1
BP4 DALAM KONTESTASI MASYARAKAT TRADISIONAL DAN URBAN (Studi Terhadap Persepsi Masyarakat Kota Metro Lampung) Wahyu Setiawan Abstract BP4 as mariage concelling formed Government got challenges in the globalization. Modernity led to changes in the value and shifting patterns of family relationships in Indonesia. This paper aimed to see the existence of BP4 in that social changes. This research is a field-research in the form of case studies. Data collected through interview, observation, and documentation, with the qualitative-inductive analysis. This paper shows that the process of modernizing influences patterns of kinship. On the basis of traditional society, the influence of family structure to form an modified extended family. While communities with urban characteristics form patterns of quasiconjugal family. The differences of family structure affect the viewpoints relating to marital problems, divorce, and the role of the BP4. Society looks at the role of the guidance and efforts of the BP4 extension pre-wedding is simply as an administrative issue. So, advices pre-marriage and role of marriage conceling are ineffective. Social changes lead to institution was estranged from society. Society does not know the existence of the BP4 in keeping and maintaining the integrity of the household. Keywords: BP4, traditional, urban, perception. A. PENDAHULUAN Keluarga adalah basis utama yang menjadi pondasi bangunan komunitas sebuah masyarakat. Horton dan Chester L. Hunt memprediksi dalam setiap dua perkawinan, salah satunya akan bercerai. Prediksi ini menunjukkan bahwa keluarga akan tetap eksis meski eksistensinya menurun. Ahli lain percaya bahwa keluarga batih akan ambruk dan akan digantikan dengan pasangan „bebas‟ yang berganti-ganti pasangan tanpa terikat oleh relasi anak-orang tua, kawan dekat juga tetangga sebagaimana ditemukan pada masa-masa lalu. Sebaliknya, beberapa ahli keluarga meramalkan bahwa dalam dekade mendatang, keluarga akan semakin terstruktur dan kembali pada pola tradisional, di mana keluarga batih akan tetap bertahan. Artinya, para ahli meyakini bahwa keluarga tidak akan kehilangan eksistensinya, hanya saja ke mana arah dan fluktuasi perubahannya tidak dapat diprediksi secara pasti.
Dosen tetap Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro, E-mail:
[email protected]
2
Sejak sekitar 1950-an, telah terbentuk lembaga-lembaga yang bergerak di bidang penasehatan keluarga untuk mengantisipasi perubahan zaman yang menjadi tantangan dan ancaman bagi keluarga. Kemudian guna mencapai daya guna dan daya hasil, lembaga-lembaga penasehatan ini menyatu menjadi Badan Penasehatan Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4). Sejak tahun 2002, lembaga ini berubah nama menjadi Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4). BP4 sejak pembentukannya sampai sekarang merupakan satu-satunya lembaga yang bergerak di bidang penasehatan perkawinan di lingkungan Kementerian Agama.1 Bahkan, barangkali BP4 merupakan sebuah lembaga yang bergerak di bidang pembinaan keluarga ‟terbesar‟ di Indonesia. Secara nasional, terdapat 1 BP4 Pusat, 33 BP4 propinsi, 400-an BP4 kabupaten/kota, dan ribuan BP4 kecamatan. Pada masanya, peranan BP4 cukup besar dalam memelihara keutuhan keluarga. Namun perkembangan terakhir memperlihatkan bahwa peran dan kedudukan BP4 sebagai lembaga pembina dan pelestari institusi keluarga mendapat tantangan berat di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang menunjukkan trend perubahan nilai dan pergeseran pola hubungan keluarga Indonesia. Trend global ini juga berimbas di Kota Metro, sebuah kota di Propinsi Lampung. Salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya angka konflik rumah tangga dan perceraian. Meski BP4 ada di Kota Metro hingga ke tingkat kecamatan, kasus perceraian dari tahun ke tahun tetap marak. Pertanyaannya adalah bagaimana kedudukan BP4 sebagai lembaga pembina keluarga di tengah globalisasi. Di samping itu, dengan ditetapkannya PERMA No 01/2008 tanggal 31 Juli 2008, sebetulnya peran BP4 dalam mengupayakan perdamaian bagi pasangan yang sedang berperkara di Pengadilan Agama (PA) menjadi lebih besar lagi. Sehingga pokok masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah tentang pandangan masyarakat Kota Metro terhadap keberadaan dan peran BP4 dalam membina keluarga bahagia dan Berdasarkan Keputusan Menteri Agama, BP4 merupakan satu-satunya lembaga penasehatan di lingkungan Kementerian Agama. Artinya hanya calon suami-isteri yang telah diberi nasehat BP4 Kecamatan, boleh menikah di KUA. Demikian pula sebelum 1989, hanya pasangan-pasangan yang telah didamaikan oleh BP4 Kab/Kota yang boleh mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama. 1
3
menurunkan angka perceraian di tengah perubahan sosial. Pandangan masyarakat ini didasari oleh struktur keluarga, fungsi keluarga, dan faktorfaktor lain yang mempengaruhi tingginya perceraian. Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field-research) yang berbentuk studi kasus dengan sifat kualitatif. Data kualitatif dikumpulkan dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu: wawancara, angket, observasi, dan dokumentasi. Populasi adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Kota Metro. Akan tetapi mengingat obyek penelitian berkaitan dengan studi kasus dengan sasaran penelitian KUA Kecamatan Metro Timur, maka populasi dibatasi pada anggota masyarakat Metro Timur. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling berdasarkan representasi Metro perkotaan dan Metro pedesaan sebagai area-sampling. Metro perkotaan diwakili oleh Kelurahan Iringmulyo yang didiami mayoritas masyarakat pendatang semi urban. Sementara Metro pedesaan pada Kelurahan Tejosari yang berpenduduk mayoritas masyarakat asli. Teknik analisis data adalah analisis kualitatif dengan pola induksi. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologis, yaitu melihat latar sosial masyarakat kota Metro baik terkait dengan sistem sosial, struktur keluarga, dan pandangan hidup yang mempengaruhi persepsinya terhadap peranan BP4 yang menjadi fokus penelitian. B. KAJIAN TEORI 1. Keluarga Keluarga merupakan pranata sosial yang sangat penting artinya bagi kehidupan sosial. Keluarga adalah wadah di mana sejak dini para warga masyarakat dikondisikan dan dipersiapkan untuk kelak dapat melakukan peranperan sosial.2 Dalam kajian ilmu sosial tentang keluarga, para peneliti keluarga menerapkan beragam pandangan dan pendekatan mengenai keluarga. Paling tidak ada lima kerangka konseptual tentang keluarga, yaitu pendekatan fungsional-struktural, institusional, situasional, interaksionis, dan pendekatan
2 T.O. Ihromi, “Pengkajian Keluarga dalam Masyarakat yang Berubah”, Masyarakat, Jurnal Sosiologi, No. 1, 1990, Jurusan Sosiologi Fakultas Sosial dan Politik UI, h. 1.
