BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan teknologi yang semakin pesat senantiasa mempengaruhi perkembangan di berbagai sektor seperti ekonomi, politik, dan sosial budaya. Perkembangan
ini
juga
mempengaruhi
perkembangan
kriminalitas.
Pada
kenyataannya perkembangan kriminalitas tidak selalu dapat diimbangi oleh perkembangan perangkat hukum untuk mencegah dan memberantas kriminalitas tersebut, hal ini menimbulkan kesenjangan yang sangat nyata yang pasti mempengaruhi upaya memaksimalkan fungsi hukum. Dikatakan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. 1 Hukum menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum sebagai pengendali perilakunya, efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Dalam pergaulan kehidupan masyarakat banyak ditemui konflik. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa suatu masyarakat yang tanpa konflik merupakan masyarakat yang mati, atau hanya merupakan masyarakat berdasarkan angan-angan saja. 2 Dalam hal terjadi konflik atau peristiwa konkrit berupa pelanggaran hukum, maka hukum itu harus kembali ditegakkan.
1
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, (Yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 1 2 Soerjono Soekanto, “Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia”, (Jakarta: UI-Press, 1983), hal. 4
Universitas Sumatera Utara
Penegakan hukum 3 dewasa ini dapat dikatakan belum memenuhi harapan, bukan hanya karena masalah profesionalisme aparat penegak hukum yang dipertanyakan tetapi juga masalah peraturan perundang-undangan serta masalah ketersediaan sarana dan prasarana pendukungnya. Proses penegakan hukum tidak akan pernah terlepas dari upaya kebijakan politik kriminal, karena kebijakan kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan itu merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (sosial defence) dan upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat (social welfare). 4 Salah satu bentuk konflik yang muncul dalam masyarakat dan telah mendapat perhatian dari pemerintah adalah tindak pidana pencucian uang. Indonesia mulai mengenal money laundering sejak dimasukkannya Indonesia untuk pertama kalinya dalam Non-Cooperatif Countries and Territories (NCCTs) oleh FATF (Financial Action Task Force), dengan pertimbangan bahwa di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang menyatakan pencucian uang sebagai tindak pidana, loopholes dalam pengaturan lembaga keuangan terutama lembaga keuangan non-
3
Satjipto Rahardjo, “Membedah Hukum Progresif”, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hal. 122-124 ”Penegakan hukum perlu dibedakan antara peraturan (gezetz, wet,rule) dan kaidah (recht, norm). Apabila kita membaca undang-undang, maka yang dibaca adalah peraturan, pasal-pasal. Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan bisa menimbulkan kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu dilupakan. Kaidah adalah merupakan spirit atau roh yang kemudian diterjemahkan melalui kata-kata atau kalimat dalam peraturan. Membaca kaidah, bukan peraturan adalah pedoman yang baik dalam penegakan hukum. Membaca kaidah berarti menyelam ke dalam roh, azas, dan tujuan hukum”. 4 Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru”, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 2
Universitas Sumatera Utara
bank, terbatasnya sumber daya yang dimiliki, serta minimnya kerjasama internasional dalam upaya memerangi kejahatan pencucian uang. 5 Upaya untuk merekomendasi FATF dilakukan dengan menyusun Rancangan Undang Undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 17 April 2002, kemudian dalam perkembangannya undang–undang
ini diamandemen dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Tanggal 22 Oktober undang-undang ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Usaha ini dilakukan dengan tujuan untuk memaksimalkan pemberantasan pencucian uang di Indonesia. Pencucian uang diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana karena pengaruhnya pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini memiliki dampak negatif, baik bagi perekonomian nasional maupun perekonomian dunia. Hal ini terjadi karena tidak efektifnya penggunaan sumber daya dan dana, misalnya dengan dilakukannya “sterile investment” dalam bentuk property. 6 Dana digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan tidak bermanfaat, serta tidak memiliki sumbangan positif
untuk
pertumbuhan ekonomi.
