BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan kegiatannya, membutuhkan dana investasi yang tidak sedikit setiap tahunnya yang akan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Dana yang diperlukan akan meningkat setiap tahunnya sesuai dengan perencanaan program pemerintah yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Banyak program yang dicanangkan oleh pemerintah demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu upaya yang ditempuh
pemerintah
adalah
melalui
pembangunan
nasional.
Untuk
merealisasikan program-program demi mencapai pembangunan nasional yang sukses, maka pemerintah memerlukan dana yang besar. Dana yang besar ini diperoleh dari beberapa sumber penerimaan negara. Salah satu penerimaan negara yang dapat diharapkan adalah melalui penerimaan dalam negeri. Penerimaan dari sektor migas memberikan kontribusi yang cukup besar bagi penerimaan negara. Namun, pemerintah tidak bisa hanya bergantung pada sektor ini. Seperti diketahui bersama bahwa persediaan migas dalam negeri mempunyai stok yang terbatas. Dengan kata lain, persediaan migas akan habis suatu waktu. Oleh karena itu, pemerintah mengandalkan sektor pajak sebagai tumpuan penerimaan negara. Sektor pajak merupakan sumber dana yang sangat potensial. Untuk mengembangkan sisi potensial yang dimiliki sektor ini, maka perhatian khusus harus diberikan kepada sistem perpajakan yang berlaku di negara ini.
Menurut Efendi (2006:28), dalam memandang sistem pajak, bisa dikaitkan dengan pandangan lain bahwa pajak dapat dilihat dalam konteks ekonomi-politik dalam artian pandangan yang mendasarkan diri pada pengamatan: 1. Perpajakan sebagai kebijaksanaan ekonomi dilihat dari sistem politik yang berlaku. 2. Perpajakan sebagai keputusan politik, dilihat dari kondisi perekonomian yang berlangsung. 3. Upaya sintesa dari pandangan 1 dan pandangan 2 dalam bentuk tinjauan dan proyeksi dari kemungkinan ekonomis dan politis dari implementasi Undang-Undang pajak. Sistem perpajakan yang efektif dan efisien akan semakin menguatkan posisi sektor pajak sebagai tumpuan penerimaan negara. Dari sektor pajak, tumpuan ada pada penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Tekad pemerintah untuk memperbaiki sistem perpajakan adalah diberlakukannya Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diubah dengan Undang-Undang No.16 tahun 2009, Undang-Undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No.36 tahun 2008, Undang-Undang No.8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn-BM) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang No. 42 tahun 2009.
Landasan hukum pelaksanaan pemungutan pajak terdapat dalam UUD 1945 pasal 23 ayat (2) yang berbunyi: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”. Berdasarkan Undang-Undang Dasar ini, wajib pajak diharuskan untuk memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak karena pajak digunakan untuk keperluan negara. Untuk merealisasikan hal ini, semua wajib pajak harus mendapat sosialisasi yang cukup mengenai UU Perpajakan. UU Perpajakan yang ada akan tidak berguna apabila tidak ada sosialisasi kepada wajib pajak. Hal ini menjadi begitu penting karena sejak tahun 1983 terjadi perombakan mendasar pada sistem perpajakan Indonesia. Peristiwa ini biasa dikenal dengan Tax Reform 1983. Menurut Salamun (1993:98), perubahan sistem perpajakan ini berpedoman pada beberapa pokok pikiran, antara lain: kesederhanaan, peniadaan pengedaan pajak berganda, pemerataan dalam pengenaan dan pembebanan, kepastian hukum, menutup peluang penggelapan pajak dan penyalahgunaan wewenang, serta mendorong kegiatan ekonomi bisnis. Salah satu perubahan sistem yang mendasar itu adalah digantikannya sistem official assessment menjadi self assessment. Dalam sistem ini, wajib pajak diberikan kepercayaan untuk melaksanakan sendiri kewajiban pajaknya, mulai dari menghitung sendiri penghasilannya, menghitung sendiri pajak yang terutang, membayar sendiri pajak yang terutang, dan melaporkan sendiri pemenuhan kewajiban pajaknya, sedangkan Dirjen Pajak (fiskus) tidak ikut campur dalam menghitung pajak yang terutang dan hanya memberikan informasi, pengamatan, dan koreksi terhadap wajib pajak. Oleh karena itu, wajib pajak perlu untuk mengetahui informasi yang lengkap mengenai tata cara pencatatan, penyetoran, dan pelaporan pajak.
