1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemuda merupakan harapan bangsa. Pernyataan ini tepat, karena secara usia dari para pemuda itu sendiri, mereka memiliki masa yang cukup panjang dan fisik dan mental yang produktif untuk melaksanakan program-program kebangsaan, sehingga penelitian ini mengerucut pada pemuda berdasarkan usianya. Saat ini pemuda di negeri ini sedang mengalami masalah dalam hal pola pikir hingga pola perilaku yang terbentuk dalam dirinya. Jika menengok kondisi kepribadian sebagian pemuda saat ini, terlihat jelas bahwa pemuda kini sedang mengalami sebuah degradasi moral yang sangat besar yang mengarah pada tumbuhnya sifat individualisme, hingga memunculkan sikap frustasi.
Beragam kondisi memprihatinkan yang bisa disaksikan secara rutin setiap harinya di negeri ini baik secara langsung maupun melalui media massa, contohnya saja perilaku menyimpang seperti melakukan tawuran, pergaulan bebas, sikap apatis, dan lainnya dengan pola hidup hedonisme dalam diri pemuda itu sendiri. Belum banyak bermunculan kelompok pemuda yang masih memiliki rasa kepekaan terhadap permasalahan sosial yang tengah terjadi di masyarakat. Kebanyakan dari pemuda di era ini adalah mereka yang memiliki gaya hidup di mana mereka sudah mulai enggan turut serta dalam kehidupan sosial.
2
Banyak masalah sosial pula yang diciptakan oleh para pemuda ini yang pada dasarnya mereka sendiri sedang berada dalam usia transisi dalam mencari identitas dirinya. Masalah-masalah tersebut terpusat pada gejala-gejala moral yang membelok dari norma-norma yang sudah disepakati bersama dalam masyarakat. Fenomena yang bisa dilihat adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan penyimpangan karakter pemuda, antara lain masih maraknya tindak kekerasan di kalangan pemuda seperti yang telah disebutkan di atas, adanya kecenderungan sikap ketidakjujuran yang semakin membudaya, berkembangnya rasa tidak hormat pada orangtua, guru, dan pemimpin, sikap rasa curiga serta kebencian antara satu sama lain. Selain itu, dalam karakter para pemuda juga didapati kecenderungan dalam penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar semakin menurun, berkembangnya perilaku menyimpang di kalangan pemuda (narkoba, pornoaksi/pornografi, dll), kecenderungannya yang sangat besar dalam dalam mengadopsi nilai-nilai budaya asing dan melemahnya idealisme, patriotisme serta tergerusnya semangat kebangsaan yang seharusnya terpatri kuat dalam diri para generasi penerus bangsa, meningkatnya sikap pragmatisme dan hedonisme, serta kecenderungan semakin kaburnya pedoman moral yang berlaku dan sikap acuh tak acuh terhadap ajaran agama yang dianut.
Berbagai masalah ini kemudian bertransformasi menjadi suatu perkara yang membutuhkan energi yang besar dalam penyelesaiannya. Dibutuhkan solusi untuk berbagai masalah sosial yang terjadi ini, yakni dalam rangka menghilangkan budaya malas, acuh tak acuh tersebut di tengah kultur pemuda Indonesia yang kini telah banyak mengalami transisi perubahan. Hal tersebut dikarenakan keadaan yang seperti ini telah berurat, berakar, hingga menjalar ke seluruh pelosok
3 Nusantara1. Dalam hal ini, yang semakin menjadi masalah adalah banyak pemuda yang mengalami aleniasi dalam dirinya sebagai dampak dari adanya gempuran modernisasi yang semakin hari semakin tak terbendung dikarenakan pemuda sendiri tidak memiliki pegangan atau panduan yang membuatnya untuk mampu menyaring tantangan modernitas yang semakin hari semakin besar.
Berkaitan dengan hal tersebut, yang pada umumnya terjadi pada masyarakat perkotaan, di mana terjadi peningkatan kehidupan penduduk kota yang cepat, penyebaran pendidikan umum non religius dan ilmu alam, peningkatan mobilitas dan akses informasi, industrialisasi, dan sebagainya telah mendatangkan tekanan bagi masyarakat perkotaan. Beginilah yang sedang dialami oleh para pemuda yang tinggal di negeri yang menganut modernitas ini. Kemakmuran materi, gaya hidup serba instan yang tidak sehat, serta kurangnya waktu untuk memelihara kebersamaan dengan keluarga dan bersosialisasi justru telah mengalienasi mereka sebagai manusia modern dari diri mereka sendiri2. Hal ini seolah menunjukkan bahwasanya para pemuda tak mengenali hakikat dari dirinya sendiri. Keterasingan (alienasi) pada awalnya merupakan gejala sosial dalam masyarakat modern. Keadaan seperti kemajuan teknologi pada awalnya membuat efisiensi dalam kehidupan manusia menjadi salah satu penyebab manusia terpisah dari sesama atau dunia luar dan akhirnya mengalami keterasingan (alienasi) tersebut 3. 1
Mengutip dari tulisan berjudul Membangun Integritas Pemuda Melalui Interpretasi Keteladanan dan Kepemimpinan yang ditulis oleh Patian Sugiarto pada tahun 2014. Penulis merupakan mahasiswa pada Program Sarjana Jurusan Administrasi Negara Universitas Sriwijaya. 2 Hal ini mengacu pada tulisan berjudul Spiritualitas di Tengah Modernitas Perkotaan yang ditulis oleh Muhammad Anis. tulisan Dosen Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga ini diterbitkan oleh Jurnal Bayan, Yogyakarta, pada tahun 2013. 3 Mengutip dari sebuah naskah publikasi penelitian berjudul Manusia-Manusia Teralienasi : Citra Manusia Modern dalam Novel-Novel Karya Putu Wijaya yang
4
Teknologi justru membuat mereka apatis terhadap lingkungan sekitar, mereka hanya senang bersenang-senang dengan berbincang di sosial media dengan para pemuda atau teman sebaya yang juga memiliki kebiasaan yang sama.
Tak bisa dipungkiri bahwa fenomena pemuda kini memang sudah banyak mengalami perubahan pesat dalam segala aspek, terutama aspek sosial, sehingga menimbukan dampak yang besar. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa banyak di antaranya yang harus mengalami krisis identitas karena pengaruh dari lingkungannya. Gaya hidup lingkungan sosialnya mempengaruhi pemuda untuk berperilaku yang sama seperti yang dilakukan oleh temantemannya. Kebanyakan pemuda mengikuti hal tersebut agar bisa tetap eksis di kalangan komunitasnya. Namun mereka seringkali melupakan bahwa merekalah yang menjadi harapan bangsa ini, bukan hanya sebagai diri mereka secara individu.
Pada dasarnya manusia memang tercipta sebagai mahluk individu dan makhluk sosial. Dalam hal ini, sebagai mahkhluk sosial, manusia memiliki hak dan kewajiban dalam masyarakat. Para pemuda cenderung melupakan peran mereka
di
masyarakat.
Padahal
pembangunan dalam
berbagai
bidang
membutuhkan peran pemuda sebagai aktor utama di dalamnya, terlepas dari usia yang belum matang atau status sosial ataupun tingkat pendidikan yang di sandang.
Dari berbagai kondisi yang dialami oleh kebanyakan pemuda tersebut yang telah disebutkan sebelumnya, bagaimana mereka begitu acuh tak acuh terhadap dilakukan oleh Anwar Efendi. Hasil penelitian ini dilakukan serta diterbitkan di tahun yang sama yakni pada tahun 2004 oleh Universitas Negeri Yogyakarta di Kota Yogyakarta.
5
kondisi
lingkungan
sekitarnya
serta
justru
sebagian
besar
melakukan
penyimpangan sosial, muncullah pemuda-pemuda yang memiliki pola perilaku dan pola pikir yang berlawanan dalam berbagai hal, terutama gaya hidup. Idealnya, memang dibutuhkan peran dari para pemuda yang gemar melakukan aktifitas-aktifitas bernada positif dalam menyeimbangkan kondisi penurunan moral pemuda negeri ini. Pemuda-pemuda tersebut melakukan hal yang berbeda di tengah-tengah pemuda yang mengalami aleniasi. Mereka merupakan kelompok pemuda yang menjadi anggota komunitas suatu pengajian yang dinamakan Maiyahan di mana para pesertanya disebut dengan Jamaah Maiyah. Para pemuda yang juga sedang mencari jati diri ini memiliki motivasi yang tinggi untuk masuk dalam keanggotaan pengajian dengan mengikuti berbagai kegiatan yang diadakan oleh komunitas ini.
Pada dasarnya mereka bukanlah para pemuda yang lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang agamis ataupun religius. Namun dalam perjalanannya, mereka justru tumbuh menjadi sosok-sosok yang aktif membicarakan masalah mengenai agama yang mereka anut secara kritis. Dalam pengajian ini keragaman terdapat jamaah yang berasal dari beragam kepercayaan. Para jamaah juga mengkritisi berbagai hal yang dianggap menyimpang dari konteks keagamaan yang seharusnya ditaati oleh para umat beragama. Bahkan bagi beberapa pemuda, pengajian yang mereka ikuti ini merupakan jalan teknis dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga berbagai persoalan yang tidak hanya bertema agama yang biasanya dianggap sebagai sesuatu yang serius bisa dikontekskan secara aplikatif oleh para pemuda dalam kehidupan kesehariannya.
6
Dalam hal ini, para pemuda yang mengikuti Gerakan Jamaah Maiyah secara rutin merupakan pemuda yang memiliki karakteristik yang khas dan berbeda dari para pemuda pada umumnya. Mereka memiliki semangat hidup yang tinggi, yang terlihat dari intensitas mengikuti pengajian yang sangat tinggi, terlibat pula dalam berbagai diskusi membicarakan materi-materi kehidupan. Diskusi-diskusi inilah yang pada akhirnya membentuk pola pikir bagi mereka yang sedang mencari sudut pandang yang benar yang bukan lagi berdasarkan pola pikir orang lain atau pengaruh dari media massa yang menggempurkan berbagai informasi yang tidak valid, di mana para pemuda ini turut menyaring berbagai informasi untuk dilihat dengan sudut pandang mereka sendiri yang berdasarkan akal sehat.
Selain itu, para pemuda yang juga berasal dari beragam daerah ini memiliki wawasan yang cukup luas dari pemuda kebanyakan, jika dibandingkan dengan pemuda pada umumnya yang menikmati hidup dengan bersenang-senang dengan para teman sebaya tak memiliki wawasan yang luas seperti dalam aspek politik, budaya, seni, humanistik, dsb. Berbagai materi seperti inilah yang seringkali menjadi tema diskusi dari para pemuda anggota komunitas pengajian ini.
Pengajian ini dalam pelaksanaannya dihadiri oleh para pembicara yang berasal dari latar belakang bidang yang beragam. Mereka merupakan orang-orang yang berlatar belakang politikus, agamawan, sastrawan, ilmuwan, budayawan, serta ada pula yang memiliki profesi sebagai aparatur negara. Dari banyak pertemuan tersebut dihasilkan beragam pandangan yang kemudian ditafsirkan kembali secara pribadi oleh para jamaah yang didominasi para pemuda sehingga mereka memiliki keterbukaan wawasan dengan melihat segala persoalan
7
kehidupan dengan lebih baik dan lebih positif. Dari hal ini tentu saja terlihat perbedaan mencolok dari pemuda pada umumnya. Daya kritis yang dimilikinya kian terasah dan dinamis. Buktinya terlihat dari momen-momen saat pengajian berlangsung yang diselingi dengan diskusi baik yang berkaitan dengan tema ataupun keluar dari tema yang sedang dibicarakan. Para pemuda jamaah ini tak segan untuk menyampaikan beragam pendapatnya, bahkan topic-topik yang telah dibicarakan tersebut dibawa ke dalam suatu diskusi yang lebih kecil lagi bersama jamaah aktif lainnya.
Gerakan Jamaah Maiyah sendiri merupakan pengajian yang bersifat komunitas di mana pengajian ini bersifat menyebar di beberapa kota di Indonesia, namun sebenarnya tidak dibatasi oleh letak geografis tertentu, hanya untuk saling mendekatkan jamaah di daerah-daerah tertentu. Oleh karena itu, Gerakan Jamaah Maiyah ini bisa ditemukan di berbagai kota di Indonesia, seperti di Kota Jakarta yang dikenal dengan nama Kenduri Cinta, Surabaya dengan nama khusus Padang Mbulan, Kota Malang dengan nama BangbangWetan, dan di Yogyakarta kerap disebutkan dengan nama Mocopat Syafaat. Masing-masing memiliki karakter tersendiri berdasarkan karakteristik daerahnya.
Jamaah Maiyah terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang memiliki heterogenitas, Jamaah Maiyah dapat dibagi menjadi dua yakni jamaah rutin serta jamaah pengunjung. Jamaah rutin ialah jamaah yang memang memiliki kelekatan dengan dengan Maiyah itu sendiri sehingga tentunya memiliki intensitas tinggi dalam Maiyahan serta memiliki hubungan komunikasi dengan jamaah lainnya. Sedangkan jamaah pengunjung ialah jamaah yang mengikuti acara-acara
8
Maiyahan yang memposisikan dirinya hanya untuk mengikuti Maiyahan tetapi tidak membangun komunikasi yang intensif dengan para jamaah lainnya 4. Pengajian ini dilaksanakan pada malam ke-17 setiap bulannya.
Di wilayah Provinsi DI Yogyakarta sendiri, Mocopat Syafaat, pengajian ini seringkali dihadiri oleh tokoh-tokoh dari lintas agama, aliran, suku bangsa, etnik, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), mahasiswa dalam dan luar negeri, dan lain-lain dengan dominasi nuansa budaya. Terkadang mereka, para jamaah ini membawa nama individu ataupun berkelompok secara kolektif dengan rekanrekannya yang memiliki passion pengajian yang sama. Salah satunya adalah pengajian bulanan yang terdapat di berbagai kota di Nusantara, di mana sebuah tema telah disiapkan oleh panitia yang menyelenggarakan pengajian ini, yang umumnya merupakan materi kekinian. Di daerah ini, tradisi yang sering diikuti oleh para jamaah adalah mengikuti berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kebudayaan Jawa. Lalu diskusi pun dimulai diikuti dengan pernyataan-pernyataan yang telah dinyatakan oleh moderator.
