah di perkampungan muslim yang selama ini digembargemborkan oleh para elit (aktor) baik lokal maupun supralokal. Disaat yang bersamaan War sebagai pimpinan komunitas mengirim utusan (Ben) untuk mencari Fad agar segera kembali ke Markas Cihideung. Setelah sampainya di markas Cihideung, War memerintahkan Faduntuk mengubah strategi perlawanan setelah menyadari Kapten Soet terbunuh oleh anggota komunitasnya, yakni dengan menciptakan huru-hara atau kekacauan di suluruh wilayah lampung khususnya di Sidorejo dan Bandar Lampung, agar aparat keamanan sibuk dan tidak terkonsentrasi di Cihideung. Mendapatkan perintah dari War untuk menciptakan kekacauan ini, maka anggota komunitas dibawah kepemimpinan Fad di Sidorejo melakukan musyawarah di Mushola Al-Barokah milik Zam, munsyawarah menyepakati pembentukan kelompok aksi yang dibagi menjadi dua kelompok, yakni satu kelompok yang mengacau di Sidorejo dan satu kelompok lain membuat kekacauan di Bandar lampung di bawah kepemimpinan Riy. Sore harinya (19.30) Fad berangkat dari markas Cihideung dengan membawa pasukan dan singgah di markas Sidorejo (rumah Zam). Pukul 20,00 Wib mereka berangkat ke Bandar Lampung dengan tujuan melakukan penyerang di markas Komando Resort Militer (Korem 043 Garuda Hitam) melalui Sribawono ke jurusan Panjang yang berjarak kurang lebih 50 Km. Untuk mempercepat perjalanan, mereka menyewa angkutan umum.ketiganya kembali ke Sidorejo untuk menjemput anggota pasukan khusus lainnya yang masih siaga di rumah Zam. Kesebelas anggota pasukan khusus ini berangkat (minus Son yang tetap tinggal di Sidorejo) ke Tanjung Karang untuk melaksanakan perintah War. Di tengah jalan, Pratu BW, personel TNI dari Batalyon 043 Garuda Hitam mendesak ikut colt Wasis yang sudah dicarter ini untuk menuju Tanjung Karang, meskipun Fad telah membujuknya agar pratu BW mau mengerti. Akhirnya Pratu BW sepakat dibawa serta. Dalam perjalanan mereka saling berdialog dan saling memperkenalkan diri bahkan bercerita tentang kejadian di Cihideung tadi siang, dengan gagahnya Pratu BWmengatakan bahwa dirinya besok (7 Februari 1989) akan ikut melakukan penyerangan ke Cihideung.
103
Mengetahui hal ini, komandan pasukan khusus berinisiatif menghabisi Pratu BWdengan mendapat bantuan dari anggota pasukan lainnya. Pratu BW dihujani tusukan hingga tewas. Menyadari adanya pembunuhan sopir angkutan (Sab) lari meninggalkan kendaraannya namun naas ia dapat ditangkap dan dibunuh oleh anggota komunitas Warsidi sedangkan kernetnya (Mat) luka parah. Karena sopir dan kenek melarikan diri, kemudi diambil alih oleh SY, dan melanjutkan perjalanan ke Tanjung Karang. Di Tanjung Karang, sebelum melakukan aksi, diputuskan untuk mengisi bahan bakar dulu di pom bensin. Sialnya, lampu mobil mati, sehingga tidak layak untuk tetap digunakan dalam melakukan aksi ke Polres Tanjung Karang dan Korem 043 Garuda Hitam. Karena dikhawatirkan, dalam keadaan lampu mobil yang tidak hidup, di tengah jalan keburu kena tilang atau ditangkap polantas. Akhirnya rencana serangan ke Polres Tanjung Karang dan Korem Garuda Hitam gagal dilaksanakan. Kemudian Riy dan anggota jama‘ah melakukan penyerangannya di harian umum Lampung Post dengan melemparkan bom molotov namun tidak meledak dan hanya mengakibatkan pecahnya kaca cendela. Harian Lampun Post mendapatkan serangan akibat harian ini sering memuat berita yang menyudutkan kelompok jama‘ah Warsidi. Menurut keterangan Fad (45 th): Setelah gagal meledakkan kantor Lampung Post, pasukan melanjutkan perjalanan ke Metro Lampung. Di tengah jalan ada razia polantas. Kendaraan distop oleh polantas, namun SY menolak, malahan polantas tadi ditabrak hingga pingsan, setelah sebelumnya berusaha meloncat untuk menghindari serudukan colt yang dikemudikan SY.Setelah menyeruduk polantas, diputuskan untuk menyembunyikan mobil ke hutan Tigeneneng (Tegineneng). Namun belum sampai disembunyikan, mobil telah lebih dulu terperosok ke dalam parit sehingga harus ditinggalkan. Pasukan berjumlah 11 orang ini pun masuk ke dalam hutan Tigeneneng (Tegineneng), bersembunyi hingga jam 07:00 pagi hari berikutnya tanggal 7 Februari 1989. (Wawancara, 14 April 2014).
Pasukan khusus ini belum tahu bahwa saat itu sejak pagi hari tadi aparat sudah mengepung Cihideung, dan sudah berlangsung peperangan yang konyol antara komunitas Warsidi dengan aparat. Komandan pasukan mengutus 3 orang di antara mereka (Ben, Muc dan Muh) ke Cihideung untuk meminta petunjuk dari War. Ternyata Mus kembali ke hutan hanya seorang diri (tanpa Ben dan Muc), sekitar jam 12:00 siang. Ia memperingatkan agar pasukan segera meninggalkan hutan karena sudah dikepung aparat. Mus pun bergabung dengan Ben dan Muc berinisiatif melakukan aksi penyerangan ke Kodim Metro tanpa sebelumnya mendapat perintah dari komandan pasukan. Setelah mendapat peringatan dari Mus, Komandan memutuskan untuk ke Cihideung, dengan menempuh jalur berbeda. Anggota pasukan yang tersisa 8 orang dibagi menjadi tiga kelomopok. Kelompok pertama terdiri dari Riy, Zai dan Her tiba di Cihideung sekitar jam 16:00 wib sore hari, ketika perang sudah usai. Kelompok kedua, terdiri dari Fad dan TN. Kelompok ketiga terdiri dari SY, Abl dan Sad, kedua kelompok ini tiba pukul 19:00 dan 20:00 malam ketika itu Cihideung sudah rata dengan tanah. Satu kelompok lain melakukan kekacauan di desa Sidorejo Lampung Tengah yang berjarak kurang lebih 30 Km dari lokasi Cihideung Talangsari. Saat itu sekitar pokol 08.00 Wib At (anggota Banpol) sektor Gunung Balak mencurigai sebuah rumah milik Zam sebagai tempat persembunyian anggota komunitas War
104
yang tadi malam melakukan aksi teror di Bandar Lampung, merampas colt angkutan umum dan membunuh Pratu BW.At bertemu dengan istri Zam, dan dipersilakan masuk. Tak berapa lama, At keluar lagi dari rumah itu sambil dikejar oleh seseorang dari dalam rumah yang di tangannya mencencang sebilah golok sambil meneriakinya ―maling…‖ At dikejar hingga sejauh 200 meterAt pun masuk ke rumah salah satu penduduk setempatMuk untuk menyelamatkan diri. Si pengejar tidak terus mengejar hingga ke dalam rumah Muk, akan tetapi berbalik arah ke rumah Zam. Di tengah jalan, di depan Pos Polisi ia dicegat Serma Soed (Kepala Pos Polisi) dan memerintahkannya untuk berhenti. Permintaan itu ditolak, dan berlanjut dengan terjadinya perkelahian. Serma Soed tewas dibacok, setelah sebelumnya sempat menembak Gio, anggota jamaah Warsidi di Sidorejo. Korban lain adalah AS (Lurah Sidorejo) ditebas batang lehernya oleh Zam hingga tewas di tempat. Masih ada satu lagi korban dari aparat kepolisian bernama Sem. Ia ketika itu sudah roboh di tanah dan dipegangi oleh pak Ron menjadi sasaran tembak dari jarak dekat oleh salah satu jama‘ah Warsidi bernama Fah. Namun karena kurang terbiasa menggunakan senjata api, tembakan itu meleset dan justru mengenai kaki Sem ketika itu pura-pura mati, namun begitu ada kesempatan lari, ia pun melarikan diri secepat-cepatnya. Setelah terjadi bentrokan antara anggota jama‘ah War dengan aparat keamanan tersebut, suasana di desa Sidorejo menjadi tegang dan mencekam. Sore harinya sekitar pukul 15.00 Wib datang pasukan Brimob dari Polresta Lampung Tengah dan melakukan pengepungan terhadap rumah Zam karena diduga rumah tersebut dijadikan sembagai markas anggota jama‘ah War, rumah tersebut diporakpandakan dan kemudian dibakar.
7 PELABELAN GEROMBOLAN PENGACAU KEAMANAN DALAM PERLAWANAN PETANI Perlawanan komunitas petani di Talangsari akibat adanya ketidakadilan telah melahirkan tragedi nasional dalam panggung sejarah Indonesia kontemporer. Sejarah mengenai tragedi Talangsari tahun 1989, sekalipun telah berlalu hampir 26 tahun, akan tetapi masih tetap menyisakan persoalan-persoalan besar bagi bangsa Indonesia hingga saat ini. Peristiwanya sendiri masih tetap diselimuti kabut tebal misteri tetapi luka-luka yang ditimbulkan masih membekas dalam tatanan kehidupan berbangsa di republik ini, khususnya bagi para korban. Negara dengan melakukan konsolidasi kekuasaannya mencoba untuk membungkam secara paksa terhadap kekuatan-kekuatan penentang baik dengan menggunakan aparatur sipil dan militer serta merangkul tokoh-tokoh masyarakat sehinggapara korban Talangsari yang masih hidup sampai hari ini masih harus menanggung stigma buruk yang telah dilekatkan oleh negara pada dirinya. Kutukan dan kecaman dengan bahasa yang seragam dinyanyikan oleh rakyat Indonesia dan juga umat Islam, baik dari kalangan ulama, aparat sipil dan militer, organisasi massa dan organisasi politik untuk ikut ambil bagian.
105
Stigma negatif berkembang dengan mengaitkan bahwa perlawanan komunitas petani Talangsari atau disebut tragedi Talangsari adalah persoalan vertikal antara komunitas Warsidi dengan negara. Gerakan perlawanan komunitas petani Talangsari yang dipimpin oleh elit agama pedesaan, dianggap sebagai gerakan makar terhadap negara, suatu gerakan yang ingin ingin menggantikan dasar negara Pancasila, gerombolan pengacau keamanan, ancaman bahaya laten komunis dan sisa-sisa G30S/PKI, yang menggunakan ideologi jihad sebagai basis gerakan. Saat ini meskipun Umbul Cihideung dusun Talangsari telah dibuka dan ditempati namun kondisi pembangunannya masih jauh tertinggal dari dusundusun disekitarnya. Infrastruktur seperti aliran listrik saat ini belum mengalir ke dusun Talangsari meskipun dusun-dusun disekitarnya telah dialiri listrik. Selain itu, akses jalan, air bersih, kesehatan dan pendidikan di dusun Talangsari belum memadai. Sampai saat ini terhadap para korban dan keluarganya masih terjadi tuduhan-tuduhan dan stigma negatif (label), dianggap sebagai teroris dan anti nasionalis. Tragedi Talangsari adalah bagian dari sisi kelam sejarah bangsa Indonesia umumnya dan sejarah umat Islam khususnya.Tragedi ini didalangi oleh aktor supra lokal (NH dan SD) sebagai aktivis NII dengan memanfaatkan komunitas Islam radikal dibawah pimpinan Warsidi, sehingga stigma yang terbangun komunitas petani Talangsari adalah Islam radikal, gerakan ini menggunakan simbol Islam (jihad) dalam pemahaman yang sempit untuk dijadikan sebagai pembingkai tindakan perlawanan. Akhirnya stigma sebagai pemberontak terus membelenggu memori kolektif sebagian masyarakat bangsa ini. Implikasinya, bangsa ini terus terpenjara dalam ingatan sejarah masa silam yang kelam dan terus menerus hidup dalam sebuah relasi yang sakit (abnormal). Saat ini ideologi Islam radikal masih tetap hidup di Indonesia, sedangkan para elit (aktor) gerakan tragedi Talangsari ada yang sudah mati terbunuh dalam operasi penumpasan dan yang masih hidup telah selesai menjalani hukuman selama beberapa tahun. Namun demikian, stigmatisasi sosial sebagian masyarakat terhadap eks (korban Talangsari dengan label sebagai Islam radikal) masih terus hidup, bahkan setelah Orde Baru runtuh dan digantikan dengan era reformasi.Terlepas dari semua itu yang jelas rezim otoritarian Orde Baru telah berhasil menyematkan label pada komunitas Talangsari sebagai gerombolan pengacau keamanan yang keberadaannya harus tetap diwaspadi, hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Howard Becker (1963), bahwa; pertama, label yang diberikan kepada sesorang/kelompok diawali dengan adanya penyimpangan terhadap perilaku dan kebiasaan yang sudah menjadi mainstream masyarakat umum, perilaku menyimpang boleh jadi terjadi dengan sesungguhnya namun boleh jadi perilaku menyimpang adalah hasil rekayasa; kedua,pelabelan dengan melakukan penilaian yang dilakukan oleh terhadap perilaku/tindakan sosial yang dianggap menyimpang (devians) dari norma-norma yang berlaku, setelah itu pemegang kekuasaan akan memberi penilaian, penindakan dan juga penghukuman.
106
Penyimpangan Perilaku Komunitas Warsidi di Talangsari Labeling adalah proses melabel seseorang, artinya sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dalam kasus perlawanan komunitas petani Talangsari pelabelan sudah dilakukan oleh kekuatan supra struktur (penguasa) sejak komunitas tersebut mencoba membangun kekuatan di Cihideung Talangsari, hal itu ditandainya dengan hadirnya para aktor-aktor supra lokal (NH dan SD) yang menggagas arah perlawanan komunitas petani dari perjuangan untuk mendapatkan lahan di wilayah yang ditinggalkan yakni di desa 4-sri (Srikaloka, Srimulya, Srikaton dan Sriwidodo) menjadi perlawanan dalam rangka membentuk perkampungan muslim dengan menjadikan Cihideung sebagai basis perjuangan. Setelah hadirnya aktor supra lokal (NH, SD) yang lebih mendominasi pemikiran tentang perjuangan yang memanfaatkan simbol-simbol agama (sesuai dengan tafsir mereka) menjadikan tindakan dan perilaku komunitas petani Talangsari bersikap eklusif dan menutup diri dari masyarakat di sekitarnya, tujuan perjuangan yang mereka lakukan bukan lagi hanya untuk memperoleh kembali lahan garapan yang selama ini mereka manfaatkan, akan tetapi tujuan perjuangan mereka dalam rangka membangun sebuah perkampungan/komunitas muslim (Islamic village). Menurut keterangan FI dalam Al Chaidar (2000) bahwa; ―......Kondisi saat ini sedang tidak berpihak kepada Islam, artinya Islam sudah dipisahkan dari kehidupan bernegara, kebebasan umat Islam dibatasi. Sementara itu umat Islam terpecah-pecah karena kejumudan dan sempitnya pemahaman mereka terhadap Islam, oleh sebab itu perlu adanya penyatuan dalam bentuk negara yang dapat dimulai dari komunitas/jama‘ah yang kecil seperti yang di Talangsari.
Perubahan arah perjuangan atas gerakan perlawanan yang mereka lakukan ini sengaja dilakukan dengan melakukan mobilisasi motivasi yang dilakukan oleh aktor-aktor supra lokal, sehingga tindakan yang mereka lakukan berbentuk/bertolak belakang dengan norma-norma dan hukum yang berlaku di masyarakat. Misalnya saja membentuk perkampungan muslim (membangun negara dalam negara), hal ini jelas-jelas dianggap sebagai bentuk penyimpangan dalam perspektif negara kesatuan. Mereka juga menunjukkan perbedaan tentang pemahaman keagamaan yang mereka yakini, misalnya saja tentang penggunaan atribut keagamaan yang menunjukan identitas kolektif mereka. Identitas kolektif yangdikonstruksi oleh aktor supra struktur dan diekspresikan dalam bentuk penggunaan nama ―Mushola Mujahiddin‖ di Cihideung Talangsari memberi kesan bahwa para jama‘ahnya adalah orang-orang yang siap berjihad di jalan Allah dalam membela agama, selanjutnya simbol-simbol keagamaan seperti bagi kaum prianya mengenakan celana panjang di atas mata kaki dan berjanggut, sementara kaum wanitanya mengenakan cadar (penutut muka) dengan didominasi warna hitam. Penggunaan simbol-simbol yang mengindikasikan identitas kolektif memang bisa memunculkan perasaan positif bagai komunitas tersebut, akan tetapi pada gilirannya dapat memunculkan penilaian negatif dari orang-orang yang berada di luar komunitasnya.
107
Lebih lagi sikap mereka yang tidak bersahabat terhadap komunitas lain, seringkali Warsidi melontarkan gugatan kafir bagi orang di luar komunitasnya, hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh MT (PP. Miftahul Huda) berikut keterangannya : ―.....Saat itu jama‘ah yang mengikuti pengajian di pondok ini sudah banyak, hingga ke wilayah Cihideung Talangsari termasuk yang ada di mushola Jayus, pengajian yang sudah berjalan dengan baik ini digugat, yang berbeda dengan kelompoknya dianggap kafir, tentu saja termasuk saya, karena saya yang merintis di sana, sebelum pengajian Warsidi berkembang dengan pesat. Kelompok mereka secara terangterangan menentang pemerintah, komplek yang mereka tempati, yakni di Cihideung Talangsari‖ diberi nama ―Pondok Al Mahdil Aqwal‖ artinya sebuah tempat untuk menggalang kekuatan‖
Dengan berdasarkan keterangan tersebut, maka perilaku komunitas Warsidi semakin menunjukkan adanya penyimpangan dari mainstream ke-islam-an yang ada, artinya masyarakat sudah memberi penilaian terhadap komunitas Warsidi dengan segala perilakunya telah menyimpang, dan inilah yang diinginkan oleh kekuasaan (rezim otoritatian Orde Baru) untuk melabeli mereka sebagai gerombolan pengacau keamanan. Belum lagi sikap komunitas Warsidi terhadap aparatus daerah (Kepala dusun Talangsari III; Sukidi) yang dianggapnya sebagai penghalang untuk mewujudkan cita-citanya, perilaku komunitas Warsidi yang tidak berkenan mematuhi ketentuan sebagai warga baru ini pula yang menjadi penyebab terjadinya ketegangan antara komunitas Warsidi dengan aparatus daerah. Ini bermula saat mereka menolak untuk melaporkan kehadiran orang-orang yang didatangkan (dihijrahkan) ke Cihideung Talangsari dari tempat lain, penolakan inilah yang menjadi awal ketegangan antara War dan Suk. Sebagai kepala dusun, Sukidi mempunyai kewenangan untuk mengetahui keadaaan warganya, oleh sebab itu penolakan memenuhi panggilannya adalah sebagai bentuk pembangkangan, berikut penurutan Sukidi : Sebagai bagian dari warga masyarakat Talangsari, maka setiap warga mempunyai hak dan kewajiban, salah satu kewajiban yang harus ditaati adalah kewajiban sosial, seperti ronda malam, gotong royong membersihkan lingkungan dusun, hanya saja Warsidi dan jama‘ahnya selalu menolak untuk ikut serta dalam kegiatan –kegitan tersebut dengan alasan dalam Al-Qur‘an tidak ada perintah gotong royong, dan ronda malam.
Pembangkangan/mbalelo ini pun berlanjut sampai dengan melakukan penolakan saat di panggil oleh pihak keamanan (Danramil Way Jepara) Kapten Soe, penolakan dengan alasan tidak sepantasnya seorang ulama mendatangi umaro, bahkan saat aparatus daerah mendatangi komunitas Warsidi mereka disambut dengan tindak kekerasan yang berujung pada tewasnya Kapten Soe, yang semakin menguatkan adanya perilaku menyimpang dari komunitas Warsidi di Cihideung Talangsari. Tindakan penolakan untuk menghadap an melapor terhadap pemegang kekuasaan wilayah ini dianggap sebagai bentuk perlawanan secara terbuka yang dilakukan oleh komunitas Warsidi di Talangsari, dan disikapi secara berlebihan oleh aparat setempat dengan melabel mereka sebagai pemberontak dan gerombolan yang berkeinginan mendirikan negara di dalam negara, walaupun sebenarnya komunitas Warsidi tidak pernah berpikir demikian, yang penting bagi mereka adalah tercukupi kehidupan ekonominya.
