BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang merupakan pengejewantahan demokrasi nyata di daerah, menjadi basis tersendiri dalam mengubah paradigma pada masa lalu, yakni dimana pemilihan didominasi oleh pihak pemerintah pusat yang sangat menentukan demi stabilitas politik nasional, sehingga masyarakat di daerah tidak bisa menentukan pemimpinnya di daerah dengan acuan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Setelah gerbong reformasi digulirkan, sistem politik di Indonesia mengalami perubahan dalam politik nasional, sehingga membawa pengaruh yang berarti pada perubahan pada tingkat pemerintahan lokal, yang mendapat legitimasi kekuasaan politik yang sebelumnya berasal dari kedaulatan elite nasional dalam memberikan pengaruhnya terhadap elite politik lokal untuk memberikan dan mendukung kekuasaan politiknya secara permanen. Banyak daerah yang sebelumnya menuntut otonomi daerah sebagai daerah otonom yang diupayakan tidak hanya diberikan kewenangan yang berkaitan dengan kedaulatan secara ekonomi semata, tetapi lebih jauh harus diwujudkan dalam kedaulatan politik daerah otonom, agar mereka dapat mengelola berbagai sumber daya di daerah untuk dioptimalkan melalui UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan ruang baru bagi daerah, walaupun dominasi rakyat untuk memilih diwakilkan kepada lembaga 1
2
legislatif di daerah, seperti pemilihan yang dilakukan oleh DRPD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.1 Sejak
dikeluarkan
Undang-Undang
Nomor
22
Tahun
1999
tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemetintahan Daerah, telah banyak terjadi perubahan dalam tatanan pemerintahan di Indonesia. Sistem pemerintahan yang sebelumnya begitu sentralistik, secara perlahan mulai menuju kearah yang lebih desentralistik. Satu persatu kewenangan pemerintah pusat yang ditanggalkan dan harus direlakan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Satu hal yang paling berubah secara signifikan dengan berlakunya UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini adalah mengenai pemilihan kepala daerah. Hal ini dapat diwujudkan dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Selama ini yang terjadi adalah kedaulatan seakan-akan berada di tangan partai politik. Satu-satunya hak politik yang dimiliki oleh rakyat adalah pada saat memilih orang yang akan mewakili mereka di Dewan Perwakilan Rakyat, baik pusat maupun daerah, melalui pemilihan umum. Bahkan yang dipilih rakyat itu hanya gambar, bukan langsung orang yang mereka percayai. Kedaulatan beralih kepada mereka yang menyebut dirinya wakil rakyat yang pada kenyataannya justru lebih sering mengutamakan kepentingan rakyat yang memilh mereka. Oleh
1
Elvi Juliansyah , Pilkada Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah , Mandar Maju , Bandung, 2007, hlm 50.
3
sebab itu untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sistem pemilihan kepala daerah diubah menjadi pemilihan secara langsung. Pemilihan secara langsung bukanlah hal yang baru bagi rakyat Indonesia, karena sebelumnya telah dilaksanakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung juga. Namun pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan hal yang berbeda, mengingat besarnya kewenangan daerah sejak bergulirnya otonomi daerah. Kepala daerahlah yang berperan dalam menentukan keberhasilan pembangunan suatu daerah. Dengan kata lain masyarakat lebih banyak berharap kepada kepala daerah dalam memperbaiki kondisi yang telah ada. Berkaitan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung maka diperlukan peran komisi pemilihan umum daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah tersebut. Komisi pemilihan umum daerah yang selanjutnya disebut KPUD menurut Peraturan Pemintah Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota sebagaimana di maksud dalam Undangundang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan
Daerah
untuk
menyelenggarakan pemilihan di provinsi dan atau kabupaten/kota. Didalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah ditingkat Provinsi disebut dengan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur atau yang disingkat dengan PILGUB. KPUD Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum melaksanakan PILGUB Sulawesi Tenggara, terlebih dahulu melakukan perencanaan tahapan Pemilhan Umum
4
Gubernur dan Wakil Gubernur, perencanaan logistik dan ditribusi barang, perencanaan sosialisasi, perencanaan penyelenggaraan meliputi peyusunan draft keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Tenggara dan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, perencanaan dan pembentukan panitia penyelenggara PILGUB ( PPK, PPS, dan KPPS) dan pengumuman dan pendaftaran pemantau pemilu dan terakhir perencanaan kebutuhan biaya pelaksanaan PILGUB ditingkat KPUD Provinsi Sulawesi Tenggara, PPK, PPS, dan KPPS. Penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitiia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggaraan Pemungutan Suara (KPPS) serta melakukan pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, kegiatan ini berada dalam masa persiapan Awalnya pemilihan di Sulawesi Tenggara dilaksanakan pada tanggal 4 November 2007 Namun karena adanya daftar pemilih tetap atau di singkat DPT yang telat masuk ke kantor KPU, sehingga melalui jajarannya di KPU kabupaten/kota dan petugas lapangan di tingkat desa/kelurahan terus membenahi data pemilih. Sehingga pemungutan suara diundur dari tanggal 4 November 2007 menjadi tanggal 2 Desember 2007.2
2
Lihat dalam, http//www.Djupri.blogSpot.com, M Djufri Rachim, Pilgub Sultra yang Damai, Diakses pada 14 Februari 2010.
