BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Di era otonomi daerah, aparat pemerintah di daerah lebih dekat dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat serta merupakan perwujudan dan perpanjangan tangan pemerintahan. Amanah otonomi daerah yang mengutamakan peningkatan kualitas pelayanan publik di berbagai sektor kehidupan harus menjadi acuan dan mendarah daging dalam diri aparat pemerintah di daerah. Aparat pemerintah di daerah mempunyai peran besar dalam pelaksanaan urusan-urusan publik (Rasyid, 1997). Begitu pentingnya kualitas pelayanan publik, sehingga pemerintah melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomor. 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasar prinsip-prinsip pelayanan keadilan dan pemerataan. Pelayanan keadilan dan pemerataan dimaksudkan agar jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Mengacu kepada konsep keadilan dan pemerataan, pemerintah melalui PP No. 70/1999 tanggal 28 Juli 1999, menyetujui pemindahan ibukota daerah Kabupaten
Universitas Sumatera Utara
Simalungun dari wilayah daerah Kota Pematangsiantar ke Kecamatan Raya di Wilayah Daerah Kabupaten Simalungun. Keputusan tersebut tentu telah mempertimbangkan aspek kelayakan, potensi dan dampak positif dalam jangka pendek dan jangka panjang bagi pembangunan daerah Simalungun. Pemindahan daerah ibukota Kabupaten Simalungun tersebut telah
mendapat
persetujuan
dari
DPRD
Kabupaten
Simalungun
(Nomor
4/DPRD/1996) tanggal 8 Oktober 1996 (3 tahun sebelumnya). Perpindahan tersebut dimaksudkan agar dapat dilakukan pembangunan di Daerah Kabupaten Simalungun dengan mengatur tata ruang wilayah. Namun setelah dievaluasi lebih dari satu dekade, pengaturan tata ruang tersebut tidak bisa dilaksanakan, karena Ibukota Daerah Kabupaten Simalungun saat ini masih berada dalam wilayah Daerah Kota Pematang Siantar. Perpindahan ibukota kabupaten bukan sekedar persoalan pusat pemerintahan, namun hal ini merupakan perubahan yang sangat mendasar, yakni perubahan paradigma lama ibukota kabupaten sebagai pusat seluruh aktivitas pemerintahan ke paradigma baru bahwa ibukota kabupaten direncanakan sedemikian rupa untuk menjadi pusat pelayanan. Dari sisi nasional, hal ini sekaligus diharapkan mampu mengatasi ketimpangan pembangunan dengan merencanakan pembangunan yang lebih merata dan seimbang (Purba, 2006). Dari tujuan pemindahan ibukota Kabupaten Simalungun dapat dijelaskan bahwa hubungan di dalam kota, atau antara kota dengan daerah sekitarnya, dapat
Universitas Sumatera Utara
dipilah dari segi sosial ekonomi dan dari segi fisik. Kedua hal tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Salah satu teori yang dapat menjelaskan hubungan sosial-ekonomi dan fisik yang berkait erat dan saling mempengaruhi adalah teori pusat atau tempat (central place theory). Teori tempat pemusatan pertama kali dirumuskan oleh Christaller (dalam Hartshorn, 1980) dan dikenal sebagai teori pertumbuhan perkotaan yang pada dasarnya menyatakan bahwa pertumbuhan kota tergantung spesialisasinya dalam fungsi pelayanan perkotaan, sedangkan tingkat permintaan akan pelayanan perkotaan oleh daerah sekitarnya akan menentukan kecepatan pertumbuhan kota (tempat pemusatan) tersebut. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan timbulnya pusat-pusat pelayanan : (1) faktor lokasi ekonomi, (2) faktor ketersediaan sumberdaya, (3) kekuatan aglomerasi, dan (4) faktor investasi pemerintah. Sebuah kota atau pusat merupakan inti dari berbagai kegiatan pelayanan, sedangkan wilayah di luar kota atau pusat tersebut adalah daerah yang harus dilayaninya, atau daerah belakangnya (hinterland). Sebuah pusat yang kecil akan memberikan penawaran pelayanan yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan pusat yang lebih besar. Jarak wilayah yang dilayaninyapun relatif lebih dekat dengan luasan yang kecil (Knox, 1994). Guna mengetahui kekuatan dan keterbatasan hubungan ekonomi dan fisik suatu kota atau pusat dengan wilayah dijelaskan Christaller melalui sebuah teori yang kemudian dikenal sebagai Central Place
Universitas Sumatera Utara