5
Tb. Irman S., “Hukum Pembuktian Pencucian Uang Money Laundering”, (Jakarta: MQS Publishing & AYYCCS Group, 2006), hal. 2 6 Bismar Nasution, “Rejim Anti Money Laundering Di Indonesia”, (Bandung: BookTerrace & Library, 2008), hal. 1
Universitas Sumatera Utara
Fluktuasi yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga juga merupakan bagian dari akibat negatif dari pencucian uang. 7 Hal ini sangat merugikan bagi pertumbuhan ekonomi dan kegiatan usaha di dalam negeri. Pengaturan bahwa pencucian uang sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyitaan hasil tindak pidana. Selama ini sering terjadi penegak hukum tidak dapat menyita hasil tindak pidana karena kesulitan melacak keberadaan hasil tindak pidana itu atau bahkan hasil tindak pidana sudah dipindahtangankan ke pihak ketiga. Dengan adanya penetapan pencucian uang sebagai tindak pidana maka pelarian uang hasil tindak pidana dapat dicegah. Hal ini berarti bahwa orientasi pemberantasan tindak pidana beralih dari “menindak pelakunya” ke arah menyita “hasil tindak pidana”. Di banyak negara dengan dinyatakannya pencucian uang sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi penegak hukum untuk memidana pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum. 8 Alasan lain mengapa pencucian uang perlu ditetapkan sebagai tindak pidana karena dengan adanya sistem pelaporan transaksi yang mencurigakan, maka ini dapat lebih memudahkan para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana sampai kepada tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya. 9
7
Ibid., hal. 2 Yunus Husein, “Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia”, http://Yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/12_pencegahan-pemberantasan-tppux.pdf, hal.5, diakses pada tanggal 23 Februari 2011 9 Ibid 8
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian Komisi Hukum Nasional (KHN) tahun 2006 menyebutkan implikasi negatif dari tindak pidana pencucian uang adalah : 10 1. membiarkan masyarakat menikmati uang haram berarti mengizinkan organized crime membangun fondasi usaha yang ilegal dan membiarkan mereka menikmati hasil aktivitasnya; 2. praktek ini bisa menciptakan kondisi persaingan usaha yang tidak jujur. Dengan perlakuan yang permisif terhadap money laundering, adalah suatu tindakan keliru yang turut berperan membangun etos persaingan usaha yang tidak jujur, yang pada gilirannya dapat menurunkan moral bisnis dan wibawa hukum secara drastis, serta menguatkan orientasi materialistik dan lain sebagainya; 3. praktek ini akan melemahkan kekuatan finansial masyarakat pada umumnya, karena semakin banyaknya uang yang berjalan diluar kendali sistem perekonomian. Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa tindak pidana pencucian uang dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dan berbangsa, karena dapat menciptakan gangguan bagi stabilitas perekonomian nasional, karena itu maka berbagai upaya dilakukan agar dapat memberantas tindak pidana ini. Pada umumnya kegiatan pencucian uang dapat dilakukan dengan melalui tahapan yaitu penempatan (placement), transfer (layering), dan menggunakan harta kekayaan (integration). 11 Penempatan (placement) merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dari uang tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain,
10
Naskah Akademik, “RUU tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, (Jakarta: 2006), hal. 13 11 Bismar Nasution, Op. Cit., hal. 19-20
Universitas Sumatera Utara
menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah. Transfer (layering) diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening-rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank. Menggunakan harta kekayaan (integration) yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan yang sah hasil kejahatan. Uang yang di ”cuci” melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan yang merupakan penghasil uang yang dicuci. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dana dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. Kejahatan pencucian uang ini memanfaatkan layanan penyedia jasa keuangan baik bank maupun non bank dalam aksi perbuatan pidananya. Tingginya tingkat perkembangan tekhnologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat industri ini menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan
Universitas Sumatera Utara
pencucian uang, hal ini terjadi karena adanya jaminan kerahasiaan bank dan karena belum dikenalnya anti tipping off.12 Pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang lebih difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram (follow the money) atau transaksi keuangan, dengan kata lain penelusuran aliran dana melalui transaksi keuangan, merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan jenis kejahatan, pelaku kejahatan dan tempat dimana hasil kejahatan disembunyikan atau disamarkan. 13 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Penucian Uang mengatur 25 tindak pidana asal (predicate crime) tindak pidana pencucian uang, selain itu juga menyebutkan bahwa setiap tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun juga termasuk sebagai predicate crime dari tindak pidana pencucian uang. 14 Salah satu predicate crime dalam tindak pidana trafficking
(perdagangan
orang).
