BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meme internet menjadi fenomena yang begitu populer dalam beberapa tahun terakhir. Kepopuleran meme dapat terlihat dari banyaknya meme yang kita dapati tersebar di internet dan sosial media khususnya, mulai dari meme yang bermuatan ringan hingga meme yang bermuatan politik. Istilah meme itu sendiri pertama kali dipopulerkan oleh Richard Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene (1976). Menurut pemahaman Dawkins, meme adalah bentuk dari gen kebudayaan (ide, gagasan, pola perilaku, dan sebagainya) yang menyebar melalui proses imitasi, seperti halnya lagu, jargon, mode pakaian, hingga cara membangun gedung.1 Meme internet merupakan bentuk adaptasi dari pemikiran Dawkins yang berkembang dalam budaya populer – internet. Dimana ide, gagasan, atau pola perilaku yang menyebar dalam suatu budaya melalui proses imitasi sebagaimana yang dikemukakan Dawkins tersebut, terjadi secara viral dan dalam bentuk visual.2 Meme internet yang ditampilkan dalam bentuk visual tersebut memiliki format yang beragam, seperti halnya gambar diam (animasi makro), animasi GIF, atau bahkan video.3 Namun yang banyak kita dapati tersebar di internet dan sosial media adalah meme dalam format gambar diam (animasi makro), yang sifatnya sederhana, bahkan memiliki kualitas rendah karena yang lebih diutamakan adalah pesan yang berusaha disampaikan melalui meme tersebut.4
1
Richard Dawkins, The Selfish Gene, Oxford University, New York, 2006, hlm.192. Olivia Solon, Richard Dawkins on the Internet’s Hijacking of the Word Meme, 2013 diakses dari http://Wired.co.uk pada 22 Juli 2015. 3 Linda K Borzsei, Makes a Meme Instead : A Concise History of Internet Memes, Utrecht University,2013, hlm. 5. 4 Ibid., hlm. 5 2
1
Idealnya, meme internet dalam format gambar diam terdiri dari unsurunsur seperti teks dan gambar. Namun ada pula meme yang hanya berupa ungkapan, gambar, gambar disertai teks, ataupun gambaran dari teks, yang biasanya diadaptasi dari film, video game, selebriti, bahkan dunia politik.5 Meme tersebut kemudian tersebar atau disebarkan oleh individu secara online dalam wahana penyebarannya yakni internet dan sosial media sebagaimana meme yang tersebar atau yang disebarkan oleh individuindividu dalam suatu budaya. Kepopuleran meme di media online awalnya ditandai dengan kemunculan meme “All your base are belong to us” yang menggunakan karakter kartun dari video game Zero Wing yang populer pada tahun 1989.6 Kepopuleran meme ini seiring dengan munculnya aplikasi pengeditan grafis yang ditujukan untuk pengeditan meme layaknya photoshop dan meme generator, dimana aplikasi tersebut dapat menghasilkan 2000 foto yang berasal dari karakter kartun game Zero Wing yang dimanipulasi menjadi beragam bentuk gambar atau foto.7 Saat itu meme dapat dikatakan mulai beranjak populer. Kepopuleran meme tersebut perlahan mulai menyebar, dikenal secara luas, dan mulai digunakan untuk berbagai tujuan, serta mengkomunikasikan beragam ide atau gagasan. Hingga pada tahun 2012 meme menjadi istilah yang begitu dikenal, dan persebarannya di internet dan sosial media tak lagi dapat terbendung, dimana meme menjadi bentuk humor yang konvensional dan lebih bervariasi.
8
Perannya dalam mengkomunikasikan beragam ide,
gagasan dan informasi pun membuat meme menjadi bentuk dari media komunikasi dengan beragam pesan yang berusaha untuk disampaikan, dan
5
Ibid., hlm. 5 Ibid., hlm.10. 7 Ibid., hlm. 10 8 Ibid., hlm. 20 6
2
kemudian disebarluaskan dikalangan pengguna internet, khususnya sosial media, oleh diri mereka sendiri.9 Internet dan sosial media yang terbuka pada setiap ide atau gagasan yang disebarkan dalam bentuk meme, menjadikan meme itu sendiri lebih terbuka pada setiap jenis dan bentuk pesan yang disampaikannya. Tidak sedikit dari meme yang tersebar di internet dan sosial media merupakan wujud dari penyampaian opini. Tidak jarang pula meme muncul dalam rangka menanggapi isu – isu sensitif yang menjadi sorotan publik. Meme tersebut muncul dengan beragam topik dalam menanggapi pemberitaan, isu – isu, peristiwa, atau bahkan pengalaman pribadi.10 Isu politik adalah salah satu isu sensitif yang seringkali ditampilkan dalam bentuk meme dan disebarkan melalui sosial media. Dalam hal ini meme menjadi media komunikasi politik dimana ada pesan, ide, atau gagasan yang berusaha disampaikan melalui meme tersebut untuk kemudian dimaknai oleh khalayak, yang mana imbasnya dapat berpengaruh pada sistem politik atau bahkan memiliki konsekuensi dan akibat politik.11 Seperti halnya meme politik yang terdapat dalam akun @demo_krazy di sosial media instagram, dimana meme oleh akun tersebut dijadikan sebagai media komunikasi politik yang menyampaikan pesan, ide, atau gagasan tertentu untuk kemudian dimaknai oleh khalayak. Akun @demo_krazy ditujukan sebagai wadah penyampaian opini, maupun pertukaran aspirasi dan pandangan politik bagi khalayak tersebut biasanya mengangkat isu – isu politik yang menjadi sorotan publik (dalam bentuk meme politik, kartun, quote, gambar atau foto, video dan juga teks – dengan meme politik yang paling banyak ditampilkan), dimana kemudian 9
Branislav Buchel BC, Internet Memes As Mean Communication, Masaryk University, Faculty of Social Studies Departement of Sociology, 2012, hlm. 1. 10 Vasiliki Plevriti, Satricial User – Generated Memes as an Effective Source of Political Criticism, Extending Debate and Enchancing Civic Engagement, The University of Warwick, Centre for Cultural Policy Studies, 2013, hlm. 5. 11 Henry Subiakto dan Rachmah Ida, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2012, hlm. 20.
