BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Pada tahun 1990, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh suatu
yayasan dengan menggunakan identitas internasional tetapi tidak jelas kualitas dan standarnya. Selain itu, payung hukum yang mengatur penyelenggaraan sekolah internasional ini pada saat itu juga belum ada. Akan tetapi, membangun sekolah berkualitas sebagai pusat unggulan (center of excellence) pendidikan dirasa sangat perlu dan sebagai bangsa yang besar, Indonesia perlu pengakuan secara internasional terhadap kualitas proses, dan hasil pendidikannya. Atas dasar fenomena ini, pemerintah mulai mengatur dan merintis sekolah bertaraf internasional (Ditjen Mandikdasmen, 2010). Selanjutnya, pada tahun 2003 Indonesia sudah memiliki dasar hukum sekolah bertaraf internasional, yaitu UU No. 20/2003 (Sistem Pendidikan Nasional) pasal 50 ayat 3 yang berbunyi pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Purnama (2010) menyatakan sekolah bertaraf internasional adalah sekolah yang telah memenuhi standar nasional pendidikan dan mulai mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Coorporation and Development (OECD). OECD merupakaan sebuah organisasi
internasional yang membantu negara-negara anggotanya untuk menghadapi globalisasi ekonomi. Organisasi ini berpusat di kota Paris, Perancis dan beranggotakan negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, dan lain-lain. Menurut Ditjen Mandikdasmen (2010) hingga saat ini, mayoritas sekolah bertaraf internasional di Indonesia masih berstatus rintisan Indonesia International Standard School (IISS) (2010) menyatakan bahwa rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) adalah Sekolah Standar Nasional (SSN) yang menyiapkan peserta didik berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan bertaraf internasional sehingga diharapkan lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Saat ini di Medan baru ada satu sekolah menengah pertama (SMP) dengan status RSBI yaitu SMPN 1 Medan (“RSBI”, 2010). Sebagai sekolah yang berstatus RSBI, SMPN 1 Medan menerapkan konsep bilingual dalam kegiatan belajar mengajarnya. Triyono (2009) menyatakan bahwa penerapan bahasa Inggris dalam SBI pada tahun pertama guru menggunakan sekitar 75% bahasa Indonesia 25% bahasa Inggris, tahun kedua 50% bahasa Indonesia 50% bahasa Inggris, dan tahun ke tiga 75% bahasa Inggris 25% bahasa Indonesia, dari sini dapat dibayangkan pada tahun ketiga siswa yang tingkat bahasa Inggrisnya kurang akan mengalami degradasi prestasi karena sulit mencerna pembicaraan dari guru. Hasil komunikasi personal yang dilakukan oleh peneliti dengan salah satu siswa kelas internasioanl di SMPN 1 Medan yang berinisial BB juga
menunjukkan demikian, permasalah yang sering dihadapi oleh siswa kelas internasional adalah bahasa pengantar yang menggunakan bahasa Inggris: “....permasalah yang sering dihadapi di sekolah internasional itu Kak, gurunya. Kamikan Kak, pakai pengantar bahasa Inggris kalau di kelas, jadinya kadang gurunya asyik sendiri. Dia ngomong terus pakai bahasa Inggris. Apa lagi itu fisika dan biologi, itu asli full bahasa Inggris, bukan bilingual lagi. Terus kalau pelajaran lain, juga pakai bahasa Inggris, seperti agama, IPS, Matematika itu juga pakai bahasa Inggris. Cuma bahasa Indonesia aja yang pakai bahasa Indonesia (BB, komunikasi personal, 8/10/2010). Selain masalah bahasa pengantar masalah lain yang dihadapi siswa kelas internasional menurut BB adalah kompetisi akademik diantara siswa, yaitu sebagai berikut: “….kalau saingannnya Kak, uuh……!, banyaklah Kak. Apa lagi, orang itukan pada les di rumah lagi…, kamikan waktu itu diseleksi tes gitu, ada tes IPA, bahasa Inggris, sama tes IQ gitu”. (BB, komunikasi personal, 8/10/2010). Moko (1997) mengemukakan bahwa untuk dapat masuk di kelas unggulan peserta didik harus melalui seleksi ketat dengan kriteria tertentu. Dalam konsep Depdikbud (1993), kriteria itu antara lain prestasi belajar yang superior dengan indikator rapor, NEM, hasil tes prestasi akademik, skor psikotes yang meliputi inteligensi dan kreativitas, serta tes fisik. Pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas internasional di SMPN 1 Medan berlangsung dari pagi hingga sore pada hari Senin sampai Kamis, sedangkan pada hari Jumat sampai Sabtu siswa belajar sampai siang. Hal ini dapat dilihat dari komunikasi personal antara peneliti dan BB. “….satu hari itu sembilan pelajaran, satu pelajaran dua guru, ada guru materi dan guru soal, ya sesuai dengan tugasnya Kak, guru soal, datangdatang nyuruh ngerjain soal. Satu hari itu bisa lima PRnya, kami belajar
