1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perjalanannya, setiap bahasa selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara terus-menerus. Setiap bahasa yang hidup senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan, misalnya dalam polanya, kosakatanya, ataupun maknanya. Seperti yang dikemukakan oleh Wijana (2008:110), bahwa elemen-elemen bahasa yang masih hidup atau digunakan serta dikembangkan oleh para penuturnya akan senantiasa mengalami perubahan. Salah satu faktor yang mengakibatkan sebuah bahasa mengalami perubahan dan perkembangan adalah kontak bahasa. Kontak bahasa yang terjadi antara dua bahasa atau lebih akan mengakibatkan adanya interaksi yang memungkinkan terjadinya perubahan pada masing-masing bahasa, baik dari segi tata bahasa, pembentukan, pemaknaan, pengucapan, bahkan seringkali terjadi penyerapan kata atau istilah dari bahasa yang lebih dominan. Weinreich (1963:5) mengatakan bahwa adanya pengaruh bahasa lain terhadap bahasa tertentu dianggap sebagai bentuk difusi dan akulturasi budaya. Dalam penelitian ini, perubahan dan perkembangan bahasa yang dibahas adalah tentang penyerapan kata, yaitu kata-kata serapan dari bahasa Arab yang terdapat dalam bahasa Sasak. Kata serapan atau kata pinjaman (loanword) adalah kata yang dipinjam dari bahasa lain (Hudson, 1986:58). Dalam proses penyerapan tersebut, penutur menggunakan kata-kata dari bahasa lain untuk mengacu benda,
2
proses, cara berperilaku, berorganisasi, serta berpikir, karena tidak adanya atau tidak memadainya kata-kata dalam bahasanya sendiri. Biasanya, kata pinjaman disesuaikan dengan kelas bunyi fonetis dan pola fonologis bahasa peminjam. Konsonan dan vokal asli diganti dengan segmen semirip mungkin dengan yang terdapat dalam bahasa peminjam, walaupun memang ada yang langsung diterima tanpa penyesuaian fonologis (Robins, 1989). Bahasa Sasak sendiri merupakan bahasa ibu etnis Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bahasa ini adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia dengan penutur lebih dari satu juta (Husnan dkk, 2012:1). Menurut keterangan Husnan dkk (2012:15-16), jumlah penduduk Pulau Lombok di tahun 2008 adalah 3.091.357 orang, dengan 80% penduduk pulau ini terdiri dari suku Sasak dan beragama Islam. Lokasi Pulau Lombok berada di kawasan Nusa Tenggara, di apit oleh Pulau Bali di sebelah barat dan Pulau Sumbawa di bagian timur. Dengan melihat data ini, kombinasi uniknya memeberikan daya tarik tersendiri untuk diteliti, seberapa besar bahasa Arab memberikan pengaruh terhadap bahasa Sasak dalam hal penyerapan kata. Terjadinya penyerapan kata dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak ini tentunya melalui proses dan sejarah yang panjang. Suku Sasak adalah suku yang paling kental dan dominan di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bahasa, kultur, filsafat, dan agama yang dianut oleh suku Sasak mewarnai kekhasan suku Sasak itu sendiri. Menurut Husni (2014:5), agama suku Sasak lama adalah Hindu dan Buddha. Kedua agama ini yang paling dominan menata kehidupan sosial dan agama suku Sasak, bahkan tradisi, bahasa, serta kepribadian mereka sampai sekarang masih sangat erat dengan kedua
3
agama tersebut. Setelah Islam masuk di Pulau Lombok, sebagian besar suku Sasak kemudian mengganti agamanya dengan Islam. Tradisi, bahasa, serta kepribadian suku Sasak lambat laun terbawa oleh kuatnya pengaruh Islam, meskipun sisa-sisa pengaruh Hindu-Buddha masih tetap hidup dan dipertahankan sebagai kekayaan budaya oleh suku Sasak sendiri. Masuknya Islam di tanah Sasak merupakan faktor utama yang membawa bahasa Arab sampai di telinga masyarakat Sasak, sehingga pada akhirnya melebur serta menyatu dengan bahasa setempat. Fakta bahwa Kitab Suci agama Islam yaitu Alquran diturunkan oleh Tuhan dalam bahasa Arab, membuat bahasa ini tidak dapat dipisahkan dari Islam. Posisi Alquran sebagai sumber hukum agama Islam telah membuat bahasa Arab dikenal sebagai bahasa Islam, bahkan pelaksanaan ibadah salat, baik salat wajib maupun sunah harus dilaksanakan dengan bahasa Arab. Selain itu, berbagai ilmu agama Islam yang meliputi Tafsir, Fikih, Tasawuf, Hadis, dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan agama Islam ditulis dalam bahasa Arab, meskipun ada beberapa yang ditulis dalam bahasa setempat, akan tetapi banyak kata dan istilah yang tetap menggunakan bahasa Arab. Eratnya hubungan antara bahasa Arab dengan Islam menyebabkan ke mana Islam tersiar, maka ke sana pula bahasa Arab ikut tersebar. Selain itu, fakta bahwa mayoritas masyarakat Sasak memeluk agama Islam, telah membuat kebutuhan mereka meningkat akan istilah dan kata-kata baru dalam pembahasan keagamaan serta kehidupan, karena Islam begitu rinci mengatur dan mengulas setiap sendi kehidupan pemeluknya. Kata demi kata diserap oleh bahasa Sasak dari
4
bahasa Arab sebagai wujud dari kebutuhan, sehingga terdapat banyak kata dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak. Teori tentang islamisasi di Pulau Lombok masih mengundang perdebatan di kalangan sejarawan. Pertanyaan kapan Islam masuk di Pulau Lombok serta siapa tokoh utama di balik proses islamisasi tersebut, adalah dua pertanyaan yang sulit disimpulkan karena masing-masing teori mempunyai argumen yang didukung oleh fakta sejarah. Wacana (1987:76) berpendapat bahwa Islam masuk di Pulau Lombok sekitar abad ke-16 M, dibawa oleh Pangeran Prapen (1548-1605) atau dikenal dengan sebutan Sunan Giri keempat, putra Sunan Ratu Giri. Pada masa Sunan Prapen, hubungan antara Jawa dan Lombok telah terjalin sedemikian rupa dan telah banyak membawa pertukaran budaya. Puncak hubungan antara Jawa dan Lombok terjalin sejak pertengahan abad ke-16 M sampai sekitar tahun 1700 M. Behrend (1995:17) menyatakan bahwa kontak langsung antara Jawa dan Lombok pada kurun waktu abad ke-16 M sampai abad ke-17 M telah membawa pertukaran budaya yang cukup besar. Dalam babad dan tradisi lisan Lombok disebutkan bahwa terdapat mata rantai langsung yang dapat menghubungkan Pulau Lombok dengan kota pelabuhan Giri. Sunan Giri keempat yang disebut dengan Prapen (1548-1605) adalah pembawa agama Islam ke Pulau Lombok, meskipun tidak harus dipercaya bahwa Sunan Prapen sendiri sebagai pendakwahnya. Berdasarkan keterangan Wacana (1987:43-44), teori lain menjelaskan bahwa Islam masuk di Pulau Lombok melalui seorang pendakwah bernama Syekh Nūr ar-Rasyīd yang datang dari Jazirah Arab. Dia bersama rombongannya
5
bermaksud hendak berlayar ke Australia untuk berdakwah, namun karena satu dan lain hal mereka singgah di Pulau Lombok, selanjutnya menetap di Bayan, Lombok Utara. Syekh Nūr ar-Rasyīd dikenal sebagai ulama yang saleh, sehingga masyarakat setempat memanggilnya dengan nama Gaus Abdul Razak. Dari perkawinan Syekh Nūr ar-Rasyīd dengan Denda Bulan, lahirlah seorang putra yang diberi nama Zulkarnain, dan dialah yang menjadi cikal bakal raja Selaparang. Zulkarnain menikah dengan Denda Islamiah dan memiliki seorang putri bernama Denda Kamariah yang populer dengan sebutan Dewi Anjani. Salam (1992:23) mengemukakan, pendapat lain yang mengatakan bahwa Islam masuk di Pulau Lombok diawali dengan munculnya nama Petung Anunggul, nama asli dari Sunan Alelana. Tokoh ini oleh masyarakat Lombok dikenal dengan sebutan Raden Mas Pakel. Dia mempunyai tiga orang putra yang kemudian menjadi ulama kharismatik di Lombok, mereka adalah Guru Jepun, Guru Deriah, dan Guru Mas Mirah. Selain ketiga ulama tersebut, juga dikenal nama Sunan Guru Makassar dari Sulawesi Selatan, Jati Swara, Kiai Serimbang, dan Enam Beret yang ketiganya berasal dari Sumatera. Pada pertengahan abad ke-16 M, semua ulama tersebut pernah mengembara ke Pulau Lombok untuk menyebarkan agama Islam. Sementara Yunus (1979:322) mengatakan bahwa Islam masuk ke Pulau Lombok pada abad ke-17 M dari arah timur, yaitu dari Pulau Sumbawa. Pendapat ini didasarkan pada sebuah riwayat yang menceritakan bahwa raja Goa di Sulawesi Selatan telah memeluk Islam sekitar tahun 1600 M ketika didatangi tiga orang mubalig dari Minangkabau, yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Patimang, dan Datuk Ri Tiro. Setelah memeluk agama Islam, gelar baginda raja Goa berubah
6
menjadi as-Sultān ‘Alāuddīn Awwal al-Islām. Selain raja Goa, terdapat juga baginda Karaeng Matopia yang ikut memeluk agama Islam. Keduanya dikenal sebagai penganjur dan penyebar Islam di daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaannya, sehingga dalam waktu singkat, masyarakat Sulawesi Selatan telah memeluk agama Islam. Bersamaan dengan meluasnya wilayah kekuasaan kerajaan Goa, terutama setelah penaklukan Bone pada tahun 1606 M, Bima pada tahun 1616 M, 1618 M, dan 1623 M, Sumbawa pada tahun 1618 dan 1626 M, serta Buton pada tahun 1626 M, maka perkembangan Islam di Pulau Sumbawa berlangsung secara cepat. Perkembangan Islam selanjutnya meluas hingga menyeberangi Selat Alas dan memasuki Pulau Lombok. Terlepas dari semua pendapat di atas, satu hal yang pasti setelah proses islamisasi ini adalah berdirinya Kerajaan Selaparang Islam dan Kerajaan Pejanggik Islam. Kerajaan Selaparang berpusat di bagian timur Pulau Lombok dengan menguasai hampir 2/3 wilayah Pulau Lombok, yang meliputi Lombok Timur, Lombok Utara, hingga sebagian Lombok Barat, bahkan Pulau Sumbawa juga pernah dikuasai oleh kerajaan ini. Adapun Kerajaan Pejanggik berpusat di basis tengah Pulau Lombok dengan menguasai hampir seluruh wilayah Lombok Tengah. Sebelum akhirnya kedua kerajaan ini dan kerajaan-kerajaan lainnya di Pulau Lombok ditaklukkan oleh kerajaan Karangasem-Bali pada periode melelahkan yang berlangsung selama 154 tahun, yaitu dari tahun 1740 M sampai dengan tahun 1894 M (Windia, 2011:19). Seperti yang telah dikemukakan bahwa ke mana Islam tersiar maka di sana bahasa Arab tersebar. Dengan tersiarnya Islam di Pulau Lombok, maka bahasa
7
Arab mulai dikenal dan dipakai oleh masyarakat setempat karena kebutuhan akan kosakata dan istilah baru yang dibawa oleh Islam. Salah satu bukti nyata perkembangan bahasa Arab di Pulau Lombok adalah didirikannya banyak madrasah dan pesantren yang di dalamnya diajarkan bahasa Arab serta berbagai ilmu agama Islam. Kebanyakan madrasah dan pesantren di Pulau Lombok mengajarkan bahasa Arab dan ilmu agama Islam dengan acuan berbagai kitab berbahasa Arab yang biasa dikenal dengan sebutan kitab kuning. Akibat dari pesatnya perkembangan Islam di Pulau Lombok yang diikuti oleh pesatnya perkembangan pendidikan Islam dan bahasa Arab, maka banyak masyarakat Lombok yang mengirim anak-anak mereka untuk berguru dan menimba ilmu di tanah Arab, khususnya Mekah, kemudian kembali ke Pulau Lombok untuk mengajarkan Islam dan bahasa Arab kepada penduduk setempat, serta mendirikan madrasah-madrasah, pondok-pondok pesantren, masjid-masjid, dan surau-surau di desanya masing-masing. Bahkan Windia (2011:28) menegaskan bahwa orientasi pendidikan di Pulau Lombok lebih banyak ke pondok pesantren dengan pendidikan Islam sebagai pilar utama. Melekatnya Islam dan bahasa Arab dalam kehidupan masyarakat Sasak, membuat mereka mulai mencampur kosakata atau istilah Arab dalam berkomunikasi dengan bahasa Sasak, baik sadar maupun tidak. Sebagai konsekuensinya, sering dijumpai adanya interferensi, alih kode pemakaian bahasa Arab dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tertulis. Selain itu, karena intensifnya pengaruh Islam di Pulau Lombok pada berbagai aspek kebudayaan, maka semakin banyak pula masyarakat Sasak yang menamai anak-anak mereka
8