Theory. Teori ini menjelaskan peran sebuah kota sebagai pusat pelayanan, baik pelayanan barang maupun jasa bagi wilayah sekitarnya (tributary area). Menurut Christaller (1966) dalam Haggett (2001), sebuah pusat pelayanan harus mampu menyediakan barang dan jasa bagi penduduk di daerah sekitarnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa dua buah pusat permukiman yang mempunyai jumlah penduduk yang persis sama tidak selalu menjadi pusat pelayanan yang sama. Istilah kepusatan (centrality) digunakan untuk menggambarkan bahwa besarnya jumlah penduduk dan pentingnya peran sebagai tempat terpusat (central place). Ibukota kabupaten merupakan suatu perwilayahan pusat atau sentral pengendalian pembangunan yang akan mendorong terjadinya pertumbuhan secara seimbang antar kota dengan desa atau antara desa dengan desa yang bersinergis. Dan merupakan wilayah pusat keseimbangan regional (regional balance) yaitu daya dukung suatu potensi wilayah tergantung kepada keseimbangan penyebaran penduduk yang memperoleh peluang yang sama terhadap demografi ekonomi sosial dan lingkungan untuk mewujudkan seluruh potensi yang dimiliki dapat menghasilkan suatu jaminan kualitas dan keadilan pelayanan publik (Hamid, 2008). Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah memberikan kewenangan yang luas dan nyata kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Terkait dengan hal tersebut dalam menentukan ibukota sebagai pusat pemerintahan harus dilakukan suatu penilaian yang objektif yang didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Kriteria-kriteria
Universitas Sumatera Utara
yang perlu mendapat penilaian dalam menentukan calon ibukota tersebut antara lain adalah aspek tata ruang, aksesibilitas, keadaan fisik, kependudukan dan ketersediaan fasilitas. Menurut Soenkarno (1999), dalam kajian tentang pemindahan ibukota kabupaten menyatakan bahwa tahapan proses pemindahan ibukota kabupaten secara administratif sebagai berikut: a) legalisasi keinginan masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang perlunya ibukota kabupaten pindah, b) Bupati meneruskan keinginan tersebut kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi untuk mendapat persetujuan, c) Gubernur menerusakan usulan calon Ibukota Kabupaten tersebut kapada Menteri Dalam Negeri diteruskan ke Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) untuk meneliti calon lokasi ibukota kabupaten terbaik, d) Hasil Penelitian DPOD oleh Menteri Dalam Negeri diteruskan kepada menteri-menteri terkait untuk mendapatkan dukungan, e) Setelah mendapat dukungan dari menterimenteri terkait, Menteri Dalam Negeri menyampaikan usulan lokasi terbaikan diatas. Fungsi kota dicerminkan oleh kelengkapan dan kualitas fasilitas pelayanan perkotaan yang dimilikinya, disamping itu kota ditinjau dari segi aksesibilitasnya ke kota-kota lain atau wilayah belakangnya. Pola ideal yang diharapkan terbentuk, asumsi homogen dalam hal bentuk medan, kualitas tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya. Bentuk pola pelayanan seperti jejaring segi enam (hexagonal) dianalogikan sebagai bentuk pelayanan. Bentuk pola pelayanan
Universitas Sumatera Utara
hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam hal efisiensi transportasi, pemasaran dan administrasi (Haggett, 2001). Hubungan pengembangan pusat-pusat pelayanan dalam strategi perencanaan pembangunan regional bukan hanya diarahkan untuk meningkatkan pendapatan riil penduduk, tetapi untuk menghilangkan atau mengurangi ketimpangan antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Sejalan dengan tujuan pembangunan wilayah, maka penyediaan fasilitas pelayanan dasar perkotaan sebagai salah satu bentuk pelayanan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kota, seharusnya adalah diusahakan untuk memenuhi tiga buah prinsip yaitu: (a) keterjangkauan (affordability), penyediaan fasilitas pelayanan bagi masyarakat pada dasarnya harus dapat memenuhi kebutuhan
(recoverability)
dan
penyediaan
fasilitas
pelayanan
dapat
diimplementasikan di tempat lain yang membutuhkan (replicability) (Haggett, 2001). Menurut Bappenas (2005), pembangunan wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan, kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas. Semua faktor di atas adalah penting tetapi masih dianggap terpisah-pisah satu sama lain dan belum menyatu sebagai komponen yang membentuk basis untuk penyusunan konsep pembangunan wilayah (regional) secara komprehensif.