Wajib pajak harus mempunyai pembukuan yang memadai dalam mencatatkan dan melaporkan besarnya pajak yang terutang. Disinilah akuntansi berperan. Jika dihubungkan dengan pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, akuntansi harus dapat menyajikan informasi yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban pembukuan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 28 ayat (1) yang berbunyi: “ Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan”. Informasi yang disajikan juga harus sesuai dengan keadaan sebenarnya. Hal ini juga diatur dalam UndangUndang No. 28 tahun 2007 pasal 28 ayat (3) yang berbunyi: “Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.” Pembukuan yang dimaksud adalah dengan adanya bukti pencatatan, bukti faktur pajak yang bagi pihak pembeli adalah bukti pajak masukan, dan bagi pihak penjual adalah bukti pajak keluaran. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang sudah dilakukan lebih dahulu oleh Feronika (2003) yang berjudul: “Tinjauan Perlakuan Akuntansi terhadap Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan dan Undang-Undang Perpajakan pada PT Coca Cola Bottling Indonesia cabang Makassar”. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terletak pada jenis usaha perusahaan dan peraturan yang berlaku. Penelitian ini memakai Undang-Undang terbaru tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Sebagai objek penelitian yaitu pada PT Telkom Makassar yang bergerak di bidang jasa telekomunikasi. Alasan penulis memilih PT Telkom Makassar sebagai objek penelitian karena PT Telkom merupakan perusahaan berskala besar dengan aktivitas operasional keuangan yang sangat padat pula. Dalam aktivitas yang sangat padat itu, perusahaan dituntut untuk mencatat seluruh transaksinya dengan benar agar tidak terjadi salah saji dalam pelaporan keuangannya. Dalam Undang-Undang No.42 Tahun 2009 pasal 1 ayat (14) yang merupakan perubahan ketiga atas Undang-Undang No.8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn-BM), yang dimaksud dengan Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Sedangkan pada ayat (15), dikatakan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini. Dari definisi tersebut, maka subjek pajak PPN menurut undang-undang di atas adalah Pengusaha Kena Pajak, maka dengan demikian perusahaan ini adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), karena melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Perusahaan
dalam
melakukan
penyerahan
Barang
Kena
Pajak
mengeluarkan faktur pajak, sebagai bukti terutangnya pajak. Faktur pajak yang dibuat perusahaan adalah atas seizin Direktur Jenderal Pajak dan sejalan dengan
Pasal 13 UU No. 42 Tahun 2009 yang merupakan perubahan ketiga atas UU No.8 Tahun 1983. Faktur pajak yang dibuat perusahaan dilakukan untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak, Jasa Kena Pajak, ekspor barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan ekspor Jasa Kena Pajak (sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU No.42 Tahun 2009). Faktur pajak harus dibuat pada saat penyerahan BKP/JKP, saat penerimaan pembayaran dalam hal sebelum terjadi penyerahan, saat penerimaan pembayaran termin, hal ini telah diatur pada pasal 13 ayat(1a) UU No.42 Tahun 2009. Namun pada ayat (2) dan (2a) dijelaskan Pengusaha Kena Pajak dapat membuat satu Faktur Pajak yang berisi seluruh penyerahan kepada pembeli Barang Kena Pajak selama satu bulan kalender, dan Faktur Pajak tersebut harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan. Faktur pajak dibuat saat pajak terutang. Menurut UU No. 42 Tahun 2009 pasal 11, saat dan tempat terutangnya pajak yaitu saat: (1) Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean,ekspor Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak. (2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. Namun dalam kenyataannya, pemungutan Pajak Pertambahan Nilai secara administratif dilakukan saat diterbitkan Faktur Pajak. Apabila ketentuan undang-undang ini diimplementasikan dengan baik, maka proses pencatatan akan terjadi sesuai dengan saat terutangnya pajak dan waktu terbitnya faktur pajak sebagai syarat pengakuan PPN terutang.
Sehubungan dengan uraian yang telah dijelaskan, maka penulis ingin mengetahui bagaimana implementasi ketentuan Standar Akuntansi Keuangan dan UU Perpajakan terhadap perlakuan akuntansi atas Pajak Pertambahan Nilai pada PT Telkom Makassar. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang ada, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah perlakuan akuntansi terhadap Pajak Pertambahan Nilai sudah sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan dan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku?”. 1.3 Batasan Masalah Dalam penulisan skripsi ini penulis akan membatasi masalah pada pencatatan transaksi mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dalam kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan, dan yang sejalan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1983, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang No. 42 Tahun 2009 serta peraturan lainnya dengan menggunakan bukti transaksi berupa faktur pajak. Dengan demikian dapat dilakukan analisa perbandingan berdasarkan bukti tersebut dengan menggunakan SAK dan UU PPN di atas, serta peraturan lainnya. 1.4 Tujuan Penulisan Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah mempelajari dan mengetahui bagaimana perlakuan pencatatan akuntansi atas PPN yang sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan dan Undang-Undang Perpajakan.
1.5 Manfaat Penulisan Adapun beberapa manfaat dari penulisan ini yaitu. 1. Sebagai sarana untuk menambah wawasan penulis mengenai Pajak Pertambahan Nilai, khususnya mengenai perlakuan pencatatannya. 2. Dapat digunakan sebagai bahan referensi yang bermanfaat untuk menambah
kepustakaan
yang
berkaitan
dengan
masalah
Pajak
Pertambahan Nilai. 3. Memberikan pandangan terhadap perusahaan yang bersangkutan mengenai akuntansi PPN yang dilakukan. 1.6 Sistematika Penulisan Untuk membenkan gambaran yang jelas tentang penulisan ini, maka di bawah ini diuraikan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan Bab ini merupakan bab pendahuluan, yang menguraikan tentang latar belakang masalah, pokok masalah, batasan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II: Landasan Teoritis Bab ini berisikan landasan teoritis yang dapat menunjang pembahasan dalam skripsi ini, mencakup konsep-konsep pendekatan teoritis mengenai pajak, akuntansi, Pajak Pertambahan Nilai, Standar Akuntansi Keuangan. Bab III: Metodologi Penelitian Merupakan bab yang membahas tentang metodologi penelitian, yang mencakup daerah penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.
Bab IV: Gambaran Umum Perusahaan Bab ini menguraikan tentang sejarah singkat PT Telkom Makassar yang menjadi objek penelitian, visi dan misi, struktur organisasi, dan kegiatan perusahaan. Bab V: Pembahasan Merupakan bab yang berisikan pembahasan atas pokok masalah dalam skripsi ini mengenai implementasi ketentuan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan undang-undang PPN yang berlaku terhadap perlakuan pencatatan akuntansi terhadap Pajak Pertambahan Nilai. Bab VI: Kesimpulan dan Saran Setelah menganalisis hasil pembahasan yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dalam bab ini penulis mencoba memberikan suatu kesimpulan
dan
menyumbangkan
beberapa
saran
sesuai
dengan
kemampuan dan tinjauan dan penulis sendiri pada perusahaan yang bersangkutan.