5
Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara ini berjumlah 4 (empat) pasang calon yakni: Prof. Ir. H. Mahmud Hamundu dan H. Yusran Silondae yang diusung oleh Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP Perjuangan) berkoalisi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP); Drs. H. Mansyur Masie Abunawas dan Azhari S.STp. M.Si diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berkoalisi dengan Partai Bintang Reformasi (PBR); Ali Mazi SH dan H. Abdul Samad diusung Partai Golongan Karya (GOLKAR); H. Nur Alam dan HM Saleh Lasata diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN).3 Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi Sulawesi Tenggara menetapkan pasangan H Nur Alam dan HM Saleh Lasata sebagai pemenang dalam PILGUB yang berlangsung 2 Desember 2007, karena memperoleh 421.360 suara (42,78 persen), melalaui Surat Keputusan KPU Sulawesi Tenggara No. 54 tahun 2007 tentang pasangan calon terpilih dalam PILGUB Sulawesi Tenggara. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) akan melantik pasangan H Nur Alam dan HM Saleh Lasata dalam hal ini Presiden melalui Menteri Dalam Negeri pada tanggal 18 Januari 20084. Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi dan Abdul Samad mempermasalahkan sengketa penghitungan perolehan suara Pilkada tersebut di Mahkamah Agung (MA). Sengketa Pilkada Sulawesi Tenggara itu dibahas dalam sidang perdana di MA, Rabu (23/01/08). Pemilihan Gubernur 3
Lihat dalam, http//:kapanlagi.com , Ali Mazi Bawa Sengketa Pilkada Sulawesi Tenggara ke MA, Diakses pada 14 Februari 2010. 4 Lihat dalam, http//www.Djupri.blogSpot.com.