Dalam
Protokol
pencucian uang adalah
PBB,
untuk
mencegah,
memberantas, dan menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan
12
Anti tipping off adalah ketentuan bahwa direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu dalam Pasal 12 ayat (1), ayat ini dimaksudkan agar Pengguna Jasa tidak memindahkan Harta Kekayaannya sehingga mempersulit Penegak Hukum untuk melakukan pelacakan terhadap Pengguna Jasa dan Harta Kekayaan yang bersangkutan. 13 Naskah Akademik, Ibid., hal. 14 14 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberntasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 2
Universitas Sumatera Utara
anak Tahun 2000, Suplemen Konvensi PBB untuk melawan oganisasi kejahatan lintas batas dikatakan : Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pengiriman, menyembunyikan atau menerima seseorang, dengan ancaman atau kekerasan atau bentuk-bentuk lain pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi seksual, kerja paksa atau pelayanan atau perbudakan atau yang dalam prakteknya dikategorikan sebagai perbudakan, pemindahan organ tubuh. Persetujuan koban perdagangan manusia yang membenarkan eksploitasi menjadi tidak relevan dimana kejahatan perdagangan manusia telah terjadi. Dari defenisi ini Ruth Rosenbergh membuat kesimpulan bahwa terdapat tiga unsur pokok sehingga suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai trafficking (perdagangan orang) yaitu : 15 a. Proses Perbuatan yang termasuk sebagai proses adalah perekrutan atau pengiriman atau pemindahan atau penampungan atau penerimaan b. Jalan /Cara Perbuatan yang memenuhi unsur jalan/cara adalah ancaman atau pemaksaan atau penculikan atau penipuan atau kecurangan atau kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan c. Tujuan Eksploitasi, eksploitasi disini dapat berupa eksploitasi seksual, kerja paksa atau pelayanan atau perbudakan atau yang dalam prakteknya dikategorikan sebagai perbudakan, pemindahan organ tubuh. Isu perdagangan manusia
atau trafficking dewasa ini semakin banyak
mendapat perhatian dari banyak kalangan, baik media massa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bahkan telah menjadi sorotan dunia. 15
Farhana, “Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hal. 22
Universitas Sumatera Utara
Data International Organization of Migration (IOM) tahun 2005 sampai dengan September 2010 ada 3.808 (tiga ribu delapan ratus delapan) Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban trafficking (perdagangan orang). Dari jumlah tersebut 90,30% adalah perempuan atau sekitar 3.090 ( tiga ribu sembilan puluh) orang korban yang dilarikan ke luar negeri dengan rincian 92,20% ke Malaysia, 2.14% ke Arab Saudi, 0.94% ke Singapura. Bahkan dari seluruh jumlah persentase tersebut ada sebanyak 67,24% korban trafficking tersebut yang kejahatannya dilakukan oleh Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) resmi. 16 Disinyalir bahwa Asia Pasifik dan Timur Tengah menjadi tujuan utama buruh migran perempuan.
Negara tujuan antara lain Malaysia, Singapura, Brunei,
Hongkong, Taiwan, Jepang, Kuwait, Arab Saudi. 17 Sedangkan Indonesia merupakan salah satu negara pengirim buruh migran terbesar. 18 Menyadari tingginya tingkat tindak pidana trafficking (perdagangan orang) bahkan terus bertambah dari tahun ke tahun dengan tingkat perputaran uang yang besar, dapat dikatakan meskipun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO) telah dibentuk tetapi pada pelaksanaanya belum berjalan dengan optimal, maka perlu pemikiran yang
16
Risma, “Catatan Solidaritas Perempuan”, http://dk-insu.info/home/indexphp?option=com_content&view=articke&id=331%3Acatatan-solidaritas-perempuan, hal. 2, diakses pada tanggal 16 Februari 2011 17 Rini Maryam, “Perdagangan Perempuan dan Anak Suatu Permasalahan Dan Penanganannya”, http://www.pemantauperadilan.com/opini/38.PERDAGANGAN (TRAFFICKING) Perempuan Dan Anak, hal. 1, diakses 9 Februari 2011 18 Rokimdakas, “Koran Seputar Indonesia”, http://id.shvoong.com/society-and-news/newsitems/1951218-koran-seputar-indonesia/, tanpa halaman, diakses tanggal 22 Februai 2011
Universitas Sumatera Utara
lebih mendalam mengenai sarana dan prasarana yang dapat dipakai untuk menjerat pelaku tindak pidana trafficking (perdagangan orang). Pendekatan paradigma pencucian uang yang menyatakan bahwa hasil dari kejahatan (proceeds of crime) merupakan “blood of the crime”, artinya hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan itu sendiri sekaligus titik lemah dari mata rantai kejahatan. 19 Dengan demikian maka perlu dikaji kebijakan untuk memotong mata rantai kejahatan itu sendiri, dengan penegakan hukum posistif yang ada.