Selama ini di daerah ini, peserta acara pengajian didominasi oleh para pemuda yang mayoritas merupakan mahasiswa, aktivis, dll., serta ada pula masyarakat urban yang tempat tinggalnya nomaden atau berpindah-pindah. Eksistensi mereka dalam kegiatan gerakan Maiyah ini menunjukkan suatu gejala sosial yang didominasi fenomena keagamaan yang massif, konsisten, dan berkelanjutan di mana mereka membangun dunianya sendiri untuk kemudian bisa membangun masyarakat sekitar bahkan negeri ini. Meskipun peserta Maiyah 4
Mengutip dari tulisan Kaisar Atmaja, S. Sos. yang berjudul Jalan Lain Pemberdayaan: Pengajian Gerakan Jamaah Maiyah, Sebuah Tinjauan Awal yang diterbitkan oleh LOGOS, FISIPOL UGM, di Yogyakarta pada tahun 2013
9
bukan hanya pemuda, namun berasal dari berbagai usia atau lintas generasi, Jamaah Maiyah, khususnya Mocopat Syafaat didominasi oleh para pemuda.
Realitas seperti ini senada dengan Peter L. Berger, seorang sosiolog humanis yang dilahirkan sejak 1929 ini mengatakan bahwa hanya dalam suatu dunia yang dihasilkan oleh diri sendirilah,
manusia bisa menempatkan diri serta
merealisasikan kehidupannya. Tetapi, proses yang sama untuk membangun dunia itu juga menyelesaikan pembentukan dirinya, dengan kata lain manusia bukan saja memprodusir dirinya sendiri, namun juga membangun dirinya sendiri. Lebih tepatnya lagi, dia memprodusir dirinya sendiri dalam suatu dunia5.
Pada awalnya, cikal bakal terbentuknya Jamaah Maiyah sendiri dirintis melalui pengajian Padang Mbulan di Jawa Timur hingga kemudian menyebar ke berbagai kota karena jumlah jamaah yang semakin banyak. Pasca reformasi hingga saat ini semangat yang dibawa adalah shalawatan bersama-sama yang diiringi oleh Grup Musik Kiyai Kanjeng (kelompok musik yang menggunakan perpaduan alat musik tradisional dan modern yang mengiringi Jamaah Maiyah). Pada perkembangannya, pengajian ini semakin inklusif dengan menghadirkan pembicara dari berbagai lintas disiplin keilmuan dalam mengawali diskusi yang bersifat egaliter dan dialogis. Kemudian bisa disaksikan bahwa terdapat sosok seorang figur Maiyah yang menjadi sosok sentral yang memediasi jalannya diskusi dalam pengajian secara intensif, yakni Emha Ainun Nadjib atau yang akrab dikenal dengan nama panggilan Cak Nun.
5
Mengutip dari salah satu buku yang ditulis oleh Peter Berger (lahir pada 1991), Langit Suci (Agama Sebagai Realitas Sosial), yang dietrbitkan oleh LP3ES di Jakarta pada tahun 1994. Buku ini merupakan cetakan kedua.
10
Pemuda bangsa ini memang sedang mengalami krisis kepemimpinan, yakni kondisi sulitnya dalam mencari role model yang bisa dijadikan panutan agar bisa memiliki karakter yang sesuai dengan norma dan nilai yang dianut oleh bangsa ini. Pada era ini sudah sulit sekali mencari pemimpin atau tokoh yang layak dijadikan contoh yang ideal dalam bersikap maupun di segala aspek yang baik. Maka kehadiran tokoh Cak Nun di sini menjadi sorotan tersendiri di mana tokoh ini memberikan rasa bebas (dengan kata lain menawarkan pembebasan) pada para jamaah yang mengikuti pengajian yang diisi olehnya. Tak ada ikatan bahwa para jamaah harus berperilaku seperti apa, memiliki pemikiran seperti apapun juga, asalkan mereka tetap berpegang pada koridor agama yang seharusnya dipahami masyarakat secara umum. Dengan begitu, citra beliau sendiri tak tergantikan di mata para jamaah, terutama bagi para pemuda yang masih sangat membutuhkan sosok pemimpin ideal pada masa ini.
Sosok Cak Nun sebagai sentral dari pengajian yang diadakan oleh Gerakan Jamaah Maiyah ini menjadikan beliau sebagai sosok role model bagi para jamaah, khususnya anak muda. Terdapat nilai-nilai penting yang kemudian menjadi panduan khusus bagi para pemuda tersebut dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Secara mereka sadari atau tidak, pengajian yang mereka ikuti ini membentuk pola pikir yang berbeda hingga membentuk kepribadiannya dalam bersikap, baik sebagai makhluk individu maupu makhluk sosial yang mana pada usia tersebut, para pemuda tersebut juga sedang mencari sisi-sisi identitas yang segera melekat dalam dirinya. Oleh karena itu, hal yang kemudian menjadi penting dalam penelitian ini adalah dengan bergabungnya mereka dalam Gerakan Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat memiliki pengaruh tersendiri dalam mengubah
11
gaya hidup pemuda kekinian yang cenderung apatis yang telah dijelaskan sebelumnya dengan berbagai latar belakang (beragam) yang dimilikinya.
Kegiatan Gerakan Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat memang memiliki dimensi sosio-kultural di dalamnya yang bersifat egaliter dan memberikan pencerahan. Hal tersebut tersebut membuat para anggotanya, terutama para pemuda yang datang dari berbagai daerah tersebut merasa antusias untuk berada di setiap sesinya. Selain itu, pengajian ini sama sekali tidak memaksa jamaah untuk selalu datang secara konsisten, atau untuk menghadiri setiap kegiatan yang diadakan bagi Jamaah Maiyah karena mereka tidak terikat secara struktur, jamaah bebas menetukan sikapnya untuk datang atau tidak6. Meskipun begitu, pengajian rutin yang diadakan setiap bulannya tidak pernah sepi dari jamaah yang menghadirinya, mereka seperti memiliki kedekatan emosional dengan berbagai hal di dalamnya. Dalam berbagai aktivitas yang diadakan bagi para jamaah, baik itu berupa pengajian rutin, diskusi kecil, pementasan teater dan puisi, hingga bedah buku yang diadakan oleh pihak perpustakaan EAN tidak pernah tidak ramai oleh para jamaah yang antusias mengikuti kegiatan tersebut. Tidak hanya itu, Jamaah Maiyah sebagai suatu gerakan terdiri atas berbagai subjek utama di dalamnya, seperti Cak Nun sebagai tokoh sentral di dalamnya, Kiai Kanjeng, Progress dan tokoh-tokoh Kadipiro, Perpus EAN, FGD (diskusi martabat dan diskusi kecil lainnya), Letto, Rembug Mocopat Syafaat (RMS), TKIT Alhamdulillah, dan SMK Global Jombang. Jamaah Maiyah merupakan suatu
6
Informasi ini diambil dari tesis Kaisar Atmaja, Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UGM yang berjudul Makna Shalawatan Bersama pada Pengajian Mocopat Syafaat di Dusun Jetis Kasihan Bantul Yogyakarta Bagi Peserta Shalawatan, diterbitkan pada tahun 2014
12
kesatuan para penggiat di atas dengan para jamaah yang hadir dalam kegiatankegiatan Maiyahan.
Begitu pula dengan beragam motivasi atau tujuan di dalamnya, baik itu untuk sekedar menambah wawasan, mengikuti pengajian (shalawat dan ceramah), diskusi, serta ingin berjumpa langsung dengan Cak Nun, mampu membentuk pola pikir yang berbeda dalam diri para jamaah pemuda komunitas pengajian ini hingga kemudian bertransformasi menjadi suatu budaya tanding atau yang dikenal dengan istilah popular counter culture dalam melawan gaya hidup yang telah membudaya yang sedang berlangsung di masa ini.
Pembentukan
suatu
komunitas
yang
berbeda
bukan
hanya
suatu
ketidaksengajaan atau terbentuk begitu saja. Ada sisi lain dari Jamaah Maiyah, di mana suatu ketika pembicara rutin dalam Mocopat Syafaat mengatakan bahwa melalui Maiyah, sudah lahir para calon pemimpin Indonesia secara mandiri yang membentuk suatu kelompok. Dalam hal ini, ia memberi penekanan sebagai kelompok bukanlah sebagai suatu institusi, tapi Maiyah menjadi sebagai suatu labolatorium mengenai pembelajaran kehidupan. Cak Nun pun menyatakan secara langsung bahwa Maiyah sebagai sebuah tempat menanam hal-hal yang baik, formulasi akal-akal pikiran yang baik. Hal ini mengindikasikan terdapat suatu proses dalam menanamkan pola pikir di sebuah sekolah kepribadian dan wawasan ala Maiyah yang para murid (jamaah)nya tidak merasa diajarkan secara terikat, namun secara sadar ingin terus belajar dari setiap aktivitas yang diikuti.
Selain karena memang berbeda dari komunitas keagamaan pada umumnya, Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat menawarkan suatu alternatif bagi para generasi
13
muda dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman dari setiap tindakannya. Dampak ini disebabkan oleh para jamaah yang selalu dilibatkan dalam setiap diskusi dengan memberikan ruang yang besar bagi keterlibatannya tersebut secara dialogis mengenai isu-isu terkini seperti isu bertema politik, sosial, agama, budaya, dan topik lainnya yang tidak lazim terdapat dalam komunitas-komunitas sosial keagamaan lainnya.
Oleh karena berbagai alasan inilah membuat topik ini menarik untuk diteliti, yakni mengenai Gerakan Jamaah Maiyah sebagai suatu gerakan counter culture bagi para generasi muda. Gerakan ini membangun kapital dengan caranya sendiri, namun tidak antipasi dengan sistem kapitalisme yang sedang berlangsung. Meskipun begitu, Jamaah Maiyah menentangnya dengan mencoba membangun sistem yang baru dari tingkat yang paling mendasar, akar rumput, karena resah dengan buruknya kondisi sosial ekonomi seperti protes yang selayaknya dilakukan oleh suatu gerakan counter culture. Tidak hanya itu, Gerakan Jamaah Maiyah juga menentang sistem pendidikan yang sedang digunakan saat ini yang diasumsikannya hanya mencetak pekerja tanpa jiwa sebagai seorang manusia. Ilmu yang didapatkan di institusi baginya hanyalah remeh temeh. Ini merupakan suatu penekanan bagi pendidikan, sehingga yang dibangun adalah suatu konfigurasi pikiran, yakni dengan cara dan konstruksi berpikir yang tidak hanya mengumpulkan informasi, namun berpikir analitis.
Pemuda yang menjadi anggota di dalamnya yang menjadi fokus penelitian ini merupakan Jamaah Maiyah yang mengikuti pengajian ini secara rutin di Yogyakarta, yakni Mocopat Syafaat. Dengan berbagai asumsi yang dijadikan
14
suatu kesatuan di atas, judul yang dijadikan pijakan dalam penelitian adalah Gerakan Jamaah Maiyah sebagai Counter Culture (Studi pada Pemuda Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat di Yogyakarta).
B. Rumusan Masalah Mengingat minimnya sebuah gerakan Counter Culture di negeri ini, serta melihat Gerakan Jamaah Maiyah Mocopat yang diasumsikan memiliki karakteristik untuk dikatakan sebagai sebuah gerakan counter culture, maka diletakkan hal pokok yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pembentukan Gerakan Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat sebagai counter culture bagi para generasi muda?”
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah penelitian yang telah diungkapkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah bermaksud menjawab pertanyaan yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini. Dengan demikian tujuan penelitian ini terbagi menjadi dua hal, yakni untuk mengetahui:
1) Refleksi dari Gerakan Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat sebagai sebuah gerakan yang menjadi counter culture bagi generasi muda yang dilihat dengan beberapa indikator.
15
2) Berdasarkan pemaparan mengenai pandangan para pemuda setelah mereka mengikuti aktivitas-aktivitas yang diadakan dalam lingkaran Jamaah Maiyah, penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan jawaban mengenai pembentukan Gerakan Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat sebagai counter culture bagi para pemuda di dalamnya.
D. Manfaat Penelitian Setelah menemukan jawaban dari beberapa pertanyaan di atas, diharapkan penelitian ini sedikit membantu untuk membuka mata pembaca bahwa terdapat suatu gerakan counter culture di negeri ini yang berbeda dari gerakan kebanyakan, yang pengaruhnya cukup signifikan dalam perubahan pola pikir serta perilaku para pemuda yang secara sadar melibatkan diri dalam berbagai aktivitas di dalamnya. Meskipun dimulai dari suatu pengajian, namun kini peserta di dalamnya bukan hanya umat muslim, namun juga umat beragama lainnya karena memang pengajian ini dibebaskan bagi semua orang. Selain itu tak hanya dihadiri oleh orang-orang yang ingin mendengarkan ceramah agama, namun juga orangorang yang ingin menambah wawasan mengenai berbagai hal, termasuk wawasan kebangsaan.
16
E. Kajian Pustaka Dari hasil penelusuran literatur yang peneliti lakukan, peneliti menemukan ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan Jamaah Maiyah yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini, yakni:
-
Paper penelitian yang berjudul Makna Kebahagiaan Pada Jamaah Maiyah Komunitas Bangbangwetan Surabaya, dilakukanoleh Ari Rahmawati, Ika Herani, dan Lusy Asa Akhrani diterbitkan oleh Universitas Brawijaya Malang pada tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggambarkan makna kebahagiaan pada anggota Komunitas Bangbangwetan (Jamaah Maiyah Surabaya) berdasarkan nilai-nilai kebajikan yang ada pada komunitas tersebut. Nilai kebajikan dalam Komunitas Bangbangwetam didasarkan pada konsep Maiyah, yang dimaknai sebagai kebersamaan dengan Tuhan, Nabi/ Rasul, dan manusia. Alat analisis yang digunakan adalah konsep Seligman tentang kebahagiaan. Dengan teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif-fenomenologis yang menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi dengan melibatkan tiga subjek penelitian yang telah terlibat secara aktif dalam Jamaah Maiyah, penelitian ini kemudian menghasilkan indikasi bahwa makna kebahagiaan adalah bersyukur. Perasaan syukur ini muncul sebagai reaksi proses pendewasaan pada diri, tentang bagaimana mereka menyikapi hidup dengan nilai-nilai yang dianut. Konsep kebersamaan mendorong munculnya kekuatan-khas dan kebajikan personal dalam bentuk kearifan dan pengetahuan, keberanian, kemanusiaan dan cinta, keadilan, kesederhanaan, serta transendensi.