6
Sulawesi Tenggara periode 2007-2012 diikuti oleh empat pasangan calon, yaitu Mahmud Hamundu – Yusran Silondae (pasangan nomor 1), Mansyur Masie Abunawas – Azhari (nomor 2), Ali Mazi – Abdul Samad (nomor 3), Nur Alam – Saleh Lasata (nomor 4). KPU Sulawesi Tenggara menetapkan perolehan suara pasangan Nur Alam – Saleh Lasata teringgi daripada pasangan lainnya, yaitu 421.360 suara (42,78%). Sementara itu, pasangan ALi Mazi – Abdul Samad berada di urutan kedua dengan perolehan 387,404 suara (39,34%). Tim kuasa hukum Ali Mazi-Abdul Samad menduga telah terjadi pengurangan perolehan suara kliennya di tujuh kabupaten/kota. Ketujuh kabupaten/kota itu adalah Kabupaten Kolaka (17.500 suara), Kabupaten Konawe (3.502 suara), Kabupaten Konawe Selatan (2.934 suara), Kabupaten Bombana (1.412 suara), Kota Kendari (504 suara), Kabupaten Muna (4.015 suara) dan Kota Bau-Bau (19.396 suara). Tim kuasa Ali Mazi – Abdul Samad juga menyatakan telah terjadi penggelembungan suara pasangan Nur Alam – Saleh Lasata di lima kabupaten/ kota. Kelima kabupaten/kota itu adalah Kabupaten Konawe (4.992 suara), Kabupaten Konawe Selatan (5.014 suara), Kabupaten Bombana (1.682 suara), Kota Kendari (889 suara), Kabupaten Muna (4.563 suara). Penggelembungan dan pengurangan suara itu dilacak dari perbedaan pencatatan jumlah perolehan suara di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS), tingkat KPU kabupaten/kota, dan KPU Provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk itu, tim kuasa hukum Ali Mazi – Abdul Samad, memohon majelis hakim memutuskan perlu dilakukan pilkada ulang di daerah yang diduga terjadi penggelembungan dan pengurangan suara. Putusan itu diharapkan sekaligus membatalkan hasil perhitungan suara yang dilakukan KPU Provinsi
7
Sulawesi Tenggara. "Membatalkan hasil perhitungan suara yang ditetapkan," kata Teguh Samudera5. Melihat frekuensi persoalan diatas, penulis menjadi tertarik untuk mengangkat tema ini dalam sebuah penilitian yang berjudul ” PENYELESAIAN SENGKETA HASIL PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERIODE 2007 - 2012 ”. Secara umum, penilitian ini tidak hanya diarahkan kepada bagaimana konsep dasar hukum tata negara dalam mengatur pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur (Pilgub), tetapi dalam penitian ini penulis juga akan menelaah lebih jauh apa persoalan yang timbul dalam Pemilihan Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara Periode 2007 – 2012, sehingga dalam penilitian ini dapat diharapkan menemukan persoalan pokok yang menjadi dasar tujuan utama penilitian ini. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada tiga (3) masalah yang diteliti dalam penelitian ini yaitu : 1. Apa latar belakang munculnya sengketa hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara Periode 2007 – 2012 ? 2. Bagaimana penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara Periode 2007 – 2012 ? 3. Bagaimana tindak lanjut atas petusan hasil sengketa tersebut ?
5
Lihat dalam, http;//www.kapanlagi.com,
8
C. Tujuan Penelitian Setiap pelaksanaan penelitian tentulah mempunyai tujuan secara jelas yang hendak dicapai, sehingga penelitian ini dapat dikatakan berhasil dan bermanfaat.6 Dengan demikian, berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui apa yang menjadi latar belakang munculnya sengketa hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara Periode 2007 – 2012. 2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara periode 20072012. 3. Untuk mengetahui bagaimana tindak lanjut atas putusan hasil tersebut. D. Tinjauan Pustaka 1. Pemilihan Umum Salah satu hasil perubahan UUD 1945 adalah adanya ketentuan mengenai Pemilihan Umum (Pemilu) dalam Undang-undang Dasar 1945. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi pemilu sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Ketentuan mengenai Pemilu itu telah diatur dalam UUD RI 1945 Pasal 22E.7
6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, penerbit universitas Indonesia, Jakarta, 1984, hlm 109. 7 Terkait dengan pemilu ini konstitusi mengatur bahwa, bahwa (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (2)
9
Pemilihan Umum demokrasi.
Oleh
karena
merupakan salah satu sendi untuk tegaknya sistem itu,
tujuan
pemilu
tidak
lain
adalah
untuk
mengimplementasikan prinsip – prinsip demokrasi dengan cara memilih wakil – wakil rakyat di Badan Perwakilan Rakyat. Kesemuanya dilakukan dalam rangka mengikutsertakan rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan.8 Melalui pemilu rakyat memilih figur yang dipercaya yang akan mengisi jabatan legislatif dan atau jabatan eksekutif. Dalam pemilu rakyat yang telah memenuhi persyaratan untuk memilih secara bebas dan rahasia menjatuhkan pilihan pada figur yang dinilai sesuai dengan aspirasinya. Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari Pemilihan Umum, karena Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip
Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. (4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. (5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. (6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang – undang. Berkaitan dengan Asas - asas Pemilu, telah ditegaskan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD RI Tahun 1945 meliputi: (1) Langsung; Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara. (2) Umum; Adanya kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara tanpa diskriminasi. (3) Bebas; Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menetukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya setiap warga negara dijamin keamanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. (4) Rahasia; Pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain. (5) Jujur; Penyelenggara Pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang - undangan. (6) Adil; Setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun. Lengkapnya, Baca; Tim Penyusun Nuansa Aulia, UUD’ 45 Sebelum dan Setelah Amendemen, Nuansa Aulia, Bandung, 2009. 8
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, Andi Offset, Yogyakarta, 2003, hal.207.
