BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Dalam rangka menjamin kelangsungan pembiayaan pembangunan nasional,
pajak menjadi salah satu tumpuan sektor penerimaan Negara. Hal ini dapat dilihat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk anggaran tahun 2013 penerimaan dalam negeri 1.071,1 triliun. Penerimaan tahun lalu didominasi oleh pendapatan pajak dalam negeri yang mencapai 1.024,8 triliun sisanya berasal dari pendapatan pajak perdagangan internasional yang mencapai 46,3 triliun. Dari dalam negeri, penerimaan pajak didominasi oleh Pajak Penghasilan (PPh) non migas yang mencapai 413,9 triliun. Sumber pemasukan terbesar lainnya adalah Pajak Pertambahan Nilai yang mencapai 383,4 triliun. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2013 mematok target penerimaan negara sebesar Rp 1.148,4 triliun. Dengan realisasi sementara tersebut, penerimaan pajak sepanjang 2013 hanya mencapai 93,4% dari target. Penerimaan pajak sebagai persentase terhadap total penerimaan dalam negeri harus meningkat tiap tahun. Di lain pihak, bagi dunia usaha, pajak merupakan sumber pengeluaran (cash disbursement) tanpa diperoleh imbalan secara langsung. Dengan demikian, perusahaan harus dapat memanfaatkan penggunaan sumber daya yang dimiliki secara efektif dan efisien. Salah satu cara untuk melakukan tindakan efektivitas dan efisiensi adalah dengan
1
2
mengelola kewajiban perpajakan secara baik dan benar sehingga dapat menghindari adanya pemborosan sumber daya perusahaan sebagai akibat dari pengenaan sanksi administrasi pajak yang berupa denda, bunga, dan kenaikan pajak. Untuk menekan pemborosan pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, salah satu cara yang dapat dilakukan perusahaan adalah dengan “manajemen pajak”, yaitu upaya pemenuhan kewajiban, pengkoordinasian dan pengawasan mengenai perpajakan, sehingga beban yang harus ditanggung perusahaan dapat diminimalkan guna memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan, tanpa harus melanggar undang-undang yang berlaku. Upaya meminimalisasi pajak tersebut sering disebut dengan teknik “tax planning”, yaitu upaya pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap dan tepat waktu sehingga dapat menghindari pemborosan sumber daya secara optimal. Pertimbangan untuk berlaku jujur dan membayar pajak secara efisien yang mendorong Wajib Pajak menyusun perencanaan pajak pertambahan nilai (tax planning)
melalui
penghindaran
pajak
(tax
avoidance).
Berbeda
dengan
penyelundupan pajak (tax evasion) yang melanggar ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, penghindaran pajak itu sendiri merupakan perbuatan legal yang menggunakan loopholes dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai hal yang positif untuk efisiensi pembayaran pajak. Sesungguhnya antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak terdapat perbedaan yang fundamental, akan tetapi kemudian perbedaan tersebut menjadi kabur, baik secara teori maupun aplikasinya. Secara konseptual, justru dalam
3
menentukan perbedaan antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak, kesulitannya terletak pada penentuan perbedaannya, akan tetapi berdasarkan konsep perundang-undangan, garis pemisahnya adalah antara melanggar undang-undang (unlawfull) dan tidak melanggar undang-undang (lawfull). Para perencanaan pajak hendaknya bersikap lebih hati-hati agar perbuatan penghindaran pajaknya tidak dianggap sebagai berpartisipasi, membantu atau sekongkol dalam perbuatan yang dapat dianggap sebagai penyelundupan pajak (tindak pidana fiskal). Pengetahuan memadai bagi perusahaan merupakan langkah penting dalam perencanaan pajak karena berguna dalam menentukan celah-celah (loopholes) yang menguntungkan. Tindakan ini dimungkinkan, karena bagaimanapun lengkapnya suatu undang-undang belum tentu mampu mencakup semua aspek yang diinginkan. Selain itu, yang juga penting untuk diperhatikan dalam membuat suatu perencanaan pajak
adalah
penerapan
praktik-praktik
akuntansi
yang
sehat
dengan
menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum. Berdasarkan pola pemikiran diatas akan dibahas dalam skripsi “Analisis Penerapan Perencanaan Pajak (Tax Planning) untuk Efisiensi Pajak Penghasilan Badan pada CV F2 Berkarya”.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian diatas, permasalahan yang
diangkat untuk dibahas pada skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut “Apakah
4
penerapan tax planning untuk pajak penghasilan badan pada CV F2 Berkarya sudah efisien?”
1.3.
Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, dapat dikemukakan
bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan tax planning dapat mengefisienkan pajak penghasilan pada perusahaan yang diteliti.
1.4.
Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh sejumlah manfaat sebagai berikut: 1. Akademik Memperluas wawasan mengenai penerapan perencanaan pajak. 2. Perusahaan Sebagai bahan pertimbangan didalam menyikapi fenomena tax planning, khususnya didalam meminimalkan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan). 3. Masyarakat Umum Dapat memberikan gambaran dan masukan dalam melakukan penelitian dalam bidang permasalahan yang sama.
BAB II TELAAH PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Pajak Menurut beberapa ahli dalam buku Waluyo (2011 : 2), pengertian pajak adalah sebagai berikut: 1. Pengertian pajak menurut Mr. Dr. NJ. Feldmann dalam buku De Over Heidsmiddelen Van Indonesia (terjemahan): Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum; 2. Pengertian pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul “Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong” menyatakan: “Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. Dari definisi di atas tampak istilah “dipaksakan” karena bertitik tolak pada istilah “iuran wajib”. Sisi lainnya yang berhubungan dengan kontraprestasi menekankan pada mewujudkan kontraprestasi itu diperlukan pajak; 3. Prof. Dr. Rochmat. Soemitro, S. H. dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan (1990 : 5) menyatakan: “Pajak adalah iuran kepada kas negara
56
6
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa pajak adalah suatu iuran yang harus dibayar setiap warga negara yang bersifat memaksa karena telah diatur sedemikian rupa dalam Undang-Undang yang dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dan hasil pembayaran pajak yang Wajib Pajak lakukan tidak langsung terlihat hasilnya.
2.1.2. Undang-Undang Perpajakan Menurut Sumarsan (2013 : 10) dalam undang-undang pajak diatur mengenai hal-hal yang telah dipilih dalam kebijakan perpajakan yang menyangkut Subyek Pajak, Obyek Pajak, Tarif Pajak dan Prosedur Perpajakan yang dituangkan dalam dua jenis ketentuan hukum. 1.
Hukum Pajak Materiil Hukum yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan pajak.
2. Hukum Pajak Formal Hukum pajak yang dalam mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan. Yang memuat hukum pajak formal yaitu : a. Tata cara penetapan utang pajak.
7
b. Hak-hak fiskus untuk mengawasi Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang dapat menimbulkan hutang pajak. c. Kewajiban Wajib Pajak sebagai contoh penyelenggaraan pembukuan, pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan dan banding.
2.1.3. Fungsi Pajak Melihat dari beberapa definisi beberapa ahli, menurut Siti resmi (2011), yaitu: 1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan Negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas Negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak. 2. Fungsi Regulerend (Fungsi Pengatur) Pajak mempunyai fungsi mengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur adalah: a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif.
8
b. Tarif Pajak Progresif
dikenakan atas penghasilan agar pihak yang
memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, hal ini dilakukan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa Negara.
2.1.4. Jenis-Jenis Pajak Menurut Resmi (2008 : 7-9) berbagai macam jenis pajak yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1.
Jenis pajak menurut golongannya dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: a. Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh wajib pajak, tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Contoh: Pajak Penghasilan b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Beban pajak ini dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja. Contoh: pajak pertambahan nilai (PPN)
2.
Jenis pajak menurut sifatnya dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: a. Pajak subyektif adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan pada keadaan pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subyeknya. Contoh: pajak penghasilan (PPh) dengan memperhatikan
9
keadaan pribadi wajib pajak (status pernikahan, jumlah anak atau tanggungan lainnya), kemudian barulah menentukan besarnya penghasilan tidak kena pajak. b. Pajak obyektif adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan pada obyeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak tanpa memperhatikan keadaan pribadi subyek pajak (wajib pajak) maupun tempat tinggal. 3.
Jenis pajak menurut lembaga pemungutnya dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: a. Pajak Negara (Pajak Pusat) adalah pajak yang dipungut oleh pemerintahan pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) b. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I maupun tingkat II dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing. Contoh: Pajak Daerah Tingkat I (Propinsi) antara lain: Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Tanah, Pajak Izin Penangkapan Ikan di Wilayahnya. Sedangkan, Pajak Daerah tingkat II (Kabupaten/Kotamadya), antara lain: Pajak Pembangunan I, Pajak Penerangan Jalan, Pajak atas Reklame.
10
2.1.5. Sistem Pemungutan Pajak Menurut Sumarsan (2013 : 14), sistem pemungutan pajak dibagi atas 3 (tiga) macam yaitu : a. Official assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. b. Self assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. c. Withholding system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang pada pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak yang terutang.
2.1.6. Syarat-Syarat Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2011 : 2) syarat pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Syarat Keadilan Syarat berlandaskan tujuan hukum yaitu untuk mencapai keadilan serta untuk tujuan pemungutan yang adil.
11
b. Syarat Yuridis Syarat pemungutan pajak yang berdasarkan undang-undang dan merupakan jaminan hukum serta pembayaran pajak yang harus diimbangi dengan kemampuan membayar Wajib Pajak tersebut. c. Syarat Ekonomis Syarat pemungutan pajak harus seimbang antara kehidupan ekonomis dan tidak menganggu aktifitas kegiatan produksi maupun perdagangan. d. Syarat Finansial Syarat pemungutan pajak yang dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. e. Syarat Sederhana Syarat pemungutan pajak yang dalam sistem pemungutannya sederhana akan memudahkan
serta
mendorong
masyarakat
dalam
memenuhi
kewajiban
perpajakan.