108
Pelabelan Terhadap Penyimpangan Komunitas Warsidi di Talangsari Bagian terpenting dari pelabelan, menurut Becker adalah penilaian, oleh sebab itu setelah melakukan rekayasa terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh aktor supra lokal dalam bentuk perlawanan, maka tahapan berikutnya secara serempak intrumen-instrumen kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru secara serempak memberi penilaian atas penyimpangan-penyimpangan komunitas Warsidi sebagai gerombolan pengacau keamanan. Perlawanan komunitas petani Talangsari pada tahun 1989 terjadi pada masa rezim Orde Baru berkuasa yang berakibat tersudutnya Islam politik di pentas politik nasional. Meskipun perlawanan ini dilatari oleh adanya ketidakadilan petani dalam mengakses sumber daya agraria (tanah), ketika rezim Orde Baru sedang gencar-gencarnya memperkenalkan pembangunan di sektor pertanian yakni revolusi hijau, peran aktor supra lokal dalam gerakan tersebut mengindikasikan bahwa gerakan perlawanan komunitas petani Talangsari/tragedi Talangsari sarat dengan kepentingan politik. Perlawanan ini mengakibatkan banyaknya korban jiwa, terutama dari komunitas petani yang mencapai 246 orang yang hingga kini dinyatakan hilang. Namun demikian upaya untuk menstigmatisasi terhadap gerakan perlawanan petani komunitas Talangsari terus dilanjutkan dengan melakukan penangkapan dan penahan para anggota komunitas tersebut, baik yang ada di Lampung maupun yang berada di luar lampung. Sebenarnya perlawanan komunitas petani Talangsari hanyalah bagian kecil dari rekayasa Intelejen Orde Baru dibawah kekuasaan Soeharto dalam upaya melemahkan Islam politik dengan membangun citra ―Islam‖ sebagai pemberontak yang sudah dilakukan sejak pertengahan tahun 1970-an, semisal Komando Jihad (Komji) di Jawa Timur. Hal ini dilakukan mengingat pada pertengahan tahun tersebut terdapat tanda-tanda pemerintah akan menghadapi kekecewaan besar selama pemilihan umum karena penetrasi partai Islam yang begitu dalam di kalangan pemilih Golkar. Padahal pemerintah telah berusaha dengan segala kekuatannya untuk mendukung anggota MPR yang sebagian besar hasil penunjukan. Suatu kenaikan pemilih partai Islam dengan kerugian Golkar bagaimanapun tidak akan mengancam terpilihnya kembali Soeharto untuk ketiga kalinya pada 1978 selama lima tahun berikutnya. Namun Istana beranggapan, hal ini tetap dianggap sebagai suatu kehilangan muka bagi kelompok penguasa, dan dipandang sebagai hilangnya kekuatan memelihara harmoni. Oleh sebab itu, pemerintah berusaha untuk melemahkan posisi oposisi politik Islam, sebagaimana dijelaskan oleh David Jenkis dalam buku ―Soeharto dan Barisan Jendral Orde Baru (2010); ........Operasi utama perlu dilakukan terhadap partai Islam dengan cara merusak partai tersebut,mencitrakan sebagai ekstremisme politik yang tidak jelas dengan impian membangun negara Islam, penguasa menyebarkan adanya konspirasi anti pemerintah di kalangan umat Islam tertentu yang terungkap menjelang pemilihan umum yang disebut dengankomando Jihad.(David Jenkis, 2010; 63)
109
Cara-cara yang dilakukan oleh penguasa, adalah bagian dari membangun citra diri partai Islam (PPP) dengan citra negatif, bahkan pemerintah secara jelas menempatkan partai Islam (PPP) ini di pojok yang sangat sempit. Demikian halnya dengan tragedi Talangsari 1989, label sebagai pemberontak atau gerombolan mujahidin fisabilillah jelas adalah dalam upaya untuk membangun citra partai Islam (PPP), sehingga dalam pemilu 1992 Partai Islam (PPP) berada dalam posisi yang terpuruk. Beberapa bentuk pelabelan (stigmatisasi), yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru secara umum dapat dibagi menjadi dua type, sebagaimana di menurut Antonius (1997), pelabelan itu melalui dua cara; pertamapelabelan dengan melakukan penilaian yang dilakukan oleh terhadap perilaku/tindakan sosial yang dianggap menyimpang (devians) dari norma-norma yang berlaku, sedangkan yang kedua, pelabelan juga dapat dilakukan dengan melakukan intervensi dalam bentuk tindakan. Oleh sebab itu dalam kamus politik rezim Orde Baru, upaya stigmatisasi terhadap kekuatan Islam politik adalah dengan memunculkan kasus melalui program operasi khusus (Opsus). Opsus sering disebut sebagai invisible goverment yang dipimpin Ali Murtopo, melakukan hal yang sama kepada perjuangan Darul Islam. Dengan menggunakan sistem pola ―pancing dan jaring‖ mereka membuat berbagai jebakan kepada para pejuang mujahidin, seakan-akan setiap terjadinya kerusuhan di wilayah kekuasaan Republik Indonesia, sebagai pelaku utamanya adalah orangorang Darul Islam, sehingga menimbulkan kesan publik yang menyatakan bahwa para pejuang Darul Islam selalu ingin mengadakan konfrontasi dengan pihak ABRI dan penguasa, melalui tindakan pengacauan, pemberontakan dan lain sebagainya. Rekayasa ini merupakan gambaran yang terang dari rezim Orde Baru, bahwa mereka tidak ingin sama sekali resistensi politik Islam yang diperjuangkan oleh umat Islam pada umumnya dan para pejuang Darul Islam khususnya untuk mengembagkan terus ideologi Islamnya di percaturan politik, yang mereka kehendaki adalah Islam hanya sebatas ritualitas belaka tanpa ikut campur dalam urusan negara. Dengan tercapainya suasana persinggungan, maka menimbulkan sikap di kalangan umat Islam alergi dan rasa tidak simpati umat Islam terhadap negara Islam. Setelah itu rezim Orde Baru secara serempak melakukan stigmatisasi (label) terhadap gerakan tersebut, mereka (negara, aparatur militer dan sipil), partai politik dan organisasi sosial agama/kemasyarakat secara bersama-sama melabeli sebagai gerombolan pengacau keamanan. Pelabelan (Stigmatisasi) Melalui Kekuasaan Oleh Negara Negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap warganya, sehingga pemerintah berkewajiban untuk memberikan hak-hak azasi tanpa adanya pembedaan antara warga yang satu dengan yang lain, antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Namun dalam pelaksanaannya terkadang negara membedakannya, hak-hak warga negara hanya diberikan kepada mereka yang dianggap bersih dari catatan kejahatan, lebih-lebih kejahatan yang dianggap dapat merongrong kewibawaan kekuasaan, maka bisa dipastikan mereka akan
110
diperlakukan secara tidak adil, baik secara politik-ekonomi-sosial budaya, bahkan yang lebih miris lagi mereka di labeli/stigma sebagai musuh negara. Negara orde baru sangat berkepentingan dengan beberapa kasus yang berkaitan dengan gerakan Islam politik, sejak awal gejala yang muncul dari adanya kekalahan Partai Komunis Indonesia (PKI) membuat politik umat Islam mendapatkan angin segar, dan ditangkap gejala tersebut oleh pemerintah dengan satu prediksi bahwa politik umat Islam memiliki kecenderungan hendak memperkuat posisinya, dimana kekuatan tersebut yang akan menghancurkan citacita nasionalisme sekuler yang telah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Hal ini disadari betul oleh Angkatan Darat, bahwa di kalangan umat Islam masih terdapat bibit-bibit ekstrimisme yang sangat potensial dan suatu saat bisa muncul kepermukaan. Pemerintah Orde Baru saat itu melihat umat Islam sebagai ancaman yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan politik yang sedang dijalankan untuk memodernisasikan Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah orde baru menamakannya dengan terminologi ekstrimis kanan terhadap umat Islam, selain Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai ekstrimis kiri yang merupakan bahaya laten yang dapat mengancam eksistensi pemerintahan Orde Baru. Perlawanan komunitas Talangsari di samping karena mereka terusir dari kawasan hutan lindung register 38 Gunung Balak, juga disebabkan akibat adanya kecurigaan pemerintah terhadap Islam dan kritik keras serta penolakan masyarakat terhadap kebijakan politik rezim Orde Baru yang menetapkan azas tunggal ―Pancasila‖ yang dihadapi dengan kekuatan senjata dan pembantaianan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Soemitro dalam buku biografinya ―Pangkopkamtib Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 ia menyatakan : ...........‖Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya, sejak awal menyadari tentang kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam. Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI-yang kemudian diperkuat dengan keputusan pembubaran PKI- secara politis mengakibatkan naiknya pamor politik Islam, sehingga terjadi ketidakseimbangan (imbalance). Sayap Islam yang sedang mendapatkan angin kemudian cenderung hendak memperkuat posisinya. Padahal disadari oleh Angkatan Darat ketika itu bahwa di dalam sayap Islam masih terdapat bibit ekstrimisme yang amat potensial. Oleh sebab itu, kebijakan umum militer adalah menghancurkan kekuatan kiri (PKI), dan menekan (bukan menghancurkan) sayap Soekarno, dan ―sambil berhati-hati untuk mencegah naiknya Islam‖.
Anggapan militer bahwa Islam mengancam integrasi nasional menimbulkan ekses yang negatif terhadap perkembangan Islam pada masa awal Orde Baru. Gerakan Islam yang tidak bertujuan politik pun senatiasa dicurigai seperti pelaksanaan Tabligh Akbar yang harus mendapat izin dari pejabat militer setempat. Pemberontakan Darul Islam telah meninggalkan bekas pada hubungan Islam dan negara, dan mengendap menjadi sumber kecurigaan yang tidak habishabisnya terhadap Islam politik di benak elit milter dan politik serta berbagai kelompok minoritas non-muslim, dan mempengaruhi banyak kebijakan pemerintah terhadap Islam di masa Orde Baru. Oleh sebab itu, perlawanan komunitas petani Talangsari dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru untuk menjustifikasi adanya gerakan politik Islam yang ingin memanfaatkan agama sebagai istrumen untuk melakukan tindak makar (kekerasan), hal ini terbukti seminggu setelah terjadinya tragedi Talangsari,
111
secara resmi negara Orde Baru dalam sebuah berita yang dimuat oleh harian surat kabar nasional, Presiden Soeharto menyatakan : .......Tragedi Talangsari menunjukkan masih ada orang yang ingin menyalahgunakan agama (jihad) untuk kepentingan yang sesungguhnya bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Oleh karena itu, perlunya peningkatan kewaspadaaan masyarakat. (Angkatan Bersenjata, 13 Februari 1989).
Pernyataan pimpinan negara yang diberitakan oleh surat kabar nasional ini merupakan bentuk konstruksi sosial yang memegang peranan penting dalam proses melabel komunitas petani Talangsari sebagai komunitas yang menyalahgunakan ajaran agama Islam untuk merongrong kedaulatan negara. Penggunaan media massa dalam melabel orang/sekelompok orang sangat efektif pengaruhnya. Satu peran yang pasti, yang dilakukan media massa dalam mengkostruksi label adalah dengan mendramatisasi berita ataupun informasi yang menjadi konsumsi publik. Pada masa Orde Baru pers berperan sebagai guard dog (anjing penjaga) bagi penguasa, seperti untuk meredam opini publik, meligitimasi keputusan politik penguasa dan mementingkan kepentingan diri sendiri. Menyahuti pernyataan presiden Soeharto dalam harian nasional (Angkatan Bersenjata), beramai-ramai aparatus dibawahnya ikut pula bernyanyi dengan senandung yang sama. Lebih-lebih pada masa rezim Orde Baru, kekuasaan presiden mutlak dan absolut artinya tidak ada satu kekuatan yang berani berbeda dan menentangnya. Aparatus dibawahnya apakah itu sipil lebih-lebih militer sudah bisa dipastikan akan mempunyai suara yang sama, kalaupun tidak bersuara paling tidak akan mengamini tindakan atasannya. Hal ini terjadi mengingat struktur kekuasaan yang dibangun oleh Soeharto melalui rezim Orde Baru sangat kokoh. Saat itu basis kekuasaan Soeharto sangat luas dan kuat, bahkan melebihi seorang ―primus inter pares (yang terunggul diantara sesama) dalam kepemimpinan kolegal Angkatan Darat (AD). Soeharto bertengger di puncak piramida dengan mendudukkan setiap orangnya pada posisi kunci eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam setiap cabang pemerintahan. Soeharto mendominasi kabinet serta jajaran birokrasi, mendominasi ABRI dan menguasai sepenuhnya menteri Pertahanan dan Keamanan serta Panglima Kopkamtib yang begitu berkuasa dalam pemulihan keamanan dan ketertiban. Soeharto merupakan tokoh sentral di Golkar, suatu organisasi politik yang didukung oleh militer (Angkatan Darat) dengan cara melumpuhkan gerak dua partai oposisi (Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia). Ia juga menguasai seluruh bagian badan yudisial yang lemah dengan mendudukkan kolega lamanya di posisi kunci. Geliat kekuasaannya menembus setiap departemen dan masuk kedalam seluruh perusahaan negara, bahkan merengsek sampai kebawah dan jika dikehendaki sampai kesetiap desa. Soeharto menggenggam kekuasaan sangat besar, baik karena UUD 1945 memberi kekuasaan besar kepada presiden maupun karena dirinya memiliki pengaruh dominan dalam Angkatan Darat, dan sebagai tokoh besar dalam masyarakat Indonesia yang sangat menghormati otoritas secara mendalam. Struktur kekuasaan yang seperti ini merupakan cerminan dari sistem pemerintahan Indonesia yang dibangun oleh Soeharto memiliki kesamaan dengan kekuasaan di Jawa pada masa sebelum penjajahan Belanda, sebagaimana
112
dijelaskan oleh David Jenkis dalam buku ―Soeharto dan Barisan Jendral Orde Baru (2010); .........‖Tata pemerintahan Jawa merupakan “kerucut cahaya yang memancar ke bawah lewat lampu reflektor”, artinya pemikiran tradisional Jawa mengabaikan pendekatan hirarki, ―karena hirarki mengandung arti suatu derajat otonomi pada berbagai tingkatan‖, sedangkan secara ideal yang diperlukan adalah sumber kekuatan dan otoritas tunggal dan mudah tersebar. Intinya pemerintahan tradisional Jawa adalah sang penguasa yang mencerminkan personifikasi kesatuan masyarakat.
Melihat pola hubungan antara penguasa dan struktur pemerintahan era Orde Baru, yang merupakan reflikasi (imitatif) dari pola hubungan tradisional antara penguasa dan struktur pemerintahan dan struktur administrasi kerajaan Jawa sebelum masa kolonial, secara menakjubkan begitu cocok dengan model birokrasi Weber tentang negara patrimonial. Weber dalam Santoso (1997;23), menyatakan bahwa: ...........‖Birokrasi patrimonial, individu-individu dan golongan penguasa berupaya mengontrol kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan kekuasaannya, oleh sebab itu setiap pejabat disaring atas dasar kreteria pribadi dan politik, jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan, pejabat mengontrol fungsi politik dan administrasi, setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Tujuan pribadi penguasa meruapakan hal yang pokok dalam sepak terjang pemerintahan kendatipun mereka dibatasi oleh fungsi-fungsi sebagai seorang pemimpin‖.
Menurut model ini, pemerintah pusat pada dasarnya merupakan perluasan rumah tangga penguasa beserta pembantunya. Para pejabat diberi kedudukan dan hak-hak penghasilan yang menyertainya sebagai penghargaan pribadi penguasa dan dapat diberhentikan atau diturunkan posisinya berdasarkan kemauan pribadi penguasa. Oleh sebab itu, meskipun secara formal struktur administrasi bersifat hirarkis, pada kenyataannya terdiri dari sekelompok lapisan dalam hubungan patron dan klien. Selanjutnya, baik di daerah maupun di pusat para pejabat dikelilingi oleh sekelompok bawahan pembantu pribadi dalam model penguasa tertinggi. Nasib para bawahan tersebut tergantung pada keberhasilan atau kegagalan patron mereka, sistem patronase terbangun dengan adanya ikatan antara patron dan clien. Bawahan (clein) mempunyai kesetiaan dan kepatuhan terhadap atasan (patron) dalam pola hubungan yang bercirikan tradisional Jawa, sehingga berimplikasi pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh bawahan (clein) senantiasa sejalan dengan kebijakan patron. Clien (bawahan) akan bersuara sesuai dengan nyayian patron, tindakan clien yang demikian merupakan wujud nyata dari kesetian clien terhadap patron yang selama ini telah memberi perlindungan. Oleh sebab itu, ketika presiden Soeharto sebagai atasan (patron) menyatakan bahwa perlawanan komunitas Talangsari adalah orang (sekelompok orang) yang menyalahgunakan doktrin-doktrin agama (jihad) untuk kepentingannya, maka semua bawahan (clien) akan bersuara yang sama. Bisa dilihat bagaimana respon/pernyataan bawahan presiden Soeharto dalam menyikapi gerakan perlawanan komunitas petani di Talangsari, mereka akan mengecam dan mengutuk tindakan tersebut tanpa harus terlebih dahulu mengetahui lebih jauh dan mendalam apa yang melarbelakangi perlawanan
113
tersebut. Tindakan perlawanan komunitas petani Talangsari dianggap sebagai bentuk penyimpangan dari norma-norma dalam berkehidupan berbangsa sebagaimana yang dirumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945, anggapan ini lahir karena seminggu sesudah kejadian tepatnya pada tanggal 13 Februari 1989, presiden Soeharto melalui media masa nasional (Angkatan bersenjata) sudah menyatakan (melabel/stigma) bahwa gerakan perlawanan petani Talangsari adalah gerakan yang menjadikan agama sebagai alat untuk mencai tujuan, tanpa melihat persoalan yang lebih jauh misalnya masalah ketidakadilan agraria atau persoalan pengusiran warga dari area register 38 Gunung Balak. Pernyataan presiden Soeharto selaku panglima tertinggi dalam struktur militer di Indonesia (patron), langsung mendapatkan dukungan kongkrit dari bawahan-bawahan (cliennya), Panglima ABRI Jendral TS menyatakan bahwa ; ―Operasi keamanan oleh aparat setempat terus berlanjut untuk menumpas habis kegiatan gerombolan pengacau keamanan Mujahiddin Fisabilillah di dusun Talangsari Lampung Tengah‖. (Angkatan Bersenjata, 14 Februari 1989)
Pernyataan Try Soetrisno sebagai Panglima ABRI (clien) ini merupakan pembenaran setiap tindakan tegas yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap komunitas petani Talangsari yang sudah mendapatkan label sebagai gerombolan pengacau keamanan yang dapat menggoncangkan stabilitas nasional dan merongrong pembangunan nasional serta nyata-nyata anti ideologi negara Pancasila dan UUD 1945, karena sehari sebelumnya Soeharto sebagai (patron) sudah terlebih dahulu memberi pernyataan yang sama maknanya. Demikian pula pernyataan yang disampaikan oleh Kapuspen ABRI Brigjen TNI Nur, sebagai clien (bawahan) yang mempunyai keterkaitan dengan Soeharto sebagai presiden (patron), pelabelan terhadap gerakan perlawanan komunitas Talangsari sebagai gerakan pengacau keamanan Warsidi, sebagaimana pernyataan yang disampaikan kepada antara, yaitu ; .......‖sekelompok orang yang menamakan dirinya Mujahiddin Fisabilillah yang membuat kekacauan di Lampung Tengah pekan lalu adalah Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang mencatut nama Islam. Mereka adalah anggota GPK pimpinan Anwar alias Warsidi yang mencatut nama Islam.(Kompas, 15 Februari 1989)
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ketua Bakorstanasda Mayjen TNI R. Sun, atas nama negara demi terwujudnya stabilitas nasional dan tegaknya Pancasila dan UUD 1945 ia menegaskan bahwa: Anggota gerombolan Mujahidin Fisabilillah yang sudah ditangkap berjumlah 19 orang, saat ini mereka sedang diperiksa dan diteliti secara intensif. Gerakan perlawanan komunitas Warsidi memiliki tujuan strategis jangka panjangnya adalah untuk merongrong Pancasila dan mengubah negara kesatuan. Komando Mujahidin Fisabilillah adalah gerakan subversif yang menggunakan agama sebagai basis gerakan (Pelita, 10 Febuari 1989).