10
kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik.9 Pentingnya Pemilihan Umum diselenggarakan secara berkala dikarenakan oleh beberapa sebab. Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat mengenai berbagai aspek kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat dinamis dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam jangka waktu tertentu dapat saja terjadi bahwa sebagian besar rakyat berubah pendapatnya mengenai sesuatu kebijakan negara. Kedua, di samping pendapat rakyat dapat berubah dari waktu ke waktu, kondisi kehidupan bersama dalam masyarakat dapat pula berubah, baik karena dinamika dunia internasional ataupun karena faktor dalam negeri sendiri, baik karena faktor internal manusia maupun karena faktor eksternal manusia. Ketiga, perubahan - perubahan aspirasi dan pendapat rakyat juga dapat dimungkinkan terjadi karena pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa. Mereka itu terutama para pemilih baru (new voters) atau pemilih pemula belum tentu mempunyai sikap yang sama dengan orang tua mereka sendiri. Lagi pula keempat, pemilihan umum perlu diadakan secara teratur untuk maksud menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan negara, baik di cabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Kegiatan pemilihan umum (general election) juga merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan hak - hak asasi warga negara
9
Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty, Yogyakarta, 1993, hal.94.
11
adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin terlaksananya ketatanegaraan yang telah ditentukan. Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat dimana rakyatlah yang berdaulat, maka semua aspek penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri pun harus juga dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Adalah pelanggaran terhadap hak – hak asasi apabila pemerintah tidak menjamin terselenggaranya pemilihan
umum,
memperlambat
penyelenggaraan
pemilihan
umum
tanpa
persetujuan para wakil rakyat, atau pun tidak melakukan apa – apa sehingga pemilihan umum tidak terselenggara sebagaimana mestinya. Untuk Republik Indonesia paling tidak ada tiga macam tujuan pemilihan umum itu. Ketiga macam tujuan pemilihan umum itu adalah: 1.
Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib;
2.
Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat; dan
3.
Dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga negara. Pasal 1 ayat (5) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Ayat (6) bahwa Daerah otonom selanjutnya disebut daerah, adalah daerah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas – batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi mayarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
12
Tresna10 mengartikan otonomi (otonomie) sebagai mengatur sendiri (bahasa Yunani) dalam lingkup bebas bertindak, bukan karena diperintah, dari atas melainkan karena atas
kehendak dan inisiatif sendiri untuk kepentingan daerah
sendiri yang harus diatur dan diurus. Otonomi dan desentralisasi merupakan bagian dari negara yang menganut paham demokrasi, sebab tanpa otonomi dan desentralisasi, pemerintahan negara bukan lagi demokrasi namanya, melainkan menjadi otokrasi. Jadi, dalam negara kesatuan, pemerintahan daerah otonom merupakan ciri negara demokrasi yang mengedepankan aspek kebebasan. Perubahan yang sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi di daerah, sesuai dengan tuntutan reformasi adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung ini merupakan konsekuensi perubahan tatanan kenegaraan kita akibat Amademen UUD 1945. Undang – Undang baru ini pada dasarnya mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan desentralisasi. Pelaksanaan Pilkada langsung lahir merupakan koreksi terhadap pelaksanaan Pilkada melalui perwakilan (oleh DPRD) sebagaimana pernah diamanatkan UU No.22 Tahun 1999. Koreksi ini semakin kentara dengan diimplementasikannya payung hukum pelaksanaan Pilkada langsung, yakni UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diperbaiki melalui UU No.12 Tahun 2008.
