BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Organisasi seringkali berada pada tekanan persaingan yang disebabkan oleh perubahan dunia kerja (Lu, Wang, Lu, Du, & Bakker, 2013). Sehingga perubahan organisasional
menjadi sebuah kebutuhan organisasi agar dapat
bertahan dan berhasil (Carter, Armenakies, Field, & Mossholder, 2012). Manajer sebagai pemegang kebijakan akan selalu melakukan perubahan dengan menciptakan program-program baru, melakukan penyederhanaan prosedur, mengevaluasi program yang diusulkan, dan menghadapi peluang baru dalam lingkungan organisasi mereka (Glick, Huber, Miller, Doty, & Sutcliffe, 1990). Perubahan organisasional memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif yang ditimbulkan dari perubahan organisasional adalah perusahan akan dapat tumbuh dan berkembang (Kotter, 1995), sedangkan dampak negatifnya akan menyebabkan munculnya perasaan ketidakpastian pada masa depan sehingga memicu perasaan cemas dan stres pada karyawan (Rafferty & Griffin, 2006), menurunnya trust dan komitmen karyawan, meningkatnya turnover intention, dan work slowdowns (Buono & Bowditch, 1989; Hogan & Overmyer, 1994; Paterson & Cary, 2002; Schweiger & DeNisi, 1991 dalam Kiefer, 2005). Disamping itu terdapat pula dampak negatif perubahan
1
organisasional yang penting untuk dikaji lebih dalam yaitu job insecurity (Sverke & Hellgren, 2002). Ketika kondisi bisnis semakin kompetitif dan tidak menentu, dan perubahan yang harus sering dilakukan, job insecurity menjadi sebuah fenomena kompleks yang harus dipahami (Greenhalg & Rosenblatt, 2010). Hal tersebut karena job insecurity merupakan job stressor yang dapat mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku karyawan (Klanderman, van Vuuren, & Jacobson, 1991). Sedangkan disisi lain, perubahan organisasi merupakan bagian dari upaya adaptif perusahaan untuk mengatasi berbagai tuntutan pasar (Sverke & Hellgren, 2006). Selain itu ditinjau dari sisi teoritis, meskipun perkembangan penelitian job insecurity semakin banyak, Greenhalg & Rosenblatt (2010) menyarankan untuk meninjau job insecurity tidak hanya pada aspek kognitifnya, akan tetapi juga pada aspek afektifnya. Hal tersebut agar job insecurity tidak hanya dipandang sebagai ketakutan kehilangan pekerjaan saja, karena tidak dipungkiri karyawan juga pasti akan merasa takut jika ia kehilangan status, jabatan, atau benefit dalam pekerjaannya (Dachapalli & Parumasur, 2012). Pada penelitian terdahulu, telah banyak penelitian yang membahas karakteristik job insecurity, operasionalisasi dan pengukurannya, juga dampak job insecurity terhadap organisasi dan individu dalam konteks yang berbeda-beda (Sverke, Hellgren, & Naswall, 2002). Para peneliti juga telah menelaah anteseden dan konsekuen job insecurity meskipun jumlahnya masih terbatas (misalnya: Huang et al., 2012; Ito & Brotheridge, 2007; Kinnunen, Makikangas, 2
Mauno, Cuyper, & Witte, 2014). Maka, untuk memahami job insecurity lebih jauh, akan sangat bermanfaat jika mempertimbangkan potensial anteseden dari job insecurity dan konsekuennya (Klandermans & van Vuuren, 2010). Menurut penelitian sebelumnya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi job insecurity, yaitu (1) kondisi lingkungan dan organisasi tertentu (misalnya perubahan organisasi dan komunikasi); (2) karakteristik individu dan posisi karyawan (misalnya usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi); dan (3) karakteristik kepribadian karyawan (misalnya locus of control, optimisme pesimisme, rasa koherensi) (Klandermans, Van Vuuren, & Jacobson, 1991). Sedangkan menurut Sverke dan Hellgren (2002) job insecurity disebabkan oleh beberapa prediktor potensial yang dibagi menjadi dua bagian yaitu prediktor subjektif dan prediktor objektif. Prediktor objektif mengacu pada risiko yang sebenarnya
yang dapat
menyebabkan
seseorang kehilangan
pekerjaan.
Sedangkan prediktor subjektif adalah persepsi individu berkaitan dengan keberlanjutan pekerjaan mereka (Burglund, Vuraken & Vulkan, 2014). Beberapa prediktor subjektif job insecurity adalah locus of control, role ambiguity,role conflict, dan organizational communication (Ashford, Lee, & Bobko, 1989). Sedangkan prediktor objektif job insecurity adalah perubahan organisasional (Sverke & Hellgren, 2002), umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tipe kontrak kerja, pendidikan, dan status kepegawaian (Kinnuen & Natti, 1994).