2.1.7. Asas Pengenaan Pajak Menurut Sumarsan (2013 : 11), asas utama yang digunakan oleh negara sebagai landasan dalam mengenakan pajak adalah : 1. Asas Domisili Berdasarkan asas ini negara memungut pajak atas penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh orang pribadi apabila suatu wajib pajak atau badan berkedudukan di negara tersebut.
12
2. Asas Sumber Asas yang berdasarkan negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi atau badan. 3. Asas Kebangsaan Asas yang berdasarkan pengenaan pajak terhadap status kewarganegaraan dari orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan.
2.1.8. Pengertian Pajak Penghasilan Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) merupakan salah satu hasil pembaharuan perpajakan (tax reform), yakni melalui Undang-Undang Republik Indonesia No 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir menjadi Undangundang No 36 tahun 2008. Undang-undang Pajak Penghasilan ini hanya mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang bersifat materiil, sedangkan ketentuan-ketentuan yang bersifat formal diatur tersendiri dalam Undang-undang No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana diperbaharui menjadi Undang-Undang Republik Indonesia No 16 tahun 2009 yang berlaku sampai saat ini. Mengacu pada Undang-undang No 16 tahun 2009, dapat dikatakan bahwa pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan baik penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau perorangan maupun badan yang berada di dalam negeri dan atau di luar negeri yang terhutang selama tahun pajak.
13
Pajak penghasilan mengatur mengenai pajak atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak selama satu tahun pajak sehingga semua penghasilan yang diterima oleh perseorangan maupun badan selama satu tahun pajak akan dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Pajak Penghasilan. Jenis-jenis pajak penghasilan antara lain : a. Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri. b. Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan badan-badan impor atau kegiatan usaha dibidang lain. c. Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan pajak penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subyek dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. d. Pajak Penghasilan Pasal 24 merupakan pajak yang terutang atau dibayarkan di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang dapat
14
dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak Dalam Negeri. e. Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran pajak penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bukan dalam tahun pajak berjalan. Angsuran pajak penghasilan pasal 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tahun pajak penghasilan. f. Pajak Penghasilaan Pasal 26 merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atau dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
2.1.9. Subyek Pajak Penghasilan Dalam Undang-undang No 36 tahun 2008, pasal 2 disebutkan bahwa : 1. Yang menjadi subyek pajak adalah : a. 1. Orang pribadi; 2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak b. badan; dan c. bentuk usaha tetap. 1a. Bentuk usaha tetap merupakan subyek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subyek pajak badan
15
2. Subyek pajak dibedakan menjadi subyek pajak dalam negeri dan subyek pajak luar negeri 3. Subyek pajak dalam negeri adalah : a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; b. badan yang didirikan atau bertempatkedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria : 1. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 3. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan 4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 4. Subyek pajak luar negeri adalah : a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempatkedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
16
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempatkedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia 5. Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempatkedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: a. tempat kedudukan manajemen; b. cabang perusahaan; c. kantor perwakilan; d. gedung kantor; e. pabrik; f. bengkel; g. gudang; h. ruang untuk promosi dan penjualan; i. pertambangan dan penggalian sumber alam; j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
17
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; m. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas o. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempatkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia; dan p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. 6. Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
2.1.10. Obyek Pajak Penghasilan Mardiasmo (2009 : 133), menyebutkan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu “Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :
18
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan atau penghargaan; c. Laba usaha d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang g. Dividen h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak i. Sewa dan penghsilan lain sehubungan dengan penggunaan harta j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva n. Premi asuransi o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
19
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah r. Imbalan bunga s. Surplus Bank Indonesia
2.1.11. Tarif Pajak Penghasilan KetentuanUU PPh pasal 17 ayat (1), besarnya tarif pajak penghasilan yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia sebagai berikut: a. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri : Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000 (lima puluh 5% (lima persen) juta rupiah) Diatas Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) 15% (lima belas persen) sampai dengan Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) Diatas Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh 25% (dua puluh lima persen) juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) Diatas Rp 500.000.000 (lima ratus juta 30% (tiga puluh persen) rupiah)
20
b. Untuk Wajib Pajak Badan dalam negeri dan BUT Tarif pajak untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) sebesar 28% (dua puluh delapan persen). Tarif PPh tersebut menjadi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku tahun pajak 2010. Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan dibursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah dari pada tarif sebagaimana di maksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf a yang di atur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final. Wajib Pajak dalam negeri dengan peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun sampai dengan 50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan 4,8 miliar (Pasal 31 E UU PPh).
2.1.12. Penghasilan Kena Pajak Dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak terutang adalah Penghasilan Kena Pajak (PhKP) yang bersumber dari laporan keuangan Wajib Pajak (laporan laba rugi/Profit and loss statement). Penghasilan Kena Pajak dihasilkan dari
21
laba sebelum pajak dan penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan diperoleh dari koreksi fiskal atas laba sebelum pajak yang berasal dari laporan laba rugi wajib Pajak. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dalam mendapatkan Penghasilan Kena Pajak terlebih dahulu penghasilan neto setelah koreksi diperkurangkan lagi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
2.1.13. Penghasilan Tidak Kena Pajak Pengenaan Pajak Penghasilan di bebankan terhadap semua Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan. Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak Orang Pribadi dalam negeri, maka penghasilan nettonya dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober 2012, sebagai berikut : a. Rp. 24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi. b. Rp. 2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin. c. Rp. 24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya di gabung dengan penghasilan suami. d. Rp 2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan garis lurus
22
serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak tiga orang setiap keluarga.
2.1.14. Perhitungan Pajak Terutang Dalam menghitung Pajak Penghasilan yang terutang, dibedakan antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri. Bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri pada dasarnya untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak yaitu perhitungan Pajak Penghasilan dengan dasar pembukuan. Menurut ketentuan UU PPh pasal 14, Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brotonya di bawah Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta) diperkenankan menggunakan norma perhitungan penghasilan neto berdasarkan pencatatan. Orang pribadi yang berada di Indonesia untuk jangka waktu secara berturut-turut yang lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dianggap sebagai Wajib Pajak dalam negeri, dan wajib memenuhi kewajiban dan haknya selaku Wajib Pajak dalam negeri. Wajib Pajak yang meninggalkan Indonesia untuk jangka waktu yang tidak lebih dari 1 (satu) tahun, masih merupakan Wajib Pajak dalam negeri dan masih dikenakan pajak di Indonesia. Pejabat diplomatik dan Pegawai kedutaan Republik Indonesia, yang karena jabatannya berada di luar Indonesia, masih merupakan Wajib Pajak dalam negeri, sebab berdasarkan “asas eksteritorialitas”, mereka dianggap bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, dan wajib pula membayar pajak penghasilan apabila penghasilannya melebihi penghasilan tidak kena pajak. Sebaliknya, Wakil-wakil Diplomatik atau Konsuler Asing yang bertempat tinggal di Indonesia, bukan
23
merupakan Wajib Pajak dalam negeri, berdasarkan “asas eksteritorilitas” tersebut. Soemitro (1986 : 93-94) mendefinisikan “WajibPajak luar negeri merupakan subjek pajak luar negeri yang memperoleh atau menerima penghasilan yang berasal dari wilayah Republik Indonesia atau yang mempunyai kekayaan yang terletak di wilayah Republik Indonesia”. Wajib Pajak luar negeri hanya dikenakan pajak dari penghasilan yang diterima atau diperoleh atau berasal dari (sumber-sumber yang ada di) wilayah Republik Indonesia.
2.1.15. Manajemen Pajak Suandy (2008 : 6), mendefinisikan “Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan”. Suandy (2008 : 6), tujuan dari manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsifungsi manajemen pajak yang terdiri dari : 1. Perencanaan Pajak (Tax Planning) 2. Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan (Tax Implementation) 3. Pengendalian Pajak (Tax Control)
2.1.16. Pengertian Perencanaan Pajak Tax planning merupakan langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat
24
diseleksi jenis tindakan penghematan yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak. Perencanaan pajak adalah suatu usaha pengurangan beban pajak dengan tetap mematuhi ketentuan-ketentuan peraturan perpajakan, seperti memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perpajakan yang berlaku, usaha penghematan pajak berdasarkan the least and latest rule, yaitu wajib pajak selalu berusaha menekan pajak sekecil mungkin dan menunda pembayaran pajak selambat mungkin sebatas masih diperkenankan oleh peraturan perpajakan. Menekan pajak sekecil mungkin dilakukan dengan menahan penghasilanpenghasilan atau memperbesar biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan (declution) sehingga penghasilan atau laba kena pajak menurun, atau memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perpajakan. Usaha penundaan pembayaran pajak selambat mungkin dilakukan dengan memanfaatkan peraturan perpajakan yang ada, seperti ketentuan yang berkaitan dengan penyusutan. Penundaan pembayaran pajak selambat mungkin yang berkaitan dengan konsep time value for money. Dengan menunda pembayaran pajak sampai batas waktu yang diperbolehkan oleh undangundang dan peraturan perpajakan, perusahaan bisa mendapatkan penghematan aliran kas konsep time value for money.
2.1.17. Strategi dalam Perencanaan Pajak Strategi umum perencanaan pajak adalah sebagai berikut:
25
a. Tax Saving Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Misalnya, perusahaan dapat melakukan perubahan pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang. b. Tax Avoidance Tax avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak dengan menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak. Misalnya, perusahaan yang masih mengalami kerugian, perlu mengubah tunjangan karyawan dalam bentuk uang menjadi pemberian natura karena natura bukan merupakan objek pajak PPh Pasal 21. c. Menghindari Pelanggaran atas Peraturan Perpajakan Dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku, perusahaan dapat menghindari timbulnya - Sanksi
sanksi administrasi:
perpajakan denda,
bunga,
berupa: atau
kenaikan;
- Sanksi pidana: pidana atau kurungan. d. Menunda Pembayaran Kewajiban Pajak Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan yang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN. Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. Dalam hal ini, penjual dapat
26
menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan barang. e. Mengoptimalkan Kredit Pajak yang Diperkenankan Wajib Pajak sering kurang memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan yang merupakan pajak dibayar dimuka. Misalnya, PPh Pasal 22 atas impor, PPh Pasal 23 atas penghasilan jasa atau sewa, dll.
