BAB I Pendahuluan
A.
Latar Belakang Pada Harian Kompas tanggal 4 Januari 2016, Adrianto1 menulis bahwa
beban target penerimaan pajak yang terlalu berat telah melahirkan kebijakan pemeriksaan yang menghambat Wajib Pajak untuk mencari keadilan. Kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan yang prematur dan tidak koordinatif menimbulkan resistensi dari pelaku usaha. Bagi Fiskus upaya untuk mengurangi sengketa pajak yang merupakan momok, memiliki tujuan untuk mengamankan penerimaan Pajak. Pada sisi lain upaya Wajib Pajak untuk dapat mengurangi jumlah pembayaran pajaknya baik secara taat hukum atau melanggar hukum merupakan suatu dinamika dalam dunia usaha. Kasus Asian Agri misalnya, putusan Mahkamah Agung yang menekankan adanya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas perbuatan terdakwa sebagai personifikasi dari korporasi yang diwakilinya. Atas dasar itulah Mahkamah Agung memutuskan Asian Agri bersalah telah melakukan tindak pidana perpajakan yakni menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) yang isinya tidak benar. Sebelum terbit putusan Mahkamah Agung penyelesaian potongan atau pungutan pajak selama ini diselesaikan dengan jalur hukum administrasi dengan suatu pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pajak. Pilihan Asian Agri untuk tidak melaksanakan proses administratif pajak berujung kepada 1
Adrianto Dwi Nugroho, 2016, Beban Target Penerimaan Pajak, Rubrik Opini Harian Kompas tanggal 4 Januari 2016, Kompas Gramedia, Jakarta, hlm. 4.
1
2
dilakukannya proses penyidikan dan penuntutan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Persoalan hukum yang perlu dicermati disini adalah apakah putusan Mahkamah Agung tersebut telah mempertimbangkan bahwa pada awalnya pemungutan pajak tidak bertujuan untuk mempidana Wajib Pajak? Akan tetapi, lebih kepada mengamankan penerimaan negara. Sengketa Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada Pasal 1 Angka 5 adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang- Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Berdasarkan definisi di atas maka ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama, Sengketa Pajak adalah sengketa dalam bidang perpajakan. Kedua, Sengketa pajak melibatkan dua pihak yaitu Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan Pejabat yang berwenang. Ketiga, Timbulnya Sengketa Pajak merupakan akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan. Ketentuan tentang Banding dan Gugatan dalam sengketa pajak diatur lebih lengkap dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pengadilan Pajak dalam hal ini merupakan lembaga penyelesaian sengketa pajak yang dibentuk sesuai amanat Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan. Pengadilan Pajak memiliki kompetensi atau
3
kewenangan dalam menyelesaikan sengketa pajak akibat dikeluarkannya putusan dan pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa. Pengadilan Pajak menyelesaikan masalah keberatan Wajib Pajak dalam kedua hal di atas, bukan menyangkut penyimpangan atau tindak pidana korupsi di bidang perpajakan yang menjadi kompetensi lembaga peradilan umum. Pidana Pajak dapat ditemukan pada Bab VIII Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau UU KUP Nomor 28 tahun 2007 pada pasal 38, 39, 39A, 41, 41A, 41B, dan 43. Pada penjelasan Pasal 38 yang mengawali Bab VIII Ketentuan Pidana menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap suatu kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan suatu Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana. Dengan demikian, yang diancam dengan sanksi pidana adalah perbuatan atau tindakan yang bukan merupakan pelanggaran administrasi melainkan masuk ke dalam ranah tindak pidana di bidang perpajakan. Sementara itu, di Bidang Peradilan Umum, Berdasarkan Pasal 50 Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Pengadilan Umum berdasarkan Undang- Undang Peradilan Umum memiliki kompetensi atau kewenangan dalam menerima, memeriksa dan mengadili tindak pidana pajak akibat dikeluarkannya surat dakwaan yang memuat
4
