1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang UNESCO, sebuah Komisi Bidang Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 29 Juni 2012 menetapkan subak sebagai warisan budaya dunia (world cultural heritage) yang harus dilindungi. PBB menilai bahwa subak yang lahir dari budaya masyarakat Bali yang berlandaskan konsep Tri Hita Karana (THK) memiliki nilai-nilai universal yang luar biasa (outstanding universal values), dan salah satunya adalah nilai-nilai perekat sosial yang kuat (ANTARA, 2012). Para pakar baik dalam maupun luar negeri juga mengakui bahwa subak memiliki banyak nilai-nilai positif dalam pembangunan. Pertama, Subak merupakan organisasi petani yang mampu mengelola air irigasi paling efektif dan canggih di dunia (Ostrom,1992 ; Ambler,1992). Kedua, subak yang bercorak sosio-religius dan berlandaskan Tri Hita Karana (THK) mengandung nilai-nilai universal yang
sangat berperan dalam mewujudkan pembangunan pertanian
berkelanjutan dan prinsip good governance (Ahimsa Putra, 1999 ; Kasryno, dkk., 2003 ; Ginting, 2003 ; Baharsyah, 2005 ; Norken, dkk., 2007). Ketiga, subak memiliki peran jamak sebagai aset pelestari budaya setempat, aktor pemberdaya kehidupan sosial dan ekonomi, aktor organisasi pelestari lingkungan khususnya lahan dan air, dan aktor organisasi penyalur aspirasi politik (Susanto,1999). Windia (2008) menyebut subak sebagai sistem irigasi-plus, karena kemampuannya menerapkan fungsi sistem irigasi secara umum dengan tambahan fungsi lain, seperti fungsi melalukan aktivitas ritual. Coward (1980) menyebutkan
1
2
bahwa fungsi sistem irigasi secara umum adalah : (1) mengatur alokasi dan distribusi air irigasi, (2) melakukan pengerahkan sumberdaya
petani, (3)
melalukan pemeliharaan saluran irigasi, dan (4) mencari solusi jika terjadi konflik. Keunggulan subak sebagaimana diutarakan di atas pada dasarnya bersumber dari THK yang dijadikan pedoman hidup dalam subak. Ajaran THK dalam subak menekankan pentingnya kehidupan yang harmoni dan kebersamaan untuk mewujudkan kesejahteraan anggotanya. Ajaran THK terdiri dari tiga komponen, yaitu : (1) parhyangan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, (2) pawongan, yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dan (3) palemahan, yang mengatur hubungan manusia dengan alam. Dengan demikian keberlangsungan sistem subak ditentukan oleh seberapa jauh ajaran THK dapat diterapkan dan dipertahankan sesuai dengan perubahan jaman. Dibalik keunggulan yang dimiliki, subak juga tidak luput dari ancaman perkembangan eksternal yang kecenderungannya terus meningkat. Fenomena perkembangan eksternal yang dapat mengancam eksistensi subak diantaranya adalah globalisasi, program Revolusi Hijau, perkembangan sektor pariwisata, dan kekotaan. Perkembangan eksternal ini akan memicu terjadinya urbanisasi, peningkatan infrastruktur fisik, aksesibilitas lokasional, dan permukiman. Globalisasi termasuk kebijakan global yang dinilai lebih banyak memarjinalisasikan pertanian yang dikelola oleh komunitas lokal seperti subak, dan petani kecil serta masyarakat miskin di perdesaan (Tum, 1997 ; Shiva, 2003; Sutawan, 2005 ; Sheperd,1988). Kemudian Revolusi Hijau yang dintroduksi awal tahun 1970-an, merupakan salah satu bentuk kebijakan pembangunan pertanian yang bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi
3
