BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada awal Maret 2011, muncul polemik tuntutan perubahan identitas kewilayahan bandara Adi Soemarmo dari Surakarta menjadi (di) Boyolali. Polemik ini juga diwarnai dengan adanya protes dari pihak penuntut
atas
simbol-simbol
identitas
kultural
bandara
yang
dianggapnya terlalu bernuansa “ke-Solo-an”. 1 “Pem-Boyolali-an” dua identitas ini menyeret nama Pemerintah Kabupaten (pemkab) Boyolali sebagai aktor penuntut, PT Angkasa Pura I (AP I) sebagai pihak yang dituntut dan Pemerintah Kota (pemkot) Surakarta di pihak lain. Ketiganya larut dalam panggung perebutkan simbol dan identitas kewilayahan bandara.2 Munculnya Boyolalisasi bandara Adi Soemarmo pada Maret 2011 tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Selain faktor politis (identitas geografis dan kultural), polemik bandara juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang justru lebih fundamental. Pemkab Boyolali menginginkan adanya kontribusi (uang) dari PT Angkasa Pura I selaku pengelola
1 Fisik terminal bandara Adi Soemarmo yang baru dihiasi tulisan “The City of Batik”, ornamen interior kayu bunga Matahari, desain “gunungan” seperti pada lakon pewayangan Jawa yang terdapat pada halaman terminal, dan bentuk “Joglo” pada atap terminal. Polemik ini secara beruntun dimuat dalam koran lokal Solopos, yang terbit pada tahun 2011 antara lain edisi: 2 Maret (hlm. 2), 3 Maret (hlm. 1), 4 Maret (hlm. 1), 7 Maret (hlm.16), 9 Maret (hlm. 3), 13 Maret (hlm. 3), 14 Maret (hlm.1) dan 15 Maret (hlm.1). 2
1
bandara guna menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
3
Faktor
ekonomi lagi-lagi menjadi tujuan final karena upaya yang sama juga pernah dilakukan satu dekade sebelumnya (awal 2000-an). Secara politik fungsional, fenomena Boyolalisasi bandara Adi Soemarmo bisa ditarik sebuah garis besar. Adanya upaya Boyolalisasi merepresentasikan bahwa bandara Adi Soemarmo (khususnya) dan bandara-bandara lain di Indonesia (umumnya) merupakan salah satu aset besar. Bandara bisa difungsikan sebagai alat atau ujung tombak sekaligus tempat penyematan simbol-simbol keidentitasan kultural suatu wilayah. Namun yang lebih utama adalah bahwa bandara merupakan tempat dengan perputaran modal yang besar. Seiring semakin “merakyatnya” angkutan udara, bandara menjadi tempat prospektif dalam hal penumpukan kapital yang menggiurkan. Munculnya Boyolalisasi bandara Adi Soemarmo tahun 2011 secara historis kronologis menarik untuk dicermati. Polemik ini mungkin tidak akan pernah muncul bila saja kawasan pangkalan udara Adi Soemarmo tidak pernah dikomersilkan. Dengan begitu maka kawasan ini tidak akan pernah menjadi gerbang yang sarat akan identitas lokal dan tempat perputaran kapital. Namun realitasnya tidak demikian. Kawasan ini pada akhirnya dienklavisasi dan dikomersialisasikan untuk menyelenggarakan penerbangan sipil. “Pendwifungsian” kawasan inilah yang sebenarnya menjadi pangkal historis munculnya polemik. Dari sini muncul pihak-pihak tertentu yang dengan segenap kepentingannya masing-masing berupaya memaksimalkan eksistensi bandara. 3 Solopos, 4 Maret 2011, hlm. 1 2
Polemik Boyolalisasi bandara Adi Soemarmo sebenarnya hanyalah salah satu contoh dampak sistemik jangka panjang dari komersialisasi sebagai titik pangkalnya. Narasi besar yang justru belum tersusun dan sudah sepatutnya dibangun adalah mengenai sejarah komersialisasi transportasi udara itu sendiri. Mengapa kawasan militer kemudian dikomersialkan, oleh siapa dan kapan itu dilakukan, regulasi seperti apa yang mengikat dan membedakan dengan bandara-bandara di kawasan murni komersil, seperti apa wujud komersialisasi itu, bagaimana prosesnya, seperti apa perubahan dari waktu ke waktu, bagaimana segmen pasar, dan yang tidak kalah penting adalah dampak sosial ekonomi apa saja yang ditimbulkan, merupakan segenap pertanyaan besar yang masih menjadi misteri sampai sekarang. Pertanyaan-pertanyaan di atas menurut penulis penting untuk dijawab
mengingat
bandara
(dan
segala
aktivitas
pengangkutan
udaranya) sama halnya dengan terminal, pelabuhan dan stasiun kereta api yang sama-sama memiliki peran besar dalam kehidupan sehari-hari. Di tempat-tempat inilah mobilitas sosial hampir tidak pernah berhenti setiap harinya. Eksistensinya secara fisik tidak hanya menjembatani terselenggaranya mobilitas manusia tetapi juga barang dan segala hal yang bersifat non-fisik. Di samping ada persamaan tentu ada pula perbedaan-perbedaan. Penekanan yang terakhir inilah yang membuat kajian mengenai transportasi udara menjadi penting untuk dilakukan karena belum banyak diketahui apalagi dalam konteks bandara enclave civil (di kawasan militer).
