10
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dunia usaha adalah dunia yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga kiranya dalam mendirikan bentuk-bentuk usaha perdagangan. 2 Banyak pelaku usaha melakukan kegiatan usahanya dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT). Pemilihan badan hukum PT untuk menjalankan roda bisnisnya dikarenakan terdapatnya beberapa keuntungan dari karakteristik kebadanhukuman dari PT, seperti pertanggungjawaban yang terbatas terhadap para pemegang sahamnya, keharusan dalam urusan administratif dan lain-lainnya. Rudhi Prasetya dalam disertasinya mengemukakan teorinya mengenai alasan pemilihan badan hukum PT dalam lalu lintas bisnis sebagai berikut: “Dalam kepustakaan banyak ditulis bahwa unsur pertanggungjawaban yang terbatas itulah yang dijadikan orang acap kali memilih bentuk PT. Dengan menggunakan konstruksi PT itu dapat memperkecil risiko kerugian yang mungkin timbul. Atas dasar motivasi ini dalam beberapa hal orang sengaja untuk satu jenis usaha memilih satu bentuk PT tersendiri. Bahkan kadang kala untuk satu jenis usaha diselenggarakan dalam dua atau tiga PT tersendiri. Keadaan seperti ini dapat mendatangkan kefaedahan. Sekalipun pada hakikatnya secara ekonomis PT-PT tadi merupakan satu kesatuan ekonomis, namun karena secara yuridis setiap badan hukum itu dipandang sebagai subjek hukum yang mandiri, maka suatu tagihan kepada PT tidak dapat dituntut kepada harta pribadi orang2
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Prenada Media, 2004),
hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
11
orangnya, baik pengurusnya maupun pemegang sahamnya, atau kepada PT-PT lainnya, sekalipun saham-sahamnya berada dalam satu tangan pemegang saham.” 3 Kehadiran Perseroan Terbatas sebagai salah satu kendaraan bisnis memberikan kontribusi pada hampir semua bidang kehidupan manusia. Perseroan Terbatas telah menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit untuk pembangunan ekonomi dan sosial. 4 Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh UndangUndang ini serta peraturan pelaksanaannya (Pasal 1 butir (1) UUPT No. 40 Tahun 2007). Apabila diuraikan lebih lanjut, maka definisi PT harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ini: a.
Badan hukum Setiap perseroan adalah badan yang memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung hak dan kewajiban, antara lain memiliki harta kekayaan pendiri atau pengurusnya. Dalam KUHD tidak satu pasalpun yang menyatakan perseroan sebagai badan hukum, tetapi dalam UUPT secara tegas menyatakan bahwa perseroan adalah badan hukum.
3
Rudhi Prasetya, pada Disertasinya Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas disertai dengan Ulasan menurut UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996) dikutip dalam M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.14. 4 Indra Surya dan Ivan Yustiavanda, Penerapan Good Corporate Governance, http://www.sinarharapan .co.id/berita/0402/12/nas09.html, diakses tgl. 5 Februari 2010.
Universitas Sumatera Utara
12
b.
Didirikan berdasarkan perjanjian Setiap perseroan didirikan berdasarkan perjanjian (kontrak), artinya harus ada dua orang atau lebih pemegang saham yang setuju mendirikan perseroan yang dibuktikan secara tertulis yang tersusun dalam bentuk anggaran dasar, kemudian dimuat dalam akta pendirian yang dibuat didepan notaris. Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Dengan demikian tidak ada perseroan yang hanya didirikan oleh satu orang pemegang saham dan tanpa akta notaris.
c.
Melakukan kegiatan usaha Setiap perseroan melakukan kegiatan usaha, yaitu kegiatan dalam bidang ekonomi (industri, dagang, jasa) yang bertujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Supaya kegiatan itu sah harus memperoleh izin usaha dari pihak yang berwenang
d.