2.1.18. Manfaat Perencanaan Pajak Suandy (2008 : 8), manfaat perencanaan pajak pada prinsipnya adalah sebagai berikut : a. Mengatur alur kas, merupakan perencanaan yang dapat mengestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kasnya dengan lebih akurat. b. Penghematan kas keluar, adalah perencanaan pajak yang dapat menghemat pajak yang merupakan biaya bagi perusahaan.
2.1.19. Prinsip-Prinsip Menghemat Pajak Prinsip-prinsip untuk menghemat pajak : a. Memanfaatkan secara optimal ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku. b. Menyebar penghasilan kebeberapa tahun untuk menghindari pajak yang tinggi. c. Mengambil beberapa keuntungan dari pemilihan bentuk-bentuk tepat.
27
d. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha sehingga dapat diukur secara keseluruhan penggunaan tarif pajak dan potensi penghasilannya.
2.1.20. Motivasi Perencanaan Pajak Mengacu pada Suandy (2008 : 10), motivasi dilakukannya perencanaan pajak pada umumnya bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu: a. Kebijakan Perpajakan (Tax Policy), merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang menjadi tujuan dalam sistem perpajakan. Faktor-faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak, antara lain : 1. Jenis Pajak yang akan dipungut. 2. Subjek Pajak. 3. Objek Pajak. 4. Besarnya Tarif Pajak. 5. Prosedur pembayaran pajak. b. Undang-undang Perpajakan (Tax Law). Tidak ada undang-undang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Sering terjadi pertentangan antara ketentuan pelaksanaan tersebut dengan undang-undang itu sendiri karena adanya penyesuaian dengan kepentingan pembuat kebijakan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapainya. Akibatnya
28
terbuka celah (loopholes) bagi Wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat kesempatan tersebut untuk melakukan perencanaan pajak yang baik. c. Administrasi Perpajakan (Tax Administration). Indonesia sebagai negara yang sedang membangun masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan administrasi perpajakannya
secara
memadai.
Hal
ini
mendorong
perusahaan
untuk
melaksanakan perencanaan dengan baik untuk menghindari sanksi administrasi maupun pidana yang diakibatkan karena adanya perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dengan perusahaan selaku Wajib Pajak karena luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang belum efektif.
2.1.21. Aspek-aspek Perencanaan Pajak Aspek-aspek dalam perencanaan pajak terdiri dari : 1. Aspek formal dan administratif dalam perencanaan pajak, sebagai berikut: a. Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengakuan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) b. Menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan c. Pemotong dan memungut pajak d. Membayar pajak e. Menyampaikan surat pemberitahuan 2. Aspek Material Basis perhitungan pajak adalah objek pajak. Dalam rangka optimalisasi alokasi sumber dana, manajemen akan merencanakan pembayaran pajak yang tidak lebih
29
atau tidak kurang. Untuk itu maka objek pajak harus di tetapkan dengan benar dan lengkap.
2.1.22. Tahapan Perencanaan Pajak Yang perlu diperhatikan dalam tahap-tahap perencanaan pajak adalah sebagai berikut: a. Menganalisis informasi yang ada (analyzing the existing data base) b. Membuat satu atau lebih model kemungkinan jumlah pajak (designing one or more possible tax plans) c. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak (evaluating a tax plan) d. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak (debugging the tax plans) e. Memutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan)
2.1.23. Bentuk-Bentuk Perencanaan Pajak Suandy (2007 : 119) menyebutkan bentuk-bentuk perencanaan pajak yang terdiri atas : 1. Mengambil keuntungan dari berbagai pilihan bentuk badan hukum (legal entity) yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan jenis usaha. Bila dilihat dari perspektif perpajakan kadang pemilihan bentuk badan hukum (legal entities) bentuk perseorangan, firma dan kongsi (partnership) adalah bentuk yang lebih menguntungkan dibanding perseroan terbatas yang pemegang sahamnya
30
perorangan atau badan tetapi kurang 25%, akan mengakibatkan pajak atas penghasilan perseroan dikenakan dua kali yakni pada saat penghasilan diperoleh oleh pihak perseroan dan pada saat penghasilan dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham perseorangan atau badan yang kurang dari 25%. Sebagai contoh: pemilihan bentuk usaha perseorangan akan lebih menghemat pajak karena terhindar dari pengenaan pajak berganda seperti yang terjadi pada bentuk usaha perseroan terbatas. 2. Memilih lokasi perusahaan yang akan didirikan. Umumnya pemerintah memberikan semacam insentif pajak/fasilitas perpajakan khususnya untuk daerah tertentu (Misalnya di Indonesia bagian Timur), banyak pengurangan pajak penghasilan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 undang-undang No.17 Tahun 2000. disamping itu juga diberikan fasilitas seperti peyusutan dan amortisasi yang dipercepat, kompensasi kerugian yang lebih lama. Misalnya: perusahaan memperluas usahanya dengan mendirikan perusahaan baru didaerah terpencil di Indonesia bagian Timur. Oleh karena daerah tersebut memiliki potensi ekonomi yang layak dikembangkan namun sulit dijangkau, maka pemerintah memberikan beberapa keringanan dalam pajak seperti izin untuk mengurangkan natura dan kenikmatan (fringe benefit) dari penghasilan bruto seperti yang diatur dalam SE-29/Pj.4/1995 Tanggal 5 Juni 1995. 3. Mengambil keuntungan sebesar-besarnya atau semaksimal mungkin dari berbagai pengecualian, potongan atau pengurangan atas penghasilan kena pajak yang diperbolehkan oleh undang-undang. Sebagai contoh jika diketahui bahwa
31
penghasilan kena pajak (laba) perusahaan besar dan akan dikenakan tarif pajak tinggi/tertinggi, maka sebaiknya perusahaan membelanjakan sebagian laba perusahaan untuk hal-hal yang bermanfaat secara langsung untuk perusahaan, dengan catatan tentunya biaya yang dikeluarkan adalah biaya yang dapat dikurangkan (deductible) dalam menghitung penghasilan kena pajak. Sebagai contoh: biaya untuk riset dan pengembangan, biaya pendidikan dan latihan pegawai, biaya perbaikan kantor, biaya pemasaran dan masih banyak biaya lainnya yang dapat dimanfaatkan. 4. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha (corporate company) sehingga diatur mengenai penggunaan tarif pajak yang paling menguntungkan antara masing-masing badan usaha (business entity). Hal ini bisa dilakukan mengingat bahwa banyak negara termasuk Indonesia mengatur bahwa pembagian dividen antar corporate (inter corporate dividend) tidak dikenakan pajak. 5. Mendirikan perusahaan ada yang sebagai profit center dan ada yang hanya berfungsi sebagai cost center. Dari hal tersebut dapat diperoleh manfaat dengan cara menyebarkan penghasilan menjadi pendapatan dari beberapa wajib pajak didalam satu grup begitu juga terhadap biaya sehingga dapat diperoleh keuntungan atas
pergeseran
pajak
(tax
shifting)
yakni
menghindari
tarif
paling
tinggi/maksimum. 6. Memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk uang atau natura dan kenikmatan (fringe Benefit) dapat sebagai salah satu pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum (shif to lower bracket). Karena pada dasarnya pemberian
32
dalam bentuk natura dan kenikmatan (fringe benefit) dapat dikurangkan sebagai biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak bagi pegawai yang menerimanya. 7. Pemilihan metode penilaian persediaan. Ada dua metode penilaian yang dizinkan oleh peraturan perpajakan, yaitu metode rata-rata (average) dan metode masuk pertama keluar pertama (first in first out). Dalam kondisi perekonomian yang cenderung mengalami inflasi, metode rata-rata (average) akan menghasilkan harga pokok yang lebih tinggi dibanding dengan metode masuk pertama keluar pertama (first in first out). Harga pokok penjualan (HPP) yang lebih tinggi akan mengakibatkan laba kotor menjadi lebih kecil. 8. Untuk pendanaan aktiva tetap dapat mempertimbangkan sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) di samping pembelian langsung karena jangka waktu leasing umumnya lebih pendek dari umur aktiva dan pembayaran leasing dapat dibiayakan seluruhnya. Dengan demikian, aktiva tersebut dapat dibiayakan lebih cepat dibandingkan melalui penyusutan jika pembelian dilakukan secara langsung. 9. Melalui pemilihan metode penyusutan yang diperbolehkan peraturan perpajakan yang berlaku. Jika perusahaan mempunyai prediksi laba yang cukup besar maka dapat dipakai metode penyusutan yang dipercepat (saldo menurun) sehingga atas biaya penyusutan tersebut dapat mengurangi laba kena pajak dan sebaliknya jika diperkirakan pada awal tahun investasi belum bisa memberikan keuntungan atau timbul kerugian maka pilihannya adalah menggunakan metode penyusutan yang
33
memberikan biaya yang lebih kecil (garis lurus) supaya biaya penyusutan dapat ditunda untuk tahun berikutnya. 10.
Menghindari dari pengenaan pajak dengan cara mengarahkan pada transaksi
yang bukan objek pajak. Sebagai contoh: untuk jenis usaha yang PPh Badannya dikenakan pajak secara final, maka efesiensi PPh pasal 21 karyawan dapat dilakukan dengan cara memberikan semaksimal mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk natura, mengingat pembelian natura bukan merupakan objek pajak PPh Pasal 21. 11.
Mengoptimalkan kredit pajak yang di perkenankan, untuk ini wajib pajak
harus jeli untuk memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan. Sebagai contoh PPh Pasal 22 atas pembelian solar dari pertamina bersifat final jika pembeliannya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang penyaluran ”Migas”, tetapi bila pembeliannya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang pabrikan maka PPh pasal 22 tersebut dapat dikreditkan dengan PPh Badan. Perkreditan ini lebih menguntungkan ketimbang dibebankan sebagai biaya. Keuntungan yang dapat diperoleh sebesar 70% dari nilai pajak yang dikreditkan (dengan asumsi penghasilan kena pajak telah mencapai jumlah yang dikenakan tarif 30%). 12.