17
Persamaan paper ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah subjek kajian, yakni Jamaah Maiyah, hanya saja paper ini meneliti mengenai Jamaah Maiyah yang berada di Surabaya, yakni Bangbangwetan, sedangkan penelitian ini mengenai Jamaah Maiyah yang berada di Yogyakarta, yakni Mocopat Syafaat. Perbedaan mendasar terletak pada fokus kajian kedua penelitian ini. Paper ini berfokus pada makna kebahagiaan yang ada dalam diri para Jamaah Maiyah secara individual, sedangkan peneliti memiliki fokus pada cara Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat memaknai berbagai materi yang diberikan dalam setiap pertemuannya kemudian dipaparkan menjadi suatu gerakan counter culture yang membedakan komunitas ini dengan komunitas lainnya.
-
Salah satu tulisan berjudul Jalan lain Pemberdayaan: Pengajian Gerakan Jamaah Maiyah, Sebuah Tinjauan Awal, ditulis oleh Kaisar Atmaja, S. Sos. Yang diterbitkan oleh LOGOS (Lingkar Studi Mikrososiologi) Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013. Tulisan ini merupakan salah satu bagian dari sebuah buku yang berjudul Aleniasi, Fenomenologi, dan Pembebasan individu edisi Tradisi Mikrososiologi. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab suatu rumusan pertanyaan mengenai apakah konsistensi kebersamaan pengajian komunitas (epistemik) Jamaah Maiyah dengan bangunan fondasi kultural keagamaan yang melatarinya dapat dan layak dikatakan sebagai kegiatan pemberdayaan? Jika jawabannya iya, pemberdayaan seperti apa? Metode yang digunakan dalam menganalisis pertanyaan-pertanyaan ini adalah fenomenologi dalam rangka mendapatkan data-data mentah yang bersifat apa adanya dari para Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat, serta
18
Sosiologi Pengetahuan dalam memahami makna yang didapatkan para jamaah dari keterlibatan mereka dalam pengajian tersebut secara lebih jauh. Hasilnya adalah terdapat dua jenis pemberdayaan yang terdapat dalam Gerakan Jamaah Maiyah, yakni pemberdayaan yang bersifat praktis di mana para jamaah diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman, serta munculnya para pedagang yang berasal dari masyarakat setempat yang mendapat manfaat secara ekonomi dengan berjualan barang dan jasa di sekitar lokasi pengajian. Selain itu, muncul pula pemberdayaan dalam bidang teoritis di mana terdapat kebersamaan dalam Komunitas Gerakan Jamaah Maiyah yang melakukan komunikasi dan dialog yang egaliter antar sesama jamaah.
Tulisan yang dibuat oleh Kaisar ini memiliki banyak persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sehingga peneliti pun cukup banyak mengambil rujukan dari hasil pengamatan ini. Persamaan dasarnya adalah sama-sama meneliti Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat di Yogyakarta, namun tetap memiliki perbedaan dengan penelitian ini, yakni fokus kajian Kaisar pada Gerakan Jamaah Maiyah sebagai suatu pemberdayaan dalam setiap pertemuannya. Penelitian ini melihat lebih jauh menuju pada suatu realitas di dalam kehidupan para pemuda yang menjadi anggota komunitas pengajian ini hingga menjadi suatu gerakan counter coulter dari setiap pertemuan yang mereka lakukan.
-
Skripsi berjudul Konstruksi Sosial Religiusitas (Studi tentang Religiusitas terhadap Jama’ah Maiyah di Yogyakarta) yang dilakukan oleh Barikur Rahman, S. Sos. Hasil dari penelitian ini kemudian diterbitkan oleh
19
Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masa-masa frustasi yang dialami oleh para Jamaah Maiyah di mana mereka lalu kembali mendapatkan obat untuk mendapatkan religiusitas dari pengajian yang mereka ikuti ini. Rumusan masalah yang muncul adalah bagaimana konstruksi religiusitas dalam Maiyahan?; bagaimana Jama’ah Maiyah dari berbagai kategori sosial memaknai aktifitas Maiyahan?; dan bagaimana dinamika dan pengaruh religiusitas Maiyahan? Dalam upaya menjawab permasalahan tersebut peneliti menggunakan pisau analisis dari Berger, yaitu teori konstruksi realitas religiusitas. Dalam teori tersebut secara garis besar dibahas mengenai proses dialektik internalisasi, obyektivasi dan eksternalisasi yang dilengkapi dengan konsep realitas subjektif dan realitas objektif. Hasil penelitian ini adalah konstruksi realitas religiusitas terjadi secara berbeda di antara Jama’ah Maiyah antar kategori sosial. Tetapi keseluruhan membuktikan bahwa terjadi proses dialektika religiusitas mulai dari sosialisasi primer baik dari orang tua, pendidikan religiusitas, lingkungan religius, atau dari bacaan dan minat tertentu. Sedangkan Maiyahan cenderung menempati posisi sebagai sosialisasi sekunder. Seorang Jama’ah Maiyah tidak selalu telah mengalami sosialisasi primer dengan baik sebelum mengikuti Maiyahan. Tetapi Maiyahan mampu menjadi sumber religiusitas bagi seluruh Jama’ah Maiyah baik yang telah banyak mengerti religiusitas maupun yang sedikit. Maiyahan terbuka dan disenangi oleh kebanyakan Jama’ah Maiyah dari seluruh kategori sosial.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahman ini banyak menginspirasi dalam proses dilakukannya penelitian ini. Rahman mencoba untuk meneliti
20
mengenai subjek kajian yang sama dengan yang akan diteliti dalam penelitian ini, yakni Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat. Profil Jamaah Maiyah yang dipaparkan cukup lengkap untuk menjadi rujukan, hanya saja Rahman hanya mencoba meneliti mengenai satu sisi dari para anggota Maiyah itu sendiri, yakni sisi religiusitas, sedangkan penelitian ini mencoba melihat berbagai sisi dari para anggota komunitas pengajian ini, yakni gaya hidup yang mencakup ke sisi sosio kultural serta keagamaan yang menjadi dasar dari terbentuknya Maiyah itu sendiri. Persamaan lainnya adalah Rahman membuat berbagai kategori sosial bagi subjek penelitiannya seperti yang juga telah dilakukan dalam penelitian ini, namun ketika Rahman mengambil subjek penelitian dari semua usia, penelitian ini hanya menunjuk pemuda secara khusus sebagai subjek penelitian namun dibentuk dengan kategori yang hampir sama dengan yang dilakukan oleh bari, yakni jenis kelamin, status kerja, serta kelas sosial.
-
Skripsi berjudul Nilai-nilai Pendidikan Multikultural dalam Forum Jamaah Maiyah yang dilakukan oleh Witarko, S.Pd. yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2014. Skripsi ini berawal dari kegelisahan Witarkoak pada kondisi lemahnya pendidikan modern yang belum mampu memberi solusi mengenai penyelesaian konflik vertikal maupun horizontal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pemuda merupakan generasi penerus bangsa yang seharusnya mampu memecahkan dan mengurai setiap masalah dan persoalan yang dihadapi bangsa ini justru larut ditengah-tengah modernitas yang sangat glamor. Banyak yang terjerumus dalam tawuran antar pelajar, perkelahian antar geng, premanisme, dan
komunitas-komunitas
yang
brutal.
Dengan
bekal
pemahaman
21
multikultural dan aktualisasi nilai-nilai pendidikan multikultural, diharapkan mampu menyelesaikan dan mengurai seluruk konflik dan persoalan yang terjadi saat ini dan yang akan datang. Perubahan-perubahan sikap dan perilaku para jamaah yang lebih positif dan baik dalam menyikapi keadaan yang ada disekitar mereka semuanya, dalam keadaan perbedaan sosial, ekonomi, politik, budaya, agama, pemikiran dan pandangan, jamaah Maiyah mampu menyikapi semuanya dengan pemahaman multikultural yang mereka dapatkan dalam Mocopat Syafaat.
Witarko banyak membahas mengenai perilaku pemuda kekinian yang sama dengan kajian dari penelitian ini. Bagaimana pemuda berperilaku tak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, terutama berhubungan dengan pemahaman mereka tentang berbagai perbedaan masing-masing individu yang banyak ditemukan dalam masyarakat. sebaliknya, penelitian ini ingin melihat lebih jauh bukan hanya pemuda menyikapi perbedaan secara kultural tersebut namun gaya hidupnya secara kompleks.
-
Mengenai counter culture sendiri, jarang sekali ada penelitian yang membahas mengenai gerakan counter culture meskipun ada hanya sedikit menyentuh counter culture dari sudut pandang sebuah gerakan sosial, namun di sini ditemukan suatu penelitian mengenai The Counter Culture: a Potrait of American Society in the 1960s. Ini merupakan sebuah tesis hasil penelitian seorang mahasiswa program Magister American Studies UGM yang dilakukan pada tahun 1997. I Wayan Dirga Yasa membahas mengenai kondisi gerakan sosial di Amerika Serikat pada awal abad ke-21 di mana
22
masyarakat setempat telah kedatangan suatu gerakan sosial baru. Masyarakat Amerika ingin hidup dengan bebas dari budaya materialistis yang saat itu mendominasi kehidupan masyarakat di Negara ini. Dengan munculnya suatu Counter Culture yang lebih bernuansa politik, menarik gerakan-gerakan yang lain untuk turut muncul dan menunjukkan eksistensinya melakukan perlawanan seperti Gerakan Kiri Baru, Gerakan Mahasiswa untuk Masyarakat yang demokratis, serta Gerakan Kulit Hitam. -
Hampir sama dengan Yasa yang melakukan studi kasus mengenai gerakan counter culture di Amerika Serikat yang sudah lampau, penelitian juga mengkaji mengenai suatu gerakan yang juga bisa dikatakan sebagai counter culture namun dengan jenis yang berbeda.
Dari beberapa penelitian di atas belum ada yang meneliti mengenai Gerakan Jamaah Maiyah sebagai counter culture bagi para pemuda, maka peneliti berkeinginan untuk mengetahui lebih dalam mengenai berbagai alasan Jamaah Maiyah di Yogyakarta yang dikenal dengan nama Mocopat Syafaat dalam untuk menjadi gerakan counter culture tersebut, baik bagi para pemuda yang menjadi jamaah rutin yang mengikuti pengajian ini serta untuk pemuda lainnya yang tidak berada dalam lingkaran jamaah. Selama ini belum ada penelitian sejenis yang melihat peran tersebut karena Jamaah Maiyah lebih diidentikkan sebagai sebuah komunitas pengajian agama. Terlebih lagi, penelitian-penelitian sebelumnya kebanyakan hanya mengkaji jamaah secara umum tanpa melihat lebih jauh bahwa Mocopat Syafaat sendiri didominasi oleh para pemuda yang tentunya memiliki motivasi tersendiri dalam mengikuti berbagai aktivitas Mocopat Syafaat yang beragam. Dengan demikian, peneliti berharap bahwa penelitian ini memiliki
23
keunikan tersendiri dari penelitian-penelitian mengenai Jamaah Maiyah yang sudah dilakukan sebelumnya.
F. Kerangka Teoritik 1. Counter Culture
Banyak dunia kepenulisan yang membahas mengenai suatu istilah yang dinamakan counter culture. Dalam hal ini, meskipun memiliki definisi dalam bahasa, istilah counter culture di Indonesia masih tetap ditulis dalam Bahasa Inggris dalam beberapa literatur. Bahasan mengenai konsep ini memang beragam, di mana banyak dari literatur tersebut yang menjelaskan mengenai counter culture dari berbagai sudut pandang, topik, dan latar belakang dalam menuliskannya. Istilah ini untuk pertama kalinya diusulkan oleh Milton Yinger dalam Tinjauan Sosiologis mengenai Masyarakat Amerika Serikat, yaitu Contra Culture and Subculture di tahun 1960.
Dalam bukunya yang berjudul Counter Culture yang ditulis pada tahun 1982, John Milton Yinger mendefinisikan suatu istilah culture counter (di Indonesia juga disebut dengan budaya tanding 7) sebagai seperangkat norma dan nilai dari sebuah kelompok yang secara tajam bertentangan dengan norma dan nilai dominan dalam masyarakat dimana kelompok itu menjadi bagiannya. Konsep ini memadukan tiga bentuk protes, yakni penentangan terhadap nilai dominan, penentangan terhadap struktur kekuasaan, serta penentangan terhadap pola-pola
7
Dikutip dari Budaya Visual Indonesia: Membaca Makna Perkembangan Gaya Visual Karya Desain yang ditulis oleh Agus Sachari yang diterbitkan oleh Erlangga pada tahun 2007.
24
komunikasi yang terperangkap dalam nilai-nialai dominan tersebut. Kekuasaan dominan biasanya melahirkan budaya “bisu”, budaya patuh, budaya tunduk, dan bahkan budaya ketakutan. Dengan demikian counter culture biasanya mencoba bersuara untuk menyampaikan gagasan alternatif untuk menjelaskan identitas, pikiran, gaya hidup, dan cita-cita masyarakat yang dipilihnya 8.
Konsep ini memiliki sebutan lain, yaitu contraculture yang bermakna sama namun biasanya digunakan untuk menunjukkan suatu pertentangan budaya dan ungkapan tertentu. Selain itu, counter counter disebut sebagai contra culture ketika terdapat konflik di antara nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok subculture hingga dalam masyarakat yang lebih luas lagi yang berarti bahwa counter counter merupakan suatu kelompok yang berbeda dari kebanyakan orang yang masih memegang nilai-nilai serta norma budaya yang mereka yakini sejak lama yang berbeda pula dengan konteks masyarakat yang lebih luas dalam suatu wilayah tertentu atau Negara. Subculture sendiri merupakan bentuk sederhana dari counter culture, meskipun dalam konteks yang lebih luas istilah ini tidak selalu bermakna counter culture9.
