BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
sebagai
Tujuan
Pembangunan
Milenium
(TPM).
Tujuan
Pembangunan Milenium merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York bulan September 2000 silam. Majelis Umum PBB kemudian melegalkannya ke dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 55/2 tanggal 18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa. Terbentuknya MDGs bertujuan untuk membentuk sebuah paradigma baru pembangunan global yang disepakati menjadi landasan pembangunan di setiap negara anggota. Salah satu tujuan dari MDGs dalam memerangi HIV/AIDS dan penyakit penular lainnya yaitu tujuan ke enam. Dalam tujuan MDGs ke enam, menyatakan bahwa memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya. Penyakit pertama yang menjadi prioritas penanganan dalam tujuan MDG‟s adalah HIV/AIDS yang dianggap tidak hanya menimbulkan kerugian bagi masyarakat tetapi juga kerugian di level Negara. HIV/AIDS merupakan jenis penyakit yang memiliki kemungkinan untuk menimbulkan generalized epidemy. Hal ini karena penyebarannya yang cepat diantara dua kelompok beresiko tinggi yaitu para pengguna NAPZA dan pekerja
seks. Selain itu HIV/AIDS mungkin juga menular melalui ibu ke bayinya, atau dari suami kepada istrinya (BAPPENAS, 2012). Salah penyakit yang hingga saat ini masih menjadi perhatian dunia karena dipandang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa-bangsa adalah AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). Penyakit ini dipicu oleh melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat serangan virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penyebaran virus HIV yang relatif cepat cukup mengkhawatirkan bangsa-bangsa di dunia. Apalagi tercatat lebih dari 6.800 orang terinfeksi virus HIV dan lebih dari 5.700 orang meninggal karena AIDS setiap harinya. Wujud kekhawatiran itu ditunjukkan dengan langkah-langkah konkret yang diambil. Salah satunya oleh pemimpin negara Amerika Serikat, Barrack Obama, dalam memerangi penyebaran HIV. Beberapa upaya yang dilakukan di antaranya adalah meningkatkan pengetahuan, sarana dan prasarana kesehatan, serta
meningkatkan
dukungan
terhadap
pendanaan
global
terhadap
Khusus
Presiden
penanggulangan HIV/AIDS (Ahmed, dkk 2009). Berdasarkan
informasi
dari
Asisten
Utusan
Indonesia untuk tujuan pembangunan milenium (MDGs) menyatakan bahwa ada tiga target tujuan pembangunan millennium yang sangat sulit dicapai pada tahun 2015, yaitu menurunkan angka kematian ibu melahirkan, menurunkan penyebaran virus HIV/AIDS serta mengakses air bersih dan sanitasi dasar. Pencapaian target MDGs terkait HIV/AIDS sulit dicapai oleh Indonesia pada tahun 2015 karena dalam lima tahun terakhir jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia terus
2
bertambah. Menurut data Kementerian Kesehatan saat ini ada sedikitnya 6.300 kasus AIDS dan 20.000 kasus HIV sejak 1987. Angka-angka ini menurut para ahli merupakan puncak gunung es karena jumlah sebenarnya diyakini lebih besar dari itu terutama pada kelompok resiko tinggi pengguna narkoba suntik dan pekerja seks. (Wardah, 2016).
Masih banyak tujuan MDGs yang belum tercapai salah satunya yaitu penanganan penyakit menular khususnya HIV/AIDS. Sehingga pada tahun 2015, telah diluncurkan agenda baru yang disebut Sustainable Development Goals (SDGs) yang berisikan 17 tujuan utama untuk membangun dunia yang lebih baik tanpa ada satu pun yang tertinggal (to build a better world with no one left behind). Berbeda dengan MDGs yang pada dasarnya lebih diarahkan pada negara dengan pendapatan rendah atau menengah, SDGs bersifat lebih universal, termasuk meliputi berbagai permasalahan kesehatan di berbagai negara sebagai komitmen global bersama dalam kerangka yang lebih luas dari pembangunan yang berkelanjutan.