dengan nama-nama Arab. Tidak hanya nama-nama anak yang menggunakan bahasa Arab, tetapi juga nama-nama lembaga pendidikan Islam, yayasan sosial yang berbasis Islam, organisasi Islam, desa, toko, dan lain sebagainya. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa penelitian ini sudah sepantasnya dilakukan karena merupakan salah satu permasalahan yang sangat menarik untuk dibahas. Selain mengungkap adanya hubungan antara bahasa Arab dengan bahasa Sasak, penelitian ini semakin menarik karena hasilnya dapat menjadi salah satu tulisan berharga yang merekam kekayaan bahasa di nusantara, karena Indonesia sangat kaya dengan bahasa, suku bangsa, dan budaya. Status penulis sebagai mahasiswa jurusan Kajian Timur Tengah dengan konsentrasi Linguistik Arab dan penutur asli bahasa Sasak, semakin menguatkan alasan untuk mengangkat tema penelitian tentang hubungan bahasa Arab dan bahasa Sasak. Selain itu, penelitian ini merupakan bukti cinta dan bakti seorang putra daerah dengan berusaha memberikan manfaat bagi tanah kelahirannya, karena bahasa Sasak adalah bahasa ibu dan bahasa kebanggaan masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat. 1.2 Keaslian Penelitian Penelitian tentang pengaruh bahasa Arab terhadap bahasa lain telah banyak dilakukan oleh para ahli dan peneliti sebelumnya. Salah satu yang diteliti adalah pengaruh bahasa Arab terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Hasil penelitian-penelitian tersebut berupa artikel, makalah, skripsi, tesis, dan desertasi yang menyoroti berbagai aspek kebahasaan serta permasalahan yang berkaitan
9
dengan pengaruh bahasa Arab terhadap bahasa tersebut, tetapi belum pernah dilakukan sebuah penelitian tentang pengaruh bahasa Arab terhadap bahasa Sasak yang merupakan bahasa daerah suku Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini dilakukan berdasarkan teori yang berhubungan dengan pengaruh suatu bahasa terhadap bahasa lain, yaitu pengaruh bahasa Arab terhadap bahasa Sasak pada tataran leksikal. Data dalam penelitian ini berupa kata-kata serapan dari bahasa Arab yang terdapat dalam kamus-kamus bahasa SasakIndonesia, buku-buku berbahasa Sasak, serta rekaman ceramah-ceramah berbahasa Sasak, setelah dilakukan pemilihan kata-kata serapan dari bahasa Arab yang terdapat di dalamnya dengan cermat dan teliti. 1.3 Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dipaparkan, dapat dirumuskan bahwa pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah tentang penggunaan kata serapan dari bahasa Arab dalam berbagai keperluan berbahasa Sasak. Adanya kontak antara kedua bahasa tersebut yang berupa penyerapan kata dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, telah melahirkan beberapa masalah kebahasaan yang perlu dikaji dan dipetakan secara sistematis, dan di antaranya dibahas dalam penelitian ini. Atas dasar hal tersebut, maka rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1
Apa ranah kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak berdasarkan bidang pemakaiannya?
10
1.3.2
Bagaimana wujud perubahan fonologis kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak?
1.3.3
Bagaimana wujud perubahan semantis kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak?
1.3.4
Apa alasan pemakaian kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak?
1.4 Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah, maka dapat dipastikan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1.4.1
Mendeskripsikan ranah kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak berdasarkan bidang pemakaiannya.
1.4.2
Mendeskripsikan wujud perubahan fonologis kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak.
1.4.3
Mendeskripsikan wujud perubahan semantis kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak.
1.4.4
Mendeskripsikan alasan pemakaian kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak.
1.5 Batasan Masalah Berdasarkan bentuknya, Samsuri (1987:62) membagi kata menjadi tiga, yaitu kata simpleks atau kata sederhana, kata kompleks atau kata yang telah mengalami perubahan morfologis berupa afiksasi, dan kata majemuk atau kata yang telah mengalami pemajemukan berupa penggabungan dengan kata lain. Dalam bahasa Arab, kata كتب/kataba/ ‘menulis’ sebagai verba perfektif, yang
11
terdiri atas konsonan k-t-b, merupakan bentuk abstrak dari bentuk-bentuk yang lain, sehingga kata tersebut dikatakan sebagai bentuk simpleks. Bentuk kompleksnya, antara lain kata كاتب/kātib/ ‘penulis’, كتابة/kitābah/ ‘tulisan’, dan
يكتب/yaktubu/ ‘dia (laki-laki) menulis’. Adapun bentuk majemuknya adalah كتاب التفري/kitāb at-tafsīr/ ‘kitab tafsir’. Pada proses penyerapannya, kata simpleks dan kata kompleks bahasa Arab ini dianggap sebagai bentuk dasar setelah diserap ke dalam bahasa Sasak. Seperti kata عادؿ/‘ādil/ ‘orang yang berpihak kepada kebenaran’, dalam bahasa Arab merupakan bentuk kompleks dari bentuk simpleks عدؿ/‘adula/ ‘bersikap adil’. Setelah diserap ke dalam bahasa Sasak, bentuk kompleks ini dianggap sebagai bentuk dasar dan masih bisa menghasilkan kata turunan berdasarkan proses penurunan dalam bahasa Sasak, seperti menjadi adilan ‘lebih adil’, adilin ‘mengadili’, pengadilan ‘majelis yang mengadili perkara’, teadilin ‘diadili’, keadilan ‘sifat yang adil’, adilang ‘adilkan’, dan sebagainya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kata simpleks dan kata kompleks dalam penelitian ini adalah kata simpleks dan kata kompleks sejak dari bahasa Arab, yang kemudian dianggap sebagai bentuk dasar setelah diserap ke dalam bahasa Sasak. Sama halnya dengan kata majemuk, yang dimaksud dengan kata majemuk dalam penelitian ini adalah kata majemuk sejak dari bahasa Arab. Biasanya, kata majemuk ini dijadikan sebagai istilah setelah diserap ke dalam
12
bahasa Sasak, seperti kata majemuk عيد األضحى/‘īdul-adhhā/ ‘hari raya haji yang disertai dengan penyembelihan hewan kurban bagi yang mampu’, عيد الفطر/‘īdulfithr/ ‘hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal satu Syawal, setelah selesai menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadan’, dan sebagainya. Setelah diserap ke dalam bahasa Sasak, kedua contoh ini tidak lagi dianggap sebagai kata majemuk, tetapi dianggap sebagai istilah. 1.6 Manfaat Penelitian Secara teoretis, penelitian mengenai pengaruh suatu bahasa terhadap bahasa lain, dalam hal ini adalah pengaruh bahasa Arab terhadap bahasa Sasak, dapat memberikan manfaat dalam pengembangan teori yang berkaitan dengan kaidah-kaidah penyerapan kata. Kaidah-kaidah penyerapan kata tersebut tentu mempunyai fungsi yang sangat penting dalam etimologi, yaitu penelusuran asalusul kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan untuk kajian selanjutnya yang berkaitan dengan kata serapan dari bahasa Arab. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam penelusuran asal-usul kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, karena masyarakat Sasak yang menggunakan kata-kata serapan dari bahasa Arab dalam kesehariannya, sebagian besar tidak mengetahui bahwa yang mereka ucapkan adalah kata-kata serapan dari bahasa lain. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai kata serapan
13
dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, yang meliputi ranah pemakaiannya, perubahan fonologisnya, perubahan semantisnya, dan alasan penggunaannya dalam bahasa Sasak. 1.7 Tinjauan Pustaka Pembahasan tentang kata serapan dari sebuah bahasa dalam bahasa lain telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan pemerhati bahasa di seluruh dunia. Beberapa penelitian sebelumnya membahas tentang kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Jawa, kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Spanyol, kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Indonesia, dan banyak pembahasan tentang kata serapan dari bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang mengulas tentang kata serapan dari sebuah bahasa dalam bahasa lain. Soedjarwo (1990) dalam penelitiannya yang berjudul Aspek Morfologi Kata-Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia, mengemukakan bahwa kata-kata asing yang masuk atau diserap ke dalam bahasa Indonesia ada yang berupa kata dasar dan ada pula yang berupa kata bentukan. Menurut Soedjarwo, kata-kata bentukan tersebut terdiri dari beberapa morfem yang telah mendapat imbuhan dan mengalami pengulangan atau berbentuk kata majemuk. Marcellino (1990) dalam desertasinya yang berjudul The Forms and Function of Western Loanwords in Selected Indonesian Print Media, membahas tentang kata-kata serapan asing dalam bahasa Indonesia berdasarkan aspek
14
morfologi dan perubahan semantis dengan menjadikan beberapa surat kabar dan majalah nasional sebagai sumber datanya. Hadi (2003) dalam desertasinya yang berjudul Kata-Kata Serapan dari Bahasa Arab yang Terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, membahas dengan sangat rinci tentang pengaruh bahasa Arab terhadap bahasa Indonesia pada tataran leksikal. Adapun permasalahan penelitiannya meliputi kajian fonologis, morfologis, morfosintaksis, dan semantis. Fauzi (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Perubahan Lafal dan Makna Kata Serapan Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia pada Buku Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia, membahas proses penyesuaian bunyi-bunyi fonem dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan perubahan makna kata-kata serapan bahasa Arab dalam bahasa Indonesia yang terdapat pada buku Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia. Marfuah dkk (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Perubahan Kata Serapan Bahasa Arab dalam Bahasa Jawa pada Majalah Djaka Lodang yang Terbit pada Bulan Ramadan Tahun 2010, memaparkan perubahan yang terjadi pada kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Jawa yang meliputi perubahan bentuk, perubahan fonem, perubahan kategori, dan perubahan makna dengan menggunakan majalah Djaka Lodang edisi tahun 2010 sebagai sumber data. Kohar (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Bahasa Arab dalam Bahasa Spanyol, menemukan beberapa kata serapan dari bahasa Arab yang digunakan dalam bahasa Spanyol. Penelitian ini tidak hanya membahas tentang
15
aspek linguistik, tetapi juga memperhatikan faktor sosial politik dan historis yang memengaruhi masuknya unsur-unsur serapan tersebut dalam bahasa Spanyol. Syafar (2012) dalam tesisnya yang berjudul Kata Serapan Bahasa Inggris dalam Bahasa Indonesia, mendeskripsikan jenis dan bentuk kata-kata serapan bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia, perubahan semantis kata-kata serapan bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia, dan alasan pemakaian kata-kata serapan tersebut dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pemaparan di atas, banyak ahli dan peneliti yang telah membahas tentang pengaruh sebuah bahasa terhadap bahasa lain, tetapi belum pernah dilakukan penelitian yang membahas tentang pengaruh bahasa Arab terhadap bahasa Sasak. 1.8 Landasan Teori Bahasa Arab dan bahasa Sasak berasal dari rumpun bahasa yang berbeda. Bahasa Arab termasuk dalam rumpun bahasa Semit-Hamit, sedangkan bahasa Sasak termasuk dalam rumpun bahasa yang sama dengan bahasa Indonesia yaitu rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Arab tergolong tipe bahasa fleksi dan bahasa Sasak tergolong dalam tipe bahasa aglutinatif. Maksud dari istilah fleksi adalah proses atau hasil penambahan afiks pada kata dasar atau akar untuk membatasi makna gramatikalnya (Kridalaksana, 1984:49). Adapun bahasa aglutinatif adalah tipe bahasa yang struktur kata dan hubungan gramatikalnya ditandai oleh penggabungan unsur secara bebas. Dalam
16
bahasa yang bertipe aglutinatif ini, penambahan afiks pada akar kata dimaksudkan untuk menunjukkan fungsi gramatikalnya (kridalaksana, 1984:3). Perbedaan-perbedaan antara bahasa Arab dan bahasa Sasak itulah yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan setelah unsur-unsur bahasa Arab terserap ke dalam bahasa Sasak. Perubahan-perubahan tersebut hampir meliputi semua aspek kebahasaan, tetapi karena keterbatasan penulis, maka seperti yang telah dipaparkan dalam rumusan masalah, penelitian ini hanya membahasa seputar ranah kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak berdasarkan bidang pemakaiannya, wujud perubahan fonologis kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, wujud perubahan semantis kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, serta alasan pemakaian kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak. Dengan demikian, penelitain ini melibatkan beberapa teori linguistik yang dapat menjadi landasan penelitian dan dapat membantu untuk memilih konsep yang tepat dalam pembentukan hipotesis-hipotesis tentang satuan bahasa yang diteliti. 1.8.1