Beberapa pernyataan dalam bentuk penilaian yang dilakukan oleh negara terhadap gerakan perlawanan komunitas Talangsari semakin menyudutkan, bahwa gerakan yang terjadi adalah bentuk penyimpangan terhadap konstitusi yang ada di negara Republik Indonesia. Sementara itu, dari aparat sipil negara juga ikut ambil bagian dalam menstigma negatif terhadap gerakan perlawanan komunitas
114
Talangsai, hal ini sebagaimana penilaian Menteri Dalam Negeri Jendaral (Purn) Rudini. ...........‖Gerombolan pengacau itu bukan orang-orang yang tinggal di hutan lindung Lampung Tengah, akan tetapi sekelompok gerombolan yang menamakan dirinya ― Komando Mujahidin Fisabilillah‖ yang telah membunuh dan melukai aparat keaman dan aparat pemerintah, mereka adalah sekelompok ekstrimis kanan, bukan sekedar melanggar hukum akan tetapi sudah berbentuk perlawanan terhadap pemerintah‖ (Pelita, 14 Februari 1989)
Langkah kongkrit dilakukan pemerintah daerah melalui Kantor Wilayah Departemen Agama (Kanwil Depag) propinsi Lampung bersama dengan Korem 043 Garuda hitam sebagai pihak bertanggung jawab atas keamanan teritorial melakuan pertemuan di Aula Kanwil Depatemen Agama yang diikuti oleh pimpinan pondok pesantren, guru-guru agama, juru dakwah (da‘i) dan unsur lembaga dakwah lainnya. Pelabelan/Stigmatisasi Oleh Partai Politik Pada masa Orde Baru, keberadaan partai politik hanya sebagai simbol negara demokrasi, dengan kata lain demokrasi yang ada pada masa Orde Baru hanya sebatas dekorasi demokrasi. Realitas politik Orde Baru memperlihatkan bahwa fungsi-fungsi partai hampir keseluruhannya diambil alih oleh birokrasi pemerintah, sehingga satu-satunya fungsi yang masih tersisa adalah fungsi legitimasi. Artinya, kehadiran partai tidak lebih dari pembenaran terhadap kekuasaan yang tengah berlaku. Menurut David E. Easton, (1984) menjelaskan bahwa fungsi input dalam suatu sistem politik terdiri atas tuntutan (demand), dan dukungan (support). Ketika itu, lazimnya fungsi inputdilakukan oleh partai politik. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh partai-partai politik seperti PPP dan PDI hanyalah memberikan dukungan kepada proses politik yang berlaku, hal itu bukan hanya tercermin dalam perilaku partai di DPR yang cenderung hanya sebagai pemberi stempel bagi setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, akan tetapi tercermin dengan jelas dalam penilaian pemerintah yang tampaknya kurang menyukai pandangan kritis dari partai. Di sisi lain, “pembersihan”terhadap para politisi berhaluan keras seperti yang dialami oleh tokoh-tokoh berpengaruh NU dalam PPP merupakan indikasi lain, betapa kuatnya keinginan pemerintah terhadap lahirnya partai yang bersikap akomodatif dan partai sebagai perpanjangan tangan kekuasaan serta menjadikan partai politik hanya sebagai simbol demokrasi. Mengingat hanya di atas perilaku partai yang semacam itulah ―momentum pembangunan‖ dapat diteruskan dan status quo Orde Baru dapat berlangsung. Oleh sebab itu, pandangan partai politik (PPP dan PDI) lebih-lebih Golkar terhadap tragedi Talangsari juga serupa, bahkan dengan suara dan nada yang sama, yakni sama-sama memberi kutukan terhadap tindakan tersebut. Apa yang disampaikan oleh ketiga kekuatan politik adalah pembenaran atas apa yang telah dilakukan pemerintah. Ketiganya mengutuk keras atas terjadinya peristiwa Talangsari dan menempatkan mereka (Warsidi Cs) sebagai kaum pemberontak yang menjadikan Islam sebagai alat untuk melakukan perlawanan.
115
Golongan Karya (Golkar) Golongan Karya (Golkar) adalah mesin kekuasaan Orde Baru dan semakin diidentifikasi dengan Soeharto sebagai pemimpin defacto-nya. Organisasi ini praktis menjadi partai pemerintah. Golkar juga merupakan manifestasi kebudayaan politik Indonesia yang dominan, kebudayaan pancasila, sebuah kebudayaan yang ingin dikembangkan oleh pemerintah melalui Golkar. Golkar mempunyai kecederungan memotong batas-batas kelas/aliran dalam pengertian bahwa ia memasukkan buruh dan tani, serta juga abangan, priyayi dan santri. Namun bila dicermati bahwa orang-orang jawa abangan dan non-santri menduduki jabatan-jabatan kunci. Pada kenyataannya manifestasi kongkrit dari kebudayaan abangan/priyayi ini terdapat dalam ideologi Pancasila yang diinterpretasikan oleh Orde Baru dan cenderung menolak Islam sebagai ideologi alternatif untuk Indonesia. Golkar telah diidentifikasi sebagai pembela (kampium) ideologi Pancasila; negara didasarkan pada penerimaan pada ideologi tersebut. Oleh sebab itu, dengan tegas Golkar mengecam dan mengutuk tindakan perlawanan komunitas Talangsari sebagai suatu tindakan yang dapat menggoyahkan kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara. Belum lagi dengan kedudukan Soeharto sebagai ketua dewan Pembina yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam organisasi tersebut. Oleh sebab itu terhadap perlawanan komunitas Talangsari atau yang lebih dikenal dengan tragedi Talangsari, Golkar memberi penilaian berupa kutukan terhadap gerakan yang telah berupaya untuk merongrong ideologi Pancasila tersebut. Perlawanan komunitas petani Talangsari banyak menimbulkan kritik dan kecaman, tidak ketinggalan Golkar (Golongan Karya) sebagai gerbongnya rezim penguasa saat itu, tidak kalah nyaringnya dalam memberi kecaman terhadap peristiwa tersebut, melalui pernyataan tertulis yang ditandatangani ketuanya ( H.R.) dan sekretaris (Su), pada tanggal 11 Februari 1989 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Tingkat I Propinsi Lampung, demikian pernyataannya : 1. Mengutuk Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) Komando Mujahiddin Fisabilillah yang telah menimbulkan keresahan masyarakat. 2. Mendukung sepenuhnya serta menyambut baik langkah-langkah yang ditempuh aparat pemerintah dalam mengambil tindakan pengamanan dengan tepat dan tegas, sehingga mampu menggagalkan pengacauan dalam waktu singkat; 3. Kepada semua kader partai supaya tetap waspada dari pengaruh yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan agar memperkokoh persatuan dan kesatuan sesama kader. 4. Semua kader harus waspada terhadap ancaman bahaya laten komunis dan sisasisa G.30.S/PKI, serta mewaspadai berbagai bentuk ancaman golongan ekstrim lain dan kegiatan-kegiatan subversib serta petualangan politik yang ingin memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi. (Antara, 13 Februari 1989).
Kutukan keras yang dilakukan Golkar, dan dukungan atas langkah tegas aparat keamanan (anggota korem 043 Garuda Hitam), semakin menunjukkan bahwa tindakan perlawanan komunitas Talangsari adalah tindakan yang menyimpang terhadap norma-norma hukum yang ada di Indonesia. Artinya aparat keamanan mendapatkan dukungan moral dan politik untuk memberangus dan memberantas perlawanan yang dilakukan oleh komunitas Warsidi
116
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Meskipun bukan partai penguasa, Partai Persatuan Pembangunan adalah partai yang mempunyai kedekatan dengan penguasa Orde Baru, PPP merupakan partai dari hasil fusi (penggabungan) partai-partai Islam. Bahkan berdasarkan sejarah berdirinya, Partai persatuan pembangunan (PPP) dibentuk atas politik rekayasa rezim Orde Baru, bukan karena persamaan agama. Sebelumnya, partai Katolik dan IPKI dimasukkan ke dalam kelompok spiritual-materiil bersama empat parpol Islam. Namun, kedua parpol tersebut menolak dan lebih menyukai bergabung dalam kelompok nasionalis sehingga kelompok pembagunan spiritualmateriil--yang kemudian berubahmenjadi PPP—semuanya dari parpol Islam. Menurut Haris (1991) dalam bukunya Partai Persatuan Pembangunan, Politik Orde Baru dijelaskan, bahwa : .........‖sejak kelahirannya, PPP sudah menempati posisi marginal dalam tatanan politik rezim Orde Baru. Bahkan sesungguhnya, dalam pengertian teoritis PPP belum pernah menjadi ―partai politik‖ karena hampir semua fungsi partai politik diambil oleh birokrasi dan berbagai organisasi korporatis perpanjangan tangan Golkar‖.
Akibatnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam membangun komunikasi politik massa pendukungnya hanya terjadi pada saat pemilihan umum yang rentang waktunya lima tahun sekali, bahkan suara PPP adalah suara pemerintah (rezim Orde baru), sehingga dalam menyikapi terjadinya kasus perlawanan petani Talangsari (tragedi Talangsari), suara PPP tidak berbeda dengan suara pemerintah. Memberi label sebagai gerakan yang mengacau dan merongrong kewibawaan pemerintah dan harus ditumpas, PPP tidak berani bersuara lain dan berbeda dengan pemerintah. Hal ini terbukti dengan respon atas terjadinya kasus perlawanan komunitas Talangsari (tragedi Talangsari) yang disampaikan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Pesatuan Pembangunan (DPP.PPP), melalui Ketua Umumnya JN dan Sekjen Mar melalui siaran persnya : 1. Sangat menyesalkan terjadinya peristiwa Talangsari Lampung Tengah yang telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa; 2. Atas kejadian tersebut, menyampaikan rasa turut berduka cita yang sedalamdalamnya atas musibah yang terjadi 3. Segala bentuk kegiatan yang dapat menggoncang stabilitas nasional dan merongrong Pancasila dan UUD 1945 harus ditumpas; 4. Setiap tindakan yang melanggar hukum harus diselesaikan melalui saluran hukum mengingat negara Republik Indonesia adalah negara hukum; 5. Agar tidak terjadi peristiwa yang seperti itu, perlunya ditingkatkan komunikasi timbal balik secara terbuka antara pemerintah dan masyarakat; 6. Seluruh warga masyarakat, khususnya jajaran PPP supaya meningkatkan kewaspadaan dan tidak terpancing dengan berbagai isue yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa (Suara Pembaharuan, 13 Februari 1989).
Respon tersebut mengindikasikan bahwa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berada dalam kontrol negara, yang merupakan hasil rekayasa rezim Orde Baru dalam rangka pembentukan ―hegemonic partai system”. Pemerintah rezim Orde Baru berhasil mengkooptasi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam jaringan korporatisme negara sehingga fungsinya sebatas simbolik demokrasi.
117
Konsekuensinya, peran sebagai “partai oposisi” sangan sulit dijalankan, walaupun dalam berbagai kasus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mampu memperlihatkan suara yang berbeda dengan pemerintah, perbedaan itu tidak akan pernah merambah wilayah yang secara politis substansial, seperti persoalan ideologi, status quo, atau melakukan pressure alokasi jabatan-jabatan politik. Gerakan perlawan komunitas Talangsari dianggap sebagai gerakan perlawanan yang bertentangan dengan ideologi Pancasila, PPP tidak akan berani mengetengahkan ideologi alternatif, lebih-lebih ideologi Islam. dengan halus PPP menolak menjadikan ideologi Islam sebagai dasar perjuangan partai. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat itu selalu dilanda kemelut internal sejak tahun 1980 akibat fusi partai yang dipaksakan. Pada awalnya fusi ini berarti peleburan, fusi tuntas, dalam pengertian unsur-unsur yang masuk ke dalam PPP tidak lagi mempersoalkan unsur karena sudah melebur, akan tetapi kenyataannya sampai saat ini unsur-unsur tersebut masih sangat menonjol karena kader-kader partai selalu mengidentifikasikan dirinya dengan unsur asal, yang menyebabkan terpeliharanya pengelompokan dengan rapi. Partai Persatuan Pembangunan terdiri dari berbagai faksi, diantara faksi yang dominal adalah Nahdlatul Ulama (NU), meskipun tidak pernah menduduki posisi elit partai, justeru elit partai di dominasi oleh faksi yang lain, yakni dari faksi Muslimin Indonesia (MI). Nampaknya rezim Orde Baru mempunyai kekhawatiran tersendiri apabila elite PPP didominasi oleh Nahdlatul Ulama, mengingat NU mempunyai basis masa yang besar, sehingga berakibat dalam perolehan suara dan perwakilan di MPR/DPR dapat menyaingi kekuatan Golkar. Oleh sebab itu, rezim Orde Baru dalam setiap pergantian kepengurusan partai politik, tidak terkecuali dengan Partai Persatuan Pembangunan selalu melakukan intervensi dengan tujuan orang-orang atau faksi dalam partai tersebut yang nantinya akan terpilih menjadi ketua dan pengurus partai adalah orang/faksi yang sejalan dan mendukung pemerintah. Dominannya faksi Muslimin Indonesia (MI) dalam kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan tidak terlepas dari hasil manuver rezim Orde Baru yang tidak menginginkan PPP menjadi partai yang besar dan menjadi pesaing dalam perpolitikan di Indonesia. Struktur kepengurusan di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang demikian, berakibat tidak independennya di dalam mengambil keputusan dan kebijakan partai. PPP selalu berada dalam belenggu kekuasaan negara. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Tidak jauh berbeda dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) adalah partai hasil rekayasa rezim Orde Baru, hanya saja PDI merupakan hasil fusi dari beberapa partai nasionalis dan partai khatolik/kristen yang ada pada pemilu sebelumnya. Fusi merupakan strategi politik rezim Orde Baru yang banyak melahirkan konflik internal partai, strategi ini memang secara logika akan dapat dilihat bahwa partai yang ada akan menjadi mayoritas. Namun yang terjadi justeru sebaliknya, ternyata fusi partai adalah bagian dari strategi untuk memunculkan friksi dalam tubuh partai. Dengan adanya fusi, maka dalam setiap tubuh partai pasti ada banyak kelompok kepentingan, yang berakibat munculnya konflik internal.
118
Konflik internal mewarnai perjalanan Partai Demokrasi Indonesia sepanjang sejarah Orde Baru, akibatnya PDI sebagai partai tidak pernah memperoleh suara melebihi partai yang lainnya, semisal Partai Persatuan Pembangunan, alih-alih dengan Golkar. Kondisi ini sengaja diciptakan oleh rezim yang berkuasa saat itu, terpilihnya Suryadi sebagai Ketua Umum (DPP PDI) pada konggres III yang dilaksanakan pada tanggal 15 - 18 April 1986 di Wisma Haji Pondok Gede adalah rekayasa rezim yang berkuasa. Keberadaan partai tetap diperlukan sebagai pesyaratan sebuah negara demokrasi, akan tetapi keberadaan partai sengaja dikerdilkan, keberadaan partai hanya sekedar dekorasi demokrasi. Implikasi politiknya, PDI tidak pernah bersuara beda dengan rezim yang berkuasa, demikian halnya dalam merespon/menyikapi perlawanan komunitas petani Talangsari/tragedi Talangsari, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) melalui ketua umumnya (Soe), mengeluarkan pernyataan dalam pers: 1. Mendukung sepenuhnya tindakan tegas aparat keamanan terhadap pelaku peristiwa Talangsari tanggal 6 dan 7 Februari 1989 2. Gerakan Warsidi telah nyata-nyata bertentangan dengan ideologi negara Pancasila dan UUD 1945. Apabila dibiarkan gerakan tersebut dapat mengganggu stabilitas nasional dan pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan di Indonesia. 3. Peristiwa tersebut dapat diselesaikan segera amapai tuntas dengan arif, sehingga tidak menodai kesucian agama yang seharusnya dihormati 4. Kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa sehingga dapat mencegah timbulnya
peristiwa itu lagi.
Pernyataan ini secara langsung memperkuat label (stigma negatif) terhadap komunitas Talangsari sebagai gerakan pengacau keamanan/subversif, sehingga mereka semakin diperlakukan diskriminatif oleh masyarakat dan negara. Pelabelan (Stigmatisasi) oleh Organisasi Sosial/Keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Orde Baru melakukan marjinalisasi peranan agama dalam politik formal, misalnya melalui desakralisasi partai politik. Peranan ulama diakui tetapi terbatas untuk mengurusi soal-soal keagamaan. Banyak ulama yang semula aktif dalam politik merasa kecewa dengan kondisi ini lalu kembali ke pesantren, menjadi mubaligh dan semata-mata mendalami agama. Berkurangnya peran ulama dalam politik membuat mereka mencari wadah baru. Kondisi ini dicermati oleh rezim Orde Baru, oleh sebab itu ketika geliat keinginan ulama muncul kepermukaan dengan mengadakan konferensi para ulama di Jakarta yang di selenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam dan mengajukan saran untuk membentuk sebuah majelis para ulama dengan tugas mengeluarkan fatwa, campur tangan pemerintah melalui Menteri Agama (KH. Muhammad Dahlan) dalam hal ini sangat intens, yang akhirnya terbentuk lembaga para ulama yang dikenal dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bila dilihat dari sejarah kelahirannya, keterlibatan pemerintah dalam majelis ini sangat jelas, misalnya saja dalam bentuk pemberian pengarahan oleh para pejabat dan pimpinan militer di dalam Munas MUI, penyediaan berbagai fasilitas
119
yang diperlukan, bahkan dalam pembukaan munas tersebut oleh presiden. Dalam struktur kepengurusannya, jabatan Dewan Pertimbangan MUI secara ex officio diisi oleh empat menteri, yaitu; menteri agama (sebagai ketua) dengan anggota menteri penerangan, menteri pendidikan dan kebudayaan, dan menteri dalam negeri. Struktur ini sebagai langkah untuk menjinakkan ―Islam politik‖ Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah ulama di Indonesia pada masa Orde Baru tidak begitu netral, kuatnya hegemoni negara berakibat MUI tidak independen, bahkan kepengurusan kepemimpinan MUI Pusat atas persetujuan Presiden Soeharto. Ulama-ulama yang tidak sejalan dengan pemerintah Orde Baru dengan sendirinya akan tersingkir dari nominasi pemilihan ketua, sebut saja ―Gusdur (Abdurrahman Wahid)‖ ulama insentrik cucu pendiri organisasi terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama tidak bisa menduduki jabatan sebagai ketua, hal ini kemungkinan disebabkan ―Gusdur‖ selalu mengkritisi kebijakan pemerintah jika akan merugikan umat Islam. Tidak mau ketinggalan dalam merespon dan memberi stigma negatif terhadap peristiwa perlawanan komunitas petani Talangsari, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI Pusat), HB memberi pernyataan sebagai berikut : Gerombolan Komando Mujahidin fi Sabilillah tidak ada sangkut-pautnya dengan agama, bahkan sangat bertentangan dengan semangat beragama, apalagi sampai membunuh orang itu jelas bertentangan dengan agama. Peristiwa ini terjadi karena ulah orang yang pengetahuan agamanya masih sepotong-sepotong yang akhirnya akan merusak, karena mereka tidak mendalami betul ajaran agama. Oleh sebab itu ia menghimbau agar mengemablikan ajaran agama kepada jalan yang benar, karena Islam merupakan ajaran yang rahmatan lil‘alamin. (Pelita, 14 Februari 1989).
Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Lampung ikut juga merepon dan menstigma, bahwa gerakan perlawanan komunitas petani Talangsari adalah tindakan makar yang mencemarkan nilai-nilai luhur agama itu sendiri, melalui ketua (MT) demikian pernyataannya: Mengutuk dengan keras tindakan perlawanan komunitas petani Talangsari yang telah mencermarkan agama yang dilakukan oleh sekelompok gerombolan orang yang menamakan dirinya ―Komando Mujahidin Fisabilillah‖ dan tindakan yang dilakukan dengan melakukan perlawan terhadap aparatus pemerintah setempat tidak ada sangkut pautnya dengan agama. (Suara Pembaharuan, 13 Februari 1989)
Nahdlatul Ulama (NU) Nahdlatul Ulama sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yang sejak awal berdirinya negara Republik Indonesia selalu berada di dalam pemerintahan, bahkan NU tampil sebagai wakil kelompok agama dalam Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), jargon politik Soekarno dalam rangka menciptakan persatuan bangsa. Pada masa Orde baru, hubungan NU dengan negara tidak selalu mesra, hubungan yang ditenggarai penuh dengan pergumulan mewarnai relung-relung sejarah Indonesia. Pada masa peralihan (transisi) kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, diperlukan rumusan konsep-konsep dan strategi pembangunan dengan warna baru yang dimotori oleh ABRI khususnya Angkatan Darat. Dalam hal itu Nahdlatul Ulama (NU) ikut aktif secara politis berkiprah dalam merumuskan konsep-konsep pembangunan jangka panjang. Ini, antara lain dapat dilihat dari
120
kiprahelite NU waktu itu, seperti KH. Idham Khalid, yang tidak sedikit sumbangannya dalam ikut mendukung lancarnya pelaksanaan konsep-konsep pembangunan yang disosialisasikan Orde Baru. Pada dekade 1985-an, di saat pemerintah menetapkan Pancasilasebagai azas tunggal, NU mengambil langkah yang sangat mengesankan ketika di tengahtengah pro dan ketegangan. Organisasi ini justeru mempelopori menerima azas tunggal dan merupakan ormas Islam pertama yang menuntaskan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya azas. Ini merupakan sumbangan besar NU dalam ikut memantapkan pembangunan politik nasional di masa Orde Baru. Peristiwa dan kegiatan politik dianggap bagian integral dalam agama, perilaku politik NU mendapatkan pembenaran dari agama, dan inilah yang menjadi subkultur NU yang harus diamati dengan pendekatan kultural, sebab NU juga lahir sebagai sebuah paguyuban (community) dengan subkultur tersendiri. Subkultur ini lahir dari sosialisasi ajaran-ajaran doktrin yang mereka yakini, pengalaman histgorisnya, dan pergumulannya dengan lingkungan sosio-politik di sekitarnya. Menurut paham Ahlusunnah Wal Jama‘ah, kewajiban mematuhi penguasa yang sah adalah sebagian dari iman. Sepanjang pemerintah tidak mengajak kepada kekufuran, tidak ada alasan untuk membangkang terhadap pemerintah. Bagi NU, negara adalah sesuatu yang wajib karena ia merupakan masalahazasi dalam agamaIslam yang akan membawa keabsahan kepemimpinan atau imamah. Dengan demikian dalam “kamus politik” NU tidak ada kata bughat (memberontak). Jika NU menganggap pemerintah melakukan kesalahan, cara memperbaikinya adalah menegurnya dengan cara yang baik dan mengajak berdialog. Nahdlatul Ulama melihat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah final, oleh sebab itu segala bentuk gerakan yang melawan negara dianggap sebagai “bughot” dan harus diperangi. Perlawanan komunitas petani di Talangsari dianggapnya sebagai bentuk makar terhadap negara yang syah, sehingga intruksi yang diberikan kepada seluruh jami‘in untuk tidak terprovokasi dengan isu-isu yang berkembang di masyarakat, yang mengatasnamakan Islam. Melalui Ketua Pengurus Wilayah (PW) NU Propinsi Lampung (HA) secara tegas mengatakan; NU (Nahdlatul Ulama) mengutuk tindakan Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) Warsidi dalam aksi makarnya yang telah menyebabkan terjadinya peristiwa berdarah dan menewaskan ratusan korban, dan semua Pimpinan Cabang (NU) di propinsi Lampung beserta jajarannya untuk tetap tenang serta meningkatkan kewaspadaannya.(Lampung Post, 21 Februari 1989).
Intruksi dan himbauan dari orang nomor satu di tubuh organisasi tersebut merupakan perintah yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh warga jami‘in tanpa terkecuali, hal ini mengindikasikan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) propinsi Lampung telah menjustifikasi dan membenarkan bahwa komunitas petani Talangsari yang tergabung dalam jama‘ah Warsidi telah melakukan tindakan makar melawan pemerintah yang syah. Intruksi ini membawa implikasi yang luas terhadap kehidupan keberagamaan di Lampung, muncul kecurigaan masyarakat terhadap orang lain
121
yang berasal dari luar Lampung yang mengidentifikasikan sebagai seorang muslim dengan antribut-atribut yang melekat dalam dirinya, misalnya seorang muslim yang berjanggut, mengenakan celana panjang di atas mata kaki bagi kaum prianya, sedangkan bagi kaum perempuannya adalah yang mengenakan jilbab lebar dan cadar penutup muka. Atribut-atribut tersebut dijadikan sebagai identifikasi/karakteristik untuk melabeli mereka sebagai anggota gerakan perlawanan komunitas Talangsari, karena komunitas Talangsari mengenakan atribut-atribut tersebut yang dalam teori labeling dikenal sebagai master status. Masyarakat Islam Lampung (khususnya warga Nahdlatul Ulama) tidak memberi ruang dan kesempatan kepada para mubaligh dan khotib dari luar daerah yang tidak dikenal identitasnya untuk memberikan ceramah, pengajian, khutbah di masjid maupun di tengah-tengah masyarakat. Terjadi kecurigaan terhadap setiap orang yang belum dikenal, meskipun sesama muslim lebih-lebih yang menampakkan identitas berbeda. Bahkan kecurigaan itu berlanjut pada laporan kepada pihak keamanan saat melihat dan mendengar seseorang maupun gerombolan yang tidak dikenal dan meresahkan masyarakat dengan alasan keamanan dan ketertiban. Di sisi lain warga Nahdlatul Ulama secara tegas mendukung sepenuhnya dan membenarkan tindakan yang diambil maupun telah dilaksanakan oleh pemerintah rezim Orde Baru melalui operasi militer dibawah komando HP (Komandan Korem 043 Garuda Hitam) maupun oleh Bakorstanasda Sumatera Bagian Selatan yang telah menumpas Gerombolan Pengacau Keamaanan Warsidi. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) adalah organisasi keagamaan yang lahir di era Orde Baru tepatnya pada tanggal 3 Januari 1972 di Kediri Jawa Timur. Sejak kelahirannya organisasi ini menuai kontroversi dengan kelompok keagamaan lainnya akibat penggunaan konsep jama‘ah, dan konsep bai‘ah. Oleh sebab itu LDII mengembangkan strategi adaptif yakni membangun kedekatan dengan penguasa Orde Baru (Golkar). Bangunan relasi LDII dengan penguasa telah memberikan kekuatan kultural dan sosial dalam pengembangan organisasi di tengah masyarakat serta keuntungan materi dan perlindungan politik dari ancaman eksternal kelompok Islam yang menolak kehadirannya. Anggapan LDII bahwa negara itu penting sehingga perlu didekati, jika merujuk pada Anthony Giddens—saat menganalisis konsepsi Durkheim— merupakan tindakan yang cukup strategis. Negara dalam analisis Giddens memang memainkan peran moral maupun ekonomi, setidaknya dengan strategi yang diterapkan oleh LDII, negara tidak melakukan gangguan signifikan pada proses dominasi elit organisasi. Konsekuensi persinggungan dengan penguasa (Golkar), memaksa LDII untuk mempunyai sikap politik yang sama dengan penguasa, artinya ada ikatan patronase antara keduanya. Oleh sebab itu, LDII merespon peristiwa perlawanan komunitas Talangsari sebagaimana penguasa (Golkar) meresponnya, yakni dengan memberi stigma negatif terhadap gerakan perlawanan komunitas Warsidi sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan.
122
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Propinsi Lampung melalui Ketuanya (Yus) mengintruksikan, bahwa; ............Hendaknya umat Islam pada umumnya dan warga Lemkari khususnya agar tetap tenang, waspada dan turut serta menjaga stabilitas nasional serta tidak terpengaruh isu-isu, ajakan-ajakan, bujukan-bujukan yang menyesatkan. Kalau ada orang atau golongan tertentu yang menggunakan agama sebagai kedok untuk mencapai tujuan tertentu, pastilah Allah tidak akan meridloinya dan kehancuranlah yang akan diperoleh. (Lampung Post, 23 Februari 1989).
Himbauan yang disampaikan oleh Ketua Perwakilan LDII Propinsi Lampung terhadap warganya semakin menyudutkan komunitas petani Talangsari sebagai komunitas yang menggunakan simbol-simbol keagamaan (jihad) sebagai instrumen untuk mencapai tujuan pasti akan mengalami kehancuran, bahkan tindakan seperti itu hanyalah akan memecah belah umat Islam. Himbaun ini meskipun tidak membawa implikasi yang cukup luas di masyarakat, mengingat LDII sendiri adalah organisasi keagamaan yang tidak banyak mendapat respon dari masyarakat Lampung, akan tetapi memunculkan mudahnya (kurang teliti dan seksama) aparat keamanan dalam menerima laporan terhadap orang atau kelompok orang (pengajian) yang berbeda dengan kelompoknya, sehingga keadaan yang kurang kondusif ini dijadikan atau dimanfaatkan oleh seseorang untuk melampiaskan dendam pribadi sehingga golongan orang menderita karena korban fitnah. Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Pembentukan organisasi ini sebagai bentuk kooptasi negara terhadap kekuatan kepemudaan dan kemahasiswaan, sehingga mereka mudah dikontrol dan dikendalikanuntuk kepentingan penguasa. Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) adalah gabungan dari organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa yang juga berada di bawah payung Golkar, bahkan dalam pemelihan ketua KNPI pada masa Orde Baru ditentukan oleh Golkar, sehingga suara KNPI adalah suara penguasa. Oleh sebab itu respon yang disampaikan KNPI terhadap peristiwa perlawanan komunitas Warsidi/tragedi Talangsari adalah suara penguasa, meskipun disampaikan alam bahasa yang berbeda. Organisasi sosial kepemudaan ini juga ikut mengutuk/merespon negatif, yakni Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Propinsi Lampung, melalui ketuanya AA, seperti ini penyataannya: ..........‖Gerombolan Pengacau Keamanan Warsidi terjadi akibat sempitnya pemahaman wawasan ideologi. Oleh karenanya, perlu adanya upaya untuk meningkatkan pemahaman wawasan ideologi tersebut, terutama di kalangan generasi muda sehingga mereka terhindar dari pemahaman yang simpang siur. (Lampung Post, 25 februari 1989).
Pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa terjadinya perlawanan komunitas Talangsari disebabkan rendahnya pemahaman terhadap ideologi Pancasila, oleh sebab itu perlu adanya pemahaman yang seragam di kalangan genarasi muda, baik melalui penataran dan melaui kegiatan yang dapat meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila yang sudah disepaki menjadi landasan hidup berbangsa dan bernegara.
123
Pelabelan Melalui Propaganda Media Massa Pemerintah Orde Baru melalui kuasa Komando Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), dengan segala cara memang berusaha menempatkan Islam politik sebagai kekuatan yang perlu dicurigai setelah hancurnya kekuatan kiri (PKI), salah satunya melalui hegemoni media massa. Adapun cara yang ditempuh adalah dengan melakukan; pertama, membatasi kebebasan media massa; kedua, mengatur tataran pemberitaan. Dengan begitu, penguasa rezim Orde Baru berusaha menanamkan kecurigaan terhadap Islam politik yang semuanya mengarah pada pelemahan. Militer beranggapan bahwa Islam mengancam integrasi nasional, sikap ini didasarkan pada pengalaman adanya Pemberontakan Darul Islam yang telah meninggalkan bekas pada hubungan Islam dan negara, dan mengendap menjadi sumber kecurigaan yang tidak habis-habisnya terhadap Islam politik di benak elit milter dan politik serta berbagai kelompok minoritas non-muslim, dan mempengaruhi banyak kebijakan pemerintah terhadap Islam di masa awal Orde Baru. Stigmatisasi politik adalah hal yang kerap terjadi ketika kelompok dominan secara politik, yaitu penguasa hendak mengkerdilkan kelompok yang dianggap berbahaya bagi dirinya. Akibatnya bisa berujung pada pengeklusifan hak-hak politik, sosial, dan ekonomi dari para anggota kelompok tersebut, hakhak yang seharusnya dijamin dan dilindungi oleh negara. Indonesia pasca kolonialisme memang mengalami gejolak-gejolak politik yang dahsyat, peristiwa Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dikomandoi oleh Imam SM. Kartosuwiryo adalah salah satu diantaranya. Peristiwa politik itu tidak hanya berhenti pada saat itu, akan tetapi terus berlanjut dengan perpindahan bentuk dan makin lama makin halus, bahkan tidak nampak. Ketika tampuk kekuasaan pemerintahan dikuasai oleh pemerintahan rezim Orde Baru, upaya penghancuran dan pengkerdilan serta pembunuhan karakter menimpa mereka yang dianggap musuh bersama. Hal ini tidaklah lepas dari kalaborasi kekuatan cikal bakal negara oleh rezim Orde Baru dengan kekuatan-kekuatan masyarakat yang menjadikan (DI/TII) sebagai musuh bersama pada masa itu. Pemerintahan rezim Orde Baru bahkan terus menggunakan alasan tersebut dalam beberapa dekade kepemerintahannya. Mereka yang menentang ―kebijakan‖ rezim Orde Baru kemudian memberi stigma sebagai ekstrim kanan (DI/TII). Penguasa membangun stabilitas politik dengan penciptaan musuh bersama, yaitu dengan melakukan stigmatisasi terhadap (DI/TII) dan komunitas Talangsari sebagai salah satu bentuk kemunculannya. Selanjutnya penguasa rezim Orde Baru menyebarkan stigma tersebut berupa ideologi melalui media massa. Tidak dapat dipungkiri, bahwa media massa adalah media yang tepat bagi proses penyapaan yang memuat penempatan individu atau kelompok dalam sebuah relasi sosial. Sejak itulah fobia akan segala sesuatu yang berlabel (DI/TII) melanda masyarakat Indonesia tidak terkecuali masyarakat Islam. Wacana-wacana anti DI/TII pun berlahiran dipelbagai media cetak dan media elektronik. Sejarah tentang DI/TII pun tidak lagi terdengar, simpati bagi mereka yang menjadi
124
korban pun tertahan, takut dianggap menjadi antek-anteknya.Untuk korban Talangsari, setelah memperoleh hujatan dan kutukan dari berbagai elemen negara termasuk negara sendiri terhadap gerakan perlawanan komunitas Talangsari, ternyata penguasa Orde Baru masih tetap terus melakukan propaganda terhadap eks korban Talangsari. Saat itu, tidak ada satupun elemen negara yang membela hujatan dan kutukan, semua diam membisu, diam dan ikut mengamininya. Semua kutukan yang diberikan kepala negara, aparat sipil dan militer, organisasi sosial/keagamaan yang disampaikan di media masa semakin menyudutkan komunitas Talangsari, tidak ada ruang sedikitpun untuk membela diri. Kenyataan ini berkaitan dengan penjelasan Althusser (2004) yang menyatakan bahwa telekomunikasi (media) praktis panggil-memanggil, seperti yang dilakukan penguasa melalui media membuat orang yang disebut sadar dialah yang dimaksud. Selanjutnya menurut Althusser, wacana berperan mendefinisikan dan menempatkan individu/kelompok/komunitas dalam posisi tertentu. Dalam hal ini penguasa rezim Orde Baru membangun struktur diskursif bahwa ―komunitas Talangsari‖ adalah gerombolan pengacau keamanan yang menggunakan agama (jihad) sebagai ideologi gerakan yang ingin menggantikan ideologi Pancasila, sehingga patut dicurigai, diawasi terus-menerus dan bahkan ditumpas. Harian Angkatan Bersenjata tanggal 13 Februari 1989 memuat penyataan Presiden Soeharto yang mengutuk gerakan komunitas Talangsari sebagai gerakan yang menyalahgunakan agama (jihad) dalam mencai tujuan, pernyataan di media ini pun diikuti oleh pejabat militer dan sipil, pimpinan partai politik, organisasi sosial/keagamaan/kepemudaan, yang melalui media masa juga (Kompas, Pelita, Suara Pembaharuan) secara serempak ikut mengutuk gerakan tersebut. Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan secara jelas keberpihakan media, keberpihakkan media tersebut selanjutnya diperkuat dengan gencarnya propaganda rezim Orde Baru melalui militer daerah (Korem 043 Garuda hitam) yang menyebarkan berita tentang aksi-aksi sadis yang dilakukan komunitas Talangsari dengan menyebut mereka telah melakukan kekerasan dan pembunuhan secara keji terhadap Komandan Koramil Way Jepara (Kapten Soe), hal ini dilakukan untuk menunjukkan kepada masyarakat ketidakmanusiawian komununitas Talangsari dan pada akhirnya membuat masyarakat anti ―Gerombolan Pengacau Keamanan Warsidi‖ murka luar biasa. Pemberitaan-pemberitaan tersebut nampak bahwa media massa berusaha menanamkan rasa benci dan dendam. Potensi konflik masa lalu antara Islam nasionalis yang diwakili oleh (DI/TII) dengan Islam sekuler pembela Pancasila dimanfaatkan oleh militer sebagai pisau yang harus diasah supaya semakin tajam. Pemberitaan jelas memperlihatkan adanya kepentingan kelas, sentimen kelompok, kebencian komunitas, dan perbedaan ideologi yang digalang sebagai wacana anti Islam radikal.(Anti komunitas Talangsari). Penguasa (khususnya militer) dalam hal ini mencoba menempatkan wacana-wacana tersebut di atas sebagai suatu hal yang alamiah tanpa penjelasan. Seperti gagasan yang dijelaskan Althusser (2004) bahwa penulis berita melalui teks yang dibuat menempatkan pembaca dalam subjek tertentu. Penempatan pembaca ini bisa dihubungkan dengan penyapaan seperti kata; ―Mereka, kamu,
125
anda dan kita‖, sebagaimana pernyataan Kapuspen ABRI Brigjen TNI Nu dalam harian Kompas 15 Februari 1989; ―Mereka‖ adalah anggota gerombolan pengacau keamanan pimpinan Anwar alias Warsidi yang mencatut nama Islam. Penguasa sebagai penulis mencoba memasukkan masyarakat sebagai pembaca kedalam pihak yang turut menjadi korban perlawanan gerombolan pengacau keamanan Talangsari. Oleh sebab itu, seyogyanya turut memerangi oknumoknum yang terlibat atau simpatisan gerakan perlawanan tersebut. Peristiwa Talangsari harus segera diselesaikan dan gerombolan pengacau keamanan yang merongrong Pancasila harus ditumpas, pernyataan ini sering muncul di beberapa media bahkan menjadi thema utamanya, misalnya harian Angkatan Bersenjata, 14 Februari 1989, yang memuat pernyataan Panglima ABRI Jendral TS, demikian pula pernyataan Ketua Bakorstanasda Mayjen TNI R. Su dalam harian pelita tanggal 10 Februari 1989. Dari pemberitaan tersebut, tampak jelas bahwa kekuasaan rezim Orde Baru dibangun dengan proses stigmatisasi politik yang diberikan terhadap lawan-lawan politiknya. Harian Angkatan bersenjata sebagai salah satu dari agen ideologisasi negara menggaungkan secara terus menerus untuk membangun suatu konstruksi sosial dalam masyarakat yang menempatkan posisi lawan-lawan politik Orde baru sebagai pihak yang jahat. Munculnya respon negatif di berbagai media masa, baik lokal maupun daerah yang memuat pernyataan dan kecaman dari berbagai eleman bangsa (Partai politik; organisasi sosial/keagamaan) terhadap gerakan perlawanan komunitas Talangsari semakin memposisikan mereka sebagai tersangka pembuat keonaran di wilayah Lampung. Dalam kasus tragedi Talangsari, stigmatisasi yang dilakukan oleh negara (militer) karena gerakan ini memiliki kesamaan ideologis dengan gerakan DI/TII sebagai kekuatan ekstrem kanan, sebagaimana pernyataan Menhankam LBM sebagai berikut : .........‖Kasus di Way Jepara atau ―tragedi Talangsari‖, itu kini disebut Gerombolan Pengacau Keamanan Warsidi, sesuai dengan namanya sebenarnya oknum yang memimpin gerakan tersebut; Bukti bahaya laten ekstrim kanan (DI/TII) yang ingin mengubah ideologi negara Pancasila ―Kita harus waspada dan tidak mudah terpancing oleh isu-isu yang berkedok agama, masyarakat hendaknya harus dapat membedakan secara tepat, mana ajaran agama yang tepat dan mana ajaran yang berkedok agama‖. Oleh sebab itu, harus ditumpas habis sampai keakar-akarnya agar kejadian serupa tidak terulang lagi‖. (Kompas, 18 Februari 1989).