Penundaan pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan dengan cara
melakukan pembayaran pada saat mendekati tanggal jatuh tempo. Khusus untuk menunda pembayaran PPN dapat dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak sampai batas waktu yang diperkenankan khususnya atas penjualan kredit.
34
Perusahaan dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan penyerahan barang (Kep. Dirjen Pajak No: 13/PJ/2010). 13.
Menghindari pemeriksaan pajak, periksaan pajak oleh Direktorat jenderal
pajak dilakukan terhadap wajib pajak yang: a. SPT lebih bayar b. SPT rugi c. Tidak memasukkan SPT atau terlambat memasukkan SPT d. Terdapat informasi pelanggaran e. Memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen pajak f. Menghindari lebih bayar dapat dilakukan dengan cara: a) Mengajukan pengurangan pembayaran lumpsum (angsuran masa) PPh pasal 25 ke KKP yang bersangkutan, apabila diperkirakan dalam tahun pajak berjalan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak. b) Mengajukan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 impor apabila perusahaan melakukan impor. 14.
Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan yang berlaku.
Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan dengan cara menguasai peraturan perpajakan yang berlaku.
35
2.1.24. Langkah-Langkah dalam Perencanaan Pajak 2.1.24.1. Memaksimalkan Penghasilan yang Dikecualikan Dalam UU PPh pasal 4 ayat (3) mengatur mengenai penghasilan yang dikecualikan sebagai Objek Pajak. Selain penghasilan yang dikecualikan undang-undang, kita juga harus mengetahui apa saja yang termasuk pengahasilan dalam undang-undang agar kita dapat mengetahui dengan pasti dalam tax planning yang akan dilakukan.(Suandy, 2006 : 131) Lombantoruan (2005 : 2), langkah-angkah yang dapat dilakukan sebagai berikut : a. Mengubah Jenis Penghasilan Dengan memanfaatkan celah-celah dari Undang-Undang perpajakan yang berlaku, Penghasilan Kena Pajak diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya. Contoh : apabila menanamkan saham pada suatu perusahaan, sebaiknya menanamkan saham minimal 25% agar dividen yang nantinya dibagikan tidak terkena pajak. b. Merencanakan Penghasilan untuk Tahun Berikutnya Untuk meminimumkan pajak tahun bersangkutan, maka pernghasilan yang diperoleh pada bulan-bulan terakhir tahun yang bersangkutan direncanakan sebagi penghasilan tahun depan. Contoh : Laba tahun 2009 besar, dan perkiraan laba tahun 2010 akan menurun, maka sebagian penjualan untuk bulan Desember 2009 ditunda sampai bulan Januari 2010. c. Mengambil keuntungan sebesar-besarnya atau semaksimal mungkin dari berbagai pengecualian potongan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang
36
diperbolehkan oleh undang-undang. Jika diketahui bahwa PKP (laba) perusahaan besar akan dikenakan tarif pajak tinggi/tertinggi, maka sebaiknya perusahaan membelanjakan sebagian laba perusahaan untuk hal-hal yang bermanfaat secara langsung bagi perusahaan dengan syarat biaya yang dikeluarkan adalah biaya yang dapat dikurangkan dari PKP (deductible). Contoh : biaya untuk riset dan pengembangan, biaya pendidikan dan pelatihan, biaya perbaikan kantor, biaya pemasaran, investasi jangka pendek atau jangka panjang lainnya.
2.1.24.2. Memaksimalkan Biaya-Biaya Fiskal Suandy (2006 : 132), salah satu cara dalam meminimalkan pajak terutang yang dilakukan dalam tax planning adalah dengan memaksimalkan biaya fiskal. Biaya fiskal adalah biaya yang menurut Undang-Undang Perpajakan dapat dikurangkan dari penghasilan Bruto. Semakin besar biaya fiskal yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto menyebabkan semakin kecil laba bersih sebelum pajak dan otomatis akan mengurangi pajak terutang. Dalam tax planning selain memaksimalkan fiskal, hal lain yang harus diperhatikan adalah meminimalkan biaya yang menurut Undang-Undang perpajakan tidak dapat dikurangkan menyebabkan penghasilan sebelum pajak akan lebih besar dan hal itu menyebabkan pajak terutang juga lebih besar. Oleh karena itu, dalam melakukan tax planning kita harus mengetahui biaya diperkenankan sebagai pengurang dan yang tidak diperkenankan sebagai pengurang. Berdasarkan UU
37
PPh pasal 6, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk : a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain : a) Biaya pembelian bahan; b) Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; c) Bunga, sewa dan royalti; d) Biaya Perjalanan; e) Biaya pengolahan limbah; f) Premi asuransi; g) Biaya Promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan; h) Biaya administrasi; dan i) Pajak kecuali pajak penghasilan. b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun; c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
38
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e. Kerugian selisih kurs mata uang asing f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan; h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat; a) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; b) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan c) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; d) Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan;
39
i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional
yang
ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah; j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah; k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah; Pengeluaran yang tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, sesuaiUU PPh pasal 9 ayat (1) adalah : a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali : a) Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anak piutang; b) Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh badan penyelenggara jaminan sosial; c) Cadangan penjaminan untuk lembaga penjamin simpanan; d) Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
40
e) Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan f) Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengelolahan limbah, industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan; d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi. Kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; e. Penggantian atau imbalan sehibungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan didaerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan; f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan yang dilakukan; g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan; h. Pajak Penghasilan; i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
41
j. Gaji yang dibayar kepada anggota persekutuan , firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
2.1.24.3. Meminimalkan Tarif Pajak Adanya perubahan tarif pajak dari UU No. 17 Tahun 2000 menjadi UU No. 36 Tahun 2008, membantu kita menciptakan peluang untuk melakukan tax planning lewat perubahan tersebut. Perubahan tersebut adalah : a. Tarif PPh No. 36 Tahun 2008 a) WP Orang Pribadi :
0 – 50 juta
5%
50 – 250 juta
10%
250 – 500 juta
25%
>500 juta
30%
b) WP Badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28 % b. Tarif PPh Pasal 31 E Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan 50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan 4,8 miliar.
42
Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu: a) Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut: PPh terutang = 50% X 28% X seluruh Penghasilan Kena Pajak b) Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut: PPh Terutang =(50% X 28%) X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas + 28% X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas yaitu: (Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) X Penghasilan Kena Pajak Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas yaitu : Penghasilan Kena Pajak – Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas. Dengan
disempurnakannya
kelemahan-kelemahan
didalam
Undang-undang undang-undang
dan
Perpajakan,
berarti
peraturan-peraturan
perpajakan sudah dapat diatasi. Hal ini berarti bahwa beberapa “loopholes” dalam Undang-undang perpajakan sebagian besar telah diketahui. Tetapi harus diingat bahwa tidak ada satu pasal pun di dalam Undang-undang Perpajakan di
43
Indonesia yang berlaku,yang melarang Wajib Pajak melakukan manajemen pajak,
sehingga
usaha-usaha
mengelola
kewajiban
perpajakan
dalam
manajemen keuangan dengan tepat untuk tujuan meminimalkan jumlah pajak terutang merupakan tindakan sah dan legal.
2.1.25. Pemilihan Metode Akuntansi 1. Penyusutan Mulai tahun 1995, Wajib Pajak diperkenankan untuk memilih metode penyusutan fiskal untuk aktiva tetap berwujud bukan bangunan, yaitu metode penyusutan garis lurus (straight line) dan kedua, metode penyusutan saldo menurun (double declining). Dalam memilih metode penyusutan, kita harus mempertimbangkan keadaaan perusahaan. Jika perusahaan memperkirakan laba perusahaan yang cukup besar, maka sebaiknya perusahaan menggunakan metode penyusutan saldo menurun, sehingga menghasilkan biaya penyusutan yang besar yang dapat mengurangi laba kena pajak. Sebaliknya, jika diperkirakan awal tahun investasi belum bisa memberikan keuntungan, laba yang diperoleh kecil atau timbul kerugian, maka sebaiknya memilih metode penyusutan garis lurus karena menghasilkan biaya penyusutan yang lebih kecil. a) Penyusutan Berdasarkan Peraturan Perpajakan Sebagaimana telah diatur dalam UU PPh pasal 9 ayat (2), bahwa pengeluaran untuk mendapatkan manfaat, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun tidak boleh dibebankan
44
sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan. Hal ini sesuai dengan kelaziman dunia usaha dan selaras dengan prinsip penandingan antara pengeluaran dan penerimaan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan mempertahankan penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya sekaligus pada tahun pengeluarannya. Namun demikian, dalam perhitungan dan penerapan tarif penyusutan untuk keperluan pajak perlu diperhatikan dasar hukum penyusutan fiskal, karena dapat berbeda dengan penyusutan untuk akuntansi. Mulai tahun 1995 ketentuan fiskal mengharuskan penyusutan harta tetap dilakukan secara individual per aktiva, tidak lagi secara gabungan seperti yang berlaku sebelumnya kecuali untuk alat-alat kecil yang sejenis masih boleh menggunakan penyusutan secara golongan. Menurut UU PPh pasal 11, Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran,
kecuali
untuk
harta
yang masih
dalam
proses
pengerjaan,
penyusutannya dimulai bulan selesainya pengerjaan harta tersebut. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan. Dalam UU PPh pasal 11 ayat (6), semua aktiva tetap berwujud yang memenuhi syarat penyusutan fiskal harus dikelompokkan terlebih dahulu menjadi 2 golongan :
45
Tabel 2.1 Harta Berwujud
Kelompok Harta Berwujud
Masa Manfaat
I. Bukan Bangunan Kelompok 1 4 tahun Kelompok 2 8 tahun Kelompok 3 16 tahun Kelompok 4 20 tahun II. Bangunan Permanen 20 tahun Bangunan Tidak Permanen 10 tahun (Sumber : UU No. 36 Tahun 2008)
Tarif Penyusutan Metode Garis Metode Saldo Lurus Menurun 25% 12.5% 6.25% 5% 5% 10%
50% 25% 12.5% 10%
b) Penyusutan Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Aset tetap dan akuntansi penyusutan diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan di dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 16 Revisi 2007 tentang Aset Tetap. Aset tetap adalah aset berwujud yang : 1. Dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administrasi; dan 2. Diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode. “Penyusutan adalah setiap bagian dari aset yang memiliki biaya perolehan cukup signifikan terhadap total biaya perolehan seluruh aset harus disusutkan secara terpisah”. (Standar Akuntansi Keuangan, PSAK : 2007 : 16). Dalam PSAK penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang
46
diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Penyusutan dari suatu aset dihentikan lebih awal ketika : a. Aset tersebut diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual atau aset tersebut masuk dalam kelompok aset yang tidak dipergunakan lagi dan diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual; dan b. Aset tersebut dihentikan pengakuannya, yaitu : a) Dilepaskan; dan b) Tidak ada masa manfaat ekonomi masa depan yang diharapkan dari penggunaan atau pelepasannya. Oleh karena itu, penyusutan tidak berhenti pada saat aset tersebut tidak dipergunakan atau diberhentikan penggunaannya kecuali apabila telah habis disusutkan. Namun, apabila metode penyusutan yang dipergunakan adalah usage method (seperti unit of production method), maka beban penyusutan menjadi nol bila tidak ada produksinya (PSAK : 16, Revisi 2007).
