BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Peran aparat pengawasan di daerah yang tidak efektif merupakan
salah satu penyebab semakin meratanya kasus korupsi dan buruknya tata kelola pemerintahan daerah. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Koordinator
Divisi
Hukum
dan
Monitoring
Peradilan
Indonesian
Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho. Ia menduga, korupsi di daerah masih terjadi secara masif karena lemahnya pengawasan penegak hukum terhadap para pejabat daerah. "Korupsi masih merata di daerah, otonomi jadi automoney. Sistem pengawasannya tidak cukup optimal sehingga mendorong mereka masif melakukan praktek korupsi, " (kompas.com). Rendahnya independensi dan kapabilitas aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dalam melakukan fungsi pengawasan sekaligus early warning dalam
tata kelola pemerintahan di Indonesia menurut banyak
pihak turut memberikan andil dalam kondisi tersebut. Tingginya kasus korupsi pada sektor pemerintahan , baik di tingkat pusat maupun daerah di Indonesia, menjadi bukti bahwa fungsi aparatur pengawasan belumlah maksimal. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengatakan, sekitar 70 persen kepala daerah di Indonesia terjerat kasus korupsi (www.jpnn.com). Berdasarkan data yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penanganan kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan kepala daerah pada tahun 2011 sedikitnya terdapat 17 gubernur (52%) dan 158 (30%) bupati/walikota se
1
indonesia. Bukan hanya pada level kepala daerah, korupsi juga terjadi hampir pada semua level eksekutif dan lembaga legislatif , sehingga banyak pihak mengatakan korupsi sudah menyentuh pada kondisi masif. Berdasarkan hasil survei integritas sektor publik yang dilakukan oleh KPK pada tahun 2013, dengan responden pelaku bisnis di beberapa kota di Indonesia menunjukkan Indeks Integritas layanan sektor publik secara nasional belum memuaskan yaitu sebesar 6,80 dari skala 10. Indeks integritas sektor publik terendah ada pada pemerintahan daerah, yaitu sebesar 6,82 (sumber: KPK.go.id). Pembenahan tata kelola pemerintah daerah menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good local governance) agaknya perlu perhatian yang lebih serius dari pemerintah. Hasil survey Transparansi Internasional Indonesia, yang tertuang dalam Indonesia Governance Index (IGI) menunjukkan hasil IGI di 34 Kabupaten/kota dengan menggunakan 126 indikator juga menunjukkan kinerja tata kelola pemerintahan di tingkat kabupaten/kota tergolong buruk yaitu rata-rata 4,92 dari skala 1 sampai 10 (KPK,2014). IGI merupakan alat ukur untuk melihat kinerja tata kelola pemerintahan di daerah. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN&RB) Azwar Abubakar dalam konferensi Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan Jakarta pada
hari Kamis, 12 Juni 2014 mengatakan “Selain
posisi APIP yang belum independen, SDM pengawasan kurang profesional, serta lemahnya bisnis proses pengawasan, kondisi tersebut perlu segera diperbaiki secara mendasar dan komprehensif” (http://www.menpan.go.id).