kalau dari hari Senin-Kamis, sampai jam 4 kalau hari Jumat sampai Sabtu, normal.” (BB, komunikasi personal, 8/10/2010). Banyaknya PR bukan hanya dikeluhkan oleh BB, tetapi juga NM yang berbeda kelas dengan BB, berikut pemaparan NM: “….PR kak, oww…, ya gitulah Kak, abangku yang kusuruh ngerjain Kak! Aku pulang sekolah sore terus ambil bimbel lagi jam lima sore. Kalau gak siap ku kerjain ntuh PR, aku suruh abangku. PRnya itu Kak pertanyaannya cuma satu tapi beranak-anak. (NM, komunikasi personal,21 Februari 2011). Hasil keseluruhan komunikasi personal sebelumnya, dapat diperoleh gambaran mengenai tuntutan yang harus dijalani oleh siswa kelas internasional, mulai dari kurikulum, bahasa pengantar yang menggunakan bahasa Inggris, kompetisi di dalam kelas, beban pelajaran yang terlalu banyak dalam sehari, dan tugas yang menumpuk. Kondisi ini dapat menimbulkan stres pada siswa apabila siswa tidak mampu memenuhi tuntutan yang diberikan padanya. Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) menyatakan bahwa stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai membahayakan tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Oon (2007) mengemukakan bahwa stres telah menjadi masalah nyata dalam kehidupan sekolah anak. Kondisi tersebut juga diperuncing dengan harapan orang tua. Perioritas utama orang tua pada saat ini adalah pendidikan anak. Hanya sekedar lulus tidaklah memuaskan, dan kegagalan adalah sebuah duka cita. Keunggulan akademik anak-anaklah yang dikejar oleh setiap orang tua. Meningkatnya persaingan akademik mengakibatkan para orang tua menjadi lebih terlibat agar dapat memastikan anak-anak mereka patut diperhitungkan. Sekarang ini, para
orang tua menjejalkan jadwal anak-anak mereka dengan segudang kegiatan, bahkan setelah jam sekolah biasa. Mereka harus ikut kelas bimbingan belajar, program matematika, kelas seni, pelajaran balet, dan masih sederet daftar lagi (Oon, 2007). Tekanan dan tuntutan yang bersumber dari kegiatan akademik disebut dengan stres akademik. Carveth, Gesse, dan Moss (dalam Misra & McKean, 2000) menyatakan bahwa stres akademik meliputi persepsi siswa terhadap banyaknya pengetahuan harus dikuasai dan persepsi terhadap ketidakcukupan waktu untuk mengembangkan itu. Oon (2007) mengungkapkan stres akademik yang dialami siswa secara terus menerus akan mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh siswa sehingga mudah mengalami sakit dan apabila ini tidak ditangani dengan segera maka dapat memicu penyakit kardiovaskuler seperti tekanan darah tinggi, kolesterol dan serangan jantung. Stres jangka panjang juga dapat mempengaruhi mental siswa. Siswa menderita kelelahan mental dan patah semangat. Bagi siswa yang memiliki kemampuan mengatasi stres yang rendah dapat merusak rasa percaya diri. Kombinasi ketidakmampuan siswa mengatasi stres dapat menyebabkan siswa mengalami masalah perilaku, seperti berbuat onar di dalam kelas, berperilaku aneh, merusak diri sendiri, pasif, emosi meledak-ledak, berperilaku anti sosial, menyendiri, mengkonsumsi rokok, obat-obatan, dan alkohol. Stres yang dialami oleh individu yang satu akan berbeda dengan individu lainnya. Hal ini karena adanya faktor internal seperti motivasi, kepribadian dan intelektual (Sarafino, 2006). Begitu juga dengan siswa, khususnya siswa kelas
satu merupakan siswa yang mudah sekali terkena stres dibanding siswa kelas dua, dan tiga, karena siswa kelas satu memerlukan penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru, terjadi perubahan level akademik, dan penyesuain terhadap lingkungan sosial (Ross, Niebling, & Heckert, 1999). Stres yang dialami siswa SMP, akan berbeda juga dengan stres yang dialami siswa SD dan SMA. Jika dilihat dari rentang perkembangan manusia, maka siswa SMP berada di periode pubertas. Periode pubertas adalah salah satu dari dua periode kehidupan yang ditandai oleh pertumbuhan yang pesat dan perubahan yang mencolok dalam proporsi tubuh. Perubahan-perubahan pesat yang terjadi selama masa pubertas menimbulkan keraguan, perasaan tidak mampu dan tidak aman, dan dalam banyak kasus mengakibatkan perilaku yang tidak baik (Hurlock, 1980). Keraguan, perasaan tidak mampu dan tidak aman, dan perilaku yang tidak baik merupakan aspek psikologis dari stres. Sarafino (2006) mengemukakan ada tiga respon stres psikologis yaitu: kognitif, perilaku, dan emosi. Adapun yang menjadi sumber stres akademik atau stresor akademik adalah test, kompetisi kelas, tuntutan waktu, guru dan lingkungan kelas, karier, dan kesuksesan masa depan (Murphy & Archer, dalam Gupchup, Borrego, & Konduri, 2004). Hal tersebut juga didukung dengan pendapat Abouserie, dkk (dalam Misra & McKean, 2000) bahwa siswa melaporkan pengalaman stres akademik diprediksi tiap semester dengan sumber yang lebih besar, dihasilkan dari belajar untuk ujian, kompetisi tingkat, dan harus memahami sejumlah materi dalam jumlah waktu yang singkat.