10
R. Tresna, Bertamasya ke Taman Ketatanegaraan, Dibya, Bandung, hal. 32.
13
Ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Daerah sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam melakukan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah seharusnya sinkron dengan pemilihan presiden dan wakil Presiden, yaitu pemilihan secara langsung. Di samping alasan tersebut di atas, ada beberapa alasan lain yang mengharuskan kita melakukan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung.11 Adapun tahapan pelaksanaan Pilkada langsung diatur dalam Pasal 65 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai berikut: (1) Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala dilaksanakan melalui masa persiapan, dan tahap pelaksanaan. (2) Masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pemberitahuan DPRD kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan; b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah; c. Perencanaan, penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah; 11
Berkaitan dengan pemilihan secara langsung ini, Rozali membaginya ke dalam 5 (Lima) bagian. Lihat lebih lengkapnya dalam, Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 53 – 55.
14
d. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS, dan KPPS; e. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau. (3) Tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud ayat pada ayat (1) meliputi: a. Penetapan daftar pemilih; b. Pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah; c. Kampanye; d. Pemungutan suara; e. Penghitungan suara; dan f. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan,dan pelantikan. (4) Tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Pembentukan UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum membuat status nama pemiihan kepala daerah (Pilkada) pun berubah menjadi pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (4) bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, sejak diberlakukannya UU ini, maka KPU diposisikan sebagai bagian penting dari penyelenggara pemilu kepala daerah, khususnya dalam
15
membuat peraturan pelaksana pemilu kepala daerah dan mengendalikan serta mengontrol kerja KPUD selaku penyelenggara dan pelaksana pemilu kepala daerah di setiap daerah. 2. Otonomi Daerah Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisasi. Istilah otonomi berasal dari penggalan dua kata bahasa Yunani, yakni autos yang berarti sendiri dan nomos
yang berarti undang-undang. Otonomi bermakna membuat perundang-
undangan sendiri (zelfwetgeving), namun dalam perkembangannya, konsep otonomi daerah selain mengandung arti zelfwetgeving (membuat Perda-perda), juga utamanya mencakup zelfbestuur (pemerintahan sendiri). C.W Van Der Pot memahami konsep daerah sebagai eigen huishouding (menjalankan rumah tangganya sendiri).12 Syaukani HR dalam bukunya yang berjudul Menatap Harapan Masa Depan Otonomi Daerah menyatakan bahwa13 : Dasar pemikiran dari otonomi daerah adalah bahwa negara Indonesia adalah merupakan negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Dalam penyelenggaraan pemerintahan harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian otonomi daerah adalah merupakan kebijaksanaan yang sangat sesuai dengan asas desentralisasi dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia. Pengertian otonomi daerah menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah hak wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus 12
M. Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Rumah Hukum, Buku Kesatu, Edisi Revisi Cetakan Kedua, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. 13 Syaukani HR, Menatap Harapan Masa Depan Otonomi Daerah, Gerakan Pengembangan Pemberdayaan Kutai, Lembaga Ilmu Pengetahuan, Kabupaten Kutai Kalimantan Timur, 2001, hlm 193.
