BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam upaya melestarikan warisan geologi dan sekaligus memperoleh manfaat yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat lokal, konsep pembangunan melalui pengembangan taman bumi atau geopark kini menjadi pilihan yang menarik, termasuk di Indonesia. Perkembangan geopark diawali dengan terbentuknya suatu organisasi non-pemerintahan yang bertujuan melindungi warisan geologi di negara-negara EROPA bernama European Geopark Network (EGN) pada tahun 2001. Selanjutnya UNESCO memfasilitasi dan membentuk organisasi yang mampu menampung lebih banyak lagi negaranegara anggota sehingga terbentuklah Global Geopark Network (GGN) pada tahun 2004. Menurut UNESCO (2004) geopark adalah sebuah kawasan yang memiliki unsur-unsur geologi terkemuka (outstanding) termasuk nilai arkeologi, ekologi dan budaya yang ada di dalamnya di mana masyarakat lokal diajak berperan-serta untuk melindungi dan meningkatkan fungsi warisan alam. Melalui geopark, warisan geologi itu digunakan untuk mendorong kesadaran masyarakat atas isuisu yang dihadapinya berkaitan dengan dinamika kebumian yang terjadi. Masyarakat dapat lebih menghargai warisan yang ada dan memiliki kesadaran untuk menjaga warisan tersebut. Berdasarkan pedoman GGN UNESCO (2004), tujuan geopark adalah menggali, mengembangkan, menghargai, dan mengambil manfaat dari hubungan erat antara warisan geologi dan segi lainnya dari warisan alam, berupa budaya, 1
2
dan nilai-nilai di area tersebut. Untuk mencapai tujuannya, sebuah geopark memiliki batas-batas yang ditetapkan dengan jelas dan memiliki kawasan yang cukup luas untuk pembangunan ekonomi lokal. Sehingga, di dalam geopark berlangsung sedikitnya tiga kegiatan penting, yaitu: konservasi, pendidikan, dan geowisata. Sebelum diakui oleh UNESCO menjadi anggota jaringan geopark dunia (GGN), sebuah daerah dapat diusulkan untuk ditetapkan menjadi geopark nasional di negaranya. Sebagai contoh, Cina memiliki sekitar 129 geopark nasional dengan 27 diantaranya merupakan geopark anggota GGN. Indonesia dengan luas wilayah hampir sama dengan China dan memiliki keragaman geologi yang tinggi sangat berpotensi untuk memiliki banyak geopark, baik geopark nasional maupun geoparkinternasional. Jumlah geopark yang diakui UNESCO atau geopark anggota GGN di seluruh dunia saat ini ada 90 kawasan. Sebanyak 27 diantaranya dimiliki oleh China. Di kawasan Asia Tenggara, geopark baru dimiliki oleh Malaysia, Vietnam, dan Indonesia, masing- masing berjumlah satu lokasi. Geopark yang dimiliki Indonesia adalah kawasan Kaldera Gunung Batur di Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Proses pengajuan kawasan kaldera Gunung Batur menjadi geopark berlangsung selama empat tahun dari 2008 sampai akhirnya ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2012 dan diresmikan tepat pada 17 Nopember 2012 oleh Menteri ESDM dan Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif. Memanglah tepat bila Indonesia memiliki geopark dilihat dari keragaman bumi dan budayanya. Wilayah Indonesia yang memiliki keragaman bumi dan
3