rumusan tindak pidana dalam hal ini pidana pajak yang didakwakan kepada terdakwa. Adanya keputusan politik bersama antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meneruskan pembahasan rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak untuk menutup defisit penerimaan pajak sudah jelas akan membuat imaji melenggangnya para pengemplang pajak tanpa jerat pemidaan khususnya pidana pajak dengan justifikasi manfaat ekonomi yang nyata bagi segenap anggota masyarakat.2 Berdasarkan perkembangan tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan penting bahwa dengan justifikasi ekonomi maka sudah seharusnya pidana pajak dalam ranah pidana di peradilan umum akan lebih bergeser ke arah sengketa pajak dalam ranah pajak di peradilan pajak. Alasan lain yang dapat mendukung
pergeseran sudut pandang di atas adalah Asas lex
specialis derogat legi generalis merupakan asas hukum dimana delik-delik pidana di bidang perpajakan yang secara khusus diatur dalam peraturan perundangundangan perpajakan akan berlaku walau pun KUHP pada saat yang sama mengatur tindak pidana yang serupa.3 Teori kewenangan adalah terjemahan dari berbagai bahasa asing antara lain dalam Bahasa Inggris dikenal sebagi Authority Theory dalam Bahasa Belanda dikenal sebagai Theorie Van Het Gezag sedangkan dalam Bahasa Jerman adalah Theorie Der Autoritat.4 Teori Kewenangan merupakan keseluruhan aturan hukum yang 2
berkenaan
dengan
perolehan
dan
penggunaan
wewenang
dalam
Adrianto Dwi Nugroho, 2015, Mengawasi Amnesti Pajak, Rubrik Opini Harian Kompas tanggal 20 November 2015, Kompas Gramedia, Jakarta, hlm 4. 3 Adrianto Dwi Nugroho, 2010, Hukum Pidana Pajak Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 19. 4 Salim HS, dkk, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 183.
5
pemerintahan oleh subyek hukum dalam suatu hubungan hukum yang bersifat Publik. Dalam pelaksanaan kewenangannya maka masing-masing badan peradilan mempunyai kewenangan tersendiri yang sering disebut sebagai kompetensi absolut. Kompetensi absolut merupakan suatu atribusi kekuasaan yang merupakan semua ketentuan tentang apa saja yang termasuk dalam kekuasaan suatu lembaga peradilan, biasanya kita dapat melihat kewenangan ini pada Undang-Undang yang mengatur susunan dan kekuasaan lembaga peradilan yang bersangkutan. Menurut Gustav Radbruch5 yang mengemukakan suatu teori Tujuan Hukum mengenai komponen-komponen dalam hukum, yaitu ada tiga unsur yang didefinisikan sebagai Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum. Ketiga hal tersebut dapat dijabarkan menjadi: 1.
Aspek keadilan disini memberikan arah pada kesamaan hak dan kewajiban di depan hukum dimana hal ini dipengaruhi oleh pemikiran atau ide Aristoteles yang didefinisikan sebagai kesetaraan.
2.
Aspek kemanfaatan menunjukkan tujuan keadilan yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia dan menentukan isi hukum dimana hal ini tunduk pada tujuan inti, ide-ide relativistik prulalisasi, adanya nilai-nilai individual, kolektif dan kerja. Aspek kemanfaatan mengarah kepada dimana hukum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat tertentu.
3.
Aspek kepastian hukum memastikan bahwa norma-norma dan aturanaturan yang memajukan kebaikan tersebut benar-benar berfungsi
5
Sudikno Mertokusumo, 2014, Teori Hukum, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm. 165.
6
sebagai peraturan yang ditaati, tertib oleh masyarakat hukum membutuhkan sesuatu hal untuk mengikat keputusan. Pendapat Lawrence M. Friedman6 yang menyebutkan berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung pada adanya tiga unsur yang membentuk suatu sistem hukum yakni: Struktur Hukum, Substansi Hukum, dan Budaya hukum yang satu sama lain memiliki hubungan kuat yang dapat dirinci menjadi: 1. Struktur Hukum diciptakan oleh sistem hukum untuk memberikan pelayanan dan penegakan hukum dimana setiap bagian menjalankan fungsinya masing-masing. 2. Substansi Hukum adalah output atau keluaran berupa norma (aturan, keputusan) hasil dari produk hukum 3. Budaya Hukum atau kultur hukum adalah ide, perilaku, keinginan, pendapat dan nilai-nilai yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai perluasan kewenangan pengadilan pajak dalam memeriksa dan mengadili pidana pajak dengan dasar analisis teori hukum yakni teori kewenangan dan teori Radbruch serta Friedman tersebut.