Kontak Bahasa Berdasarkan
penjelasan
Hockett
(1958:402-406),
kontak
bahasa
merupakan peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama secara bergantian. Dari kontak bahasa itu terjadi transfer atau pemindahan unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya yang mencakup semua tataran,
termasuk
terjadinya penyerapan kata dari satu bahasa ke dalam bahasa lain. Thomason
17
(2001:1) mengatakan bahwa kontak bahasa adalah peristiwa penggunaan lebih dari satu bahasa pada tempat dan waktu yang sama. Penggunaan bahasa ini tidak menuntut penutur untuk berbicara dengan lancar sebagai dwibahasawan atau multibahasawan, namun terjadinya komunikasi antara penutur dua bahasa yang berbeda pun sudah dikategorikan sebagai peristiwa kontak bahasa. Thomason (2001:2-3) menerangkan bahwa beberapa kontak bahasa terjadi tanpa pertemuan langsung antara penutur bahasa yang bersangkutan, seperti bahasa-bahasa agama besar di dunia yang ikut tersebar bersamaan dengan teks sakral dan tulisan-tulisan yang berhubungan dengannya. Agama Kristen bertanggung jawab atas penyebaran bahasa Latin melalui Perjanjian Baru Yunani ke berbagai negara, Pali sebagai bahasa suci agama Buddha menyebar ke Thailand, Burma, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, serta Alquran yang merupakan teks suci umat Islam, ditulis dengan bahasa Arab, menyebar ke berbagai belahan dunia. Meskipun tidak semua umat Islam di luar negara Arab berbicara menggunakan bahasa Arab, tetapi telah terjadi kontak dengan bahasa setempat, yang dibuktikan dengan jumlah kata serapan dari Arab yang cukup besar dalam berbagai bahasa, seperti dalam bahasa Persia, Turki, dan Melayu, yang umumnya diucapkan oleh umat Islam. Kontak bahasa tanpa bilingualisme total tidak hanya terjadi pada bahasabahasa Agama besar di dunia. Contoh paling mencolok pada dunia modern ini adalah penyebaran bahasa Inggris di luar negara tradisional berbahasa Inggris. Jutaan non-penutur bahasa Inggris telah melakukan kontak dengan bahasa Inggris melalui radio, televisi, film-film Hollywood, musik-musik populer, dan berbagai
18
jenis tulisan berbahasa Inggris. Tentu saja bahasa Inggris dapat dipelajari melalui media-media tersebut, meskipun pengetahuan kemungkinan akan tetap pasif, kecuali pendengar atau pembaca memiliki kesempatan untuk berlatih berbicara atau kemampuan menulis. Thomason
(2001:17-21)
menyebutkan
bahwa
faktor-faktor
yang
menyebabkan terjadinya kontak bahasa dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu karena adanya dua kelompok yang berpindah ke daerah yang tidak berpenghuni kemudian mereka bertemu di sana, karena perpindahan satu kelompok ke wilayah kelompok lainnya, karena adanya praktek pertukaran buruh secara paksa, karena adanya hubungan budaya yang dekat antara tetangga dalam waktu yang lama, dan karena adanya pendidikan atau biasa disebut dengan kontak belajar. Faktor pertama, karena adanya dua kelompok yang berpindah ke daerah yang tidak berpenghuni kemudian mereka bertemu di sana. Kasus seperti ini sangat jarang terjadi di dunia modern, karena hampir semua tempat telah berpenghuni. Faktor pertama ini dapat saja terjadi di Antartika karena tidak memiliki populasi manusia yang tinggal secara permanen, seperti para ilmuwan dari berbagai belahan dunia yang saling melakukan kontak bahasa dalam perkemahan mereka selama berada di sana. Faktor kedua, karena perpindahan satu kelompok ke wilayah kelompok lainnya. Peristiwa perpindahan ini bisa dengan cara damai atau sebaliknya, namun kebanyakan tujuan dari adanya perpindahan ini adalah untuk menaklukkan dan menguasai wilayah dari penghuni aslinya. Sebagai contoh, pada awalnya masyarakat Indian menerima kedatangan bangsa Eropa dengan ramah, begitu pun
19
sebaliknya, tetapi bangsa Eropa kemudian berkeinginan untuk menguasai tanah Amerika, sehingga ketika jumlah mereka yang datang sudah cukup banyak, mereka mengadakan penaklukkan terhadap warga pribumi. Tidak semua kontak bahasa dalam hal ini terjadi melalui proses saling bermusuhan, ada yang terjadi melalui perdagangan, penyebaran misi agama, serta adanya perkawinan campuran antara warga pribumi dan bangsa pendatang. Faktor ketiga, karena adanya praktek pertukaran buruh secara paksa. Sebagai contoh, banyaknya orang Asia Selatan di Afrika Selatan pada awalnya berasal dari pertukaran buruh industri tebu sekitar abad XIX. Hal ini menyebabkan bahasa Tamil, salah satu bahasa di India, menjadi bahasa minoritas di Afrika Selatan. Adanya pertukaran buruh ini mendorong para sosiolinguis untuk membuat perbedaan antara buruh yang secara sukarela atau yang dipaksa untuk berpindah, karena perbedaan ini tentu saja memengaruhi sikap mereka terhadap negara yang dituju dan seringkali juga berpengaruh pada hasil kontak bahasa. Faktor keempat, karena adanya hubungan budaya yang dekat antara tetangga dalam waktu yang lama. Kontak bahasa dalam hal ini biasanya berkembang di antara dua kelompok atau individu yang berbeda bahasa, tetapi hidup bertetangga dan berinteraksi secara teratur tanpa kesulitan yang berarti. Sebagai contoh, kontak bahasa seperti ini terjadi pada sejumlah suku pegunungan di barat laut Amerika Serikat ketika mereka turun ke lembah untuk berburu kerbau bersama-sama. Kontak bahasa serupa juga terjadi di Indonesia, salah satunya dalam hubungan budaya yang dekat antara kelompok penutur bahasa Madura dan
20
kelompok penutur bahasa Jawa, yang hidup bertetangga di sepanjang pantai utara Jawa Timur. Faktor kelima, karena adanya pendidikan atau biasa disebut dengan kontak belajar. Bahasa Inggris di zaman modern ini menjadi lingua franca, karena semua orang di seluruh dunia harus mempelajari bahasa Inggris jika mereka ingin memahami ilmu Fisika, mengerti percakapan dalam film-film Amerika, menerbangkan pesawat dengan penerbangan internasional, serta melakukan bisnis dengan orang Amerika maupun orang-orang asing lainnya, bahkan bahasa Inggris telah menjadi lingua franca dalam komunikasi internasional melalui internet. Banyak orang yang menggunakan bahasa Inggris dengan tujuan ini, tetapi tidak semuanya berkesempatan untuk praktek berbicara secara langsung dengan penutur asli bahasa Inggris. Hal yang sama juga terjadi pada setiap orang muslim di seluruh dunia yang harus mempelajari bahasa Arab untuk tujuan keagamaan, meskipun mereka mungkin tidak pernah bertemu dengan penutur asli bahasa Arab. Jika kelima faktor yang disebutkan di atas dihubungkan dengan fakta sejarah di Pulau Lombok, maka hanya ada dua yang kemungkinan menyebabkan terjadinya kontak antara bahasa Sasak dengan bahasa Arab, yaitu karena perpindahan satu kelompok ke wilayah kelompok lainnya dan karena adanya pendidikan atau biasa disebut dengan kontak belajar. Kontak antara bahasa Sasak dengan bahasa Arab ditandai dengan masuknya Islam di Pulau Lombok, baik Islam yang dibawa langsung oleh orang-orang Arab sendiri atau yang dibawa oleh orangorang Indonesia dari luar Pulau Lombok yang lebih dahulu beragama Islam. Eratnya hubungan antara bahasa Arab dengan Islam menyebabkan ke mana Islam
21
tersiar, maka ke sana pula bahasa Arab ikut tersebar. Fakta bahwa mayoritas masyarakat Sasak memeluk agama Islam, telah membuat kebutuhan mereka meningkat akan istilah dan kata-kata baru dalam pembahasan keagamaan serta kehidupan, karena Islam begitu rinci mengatur dan mengulas setiap sendi kehidupan pemeluknya. 1.8.2
Kata Serapan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan istilah serapan untuk kata-
kata bahasa Arab yang terdapat dalam bahasa Sasak. Selain istilah serapan, terdapat istilah-istilah lain yang hampir sama maknanya dan tidak dapat dihindari pemakaiannya, seperti istilah pengaruh (influence) yang dipakai oleh BarorohBaried (1970) dan Poedjosudarmo (1982), istilah pinjaman (borrowing/loan) yang dipakai oleh Robins (1989), Kridalaksana (1993), Poedjosudarmo (1982), dan Beg (1977), serta istilah pungutan yang dipakai oleh Samsuri (1987) dan Moeliono (1989). Penggunaan istilah serapan dirasa lebih tepat oleh Eddy (1989:10), karena istilah penyerapan menunjukkan adanya integrasi sepenuhnya ke dalam bahasa penyerap, sedangkan penggunaan istilah pengaruh dirasa lebih cocok untuk pembahasan semua aspek yang meliputi pengaruh sintaksis, interferensi, dan alih kode. Penggunaan istilah serapan juga dipandang lebih tepat jika dibandingkan dengan istilah pinjaman, karena dalam kenyataannya kata-kata yang diserap tidak dikembalikan lagi ke dalam bahasa asal. Istilah penyerapan dianggap lebih tepat
22
karena meliputi proses penyesuaiannya dengan pembentukan kata dalam bahasa penyerap, dalam hal ini adalah bahasa Sasak. Istilah serapan juga dipandang lebih tepat jika dibandingkan dengan istilah pungutan, karena adanya kedekatan antara bahasa Arab dengan bahasa Sasak yang terjalin oleh proses interaksi dalam bilingualisme berbahasa. Istilah pungutan kurang mencerminkan kedekatan kontak antara kedua bahasa tersebut, karena pada kenyataannya terjadi kontak yang erat dalam bilingualisme ArabSasak. Menurut Chaer (2008:139), penyerapan adalah proses pengambilan kosakata dari bahasa asing, seperti bahasa Belanda, Inggris, Portugis, Arab, Parsi, Sanskerta, Cina, dan sebagainya. Penyerapan juga bisa diambil dari bahasa nusantara seperti bahasa Jawa, Sunda, Minang, Bali, dan sebagainya. Pendapat di atas sejalan dengan Bloomfield (1996:444) yang mendefinisikan kata serapan sebagai kata asing atau daerah yang masuk ke dalam suatu bahasa. Haugen (1971:85) menyatakan bahwa penyerapan meliputi dua jenis proses,
yaitu
proses
pemasukan
(importation)
dan
proses
penyulihan
(substitution). Proses pemasukan adalah kata serapan yang sama dengan bahasa sumber sehingga diterima oleh penutur sebagai milik bahasanya, sedangkan proses penyulihan adalah kata serapan yang menghasilkan model yang bukan pemasukan, melainkan penggantian pola yang sama dari bahasa penyerap. Berdasarkan bentuknya, Samsuri (1987:62) membagi kata menjadi tiga, yaitu kata simpleks atau kata sederhana, kata kompleks atau kata yang telah
23
mengalami perubahan morfologis berupa afiksasi, dan kata majemuk atau kata yang telah mengalami pemajemukan berupa penggabungan dengan kata lain. Dalam bahasa Arab, kata كتب/kataba/ ‘menulis’ sebagai verba perfektif, yang terdiri atas konsonan k-t-b, merupakan bentuk abstrak dari bentuk-bentuk yang lain, sehingga kata tersebut dikatakan sebagai bentuk simpleks. Bentuk kompleksnya, antara lain kata كاتب/kātib/ ‘penulis’, كتابة/kitābah/ ‘tulisan’, dan
يكتب/yaktubu/ ‘dia (laki-laki) menulis’. Adapun bentuk majemuknya adalah كتاب التفري/kitāb at-tafsīr/ ‘kitab tafsir’. Berdasarkan substitusi fonemis dan morfemisnya, Haugen (1992:286) mengklasifikasikan hasil penyerapan menjadi loanwords (kata serapan), loanblends (campuran serapan) atau hybrids (hibrida), dan loanshifts (geseran serapan). Loanshifts meliputi loan translations dan semantic borrowings. Loanwords adalah hasil penyerapan yang tidak mengalami substitusi morfemis, tetapi dengan atau tanpa substitusi fonemis. Seperti kata kitap dalam bahasa Sasak yang berasal dari bahasa Arab yaitu كتاب/kitāb/ ‘buku; kitab’, kata muslim dalam bahasa Sasak yang berasal dari bahasa Arab yaitu مسلم/muslim/ ‘penganut agama Islam’, kata masjit dalam bahasa Sasak yang berasal dari bahasa Arab yaitu مسجد/masjid/ ‘bangunan tempat beribadahnya umat Islam’, dan lain sebagainya.