daya tarik pariwisata sangatlah potensial dalam pengembangan geopark yang mampu meningkatkan jumlah dan kualitas pariwisata di Indonesia. Apalagi Bali yang menjadi pintu gerbang utama wisatawan dunia berkunjung ke Indonesia menyimpan berbagai macam potensi yang harus terus dikembangkan dan dikelola secara berkelanjutan. Di Bali, salah satu kawasan daya tarik wisata yang memiliki potensi dan peluang untuk pengembangan geopark adalah kawasan Kintamani. Ratusan bahkan ribuan wisatawan telah berkunjung melihat keindahan alam di sekitar gunung Batur, Kintamani. Kunjungan wisatawan tersebut telah memberikan berbagai peluang kerja bagi masyarakat lokal dan pengalaman baru bagi wisatawan. Berbagai aktivitas dan sarana kepariwisataan juga telah banyak dikembangkan oleh pihak pemerintah, swasta ataupun masyarakat lokal. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan pola kehidupan masyarakat baik sosial, budaya dan ekonomi. Sebagai hasil, pengembangan pariwisata di Kintamani juga memberikan dampak positif dan negatif. Mulai tahun 2008 pemerintah telah banyak melakukan persiapan untuk pengajuan Kintamani agar menjadi salah satu anggota geopark dunia. Pada tahun 2010 dilakukan penyusunan dokumen (dossier) untuk dikirim ke UNESCO. Saat itu, pemerintah mulai menetapkan kawasan Batur Kintamani menjadi geopark nasional. Tepat pada Februari 2011 pemerintah mengirim dokumen (dossier) ke UNESCO dan pada bulan juni 2011 dilakukan penilaian oleh Assesor. Namun perjalanan pengajuan kawasan Batur sebagai geopark tidaklah berjalan dengan mudah. Pada bulan oktober 2011, UNESCO memberikan penangguhan penetapan geopark sebagai anggota Global Geopark Network (GGN).
4
Di bulan Maret 2012 pemerintah masih terus melakukan upaya dengan koordinasi antara Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata dan UNESCO Perihal Rencana Pengusulan Kembali Geopark Batur. Upaya ini berhasil terbukti dengan dikeluarkannya SK Penentuan Kaldera Batur tanggal 2 April 2012, Nomor 37.KJ73/BGU/2012. Sebulan setelah dikeluarkanya SK, Pemerintah Kabupaten Bangli, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral membahas jawaban atas rekomendasi UNESCO tentang geopark di Kintamani Hal ini ditindaklanjuti dan direspon oleh adanya kunjungan Advisory Mission UNESCO ke Kawasan Geopark Kintamani pada bulan juli 2012. Pada bulan Agustus 2012 dilakukan pengiriman klarifikasi hasil Advisory yang hasilnya pada tanggal 20 september 2012 Kaldera Batur ditetapkan dan berhasil masuk kedalam Global Geopark Network-UNESCO di Geopark Auroca, Portugal saat konferensi Geopark Eropa yang ke-11(Disbudpar Kabupaten Bangli, 2013). Sejak Kawasan Kintamani resmi masuk Global Geopark Network, saat itu mulailah nama Batur Global Geopark dipopulerkan oleh pemerintah terbukti dengan adanya media promosi melalui website www.baturglobalgeopark.comdan juga pemasangan papan tanda Batur Global Geopark di beberapa tempat yang banyak dilihat masyarakat ataupun wisatawan. Batur Global Geopark berhasil masuk ke dalam Global Geopark Network karena kawasan Batur Kintamani merupakan salah satu kaldera terindah di dunia. Keindahan Kaldera Batur didukung oleh beberapa tempat atau spot yang strategis sehingga memungkinkan
5
untuk melihat seluruh keindahan kaldera, gunung, danau, hamparan warisan geologi, dan desa-desa tradisional beserta keragaman budaya serta hayatinya. Pada dasarnya, geopark merupakan salah satu bentuk taman bumi yang telah dikembangkan di beberapa negara. Pengembangan geopark berpilar pada aspek konservasi, aspek edukasi dan aspek pengembangan nilai ekonomi lokal melalui pariwisata (European Geopark Network, 1990). Pengembangan Batur Global Geopark memiliki 4 konsep pokok yaitu konsep lingkungan hidup, konsep wisata gunung api, konsep budaya dan konsep ekowisata. Konsep lingkungan hidup bermaksud dalam pengembangan Batur Global Geopark memperhatikan kondisi lingkungan sekitar agar berjalan berkelanjutan. Konsep wisata gunung api pada Batur Global Geopark mengintegrasikan pengembangan pariwisata di Kintamani dengan