3
Langkanya narasi sejarah mengenai komersialisasi transportasi udara di Surakarta (khususnya) dan Indonesia (umumnya) merupakan cermin bagi para sejarawan bahwa sejauh ini ruang udara (angkasa) belum mendapat tempat di hati mereka. Kebanyakan kajian lebih terfokus pada ruang darat dan laut. Meskipun telah ada beberapa penelitian historis yang menyinggung ruang udara (angkasa) tetapi penelitian-penelitian ini lebih berbicara angkasa dalam konteks jagatnya militer (military world).4 Dengan kondisi yang demikian, tidak heran bila historiografi yang diciptakan cenderung militer-sentris karena ditulis oleh orang-orang dari kalangan militer sendiri. Kondisi historiografi Indonesia semakin ganjil bila dikaitkan dengan konsep kedaulatan negara yang menyatakan bahwa kedaulatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) meliputi apa yang ada di darat, laut dan udara.5 Dengan masih minimnya kajian yang mengulas ruang udara (angkasa), mengindikasikan bahwa secara historiografi, kedaulatan udara dalam “arti luas” belumlah sepenuhnya berdaulat. Hal senada juga perlu dicermati dalam memahami konsep nasionalisme yang 4 Beberapa penelitian mengenai sejarah angkasa Indonesia dalam arti ruang militer (dirgantara) antara lain dilakukan oleh (1) Chappy Hakim, Berdaulat Di Udara: Membangun Citra Penerbangan Nasional (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), (2) Chappy Hakim, Pelangi Dirgantara (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), (3) Irna, dkk, Awal Kedirgantaraan Di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), (4) Jacob Salatun, Sejarah Penerbangan: Melukiskan Tjita-Tjita, Perdjuangan, Pengorbanan dan Kemenangan Manusia Untuk Menaklukkan Angkasa-Raya (Jakarta: Kebangsaan Pustaka Rakjat N.V., 1950) Suryo Sakti Hadiwijoyo, Batas Wilayah Negara Indonesia: Dimensi, Permasalahan dan Strategi Penanganan (Sebuah Tinjauan Empiris dan Yuridis) (Yogyakarta: Gava Media, 2008), hlm. 29 5
4
sejauh ini kerap diartikulasikan sebagai perasaan rasa cinta “tanah air” untuk membela dan menjaga kedaulatan bangsa-negara.6 Entah siapa yang pertama kali mencetuskan istilah “tanah air” tetapi secara terminologi, istilah ini belum mengakomodir ruang udara (angkasa). Istilah ini baru mewakili kedaulatan darat (tanah) dan laut (air). Tidak hanya itu, ruang udara (angkasa) pun cenderung mengalami penyempitan dimensi makna
karena sering kali dimaknai sebagai
dunianya militer semata dengan mengabaikan realitas ruang sipil. Paradigma yang demikian mengakibatkan kajian historis mengenai ruang udara khususnya yang berhubungan dengan komersialisasi transportasi udara masih termarjinalkan (subaltern). Kajian mengenai komersialisasi
transportasi
udara
setidaknya
penting
untuk
menunjukkan bahwa angkasa juga menjadi ruang (saksi bisu) dari aktivitas mobilitas manusia. Bertolak pada berbagai “teka-teki sejarah” yang belum banyak terungkap ini, penulis (peneliti) merasa punya tugas dan tanggung jawab akademis untuk mengkajinya. Penulis memberanikan diri menyatakan ini sebagai “teka-teki sejarah” sebab sejauh ini belum menemukan hasil penelitian yang membahas secara komprehensif mengenai komersialisasi kawasan pangkalan udara di Surakarta (khususnya) dan Indonesia (umumnya). Dengan terjawabnya “teka-teki sejarah” ini, diharapkan mampu mengisi celah historiografi Indonesia yang masih kosong.
6 Sartono Kartodirdjo, Pembangunan Bangsa (Yogyakarta: Aditya Media, 1993), hlm. 3 5
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah komersialisasi transportasi udara di kawasan pangkalan TNI AU Adi Soemarmo Surakarta 1974-2011. Dari permasalahan pokok ini, muncul tiga pertanyaan utama. Pertama, mengapa kawasan pangkalan udara Adi Soemarmo Surakarta dikomersilkan? Pertanyaan ini penting mengingat saat itu (awal 1970-an) telah ada dua bandara yang letaknya tidak berjauhan di Pulau Jawa bagian tengah. Pembukaan bandara baru ini merupakan fenomena yang unik dan menarik untuk dikaji. Kedua, bagaimanakah praktik komersialisasi transportasi udara di wilayah enclave civil (bandara yang berada di kawasan militer)? Pertanyaan ini akan memperjelas perbedaan komersialisasi di wilayah militer dan wilayah murni sipil. Tidak hanya itu, pertanyaan ini juga memperjelas bagaimana sistem pengelolaan, siapa yang mengelola dan kebijakan (terobosan-terobosan) apa saja yang diambil terkait wujud praktik komersialisasi tersebut. Ketiga, bagaimana dampak sosial ekonomi dari adanya komersialisasi baik di lingkungan masyarakat sekitar bandara, masyarakat Surakarta Raya maupun masyarakat luar pada umumnya? Lingkup penelitian ini adalah komersialisasi kawasan pangkalan udara Adi Soemarmo Surakarta kurun waktu 1974 sampai 2011. Pemilihan pangkalan militer Adi Soemarmo dan bukan pangkalan yang lainnya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya kedekatan emosional antara penulis dengan kota Surakarta dan sekitarnya sebagai tanah kelahiran dan berkembangnya intelektual. Kedua, enklavisasi
6
kawasan pangkalan udara Adi Soemarmo Surakarta tahun 1974 merupakan hal unik. Keunikan ini tidak lepas dari fenomena masih dibukanya bandara baru (ke-3) dalam suatu wilayah yang tidak begitu luas (Jawa bagian tengah) yang telah tersedia dua bandara utama yakni Adi Sucipto Yogyakarta (mulai berfungsi enclave tahun 1964) dan Achmad Fenomena
Yani
Semarang
semacam
ini
(mulai
berfungsi
merupakan
hal
enclave unik
tahun
karena
1966).
