BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan nasional dapat dilihat sebagai upaya bangsa yang dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat secara berencana, bertahap dan berkelanjutan dalam mengelolah seluruh potensi sumber daya nasional yang mencakup sumber daya alam, potensi sumber daya manusia dan potensi sumber daya buatan dengan tujuan untuk sebesarbesarnya kemakmuran masyarakat sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. dilihat dari pembangunan nasional itu dapat dikualifikasi sebagai upaya bangsa indonesia untuk memberdayakan potensi ideologi, politik, hukum, sosial budaya, sosial ekonomi, pertahanan dan keamanan untuk menciptakan kondisi dinamis. Pemerintah harus mencapai tujuan nasional dan menjamin kedaulatan negara serta keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk dapat dilaksanakannya pembangunan nasional. Negara Kesatuan Republik Indonesia sering melaksanakan politik nasional yang tidak terbatas pada batas wilayah negaranya sendiri, tetapi sering meluas kewilayah di luar negaranya, demikian pula halnya dengan negara-negara tetangga. Terjadinya interaksi antar negara sesuai dengan kepentingan nasional setiap negara sering tidak sesuai dengan kepentingan nasionalnya masing-masing, dimana kepentingan nasional setiap negara sering tidak sesuai bahkan bertentangan dengan kepentingan negara lain. Banyak faktor penghambat dalam melaksanakan pembangunan, salah satu faktor penghambat proses pembangunan yang sangat mempengaruhi perekonomian dan keuangan 11
negara adalah tindak pidana korupsi. Menurut M. Mc. Mullan yang di kutip dalam bukunya Martiman Prodjohamidjojo: ”Seorang pejabat dikatakan korup apabila, ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan suatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya padahal ini selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum”.3
Menurut Baharudin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers dalam bukunya Evi Hartanti yang berjudul Tindak Pidana Korupsi menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni: menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang kemungkinan antara lain berbunyi, financial manipulations and deliction injurious on the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering di kategorikan perbuatan korupsi). Selanjutnya ia menjelaskan the term is often applied also to misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga di gunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian umum).4 Permasalahan tindak pidana korupsi sebenarnya tidak saja menyangkut upaya pemberantasan maupun penanggulangannya, akan tetapi berkaitan juga dengan upaya-upaya lain seperti rehabilitasi dan tuntutan ganti rugi seandainya tersangka atau terdakwa terbukti tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Seperti misalnya pada kasus korupsi dengan 3
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm.9. 4
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.9.
12
tersangka Sutomo Borman, dan I Ketut Mardika. Terdakwa Sutomo Borman, selaku anggota DPRD Kabupaten Donggala sejak bulan agustus 1999 sampai dengan bulan Februari 2003 dan terdakwa I Ketut Mardika selaku anggota DPRD Kabupaten Donggana periode 1999 – 2004 serta selaku Anggota Panitia Anggaran DPRD Kabuaten Doggana, didakwa secara bersamasama maupun bertindak secara sendiri-sendiri telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang berhubungan satu dengan yang lain, sehingga dapat dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonmian negara, seluruhnya sebesar Rp.2.386.950.000,- (dua milyar tiga ratus delapan puluh enam juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah). Pengadilan Negeri Palu berdasarkan Putusan No.21/Pid. B/2005 /PN.PL tanggal 10 Oktober 2005, menyatakan terdakwa Sutomo Borman, dan I Ketut Mardika terbukti melakukan tindak pidana dan oleh karenanya Pengadilan Negeri Palu menjatuhkan pidana penjara masing- masing selama 1 (satu) tahun dan