BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilakukan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajad kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan di selenggarakan dengan berdasarkan peri kemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain ibu, anak, manusia lanjut usia (manula) dan keluarga miskin. Sehat menurut WHO adalah suatu keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan sosial, tidak hanya bebas dari penyakit dan kelemahan. Sedangkan kesehatan adalah sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Kesehatan merupakan hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 huruf H ayat (1) yang disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Di samping itu dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 4 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan serta pada Pasal 5 ayat (2)
1
disebutkan setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Upaya untuk memperoleh pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui
pelayanan kesehatan modern maupun pelayanan kesehatan
tradisional. Bentuk pelayanan kesehatan tersebut dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan dan untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Berdasarkan definisi tersebut maka tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai bidang keahliannya, namun dalam penyelenggaraannya setiap tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah, sehinga masyarakat sebagai pengguna jasa akan mendapatkan pelayanan yang aman, terjamin serta masyarakat maupun tenaga kesehatan sendiri juga terlindungi dari hukum. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Perawat merupakan
salah
satu
tenaga
kesehatan
sehingga
perawat
dapat
menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kewenangannya. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/148/I/2010
2
jo Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 Tentang
Perubahan
atas
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
HK.02.02/Menkes/148/I/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat disebutkan bahwa perawat dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan yang meliputi fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri dan/atau praktik mandiri. Berdasarkan Permenkes tersebut maka perawat secara legal dapat menjalankan praktik mandiri, sehingga Permenkes tersebut dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaannya dan merupakan wujud perlindungan hukum dalam pelaksanaan praktik mandiri perawat. Namun Permenkes tersebut belum mengatur secara detail dalam pelaksanaannya, diantaranya tentang kewenangan tindakan, persyaratan tempat praktik, dan jenis peralatan yang harus disediakan. Hal ini sangat berbeda dengan Permenkes Nomor 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan praktik bidan, walaupun sama-sama jenis tenaga keperawatan. Dalam Permenkes tersebut mengatur secara detail penyelenggaraan praktik bidan. Pengaturan yang kurang detail dalam Permenkes Nomor HK.02.02/Menkes/148/I/2010 jo Permenkes Nomor 17 Tahun 2013 tersebut maka secara langsung dapat berpotensi merugikan perawat dikaitkan dengan adanya Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 73 ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara
lain
dalam
memberikan
pelayanan
kepada
masyarakat
yang
menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter
3
gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik. Pasal tersebut mempunyai sanksi pidana sebagaimana dituangkan dalam Pasal 78 yaitu ancaman pidana paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Dalam kurikulum pendidikan keperawatan, baik tingkat Diploma maupun Strata satu (S1) terdapat Skill Station yang mengajarkan tindakantindakan dalam memberikan asuhan keperawatan maupun tindakan medis, misalnya hechting luka dan tindakan pemberian obat. Obat dapat diberikan baik secara oral maupun parenteral (melalui pembuluh darah), dimana pemberian obat parenteral merupakan tindakan invasif yang hanya dapat dilakukan perawat atas delegasi dokter, sehingga tanpa adanya pendelegasian perawat tidak berwenang memberikan obat parenteral meskipun secara keterampilan perawat mahir melakukannya. Kota Salatiga merupakan Kota kecil di Jawa Tengah yang terdiri dari 4 Kecamatan dan 22 Kelurahan. Meskipun sebagai Kota kecil tetapi ketersediaan sarana pelayanan kesehatan sangat mencukupi, sebagaimana diketahui bahwa terdapat sebanyak 6 Rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta, Puskesmas Induk pada setiap kecamatan dan masing-masing Kelurahan mempunyai Puskesmas Pembantu (Pustu). Selain itu sarana pelayanan kesehatan berupa Klinik baik pratama maupun utama berkembang pesat serta tenaga dokter praktik swasta yang tersebar hampir di setiap Kelurahan. Kondisi yang demikian maka sampai saat ini tidak ada Kecamatan atau Kelurahan yang ditetapkan sebagai daerah yang tidak memiliki dokter.