Berkaitan dengan penanggulangan HIV dan AIDS, SDGs memiliki tujuan yang lebih universal yaitu untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan bagi semua orang (tujuan ketiga). Hal ini berbeda dengan tujuan MDGs yang secara jelas menyebutkan dalam salah satu tujuannya yaitu poin enam melawan HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya. Dengan tujuan SDGs tersebut sudah tidak ada lagi target secara khusus pada satu penyakit tertentu, tetapi lebih mengedepankan kesehatan dan kesejahteraan secara holistik. Dimana untuk
3
mencapai itu berarti segala permasalahan kesehatan dan yang terkait telah dapat ditangani termasuk didalamnya permasalahan HIV dan AIDS (Perwira, 2016).
Salah satu poin MDGs yang penting untuk mendapatkan perhatian lebih lanjut adalah persoalan penanganan HIV/AIDS yang memiliki hubungan dengan poin kematian anak karena kenyataan yang menunjukkan besarnya angka kematian anak yang disebabkan oleh HIV/AIDS. Penanganan penyakit HIV/AIDS menjadi penting mengingat besarnya jumlah penderita yang pada tahun 2014 ada 37 juta orang hidup dengan HIV-AIDS di serluruh dunia yang meliputi 17 juta perempuan dan 3,4 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah infeksi baru HIV pada tahun 2014 sebesar 2 juta yang terdiri dari 1,8 juta dewasa dan 220.000 anak <15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,2 juta yang terdiri dari 1,5 juta dewasa dan 150.000 anak <15 tahun. Dari sekitar 37 juta jiwa penduduk dunia yang terinfeksi HIV, lebih dari 95%-nya berada di negara berkembang. Untuk wilayah Asia, negara yang memiliki jumlah infeksi baru HIV terbanyak yaitu Cina, Indonesia, dan India yang mencapai 78% untuk wilayah tersebut (UNAIDS, 2015). Salah satu penyebab tujuan MDGs sulit tercapai khususnya dalam penanggulangan penyakit HIV/AIDS adalah faktor ekonomi. Keterkaitan ekonomi dan HIV/AIDS di Indonesia diakibatkan oleh tanggungan beban hutang yang sangat besar yang merupakan salah satu kendala bagi pemerintah untuk mencapai 8 butir tujuan karena program MDGs membutuhkan biaya yang besar.
Di
samping itu penanganan yang buruk tentang HIV/AIDS disebabkan oleh beberapa
4
hal, diantaranya adalah sulitnya akses menuju tempat penanganan atau rumah sakit dan juga kurangnya pendidikan seks untuk remaja. Kurangnya kesadaran masyarakat serta sifat diskriminasi dalam lingkungan juga menjadi penyebab penanganan HIV/AIDS yang lamban. Stigma di masyarakat yang masih memandang rendah para pengidap HIV/AIDS adalah salah satu alasan enggannya para penderita untuk melakukan tes terhadap diri mereka. Para pekerja yang mengidap HIV/AIDS bisa saja didiskriminasikan dan bahkan dipecat dari tempat kerja mereka atas alasan kesehatan, sehingga justru memperburuk kondisi finansial mereka (terjadi pada level mikro). Rendahnya pendapatan masingmasing per kepala keluarga juga membuat akses untuk mendapatkan perawatan atau obat-obatan yang harganya lebih mahal dibandingkan pendapatan mereka menjadi sulit (Ghofari, dkk 2014). Di Indonesia, HIV/AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali pada tahun 1987. Hingga saat ini HIV/AIDS sudah menyebar di 386 kabupaten dan kota di seluruh provinsi di Indonesia. Berbagai upaya penanggulangan sudah dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan berbagai lembaga di dalam negeri dan luar negeri. Jumlah kasus kematian akibat AIDS di Indonesia diperkirakan mencapai 9.700 jiwa. Epidemi tersebut terutama terkonsentrasi di kalangan pengguna obat terlarang melalui jarum suntik dan pasangan intimnya, orang yang berkecimpung dalam kegiatan prostitusi dan pelanggan mereka, dan pria yang melakukan hubungan seksual dengan sesama pria (Ditjen PP & PL, 2015).