Kemunculannya yakni ditandai dengan munculnya pilihan budaya dan gaya hidup generasi yang berbeda dan dalam tingkat tertentu berlawanan dengan generasi sebelumnya. Situasi yang sering diambil untuk menggambarkan hal itu adalah apa yang terjadi ketika para remaja menolak nilai, norma, dan perilaku
8
Mengutip dari buku Counter Culture: The Promise and Perli of a World Turned Upside Down yang ditulis oleh J. Milton Yinger, diterbitkan oleh Free Press pada Januari 1982 9 Lih tesis I Wayan Dirge Yasa, The Counter Culture: A Portrait of Counter Culture, diterbitkan oleh Progrm Pascasarjana Pengkajian Amerika UGM pada tahun 1997
25
budaya dominan orang tua yang mereka pandang hegemonik dan memberlakukan kebenaran tunggal serta tidak sangat sesuai dengan prinsip demokrasi dan kebebasan. Para remaja kerap menggambarkan bentuk perlawanan dengan beragam pilihan di antaranya dengan menggunakan pakaian distro sebagai bentuk ketidakpuasan dengan peraturan dalam suatu komunitas yang dianggap mengganggu prinsip kebebasannya. Misalnya, di dalam lingkungan sekolah yang kesehariannya wajib menggunakan pakaian seragam10. Hal inilah yang memunculkan titik bosan pada kaum remaja di mana pada dasarnya kaum muda memang penuh dengan hasrat lebih untuk menjadi sosok yang kreatif.
Selain itu, istilah counter culture juga merujuk pada suatu jenis kebudayaan yang dimiliki secara umum dalam masyarakat. Dari sudut pandang struktur dan tingkatan dari culture mungkin berkembang lagi kebudayaan‐kebudayaan yang khusus yang tidak bertentangan dengan kebudayaan induk disebut sub culture, namun bila bertentangan dengan kebudayaan induk disebut counter culture. Secara analitis
istilah ini dapat
dibedakan antara penyimpangan dan
penyelewengan, keduanya merupakan counter cultureyang dimaknai sebagai istilah yang negatif. Namun sebenarnya counter culture tidak selalu harus diberi arti negatif, karena adanya gejala tersebut dapat dijadikan petunjuk bahwa kebudayaan
induk
dianggap
perkembangan kebutuhan11.
10
kurang
dapat
menyerasikan
diri
dengan
Dalam hal ini terdapat suatu kebiasaan yang
Lih.Skripsi berjudul Gaya Hidup Distro (Studi Kasus Remaja Berpakaian Distro di Antang Kecamatan Manggala Kota Makassar) Karya Iswanto.Skripsi ini kemudian diterbitkan oleh Universitas Hasanuddin di Makassar pada tahun 2012. 11 Hal ini merujuk pada tulisan yang berjudul Kebudayaan Dan Masyarakat yang disampaikan dalam mata kuliah Pengantar Sistem Sosial pada mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota di Fakultas Teknik Universitas Esa Unggul. Tulisan ini disusun oleh Dr. Ir. Ken Kartina k, mt.
26
membudaya di masyarakat yang kurang atau bahkan tidak relevan lagi dengan masyarakat setempat, maka muncul konsep ini untuk menentang kebudayaan yang ada tersebut dengan memunculkan konsep yang berbeda dari konsep-konsep kebudayaan sebelumnya.
Dalam literatur lainnya disebutkan bahwa counter culture adalah budaya yang dikembangkan oleh generasi muda sebagai ajang perjuangan melawan pengawasan kelompok dominan (orang tua, kalangan elite masyarakat, norma sosial yang ketat, dan sebagainya). Perjuangan yang ditunjukan antara lain dalam bentuk pakaian, sikap, bahasa, musik, hingga gaya. Dengan kata lain konsep ini merupakan bentuk penentangan, protes politis, hinga perang gerilya semiotik terhadap segala sesuatu yang berciri khas kemapanan. Beberapa perilaku budaya tanding yang tidak patut pada sat ini, akan berada di antara norma-norma kebudayan masa mendatang. Di berbagai belahan dunia, budaya pemuda menjadi counter culture (budaya perlawanan) sebagai wadah bagi orang-orang yang menuju perubahan sosial dan berkeinginan menghapuskan kekuatan kapitalisme yang dianggap sumber penindasan yang mesti dikendalikan sebelum keadilan sosial dapat tercapai dengan baik.12
Selain itu counter culture juga dikenal dengan sebutan kontrakultur terjemahan dari contra culture. Meskipun dipopulerkan oleh Yinger, istilah kontrakultur ditemukan oleh Theodore Roszak (penerbit, editor, dan pengarang asal Amerika) pada tahun 1969. Melalui buku The Making of Counterculture, ia 12
Merujuk pada sebuah tulisan berjudul Dari Subkultur Ke Budaya Perlawanan: Aspirasi dan Pemikiran Sebagian dari Kaum Punk/Hardcore dan Skinhead di Yogyakarta dan Bandung yang ditulis oleh Joanna Margaret Pickles. Kemudian hasil penelitian ini diterbitkan oleh Universitas Muhammadiyah Malang di Malang pada tahun 2000
27
menyatakan bahwa dengan kontrakultur akan ada kelompok-kelompok progresif dan libertarian yang siap mengubah dan mengantikan masyarakat barat yang statis, dekaden, serta tidak menyenangkan. Anggapan tentang kultur yang menyatu dan lembaga alternatif yang dibentuk dari unsur-unsur pemberontakan kaum muda kelas menengah telah dipromosikan secara antusias di Amerika Serikat. Tahun 1973 gagasan ini surut ketika gerakan-gerakan anti kemapanan semakin terpuruk dalam keterpecahan13. Roszak mendefinisikan counter culture sebagai suatu kebudayaan yang sangat terpisah dari asumsi umum masyarakat, sehingga banyak yang memandang counter culture bukanlah merupakan kebudayaan melainkan gangguan yang harus diwaspadai. Dalam hal ini, counter culture berusaha untuk menandingi budaya teknokrasi di mana teknokrasi sebagai suatu bentuk sosial dari masyarakat industri yang telah mencapai puncak integritas organisasinya. Setiap anggota masyarakat bekerja untuk kepentingan masyarakat teknokrat secara umum, misalnya adanya efisiensi pekerjaan serta perwujudan dan koordinasi dari sumber daya manusia yang ada. 14 “Nampaknya memang tidak berlebihan menyebut kegiatan pemuda yang kita lihat itu sebagai suatu kebudayaan tandingan.Diartikan sebagai suatu kebudayaan yang telah demikian radikal berbeda dari kerangka dasar mesayarakat yang diterima umum, sihingga di mata kebanyakan orang, gerakan itu tidak terlihat sebagai suatu kebudayaan, melainkan berwujud sebagai suatu serangan barbar yang menakutkan”. 15
13
Mengutip dari skripsi berjudul sepeda Fixed Gear sebagai Identitas Kelompok Cyclebandidos di Yogyakarta pada hal.23-24. Penelitian ini dilakukan oleh Guardina Ardi pada tahun 2012 yang diterbitkan oleh Universitas Negeri Yogyakarta di Yogyakarta. 14 Lih. tulisan Theodore Roszak berjudul The Making of Counter Culture (Reflections on The Technocratic Society and Its Youthful Opposition) yang diterbitkan oleh Doubleday & Company, inc. di New York pada tahun 1969. 15 Ibid, hal. 42
28
Konsep ini sebenarnya sudah dikenal sejak lama dan diawali oleh suatu Negara adidaya, yakni Amerika Serikat. Sejarah Amerika Serikat mencatat bahwa saat memasuki tahun 1960-an, anak-anak yang lahir pada masa Baby Boom telah menjadi anak muda dan menjadi penggerak dari counter culture/kebudayaan tandingan. Melalui counter culture, golongan muda menentang kehidupan para orangtuanya yang kaku dan telah mengorbankan hubungan pribadi antar manusia untuk bekerja agar dapat mempertahankan kemakmuran ekonomi. 16
Ia sendiri telah menggambarkan cita-cita dari gerakan counter culture dalam beberapa hal, yaitu sebagai berikut: 1. Kami menyebutnya “pendidikan”, “sebuah kehidupan dalam pikiran”, “pencarian kebenaran” ini adalah barikade kami melawan birokrasi: korporasi, pemerintahan korup, militerisme, membela kaum buruh dan hak edukasi. 2. Kami tidak mendukung “usaha bebas”, karena merupakan sistem oligopoly yang sangat ketat, dimanipulasi kemudian dilempar ke masyarakat
sehingga terbentuk
masyarakat
sebagai konsumen
kompulsif. 3. Kami menyebutnya “kemewahan berkreatifitas”: seperti kegiatan melukis dan seni rupa perpanjangan dari kegiatan kampus, liburan tropis, sebuah kunjungan ke pegunungan yang jauh, dan pantai yang
16
Mengacu pada sebuah hasil penelitian berbentuk skripsi berjudul Buku Komik sebagai Bentuk Budaya Populer di Kalangan Muda Amerika Serikat tahun 1956-1969 yang disusun oleh Patria Pinandita, mahasiswi Program Studi Sejarah, diterbitkan oleh Universitas Indonesia pada tahun 2005.
29
cerah. Namun, ini adalah kerinduan seksual, sebuah pencapaian atas orang-orang yang menghargai cinta. 4. Kami menyebutnya “pluralisme”. Hal ini adalah masalah otoritas publik, menegaskan bahwa setiap orang berhak mengungkapkan pendapatnya tanpa terkecuali dan berhak menggabaikan mereka yang berniat menggagalkannya.Dimata pluralisme, pandangan kritis adalah konsepsi kebebasan dalam berpendapat. 5. Kami tidak sepakat dengan sistem “demokrasi”. Demokrasi ini adalah voting tertinggi masyarat dengan menggunakan “sampel acak”. Peserta diminta mengangguk dan menggeleng untuk memastikan jawabannya, Tapi di tangan sang pemegang keputusan, hasil bisa dirubah sesuai dengan kemauannya. Oleh karena itu, apabila 80% memilih “salah” untuk pergi berperang di Vietnam, maka selanjutnya peserta diberi “penyuluhan” sampai mereka sepakat dengan perang tersebut dan berangkat menjadi pasukan militer. 6. Kami memandang lemah “pemerintahan yang dikontrol oleh penguasa”. Karena entah siapa dibalik labirin parlemen akan menugaskan siapapun itu, apakah itu saya atau anda di suatu tempat konflik seperti Vietnam. Siapa yang terpilih akan berangkat sebagai pasukan Angkatan Laut, berangkat dengan kapal selam militer yang telah dipersenjatai untuk menyerang wilayah tertentu. Bisa jadi pelakunya saya atau anda yang ditugaskan untuk menekan tombol pembunuh itu.
30 7. Kami menuntut “kebebasan”, “kebahagiaan” dan menjadi masyarakat yang baik.17
Dalam hal kaitannya dengan budaya populer, counter culture yang kerap disebut sebagai budaya tandingan atau budaya tinggi menyesuaikan diri dengan moral dasar yang dianut sebuah masyarakat. Budaya tinggi ini adalah sebuah bentuk dukungan terhadap kestabilan dan kemapanan nilainilai dalam masyarakat, counter culture memberikan alternatif bagi sebuah masyarakat yang berubah, kemudian menjadi pemersatu unsur-unsur masyarakat yang terpisahkan kelas dan status sosial ke dalam satu komunitas massa maya.
Counter culture sebenarnya lebih menekankan hal-hal politik daripada simbolik. Ciri khas budaya perlawanan adalah kritik politik dan sosial, menentang sistem logika formal dan norma-norma sosial, maka dari itu watak dari sebuah counter culture lebih mendukung terhadap penolakan nilai-nilai masyarakat daripada bersumpah kesetiaan kepada sebuah kelas atau tradisi yang sedang berlangsung. Protes dari sebuah subkultur hanya sejauh kesadaran kelas dan sering dalam bentuk simbolik, vandalisme atau hooliganisme sedangkan budaya perlawanan lebih berideologi, berpolitik dan terutama melawan nilai-nilai sosial yang dominan dan lembagalembaga kemasyarakatan.
17
Lih. tulisan Theodore Roszak berjudul The Making of Counter Culture (Reflections on The Technocratic Society And Its Youthful Opposition) yang diterbitkan oleh Doubleday & Company, Inc. di New York pada tahun 1969 hal 16-18.
31
Selain Yinger dan Roszak, Herbert Marcuse turut serta dalam menunjukkan fokusnya mengenai counter culture. Guru besar filsafat politik asal Jerman ini berpartisipasi dalam menyuarakan kritik terhadap masyarakat industri modern. Pada awal tahun `60-an, masyarakat di negara-negara Barat baru mulai menyadari bahwa terdapat banyak kepincangan yang muncul dari adanya kemajuan teknologi modern yang sangat cocok dalam mendukung perkembangan kapitalisme. Masyarakat mulai menyadari bahwa ternyata masyarakat industri modern membawa serta bermacam-macam masalah yang tidak mudah dipecahkan dan merupakan ancaman bagi masa depan kehidupan manusia di dunia ini. Saat itulah muncul berbagai gerakan yang melakukan protes dan kritik. Oleh kelompok “Kiri Baru” atau The New Left, Marcuse dianggap sebagai seorang
“nabi”
yang
menyuarakan
pendapat
mereka
dengan
mencanangkan bahaya yang mengancam dunia dan umat manusia. Namun ketika ia menolak diadakannya gerakan-gerakan yang anarkis, ia disingkirkan oleh kelompok radikal karena dianggap tidak konsisten dengan apa yang diucapkannya. Bukunya, One Dimensional Man merupakan salah satu bukunya yang memuat pokok-pokok kritiknya terhadap masyarakat industri modern.
Menurutnya, masyarakat industri modern adalah masyarakat yang tidak sehat karena merupakan masyarakat yang hanya berdimensi satu di mana segala sesuatunya hanya diarahkan pada satu tujuan, yaitu keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, yakni sistem kapitalisme. Selain itu, masyarakat tersebut bersifat totaliter (menyeluruh;
32
mengurusi segala-galanya) dan represif (menindas; menekan). Masyarakat cenderung menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi yang lainnya. Manusia-manusia yang hidup di dalam masyarakat tersebut dibuat menjadi pasif dan reseptif, di mana mereka menerima saja apa yang ada, tidak lagi menghendaki perubahan. “Biarlah sistem ini jalan terus, karena hidup seperti ini enak dan menyenangkan”.