2.1.26. Koreksi Fiskal Muljono (2009 : 59) mendefinisikan “Koreksi fiskal adalah perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya perbedaan pengakuan metode, masa manfaat, dan umur, dalam menghitung laba secara komersial dengan secara fiskal”. Perhitungan secara komersial adalah perhitungan yang diakui berdasarkan standar akuntansi yang lazim.
47
Muljono (2009 : 59) mendefinisikan “Laba secara fiskal adalah laba yang diperoleh Wajib Pajak ketika menghitung besarnya PPh terutang pada akhir tahun”. Apabila koreksi fiskal tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, perhitungan besarnya PPh terutang sangat memungkinkan akan mengalami kesalahan karena banyak ketentuan pengakuan atau cara perhitungan pada akuntansi komersial yang diperlakukan secara khusus pada ketentuan perpajakan. Laba secara komersial akan sama dengan laba secara fiskal hanya apabila semua unsur dalam perhitungan pajak telah dilakukan oleh WajibPajak berdasarkan ketentuan perpajakan. Bagi Wajib Pajak, hal ini sangat sulit dilakukan karena adanya perbedaan ketentuan antara Wajib Pajak dengan pembuat kebijakan pajak, yaitu pemerintah. Kepentingan Wajib Pajak dengan pemerintah yang berkaitan dengan pajak tidak akan sama, dan cenderung berkebalikan. Wajib pajak menghendaki pajak yang terutang atau dibayar sekecil mungkin, sedangkan pemerintah menghendaki pajak yang diterima sesuai dan cenderung sebesar mungkin. Dengan kondisi itu, pengakuan akuntansi dari transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajakmenjadi cenderung berlawanan dengan ketentuanperpajakan. Hampir semua perhitungan laba komersial yang dihasilkan oleh perusahaan, untuk mendapatkan laba sebelum pajak harus dilakukan koreksi fiskal, karena tidak semua ketentuan dalam Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) digunakan dalam peraturan perpajakan. Banyak pula ketentuan perpajakan yang tidak sama dengan Standar AKuntansi Keuangan (SAK).
48
Perbedaan antara SAK dengan Peraturan Perpajakan antara lain dalam hal penggunaan sistem maupun metode pengakuan biaya maupun penghasilan secara akuntansi komersial dengan akuntansi secara pajak, baik dalam rangka pengakuan pendapatan maupun biaya untuk untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak. Perbedaan yang akan terjadi dengan adanya pengakuan secara komersial dan secara fiskal adalah atas besarnya pajak terutang yang diakui dalam laporan laba-rugi komersial dengan pajak terutang menurut fiskus. Muljono (2009 : 61), koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan secara komersial dan secara fiskal. Perbedaan tersebut dapat berupa: a. Beda Tetap : terjadi apabila terdapat transaksi yang diakui oleh Wajib Pajak sebagai penghasilan atau sebagai biaya sesuai akuntansi secara komersial tetapi berdasarkan ketentuan perpajakan, transaksi dimaksud bukan merupakan penghasilan atau bukan merupakan biaya, atau sebagian merupakan penghasilan atau sebagian merupakan biaya. b. Beda Waktu : terjadi karena adanya perbedaan pengakuan besarnya waktu secara akuntansi komersial dibandingkan dengan secara fiskal. Dengan adanya koreksi fiskal maka besarnya Penghasilan Kena Pajak yang dijadikan dasar perhitungan secara komersial dan secara fiskal akan dapat berbeda. Perbedaan karena adanya koreksi fiskal dapat menimbulkan koreksi yang berupa : a. Koreksi Positif, adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya pengurangan biaya yang telah diakui dalam laporan laba rugi secara komersial menjadi semakin
49
kecil apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan adanya penambahan Penghasilan Kena Pajak. b. Koreksi Negatif, adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya penambahan biaya yang telah diakui dalam laporan laba-rugi secara komersial menjadi semakin besar apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan adanya pengurangan Penghasilan Kena Pajak. Berbeda dengan yang diungkapkan oleh Prastowo (2009 : 10), yang berpendapat bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan prinsip keadilan atau equality. Prinsip keadilan atau equality adalah: “ Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus seuai dengan kemampuan dan penghasilan Wajib Pajak. Dalam hal ini, negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap Wajib Pajak”.
2.2. Penelitian Terdahulu Saputra (2005) dalam penelitiannya yang berjudul : Analisis Perencanaan Pajak melalui Revaluasi Aktiva Tetap dan Penghitungan Besarnya Pajak Terhutang Wajib Pajak Badan, menemukan bahwa penerapan pajak melalui kebijakan revaluasi aktiva tetap memberikan penghematan pajak yang signifikan, dan penerapan revaluasi aktiva tetap akan menurunkan biaya penyusutan atas selisih revaluasi. Ismarita (2007) dalam penelitiannya : Pengaruh Penerapan Tax Planning Biaya Pegawai Terhadap Beban Pajak Terhutang Wajib Pajak Badan, menemukan bahwa tax planning untuk tunjangan pajak, biaya kesehatan dan keselamatan dan biaya
50
entertaint berpengaruh terhadap beban pajak badan sebesar 8,21%. Dengan perencanaan pajak, maka PPh yang terhutang menjadi lebih kecil sehingga perusahaan mempunyai lebih banyak dana unuk mengembangkan dana. Silvianti (2010) dalam penelitiannya : Tinjauan Atas Pelaksanaan Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Karyawan di PT. Dirgantara Indonesia (Persero), menemukan Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Karyawan yang dilakukan oleh PT. Dirgantara Indonesia dengan cara memberi tunjangan pajak kepada seluruh karyawan tidak tepat karena mengakibatkan penghasilan karyawan meningkat, sehingga biaya gaji juga meningkat dan mengakibatkan penurunan laba. Maka PT. Dirgantara indonesia melakukan alternatif yang lain yaitu perencanaan PPh pasal 21 dengan menggunakan metode Gross-up dan perhitungan ini tepat bagi perusahaan yang menanggung seluruh pajak penghasilan bagi karyawan. Langkah-langkah dalam perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas karyawan yang dilakukan oleh PT. Dirgantara Indonesia mengakibatkan penghematan pajak yang dilakukan kurang maksimal akibat perencanaan menggunakan pemberian tunjangan pajak bukan perencanaan yang tepat bagi perusahaan. Lindawati (2010) dalam penelitiannya yang berjudul : Penerapan Tax Planning dalam Meminimalkan Pajak Penghasilan pada PT. X Surabaya, menemukan bahwa bahwa perencanaan pajak dalam usaha meminimalisasi pajakterutang PT. X Surabaya dapat dilaksanakan dengan cara memaksimalkan biaya-biaya fiskal melalui penggantian kelompok aktiva perusahaan dan memberikan tunjangan-tunjangan pada karyawan.
51
Untuk lebih jelasnya, matriks keempat peneliti terdahulu diatas, dirangkum pada tabel berikut ini. Tabel 2.2. Mapping Matriks Penelitian Terdahulu No. 1.
Nama Peneliti Saputra (2005)
2.
Ismarita (2007)
3.
Silvianti (2010)
Judul Penelitian Analisis Perencanaan Pajak melalui Revaluasi Aktiva Tetap dan Penghitungan Besarnya Pajak Terhutang Wajib Pajak Badan Pengaruh Penerapan Tax Planning Biaya Pegawai Terhadap Beban Pajak Terhutang Wajib Pajak Badan
Variabel
Kesimpulan
Perencanaan Pajak, Revaluasi Tetap dan Pajak Terhutang WP Badan
Penerapan pajak melalui kebijakan revaluasi aktiva tetap memberikan penghematan pajak yang signifikan, dan penerapan revaluasi aktiva tetap akan menurunkan biaya penyusutan atas selisih revaluasi.
Penerapan Tax Planning dan Pajak Terhutang WP Badan
Tax planning untuk tunjangan pajak, biaya kesehatan dan keselamatan dan biaya entertain berpengaruh terhadap beban pajak badan sebesar 8.21%. Dengan perencanaan pajak, maka PPh yang terhutang menjadi lebih kecil sehingga perusahaan mempunyai lebih banyak dana untuk mengembangkan dana. Tinjauan Atas Perencanaan Perencanaan pajak penghasilan Pelaksanaan PPh Pasal pasal 21 atas karyawan yang Perencanaan 21 dilakukan oleh PT Dirgantara Pajak Indonesia dengan cara memberi Penghasilan tunjangan pajak kepada seluruh Pasal 21 Atas karyawan tidak tepat karena Karyawan di mengakibatkan penghasilan PT Dirgantara karyawan meningkat, sehingga Indonesia biaya gaji juga meningkat dan (Persero) mengakibatkan penurunan laba. Maka PT Dirgantara Indonesia
52
4.