3
khalayak dapat dengan bebas memberikan aspirasi atau respon mereka dalam bentuk likes ataupun komentar menanggapi postingan yang ditampilkan oleh akun tersebut.12 Contoh isu politik yang paling banyak ditampilkan oleh akun @demo_krazy adalah isu politik terkait Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).13 Hal ini dikarenakan tanggung jawab sosial yang dimiliki oleh DPR sebagai sebuah lembaga atau institusi yang bertugas sebagai wakil rakyat menjadikan setiap gerak – gerik dan kebijakan yang dihasilkan oleh DPR terus menarik perhatian dari banyak masyarakat sehingga tidak jarang memunculkan isu – isu serta memancing opini publik. Isu politik terkait DPR tersebut ditampilkan dalam berbagai bentuk dan jenis pesan termasuk juga dalam bentuk meme politik yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Meme dalam hal ini dijadikan sebagai media komunikasi politik dimana ada pesan, ide, atau gagasan yang berusaha disampaikan oleh akun @demo_krazy terkait isu – isu mengenai DPR. Pesan, ide, atau gagasan yang ditampilkan oleh akun @demo_krazy melalui meme politik tersebut pada dasarnya merujuk pada persepsi dan opini yang berusaha ditampilkan oleh akun @demo_krazy dalam menanggapi isu – isu yang muncul terkait DPR, untuk kemudian disampaikan dan dimaknai oleh khalayak. Yang menarik untuk dilihat kemudian adalah bahwa opini atau persepsi akun @demo_krazy terhadap isu – isu terkait DPR yang ditampilkan melalui meme politik tersebut dapat membangun gambaran atas citra politik DPR yang muncul dari bagaimana akun @demo_krazy menampilkan DPR dalam bentuk simbol – simbol visual yang terdapat di dalam meme politik tersebut. Citra politik itu sendiri dipahami sebagai konstruksi pemahaman atas persepsi publik akan suatu partai politik, individu, dan atau aktor politik
12 13
http://i.instagram.com/ demo_krazy/ di akses pada 30 April 2015. Hasil pengamatan terhadap akun @demo_krazy di sosial media instagram.
4
mengenai semua hal yang berkenaan dengan aktifitas politik.14 Menariknya adalah bahwa citra dalam meme itu tidak ditampilkan secara gamblang, positif atau negatif nya. Namun melalui pemaknaan terhadap simbol – simbol yang terkandung dalam meme itulah dapat diketahui bagaimana akun @demo_krazy menggambarkan citra DPR untuk kemudian disampaikan dan dimaknai oleh khalayak. Alasan dilakukannya penelitian ini sejatinya didasari oleh ketertarikan peneliti pada fenomena meme yang tengah populer di internet dan sosial media,
serta
perannya
sebagai
media
komunikasi
politik
yang
mengkomunikasikan pesan, ide, gagasan termasuk juga persepsi maupun opini serta penggambaran atas citra politik melalui simbol – simbol visual yang terdapat didalamnya. Ketertarikan peneliti juga didasari oleh temuan penelitian terdahulu yang menguatkan pemikiran peneliti bahwa ada sesuatu yang menarik yang patut untuk dikaji dari fenomena ini. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Adi Bayu Mahadian dari Fakultas Komunikasi dan Bisnis Program Studi Ilmu Komunikasi Telkom University tentang “Humor Politik Sebagai Sarana Demokratisasi Indonesia”. Objek yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah humor politik yang dijadikan sebagai sarana demokrasi, dimana peneliti berusaha menelaah perkembangan humor politik dalam proses demokrasi Indonesia saat ini. Hasil temuan yang didapat menunjukkan bahwa humor adalah representasi realitas yang dapat digunakan sebagai sarana kritik sosial dan politik.15 Dalam hal ini Adi Mahadian mengangkat meme sebagai bentuk dari humor politik, dimana meme dikategorikan sebagai humor visual yang kaya akan makna. Meme, menurut hasil penelitiannya dianggap mampu menjadi 14
Firmanzah, Marketing Politik : Antara Pemahaman dan Realitas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 230. 15 Adi B Mahadian, Humor Politik Sebagai Sarana Demokratisasi Indonesia, dalam ISKI : Masa Depan Komunikasi, Masa Depan Indonesia : Demokratisasi Masyarakat Plural, Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Jakarta, 2014, hlm. 13-14.