3
Penelitian ini akan difokuskan untuk menguji anteseden job insecurity pada prediktor subjektif dan prediktor objektif yaitu frekuensi perubahan dan perceived employability. Hal yang mendasari pemilihan prediktor subjektif dan prediktor objektif adalah penelitian ini mengacu pada definisi multidimensional job insecurity yang dikemukakan oleh Greenhalg dan Rosenblatt (2010). Job insecurity menurut Greenhalg dan Rosenblatt (2010) dipandang pada aspek kognitif dan aspek afektif nya, sehingga akan lebih tepat menguji anteseden job insecurity pada prediktor subjektif dan objektifnya. Selain itu, pengujian prediktor objektif dan prediktor subjektif
akan dapat memberikan sebuah
implikasi praktikal terhadap job insecurity. Faktanya manager memiliki boundary condition akan kondisi karyawan, dimana prediktor subjektif mungkin dapat memiliki peran untuk mempengaruhi persepsi job insecurity seseorang (Debus, Konig, & Kleinmann, 2014). Probst dan Lawler (2006) menyatakan bahwa berbagai perubahan organisasional dapat menghancurkan kontrak psikologis karyawan. Greenhalg dan Rosenblatt pun juga menyatakan bahwa perubahan organisasional adalah ancaman bagi sense of control karyawan. Perubahan organisasi yang dipersepsikan sebagai ancaman adalah merger, downsizing, reorganisasi, pengaplikasian teknologi baru di perusahaan. Selain itu, sejalan dengan Teori kontrak psikologis menyatakan bahwa antara karyawan dan perusahaan memiliki kontrak diluar kontrak formal, dimana kontrak tersebut akan mempengaruhi perilaku karyawan. Dalam perspektif karyawan, kontrak psikologis diharapkan 4
mampu menjamin job security, keadilan upah, benefits, dan self worth untuk melakukan pekerjaan dengan baik (Keim et al., 2014). Sedangkan dalam perspektif employer kontrak psikologis diperoleh dari karyawan yang bekerja dengan baik, puas dengan pekerjaannya, dan memiliki komitmen terhadap organisasi. Ketika salah satu pihak merasa tidak dipenuhi kontrak psikologisnya maka hal tersebut akan menimbulkan psychological contract breach (Keim et al., 2014). Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan perubahan organisasional seharusnya juga ditinjau dari sisi persepsi frekuensi perubahan, perencanaan perubahan, dan dampak perubahan. Prediktor penelitian dari job insecurity yang difokuskan dalam penelitian ini adalah persepsi frekuensi perubahan, karena perusahaan akan selalu berkompetisi dengan tetap melakukan perubahan secara berkesinambungan (Brown & Eisenhardt, 1997; Carter et al., 2012). Persepsi frekuensi perubahan yang dipersepsikan sering, tak jarang menyebabkan masalah karena karyawan merasa kesulitan untuk terus mempertahankan kinerja dan senantiasa beradaptasi pada job requirements yang baru (Kanfer & Ackerman, 1989). Indikator
persepsi frekuensi perubahan
dipersepsikan sering adalah ketika karyawan
tidak lagi menganggap bahwa
perubahan merupakan discrete event. Sedangkan indikator persepsi frekuensi perubahan akan dipersepsikan jarang dilakukan memandang
adalah ketika karyawan
perubahan merupakan sebuah discrete event, dimana karyawan
5
dengan mudah mengenali kapan suatu kejadian perubahan dimulai dan diakhiri (Rafferty & Griffin, 2006). Job insecurity juga seharusnya ditinjau dari sisi individu yang diwakili oleh prediktor subjektif (Sverke et al., 2004). Sejalan dengan Greenhalg dan Rosenblatt (2010) yang menyatakan bahwa masih butuh banyak penelitian yang harus dikembangkan untuk mengetahui hal apakah yang menyebabkan individu merasakan job insecurity. Beberapa prediktor subjektif yang telah diteliti adalah locus of control, negative affectivity (De Witte, 2005), role ambiguity, role conflict, dan organizational communication (Ashford, Lee, & Bobko, 1989) Anteseden lain yang perlu diperhatikan untuk mewakili prediktor subjektif adalah perceived employability. Perceived employability adalah komitmen karyawan untuk meningkatkan ketrampilan dan kompetensinya sehingga mereka dapat melindungi diri mereka dan dapat meningkatkan kemampuan mereka (Van Buren, 2003). Sedangkan menurut Fugate
et al.