rata-rata
keberadaan antarbandara di Indonesia cukup jauh. Masih dibukanya bandara Adi Soemarmo di antara dua bandara lainnya inilah yang kemudian menjadi tanda tanya tersendiri. Pemilihan nama “Surakarta” dalam judul penelitian dan bukan “Solo” atau “Boyolali” dikarenakan dua pertimbangan. Pertama, sejauh ini arsip yang penulis temukan menunjukkan bahwa pelabuhan udara Panasan (yang kemudian berganti nama menjadi Adi Soemarmo) sejak awal berdiri sampai awal tahun 2011 dalam skala nasional secara konsisten menggunakan nama resmi “Surakarta” sebagai identitas kewilayahannya.7 Kedua, secara konstitusional melalui Undang-Undang No 18 tahun 1965 tanggal 1 September 1965 dan Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 menyatakan bahwa nama Solo diubah menjadi Surakarta untuk penyebutan legal-formal terutama menyangkut hal-hal administratif.8 7 Nama Surakarta tertera dalam berbagai arsip pembukuan seperti laporan-laporan dan surat-menyurat. Ayu Windi Kinasih, Identitas Etnis Tionghoa Di Kota Solo (Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 2005), hlm. 64 8
7
Ada rasa dilema ketika lebih memilih nama Surakarta dibanding Solo.
Kedilemaan
ini
disebabkan
karena
dalam
realitasnya
di
masyarakat, nama Solo yang notabene nama informal lebih populer dibandingkan nama Surakarta. Sebagai bukti fisik, plank (papan informasi penunjuk arah di pinggir-pinggir jalan), papan reklame-iklan serta sebagian besar memori masyarakat baik lokal, nasional bahkan internasional lebih akrab dengan sebutan Solo. Bandara Adi Soemarmo sendiri pun “beridentitas ganda” dimana dalam penerbangan domestik maupun internasionalnya secara jelas beregistrasi “SOC” (Solo City) yang artinya kota Solo menjadi kota tujuan penerbangan.9 Kedilematisan membawa
penulis
memilih bersikap
nama fleksibel
antara dalam
Surakarta arti
dan
tidak
Solo
“alergi”
menggunakan keduanya. Meskipun judul dan secara keseluruhan isi dominan nama Surakarta tetapi dalam konteks tertentu, nama Solo juga diperlukan untuk mendukung substansi penelitian. Dalam kajian ini keduanya dipakai karena pada hakikatnya menunjuk pada satu identitas wilayah yang sama tanpa mengurangi makna. Kajian ini memilih batasan temporal 1974-2011. Tahun 1974 merupakan masa mulai adanya transportasi udara sipil di wilayah Surakarta Raya. Adapun tahun 2011 dipilih sebagai batas temporal akhir kajian dikarenakan dua hal. Pertama, aktivitas penerbangan sipil di bandara Adi Soemarmo menunjukkan peningkatan yang cukup 9 Pembahasan mengenai dasar alasan mengapa pihak pengelola bandara Adi Soemarmo menggunakan kode registrasi SOC (Solo City) dalam penerbangannya dibahas lebih detail dalam bab IV sub-bab B poin 1 (Boyolalisasi Bandara). 8
signifikan seiring dibangunnya terminal baru pada tahun 2009. Kedua, pada tahun ini bersamaan pula munculnya polemik pergantian nama kewilayahan bandara (Boyolalisasi) yang penting untuk dikaji kaitannya dengan maju mundurnya komersialisasi. C. Tujuan dan Manfaat
Penelitian
Tujuan penelitian ini merupakan sinkronisasi dari masalah pokok beserta tiga pertanyaan seperti yang telah disebutkan dalam rumusan masalah sebelumnya. Tujuan pokok penelitian ini adalah menjelaskan mengenai komersialisasi transportasi udara di kawasan pangkalan udara Adi Soemarmo Surakarta kurun waktu 1974 sampai 2011. Adapun tujuan penelitian selanjutnya adalah (1) menjelaskan mengapa pangkalan udara Adi Soemarmo dikomersilkan, oleh siapa dan kapan itu terjadi, (2) menjelaskan wujud, regulasi, proses dan perubahanperubahan komersialisasi, (3) mengetahui dampak sosial ekonomi dari komersialisasi baik di lingkungan sekitar bandara maupun lingkungan masyarakat luar yang lebih luas. Disamping tujuan ilmiah di atas, penelitian ini juga memiliki tujuan praktis yakni untuk mengisi celah kosong historiografi Indonesia khususnya kajian mengenai komersialisasi transportasi udara. Melalui studi ini penulis berharap dapat memberikan sumbangan pemikiran yang lebih komprehensif meliputi semua jenis transportasi yang pernah ada di Indonesia baik darat, laut maupun udara. Secara lebih khusus, melalui penelitian ini, diharapkan sejarah komersialisasi transportasi udara di Indonesia mulai mendapat tempat di hati para sejarawan dalam
9
bentuk
penelitian-penelitian
lanjutan
itulah
yang
lanjutan.