5
sarana penyampaian opini, kritik maupun unjuk rasa yang efektif karena humor menjadi sarana unjuk rasa yang mampu digunakan dalam kondisi terkekang sekalipun. Selain itu, sistem penyebarannya yang luas dan tak terbatas membuat pencipta meme (humor) sulit untuk dilacak, namun kritik ataupun opini yang terbangun tetap dapat beredar, dan berakumulasi menjadi wacana yang lebih besar.16 Hasil temuan yang dikemukakan oleh Adi Mahadian dalam penelitiannya – bahwa meme mampu menjadi sarana opini, kritik, maupun unjuk rasa melalui representasi realitas yang ditampilkan melalui simbol – simbol dan humor yang terkandung dalam meme tersebut – menjadi dasar pemikiran bagi penelitian terkait “Citra DPR dalam Meme Politik di Sosial Media”, dimana meme dalam hal ini digunakan sebagai sarana komunikasi politik, sarana penyampaian opini, persepsi, serta sarana penggambaran atas citra DPR yang terbangun melalui isu atau realitas tentang DPR di dunia nyata. Selain penelitian dari Adi Mahadian tentang “Humor Politik Sebagai Sarana Demokratisasi Indonesia”, penelitian lain yang juga digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Rosa Redia Pusanti dari Universitas Sebelas Maret Surakarta tentang “Representasi Kritik dalam Meme Politik”. Dimana penelitian yang dilakukan oleh Rosa Redia Pusanti ini membahas tentang meme politik dalam masa pemilu 2014 pada jejaring sosial “Path” sebagai media kritik di era siber, dengan objek penelitiannya yakni meme politik di jejaring sosial path. Penelitian ini mencoba mengeksplorasi simbol yang merepresentasikan kritik khalayak (netizen) dalam bentuk meme yang tersebar selama masa pemilu 2014, dengan metode analisis yang digunakan yakni semiotika dari Charles Sanders Pierce. Hasil temuan dari penelitian ini menunjukkan 16
Ibid., hlm. 13-14.
6
bahwa meme menjadi sarana yang penting dalam mengekspresikan pandangan politik khalayak, dan adanya lonjakan ketertarikan khalayak untuk menggunakan media baru sebagai platform bagi mereka untuk terlibat secara politik sejak media mainstream dianggap lebih konservatif.17 Sebagaimana halnya penelitian yang dilakukan oleh Rosa Redia Pusanti, penelitian terkait citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam meme politik di sosial media ini pun juga berusaha melihat meme secara lebih jauh sebagai media penyampaian pesan politik, dan mengeksplorasi simbol – simbol visual yang merepresentasikan citra DPR dalam meme politik di sosial media, khususnya meme politik yang terdapat dalam akun @demo_krazy di sosial media instagram. Lebih lanjut, untuk melakukan proses analisis dan interpretasi data atas simbol – simbol visual yang terkandung dalam meme politik tersebut, digunakan analisis semiotika dari Roland Barthes yang memiliki potensi untuk menggali secara dalam makna tanda dari meme politik yang tidak hanya sekedar humor, kritik atau kiasan, untuk merujuk pada pesan tertentu (yang dalam konsep Barthes adalah mitos) terkait citra DPR yang berusaha ditampilkan oleh akun @demo_krazy di sosial media instagram. Karena itu, penggunaan konsep semiologi Barthes dalam menemukan mitos atau pesan yang dituturkan pun dalam hal ini dirasa sesuai untuk menggali pemahaman atas citra politik yang juga menjadi bentuk dari mitos yang berkembang dalam lingkup politik masa. Penelitian ini menjadi penting untuk diteliti karena melihat fenomena yang cukup krusial terkait hiruk pikuk politik massa dengan pemanfaatan berbagai media (layaknya meme) yang tersebar melalui saluran internet dengan isu atau pesan yang disampaikannya (benar maupun salah) berpotensi dalam mengkonstruksi pemikiran/pemahaman khalayak. Oleh 17
Rosa Redia Pusanti, Representasi Kritik dalam Meme Politik (Studi Semiotika Meme Politik dalam Masa Pemilu 2014 pada Jejaring Sosial ”Path” sebagai Media Kritik di Era Siber), Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2015.
7
karena itu penelitian terkait pesan politik sebagaimana halnya citra politik DPR yang ditampilkan melalui meme politik tersebut menjadi penting untuk melihat apa yang melatarbelakangi pesan itu muncul, dan bagaimana pesan itu kemudian dimunculkan (citra DPR dalam meme politik). 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, rumusan masalah
yang
kemudian
diangkat
dalam
penelitian
ini
adalah:
Bagaimanakah citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditampilkan dalam meme politik yang terdapat pada akun @demo_krazy di sosial media instagram ? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ditampilkan dalam meme politik pada akun @demo_krazy di sosial media instagram. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu komunikasi yang berbasis pada pendekatan semiotika dalam penerapannya di media. 1.4.2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemerintah dan masyarakat dalam memaknai dan memahami aktifitas komunikasi politik di sosial media sebagai bahan masukan untuk perbaikan sistem politik kedepannya.