(2004) perceived employability adalah bentuk adaptasi aktif karyawan yang memungkinkan mereka untuk mengidentifikasi dan menyadari peluang karir, sehingga memfasilitasi pergerakan pekerjaan mereka. Beberapa penelitian teoritis telah menguji peran perceived employability sebagai anteseden job insecurity (De Cuyper, Bernhard-Oettel, Berntson, De Witte, & Alarco,2008 dalam Piero, Sora & Caballer, 2012). Akan tetapi, asumsi umum dan teoritis berkaitan dengan hubungan perceived employment dengan job insecurity
6
dinyatakan belum memiliki dukungan yang cukup (Piero, Sora & Caballer, 2012). Hal tersebut sejalan dengan pernyataan De Cuyper (2008) dalam Piero, Sora dan Caballer (2012) bahwa hubungan perceived employment terhadap job insecurity dinyatakan belum banyak yang meneliti. Maka, penelitian ini akan mencoba menjelasksan hubungan antara perceived employability terhadap job insecurity. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selain anteseden job insecurity adalah dampak yang ditimbulkan dari job insecurity. Job insecurity disebutkan sebagai salah satu job stressor yang penting, karena dapat mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku (Klandermans, van Vuuren, & Jacobson, 1991). Penelitian job insecurity pun berkembang dalam berbagai penelitian stres organisasi dan kesehatan (Stiglbauer, Selenko, Batinic, & Jodlbauer, 2012; Sverke & Hellgren, 2002). Lalu, praktisi dan peneliti pun mengembangkan penelitian job insecurity berkaitan dengan dampaknya terhadap individu dan organisasi seperti well being karyawan, kepuasan kerja, absenteeism, turnover, dan job performance (Sverke, Hellgren, & Naswall, 2002). Meskipun penelitian telah menyatakan job insecurity berhubungan dengan sikap kerja dan well being karyawan, akan tetapi beberapa isu belum sepenuhnya dibahas (Sverke, Hellgren, & Naswall, 2006). Salah satu konsekuen job insecurity yang perlu diteliti lebih jauh adalah PKO (Perilaku Kewargaan Organisasi) (Lam et al., 2015). Penelitian terdahulu menemukan bahwa ketika
7
karyawan mempersepsikan organisasi gagal memenuhi janji atau kewajibannya, maka PKO akan menurun (Robinson & Morison, 1995; Zhao, Wayne, Glibkowski, & Bravo, 2007 dalam Lam et al., 2015). Padahal, PKO merupakan salah satu perilaku positif yang tetap diharapkan meskipun karyawan merasa bahwa organisasi mengancam positive manner karyawan (Lam et al., 2015). PKO adalah instrumen untuk karyawan bertahan di dalam organisasi dikarenakan meningkatnya kompetisi global (Lepine, Erez, & Johnson, 2002; Lepine, Hanson, Borman & Motowidlo, 2000 dalam Fassina, Jones, & Uggersleve, 2008). Mengingat pertentangan antara kebutuhan organisasi untuk dapat bertahan melalui aktivitas perubahan yang menghasilkan job insecurity pada satu sisi, dan kebutuhan agar karyawan dapat melakukan
Perilaku Kewargaan
Organisasi (PKO) pada sisi lain, masih menyisakan teka-teki teoritis (Lam et al., 2015). Beberapa penelitian menyatakan bahwa job insecurity dilaporkan memiliki pengaruh negatif terhadap PKO (Cheng & Chan, 2008; Kang,Gold, & Kim, 2012; King, 2000; Reisel, Probst, Chaia, Maloles, & Konig, 2010 dalam Lam et al., 2015). Sedangkan penelitian lain menunjukkan hubungan positif (Feather & Rauter,2004; Wang, Lu, & Lu,2014; Wong, Wong, Ngo, & Lui, 2005 dalam Lam et al., 2015). Berdasarkan temuan yang inkonsisten tersebut maka dibutuhkan peran moderasi yang menghubungkan antara job insecurity dan PKO. Sejalan dengan Goleman (1998) dalam Jordan, Ashkanasy, dan Hartel (2002) yang mengusulkan 8
kecerdasan emosional sebagai moderasi antara job insecurity dan perilaku kerja. Penelitian ini akan menggunakan kecerdasan emosional untuk memoderasi hubungan job insecurity dan PKO. Hal itu dikarenakan kecerdasan emosional merupakan sebuah kemampuan yang menjelaskan cara individu dalam mengelola emosinya (Jordan, Ashkanasy, & Hartel, 2002). Peran kecerdasan emosional juga digunakan karena telah banyak penelitian yang semata-mata berfokus pada reaksi kognitif terhadap job insecurity (Ashford, Lee, & Bobko, 1989). Jadi, menurut Jordan, Ashkanasy, dan Hartel (2002) perlu dipertimbangkan bagaimana reaksi emosi terhadap job insecurity yang mungkin akan dapat menjelaskan outcome yang berbeda. Berdasarkan pemaparan dan gap yang ditemukan, maka peneliti mencoba mengisi celah penelitian dengan mengajukan penelitian dengan judul “Analisis Anteseden dan Konsekuen Job Insecurity dan Kecerdasan Emosional sebagai pemoderasi”.