nantinya
akan
Dengan
segenap
semakin
penelitian
memperkaya
dan
memperutuh historiografi Indonesia khususnya mengenai transportasi dan segala hal yang berkaitan dengannya. D. Tinjauan Pustaka Berdasarkan studi survei yang telah lakukan sejauh ini, penulis belum menemukan karya tulis baik skripsi, tesis, desertasi maupun buku
yang
membahas
secara
komprehensif
mengenai
sejarah
komersialisasi kawasan pangkalan udara di Surakarta (khususnya) maupun Indonesia (umumnya) dalam kurun periode 1970-an sampai 2010-an. Adapun beberapa yang ada merupakan kajian non-sejarah yang ditulis ahli ekonomi bisnis, ahli kota, pariwisata atau pun ahli kebijakan administrasi sehingga dari segi historiografi sangatlah kurang. Tulisan
oleh
para
ahli
non-sejarawan
ini
pun
tergolong
belum
komprehensif dan sangat kotemporer. Demi tujuan peninjauan, beberapa karya non-sejarawan yang menyinggung sedikit mengenai transportasi udara di Surakarta antara lain dilakukan oleh: 1. Irna
Hanny,
Nana
Nurlina,
dan
Soedarini
Suhartono,
yang
membahas mengenai seputar awal dunia kedirgantaraan Indonesia pada masa revolusi (1915-1949). Penelitiannya tertuju pada dunia transportasi udara militer. 10 10 Irna Hanny, Nana Nurlina, dan Soedarini Suhartono, Awal Kedirgantaraan Di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008). 10
2. Jacob Salatun, yang mengkaji mengenai proses penemuan pesawat terbang modern pertama di dunia melalui berbagai percobaan. Salah satu
bab
di
dalam
bukunya
membahas
mengenai
sejarah
penerbangan Indonesia. Buku ini secara spesifik juga menyinggung nama Adi Soemarmo dalam tragedi jatuhnya pesawat Dacota VT-CLA di masa agresi militer 1947. 11 3. Halendra Y. Waworuntu, dalam tesisnya yang berusaha melakukan komparasi (perbandingan) pelayanan jasa di tiga bandara yaitu Adi Soemarmo Surakarta, Adi Sucipto Yogyakarta dan Ahmad Yani Semarang. 12 4. Chappy Hakim, orang yang banyak menulis artikel dan buku seputar
masalah
penerbangan
di
Indonesia.
Secara
umum
keahliannya membahas mengenai cara membangun penerbangan nasional yang handal sebagai wujud kedaulatan udara.
13
5. Jendral A.H. Nasution, yang membahas mengenai mengenai sejarah Tentara
Nasional
Indonesia
(TNI)
khususnya
komando
yang
11 Jacob Salatun, Sejarah Penerbangan: Melukiskan Tjita-Tjita, Perdjuangan, Pengorbanan dan Kemenangan Manusia Untuk Menaklukkan Angkasa-Raya (Jakarta: Kebangsaan Pustaka Rakjat N.V., 1950) Halendra Y. Warowuntu, Budaya Perusahaan dan Kinerja Pelayanan Jasa Di Bandar Udara: Studi Perbandingan Pada 3 Bandar Udara PT (Persero) Angkasa Pura I (Tesis, Prodi Strategi Administrasi, Kekhususan Administrasi dan Kebijakan Bisnis, Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996), naskah tidak diterbitkan. 12
Chappy Hakim, Berdaulat Di Udara: Membangun Citra Penerbangan Nasional (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010). 13
11
ditempatkan di Jawa tengah. Dalam tulisannya tercatat beberapa sumbangsih Pangkalan Udara Panasan di masa revolusi.14 Adapun tinjauan pustaka yang lebih relevan dan dikaji lebih mendalam dari segi sejarah antara lain dilakukan oleh Julianto Ibrahim 15 yang membahas kriminalitas dan kekerasan masa revolusi (1945-1950) di Surakarta. Pembahasannya lebih menyajikan seputar kondisi sosial politik yang diwarnai dengan kekerasan dan kriminalitas. Kajiannya sama sekali tidak menyinggung soal jawatan penerbangan tetapi kajiannya mengenai kondisi sosial politik kota menjadi penting dalam menemukan benang merah mengapa kelak penerbangan di bandara Surakarta tidak seramai bandara lain. Selain itu, Julianto Ibrahim juga menulis mengenai perdagangan dan penggunaan opium di Surakarta masa revolusi. Kota Bengawan yang secara geografis tidaklah luas dan terletak di bagian pedalaman Pulau
Jawa
ini
telah
sejak
lama
menjadi
kota
yang
cukup
diperhitungkan dalam hal perdagangan karena menjadi salah satu kota yang dihuni oleh para pemodal atau bandar-bandar termahsyur di Jawa saat itu (abad ke-20).
16
Kajian ini sedikit membantu menganalisa
mengapa di sekitar kota ini kelak berdiri bandara. 14 A.H. Nasution, Sejarah Tentara Nasional Indonesia Komando daerah Militer VII Diponegoro (Jawa Tengah) (Semarang: Kodam VII Diponegoro, 1962). Julianto Ibrahim, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta (Surakarta: Bina Citra Pustaka, 2004). 16 Julianto Ibrahim, Opium dan Revolusi: Perdagangan dan Penggunaan Candu di Surakarta Masa Revolusi (1945-1950) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013). 15
12
Pustaka lain yang relevan dilakukan oleh Soedarmono dkk., 17 yang membahas mengenai radikalisasi sosial Wong Sala dan kerusuhan Mei 1998 di Surakarta. Dalam bagian awal buku menjelaskan mengenai deskripsi kota Surakarta dari tinjauan historis, sosial, ekonomi, politik dan budaya yang kaya akan informasi. Buku ini juga menjelaskan kondisi sosial, ekonomi dan politik di Surakarta ketika Orde Lama, Orde Baru dan pasca Orde Baru. Meskipun komersialisasi transportasi udara bukanlah fokus utama dari buku ini tetapi gambaran kondisi sosial ekonomi dan politiknya cukup membantu penelitian penulis. Darsiti Soeratman 18 dengan bukunya yang berjudul Kehidupan Dunia
Kraton
Surakarta
1830-1939,
mengulas
mengenai
seputar
kehidupan sehari-hari raja dan rakyatnya di dalam pagar keraton. Penelitiannya
membantu
penulis
dalam
menyajikan
sejarah
kota
Surakarta yang tumbuh dan berkembang sebagai kota budaya. Keraton menjalankan politik simbol melalui pembangunan monumen-monumen fisik
setelah
kekuasaan
politiknya
semakin
tergerus
dominasi
pemerintahan kolonial. Senada dengan Darsiti, George D. Larson juga membukukan penelitiannya yang membahas mengenai keraton dan kehidupan politik di Surakarta pada awal abad XX sampai pemerintahan kolonial Belanda
Tim Penulis, Runtuhnya Kekuasaan “Kraton Alit” (Studi Radikalisasi Sosial “Wong Sala dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta) (Surakarta: Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan, 1999). 17
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 (Yogyakarta: Taman Siswa, 1989). 18
13
berakhir (1942).
