BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketertiban,
Indonesia membutuhkan aparat-aparat pemerintah yang mampu menjaga ketertiban umum baik dalam aras pusat, mau pun daerah. Untuk menjaga agar ketertiban negara tetap kondusif maka terbentuklah salah satu lembaga aparatur negara yang disebut Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP). Nama Pamong Praja sendiri telah dipakai sejak zaman penjajahan Belanda. Menurut Prajudi (2005:588) Korps Pamong Praja pada zaman kolonial terdiri atas Gubernur, Residen, Regent, Patih, Wedana, AIB, Mantripolitie. Korps Pamong Praja pada zaman itu merupakan pegawai Departemen Dalam Negeri yang ditugaskan di dalam organisasi pemerintah regional dan organisasi pemerintah lokal. Menurut Prajudi (2005:589,593) bahwa pada masa penjajahan Jepang nama Pamong Praja diubah menjadi Pangreh Praja dengan menghilangkan jabatan Gubernur, jabatan-jabantan Pangreh Praja diduduki oleh orang Jepang. Pamong Praja sendiri kemudian dijadikan sebagai aparatur pemerintah yang sah, memperoleh legalitas pada Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945. Atas dasar itu aparat pemerintahan umum masa jajahan
sepanjang perpaduan dengan semangat proklamasi, dinasionalkan dan hal ini dikuatkan dengan UU No.1 Tahun 1945 tentang pemerintahan daerah yang pertama. Kemudian untuk menjaga keutuhan Korps Pamong Praja dan menjaga disiplin dan semangat persatuan, maka ditetapkanlah hari Pamong Praja yaitu pada tanggal 7 Sepember. Keberadaan Polisi Pamong Praja dimulai pada era Kolonial sejak VOC menduduki Batavia di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Pieter Both, bahwa kebutuhan memelihara ketentraman dan ketertiban penduduk sangat diperlukan karena pada waktu itu kota Batavia sedang mendapat serangan secara sporadik baik dari penduduk lokal maupun tentara Inggris sehingga terjadi peningkatan terhadap gangguan ketentraman dan keamanan. Untuk menyikapi hal tersebut maka di bentuklah BAILLUW, semacam polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim yang bertugas menangani perselisihan hukum yang terjadi antara VOC dengan warga serta menjaga ketertiban dan ketentraman warga. Kemudian pada masa kepemimpinan Raafles, dikembangkanlah BAILLUW dengan dibentuk satuan lainnya Pemerintah di Tingkat Kawedaan yang bertugas menjaga ketertiban dan ketentraman serta keamanan warga. Menjelang akhir era Kolonial khususnya pada masa pendudukan Jepang Organisasi Polisi Pamong Praja mengalami perubahan besar dan dalam prakteknya menjadi tidak jelas, dimana secara struktural Satuan Kepolisian dan peran serta
fungsinya bercampur baur dengan Kemiliteran. Pada masa kemerdekaan tepatnya sesudah Proklamasi Kemerdekaan belum ada dasar hukum yang mendukung keberadaan Polisi Pamong Praja sampai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1948. Secara definitif Polisi Pamong Praja mengalami beberapa kali pergantian nama namun tugas dan fungsinya sama (WWW.PPLINMAS.Tanahbumbu.go.id). Adapun hakikat misi Korps Pamong Praja adalah melakukan usaha dan kegiatan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Usaha ini dilakukan melalui kebijakan berupa pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat. Kebijakan Pamong Praja dimaksud bersumber pada undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan perundangundangan lainnya (Prajudi, 2005:594 ). Pada masa Reformasi Satuan Polisi Pamong Praja merupakan bagian perangkat daerah dibidang penegakaan Perda, ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh seorang Kepala satuan yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat juga dilakukan oleh SATPOL PP di
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Dalam menjalankan tugas tersebut SATPOL PP Kabupaten TTS berpartisipasi dalam beberapa kegiatan seperti pengamanan rumah-rumah pejabat daerah, pengamanan kegiatan-kegiatan masyarakat, penertiban siswa-siswa yang keluar pada saat jam pelajaran, serta menjaga inventaris negara. Dari beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh SATPOL PP Kabupaten TTS, maka penelitian ini ingin melihat lebih lanjut tentang tugas SATPOL PP Kabupaten TTS dalam membantu pihak sekolah menertibkan siswa yang keluar pada jam pelajaran. Tugas tersebut mengacu pada Peraturan Daerah Kab.TTS No. 4 Tahun 2012 tentang sistem penyelenggaraan pendidikan (Satuan Polisi Pamong Praja Kab.TTS, 2010:3). Dalam kegiatan belajar mengajar di Sekolah Menegah Atas dan Sekolah Menengah Pertama di SoE-TTS, seringkali terjadi pelanggaran tata tertib sekolah. Salah satu pelanggaran yang dilakukan yaitu ada sebagian siswa berada di tempat-tempat hiburan dan tempat-tempat umum lainya pada saat jam sekolah berlangsung. Keberadaan siswa di tempat-tempat hiburan dan tempat umum lainnya seringkali menimbulkan permasalahn seperti perkelahian dan mabuk-mabukkan. Dengan melihat keadaan tersebut, maka pihak sekolah bekerja sama dengan pihak SATPOL PP untuk menertibkan siswa yang melanggar ketertiban sekolah. Tugas penertiban siswa yang melanggar ketertiban sekolah telah berlangsung