24
Loanblends adalah hasil serapan berupa gabungan hasil substitusi dan importasi morfemis, tetapi setrukturnya sesuai dengan bentuk kata asing yang diserap. Seperti kata kitap kuning dalam bahasa Sasak yang berasal dari bahasa Arab yaitu كتاب الرتاث/kitābut-turāts/ ‘kitab pusaka’, kata hadas beleq dalam bahasa Sasak yang berasal dari bahasa Arab yaitu احلدث األكرب/al-chadatsul-akbar/ ‘hadas besar’, kata aiq mustaqmal dalam bahasa Sasak yang berasal dari bahasa Arab املاء املستعلyaitu /al-mā’ul-musta’mal/ ‘air yang sudah digunakan’, dan sebagainya. Loanshifs adalah hasil serapan yang mengalami pergeseran, yaitu hasil substitusi morfemis tanpa importasi. Loanshifs dikenal juga dengan loan translation (terjemahan serapan) atau semantic loans dan semantic borrowings (serapan semantik), karena yang diserap adalah maknanya. Seperti kata manik Neneq dalam bahasa Sasak yang berasal dari bahasa Arab yaitu كالـ اهلل/kalāmullāh/ ‘firman Allah’, kata dose beleq yang berasal dari bahasa Arab yaitu إمث كبري /itsm kabīr/ ‘dosa besar’, kata besoq mue yang berasal dari bahasa Arab yaitu غسل
الوجه/ghaslul-wajh/ ‘membasuh wajah dalam ritual wudu’, dan sebagainya. 1.8.3
Kata Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:451), salah satu makna kata
adalah morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai
25
satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas, atau satuan bahasa yang berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem. Kata mengacu kepada unit-unit bahasa terkecil yang sifatnya fonologis atau ortografis (Lyons, 1977:197). Bloomfield (1996:78) mengemukakan bahwa salah satu ciri kata adalah memiliki kebebasan berdiri sendiri di dalam ujaran. Adapun menurut Hockett (1958:167), ciri kata adalah memiliki jeda dan dapat diisolasi. Sedangkan menurut de Groot (1964:117), ciri kata adalah berdiri sendiri dan bermakna. Dengan demikian, kata adalah satuan ujaran yang berdiri sendiri yang terdapat di dalam kalimat, dapat dipisahkan, dapat ditukar, dapat dipindahkan, mempunyai makna, serta digunakan untuk berkomunikasi (Ramlan, 1983:28). Perbedaan kata dengan leksem dapat dipahami dengan jelas dari pemaparan Kridalaksana (1984:89), menurutnya kata dipandang sebagai satuan yang lebih konkret, sedangkan leksem adalah leksikal dasar yang abstrak yang mendasari berbagai bentuk inflektif suatu kata (kridalaksana, 1984:114). Sejalan dengan pendapat Brinton (2000:73), leksem meliputi seluruh bentuk inflektif. Contohnya dalam bahasa Arab adalah leksem كتب/kataba/ ‘menulis’ yang menjadi dasar dari bentuk inflektif مكتب/maktab/ ‘meja’, كتابة/kitābah/ ‘tulisan’,
كاتب/kātib/ ‘penulis’, dan sebagainya. Penggunaan istilah kata dalam penelitian ini adalah sebagai bentuk terjemahan dari word seperti pada istilah loanwords yang diterjemahkan menjadi
26
kata serapan, selain itu istilah kata meliputi objek bahasa yang diteliti, yaitu kata simpleks, kata kompleks, dan kata majemuk. Ketiga golongan tersebut di atas dapat digambarkan dalam bahasa Indonesia dengan faham sebagai kata simpleks, pemahaman sebagai kata kompleks, dan faham materialis sebagai kata majemuk. Dalam bahasa Arab, ketiga golongan ini dapat digambarkan dengan contoh كتب/kataba/ sebagai kata simpleks, يكتب/yaktubu/, كتابة/kitābah/, كاتب/kātib/, dan lain-lain sebagai kata kompleks, sedangkan bentuk kata majemuknya seperti كتاب التفسري/kitāb at-tafsīr/.
Kata majemuk, meskipun terdiri dari dua satuan bebas, tetap termasuk dalam golongan kata, karena satuan-satuan tersebut memiliki sifat sebagai kata yang membedakannya dengan frase (Ramlan, 1983:35). Jika kursi malas merupakan klausa, tentu kata kursi dapat diikuti kata itu, menjadi kursi itu malas, kata malas dapat didahului kata tidak, sangat, dan agak, menjadi kursi itu tidak malas, kursi itu sangat malas, dan kursi itu agak malas, akan tetapi semua itu tidak mungkin. Berbeda halnya dengan adik malas yang dapat diperluas menjadi adik itu malas, adik itu tidak malas, adik itu sangat malas, dan adik itu agak malas. Jika kursi malas merupakan frase, tentu dapat diselaraskan dengan kata yang menjadi kursi yang malas seperti halnya adik malas dapat diselaraskan dengan kata yang menjadi adik yang malas.
27
Dengan demikian, berdasarkan ciri-ciri di atas dapat ditentukan bahwa kursi malas tidak merupakan klausa dan tidak juga merupakan frase, akan tetapi merupakan kata yang lazim disebut dengan kata majemuk. 1.8.4
Kelas Kata Kelas kata adalah golongan kata dalam satuan bahasa berdasarkan
kategori bentuk, fungsi, dan makna dalam sistem gramatikal (Widjono, 2007:131). Pengelompokan kata dalam bahasa Arab dan bahasa Sasak tidak sama, karena kedua bahasa tersebut berasal dari rumpun bahasa yang berbeda. Jika bahasa Sasak termasuk dalam rumpun bahasa yang sama dengan bahasa Indonesia yaitu rumpun bahasa Austronesia, maka bahasa Arab termasuk dalam rumpun bahasa Semit-Hamit. 1.8.4.1 Kelas Kata Bahasa Arab Secara umum, kelas kata dalam bahasa Arab dibagi menjadi tiga, yaitu nomina (ism), verba (fi’l), dan partikel (charf). 1.8.4.1.1
Nomina (Ism) Nomina adalah kata yang mengacu pada makna yang terkandung di
dalamnya tanpa menunjukkan hubungan dengan waktu atau kala (Thoyib, 2009:20). Menurut Ghulāyainī (1989:5), nomina dibagi menjadi dua, yaitu nomina primitif (ism jāmid) dan nomina derivatif (ism musytaq).
28
1.8.4.1.1.1 Nomina Primitif (Ism Jāmid) Nomina primitif adalah nomina yang tidak diderivasikan dari kata lainnya, tidak dari verba, nomina, dan sebagainya. Contohnya, kata رجل/rajul/ yang bermakna ‘laki-laki’, kata عني/‘ain/ yang bermakna ‘mata’, dan sebagainya. Kedua kata tersebut merupakan nomina yang tidak diderivasikan dari kata lain atau tidak berasal dari bentuk dasar lain. Istilah ism jāmid dianggap lebih populer, sehingga istilah nomina primitif tidak digunakan dalam penelitian ini. 1.8.4.1.1.2 Nomina Derivatif (Ism Musytaq) Nomina derivatif adalah nomina yang diderivasikan dari kata lainnya, baik dari verba, nomina, bahkan pronomina dan artikel. Berdasarkan bentuk dasarnya, nomina ini dibagi menjadi tiga, yaitu nomina deverba, nomina denominatif, dan nomina yang dibentuk dari pronomina dan artikel. 1.8.4.1.1.2.1
Nomina Deverba
Nomina deverba adalah nomina yang diderivasikan dari bentuk dasar verba, yaitu verba perfektif. Thoyib (2009:23-24) membagi nomina ini menjadi beberapa jenis, yaitu nomina verba (ism mashdar), nomina vicis (ism marrah), nomina speciei (ism nau’), nomina loci et temporaris (ism makān wa zamān), nomina instrumental (ism alah), partisipal aktif (ism fā’il), dan partisipal pasif (ism maf’ūl). Sementara itu, Ghulāyainī (1989:160) membagi nomina ini menjadi nomina verba (ism mashdar), partisipal aktif (ism fā’il), partisipal pasif (ism
29
maf’ūl), nomina yang menyerupai partisipal aktif (shifah musyabbahah biism fā’il), bentuk intensif partisipal aktif (shighah mubālaghah biism fā’il), nomina elatif (ism tafdhīl), nomina waktu (ism zamān), nomina tempat (ism makān), dan nomina instrumental (ism alah). Nomina verba (ism mashdar) adalah nomina yang diderivasikan dari bentuk dasar verba berakar tiga pola فعل/fa’ala/. Pola yang sering digunakan antara lain adalah pola فعل/fa’l/ seperti pada kata فهم/fahm/ ‘pemahaman’, فعل /fa’al/ seperti pada kata فرح/farach/ ‘kegembiraan’, فعالة/fa’ālah/ seperti pada kata
سراوة/sarāwah/ ‘kemurahan hati’, فعوؿ/fu’ūl/ seperti pada kata خروج/khurūj/ ‘keluar’, فعولة/fu’ūlah/ seperti pada kata سهولة/suhūlah/ ‘kemudahan’.
Nomina vicis (ism marrah) adalah nomina yang menyatakan perbuatan yang dilakukan satu kali. Pola yang sering digunakan pada verba berakar tiga adalah فعل/fa’l/ dan تفعيل/taf’īl/, sedangkan pada verba berakar empat adalah فعالؿ /fi’lāl/ dengan menambahkan partikel ة/tā’ marbūthah/ pada akhir kata, seperti pada kata شربة/syurbah/ ‘sekali minum’, تقليبة/taqlībah/ ‘sekali pembalikan’, دحراجة /dichrājah/ ‘sekali berguling’, dan sebagainya. Nomina speciei (ism nau’) adalah nomina yang menyatakan cara melakukan sesuatu. Pola yang digunakan adalah فعلة/fi’lah/, seperti kata كتبة
30
/kitbah/ ‘cara menulis’ pada kalimat هو حسن الكتبة/huwa chsanul-kitbah/ ‘dia (lakilaki) bagus dalam cara menulis. Nomina loci et temporaris (ism zamān wa makān) adalah nomina yang menyatakan tempat dan waktu. Pola yang digunakan adalah مفعل/maf’al/, seperti pada kata مكتب/maktab/ ‘tempat menulis atau meja’, dan مفعل/maf’il/ seperti pada kata مسجد/masjid/ ‘tempat bersujud atau masjid’.
Nomina instrumental (ism alah) adalah nomina yang menyatakan alat yang digunakan untuk melakukan sesuatu. Pola yang digunakan adalah مفعل /mif’al/, seperti pada kata مربد/mibrad/ ‘arsip’, مفعاؿ/mif’āl/ seperti pada kata مقراض /miqrādh/ ‘gunting’, dan مفعلة/mif’alah/ seperti pada kata مسرحة/misrahah/ ‘sisir’.