16
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-undang yang lama memuat unsur kewajiban sedangkan undang-undang yang baru menekankan bahwa otonomi merupakan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dengan menekankan pada pentingnya aspirasi masyarakat. Pemerintah daerah merupakan wujud dari suatu negara yang demokrasi, secara politis desentralisasi kewenangan pada masing-masing daerah menjadi perwujudan dari suatu tuntutan reformasi seperti yang direfleksikan dalam garis-garis besara haluan negara. Acuan dasar otonomi daerah telah diwujudkan dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun1999. Dalam acuan tersebut
dijelaskan bahwa daerah
dituntut untuk suatu paket otonomi yang sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan di daerah tersebut, sehingga tidak terjadi keseragaman antar daerah. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Ateng Syaiffrudin mengatakan bahwa : “istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atas kemandirian (zelfszndigheid) tetapi bukan
17
kemerdekaan (onafhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian yang harus dipertanggung jawabkan”.14 Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Penjelasan ini menunjukan sekali lagi bahwa otonomi bagi suatu daerah menurut sistem rumah tangga materiil pada hakekatnya hanya merupakan suatu pemberian baik itu dari pemerintah pusat maupun daerah tingkat yang lebih atas. Mengenai hal ini Sujamto mengemukakan : “ Pada dasarnya Pemerintah Pusatlah yang menentukan apakah suatu daerah itu diberi status sebagai daerah otonom atau sebagai wilayah administratif. Dasar pertimbangan untuk menentukan pilihan dalam hal ini bukan pemikiran demokratisasi tetapi pertimbangan doelmatigheid (keserasian dengan tujuan), yaitu untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas atau daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah.15 Kebijakan Otonomi Daerah melalui Undang-undang nomor 32 tahun 2004 ini memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Khususnya kabupaten dan kota, hak ini ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan percepatan pembangunan di daerah dan pada akhirnya diharapkan pada penciptaan cara berpemerintahan yang baik (good governance), untuk memahami prinsip ini, dapat disebutkan beberapa aspek yang 14 15
Ateng Syaiffrudin , Pasang Surut Otonomi Daerah, Bina Cipta, Bandung ,1988, hlm 23 Sujamto, Cakrawala Otonomi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 1998, hlm 20.
18
bisa menunjuk dijalankan yakni : pertama, pengakuan atas pluralitas politik; kedua, keadilan sosial; ketiga akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan; dan keempat, kebebasan. Good governance, dalam konteks ini dapat dipandang sebagai langkah untuk menciptakan mekanisme baru yang memungkinkan negara kembali berfungsi untuk menagatasi masalah-masalah yang justru diakibatkan oleh kerja mekanisme pasar. Diberlakukannya otonomi daerah yang seluas-luasnya, diharapkan daerah mampu meningkatkan kapabilitasnya baik secara efektif maupun regulatif. Namun tak kalah penting di era mendatang pemerintah daerah harus mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi terciptanya pembaharuan dan dinamika pemerintahan. Pejabat-pejabat didaerah harus mampu mencari terobosan baru kearah yang lebih baik. Penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi keanekaragaman daerah. Dianutnya prinsip otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, maka pemberian otonomi daerah kepada kepala derah harus disesuaikan dengan potensi dan kondisi daerah kabupaten yang bersangkutan. Mengingat potensi dan kondisi serta kesiapan masing-masing daerah kabupaten tidak sama, maka banyaknya urusan diserahkan tidak sama. Ada daerah yang mendapat penyerahan urusan yang cukup banyak karena tingkat kemampuan dan kondisinya
19
yang memungkinkan untuk melaksanakan urusan tersebut, tetapi juga ada yang menerima urusan relatif lebih sedikit karena mengingat kondisi daerahnya.16 Maksud dan tujuan pemberian otonomi daerah kepada daerah adalah berorientasi pada pembangunan. Sehubungan dengan hal itu maka pada hakekatnya otonomi daerah bagi Indonesia adalah lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah otonom yang bersangkutan untuk ikut melancarkan pembangunan nasional
dan
pembangunan
daerah
yang
merupakan
penunjang
daripada
pembangunan nasional.17 Dengan demikian, tujuan utama otonomi daerah adalah meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Ukuran keberhasilan otonomi daerah adalah terwujudnya kehidupan yang lebih baik, adil dalam memperoleh penghasilan atau pendapatan serta terlindungi dari rasa aman dari segala gangguan dan lingkungan hidup yang lebih aman. Salah satu aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dan memberikan pelayanan kepada publik. 3. Kedudukan Gubernur Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Gubernur merupakan perwakilan pemerintah pusat di daerah. Hal tersebut jelas diatur dalam PP No. 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan
16
Riant Nugroho Dwijowijoto, Otonomi Daerah Desentralisasi Tanpa Revolusi, Raja Grafika Persada, Jakarta, 2001, hlm 65. 17 Deddy Supriadi Bratakusumah, dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hlm 17.