sejak tahun 2000, namun sampai saat ini masih terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh siswa pada saat jam sekolah (Satuan Polisi Pamong Praja Kab.TTS, 2010:4). Salah satu sekolah di Kab.TTS yang memiliki tingkat pelanggaran yang tinggi adalah SMP Kristen 1 SoE. SMP Kristen 1 SoE berada di Jalan Pipit Kelurahan Nunumeu Kecamatan Kota SoE Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sekolah ini didirikan pada 1 Agustus 1956 di bawah naungan Yayasan Usaha Pendidikan Kristen Gereja Masehi Injili di Timor (YUPENKRIS GMIT). Salah satu pendiri sekolah ini adalah Marthen Wohangara yang juga pernah menjabat sebagai kepala sekolah. Saat ini sekolah tersebut memiliki jumlah siswa sebanyak 402 orang dengan jumlah guru negeri 10 orang, guru kontrak 1 orang dan guru honor 9 orang. Salah satu dari 20 orang guru tersebut adalah guru Bimbingan dan Penyuluhan / Bimbingan Konseling (BP/BK) yang biasanya menangani kasus kenakalan di sekolah. Contoh pelanggaran yang sering dilakukan adalah bolos pada saat jam sekolah berlangsung. Para siswa yang bolos ada yang mengonsumsi minuman keras, berada di tempat-tempat umum dan pulang ke rumah. Hal tersebut juga meresahkan para guru sehingga mereka berinisiatif melakukan kerja sama dengan SATPOL PP untuk membantu menangani pelanggaran yang dilakukan oleh siswa. Berdasarkan data yang didapat dari SMP
Kristen 1, khususnya guru BP/BK tahun 2010-2011 terdapat 34 kasus yang di dapat yaitu mengonsumsi minuman keras 5 kasus, berada di tempattempat umum 11 kasus dan pulang ke rumah 18 kasus, tahun 2011-2012 terdapat 25 kasus, mengonsumsi minuman keras 3 kasus, berada di tempattempat umum 8 kasus dan pulang ke rumah 14 kasus sedangkan pada tahun 2012-2013 terdapat 16 kasus, mengonsumsi minuman keras 1 kasus, berada di tempat-tempat umum 6 kasus dan pulang ke rumah 9 kasus. Kasus bolos dan pulang ke rumah adalah kasus yang tidak ditangani oleh SATPOL PP tetapi secara khusus ditangani oleh sekolah karena hal tersebut adalah kewenangan sekolah. Dampak negatif dari pelanggaran yang sering dilakukan oleh para siswa sering kali merugikan diri mereka sendiri karena 1). Para siswa akan ketinggalan materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru pada saat itu, 2). Beberapa guru terpaksa mengurangi nilai siswa yang bolos lebih dari 3 kali, 3). Siswa tidak dapat mengikuti tes dadakan yang sering diadakan oleh guru. Dilihat dari kisaran umur Siswa SMP Kristen 1 SoE yaitu rata-rata 1215 tahun maka mereka termasuk dalam kategori usia remaja awal yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Mereka sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan sekitar karena kontrol diri yang masih lemah.
Dari hasil wawancara dengan guru BP/BK SMP Kristen 1 SoE mereka mengalami kesulitan dalam menangani pelanggaran yang dilakukan oleh para siswa, oleh sebab itu sekolah melakukan kerja sama dengan pihak SATPOL PP. Pihak SATPOL PP pun merespon dengan baik permintaan kerja sama dengan sekolah dengan menyadari bahwa apabila pelanggaran tersebut tidak ditangani dengan baik maka akan merugikan siswa itu sendiri dan juga sekolah. Berdasarkan permasalahan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas maka peneliti tertarik secara khusus untuk mengadakan sebuah penelitian dengan judul: PERAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL PP) DALAM MENGATASI KENAKALAN REMAJA DI SMP KRISTEN 1 SOE KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN TAHUN 2010-2013
1.2. Rumusan Masalah 1. Apa saja bentuk-bentuk kenakalan remaja yang terjadi di SMP Kristen 1 SoE Kab.TTS Tahun 2010-2013? 2. Bagaimana cara SATPOL PP dalam berperan mengatasi kenakalan remaja di SMP Kristen 1 SoE Kab.TTS Tahun 2010-2013? 3. Bagaimana bentuk kerja sama SMP Kristen 1 SoE dan SATPOL PP dalam perannya mengatasi kenakalan remaja di SMP Kristen 1 SoE Kab. TTS tahun 2010-2013?
4. Bagaimana hasil yang dicapai dari upaya yang dilakukan SATPOL PP dan SMP Kristen 1 SoE dalam mengatasi terjadinya kenakalan remaja di SMP Kristen 1 SoE Kab. TTS Tahun 2010-2013?
1.3. Tujuan Penelitian 1.
Mendeskripsikan bentuk-bentuk kenakalan remaja yang terjadi di SMP Kristen 1 SoE Kab. TTS Tahun 2010-2013.
2.
Mendeskripsikan cara SATPOL PP dalam perannya mengatasi kenakalan remaja di SMP Kristen 1 SoE Kab. TTS tahun 2010-2013.
3.
Mendeskripsikan bentuk kerja sama antara SMP Kristen 1 SoE dan SATPOL PP dalam perannya mengatasi kenakalan remaja di SMP Kristen 1 SoE Kab.TTS Tahun 2010-2013.
4.
Mendeskripsikan hasil yang dicapai dari upaya yang dilakukan SATPOL PP dan SMP Kristen 1 SoE dalam mengatasi terjadinya kenakalan remaja di SMP Kristen 1 SoE Kab. TTS Tahun 2010-2013.
1.4. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada: 1. Kepada SMP Kristen 1 SoE Memberikan kontribusi pemikiran bagi sekolah dalam peningkatan disiplin siswa.
2. Memberikan sumbangan pemikiran kepada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, khususnya dalam mata kuliah Otonomi Daerah dan mata kuliah Kriminologi dan Kenakalan Remaja.