5
Menurut data statistik Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan RI (2015) menunjukkan dari Januari sampai dengan September 2014 jumlah infeksi HIV baru yang dilaporkan sebanyak 22.869 kasus, sedangkan jumlah kasus baru AIDS yang dilaporkan sebanyak 1.876 kasus. Dari jumlah tersebut, kalangan remaja adalah salah satu kelompok dengan porsi cukup besar. Persentase kumulatif kasus AIDS di kalangan remaja mencapai 1.717 orang pada umur 15-19 tahun. Pendidikan seksualitas remaja di Indonesia masih menghadapi situasi yang membingungkan. Di satu sisi, pengetahuan mereka tentang sifat seksualitas dan aktivitas seksual yang aman sangat terbatas karena pendidikan seks tidak disediakan oleh sekolah, kecuali dalam beberapa kasus dimana memberikan pendekatan pengetahuan pada remaja secara ilmiah atau teknis. Orang tua di Indonesia jarang mendidik anak-anak mereka tentang pendidikan seks (Utomo, 2003). Kebanyakan orang tua generasi sekarang tidak menerima pendidikan seks dari orang tua mereka sendiri, mereka tidak pula bebas untuk bergaul dengan lawan jenis sebelum menikah. Kurangnya pengalaman orang tua sendiri, membuat sulit bagi mereka untuk memberikan informasi kepada anak-anak mereka. Diskusi seksualitas juga sulit dalam aturan formal atau publik karena alasan yang diuraikan di atas. Akibatnya, topik seksualitas tetap marginal dalam agenda kesehatan dan pendidikan. Dibandingkan dengan masyarakat, remaja lebih rentan terhadap penyakit HIV/AIDS karena rata-rata remaja tidak mengetahui betapa serius masalah yang ditimbulkan oleh HIV/AIDS, bagaimana cara penularannya dan bagaimana agar 6
mereka tidak sampai tertular. Banyak remaja yang tidak mendapatkan kesempatan untuk memperoleh informasi yang didapat menjadi sebuah tindakan yang konkrit, dan pada umumnya mereka tidak mendapatkan pelayanan sehubungan dengan HIV/AIDS yang sangat mereka butuhkan (WHO, 2004). Menurut WHO (2004), 50% dari seluruh kasus terinfeksi adalah anak muda, atau dengan kata lain 7000 anak muda (umur 15-24 tahun) terinfeksi setiap harinya, dan 30% dari sekitar 35 juta ODHA (orang dengan HIV-AIDS) yang terinfeksi di seluruh dunia berada dalam kelompok usia 15-24 tahun. Mayoritas anak muda tidak tahu bahwa dia sebenarnya telah terinfeksi HIV, dan yang melakukan hubungan seks, hanya sedikit yang tahu pasangannya terinfeksi HIV atau tidak. Salah satu kendala dalam pengendalian penyakit HIV/AIDS adalah stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS (ODHA). Salah satu penghalang utama untuk menerapkan strategi pencegahan penularan HIV pada remaja secara luas yakni adanya stigma yang terkait dengan HIV. Dengan demikian individu akan menyangkal perilaku beresiko yang dimiliki, menolak utuk tes HIV, menunda pengobatan, tidak mengungkapkan status HIV, dan tidak mencari dukungan dari masyarakat. Lebih dari sepertiga orang dewasa di Amerika melaporkan bahwa perhatian terhadap stigma AIDS membuat mereka terhalang untuk melakukan tes HIV di kemudian hari (Rao et al., 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masih banyak ditemukan adanya stigmatisasi ODHA di kalangan remaja di seluruh dunia. Pada sebuah penelitian
7
yang meneliti tentang remaja kota pengidap HIV yang mengikuti prosedur pengobatan anti retroviral di Amerika Serikat (Rao et al., 2007) menyebutkan bahwa 50 persen pasien yang diteliti terkadang harus melewatkan kewajibannya minum obat atau berobat karena takut keluarga dan kawan-kawannya mengetahui statusnya sebagai penderita HIV/AIDS. Penelitian lain di Botswana (Letamo, 2001) menyebutkan bahwa lebih dari 68% pelajar yang diteliti tidak mau membeli sayuran dari seorang pedagang yang mengidap HIV/AIDS, dan 54% nya malah menolak diajar oleh seorang guru yang terinfeksi HIV. Penelitian lain yang dilakukan melibatkan 10 orang mahasiswa FKM UMI Makassar Sulawesi Selatan, dengan cara wawancara mendalam didapatkan bahwa masih terdapat 4 orang diantara 10 orang yang diwawancarai mengaku „takut‟ bergaul dengan ODHA dengan alasan khawatir jika bergaul dengan mereka akan tertular. Saat ditanyakan, bagaimana sikap mereka jika ada teman mereka yang menderita HIV, keempat orang tersebut memilih untuk menjauhinya. Padahal para mahasiswa tersebut umumnya sudah mendapatkan mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular yang juga membahas tentang cara penularan virus HIV, namun mereka masih saja melakukan stigmatisasi terhadap ODHA (Afrianty, 2014). Kota Baubau merupakan salah satu kota yang paling banyak penderita HIV/AIDSnya di Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara (ANTARA NEWS), kota Baubau menempati urutan ketiga terbanyak jumlah penderita HIV/AIDS-nya. Tercatat selama kurun waktu 2008 hingga 2015 ditemukan 222 kasus HIV/AIDS terdiri atas 178 orang penderita penyakit AIDS dan 44 kasus terjangkit HIV. Dari jumlah 8