4
perkembangan.3 Penelitian ini lebih memfokuskan pada pendekatan fungsionalstruktural untuk melihat persepsi masyarakat terhadap eksistensi dan peran BP4. Pendekatan fungsional-struktural memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang dinamis, terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan.4 Sistem dalam pendekatan ini berada pada lapisan individual, lapisan institusional (keluarga), dan pada lapisan masyarakat.5 Beberapa konsep yang digunakan dalam pendekatan fungsional-struktural adalah struktur, fungsi, status, dan peran.6 Dialektika struktur dan fungsi inilah yang memunculkan nilai dan perspektif dari sebuah keluarga. Berkaitan dengan struktur keluarga, dikenal ada beberapa macam sistem keluarga, yaitu: a. Nuclear family, keluarga inti ; keluarga batih. Term ‟nuclear, elementary, simple, atau basic family‟ pada umumnya mengacu pada sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak mereka yang telah dikenal secara sosial. Keluarga inti merupakan sebuah bentuk keluarga yang bersifat unversal.7 b. Conjugal family, keluarga konjugal. Adalah bentuk keluarga inti yang lebih otonom, tidak terikat pada ikatan kerabat luas. Jika nuclear family merupakan keluarga inti yang tidak mendapat otonomi karena ikatan patrilineal atau matrilineal, maka keluarga konjugal sama sekali bebas dari ikatan tersebut.8 c. Joint family, keluarga gabungan. Terbentuknya keluarga gabungan adalah pada saat dua keluarga atau lebih bergabung mendiami sebuah tempat tinggal. Dengan kata lain, dalam sebuah rumah terdiri dari beberapa kepala keluarga.9 3 Mark Hutter, The Changing Family: Comparative Perspectives (New York: John Willey & Sons, 1981), h. 35-50. 4 Gerald R. Leslie dan Sheila K. Korman, The Family in Social Context (New York: tnp., 1985), h. 196. 5 T.O. Ihromi, “Berbagai Kerangka Konseptual dalam Pengkajian Keluarga”, dalam T.O. Ihromi (peny.), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 270. 6 Ibid., h. 274. 7 George P. Murdock, Social Structure (New York: Macmillan, 1949), h. 3. 8 Erna Karim, “Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi”, dalam T.O. Ihromi (peny.), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 141-142. 9 Raymond T. Smith, “Family: Comparative Structure”, Journal of Comparative Family Studies, Vol. 25, No. 3 tahun 1994, h. 304.
5
d. Extended family, keluarga luas. Bentuk keluarga luas memiliki ciri yang hampir sama dengan keluarga gabungan, yaitu merupakan kumpulan beberapa keluarga. Berbeda dengan keluarga gabungan, anggota keluarga luas tidak hidup dalam satu tempat tinggal. Mereka biasanya hidup dalam suatu wilayah yang berdampingan. Meskipun tidak satu atap namun dalam aktivitas sehari-hari dilakukan bersama-sama.10 Masing-masing
struktur
dan
bentuk
keluarga
tersebut
dalam
menjalankan fungsi-fungsinya, mempengaruhi pandangan dan persepsi tiap anggota keluarga dalam memandang makna perkawinan dan perceraian. Goode melihat adanya kaitan antara tingkat perceraian dengan sistem keluarga yang berlaku di sebuah wilayah. Menurutnya, perubahan ke arah industrialisasi dan perubahan keluarga merupakan proses paralel, keduanya dipengaruhi oleh perubahan sosial dan ideologi-ideologi perorangan (personal ideologies). Ada tiga ideologi yang merupakan sumber perubahan, yaitu ideologi kemajuan ekonomi, ideologi keluarga konjugal, dan ideologi persamaan derajat.11 Dari ketiga ideologi tersebut, keluarga konjugal merupakan ideologi yang bersifat mengubah tradisi lama dan menyebar nilai-nilai kebebasan individu seperti kebebasan menentukan jodoh, kebebasan memilih tempat tinggal baru setelah menikah yang biasanya dipandang tidak menghormati norma-norma keluarga luas. Ideologi keluarga konjugal juga lebih gandrung pada kesejahteraan individu dan kurang memberi perhatian pada kebesaran nama keluarga luas. 2. Persepsi Persepsi adalah suatu proses penilaian (impression) mengenai berbagai realitas yang terdapat di dalam penginderaan seseorang.12 Pembuatan penilaian atau pembentukan kesan ini secara substansial merupakan upaya memberikan makna kepada informasi sensori yang diterima seseorang terhadap sebuah realitas. Persepsi juga dapat diartikan sebagai proses pengamatan pada panca indera yang ditransformasikan ke dalam pengorganisasian kesan yang diamati 10 11
Ibid. William J. Goode, World revolution and Family Pattern (London: A Free Press, 1970), h. 18-
22. 12 Wrightsman, “Social Psychology Indonesia the 80‟s”, sebagaimana dikutip Subyakto, Psikologi Sosial (Jakarta: Haruhita, 1988), h. 23.