denda masing- masing sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Putusan Pengadilan Negeri Palu ini diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Palu melalui Pengadilan Tinggi Palu No. 09/PID/2006/PT.PALU tertanggal 4 Maret 2006 yang menghukum kedua terdakwa dengan pidana penjara masing-masing 4 (empat) tahun dan pidana denda Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Palu ini diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1599 K/Pid /2006 tangga l 9 Oktober 2006. Selanjutnya pada Putusan Peninjauan Kembali (PK) No.43 PK/Pid.Sus/2009, hakim PK dengan pertimbangan bahwa kedua terpidana terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan 13
kepadanya, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, sehingga hakim PK memutuskan melepaskan kedua terpidana tersebut dari segala tuntutan hukum dan memutuskan pemulihan hak para terpidana dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya. Kasus lainnya adalah terdakwa Lemantius Bhato pensiunan Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Kabupaten Ngada sewaktu masih Pegawai Dinas Kimpraswil Kabupaten Ngada menjabat Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pada Dinas Kimpraswil Kabupaten Ngada dengan dibantu oleh Ferdinandus Ega, seorang wiraswasta yang pekerjaannya bergerak dalam bidang usaha jual beli hasil komoditi dan tukang servis kendaraan, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebesar Rp.85.504 .000 ,- (delapan puluh lima juta lima ratus empat rupiah). Pengadilan Negeri Bajawa melalui putusannya No. 45/PID.B/2007/ PN.BJW tanggal 4 Desember 2007 menyatakan kedua terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan, oleh karena itu membebaskan kedua terdakwa dari dakwaan serta, memulihkan hak kedua terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Putusan Pengadilan Negeri Bajawa ini diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi dan Putusan Mahkamah Agung No. 806 K/Pid.Sus/2008, tanggal 03 November 2008. Pada tingkat Peninjuan Kembali (PK), meskipun dasar pemikiran yang diambil oleh hakim PK berbeda dengan hakim-hakim sebelumnya yang mengadili perkara ini, namun Putusan Peninjauan Kembali No. 169 PK/Pid.Sus/2009 juga menyatakan kedua terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan, oleh karena itu membebaskan kedua terdakwa dari dakwaan serta, memulihkan hak kedua terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. 14
Berdasarkan kedua contoh di atas dapat dikatakan bahwa seorang terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, namun tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang didakwakan, maka terdakwa dapat dibebaskan dan diberikan rehabilitasi berupa pemulihan hak-haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Dalam penelitian ini kasus yang akan dianalisis adalah Kasus Yogyakarta Exhibition and Convention Centre (YECC) dengan terdakwa H. Abdurrachman. Setelah menjalani proses pengadilan mulai dari Pengadilan Negeri Yogyakarta hingga Peninjauan Kembali akhirnya terdakwa divonis bebas dan juga rehabilitasi yang berupa pemulihan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Mengingat H. Abdurrachman merasa telah dirugikan karena sudah menjalani eksekusi atas Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.156/Pid.B/2002/PN.Yk. tangal 17 Maret 2003, yang diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No.44/Pid/2003/PTY. tanggal 20 Januari 2004 jo putusan Mahkamah Agung R.I No.1699 K/Pid/2004., tanggal 13 Juli 2005, maka H. Abdurrachman melakukan gugatan ganti rugi terhadap Pengadilan Negeri Yogyakarta. Dalam ketentuan hukum acara pidana, gugatan ganti kerugian merupakan suatu upaya untuk mengembalikan hak-hak korban, yang karena kelalaian aparat penegak hukum telah salah dalam menentukan seseorang untuk dijadikan sebagai tersangka/terdakwa dalam suatu tindak pidana (error in persona). Dalam KUHAP pasal 1 butir 22 disebutkan bahwa ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur.