tersebut, 61 penderita dinyatakan meninggal dunia, 149 orang masih menjalani perawatan intensif, 11 orang dinyatakan hilang dan lainnya pindah tempat tinggal. Dari jumlah tersebut, sekitar 60 persen tergolong kategori usia produktif yakni antara usia 20 sampai 49 tahun (Senong, 2015). Berdasarkan faktor resiko jenis pekerjaan, kasus mematikan itu lebih banyak diderita oleh kalangan wiraswasta yang tercatat sebanyak 90 orang, menyusul ibu rumah tangga 63 orang, pekerja lainnya 54 orang, PNS sembilan orang dan pelajar/mahasiswa 2 orang. Berdasarkan domisili atau tempat tinggal pasien penderita HIV/AIDS yang sedang menjalani perawatan, 101 orang tercatat tinggal di Kota Baubau, 81 orang berdomisili di Kabupaten Buton, 19 orang tinggal di Kabupaten Wakatobi. Kemudian 11 orang berdomisili di Kabupaten Muna, tujuh pasien tinggal di Kabupaten Buton Utara dan tiga orang berdomisili di Kabupaten Bombana. Kasus penyakit mematikan HIV/AIDS di Kota Baubau setiap tahunnya tercatat meningkat meski dalam kurun waktu setahun terakhir mengalami penurunan. Sejak Januari hingga september 2015, penderita AIDS ditemukan sebanyak 34 orang sedangkan penderita HIV 8 orang (Senong, 2015). Meningkatnya
jumlah
penderita
HIV/AIDS
di
Kota
Baubau,
dimungkinkan karena posisi geografis Kota Baubau sendiri merupakan daerah transit kapal-kapal PELNI dari kawasan timur dan barat indonesia. Boleh juga virus tersebut dibawa oleh warga yang merantau di kota lain seperti: Papua, Ambon, Surabaya, Jakarta bahkan luar negeri seperti Malaysia namun baru terdeteksi di Baubau kemungkinan yang lain dibawa warga lain yang singgah ke
9
Baubau dan warga Baubau sendiri pernah berhubungan seks di luar Kota Baubau (Senong, 2015). Rendahnya pengetahuan remaja indonesia tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), khususnya pengetahuan tentang HIV/AIDS, dianggap masih mengkhawatirkan (BKKBN, 2006). Data pengetahuan tentang HIV/AIDS di kalangan pelajar SMA di Baubau belum perna dipublikasikan, namun penelitian yang dilakukan oleh Creagh (2004) terhadap pelajar SMA di Yogyakarta menyebutkan bahwa meski responden mengaku paham tentang HIV/AIDS namun dalam kenyataannya masih ada yang tidak tahu bahwa penyakit AIDS belum diketahui obatnya. Padahal menurut Harek et al. (2002) ketidaktahuan tentang mekanisme penularan, over estimasi tentang resiko penularan, dan sikap negatif terhadap ODHA yang tidak semestinya berhubungan dengan berkembangnya stigma ODHA. Dengan kata lain stigma ODHA adalah semakin rendah tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS maka semakin besar kemungkinan berkembang stigma diantara mereka. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian dunia (Harek et al., 2002; Yoo et al., 2005; Diaz et al., 2006; Letamo, 2001) yang menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan terhadap ODHA berhubungan erat dengan berkembangnya stigma ODHA. 1.2. Rumusan Masalah Salah satu determinan penting yang berhubungan dengan stigma ODHA adalah pengetahuan tentang HIV/AIDS. Dari beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia, diketahui banyak remaja yang masih belum mempunyai tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS yang baik. Padahal remaja termasuk kelompok 10
usia dalam masyarakat yang rentan terhadap penularan HIV/AIDS, terbukti dengan data global yang menunjukkan bahwa kasus-kasus baru HIV/AIDS didominasi kelompok umur 15-24 tahun.(Mc Clelland et al., 2006). Baubau sebagai kota yang mempunyai kecendrungan penyebaran virus HIV/AIDS yang cukup cepat, karena akibat dari banyaknya kasus HIV/AIDS yang tersebar di seluruh kota Baubau, dimana rata-rata penderita HIV/AIDS berada pada kelompok usia produktif. Salah satu kelompok usia yang rentan terhadap HIV yaitu pada kelompok usia remaja karena rata-rata remaja tidak mengetahui betapa serius masalah oleh HIV/AIDS. Remaja dalam penelitian ini yaitu pelajar SMA. Untuk meningkatkan pengetahuan pelajar tentang HIV/AIDS perlu adanya pendidikan seksualitas sehingga pelajar tidak mendapatkan informasi yang salah tentang HIV/AIDS yang bisa memicu timbulnya stigma di kalangan pelajar. Dengan demikian perumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: apakah ada hubungan antara pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma ODHA dikalangan pelajar SMA? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk a. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma ODHA di kalangan pelajar SMA Negeri di Kota Baubau.