6
oleh pengamat.13 Dengan demikian, persepsi menggambarkan penerimaan informasi tentang suatu obyek oleh individu yang dilanjutkan dengan penilaian atau pendapat tentang obyek tersebut berdasarkan pengalaman masa lalu dan juga dipengaruhi oleh sikap dan motivasi yang dimiliki pada saat persepsi berlangsung. Pendapat lain tentang persepsi menyatakan bahwa persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan suatu gambaran unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari kenyataannya. Dengan kata lain, persepsi dapat menambah dan mengurangi kejadian sesungguhnya diinderakan oleh seseorang. Persepsi mengenai suatu obyek terlepas dari soal tepat atau tidaknya dan hal ini dapat dijadikan sebagai pegangan sementara waktu. Sejalan dengan pendapat tersebut, Mar‟at mengemukakan bahwa persepsi adalah proses pengamatan seseorang berasal dari komponen kognisi.14 Pandangan tersebut diperkuat oleh pendapat ahli lain yang menyatakan bahwa perbedaan persepsi tiap individu terhadap suatu obyek disebabkan adanya perbedaan perhatian, harapan, kebutuhan, sistem nilai, dan ciri kepribadiannya. Persepsi bersifat selektif fungsional, artinya bahwa obyek-obyek yang mendapat tekanan dalam persepsi seseorang biasanya obyek yang memenuhi tujuan individu bersangkutan.15 Jadi, dapat disimpulkan bahwa persepsi timbul karena adanya dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal tergantung pada proses pemahaman sesuatu. Termasuk di dalamnya sistem nilai, tujuan, kepercayaan, dan tanggapan terhadap hasil yang dicapai. Sedangkan faktor eksternal berhubungan erat dengan
sistem keluarga, lingkungan, dan
perubahan-perubahan sosial yang dialami. Berkaitan dengan penelitian ini, maka persepsi masyarakat Kota Metro adalah persepsi yang dipengaruhi oleh faktor internal individu ketika berinteraksi dengan faktor eksternal dirinya terutama
W. Michel dan N.H. Michel, Essentials of Psychology (New York: Rndom House Inc., 1980), h. 81. 14 Mar‟at, Sikap Manusia, Perubahan, dan Pengukurannya (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), h. 22. 15 Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Karya, 1986), h. 71. 13
7
berkaitan dengan struktur keluarga yang membentuknya tentang peran BP4 dalam pembinaan keluarga.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Kelurahan Iringmulyo dan Kelurahan Tejosari: Perbandingan Sistem Sosial dan Struktur Keluarga Kota Metro Sebaran penduduk kota Metro terkonsentrasi di Kecamatan Metro Pusat sebagai pusat kota. Konsentrasi ini semakin berkurang ke daerah pinggiran terutama wilayah Utara dan Selatan. Kecamatan Metro Timur memiliki karakteristik „antara‟, dari tingkat kepadatan penduduk juga komposisi masyarakatnya yang heterogen. Sebagian besar adalah suku Jawa, Lampung, Palembang, Minang, Sunda, Banten, Batak, Tionghoa, dan suku lainnya. Adapun agama yang dianut penduduk Metro Timur adalah Islam, Kristen, Hindu, Budha, serta Khonghucu yang dianut oleh masyarakat China. Artinya secara demografis, Metro Timur mewakili kemajemukan kota Metro. Ditinjau dari stratifikasi sosial, masyarakat Tejosari dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yaitu petani, masyarakat kelompok PNS, masyarakat kelompok pedagang, dan masyarakat kelompok wiraswasta. Dari keempat kelompok tersebut kelompok masyarakat petani menempati komunitas terbesar dari jumlah penduduk yang ada. Adapun profesi atau mata pencaharian penduduk Iringmulyo adalah pedagang, PNS, pegawai swasta, buruh, dan sedikit dari kalangan petani juga pekerjaan sektor informal lainnya. Kelompok pegawai dan pedaganglah yang mendominasi masyarakat Iringmulyo. Kultur budaya Jawa juga berpengaruh besar terhadap sistem sosial di Kelurahan Tejosari. Dengan ciri khas sebuah tatanan masyarakat pedesaan Jawa yang mengandalkan sektor pertanian, pola kekerabatan yang terbentuk pun tidak berbeda jauh dengan suasana kehidupan pedesaan (village based family) yang bercirikan sistem extended family (keluarga luas). Hal ini dibuktikan bahwa sebanyak 64% responden menyatakan setelah menikah mereka hidup di rumah sendiri, dan sebanyak 36% menyatakan hidup bersama dengan orang tua. Walaupun 64% mereka hidup di rumah sendiri, namun berdasarkan
8
pengamatan peneliti, sebagian besar memilih lokasi di sekitar kediaman orang tua dan berkelompok. Dengan struktur keluarga seperti ini maka sistem sosial yang terbentuk menunjukkan pola kehidupan yang relatif seragam dengan tingkat integrasi yang tinggi di antara berbagai kelompok di mana individu berpartisipasi dan berinteraksi. Konstruksi sosial dari realitas dan sistem kelas sosial masih berperan. Ikatan-ikatan kekerabatan dalam keluarga masih tetap kuat dan fungsional. Dari sini terlihat bahwa perikehidupan dengan pola tradisional tetap bertahan dari desakan pengaruh perkotaan. Kuatnya pola tradisional ini membuat fungsi-fungsi keluarga luas sangat berperan dalam kontrol kehidupan sebuah keluarga. Walaupun pada dasarnya sistem kekeluargaan tetap bertahan pada pola extended family, namun berbagai fenomena sosial seperti proses modernisasi dan perkembangan ekonomi tetap mempengaruhi pola kekerabatan tradisional. Bukti dari realitas tersebut dapat dicontohkan dengan meluasnya nilai-nilai kebebasan individu seperti kebebasan menentukan jodoh, kegandrungan pada kesejahteraan individu, dan kurang memberi perhatian pada kesinambungan dan kebesaran nama keluarga luas yang merupakan ciri khas sistem conjugal family. Meskipun demikian, berbeda dengan sistem conjugal family ansich, dalam kehidupan masyarakat Kelurahan Tejosari tidak terjadi keterputusan hubungan dalam sistem keluarga besar yang telah dibina turun temurun dalam kehidupan keluarga tradisional. Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga inti terlibat dalam banyak interaksi dengan anggota-anggota kerabat pihak suami atau istri. Dengan kata lain, sistem kekerabatan yang terbentuk merupakan unit kehidupan sosial yang unemancipated dari ikatan kerabat luas, namun secara individual bebas bergerak mengikuti kemauan individual dan menjadi kelompok yang lebih berspesialisasi dengan memusatkan fungsinya pada sosialisasi terhadap anakanak dan memberi dukungan emosional serta kasih sayang untuk seluruh anggota keluarga. Jadi, struktur keluarga yang terbentuk hasil dari adaptasi kehidupan modern mengarahkan sistem keluarga di Kelurahan Tejosari mengambil bentuk
9
“keluarga luas yang telah tersesuaikan” (modified extended family). Artinya, tipe keluarga luas yang mengalami perubahan dari tipe keluarga luas tradisional. Pada tipe keluarga ini, muncul ciri-ciri keluarga konjugal seperti tidak mengenal pimpinan otoritas, suami istri terlibat dalam hubungan personal yang akrab, antara orang tua dan anak terdapat hubungan yang tidak otoriter, jumlah anak keluarga menjadi kecil, dan para remaja kawin dalam umur yang tidak terlalu muda (mereka memerlukan proses belajar yang cukup lama). Namun, tetap terjadi hubungan interaktif-sosial dengan anggota keluarga luas lainnya yang merupakan ciri khas extended family. Di sisi lain, juga berbeda dengan extended family tradisional yang dicirikan posisi anak laki-laki terutama yang tertua memegang peranan sangat penting. Berbeda dengan kelurahan Iringmulyo, meski kultur Jawa juga masih relatif kental namun dengan karakteristik masyarakat semi urban, tatanan masyarakatnya sudah mengarah pada pola keluarga konjugal (conjugal family). Namun demikian tidak menafikan adanya pola extended family yang masih tampak pada masyarakat asli Iringmulyo. Kehidupan keluarga besar menyatu dalam wilayah tanah peninggalan leluhur, orang tua tinggal di rumah utama, sementara anak-anak dengan keluarga inti yang mereka bangun menetap di sekitarnya.16 Masyarakat asli Iringmulyo ini masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional yang menjadi ciri extended family, misalnya terkait pengambilan keputusan,17 pembagian peran yang sentralistik, dan ikatan kekerabatan dengan keluarga luas masih sangat kuat. Sistem sosial dengan struktur keluarga dari kedua kelurahan tersebut akan
mempengaruhi
individu
masyarakat
dalam
memandang
makna
perkawinan dan perceraian. Lebih lanjut menyangkut persepsi tentang eksistensi BP4 yang merupakan topik utama penelitian ini.