Partisipal aktif (ism fā’il) adalah nomina yang menyatakan pelaku dari suatu perbuatan yang terkandung pada verbanya. Salah satu pola yang digunakan untuk partisipal aktif adalah فاعل/fā’il/, seperti kata كاتب/kātib/ ‘penulis’ pada kalimat أنا كاتب الروايات/ana kātib ar-riwāyāt/ ‘saya adalah seorang penulis novel’.
Partisipal pasif (ism maf’ūl) adalah nomina yang menyatakan sesuatu atau orang yang dikenai pekerjaan (penderita) dari suatu perbuatan yang terkandung pada verbanya. Salah satu pola yang digunakan untuk partisipal pasif
31
adalah مفعوؿ/maf’ūl/, seperti kata مضروب/madhrūb/ ‘terpukul’ pada kalimat الكلب
مضروب/al-kalb madhrūb/ ‘anjing itu terpukul atau dipukul’. Nomina yang menyerupai partisipal aktif (shifah musyabbahah biism fā’il), seperti namanya, nomina ini menyerupai partisipal aktif, tetapi lebih condong pada arti sifatnya yang tetap. Pola yang biasa digunakan antara lain أفعل /af’al/ seperti pada kata أعرج/a’raj/ ‘orang pincang’, فعالف/fa’lān/ seperti pada kata
جوعاف/jaw’ān/ ‘orang kelaparan’, فعل/fa’il/ seperti pada kata قلق/qaliq/ ‘orang ragu’, فعيل/fa’īl/ seperti pada kata كرمي/karīm/ ‘orang mulia’, dan sebagainya. Istilah yang digunakan untuk menyebut nomina yang menyerupai partisipal aktif dalam penelitian ini adalah shifah musyabbahah biism fā’il. Bentuk intensif partisipal aktif (shīghah mubālaghah biism fā’il) adalah nomina yang digunakan untuk menguatkan atau membuat artinya menjadi sangat. Pada dasarnya, fungsi nomina ini sama dengan partispal aktif, hanya saja bermakna sangat. Beberapa pola yang sering digunakan yaitu فعيل/fa’īl/, فعاؿ /fa’’āl/, dan فعوؿ/fa’ūl/. Contohnya seperti pada kata عليم/’alīm/ ‘yang sangat mengatahui’ dengan bentuk partisipal aktif عامل/’ālim/ ‘yang mengetahui’, غفار /ghaffār/ ‘Maha Pengampun’ dengan bentuk partisipal aktif غافر/ghāfir/ ‘yang
32
pengampun’, صدوؽ/shadūq/ ‘yang sangat jujur’ dengan bentuk partisipal aktif
صادؽ/shādiq/ ‘yang jujur’. Istilah yang digunakan untuk menyebut bentuk intensif partisipal aktif dalam penelitian ini adalah shīghah mubālaghah biism fā’il. Nomina
elatif
(ism
tafdhīl)
adalah
nomina
yang
menyatakan
perbandingan dengan makna lebih atau paling. Pola yang digunakan untuk maskulin adalah أفعل/af’al/ dan pola yang digunakan untuk feminin adalah فعلى /fu’lā/. Misalnya verba perfektif كرب/kabura/ ‘menjadi besar’ jika dibentuk menjadi nomina elatif, maka akan menjadi أكرب/akbar/ ‘lebih besar’, sedangkan bentuk partisipal aktifnya adalah كبري/kabīr/ ‘besar’. Untuk versi femininnya, kata
أكرب/akbar/ menjadi كربى/kubrā/. 1.8.4.1.1.2.2
Nomina Denominatif
Nomina denominatif adalah nomina yang diturunkan atau dibentuk dari nomina. Thoyib (2009:25-26) membagi nomina ini menjadi beberapa jenis, yaitu nomina unitatis (ism wachdah), nomina abundantiae vel multitudinis (ism katsrah), nomina vasis (ism wi’ā’), nomina relatif (ism manshūb), nomina abstrak sifat (ism kayafiyyah), nomina diminutif (ism tashghīr). Nomina unitatis (ism wachdah) adalah nomina yang menandakan jumlah satu buah dari suatu jenis benda atau satu bagian dari keseluruhan yang terdiri dari
33
beberapa bagian serupa. Nomina ini dibentuk dengan menambahkan ة/tā’ marbūthah/ pada akhir nomina dasarnya, seperti pada kata جنمة/najmah/ yang bermakna ‘satu buah bintang’, berasal dari kata جنم/najm/ ‘bintang’.
Nomina abundantiae vel multitudinis (ism katsrah) adalah nomina yang dibentuk dari nomina lain, dengan menandakan tempat dari objek yang terkandung dalam nomina asalnya dan menandakan bahwa objek tersebut dalam jumlah besar atau banyak. Pola yang digunakan dalam pembentukan nomina ini adalah مفعلة/maf’alah/, seperti pada kata حمياة/machyāh/ yang bermakna ‘tempat yang penuh dengan ular’, berasal dari kata حية/chayyah/ ‘ular’.
Nomina vasis adalah nomina yang menyatakan sebuah wadah yang berisi sesuatu. Pembentukan nomina ini menggunakan pola yang sama dengan pembentukan nomina instrumental, yaitu مفعل/mif’al/, seperti pada kata حملب /michlab/ yang bermakna ‘ember susu’, berasal dari kata حلب/chalab/ ‘susu’.
Nomina relatif adalah nomina yang dibentuk dengan menambahkan ي /yā’/ pada akhir nomina dasarnya. Nomina ini berfungsi untuk menyatakan bahwa seseorang atau sesuatu termasuk atau dihubungkan dengan nomina dasarnya, seperti berkenaan dengan asal-usul, keluarga, kelahiran, mazhab, sekte, negara, dan sebagainya. Untuk menyatakan bahwa seseorang berasal dari negara Mesir,
34
cukup dengan menambahkan ي/yā’/ pada akhir kata مصر/mishr/ ‘negara Mesir’, menjadi مصري/mishriyy/ ‘orang Mesir’.
Nomina abstrak sifat adalah bentuk feminin dari nomina relatif. Nomina ini dalam bahasa Arab merupakan nomina yang menggambarkan ide abstrak dari sesuatu, yang dibedakannya dari benda konkretnya. Contohnya seperti pada kata
إهلية/ilāhiyyah/ yang bermakna ‘ketuhanan’, berasal dari kata إله/ilah/ ‘Tuhan’. Nomina diminutif adalah nomina yang menyatakan kepada wujud yang lebih kecil, penghinaan, mendekatkan waktu atau tempat, dan keakraban. Pada nomina berakar tiga, pola yang digunakan adalah فعيل/fu’ail/, seperti pada kata
خبيل/jubail/ yang bermakna ‘bukit’, berasal dari kata جبل/jabal/ ‘gunung’. Pada nomina berakar empat pola yang digunakan adalah فعيعل/fu’ai’il/, seperti pada kata منيزؿ/munaizil/ ‘rumah kecil’, berasal dari kata منزؿ/manzil/ ‘rumah’. Pada nomina berakar lima pola yang digunakan adalah فعيعيل/fu’ai’īl/, seperti pada kata
مصيبيح/mushaibīch/ ‘lampu kecil’, berasal dari kata مصباح/mishbāch/ ‘lampu’. 1.8.4.1.1.2.3
Nomina dari Pronomina dan Artikel
Nomina ini sesuai dengan namanya, merupakan nomina yang dibentuk dari pronomina dan artikel. Contoh nomina yang dibentuk dari pronomina, yaitu
35
أنانية/anāniyyah/ yang bermakna ‘egoisme’, berasal dari kata أنا/anā/ ‘saya’. Contoh kata yang dibentuk dari artikel adalah كيفية/kayfiyyah/ yang bermakna ‘kualitas’, berasal dari kata كيف/kayfa/ ‘bagaimana’.
1.8.4.1.2
Verba (Fi’l) Verba adalah kata yang mengacu pada suatu peristiwa yang terjadi pada
waktu tertentu. Sebagian besar verba bahasa Arab adalah triliteral (tsulātsī) dan kuadrikonsonantal (rubā’ī). Verba trilateral adalah verba yang terdiri dari tiga konsonan akar, sedangkan verba kuadrikonsonantal adalah verba yang terdiri dari empat konsonan akar. Pola untuk persona ketiga tunggal maskulin dijadikan paradigma acuan dalam pola-pola verba trilateral. Para ahli tata bahasa Arab menjadikan pola ini dengan pola konsonan akar yang pertama sebagai ؼ/fā’/, yang kedua sebagai ع /’ain/, dan yang ketiga sebagai ؿ/lām/.
Verba dalam bahasa Arab memiliki dua stem, yaitu stem perfektif (mādhin) dan stem imperfektif (mudhāri’). Verba perfektif (fi’l mādhin) menunjukkan kegiatan yang sudah selesai dilakukan, sedangkan verba imperfektif (fi’l mudhāri’) menunjukkan kegiatan kegiatan yang belum selesai dilakukan. Verba perfektif terdiri dari satu stem dan satu penanda subjek. Stem perfektif mengandung makna dasar dan kala, sedangkan penanda subjek menyatakan
36
persona, jenis, dan jumlah. Adapun verba imperfektif terdiri dari penanda subjek, stem, dan penanda modus. Untuk verba perfektif, infleksi dicirikan melalui akhir suku kata (sufiks), sedangkan untuk verba imperfektif, infleksi dicirikan melalui awal suku kata (prefiks) yang menunjukkan orang ketiga maskulin-feminin, orang kedua maskulin-feminin, dan orang pertama maskulin-feminin. Selain prefiks, verba imperfektif juga dicirikan melalui sufiks yang menyatakan jumlah dan jenis. Contoh verba perfektif adalah kata حضر/chadhara/ ‘dia (laki-laki) datang’, حضرت/chadharat/ ‘dia (perempuan) datang. Penanda subjek /-a/ mengandung makna bahwa subjek adalah orang ketiga, laki-laki, dan tunggal, sedangkan penanda /-at/ mengandung makna bahwa subjek adalah orang ketiga, perempuan, dan tunggal. Adapun contoh verba imperfektif adalah kata يدرس /yadrusu/ ‘dia (laki-laki) belajar. Penanda subjek kalimat di atas adalah /ya-/, stemnya adalah /-drus-/, dan vokal akhir /-u/ sebagai penanda modus yang menunjukkan bahwa verba tersebut bermodus indikatif. Verba imperfektif mengalami tiga modus, yaitu indikatif (mudhāri’ marfū’), subjunktif (mudhāri’ manshūb), dan jusif (mudhāri’ majzum). Khusus untuk verba dengan pola فعل/fa’ala/ yang memiliki variasi vokal konsonan tengah yang berbeda, harus diketahui bahwa pola perfektif dan imperfektif sebagai satu stem. Contoh untuk verba yang bermakna ‘belajar’, yaitu
37
درس/darasa/, tidak bisa jika hanya diketahui stem perfektifnya saja, tetapi juga harus diketahui stem imperfektifnya, yaitu يدرس/yadrusu/.
1.8.4.1.3
Partikel (Charf) Partikel
adalah
kata
yang
hanya
mempunyai
makna
apabila
berdampingan dengan kata lain. Partikel dalam bahasa Arab disebut juga dengan kata tugas yang meliputi kata depan (preposisi) seperti من/min/ ‘dari’, kata sambung (konjungsi) seperti و/wa/ ‘dan’, kata sandang (artikula) seperti اؿ/al/ yang fungsinya sama seperti the dalam bahasa Inggris, dan interjeksi (kata seru) seperti يا/yā/ ‘wahai’.
1.8.4.2 Kelas Kata Bahasa Sasak Dalam Kamus Bahasa Sasak-Indonesia (2015:xvii) disebutkan bahwa kelas kata bahasa Sasak dibagi menjadi menjadi tujuh kelas, yaitu verba, nomina, pronomina, numeralia, adjektiva, adverbia, dan partikel. 1.8.4.2.1
Verba Verba adalah kata kerja atau kelas kata yang digunakan untuk
menggambarkan proses, perbuatan, dan keadaan. Kata kaken dalam bahasa Sasak berarti ‘makan’, yaitu memasukkan makanan ke dalam mulut serta mengunyah dan menelannya.