warisan situs yang ada dan juga mengembangkan Museum Gunung Api Batur. Museum Gunung Api Batur berfungsi penunjang aktivitas geopark dan juga dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan. Pada konsep budaya, pengembangan geopark menyesuaikan budaya yang dimiliki masyarakat di Kintamani. Untuk konsep ekowisata, pengembangan Batur Global Geopark memperhatikan keberlangsungan lingkungan melalui pariwisata dengan pelibatan masyarakat, pemerintah dan swasta. Pengembangan Kawasan Batur Global Geopark memberikan daya tarik wisata yang lebih beragam kepada wisatawan di Bali karena tercipta alternatif wisata yang belum pernah dikembangkan. Wisatawan dapat menikmati keindahan dan sekaligus mendapatkan pengetahuan betapa pentingnya kelestarian alam dari perjalanan wisata di Batur Global Geopark. Proses pembuatan kawasan
6
Kintamani agar dikenal menjadi Batur Global Geopark dimulai dari tahap perencanaan, pengelolaan dan evaluasi. Namun, bila dilihat kondisi yang terjadi di Kintamani, pengelolaannya belum optimal. Masyarakat lokal terkesan acuh dengan situasi yang berlangsung seakan masyarakat tidak terlibat dalam pengembangan geopark. Padahal pelibatan partisipasi masyarakat lokal merupakan syarat bagi pengembangan yang berkelanjutan. Hal ini penting dikarenakan masyarakat lokallah yang memiliki dan mengetahui segala potensi yang ada di daerahnya. Apabila masyarakat tidak terlibat, tentu bisa menyebabkan adanya konflik dan berakibat pula pada ketidakberlanjutan pariwisata di Kintamani. Selain kurangnya partisipasi dari masyarakat lokal, juga terlihat dari lambatnya perkembangan pariwisata di Kintamnai. Kintamani yang telah dikembangkan sebagai destinasi pariwisata yang ditambah dengan branding Batur Global Geopark tentunya akan mampu meningkatkan kunjungan baik dari kuantitas ataupun kualitas. Namun, bila dilihat dari data pertumbuhan kunjungan wisatawan ke Kintamani, wisatawan terlihat mulai meninggalkan Kintamani sebagai destinasi wisatanya. Berdasarkan data kunjungan wisatawan dalam lima tahun terakhir dari tahun 2010 sampai 2014, destinasi pariwisata Kintamani dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Memang, dari segi kuantitas pariwisata Kintamani mengalami peningkatan. Namun apabila dibandingkan dengan pertumbuhan pariwisata di Bali, Kintamani sangat jauh ketinggalan. Hal ini berarti, Kintamani sebagai satu-satunya geopark yang ada di Indonesia dan telah
7
masuk jaringan Global Geopark Network belum berhasil menjadikan Kintamani sebagai destinasi yang berkualitas yang menjadi pilihan wisatawan. Tidak sedikit permasalahan yang sudah menimpa bahkan menyebabkan turunnya kualitas pariwisata Kintamani. Ini pernah terlihat dari adanya trend yang kurang baik terhadap kunjungan wisatawan ke daya tarik wisata Kintamani beberapa tahun sebelumnya. Berbagai kasus sempat terjadi saat wisatawan mengunjungi Kintamani, seperti banyak wisatawan yang terusik kenyamanannya karena dipaksa membeli souvenir oleh pelaku pariwisata yang kurang bertanggung jawab. Kebersihan dan penataan fasilitas pariwisata seperti pasar ataupun bangunan restoran yang tidak pada tempatnya juga membuat citra pariwisata Kintamani sebagai geopark yang diakui dunia menjadi tidak efektif. Adanya pertambangan galian C yang tidak sejalan dengan konsep konservasi. Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) bahkan sempat “mengeluarkan” Kintamani dari daftar destinasi yang layak dikunjungi wisatawan saat berlibur ke Bali (Jurnal Wingkang Ranu Kintamani, 2011)1. Ini jauh sebelum Kintamani ditetapkan sebagai geopark. Melihat berbagai macam permasalahan yang ada terkait Batur Global Geopark, menurut Gianyar (dalam workshop geopark 19 September