16 Keluarga Mbah Mini dan Sikun misalnya memiliki 5 orang anak yang masih tinggal di sekitar rumah tabon (rumah inti), menempati lahan warisan dari orangtuanya. Mbah Mini tinggal berdekatan bahkan bersebelahan dengan saudara-saudaranya sebagai putra-putri dari orang yang pertama kali membuka lahan Iringmulyo. 17 Ibu Citra warga Gang Teladan Iringmulyo menuturkan meskipun sudah hidup mandiri selama hampir 6 (enam) tahun, namun keputusan-keputusan keluarga masih sangat dipengaruhi dominasi orang tuanya. Misalnya dalam hal menentukan pilihan sekolah anaknya, pembelian kendaraan, dan lain sebagainya. Terungkap dalam wawancara 17 Juni 2009.
10
2. Pandangan Masyarakat Tentang Perkawinan Berdasarkan sistem kekerabatan dan struktur keluarga di dua kelurahan (Tejosari dan Iringmulyo) yang dalam dirinya mengalami ketegangan antara modernitas dan tradisi terlihat pula adanya pergeseran dalam memandang lembaga perkawinan. Pada dasarnya, secara normatif masyarakat memandang perkawinan tetap merupakan suatu ikatan sakral antara dua individu yang menyatu dalam sebuah ikatan perkawinan yang memiliki unsur ibadah.18 Perkawinan juga dianggap tidak hanya sebagai urusan individu tetapi mempunyai dimensi sosial yang lebih banyak melibatkan peran keluarga luas. Namun terlihat perbedaan dengan pandangan masyarakat tradisional umumnya yang menyatakan bahwa jika seorang perempuan yang telah menjadi istri lepas dari ikatan keluarga orang tuanya dan kemudian melarutkan diri dengan keluarga suaminya. Seorang istri hanya sekedar ibu rumah tangga secara total. Baik di Iringmulyo maupun Tejosari stereotype ini sudah mulai memudar. Artinya sudah mulai ada pengakuan yang lebih bagi perempuan dalam sebuah keluarga. Begitu pula dalam pemilihan jodoh, setiap individu memiliki otonomi penuh dalam hal pernikahan. Setiap generasi memilih calon pasangannya dari kalangan
orang-orang
yang
berada
di
luar
jaringan
kerabat
tanpa
memperhitungkan untuk mempererat kembali hubungan dengan kerabatkerabat dari generasi yang lebih dahulu. Bahkan menghadirkan anggota keluarga baru yang jauh dari jangkauan keluarga asal. Keluarga yang dibentuk lebih pada pola keluarga simetris (symmetrical family). Antara suami dan istri berbuat sesuai dengan hak dan kewajibannya. Masing-masing membangun kerjasama dalam pemberdayaan keluarga. Terdapat keseimbangan dalam peran-peran domestik dan sosial. Seorang suami, sebagai kepala keluarga, tidak melakukan sesuatu secara otoriter tapi dengan demokratis di dalam memimpin keluarga. Demikian juga, seorang istri tidak hanya berperan
18 Terjaring dari data responden yang hampir seluruhnya mejawab perkawinan selain mengandung unsur ibadah juga sebagai pemenuhan kebutuhan sosiologis, ekonomis, dan biologis. Tetapi mereka tidak memahami makna dari ibadah itu sendiri. Wawancara pada beberapa informan pada tanggal 17 Juni 2009 membuktikan bahwa masyarakat tidak bisa menjelaskan apa makna di balik statemen perkawinan adalah sebuah ibadah. Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang common-sense, tanpa harus diberi penjelasan atau dipertanyakan.