8
1.5. Kerangka Pemikiran Pada sub bab terkait kerangka pemikiran ini akan dipaparkan secara garis besar mengenai teori-teori, referensi, dan kajian literatur yang membantu peneliti dalam merumuskan logika penelitian yang akan membantu proses pemaparan dan analisis data penelitian. Poin-poin yang kemudian dibahas dalam kerangka pemikiran pada penelitian terkait Citra DPR dalam Meme Politik di Sosial media ini diantaranya adalah “meme politik di sosial media” yang menjelaskan tentang objek penelitian, “komunikasi politik dan pembentukan citra politik” yang menjelaskan tentang teori dan keterkaitannya dengan fokus penelitian, dan “kajian semiotika Roland Barthes” yang menjelaskan tentang pisau analisis yang digunakan dalam penelitian. 1.5.1. Meme Politik di Sosial Media Meme politik pada dasarnya adalah istilah yang digunakan untuk mengidentikan ditampilkannya.
meme Meme
internet politik
berdasarkan disini
konten
merujuk
atau
pada
isu
yang
meme
yang
menampilkan isu-isu yang berkenaan dengan peristiwa, informasi, maupun berita terkait pemerintah, aktor politik maupun organisasi dan lembaga negara layaknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dimana isu-isu yang ditampilkan kemudian membawa pesan-pesan politik untuk disampaikan kepada khalayak. Pesan politik yang dimaksud adalah bentuk pernyataan (verbal maupun nonverbal) yang mengandung unsur politik didalamnya.18 Sosial media dalam hal ini dapat dikatakan menjadi wahana persebaran meme politik yang paling populer di internet. Dikatakan demikian karena sosial media dewasa ini menjadi ruang publik virtual yang digemari karena keterbukaannya, kepopulerannya, serta kemudahan bagi penggunanya untuk saling berinteraksi satu sama lain, tergabung dalam kelompok-kelompok, 18
Hafied Canagara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm.37.
9
ataupun membentuk suatu kelompok, yang semakin memudahkan proses interaksi dan pertukaran informasi. Karena itu sosial media menjadi wahana persebaran meme politik yang efektif (dilihat dari banyaknya meme politik yang tersebar di sosial media) dimana pesan (politik) yang kemudian disampaikan melalui meme politik tersebut dapat menjangkau banyak publik (netizen), atau bahkan diimitasi dan disebarkan kembali. Hal ini pada dasarnya juga dikarenakan tujuan dari penyampaian pesan-pesan politik yakni menanamkan kepercayaan politik, membangun persepsi, maupun citra politik.
19
Dimana tercapainya tujuan dari
penyampaian pesan-pesan politik tersebut dapat terwujud dengan adanya keterbukaan, cakupan publik (netizen) yang luas, dan kebebasan dalam penyampaian pesan, sebagaimana yang ditawarkan oleh sosial media tersebut. Jika diamati, meme politik di sosial media itu diciptakan, kemudian disebarkan, dimitasi, dan kemudian disebarkan kembali oleh individuindividu pengguna sosial media. Oleh karena itu, keorisinalitasan meme tersebut memang dapat dikatakan sulit untuk dipastikan. Karena itu akun akun @demo_krazy dalam penelitian ini dipilih agar dapat diketahui dengan jelas siapa menyebarkan meme politik tersebut. Karena selain berperan sebagai wadah dari penyebaran meme politik, akun @demo_krazy juga berperan sebagai creator yang menyalurkan pesan-pesan, ide, atau gagasan (melalui meme politik tersebut) untuk kemudian diterima dan dimaknai oleh khalayak. 20 Selain itu, akun@demo_krazy adalah satu - satunya akun di sosial media instagram yang mengatas mamakan demokrasi bagi khalayak, dan yang selalu menampilkan isu – isu politik untuk kemudian memancing respon dan diskusi publik.
19
Wai Kwok Wong, Interpreting Political Image of Donald Tsang in Alternative Media, Cultural Studies @Lingnan, 2013.. 20 Vasiliki Plevrity, op.cit. hlm.14.
10
Meme politik yang ditampilkan oleh akun @demo_krazy banyak ditampilkan dalam bentuk gambar. Gambar dalam meme tersebut dapat merujuk pada kartun, gambar dan fotografi. Pada dasarnya ada tiga jenis meme fotografi yang populer dan tersebar di internet dan sosial media, yaitu Reaction Photoshops, Stock Character Macros, dan Photo Fads. Reaction Photoshops adalah gambar edit yang dibuat untuk menanggapi foto yang menarik perhatian khalayak (foto memetika) baik itu merupakan foto politisi, selebriti, maupun orang biasa. Sedangkan Stock Character Macros adalah gambar macro (gambar yang dilengkapi teks), mengacu pada satu karakter yang merepresentasikan sikap stereotip. Dan yang terakhir adalah Photo Fads, yakni foto orang – orang yang menirukan gaya atau posisi tertentu dalam berbagai suasana.21 Selain gambar, meme biasanya juga dilengkapi dengan teks. Teks dalam meme tersebut biasanya ditampilkan dalam warna hitam dan putih (umumnya huruf yang berwarna putih dengan kontur hitam). 22 Barthes dalam tulisannya “A Barthes Reader” menjelaskan bahwa teks pada dasarnya adalah pesan parasit yang dirancang untuk mengkonotasikan gambar.