19
Meskipun secara jelas tidak membahas dunia
transportasi udara karena belum ada tetapi kajian ini kaya akan informasi mengenai watak dan karakter kota Surakarta yang dalam kelanjutannya berpengaruh terhadap citra kota Surakarta baik bagi masyarakat umum maupun dalam dunia transportasi udara. Khusus mengenai silsilah dan sejarah Pangkalan Uadara Panasan (yang sekarang menjadi Pangkalan Udara Adi Soemarmo), tinjauan pustaka yang relevan yaitu sebuah buku yang diterbitkan oleh Dinas Penerangan dan Perpustakaan Pangkalan Udara Adi Soemarmo.
20
Kajiannya mengupas sejarah pembentukan Penerbangan Surakarta sejak masa revolusi hingga awal milenium ketiga (2002). Isi buku lebih kepada ringkasan sejarah pangkalan yang disajikan dengan gaya AURIsentris. Meski demikian, karya ini membantu merekontruksi sejarah awal kawasan Pangkalan Udara Panasan sebelum dikomersilkan. Dalam penelitian ini terdapat sub-tema yang membahas mengenai transportasi udara untuk haji. Tinjauan pustaka yang cukup relevan untuk ini antara lain dikaji oleh Dien Majid, Shaleh Putuhena dan Chuaini Saleh. Ketiganya membahas mengenai haji dalam periode yang berbeda. Dien Majid 21 dan Shaleh Putuhena 22 membahas haji masa 19 Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990). Tim Penulis, Lintasan Sejarah Pangkalan Udara Adi Soemarmo (Surakarta: Dinas Penerangan dan Perpustakaan Pangkalan Udara Adi Soemarmo, 2003). 20
21
Dien Majid, Berhaji Di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera,
2008). 14
kolonial sedangkan Chuaini Saleh 23 membahas haji masa reformasi. Meskipun transportasi haji bukan fokus utama dalam kajian mereka tetapi kajian-kajian ini membantu penulis dalam merekonstruksi sebabmusabab peralihan haji laut menjadi haji udara. Setelah meninjau berbagai kekurangan dan kelebihan dari beberapa pustaka di atas maka posisi penulis adalah babat alas. Istilah ini memiliki arti memulai penulisan baru (perspektif baru) yang hampir belum pernah ditulis orang lain sebelumnya. Kajian ini berupaya memberikan warna baru dalam historiografi pertransportasian Indonesia yang selama ini dianggap masih kolonial-sentris, darat-sentris dan lautsentris. Kajian mengenai komersialisasi pangkalan udara (udara-sentris) ini bermaksud melengkapi sebaik mungkin kekurangan itu. E. Kerangka Konseptual dan Pendekatan Penelitian ini menggunakan kerangka konseptual dan suatu pendekatan tertentu untuk memperjelas obyek kajian. Konsep pertama yang digunakan adalah pelayanan umum. Pelayanan umum sering pula disebut
pelayanan
publik
(public
service).
Menurut
Moenir
(ahli
manajemen pelayanan umum di Indonesia), pelayanan umum adalah suatu usaha yang dilakukan kelompok atau seseorang atau birokrasi
22 Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2007). Chunaini Saleh, Penyelenggaraan Haji Era Reformasi: Analisis Internal Kebijakan Publik Departemen Agama (Tangerang: Pustaka Alvabet, 2008). 23
15
untuk memberikan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu.24 Adapun dalam versi negara berdasar Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Men-PAN) Nomor 81 Tahun 1993 dijelaskan bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk pelayanan umum yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah dalam bentuk barang maupun
jasa dan dalam
rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai perundangundangan yang berlaku.25 Berdasarkan pada beberapa pengertian di atas bisa disimpulkan bahwa pelayanan umum adalah suatu usaha yang dilakukan oleh pemberi layanan (bisa negara atau swasta, bisa secara komunal maupun perseorangan) untuk memenuhi kebutuhan hidup penerima layanan (masyarakat umum). Disebut pelayanan umum bila pada prinsipnya pelayanan ditujukan untuk kepentingan umum (hajat orang banyak) dan bukan kalangan personal (pribadi). Pelayanan umum bisa berbentuk apa saja baik jasa maupun barang. Dalam konteks pelayanan umum yang diselenggarakan oleh negara (pemerintah), pelayanan umum terdiri dari tiga macam. Pertama, pelayanan
administratif.
Contoh
dari
pelayanan
jenis
ini
adalah
pelayanan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), akte kelahiran, Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), paspor 24 H.A.S. Moenir, Manajemen Pelayanan Umum di Indoensia (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), hlm. 7 Boediono, Pelayanan Prima Perpajakan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hlm.61 25
16
dan
segala
hal
yang
berhubungan
dengan
administrasi.
Kedua,
pelayanan jasa. Contoh dari pelayanan jenis ini adalah penyelenggaraan pendidikan, pelayanan kesehatan, ketersediaan transportasi umum, jasa pengiriman, dan sebagainya. Ketiga, pelayanan barang. Contoh dari pelayanan jenis ini adalah pengadaan jaringan telepon, tenaga listrik, air bersih dan sebagainya.26 Dalam pelayanan publik oleh negara, kepuasan masyarakat adalah
tolak
ukur
utama
dalam
menilai
berhasil
tidaknya
penyelenggaraan pelayanan. Tidak setiap pelayanan bisa menghasilkan tingkat kepuasan yang merata dan maksimal. Menurut Heryatmoko (ahli filsafat), sistem dan integritas orang-orang yang bergumul dalam pelayanan publik sering kali menjadi masalah utamanya. Sistem atau manajemen yang tidak kondusif bisa melahirkan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang struktural yang berujung pada lahirnya orang-orang yang tidak berintegritas. Akibatnya, kualitas pelayanan sering kali tidak lagi menjadi prioritas utama karena terkalahkan dengan kepentingan pribadi atau golongan para oknum. 27 Konsep
kedua
yang
dipakai
yaitu
komersialisasi
(commercialisation). Komersialisasi berasal dari kata dasar “komersial” (commercial). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata “komersial”
adalah
hal
yang
berhubungan
dengan
niaga
atau
26 Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Men-PAN) No. 63/Kep. M. PAN/7/2003 Mengenai sebab-sebab buruknya pelayanan umum yang diselenggarakan oleh negara khususnya di Indonesia, lihat buku karya Heryatmoko, Etika Publik: untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi (Gramedia Pustaka Utama, 2011). 27
17
perdagangan. Adapun kata “komersil” menunjukkan kata sifat yang berarti diperdagangkan atau diniagakan. Mengkomersilkan berarti menjadikan sesuatu sebagai barang untuk dijual. Kata “komersial” yang mendapat imbuhan “isasi” berarti menunjukkan suatu proses.28 Komersialisasi
bisa
berwujud
barang
atau
jasa.