11
sebagai reproduksi biologis, tetapi juga memberikan keteladanan yang baik sehingga anak-anak tumbuh secara dinamis, kreatif, dan inovatif. Dari sinilah yang berkembang adalah proporsionalisasi tugas dan peran dalam kehidupan rumah tangga. Meskipun perempuan juga berperan dominan dalam keluarga, di dalam tatanan masyarakat Tejosari tidak ditonjolkan dalam mobilitasnya. Tetapi tetap yang lebih dominan adalah laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan sosial dari yang tradisional ke yang modern tidak serta merta diikuti oleh perubahan sistem nilai. Ideologi patriarkhis tetap mendominasi pola kehidupan keluarga. Karena tradisi dan modernitas yang ada masih kuat diwarnai dominasi patriarkhal. 3. Pandangan Masyarakat Tentang Perceraian Pada pola keluarga yang dianut masyarakat Tejosari yang mengarah pada ”keluarga luas yang tersesuaikan,” membuat kontrol sosial dari anggota kerabat luas tetap bertahan dan efektif. Konsekuensi logisnya, unit keluarga ini lebih mampu bertahan apabila terjadi konflik antara suami istri karena adanya tekanan kerabat untuk mempertahankan perkawinan. Meskipun secara normatif Islam, masyarakat yang berafiliasi pada mazhab Syafi‟i seperti masyarakat di Kelurahan Tejosari, membolehkan para suami menjatuhkan talak kepada istrinya bahkan secara semena-mena. Padahal faktor ini menurut sosiolog dipandang sebagai aspek dominan tingginya tingkat perceraian di masyarakat muslim, seperti pada penelitian Goode (1963) yang menyatakan bahwa tingkat perceraian di Algeria empat kali lebih tinggi daripada di Amerika Serikat. Realitas ini tidak terbukti di tengah masyarakat muslim Tejosari. Perubahan pada nilai dan norma tentang perceraian akibat modernisasi pun tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat perceraian di kelurahan ini. Meskipun pada umumnya masyarakat dapat memahami perceraian sebagai salah satu langkah untuk menyelesaikan kemelut keluarga yang terjadi antara pasangan suami istri. Namun idealisme kelompok tetap dominan. Pada bentuk idealisme ini, perkawinan dilihat sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Kontrol keluarga luas berperan dalam menjaga keutuhan rumah tangga inti yang merupakan bagian dari keluarga luas. Hal ini terlihat dalam sebuah kasus yang
12
dialami oleh saudara Abdul (bukan nama asli) yang mengalami perselisihan rumah tangga dengan istrinya, Wahidah (bukan nama asli) yang telah menikah kurang lebih delapan tahun dan dikaruniai seorang anak. Selama perselisihan terjadi, Abdul lebih memilih tinggal di rumah orang tua. Di sinilah peran orang tua dan saudara-saudara, termasuk di dalamnya lingkungan ketetanggaan, serta teman secara moral turut merasa bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kehidupan perkawinan yang sedang goyah. Dari data Register Perkara Pengadilan Agama Kota Metro dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, yaitu 2006, 2007, dan 2008 terungkap bahwa tingkat perceraian yang terjadi di Kelurahan Tejosari sebagai representasi pola kehidupan tradisional relatif lebih rendah dari kelurahan Iringmulyo maupun kelurahan lainnya yang ada di Metro Timur. Dari 34 kasus perceraian di Kecamatan Metro Timur pada tahun 2006, hanya ada 1 kasus perceraian yang terjadi di kelurahan Tejosari. Begitu juga pada tahun 2007, perceraian yang terjadi hany 1 kasus dari 27 kasus yang ada. Sementara pada tahun 2008, terdapat 7 kasus dari total jumlah 40 kasus perceraian. Berbeda dengan Tejosari, tingkat perceraian di Kelurahan Iringmulyo adalah yang tertinggi dari lima kelurahan yang ada di Metro Timur. Pada tahun, 2006, jumlah perceraian sebanyak 13 kasus dari 34 kasus yang ditangani Pengadilan Agama Kota Metro. Sementara pada tahun 2007, dari 27 kasus yang ada terdapat 10 kasus perceraian di kelurahan ini. Tidak berbeda jauh dari 2006 dan 2007, pada tahun 2008 terjadi perceraian sebanyak 12 kasus dari total 40 kasus perceraian. Berikut data perceraian selama tiga tahun (2006, 2007, dan 2008) yang terjadi di Kecamatan Metro Timur. No.
Kelurahan
1. 2. 3. 4. 5.
Iringmulyo Yosodadi Yosorejo Tejosari Tejoagung TOTAL
2006 Jumlah 13 7 7 1 6 34
% 38,23 20,59 20,59 2,94 17,65 100
2007 Jumlah 10 8 6 1 2 27
% 37,04 29,63 22,22 7,41 3, 70 100
2008 Jumlah % 12 30,00 6 15,00 7 17,50 7 17,50 8 20,00 40 100,00
Dari data jumlah kasus yang terjadi selama tiga tahun di atas, terlihat bahwa tingkat perceraian yang terjadi di kalangan suami istri pada Kelurahan Iringmulyo sebagai representasi wilayah urban di Kota Metro 3,9 kali lebih besar
13
daripada pasangan yang ada di Kelurahan Tejosari. Tingginya tingkat perceraian di wilayah urban menunjukkan adanya perubahan yang berlaku di setiap sistem keluarga, khususnya yang lebih menekankan kebebasan dari unit keluarga konjugal. Meskipun sistem keluarga yang terbentuk di Kelurahan Iringmulyo lebih dominan dengan pola quasi-conjugal family, artinya tidak konjugal murni, namun tetap menciptakan sekat-sekat antara keluarga asal dan keluarga baru. Kontrol sosial dari anggota kerabat luas menjadi berkurang dan semakin terbatas. Dalam beberapa aspek, keputusan keluarga inti menjadi hak prerogatif yang tak terbantahkan oleh keluarga besar. Dari sisi lain, pola quasi-conjugal family dalam struktur keluarga Iringmulyo juga meniscayakan tumbuhnya etos kesamaan derajat dan tuntutan persamaan hak dan tanggung jawab antara suami istri. Berkembangnya etos ini merupakan tuntutan dari sistem sosial modern yang memberikan peluang sama kepada setiap orang