2013)
terdapat 4 (empat) masalah besar di Kawasan Kintamani yang harus segera ditangani, yaitu: pertama keberadaan Pasar (pasar yang sekarang ada masih tradisional, statusnya berada di dalam kawasan Museum Gunungapi Batur, perlu dibangun pasar baru yang lebih maju dan status lahannya jelas). Kedua 1
https://balikamilagi.files.wordpress.com/2011/08/wr-edisi-agustus-2011.pdf
8
penggalian dan pengangkutan Galian C diusahkan agar kegiatan konservasi jauh lebih besar dari pemanfaatan. Ketiga penataan pedagang asongan yang selama ini terkesan cara berdagang pedagang asongan kurang memperhatikan etika pedagang; dan keempat penataan dan pengaturan bagunan restoran di sebelah timur jalan raya Kintamani. Bila dilihat keempat permasalahan itu perlu kiranya semua komponen masyarakat menjaga citra pariwisata Kintamani yang kondusif dan mampu memberikan kenyamanan kepada wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Memang, secara konsep dengan pengembangan Batur Global Geopark berarti produk pariwisata yang dihasilkan ikut menjaga kelestarian alam dengan menajemen sumberdaya keragaman bumi (geodiversity), mencakup geologi, biologi dan sosial-budaya (Global Geopark Network, 1990). Akan tetapi kondisi nyata yang terjadi dari ditetapkannya Geopark Gunung Batur di Kintamani oleh UNESCO sampai saat ini masih belum terlihat signifikan dalam memberikan pengaruh positif bagi keberlanjutan pariwisata Kintamani. Terdapat ketimpangan yang terjadi antara keinginan aktivitas pariwisata dengan aktivitas masyarakat lokal di Kintamani. Seperti pengamatan di lapangan, masih banyak aktivitas masyarakat yang melakukan galian C di wilayah geopark. Di sisi lain, wisatawan menginginkan kondisi lingkungan yang lestari. Pernah pemerintah mengadakan Festival Danau Batur yang sempat berjalan dari tahun 2011 sampai tahun 2013. Festival Danau Batur bertujuan untuk mempromosikan daerah wisata Bali, khususnya wilayah Kintamani yang telah ditetapkan sebagai geopark. Pada tahun 2013 Festival dilaksanakan di Desa
9
Kedisan, Kintamani, Bangli, Bali yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasaran Pariwisata yang bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Bangli. Rangkaian kegiatan Festival Danau Batur ini meliputi workshop kepariwisataan mengenai geopark, yang diikuti sekitar 150 peserta dari Bali, Medan, Bogor dan Jakarta. Ada juga pameran pariwisata, lomba fotografi dengan 830 foto dari 321 peserta, fun bike, memancing, desain bambu, gebogan atau buah-buahan untuk sesaji saat acara adat, baleganjur atau musik khas Bali, dan juga lomba perahu jukung (detiktravel, 2013)2. Namun berbeda untuk tahun 2014 dan 2015 Festival Danau Batur ditiadakan berkaitan kurangnya anggaran dana pemerintah. Padahal festival ini merupakan salah satu usaha pemerintah untuk mempromosikan Batur Global Geopark kepada wisatawan dan juga masyarakat umum. Sehingga bila tidak diadakan lagi, tentu masyarakat umum dan wisatawan menganggap bahwa pemerintah tidak serius mengembangkan geopark. Apabila lebih dicermati, pengembangan geopark hanya terfokus pada daerah yang telah lama dikembangkan. Kurangnya sosialisasidan inovasi penambahan produk ekowisata yang menyeluruh menyebabkan geopark terkesan hanya sebatas wacana. Padahal potensi yang ada di Kintamani sangat beragam mulai dari akulturasi budaya, hasil pertanian, kondisi alam, dan aksesibilitas yang mendukung. Dalam mengatasi permasalahan ini, perlu diketahui bagaimana sebenarnya respon dari para pemangku kepentingan (stakeholder) pariwisata di Kintamani. 2