Universitas Sumatera Utara
Untuk melihat kinerja perekonomian suatu wilayah biasanya digunakan indikator-indikator makroekonomi, seperti peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan lapangan kerja dan pemerataan pendapatan (Tarigan, 2004). Dalam konteks analisis input-output regional dan tampilan struktur ekonomi daerah, maka beberapa pengertian yang dianggap layak untuk dibahas dalam rangka menganalisis kinerja perekonomian suatu daerah adalah : (1) pertumbuhan ekonomi daerah atau regional, (2) pendapatan daerah berupa produk domestik regional bruto (PDRB), dan (3) distribusi pendapatan. Berdasarkan
data
PDRB
Kabupaten
Simalungun
tahun
2005-2008
menunjukkan peningkatan, seperti pada Tabel 1.1. Tabel 1.1.
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Simalungun tahun 2005-2008 (dalam ribuan rupiah) Tahun 2005 2006 2007 2008
PDRB 7.574,08 8.180,74 9.036,06 9.869,30
Kabupaten
Peningkatan (%) 8,01 11,06 9,22
Sumber : PDRB Kabupaten Simalungun, 2009
Berdasarkan Tabel 1.1. diketahui bahwa tahun 2005-2006 terjadi peningkatan PDRB Kabupaten Simalungun sebesar 8,01%, selanjutnya tahun 2006-2007 peningkatan yang terjadi sebesar 11,06%, namun tahun 2007-2008 peningkatan PDRB lebih kecil dibandingkan periode tahun 2006-2007 yaitu 9,22%.
Universitas Sumatera Utara
Kecamatan Raya sebagai lokasi baru pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun mengalami perkembangan, hal ini dapat dilihat dari pertambahan beberapa kegiatan ekonomi utama, seperti perdagangan, transportasi dan jasa. Hal ini menunjukkan relevansi penggunaan teori pusat pelayanan (central place) dalam mengkaji pemindahan ibukota pemerintahan Kabupaten Simalungun dalam konteks pengembangan wilayah mengacu Instruksi Menteri Dalam Negeri
No. 31 1999
tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 70 tahun 1999 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Simalungun dari Wilayah Kota Pematangsiantar ke Kecamatan Raya disebutkan bahwa rencana umum tata ruang Kecamatan Raya sebagai ibukota Kabupaten Simalungun yang baru harus memperhatikan, memusatkan dan memadukan kegiatan-kegiatan pemerintahan dan kegiatan-kegiatan ekonomi. Sesuai dengan profil Kabupaten Simalungun tahun 2008, bahwa pemindahan pusat pemerintahan sekaligus ibukota Kabupaten Simalungun dari Kecamatan Siantar ke lokasi baru di Kecamatan Raya, berjarak 32 kilometer dari lokasi lama. dengan waktu tempuh 30-45 menit. Pemindahan pusat pemerintahan ini sekaligus menandakan Kabupaten Simalungun memiliki ibukota baru, yakni Kecamatan Raya. Selama ini, karena Kecamatan Siantar lokasinya berbatasan dengan Kota Pematangsiantar, letak ibukota Kabupaten Simalungun menjadi tak jelas. Pemindahan ini juga mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1999 tentang pemindahan ibukota daerah Kabupaten Simalungun dari wilayah daerah Kota Pematang Siantar ke Kecamatan Raya di wilayah daerah Kabupaten Simalungun.