Lindawati (2010)
Penerapan Tax Tax Planning Planning dalam dan PPh Meminimalkan Pajak Penghasilan pada PT. X Surabaya
melakukan alternative yang lain yaitu perencanaan PPh pasal 21 dengan menggunakan metode Gross-up dan perhitungan ini tepat bagi perusahaan yang menanggung seluruh pajak penghasilan bagi karyawan. Langkah-langkah dalam perencanaan pajak penghasilan pasal 21 atas karyawan yang dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia mengakibatkan penghematan pajak yang dilakukan kurang maksimal akibat perencanaan menggunakan pemberian tunjangan pajak bukan perencanaan yang tepa bagi perusahaan. Perencanaan pajak dalam usaha meminimalisasi pajak terutang PT. X Surabaya dapat dilaksanakan dengan cara memaksimalkan biaya-biaya fiskal melalui penggantian kelompok aktiva perusahaan dan memberikan tunjangantunjangan pada karyawan.
2.3. Kerangka Konseptual Perencanaan pajak adalah tindakan terstruktur atas kegiatan/transaksi yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya. Penekanannya pada pengendalian setiap transaksi yang mengandung konsekuensi pajak. Tujuan perencanaan pajak, dalam hal ini adalah mengefisienkan jumlah pajak terutang melalui penghindaran pajak (tax
53
avoidence) dan bukan penyelundupan pajak (tax evasion) yang merupakan tindak pidana fiskal dan tidak dapat ditoleransi. Menurut Undang – Undang Pajak Penghasilan No. 36 tahun 2008, besarnya pajak penghasilan sama dengan penghasilan kena pajak (taxable income) dikalikan dengan tarif pajak. Semakin besar laba kena pajak, maka semaki besar pula pajak yang harus ditanggung, juga semakin tinggi tarif pajak pajak yang harus dibayar wajib pajak tersebut. Walaupun pada hakikatnya penghindaran pajak adalah perbuatan yang sifatnya mengurangi utang pajak dan bukan mengurangi kesanggupan wajib pajak melunasi pajak-pajaknya, yang seolah-olah berada diluar skop tindak pidana fiskal, akan tetapi karena perbuatan yang mengurangi kesanggupan/kewajiban perpajakan merupakan hal – hal yang kurang pasti, maka hendaknya diusahakan agar tidak terperangkap kedalam perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan penyelundupan pajak. Bersamaan dengan itu, wajib pajak memperoleh kesempatan yang luas untuk melakukan penyelundupan pajak, baik secara uniteral dengan cara memberikan informasi yang palsu atau menunda pembayaran, maupun kesempatan lain untuk melakukan penyelundupan pajak secara bilateral dengan cara menyuap petugas penetapan, pemeriksa dan penagih pajak dari jajaran instansi pajak. Sebagai konsekuensinya, apabila terdapat pengurangan pembayaran PPh, maka tidak akan terjadi penurunan dalam jumlah biaya fiskal yang dapat dkurangkan. Oleh karena itu, juga tidak akan menimbulkan kenaikan Penghasilan Kena Pajak. Pengurangan pembayaran PPh tersebut, yang juga merupakan jumlah pajak yang
54
dapat dihemat, hanya akan meningkatkan laba setelah pajak. Berbeda dengan aktivitas mencari laba/menambah aktivitas penghasilan dengan perencanaan pajak yang memberikan keuntungan yang sama sekali tidak termasuk dalam ruang lingkup pengenaan PPh. Sesuai dengan Pasal 1 angka (9) Undang – Undang No. 36 tahun 2008, pajak terhutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak atau bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Penghitungan pajak terhutang wajib pajak badan adalah: 1) Menentukan laba bruto yang diperoleh perusahaan dalam satu tahun pajak 2) Menentukan laba bruto dengan biaya – biaya yang menurut Pertauran Perpajakan dapat dikurangkan. 3) Mengkoreksi
kemungkinan
pembebanan
biaya
yang
bersifat
menambah/mengurangi penghasilan kotor. 4) Hasil pengurangan biaya – biaya tersebut mempunyai laba netto sebelum pajak, atau disebut juga dengan laba kena pajak atau Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP ini mempunyai dasar penghitungan besarnya pajak terhutang. Untuk
mencapai
tujuan
tersebut,
perencaan
pajak dapat
melakukan
penghindaran pajak (tax avoidance) dengan mempertimbangkan aspek – aspek perencanaan pajak sebagai langkah peningkatan kepatuhan dan efisiensi pajak, yang meliputi:
proyeksi
perpajakan,
kebijakan
akuntansi,
bentuk
usaha,
55
pengawasan/pemeriksaan perpajakan, dan aspek ketentuan peraturan perpajakan lainnya. Untuk lebih jelasnya, narasi alur berpikir diatas diilustrasikan melalui gambar diagram kerangka konsep berikut ini. Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No 36 tahun 2008
Pajak Terhutang
Tax Planning
Efisiensi Pajak Penghasilan Badan
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan studi kasus. Sugiono (2010 : 19), mendefinisikan “Penelitian deskriptif adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas”. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian deskriptif digunakan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui perhitungan yang tepat bagi perusahaan dalam melakukan perencanaan pajak dengan cara mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan data yang berwujud angka-angka. Pendekatan studi kasus digunakan untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat dan karakter yang khas dari suatu lembaga atau organisasi.
3.2. Deskripsi Populasi dan Penentuan Sampel Kata populasi (population/universe) dalam statistika merujuk pada sekumpulan individu dengan karakteristik khas yang menjadi perhatian dalam suatu penelitian (pengamatan). Populasi dalam statistika tidak terbatas pada sekelompok orang, tetapi
56
57
juga binatang atau apa saja yang menjadi perhatian kita. Misalnya populasi bank swasta di Indonesia, tanaman, rumah, alat-alat perkantoran, dan jenis pekerjaan. Menurut Sugiyono (2011 : 119), populasi dapat didefinisikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.Populasi merupakan kumpulan individu atau objek penelitian yang memiliki kualitas serta ciri-ciri yang telah ditetapkan. Penelitian ini menggunakan laporan keuangan CVF2 Berkarya dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 sebagai populasi penelitiannya. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah laporan laba rugi CV F2 Berkarya tahun 2013.
3.3. Variabel dan Definisi Operasional Variabel Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel dependen (variabel terikat) dan variabel independen (variabel bebas). 1. Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain, yaitu variabel independen. Dalam penelitian ini, variabel dependennya adalah Pajak Penghasilan Badan. 2. Variabel
independen
merupakan
variabel
penjelas
atau
variabel
yang
mempengaruhi variabel dependen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah perencanaan pajak.
58
3.3.1. Definisi Variabel Definisi variabel berisi definisi dari variabel dependen dan variabel independen yang dijadikan indikator dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
3.3.1.1. Pajak Penghasilan Badan Pajak Penghasilan Badan adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas laba perusahaan/badan. Pajak penghasilan terdiri dari unsur penghasilan dan biaya fiskal yang penentuan penghasilan dan biaya berbeda antara akuntansi dengan perpajakan.
3.3.1.2. Perencanaan Pajak Perencanaan Pajak adalah suatu proses organisasi usaha wajib pajak sedemikian rupa, sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak lainnya berada dalam posisi paling efisien sepanjang hal itu dimungkinkan baik oleh peraturan perundang-undangan perpajakan maupun secara komersil.
3.4. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian 3.4.1. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan peneliti dalam pengumpulan data yaitu:
59
1.
Observasi, yaitu peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap obyek yang diteliti agar mendapat data yang diperlukan.
2.
Dokumentasi, yaitu mengumpulkan data berupa dokumen dan catatan perusahaan yang diperlukan dalam penelitian ini.
3.4.2. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian merupakan alat bantu dalam melakukan penelitian yaitu untuk mengumpulkan data secara terencana. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan instrumen penelitian disesuaikan dengan teknik pengumpulan data. Untuk lebih memperlancarnya, penulis terlebih dahulu membuat daftar kebutuhan data yang diperlukan untuk tujuan penulisan. Dalam melakukan observasi, yang dibutuhkan adalah penulis sendiri berdasar daftar kebutuhan data. Untuk pengumpulan data dokumentasi menggunakan alat tulis manual maupun elektronik.
3.5. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif. Adapun tahapan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini akan dijelaskan dalam gambar sebagai berikut :
60
Mengumpulkan data-data perusahaan yang dipergunakan dalam melakukan tax planning
Melihat sumber-sumber penghasilan serta mendefinisikan jenis biaya-biaya
Melakukan tax planning
Gambar 3.1. Teknik Analisis Data
BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
4.1. Penyajian Data 4.1.1. Sejarah Singkat CV F2 Berkarya CV F2 Berkarya adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pengadaan alat tulis kantor yang didirikan dengan Akta No 03 Januari 2009 dari Notaris Indriani Yasmin, SH., Notaris di Sidoarjo. CV F2 Berkarya berlokasi di Jl. Tambak Mayor Baru V/243 Surabaya dengan no NPWP 31.451.751.7-614.000. CV F2 Berkarya mensuplai alat tulis kantor seperti HVS, Continouos Form, amplop, dll sampai dengan alat elektronik berupa mesin fax, mesin fotocopi, komputer, dll ke perusahaan negeri maupun swasta yang ada di Surabaya.
4.1.2. Visi dab Misi CV F2 Berkarya Adapun visi dan misi CV F2 Berkarya adalah sebagai berikut: Visi: CV F2 Berkarya bertekad memenuhi kebutuhan pelanggan. Misi: Memberikan produk yang berkualitas serta didukung oleh sumber daya manusia yang handal sehingga memberikan manfaat bagi agama, bangsa, dan masyarakat.