Masyarakat industri modern merupakan masyarakat yang rasional dalam detail, tetapi irasional dalam keseluruhan, bagaikan sebuah bis besar yang bagus dengan peralatan yang serba lengkap dan mewah, berjalan lancar dan enak, para penumpangnya pun merasa puas. Namun mereka tidak menyadari mengenai ke mana arah bis tersebut. Bahkan pengemudinya saja terbawa oleh mekanisme gerak mesin yang memutar roda bis pada porosnya, terus maju seturut dengan jalan satu-satunya yang membawa bis tersebut tanpa menyadari bahwa arah bis tersebut adalah menuju jurang kebinasaan. Untuk keluar dari keirasionalan masyarakat industri modern tersebut di mana dalam pandangan Marcuse pembebasan hanya bisa datang dari luar. Ia mengemukakan pokok-pokok pemikirannya mengenai sebuah kelas revolusioner yang dibayangkannya menjadi suatu gerakan counter culture yang digambarkannya sebagai salah satu sumber pembebasan manusia. Ia membayangkan bahwa kelas revolusioner merupakan segolongan kecil dalam masyarakat, lebih-lebih sebagai kelompok intelektual yang masih “sehat” dan belum dibekukan dalam sistem yang ada. Merekalah yang seharusnya menyarakan kebutuhan sebenarnya dari pihak mayoritas.
33
Ia mengungkapkan bahwa kesadaran akan ketidakbebasan umumnya berasal
dari
pemberontakan
macam-macam mahasiswa
gerakan di
pembebasan
Perancis
dan
seperti
Amerika
halnya Serikat,
pemberontakan orang-orang negro yang tinggal di lorong-lorong perkampungan Amerika Serikat, revolusi kebudayaan di RRC, Front Pembebasan nasional di Kuba dam Vietnam yang kesemuanya diarahkan pada berbagai establishment yang dengan sistemnya yang rapi dalam melakukan represi. Gerakan-gerakan tersebut yang mengungkapkan adanya kesadaran akan ketidakbebasan yang merupakan syarat mutlak dalam memunculkan kebutuhan akan pembebasan. Pada awalnya, dari kelompok-kelompok radikal itulah Marcuse berharap terjadinya suatu perubahan kualitatif atas keadaan masyarakat, yang diharapkan mampu menggantikan kelas revolusioner kaum buruh pada era Marx yang dianggapnya belum mampu mewujudkan suatu perubahan.
Marcuse berpendapat bahwa dengan melihat moralitas, pola budaya, pola berpikir, dan pola kehidupan mereka pada umumnya yang berbeda sama sekali dengan masyarakat kebanyakan, bahkan menentang apa yang sudah ada atau apa yang lazimnya berlaku di tengah-tengah kehidupan masyarakat setempat, maka kiranya dapatlah diharapkan dari gerakangerakan tersebut akan muncul suatu perubahan nilai-nilai yang mendasar dan akan membawa bentuk kehidupan yang sama sekali baru. Di antara berbagai kelompok tersebut, ia lebih menaruh perhatian pada kekuatan pembebasan pada kekuatan pembebasan dari pemberontakan kaum muda khususnya para mahasiswa yang sudah tersebar di mana-mana baik di
34
negara industri yang sudah maju maupun berbagai negara berkembang. Kekuatan pembebasan mereka betul-betul bersifat murni dengan sifat estetis di dalamnya dari macam pemberontakan mereka yang merupakan ungkapan dorongan naluriahnya akan kebebasan.
Ia meyakini bahwa gerakan-gerakan tersebut memberontak secara tidak terorganisir (spontan) tanpa menggunakan kekerasan fisik satupun senjata, melainkan dengan menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda dari yang sudah lazim. Mereka juga melawan penggunaan bahasa yang sudah mapan dengan mengembangkan bahasa sub-kultur mereka sendiri yang senada untuk menjadi slogan mereka. Melawan moralitas establishment menjadi aksi lainnya di mana moralitas yang mereka kembangkan seringkali dianggap tabu dan urakan. Gerakan-gerakan ini melawan kekuatan senjata dengan menekankan kekuatan bunga (flower power), menertawakan keseriusan dan puritanisme yang munafik dari para pemimpin masyarakat. Mereka pun mengembangkan seni musik, tari, lukis, dan sastra sendiri. Perkembangan masyarakat pada dasarnya menuntut hal yang demikian untuk diwujudkan di mana macam dan bentuk pembebasan yang dituju, cara pembebasan yang dipakai, sumber pembebasan yang ada, sudah harus berbeda dari teori perubahan sosial yang sebelumnya18.
18
Mengenai hal ini, Marcuse menyatakan ―very different from the revolution of previous stages of history, this opposition is directed against the totality of well functioning, prosperous society –a protest against its form—the commodity form of men and things, against the imposition of false values and a false morality. this new consciousness and the instinctual rebellion isolate such opposition from the masses and from the majority of organized labour, the integrated majority and make for the
35
Gerakan-gerakan tersebut terlihat tidak berarti secara politis struktural karena lebih seperti suatu spontanitas sesaat yang kurang terorganisir dan tidak ada dasar kekuatan sosial yang cukup besar. Dengan demikian sepertinya akan mudah ditumpas oleh pemerintah yang sedang berkuasa dengan kekuatan militernya. Meskipun begitu, menurutnya pemberontakan yang telah dilakukan sudah merupakan suatu bibit-bibit yang akan tumbuh sebagai suatu kekuatan yang akan membawa perubahan-perubahan nilai yang mendasar dalam masyarakat. Gerakan-gerakan ini bagaikan virus yang mudah menyebar, menular ke mana-mana dan mempengaruhi jaringan organisme sistem yang sedang berjalan. Kesamaan kepentingan untuk mencapai masyarakat yang lebih insaniah akan membentuk suatu solidaritas, meskipun pada kenyataannya tidak terorganisir sama sekali, antara kelompok-kelompok radikal di negara-negara maju maupun negara berkembang yang menjadi mangsa ekspansi super power dari berbagai negara industri tersebut. Gerakan-gerakan yang terdapat di negara maju yang melakukan protes misalnya saja, akan memperlemah kekuatan di negara-negara tersebut hingga memudahkan perjuangan kebebasan di negara-negara berkembang sendiri.
Marcuse masih beranggapan bahwa manusia dapat dibentuk sampai ke dasar-dasar struktural biologinya, sehingga mungkin pula dibentuk suatu organism baru dari gerakan-gerakan revolusioner di atas. Menurutnya, sekali suatu moralitas dengan kuat tertanam sebagai norma kelakuan yang
concentration of radical politics in active minorities mainly among the young middle class intelligentsia, and among the ghetto populations.‖
36
hidup, organisme yang menerima dan bereaksi atas rangsangan tertentu dan mengabaikan serta menolak yang lain sesuai dengan moralitas yang sudah ditanamkan. Dengan cara tersebutlah sebuah masyarakat secara tetap menciptakan kembali, menumbuhkan kesadaran dan ideologi, polapola kelakuan yang cenderung sebagai bagian dari kodrat manusia sendiri. Bila perubahan tidak mencapai dasar yang mendalam tersebut maka akan tidak lengkap dan bahkan akan mengakibatkan kehancurannya sendiri. Perubahan yang radikal tersebut bermaksud untuk mengubah masyarakat sekarang menjadi masyarakat yang bebas yang harus mencapai dimensidimensi di mana terdapat kebutuhan vital dan kepuasan manusia. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang baru, yakni masyarakat yang mengembangkan cara, hubungan, dan tujuan produksi yang sama sekali berbeda untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda pula.
Penelitian ini berasumsi bahwa suatu komunitas mampu menjadi counter culture dalam upaya memperbaiki tradisi yang sedang berlangsung saat ini yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma yang ideal. Dalam hal ini Gerakan Jamaah Maiyah merupakan suatu gerakan keagamaan yang diasumsikan sebagai suatu komunitas yang pada awalnya merupakan komunitas layaknya suatu pengajian pada umumnya, namun kemudian berkembang menjadi suatu komunitas pengajian yang bercorak kultural hingga menghadirkan dialog-dialog berbagai bidang keilmuan di dalamnya menghendaki suatu perubahan bagi negeri ini dengan jamaah yang memiliki wawasan yang luas. Pada akhirnya, dengan adanya hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa anggota-anggota di dalamnya yang
37
didominasi oleh kaum muda turut terpengaruh untuk ikut menciptakan perubahan atas tradisi-tradisi yang sedang berlangsung di masa kini. Jamaah Maiyah menyentuh ranah perubahan dimulai dari para pemuda sebagai generasi penerus bangsa
2. Konstruksi Realitas Sosial
Penelitian ini mencoba untuk memahami suatu realitas yang unik dan memiliki karakter yang membangun dari kacamata yang lain dari suatu penelitian. Fenomena tersebut dipahami dengan Konstruksi Sosial Peter L. Berger di mana selama ini sebagian besar dari para peneliti di bidang sosial masih memahami suatu fenomena hanya dari salah satu sisinya atau sudut pandang tertentu. Sejatinya teori ini dibangun oleh dua tokoh dalam dua fokus yang tak jauh berbeda. Peter L. Berger yang lebih dikenal sebagai seorang sosiolog humanis dan Thomas Luckmann 19 seorang sosiolog yang lebih dikenal dalam dunia filsafat. Sebelumnya istilah konstruksi sosial telah dikenal sejak abad 18 tepatnya pada 1710, dimulai oleh seorang epistemolog dari Italia, Giambatissta Vico, ia adalah cikal bakal lahirnya konstruktivisme.
Lain halnya dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, dan sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut menjadi semakin konkret lagi setelah Aristoteles memperkenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa 19
Peter Berger dilahirkan pada tahun 1929, dan Thomas Luckmann pada 1927
38
manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, di mana kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuannya
adalah
fakta.
Aristoteles
pulalah
yang
telah
memperkenalkan ucapannya “Cogoto, ergo sum” atau “saya berfikir maka saya ada”. Kata-kata Aristoteles yang terkenal itulah kemudian pula menjadi
dasar
yang
kuat
bagi
perkembangan
gagasan-gagasan
konstruktivisme hingga saat ini20.
Berger merupakan seorang sosiolog yang berusaha untuk memadukan berbagai perspektif dari berbagai aliran teori Sosiologi yang selama ini cenderung hanya memperhatikan satu aspek tertentu. Murid dari Alfred Schutz21 ini mampu menampilkan hakikat masyarakat yang bercorak pluralistis, dinamis, dan kompleks. Ia meyakini bahwa bersosiologi haruslah
mengikuti
proses
berpikir
seperti
yang
dituntut
oleh
fenomenologi22, yakni dimulai dari kenyataan kehidupan sehari-hari sebagai realitas utama gejala bermasyarakat di masa teori pun harus bisa menjelaskan bagaimana kehidupan masyarakat yang terbentuk dalam proses yang terus menerus23. Ia melihat relasi manusia dan masyarakat
20
Lih. Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann yang ditulis oleh Bungin Burhan yang diterbitkn oleh Kencana pada tahun 2008 di Jakarta 21 Selama 1899 hingga 1959 22 Fenomenologi memang mempengaruhi alam pikiran Berger sejak ia meninggalkan tugasnya sebagai Professor Etika Sosial di Hartford Seminary dan diangkat sebagai Guru Besar Sosiologi pada New School for Social Research, New York, salah satu lembaga University of Buffalo, yang merupakan pusat gerakan fenomenologis di Amerika Serikat. Perguruan tinggi ini selain sebagai lingkungan kerja juga merupakan kampus almamaternya. 23 Pernyataan ini dikutip dari Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan dengan Hasan Basari sebagai penerjemah, cetakan kesepuluh
39
dengan segala pranatanya secara dialektis, yakni suatu hasil manusia dan tidak lain dari hasil manusia itu sendiri, yang mempengaruhi kembali penghasilnya secara terus menerus. Menurutnya, masyarakat adalah produk manusia yang tidak memiliki hal selain yang diberikan oleh aktivitas dan kesadaran manusia. Tidak ada kenyataan sosial yang terlepas dari manusia. Akan tetapi dapat dikatakan pula bahwa manusia adalah hasil dari masyarakat. Di dalam masyarakat, dan sebagai hasil dari proses sosial, individu manusia menjadi seorang pribadi yang memiliki dan mempertahankan suatu identitas, yang mampu menjalankan berbagai rencana hidupnya. Manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakat 24.
Menurut Berger, masyarakat sebagai suatu realitas obyektif (aktivitas manusia yang diobyektifasikan), yakni suatu produk aktivitas manusia yang telah memperoleh status sifat realitas obyektif25yang diperolehnya dari produk-produk kultural manusia (benda-benda material maupun nonmaterial). Hal ini dikarenakan manusia menciptakan alat yang memperkaya totalitas obyek-obyek fisisnya di dunia, sehingga ia memberikan sebuah dunia bagi manusia untuk ditempatinya 26. Maka kemudian, untuk menemukan hakikat masyarakat di balik gejala-gejala sosial yang terjadi di dunia manusia ini, Berger yang seorang ahli Sosiologi bersama
diterbitkan oleh LP3ES pada 2013, terjemahan dari buku Peter L. Berger dan Thomas Luckmann yang judul aslinya adalah The Social Construction of Reality 24 Dikutip dari Kabar Angin dari Langit yang turut mengutip dari The Sacred Canopy sebagai judul buku yang juga ditulis oleh penulis yang sama, yakni Peter L. Berger pada tahun 1967 Di Garden City, New York oleh Doubleday 25 Berger menyatakan bahwa pembahasan mengenai obyektifitas masyarakat mirip sekali dengan yang dikatkan Durkheim dalam Rules of Sociological Method 26 Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial yang ditulis oleh Peter Berger, judul aslinya adalah The Sacred Canopy, diterbitkan di Jakarta oleh LP3ES pada 1991
40
Thomas Luckmann (ahli Filsafat yang juga penulis buku The Invisible Religion) pada 1966 menulis sebuah buku yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge untuk menunjukkan peranan sentral sosiologi pengetahuan sebagai instrument penting dalam membangun Sosiologi, mendefinisikan kembali pengertian “Kenyataan” dan “Pengetahuan” dalam konteks sosial.