B. Permasalahan Dari latar belakang, maka dirumuskan isu hukum sebagai berikut : 1.
Bagaimana bentuk kejahatan trafficking dalam sistem peraturan perundangundangan Indonesia?
2.
Bagaimana implementasi Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking?
3.
Bagaimana
hambatan-hambatan
dalam
implementasi
Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking?
19
Bismar Nasution, Op. Cit., hal. 11
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan isu hukum yang diangkat dalam tulisan ini, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui
bentuk kejahatan trafficking dalam sistem perundang-
undangan Indonesia. 2. Untuk
mengetahui
Pemberantasan
Tindak
implementasi Pidana
Undang-Undang
Pencucian
Uang
Pencegahan
sebagai
sarana
Dan untuk
menanggulangi kejahatan trafficking. 3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking.
D. Manfaat Penelitian Secara garis besar manfaat penelitian tesis dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu: 1. Secara Teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi penelitian lebih lanjut terhadap kejahatan trafficking sebagai predicate crime dan penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya tindak pidana pencucian uang sebagai organized crime. 2. Secara Praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi aparat penegak hukum yang terkait untuk menindak pelaku kejahatan trafficking dan tindak pidana pencucian uang, selain itu juga diharapkan agar penelitian ini dapat
Universitas Sumatera Utara
memberi masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.
E. Keaslian Penelitian Permasalahan dalam penelitian ini mengenai tindak pidana pencucian uang dan trafficking adalah suatu topik yang relatif berkembang untuk dibahas oleh para peneliti. Guna menghindari terjadi pengulangan penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan penelusuran kepustakaan (library research) terhadap beberapa hasil penelitian yang memiliki kemiripan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan yang membahas tentang tindak pidana pencucian uang. Dari hasil penelusuran peneliti maka didapatkan beberapa penelitian yang memiliki kemiripan dengan topik yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu: 1. Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Melalui Rezim Anti Money Laundering oleh Y. Ragil Heru Susetyo. 2. Penerapan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Terhadap Kejahatan Kehutanan (Illegal Logging) oleh Masdani. 3. Tinjauan Yuridis Terhadap peran PPATK dalam Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana pencucian Uang oleh Andry Mahyar. Dari hasil penelusuran kepustakaan (libray research) juga ditemukan satu tesis dengan judul “Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime dalam
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang” yang ditulis oleh Robinson Perangin-angin dengan permasalahan yang diangkat dalam tulisan itu adalah : 1. Bagaimanakah pengaturan praktek kejahatan perdagangan anak sebagai predicate crime dalam TPPU? 2. Bagaimanakah penanggulangan kejahatan perdagangan anak? 3. Bagaimanakah bentuk pembaharuan hukum tentang perdagangan anak? Dari judul memang terdapat kesamaan dengan judul yang penulis angkat yaitu Penanggulangan Kejahatan Trafficking Melalui Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, tetapi permasalahan yang diangkat adalah berbeda, maka dengan demikian penelitian ini dapat dijamin keasliannya serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsional 1. Kerangka Teori Teori merupakan suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berpikir tentang dunia itu bekerja. 20 Penelitian ini akan dibahas dengan menggunakan kerangka pemikiran mengenai tindak pidana yang memberikan fokus perhatian pada perbuatan dan sifat melawan hukum dari tindak pidana pencucian uang. 20
Neuman dalam H.R. Otje Salman S., Arton F. Samson, “Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali”, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 22