61
62
4.1.3. Struktur Organisasi Perusahaan
Dalam organisasi dengan segala aktivitas, terdapat hubungan antara orangorang yang menjalankan aktivitasnya. Makin banyak kegiatan yang dilakukan dalam organisasi, makin kompleks pula hubungan-hubungan dalam organisasi tersebut. Struktur organisasi yang baik merupakan salah satu syarat keberhasilan untuk menangani kegiatan usaha dalam rangka pencapaian sasaran perusahaan. Tetapi struktur organisasi yang tepat bagi suatu perusahaan yang bersangkutan haruslah menguntungkan jika ditinjau dari segi ekonomi dan bersifat fleksibel sehingga bila ada perluasan keadaan, tidak akan mengganggu susunan yang telah ada. Struktur organisasi dimaksudkan sebagai alat ukur control bahkan diharapkan struktur organisasi dapat membawa persatuan dan dinamika suatu perusahaan, atau dapat dikatakan bahwa struktur organisasi inilah yang mempersatukan fungsi-fungsi yang ada dalam lingkungan tersebut. Adapun pembagian tugas masing-masing fungsi dalam struktur organisasi perusahaan adalah sebagai berikut: 1. Direktur 2. Wakil Direktur 3. Bag. Keuangan 4. Bag. Administrasi 5. Bag. Pemasaran
63
Gambar 4.1 Struktur Organisasi CV F2 Berkarya Direktur
Wakil Direktur
Bag. Keuangan
Bag. Administrasi
Bag. Pemasaran
Sumber : CV F2 Berkarya
4.2. Analisis Data 4.2.1. Implementasi Perencanaan Pajak dalam Perusahaan 4.2.1.1. Kebijakan-kebijakan Akuntansi yang Diterapkan Perusahaan Dalam Perhitungan PPh Terhutang Kebijakan akuntansi perusahaan dalam menjalankan usahanya antara lain: a. Dasar pembukuan yang dilakukan oleh perusahaan adalah cash basis b. Sistem penilaian persediaan dengan menggunakan metode FIFO c. Sistem pencatatan persediaan dilakukan dengan pencatatan perpetual. d. Penyusutan aktiva tetap menggunakan metode garis lurus.
64
4.2.1.2. Memaksimalkan Penghasilan yang Dikecualikan Dari data yang diperoleh dari perusahaan, sumber penghasilan perusahaan CV F2 Berkarya adalah penjualan alat tulis kantor dan alat elektronik kantor. Dalam pelaksanaan tax planning perusahaan dapat memaksimalkan penghasilan yang dikecualikan dan dikenakan PPh final. Berdasarkan sumber penghasilan yang ada dalam perusahaan yang dapt dijadikan alternative bagi perusahaan untuk memperkecil PKP (Penghasilan Kena Pajak) adalah penghasilan bunga/jasa giro, karena penghasilan bunga dikenai pajak final.
4.2.1.3. Memaksimalkan Biaya Fiskal dan Meminimalkan Biaya yang Tidak Diperkenankan sebagai Pengurang a. Biaya Makan/Minum Perusahaan tidak memberikan uang makan siang ataupun tunjangan beras kepada karyawan, tetapi perusahaan memberikan makan dan minum bersama bagi karyawan. b. Tunjangan Asuransi Keputusan perusahaan untuk membayar premi asuransi karyawannya sesuai aturan dari pemerintah mengenai premi asuransi Jamsostek yang mewajibkan pemberi kerja menanggung premi asuransi karyawan. c. Biaya Perbaikan dan Penyusutan Kendaraan Perusahaan menyediakan kendaraan dinas yang disediakan untuk bagian pemasaran. Biaya perbaikan/pemeliharaan/penyusutan kendaraan yang
65
dipakai oleh bagian pemasaran, tidak dapat dikurangkan seluruhnya sebagai biaya perawatan dan penyusutan kendaraan dalam laopran laba rugi perusahaan.
4.2.2. Strategi Perencanaan Pajak (Tax Planning) untuk Penghematan Jumlah Pajak Penghasilan yang Dilakukan oleh CV F2 Berkarya dengan UndangUndang yang Berlaku 4.2.2.1. Memaksimalkan Biaya Fiskal dan Meminimalkan Biaya yang Tidak Diperkenankan sebagai Pengurang a. Biaya Makan/minum Perusahaan tidak memberikan uang makan siang ataupun tunjangan beras kepada karyawan, tetapi perusahaan memberikan makan dan minum bersama bagi karyawan. Pemberian makan bersama bagi karyawan bukan merupakan Objek Pajak PPh pasal 21 karena makan bersama merupakan pemberian dalam bentuk natura. Dengan demikian dari sisi karyawan pemberian makan ini tidak akan menambah PPh pasal 21 terutang. Disisi perusahaan berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf e UU PPh No. 36 Tahun 2008, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan tidak dapat dibebankan sebagai biaya, kecuali penyediaan makanan dan miniman bagi seluruh pegawai. Artinya pemberian makan dan minum bersama walaupun bentuk natura, dapat
66
dibiayakan oleh perusahaan (deductible expenses). Dengan demikian di sisi perusahaan akan mengurangi PPh Badan yang terutang. Apabila dibandingkan perlakuan pajak dalam hal pembiayaan pemberian makan bersama dengan pemberian tunjangan makan berupa uang kehadiran, maka akan lebih menguntungkan karyawan dan perusahaan apabila memilih kebijakan pemberian makan bersama karena dengan memberikan makan bersama bukan merupakan penghasilan bagi karyawan. Sedangkan apabila diberikan berupa tunjangan makan , maka tunjangan makan tersebut menjadi Penghasilan Kena Pajak bagi karyawan. Oleh karena itu, keputusan perusahaan untuk memberikan makan dan minum bersama karyawan sudah baik. b. Tunjangan Asuransi Untuk premi yang ditanggung perusahaan, menurut UU PPh No.36 Tahun 2008 pasal 6 ayat (1) huruf a, pembayaran tersebut boleh dibebankan dalam Penghasilan Kena pajak perusahaan dan bagi karyawan yang bersangkutan, menurut Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 57/PJ/2009 tentang Objek Pajak PPh pasal 21, adalah penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Premi yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, menurut Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 57/PJ/2009 tentang pengurangan yang diperbolehkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak PPh pasal 21 dihitung sebagai pengurang penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
67
Keputusan perusahaan untuk membayar premi asuransi karyawannya sesuai aturan dari pemerintah mengenai premi asuransi Jamsostek yang mewajibkan pemberi kerja menanggung premi asuransi karyawan. c. Biaya Perbaikan dan Penyusutan Kendaraan Perusahaan menyediakan kendaraan dinas yang disediakan direktur pemasaran. Biaya perbaikan/pemeliharaan/penyusutan kendaraan yang dipakai oleh direktur, tidak dapat dikurangkan seluruhnya sebagai biaya perawatan dan penyusutan kendaraan dalam laporan laba rugi perusahaan. Jumlah biaya yang dapat dibiayakan hanya 50% karena sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 220/PJ/2002 pasal 3 ayat (2), biaya pemeliharaan dan perbaikan kendaraan yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan dalam tahun pajak yang bersangkutan. Perusahaan dapat membiayakan seluruhnya apabila kendaraan kantor tidak diberikan sebagai fasilitas bagi direktur, melainkan digunakan sepenuhnya hanya untuk keperluan perusahaan saja. Hal ini juga menghindari penggunaan kendaraan kantor untuk keperluan pribadi karyawan, misalnya supir perusahaan. Sehingga dengan demikian tidak perlu ada koreksi fiskal untuk biaya pemeliharaan, karena jika perusahaan tidak memberikan mobil dinas kepada
68
karyawan maka seluruh biaya pemeliharaan ditanggung oleh perusahaan dana akan menjadi biaya yang akan mengurangi Penghasilan Kena Pajak bagi perusahaan.
4.2.2.2.Metode Penyusutan Ada dua jenis metode penyusutan yang diberlakukan dalam UU Perpajakan, yaitu metode garis lurus (straight line) dan metode saldo menurun (double declining). Dan perusahaan pada saat ini menggunakan metode penyusutan
garis
lurus.
Sebaiknya
perusahaan
menggunakan
metode
penyusutan yang diperbolehkan menurut Peraturan Perpajakan. Hal ini membantu dalam penyusunan laporan laba rugi fiskal karena tidak perlu melakukan koreksi terhadap biaya penyusutan. Akan tetapi, kedua metode tersebut sebenarnya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang tentu saja pilihan masing-masing Wajib Pajak dapat berbeda mengingat adanya perbedaan kepentingan. Apabila yang menjadi dasar perbandingan adalah faktor komersial, kedua metode ini akan berbeda kalau dinilai secara future value. Mana yang dipilih dari kedua metode penyusutan tersebut, antara kebijakan fiskal dan kebijakan perusahaan dapat bertentangan. Di satu pihak diinginkan laba tinggi tetapi dipihak lain dengan adanya laba tinggi itu maka PPh juga menjadi tinggi. Di akhir penyusutan diketahui bahwa future value dari biaya penyusutan menggunakan metode garis lurus lebih rendah dibanding salado menurun,
69
dalam arti metode garis lurus menghasilkan laba yang lebih tinggi dibanding metode saldo menurun serta akan menghasilkan PPh terutang yang lebih tinggi pula. Jadi, apabila dinilai secara future value, penggunaan saldo menurun akan lebih menghemat PPh terhutang.