Universitas Sumatera Utara
Penegasan Kecamatan Raya sebagai Ibukota Kabupaten Simalungun termaktub dalam pasal penjelasan PP No.70 Tahun 1999 yang dengan bunyi penegasan bahwa “Kecamatan Raya di wilayah Daerah Kabupaten Simalungun dipandang memenuhi syarat untuk menjadi Ibukota Daerah Kabupaten Simalungun yang baru”. Dengan ditetapkannya Kecamatan Raya menjadi lokasi Ibukota yang baru
diharapkan
secara
bertahap
mendorong
terwujudnya
keseimbangan
pembangunan antar wilayah di Daerah Kabupaten Simalungun. Orbitrasi dan lama tempuh yakni jarak dan waktu tempuh dari pusat Pemerintahan Desa (www.wikipedia.org) bahwa jarak dari kantor Kecamatan = 20 Km
ke pusat Pemerintahan, dengan waktu tempuh 0,5 jam, jarak dari Ibukota
Kabupaten = 45 Km ke pusat Pemerintahan, dengan waktu tempuh 1,5 jam dan jarak dari Ibukota Provinsi = 43 Km ke pusat Pemerintahan, dengan waktu tempuh 1,0 jam. Sejarah menunjukkan, sekalipun tempat yang dipilih sebagai pusat pemerintahan adalah hasil pertimbangan yang seksama, tetapi pusat pemerintahan ada kalanya dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Pemindahan pusat pemerintahan terjadi karena berbagai alasan atau pertimbangan, baik menyangkut kepentingan strategi maupun manyangkut masalah politik dan kepentingan sosial ekonomi. Sejak masyarakat mengenal bentuk pemerintahan, tempat pusat pemerintahan merupakan bagian penting yang berkaitan erat dengan jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, pemilihan lokasi pusat pemerintahan tidak sembarangan, melainkan hasil pertimbangan secara seksama. Hal itu berarti aspek fisik merupakan faktor utama
Universitas Sumatera Utara
yang dipertimbangkan dalam pemilihan tempat untuk ibukota kabupaten. Sejalan dengan perkembangan pemerintahan dan kehidupan masyarakat, pemilihan tempat untuk pusat pemerintahan, selain memperhatikan aspek fisik, termasuk letak strategis tempat, kondisi sosial ekonomi dan budaya pun menjadi faktor-faktor yang dipertimbangkan (Hardjasaputra, 2003). Berdasarkan keberadaan pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun yang baru di Kecamatan Raya perlu dilakukan kajian tentang dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap pengembangan wilayah dengan fokus kajian pada aspek pelayanan pemerintahan mengacu kepada teori pusat pelayanan (central place theory) menggunakan indikator: (a) keterjangkauan pelayanan (affordability), kecukupan pelayanan (recoverability) dan kesesuaian pelayanan (replicability) (Haggett, 2001). Sedangkan pengukuran dampaknya terhadap pengembangan wilayah menggunakan indikator kinerja perekonomian suatu daerah, yaitu: (a) peningkatan pendapatan masyarakat dan (b) peningkatan lapangan kerja (Tarigan, 2004). Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil beberapa permasalahan penelitian.
1.2. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap pengembangan wilayah (studi kasus Kecamatan Raya), dengan fokus kajian:
Universitas Sumatera Utara
a. Bagaimana dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun ditinjau dari aspek keterjangkauan pelayanan (affordability), aspek kecukupan pelayanan (recoverability), aspek kesesuaian pelayanan (replicability). b. Bagaimana dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap pendapatan masyarakat. c. Bagaimana dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap lapangan kerja.
1.3. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : a. Untuk
menganalisis
dampak
relokasi
pusat
pemerintahan
Kabupaten
Simalungun ditinjau dari aspek keterjangkauan pelayanan (affordability), aspek kecukupan pelayanan (recoverability), aspek kesesuaian pelayanan (replicability) terhadap pengembangan wilayah Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun. b. Untuk
menganalisis
dampak
relokasi
pusat
pemerintahan
Kabupaten
Simalungun terhadap pendapatan masyarakat. c. Untuk menganalisis dampak relokasi pusat pemerintahan Kabupaten Simalungun terhadap lapangan kerja.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan nantinya akan memberikan manfaat sebagai berikut : a. Bagi instansi terkait, hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan rujukan/informasi dalam meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam upaya pengembangan wilayah. b. Bagi masyarakat, sebagai bahan informasi dalam pemanfaatan pelayanan pemerintahan di Kabupaten Simalungun. c. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan acuan untuk melakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan pelayanan pemerintahan dan pengembangan wilayah.
Universitas Sumatera Utara