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan yang
menarik untuk dikaji dalam penyusunan tesis ini diantaranya:
6
Marwan Mas, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 123.
7
1.
Apakah ruang lingkup kewenangan pengadilan pajak saat ini mencakup memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana pajak?
2.
Apakah ruang lingkup kewenangan pengadilan pajak dapat diperluas hingga mencakup memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana pajak?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas maka yang
menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui batasan kewenangan pengadilan pajak.
2.
Untuk menganalisis dari aspek yuridis atas kemungkinan perluasan kewenangan pengadilan pajak dalam memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana pajak.
D.
Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus pada penelitian ini dan
tujuan yang ingin dicapai, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1.
Bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak Mendapatkan
gambaran
yang
lebih
jelas
dalam
usaha
mempertahankan haknya sebagai Wajib Pajak dan upaya untuk mendapatkan rasa keadilan terhadap adanya sengketa pajak atau terhadap adanya ancaman pidana pajak. Dengan mengetahui hak dan
8
kewajibannya maka diharapkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak semakin meningkat yang akhirnya dapat memberikan kontribusi positif kepada penerimaan negara. 2.
Bagi Akademisi Diharapkan dapat menambah informasi dan wawasan yang lebih konkrit mengenai pengadilan pajak. Penelitian ini diharapkan juga mampu memberikan sumbangan pemikiran ilmiah pada peradilan pajak yang menurut penulis sudah harus direvisi untuk mengakomodir kepentingan para pihak baik Wajib Pajak atau Fiskus.
E.
Keaslian Penelitian Untuk memastikan keaslian penelitian, penulis memeriksa judul-judul tesis
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada di perpustakaan dan menemukan beberapa judul yang berkaitan dengan Pengadilan Pajak, Pidana Pajak, dan Sanksi Pidana Pajak antara lain: Pengadilan Pajak Dalam Rangka Mewujudkan Perlindungan Hukum Bagi Pencari Keadilan penulis Andriyani Masyitoh, S.H., 2011, pembimbing Prof. Dr. Muchsan, S.H., Jenis: Tesis Kemandirian Pengadilan Pajak Dalam Rangka Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka penulis Hadiyanto, 2008, pembimbing Prof.Dr. Siti Ismijati Jenie, S.H.,CN, Jenis: Tesis Eksistensi pengadilan pajak Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia Dan Perlindungan Hukum Yang Diberikannya Terhadap Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa pajak penulis Santi Erita, 2007, pembimbing Prof.Dr. Siti Ismijati Jenie, S.H.,CN, Jenis: Tesis
9
Tinjauan Yuridis Atas Kedudukan pengadilan pajak Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia penulis Wildan Abdillah, 2007, pembimbing Prof.Dr. Siti Ismijati Jenie, S.H.,CN, Jenis: Tesis Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Perpajakan penulis Tri Basuki Raharjo, 2009, pembimbing Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum, Jenis: Tesis
Dari beberapa judul yang ditampilkan di atas, hal yang dapat dilihat pada perumusan masalah dan kesimpulan penelitian-penelitian tersebut maka jelas bahwa penelitian untuk tesis mengenai pajak khususnya mengenai pengadilan pajak masih jarang dilakukan mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan Penelitian ini termasuk baru karena menitikberatkan kepada kemungkinan perluasan kompetensi absolut pengadilan pajak dalam memeriksa dan mengadili tindak pidana pajak yang berorientasi kepada tujuan awalnya pemungutan pajak yaitu tidak untuk mempidana Wajib Pajak tetapi lebih kepada mengamankan penerimaan negara.