11
b. Untuk mengetahui perbedaan pada tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS menurut jenis kelamin dan sumber informasi di kalangan pelajar SMA Negeri di Kota Baubau c. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan keterlibatan dalam program pencegahan HIV/AIDS, dan latar belakang ekonomi keluarga. d. Untuk mengetahui perbedaan pada stigma terhadap ODHA tentang HIV/AIDS menurut jenis kelamin dan sumber informasi di kalangan pelajar SMA Negeri di Kota Baubau e. Untuk mengetahui hubungan stigma terhadap ODHA dengan keterlibatan dalam program pencegahan HIV/AIDS, dan latar belakang ekonomi keluarga. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Dengan hasil penelitian yang diperoleh, dapat menambah pengetahuan pelajar tentang HIV/AIDS sehingga dapat mencegah stigma ODHA yang berkembang dikalangan pelajar SMA dan memberikan masukan untuk intervensi penanggulangan penyebaran HIV/AIDS di kalangan pelajar. 1.4.2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Ilmu yang terdapat dalam proses penelitian dapat menambah pengalaman baru dalam diri peneliti dan bisa di aplikasikan dalam masyarakat. b. Bagi institusi pendidikan Untuk memberikan masukan kepada institusi pendidikan agar memberikan bimbingan informasi dan pengetahuan tentang HIV/AIDS yang benar kepada 12
anak didiknya sehingga dapat mencegah berkembangnya stigma ODHA, yang justru akan menghambat proses penanggulangan penyebaran penyakit HIV/AIDS c. Bagi Pemerintah peneliti ini dapat diharapkan bisa menjadi sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah (Dinas Kesehatan) Kota Baubau khususnya tentang pengetahuan HIV/AIDS pada pelajar agar tidak berkembangnya stigma ODHA dikalangan pelajar SMA. 1.5. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pengetahuan dan stigma telah banyak dilakukan diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Hermawati (2011) dengan penelitian yang berjudul “Hubungan persepsi ODHA terhadap stigma HIV/AIDS masyarakat dengan interaksi sosial pada ODHA”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Adanya hubungan antara persepsi ODHA terhadap stigma HIV/AIDS masyarakat dengan interaksi sosial pada penderita HIV/AIDS. sehingga dapat disimpulakan semakin tinggi persepsi positif ODHA terhadap stigma HIV/AIDS yang diberikan masyarakat maka semakin positif pula interaksi sosialnya, sebaliknya semakin rendah persepsi positif ODHA terhadap stigma HIV/AIDS yang diberikan masyarakat maka semakin rendah pula interkasi sosialnya. Hasil yang hampir sama yang menjelaskan tentang pentingnya pengetahuan terhadap sikap seseorang ditunjukkan dalam penelitian yang
13
dilakukan oleh Fauziah (2011) dengan penelitian yang berjudul “hubungan sumber informasi dan pengetahuan terhadap sikap wanita dalam merawat Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) (analisis data SDKI 2007)”. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin meningkat pula pengetahuannya dan selanjutnya dapat bersikap positif terhadap ODHA. Masih dengan judul yang berhubungan dengan pengetahuan dan sikap tetapi memiliki hasil yang berbeda dari peneliti sebelumnya yaitu penelitian dari Satiti (2013) yang meneliti tentang “pengetahuan dan sikap tentang HIV/AIDS dan perilaku seks pranikah remaja provinsi DIY” hasil yang didapatkan dalam penelitian ini bahwa daerah tempat tinggal dapat mempengaruhi seseorang dalam mengakses informasi, tingkat pengetahuan dan sikap terhadap fenomena HIV/AIDS serta ODHA. Hal ini mengidentifikasikan alur distribusi dan arus informasi yang tidak merata antar daerah (perkotaan dan pedesaan) yang berpotensi menghambat program pencegahan dan penanganan HIV/AIDS. Di samping penelitian tentang pengetahuan dan sikap. Peneliti lain juga menghubungkan antara tingkat pengetahuan denga stigma pada remaja yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sosodoro (2008) yang meneliti tentang “hubungan pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di kalangan pelajar SMA”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelajar dengan tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS rendah lebih berisiko untuk mengalami stigma pada ODHA dibandingkan pelajar dengan tingkat pengetahuan tinggi.