Modal dasar Setiap perseroan harus mempunyai modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Modal dasar 5 merupakan harta kekayaan perseroan (badan hukum), yang terpisah dari harta kekayaan pribadi pendiri, organ perseroan, atau pemegang saham.
e.
Setiap perseroan harus memenuhi persyaratan UUPT dan peraturan pelaksanaannya 5
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 234. Modal dasar adalah “ seluruh nilai nominal” saham perseroan yang disebutkan di dalam Anggaran Dasar (AD). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (1) UUPT No. 40 Tahun 2007. Modal dasar pada prinsipnya merupakan total jumlah saham yang dapat diterbitkan oleh perseroan. Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UUPT No. 40 Tahun 2007 modal dasar perseroan yang dibenarkan yaitu paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Universitas Sumatera Utara
13
Ketentuan ini menunjukkan bahwa UUPT menganut sistem tertutup (closed system). Persyaratan yang wajib dipenuhi mulai dari pendiriannya, beroperasinya, dan berakhirnya. Diantara syarat mutlak yang wajib dipenuhi oleh pendiri perseroan adalah akta pendirian harus dibuat didepan notaris dan harus memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman. 6 Setiap perseroan pasti terlibat dalam suatu transaksi, tiada satu perseroanpun yang tanpa transaksi. Karena hal tersebut sejalan dengan kegiatan perseroan yang secara terus menerus dan tanpa putus serta sifatnya terbuka, maka perseroan dalam berhubungan dengan pihak ketiga mengadakan suatu transaksi. Transaksi dilakukan karena transaksi itu sebagai tempat untuk menampung bertemunya suatu kesepakatan yang disebut perjanjian. 7 Salah satu perjanjian yang dilakukan adalah perjanjian kredit. Perjanjian kredit sering digunakan dalam perseroan untuk memenuhi permodalan perseroan tersebut. Perjanjian kredit dilakukan antara kreditur (pihak yang memberikan pinjaman) dan debitur (pihak yang menerima pinjaman) untuk memenuhi kekurangan uang agar dapat melaksanakan kegiatan usahanya. Pemberian pinjaman atau kredit yang diberikan kreditur kepada debitur dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa debitur dapat mengembalikan pinjaman tersebut kepada kreditur tepat pada waktunya. Tanpa adanya kepercayaan dari kreditur, tidaklah mungkin kreditur mau memberikan pinjaman kepada debitur. Pinjaman
6
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perseroan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 5-7. 7 Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan sebagai Subjek dalam Gugatan Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
14
ini disebut kredit (credit). 8 Kredit mempunyai banyak arti, dimana dalam dunia bisnis pada umumnya kata “kredit” diartikan sebagai “kesanggupan akan pinjaman uang atau kesanggupan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan membayarnya kelak.” 9 Dengan demikian kredit dapat pula berarti bahwa pihak kesatu memberikan prestasi baik berupa barang, uang atau jasa kepada pihak lain, sedangkan kontraprestasinya akan diterima kemudian (dalam jangka waktu tertentu). Kredit merupakan tulang punggung bagi pembangunan di bidang ekonomi. Dengan demikian perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan seperti bidang perdagangan, perindustrian, perumahan, transportasi, dan lain sebagainya. Sektor perkreditan merupakan salah satu sarana pemupukan modal bagi masyarakat bisnis. Bagi kaum pengusaha, mengambil kredit sudah merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bisnis. 10 Untuk melepaskan dunia bisnis tanpa pinjaman kredit sangatlah sulit. Namun setiap pemberian kredit yang disalurkan kepada pengusaha selalu mengandung
risiko.