http://travel.detik.com/read/2013/09/20/134821/2364687/1382/promosikankintamani-festival-danau-batur-digelar-kembali
10
Para pemangku kepentingan pariwisata merupakan pihak-pihak yang terlibat baik dalam perencanaan ataupun pengelolaan nantinya. Respon pemangku kepentingan pariwisata penting diketahui untuk melihat apakah pengembangan geopark di Kintamani mendapatkan dukungan positif atau sebaliknya. Oleh karena itu, kajian tentang pemangku kepentingan pariwisata seperti respon masyarakat lokal, industri pariwisata dan wisatawan dalam pengembangan geopark masih sangat diperlukan dalam mendukung upaya pemerintah meningkatkan daya tarik wisatawan ke Kintamani. Selama ini, kajian yang terkait geopark masih sangat minim jika dibandingkan dengan kajian pariwisata yang bersifat umum. Apalagi, geopark tergolong suatu konsep yang baru dalam industri kepariwisataan. Penelitian tentang Batur Global Geopark akan ikut memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait kebijakan yang lebih tepat menuju pariwisata berkelanjutan di Kintamani. Kintamani sebagai daya tarik wisata tentu akan selalu mengalami perubahan yang memerlukan kajian akademis agar kebijakan yang sedang atau telah dijalankan dapat dievaluasi. Apapun kebijakan yang sedang berjalan tentu akan mendapat suatu respon dari para pemangku kepentingan pariwisata. Respon yang ditimbulkan ada yang positif (mendukung) ataupun negatif (menolak). Dalam industri kepariwisataan, respon tidak hanya ditimbulkan oleh masyarakat melainkan juga industri pariwisata dan wisatawan. Dalam pertemuan masyarakat dengan wisatawan terjadi suatu interaksi yang masing-masing mempunyai sikap, persepsi dan partisipasi tersendiri.
Di lain pihak, industri pariwisata berfungsi sebagai
penghubung terjadinya interaksi masyarakat dengan wisatawan. Kajian tentang
11
respon masyarakat, industri pariwisata dan wisatawan (pemangku kepentingan pariwisata) terhadap pengembangan Batur Global Geopark perlu untuk dilakukan. Hal ini didasari oleh tiga hal, sebagai berikut: pertama, Kintamani telah berkembang cukup lama dalam dunia kepariwisataan, namun dengan adanya konsep geopark di Kintamani tentunya akan memberikan tanggapan kepada masyarakat dan wisatawan, apakah mereka mendukung ataupun menolaknya. Karena memang masyarakat yang ada di Kintamani akan menjadi tuan rumah (host) bagi wisatawan (guest) yang berkunjung. Kemampuan masyarakat lokal Kintamani beradaptasi dengan konsep geopark perlu untuk dikaji, agar geopark tersebut siap menjadi destinasi pariwisata yang baru bagi wisatawan. Kedua, Kintamani sudah ditetapkan sebagai Batur Global Geopark dan masuk jaringan Global Geopark Network, namun sampai saat ini belum ada banyak perubahan positif di industri pariwisata Kintamani. Bahkan, pariwisata Kintamani sempat mengalami penurunan kunjungan wisatawan sementara akibat kenaikan tarif tiket masuk kawasan Kintamani dari Rp.10.000,- menjadi Rp. 30.000,- dan tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas infrastruktur dan sarana pariwisata yang memadai (Bali Post, 14 Januari 2015 halaman 1). Ketiga, citra pariwisata Kintamani masih terkesan kurang baik karena belum adanya standar pelayanan yang jelas kepada wisatawan di kawasan Batur Global Geopark. Belum jelasnya rute perjalanan wisatawan jika berkunjung ke Batur Global Geopark. Hal ini banyak dirasakan oleh biro perjalanan pariwisata, yang akibatnya Kintamani hanya menjadi tempat persinggahan untuk makan siang wisatawan.