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya suatu tindak pidana menurut undang-undang terdiri dari tiga bagian yaitu : 21 a. Terdiri dari pasal-pasal yang mempunyai rumusan yang kompleks b. Terdapat rangkuman singkat dari rumusan dan pemberian nama pada rumusan, yaitu kualifikasi c. Ketentuan itu berisi ancaman pidana atau hukuman Perbuatan akan dikaji tentang adanya delik komisi dan delik omisi. Delik komisi adalah merupakan rumusan yang menghendaki ditepatinya suatu norma yang melarang suatu perbuatan tertentu, maka terciptalah ketentuan pidana yang mengancam perbuatan itu dengan pidana. Kemudian delik omisi adalah rumusan yang menghendaki ditepatinya suatu norma yang mengharuskan suatu perbuatan, maka terciptalah ketentuan pidana yang mengancam keadaan tidak berbuat dengan pidana. Dapat disimpulkan bahwa delik komisi melarang suatu perbuatan dilakukan sedangkan delik omisi adalah mengharuskan suatu perbuatan dilakukan. Selanjutnya dalam peraturan pidana dikatakan perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang mempunyai sifat melawan hukum yang berarti berkaitan dengan azas legalitas yaitu bahwa suatu tindakan dikatakan melawan hukum jika perbuatan itu telah terlebih dahulu ditentukan sebagai perbuatan yang dapat dipidana, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu : ”suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali didasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. 21
Sahetapy dalam Tb. Irman S., Op. Cit., hal. 227
Universitas Sumatera Utara
Makna yang terkandung didalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini, yaitu : 22 1. Berlaku azas non-retroaktif 2. Perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan tindak pidana sejelas-jelasnya 3. Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana berdasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan 4. Tidak berlaku penafsiran analogi Mengenai pengertian bersifat melawan hukum ini, Simons 23 menyatakan peristiwa pidana adalah merupakan perbuatan yang diancam dengan
hukuman,
bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Langemeyer dalam Moeljatno 24 mengatakan bahwa ”untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal”, yang menjadi soal adalah apakah ukuran dari keliru atau tidaknya suatu perbuatan. Mengenai hal ini ada dua pendapat, yang pertama adalah apabila suatu perbuatan bertentangan dengan undang-undang, maka sifat melawan hukumnya telah jelas yaitu melanggar ketentuan undang-undang, pendirian ini disebut pendirian yang formal. Pandangan yang kedua yaitu belum tentu perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang, tetapi perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma atau kenyataan-kenyataan dalam masyarakat, maka dalam hal ini sifat melawan hukumnya
22
Alvi Syahrin, “Sifat Melawan Hukum (wederrechtelijk)”, http://alviprofdr.blogspot .com/2010/11/melawan-hukum.html, diakses pada tanggal 17 Januari 2011 23 Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 2000), , hal. 255 24 Moeljatno, “Azas-azas Hukum Pidana”, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 140
Universitas Sumatera Utara
terdapat pada perbuatan yang bertentangan menurut norma-norma atau kenyataankenyataan dalam masyarakat, pendirian ini disebut pendirian materil. 25 Sifat melawan hukum itu tidak selalu dicantumkan sebagai salah satu unsur delik, walaupun ada beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
menyebutkannya secara tegas. Mengenai hal ini maka penganut
pendirian formal beranggapan jika dicantumkan sifat melawan hukum tersebut dalam norma, maka hal itu berarti menghendaki penelitian apakah tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Sedangkan bagi penganut pendirian materil bahwa sifat melawan hukum itu akan selalu ada dalam delik walaupun tidak dengan tegas dirumuskan dalam pasal. Selanjutnya penelitian ini akan dianalisis dengan teori Lawrence M. Friedman, yang menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari materi hukum (substance of law), struktur hukum (structure of law) dan budaya hukum (legal culture). 26 Materi hukum (substance of law) adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-perbuatan hukum serta melakukan hubungan-hubungan hukum. Struktur hukum (structure of law) adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan formalnya di pengadilan, pembuatan hukum oleh para legislator, serta proses hukum itu dijalankan. Kemudian budaya hukum (legal culture) adalah unsur 25
Ibid. Lawrence M. Friedman, “Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial”, Terjemahan oleh M. Khozim, (Bandung : Nusa Media, 2009), hal. 12-19 26
Universitas Sumatera Utara
yang terpenting dalam sistem hukum yakni tuntutan dan permintaan. Tuntutan datangnya dari masyarakat atau para pemakai jasa hukum. Budaya hukum mengandung potensi untuk dipakai sebagai sumber informasi guna menjelaskan sistem hukum.