berdasarkan kemampuan dan prestasi individu. Perubahan etos ini berpengaruh terhadap munculnya ketegangan-ketegangan dalam interaksi suami-istri. Dalam kehidupan perkawinan, tuntutan memperoleh kebahagiaan pribadi muncul secara sama dari pihak suami maupun istri. Angka permintaan cerai dari pihak istri yang terjadi di kelurahan Iringmulyo mengindikasikan makin tinggi kesadaran perempuan dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan rumah tangga. Dari 13 kasus perceraian pada tahun 2006, sebanyak 9 kasus perceraian atas permohonan pihak istri. Sementara tahun 2007, terdapat 7 kasus gugat cerai dari jumlah 10 kasus. Tidak berbeda dengan dua tahun sebelumnya, pada tahun 2008 pun tingkat perceraian atas inisiatif istri juga lebih tinggi, yaitu 9 kasus dari 12 kasus perceraian. Realitas ini berbanding terbalik dengan kasus yang terjadi di Kelurahan Tejosari di mana ideologi patriarkhis tetap mendominasi pola kehidupan meskipun perempuan juga berperan dalam keluarga. Kasus perceraian pada tahun 2006 dan 2007 (masing-masing 1 kasus) terjadi atas inisiatif suami. 4. Pandangan Masyarakat Tentang BP4 a. BP4 Kecamatan
14
Salah satu tugas pokok dari BP4, khususnya yang berada di tingkat kecamatan
yang
berpusat
di
Kantor
Urusan
Agama
(KUA),
adalah
melaksanakan penasehatan bagi pasangan yang akan menikah. Bentuk penasehatan dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu: (1) sebelum menikah, terutama dalam jangka waktu sepuluh hari sejak calon pengantin mendaftar untuk menikah dengan mengambil bentuk kursus calon pengantin (suscatin); (2) pada saat menjelang akad nikah dilangsungkan. Peran dari tugas tersebut menurut Ketua BP4 Kecamatan, merupakan tugas tambahan bagi perangkat KUA Kecamatan. Dalam tataran praktis, tugas ini dilaksanakan oleh P3N yang berada di berbagai kelurahan sebagai ujung tombak dari KUA Kecamatan.19 Dalam
realitasnya,
pelaksanaan
penasehatan
perkawinan
yang
seharusnya dilakukan pada masa sepuluh hari sebelum perkawinan dalam bentuk suscatin tidak berjalan di Kelurahan Tejosari dan Iringmulyo. Bahkan bentuk informal penasehatan secara langsung dari P3N kepada catin pun tidak dapat dilaksanakan. Berikut diuraikan perspektif pegawai P3N di satu sisi dan perspektif masyarakat di sisi lain dalam memandang realitas tersebut. 1) Perspektif P3N Dari informasi yang diperoleh dari P3N di Kelurahan Tejosari, bahwa jika ada pasangan yang akan menikah di wilayahnya, maka yang mendaftarkan perkawinan dan mengurus syarat-syarat administratif yang harus dipenuhi dilakukan oleh orang tua calon mempelai. Bahkan dalam beberapa kasus dilakukan oleh pamong desa.20 Hal serupa juga terjadi di Iringmulyo, hampir tidak ada pasangan catin yang datang sendiri ke P3N untuk mengurus administrasi perkawinan.21 Apalagi jika salah seorang mempelai berasal dari luar daerah. Sehingga upaya bimbingan pra-nikah terhadap calon pengantin tidak dapat dilakukan. Padahal pada saat mendaftar itulah moment yang representatif untuk melaksanakan penasehatan pra-nikah secara langsung oleh P3N walaupun bersifat informal. Apalagi anjuran agar mengikuti kursus calon
Wawancara dengan Drs. M. Fathurrahman, Kepala KUA/Ketua BP4 Kecamatan Metro Timur tanggal 26 Juni 2009. 20 Wawancara dengan Maryono (P3N Kelurahan Tejosari), 20 Juni 2009. 21 Wawancara dengan Nuryanto, S. Ag., P3N kelurahan Iringmulyo, 25 Juni 2009. 19
15
pengantin yang bertempat di KUA Kecamatan. Menurut penuturan petugas P3N, selama ia menjadi penghulu di Kelurahan Tejosari, tidak ada satu pun masyarakat yang mengikuti suscatin tersebut. Bahkan dengan sedikit berseloroh, ia mengatakan: “buat apa diberikan penasehatan pra-nikah, lha wong sekarang ini orang-orang sudah pinter-pinter kok.”22 Fakta ini menggambarkan tentang realitas pandangan seorang penghulu dalam membaca kondisi masyarakatnya. Namun di sisi lain, mengandung makna tidak berfungsinya lembaga BP4 di tingkat paling urgen dalam pelaksanaan tugas BP4 secara keseluruhan. Menurut pengamatan peneliti, ada dua faktor yang menyebabkan realitas tersebut, yaitu: a)
Pergeseran makna penghulu di tengah masyarakat. Secara historis, pada awalnya penghulu adalah orang yang memiliki
tingkat pengetahuan keislaman serta status sosial yang tinggi. Penghulu adalah sosok ulama arif yang memiliki kedekatan hubungan pribadi dengan masyarakat. Atas dasar itulah, maka penghulu menjadi sumber referensi bagi masyarakat. Namun pada perkembangan berikutnya, keberadaan para penghulu tersebut diformalkan. Hal ini mengikuti proses modernisasi dalam birokratisasi yang menuntut persyaratan formal, seperti ijazah, surat keterangan, dan pengesahan pemerintah lainnya. Pada gilirannya, formalisasi penghulu berimplikasi pada posisi tokoh-tokoh masyarakat tadi, sedikit demi sedikit mengalami proses marginalisasi. Keberadaan penghulu hanya didasarkan atas kriteria kepemilikan persyaratan formal-administratif yang cenderung lamban melakukan adaptasi intelektual dengan fungsinya yang sakral tadi. Akibatnya, fungsi penghulu yang pada mulanya begitu luhur berubah menjadi jabatan administratif
belaka,
berhenti
pada
formal-birokrat
bahkan
cenderung
pragmatis-materialistik. Ditambah lagi dengan fakta bahwa jabatan penghulu pada dasarnya dimiliki oleh Kepala KUA atau penghulu yang diangkat melalui jabatan fungsional penghulu yang bertempat di KUA Kecamatan, bukan penghulu dalam pengertian masyarakat. Penghulu terakhir ini pada dasarnya
22
Wawancara dengan Maryono (P3N Kelurahan Tejosari), 20 Juni 2009.