(Fauzi, 1999, Baswir, et. al., 1999 ; Tjondronegoro, 2008). Secara ekonomi Revolusi Hijau memang terbukti meningkatkan produksi padi per-satuan luas, tetapi dampak negatif yang ditimbulkan sangat besar, yakni menurunnya nilainilai sosial budaya dalam subak dan meningkatnya pencemaran lahan dan air (Sutawan, 2005 ; Suhardjo, 2008 ; Lansing, 2012). Kebijakan pembangunan Bali yang cenderung bias pariwisata membuat makin terpuruknya sektor pertanian. Keterpurukan sektor pertanian terlihat dari kontribusinya terhadap PDRB yang sangat rendah dan terus menurun. Kabupaten Badung termasuk kabupaten yang PDRB-nya paling tinggi di Bali, tetapi PDRB dari sektor pertaniannya sangat kecil dan terus menurun. BPS Provinsi Bali (2012) mencatat pada tahun 2008, sumbangan sektor pertanian di kabupaten ini sebesar 8,41 %, kemudian menurun menjadi .6,29 % % pada tahun 2012. Sementara di tahun yang sama sektor pariwisata menyumbang masing-masing 37,92 % dan 34,26 %. Angka perbandingan PDRB dari kedua sektor tersebut secara jelas terlihat bahwa sektor pertanian menempati posisi yang lemah. Seiring dengan pesatnya laju pembangunan ekonomi Bali terutama perkembangan pariwisata, masalah yang dihadapi oleh subak makin kompleks, seperti maraknya alih fungsi lahan, meningkatnya
kelangkaan air irigasi,
rendahnya apresiasi generasi muda untuk bekerja di bidang pertanian, dan terjadinya perpindahan tenaga kerja dari pertanian ke sektor nonpertanian (pariwisata). Masalah-masalah tersebut membuat subak makin termarjinalkan. Sutawan (2005) dan Windia (2008) menyatakan bahwa hampir semua subak yang ada di Bali sedang mengalami proses marjinalisasi yang bermuara pada ketidakberlanjutan. Budiasa (2011) mencatat adanya penurunan jumlah subak di
4
Kota Denpasar, dari 45 subak menjadi 41 subak dalam periode tahun 1993-2003, sementara Sriartha (2011) melaporkan bahwa beberapa subak yang berlokasi di pinggiran Kota Denpasar dan pusat wisata Kuta telah mengalami kepunahan, sementara subak-subak di perdesaan menghadapi tekanan eksternal yang berat. Peneliti asing yang bernama Lansing (Sinar Harapan, 2013) yang mempelajari subak sejak tahun 1974 juga melihat bahwa subak berada diambang kehancuran. Padahal selama lebih dari 1000 tahun subak berhasil menjaga keberlangsungan jasa lingkungan pertanian, namun kini terancam akibat kepopulerannya. BPS Provinsi Bali (2007) mencatat bahwa selama periode 1997-2007, konversi lahan sawah di Bali seluas 5.601 ha, yang berarti laju alih fungsi lahan sawah mencapai 560,1 ha per tahun. Hasil studi JICA (2006, dalam Rai dan Menaka Adnyana, 2011) bahkan menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 1.000 ha/tahun. Sementara hasil studi dari Lorenzen (2010) mencatat tenaga kerja di sektor pertanian menurun tajam dari 61 % di tahun 1976 menjadi 36 % di tahun 2008, sementara di tahun yang sama tenaga kerja di sektor industri (termasuk pariwisata) meningkat dari 12 % menjadi 24 %. Kepunahan subak akan menimbulkan dampak negatif
bagi kehidupan
masyarakat dan lingkungan Bali, sepeti terjadinya instabilitas pangan terutama kebutuhan beras. Hal ini disebabkan karena subak mengelola lahan sawah dan air irigasi berdasarkan kearifan teknologi dan kearifan sosial-religius yang terbukti mampu meningkatkan produktivitas padi dan menjaga kelestarian lahan sawah. Ini berarti jika subak sampai punah maka Bali akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok beras bagi penduduknya yang jumlahnya terus bertambah. Menurut Susanto (2008) lahan sawah irigasi yang dikelola subak
5