20
Kewenangan serta Kedudukan Gubernur. Untuk itu seyogjanya, Bupati dan Walikota harus melihat dan memandang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah. PP. No. 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Kewengan serta Kedudukan Gubernur adalah peraturan pemerintah yang mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. 18 Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2010 ini disebutkan oleh Meteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, bahwa tidak akan mengurangi kewenangan pemerintah kabupaten dan kota, tapi hanya akan menambah kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. menurutnya, PP. No 19 Tahun 2010 tidak sedikit pun mengeliminasi pasal – pasal yang ada dalam UU. No. 32 tentang Pemerintahan Daerah, tapi bobot kewenangan gubernur diperkuat dan titik otonomi daerah tetap di kabupaten/kota.19 Dalam PP. No. 19 Tahun 2010 juga disebutkan akan mengatur sebagian kewenangan pemerintah pusat yang akan dijalankan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di tingkat daerah. Sementara menurut Gamawan, ada terdapat tiga tingkatan dalam kehidupan, yakni etika yang menyangkut
18
hubungan
antara
orang
dengan
orang
lain,
moral
(sosial
http://219.83.122.194/web/index.php?option=com_content&view=article&id=8694:pp-no19-tahun-2010-perjelas-kedudukan-gubernur&catid=45:politik&Itemid=112 19 http://karodalnet.blogspot.com/2010/02/pp-nomor-19-tahun-2010.html).
21
kemasyarakatan) atau bila moral terlanggar maka pelaku terkena sanksi sosial dan sanksi hukum.20 Selanjutnya, berkenaan dengan keduddukan dan kewenagan Gubernur, hal demikian tidak lepas dari konsepsi pemerintahan secara keseluruhan. Harus dipahami, pemerintah daerah merupakan subsistem dari sistem pemerintahan negara keseluruhan. Sebuah sistem pemerintahan dalam negara hanya akan berfungsi jika sub-subsistem yang ada terintegrasi, saling mendukung, dan tidak berlawanan. Pemahaman terhadap hal ini memberi landasan terhadap pentingnya penataan hubungan kewenangan dan kelembagaan antara level pemerintahan di pusat, di provinsi dan di kabupaten. Dalam praktiknya, hampir tidak ada negara di dunia yang semua pemerintahannya diselenggarakan secara sentralistis atau sebaliknya diselenggarakan seluruhnya secara desentralistis. Oleh karena itu, dalam sistem negara federal maupun kesatuan selalu ada perimbangan antara kewenangan yang diselenggarakan secara sentralistis oleh pemerintah pusat dan kewenangan yang secara desentralistis diselenggarakan unit – unit pemerintahan daerah yang otonom. Hal ini pula yang melahirkan konsep local state government dan local self government. Jika local state
20
Kalau etika dan moral tidak jalan sehingga harus hukum yang dijalankan lagi, maka perlu dituangkan dalam Undang-undang. Saya melihat ada bupati yang tiga tahun diundang tidak pernah datang sekalipun. Apakah bisa pemerintahan dijalankan seperti itu, lebih lanjut menurutnya, sistem yang ada berlaku secara nasional dan tak mungkin pemerintah akan bisa berjalan baik kalau tidak utuh dilaksanakan. Baginya, kabupaten/kota itu bukanlah sebuah kerajaan kecil atau seperti distrik di negara-negara federal, tapi merupakan Negara Kesatuan Republik Indoneia (NKRI). lengkapnya, baca; http://karodalnet.blogspot.com/2010/02/pp-nomor-19-tahun-2010.html).
22
government melahirkan wilayah administrasi pemerintah pusat di daerah yang direpresentasikan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan instansi vertikal di daerah, local self government melahirkan daerah atau wilayah otonom yang direpresentasikan keberadaan DPRD. Teritorial dua sistem pemerintahan daerah ini dapat berhimpit (perfektoral terintegrasi) atau tidak berimpit (perfektoral tidak terintegrasi).21 Menurut Eko Prasojo,22 di Indonesia perwujudan local state government dan local self government mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Jika dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1974 daerah administratif dan daerah otonom berhimpit baik di kabupaten/kota maupun Propinsi, dalam UU No 22 tahun 1999 berhimpitnya daerah administrasi dan daerah otonom hanya di tingkat provinsi. Jadi, provinsi memiliki kedudukan sebagai daerah otonom juga sebagai wilayah administrasi. Konsekuensinya, selain sebagai kepala daerah, gubernur juga wakil pemerintah pusat di daerah. Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur menjalankan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepadanya. Sesuai ketentuan UU. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 Huruf f, pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah disebut sebagai dekonsentrasi.