Oleh karena
itu
perlu
unsur
pengamanan dalam
pengembaliannya. Unsur pengamanan (safety) adalah salah satu prinsip dasar dalam peminjaman kredit selain unsur keserasiannya (suitability) dan keuntungan 8
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Failissementverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998, (Jakarta: Pusat Utama Grafiti, 2002), hal.2. 9 Muhammad Djumhana, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: Alumni, 1983), hal.21. 10 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Jaminan Dan Kepailitan, Makalah Pembanding dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, (Jakarta: 2000), hal.2 dikutip dalam Inggrid Kusuma Dewi, Tesis, Kedudukan Hukum Bank sebagai Pemegang Jaminan Kebendaan pada Perjanjian Kredit dalam Keadaan Debitur Pailit, Universitas Sumatera Utara, Medan,2007, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
15
(profitability).11 Bentuk pengamanan kredit dalam prakteknya dilakukan dalam pengikatan jaminan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan debitur tidak dapat membayar utangnya sehingga pihak kreditur, misalnya bank dalam memberikan kredit atau utang selalu mensyaratkan adanya jaminan. Secara garis besar dikenal 2 (dua) macam bentuk jaminan, yaitu jaminan perorangan (borgtocht/personal guarantee) dan jaminan kebendaan. Pada jaminan kebendaan, debitur atau pihak yang menerima pinjaman, memberi jaminan benda kepada kreditur atau pihak yang memberi pinjaman sebagai jaminan atas utang yang dipinjam debitur. Jadi apabila debitur tidak membayar utangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditur dapat menuntut eksekusi atas benda yang telah dijaminkan oleh debitur tersebut untuk melunasi utangnya. Sedangkan dalam jaminan perorangan (borgtocht/ personal guarantee) adalah jaminan yang diberikan oleh debitur bukan berupa benda melainkan berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin) yang tidak mempunyai kepentingan apapun baik terhadap debitur maupun terhadap kreditur, bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan, dengan syarat bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu
bersedia untuk
melaksanakan kewajiban debitur tersebut. Dengan adanya jaminan perorangan maka pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar utang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut. 12
11
Muchdarsyah Sinungan, Dasar-dasar dan Teknik Management Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 2000), hal. 4. 12 http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/2009/06/09/kedudukan-guarantor-dalamkepailitan, diakses tgl. 5 Februari 2010.
Universitas Sumatera Utara
16
Keberadaan penjamin merupakan upaya guna memperkecil risiko, dimana jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu kepastian hukum akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur. 13 Dalam KUH Perdata, penjaminan atau penanggungan diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850. Dari ketentuan-ketentuan dalam KUH perdata tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang penjamin atau penanggung adalah seorang debitur. 14 Mengenai penanggungan ditegaskan dalam Pasal 1820 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa: “Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.” Apabila debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada kreditur, maka salah satu sarana hukum yang dapat dipergunakan bagi penyelesaian utang piutang adalah peraturan kepailitan. Pada asasnya setiap kreditur yang tidak terpenuhi piutangnya dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan terhadap seorang debitur dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam peraturan kepailitan Stb.1095 No.217 jo Stb. 1906 No. 348 sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan kemudian diubah kembali dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
13
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Kebendaan Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal.23. 14 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