mempunyai peran utama dalam menjaga stabilitas suplai pangan khususnya beras, di samping dapat meningkatkan fungsi ekologis, menciptakan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat perdesaan, serta wahana pembentuk peradaban masyarakat berbasis agraris. Peranan subak dalam menjaga stabilitas pangan juga dibuktikan oleh Poffenberger and Mary S. Zurbuchen (1980) bahwa pengelolaan pertanian yang dilakukan oleh subak mampu meningkatkan produktivitas padi dua kali lipat dibandingkan dengan produktivitas padi di pulau Jawa. Tanpa ada organisasi subak, produktivitas padi di Bali tidak mungkin lebih tinggi dari produktivitas padi di Pulau Jawa. Ketiadaan subak juga berdampak pada rapuhnya kehidupan sosial budaya dan lingkungan masyarakat Bali. Subak menjadi unik karena memiliki beragam ritual dalam pertanian. Aktivitas ritual ini menjadi penyangga budaya Bali, pemersatu kehidupan sosial, dan pengendali ekosistem. Sutawan (2005, 2008), menyatakan bahwa subak adalah pilar penyangga kebudayaan dan lingkungan Bali yang hanya memiliki potensi pertanian dan pariwisata. Jika subak hancur, maka pariwisata, lingkungan dan masyarakat Bali juga akan mengalami kehancuran. Di samping karena tekanan eksternal yang terlampau besar, subak juga mengalami kendala internal. Di tingkat petani, kendala yang dihadapi antara lain sempitnya penguasaan lahan, rendahnya pendidikan dan keterampilan, terbatasnya akses modal, pendapatan rendah, dan lemahnya posisi tawar
terhadap pasar.
Kendala-kendala ini juga akan dapat melemahkan eksistensi subak. Bertolak dari kompleksitas masalah dan ancaman yang dihadapi subak dan menyadari perannya yang begitu strategis dalam pembangunan, maka sangat
6
penting dilakukan suatu kajian yang dapat melahirkan rumusan dan solusi untuk mempertahankan keberlanjutan subak. Para pakar telah menekankan betapa pentingnya mengupayakan agar subak tetap berlanjut. Sutawan (2000) mengusulkan agar ada peraturan daerah tentang tata ruang subak yang secara tegas mengatur subak-subak yang harus dilestarikan (alih fungsi lahan sawah dilarang secara tegas/lahan sawah abadi), dan subak yang boleh dialihfungsikan lahan sawahnya. Alit Artha, et. al. (2005) juga menekankan pentingnya perencanaan spasial yang jelas tetang ruang geografis usahatani padi di wilayah Bali Selatan dan disertai dengan pemberlakuan peraturan yang tegas. Namun usulan model spasial tata ruang keberlanjutan subak dari kedua peneliti tersebut belum dikaji secara empirik. Penelitian ini terfokus pada kajian spasial keberlanjutan subak di Bali Selatan bagian tengah, yaitu di Kabupaten Badung. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan geografi, khususnya geografi manusia. Geografi manusia (human geography) merupakan bagian dari geografi yang mengkaji fenomena kemanusiaan (budaya, sosial, ekonomi, politik, demografi, dan wilayah) sebagai hasil interelasi antara aktivitas manusia dengan lingkungan pada suatu area di permukaan bumi (Johnston, et.al., 1981; Castree et.al., 2005). Dalam mempelajari fenomena tersebut, geografi memiliki tiga pendekatan utama, yaitu pendekatan keruangan, pendekatan ekologi, dan pendekatan kompleks wilayah (Gooddall, 1987 ; Yunus, 2010). Pendekatan keruangan yang diterapkan menekankan pada analisis pola dan proses keruangan. Analisis pola keruangan menekankan pada kekhasan distribusi gejala geosfera di permukaan bumi, yang dalam penelitian ini adalah
7