Althusser mengatakan bahwa ideological state apparatus adalah organ yang secara tidak langsung mereproduksi kondisi-kondisi dalam masyarakat. Kalimat tersebut di atas menunjukkan bahwa masyarakat dibuat mengakui bahwa gerakan perlawanan komunitas Talangsari ada hubungannya dengan DI/TII yang harus ditumpas, bila tidak maka akan ada ancaman peristiwa tersebut bisa terulang kembali. Pernyataan Jendaral LBM yang dimuat harian Kompas tanggal 18 Februari 1989 menginginkan agar semua rakyat Indonesia meyakini dan menginsyafi Pancasila sebagai satu-satunya ideologi, dan agar ideologi selainnya yang diageni oleh DI/TII tidak masuk kembali ke dalam masyarakat kita. Pernyataan ini menunjukkan adanya upaya untuk membatalkan semua kompleksitas tindakan manusia, memberinya esensi-esensi sederhana, lalu kembali kepada hal yang nampak dan membangun sebuah dunia tanpa kontradiksi. Dalam kalimat di
126
atas, militer melalui LBM. ingin memasukkan esesnsi sederhana, yaitu Pancasila. Rakyat diharapkan memaklumi, menerima dan mematuhi dengan segenap hatinya. Kendatipun peristiwa Talangsari tidak akan berpengaruh terhadap stabilitas nasional secara keseluruhan, akan tetapi hal itu merupakan bukti nyata betapa kaum ekstrem kanan (DI/TII) merupakan bahaya laten terhadap keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Kekuatan ekstrim tersebut setiap saat selalu berusaha merongrong kewibawaan pemerintah dan merusak stabilitas nasional yang telah berhasil diciptakan selama ini. Implikasi dari pemberitaan-pemberitaan tersebut semakin mengarahkan rasa benci dan dendam menjadi tuntutan untuk membasmi gerombolan pengacau keamanan Warsidi beserta simpatisannya. Sehingga tidak sedikit korban Talangsari harus mendekam di jeruji tahanan hingga beberapa tahun, semisal Mus (50) yang dijatuhi hukuman 7 tahun. Sisanya yang berhasil bebas harus memikul stigma sebagai gerombolan pengacau keamanan yang menyalahgunakan ajaran agama (jihad) untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran tuhan serta tidak manusiawi. Respon masyarakat atas pemberitaan tersebut dapat dilihat dari pernyataan dua organisasi kemasyarakatan/keagamaan (MUI, NU dan LDII dan KNPI) yang sama-sama mengutuk atas gerakan perlawanan komunitas Talangsari/tragedi talangsari pada tahun 1989.
Penangkapan Anggota dan Aktor Gerombolan Melihat begitu banyak terjadi kekacauan yang telah dilakukan oleh anggota jama‘ah Warsidi, lebih-lebih dengan tewasnya Kapten Soe (Danramil Way Jepara) di tangan anggota jama‘ah, maka sebagai pemegang otoritas keamanan Komandan Resort Militer 043 Garuda Hitam Lampung (HP) mengambil beberapa langkah cepat, tepatnya pada hari selasa 7 Februari 1989 pukul 03.00 Wib Salim salah seorang jama‘ah Warsidi yang melakukan ronda di pos Selatan memergoki dua orang tentara yang ingin mendekat ke lokasi jama‘ah, karena dipergoki oleh jama‘ah kedua tentara tersebut melarikan diri. Pukul 05.30 Wib dengan kekuatan 3 (tiga) pelton tentara, 50 orang anggota satuan Brigade Mobil (Brimob), secara bersama-sama melakukan pengepungan ke lokasi markas jama‘ah Warsidi di Cihideung dengan posisi tapal kuda, dari arah utara desa Pakuan Aji, dari arah Selatan desa Kelahang, dari arah timur kebun coklat dan desa Rajabasa Lama, sementara dari arah barat yang ditumbuhi pohon singkong dan jagung dibiarkan terbuka. Praktis tidak ada jalan keluar bagi anggota jama‘ah Warsidi, sedangkan mereka bersenjatakan panah beracun, golok dan parang serta pistol rampasan dari Kapten Soe. Pasukan yang dilengkapi dengan senjata modern (M-16), bom pembakar, granat dan dua buah helikopter yang membentengi dari arah barat. Melihat penyerbuan yang terencana dan besar-besaran serta tidak ada jalan keluar bagi jama‘ah untuk menyelamatkan diri, jama‘ah hanya bisa membentengi diri dan membekali senjata seadanya. Pada pukul 07.00 Wib, karena kekuatan yang tidak seimbang, maka pasukan yang dipimpin HM dengan mudah dan berhasil menguasai perkampungan jama‘ah dan memburu jama‘ah. Dalam pemburuan itu, aparat memaksa Ah (10 th) anak angkat IB sebagai penunjuk tempat-tempat persembunyian dan orang yang disuruh masuk kedalam rumah-rumah yang dihuni
127
oleh ratusan jama‘ah yang kebanyakan terdiri dari wanita dan anak-anak. Setelah menggunakan Ah aparat berhasil mengeluarkan paksa sekitar 20-an orang ibu-ibu dan anak-anak dari pondok Jay. Ibu Sau, salah satu korban yang dikeluarkan dengan paksa sudah melihat sekitar 80-an mayat yang bergelimpangan disana-sini hasil dari serangan aparat yang dimulai sejak pukul 05.30 pagi. Menurut Ar (16 th) dalam Al Chaidar (2000), pada subuh selasa 7 Februari 1989, tepat pukul 05.15 Wib ia mendengar suara letupan senjata sebagai tanda serangan di mulai. Akibat desingan puluru yang amat keras membuat ia terbangun dari tidurnya dan kemudian keluar untuk melihat apa gerangan yang sedang terjadi. Ketika ia sudah berada di luar rumah tenyata yang terlihat adalah bentrokan fisik antara tentara dan anggota jama‘ah Warsidi. Suasana ketika itu seperti perang, saat perang berkecamuk tiba-tiba ia mendengar suara dari seorang jama‘ah yang menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah. Lalu tanpa bertanya lagi ia pun menuruti perintah jama‘ah tersebut. Rumah yang dimasukinya hanya berselang satu rumah saja dengan musholla Mujahiddin. Ternyata di dalam rumah tersebut ada beberapa anak yang seusianya. Mereka berada di dalam rumah kurang lebih selama tiga jam. Di Balik persembunyiannya itu sayaup-sayup terdengar suara orang meneriakkan ―Allahu Akbar‖ dan suara tembakan dan sambil mengintip dari lubang rumah geribik ia menyaksikan bentrokan yang terjadi antara tentara dan anggota jama‘ah. Selang beberapa jam kemudian suasanya berubah hening, dalam suasana hening itulah ia hanya bisa berharap semoga Allah memberikan pertolongan kepadanya. Tidak begitu lama kemudian ia mendengarkan adanya perintah untuk semua orang yang ada di dalam rumah keluar, apabila tidak maka rumah tersebut akan dibakar. Mendengar perintah tersebut Ar (16 th) besama rekan-rekan lainnya berhamburan keluar melalui pintu belakang, berlari dan merunduk dan sesekali bertiarap. Pada saat itulah ia melihat mayat bergelimpangan dalam keadaan sekarat, bahkan ia sempat menyuruh seseorang yang sekarat untuk mengucapkan Istigfar dan syahadat. Selanjutnya mereka terus berlari kearah sungai beringin yang mengelilingi dukuh Cihideun Talangsari III. Sesampainya di sungai beringin, Ar dan kawan-kawan yang lain sebanyak 6 orang menceburkan diri dan berendam untuk menghindari kejaran tentara, dengan cara menyelam dan mengangkat kepala. Di saat itu juga dua orang temannya tidak mampu bertahan dan akhirnya di tangkap oleh tentara. Saat itu tinggi air sungai beringin kurang lebih setinggi dagu, dan karena merasa sudah tidak mampu bertahan di sungan beringin akhirnya ia berusaha menyelamatkan diri dengan berenang melawan arus sungai. Akan tetapi sama dengan dua temannya yang terdahulu mereka di tangkap oleh tentara. Tidak berbeda dengan yang dialami oleh En (35 th), berikut penuturannya : Pagi itu, 7 Februari 1989, En terbangun karena mendengar suara gaduh di luar, jerit ketakutan anak-anak kecil dan suara makian aparat. Kulirik jam, pukul 05.30 WIB. Dengan bingung bercampur gugup, Eni mengintip ke luar melalui celahcelah geribik di pondok yang kami tempati. En melihat puluhan anak-anak kecil sedang dikejar-kejar oleh sejumlah orang berpakaian loreng yang membawa pistol. Eni bertanya-tanya dalam hati, dan yang lebih membuat hatiku miris, anak-anak itu bila tertangkap langsung ditendang dan dipukul.
128
Teman-teman satu pondok juga terbangun. Mereka semua bingung. Apalagi waktu itu terdengar suara rentetan senjata, layaknya perang. Di tengah kebingungan tiba-tiba ada suara tembakan di depan gubuk kami disertai bentakan,‖ Keluar kalian cepat, kalau tidak saya bakar hidup-hidup. Kami saling berpandangan, ketakutan dan semakin bingung, akhirnya kami nekat keluar. Sampai di luar, sambil ditodong senjata dan ditendang, kami disuruh berkumpul tidak jauh dari pondok. En (35 th) melihat puluhan tentara ada di situ dan ketika memandang ke sekitar, badan\ langsung terasa lemas. Ternyata semua bangunan pondok sudah habis terbakar. Suara teriakan minta tolong dan bau daging terbakar menusuk hidung. Ya Allah, apa yang sedang terjadi sebenarnya. Mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Tiba-tiba mataku tertuju pada sesosok tubuh yang sangat mengenaskan. Tubuh itu terpisah dari kepalanya. Aku penasaran tubuh siapakah itu. Setelah didekatiternyata itu Ustadz Warsidi. En melihat ada anggota jemaah yang dimasukkan ke dalam karung, lalu diinjak-injak oleh tentara. Aku juga mendengar suara jeritan Mar (kakak War) yang diinjak-injak dan ditendang. Demikian pula menurut Jay dalam Fadillah Sari (2007), pada saat kejadian tanggal 7 Februari 1989 sejak subuh sekitar pukul 04.30 WIB, lokasi sekitar kompleks pengajian jama‘ah Warsidi di sana telah dikepung aparat militer bersenjata. Mereka kemudian diberondong dengan senjata. Pada sekitar Pkl. 08.00 WIB, umumnya penghuni rumah dan pondokan di sana telah habis dan yang tertinggal hanya nampak para orangtua, perempuan dan anak-anak yang bertahan tetap berada di dalam rumah-rumah di sana. Jayus menyebutkan, saat itu justru rumah-rumah tersebut dibakar, sehingga para penghuninya umumnya tewas dengan kondisi pondokan telah hangus. ―Sulit saya melupakan kejadian itu sampai sekarang, karena terus terbayang-bayang,‖ cetus Jayus. Dia menuturkan, para korban umumnya dalam kondisi terbakar hangus hanya tinggal tulang belulang saja. Para korban itu kemudian dikuburkan sehari setelah kejadian hingga beberapa hari kemudian.Langkah selanjutnya setelah dilakukan penumpasan terhadap gerombolan pengacau keamanan, aparat keamanan bertindak cepat dengan melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang dicurigai, bahkan orang-orang yang diindikasikan sebagai anggota komunitas Warsidi.
GerakanKomunitas Moro Di Filipina Gerakan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari ternyata mempunyai kesamaan dan juga perbedaan dengan beberapa kelompok sempalan yang berada di luar negeri, semisal Gerakan Moro di Filipina. Sebagai sebuah komunitas Muslim, bangsa Moro memiliki cita-cita dalam modalitas sistem kepercayaan masyarakatnya tentang perlunya sebuah “Darul Islam”. Kedatangan Islam di tanah Moro selain memberikan identitas juga membawa civic culture, budaya bernegara ketika filipina masih hidup dalam suku-suku. Namun gencarnya perluasan militer, politik dan ekonomi oleh negara (Republik Filipina) pada tahun 1948 berakibat menurunnya jumlah masyarakat Moro di Filipina Selatan
129
mengalami penurunan. Faktor utama penururnan jumlah ini adalah karena migrasi terencana dan besar-besaran ke tanah Moro dari bagian utara Filipina, akibatnya bukan hanya masyarakat Moro menjadi semakin terjepit mereka juga terisolasi. Mereka tidak siap menghadapi persaingan di hampir semua bidang, apalagi lahan perekonomian tradisional merekapun terpaksa ikut diperebutkan.(Azyumardi Azra, 2005 ; 314). Muncullah tokoh-tokoh muda yang menolak status quo dan bahkan gagasan-gagasan pemisahan diri dari negara Filipina mulai dibangkitkan. Diantara mereka adalah Datu Utdog Matalam dan Nur Misuari, yang kemudian mendirikan MNLF (Moro National Liberal Front) atau Front Pembebasan Moro pada tahun 1969, dengan tujuan menuntut kemerdekaan Wilayah Mindanao dari pemerintah Filipina. Perjuangan masyarakat Moro pada tahun 1970-an telah dimulai dengan gerakan bersenjata. Puncak perjuanagan ditandai dengan lahirnya perjanjian Tripoli antara Manila dengan para pemimpin MNLF pada tahun 1976. Berdasarkan perjanjian tersebut, masyarakat Moro akan mendapatkan otonomi penuh atas 13 Propinsi di Filipina Selatan (Masilan, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboanga del Sur, Zamboanga del Norte, North Cotabato, Manguindanao, Sultan Kudarat, Lanao del Norte, Lanao del Sur, Davao del Sur, South Cotabato, dan Palawan). Namun Presiden Marcos, membuat penafsiran sendiri terhadap perjanjian dan menyatakan ―hak otonomi‖ atas dua wilayah saja yaitu Sulu dan Mindanau Tengah dan Mendanau Barat. Walaupun ditolak oleh MNLF dengan menghidupkan kembali perlawanan senjata, Marcos terus membuat manuver untuk mendekati kelompok muslim yang dapat diajak bekerja sama dan melakukan penekanan. Tekanan pemerintahan Marcos menyebabkan lahirnya berbagai gerakan perjuangan bangsa Moro, seperti Muslim Independen Movement (MIM) pada tahun 1971. Adanya perbedaan visi dan orientasi perjuangan, MNLF yang awalnya diharapkan menjadi induk gerakan pembebasan bangsa Moro-akhirnya pecah. Muncullah dua kelompok, yakni kelompok nasionalis-sekuler pimpinan Nur Misuari yang mendirikan Moro National Liberation Front (MNLF) dan kelompok Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang dipimpin oleh Hashim Salamat. MNLF dalam perjalanannya mengalami perpecahan lagi dengan munculnya kelompok MNLF Reformis di bawah pimpinan Dimas Putando (1981) dan kelompok Abu Sayyap di bawah pimpinan Abdulrazaq Janjalani (1993). Pada tanggal 2 September 1972 pemerintah Marcos memberlakukan Hukum Keadaan Darurat yang diikuti oleh upaya militer, yakni pelucutan senjata kaum Moro, akibatnya konflik semakin meningkat antara pihak Moro dan pemerintah antara tahun 1971-1976. Setelah bertahun-tahun terjadi konflik, Presiden Fidel Ramos dan Misuari menyetujui kesepakatan damai pada tahun 1996. Pada tahun yang sama, Misuari juga dipilih menjadi Gubernur daerah otonom. Namun konflik MNLF dan pemerintah Filipina tetap saja berkepanjangan hingga abad ini, selama tiga dekade terakhir abad ke 20, konflik antara kelompok gerilyawan Moro dengan pemerintah Filipina telah memakan korban tewas sekitar 100.000 jiwa. (Abdul Aziz Dahlan, 1995 ; 245).Perlawanan bangsa Moro terhadap pemerintahan Filipina dilandasi adanya tuntutan untuk memperoleh hak-hak polititik sebagai warga negara yang sudah berada di Filipina sejak abad ke 15,
130
sejak hadirnya bangsa Spanyol dan Amerika di Filipina pada abad ke 18, bangsa Moro semakin terpinggirkan dan menjadi warga kelas dua. Oleh sebab itu, perlawanan yang dilakukan oleh bangsa Moro terhadap pemerintahan Filipina dalam rangka menuntut hak-hak politik mereka. Berbeda dengan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari yang menjadi basis perlawanan adalah persoalan ekonomi (tanah) yang selama ini menopang kehidupannya harus diserahkan kepada negara. Sedangkan daari kedua type perlawanan ini mempunyai kesamaan, yakni dipergunakan kekuatan fisik untuk memperoleh kemenangan dan menjadikan ideologi (Islam/jihad ) sebagai sumber motivasi perjuangannya.
8PELUMPUHAN GERAKAN KOLEKTIVITAS PERLAWANAN PETANI TERHADAP KETIDAKADILAN AGRARIA MELALUI REKAYASA PELABELAN
Pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa munculnya gerakan perlawanan komunitas petani Talangsari karena adanya ketimpangan dalam penguasaan sumber daya agraria, tanah yang selama ini sebagai tempat menopang kehidupannya harus ditinggalkan/mereka terusir, adanya ketegangan struktural antara komunitas Warsidi dan aparatur daerah yang ada di Talangsari, ketegangan ini dimanfaatkan oleh aktor supra lokal untuk menggerakan tindakan perlawanan mereka. Realitasnya perlawanan yang mereka lakukan menemui kegagalan, bahkan justeru label/stigma negatif yang didapatkan, stigma/pelabelan yang dilakukan oleh kekuasaan (rezim otoritarian Orde Baru) mengakibatkan lumpuhnya kolektivitas gerakan yang dibangun selama ini, dan yang lebih parah lagi adalah mereka dianggap sebagai gerombolan pengacau keamanan, gerakan subversif yang ingin menggantikan/menolak azas tunggal ―Pancasila‖ sebagai azas berkehidupan berbangsa. Stigma negatif yang mereka peroleh tidak lepas dari upaya rezim yang berkuasa saat itu (Orde Baru) dalam rangka memonjokkan Islam politik yang dianggap sebagai kekuatan saingan setelah hancurnya kekuatan kiri (partai komunis Indonesia/PKI), dan runtuhnya kekuatan nasionalis (Partai Nasional Indonesia/PNI) yang pernah berjaya pada masa lima puluhan. Kekuatan yang tersisa adalah Islam, hal ini karena basis kultural yang kuat dimiliki oleh umat Islam sehingga tidak mudah untuk dihancurkan. Oleh sebab itu, upaya untuk melumpuhkan kekuatan Islam politik yakni dengan memberi label sebagai kekuatan Islam radikal. Hal ini bisa dipahami karena saat itu relasi kuasa yang terbangun antara negara dan Islam politik bersifat antagonisme, akibat pendekatan Islam politik bercorak formalisme-legalisme. Pelabelan yang dilakukan oleh kekuasaan (rezim otoritarian Orde Baru) ternyata lebih kuat dalam membangun wacana dan berhasil melumpuhkan gerakan kolektif petani menjadi tercerai-berai, bahkan lebih jauh Pelabelan telah melahirkan desintergarasi komunitas Talangsari sebagai gerombolan pengacau keamanan, pelabelan ini telah menjadikan ―kutukan‖ terhadap komunitas sehingga mereka tersisih dari ajang-ajang
131
pemilihan pemimpin non formal sekalipun, mereka tersisih dalam mengakses sumber daya sebagai petani. Berdasarkan pernyataan di atas, pertanyaan yang perlu diajukan dalam penulisan bab ini; Bagaimana kolektivitas gerakan komunitas petani bisa dilumpuhkan dengan pelabelan sebagai gerakan pengacau keamanan ? Uraian bab ini difokuskan pada refeleksi tentang kolektivitas gerakan perlawanan komunitas Warsidi dan upaya pelabelan yang dilakukan oleh kekuasaan supra struktur untuk melumpuhkan gerakan petani.