15
Ketentuan-ketentuan tentang pemberian hak terhadap korban dari ketidak benaran aparat penegak hukum dalam menjalankan hukum itulah yang mendasari H. Abdurrachman untuk melakukan gugatan ganti kerugian ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Gugagatan ini dilakukan karena kerugian yang telah diderita oleh Penggugat yang diprediksi baik kerugian moril maupun materiil yaitu mencapai Rp. 1.517.000.000 (satu milyar lima ratus tujuh belas juta rupiah). Dalam hukum pidana, ganti kerugian hanya diberikan terhadap ongkos atau biaya yang dikeluarkan oleh pihak korban, artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat ditinjau dari 2 perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa: 1. Terkait dengan ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbutan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan; 2. Terkait terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu terdakwa dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena terdakwa sudah dirugikan. Terdakwa bisa megajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan, maka yang bersangkutan sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
16
Keadilan bagi seorang yang telah menjadi tersangka, terdakwa maupun orang yang sudah menjadi terpidana untuk perbuatan tindak pidana yang sebenarnya tidak dilakukannya, maka kepada mereka harus diberikan rehabilitasi atau yang sering dikenal dengan pemulihan nama baik dan dapat juga menuntut ganti rugi.5 Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang, atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga mengatur tentang Kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus ganti rugi dan rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan sampai penyidikan atau penuntutan. Kemudian dalam Pasal 98 KUHAP dan seterusnya diatur tentang kemungkinan penggabungan perkara gugatan dan ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan.6 Pengertian rehabilitasi dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 adalah pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang di berikan oleh pengadilan. Menurut Pasal 1 butir 23 KUHAP: ”Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
5
C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 1992, hlm.18.
6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, 1992, hlm.88.
17
Pemberian rehabilitasi dan ganti rugi kepada terdakwa maupun arti yang sangat penting. Rehabilitasi tersebut nantinya akan di gunakan terdakwa yang telah diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh pengadilan, karena rehabilitasi tersebut merupakan hak yang dimiliki terdakwa apabila mereka dirugikan. Hal ini yang ingin diteliti oleh penulis dalam suatu penulisan hukum dengan mengambil judul, ”Pelaksanaan Rehabilitasi dan Tuntutan Ganti Rugi Dalam Tindak Pidana Korupsi”.
B. Permasalahan Dari uraian di atas dapat ditarik permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pelaksanaan rehabilitasi dan pemenuhan tuntutan ganti rugi dalam tindak pidana korupsi pada kasus Yogyakarta Exhibition and Convention Centre (YECC) dengan terdakwa H. Abdurrachman pada putusan
Pengadilan Negeri Yogyakarta
No.4/Pdt.G/2010/PN.Yk? 2. Apa saja yang menjadi kendala penegakan hukum dalam pelaksanaan rehabilitasi dan pemenuhan tuntutan ganti rugi pada tindak pidana korupsi?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Tujuan Deskriptif Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan rehabilitasi dan pemenuhan tuntutan ganti rugi dalam tindak pidana korupsi pada kasus Yogjakarta Exhibition Convention
18
Centre (YECC) dengan terdakwa H. Abdurrachman pada putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.4/Pdt.G/2010/PN.Yk. 2. Tujuan Kreatif a. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan rehabilitasi dan pemenuhan tuntutan ganti rugi dalam tindak pidana korupsi pada kasus Yogyakarta Exhibition and Convention Centre (YECC) dengan terdakwa H. Abdurrachman pada putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.4/Pdt.G/2010/PN.Yk. b. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala pelaksanaan rehabilitasi dan pemenuhan tuntutan ganti rugi pada tindak pidana korupsi. 3. Tujuan Inovatif Mampu menyusun langkah-langkah antisipasi atas kendala-kendala yang dihadapi.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat Akademis a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian awal guna mengetahui lebih dalam mengenai objek penelitan. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran mengenai bagaimana pelaksanaan rehabilitasi dan pemenuhan tuntutan ganti rugi pada tindak pidana korupsi dan apa saja yang menjadi kendala pelaksanaan rehabilitasi dan pemenuhan tuntutan ganti rugi pada tindak pidana korupsi. 2. Manfaat Praktis
19
a. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam pelaksanaan rehabilitasi dan tuntutan ganti rugi pada tindakan pidana korupsi. b. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman kepada publik dan pihak-pihak terkait yang berminat dan berkepentingan terhadap persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan rehabilitasi dan tuntutan ganti rugi dalam tindak pidana korupsi. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran, masukan, dan perluasan ilmu hukum pada umumnya serta hukum acara pidana pada khususnya.