23
Menurut Barthes, gambar tidak hanya ditampilkan untuk
menjelaskan atau mewujudkan teks, namun teks juga dihadirkan untuk menghaluskan atau merasionalisasikan gambar. Sebagaimana halnya teks dalam gambar meme yang ditampilkan dalam akun @demo_krazy di sosial media instagram.
Limor Shifman, The Cultural Logic of Photo – Based Meme Genres, Journal of Visual Culture, Themed Issue : Internet Memes, Edited by : Laine Nooney and Laura Portwood – Stacer, Sage Journals, 2014, hlm.343. 22 Charles Berret dan Kate Brideau, A Brief Introduction to Impact : ‘The Meme Font’. Journal of Visual Culture. Themed Issue : Internet Memes. Edited by : Laine Nooney and Laura Portwood – Stacer, Sage Journals, 2014, hlm. 310. 23 Roland Barthes, A Barthes Reader, ed. Susan sontag, Hill and Wang, New York, 1983, hlm. 204. 21
11
1.5.2.Komunikasi Politik dan Pembentukan Citra Politik Subiakto dan Ida mengutip beberapa konsep mengenai komunikasi politik dari beberapa ahli yang kemudian menghasilkan pemahaman bahwa komunikasi politik merupakan suatu aktifitas komunikasi yang mempunyai konsekuensi atau akibat politik, aktual potensial, terhadap sistem politik.24 Hal yang tidak jauh berbeda juga dikemukakan oleh Brian Mc.Nair dalam bukunya An Introduction to Political Communication, dimana Mc.Nair menganggap
komunikasi
politik
sebagai
komunikasi
terarah,
atau
komunikasi yang memiliki tujuan tertentu, yang berkaitan dengan politik. 25 Komunikasi yang dimaksud dalam komunikasi politik tersebut tidak hanya sebatas retorika, tetapi juga mencakup simbol – simbol bahasa, termasuk juga bahasa tubuh, serta tindakan – tindakan politik seperti boikot, protes dan unjuk rasa.26 Jadi apapun bentuk komunikasi yang ditampilkan, selama itu berimbas pada proses atau sistem politik, maka komunikasi tersebut dapat diklasifikasikan sebagai bentuk dari komunikasi politik. Namun, bagaimanapun bentuk dan pesan dari komunikasi politik serta peranannya dalam sistem politik, tujuan utama dari komunikasi politik pada dasarnya adalah untuk memberikan informasi kepada khalayak tentang kandidat, pemimpin atau organisasi tertentu, dan kemudian membantu khalayak atau pemilih untuk memutuskan bagaimana mereka harus memilih atau memberikan dukungan. 27 Untuk itu citra dalam komunikasi politik dianggap memegang peranan yang penting karena citra menjadi gambaran mengenai kandidat, pemimpin, tokoh politik atau organisasi tertentu yang dapat mempengaruhi persepsi dari khalayak.
24
Henry Subiakto dan Rachmah Ida, op.cit. hlm.19. Brian Mc Nair, An introduction to Political communication, Routledge, London & New York, 2011, hlm.4. 26 Doris Graber, Political Language, dalam Dan Nimmo dan Sanders Keith R, Handbook of Political Communication, Sage Publication, Beverly Hills, 1981. 27 Darren G Lilleker, Key Concept in Political Communication, SAGE Publication, London, 2006, hlm. 105. 25
12
Berbicara tentang komunikasi politik, maka kita akan berbicara tentang unsur – unsur yang melatarbelakangi terjadinya komunikasi politik, salah satunya adalah media dan pesan politik. Meme politik dalam hal ini berperan sebagai media komunikasi politik yang menggambarkan citra DPR (dari penyampaian pesan-pesan politik) melalui simbol – simbol visual yang ditampilkannya. Simbol visual itu sendiri memiliki fungsi penting dalam politik yakni diantaranya menghasilkan argumen, berfungsi sebagai agenda setting, mendramatisir kebijakan, terhubung dengan simbol – simbol sosial, termasuk juga memiliki fungsi dalam membangun citra politik.28 Citra politik tersebut pada dasarnya dapat hadir melalui proses komunikasi politik. Proses komunikasi politik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah proses penyampaian pesan – pesan politik berupa gambaran atas citra politik DPR yang berusaha disampaikan oleh akun @demo_krazy melalui simbol – simbol visual yang terdapat dalam meme politik untuk kemudian disampaikan dan dimaknai oleh khalayak. Eric Louw dalam hal ini membagi proses komunikasi politik tersebut ke dalam tiga dimensi sebagaimana yang dapat dilihat pada tabel berikut.29 Tabel 1.1 The Three Dimensions of the Political Process The Three Dimensions of Politics
(1) Policy
‘Elite’ Politics (geared to delivery)
Driven by
-
Cabinet Policy staff Bureaucrats Judiciary Intellectuals
(2) Process Management ‘Elite’ Politics (geared to planning, delivery and performance) - Political party ‘insiders’ - Spin-doctors - Negotiators - Intelligence
(3) Hype
‘Mass’ politics (geared to image, and myth making to be consumed by voters) - Journalist - Culture industry - Pollsters - Pundits and media commentators
28
Dan Schill, The Visual Image and the Political Image: A Review of Visual Communication Research in The Field of Political Communication, Review of Communication. Volume 12, Issue 2 www.tandfonline.com diakses pada 19 Agustus 2015. 29 P Eric Louw, The Media and Political Process, Sage Publications, London, 2005, hlm. 20.
13
Output
Site (located in)
- Lobbyists - Diplomats Output as ‘substantive’ - Resource - Allocation - Laws - Violence (internal) - Foreign policy (war and peace) - Service delivery - Deal making (between interest group) - Aggregating interest - Parliament - Bureaucracy - Courts - Violence-making machinery Front-stage and backstage performance
community - ‘insider’intellectuals Output as ‘planning and coordination’ - Inventing beliefs and ideology - Inventing identity - Selecting politicians and staffers - Strategizing about ‘policy’, ‘hype’; and the ‘policy-hype’ relationship
Political elite ‘backrooms’ and ‘elite’ media
-
Output as ‘image making’ Politicians as celebrity Identities to consume Belief Ideology Articulating interest Legitimacy ‘Distraction ‘if needed’
The culture industry and ‘mass’ media
Back stage performance (hidden from political outsiders)
Front-stage performance (to be consumed by political outsiders) Sumber : Eric Louw.2005. The Media and Political Process. London. Sage Publication.hlm.20
Ada tiga dimensi komunikasi politik menurut Louw sebagaimana yang ditampilkannya dalam tabel diatas, yakni dimensi Policy, dimensi Process Management, dan dimensi Hype. Dimensi policy atau dimensi aturan adalah proses komunikasi politik yang dihasilkan oleh elit politik dengan tujuannya yakni menyampaikan pesan politik dan atau kebijakan kepada masyarakat. Sama halnya dengan dimensi Process Management yang juga berlangsung dalam lingkungan elit politik. Hanya saja dimensi Process Management ini lebih berfokus pada perencanaan di ‘balik layar’ seperti pembentukan strategi politik dan lain sebagainya. Dimensi yang ketiga adalah dimensi Hype. Dalam dimensi hype inilah proses komunikasi berlangsung dalam lingkup politik massa dimana output yang dihasilkannya dapat berujung pada pembentukan dan atau pemahaman
14
atas citra politik dari pemerintah, aktor politik, organisasi maupun lembaga negara layaknya citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dimensi hype disini melihat bagaimana hiruk pikuk komunikasi politik yang berlangsung dalam lingkup massa. Apabila dua dimensi lainnya berlangsung dalam lingkup elit politik dan digerakkan oleh pihak insider, komunikasi politik dalam dimensi hype ini lebih merujuk pada komunikasi politik yang dilakukan oleh orang-orang atau pihak diluar insider seperti halnya jurnalis, industri budaya (media), lembaga survey/jajak pendapat, media komentator, dan lain sebagainya. Output dari dimensi ini adalah politisi sebagai selebriti, identitas untuk dikonsumsi, kepercayaan, ideologi, artikulasi kepentingan, legitimasi, dan pengalih perhatian, dimana output tersebut pada akhirnya akan berujung pada pembentukan citra politik untuk kemudian dikonsumsi oleh khalayak. Proses pembentukan citra politik DPR oleh akun @demo_krazy di sosial media instagram termasuk kedalam dimensi hype. Dikatakan demikian karena penggunaan meme politik hadir ditengah hiruk pikuk politik massa dan menjadi bagian dari hiruk pikuk tersebut. Karena itu analisis dengan menggunakan konsep Hype dalam penelitian terkait citra DPR dalam meme politik di sosial media ini dirasa sesuai untuk kemudian mendapatkan pemahaman tentang proses komunikasi politik – proses penyampaian dan pemaknaan atas pesan-pesan politik (dalam meme) yang berkembang dalam lingkup massa. Sebagaimana halnya citra yang dihasilkan dari output komunikasi politik dalam dimensi hype, citra dalam penelitian ini juga dilihat berdasarkan pemahaman atas output komunikasi politik untuk kemudian mendapatkan pemahaman tentang citra DPR dalam meme politik di sosial media. Namun output yang akan dilihat dari proses komunikasi politik ini hanya sebatas identitas, kepercayaan, dan ideologi yang mana disesuaikan
15
dengan objek yang akan dianalisis dalam penelitian ini yakni meme politik dalam akun @demo_krazy di sosial media instagram. Citra politik di internet dan sosial media itu sendiri merupakan suatu hal yang baru untuk dikaji, karena penggunaan sosial media untuk kepentingan politik khususnya untuk pembentukan citra politik dalam lingkup politik massa termasuk ke dalam ranah baru kajian ilmu komunikasi politik. Banyak penelitian pun masih terfokus pada citra politik yang ditampilkan pada old media dan oleh insider (politisi, spin-doctors, maupun media partisan). Namun pemanfaatan media baru (internet) khususnya sosial media dalam komunikasi politik dewasa ini dapat dikatakan terus mengalami peningkatan. Pembahasan tentang citra politik pun tidak lagi hanya terbatas pada apa yang politisi inginkan untuk ditampilkan kepada khalayak, tetapi juga apa yang khalayak nilai dari politisi yang berujung pada pembentukan citra mereka di mata khalayak. Wai Kwok Wong dalam penelitiannya “Interpreting Political Image of Donald Tsang in Alternative Media” mengungkapkan bahwa “the Internet has
been transforming from an information platform to a politicized arena, and then creating, producing and sharing political language” 30 internet telah mengalami perubahan dari yang semula hanya dimanfaatkan sebagai media informasi, menjadi sebuah arena politik dimana bahasa politik itu diciptakan, dan kemudian dibagikan oleh dan kepada aktor-aktor politik yang terlibat didalamnya. Lebih lanjut Wong mengungkapkan bahwa melalui internet pesan politik diproduksi, dan disampaikan baik dengan sengaja maupun secara kebetulan, dengan tujuan menanamkan kepercayaan politik, membangun persepsi, maupun citra politik. Dalam hal ini Wong berusaha melihat citra politik dan persepsi yang terbentuk tentang Donald Tsang (kepala eksekutif Hong Kong/politisi) dari narasi politik, dan diskusi tentang Donald Tsang di dunia maya (Youtube, 30
Wai Kwok Wong, op.cit. hlm. 3.