2. Kerangka Konsepsional Untuk menghindar kesalahan persepsi dalam pembacaan dan pemahaman penulisan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk memberikan beberapa kerangka konsepsional sebagai berikut : Kejahatan adalah tindakan yang sengaja merugikan subjek hukum
dan
penyimpangan terhadap norma atau kaedah yang telah ditentukan oleh hukum positif. Trafficking
(perdagangan
orang)
didefenisikan
sebagai
perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, dengan cara ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, tipu muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, pemberian atau menerima bayaran atau manfaat untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi seksual, kerja paksa atau pelayanan, perbudakan atau praktek serupa perbudakan, perhambaan atau pemindahan organ tubuh. Predicate crime merupakan istilah yang dipakai untuk merujuk pada tindak pidana asal baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, yang mana tindakan itu digunakan untuk memperoleh hasil tindak pidana berupa harta kekayaan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian ini yang dimaksud sebagai predicate crime adalah trafficking (perdagangan orang). 27 Kegiatan trafficking (perdagangan orang), sebagai media penghasil harta kekayaan, atau trafficking sebagai kegiatan illegal yang menghasilkan harta kekayaan. Tindak Pidana yaitu sesuatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana. 28 Pencucian uang adalah perbuatan untuk menyamarkan atau menyembunyikan identitas awal dari harta yang merupakan hasil dari proses illegal atau kejahatan, kemudian menjadikannya sebagai harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah. 29 Penanggulangan adalah merupakan upaya untuk menguasai, melebihi dalam hal, mengalahkan, membatasi, atau dapat dikatakan sebagai upaya untuk menekan tindak pidana dan ada upaya untuk mencegah terulangnya kembali perbuatan tindak pidana tersebut. Hambatan yaitu yang menjadi penghalang atau yang menghalangi keefektifannya suatu peraturan, peraturan yang dimaksud disini adalah Undang-
27
Pasal 2 ayat (1) huruf a s/d y UU No. 8 Tahun 2010, diatur ada 25 (dua puluh lima) perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana asal ditambah lagi dengan ketentuan yang memperluas cakupan predicate crime yaitu tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih. 28 R. Soesilo, “ Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Dan Delik-delik Khusus”, (Bogor: Politea, 1984), hal. 6 29 John Madinger and Sydney A. Zalopany, “Money Laundering A Guide For Criminal Inverstigators”, (United States: CRC Press LLC, 1999), hal. 13
Universitas Sumatera Utara
Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Implementasi adalah pelaksanaan atau penerapan, tindakan mempraktekkan suatu ketentuan terhadap suatu perbuatan, dalam tulisan ini merupakan pelaksanaan atau penerapan aturan undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang terhadap kejahatan trafficking.
G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. 30 Penelitian hukum normatif yaitu difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berkaitan dengan Penanggulangan Kejahatan Trafficking melalui Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
2. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan
konseptual (conceptual
approach).
30
Johnny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, (Jakarta: Banyumedia, 2007), hal. 295, bahwa penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan utama dalam penelitian ini, karena yang menjadi pusat dalam penelitian ini adalah kejahatan trafficking (perdagangan orang) dan pemakaian Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang guna menekan peningkatan kejahatan trafficking tersebut. Dengan demikian penelitian ini menitikberatkan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan kejahatan trafficking dan mengenai penerapan undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking tersebut. Pendekatan konseptual digunakan dalam rangka untuk lebih memahami tentang kejahatan trafficking dan tindak pidana pencucian uang.
3. Sumber Bahan Hukum Bahan yang dipakai untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, 31 bahan hukum sekunder, 32 dan bahan hukum tersier. 33 Ketiga bahan hukum ini merupakan data sekunder. Bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering) yaitu Undang-Undang Nomor 8
31
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 142, bahan hukum primer yang berupa perundang-undangan, yang memiliki otoritas tertinggi adalah UndangUndang Dasar karena semua peraturan dibawahnya baik isi maupun jiwanya tidak boleh bertentangan dengan UUD tersebut. 32 Ibid, bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena buku teks berisi prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi. 33 Ibid, hal. 143. Disamping sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, peneliti hukum juga dapat menggunakan bahan-bahan non-hukum apabila dipandang perlu.
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles), kemudian undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana trafficking (perdagangan orang) yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Konvensi International Labour Organization (ILO), UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Bahan hukum sekunder yang merupakan bahan yang akan memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu terdiri dari buku-buku teks, jurnal, laporan penelitian, artikel, majalah, surat kabar, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering) dan kejahatan trafficking (perdagangan orang). Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yaitu yang mencakup bahan hukum yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, serta bahan-bahan dari bidang ilmu lain diluar bidang hukum yang dianggap relevan dan berguna untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Bahan-bahan dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Bahan-bahan dokumen diperoleh dengan cara menginventarisasi semua peraturan perundang-undangan serta dokumen yang berhubungan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagai sarana yang digunakan dalam menekan kejahatan trafficking (perdagangan orang).
5. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data Bahan hukum yang telah diperoleh yaitu yang berkaitan dengan masalah kejahatan trafficking (perdagangan orang) dan tindak pidana pencucian uang (money laundering), kemudian diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang sistematis untuk dapat menjawab isu hukum yang telah dirumuskan. Cara pengolahan yang sedemikian rupa disebut sebagai pengolahan data deskrtiptif analisis, 34 yaitu yang menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan.
34
Soerjono Soekanto, “Metodologi Research”, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hal. 3. Penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan. secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.
Universitas Sumatera Utara