pola spasial keberlanjutan subak yang ditinjau dari ketahanan THK, faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi, keterkaitannya dengan karakteristik sosial ekonomi petani, dan penyusunan model zonasi spasial tipe keberlanjutan subak. Sementara analisisis proses keruangan menekankan pada perubahan gejala geosfera dari dimensi waktu yang berbeda, yang dalam penelitian ini adalah proses terjadinya perubahan tingkat keberlanjutan subak.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian Saat ini eksistensi subak di Bali, khususnya yang ada di Kabupaten Badung mengalami masalah yang makin berat dan makin kompleks, baik di internal maupun di lingkungan eksternalnya. Masalah internal subak merentang dari wujud yang paling kongrit, yakni tingginya laju alih fungsi lahan sawah ke nonpertanian, menurunnya kehidupan kolektif/kebersamaan, sampai wujud yang abstrak seperti bergesernya tata nilai/pola pikir ke arah mementingkan hal-hal yang bersifat ekonomi-material semata. Di lingkungan eksternal subak terjadi transformasi wilayah dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang lajunya makin meningkat. Pada tahun 2009 secara resmi dilakukan pemindahan ibukota Kabupaten Badung dari Denpasar ke Kecamatan Mengwi dengan nama ibukota yang baru, yaitu Kota Mangupura. Berikutnya muncul Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita). Dalam Perpres tersebut terdapat empat
kecamatan di
Kabupaten Badung yang ditetapkan sebagai kawasan metropolitan sekaligus sebagai kawasan strategis nasional. Keempat kecamatan tersebut meliputi Kecamatan Kuta, Kuta Utara, Mengwi, dan Abiansemal. Kecamatan Kuta
8
berperan sebagai kota inti dan pusat perkembangan pariwisata internasional. Perkembangan eksternal ini tentu berdampak pada keberadaan subak yang ada di kawasan tersebut. Kompleksitas masalah yang muncul di internal dan eksternal subak dapat mengganggu ketahanan THK yang merupakan pedoman hidup dan penentu keberlangsungan sistem subak. Ketahanan THK dalam subak mencakup multiaspek yang saling terkait secara timbal balik. Dalam penelitian ini, ketahanan THK dijabarkan menjadi 5 aspek yaitu : ketahanan budaya (perwujudan dari komponen parhyangan), ketahanan sosial, ketahahan ekonomi (perwujudan komponen pawongan), ketahanan teknis dan ketahanan fisik-alami (perwujudan komponen palemahan). Kelima aspek ketahanan THK tersebut menjadi penentu keberlanjutan subak. Sebaran spasial keberlanjutan subak akan menunjukkan kenampakan tertentu sebagai hasil interaksi dinamis aspek-aspek sistem subak dengan aspekaspek lingkungan eksternal yang berkembang di lingkungan subak tersebut. Oleh karena itu kajian spasial tentang masalah keberlanjutan subak penting dilakukan, karena hasilnya dapat dipakai sebagai arahan keruangan dalam merencanakan, mengatur, dan mengendalikan penyediaan ruang, baik untuk mendukung keberlanjutan pertanian (subak) maupun untuk sektor nonpertanian sehingga pembangunan antarsektor dapat berjalan secara sinergis. Bertolak dari masalah penelitian di atas, dan untuk mengarahkan kegiatan penelitian di lapangan, maka dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan, sebagai berikut. 1. Bagaimanakah pola spasial
tingkat keberlanjutan subak di daerah
penelitian?, dan faktor-faktor eksternal apa yang mempengaruhi?.
9
2. Bagaimanakah proses terjadinya perubahan tingkat keberlanjutan subak?, faktor apa pemicunya, pihak-pihak mana yang
berperan,
bagaimana gejala dan wujud perubahannya?. 3. Bagaimanakah perbedaan karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat keberlanjutan subak?. 4. Bagaimanakah menyusun model zonasi spasial tipe keberlanjutan subak?.