1.2
Rumusan Masalah Job insecurity merupakan salah satu konstruk baru, yang telah mendapatkan perhatian semenjak Greenhalg dan Rossenblatt meneliti konstruk tersebut (Keim et al., 2014). Maka, sebagai upaya untuk memahami job insecurity lebih jauh, akan sangat bermanfaat jika mempertimbangkan potensial anteseden dari job insecurity dan konsekuennya (Klandermans & van Vuuren, 2010). Hal itu disebabkan meskipun peneliti
telah menelaah anteseden dan 9
konsekuen job insecurity
akan tetapi jumlahnya masih terbatas (misalnya:
Huang et al., 2012; Ito & Brotheridge, 2007; Kinnunen, Makikangas, Mauno, Cuyper, & Witte, 2014). Anteseden job insecuity telah diketahui dibagi kedalam dua kategori, yaitu prediktor subjektif dan prediktor objektif. Penelitian ini akan memfokuskan anteseden pada kedua prediktor tersebut. Hal ini sejalan dengan definisi multidimensional yang digunakan untuk mendefinisikan job insecurity. Selain itu, telah dipahami bahwa sebenarnya job insecurity tidak hanya di sebabkan oleh prediktor objektif saja, akan tetapi juga prediktor subjektif yang seringkali diabaikan oleh perusahaan karena adanya boundary condition manager. Maka anteseden yang digunakan adalah frekuensi perubahan dan perceived employability. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selain anteseden job insecurity adalah dampak yang ditimbulkan dari job insecurity. Job insecurity disebutkan sebagai salah satu job stressor yang penting, karena dapat mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku (Klandermans, van Vuuren, & Jacobson, 1991). Salah satu konsekuen job insecurity yang perlu diteliti lebih jauh adalah PKO (perilaku kewargaan organisasi) (Lam,Liang, Ashford, & Lee, 2015). Mengingat pertentangan antara kebutuhan organisasi untuk dapat bertahan melalui aktivitas perubahan yang menghasilkan job insecurity pada satu sisi, dan kebutuhan agar karyawan dapat melakukan perilaku kewargaan organisasi (PKO) pada sisi lain, masih menyisakan teka-teki teoritis (Lam et al., 2015) 10
1.3 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan dalam penelitian ini adalah 1.
Apakah persepsi frekuensi perubahan berpengaruh terhadap job insecurity?
2.
Apakah perceived employability berpengaruh terhadap job insecurity?
3.
Apakah job insecurity berpengaruh terhadap PKO?
4.
Apakah kecerdasan emosional memoderasi hubungan job insecurity dengan PKO?
1.4 Tujuan Penelitian 1.
Untuk menguji pengaruh persepsi frekuensi perubahan terhadap terhadap job insecurity.
2.
Untuk menguji pengaruh perceived employability berpengaruh terhadap job insecurity.
3.
Untuk menguji pengaruh job insecurity berpengaruh terhadap PKO.
4.
Untuk menguji pengaruh kecerdasan emosional memoderasi hubungan job insecurity dengan PKO.
1.5 Kontribusi Penelitian Kontribusi yang diharapkan dapat diberikan penelitian ini adalah
11
1.
Kontribusi empiris Memberikan tambahan bukti empiris untuk memperkuat konsep dan teori mengenai anteseden dan konsekuen job insecurity dengan menyertakan kecerdasan emosional variabel pemoderasi.
2.
Kontribusi praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan pemikiran bagi praktisi untuk menjadi bahan pertimbangan bagaimana memahami
penyebab
dan
dampak
job
insecurity,
dengan
memperhatikan kecerdasan emosional karyawan.
1.6 Sistematika Penulisan Sistematika Penulisan penelitian ini dibagi dalam lima bab yaitu: BAB I : Pendahuluan Bab ini menjelaskan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : Telaah Pustaka Bab ini menjelaskan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian serta dipaparkan mengenai kerangka pemikiran dan hipotesis dalam penelitian ini. BAB III
: Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan bagaimana penelitian ini dilaksanakan secara operasional. Dalam bab ini diuraikan mengenai variabel penelitian definisi
12
operasional, penentuan sampel, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data serta metode analisis. BAB IV
: Hasil dan Analisis
Bagian keempat berisi analisis data. Pada bab ini dijelaskan mengenai analisis hasil penelitian secara keseluruhan dari penelitian ini yang selanjutnya dihubungkan dengan ketercapaian ataupun ketidaktercapaian hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya serta argumen-argumen yang mendukungnya. BAB V: Penutup Bab ini berisi kesimpulan, keterbatasan dan saran untuk penelitian selanjutnya berdasarkan hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya.
13