4.2.2.3.Perbandingan Laba Rugi Fiskal Sebelum dan Setelah Tax Planning Berikut adalah perbandingan laporan laba rugi fiskal sebelum tax planning dan setelah tax planning. Tabel 4.1 CV F2 BERKARYA Laporan Laba Rugi Periode 1 Januari – 31 Desember 2013 (dalam rupiah) Laba Rugi Fiskal
Laba Rugi Fiskal
(sebelum tax planning)
(setelah tax planning)
Penjualan
2.207.491.420,00
2.207.491.420,00
Biaya Pokok Penjualan
1.661.278.968,00
1.661.278.968,00
546.212.452,00
546.212.452,00
280.848.000,00
280.848.000,00
B. Listrik
6.280.932,00
6.280.932,00
B. Telepon dan Fax
2.922.144,00
2.922.144,00
B. Handphone
2.400.000,00
2.400.000,00
B. Air
877.500,00
877.500,00
B. PBB
735.125,00
735.125,00
B. Perlengkapan ATK
756.000,00
756.000,00
Laba Bruto Beban Operasional B. Gaji dan Tunjangan
70
B. Pos, dan Meterai
1.411.000,00
1.411.000,00
B. Pemeliharaan Kendaraan
8.580.000,00
8.580.000,00
255.000,00
255.000,00
6.250.000,00
6.250.000,00
(311.315.710,00)
(311.315.710,00)
8.098.479,60
8.098.479,60
Pendapatan Lain-lain
127.000,00
127.000,00
Piutang Tak Tertagih
0,00
0,00
(307.552,68)
(307.552,68)
(96.000,00)
(96.000,00)
7.821.926,92
7.821.926,92
242.718.677,92
242.718.677,92
5.600.000,00
5.600.000,00
0,00
0,00
Makan Siang Karyawan
6.048.000,00
6.048.000,00
Beban Handphone (50%)
2.400.000,00
1.200.000,00
Pemeliharaan Kendaraan
8.580.000,00
0,00
Jasa Giro
8.098.479,60
8.098.479,60
Laba Fiskal Sebelum Pajak
273.445.157,52
263.665.157,52
Pembualatan Laba Fiskal
273.445.200,00
263.665.200,00
Beban Administrasi Bank Beban Penyusutan Jumlah Beban Operasional Pendapatan (Beban) Lain-lain Jasa Giro
Beban Pajak Rekening Beban Lain-lain Jumlah Pendapatan (Beban) Lain-lain Laba Sebelum Pajak Beda Waktu : Penyusutan Aset Tetap Penyisihan Piutang Tak Tertagih Beda Permanen :
Sebelum Pajak Sumber : CV F2 Berkarya
71
1.
Sebelum tax planning PPh terutang tahun 2013 : 25% x Rp 273.445.200,00 = Rp 68.361.300,00 Manfaat (Beban) Pajak Tangguhan : Penyusutan Aset Tetap dari kendaraan bermotor (sepeda motor) yang dibeli dengan harga Rp 14.000.000,00 tahun 2011 dan nilai sisa ditaksir 20% dari harga perolehan. Penyusutan tahunan
= (100% - 20%) – Rp 14.000.000,00 : 4 tahun = Rp 2.800.000,00 per tahun
Penyusutan Aset Tetap x 25% Rp 5.600.000,00 x 25% = Rp 1.400.000,00 Jumlah Pajak Penghasilan adalah Rp 66.961.300,00
2.
Setelah tax planning PPh terutang tahun 2013 25% x Rp 263.665.200,00 = Rp 65.916.300,00 Manfaat (Beban) Pajak Tangguhan : Penyusutan Aset Tetap x 25%
Rp 1.400.000,00
Jumlah Pajak Penghasilan adalah Rp 64.516.300,00
72
Sebelum dilakukan tax planning, laba bersih setelah pajak adalah : Laba Bersih Komersil
:
Rp 242.718.677,92
Pajak Penghasilan
:
Rp 66.961.300,00
Laba Setelah Pajak
:
Rp 175.757.377,92
Setelah dilakukan tax planning, laba bersih setelah pajak adalah : Laba Bersih Komersil
:
Rp 242.718.677,92
Pajak Penghasilan
:
Rp 64.516.300,00
Laba Setelah Pajak
:
Rp 178.202.377,92
Maka penghematan pajak yang diperoleh akibat dilakukannya tax planning adalah sebesar Rp 2.445.000,00 . Laba bersih komersil setelah pajak adalah jumlah uang yang diperoleh perusahaan setelah dipotong pajak penghasilan yaitu sebesar Rp 178.202.377,92. Penghematan ini dapat terjadi karena penerapan tax planning yang meniadakan fasilitas mobil dinas bagi direksi berdampak positif terhadap biaya pemeliharaan pabrik, dimana anggaran untuk mobil tersebut dialihkan menjadi biaya operasional pabrik. Sehingga biaya pemeliharaan yang telah dikoreksi sebesar Rp. 8.580.000,00 seluruhnya dibebankan kepada biaya operasional perusahaan. Dan temuan lainnya yang digunakan untuk menghemat pajak yaitu beban handphone sebesar Rp 1.200.000,00 yang digunakan untuk fasilitas dinas direksi. Jumlah kewajiban pajak penghasilan badan akan berbeda apabila wajib pajak menerapkan tax planning secara efektif berdasarkan Peraturan Perpajakan yang
73
berlaku, sehingga dapat menimbulkan penghematan pajak yang bermanfaat bagi kepentingan perusahaan. Setelah perusahaan menerapkan tax planning yang menghasilkan PPh terutang untuk tahun 2013 sebesar Rp 64.516.300,00 secara otomatis membantu menurunkan PPh terutang perusahaan. Yang mana PPh terutang perusahaan sebelum menerapkan tax planning sebesar Rp 66.961.300,00. Sehingga bisa dilihat dengan jelas adanya efisiensi penghematan pajak sebesar Rp 2.445.000,00.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perencanaan pajak dan besarnya penghematan pajak terutang CV F2 Berkarya, dapat disimpulkan bahwa penerapan tax planning yang dilakukan CV F2 Berkarya belum efisien. Meskipun dilihat dari hasil penerapan tax planning yang meniadakan fasilitas mobil dinas bagi direksi berdampak positif terhadap biaya pemeliharaan kendaraan, dimana anggaran untuk mobil tersebut dialihkan menjadi biaya pemeliharaan mobil box untuk pengiriman barang atau masuk dalam biaya operasional. Biaya pemeliharaan sebesar Rp 8.580.000,00 dan beban handphone sebesar Rp 1.200.000,00 yang digunakan untuk fasilitas dinas direksi yang akan menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Dengan diterapkannya tax planning tersebut maka perusahaan berhasil melakukan penghematan pajak sebesar Rp 2.445.000,00, sehingga laba komersil yang awalnya Rp 175.757.377,92 naik menjadi Rp 178.202.377,92. Dengan adanya perencanaan pajak pada CV F2 Berkarya, seharusnya penghematan pajak bisa lebih besar. namun wajib pajak sudah memiliki kesadaran untuk membayar pajak sebesar jumlah yang sudah direncanakan atau dengan kata lain wajib pajak badan akan lebih patuh dalam melunasi ataupun membayar pajak tepat pada waktunya.
74
75
5.2. Saran Melalui kegiatan penelitian yang dilakukan, berdasarkan pengamatan data-data yang diperoleh dari perusahaan serta teori yang ada maka penulis memberikan saran agar CV F2 Berkarya dapat mencari lebih banyak celah yang diperbolehkan didalam perencanaan pajak supaya penghematan pajak terutang lebih besar dan efisien. Dan semoga CV F2 Berkarya tetap mempertahankan penerapan perencanaan pajak yang telah sesuai dengan peraturan undang-undang perpajakan yang berlaku. Serta yang terpenting adalah perusahaan harus senantiasa mengikuti perkembangan peraturanperaturan perpajakan ataupun isu-isu terkait dengan perpajakan. Dengan demikian diharapkan pula dengan adanya perencanaan pajak maka tingkat kepatuhan wajib pajak pada CV F2 Berkarya menjadi semakin baik.
76
DAFTAR PUSTAKA
Burton, Richard. 2008. Hukum Pajak. Salemba Empat, Jakarta. Gunadi, 2007. Akuntansi Pajak Edisi Ketiga Cetakan Pertama. PT Gramedia, Jakarta. Ikatan Akuntan Indonesia. 2007. Standar Akuntansi Keuangan. Salemba Empat, Jakarta. Ismarita. 2007. Pengaruh Penerapan Tax Planning Biaya Pegawai Terhadap Beban Pajak Terhutang Wajib Pajak Badan. Skripsi, FE-Univ. Widyatama, Bandung. Lindawati. 2010. Penerapan Tax Planning dalam Meminimalkan Pajak Penghasilan pada PT. X Surabaya. Skripsi, FE-Univ. Kristen Petra, Surabaya. Mardiasmo. 2009. Perpajakan Edisi Revisi 2009. Yogyakarta. Muljono, Djoko. 2009. Akuntansi Pajak Lanjutan. Salemba Empat, Jakarta. Nur, Musdalifah. 2008. Analisis Perencanaan Pajak (Tax Planning) dalam Upaya Efisiensi Pembayaran Beban Pajak Penghasilan PT Makassar Indah Graha Saran. Skripsi, Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar. Pandiangan, Liberti. 2008. Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan Berdasarkan undang-Undang Terbaru. PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
77
Pangaribuan, Freddy. 2008. Manajemen Pajak (Tax Management). PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Resmi, Sitti. 2009. Perpajakan : Teori dan Kasus, Edisi 5 Buku 1. Salemba Empat, Jakarta. Suandy, Erly. 2006. Perencanaan Pajak. Salemba Empat, Jakarta. ___________. 2007. Perencanaan Pajak Edisi Keempat. Salemba Empat, Jakarta. ___________. 2008. Hukum Pajak. Salemba Empat, Jakarta. ___________. 2009. Perencanaan Pajak Edisi Keempat. Salemba Empat, Jakarta. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Waluyo. 2008. Perpajakan Indonesia. Salemba Empat, Jakarta. ___________. 2009. Akuntansi Pajak Edisi Kedua. Salemba Empat, Jakarta. ___________. 2010. Akuntansi Pajak Edisi Ketiga. Salemba Empat, Jakarta. ___________. 2010. Perpajakan Indonesia, Buku I, Edisi 9. Salemba Empat, Jakarta.