1.3. Kebaruan (Novelty) Penelitian Penelusuran penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kajian tentang kearifan lokal dalam pertanian, khususnya tentang subak sudah banyak dilakukan. Pada awalnya tema penelitian terpusat pada internal kehidupan subak yang bercorak sosial-religius, kemudian berkembang kajian yang mengaitkan dinamika lingkungan eksternal dengan internal subak. Kajian aspek sosio-religius kehidupan internal subak mulai dilakukan oleh Grader tahun 1933 (Swellengrebel, 1984) yang menyatakan bahwa subak memiliki peraturan tertulis (awg-awig) dan peraturan tidak tertulis (sima) yang bersumber dari hati sanubari anggota, yang membuat kegiatan ritual dan pembagian air dapat berjalan secara adil, efisien, dan efektif dalam suasana kebersamaan. Dominasi kajian aspek sosio-religius internal subak berlangsung hingga tahun 1970-an. Hal ini terlihat dari karya Covarrubias tahun 1974 (Purwita, 1993) yang menyatakan bahwa subak merupakan badan kerja sama di bidang pengairan yang dibentuk oleh para petani kecil atas dasar kepentingan sosial dan religius. Selanjutnya Geertz (1979) meneliti kaitan hirarki pura subak dengan hirarki organisasi subak di Kabupaten Tabanan dan Gianyar. Disimpulkan
10
bahwa jaringan kerja sistem pura dan organisasi subak bersifat hirarkhis. Subak merupakan masyarakat irigasi, komunitas religius, masyarakat hukum adat yang otonom, dan unit perencanaan pertanian. Dalam pandangan Geertz tersebut terlihat bahwa subak merupakan institusi irigasi yang bercorak sosio-agrarisreligius. Mulai tahun 1980-an hingga tahun 1990-an berkembang penelitian yang mengkaji kaitan dinamika eksternal dengan keberadaan subak. Sutawan, dkk. (1984) melakukan studi perbandingan karakteristik subak dalam sistem irigasi yang dikelola bersama pemerintah (Pekerjaan Umum/PU) dengan subak dalam sistem
irigasi
swadaya.
Kesimpulan
penelitiannya
bahwa
kemandirian,
tanggungjawab, dan partisipasi anggota dalam pengelolaan jaringan irigasi pada subak swadaya (non-PU) lebih baik dibandingkan dengan pada subak yang dikelola bersama PU. Hal ini menunjukkan bahwa intervesi pemerintah yang bersifat top-down dapat melemahkan eksistensi subak. Peranan subak dalam mensukseskan program pembangunan pertanian yang dicanangkan oleh pemerintah diungkapkan oleh Suyatna (1987). Dinyatakan bahwa subak memiliki daya adaptasi dan keterbukaan yang tinggi dan berperan efektif sebagai penyalur serta wahana kegiatan pembangunan pertanian. Kemudian Sutawan, dkk. (1989) melakukan penelitian kaji tindak pembentukan wadah koordinasi antar-subak yang disebut subak gede dan subak agung, sebagai upaya untuk memecahkan masalah yang muncul akibat dari adanya pemanfaatan air oleh PDAM maupun akibat proyek irigasi dari pemerintah yang menggabungkan beberapa bendungan (beberapa subak) dan mengubah sistem bangunan irigasi yang dibangun oleh subak (sistem numbak) menjadi sistem
11
ngerirun (sistem box). Sementara Pitana (1993) mengungkapkan ciri-ciri penampilan subak yang baru dibentuk di Bali, yaitu : adanya keadilan distribusi air, keadilan dalam hak dan tanggungjawab anggota, fungsi sosial air irigasi, hubungan institusi petani dengan masyarakat sekitar, produktivitas lahan beriirigasi, produktivitas sosial irigasi, dan rasio lahan yang terairi. Fokus penelitian dalam periode 1980 – 1990-an menekankan pada dinamika subsistem teknis (teknologi) internal dan eksternal subak seiring dengan kebijakan pemerintah dalam mengembangkan proyek jaringan irigasi dan modernisasi teknologi pertanian di Bali. Penelitian dalam periode ini belum menganalisis aspek-aspek sistem subak secara utuh dengan konep THK, tidak mengkaji aspek spasial dan belum mengaitkan dengan dinamika eksternal pada skala yang lebih luas. Dalam periode berikutnya (periode tahun 1999 – 2011) mulai muncul kajian sistem subak yang dengan analisis konsep THK dari multidimensi dan analisis dinamika eksternal dari multiskala, multisektor, dan multistakeholders. Arif (1999) menganalisis keberlanjutan sistem irigasi pada sampel terbatas di Jawa dan Bali dengan menggunakan hampiran irigasi sebagai sistem sosiokultural masyarakat. Arif mengukur keberlanjutan sistem irigasi dari lima gatra (gatra fisik, gatra sosial-ekonomi budaya, gatra finansial, gatra lingkungan, dan gatra kebijakan) dengan menggunakan indikator keandalan, resiliensi, dan tingkat resiko/ancaman. Susanto (1999) melakukan studi kasus mendalam di tiga subak sebagai sistem budaya, sosial, dan teknologi, menghasilkan rumusan paradigma piramida (budaya, struktur sosial ekonomi, manajemen sumberdaya air terintegrasi, dan partisipasi stakeholders dan petani) dalam pengelolaan irigasi dan
12
sumberdaya air terintegrasi berbasis budaya untuk mendukung pembangunan pertanian dan perdesaan berkelanjutan. Windia (2002) meneliti transformasi sistem irigasi subak yang berlandaskan konsep THK, dan menyimpulkan bahwa subak merupakan sistem teknologi yang sepadan, memiliki kemampuan dan peluang untuk ditransformasi ke daerah lain sejauh nilai-nilai kesepadanan teknologi yang dimiliki dapat terpenuhi. Tingkat transformasi suatu subak menunjukkan tingkat kemampuannya dalam memecahkan masalah-masalah yang muncul akibat perkembangan teknologi,
dan
tingkat
kemampuannya
dalam
mengadaptasi
dinamika
perkembangan sektor pertanian yang semakin kompleks. Sutawan (2005) menganalisis sumber ancaman keberlanjutan subak pada skala yang lebih luas, yaitu dari globalisasi terutama liberalisasi perdagangan dan investasi di bidang pertanian, perkembangan bioteknologi, Revolusi Hijau, dan pengaruh perkembangan pariwisata Bali. Budiasa (2005) menekankan pentingnya pengembangan kelembagaan dan peningkatan kapasitas agar subak dapat berlanjut. Alit Artha W., et.al. (2005) meneliti dampak berkembangnya pariwisata dan urbanisasi terhadap keberlangsungan pertanian lahan basah pada sebuah subak di Bali Selatan bagian tengah. Penelitiannya mengusulkan adanya integrasi aspek sosial kultural subak dalam perencanaan tata guna lahan pertanian lahan basah untuk menghindari terjadinya konflik dalam subak. Sementara Lorenzen and Stephan Lorenzen (2010) mencatat bahwa tingginya kesempatan kerja dan tingkat upah di sektor pariwisata, mendorong para petani di subak-subak yang dekat dengan pusat pariwisata di sepanjang pantai selatan Bali pindah pekerjaan ke nonpertanian sebagai pekerjaan pokok, sedangkan bertani dijadikan sebagai
13
pekerjaan sampingan. Ditambah lagi dengan tidak adanya generasi muda yang berminat menekuni kegiatan pertanian membuat masa depan pertanian dan subak di kawasan ini makin suram. Kajian tentang pengembangan sistem ekonomi subak dilakukan oleh Suamba (2005) yang menganalisis potensi, peluang, dan tantangan pembentukan Koperasi Tani pada subak. MacRae and I.W.A. Alit Artha (2011) melakukan penelitian kaji tindak kolaboratif dengan mengembangkan pertanian organik pada subak sebagai upaya meningkatkan peran subak sebagai agen pembangunan pertanian berkelanjutan. Sementara Sumiyati (2011) merumuskan model kompatibilitas transformasi sistem subak dengan agroekowisata. Bertolak dari penelitian-penelitian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa belum ada penelitian yang mengkaji keberlanjutan sistem subak secara holistik dari dinamika internal dan eksternal subak. Penelitian-penelitian terdahulu juga belum