Contoh
komersialisasi barang adalah perdagangan kain, minyak, buah-buahan, sepatu, pakaian, buku dan sebagainya. Adapun contoh komersialisasi jasa antara lain seperti usaha sewa bus, sewa mobil, jasa pengetikan, jasa
cuci
mobil,
angkutan
penerbangan,
angkutan
kereta
api,
pengiriman surat dan barang, pembukaan lahan parkir berbayar, dan masih banyak lainnya. Pada dasarnya, praktik komersialisasi tidak memandang orang. Ia bisa dijalankan oleh siapa saja baik personal maupun komunal, baik swasta maupun negara. Komersialisasi yang terus membesar bisa melahirkan
budaya
korporasi
(melibatkan
banyak
pihak
dan
kepentingan). Dalam skala nasional, negara dan swasta seringkali bekerja sama dalam menjalankan praktek-praktik komersialisasi. Negara berlaku sebagai pembuat kebijakan (biasanya untuk pelayanan publik) sedangkan swasta menjadi pihak komersialis. Namun dalam titik tertentu, terkadang menjadi sulit membedakan mana negara dan mana swasta. Keduanya bisa nampak menjadi “swasta” yang berorientasi pada profit sehingga menomorduakan kualitas pelayanan.
28 http://kbbi.web.id/komersial. Diakses 27 Oktober 2014, pukul 15.45 18
Dalam situasi tertentu, komersialisme sering kali dimaknai sama dengan kapitalisme (paham yang dengan kepemilikan mesin-mesin produksi dan sistemnya terstruktur, berorientasi pada akumulasi keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang seminimminimnya). Penyamaan ini merupakan suatu kekeliruan. Komersialisme adalah gerbang awal lahirnya kapitalisme. Komersialisasi tidak selalu melahirkan paham kapital tetapi keberadaan kapitalisme sudah pasti karena
praktik
komersialisme
komersialisme.
dan
Kapitalisme
komersialisme
adalah
adalah
“ibu”
dari
“anak”
dari
kapitalisme.
Komersialisme merupakan cara dan kapitalisme adalah tujuan. Di sebuah negara kapitalis, komersialisasi bisa menjadi alat politik yang ampuh bagi pihak-pihak berkepentingan. Swasta sering kali membangun
jaringan
dengan
oknum-oknum
kapitalis
di
kursi
pemerintahan. Melalui komersialisasi yang berbasis dalih pelayanan publik, mereka berpeluang besar memperkaya diri apalagi di negara yang minim pengawasan (biasanya terjadi di negara otoriter yang anti kritik).29 Dalam sebuah negara yang disebut terakhir ini, komersialisasi tidak hanya sebatas alat untuk menyejahterakan rakyat melalui proyekproyek pelayanan publik tetapi lebih dari sekadar itu, komersialisasi mampu menjadi alat untuk berkomunikasi, melegitimasi, menguasai dan menghegemoni. Konsep ketiga adalah transportasi (transportation). Transportasi berarti mengenai masalah pengangkutan, hal angkut atau pemindahan 29 Jamaluddin Ancok, Kita Menjadi Sangat Toleran Terhadap Penyimpangan dalam Prisma, volume 6, 1989, hlm. 77-79
19
suatu hal/barang/manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.30 Dilihat dari tujuan keperuntukannya, transportasi dibagi menjadi dua jenis yakni transportasi pribadi (personal transportation) dan transportasi publik (public transportation). Setidaknya terdapat tiga hal pokok dalam transportasi yaitu muatan, sarana transportasi dan prasarana transportasi. Muatan transportasi bisa berupa barang atau manusia. Contoh sarana (moda) transportasi adalah bus, becak, sepeda motor, mobil, kereta api, pesawat terbang, kapal, dan lain-lain. Adapun contoh prasarana transportasi misalnya jalan, jembatan, dermaga atau pelabuhan, rel, landasan pacu, dan seterusnya. Sarana dan prasarana transportasi menjadi dua elemen yang
saling
berkaitan.
Keduanya
maju
dan
berkembang
seiring
kemajuan ilmu-teknologi, meningkatnya kebutuhan mobilitas penduduk dan tututan dinamika pembangunan yang terus berubah.31 Transportasi dan ekonomi kota merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.