38
1.8.4.2.2
Nomina Nomina adalah kata benda atau kelas kata yang menggambarkan nama
orang, binatang, tumbuhan, tempat, benda, aktivitas, sifat, dan gagasan. Kata bale dalam bahasa Sasak berarti ‘rumah’, yaitu bangunan yang dijadikan sebagai tempat tinggal. 1.8.4.2.3
Pronomina Pronomina adalah kelas kata yang meliputi kata ganti, kata tunjuk, dan
kata tanya. Kata ante dalam bahasa Sasak berarti ‘kamu’, yaitu kata ganti orang kedua tunggal. 1.8.4.2.4
Numeralia Numeralia adalah kata bilangan atau kelas kata yang digunakan untuk
menunjukkan bilangan dan kuantitas. Kata due dalam bahasa Sasak bertati ‘dua’, yaitu jumlah bilangan satu ditambah satu. 1.8.4.2.5
Adjektiva Adjektiva atau kata sifat adalah kelas kata yang digunakan untuk
menjelaskan nomina atau pronomina, biasanya dengan membuatnya menjadi lebih spesifik. Kata adil dalam bahasa Sasak berarti ‘berpihak kepada yang benar’ dan berfungsi sebagai adjektiva. Seperti pada kalimat Hakim si adil kene mauq balesan surge ‘Hakim yang adil akan mendapatkan balasan surga’, kata adil menjelaskan sifat dari kata hakim yang merupakan nomina.
39
1.8.4.2.6
Adverbia Adverbia adalah kata keterangan atau kelas kata yang digunakan untuk
menjelaskan verba, adjektiva, adverbia lain, dan kalimat. Kata uah dalam bahasa Sasak berarti ‘sudah’ dan berfungsi bebagai adverbia. Seperti pada kalimat Ie uah lalo ‘Dia sudah pergi’, kata uah menjelaskan berbuatan yang telah terjadi. 1.8.4.2.7
Partikel Partikel adalah kelas kata yang meliputi kata depan, kata sambung, kata
seru, kata sandang, ucapan salam, dan sebagainya. Kata astage dalam bahasa Sasak merupakan partikel, karena dipakai sebagai kata seru. 1.8.5
Perubahan Fonologis Perubahan fonologis dapat terjadi pada kata yang diserap dari satu bahasa
oleh bahasa yang lain. Perubahan ini disebabkan karena perbedaan sistem kebahasaan antara kedua bahasa yang bersangkutan. Hal yang sama terjadi pada proses penyerapan kata dari bahasa Arab ke dalam bahasa Sasak. Beberapa perbedaan sistem kebahasaan antara kedua bahasa, mengakibatkan terjadinya perubahan fonologis pada beberapa kata yang diserap dari bahasa Arab ke dalam bahasa Sasak. 1.8.5.1 Perubahan Bunyi Berdasarkan keterangan Crowley (1987:25-39), terdapat beberapa tipe perubahan bunyi, yaitu:
40
1.8.5.1.1
Lenisi Lenisi adalah pelemahan bunyi (Kridalaksana, 1984:143), yaitu
perubahan punyi yang kuat menjadi bunyi yang lemah. Perubahan ini disebabkan karena ada bunyi-bunyi yang relatif lebih kuat dan ada bunyi-bunyi yang relatif lebih lemah. Hadi (2003:48) mengatakan bahwa bunyi-bunyi bersuara dipandang sebagai bunyi-bunyi yang lebih kuat daripada bunyi-bunyi tak bersuara, bunyibunyi hambat lebih kuat daripada bunyi kontinuan, konsonan lebih kuat daripada semivokal, bunyi oral lebih kuat daripada bunyi glotal, serta vokal depan dan belakang lebih kuat daripada vokal pusat. Salah satu contohnya seperti yang terjadi pada kata saptu dalam bahasa Sasak. Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab dengan bunyi /b/ di tengah kata, yaitu سبت/sabt/. Dalam proses penyerapannya ke dalam bahasa Sasak, bunyi /b/ pada kata tersebut berubah menjadi bunyi yang lebih lemah, yaitu menjadi bunyi /p/. Berdasarkan keterangan Hadi (2003:50-62), selain lenisi atau pelemahan bunyi di atas, terdapat lenisi yang dianggap sebagai lenisi yang ekstrem, karena menghilangkan satu buah bunyi atau lebih, yaitu: 1.8.5.1.1.1 Reduksi Konsonan Rangkap Konsonan rangkap merupakan konsonan-konsonan yang berurutan di dalam sebuah kata tanpa ada vokal yang disisipkan di antaranya, seperti dua konsonan /b/ berikut yang terdapat pada kata bahasa Arab, تكرب/takabbur/. Sementara itu, reduksi kononan rangkap adalah pelepasan satu konsonan atau
41
lebih pada konsonan rangkap, seperti pelepasan satu konsonan /b/ pada kata تكرب /takabbur/ setelah diserap ke dalam bahasa Sasak, menjadi takabur. 1.8.5.1.1.2 Aferesis Aferesis adalah penanggalan atau penghilangan bunyi di awal sebuah ujaran, seperti pada kata alim dalam bahasa Sasak. Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang dalam bahasa asalnya diawali dengan konsonan /ʕ/ atau /ع/, yaitu عامل/’ālim/. Setelah diserap ke dalam bahasa Sasak, konsonan /ʕ/ yang berada di awal kata tersebut dihilangkan. 1.8.5.1.1.3 Sinkope Sinkope dalam bidang kesusastraan dan fonetik menurut Kridalaksana (1984:179) adalah penghilangan bunyi di tengah kata. Perubahan yang terjadi karena pelesapan bunyi-bunyi pada posisi tengah kata ini biasanya dengan melesapkan satu huruf atau lebih, bahkan dengan menghilangkan suku kata. Contoh sinkope yang berupa penghilangan bunyi suprasegmental seperti yang terjadi pada kata halal dalam bahasa Sasak. Kata halal merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang sebenarnya memiliki bunyi suprasegmental berupa vokal panjang di tengah kata, yaitu حالؿ/chalāl/. Setelah diserap ke dalam bahasa Sasak, bunyi suprasegmental berupa vokal panjang tersebut dihilangkan atau dipendekkan.
42
1.8.5.1.1.4 Apokope Menurut Kridalaksana (1984:15), apokope adalah pemenggalan satu bunyi atau lebih di ujung atau di akhir kata. Contoh perubahan fonologis yang disebabkan karena pelesapan bunyi-bunyi di akhir kata ini, seperti yang terjadi pada kata nabi dalam bahasa Sasak. Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang sebenarnya mempunyai huruf yā’ di akhir kata, yaitu نيب /nabiyy/. Setelah diserap ke dalam bahasa Sasak, huruf yā’ di akhir kata tersebut dihilangkan. 1.8.5.1.1.5 Haplologi Haplologi adalah penghilangan satu atau dua bunyi berurutan. Menurut Crowley (1987:42-43) perubahan ini adalah jenis perubahan yang langka dan cukup rumit dalam penerapannya. Contohnya seperti pada kata morfonologi, yang berasal dari kata morfofonologi. 1.8.5.1.1.6 Kompresi Kompresi adalah proses pelesapan satu suku kata atau lebih dari akhir atau tengah kata. Jenis perubahan ini biasanya terjadi hanya pada beberapa kata saja dalam suatu bahasa. Contoh kompresi terdapat pada kata bahasa Indonesia yaitu admin, yang berasal dari kata administrator.
43
1.8.5.1.2
Penambahan Bunyi Berdasarkan keterangan Hadi (2003:65), penambahan bunyi atau sound
addition ada tiga jenis yaitu: 1.8.5.1.2.1 Protesis Protesis merupakan penambahan vokal atau konsonan pada awal kata untuk
memudahkan
lafal
(Kridalaksana,
1984:163).
Contohnya
seperti
penambahan vokal /e/ pada awal kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, yaitu ماس/mās/ menjadi emas.
1.8.5.1.2.2 Epentesis Epentesis adalah penyisipan bunyi atau huruf ke dalam kata, terutama kata pinjaman untuk menyesuaikan dengan pola fonologis bahasa peminjam (Kridalaksana, 1984:46). Contohnya seperti penyisipan vokal /i/ pada tengah kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, yaitu اسم/ism/ menjadi isim.
1.8.5.1.2.3 Paragog Paragog adalah penambahan bunyi pada akhir kata untuk keindahan bunyi atau kemudahan lafal (Kridalaksana, 1984:139). Penambahan bunyi ini biasanya terjadi pada posisi akhir sebuah kata yang huruf terakhirya berupa konsonan, dengan penambahan huruf vokal. Contohnya seperti penambahan vokal
44
/e/ pada akhir kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, yaitu يأجوج /ya’jūj/ menjadi jaqjuje. 1.8.5.1.3
Metatesis Metatesis adalah perubahan letak huruf, bunyi, atau suku kata dalam
sebuah kata (Kridalaksana, 1984:123). Menurut Hadi (2003:71), perubahan ini sangat jarang terjadi dalam proses penyerapan kata dari bahasa Arab. Contohnya seperti perubahan letak huruf i yang dalam bahasa Arab berada di awal kata, tetapi setelah diserap ke dalam bahasa Sasak menjadi di tengah kata, yaitu إهانة/ihānah/ menjadi hine. 1.8.5.1.4
Fusi Fusi atau fusion adalah perubahan karena bergabungnya dua bunyi atau
lebih yang berbeda menjadi sebuah bunyi tunggal. Fusi memiliki kesamaan dengan monoftongisasi dalam hal penyatuan, tetapi monoftongisasi terbatas hanya pada penyatuan dua bunyi vokal atau diftong menjadi sebuah bunyi vokal tunggal atau monoftong. Contohnya seperti pada perubahan bunyi diftong /au/ menjadi bunyi monoftong /o/ pada kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, yaitu توبة/taubah/ menjadi tobat.