2
Guna memperkuat kapabilitas APIP, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terkait hal tersebut. Kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam pemberdayaan APIP sebetulnya telah lama dilakukan melalui peraturan perundang-undangan diterbitkannya
pada
era
Undang-undang
setelah nomor
reformasi. 28
Tahun
Dimulai 1999
dengan mengenai
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Selanjutnya pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah
Nomor 60 tahun 2008 mengenai Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang mempertegas peran APIP dalam melakukan pengawasan intern melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan dan pengawasan lainnya. Kebijakan untuk lebih mengefektifkan peran APIP juga muncul dalam grand design reformasi birokrasi melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 dan road map reformasi birokrasi nasional yang menetapkan area peningkatan pengawasan sebagai sasaran reformasi birokrasi secara nasional. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor
60 Tahun 2008 disebutkan
bahwa pembinaan penyelenggaraan sistem pengendalian intern Pemerintah (SPIP) dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Disamping itu,
BPKP
berdasarkan Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 19 Tahun 1996, ditetapkan sebagai Instansi Pembina Jabatan Fungsional Auditor (JFA) di lingkungan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Dalam rangka mewujudkan peran APIP yang efektif, sebagaimana diamanahkan dalam PP nomor 60 Tahun 2008 tersebut, Kepala BPKP telah menerbitkan Peraturan Kepala BPKP
3
Nomor 1633 Tahun
2011 mengenai Pedoman Teknis Peningkatan
Kapabilitas APIP. BPKP juga telah melakukan pemetaan terkait kondisi masing-masing APIP di Indonesia dengan melakukan penilaian level kapabilitas APIP menggunakan pendekatan Internal
Audit Capability
Model (IA-CM), mengadopsi dari The Institute of Internal Auditor. Hal tersebut untuk menjawab kebutuhan peningkatan kapabilitas seiring dengan tuntutan dan tantangan yang dihadapi APIP di masa mendatang agar lebih berdaya guna dalam peningkatan tata kelola pemerintahan. BPKP telah menargetkan secara nasional sebanyak 60% APIP sampai dengan akhir tahun 2014 telah mencapai level 2 (dua) dalam tahapan leveling APIP berdasarkan model IA-CM. Dengan mencapai level 2 (dua) atau disebut level
Infrastruktur,
diharapkan
APIP mampu mencegah, menangkal,
mendeteksi tindakan pelanggaran terhadap ketentuan, prosedur termasuk mendeteksi dan mencegah korupsi, serta meningkatkan ketaatan kepada peraturan, kebijakan, dan prosedur (http://pusbinjfa.bpkp.go.id). Pada level APIP pemerintah daerah, salah satu wilayah dengan jumlah APIP yang 60% nya telah berada pada level 2 pada tahun 2014 adalah APIP di wilayah DIY. APIP di wilayah DIY juga sering menjadi rujukan banyak APIP dari daerah lain untuk melakukan studi banding peningkatan kapabilitas APIP. Hal ini seiring dengan prestasi pemerintah daerah di wilayah DIY
yang menempati posisi yang cukup baik dalam berbagai
survei jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Pada tahun 2008 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Provinsi Yogyakarta menempati ranking pertama dengan IPK sebesar 6,43. Pada tahun 2010 IPK DIY
4
menempati ranking ke 4 dengan IPK sebesar 5,81. Meskipun mengalami penurunan dibandingkan tahun 2008 , namun masih termasuk dalam 5 (lima) besar provinsi dengan IPK tertinggi (sumber : http://ti.or.id). Pada tahun 2010 Pemerintah Kota Yogyakarta juga meraih prestasi yang cukup membanggakan dengan meraih Bung Hatta Anti Corruption Award (sumber: bunghattaaward.org). Selanjutnya pada tahun 2013 DIY kembali meraih prestasi terbaik dengan mendapat nilai indeks tertinggi dalam Indonesia Governance Index (IGI) 2012-2013 dengan nilai sebesar 6,8 (www.beritasatu.com). Berdasarkan assessment BPKP, dari 6 (enam) APIP di wilayah DIY , 4(empat) APIP telah dinyatakan level 2
atau disebut level
infrastructure dan 2(dua) APIP dinyatakan baru mencapai level 2 dengan catatan perbaikan (sumber: Perwakilan BPKP DIY, 2015).
APIP yang
dinilai telah berada pada level 2 (infrastucture) adalah Inspektorat DIY, Inspektorat Kota Yogyakarta, Inspektorat Bantul, dan Inspektorat Kulon Progo. Sedangkan APIP yang masih berada pada level 2 dengan catatan perbaikan
adalah Inspektorat Sleman dan Inspektorat Gunung Kidul.