Pelabelan Gerakan Kolektivitas Petani Untuk menganalisa tentang perlawanan komunitas Talangsari yang dilumpuhkan dengan pelabelan sebagai gerakan pengacau keamanan, peneliti mencoba untuk menggabungkan kedua kerangka teori (teori perilaku kolektif dari Neil J.Smelser dan teori tindakan kolektif dari Tilly) untuk melihat gerakan perlawanan petani, sedangkan untuk melihat pelabelan yang dilakukan oleh kekuasaan (rezim otoritarian Orde Baru) peneliti mencoba memanfaatkan teori labeling dari Howard Becker. Teori pelabelan Becker ini mengkerangkai dari teori-teori tindakan kolektif baik Tilly maupun Smelser, hal ini dikarenakan tindakan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari tidak terlepas dari rekayasa aktor supra struktur yakni kekuasaan (negara) dalam upaya untuk melumpuhkan gerakan tersebut sebagai suatu tindakan yang menyimpang. Penggunaan kerangka kedua teori (Smelser dan Tilly) akan langsung disatukan dalam bahasan konsep-konsep yang serupa. Konsep antara kedua teori yang serupa atau berdekatan adalah : mobilisasi, represi atau kontrol sosial, faktor pemercepat yang dekat dengan konsep peluang. Sedangkan untuk konsep-konsep yang berbeda seperti; interest, organisasi, ketegangan struktural merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep-konsep sebelumnya. Teori tindakan kolektif (Tilly) memberi sumbangan yang berarti dalam menganalisa perlawanan komunitas Talangsari, dengan menempatkan pentingnya interest dalam proses mobilisasi aksi kolektif, sedangkan teori perilaku kolektif (Smelser) lebih banyak memberikan sumbangan mengenai pentingnya kedudukan kondisi struktural, dan kepercayaan umum. Selanjutnya ketiga aspek itu turut menentukan variant interest dari para aktor dan para anggota komunitas yang ada. Keempat hal tersebut, selanjutnya menjadi materi untuk berkembangnya mobilisasi ke dalam tindakan perilaku atau aksi kolektif. Teori tindakan kolektif (Tilly) dipergunakan untuk menganalisa mobilisasi yang dilakukan oleh para aktor yang mengejar kepentingannya, terutama aktor supra lokal (kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru) yang berkepentingan untuk melemahkan Islam politik dalam pentas politik nasional. Akan tetapi karena perlawanan komunitas Talangsari juga mendesak agar pemerintah sebagai pihak yang berwenang untuk menerapkan kebijakan reforma agraria atas tanah register 38 Gunung Balak, maka menurut peneliti menggunakan teori perilaku kolektif
132
(Smelser) yang melihat perlawanan komunitas Talangsari juga berorientasi pada norma. Mobilisasi yang dilakukan oleh aktor supra lokal adalah bagian dari upaya (rekayasa) agar komunitas Talangsari melakukan tindakan perlawanan (menyimpang) yang pada akhirnya akan dilabeli sebagai Gerombolan pengacau Keamanan. Sebagaimana dalam teori labeling bahwa tahap pertama pelabelan itu adalah adanya perilaku/tindakan yang menyimpang dari norma-norma masyarakat atau hukum yang berlaku, setelah itu pihak yang merekayasa memberi penilahan atau membangun wacana bahwa tindakan yang dilakukan adalah penyimpangan dan diberi label sebagaimana yang dikehendakinnya. Hal ini terbukti dari hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa perlawanan komunitas Talangsari tidak dilakukan sendiri oleh para anggota komunitas, melainkan juga atas dukungan jaringan aktor supra lokal yang lebih berperan, artinya proses terbentuknya struktur jaringan aktor dan pertimbangan-pertimbangan yang dimiliki oleh para aktor supra lokal sehingga mereka masuk, berada dan keluar dalam jaringan perlawanan komunitas Talangsari. Adapun yang menjadi pertimbangan bagi para aktor untuk tetap di dalam jaringan adalah karena adanya komitmen yang sudah disepakati sebelumnya dalam menjadikan Cihideung Talangsari sebagai basis perjuangan, dan kalkulasi rasional tentang cost dan benefiet dalam melakukan perlawanan. Oleh sebab itu teori tindakan kolektif Tilly perlu dilengkapi dengan melihat bagaimana konsekuensi relasi sosial dalam jaringan pertukaran terhadap diri para aktor.
Ketegangan Struktural Perlawanan komunitas petani di Talangsari tidak terjadi begitu saja dengan sendirinya, akan tetapi ada proses yang direkayasa (engenering) baik secara alamiah maupun secara terorganisir. Proses rekayasa ini melekat di dalam hubungan sosial masyarakat yang dilakukan oleh supra struktur kekuasaan dengan menempatkan aktor-aktor tertentu, sehingga komunitas Warsidi di Talangsari melakukan tindakan perlawanan yang diawali dengan adanya ketegangan struktural dengan aparatus daerah. Ketegangan struktural ini secara sengaja diciptakan untuk melahirkan tindakan penyimpangan dalam bentuk ketidaksenangan terhadap aparatus daerah. Sampai disini jika dikaitkan dengan teori Smelser yang menyebutkan bahwa ketegangan struktural itu dipengaruhi oleh perasaan ketidaksenangan atau ketidakpuasan, oleh sebab itu perlu ditegaskan bahwa ketidak-puasan itu adalah hasil dari aktivasi di atas. Rasa tidak senang itu bukan ―given atau taken for granted”, akan tetapi merupakan hasil pengerahan energi dari proses hubungan sosial. Meskipun tidak secara tegas, Smelser telah menjelaskan bahwa perwujudan dari ketidaksenangan dapat dipengaruhi oleh; adanya situasi dan peristiwa objektif yang mempengaruhi penduduk, dan adanya standar untuk memberikan penilaian atas situasi atau peristiwa tersebut, yang mana standar itu berasal dari serangkaian nilai dan norma masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas, perlawanan komunitas petani Talangsari muncul karena adanya ketidaksenangan antara komunitas Warsidi dengan
133
aparatur desa adalah hasil aktivasi dari kompleksitas elemen sekaligus permasalahan yang ada disekitar diskursus perilaku kolektif, dimana aktivasi ini tidak berhasil dilawan oleh kontrol sosial. Ketegangan struktural yang dapat mengarah pada terjadinya perilaku kolektif adalah ketegangan struktural yang diaktivasi sedemikian rupa, sehingga tidak bisa di conter oleh kontrol sosial. Sementara itu bila merujuk pada teori Smelser, munculnya ketegangan struktural antara komunitas Talangsari di bawah kepemimpinan Warsidi dengan aparatus daerah di bawah komando Sukidi disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, adanya, kemunculan pengetahuan dan nilai baru, antagonisme budaya dan pemahaman keagamaan antara komunitas Warsidi dengan masyarakat umum dusun Talangsari. Ketegangan strukturalyang terjadi antara anggota jama‘ah Warsidi dengan aparatus setempat, pada tahapan selanjutnya ikut menyempurnakan terjadinya kondisifitas struktural. Ketegangan struktural lebih mengalami peningkatan saat dihadapkan pada mekanisme demokrasi yang berlaku di pedesaan saat ini sangat menekankan pada pertimbangan ketertiban dan keamanan. Ini berakibat hilangnya dinamika rakyat pedesaan dan digantikan dengan berbagai organisasi dan kelembagaan desa yang merupakan perpanjangan tangan dari birokrasi Negara. Di bawah kekuasaan Orde baru, desa telah dijadikan sebagai unit terbawah tangan kekuasaan (negara) yang paling bawah. Posisi desa saat itu, tidak lepas dari sentralisasi kekuasaan yang dibangun oleh penguasa Orde Baru, yang dimaksudkan menjadi bagian dari mesin stabilitas politik demi mencapai apa yang disebut sebagai tujuan pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Masalahnya bukan saja sentralisasi, melainkan pula adanya penyeragaman yang bermakna, bahwa entitas desa yang unik pada masing-masing daerah telah dinegasikan dan diseragamkan demi efisiensi pembangunan dan standarisasi kontrol. Permasalahan yang muncul dengan skema organisasi kekuatan yang seperti ini adalah, Pertama, segala sesuatu yang dianggap baik oleh kekuasaan pusat, secara otomatis dianggap baik oleh penguasa desa. Desa hanya dipandang sebagai cerminan negara, oleh sebab itu itu pula negara hadir dalam ban yak dimensi kehidupan masyarakat desa. Artinya bahwa desa harus tunduk secara mutlak dengan keputusan dan kebijakan pemerintah pusat. Kedua, dengan model yang demikian, segala institusi yang berada di luar skema kekuasaan yang merupakan institusi lokal dinyatakan tidak mempunyai hak untuk hidup kecuali jika sejalan dengan kepentingan nasional dan yang paling berhak untuk memberikan penilaian tentu bukan masyarakat lokal, melainkan pemerintah pusat. Ketiga, apa yang disebut dengan aspirasi rakyat setempat menjadi kehilangan momentum untuk ikut ambil bagian, sebab seluruh saluran yang ada merupan saluran bagi kepentingan nasional dan bukan bagi kepentingan rakyat. Keadaan di desa yang sangat menitikberatkan pada Kamtibmas, keadaan yang terus demikian pada gilirannya bisa menimbulkan kurangnya prakarsa dan inisiatif dari rakyat desa. Hal ini mungkin juga karena tidak jelasnya pengertian ―ketahanan, ketertiban dan keamanan‖ tersebut, sehingga suatu kegiatan atau inisiatif dari warga desa dapat saja digolongkan ke dalam aspek ketertiban dan keamanan. Khususnya bila berkaitan dengan adanya konflik atau potensi konflik antara pihak penguasa desa dengan rakyat warga desa pada umumnya, dan inilah
134
kiranya kasus yang selalu berulang dalam peristiwa-peristiwa sengketa tanah ataupun masalah-masalah lainnya, apakah itu masalah sosial, politik dan ekonomi. Semua ini tentulah tidak kita kehendaki bersama di dalam sistem demokrasi politik yang kita pakai. Peluang Setelah terdapat kondusifitas dan ketegangan struktural, maka tahap pertumbuhan dan penyebaran kepercayaan umum sebagai faktor determinan berikutnya dalam perilaku kolektif mulai beroperasi. Penjelasan semacam ini, bukan bermaksud mengatakan bahwa kepercayaan umum itu baru eksis setelah tahap satu dan dua itu berjalan, namun sudah lama eksis dalam kehidupan para petani. Hal ini sesuai dengan pemikiran Smelser yang menegaskan bahwa kepercayaan umum itu bisa jadi sudah ada dalam rentang waktu yang cukup lama meskipun bersifat laten. Beberapa kepercayaan umum yang tertanam dalam diri para petani adalah, bahwa tanah yang mereka dapatkan adalah hak mereka yang diperoleh dengan membeli dan dengan disyahkannya wilayah mereka menjadi kecamatan definitif oleh pemerintah daerah saat itu, yakni kecamatan Gunung Balak. Faktor lain yang mendukung terjadinya perilaku kolektif adalah faktor pemercepat dengan memberikan tanda-tanda bagi perkembangan situasi yang tiba-tiba terjadi, atau memberikan simbolisasi terhadap kondisi kondisifitas dan ketegangan. Dalam hal ini faktor pemercepat memfokuskan “kepercayaan” pada orang, peristiwa, atau situasi tertentu. Lebih lanjut, faktor tersebut menciptakan mobilisasi untuk diciptakan tindakan. Nampaknya konsep ini mempunyai kesamaan makna dengan konsepnya Tilly yang berkaitan dengan peluang, menurut Tilly peluang dapat terciptakan jika represi kekuasaan terhadap mobilisasi itu berkurang. Peluang dapat berarti peluang politik, peluang untuk melakukan perlawanan saat itu bertepatan dengan refresi negara otoritarian Orde Baru yang begitu kuat terhadap kekuatan-kekuatan sosial politik masyarakat yang menentang hegemoni negara dalam memberlakukan azas tunggal Pancasila, melalui Tap MPR No. II/MPR/1978. Selanjutnya dengan didasarkan pada pemikiran Smelser dan Tilly serta fakta sosio empirik di Talangsari, dapat diketahui bahwa faktor pemercepat perlawanan komunitas Talangsari karena adanya dukungan aktor yang berasal dari luar komunitas Talangsari yang memberi motivasi untuk melakukan perlawanan.
Mobilisasi Motivasi. Mobilisasi motivasi kepada para anggota komunitas Warsidi merupakan fase terakhir dalam penjenjangan ―nilai tambah‖ dari faktor-faktor determinan perilaku kolektif dari Smelser. Aspek mobilisasi juga persis sama dengan apa yang dipaparkan oleh Tilly dalam model mobilisasi tindakan kolektif. Smelser mengatakan bahwa faktor determinan terakhir di dalam proses nilai tambah yang menghasilkan gerakan orientasi nilai adalah mobilisasi terhadap para partisipan
135
untuk melakukan tindakan. Berbeda dengan Tilly yang justeru menegaskan bahwa mobilisasi di dalam tindakan kolektif itu selalu berkaitan dengan alat-alat produksi yang menjadi ajang konflik kepentingan, di antara alat produksi dalam yang menjadi arena konflik kepentingan dalam peristiwa perlawanan komunitas Talangsari adalah tanah yang diklaim menjadi bagian dari hutan register 38 Gunung Balak. Mobilisasi motivasi terhadap para anggota komunitas Warsidi oleh aktor supra lokal dalam perlawanan petani dalam bentuk mengaktifkan lagi berbagai faktor determinan dari tahap-tahap sebelumnya di saat mereka masih bermukim di desa-desa dalam area register 38 Gunung Balak, mobilisasi motivasi untuk masuk kedalam perilaku kolektif itu bahkan sudah dilakukan sejak mereka membentuk basis perjuangan di Cihideung Talangsari. Dalam memobilisasi motivasi pihak yang paling berperan adalah para elit gerakan yang mempunyai basis pendukung yang besar, dan ini dimiliki oleh tokoh Warsidi yang di arahkan oleh beberapa aktor supra lokal. Bermodalkan semangat, kepercayaan diri, dan tidak adanya rasa takut akan resikio keamana dirinya serta kemampuan dalam mengembangkan jaringan dukungan perlawanan, dari waktu ke waktu ia terus menata motivasi para anggota komunitasnya. Para pemimpin berupaya menempatkan dirinya untuk secara penuh hati memperjuangkan nasib para anggotanya, bukan memperjuangkan dirinya sendiri. Dalam perlawanan komunitas Talangsari peran Warsidi sebagai pemimpin sangat penting sekali, bukan hanya pada tahap memobilisasi motivasi perlawanan akan tetapi keberadaannya penting dalam setiap fase perlawanan, khususnya dalam fungsi aktivasi. Hal ini memang kelihatannya berbeda dengan perspektif Smelser yang lebih menempatkan peran pemimpin lebih banyak pada fase mobilisasi motivasi, sedangkan dalam perlawanan komunitas Talangsari peranan pemimpin justeru terlihat dalam setiap fase perlawanan.(dari fase ketegangan struktural, fase pertumbuhan dan persebaran kepercayaan umum, fase mobilisasi motivasi dan pemeliharaan konsistensi komitmen dari jaringan). Bagi komunitas Warsidi di Talangsari, pemimpin itu ibarat roh-nya suatu organisme. Selama ada pemimpin maka selama itu pula perlawanan akan tetap hidup dan berkembang begitu pula sebaliknya. Perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari dikomandoi oleh Warsidi sebagai imam yang dikelilingi oleh pemimpin-pemimpin setingkat di bawahnya. Tipe kepemimpinan tetap dilangsungkan secara tersentral, meskipun untuk masalah-masalah tertentu diputuskan secara kolegial.
Kontrol Sosial/Represi Istilah kontrol sosial di dalam pemikiran Tilly disebut dengan represi. Menurutnya, tingkat represi yang terjadi akan sangat tergantung dengan macam atau jenis interest (kepentingan) yang menjadi ajang/arena perebutan dalam tindakan kolektif tersebut. Sedangkan Smelser (1962; 363) menjelaskan bahwa; ―.....untuk menganalisis adalah tindakan yang tepat membagi kontrol sosial menjadi dua tipe yang luas; pertama, kontrol sosial yang meminimalisir kondusifitas dan ketegangan. Dalam pemahaman yang luas, kontrol sosial ini mencegah terjadinya episode perilaku kolektif, sebab
136 ia menyerang faktor determinan yang sangattidak spesifik, kedua, kontrol sosial yang dimobilisasi hanya setelah episode kolektif mulai nampak...‖.
Berdasarkan kerangka teori di atas, Smelser lebih menegaskan bahwa kontrol sosial dalam makna untuk mencegah atau meminimalisir terjadinya perilaku kolektif itu sudah dilakukan sejak tahap pertama dan kedua, artinya perlu adanya penegasan tentang aktivasi, karena yang namanya mengontrol/represi tentunya terhadap fenomena yang sedang aktif baik karena proses alamiah maupun karena pengorganisasian. Sebenarnya upaya-upaya pencegahan agar tidak terjadi perilaku kolektif telah dilakukan. Misalnya saja ketika Warsidi sebagai pimpinan komunitas diminta menghadap Camat Way Jepara sebagai penguasa wilayah. Pemanggilan seperti ini memang tidak efektif terbukti justeru memicu terjadinya ketegangan antara komunitas Warsidi dengan aparatus daerah. Jenis kontrol sosial selanjutnya adalah pelaksanaan kontrol pada saat perilaku kolektif sedang berlangsung juga dilakukan bukan hanya oleh pihak keamanan setempat, akan tetapi juga institusi keamanan negara dan juga institusi penegak hukum negara. Kontrol sosial jenis kedua ini ternyata juga tidak dapat membendung terjadinya pergolakan perlawanan petani. Kontrol sosial yang dilakukan oleh aparatus negara ternyata telah dimentahkan oleh para pemimpin perlawanan, namun demikian jika meminjam pemikira Tilly ketidakefektifan kontrol sosial dipengaruhi oleh adanya rekayasa yang dibangun antara tokoh gerakan dengan kekuasaan, sehingga aparatus daerah tidak mampu bertindak secara tegas, namun dalam bagian lain Smelser menjelaskan tentang pentingnya kontrol sosial. Kontrol sosial yang dilakukan oleh kekuasaan supra struktur adalah bagian dari rekayasa agar terjadi perilaku kolektif yang menyimpang dari norma atau nilai yang berlaku secara umum di masyarakat, baik norma hukum maupun norma-norma kemasyarakatan. Sebagaimana teori labeling (Howard S. Becker (1963) untuk menggambarkan proses pelabelan diawali adanya perilaku yang menyimpang. Perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari diketahui bahwa agensi yang melakukan kontrol sosial adalah instansi keamanan, institusi penegakan hukum dan sengaja dibiarkan, sehingga dengan mudah agensi kekuasaan menilai perilaku tersebut. Setelah adanya penyimpangan atas perilaku kolektif, maka pihak supra struktur (penguasa) dengan seluruh aparatus dibawahnya dan diback up oleh media masa membangun wacana akan penyimpangan perilaku kolektif tersebut, yang diikuti dengan penangkapan para aktor (lokal dan supra lokal) serta pemenjaraan dalam lembaga masyarakat. Dalam teori labeling yang dikembangkan oleh Becker menjelaskan bahwa pelabelan hanya akan terjadi apabilasebuah tindakan disebut sebagai perilaku menyimpang karena orang lain/masyarakat memaknai dan menamai (label) sebagai perilaku menyimpang.Berkaitan dengan pelumpuhan gerakan kolektivitas komunitas Warsidi, yang direkayasa (engenering) oleh kekuatan supra lokal maka bekerjanya pelabelan dilakukan sejak komunitas itu memperjuangkan hak-hak untuk mengakses sumber daya agraria di hutan register 38 Gunung Balak, akan tetapi kuatnya hegemoni negara mengakibatkan mereka terusir sehingga membangun basis kekuatan di Cihideung Talangsari.
137
Berdasarkan uraian di atas, kolektivitas komunitas Warsidi dapat terbangun menjadi suatu gerakan perlawanan terhadap aparatus daerah, namun demikian kuatnya pelabelan yang nota benenya adalah rekayasa dari supra struktur mampu melumpuhkan kolektivitas yang ada, bahkan ekses dari pelabelan sebagai gerombolan pengacau keamanan berakibat pada sulitnya untuk mengakses sumber daya alam, sulit memperoleh pekerjaan dan berkompetisi dalam ajang-ajang pemilihan kepemimpinan lokal, bahkan yang lebih parah lagi akibat adanya pelabelan sebagai gerombolan pengacau keamanan, kolektivitas masyarakatnya menjadi lumpuh dan tercerai berai; ada endapan kolektivitas sejarah masyarakat lokal sebagai pencilan.