14
Penelitian yang sama juga oleh Dias et al. (2006) tentang stigma dan pengetahuan yaitu dengan penelitian yang berjudul AIDS-related stigma and attitudes towards AIDS-infected people among Adolescents. Hasil menunjukkan bahwa banyak remaja yang mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi tentang penularan HIV akan tetapi banyak juga yang masih mempunyai pengertian yang salah tentang penularan HIV. Hasil kelompok diskusi menunjukkan bahwa remaja percaya ODHA masih mengalami diskriminasi dan penolakan sosial. Penelitian
ini
ingin
melanjutkan
peneliti-peneliti
lainnya
yang
berhubungan dengan stigma pada remaja. Penelitian ini berjudul “hubungan tingkat pengetahuan terhadap stigma ODHA di kalangan pelajar SMA Negeri di kota Baubau Prov. SULTRA”. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua remaja yang berpengetahuan tinggi tidak menstigma ODHA. Karena dari hasil yang didapatkan banyak remaja yang berpengetahuan tinggi masih menstigma ODHA. Penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian yang sebelumnya yaitu sekolah yang diambil sebagai sampel hanya sekolah Negri, penelitian ini hanya bersifat kuatitatif, analisis yang digunakan yaitu uji chi-square untuk melihat perbedaan pada 2 variabel, dan uji korelasi untuk melihat hubungan antara 2 variabel. Disamping itu hasil yang diperoleh berbedah dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian Sosodoro (2008) dimana penelitian sebelumnya mengatakan bahwa pelajar yang pengetahuan rendah lebih banyak menstigma ODHA. Sedangkan penelitian ini menunjukkan hasil bahwa banyak pelajar yang berpengetahuan tinggi masih menstigma ODHA.
15
Tabel 1.1. Beberapa hasil penelitian sebelumnya tentang Hubungan Pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan Stigma ODHA pada Remaja No Nama Peneliti 1 2 1 Pian Hermawati (2011)
2
Nopi Fauziah (2011)
Judul 3 Hubungan persepsi ODHA terhadap stigma HIV/AIDS masyarakat dengan interaksi sosial pada ODHA
Metode 4 Jenis penelitian ini adalah dengan menggunakan metode korelasional untuk menentukan besarnya arah hubungan.
Tujuan 5 Untuk melihat hubungan antara dua variabel, yaitu antara persepsi ODHA terhadap stigma HIV/AIDS masyarakat dengan interaksi sosial pada ODHA
Hubungan sumber informasi dan pengetahuan terhadap sikap wanita dalam merawat ODHA (analisis data SDKI 2007)
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan tabulasi silang (cross tabulation).