21 22
Baca lengkapnya Eko Prasojo, Kewenangan Gubernur, dalam, http;//els.bappenas.go.id. Ibid.
23
Dalam praktik pemerintahan daerah di Indonesia, ketentuan normatif UU. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi fungsi ganda gubernur sebagai kepala daerah otonom dan wakil pemerintah pusat belum berjalan optimal. Meski dua fungsi ini berbeda, wilayah kerja dan orang yang menjabat gubernur adalah satu. Dalam Pasal 4 Ayat (2) UU. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, wilayah kerja gubernur sebagai kepala daerah otonom tidak memiliki hubungan hierarki dengan daerah kabupaten dan kota. Pemutusan hierarki antara provinsi dan kabupaten/kota dalam kapasitasnya sebagai daerah otonom bukan tanpa masalah karena pada implementasinya para bupati/wali kota tidak dapat memisahkan antara fungsi gubernur sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam kapasitasnya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur tetap memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan koordinasi terhadap pelaksanaan kewenangan kabupaten/kota. Selain itu, karena pembagian kewenangan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berdasarkan fungsi (mengatur dan mengurus), pemutusan hierarki sehingga tidak ada lagi hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota adalah sesuatu yang tidak mungkin. Pemahaman yang salah inilah yang merupakan sumber kontroversi kedudukan dan kewenangan gubernur.
24
E. Metode Penelitian 1. Obyek Penelitian Obyek penelitian dalam tulisan ini adalah Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara Periode 2007 – 2012. 2. Subyek penelitian Komisi Pemilihan Umum Daerah Sulawesi Tenggara, Panitia Pengawasan Pemilu (PANWAS), Tim Sukses Ali Mazi – Abdul Samad dan Nur Alam – Saleh Lasata, Tokoh Masyarakat Sulawesi Tenggara, DPD 1 Partai GOLKAR Sulawesi Tenggara, DPD 1 Partai PAN Sulawesi Tenggara, Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara. 3. Sumber Data a. Data Primer Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya, baik dapat berupa hasil wawancara dengan para responden, maupun laporan dalam bentuk dokumen – dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peniliti. b. Data Sekunder Merupakan data yang bersumber dari hasil penilitian, kepustakaan, peraturan perundang – undangan, majalah dan surat kabar. Bahan hukum sekunder seperti, undang – undang, peraturan pemerintah nomor 6 tahun
25
2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 4. Teknik Pemgumpulan Data a) Data Primer Dilakukan dengan wawancara. Wawancara adalah : tanya jawab secara langsung dengan responden dan narasumber. Wawancara yang dilakukan ada dua macam: wawancara berstruktur dan wawancara tidak berstruktur atau menggunakan kombinasi keduanya. Wawancara berstruktur adalah wawancara dengan pertanyaan yang diajukan berasal dari pertanyaan yang sudah disiapkan terlebih dahulu, Sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah pertanyaan yang timbul secara spontan pada saat wawancara dilakukan. b) Data Sekunder Dilakukan dengan cara : 1) Studi kepustakaan, yakni dengan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan atau literatur yang berhubungan dengan permasalahan. 2) Studi dokumentasi, yakni dengan mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa laporan KPUD Provinsi Sulawesi Tenggara.
26
5. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis – normatif, yaitu pendekatan yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku dihubungkan dengan permasalahan yang diteliti untuk membentuk suatu pembahasan atau uraian yang kemudian ditarik suatu kesimpulan. 6. Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian, selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan langkahlangkah sebagai berikut : 1) Data
penelitian
diklasifikasikan
sesuai
dengan
permasalahan
penelitian. 2) Data yang telah disistematisasi selanjutnya dianalisis untuk dijadikan dasar pengambilan kesimpulan. F. Sistematika Penulisan Penelitian hukum ini terdiri dari 5 (lima) bab, yaitu : Bab I. Pendahuluan. Bab ini akan mendiskripsikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penilitian, tinjauan pustaka, metode penilitian dan sistematika penilitian.