17
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat Undang-Undang Kepailitan). 15 Prinsip dasar hukum kepailitan sebenarnya berdasarkan pada ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata. Pasal ini menyatakan bahwa semua barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan perorangan debitur tersebut. Tanggung jawab debitur berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata inilah, yang kemudian bermuara pada lembaga kepailitan karena dalam lembaga kepailitan sebenarnya mengatur bagaimanakah halnya jika seorang debitur tidak dapat membayar utang-utangnya, serta bagaimanakah pertanggungjawaban debitur tersebut, dalam kewenangannya dengan harta kekayaan yang masih atau yang akan dimilikinya. Berkaitan dengan pemberian jaminan dalam perseroan yang biasanya dilakukan oleh penjamin dalam perjanjian pemberian kredit, maka dengan adanya perjanjian jaminan, penjamin dapat melakukan kewajiban debitur apabila debitur tidak dapat melakukan kewajibannya terhadap kreditur. Dan apabila penjamin tidak dapat melakukan kewajibannya maka penjamin dapat digugat pailit oleh kreditur. Perseroan yang tidak dapat melakukan kewajibannya kepada kreditur, dapat dinyatakan pailit. Terjadinya kepailitan dalam perseroan, membawa akibat bahwa direksi tidak berhak dan berwenang lagi untuk mengurusi harta kekayaan 15
Inggrid Kusuma Dewi, Op Cit., hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
18
perseroan. Sebagai suatu badan hukum yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan perusahaan, kepailitan dapat mengakibatkan perseroan tidak dapat lagi melaksanakan kegiatan usahanya. Apabila perseroan tidak melaksanakan kegiatan usaha, tentunya akan menimbulkan kerugian, tidak hanya bagi perseroan itu sendiri, melainkan juga kepentingan dari pemegang saham perseroan, belum lagi kepentingan para kreditur yang tidak dapat dibayar lunas dari hasil penjualan seluruh harta kekayaan perseroan. 16 Dan juga kepailitan perseroan akan menyebabkan kerugian bagi penjamin dalam perseroan karena penjamin juga dapat dinyatakan pailit apabila debitur tidak dapat melakukan kewajibannya. Hal ini akan menimbulkan berbagai permasalahan bagi penjamin selaku pemberi jaminan terhadap debitur kepada kreditur. Bertolak dari masalah tersebut diatas, judul skripsi yang akan diteliti adalah: “Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)”.
B. Perumusan Masalah Agar tidak melebar dan lebih terarahnya pembahasan dalam skripsi ini, maka perlu untuk mengangkat permasalahan yang dijadikan sebagai landasan atau acuan dari pokok materi penulisan sehingga suatu kesimpulan dapat diperoleh. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana dasar hukum untuk mempailitkan penjamin?
16
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002), hal.8.
Universitas Sumatera Utara
19
2.
Bagaimana syarat dan mekanisme pelaksanaan kepailitan penjamin?
3.
Bagaimana akibat hukum kepailitan penjamin?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dapat disimpulkan yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai kepailitan penjamin b. Untuk mengetahui syarat dan mekanisme pelaksanaan kepailitan penjamin c. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan penjamin 2. Manfaat Penulisan Selain dari tujuan diatas, penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat antara lain: a.
Secara Teoritis Pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan ini akan memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya pemahaman dan pandangan mengenai hukum kepailitan.
b.
Secara Praktis Pembahasan ini diharapkan dapat: 1.
Menambah wawasan ilmiah dan masukan bagi para kalangan praktisi hukum dalam menyelesaikan dan memutus sengketa pailit.
Universitas Sumatera Utara
20
2.
Memberikan informasi bagi masyarakat terutama kalangan dunia usaha tentang hukum kepailitan khususnya tentang pertanggungjawaban penjamin dalam kepailitan Perseroan Terbatas (PT).