Kohn dan Frazer (dalam Harun, 2005) juga mengemukakan bahwa sumber stres akademik meliputi pekerjaan yang bertumpuk, tugas yang tidak jelas, dan ruang belajar yang tidak nyaman. Dalam hal ini, Kohn dan Frezer, memasukan ruang belajar sebagai sumber stres akademik. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Oon (2007) yang mengemukakan bahwa lingkungan fisik anak turut mempengaruhi stres yang dialaminya. Berikut merupakan komunikasi personal dengan salah satu siswi kelas 1 internasional SMPN 1 Medan: “…hmmm…., suasana kelas kami Kak, aduh dindingnya mau retak Kak, tengok ini Kak (menyuruh melihat ke dinding) kanyak mau roboh (ada retakan di dinding). (kemudian siswi berjalan menuju layar OHP dan menggulungnya) Kakak mau tahu whiteboard kami yang aslinya kayak mana? Jelekkan Kak?, kalau TV ini gak bisa hidup Kak.” (SS, komunikasi personal, 22 Februari 2011). Hasil komunikasi personal tersebut dapat dilihat bahwa siswi tersebut merasa bahwa kelasnya seperti mau roboh. Perasaan ini bisa menimbulkan rasa takut pada diri siswi. Rasa takut merupakan salah satu respon dari stres akademik (Olejnik dan Holschuh (2007). Selanjutnya Gupchup dkk. (2004) juga menyatakan bahwa stres akademik bisa diasosiasikan dengan tipe dari institusi yang diikuti siswa. Hal ini karena terdapat perbedaan iklim atau suasana dimasing-masing tipe pendidikan. Perbedaan iklim bukan hanya terjadi pada tipe pendidikan, pada komunitas yang lebih kecil seperti kelas juga terjadi perbedaan. Iklim di kelas yang satu akan berbeda dengan iklim di kelas yang lainnya. Creemers dan Reezigt (1994) menyatakan bahwa iklim kelas adalah suasana yang terjadi dalam kelas, meliputi interaksi yang terjadi antara siswa dan guru,
antara siswa dan siswa, dan dengan unsur fisik dari kelas yang dapat mempengaruhi hasil pencapaian siswa. Kelas merupakan lingkungan yang kompleks dimana siswa berinteraksi, saling ketergantungan
satu sama lain, dan dengan karakteristik unik dari
lingkungan fisik dan sosial yang spesifik (Parson, Hinson, & Deborah, 2001). Karakteristik unik inilah yang disebut dengan iklim kelas, dimana setiap kelas memiliki iklim yang berbeda dengan kelas-kelas yang lainnya walaupun bangunan dan material yang berada di setiap kelas memiliki kualitas dan kuantitas yang sama. Karakteristik unik dari suatu kelas dimaknai secara berbeda-beda oleh siswa. Menurut Irwanto (2002) persepsi merupakan proses pemaknaan terhadap lingkungan. Pemaknaan terhadap lingkungan oleh individu yang berbeda akan menghasilkan persepsi yang berbeda, hal ini karena beberapa faktor yaitu: ciri-ciri rangsangan, nilai-nilai dan kebutuhan individu, dan pengalaman terdahulu. Rookes dan Willson (2000) mengemukakan persepsi adalah proses yang meliputi rekognisi dan interpretasi dari suatu stimulus. Lahey (2007) juga mengemukakan persepsi adalah proses mengorganisasi dan menginterpretasikan informasi yang diterima dari dunia luar. Persepsi iklim kelas adalah suatu hasil dari proses organisasi dan interpretasi yang dihasilkan dari interaksi yang terjadi antara siswa dan guru, antara siswa dan siswa, dan dengan unsur fisik dari kelas seperti ruangan fisik kelas dan material pendukung belajar. Siswa yang memiliki persepsi positif terhadap iklim kelas merasa kelas merupakan tempat yang aman (safe), tempat dimana siswa yakin mereka dapat