16
sebagai petugas P3N yang ditunjuk oleh Kepala KUA di wilayah tersebut. Sehingga dari posisi birokrasi pun, bentuk penghulu ini pun sangat lemah. b)
Pandangan masyarakat terhadap peran penghulu. Implikasi dari faktor pertama di atas, maka masyarakat memandang
penghulu tidak sebagai figur yang memainkan peran sentral di masyarakat dalam bidang keagamaan, tetapi hanya sebatas petugas administratif yang mengurus administrasi perkawinan agar perkawinan yang akan dilangsungkan dinyatakan sah di depan hukum. Penghulu hanya bertugas melangsungkan akad nikah, tidak sebagai pihak yang mempunyai kompetensi dalam penasehatan dan pembimbingan perkawinan maupun pada masalah-masalah yang terjadi dalam rumah tangga seseorang. 2) Perspektif Masyarakat Pada dasarnya, masyarakat tidak mengetahui keberadaan Badan Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) di wilayahnya. Saat peneliti bertanya kepada beberapa warga baik Tejosari ataupun Iringmulyo, hampir semuanya tidak mengenal dan mengetahui keberadaan BP4 terlebih lagi pada aspek tugas yang harus dilaksanakan seorang petugas BP4. Di sisi lain, masyarakat memandang prosedur yang harus dilalui guna memenuhi persyaratan administratif sebuah perkawinan terlalu berbelit. Persepsi ini terbentuk berdasarkan pengalaman masyarakat pada saat mengurus berbagai urusan administratif dalam berbagai bidang yang seringkali mempersulit mereka.23 Sehingga pihak yang mendaftarkan diri untuk menikah seringkali tidak dilakukan oleh pasangan itu sendiri, tetapi orang tua atau pamong yang dianggap lebih paham tentang berbagai urusan administrasi yang „rumit‟ tersebut. Persepsi masyarakat di atas mempunyai implikasi negatif terhadap pelaksanaan penasehatan dan bimbingan pra-nikah. Proses penasehatan dan bimbingan pra-nikah dalam bentuk kursus calon pengantin yang dibuktikan dengan dikeluarkannya sertifikat oleh Ketua BP4 juga dianggap sebagai persyaratan administratif belaka. Sertifikat dapat diperoleh tanpa harus 23
Wawancara dengan Ibu Widiarti pada tanggal 17 Juni 2009.
17
mengikuti kursus calon pengantin yang dilaksanakan BP4. Hal ini dibuktikan dengan jawaban responden Tejosari sebanyak 92% menyatakan bahwa dalam proses perkawinan mereka hanya memperoleh sertifikat tanpa mengikuti kursus calon pengantin. Fakta yang sama terjadi di Iringmulyo, para catin juga hanya menerima sertifikat meskipun tidak mengikuti bimbingan pranikah,24 bahkan beberapa tidak menerima bimbingan juga sertifikat dengan alasan persediaan sertifikat habis.25 Sebagai rangkaian persyaratan administratif, suscatin dapat diselesaikan dengan „jalan pintas‟ tanpa memandang urgensi dan fungsi penasehatan. Berkaitan dengan penasehatan perkawinan pada saat pelaksanaan ijab qabul pun seringkali tidak dapat dilaksanakan oleh P3N sebagai petugas pelaksana BP4 Kecamatan. Peran penasehatan lebih banyak diambil alih oleh para kiai atau tokoh agama yang diundang pada saat akad nikah dilangsungkan. Sementara penghulu hanya bertugas memeriksa dokumen-dokumen terkait tentang keabsahan sebuah perkawinan menurut undang-undang. b. BP4 Kota Metro BP4 di tingkat Kota berpusat di Kantor Kementerian Agama Kota Metro. Ketua BP4 dijabat secara ex-officio oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam, Drs. H. Syahro. Berbeda dengan beberapa kabupaten/kota lain di Lampung, seksi URAIS Kota Metro juga membawahi urusan haji, selain bidang keluarga sakinah, hisab rukyat, nikah rujuk, dan produk halal.26 Dengan beban tugas yang begitu besar, maka pelaksanaan berbagai tugas BP4 tidak dapat dilakukan secara maksimal. Diperparah dengan tidak didukung oleh dana yang jelas yaitu dana dari APBN. Sebelumnya, BP4 bisa memperoleh dana non-budgeter yang langsung ke kas BP4. Namun sekarang, semua dana budget NR (nikah rujuk) harus masuk ke kas negara.
24 Wawancara dengan Apridayani warga Ki hajar Dewantoro 48 dan Muhammad Faiz warga Jl. A Yani. Diperkuat 73 % jawaban responden yang menyatakan hanya menerima sertifikat tanpa bimbingan dan 25 % tidak dua-duanya. 25 Sertifikat bimbingan pranikah disediakan oleh kanwil agama propinsi, sehingga sering terjadi keterlambatan dalam pengadaannya. Wawancara dengan Drs. M. Fathurrahman, Kepala KUA/Ketua BP4 Kecamatan Metro Timur tanggal 26 Juni 2009. 26 Wawancara dengan Drs. H. Syahro, Kasi Urais Kandepag Kota Metro pada tanggal 26 Juni 2009.
18
Timpangnya antara tugas yang diemban oleh Kasi Urais sebagai Ketua BP4 Kota dengan minimnya dana BP4 membuat gerak langkah, kegiatan, serta perkembangannya menjadi terhambat. Bahkan dalam tataran praktis, BP4 tidak dapat melaksanakan secara mandiri peran yang harus dilaksanakan, seperti pembinaan keluarga sakinah, pembinaan remaja usia menikah, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan ini hanya dapat dilaksanakan dengan cara ‟mengikut‟ acara yang dilaksanakan lembaga lain yang mendekati tugas dan fungsi BP4, baik yang ada dalam lingkup Kementerian Agama maupun dari Pemkot Metro.27 Realitas di atas juga berimplikasi terhadap peran BP4 sebagai lembaga marriage conceling resmi yang dibentuk Kementerian Agama yang menangani berbagai kasus perselisihan rumah tangga. Menurut Drs. H. Syahro, dalam beberapa kasus peran ini dapat dilaksanakan oleh Ibu Mun Munawaroh sebagai konselor informal (bukan sebagai konselor BP4 Kota) di lingkungan Kemenag Kota Metro. Jadi, pada dasarnya tugas penasehatan pasangan-pasangan yang bermasalah tidak dapat dilakukan. Padahal dengan ditetapkannya PERMA No 01/2008, sebetulnya peran BP4 dalam mengupayakan perdamaian bagi pasangan yang berperkara di Pengadilan Agama (PA) menjadi lebih besar lagi. Sementara mayoritas masyarakat yang akan mengajukan perkara ke PA biasanya menempuh dua cara. Pertama, langsung mengajukan sendiri perkara ke PA, sementara syarat-syarat seperti Surat Nikah, KTP, dan persyaratan lain dapat disampaikan di persidangan. Sebab tidak ada aturan perundangan yang mensyaratkan bahwa setiap pasangan yang bermasalah harus melakukan mediasi di BP4 sebelum berperkara di Pengadilan Agama. Lebih lanjut, kurang terjalin hubungan lintas sektoral antara BP4 Kota dengan Pengadilan Agama Kelas I b Kota Metro yang sekarang berada dalam lingkungan Mahkamah Agung dalam upaya mediasi terhadap pasangan bermasalah. Adapun aturan PERMA No. 01/2008 tentang kewajiban mediasi sebagai bentuk upaya perdamaian juga menuntut mediator untuk memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain memperoleh sertifikasi dari MA. Kedua, difasilitasi oleh KUA Kecamatan atau P3N. Peran yang dimainkan oleh KUA Kecamatan ataupun P3N 27
Ibid.