D. Keaslian Penulisan “Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)” yang diangkat menjadi judul skripsi ini telah diperiksa dan diteliti melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum dan belum pernah ditulis di Fakults Hukum Universitas Sumatera Utara kalaupun terdapat judul yang hampir sama dengan judul ini, akan tetapi substansi pembahasannya berbeda. Adapun judul yang hampir yaitu “Kedudukan Penjamin (Coorporate Guarantee) dalam perkara Kepailitan” yang ditulis oleh Stefanus V. Sebayang pada tahun 2006, Program Studi Hukum Ekonomi. Sedangkan judul skripsi penulis yaitu “Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)” berbeda dengan judul skripsi “Kedudukan Penjamin (Coorporate Guarantee) dalam perkara Kepailitan“ karena dalam judul skripsi penulis membahas mengenai penjamin berupa orang (borgtocht/Personal Guarantee) yang mana merupakan suatu jaminan yang diberikan seseorang secara pribadi bukan badan hukum untuk menjamin utang orang/badan hukum lain kepada seseorang/ beberapa kreditur. Sedangkan dalam Coorporate Guarantee yaitu suatu jaminan yang diberikan oleh suatu perusahaan
Universitas Sumatera Utara
21
(badan hukum) untuk menjamin utang orang/ badan hukum lain kepada seseorang atau beberapa kreditur. 17
E. Tinjauan Kepustakaan Penjamin berasal dari kata “jamin” yang berarti “tanggung”. Pengertian penjamin menurut Rasjin Wiraatmadja seorang advokat senior mengatakan bahwa: “Penjamin adalah para pihak yang menjamin dan berjanji serta mengikatkan diri untuk dan atas permintaan pertama dan kreditur membayar utang secara tanpa syarat apapun dengan seketika dan secara sekaligus lunas kepada kreditur, termasuk bunga, provisi dan biaya-biaya lainnya yang sekarang telah ada dan atau dikemudian hari terutang dan wajib dibayar oleh debitur.” 18 Penjamin adalah debitur dari kewajiban untuk menjamin pembayaran oleh debitur. 19 Penjamin berkewajiban untuk membayar utang debitur kepada kreditur manakala sidebitur lalai atau cidera janji, penjamin baru menjadi debitur atau berkewajiban untuk membayar setelah debitur utama yang utangnya ditanggung cidera janji dan harta benda milik debitur utama atau debitur utama yang ditanggung telah disita dan dilelang terlebih dahulu tetapi hasilnya tidak cukup untuk membayar utangnya, atau debitur utama lalai atau cidera janji sudah tidak mempunyai harta apapun. Penanggungan utang atau borgtocht adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga, guna kepentingan berutang, mengikatkan dirinya untuk memenuhi
17
http://www.hukumonline.com/klinik, diakses tgl 5 Januari 2010 Salim H.S, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal 21. 19 Imran Nating, Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal.33. 18
Universitas Sumatera Utara
22
kewajiban debitur apabila debitur bersangkutan tidak dapat
memenuhi
kewajibannya (Pasal 1820 KUH Perdata). 20 Pengertian penanggungan ditegaskan dalam Pasal 1820 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa: “Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berutang, mengiktkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.” Pengertian pailit dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dalam Pasal 1 angka (1) adalah: “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.” 21 Pengertian Kepailitan menurut Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang dalam Pasal 1 angka (1) adalah: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukann oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur oleh undang-undang ini.” 22
20
Ibid, hal. 30. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. 22 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 21
Universitas Sumatera Utara
23
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa kepailitan adalah keadaan atau kondisi badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya (dalam hal utang-utangnya) kepada si piutang. Untuk lebih memahami dan memberikan kejelasan mengenai pengertian kepailitan, maka dalam hal ini penulis akan mengutip beberapa pengertian dari beberapa sarjana antara lain: Retnowulan menyatakan bahwa: “Kepailitan adalah eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib.” 23 Siti Soematri Hartono dalam bukunya “Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang” mengatakan bahwa Kepailitan adalah suatu lembaga dalam Hukum Perdata, sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam Hukum Perdata yang tercantumkan dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.” 24 Kartono mengemukakan, “Kepailitan adalah suatu sitaan umum dan eksekusi atas seluruh kekayaan semua debitur-debiturnya bersama-sama, yang pada waktu sidebitur dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditur dimiliki pada saat itu.”25 Sudarsono dalam kamus hukum mengatakan istilah pailit, yaitu suatu keadaan dimana seorang tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya berdasarkan putusan hakim, hal ini diatur dalam Pasal 2 UU Kepailitan. 26
23
Retnowulan Sutantio, Beberapa Masalah yang Berhubungan dengan Jaminan Kredit, (Varia Peradilan: Tahun II No.19, April 1987), hal.85. 24 Victor M.Situmorang & Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal.1. 25 Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradnya, 1992), hal.7. 26 Sudarsono, Kamus Hukum Cetakan Ketiga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).