mengkaji tentang (1) pola spasial keberlanjutan subak di suatu
wilayah geografis yang berbeda, (2) faktor-faktor eksternal yang berpengaruh, (3) proses terjadinya perubahan tingkat keberlanjutan subak, dan (4) pengembangan model zonasi spasial tipe berkelanjutan subak. Terkait dengan itu, maka penelitian ini mengkaji pola spasial keberlanjutan sistem subak yang berlandaskan THK dari aspek sosio-ekonomi religius dan teknis-ekologis. Road map atau peta jalan perkembangan penelitian yang terkait dengan penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1.
14
Konsep/teori pembangunan pertanian, pengembangan wilayah, sistem sosial ekologis
Fokus studi
Pendekatan/ Metode
Periode
Dinamika internal subak yang bercorak sosial-religius
Dinamika subak dalam konteks pembangunan irigasi dan modernisasi pertanian
Dinamika subak dalam konteks pembangunan dan perubahan masyarakat pada multi skala, multi sektor, multi stakeholders
x Peraturan-peraturan subak (awig-awig dan sima) x Dasar dan tujuan dibentuknya subak x Kaitan struktur organisasi dengan ritual subak
x Dampak pembangunan jaringan irigasi oleh pemerintah terhadap karakteristik organisasi, pengelolaan sumberdaya, dan ritual subak x Pengambangan wadah koordinasi kelembagaan antar-subak (subak gede dan subak agung) x Peranan subak sebagai media pembangunan pertanian x Karakteristik penampilan subak yang baru dibentuk
x Ancaman keberlanjutan subak sebagai sistem sosioteknis x Analisis subak sebagai sistem kultural, sosial dan teknologi untuk membangun manajemen sumberdaya air berbasis budaya x Analisis kapasistas dan peluang transformasi sistem subak yang berlandaskan THK x Keberlanjutan subak dalam era globalisasi x Pengembangan unit bisnis (ekonomi) subak (agrowisata, wisata-agro, agribisnis, industri hulu) x Integrasi aspek sosial kultural subak dengan perencanaan spasial tata guna lahan
x Sosiologi dan antropologi x Ekologi manusia x Studi kasus, kualitatif mendalam
x x x x
x Manajemen sumberdaya air secara integratif x Pendekatan sistem dinamis, pemberdayaan, dan pembangunan pertanian berkelanjutan x Studi kasus mendalam, survei, kaji tindak kolaboratif x Deskriptif kualitatif dan kuantitatif
1933 – 1970-an
Memperkuat / memperkaya
Manajemen sumberdaya air Sosial ekonomi pertanian Studi kasus, survei, kaji tindak Deskriptif kualitatif
1980-an – 1990-an
1999 - 2011
2014 : Kajian Spasial Keberlanjutan Sistem Subak yang Berlandaskan Tri Hita Karana
Gambar 1.1. Road Map Penelitian Tentang Subak
14
15
Secara ontologis kebaruan penelitian ini terfokus pada pola spasial keberlanjutan sistem subak yang berlandaskan THK. Pola spasial keberlanjutan subak yang berlandasakan THK menekankan pada kekhasan distribusi keberlanjutan subak sebagai hasil interaksi dinamis antara internal subak sebagai sistem sosio-ekonomi-religius-teknis-ekologis dengan dinamika lingkungan eksternalnya. Analisis spasial ini sangat penting karena akan memberi penjelasan bagaimana kondisi persebaran keberlanjutan subak yang ada saat sekarang, dan bagaimana merencanakan, mengatur, dan mengontrol agar subak tetap berlanjut tanpa mengabaikan kegunaannya untuk kepentingan pembangunan sektor lainnya (pariwisata dan perkotaan). Dalam konteks ini, dikembangkan model zonasi spasial tipe berkelanjutan subak yang diharapkan mampu mendukung pembangunan pertanian lahan basah berkelanjutan dan bersinergi dengan pembangunan sektor pariwisata dan perkotaan. Landasan epistemologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah ilmu geografi, khususnya geografi manusia. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan keruangan. Goodall (1987) menyatakan bahwa pendekatan keruangan merupakan metode untuk mengkaji gejala geosfera tertentu di permukaan bumi dengan menggunakan variabel ruang sebagai metode utama dalam setiap analisis. Hal yang penting dalam analisis keruangan adalah persebaran penggunaan ruang yang telah ada, dan penyediaan ruang yang akan dirancang untuk berbagai kegunaan (Bintarto dan Surastopo, 1979). Makna tentang ruang sangat luas, dalam penelitian ini yang dimaksud dengan ruang adalah wilayah subak yang merupakan satu kesatuan sosial, ekonomi, budaya, teknis, dan ekologis yang homogen dan jelas batas-batasnya.
16
Secara aksiologi hasil penelitian ini diharapkan dapat : (1) meningkatkan ketahanan THK subak secara sosial/kelembagaan, ekonomi, budaya, teknologi, dan ekologis (terutama lahan sawah dan air). (2) Mengendalikan laju perkembangan eksternal terutama perkembangan kota dan pariwisata yang dapat mengancam keberlangsungan wilayah subak. (3) Merubah pola pikir (mindset) para pemangku kepentingan, khususnya para pengambil kebijakan ke arah yang lebih memprioritaskan keberlanjutan pertanian (subak) di dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan.
1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah, sebagai berikut. 1. Menganalisis pola spasial tingkat keberlanjutan subak dan faktorfaktor eksternal yang berpengaruh. 2. Menganalisis proses terjadinya perubahan tingkat
keberlanjutan
subak, faktor pemicu, pihak-pihak yang berperan, gejala dan wujud perubahannya. 3. Menganalisis perbedaan karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat keberlanjutan subak. 4. Menyusun model zonasi spasial tipe keberlanjutan subak.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini memberikan dua macam manfaat utama, yaitu manfaat pada pengembangan sains dan manfaat praktis. Manfaat pada pengembangan sains berupa pengembangan teori keberlanjutan pertanian berbasis komunitas
17
lokal dan model zonasi spasial keberlanjutan subak. Pengembangan teori tersebut dapat memperkaya dan memperkuat ontologis keilmuan geografi dan ilmu-ilmu sosial. Penerapan pendekatan keruangan sebagai pendekatan baru dalam kajian keberlanjutan subak dapat menguatkan epistemologis geografi sebagai ilmu yang mengkaji fenomena geosfer di permukaan bumi. Secara praktis,
penelitian ini
menghasilkan produk berupa peta dan
model zonasi spasial tipe keberlanjutan subak. Peta dan model zonasi spasial tersebut mengandung informasi tentang subak yang secara eksklusif harus dilindungi dan subak-subak yang wilayahnya bisa direncanakan untuk pembangunan nonpertanian. Selanjutanya peta dan model zonasi spasial ini dapat dijadikan acuan dan arahan tindakan keruangan untuk mewujudkan tata ruang wilayah yang berkelanjutan, bersinergi antara sektor pertanian dan pariwisata. Hasil penelitian ini juga memberikan informasi tentang prioritas program dan strategi untuk memberdayakan kelembagaan subak dan petani.