Telah dikatakan sebelumnya bahwa kehidupan masyarakat terbentuk secara terus menerus di mana pemahaman tersebut ditemukan dalam gejala-gejala
sosial
sehari-hari
yang
dinamakan
pengalaman
bermasyarakat. Oleh karena gejala-gejala sosial itu ditemukan dalam pengalaman bermasyarakat yang terus menerus berproses, maka perhatian keduanya terarah pada bentuk-bentuk penghayatan (erlebniss) kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh dengan segala aspeknya, yakni kognitif, psikomotoris, emosional, dan intuitif. Dengan kata lain bahwa kenyataan sosial ditemukan dalam pengalaman intersubyektivitas yang menjelaskan bagaimana kehidupan masyarakat tertentu dibentuk secara terus menerus yang menunjuk pada dimensi struktur kesadaran umum ke kesadaran individual dalam suatu kelompok khusus yang sedang saling berintegrasi dan berinteraksi. Kenyataan sosial di sini merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam, ke masa kini, hingga menuju masa depan27. Kenyataan ini harus dibangun secara sosial di mana Sosiologi Pengetahuan harus berperan
27
Mengambil dari pernyataan Frans M. Prarera dalam Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan hal sebagai kata pengantarnya di hal xxiv, diterbitkan oleh LP3ES d Jakarta, cetakan kesepuluh pada tahun 2013
41
dalam menganalisa proses terjadinya hal itu, memahami bagaimana proses-proses
itu
dilakukan
sedemikian
rupa
sehingga
akhirnya
terbentuklah suatu “kenyataan” yang dianggap sudah sewajarnya oleh orang awam, yakni menekuni suatu analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Orang awam menghuni suatu dunia yang baginya adalah “nyata”, meskipun dalam kadar yang berbeda, dan ia “tahu”, dengan kadar yang berbeda-beda, bahwa dunia ini memiliki karakteristik-karakteristik yang begini dan begitu 28.
Kenyataan, yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut dengan istilah realitas merupakan kualitas yang melekat pada fenomena di mana keberadaannya di luar kontrol manusia dan bersifat objektif. Realitas yang hadir mengindikasikan bahwa pengetahuan itu bersifat melekat pada setiap individu yang berkesadaran. Kehadiran pengetahuan dalam kesadaran individu akan memberikan implikasi-implikasi secara sosial karena setiap individu dalam masyarakat memberikan makna tertentu atau realitas eksternal dunianya. Dalam hal ini arti penting pengetahuan bagi seorang individu dalam masyarakat menjadi niscaya. Teori konstruksi sosial (sosial construction) ini merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam teori ini terkandung pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial, di mana kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena
28
Dalam buku yang sama, Tafsir Sosial Atas Kenyataan, pembuka dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann hal.1 dan 4
42
yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga tidak tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Oleh karena konstruksi sosial merupakan sosiologi pengetahuan, maka implikasinya adalah harus menekuni pengetahuan yang ada dalam masyarakat dan sekaligus proses-proses yang membuat
setiap perangkat
pengetahuan yang ditetapkan sebagai
kenyataan. Sosiologi pengetahuan harus menekuni apa saja yang dianggap sebagai pengetahuan dalam masyarakat dengan menggunakan metode analisa fenomenologis sebagai suatu metode deskriptif dan empiris dan tidak ilmiah29 yang akan menyingkapkan berbagai lapisan pengalaman, dan berbagai struktur makna yang terlibat, jika dilakukan secara terperinci.
Sosiologi pengetahuan, yang dikembangkan Berger dan Luckmann, mendasarkan
pengetahuannya
dalam
dunia
kehidupan
sehari-hari
masyarakat sebagai kenyataan. Bagi mereka, kenyataan kehidupan seharihari dianggap menampilkan diri sebagai kenyataan par excellence sehingga disebutnya sebagai kenyataan utama (paramount). Keduanya menyatakan bahwa dunia kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagai realitas yang ditafsirkan oleh manusia. Oleh dari itu, apa yang menurut manusia nyata ditemukan dalam dunia kehidupan sehari-hari merupakan
29
Hal ini didasarkan atas pernyataan Alfred Schutz dan Thomas Luckmann dalam Die Strukturen Der Lebenswelt yang sedang menjalani persiapan untuk diterbitkan kala itu
43 suatu realitas seperti yang dialaminya30. Dunia kehidupan sehari-hari tidak hanya diterima begitu saja sebagai kenyataan oleh anggota masyarakat biasa dalam perilaku yang mempunyai makna subyektif dalam kehidupannya. Ini merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan mereka, dan dipelihara sebagai “yang nyata” oleh pikiran dan tindakan itu.
Selain itu, terdapat tiga momentum dialektik dari konstruksi realitas sosial, ketiga langkah tersebut ialah internalisasi, obyektivasi, dan eksternalisasi. Ketiganya harus dipahami dengan baik untuk dapat memperoleh
pandangan
atas
konstruksi
secara
empiris.
Berger
menjelaskan bahwa, internalisasi adalah peresapan realitas oleh manusia, dan mentransformasikannya dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur
kesadaran
subjektif
sehingga
subjektif
individu
dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.
Sedangkan obyektivasi adalah disandangnya produk-produk aktifitas itu (baik fisis maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula, dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap, dan lain dari, para produser itu sendiri.Jelas bahwa obyektivasi merupakan hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik
30
Lih.tulisanI. B. Putera Manuaba, Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga berjudul Memahami Konstruksi Sosial. Tulisan ini merupakan salah satu karyanya dalam Jurnal Universitas Airlangga dengan tema Masyarakat, Kebudayaan dan Politik yang diterbitkan pada tahun 2008 di Surabaya.
44
dari kegiatan eksternalisasi manusia. Lewat proses ini masyarakat menjadi suatu realitas sui generis31, unik. Lalu eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktifitas fisis maupun mentalnya. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat merupakan produk manusia.di mana sudah merupakan hakikat manusia itu sendiri bahwa manusia selalu mencurahkan diri ke dalam dunia tempat ia berada, baik dalam kegiatan fisik maupun mental. Baginya, realitas dalam kehidupan sehari-hari merupakan konstruksi sosial buatan masyarakat dari masa silam ke masa kini, ditata, dan diterima, untuk melegitimasi konstruksi sosial yang sudah ada dan memberikan makna pada berbagai bidang pengalaman individu sehari-hari. Setiap manusia mengonstruksikan realitas sosial di mana proses subyektif menjadi terobyektif dalam kehidupan sosial.
32
Realitas sosial itu selanjutnya menghadirkan dirinya pada “saya” sebagai suatu dunia intersubyektif, yakni suatu dunia yang saya huni bersama-sama dengan orang-orang lain, yang membedakan dengan sangat jelas kehidupan sehari-hari dari kenyataan-kenyataan lain yang “saya” sadari.“Saya” berada sendirian dalam dunia impian “saya”, namun “saya” tahu bahwa kehidupan sehari-hari sama nyatanya bagi orang-orang lain 31
Lih. Konstruksi Sosial yang ditulis oleh Charles R. Ngangi, diterbitkan dalam Jurnal ASE Volume 7 nomor 2 pada tahun 2011, hal. 2 32 Mengutip dari skripsi berjudul Konstruksi Sosial Religiusitas (Studi Tentang Religiusitas Terhadap Jama’ah Maiyah Di Yogyakarta) karya Barikur Rahman yang diterbitkan oleh Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta pada tahun 2013 hal.10. Penulis juga mengutip dari buku Peter L. Berger yang berjudul Langit Suci.Agama Sebagai Realitas Sosial yang diterbitkan di Jakarta oleh Penerbit LP3ES Anggota IKAPI, pada tahun 1991). hlm: 4-5 dipadukan dengan analisis dari Charles R. Ngangi dalam Jurnal ASE Volume 7 Nomor 2 yang terbit pada Mei 2011 yang berjudul Konstruksi Sosial dalam Realitas Sosial.
45 seperti orang-orang lain. Sesungguhnya “saya” tidak dapat bereksistensi dalam kehidupan sehari-hari tanpa berkomunikasi dan berinteraksi secara terus menerus dengan orang lain33. Asumsi dasar dari munculnya konstruksi sosial Berger dan Luckmann yaitu realitas adalah konstruksi sosial, di mana konstruksi sosial merupakan sebuah pernyataan keyakinan (a claim) dan juga sebuah sudut pandang (a view point) bahwa kandungan dari kesadaran, dan cara berhubungan dengan orang lain itu diajarkan oleh kebudayaan dalam masyarakat. Konstruksi di sini meliputi pengertian mengenai gaya hidup dalam berbagai aspek secara ekonomi (konsumsi) serta perilaku sosial itu sendiri.Konstruksi sosial pun mempengaruhi perilaku dan orientasi sosial. 34 Jelas bahwa individu merupakan produk sekaligus pencipta dari pranata sosial yang kebudayaan termasuk di dalamnya.
Sosiologi Pengetahuan Berger untuk mengetahui lebih jauh makna yang didapatkan dari keterlibatan Jamaah Maiyah dalam komunitas pengajiannya ini. Sosiologi Pengetahuan membantu melihat bagaimana keterlibatannya tersebut mampu mengubah kehidupan kesehariannya hingga keinginan untuk memperbaiki tradisi yang sedang berlangsung. Sejauh mana pengetahuan yang jamaah dapatkan akanmenggambarkan kenyataan yang terjadi pada pengajian Gerakan Jamaah Maiyah. Berkaitan dengan
hal
tersebut,
sistem
pengetahuan
mengenai
kehidupan
kesehariannya ini tentu didapatkan oleh para pemuda berdasarkan interaksi 33
Ibid hal. 32 Konstruksi Sosial dalam Realitas Sosial, Charles R. Ngangi menulisanya dalam Jurnal ASE Volume 7 Nomor 2 yang terbit pada Mei 2011 hal. 2 34
46
dan pemahamannya terhadap realita-realita sosial yang didapatkannya melalui Gerakan Jamaah Maiyah ini. kemudian mereka mengembangkan sistem pengetahuan ini dari generasi ke generasi yang kemudian berkembang menjadi norma-norma serta nilai-nilai sosial hingga membentuk suatu konstruksi tersendiri bagi masyarakat setempat karena pada perkembangannya hasrat untuk mengubah tradisi atau menentang tradisi yang ada semakin besar.
3. Sosiologi Pengharapan (Sociology of Hope) Istilah sosiologi pengharapan sejatinya masih belum menemukan tempatnya secara utuh dalam penelitian sosiologis, terbukti bahwa masih belum banyak ditemukan penelitian mengenai harapan secara sosiologis dalam berbagai penelitian sosial yang pernah dilakukan oleh para peneliti. Harapan sendiri yang dalam Bahasa Inggris disebut dengan hope merupakan suatu doa (wish atau strong feeling of hope) yang mengharapkan tercapainya suatu keinginan. Ada tiga unsur di dalamnya, yakni doa, sesuatu yang khusus (khas/spesial), serta keinginan yang ingin dicapai. Hal yang dinginkan secara spesifik atau kekhususannya memiliki keterikatan langsung dengan dunia sosial yang kemudian pula memberikan banyak catatan tersendiri bagi dunia sosial35. Menurut Kamus Oxford, harapan
merupakan
a
feeling
of expectation and desire for
a
particular thing to happen dengan unsur expectation yang bermakna
35
Berdasarkan Jurnal hasil penelitian Richard Swedberg dari Cornell University pada tahun 2007 yang berjudul The Sociological Study of Hope and The Economy: Introduction Remarks
47
keyakinan bahwa sesuatu akan terjadi, dan desire yang berarti keinginan yang besar agar sesuatu terjadi36.
Harapan sendiri dikaitkan dengan rasa percaya yang diiringi keyakinan yang tinggi. Rasa percaya kini telah menjadi suatu konsep dalam ilmu sosial. Dalam rasa percaya tersebut, manusia akan berharap bahwa sesuatu tersebut akanlah terjadi dan akan merasa terkejut ketika sesuatu itu tak terwujud. Sebaliknya, ketika manusia berharap, terdapat kepastian yang tidak menentu bahwa hal yang diharapkan tersebut akan terwujud. Harapan merpakan unsur yang sangat penting dalam setiap upaya untuk mewujudkan suatu perubahan sosial yang lebih hidup, lebih sadar, dan lebih berakal. Namun bukanlah harapan jika obyek harapan itu mengandung sifat kepasifan dan “menunggu-untuk-terjadi” sehingga harapan dalam kenyataannya menjadi kedok dari resignasi, hanya berupa ideologis. Harapan bukanlah menunggu secara pasif juga bukan suatu “pemaksaan” yang tidak realistis tehadap keadaan yang bisa dilakukan. Berharap berarti siap setiap saat untuk menghadapi apa yang belum lahir dan tidak merasa sedih ketika tidak ada “kelahiran” dalam hidup kita. Seperti halnya yang dikatakan oleh Erich From mengenai paradoxparadoks harapan serta wataknya, bahwasanya orang yang mempunyai
36
Lih.
Definisi
Hope
menurut
Kamus
Oxford
Inggris
di
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/hope yang diakses pada 17 April 2015 pukul 15:40 WIB.
48
harapan memandang dan sangat menghargai semua tanda-tanda kehidupan baru dan selalu siap membantu “kelahiran” apapun yang bisa dilahirkan 37. Beberapa ilmuwan sosial menggunakan “harapan” sebagai alat analisisnya. Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason38 pun menyatakan
bahwa
semua
harapan
mengarahkan
manusia
pada
kebahagiaan. Selain itu, terdapat suatu alasan yang baik untuk berharap mengenai
keberhasilan
yang
ingin
dicapai.