E. Keaslian Penelitan Sepengetahuan penulis dan sepanjang penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tidak terdapat penelitian serupa yang dilakukan oleh peneliti lain yang meninjau tentang Pelaksanaan Rehabilitasi Dan Tuntutan Ganti Rugi Dalam Tindak Pidana Korupsi. Dalam studi kepustakaan yang penulis lakukan, penelitian sejenis pernah dilakukan sebelumnya yaitu Skripsi yang dibuat tahun 2010 oleh Iin Wulandari Sukarno Putri dengan judul Analisis Perbandingan Hukum Pengaturan Konsep Ganti Rugi Dan Rehabilitasi Bagi Korban Proses Peradilan Pidana Yang Cacat Hukum (Miscarriage Of Justice) Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan Undang-undang Acara Pidana Belanda, fokus penelitian tersebut lebih kepada untuk mengetahui pengaturan konsep ganti rugi dan rehabilitasi bagi korban proses peradilan pidana yang cacat hukum (Miscarriage of justice) menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dibandingkan dengan Undang-undang Acara Pidana Belanda (Criminal injuries compensation act of dutch). 20
Menurut penulis, penelitian yang penulis lakukan di Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan judul Pelaksanaan Rehabilitasi dan Tuntutan Ganti Rugi dalam Tindak Pidana Korupsi tersebut, permasalahan atau objek yang telah diteliti sangatlah berbeda dengan masalah yang dijadikan sebagai objek dalam skripsi yang dibuat oleh Iin Wulandari Sukarno Putri. Jika Iin Wulandari Sukarno Putri menganalisis tuntutan rehabilitasi dan ganti rugi yang dilakukan oleh korban yang masih menjalani proses peradilan tindak pidana, sedangkan yang akan penulis teliti menganalisis tuntutan rehabilitasi dan ganti rugi dari terdakwa yang sudah diputus bebas dimana terdakwa sudah menjalani proses peradilan dari tingkat Pengadilan Negeri Yogyakarta hingga Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung. Dari penelusuran kepustakaan di Perguruan Tinggi lainnya, penulis mendapatkan sebuah tesis yang ditulis Fachrudin Razi dari Universitas Lampung dengan judul ”Pemulihan Hak-Hak Pejabat Tersangka Korupsi yang Diputus Bebas Berdasarkan KUHAP”. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa efektifitas pemulihan hak-hak pejabat Pemerintah dan Daerah tersangka atau terdakwa perkara korupsi berdasarkan ketentuan Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP pada saat ini tidak efektif, dikarenakan pejabat Pemerintah atau Daerah yang diduga melakukan korupsi akan tetapi dalam pengadilan diputus bebas tidak dikembalikan kembali harkat, martabat serta kedudukannya. Kendala-kendala dalam pelaksanaan pemulihan hak-hak terhadap pejabat Pemerintah atau Daerah yang diduga melakukan korupsi dikarenakan tidak adanya ketentuan yang mengatur ganti kerugian atau pemulihan hak terhadap putusan bebas. Perbedaan penelitian Fachrudin Razi dengan yang dilakukan peneliti terletak pada metode
penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian Fachrudin Razi digunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu hanya menganalis peraturan perundang-undangan terkait dengan rehabilitasi dan ganti rugi bagi pejabat daerah yang divonis bebas dari dakwaan tindak pidana korupsi, sedangkan metode penelitian yang penulis lakukan selain menggunakan metode yuridis normatif, 21
penulis juga menggunakan metode yuridis empiris untuk mendapatkan data primer melalui wawancara dengan hakim maupun wakil ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa permasalahan atau objek yang penulis teliti ini sama sekali belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya, sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
22