4
Anggota Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebanyak 520 orang, 20 orang diantaranya melakukan praktik mandiri1. Dalam pelaksanaan praktik mandiri sering ditemukan perawat melakukan tindakan invasif seperti pemberian obat parenteral , hechting luka bahkan sampai melakukan bedah minor. Padahal tindakan-tindakan tersebut bukan merupakan kewenangan perawat. Tindakan medis hanya dapat dilakukan oleh perawat dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa dan tidak ada dokter ditempat kejadian. Hal ini berbeda dengan tindakan pemberian obat oral (melalui mulut), sesuai dengan Permenkes Nomor 148 Tahun 2010 jo Permenkes Nomor 17 Tahun 2013 perawat di berikan kewenangan untuk memberikan jenis obat bebas dan obat bebas terbatas. Dalam pelaksanaan praktik mandiri perawat pembinaan dan pengawasan yang merupakan amanat Permenkes Nomor 148 Tahun 2010 jo Permenkes Nomor 17 Tahun 2013 kepada Pemerintah Daerah mutlak diperlukan. Tindakan pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan organisasi profesi (PPNI). Melalui tindakan tersebut diharapkan pelaksanaan penyelenggaraan praktik mandiri sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur, perawat menjalankan praktik sesuai dengan kewenangan yang dimiliki karena jika perawat melakukan tindakan diluar kewenangannya maka akan mempunyai konsekuensi hukum, selain itu tindakan tersebut diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan
1
Data PPNI Kota Salatiga Tahun 2013
5
yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Tindakan pembinaan dan pengawasan juga dapat digunakan sebagai sarana evaluasi pelaksanaan kegiatan untuk mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaannya. Merujuk pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 maka perawat tidak mendapatkan perlindungan hukum dalam pelaksanaan praktiknya. Perawat dalam posisi terjepit, disatu sisi perawat diberikan kebebasan untuk menjalankan praktik mandiri tetapi di sisi lain payung hukum belum melingkupinya secara utuh. Mensikapi fenomena demikian maka peraturan kebijaksanaan berkaitan dengan kewenangan bebas dari pemerintah (freies ermessen) mutlak diperlukan melalui pelaksanaan pembinaan dan pengawasan praktik mandiri perawat oleh pemerintah dengan mengikutsertakan organisasi profesi. Oleh karena itu penulis bermaksud untuk melakukan penelitian tentang “Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Praktik Mandiri Perawat di Kota Salatiga”.
B. Perumusan Masalah Dalam penelitian ini rumusan masalahnya adalah : 1.
Bagaimana penyelenggaraan praktik mandiri perawat dikaitkan dengan Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
HK.02.02/Menkes/148/I/2010 jo Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2013?
6
2.
Bagaimana pembinaan dan pengawasan terhadap praktik mandiri perawat?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengkaji penyelenggaraan praktik mandiri perawat di Kota Salatiga dikaitkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes/148/I/2010 jo Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2013
2.
Untuk mengkaji pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan praktik mandiri perawat di Kota Salatiga
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1.
Bagi ilmu pengetahuan Memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang hukum kesehatan, khususnya mengenahi regulasi penyelenggaraan praktik mandiri perawat
2.
Bagi negara dan bangsa Memberikan masukan pada pemerintah khususnya stakeholder kesehatan tentang pelaksanaan regulasi praktik mandiri perawat
7
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran perpustakaan penelitian tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan praktik mandiri perawat tidak ditemukan, akan tetapi ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan regulasi profesi perawat, di antaranya adalah : 1.
Evaluasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan di Kabupaten Indramayu. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi kegiatan yang dilakukan perawat berhubungan dengan pelaksanaan praktik mandiri keperawatan. Hasilnya praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan di Kabupaten Indramayu belum dilaksanakan secara optimal, hal ini dikarenakan kurangnya pengawasan baik yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu maupun organisasi profesi (PPNI) Indramayu2. Perbedaan dengan penelitian ini adalah rujukan regulasi yang digunakan dan tujuan penelitian. Pada penelitian tersebut rujukan regulasi pada Kepmenkes RI No 1239 Tahun 2001 sedangkan pada penelitian ini rujukan regulasinya adalah Permenkes No 148 Tahun 2010 jo Permenkes No 17 Tahun 2013, serta pada tujuan penelitian ini cakupannya lebih luas yaitu penyelenggaraan praktik mandiri perawat beserta pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah bersama organisasi profesi (PPNI), tidak hanya melakukan identifikasi kegiatan perawat pada pelaksanaan praktik mandiri.
2
Indra Ruswadi. 2010. Evaluasi praktik mandiri keperawatan berdasarkan kaidah asuhan keperawatan di Kabupaten Indramayu. Tesis S2 IKM-KMPK Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
8
2.
Peran organisasi dalam pengawasan praktik mandiri keperawatan di Kabupaten Kudus Jawa Tengah. Tujuan penelitiannya adalah untuk memperoleh
gambaran
tentang
peran
organisasi
profesi
dalam
pengawasan penerapan praktik mandiri keperawatan di Kabupaten Kudus Jawa Tengah. Hasil penelitiannya diketahui bahwa masih lemahnya peran PPNI dalam pengaturan praktik mandiri perawat di Kabupaten Kudus dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor organisasi profesi sendiri yaitu lemahnya perjuangan profesi dalam birokrasi, faktor anggota profesi yaitu kurangnya kesadaran untuk melakukan praktik mandiri keperawatan, faktor masyarakat yaitu masih menganggap perawat mampu bertindak sebagai dokter dan faktor pemerintah yaitu belum adanya aturan hukum yang mengatur bentuk dan model praktik mandiri keperawatan3. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada rujukan regulasi serta tujuan penelitian. Pada penelitian tersebut rujukan regulasinya adalah Kepmenkes RI No 1239 Tahun 2001 sedangkan pada penelitian ini adalah Permenkes No 148 Tahun 2010 jo Permenkes No 17 Tahun 2013, serta pada penelitian ini tujuan penelitiannya tidak hanya untuk memperoleh gambaran peran organisasi profesi dalam pengawasan tetapi untuk mengkaji pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah bersama organisasi profesi.
3
Mustain. 2007. Peran organisasi dalam pengawasan praktik mandiri keperawatan di Kabupaten Kudus Jawa Tengah. Tesis Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata Semarang
9