Temuan Teoritik Setelah memperhatikan paparan data temuan lapangan dan kajian teoritik tentang perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari di atas, maka dapat dijelaskan bahwa; teori Smelser lebih menekankan pada adanya perilaku yang berorientasi pada norma sehingga dapat menjelaskan fenomena yang melekat pada perilaku para aktor yang berasal dari kelompok-kelompok kajian ke-Islaman yang radikal, seperti dari Usroh di Solo. Sedangkan teori Tilly yang lebih menekankan pada adanya perilaku aktor yang mengejar kepentingan ekonomi dan politik, artinya teorinya Tilly lebih tepat digunakan untuk melihat para aktor dan anggota komunitas perlawanan yang bertujuan mencari keuntungan di balik perlawanan tersebut. Gerakan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari yang sedianya hendak menjadikan perlawanan ini untuk mendapatkan akses lahan, justeru direkayasa untuk membangun sebuah perkampungan yang Islami (negara di dalam negara) yang pada akhirnya dianggap sebagai bentuk penyimpangan terhadap aturan negara dan melahirkan penilaian sebagai gerakan pengacau keamanan. Disinilah teori Labeling Becker bekerja dalam upaya merekayasa tindakan kolektif (perlawanan komunitas Warsidi) sebagai bentuk penyimpangan yang pada akhirnya dilabeli sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan. Temuan teoritik ini berada dalam lingkup sosiologi makro yang menaruh perhatian pada proses aksi atau perilaku kolektif dari suatu pelawanan petani dari hasil rekayasa aktor supra struktur, disini terlihat teori labeling Becker bekerja. Teori perilaku kolektif meminjam konsep nilai tambah dari Smelser untuk menjelaskan bagaimana ―penentu-penentu penting‖ tindakan atau aksi kolektif. Perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari terlihat adanya peranan penting networking dalam menentukan proses aksi atau perilaku kolektif, di luar the main atau the important determinants sebagaimana dipergunakan oleh Smelser dan Tilly. Tanpa adanya unsur jaringan, perlawanan komunitas Warsidi tidak akan pernah dapat mencapai apa yang menjadi tujuannya, bahkan dengan jaringan yang terbangun perlawanan komunitas Warsidi tetap juga megalami kegagalan dan dianggap sebagai bentuk penyimpangan. Sumbangan Tilly Dalam Teori Tindakan Kolektif
138
Teori Tilly memberikan sumbangan mengenai pentingnya interest dalam proses mobilisasi aksi kolektif, sedangkan teori Smelser memberi sumbangan mengenai pentingnya kedudukan kondisi struktural dan kepercayaan umum dalam proses mobilisasi perilaku kolektif. Studi tentang perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari melihat ketiga aspek (interst, kondisi struktural dan kepercayaan umum) saling memperkuat satu sama lain. Hasil resultanse antara kondisifitas struktural dan ketegangan struktural melahirkan kepercayaan umum. Varian interest dari para aktor dan anggota komunitas perlawanan yang ada ditentukan oleh ketiga aspek tersebut (kondisi struktur, ketegangan, dan kepercayaan umum). Keempat hal ini kemudian menjadi ―bahan‖ bagi dikembangkannya mobilisasi ke dalam tindakan perilaku atau aksi kolektif. Mobilisasi dapat berlangsung sukses dalam suatu perlawanan petani disebabkan oleh adanya dukungan jaringan (networking), tidak efektifnya pelaksanaan sosial kontrol, dan terbukanya peluang bagi dilakukannya tindakan kolektif. Mobilisasi itu sendiri dapat dilangsungkan secara lancar karena dalam fase sebelumnya telah dilakukan aktivasi dari para aktivator atas segala nilai, norma dan keyakinan yang terkait dengan rencana perlawanan petani. Temuan teoritik ini menegaskan bahwa, dalam suatu perilaku kolektif akan dijumpai berbagai kepentingan dari para aktor dan anggota komunitas yang terlibat di dalamnya. Mereka tidak hanya memiliki target untuk diberlakukannya nilai dan norma saja sebagaimana digambarkan oleh Smelser, tetapi juga disertai dengan adanya berbagai kepentingan individu atau kelompok sebagaimana digambarkan Tilly. Menurut temuan studi perlawanan komunitas Warsidi ini, teori Smelser dan teori Tilly dapat saling melengkapi dalam menjelaskan proses terjadinya perilaku atau aksi kolektif. Kalaupun ada perbedaan tujuan dari masing-masing aktor dalam perlawanan komunita Warsidi, hal ini lebih dikarenakan masing-masing aktor merepresentasikan kepentingannya, ada aktor yang mewakili kepentingan idealismenya meskipun harus terjebak pada pemikiran yang sempit (mendirikan negara di dalam negara/perkampungan muslim) yang justru idealisme ini dimanfaatkan oleh aktor yang mewakili kepentingan pragmatisme (aktor-aktor supra lokal) demi mendapatkan materi dan kekuasaan politik. Meskipun dengan berbagai kepentingan yang berbeda, masing-masing aktor kemudian saling bekerja sama untuk meraih tujuannya masing-masing, para aktor (supra lokal) lebih jelas terlihat sebagai pihak yang hendak mengejar kepentingan sendiri. Hal ini terlihat pasca terjadinya perlawanan komunitas Warsidi, masing-masing aktor mencoba membuat kelompok baru untuk menyelesaikan kasus tersebut, satu kelompok yang menamakan dirinya Korban Kekerasan Militer Lampung (Koramil) menuntut agar Komnas HAM menyelesaikan secara hukum kasus pelanggaran berat HAM pada kasus yang dikenal dengan tragedi Talangsari. Kelompok lainnya, yang menamakan diri Forum Persaudaraan Antar Umat (Format) dan Gerakan Islah Nasional (GIN), menuntut Komnas HAM membiarkan mereka menyelesaikan persoalan melalui pendekatan kekeluargaan. Aksi Kolektif
139
Aksi dan perilaku kolektif akan bisa berlangsung apabila ada upaya untuk mengaktifkan penentu-penentu penting, baik yang berada dalam sistem nilai atau pengetahuan manusia, maupun yang berada di dalam sistem kemasyarakatan, sehingga penentu-penentu penting tersebut memiliki makna yang mendukung terjadinya perilaku kolektif. Aktor-aktor yang mempunyai kemampuan lebih dapat melakukan aktivasi, baik melalui proses pergaulan keseharian maupun melalui upaya yang terorganisir, disinilah arti penting jaringan pendukung dalam membantu proses aktivasi sehingga muncul gerakan perlawanan komunitas Warsidi. Smelser dalam teorinya memang membicarakan fungsi komunikasi dalam proses perilaku kolektif sebagai alat yang dapat dipergunakan dalam aktivasi dan tidak menyinggung konsep aktivasi, padahal aktivasi ini diperlukan sejak dalam tahap awal proses yang akan menuju perilaku kolektif, karena aktivasi merupakan proses pengaktifan determinats agar memiliki makna atau arti mendalam sehingga dapat dipergunakan untuk mendukung upaya mobilisasi bagi terjadinya perilaku atau aksi kolektif. Pimpinan gerakan yang ditopang oleh para aktor lokal dan supra lokal melakukan aktivasi berbagai nilai atau norma, baik secara organisasional maupun secara sosial (pergaulan sosial) terhadap anggota komunitas sehingga mendukung bagi dilakukannya tindakan perlawanan. Aktivasi ini dilakukan secara intensif di basis perjuangan Talangsari. Berdasarkan uraian di atas, bahwa aktivasi dilakukan di bawah pola struktur gerakan perlawanan komunitas petani yang sebelumnya mereka sendiri yang membangunnya. Hasil dari aktivasi ini kemudian menjadi modal untuk melakukan mobilisasi terhadap segala energi dan potensi yang dimiliki oleh komunitas Warsidi di Talangsari, oleh sebab itu aktivasi merupakan tahapan proses yang harus ada sebelum tindakan mobilisasi dilakukan. Mobilisasi Sosial Untuk meminimalisir kondusifitas dan ketegangan serta untuk mengendalikan perilaku kolektif yang sedang berlangsung, baik Tilly maupun Smelser menganggap perlu adanya pengendalian sosial yang dilakukan oleh lembaga agensi pemerintah maupun masyarakat yang tidak menyetujui adanya perilaku kolektif. Dalam kasus perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari ini sebenarnya proses kontrol sosial sudah dilakukan oleh aparatus daerah (Muspika kecamatan Way Jepara), hanya saja proses kontrol sosial yang dilakukan tidak selalu menyertai keberadaan aktivasi dan atau mobilisasi gerakan. Hal ini dikarenakan gerakan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari sengaja diciptakan oleh kekuatan supra struktur yang merasa terusik dengan gerakangerakan petani di daerah, lebih lagi gerakan perlawanan komunitas Warsidi terbangun atas solidaritas kolektif yang berbasiskan agama. Sebenarnya keberadaan aktivasi-mobilisasi dan kontrol sosial mirip dengan hukum mekanika, setiap ada daya dorong pasti diikuti oleh daya tolak, rasionalitas dari studi ini bahwa setiap ada gangguan terhadap stabilitas atau kemapanan sistem, maka akan ada reaksi yang dilakukan untuk menciptakan kembali keteraturan. Tarik menarik antara unsur aktivasi-mobilisasi dan kontrol sosial
140
tersebut sama dengan pemahaman teori struktural fungsional, bahwa sistem dan sub-sitem sosial untuk saling berhubungan, saling bergantung, dalam dinamika keseimbangan untuk mewujudkan tatanan sosial sehingga masyarakat tetap eksis. Sementara itu, dalam setiap gerakan perlawanan dukungan jaringan merupakan salah satu determinants yang pentingdalam perilaku kolektif, meskipun Smelser dan Tilly tidak menyinggung sama sekali tentang peran dukungan jaringan. Tanpa dukungan jaringan perilaku kolektif (gerakan perlawanan), baik yang berorientasi pada norma maupun yang berorientasi pada kepentingan tidak akan bisa berjalan. Adapun alasannya; pertama, dalam gerakan perlawanan yang bergerak menuju terwujudnya pada sistem kehidupan yang lebih baik, maka akan membawa konsekuensi pada perlunya pembagian tugas diantara komponen-komponen gerakan. Logika ini mirip dengan pembagian kerja ―division of Labour‖ Emile Durkheim yang merupakan konsekuensi adanya pergeseran sistem sosial dari mekanik menuju organik. Kedua, setiap gerakan perlawanan pasti akan menghadapi tantangan atau hambatan dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan gerakan tersebut. Semakin nilai dan norma yang ingin dirubah atau diterapkan itu berada dalam posisi yang bertentangan dengan nilai dan norma lama atau yang sedang berlaku, maka akan semakin besar kebutuhannya untuk mendapatkan dukungan jaringan. Sedangkan Pelabelan yang dilakukan oleh kekuatan supra lokal (negara) terhadap komunitas Warsidi secara teoritik telah melalui tahapan-tahapan sebagaimana yang dikemukakan oleh Becker, hanya saja dalam teori tersebut tidak dijelaskan tentang penyimpangan dari hasil rekayasa. Artinya penyimpangan yang terjadi memang benar-benar murni penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok sosial. Kekuatan suatu label yang kemudian berwujud antara pemberi label dan yang diberi label dipengaruhi siapa yang memberi label dan siapa yang diberi label, semakin kuat kewenangan suatu pihak yang memberi label, maka akan semakin lemah posisi tawar pihak (individu atau kelompok) untuk melakukan pembelaan terhadap diri atau pihaknya
9 SIMPULAN, SARAN DAN EPILOG Simpulan Kesimpulan berikut ini merupakan abstraksi dari analisis fakta empiris yang sudah dipaparkan dalam bab sebelumnya tentang perlawanan petani terhadap ketidakadilan agraria. Kesimpulan empiris ini sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan dan tujuan penelitian. Adapun kesimpulannya sebagai berikut : 1. Terbangunnya kolektivitas komunitas Warsidi di Talangsari dan melakukan tindakan kolektif (perlawanan) melalui kekerasan dapat dipahami, karena adanya kesenjangan-kesenjangan di masyarakat Indonesia. Secara historis, kesenjangan tersebut terjadi karena adanya kelompok yang menguasai akses pada modal dan kekuasaan sejak era pergerakan nasional. Kelompok Islam
141
politik yang tidak terakomodasi dalam struktur politik Indonesia mengambil langkah-langkah yang radikal dan berkarakter militeristik. Sementara itu,pada basis struktural kita dapat melihat bahwa adanya oligarki elit yang menguasai sumber daya politik dan ekonomi ternyata berdampak pada munculnya kelompok-kelompok yang termarjinalkan dan termiskinkan secara struktural. Hal ini kemudian berdampak pada kesadaran kelas mereka dengan menggunakan ―syariat Islam‖ sebagai basis ajaran sentral yang dapat menggantikan peran negara yang gagal mengantisipasi kesenjangan struktural tersebut. 2. Pelabelan sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan berbasiskan pada ideologi keagamaan (Islam) yang dilakukan oleh kekuatan (negara), karena negara orde baru sangat berkepentingan melumpuhkan kekuatan politik Islam,pemerintah dengan satu prediksi bahwa politik umat Islam memiliki kecenderungan hendak memperkuat posisinya, dimana kekuatan tersebut yang akan menghancurkan cita-cita nasionalisme sekuler yang telah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.Pelabelan ini berhasil melumpuhkan perlawanan komunitas Warsidi, bahkan ekses dari pelabelan tersebut berakibat pada sulitnya untuk mengakses sumber daya alam, sulit memperoleh pekerjaan dan berkompetisi dalam ajang-ajang pemilihan kepemimpinan lokal, bahkan yang lebih parah lagi akibat adanya pelabelan, kolektivitas masyarakatnya menjadi lumpuh dan tercerai berai; ada endapan kolektivitas sejarah masyarakat lokal sebagai pencilan. 3. Gerakan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari adalah gerakan yang muncul atas dasar kepentingan ekonomi, yang dilabel sebagai gerakan keagamaan yang menjadikan ideologi jihad sebagai basis gerakan, sedangkan perlawanan komunitas Moro di Filipina adalah gerakan perlawanan yang menuntut kemerdekaan politik (politik Islam) dalam bentuk negara merdeka.
Saran Apa yang terjadi di Talangsari kini hendaknya bisa menjadi sebuah pelajaran yang berharga bagi kita semua, khususnya pemerintah. Bahwa upaya yang di lakukan untuk menangani masalah-masalah seperti itu haruslah di pikirkan secara mendalam dan berdimensi pada orientasi jangka panjang terkait dampak yang akan di timbulkan. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah sebaiknya juga menyelami kondisi yang sebenarnya terjadi dan di rasakan oleh masyarakat Talangsari bersama dengan pemahaman mereka yang berkembang sampai dengan kini. Pendekatan sosio-kultural adalah lebih tepat untuk mewujudkan masyarakat yang berkesadaran akan berbangsa dan bertanah air Indonesia secara utuh. Pemerintah seharusnya tidak malah membuat jarak pada masyarakat ini. Begitupun dengan masyarakat sekitar daerah Talangsari yang selama ini justru bersikap mengucilkan warga (korban) Talangsari. Upaya-upaya dialogis humanis justru akan lebih mampu untuk merubah paradigma berfikir masyarakat yang selama ini mungkin ada dan kurang tepat untuk dijadikan landasan berfikir.
142
Psikologi korban Talangsari harus di bangun untuk bangkit dan tumbuh bersama kebersamaan masyarakat sekitar daerah Talangsari. Selain juga pada faktor ekonomi (peningkatan kesejahteraan) yang juga menjadi pendukung utama untuk semakin memantapkan upaya pendekatan sosiokultural tersebut. Pemerintah harus membuka akses ekonomi bagi warga. Membantu tumbuh berkembangnya kesejahteraan yang bisa di rasakan oleh mereka sebagai warga negara Indonesia. Hal ini perlu sebagai upaya menciptakan kondisi masyarakat yang terpedulikan oleh pemerintahnya. Kemudian yang tak kalah penting adalah menyelesaikan permasalahan peristiwa Talangsari yang sampai dengan kini belum selesai. Hubungan sesama korban harus diharmoniskan kembali, sampai dengan upaya terbaik (yang disepakati) untuk membawa ujung penyelesaian dari permasalahan atas peristiwa ini. Hal yang tidak boleh dilupakan sesuai dengan pasal 4 ayat g dalam UU No. 6/2014 tentang Desa dinyatakan bahwa desa diberi kewenangan untuk meningkatkan ketahanan sosial budaya guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian ketahanan nasional, oleh sebab itu perlu adanya aksi kolektif dalam pemberdayaan politik kaum tani melalui pembentukan organisasi petani, dengan prinsip-prinsip antara lain; pertama, pendidikan dilandasi semangat membebaskan dan perubahan kearah yang lebih baik; kedua, keberpihakan, yang merupakan ideologi pendidikan politik itu sendiri, artinya yang dapat belajar politik meliputi semua kalangan (kaya, miskin dan tidak pernah sekolah) berhak atas pendidikan politik dan memperoleh pengetahuan akan politik. Ketiga, mengutamakan prinsip partisipasi antara pimpinan organisasi, pemateri, peserta masyarakat dan lingkungan dalam merancang pendidikan politik sesuai kebutuhan, sehingga membuang jauh citra politik yang cenderung milik orang kaya yang selalu dirancang oleh intelektual kota dan tidak memahami masyarakat. Semua upaya tersebut harus terbingkai pada rasa persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa yang besar. Rasa persatuan dan kesatuan tidak akan bisa dilaksanakan apabila rasa solidaritas sebagai bangsa tak dapat ditumbuh kembangkan, karena solidaritas bertumpu atas dasar kepentingan bersama. Tidak ada yang menyangkal bahwa mungkin kedepannya bisa saja akan muncul kelompok-kelompok Talangsari lain entah itu dalam format yang sama ataupun berbeda. Epilog Meskipun gerakan kolektivitas komunitas petani di Talangsari yang menuntut keadilan agraria dapat ditmpas dengan kekuatan militer dan dilumpuhkan dengan pelabelan sebagai gerombolan pengacau keamanan oleh kekuasaan (negara), namun demikian perlu adanya upaya untuk mewujudkan rasa keadilan agraria bagi masyarakat petani berupa perubahan paradigma pembangunan agraria yang berpihak pada kepentingan petani, sehingga peristiwa serupa tidak terulang kembali pada masa-masa mendatang di tempat yang berbeda. Pelumpuhan gerakan kolektivitas petani melalui pelabelan akan berhasildengan baik bila didukung oleh sistem kekuasaan yang otoriter (semisal
143
masa kekuasaan Orde Baru), karena dalam sistem pemerintahan yang otoriter semua kekuatan politik dan media masa dalam kooptasi penguasa, sedangkan pelabelan yang dilakukan dalam sistem kekuasaan yang demokratis seperti sekarang ini kurang efektif, karena adanya kekuatan sosial politik dan kontrol media massa terhadap penguasa berimbang dengan kekuasaan pemerintah itu sendiri, lebih lagi masyarakat yang active akan sulit menerima provokasi karena berita dan informasi mudah didapat dari berbagai media. Meskipun demikian pelabelan dan stigmatisasi yang dilakukan oleh kekuasaan, baik individu maupun kelompok kekuasaan akan tetap ada, akan tetapi mempunyai tingkat keberhasilan yang berbeda-beda, baik intensitasnya maupun dampak dari pelabelan atau stigmatisai itu sendiri. Ideologi ―pembangunan‖ atau pembangunanisme menjadi pemandu politik agraria yang dikelola secara sentralistik-sektoral. Agenda pembangunan yang seakan-akan menghalalkan eksploitasi sumberdaya agraria secara besar-besaran dan merubah struktur agraria serta menjadikannya dalam kondisi ketimpangan yang luas biasa. Menurut Wiradi (2009) ada tiga ketimpangan agraria, pertama ;ketimpangan yang bertumpu pada asumsi tidak seimbangnya rasio kuantitas dan kualitas antara pemilik dan penguasa tanah dengan mereka yang tidak memiliki tanah dan tidak mempunyai kuasa atas tanah;kedua,ketimpangan yang terkait dengan azas fungsi tanah. Ambisi pemerintah atas pencapaian industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang dihela oleh usaha skala modal besar telah menggeser prioritas pembangunan dari sektor pertanian ke industri yang padat modal. Peruntukan tanah diprioritaskan untuk mendukung industrialisasi ini sehingga tanah pertanian banyak dialihfungsikan kepada peruntukan industri, termasuk melalui penggusuran para petani kecil; ketiga;ketimpangan yang muncul dari adanya pertarungan kepentingan dan klaim atas tanah antara negara melawan masyarakat adat. Klaim negara didasarkan pada konsep-konsep hukum positif (formal/legal dari Barat), sementara masyarakat adat berpijak pada berbagai hak atas tanah menurut konsepsi adat masing-masing. Di satu sisi rakyat menganggap tanah adalah tumpuan kehidupannya, sementara di sisi lain negara merasa berhak untuk meminta ―pengorbanan‖ dari rakyat agar menyerahkan tanahnya demi ―pembangunan‖. Penyelasaian konflik pertanahan tidak bisa semata-mata hanya menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan otoritas hukum semata, karena hal ini hanya akan memicu konflik berkelanjutan yang mungkin akan berdampak lebih masif. Hal ini terjadi karena hegemoni negara yang menjadi penguasa mutlak dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ada di Indonesia, berakibat masyarakat sering berada dalam posisi yang lemah dan termarginalisasi. Ditambah lagi dengan adanya penyelesaian konflik sumberdaya agraria secara represif oleh pihak-pihak penguasa (pemerintah dan pemilik modal), serta struktur sosial masyarakat yang menempatkan hubungan manusia dengan sumberdaya agraria (tanah) yang bersifat mutlak, karena menyangkut identitas, harga diri dan sumber kehidupan dan kemakmuran yang harus diperjuangkan dan dipertahankan dengan darah. Dengan demikian, perlawanan petani yang banyak terjadi di pedesaan sebenarnya berasal dari ―krisis agraria‖. Inilah krisis yang menyeruak seiring dengan terjadinya proses ―ekspansi kapitalisme‖ ke dalam dunia petani di