12
Berdasarkan ketiga alasan itu, kajian tentang respon host dan guest dari pengembangan geopark sangatlah penting untuk dilakukan. Para pemangku kepentingan pariwisata dapat mengevaluasi efektivitas dari pengembangan geopark di Kintamani. Jadi, mengetahui respon masyarakat, industri pariwisata dan wisatawan baik domestik dan mancanegara dapat memberikan rekomendasi yang tepat kepada pemerintah, apa yang sebenarnya diinginkan baik dari masyarakat lokal, pihak industri pariwisata ataupun wisatawan yang berkunjung. Diketahuinya respon para pemangku kepentingan pariwisata Kintamani akan mampu menentukan upaya-upaya efektif yang mendukung pengembangan Batur Global Geopark di masa yang akan datang. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti mengidentifikasi masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah respon masyarakat lokal dan industri pariwisata terhadap pengembangan Batur Global Geopark? 2. Bagaimanakah respon wisatawan domestik dan mancanegara terhadap pengembangan Batur Global Geopark? 3. Bagaimana upaya yang bisa ditempuh agar gagasan geopark lebih tersosialisasikan di kalangan stakeholder pariwisata?
13
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis respon dari masyarakat lokal, industri pariwisata dan wisatawan terhadap pengembangan Batur Global Geopark di Kintamani, Bali agar dapat memberikan rekomendasi upaya yang bisa ditempuh dalam mensosialisasikan gagasan geopark di kalangan stakeholder pariwisata. Tujuan Khusus 1.
Untuk menganalisis respon masyarakat lokal dan industri pariwisata terhadap pengembangan Batur Global Geopark.
2.
Untuk menganalisis respon wisatawan domestik dan mancanegara terhadap pengembangan Batur Global Geopark.
3.
Untuk menganalisis upaya yang bisa ditempuh agar gagasan geopark lebih tersosialisasikan di kalangan stakeholder pariwisata.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Pertama, manfaat teoritis, yaitu menjadi penelitian yang dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnyaterkaitrespon masyarakat lokal, industi pariwisata dan wisatawan dalam pengembangan geopark bagi suatu destinasi pariwisata.Kedua, manfaat praktis untuk berbagai kalangan. Bagi Pemerintah diharapkan penelitian ini mampu memberikan rekomendasi tentang pengelolaan pariwisata Kintamani kedepannya karena telah memahami respon yang telah timbul dari pengembangan Batur Global Geopark.
14
Bagi Pelaku Pariwisata, penelitian ini akan mampu memberikan gambaran tentang respon masyarakat lokal dan wisatawan dalam pengembangan Batur Global Geopark sehingga para pelaku pariwisata dapat mengerti kebutuhan dan keinginan yang sedang terjadi dan dengan sigap dapat memberikan pelayanan yang berkualitas kepada wisatawan yang sedang berkunjung. Pelaku pariwisata akan dapat menciptakan produk pariwisata yang dikehendaki oleh wisatawan namun juga mempertimbangkan faktor pendorong dan penarik dari pasar yang ada atau mengikuti trend yang sedang berkembang kalau memang perkembangannya sesuai dengan sumber daya yang ada melalui pengembangan geopark. Bagi Masyarakat, dengan adanya penelitian ini akan mengetahui respon dari masyarakat lokal sendiri dan juga dari wisatawan dalam pengembangan geopark, sehingga masyarakat akan lebih siap dalam berinteraksi dengan wisatawan yang berkunjung.