Tocqueville
Effect
meggunakan “harapan” sebagai alat analisis yang utama.Ia menyatakan bahwa ketika segala hal diperbaiki, harapan orang-orang bahwa hal tersebut akan menjadi lebih baik akan terbangun kembali. Weber juga seringkali menggunakan “harapan” dalam kajiannya mengenai sosiologi politik dan sosiologi agama. Secara khusus ia menyebutkan istilah “harapan” ketika ia berbicara mengenai pergerakan kelas sosial yang diinspirasi oleh Marx. Ia juga mengungkapkan bahwa harapan membentuk sebuah cerita yang kuat. Hal-hal yang menjadi motivasi bagi orang-orang yang diistimewakan secara tidak tepat dalam suatu kepercayaan tertentu, yakni mengenai perilaku mereka, adalah berharap untuk keselamatan dan penebusan. Pemimpin yang berkharisma juga menyalurkan harapan banyak orang dan cenderung muncul dalam situasi ketika orang-orang
37
Hal ini merujuk pada tulisan Erich Fromm mengenai Revolusi Harapan: Menuju Masyarakat Teknologi yang Manusiawi, dengan judul asli The Revolution of Hope, diterjemahkan oleh Kamdani, kemudian diterbitkan oleh Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI) di Yogyakarta pada tahun 1996, hal. 7 38 Dinyatakan pada 1781
49 sudah kehilangan harapan39. Harapan dalam hal ini menjadi salah satu konsep dalam ilmu sosial di mana mereka memiliki persepsinya masingmasing. Wacana mengenai harapan menjadi fokus perhatian Paulo Freire40 seorang ahli filsafat pendidikan asal Brazil yang sekaligus mengabdikan dirinya sebagai seorang pendidik. Ia mengatakan bahwa kodrat manusia itu tidak hanya "berada-dalam-dunia", melainkan juga "berada-bersamadengan-dunia" (being in and with the world). Di samping itu, ia mengungkapkan pula bahwa pengharapan merupakan suatu kebutuhan ontologis yang menurutnya memerlukan praktik supaya dapat menjadi sesuatu yang konkret historis.
Manusia hidup dalam lingkaran wacana pragmatisme yang mau mendorongnya supaya menyesuaikan diri dengan fakta-fakta realitas., impian-impian, serta utopia-utopia, yang menurutnya tak berguna dan sangat menghambat dunia pendidikan. Karen itulah, Freire merumuskan istilah pedagogi pengharapan untuk menyibak topeng-topeng kebohongan yang dominan dari para “penindas” dalam dunia pendidikan. Penyebutan ini ia tunjukkan untuk orang-orang yang memiliki kuasa dalam menindas yang lemah serta mengambil keuntungan di dalamnya. Pedagogi atau pendidikan pengharapan, mempunyai dua unsur. Pertama, sikap kritis, atau tidak puas, dengan kenyataan yang sudah ada. Kalau kita tidak kritis dan
39
Lih. Jurnal hasil penelitian Richard Swedberg dari Cornell University pada tahun 2007 yang berjudul the Sociological Study of Hope and The Economy: Introduction Remarks 40 Lahir pada 1921
50
sudah puas, pengharapan tidak dibutuhkan, hanya menyesuaikan diri dengan status quo. Kedua, kepercayaan yang dipahami sebagai dunia yang penuh dengan penderitaan orang tertindas yang dapat berubah. Oleh karena itu, konsep pedagogi pengharapan Freire dapat menjadi altematif pemecahan masalah pendidikan anak jalanan melalui munculnya kesadaran dan pengharapan yang didasarkan pada transformasi sosial dari struktur-struktur yang tidak adil kepada dunia yang lebih adil dan baik. Freire melihat kondisi bahwa hampir seluruh bangsa telah “dirasuki” kebutuhan yang tak tertahankan untuk melihat segala masalah sosial yang ada di negerinya. Kenyataannya, ada pengharapan, sekalipun samar-samar, di sudut-sudut jalan, yakni pengharapan dari diri kita masing-masing.jika keputusasaan justru “melumpuhkan” kita, membuat manusia tak dapat bergerak.
Kita
kemampuan
terperosok
(kekuatan)
dilakukan.kekuatan perjuangan
yang
dalam
menjadi
tersebut gigih
fatalisme sesuatu
dapat
dalam
hingga yang
digunakan
menciptakan
mengerahkan
mustahil
untuk dunia
untuk
melakukam yang
baru.
Berpengharapan, menurutnya bukan karena sikap keras, melainkan karena keharusan yang eksistensial dan konkret.Berpengharapan bukan berarti memiliki daya untuk mengubah realitas dengan sendirinya tanpa mempertimbangkan data-data yang konkret.Pengharapan saja tidak cukup meskipun dibutuhkan, jika hanya dengan harapan, pengharapan tak akan menang. Namun, tanpa pengharapan, perjuangan akan bersifat lemah dan goyah bagai suatu ilusi yang kacau. Kita tetap memerlukan pengharapan
51
yang kritis seperti halnya seekor ikan yang memerlukan air yang bersih, tak tercemar.
Gagasan bahwa pengharapan saja akan mengubah dunia merupakan jalan menuju keputusasaan, pesimisme, dan fatalisme. Hilangnya pengharapan dapat menjadi keputusasaan yang tragis.Salah satu tugas pendidik yang progresif, melalui suatu analisa politis yang sungguhsungguh dan tepat
sasaran,
adalah menyingkapkan kesempatan-
kesempatan untuk berpengharapan, apapun halangannya.Ia mengungkapan bahwa selama ini, Dunia Pertama (Negara-negara maju) selalu menjadi contoh terjadinya berbagai macam skandal seperti halnya model kejahatan, ekploitasi. Negara-negara tersebut membuat kita hanya perlu berpikir mengenai kolonialisme dengan melakukan pembantaian orang-orang yang diperangi, ditaklukkan, dan dijajah. Contoh lain yang mereka tunjukkan adalah mengenai diskiminasi ras yang memerosotkan martabat –hak asasi manusia. Kita tidak boleh lagi mengikuti skandal-skandal yang mereka lakukan. Seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa politikus seringkali menyembunyikan perbuatan-perbuatan mereka dari orang-orang yang memilihnya yang idealnya memiliki hak penuh untuk mengetahui apa yang mereka lakukan dalam sidang dewan, justru berusaha membela diri tanpa merasa bersalah.
Dalam memberikan pengajaran mengenai pengharapan itu sendiri pada orang-orang yang dididik, pendidik merupakan agen yang mengamalkan sikap hormat
terhadap orang-orang
yang
dididik,
bukan hanya
52
menganjurkan mereka mengenai pengetahuan yang akan mengisi harapannya. Orang-orang yang dididik harus disapadengan memberikan pengenalan atau pengakuan diri sendiri. Dengan demikian, mengajar dan belajar adalah saat-saat berlangsungnya proses yang lebih besar, yakni proses mengenali dan mengetahui (cognize), yang memiliki makna untuk mengetahui kembali (recognize). Membuat mereka mengetahui hingga menganggap dirinya ada “eksis”, memandang diri mereka sendiri sebagai ubjek-subjek yang mengetahui, bukan sebagai objek pembicaraan pendidik, yang bermakna pula bukan mendepositokan pengetahuan si pendidik, yang dilakukan untuk mewujudkan suatu sarana pendidikan yang progresif.
Dengan pendidikan yang progresif, penghormatan kepada pengetahuan pengalaman hidup dapat dimasukkan dalam cakrawala yang lebih besar untuk menjadi suatu latar belakang terwujudnya pengetahuan pengalaman hidup dengan carawala dalam konteks budaya. Pada akhirnya pendidikan memang dilakukan dalam untuk mewujudan pembebasan. Konsep yang melatarbelakangi pengharapan ini adalah “untested feasibility” (tak terujinya kemungkinan yang dilakukan)
yang mencakup seluruh
kepercayaan terhadap impian yang mungkin terwujud dan kepada utopia yang akan datang segera setelah orang-orang membuat sejarah karena mereka sendiri yang menginginkannya terjadi. Manusia sebagai mahluk yang
mempunyai
kesadaran,
setidaknya
menyadari
mengenai
pengondisian diri serta kebebasannya. Manusia menjumpai rintanganrintangan dalam kehidupan pribadi dan sosialnya sehingga memandang
53
rintangan tersebut merupakan penghalang yang harus diatasi. Freire menyebutnya sebagai “situasi-situasi batas”.
Orang-orang yang berpikir kritis mengenai situasi tersebut berarti telah mengetahui cara untuk bertindak. Mereka merasa tertantang untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat tempat mereka hidup bersama, dengan cara yang sebaik-baiknya dalam suasana pengharapan dan kepercayaan. Secara epistomologi, mereka telah mengambil jarak serta mengobyektivir dari hal-hal yang dianggap “membingungkan” secara obyektif dan menghambat mereka.Kaum tertindas adalah orang-orang yang mersa berkewajiban untuk mendobrak rintangan tersebut dengan memecahkan, menyingkirkan, serta melakukan aksi yang diiringin dengan refleksi, rintngan-rintangan tersebut menuju kebebasan kaum tertindas. Pada hakikatnya, “untested feasibility” merupakan sesuatu yang oleh para pemimpi berutopia diketahui ada, tetapi yang diketahuinya hanya mellui praktek pembebasan, dengan teori tindakan dialogis Freire atau dengan teori lain yang bertujuan sama.Maka mereka tak lagi berpikir bahwa masalahnya tak lagi merupakan benih impian semata.Mereka tahu bahwa impian tersebut dapat menjadi kenyataan. Orang-orang yang berkesadaran akan berefleksi dan beraksi untuk meruntuhkan “situasi-situasi batas” yang telah membuat mereka menjadi terbatas pada “ada” dan “periada” hingga “untested feasibility telah menjadi konkretisasi dari apa yang sebelumnya tak dapat dikerjakan di dalamnya. 41 Lalu dilanjutkan pula berdasarkan 41
Mengacu pada tulisan pembuka Paulo Freire dalam bukuny sendiri yang berjudul Pedagogi Pengharapan (Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas) yang ditulis pada tahun 1999 di New York oleh The Continuum (diterjemahkan serta
54
sudut pandang Fromm yang tertarik pada struktur karakter manusia, untuk menguji harapan seseorang bukan utama berdasarkan apa yang dipikirkan orang tentang peranan-peranan mereka, melainkan apa yang benar-benar mereka rasakan. Menurutnya, hal ini dapat dilihat paling tidak dari katakata dan ungkapan-ungkapan, serta ekspresi wajahnya.Selain itu, bisa dilihat pula dari struktur karakter, yakni struktur energinya yang semi permanen, ke mana arah energi itu mengalir.Dengan mengetahui kekuatan-kekuatan pendorong yang memotivasi perilaku, tidak hanya dapat memahami perilaku saat ini, melainkan juga dapat dibuat asumsiasumsi yang bertanggung jawab tentang bagaimana seseorang mungkin bertindak di bawah keadaan-keadaan yang berubah.Dalam pandangan yang dinamis, perubahan-perubahan yang mengejutkan dalam pemikiran atau perilaku seseorang adalah perubahan-perubahan yang cenderung bisa dilihat yang memberikan pengetahuan mengenai struktur karakternya. 42
Para pemuda yang menjadi anggota Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat diharapkan memiliki harapan yang besar di mana selama ini mereka telah mengalami sekalius menerimaberbagai proses edukasi dari forum pengajian komunitas ini, khususnya kegiatan pengajian setiap diterbitkan kembali oleh Penerbit Kanisius di Yogyakarta pada tahun 2001 hal. 1113 dan catatan 1 hal 270 pada hal. catatan). Pedagogi Pengharapan, ia tulis berawal dari pengalaman-pengalamannya menyaksikan orang-orang yang tertindas hingga ia mengakhiri karir pengacaranya untuk menjadi seorang pendidik. Ia menulisnya penuh denan amarah dan cinta kasih yang tanpanya tidak ada pengharapan. Buku ini dimaksudkan sebagai pembelaan atas sikap toleran (bukan berkomplot, red.) dan radikal.di dalamnya, ia berusaha menerangkan dan membela pasca modernitas yang progresif dan menolak pasca modernitas yang konservatif dan neoliberal. 42
Hal ini merujuk pada tulisan Erich Fromm mengenai Revolusi Harapan: Menuju Masyarakat Teknologi yang Manusiawi, dengan judul asli The Revolution of Hope, diterjemahkan oleh Kamdani, kemudian diterbitkan oleh Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI) di Yogyakarta pada tahun 1996 hal. 9-
55
bulannya, ditambah dengan aktivitas-aktivitas diskusi dalam berbagai hal dan mengenai beragam tema. Bahkan mereka juga mengikuti berbagai agenda silaturahmi yang khusus diadakan bagi komunitas ini.Dengan demikian, dari materi yang mereka dapatkan, serta keterlibatan dalam berbagai diskusi dapat membuka ruang harapan yang semakin besar untuk membuat perubahan diri serta masyarakat secara luas.Mereka berharap dan harapan masyarakat pada para pemuda ini pun lebih besar dibandingkan pada orang-orang atau pemuda kebanyakan.
4. Kerangka Pikir Di Indonesia dengan berbagai kondisi yang dialami oleh masyarakat, mengakibatkan semakin banyak pemuda yang melakukan penyimpanganpenyimpangan sosial. Sebagai generasi penerus bangsa, dari para pemuda inilah diharapkan suatu perubahan masyarakat yang lebih baik hingga pada tataran pola pikir. Selain itu, muncul pula banyak gerakan yang masingmasing meletakkan dirinya sebagai calon-calon pembaharu negeri. Namun kenyataannya,
gerakan-gerakan
tersebut
belum
mampu
mewujudkan
perubahan, terutama bagi para pemuda yang sudah memiliki gaya hidup tersendiri, menjauh dari lingkungan sosial yang membutuhkannya. Masih banyak pemuda yang justru tak peduli dengan sekitarnya, hanya memikirkan dirinya sendiri, hingga bahkan membuat kerusakan.