belajar. Akan tetapi siswa yang memiliki persepsi negatif terhadap iklim kelas merasa kelas merupakan tempat yang menakutkan. Tempat untuk mengevaluasi penampilan (performance) dan kepribadian siswa (Parson dkk, 2001). Respon takut dan cemas berada di dalam kelas merupakan salah satu respon dari stres akademik yang dialami siswa yang disebabkan oleh persepsi siswa terhadap iklim kelas (Olejnik dan Holschuh (2007). Berdasarkan ilustrasi tersebut, peneliti berasumsi bahwa ada hubungan antara persepsi iklim kelas dengan stres akademik. Dalam penelitian ini peneliti mengkhususkan pada kelas internasional karena tuntutan yang ada di kelas internasional lebih tinggi daripada kelas regular. Selain itu juga, kelas internasional memiliki fasilitas yang cukup memadai dibanding kelas regular. Ditjen Mandikdasmen (2010) menyatakan kriteria saran prasaran SBI berbasis Teknologi Informasi komunikasi (TIK). Peneliti mengambil tempat penelitian di SMPN 1 Medan karena SMPN 1 Medan merupakan sekolah rintisan sekolah bertaraf internasional di kota Medan. B.
Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian “Hubungan Persepsi terhadap Iklim
Kelas dengan Stres Akademik pada Siswa Kelas 1 di Kelas Internasional SMPN 1 Medan”, yaitu: apakah ada hubungan antara persepsi terhadap iklim kelas dengan stres akademik pada siswa kelas 1 di kelas internasional SMPN 1 Medan?
C.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana stres akademik
pada siswa kelas1 di kelas internasional SMPN 1 Medan, bagaimana gambaran iklim kelas 1 di kelas internasional SMPN 1 Medan, dan bagaimana hubungan antara stres akademik dengan iklim kelas pada siswa tersebut. D.
Manfaat Penelitian Apabila rumusan masalah dalam penelitian ini sudah terjawab dan tujuan
penelitian sudah tercapai, maka penelitian yang berjudul “Hubungan Persepsi terhadap Iklim Kelas dengan Stres Akademik pada Siswa Kelas 1 di Kelas Internasional SMPN 1 Medan” ini diharapkan akan membawa manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis Manfaat teoritis yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah diharapkan akan dapat memberikan kontribusi informasi di bidang psikologi pada umumnya dan secara khusus dapat menambah wawasan dan khasanah ilmiah dalam bidang Psikologi Pendidikan, terutama mengenai persepsi iklim kelas, stres akademik dan kelas internasional. 2. Manfaat praktis a. Bagi siswa Dengan mengukur tingkatan stres yang terjadi pada siswa. Baik guru, kepala sekolah, maupun siswa sebagai subjek yang mengalami stres dapat melakukan intervensi dini untuk mengurangi dampak yang terjadi pada siswa, misalnya membuat program bimbingan konseling.
b.
Bagi sekolah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak sekolah mengenai iklim kelas, bagaimana iklim kelas yang positif, sehingga tercipta lingkungan belajar yang menyenangkan dan tentunya akan berpengaruh pada afektif, kognitif dan konatif siswa.
c.
Bagi peneliti lainnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan bagi penelitian selanjutnya khususnya pada penelitian yang berkaitan dengan persepsi iklim kelas, stres akademik, dan kelas bertaraf internaional.
E.
Sistematika Penulisan Penelitian ini disajikan dalam beberapa BAB dengan sistematika penulisan
sebagai berikut: BAB I
:Pendahuluan berisikan uraian mengenai latar belakang penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan
BAB II
:Landasan teori berisi teori-teori yang berkaitan dengan variabel yang diteliti dan hubungan antara variabel dan hipotesa penelitian. Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian ini yaitu persepsi terhadap iklim kelas, stres akademik, dan kelas internasional.
BAB III:
Metode penelitian berisi uraian mengenai metodelogi penelitian yang terdiri dari: identifikasi variabel, definisi variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, instrument/alat ukur yang digunakan, prosedur penelitian, dan metode analisi data.
BAB IV
: Analisi data dan pembahasan yang berisi mengenai gambaran mengenai subjek penelitian, laporan hasil penelitian, hasil uji asumsi meliputi hasil uji asumsi normalitas dan linearitas, hasil utama penelitian, dan pembahasan.
BAB V
: Bab ini memuat kesimpulan dari hasil penelitian. Selain itu memuat juga saran penelitian yang bermanfaat.