Untuk melihat hubungan antara sumber informasi yang paling banyak digunakan menurut karakteristik serta apakah sumber informasi mempunyai hubungan terhadap infomasi terhadap sikap. Dan untuk
Hasil dan Kesimpulan 6 Ada hubungan antara persepsi ODHA terhadap stigma HIV/AIDS masyarakat dengan interaksi sosial pada penderita HIV/AIDS. Jadi semakin tinggi persepsi positif ODHA terhadap stigma HIV/AIDS yang diberikan masyarakat maka semakin positif pula interaksi sosialnya, sebaliknya semakin rendah persepsi positif ODHA terhadap stigma HIV/AIDS yang diberikan masyarakat maka semakin rendah pula interaksi sosialnya Hasil menunjukkan kecendrungan antara kelompok umur 15-29 tahun dengan sumber informasi media elektronik, kelompok umur 40-49 tahun mengakses sumber informasi media lainnya. Faktor pendidikan dan daerah tempat tinggal menentukan aspek pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS dan sikap terhadap ODHA. Semakin tinggi Tingkat pendidikan, maka semakin meningkat pula pengetahuannya dan selanjutnya dapat bersikap positif terhadap ODHA. Hasil
16
Lanjutan Tabel 1.1 1 2
3
Ossie sosodoro wisotowardono (2008)
4
Sonyaruri Satiti (2013)
3
Hubungan pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di kalangan pelajar SMA di kota Surakarta Pengetahuan dan sikap tentang HIV/AIDS dan Perilaku seks pranikah remaja provinsi DIY (analisis data SKRRI 2007) dan survei indikator
4
5 mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap
6 uji chi-square menunjukkan wilayah kota bersikap mau menerima ODHA. Media cetak merupakan sumber informasi yang paling banyak digunakan. Sedangkan untuk sikap kebayakan yaang berpengetahuan tinggi mau menerima ODHA. Penelitian ini Tujuan penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa menggunakan ini adalah untuk pelajar dengan tingkat pengetahuan penelitian analitik memperkirakan tentang HIV/AIDS rendah lebih berisiko dengan rancangan hubungan antara untuk mengalami stigma pada ODHA cross sectional, tingkat pengetahuan dibandingkan pelajar dengan tingkat yang dilengkapi tentang HIV/AIDS pengetahuan tinggi. perbedaan dengan dengan pendekatan dan stigma ODHA penelitian ini pada variabel penelitian metode kualitatif. para pelajar SMA di yaitu pengetahuan dan stigma pada kota Surakarta ODHA, populasi penelitian yaitu pelajar dan lokasi penelitian di Surakarta. Penelitian ini Mengetahui Hasil ini menunjukkan bahwa daerah menggunakan pengetahuan tempat tinggal berpengaruh terhadap akses survei SKRRI HIV/AIDS dan sikap informasi, tingkat pengetahuan, dan sikap tahun 2007 dan terhadap ODHA terhadap fenomena HIV/AIDS serta survei indikator menurut ODHA. Karakteristik berdasarkan jenis kinerja RPJMN karakteristik latar kelamin, umur dan pendidikan sebagai tahun 2011. belakang dan prilaku faktor internal yang mempengaruhi Terdapat 792 seks pranikah. tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS remaja di provinsi Sumber informasi dan sikap terhadap ODHA. Televisi
17
Lanjutan Tabel 1.1 1 2
5
Dias et al (2006)
3 kinerja RPJMN program kependudukan dan KB nasional Indonesia tahun 2011)
4 DIY analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dan multivariat
AIDS-related stigma and attitudes towards AIDS-infected people among Adolescents
Penelitian ini menggunakan sampel 6137 remaja Portugis, dengan membuat 14 kelompok diskusi terfokus (focus Groups discussions).
5 yang banyak diakses oleh remaja. tujuan selanjutnya ingin melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prilaku seks pranikah pada remaja meneliti tentang pengetahuan tentang penularan HIV diantara remaja dan juga menggambarkan proses sosial dan psikologis yang berkontribusi pada stigmatisasi AIDS.
6 merupakan media yang paling banyak diakses oleh remaja. hasil analisis regresi logistik biner menunjukkan daerah tempat tinggal, jenis kelamin, pengalaman pacaran dan teman sebaya berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku seks pranikah remaja (p-value <0,05). Hasil menunjukkan bahwa banyak remaja yang mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi tentang penularan HIV akan tetapi banyak juga yang masih mempunyai pengertian yang salah tentang penularan HIV. Hasil kelompok diskusi menunjukkan bahwa remaja percaya ODHA masih mengalami diskriminasi dan penolakan sosial. Kebanyakan remaja mempunyai pendapat yang positif terhadap ODHA, namun beberapa remaja mempunyai sikap yang bertentangan dan ketakutan tanpa alasan yang jelas.
18