Transportasi
bisa
mempengaruhi
pembangunan
ekonomi dan industrialisasi kota. Sebaliknya, majunya perekonomian kota dapat meningkatkan mobilitas masyarakat pengguna transportasi.32 Ketersediaan transportasi publik suatu kota tergantung dari para 30 Sakti Adji Adisasmita, Penerbangan dan Bandar Udara (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm. 1. Lihat pula M.N. Nasution, Manajemen Transportasi (edisi ke-3) (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm. 3 31
M.N. Nasution, op.cit,hlm. 3
Tamin, Perencanaan dan Permodelan Transportasi (Bandung: ITB Press, 1997), hlm. 4, Lihat pula Abbas Salim, Manajemen Transportasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.6 32
20
penguasa (baik lokal maupun pusat) dalam mengeluarkan kebijakannya. Kebijakan pemerintah menyangkut akses dan transportasi biasanya didasarkan atas potensi-potensi yang ada di suatu kota. Potensi dalam konteks ini bisa berarti politik, sosial, ekonomi, budaya, geografi, demografi dan sebagainya. 33 Potensi yang dimiliki setiap kota tidaklah sama
sehingga
berpengaruh
terhadap
tingkat
kemajuan
dan
perkembangan transportasi. Konsep keempat adalah enklavisasi (enclavization). “Enklavisasi” berasal dari kata dasar “enklaf”. Istilah ini merupakan improvisasi dari bahasa inggris “enclave” yang berarti daerah kantong. 34 Dalam bahasa lain, enklavisasi pada dasarnya memiliki makna proses “dwifungsi” (dua fungsi). Dalam konteks penelitian ini, enklavisasi kawasan pangkalan udara Adi Soemarmo berarti proses merangkapnya fungsi kawasan menjadi pangkalan udara (militer) dan juga bandara (sipil). Kawasan pangkalan udara yang awalnya berfungsi murni militer kemudian difungsikan sebagai tempat untuk menyelenggarakan dua kepentingan yaitu militer dan sipil.35 Kepentingan
sipil
adalah
menyelenggarakan
pelayanan
penerbangan komersil untuk publik. Penerbangan komersil (sipil) terdiri 33 Nasution, op.cit, hlm. 24-25 http://kamuslengkap.com/kamus/inggris-indonesia?s=enclave. Lihat pula http://kamusbahasainggris.com/. Keduanya diakses pada 7 Desember 2015, pukul 14.25. 34
Arsip PT AP I BAS: Surat Keputusan Bersama Menteri Keamanan/ Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Perhubungan dan Menteri Keuangan No. KEP/30/IX/1975, No. KM 393/S/Phb-75, No. KEP927a/MK/IV/8/1975. 35
21
dari penerbangan domestik (dalam negeri) dan internasional (lintas negara). Salah satu jenis penerbangan internasional yang sifatnya khusus adalah penerbangan haji (hajj flight). Penerbangan jenis ini hanya diselenggarakan pada musim tertentu dan mendapat perlakuan berbeda dibanding penerbangan komersil (non-haji) pada umumnya. Adapun kepentingan militer adalah menyelenggarakan penerbangan khusus militer dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Di kawasan bandara enclave, berlaku regulasi-regulasi eksklusif yang tidak sama dengan di bandara-bandara murni pada umumnya.36 Semua
konsep
di
atas,
penulis
gunakan
untuk
melihat
keterkaitan negara, elit penguasa lokal dan segenap stakeholder terkait dalam menjaga eksistensi transportasi udara di Surakarta (khususnya) dan Indonesia (umumnya). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosial, ekonomi dan politik. Ketiga pendekatan ini akan banyak
membantu
mengurai
permasalahan-permasalahan
dalam
penelitian. Dengan landasan konseptual dan pendekatan ini kiranya dapat mempertajam kajian serta menghasilkan analisis yang “menukik”. Indikasi “menukik” ialah bila narasi yang dibuat bisa menguraikan dan menjawab sedetail mungkin setiap permasalahan yang dirumuskan. F. Metode dan Sumber Sebagai sebuah ilmu, sejarah memiliki metodenya sendiri dalam merekontruksi fenomena kelampauan secara sistematis dan obyektif. Menurut Ernest Bernheim, yang dikutip Kuntowijoyo, penelitian historis 36 Ibid,. 22
ini mempunyai empat langkah pokok.
37
Pertama, heuristik, yakni
menggali dan menemukan bahan atau sumber sejarah yang berkaitan dengan topik penelitian. Dalam memahami komersialisasi transportasi udara di Solo (khususnya) dan Indonesia (umumnya) kurun waktu 1970-an sampai dekade pertama abad XXI yang lebih mendalam maka dibutuhkan sumber primer dan sekunder yang memadahi. Sumber primer dalam penelitian ini antara lain surat-surat keputusan, surat-surat perintah, surat-surat perjanjian, laporan harian, laporan mingguan, laporan bulanan dan tahunan, foto-foto sezaman, piagam penghargaan, dan arsip lain yang relevan. Arsip-arsip tersebut diperoleh di gedung arsip milik PT (Perseroan) Angkasa Pura I Bandara Adi Soemarmo (PT AP I BAS) Surakarta, Perpustakaan dan Museum Pangkalan Udara Adi Soemarmo Surakarta, Arsip Monumen Pers Surakarta, Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah, Kementerian Agama Provinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), dan perpustakaan lain yang mendukung tema penelitian. Arsip yang paling banyak diperoleh dan digunakan adalah arsip dari PT AP I BAS. Hampir semua data statistik dari semua bandara di Indonesia yang di kelola PT AP (I dan II) ada di sini. Sayangnya arsiparsip dari instansi ini belum ditata rapi sepenuhnya karena gedung arsip yang terakhir ini baru dibangun beberapa tahun yang lalu (2012-an). Akibatnya, penomoran arsip belum mapan. Ada sebagian arsip yang sudah diberi nomor tetapi ada pula yang belum. Arsip-arsip di kantor ini 37 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), hlm. 99 23