16
Facebook group, Wikipedia, dan Blog).31Wong melihat citra yang terbentuk di ranah politik massa sebagaimana halnya citra politik DPR yang ingin di lihat melalui pemaknaan atas tanda visual dalam meme politik di sosial media instagram ini. Penelitian pun dilakukan dengan meninjau, menafsirkan dan menceritakan citra politik dan persepsi terkait Donald Tsang yang ditampilkan melalui gambar visual, lagu dan video klip. Hasil penelitian yang didapat kemudian terkait persepsi dan citra politik Donald Tsang yang terbentuk dari pemahaman narasi politik, dan diskusi tentang Donald Tsang di dunia maya (Youtube, Facebook group, Wikipedia, dan Blog) tersebut adalah citra negatif yang terlihat dari banyaknya pesan bernada kritik dan ejekan yang ditujukan kepada Donald Tsang melalui platform tersebut.32 Penelitian yang dilakukan oleh Wai Kwok Wong tersebut menjadi gambaran tentang bagaimana internet khususnya sosial media, menjadi media komunikasi politik yang menghasilkan citra politik dalam lingkup politik massa sebagaimana yang dikemukakan oleh Eric Louw terkait dimensi hype dengan outputnya yakni pembentukan citra politik. Demikian juga halnya dengan penelitian terkait citra DPR dalam meme politik di sosial media yang berusaha melihat citra politik DPR melalui meme politik yang ditampilkan oleh akun @demo_krazy di sosial media instagram ini. 1.5.3. Kajian Semiotika Roland Barthes Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna, dimana tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain.33 Dalam perkembangannya, banyak ahli telah mencoba mengembangkan cabang keilmuan ini seperti yang dilakukan 31
Ibid, hlm.4. Ibid, hlm. 29. 33 Sutrisno Widyatmoko, Irama Visual; Dari Toekang Reklame Sampai Komunikator Visual, Tim Penulis Program Studi Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta dan Studio Diskom, Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hlm.17. 32
17
oleh Charles Sander Peirce, Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes. Konsep pemahaman Peirce adalah bahwa manusia bernalar melalui tanda. Ia menganggap bahwa logika dipandang sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda.
34
Sedangkan Saussure
menganggap tanda sebagai kesatuan dari bidang yang tidak dapat dipisahkan yakni aspek yang dapat ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier (bidang penanda atau bentuk); dan aspek lainnya yakni signified: bidang petanda atau konsep atau makna dimana aspek signified terkandung dalam aspek pertama dan merupakan konsep atau hasil representasi dari aspek pertama (signifier) tersebut.35 Barthes dalam hal ini merupakan penerus dari pemikiran Saussure, dimana Barthes membagi aspek tanda (signified dan signifier) yang dikemukakan oleh Saussure ke dalam dua tingkatan sistem pemaknaan tanda yang dikenal dengan denotatif dan konotatif. 36 Denotatif yakni sistem pemaknaan tanda pada tataran pertama atau pemaknaan yang paling objektif dari tanda (denotasi) seperti halnya merah, yang mewakili warna darah. Sedangkan konotatif merupakan sistem pemaknaan tanda pada tataran kedua, dimana pemaknaan atas tanda (konotasi) disini bersifat subjektif, bervariasi, atau memiliki interpretasi yang luas. Contohnya warna merah yang dapat berarti kemarahan. Aspek tanda (signified dan signifier) dalam tingkatan yang pertama (denotatif)
menghasilkan
tanda
untuk
kemudian
dilihat
dengan
menggunakan aspek signified dan signifier pada tingkatan yang kedua (konotatif), yang mana analisis terhadap tingkatan-tingkatan tersebut akan menghasilkan tanda konotasi yang dalam hal ini berupa mitos. Proses pemaknaan atas tanda dalam tingkatan-tingkatan tersebut menurut Barthes
34
Arthur Asa Berger, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2000, hlm. 11-22. 35 Sutrisno Widyatmoko, loc.cit. 36 Roland Barthes, op.cit, hlm. 108.