Dilihat secara nasional, kondisi APIP di Indonesia berdasarkan assessement yang dilakukan BPKP pada akhir tahun 2013 juga menunjukkan kondisi sebagian besar APIP yang masih berada pada lower level (level 1 dan level 2) , hal ini bisa dilihat dari gambar berikut :
5
Gambar 1.1 HASIL PEMETAAN KAPABILITAS APIP SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 SECARA NASIONAL 396 APIP
362 (91,41%)
400 350 300 250 200 150 100
33 (8,33 %)
50 0
1 (0,25 %) Level 1 (Initial)
level 1
Level 2 (Infrastucture)
level 2 Level 3 (Integrated)
level 3
IACM
sumber data : Hasil Pemetaan Kapabilitas APIP oleh BPKP Tahun 2013
Berdasarkan gambar diatas, baik APIP yang berada pada level pemerintah pusat maupun APIP yang berada pada level pemerintah daerah, 91,43% masih berada pada level 1, sebanyak 8,33% APIP berada pada level 2 dan sebanyak 0,25% APIP berada pada level 3. Jika dibandingkan secara nasional tersebut, maka APIP di wilayah DIY dinilai telah lebih baik dibandingkan APIP di wilayah lain. Dengan latar belakang masalah diatas, penelitian ini ingin melihat bagaimana implementasi kebijakan peningkatan kapabilitas APIP yang telah dijalankan oleh pemerintah di wilayah DIY, agar dapat mengetahui kelemahan implementasi kebijakan yang dijalankan dengan melihat proses implementasi dan meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan peningkatan kapabilitas APIP di wilayah DIY.
6
1.2 Perumusan Masalah Dengan kondisi APIP di wilayah DIY dengan tingkat kapabilitas APIP mencapai
60% telah berada pada level 2 serta kondisi tata
pemerintahan berdasar berbagai hasil survei telah lebih baik dibandingkan wilayah lain di Indonesia, peneliti tertarik untuk mengkaji bagaimana implementasi kebijakan peningkatan kapabilitas APIP di wilayah DIY, baik pada kelompok APIP level 2 dengan catatan perbaikan
maupun pada
kelompok APIP level 2-infrastructure . Disamping itu, dengan keterbatasan sumber daya penelitian, pemilihan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam perspektif peneliti, cukup representatif dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan wilayah yang tidak terlalu luas.
Penelitian
ini juga
merupakan salah satu upaya untuk mengkaji lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang mendukung dan menghambat keberhasilan peningkatan kapabilitas APIP di wilayah DIY serta kebijakan apa yang seharusnya diambil pemerintah dalam menata kelembagaan pengawasan intern yang ada pada pemerintah daerah supaya lebih berdaya guna untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih. Dengan demikian rincian pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut: •
Bagaimana implementasi kebijakan Peningkatan kapabilitas APIP pada pemerintah daerah di wilayah DIY ? apakah terdapat perbedaan proses implementasi antara APIP kelompok level 2-infrastruktur kelompok level 2 dengan catatan perbaikan ?
dengan
7
•
Faktor-faktor
apa
yang
menjadi
pendukung
dan
penghambat
implementasi kebijakan peningkatan kapabilitas APIP pada pemerintah daerah di wilayah DIY?
1.3
Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini, penulis ingin melihat bagaimana implementasi
kebijakan peningkatan kapabilitas APIP pada Pemerintah Daerah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali faktor-faktor yang mempengaruhi (baik mendukung maupun menghambat) pelaksanaan
implementasi
peningkatan kapabilitas APIP di wilayah DIY. Pada ujungnya diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan feedback terhadap pemerintah daerah dan pengambil kebijakan guna meningkatkan efektifitas fungsi aparat pengawasan intern (APIP) pada pemerintah daerah, dalam mewujudkan pemerintahan daerah yang bersih menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good local governance).
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini akan bermanfaat bagi akademisi dan para pengambil
kebijakan guna melihat lebih dalam mengenai pengaturan kebijakan terkait dengan peningkatan kapabilitas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang bertujuan untuk peningkatan efektifitas fungsi APIP pada Pemerintah Daerah.
8