1.8.5.1.5
Pemisahan Jenis perubahan ini dalam bahasa Inggris disebut dengan unpacking yang
merupakan kebalikan dari fusi, yaitu pemisahan satu bunyi menjadi dua bunyi
45
atau lebih. Contohnya seperti yang terjadi dalam bahasa Jawa, bunyi tunggal /a/ pada kata banyak, berubah menjadi dua bunyi yaitu /ua/ pada kata buanyak. 1.8.5.1.6
Pemecahan Vokal Menurut Hadi (2003:76), pemecahan vokal atau vowel breaking adalah
pemecahan satu buah vokal menjadi dua buah vokal. Pemecahan vokal ini disebut juga dengan diftongisasi, yaitu pemecahan monoftong menjadi diftong. Contohnya seperti monoftong /i/ pada kata iman terpecah menjadi diftong /ai/ pada kata aiman. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa pemecahan vokal merupakan kebalikan dari monoftongisasi. 1.8.5.1.7
Asimilasi Kridalaksana (1984:17) mengatakan bahwa asimilasi adalah proses
perubahan bunyi yang mengakibatkan kemiripan atau kesamaan dengan bunyi lain yang berada di dekatnya. Sementara itu menurut Chaer (2007:132), asimilasi adalah peristiwa perubahan sebuah bunyi menjadi bunyi lain akibat dari pengaruh bunyi yang ada di lingkungannya, sehingga bunyi yang berubah itu menjadi sama atau mempunyai ciri-ciri yang sama dengan bunyi yang memengaruhinya. Contohnya seperti perubahan bunyi /n/ pada kata bahasa Arab منكر/munkar/ menjadi bunyi /ng/ pada kata bahasa Sasak mungkar. Perubahan bunyi pada contoh di atas merupakan asimilasi regresif, karena disebabkan oleh pengaruh bunyi /k/ yang berada di belakangnya. Berdasarkan letak bunyi yang berubah, asimilasi dibagi menjadi tiga, yaitu
46
asimilasi progresif jika bunyi yang berubah terletak di belakang bunyi yang memengaruhinya, asimilasi regresif jika bunyi yang berubah terletak di depan bunyi yang memengaruhinya, dan asimilasi resiprokal jika perubahan terjadi pada kedua bunyi yang saling memengaruhi. 1.8.5.1.8
Disimilasi Kridalaksana (1984:41) memaparkan bahwa disimilasi adalah perubahan
yang terjadi apabila dua bunyi yang sama atau mirip berubah menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda. Berdasarkan letak bunyi yang berubah, disimilasi dibagi menjadi empat, yaitu disimilasi dekat atau contiguous dissimilation jika perubahan terjadi pada bunyi-bunyi yang letaknya berdekatan, disimilasi jauh atau distant dissimilation jika perubahan terjadi pada bunyi-bunyi yang letaknya berjauhan, disimilasi progresif jika perubahan terjadi karena pengaruh bunyi yang pertama, dan disimilasi regresif jika perubahan terjadi karena pengaruh bunyi yang kedua. Contoh disimilasi seperti pada kata janma dalam bahasa Sanskerta menjadi jelma dalam bahasa Indonesia. Pada kata janma terdapat dua bunyi nasal yaitu /n/ dan /m/, lalu setelah diserap ke dalam bahasa Indonesia, bunyi nasal pertama yaitu /n/ berubah menjadi /l/ yang merupakan bunyi lateral. 1.8.5.1.9
Perubahan Bunyi yang Tidak Biasa Seperti sebutannya, perubahan bunyi yang tidak biasa atau abnormal
sound change ini merupakan perubahan bunyi yang tidak seperti perubahanperubahan lainnya. Menurut Hadi (2003:77), perubahan bunyi yang berupa penyingkatan termasuk dalam perubahan bunyi yang tidak biasa. Contoh yang
47
diberikan seperti أعوذ باهلل/a’ūdzu bil-lāh/ yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi duilah. Perubahan bunyi yang terjadi pada أعوذ باهلل/a’ūdzu bil-lāh/ menjadi duilah terlihat sangat ekstrem dan tidak biasa. 1.8.5.2 Perubahan Fonem Perubahan fonem ini disebabkan karena terdapat beberapa fonem dalam bahasa Arab yang tidak dimiliki oleh bahasa Sasak, sehingga ketika terjadi penyerapan kata, fonem-fonem tersebut mengalami penyesuaian dengan fonemfonem yang tersedia dalam bahasa Sasak. Perubahan fonem ini meliputi fonem vokal dan fonem konsonan. Berikut penjelasan masing-masing fonem yang terdapat dalam kedua bahasa. 1.8.5.2.1
Vokal dan Konsonan Bahasa Arab
1.8.5.2.1.1 Vokal Hadi (2003:16-17) menerangkan bahwa bahasa Arab mempunyai lima fonem vokal yang terdiri dari tiga vokal tunggal dan dua vokal rangkap (diftong). Vokal tunggal bahasa Arab yaitu /a/, /i/, dan /u/. Vokal /a/ seperti yang terdapat dalam kata نصر/nashara/ ‘menolong’, vokal /i/ dalam kata مسع/sami’a/, dan vokal /u/ dalam kata أفق/ufuq/ ‘cakrawala’. Sementara itu, vokal rangkap (diftong) bahasa Arab yaitu /ai/ dan /au/. Vokal rangkap /ai/ seperti yang terdapat dalam
48
kata ليلة/lailah/ ‘malam’ dan vokal rangkap /au/ seperti yang terdapat dalam kata
قوـ/qaum/ ‘bangsa’. Dalam bahasa Arab, vokal tunggal /a/, /i/, dan /u/ dapat mempunyai durasi atau kuantitas, yaitu panjang dan pendek. Vokal panjang untuk /a/ seperti yang terdapat pada kata ماؿ/māl/ ‘harta’, vokal panjang untuk /i/ seperti yang terdapat pada kata فيل/fīl/ ‘gajah’, dan vokal panjang untuk /u/ seperti yang terdapat pada kata نور/nūr/ ‘cahaya’. Vokal panjang seperti ini dalam bahasa Arab disebut dengan mad, sedangkan dalam bahasa Sasak, jenis vokal ini tidak ditemukan. 1.8.5.2.1.2 Konsonan Dalam penelitiannya, Hadi (2003:21-22) mengatakan bahwa bahasa Arab memiliki
28
fonem
konsonan.
Jika
diklasifikasikan
berdasarkan
cara
artikulasinya, maka fonem konsonan tersebut dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu konsonan hambat atau stop yang terdiri dari /ب/, /ت/, /د/, /ض/, /ط/, /ؽ/, /ؾ/, dan /ء/, konsonan geser atau frikatif yang terdiri dari /ث/, /ح/, /خ/, /ذ/, /ز/, /ص/, /ظ/, /ع/, /غ/, /ؼ/, /س/, /ش/, /هػ/, konsonan paduan atau afrikat yang berupa /ج/, konsonan samping atau lateral yang terdiri dari /ؿ/ tipis dan /ؿ/ tebal, konsonan getar atau
49
tril yang berupa /ر/, konsonan sangau atau nasal yang terdiri dari /ف/ dan /ـ/. Sementara itu, semivokal /و/ dan /ي/ oleh Bin-Muqbil (2006:16) dianggap sebagai bagian dari konsonan aproksiman, karena semivokal secara praktis merupakan konsonan, tetapi pada saat diartikulasikan belum membentuk konsonan murni. Menurut Hadi (2003:22), berdasarkan daerah artikulasinya, konsonan bahasa Arab dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu konsonan bilabial yang terdiri dari /ب/ dan /ـ/, konsonan labio-dental yang berupa /ؼ/, konsonan apiko-dental yang terdiri dari /ث/, /ذ/, dan /ظ/, konsonan apiko-alveolar yang terdiri dari /ت/, /د/, /ز/, /س/, /ص/, /ض/, /ط/, /ف/, /ؿ/, dan /ر/. Sementara itu, menurut Bin-Muqbil (2006:16), /ج/ dan /ش/ merupakan konsonan palato-alveolar, /ي/ merupakan konsonan dorso-palatal, /ؾ/ dan /و/ merupakan konsonan dorsovelar, /ؽ/, /خ/, dan /غ/ merupakan konsonan dorso-uvular, /ح/ dan /ع/ merupakan konsonan faringal, serta /ء/ dan /هػ/ merupakan konsonan laringal atau glotal.
1.8.5.2.2
Vokal dan Konsonan Bahasa Sasak
1.8.5.2.2.1 Vokal Bedasarkan keterangan Thoir dkk (2001:xvii-xviii), bahasa Sasak memiliki delapan fonem vokal, yaitu /i/, /e/, /ɛ/, /a/, /o/, /ͻ/, /u/, dan /ǝ/. Berdasarkan posisi alat-alat ucap, kedelapan vokal tersebut dapat digolongkan lagi
50
menjadi tiga buah vokal depan tak bundar /i/, /e/, dan /ɛ/, dua buah vokal pusat tak bundar /ǝ/ dan /a/, tiga buah vokal belakang bundar /u/, /o/, dan /ͻ/, dua buah vokal atas /i/ dan /u/, satu buah vokal tengah /ǝ/, dua buah vokal tengah bawah /ɛ/ dan /ͻ/, satu buah vokal bawah /a/, serta dua buah vokal tengah atas /e/ dan /o/. 1.8.5.2.2.2 Konsonan Menurut Thoir dkk (2001:xviii-xix), dalam bahasa Sasak terdapat 19 buah fonem konsonan yang terdiri dari /p/, /b/, /t/, /d/, /k/, /g/, /s/, /h/, /r/, /l/, /j/, /c/, /m/, /n/, /ɲ/, /ŋ/, /w/, /y/, dan /ʔ/ (glotal stop) yang dilambangkan dengan huruf q. Sementara itu, untuk fonem /z/ dianggap berasal dari bahasa Arab. Secara artikulatif, yaitu cara dan letak artikulasinya, maka 19 buah fonem konsonan tersebut dapat digolongkan menjadi konsonan hambat bilabial yang terdiri dari /p/ dan /b/, konsonan hambat alveolar yang terdiri dari /t/ dan /d/, konsonan hambat velar yang terdiri dari /k/ dan /g/, konsonan hambat glotal yang berupa /ʔ/, konsonan frikatif alveolar yang berupa /s/, konsonan frikatif glotal yang berupa /h/, konsonan afrikat palatal yang terdiri dari /c/ dan /j/, konsonan konsonan nasal bilabial yang berupa /m/, konsonan nasal alveolar yang berupa /n/, konsonan nasal palatal yang berupa /ɲ/, konsonan nasal velar yang berupa /ŋ/, konsonan getar alveolar yang berupa /r/, konsonan lateral alveolar yang berupa /l/, semivokal bilabial yang berupa /w/, semivokal palatal yang berupa /y/. Berdasarkan posisinya pada kata, ada dua buah fonem konsonan yang tidak memiliki distribusi awal yaitu /h/ dan /ʔ/, ada satu buah fonem konsonan yang tidak memiliki distribusi tengah yaitu /ʔ/, dan ada delapan buah fonem
51
konsonan yang tidak memiliki distribusi akhir yaitu /b/, /d/, /g/, /c/, /j/, /ɲ/, /w/, dan /y/. 1.8.6
Perubahan Semantis Perubahan makna merupakan fenomena universal yang terjadi pada
setiap bahasa. Perubahan ini terjadi karena secara sosiologis, masyarakat berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Perkembangan yang menyentuh semua lini masyarakat berimplikasi pada perkembangan bahasa. Salah satu wujud perkembangan bahasa adalah perubahan makna (meaning), bahkan perubahan tidak hanya terjadi pada maknanya, tetapi juga pada bentuknya (form). Menurut Chaer (2007:310), secara sinkronis, makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya, dalam masa yang relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama, tetapi dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Kemungkinan perubahan makna ini bukan berlaku pada semua kosakata yang terdapat dalam sebuah bahasa, tetapi hanya berlaku pada sebagian kata saja yang disebabkan oleh beberapa faktor. 1.8.6.1 Faktor Perubahan Makna Ainin dan Asrori (2008:119-128) menjelaskan bahwa perubahan suatu makna kata disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, faktor perkembangan sosial budaya (at-tathawwur alijtimā’iyy wa ats-tsaqafiyy), faktor penyimpangan bahasa (al-inchirāf allughawiyy), faktor perbedaan bidang pemakaian, dan faktor adanya asosiasi.
52
Faktor pertama adalah faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pesatnya perkembangan konsep keilmuan dan teknologi telah menyentuh hampir seluruh kehidupan masyarakat, bahkan berimplikasi pada perkembangan bahasa, khususnya perkembangan kosakata yang mengacu pada benda-benda dari produk perkembangan tersebut. Sebuah kata yang pada mulanya bermakna A, menjadi bermakna B atau bermakna C. Contoh dalam bahasa Indonesia, kata sastra pada mulanya bermakna ‘tulisan’, lalu seiring perubahan konsep tentang sastra di dalam ilmu susastra, maknanya berubah manjadi ‘bacaan’, kemudian berubah lagi menjadi ‘buku yang baik isinya dan baik pula bahasanya’, selanjutnya berkembang lagi menjadi ‘karya bahasa yang bersifat imajinatif dan kreatif. Contoh dalam kamus bahasa Arab karya ‘Umar (2008:1148), kata سيارة/sayyārah/ pada mulanya bermakna ‘kafilah’ atau ‘rombongan berkendaraan unta di padang pasir’, lalu seiring perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maknanya berubah menjadi ‘mobil’. Faktor kedua adalah faktor perkembangan sosial budaya. Dinamika kehidupan dalam masyarakat dapat menghasilkan suatu perubahan sosial budaya, dan perubahan tersebut berdampak pada kegiatan berbahasa yang mengakibatkan terjadinya perubahan makna. Kata sarjana pada mulanya bermakna ‘orang cerdik pandai’, lalu seiring perkembangan sosial budaya, maknanya berubah menjadi ‘orang yang telah lulus dari perguruan tinggi’. Dalam surah at-Taubah ayat 103, kata صالة/shalāh/ sebelum kedatangan Islam bermakna doa dan istigfar, tetapi setelah Islam datang dan mewajibkan mendirikan salat lima waktu, maka kata
53
صالة/shalāh/ berubah makna menjadi ‘suatu konsep peribadatan atau ritual yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratulihram dan diakhiri dengan salam’. Faktor ketiga adalah faktor penyimpangan bahasa. Dalam berbahasa, kadang terjadi penyimpangan yang mengakibatkan perubahan makna, terutama dalam kosakatanya. Penyimpangan bahasa ini terjadi akibat kesalahpahaman, ketaksaan, dan ketidakjelasan, sehingga masyarakat tidak sadar menggunakannya sehari-hari dan terus-menerus. Sebagai contoh kata بأدب/biadab/ yang dalam bahasa asalnya berarti ‘dengan sopan santun’, berubah maknanya setelah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘tidak tahu sopan santun’. Penyimpangan bahasa ini juga sering terjadi pada anak-anak, mereka sering menggunakan kata
محامة/chamāmah/ yang bermakna ‘merpati’ untuk menyebut عصفور/’ushfūr/ yang bermakna ‘burung pipit’. Faktor keempat adalah faktor perbedaan bidang pemakaian. Suatu bidang kajian, keilmuan, atau kegiatan mimiliki kekhasan masing-masing dalam penggunaan kosakata. Istilah-istilah seperti striker, penjaga gawang, gelandang, penyerang, tendangan pojok, penalti, dan sebagainya merupakan istilah-istilah yang dipakai dalam olahraga sepak bola, sedangkan dalam bidang fisika dikenal istilah-istilah seperti vector, massa, gravitasi, frekuensi, elektromagnetik, dan sebagainya. Kosa kata yang digunakan dalam bidang tertentu dapat juga digunakan dalam bidang lain yang bersifat umum, sebagai contoh kata menggarap
54
yang biasanya digunakan dalam bidang pertanian dengan makna ‘membajak’ seperti dalam menggarap sawah. Sekarang, kata menggarap banyak digunakan dalam bidang-bidang lain dengan makna ‘menulis’ atau ‘mengerjakan’, seperti dalam menggarap skripsi, menggarap naskah drama, dan sebagainya. Kata التحرير /at-tachrīr/ dalam bidang politik bermakna ‘pembebasan’, tetapi dalam bidang jurnalistik dapat berubah makna menjadi ‘redaksi’, seperti dalam رئيس التحرير/ra’īs at-tachrīr/ ‘pimpinan redaksi’. Faktor kelima adalah faktor adanya asosiasi. Perubahan makna juga dapat terjadi karena adanya asosiasi antara kata yang digunakan dengan suatu hal atau peristiwa lain yang berkaitan dengan kata tersebut sehingga memunculkan makna baru. Kata amplop memiliki makna asal ‘sampul surat’, tetapi karena adanya asosiasi, kata amplop dapat berubah makna menjadi ‘uang sogok’, seperti dalam kalimat Seorang anggota pejabat negara dimasukkan ke dalam penjara karena tertangkap basah menerima amplop. Kata حالوة/chalāwah/ dalam bahasa Arab memiliki makna umum ‘permen’ atau ‘manisan’, tetapi karena adanya asosiasi dalam lingkungan tertentu, maka maknanya bisa berubah menjadi ‘upah’ atau ‘bingkisan’. 1.8.6.2 Jenis Perubahan Makna Berdasarkan penjelasan Chaer (2007:313-315), perubahan makna kata atau satuan ujaran itu ada beberapa macam, yaitu perubahan makna yang meluas, perubahan makna yang menyempit, dan perubahan makna secara total.