Di balik kenyataan tersebut, terdapat para pemuda yang memiliki kesadaran berbeda yang merupakan para jamaah dari suatu gerakan yang disebut dengan Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat. Sebagai suatu gerakan,
56
Jamaah Maiyah memiliki suatu tujuan yang sama, secara sadar menginginkan terjadinya suatu perubahan yang besar bagi bangsa ini, terutama dalam pola pikir. Hal utama yang ditekankan adalah setiap topik yang dibahas di dalamnya tidak harus dimaknai secara sama, perlu untuk dikritisi kembali, sehingga akan memunculkan berbagai pemikiran yang berujung pada suatu perbaikan. Gerakan ini melakukan hal yang berbeda dari gerakan-gerakan sejenis di mana pola yang digunakan untuk mengorganisir para jamaah adalah kesadaran intensional dari masing-masing individu yang memiliki tujuan sama. Uniknya, gerakan ini memiliki banyak jamaah rutin yang memiiliki keterikatan secara emosional dengan Jamaah Maiyah. Hal ini dkarenakan jamaah yang didominasi oleh para pemuda ini merasa bebas berpikir dalam setiap forum diskusi, terutama ketika pengajian. Gerakan ini mampu membuat para jamaah turut berpikir secara analitis, sehingga komunikasi yang terbangun adalah komunikasi dua arah, saling bertukar informasi dengan kritis. Dengan karakter kritis menentang kondisi kehidupan sosial serta berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat saat ini, gerakan ini dapat diasumsikan sebagai suatu gerakan counter culture yang mewadahi orangorang yang menginginkan perubahan besar dalam masyarakat. Gerakan counter
culture
kemanusiaan
melakukan perlawanan
yang
terdapat
nilai
dengan
afeksi,
menuntut
kebebasan,
nilai-nilai
subjektifitas,
pengembangan diri, serta pengalaman spriritual di dalamnya 43. Ciri-ciri ini pula yang dimiliki oleh Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat yang terlihat dari
43
Lih. tulisan Richard Wasson yang berjudul Review The Making of a Counter Culture Theodore Roszak. Artikel ini diterbitkan dalam National Council of Teachers of English (NCTE) edisi Vol. 1 No. 6 pada Maret 1970
57
cara berdiskusi yang bebas, hingga pembebasan cara berpikir, hingga nilainilai keteladanan yang dicontohkan oleh tokoh-tokoh Maiyah, terutama tokoh sentralnya, Cak Nun.
Selain melihat Jamaah Maiyah secara utuh sebagai suatu gerakan, penelitian ini melihat keterlibatan para jamaah sebagai suatu individu yang secara sadar terlibat dalam berbagai aktivitas hingga menjadi bagian di dalamnya yang menunjukkan suatu realitas tersendiri. Realitas ini merupakan hasil dari konstruksi jamaah sejak masa silam hingga kini yang tanpa disadari telah membentuk gerakan counter culture dalam kehidupan masyarakat luas. Untuk mewujudkan perubahan, para jamaah juga membutuhkan harapan yang juga terbangun dari keterlibatannya dalam Jamaah Maiyah. Untuk memperjelas kerangka teoritik di atas maka dibuatlah bagan berikut ini:
58
Bagan 1 Kerangka Teoritik
Gerakan Counter Culture
Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat (Didominasi Pemuda) -
Memiliki pandangan yang sama Melakukan penentangan Menuntut dan membangun nilainilai kemanusiaan
Pengajian bulanan Diskusi-diskusi kecil
Realitas Sosial Berger-Luckmann
Yinger
Harapan secara Sosiologis
Dianalisis dengan Sociology of Hope Paulo Freire
Roszak
Marcuse
59
G. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi karena ingin menjelaskan secara lebih dalam mengenai suatu fenomena. Metode kualitatif digunakan untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati44. Selain itu, penelitian kualitatif ditandai dengan ketergantungan yang tinggi pada data yang diperoleh dari wawancara, catatan hasil pengamatan, dokumentasi, dan naskah lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Jenis metoda penelitian ini juga digunakan oleh berbagai ilmu sosial untuk memahami perasaan dan pandangan orang-orang mengenai lingkungan fisik dan sosial yang mereka tinggali dan bagaimana pandangan tersebut mempengaruhi
perilakunya serta untuk memahami
pandangan seorang individu secara mendalam dan alasannya berperilaku atau melakukan hal tersebut.45.
Sedangkan pendekatan fenomenologi merupakan suatu pendekatan yang lebih memfokuskan diri pada konsep suatu fenomena tertentu dan bentuk dari studinya adalah untuk melihat dan memahami arti dari suatu pengalaman yang berkaitan dengan suatu fenomena tertentu. Fenomenologi memandang perilaku dan tindakan manusia sebagai sesuatu yang bermakna, karena 44
Merujuk pada Metodologi Penelitian Kualitatif yang ditulis oleh Lexi J. Moleong yang diterbitkan di Bandung oleh PT Remaja Rosdakarya pada tahun 1999 hal. 3 45 Ditulis oleh Sen Anindya dalam penelitiannya yang berjudul Humour Analysis and Qualitative Research, diterbitkan oleh University of Surrey, Inggris pada musim dingin tahun 2012
60 manusia memberikan makna pada perilaku dan tindakan tersebut.46 Selain itu, pendekatan fenomenologi banyak digunakan dalam penelitian mengenai pandangan manusia akan makna dunia, yang diperoleh dari pengalaman hidupnya. Dalam memahami makna perilaku, tindakan, maupun pikiran informan, peneliti dituntut berfikir fleksibel dan menyesuaikan dengan taraf pemikiran informan. Dengan pendekatan ini, penelitian ini diharapkan mampu mendapatkan data-data mentah (yang bersifat apa adanya) dari Jamaah Maiyah dan memahami pola pikir dan perilaku dari mereka yang menjadi dasar dalam membuat perbedaan dari komunitas yang ada hingga menjadi suatu Gerakan Counter Culture.
b. Fokus Penelitian Fokus penelitian bertujuan untuk membatasi penelitian. Selain itu, fokus penelitian ini dilakukan agar hasil yang didapatkan tidak samar-samar. Pada saat melakukan pengumpulan data dan kerangka penelitian dapat diperbaiki dibuat lebih tepat dan merubah arahan dengan mudah dan memfokuskan kembali pengumpulan data guna pelaksanaan penelitian berikutnya. 47 Di dalam penelitian ini yang menjadi fokus kajian ialah pola pikir dalam berperilaku dari para pemuda Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat yang telah mengikuti pengajian ini secara rutin.
46
Lih.Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi Untuk Memahami Agama yang ditulis oleh Ahimsa (DosenFIB UGM). artikel ini diterbitkan oleh Jurnal Walisongo pada November 2012 47 Miles dan Huberman dalam Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, yang diterbitkan pada tahun 1992 oleh UIPress di Jakarta.
61
c. Informan Penelitian Informan dari penelitian ini adalah pemuda berdasarkan usia yang menjadi Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat yang telah mengikuti pengajian secara rutin (terhitung sudah satu tahun), yakni Jamaah Aktif atau Jamaah Rutin, baik lakilaki maupun perempuan. Kategorisasi dari pemuda dalam penelitian ini adalah mereka yang berusia 25-33 tahun yang belum menikah.
Kategori sosial yang peneliti ambil ialah berdasarkan kategori usia pemuda, dipilih berdasarkan faktor biologik (usia) dan status perkawinan belum menikah.
Pemuda, menurut UU No. 40 tahun 2009 tentang
Kepemudaan menetapkan kategori pemuda dengan cakupan usia 16-30 tahun48. Peneliti menambahkan pengecualian dalam hal usia, yakni hingga 33 tahun dengan pertimbangan bahwa di usia tersebut terdapat orang-orang yang enerjik yang masih bisa dikategorikan sebagai pemuda. Pemilihan pemuda berdasarkan usia karena menurut pengamatan peneliti Jamaah Maiyah sebagian besar merupakan pemuda berdasarkan usia 16-33. Berdasarkan kriteria informan yang telah ditentukan di awal, maka didapatkan sebelas orang jamaah yang memenuhi kriteria dan juga bersedia terlibat dan dilibatkan dalam penelitian ini.
48
Berdasarkan buku yang ditulis oleh Azca & Margono, dkk yang berjudul Pasca Orba, Potret Kontemporer Pemuda Indonesiaditerbitkan diYogyakarta oleh Yousure (Youth Studies Centre) FISIPOL UGM, pada tahun 2011) hal. 70
Pemuda
62
d. Setting Penelitian Penelitian ini utamanya dilakukan pada pengajian Gerakan Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat di Bantul, tempat mereka sering mengadakan pengajian secara rutin setiap tanggal 17 tiap bulannya dalam kalender Masehi sejak setelah waktu Isya 20.30 WIB hingga 04.00 WIB. Jadi subjek penelitian dapat dijumpai dalam acara Maiyahan, yang kemudian menentukan waktu untuk wawancara pada masing-masing individu. Selain itu peneliti turut mengamati dan berpartisipasi pada kegiatan Pemuda Mocopat Syafaat lainnya yang diadakan di Rumah Maiyah Kadipiro.
e. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan, yaitu sumber data primer, di mana data primer, merupakan data yang diperoleh melalui serangkaian kegiatan sebagai berikut :
a. Observasi Partisipatif
Salah satu cara pengumpulan data yang utama dalam mengkaji situasi sosial yang dijadikan sebagai objek penelitian ini dengan menggunakan teknik observasi partispatif, dengan berinteraksi secara penuh dalam situasi sosial dengan objek penelitian. Teknik ini digunakan mengamati, memahami peristiwa secara cermat, mendalam dan terfokus terhadap subjek penelitian baik suasana formal maupun santai tentang subjek penelitian sehingga harus berperan serta dalam kegiatan-kegiatan subjek, kegiatan observasi peran serta dalam penelitian ini dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh data yang
63
dibutuhkan. Observasi partisipatif ini tertuju pada Jamaah Aktif yang mengikuti pengajian komunitas Maiyah yang didapatkan dengan mengikuti pengajian ini dengan agenda diskusi lainnya untuk bisa merasakan apa yang informan rasakan ketika, serta sebelum hingga sesudah mengikuti agenda pengajian.
b. Wawancara Mendalam
Untuk memperoleh data yang memadai sebagai cross check, penelitian juga menggunakan teknik wawancara mendalam dengan subjek yang terlibat dalam interaksi sosial yang dianggap memiliki pengetahuan, mendiami situasi dan mengetahui informasi berkaitan dengan fokus penelitian. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan pada kesebelas informan dengan daftar pertanyaan yang detail untuk mendapatkan data yang valid.
f. Teknik Analisa Data Penelitian ini menggunakan tehnik analisa data yang terorganisir dan mengurutkan data ke dalam pola dan kategori sebagaimana tujuan dari penelitian ini dilakukan. Moleong49 mensintesikan analisis data sebagai suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskannya hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Data yang terdiri dari berbagai catatan dari lapangan, dokumentasi, serta pengamatan langsung
49
Lahir pada 1990
64
dikelompokkan kembali dan diurutkan untuk menjadi sesuatu yang bersifat substantif, detail, dan khas.
Tahap-tahap yang digunakan penelitian ini untuk menganalisis data yang diperoleh secara fenomenologis adalah metode mengolah dan menganalisis data yang disarankan oleh Stevick 50, Colaizzi51 dan Keen52 yang telah dimodifikasi oleh Moustakas (1998). Adapun tahapan ini meliputi 4 hal, yaitu pertama mendapatkan deskripsi lengkap mengenai fenomena yang diteliti di mana ini merupakan tahapan setelah peneliti memperoleh data yang diinginkan lalu melengkapinya selengkap mungkin. Kedua, yaitu tahap menganalisis kata demi kata yang terdapat dalam daftar hasil penelitian yang juga melalui beberapa tahap berurutan \yang terdiri dari mendaftar tiap pernyataan yang berkaitan dengan penelitian, merekam setiap pernyataan yang relevan, memilah-milah apakah ada pernyataan yang disampaikan berulang-ulang atau saling tumpang tindih, mengkaitkan dan mengkategorikan kesatuan data yang bermakna dengan topik penelitian, menyatukannya ke dalam suatu deskripsi susunan data hasil penelitian, hingga menyusun deskripsi tersebut melalui keragaman yang imajinatif, dan menyusun suatu deskripsi yang struktural dan mengintisarikannya. Ketiga, melengkapi kembali apa yang kurang di tahapan dua, dan yang keempat atau tahapan terakhir dari metode yang dikreasikan oleh Stevick dkk ini adalah menyusun suatu deskripsi struktural yang telah terjalin ini, mengintegrasikan dari keseluruhan informan ke dalam suatu deskripsi hasil
50
Lahir pada 1971 Lahir pada 1973 52 Lahir pada 1975 51
65
penelitian yang universal yang mampu merepresentasikan semua informan secara keseluruhan53.
Berikut ini disajikan selengkapnya mengenai tahapan lengkap analisis data Moustakas yang dikutip dari bukunya, Phenomenological Research Method:
1) Dengan pendekatan fenomenologi, dapatkan data selengkap mungkin mengenai fenomena yang sedang diteliti. 2) Melalui daftar data hasil penelitian, melengkapi beberapa langkah yang berurutan seperti berikut: -
Mempertimbangkan
setiap
pernyataan
informan dengan penuh
perhatian hingga memaknainya untuk menyusun suatu deskripsi dari fenomena yang diteliti -
Merekam seluruh pernyataan yang relevan dengan topik penelitian
-
Mendaftar setiap pernyataan yang berulang dan saling tumpang tindih yang merupakan batasan-batasan yang tetap atau kesatuan makna dari fenomena
-
Mengkaitkan dan mengkategorikan kesatuan makna yang tetap tersebut dengan tema penelitian
-
Menyatukan keduanya yang ada di poin ke empat ke dalam suatu deskripsi susunan data hasil penelitian, termasuk contoh dengan kata demi kata
53
Tahapan analisis data ini didapatkan dari menerjemahkan Analisis Data Fenomenologi yang disusun oleh Clark E.Moustakas, Phenomenological Research Method, United States of America: Sage Publication: 1998, hal. 121-2
66
-
Cerminkan pada deskripsi peneliti sendiri. Melalui keragaman imajinatif, menyusun suatu deskripsi mengenai struktur fenomena yang diteiti
-
Menyusun suatu deskripsi struktural-tekstural yang bermakna dan kemudian mengambil intisarinya.
3) Dari daftar data hasil penelitian seluruh informan, lengkapi langkahlangkah yang dilakukan pada tahap (2) 4) Dari deskripsi yang didapatkan dari setiap informan, susun suatu gabungan deskripsi yang didapatkan dengan melakukan tahap terakhir pada poin terakhir tahap 2, dan menyatukan deskripsi dari masing-masing informan yang diteliti hingga menjadi suatu deskripsi dengan sifat yang universal yang merepresentasikan kelompok keseluruhan.