19
tidak pada upaya rekonsiliasi pasangan ataupun sebagai mediator permasalahan rumah tangga. Sebab biasanya pasangan yang mendatangi KUA atau P3N hanya dalam upaya mencari informasi tentang mekanisme dan tata cara perceraian di PA.28 Sehingga peran keduanya lebih pada fasilitator untuk mengajukan perkara ke PA daripada sebagai mediator untuk melestarikan sebuah perkawinan. Eksistensi BP4 pada dasarnya sangat dibutuhkan masyarakat khususnya dalam perkembangan pola kehidupan saat ini. Apalagi dengan realitas menanjaknya angka perceraian yang terjadi di tengah masyarakat. Tidak hanya pada masyarakat dengan struktur keluarga quasi-conjugal family seperti di kelurahan Iringmulyo sebagai representasi masyarakat urban di Kota Metro, bahkan juga pada masyarakat Tejosari dengan pola kehidupan tradisional yang bertumpu pada struktur keluarga luas. Namun, eksistensi tersebut harus diimbangi
dengan
peningkatan
kualitas
pelayanan
yang meniscayakan
peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di dalam BP4 itu sendiri.29
D. SIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa proses modernisasi mempengaruhi pola kekerabatan. Pada masyarakat dengan basis tradisional seperti Kelurahan Tejosari, pengaruh tersebut membentuk struktur keluarga dengan sistem modified extended family (keluarga luas yang telah tersesuaikan). Sementara masyarakat dengan karakteristik urban seperti Kelurahan Iringmulyo membentuk pola quasiconjugal family. Perbedaan struktur keluarga ini mempengaruhi cara pandang berkaitan dengan masalah perkawinan, perceraian, dan peran BP4. Terjadi pergeseran dalam memandang lembaga perkawinan, seperti dalam hal otonomi penuh individu dalam pernikahan, keluarga yang dibentuk lebih pada pola keluarga simetris (symmetrical family), dan persepsi yang berkembang tentang upaya memperkecil jumlah anak. Pada sistem modified extended family, kontrol keluarga luas sangat kuat dalam menjaga keutuhan rumah tangga inti yang merupakan bagian dari keluarga luas. Sementara pada pola quasi-conjugal family, 28 Wawancara dengan Drs. M. Fathurrahman, Kepala KUA/Ketua BP4 Kecamatan Metro Timur tanggal 26 Juni 2009. 29 Wawancara dengan Sri Mulyani pada tanggal 29 Juni 2009.
20
keluarga inti relatif lebih terbebas dari kontrol keluarga luas sehingga membuat tingkat perceraian lebih tinggi. Masyarakat pada umumnya memandang peran BP4 dalam upaya bimbingan dan penyuluhan pra-nikah hanyalah sebagai masalah administratif. Sehingga penasehatan sebelum perkawinan dan peran sebagai lembaga marriage conceling tidak efektif. Perubahan sosial menyebabkan lembaga ini teralienasi dari
masyarakat. Masyarakat tidak mengetahui
keberadaan
BP4 yang
mempunyai banyak peran dalam membangun dan menjaga keutuhan rumah tangga. Berdasarkan hasil temuan penelitian di atas, maka rekomendasi yang dapat diberikan sebagai berikut: a. Kepastian hukum tentang status kedudukan organisasi BP4 agar dapat menjamin ketersediaan dana untuk pelaksanaan tugas dan fungsinya. Paling tidak ada dua pilihan yang dapat diambil, yaitu menjadikan BP4 sebagai bagian dari struktur organisasi Kemenag sebagai lembaga teknis sehingga dalam operasionalisasinya dapat menggunakan dana APBN. Atau alternatif lain yaitu diswastakan, sehingga dalam penggalian dana dapat lebih leluasa. b. Dalam menyikapi PERMA No. 1/2008, perlu mempersiapkan SDM di dalam BP4 dengan cara mengikuti diklat mediator yang diselenggarakan oleh lembaga diklat yang sudah terakreditasi oleh Mahkamah Agung. Sebab salah satu syarat mediator dalam PERMA No. 1/2008 adalah mediator bersertifikat. c. Menjalin hubungan lintas sektoral, khususnya dengan Pengadilan Agama yang kini berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung. Misalnya tentang tugas PA yang diamanatkan UUP No. 1/1974 dengan azas mempersulit perceraian, maka pasangan yang akan mengajukan perkara ke PA harus mendapatkan surat pengantar dari BP4. Pada saat inilah kesempatan BP4 dapat mengupayakan rekonsiliasi terhadap permasalahan yang dihadapi pasangan tersebut.
21
DAFTAR PUSTAKA George P. Murdock, Social Structure, New York: Macmillan, 1949. Gerald R. Leslie, dan Sheila K. Korman, The Family in Social Context, New York: tnp., 1985. Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Karya, 1986. Mar‟at, Sikap Manusia, Perubahan, dan Pengukurannya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981. Mark Hutter, The Changing Family: Comparative Perspectives New York: John Willey & Sons, 1981. Raymond T. Smith, “Family: Comparative Structure”, Journal of Comparative Family Studies, Vol. 25, No. 3 tahun 1994. Subyakto, Psikologi Sosial, Jakarta: Haruhita, 1988. T.O. Ihromi, (Peny.), Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999. T.O. Ihromi, “Pengkajian Keluarga dalam Masyarakat yang Berubah”, Masyarakat, Jurnal Sosiologi, No. 1, 1990, Jurusan Sosiologi Fakultas Sosial dan Politik UI. W. Michel dan N.H. Michel, Essentials of Psychology, New York: Rndom House Inc., 1980. William J. Goode, World Revolution and Family Pattern, London: A Free Press, 1970. Zubaidah Muchtar, Optimalisasi Peran BP4, makalah pada Diklat BP4, Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan, 2009.