144
pedesaan pra-kapitalis; suatu proses transformasi besar yang secara drastis merombak relasi-relasi sosial dalam proses produksi, terutama relasi kepemilikan. Dalam proses inilah tanah-tanah dan kekayaan alam mulai diputuskan dari relasirelasi sosial pra-kapitalis, yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari modal dalam cara produksi kapitalis. Di lain pihak, para petani yang semula memiliki hubungan yang erat dengan tanah dan kekayaan alam itu dilepaskan dari hubungan tersebut secara brutal (sebagaimana yang terjadi di Talangsari), dan lantas dibiarkan lepas sebagai tenaga kerja bebas.Oleh sebab itu, suatu perspektif mengenai perlawanan petani yang bersifat relasional sangat diperlukan untuk dapat membongkar akar permasalahan terjadinya perlawanan petani. Dalam pandangan relasional, perlawanan petani dilihat bukan sebagai bentuk penyimpangan melainkan sebagai konsekuensi. Sebagai suatu konsekuensi maka perlawanan petani muncul dari adanya efek-efek relasi sosial yangtidak terbatas dalam pengertian koneksi atau jaringan semata, melainkan dalam pengertian hubungan-hubungan struktur agrarian yang timpang. Proses ―akumulasi primitif‖ yaitu kekayaan dan keuntungan diakumulasikan sebagai syarat terjadinya perkembangan kapitalisme. Proses akumulasi ini tidaklah berlangsung sekali jadi pada tahap awal perkembangan kapitalisme semata, namun merupakan bagian tidak terpisahkan dari cara produksi kapitalis itu sendiri. Dengan demikian, persoalan mengapa muncul perlawanan petani dan seringkali terulang di berbagai tempat harus dipandang sebagai hasil dari beroperasinya berbagai relasi kuasa yang timpang ini hasil paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, ketimbang sebagai produk dari proses-proses yang abnormal dan patologis. Suatu ―kepekaan ekonomi politik (a sense of political economy) menjadi esensial‖ di sini untuk dapat ―menyibakkan hubungan-hubungan historis yang menciptakan ketimpangan distribusi kekuasaan sumberdaya lahan, kemakmuran dan kesempatan di tengahtengah masyarakat Untuk negara agraris seperti Indonesia, penguasaan atas tanah dan sumbersumber agraria lainnya (land and resource tenure) sangatlah menentukan karena hal itu merupakan ―masalah penghidupan dan kemakmuran bangsa‖ (meminjam judul buku Moch. Tauchid). Oleh karena itu, jaminan tenurial security atau perlindungan atas kepastian dan keberlangsungan penguasaan rakyat atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menjadi keharusan tersendiri. Amanat konstitusi kita secara tegas menyatakan keharusan menjadikan tanah dan kekayaan alam lainnya itu sebagai sumber bagi ―sebesar-besar kemakmuran rakyat‖ (Pasal 33 UUD 1945). Menurut Afif (2005), masalah tenurial mencuat ketika terjadi dominasi dalam relasi-relasi agraria menyangkut klaim penguasaan atas sumberdaya tertentu. Hal ini terjadi karena aturan hukum yang dikeluarkan negara dalam menetapkan hak atas sebidang tanah dan sumber-sumber alam lainnya seringkali tidak mengadopsi atau bahkan bertolak belakang dengan praktik-praktik seharihari dan kebiasaan yang telah turun temurun berlaku dalam sebuah masyarakat. Di sinilah terjadi persoalan legitimasi penguasaan, yaitu antara yang berdasarkan de jure dan de facto. Legitimasi secara de jure mendasarkan pada kepemilikan formal menurut aturan hukum yang dianggap sah oleh negara atau pemerintah. Sedangkan legitimasi secara de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan,
145
penguasaan, atau pemanfaatan yang dipercayai, digunakan, dikenal dan berlaku berdasarkan hukum atau aturan yang dipraktikkan masyarakat selama ini, misalnya berdasarkan praktik-praktik adat setempat. Dalam kaitan ini, maka momen historis lahirnya perlawanan petani sebenarnya bermula dari konflik tenurial semacam di atas, yaitu ketika dominasi negara dalam relasi-relasi agraria telah menyebabkan tercerabutnya hak-hak penguasaan masyarakat petani atas tanah dan sumberdaya alam lainnya di satu sisi, dan di sisi lain terakumulasinya penguasaan sumber-sumber agraria itu pada badan-badan usaha yang memiliki kekuatan modal besar. Seperti dijelaskan Fauzi (2002: 341): penyebab utama dari konflik tenurial bersumber dari adanya dominasi suatu sistem penguasaan yang datang atau berasal dari hukum negara, yang secara sepihak memberikan layanan begitu besar pada pemilik-pemilik modal untuk mengembangkan usahanya dalam mengelola sumber tanah dan sumberdaya alam lain termasuk hasil-hasil hutan, sementara itu hak-hak petani yang telah hidup dan mengembangkan suatu sistem diabaikan. Seiring dengan adanya pergeseran yang signifikan dalam wacana pembagunan dengan mengurangi peran negara sebagai agen pembangunan dan bertambahnya peranan sistem pasar. Oleh sebab itu perlu adanya kebijakan reforma agraria hasil perjuangan organisasi petani (land reform by leverage), bukan reforma agraria atas dasar kedermawan negara karena negara seringkali memiliki kepentingan berbeda dengan petani sebagai konstituennya. Powelson dan Stock (1987) melihat bahwa reforma agraria yang dilakukan atas inisiatif negara sepenuhnya, selain tidak memberikan keuntungan kepada petani juga tidak berkelanjutan. Oleh sebab itu, agar reforma agraria benar-benar berorientasi kepada petani dan berkelanjutan maka reforma agraria harus dilakukan bukan atas dasar kedermawanan, rasa belas kasihan terhadap petani atau kepentingan politik negara, melainkan harus dilaksanakan atas desakan organisasi petani. Reforma agraria harus dilaksankan sebagai hasil perjuangan petani itu sendiri, bukan reforma agraria dengan filosofis paternalistik. Agar pemerintah menjadi representasi bagi kepentingan petani maka kekuatan politik harus dibangun dari bawah. Meskipun demikian, negara atau pemerintah tetap diperlukan dalam reforma agraria atau pembangunan pertanian melalui perannya dalam : pertama, membantu dan mengembangkan serta memperkuat institusi sosial yang sudah ada, kedua, meningkatkan pengetahuan dan kapasitas petani dengan membentuk unitunit usaha milik pemerintah, ketiga, mengambil contoh dari petani daripada memberi petunjuk kepada mereka. Oleh karena itu, peran negara yang diperlukan bersifat fasilitatif, tidak menentukan segalanya karena petani memiliki mekanisme sendiri dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Reforma agraria hasil perjuangan organisasi petani bukan berarti petani memaksakan kehendaknya sendiri berhadapan dengan pemilik tanah atau negara. Organisasi petani melakukan berbagai negosiasi dan advokasi untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah di tingkat lokal maupun nasional agari setiap kebijakan yang dikeluarkan negara tidak merugikan petani. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar reforma agraria ini dapat terwujud ; pertama, organisasi petani yang kuat sehingga kebikjakan yang dikeluarkan
146
menguntungkan petani, kedua, sistem pemerintahan yang terdesentralisasi sehingga keputusan dilakukan pada pemerintah daerah dapat mengakomodasi kepentingan dan keragaman lokal. Organisasi petani sebagai kekuatan inti dalam mewujudkan kebijakan agraria yang berpihak kepada petani, harus membangun aliansi dengan kelompok strategis pendukung pembaharuan, baik dengan partai politik yang mewakili kepentingan petani maupun dengan kelompok kepentingan yang mendukung aspirasi petani. Ketiga, adanya sistem politik yang demokratis yang memungkinkan keterwakilan politik dari berbagai kelompok masyarakat khususnya petani dapat diakomodir.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Azis Thaba. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Gema Insani Press. Jakarta. Abdul Manam. 2009. Aspek Hukum Dalam Penyelenggaraan Investasi Di Pasar Modal Syari‘ah Indonesia, Kencana, Jakarta. Afan Gaffar, Islam dan Partai Politik, Diangkat dari Dialog Kebudayaan, Bagian Pertama‖, Risalah, no. 6 Agustus 1994. Abercrombie, Nicholas; Hill, Stephen; &Turner, Bryan S. 2010. Kamus Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Alf, Achjarani. 1954. Ngeberengoh ―Sedar‖. Tanjungkarang. Anis Sholeh Ba‘asyin dan M. Anis Ba‘asyin. 2014. Samin: mistisisme petani di tengah pergolakan, Gigih Pustaka Mandiri, Semarang. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2010. Lampung Dalam Angka 2010. Bandar Lampung: CV. Lima Saudara. Bappenas, 2000. Studi Pemetaan Sosial Budaya di ProvinsiLampung. Jakarta: BAPPENAS. Becker, Howard. Overview Of Labelling Theory, diakses pada tanggal 14 Februari 2014. B.J. Boland, 1985. Pergumulan Islam di Indonesia.. Grafiti. Jakarta. Bruno Verbist dan Gamal Pasya. 2004. Perspetif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik dan Negosiasi di Sumberjaya,Lampung Barat, Provinsi Lampung. Agrivita, Vol. 26 No.1 Maret 2004 David Jenkins, 2010. Soeharto dan Barisan Jendral Orde Baru (Rezim Militer Indonesia 1975-1983), Komunitas Bambu, Jakarta. Depdikbud. 1977/1978. Sejarah Daerah Lampung. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya. Bandar Lampung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. DellaPorta,Donatella;&Diani,Mario.2006.SocialMovementsand Introduction.Malden: Blackwell Publishing.
147
Deliar Noer. 1984. Islam, Pancasila, dan Azas Tunggal. Yayasan Perkhidmatan. Jakarta. Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (ed.).2009. (Terjemahan Dariyatno, dkk.). Handbook of Qualitative Research. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Easton, David E., Kerangka Kerja Analisis Sistem Politik, terj. 1984. Bina Aksara, Jakarta. Endang Saifuddin Anshari. 1986. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, Jakarta. . Endang Suhendar dan Yohanda Budi . 2002. Kondisi dan Kebijakan Agraria, Pola dan Level Konflik Petani, Aktor-aktor yang Terlibat dan Upaya Penyelesaian Konflik Petani. Dalam Endang Suhendar (Peny.), Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Akatiga. Bandung. Eric R. Wolf. 1985. Petani Suatu Tinjauan Antropologis, CV. Rajawali, Jakarta. Fadilasari, 2007. “Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung” Lembaga Studi Pers dan Pembangunan. G. Dwipayana dan Ramadhan K.H., 1989. Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, PT Citra Lamtorogung Persada, Jakarta. Hilma Safitri. 2010. Gerakan Politik Forum Paguyuban Petani Kabupaten Batang (FPPB), Yayasan Akatiga. Bandung. Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju. Ho, Wing-Chung. James Scott’s Resistance/Hegemony Paradigm Reconsidered. Acta Politica. Volume 46 No. 1-2011. Hollinger,DavidA.2006.FromIdentitytoSolidarity.Daedalus,Vol.135,No.4, Identity (Fall, 2006),
On
Irfan S. Awwas, 1999. Menelusuri perjalan Jihad SM. Kartosuwiryo. Wihdah Press. Yogyakarta. Joan Hardjono (Ed). 1985.Transmigrasi: dari kolonisasi sampai swakarsa.: Gramedia. Jakarta. Johnston, Hank.,&Klandermans, Bert (eds.). 1995. Social Movements andCulture. Minneapolis: University of Minnesota Press. Karl D. Jackson, 1990. Kewibawaan Tradisional Islam dan pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, Grafiti Press, Jakarta. Karl D Jackson & Lucian W Pye (Eds), 1978, Political Power and Communication in Indonesian, Berkeley of University California Press. Kartono,Kartini;danGulo,Dali.1987.KamusPsikologi.Bandung:Pionir jaya Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. (Kondisi, Jalan peristiwa, dan kelanjutannya. (Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia). PT. Dunia Pustaka Jaya. Jakarta.
148
Klandermans, Bert, Jose ManuelSabucedo, Mauro Rodriguez, dan Marga de Weerd. (2002). Identity Processes in Collective Action Participation: Farmers` Identity and Farmers` Protest in the NetherlandsandSpain.PoliticalPsychology,Vol.23,No.2(Jun.2002). Kusworo Ahmad, 2000. Perambah Hutan atau Kambing Hitam; Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung. Pustaka Latin, Bogor. Lembaran Sekretaris Nasional, 1961. Kristalisasi 107 Istilah Politik dalam Penjernihan, Kursus Kader Politik. Sekretaris Nasional, Jakarta. Locher David A. 2002. Collective Behavior, New Jersey: Prentice Hall. LuqmanbinMuhammadBa‘abduh,2005, MerekaAdalahTeroris:BantahanterhadapBukuAku MelawanTeroriskaryaImam Samudra, Malang: PustakaQaulan Sadida. Loekman Soetrisno. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius. Louis Althusser, 2004. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies, Yogyakarta, Jalasutra. Michalowski. 1977. Perspective and Paradigm Structuring Criminological Thought, ―Theory in Criminology‖. Mintosih, Sri (et. al.) 1993. Sistem Pemerintahan Tradisional Daerah Sumatera Selatan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Muhammad Romdloni. 2005. Teologi Petani : Analisis Peran Islam dalam Radikalisme Gerakan Petani pada Forum Perjuangan Petani Nelayan Batang Pekalongan (FP2NB) di Kabupaten Batang dan Pekalongan. Surakarta : Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Mustain. 2007. Petani Versus Negara: Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. Onghokham. 1987. Runtuhnya Hindia Belanda. PT.Gramedia, Jakarta. Onghokham. 1975. Gerakan Saminisme dan Gerakan petani di Madiun. . PT.Gramedia, Jakarta. Polleta,Francesca;andJamesM.Jasper.2001.CollectiveIdentityandSocial Movement. Annual Review of Sociology, Vol. 27. Ritzer, George dan Barry Smart (ed). 2011a. Handbook Teori Sosial. Nusa Media. Bandung. ___________, dan Douglas J. Goodman. 2011b. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian. Kreasi Wacana, Bantul. Ritzer,George;&Goodman,DouglasJ.(2009).TeoriSosiologi:Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Riyanto ―Tragedi Lampung Peperangan Yang Direncanakan‖ Gunung Agung, 2005.
149
Rizani Puspawidjaja. 2002. Adat dan Budaya Lampung. Bandar Lampung: Pusat Informasi Budaya Lampung dalam Jurnal Kabar Kampung Tuha, Edisi 01 Bulan September 2002. Robert W. Hefner. 1999. Geger Tengger; Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, LkiS. Yogyakarta. RolandRobertson(ed.),1988.Agama:dalamAnalisadanInterpretasiSosiologis,Raja wali, Jakarta. Rosihan Anwar. 1995. Soebadio Sastrosatomo; Pengembang Missi Politik, Grafiti. Jakarta. Rusli Karim, 1997. HMI MPO: Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Penerbit Mizan. Bandung. Saifuddin, Achmad Fedyani. 2011. Catatan Reflektif Antropologi Sosialbudaya. Institut Antropologi Indonesia. Jakarta. Saparin, 1972. Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Ghalia Indonesia. Jakarta. Sajogyo, 2006. Ekosiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan sebagai KasusUji). Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Yogyakarta. -----------.1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Yogyakarta: GadjahMada University Press Sayyid Omar Abdul Rahman, Bulughah al-Mustarsydiin. Madinah Maktab,tt. Scott, James C. The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural Southeast Asia. Journal of Asian Studies. Volume 32 No. 1-1972. ___________, 1992. Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor. Jakarta. ___________, 1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta. ___________, 2000. Senjatanya Orang-orang yang Kalah, (Bentuk-bentuk Perlawanan Sehari-hari kaum tani). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Smelser, Neil J. 1962. Theory Of Collective Behavior. New York.Free Press. Snow,DavidA.;Soule,SarahA.;&Kriesi,Hauspeter(eds.).2004.TheBlackwellCompa nion to Social Movements. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Sevin, Olivier. 1989. History and Population. Dalam Transmigration, hlm. 13– 123. Jakarta: ORSTOM–Departemen Transmigrasi Republik Indonesia. Siahaan, Hotman M. 1999. Pembangkangan Terselubung Petani Dalam Program Tebu Rakyat Intensifikasi. Laboratarium Sosiologi Universitas Airlangga. Surabaya. Soebing, Abdullah A. 1988. Kedatuan di Gunung Keratuan di Muara. Jakarta: Karya Unipress. Sugianto. 1988. Analisis Migrasi Penduduk Berdasarkan Data SUPAS 1985 Provinsi Lampung.Yogyakarta: Kerjasama Kantor Menteri Negara
150
Suhartono. 1995. Bandit-Bandit Pedesaan: Studi Historis 1850-1942 di Jawa. Aditya Media. Yogyakarta. Sulisyaningsih. 2013. Perlawanan Petani Hutan: Studi Resistensi Berbasis Pengetahuan Lokal. Kreasi Wacana dan Laboratarium Sosiologi UIN Sunan Kalijaga. Soemargono, 1992. Profil Propinsi Republik Indonesia Lampung, PT Intermasa, Jakarta. Suswata, 1983. Masyumi dan PRRI, Analisis Keterlibatan Beberapa Tokoh Masyumi dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Fisipol UGM, Yogyakarta. Syamsu. Amral, 1985, Penyelenggaraan Kolonisasi dan Transmigrasi, Dalam Hardjono (penyunting), Transmigrasi: Dari Kolonisasi Sampai Swakarsa. PT., Gramedia, Jakarta. Tabrani Syabirin, 2014. Menjinakkan Islam; Strategi Politik Orde Baru, Teras. Jakarta. Taufiq Abdullah. 1987. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, LP3ES, Jakarta. Tilly, Charles. 1978. From Mobilazation to Revolution. Amerika Serikat. Addison-Wesley Publishing Company. Yin, Robert K. 1996. Studi Kasus (Desain dan Metode). Rajawali Press. Jakarta. Yudha, Ahmad Kesuma. 1995. Perspektif Sosiologis Dalam Pembangunan Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang. Makalah pada Seminar Pembangunan Masyarakat Tulangbawang. Bandar Lampung, 29– 30 Maret 1996. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Persiapan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulangbawang (belum diterbitkan). Vedi R. Hadiz, (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge. Wahyudi, 2005.―Formasi dan Struktur Gerakan Sosial Petani” yang diterbitkan oleh UMM Press. Malang. William Montgomery Watt, 1997. Fundamentalisme (terj), PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Islam dan Modernitas,
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karangrejo Sungkai Selatan Lampung Utara tanggal 22 Desember 1966 sebagai anak ketiga dari pasangan H. M. Dja‘far dan Hj. Siti Djuchaenah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, lulus pada tahun 1993. Pada tahun 2000 penulis diterima di Program Studi Sosiologi Pedesaan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi
151
yang sama diperoleh pada tahun 2011. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Agama Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar/dosen di Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi IAIN Raden Intan Lampung. Mata kuliah yang pernah diampu adalah Sosiologi Umum, Sosiologi Pembangunan, Sosiologi Masyarakat Islam, dan Sosiologi Agama, serta Sosiologi Dakwah. Menjadi Ketua Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam FDIK IAIN Raden Intan lampung pada tahun 2008-2011, dan saat ini menjadi Kepala Laboratarium Pengembangan Masyarakat Islam FDIK IAIN Raden Intan Lampung 2015-sekarang. Selama mengikuti program doktor (S-3), penulis telah menghasilkan beberapa tulisan antara lain; Artikel yang berjudul ―Radikalisasi Petani Muslim dalam Perspektif Sosiologis‖ telah diterbitkan di Jurnal Studi Keislaman ―ANALISIS‖ ISSN: 2088–9046 Volume 15 Nomor 2, Desember 2015. Artikel lain berjudul ―The Agrarian Structure Historyof Register 38 Gunung Balak East Lampung ― yang di terbitkan pada jurnal ―Research on Humanities and Social Sciences‖ ISSN (paper) 2224-5766 (Online) 2225-0484. Volume 6 No 2 tahun 2016. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-3 penulis.