juga kurang lengkap karena ada sebagian arsip yang tidak keangkut dan dari gedung arsip lama. Arsip-arsip tersebut sampai sekarang tidak bisa diakses karena keadaan gedungnya yang rusak. Kondisi kearsipan yang seperti ini secara umum disebabkan karena terminal bandara Adi Soemarmo yang beberapa kali pindah lokasi. Selain itu diperlukan pula wawancara yang mendalam dan terbuka guna memperkuat data penelitian. Wawancara dilakukan terhadap berbagai informan yang dianggap mumpuni dalam memberikan informasi untuk mendukung penelitian. Informan tersebut antara lain pihak pengelola bandara Adi Soemarmo, para Purnawirawan Pangkalan Udara Adi Soemarmo, para sesepuh desa di sekitar lingkungan bandara Adi Soemarmo, pengurus sektor kepariwisataan kota Surakarta, warga sekitar bandara yang mengalami penggusuran lahan (relokasi) proyek perpanjangan landasan, penumpang yang pernah menggunakan jasa penerbangan dari bandara Adi Soemarmo, dan lain sebagainya. Selain sumber primer diperlukan pula sumber sekunder. Sumber sekunder dalam penelitian ini berupa buku dan hasil penelitian yang relevan. Metode penelitian sejarah yang kedua adalah setelah penulis berhasil mengumpulkan berbagai sumber baik primer maupun sekunder maka perlu dilakukan sebuah kritik sumber yang terdiri dari dua macam kritik yaitu ekstern dan intern. Kritik ekstern dilakukan untuk menentukan keaslian sumber (arsip, koran, majalah, maupun foto) dengan cara melihat pada jenis kertas, model tulisan, bahasa, cap resmi, dan angka tahun yang tertera pada setiap dokumen yang ditemukan. Kemudian dilakukan kritik intern yang menyangkut isi dokumen apakah
24
sesuai dengan yang dibutuhkan atau tidak dan untuk mendapatkan kredibilitas sumber. Beberapa contoh sumber dokumen yang diarsipkan di PT AP BAS adalah surat keputusan bersama, surat perintah perluasan bandara, surat
perubahan-perubahan
status
bandara
dan
laporan
jumlah
penerbangan baik per hari, minggu, bulan maupun tahun. Adapun beberapa contoh arsip yang dikeluarkan oleh pihak Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah dan DIY adalah laporan seputar haji baik jumlah, asal daerah, identitas calon jamaah haji, Ongkos Naik Haji (ONH) dan lain sebagainya. Secara umum sumber dokumen yang dikeluarkan oleh lembaga atau instansi-instansi pemerintah tersebut dapat dipercaya, relevan bagi legalitas dan rasionalitas dalam birokrasi. Namun demikian penulis harus tetap bersikap kritis terhadap segala sumber dokumen yang ada guna mendapatkan kredibilatas sumber. Proses verifikasi bahan dokumen seperti ini sering disebut kolasi, 38 yaitu membandingkan antara beberapa dokumen mengenai fakta yang dicari sehingga akan terlihat adanya kesesuaian maupun kontradiksi antarfakta. Dalam kondisi ketika terdapat fakta-fakta yang kontradiktif,
maka
penulis
melakukan
seleksi
atas
derajat
keterpercayaan sumber, dengan memilih sumber primer yang dapat dijadikan sumber data yang representatif sehingga diperoleh fakta sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
38 Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumenter” dalam Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1977), hlm. 83 25
Langkah ketiga dalam alur metode rekontruksi sejarah adalah interpretasi.
Pada tahap ini penulis mencari dan menyusun suatu
hubungan kausalitas sesuai dengan urutan terjadinya peristiwa dari setiap fakta yang diperoleh. Kemudian fakta tersebut dirangkaikan dalam kesatuan logis yang menghasilkan narasi sejarah. Langkah ke-4 (terakhir)
ialah
memperhatikan
historiografi. aspek
Pada
kronologis
tahap dan
ini
penulis
sistematis,
harus
sementara
penyajiannya berdasarkan tema dari obyek riset atau kajian. G. Sistematika Tulisan Kajian ini akan dijelaskan lebih lanjut ke dalam beberapa bab secara kronologis dan tematis serta sistematis. Pembahasan tesis ini diawali dengan melihat sejarah awal penerbangan komersil di Indonesia. Pembahasan dilanjutkan mengenai potensi kota Surakarta (Solo) dan wilayah sekitarnya dari awal abad XX sampai tahun awal tahun 1970-an dilihat dari segi demografi, dan ekologi. Pembahasan selanjutnya terfokus pada perkembangan industri, perdagangan dan budaya di kota Surakarta dan sekitarnya. Deskripsi seputar kondisi perhubungan (transportasi) dan pangkalan udara Panasan di Surakarta sejak 1900-an sampai awal 1970-an, menjadi penutup dalam bab ini. Bab
selanjutnya
(tiga)
secara
umum
membahas
mengenai
komersialisasi kawasan pangkalan udara Adi Soemarmo di masa Orde Baru. Bagian awal mengkaji mengenai pengertian, sebab dan proses enklavisasi pangkalan udara. Bagian selanjutnya membahas mengenai perubahan istilah pelabuhan udara dan pahlawanisasi nama pelabuhan udara Panasan (yang nantinya jadi Adi Soemarmo). Bagaimana wujud
26
dan jalannya praktik-praktik komersialisasi bandara Adi Soemarmo di masa Orde Baru menjadi pembahasan penutup dari bab ini. Pembahasan
di
bab
empat
menitikberatkan
jalannya
komersialisasi kawasan pangkalan udara Adi Soemarmo di masa pasca Orde Baru. Pembahasan pertama dibuka dengan kajian mengenai masa peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi serta terbentuknya sistem otonomi daerah dan otonomisasi bandara. Pembahasan selanjutnya membahas mengenai wujud dan jalannya komersialisasi di masa pasca Orde Baru. Dari pembahasan ini akan terlihat perubahan sekaligus perbedaan
praktik
komersialisasi
dibandingkan
dengan
periode
sebelumnya (Orde Baru). Bab terakhir (lima), berisi kesimpulan yang memuat berbagai temuan penting dari hasil kajian yang telah dikerjakan. Garis besar atau inti dari masing-masing bab sebelumnya disimpulkan di sini. Bab ini bisa disebut sebagai jawaban terhadap pokok-pokok permasalahan, pertanyaan, dan tujuan riset yang telah dirumuskan di bab satu.
27