55
Perubahan makna yang meluas terjadi apabila didapati perpindahan makna dari makna khusus ke makna yang lebih umum. Kata atau leksem dikatakan mengalami perubahan makna yang meluas apabila pada mulanya hanya memiliki sebuah makna, tetapi kemudian karena berbagai faktor, menjadi memiliki makna-makna lain. Kata bapak dan ibu pada mulanya digunakan untuk menyebut orang yang mempunyai hubungan darah atau keluarga, tetapi sekarang kata bapak dan ibu juga digunakan untuk menyebut orang lain secara umum seperti pada Terima kasih kami ucapkan kepada bapak dan ibu sekalian yang telah bersedia menyumbangkan dana untuk pembangunan masjid di desa tercinta kami ini. Dalam bahasa Arab, kata لوح/lauch/ semula bermakna ‘tulang tempat untuk menulis’ karena pada mulanya orang-orang Arab menulis pada tulang hewan, tetapi kemudian maknanya meluas karena setiap benda berbentuk papan yang dijadikan tempat untuk menulis disebut لوح/lauch/.
Perubahan makna yang menyempit adalah gejala yang terjadi pada kata yang pada mulanya memiliki makna yang umum atau luas, tetapi kemudian maknanya menjadi khusus atau menjadi terbatas hanya memiliki sebuah makna saja. Kata sarjana pada mulanya bermakna ‘orang cerdik pandai’, tetapi sekarang hanya bermakna ‘orang yang telah lulus dari perguruan tinggi’. Sepandai apa pun seseorang apabila belum lulus dari perguruan tinggi, maka tidak dapat dikatakan sarjana. Dalam bahasa Arab, kata حرامي/charāmiyy/ pada mulanya digunakan
56
untuk mengacu pada setiap perbuatan haram, tetapi kemudian maknanya menyempit menjadi ‘maling’. Perubahan makna secara total terjadi apabila sebuah kata memiliki makna baru yang jauh berbeda dengan makna lama atau aslinya. Kata ceramah pada mulanya bermakna ‘cerewet’, tetapi sekarang makna kata ceramah telah berubah menjadi ‘pidato atau uraian yang disampaikan di depan banyak orang’. Dalam bahasa Arab, kata سفرة/sufrah/ pada mulanya bermakna ‘makanan yang dimasak untuk musafir’, tetapi sekarang telah berubah menjadi ‘meja makan’. Perubahan-perubahan tersebut dapat dikatakan telah jauh berbeda dari makna lamanya. 1.9 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Jābir (1978:136) menjelaskan, metode ini pada dasarnya digunakan untuk mendeskripsikan fakta-fakta tentang suatu objek, kemudian dilakukan analisis dan interpretasi secara memadai. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta-fakta yang berhubungan dengan kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pada umumnya, penelitian terhadap segi-segi bahasa dalam rangka menemukan pola-pola atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur di dalam sebuah bahasa dilakukan dengan model kualitatif. Dapat dikemukakan pula bahwa
57
penelitian kualitatif cenderung menganalisis data secara induktif (Subroto, 1992:7-9). Dengan demikian, metode ini dalam prosesnya diarahkan untuk mendapatkan fakta-fakta yang berupa ranah kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak berdasarkan bidang pemakaiannya, wujud perubahan fonologis kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, wujud perubahan semantis kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, serta alasan pemakaian kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak. 1.9.1
Metode Pengumpulan Data Menurut Sudaryanto (1993:3), data dapat diidentifikasi sebagai bahan
penelitian. Data bukanlah bahan mentah, melainkan bahan jadi yang ada karena pemilihan dan pemilahan. Data dalam penelitian ini berupa kata-kata serapan dari bahasa Arab yang terdapat dalam kamus-kamus bahasa Sasak-Indonesia, bukubuku berbahasa Sasak, serta rekaman ceramah-ceramah berbahasa Sasak, setelah dilakukan pemilihan kata-kata serapan dari bahasa Arab yang terdapat di dalamnya dengan cermat dan teliti. Berdasarkan keterangan di atas, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak. Metode simak digunakan dengan menyimak pemakaian bahasa (Sudaryanto, 1993:133), dalam hal ini yaitu bahasa Arab. Metode simak diikuti dengan teknik pemakaiannya yang berupa teknik catat. Teknik catat dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mencatat data yang berupa kata-kata serapan dari bahasa Arab yang terdapat dalam kamus-kamus
58
bahasa Sasak-Indonesia, buku-buku berbahasa Sasak, serta rekaman ceramahceramah berbahasa Sasak. Teknik catat ini disebut juga dengan teknik pustaka karena mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data (Subroto, 1992:42). Pengamatan atau pemilihan data yang berupa kata-kata serapan dari bahasa Arab yang terdapat dalam kamus-kamus bahasa Sasak-Indonesia, bukubuku berbahasa Sasak, serta rekaman ceramah-ceramah berbahasa Sasak, ditempuh dengan memperhatikan dan mencatat kata-kata serapan dari bahasa Arab yang terdapat di dalamnya, kemudian menyeleksi data berdasarkan dugaan bahwa kata-kata tersebut berasal dari bahasa Arab dengan mengacu pada kamuskamus bahasa Arab, selanjutnya data tersebut dikelompokkan, dibeda-bedakan, dihubung-hubungkan, diramalkan, dan dikendalikan secara rasional sehingga melahirkan pernyataan-pernyataan yang bersifat teoretis mengenai kata-kata serapan dari bahasa Arab yang terdapat dalam bahasa Sasak. Pemilihan kamus sebagai sumber data primer dalam penelitian ini dikarenakan kamus merupakan khazanah yang memuat kosakata masyarakat penutur bahasa, kamus merupakan sumber informasi kosakata yang memadai, serta kamus menyajikan makna kata dan pemakaiannya (Zgusta, 1971:197). Dalam penelitian ini digunakan Kamus Sasak-Indonesia yang diterbitkan oleh Kantor Bahasa Nusa Tenggara Barat (2015) dan Kamus Bahasa Sasak-Indonesia karya Nazir Thoir dkk (2001). Kedua kamus ini dipandang sebagai kamus terbaik untuk menjadi sumber data primer dalam penelitian ini, karena keduanya
59
merupakan kamus bahasa Sasak terbaru dan terlengkap, serta diterbitkan oleh lembaga yang kompeten dan dapat dipercaya. Pemilihan buku-buku berbahasa Sasak dan rekaman ceramah-ceramah berbahasa Sasak sebagai sumber data sekunder dalam penelitian ini, karena beberapa kata bahasa Arab yang terdapat dalam buku-buku dan rekaman ceramahceramah tersebut, dirasa merupakan kata serapan yang perlu dimuat dalam penelitian ini untuk menunjang dan menyempurnakan data yang telah didapat dari kamus-kamus bahasa Sasak-Indonesia yang merupakan sumber data primer. 1.9.2
Metode Analisis Data Sebelum data dianalisis, data dilengkapi dengan kata asal dari bahasa
Arab yang diikuti transliterasinya dalam huruf Latin berdasarkan metode transliterasi Arab-Latin, serta dilengkapi dengan arti serapannya dalam bahasa Sasak. Penulisan data dengan cara tersebut sangat membantu analisis data, karena dapat dilihat langsung bentuk serapan, bentuk asli, serta perubahan-perubahan yang terjadi. Metode analisis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode padan atau disebut juga dengan metode identitas (identity method). Metode padan diartikan sebagai metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Subroto, 1992:59). Untuk mengungkap semua permasalahan yang melibatkan kedua bahasa, yaitu bahasa Arab dan bahasa Sasak, maka metode yang digunakan adalah metode padan translasional. Metode padan translasional merupakan metode analisis yang
60
alat penentunya adalah bahasa lain (Muhammad, 2011:236). Metode ini digunakan untuk memadankan unsur-unsur yang dianalisis dalam bahasa Sasak dengan alat pembanding yaitu unsur-unsur dari bahasa Arab. Kata-kata yang berasal dari bahasa asing termasuk yang berasal dari bahasa Arab, baik dalam kamus-kamus bahasa Sasak-Indonesia, buku-buku berbahasa Sasak, serta rekaman ceramah-ceramah berbahasa Sasak, tidak seluruhnya memiliki penanda yang menyatakan bahwa kata-kata tersebut merupakan bahasa asing atau bahasa Arab. Dengan demikian, analisis memerlukan kamus pendukung untuk identifikasi dan penentuan bahwa data yang didapat berasal dari bahasa Arab, maka digunakan kamus bahasa Arab yang dipandang
dapat
membantu
penelususran
asal-usul
kata
dengan
memperbandingkan bentuk dan makna dari kata-kata yang ditemukan. Dalam hal ini digunakan Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’āshirah karya Achmad Mukhtār ‘Umar (2008), kamus Al-Munjid karya Louis Ma’lūf dan Bernard Tottel (2003), serta Kamus Kontemporer Arab-Indonesia karya Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor (1998). 1.9.3
Metode Penyajian Hasil Analisis Data Pada dasarnya, metode penyajian hasil analisis data dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu dengan cara informal dan cara formal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, tetapi dengan terminologi yang teknis sifatnya, sedangkan penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993:144). Dalam penelitian
61
ini, penyajian hasil analisis data menggunakan metode metabahasa (metalingual). Dengan metode ini, deskripsi tentang fakta-fakta yang berupa ranah kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak berdasarkan bidang pemakaiannya, wujud perubahan fonologis kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, wujud perubahan semantis kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, serta alasan pemakaian kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, diuraikan dengan kata-kata biasa tetapi dengan terminologi yang teknis sifatnya. 1.10
Sistematika Penulisan Pemaparan hasil penelitian tentang fakta-fakta yang berupa ranah kata
serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak berdasarkan bidang pemakaiannya, wujud perubahan fonologis kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, wujud perubahan semantis kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, serta alasan pemakaian kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak, disajikan dalam beberapa bab sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, keaslian penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II menyajikan pembahasan tentang ranah penggunaan kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak berdasarkan bidang pemakaiannya. Bab III membahas wujud perubahan fonologis kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak.
62
BAB IV meliputi pembahasan tentang wujud perubahan semantis kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak. Bab IV memaparkan pembahasan tentang alasan pemakaian kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Sasak. Bab V merupakan penutup pembahasan yang memuat kesimpulan dan saran-saran, diikuti dengan daftar pustaka dan lampiran.