Universitas Sumatera Utara
24
Lebih lanjut Sudargo mengatakan bahwa: “Kepailitan pada intinya sebenarnya berarti suatu sitaan secara menyeluruh atas segala harta benda daripada sipailit”. 27 Pengertian Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 jo Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam Pasal 1 angka (1) adalah: “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.” 28 F. Metode Penulisan Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatn ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala
hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap suatu pemecahan atas segala permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.
27
Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan Kepailtan Baru untuk Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998). Hal.3. 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 jo Undang-Undang 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Universitas Sumatera Utara
25
1. Tipe Penelitian Tipe penelitian hukum yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Metode penelitian yuridis normatif ini dipilih untuk mengetahui bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan mengenai kepailitan yang dilaksanakan di Indonesia. 2. Pendekatan Masalah Penelitian yang dilakukan menggunakan metode pendekatan hukum normatif, yaitu penelitian dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dan selanjutnya melihat kenyataan melalui putusan hakim Pengadilan Niaga. 3. Bahan Hukum Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi: a.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum mulai dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 Jo Undangundang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, pendapat para sarjana,
Universitas Sumatera Utara
26
kasus-kasus hukum yang terkait dengan pembahasan tentang kepailitan penjamin dalam Perseroan Terbatas. c.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti ensiklopedi, kamus bahasa maupun kamus hukum.
4. Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori dan doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. 5. Analisis Data Setelah pengumpulan data dilakukan dengan data sekunder selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yakni dengan mengadakan pengamatan terhadap data maupun informasi yang diperoleh. Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian akan dipilah-pilah sehingga diperoleh bahan hukum yang mempunyai kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tanggung jawab dan wewenang penjamin jika perseroan yang dijaminkannya pailit. Kemudian bahan hukum tersebut disistematisasikan sehingga dapat dihasilkan klasifikasi yang sejalan sengan permasalahan tentang tanggung jawab dan wewenang penjamin dalam keadaan pailitnya perseroan. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode induktif untuk sampai pada suatu kesimpulan.
Universitas Sumatera Utara
27
Diharapkan melalui penelititan ini dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas lagi mengenai bagaimana pertanggungjawaban dan wewenang penjamin sehingga nantinya dapat ditarik suatu kesimpulan tentang kaidah-kaidah hukum guna penyempurnaan ataupun penyesuaian pengaturan mengenai tanggung jawab dan wewenang penjamin dalam kepailitan suatu perseroan.
G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut: BAB I
:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan, yang memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan penulisan.
BAB II
: Bab kedua akan membahas mengenai pengaturan hukum mengenai hukum kepailitan terhadap penjamin. Pembahasan bab kedua ini akan dimulai dengan pembahasan tentang kepailitan. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang penjamin, pembahasan tentang ketentuan hukum yang mengatur tentang kepailitan dan penjamin, dan selanjutnya pembahasan mengenai kaitan antara kepailitan dengan penjamin dalam Perseroan Terbatas (PT).
Universitas Sumatera Utara
28
BAB III
:
Bab ketiga akan membahas mengenai syarat dan mekanisme pelaksanaan kepailitan penjamin. Pembahasan bab ketiga ini akan dimulai dengan pembahasan mengenai pihak-pihak yang terkait dalam kepailitan. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai syarat pelaksanaan kepailitan penjamin dan pembahasan mengenai mekanisme kepailitan penjamin.
BAB IV
:
Bab keempat akan membahas mengenai akibat hukum dari kepailitan penjamin. Pembahasan bab ini terdiri dari pembahasan mengenai akibat hukum hubungan perjanjian penjamin (Borgtocht/ Personal Guarantee), akibat hukum kepailitan penjamin dalam Perseroan Terbatas (PT), tanggung jawab dan wewenang penjamin dalam kepailitan Perseroan Terbatas (PT), dan kemudian analisis terhadap putusan pailit penjamin (Borgtocht/ Personal Guarantee).
BAB V
:
Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan penulisan dan saran yang berfungsi untuk memberikan masukan bagi perkembangan hukum kepailitan di masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara