BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Cina merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi pesat dan saat ini dianggap sebagai salah satu kekuatan besar dunia. Dengan semakin besarnya kekuatan Cina di dunia internasional, semakin banyak kepentingan internasional Cina yang harus dipenuhi dengan berbagai cara. Misalnya, Cina secara agresif pernah mengintimidasi negara-negara tetangganya dengan mengirimkan kapal-kapal ke daerah konflik Laut Cina Selatan pada tahun 1999. Cina juga pernah memberikan bantuan ekonomi saat terjadi krisis finansial Asia. Dari dua pengalaman tersebut saja, terlihat bahwa hard power Cina cenderung kurang efektif karena mengakibatkan negara-negara lain berseberangan dengannya, sementara dengan memberikan bantuan ekonomi (menggunakan soft power), Cina mendapatkan teman. Dari sini, muncul pemahaman bahwa yang seharusnya menjadi fokus Cina adalah bagaimana membangun dan mengembangkan soft power-nya.1 Cina juga dihadapkan dengan kenyataan bahwa perkembangannya menimbulkan kekhawatiran di dunia internasional. Cina dipandang sebagai kekuatan baru yang mengancam, utamanya oleh negara-negara Barat, karena pemerintah maupun pebisnis Barat khawatir akan jatuhnya industri dan lapangan pekerjaan ke tangan Cina yang membuat mereka harus berurusan dengan defisit perdagangan.2 Sebutan-sebutan seperti “ancaman Cina” marak bermunculan, yang tentunya tidak akan mempermudah situasi bagi Cina apabila pandangan tersebut juga muncul di negara-negara yang potensial bagi perkembangan ekonominya. Hal ini membuat Cina menyadari pentingnya memperhatikan bagaimana ia dilihat oleh publik internasional: citra yang positif akan membuat negaranegara lain mau bekerja sama sehingga dapat membantu Cina memenuhi kepentingankepentingan terkait pertumbuhan ekonominya. Bentuk nyata dari kesadaran Cina akan pentingnya hubungan baik dengan negara-negara lain kemudian diwujudkan dengan konsep “peaceful development,” yang pertama kali dicetuskan oleh Presiden Hu Jintao pada tahun 2004.3 Lewat konsep ini, Cina ingin
1
J. Kurlantzick, Charm Offensive: How China’s Soft Power is Transforming the World, Yale University, New York, 2007, p. 34. 2 I. d’Hooghe, ‘The Expansion of China’s Public Diplomacy System,’ dalam Wang, J. (ed.), Soft Power in China: Public Diplomacy through Communication, Palgrave Macmillan, New York, 2011, p. 27. 3 Wang, Y., ‘Public Diplomacy and the Rise of Chinese Soft Power’, Public Diplomacy in a Changing World, vol. 616, 2008, pp. 263.
1
menyampaikan bahwa kebangkitan Cina tidak akan merugikan, tidak mengalangi, dan tidak akan menimbulkan ancaman terhadap negara lain.4 Hal terpenting dari prinsip ini adalah bahwa ia ingin membentuk lingkungan yang kondusif bagi perkembangan domestik Cina. Harapannya, kondisi yang damai dapat membantu meningkatkan kemakmuran, mempermudah perusahaan Cina untuk mencari sumber daya dari luar, dan memungkinkan sumber daya keluar dan masuk Cina dengan leluasa – hal-hal ini dapat memenuhi kepentingan Cina untuk mendapatkan sumber-sumber daya ekonominya.5 Yang harus dilakukan oleh Cina selanjutnya adalah mempromosikan prinsip “peaceful development” tersebut sebagai ‘karakter’ sepak terjangnya di dunia internasional. Cina tidak bisa hanya melakukan komunikasi satu arah dalam mempromosikan prinsip “peaceful development” mereka. Cina membutuhkan interaksi secara langsung dan dua arah dengan publik internasional untuk memperkenalkan konsep ini. Cina harus berdiplomasi kepada dunia untuk mempromosikan prinsipnya ini tidak hanya melalui media atau propaganda sejenis, tetapi ia juga harus menetapkan kebijakan luar negeri yang tepat untuk menciptakan tindakan pengadopsian prinsip ini secara nyata. Salah satu destinasi diplomasi publik Cina adalah Afrika. Afrika merupakan wilayah penting bagi Cina, baik secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi, Afrika menjadi pasar bagi produk ekspor Cina dan penting bagi keamanan pangan Cina.6 Yang lebih utama dari itu adalah bahwa Afrika memiliki minyak dan sumber daya lainnya yang dapat menopang kebutuhan energi Cina. Kebutuhan energi Cina mulai naik sejak reformasi ekonomi dimulai pada akhir tahun 1978, yang kelak membuat Cina menjadi salah satu negara dengan perkembangan yang pesat, antara lain ditunjukkan dengan rasio pertumbuhan yang mencapai 9,4% pada tahun 2005.7 Pertumbuhan ekonomi yang pesat bersesuaian dengan meningkatnya jumlah konsumsi energi; jumlah penduduk yang sangat besar dan kebutuhan pertumbuhan ekonomi menjadi dasar proyeksi bahwa Cina tidak mampu memenuhi kebutuhan energinya secara mandiri. Untuk memastikan kelangsungan pertumbuhan ekonominya, Cina harus mencari alternatif sumber kebutuhan energinya dari luar wilayah, salah satunya adalah Afrika. Memilih Afrika sebagai tujuan promosi prinsip “peaceful development” adalah tepat karena Cina dapat memanfaatkan banyak sumber daya dari Afrika untuk memenuhi kebutuhan perkembangan ekonominya. 4
Kurlantzick, p. 38. Kurlantzick, pp. 39-40. 6 L. Jakobson, ‘China’s Diplomacy Toward Africa: Drivers and Constraints’, International Relations of the Asia-Pacific, vol. 9, no. 3, 2009, p. 410. 7 J.N. Anyu & J-P.A. Ifedi, ‘China’s Venture in Africa: Patterns, Prospects, and Implications for Africa’s Development’, Mediterranean Quarterly, vol. 19, no. 4, 2008, p. 94. 5
2
Secara politik, Afrika telah menjadi destinasi perluasan pengaruh dan kebijakan luar negeri Cina. Cina tercatat telah melakukan diplomasi publik di Afrika untuk menciptakan citra positif, mendapatkan dukungan, maupun melancarkan kebijakan-kebijakannya. Hal ini dilakukan Cina dengan memberikan bantuan dan asistensi pembangunan yang terusmenerus, dengan kepentingan yang berubah seiring dengan berjalannya waktu. Bantuan Cina ke Afrika pertama kali diberikan pada tahun 1950, pada saat itu didasari kepentingan ideologi.8 Pada tahun 1989, ketika peristiwa Tiananmen membuat Cina dipojokkan oleh dunia internasional, Cina mencari dukungan dari negara-negara di Afrika. Dalam masa berikutnya, kepentingan utama Cina berubah menjadi pengakuan akan “One China Policy,” yaitu mengakui Republik Rakyat Cina sebagai satu-satunya Cina dan Taiwan hanya merupakan provinsi Cina. Dalam konteks ini, Afrika menjadi sangat penting karena sebagian besar negara di benua ini mendukung kebijakan tersebut; hanya empat negara Afrika saja yang tetap menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan.9 Diplomasi publik Cina di Afrika dapat dibilang berhasil karena Afrika kemudian menerima Cina dengan tangan terbuka, bahkan cenderung lebih terbuka daripada Afrika menerima Barat. Di saat Barat melihat Afrika sebagai beban, Cina justru melihat Afrika sebagai potensi, sementara Afrika melihat Cina sebagai ‘harapan’ baru untuk pembangunan.10 Dilihat dari sini, memulai promosi “peaceful development” di Afrika sangat logis dan seharusnya bukan hal sulit. Bermula dari Afrika, Cina tidak saja dapat mempromosikan prinsip “peaceful development,” namun juga menunjukkan komitmen ia terhadap prinsip itu kepada dunia internasional. Secara khusus, penulis akan melihat bagaimana Cina mempromosikan prinsip ini lewat pembentukan New Strategic Partnership FOCAC (Forum on China-Africa Cooperation) di tahun 2006, yang merupakan pembaharuan kerja sama strategis antara Cina dan Afrika. Pembaharuan ini esensial bagi promosi “peaceful development” karena menerapkan poin-poin penting yang terdapat dalam prinsip tersebut, berupa semangat kesetaraan politik, keuntungan bersama, pembangunan bersama, serta menciptakan sebuah dunia yang harmonis. Penulis melihat bahwa pembentukan New Strategic Partnership ini merupakan langkah penting Cina untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ia berkomitmen dalam menjalankan prinsip “peaceful development.” 8
E.N. Ubi, ‘Foreign Aid and Development in Sino-African Relations’, Journal of Developing Societies, vol. 30, no. 3, 2014, p. 245. 9 Jakobson, p. 411. 10 F. M. Edoho, ‘Globalization and Marginalization of Africa: Contextualization of China-Africa Relations’, Africa Today, vol. 58, no. 1, 2011, p. 112.
3
1.2 Pertanyaan Penelitian Bagaimana Cina melakukan diplomasi publik untuk mempromosikan prinsip “peaceful development” di Afrika lewat pembentukan New Strategic Partnership FOCAC di tahun 2006? Juga, bagaimana pencapaian diplomasi publik tersebut?
1.3 Landasan Konseptual a. ‘Soft use of power’11 Joseph Nye mengklasifikasikan kekuatan atau power sebuah negara ke dalam dua kelompok besar, yaitu hard power, dimana negara menggunakan kekuatannya dengan cara keras dan cenderung memaksa, dan soft power, dimana negara membuat pihak lain menginginkan apa yang dia inginkan. Nye kemudian mengidentifikasi sumber dari kedua power tersebut, dengan hard power didapat dari kekuatan militer dan ekonomi, dan soft power didapat dari kultur, nilai-nilai politik, dan politik luar negeri. Praktik penggunaan hard power kemudian dapat kita temukan melalui tindakan yang bersifat ‘memaksa’ dengan menggunakan sumber-sumbernya, seperti operasi militer, atau pemberlakuan sanksi ekonomi, untuk mencapai kepentingannya. Sementara soft power identik dengan hal yang bersifat ‘mempengaruhi’ seperti diplomasi budaya, dan lain sebagainya, dengan harapan seorang aktor dapat membuat pihak lain menginginkan apa yang dia inginkan tanpa harus memaksa pihak tersebut. Akan tetapi, klasifikasi yang demikian terasa ‘kaku’ dan dalam beberapa kasus tidak mampu menjelaskan situasi nyata dalam politik internasional. Hal ini disadari oleh Li Minjiang, yang secara khusus menjelaskan praktik penggunaan kekuatan oleh Cina, dalam buku yang dieditorinya, Soft Power: China’s Emerging Strategy in International Politics. Mulanya, Li menyadari bahwa seringkali penggunaan kekuatan yang ‘keras’ atau ‘halus’ tidak selalu berkaitan dengan sumber kekuatan yang disebutkan oleh Nye, artinya, sebuah negara mungkin saja menggunakan kekuatan ekonominya dengan cara yang halus, seperti memberikan bantuan kepada negara lain, dan dapat saja menggunakan budayanya secara agresif dan memaksa, misalnya revolusi budaya yang agresif. Sehingga, menurut Li, penggunaan konsep hard power dan soft power perlu dipertanyakan kembali, karena bisa saja sumber-sumber hard power digunakan secara halus yang membuat negara tersebut diterima dengan baik oleh negara lain, dan
11
Mingjiang Li, ‘Soft Power: Nurture Not Nature,’ dalam Mingjiang Li (ed.), Soft Power: China’s Emerging Strategy in International Politics, Lexington Books, Plymouth, 2009, pp. 7-10.
4
mungkin saja sumber-sumber soft power digunakan dengan cara agresif yang justru menimbulkan rasa curiga, takut, dan tidak aman terhadap negara tersebut. Oleh sebab itu, sebutan hard power ataupun soft power, menurut Li, tidak seharusnya dikaitkan dengan apa sumbernya, tetapi dengan bagaimana sebuah negara menggunakan kekuatannya untuk mencapai apa yang ia inginkan. Sehingga, Li kemudian mengabaikan klasifikasi power berdasarkan sumber dan fokus kepada penggunaan
kekuatan
saja.
Hard
power
berarti
sebuah
negara
mencapai
kepentingannya dengan cara yang memaksa menggunakan apapun yang ia miliki, dan soft power dengan cara yang halus. Sehingga, ketika sebuah negara menggunakan ekonominya untuk membantu negara lain, maka hal itu disebut soft power. Pun ketika sebuah negara menggunakan budayanya untuk menekan orang lain, maka hal itu disebut hard power. Pendekatan ini digunakan sebagai dasar pemahaman mengenai digunakannya kekuatan ekonomi, yang oleh Nye digolongkan sebagai hard power yang sifatnya memaksa, oleh Cina secara ‘halus’ untuk memenuhi kepentingan, menyebarkan pengaruh, dan menciptakan citra positif terhadapnya. Ini dapat dilihat dari bantuan pembangunan yang diberikan oleh Cina kepada negara-negara berkembang, khususnya Afrika. Tidak seperti bantuan-bantuan dari Barat yang seringkali menetapkan syarat yang berat dan keharusan mengadaptasi beberapa nilai tertentu, Cina memberikan bantuan pembangunan dengan tujuan pembangunan bersama, keuntungan bersama, dan kerja sama yang saling menguntungkan. Negara penerima dapat membangun dan Cina mendapat keuntungan dari perdagangan yang dilakukan kedua pihak, termasuk memenuhi kebutuhan energi dan mengekspor banyak produk ke pasar Afrika. Soft use of power ini akan digunakan oleh penulis untuk menjelaskan pembentukan New Strategic Partnership FOCAC di tahun 2006, di mana Cina lagi-lagi menggunakan kekuatan ekonominya secara ‘halus’ demi kepentingan mempromosikan prinsip “peaceful development.” Hal ini dilakukan oleh Cina dengan lebih meningkatkan bantuan pembangunannya di Afrika, yang kemudian dikemas dalam prinsip kesetaraan politik, pembangunan, keuntungan bersama, dan sebuah dunia yang harmonis. Dengan menggunakan pendekatan ini, maka kita akan dapat mengatakan bahwa tindakan Cina di Afrika merupakan salah satu bentuk wujud soft power yang dimiliki oleh Cina.
5
b. Diplomasi publik Diplomasi publik dalam konteks penelitian ini adalah usaha sebuah negara untuk merangkul dan berkomunikasi dengan publik asing (foreign publics). Tujuan dari diplomasi publik adalah untuk mempromosikan kebijakan dan target negara, mengkomunikasikan ide dan nilai-nilai negara tersebut, dan membangun pemahaman bersama.12 Diplomasi publik adalah pembangunan relasi, penyampaian cara pandang tertentu, memperbaiki mispersepsi, serta mencari area di mana common cause dapat ditemukan.13 Pada dasarnya, terdapat hierarki dampak terhadap publik yang dapat dicapai oleh diplomasi publik suatu negara. Diplomasi publik meningkatkan pengetahuan publik tetang sebuah negara; ia membuat publik berpikir, memperbaharui citra, dan menampik opini-opini negatif tentang negara tersebut. Ia juga meningkatkan apresiasi publik: menciptakan persepsi positif, membuat orang lain melihat isu-isu global dari perspektif yang sama. Diplomasi publik kemudian berupaya merangkul publik dengan meningkatkan kerja sama di berbagai bidang, mendorong publik untuk mengenal suatu negara lebih jauh lewat pariwisata dan pendidikan, membuat publik membeli produkproduk negara bersangkutan, serta membuat publik mengerti dan mengikuti nilai-nilai negara tersebut. Akhirnya, diplomasi publik juga bertujuan mempengaruhi dengan merangkul perusahaan-perusahaan untuk berinvestasi, membuat publik berada di pihak negara pelaku diplomasi, dan membuat negara tersebut sebagai mitra.14 “Publik” dalam konsep ini mengacu kepada publik internasional, sekalipun aktivitas yang dilakukan oleh Cina berlangsung di daerah Afrika. Hal ini dikarenakan tujuan diplomasi publik Cina yang ingin memperkenalkan ‘peaceful development’ sebagai prinsip luar negeri Cina yang diharapkan dapat menampik pandangan “ancaman Cina” yang berkembang di dunia internasional, khususnya di negara-negara Barat. Meskipun, yang akan secara langsung merasakan aktivitas diplomasi publik Cina melalui pembentukan New Strategic Partnership ini adalah publik Afrika, namun penulis mengidentifikasi adanya kepentingan Cina yang lebih besar untuk menyampaikan pesan kepada publik internasional tentang prinsip barunya yang mengutamakan perdamaian. Cina ingin menunjukkan kepada dunia, lewat Afrika, bahwa dirinya bukanlah pihak yang harus ditakuti, akan tetapi sebuah pihak yang ikut bertanggung 12
J. Wang, ‘Introduction: China’s Search of Soft Power’, dalam Wang, J. (ed.), Soft Power in China: Public Diplomacy through Communication, Palgrave Macmillan, New York, 2011, p. 3. 13 M. Leonard, C. Stead & C. Smewing, Public Diplomacy, The Foreign Policy Centre, London, 2002, p. 8. 14 Leonard, Stead & Sweming, pp. 8-9.
6
jawab dalam pertumbuhan dunia. Oleh sebab itu, respon publik yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah respon publik internasional, secara spesifik mengenai apakah citra Cina tetap dipandang negatif atau menjadi dipandang positif setelah diperkenalkannya prinsip ‘peaceful development’. Diplomasi publik mempunyai tiga dimensi aktivitas, yaitu manajemen berita, komunikasi strategis, serta pembangunan relasi. Manajemen berita merupakan manajemen isu sehari-hari untuk membantu membentuk citra suatu negara melalui media-media komunikasi lokal yang cakupan audiens yang luas (global). Manajemen berita juga dilakukan untuk ‘membenarkan’ aksi-aksi suatu negara yang disesuaikan dengan citra yang ingin ia bentuk.15 Komunikasi strategis serupa dengan kumpulan aktivitas yang menyerupai kampanye politik. Dalam melakukan komunikasi strategis, aktor harus mempunyai satu pesan yang ingin disampaikan kepada publik dan merencanakan sejumlah aktivitas yang akan dilakukan untuk menyampaikan pesan tersebut kepada target. Pesan yang ingin disampaikan dipegang oleh aktor untuk kemudian terus-menerus disampaikan kepada publik hingga publik terpengaruh oleh pesan tersebut.16 Sementara itu, pembangunan relasi dengan individu-individu penting dijalankan melalui beasiswa, pertukaran, pelatihan, seminar, konferensi, pembangunan jaringan, dan sebagainya. Tujuan dari pembangunan relasi ini adalah menciptakan pemahaman bersama untuk memahami motivasi dan faktor dari setiap aksi yang dilakukan sehingga ketika tiba saatnya untuk mendiskusikan isu yang lebih spesifik, masing-masing pihak sudah mengerti cara pandang satu sama lain.17 Berkaitan dengan publik, kita akan menemukan perbedaan direct audiens yang terdapat pada aspek komunikasi strategis – pembangunan relasi, dan manajemen berita. Pada dasarnya, diplomasi publik ini dilakukan untuk menciptakan citra internasional melalui daerah lokal yang spesifik. Maka, yang dilakukan adalah membangun sebuah produk pada daerah lokal tersebut guna kemudian dipertunjukkan kepada dunia internasional. Pembangunan produk ini, akan dilihat dari aspek komunikasi strategis dan pembangunan relasi dengan direct audiens yang adalah publik Afrika: Cina ‘merancang’ bentuk bantuan dan pola relasi dengan Afrika yang akan ia tunjukkan ke dunia bahwa Cina bukan ancaman, bahwa bentuk dan pola Cina di Afrika adalah ‘cara kerja’ Cina. Baru kemudian pada aspek manajemen berita, produk yang sudah dibuat 15
Leonard, Stead & Sweming, pp. 12-13. Leonard, Stead & Sweming, pp. 15-18. 17 Leonard, Stead & Sweming, pp. 18-20. 16
7
oleh Cina ini ditunjukkan kepada publik internasional. Pada aspek ini, direct audiens sudah merupakan publik internasional. Sehingga, urutannya adalah membangun pada publik lokal yang kemudian dipertunjukkan kepada publik internasional. Dalam aspek pesan yang ingin disampaikan sendiri, konsep ini akan digunakan untuk memahami promosi prinsip “peaceful development” sebagai bentuk dari diplomasi publik Cina. Ini penting karena tujuan diplomasi publik, yaitu membuat publik berada di pihak negara pelaku diplomasi dan membuat suatu negara sebagai mitra yang setara, sangat terkait dengan poin penting “peaceful development,” yaitu mengusahakan pembangunan bersama, keuntungan
bersama, dan kerja sama yang saling
menguntungkan. Dengan menggunakan prinsip ini sebagai dasar kerja sama, Cina secara tidak langsung mempromosikan kepada Afrika dan dunia komitmennya untuk menjalankan prinsip tersebut. Cina juga memperlihatkan bagaimana ia bekerja di dunia internasional dengan berpegangan pada prinsip tersebut. Di samping itu, menarik juga untuk memahami bagaimana diplomasi publik itu dilakukan. Dengan fokus analisis pada pembentukan New Strategic Partnership, penulis akan melihat proses manajemen berita, komunikasi strategis, dan pembangunan relasi yang dilakukan Cina untuk mempromosikan prinsip “peaceful development.”
1.4 Argumen Utama Cina melakukan diplomasi publik di Afrika untuk mempromosikan prinsip “peaceful development.” Promosi tersebut dilakukan dengan secara langsung menerapkan poin-poin penting dari prinsip tersebut ke dalam New Strategic Partnership yang dibentuk pada tahun 2006. Poin-poin penting itu antara lain mengenai kesetaraan politik, menjalankan kerja sama yang saling menguntungkan, mengedepankan pembangunan bersama, serta ingin menciptakan sebuah dunia yang harmonis. Sementara itu, diplomasi publik tersebut mendapatkan respon yang beragam dari dunia internasional. Sebagian mulai melihat Cina secara positif, akan tetapi Barat cenderung tetap pesimis terhadap Cina bahkan setelah mengenal prinsip “peaceful development”. Namun, disisi lain, Cina diterima dengan tangan terbuka oleh Afrika dan hal tersebut berhasil membantu Cina mengamankan sumber daya yang penting bagi pertumbuhan ekonominya di Afrika.
1.5 Sistematika Penulisan Skripsi ini akan terdiri atas empat bab. Setelah Bab Pertama ini, Bab Kedua akan menguraikan prinsip “peaceful development” secara singkat, khususnya tentang tujuan dan 8
poin-poin pentingnya. Di akhir bab ini, penulis akan menjelaskan mengapa pembentukan New Strategic Partnership FOCAC pada tahun 2006 adalah salah satu contoh yang tepat untuk melihat bentuk promosi prinsip politik luar negeri Cina tersebut. Bab Ketiga akan membahas praktik diplomasi publik Cina dalam mempromosikan prinsip “peaceful development” lewat pembentukan New Strategic Partnership dalam FOCAC tahun 2006. Dalam bab ini, penulis akan menunjukkan bagaimana “peaceful development” dipromosikan dan diperkenalkan kepada Afrika maupun dunia sebagai prinsip perilaku Cina di dunia internasional, juga bagaimana promosi prinsip tersebut berhasil mencapai tujuannya. Skripsi akan ditutup dengan Bab Keempat, yang berisikan kesimpulan dan inferens yang diperoleh dari temuan penelitian.
9