18
dikenal dengan proses semiologi yang mana prosesnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.37
1. signifier
2. signified
Language 3. sign I. SIGNIFIER
Myth
II. SIGNIFIED III. SIGN/MYTH
Gambar 1.1 : Semiologi Roland Barthes Dapat kita lihat dari gambar tersebut bahwa penanda (1) signifier dan petanda (2) signified menghasilkan tanda (3) yakni tanda denotatif. Dari gambar tersebut juga dapat kita lihat bahwa tanda denotatif dalam hal ini juga menjadi penanda
konotatif (I), yang mana hubungannya dengan
petanda konotatif (II), menghasilkan tanda konotatif berupa mitos atau metalanguage yakni
bahasa kedua yang berlaku seperti halnya bahasa
pertama yang menghasilkan makna lain dari suatu tanda (makna kedua) sebagai bentuk pesan yang dituturkan.38 Aspek tanda untuk kemudian menghasilkan makna konotasi pada tataran kedua tersebut dapat dilihat dengan menggunakan enam tahap prosedur yang dikemukakan oleh Barthes yakni (1) Trick effects, atau manipulasi
gambar
secara
artifisial,
(contohnya
gambar
yang
dikombinasikan dengan gambar lainnya) (2) pose, atau gaya dari subjek gambar, baik itu posisi, ekspresi, maupun sikap yang ditampilkan dalam sebuah gambar atau foto, (3) objects, berkaitan dengan obyek dalam sebuah foto atau gambar, (4) photogenia, informasi teknis dari sebuah gambar atau foto seperti lighting, exposure, dan lain sebagainya, (5) Aestheticsm, estetika dari sebuah gambar atau foto, yang dilihat dari komposisi atau tampilan visualnya, dan (6) syntax, yang merupakan cerita, keterangan, atau gambaran dari isi foto yang dapat dituangkan dalam bentuk teks atau caption 37 38
Graham Allen, Roland Barthes, Routledge, London, 2003, hlm. 43. Ibid,. hlm. 44.
19
dalam sebuah gambar atau foto, mencakup bentuk kalimat, koherensi, pengulangan kata, kata ganti, dan lain sebagainya.39 Keenam prosedur tersebut kemudian terbagi lagi ke dalam dua bagian berdasarkan makna konotasi yang diproduksi, yaitu konotasi yang diproduksi melalui proses modifikasi realita itu sendiri (trick effects, pose, objects) dan konotasi yang diproduksi berdasarkan wilayah estetis foto (photogenia, aestheticsm, syntax).40 Analisis semiotika Barthes dalam penelitian ini digunakan karena pada dasarnya analisis yang dikemukakan oleh Barthes ini dirasa sesuai untuk dijadikan sebagai pisau analisis bagi penelitian yang berusaha membongkar makna tanda dari humor dan simbol visual yang dapat berarti “lain”, atau yang digunakan untuk tujuan tertentu. Seperti halnya humor dan simbol visual
yang
digunakan
untuk
kepentingan-kepentingan
layaknya
penggambaran citra politik DPR tersirat melalui pemaknaan atas simbolsimbol visual yang ditampilkan dalam meme politik di sosial media instagram. Selain itu, Penggunaan konsep semiologi Barthes dalam menemukan mitos atau pesan yang dituturkan dirasa sesuai untuk menggali pemahaman atas citra yang juga menjadi bentuk dari mitos yang berkembang dalam lingkup politik masa. 1.6. Kerangka Konsep Dari rumusan masalah dan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan sebelumnya, maka kerangka konsep yang dibentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
39
Roland Barthes, S/Z, terjemahan oleh Richard Miller, Brasil Blacwell, Britain, 1983, hlm. 202-
206. 40
Ibid.
20
Meme Politik pada akun @demo_krazy
Enam tahap prosedur Barthes (1983:202-206) : trick effects, pose, Objects, photogenia, aestheticsm, syntax.
Semiologi Roland Barthes
1.signifier
2. signified
3. sign I. SIGNIFIER
II. SIGNIFIED III. SIGN/MYTH
Language
Pembentukan Citra Politik dalam Dimensi Hype (Louw,2005:21): Identitas Kepercayaan Ideologi
Citra Politik DPR
Gambar 1.2 : Kerangka Konseptual Rancangan Peneliti Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa meme politik pada akun @demo_krazy di sosial media instagram dijadikan sebagai media komunikasi politik dimana pesan yang berusaha disampaikan, layaknya citra politik DPR, ditampilkan dalam bentuk simbol – simbol visual baik teks maupun gambar. Untuk kemudian memaknai pesan yang berusaha disampaikan oleh akun tersebut, khususnya pesan/penggambaran terkait citra politik DPR, maka simbol – simbol visual yang terkandung dalam meme tersebut dianalisis dengan menggunakan semiologi Roland Barthes, dimana makna tanda yang dihasilkan kemudian (yakni makna tanda konotatif) dilihat dengan menggunakan unsur – unsur pembentukan citra menurut dimensi Hype oleh Louw untuk kemudian mendapatkan gambaran
21
atas citra politik yang berusaha ditampilkan oleh akun @demo_krazy melalui meme politik di sosial media instagram. 1.7. Metodologi Penelitian Dalam sub bab terkait metodologi penelitian ini akan dipaparkan lebih jauh mengenai metodologi yang digunakan dalam penelitian berupa langkah – langkah yang digunakan dalam melakukan analisis seperti identifikasi jenis penelitian, objek penelitian atau unit analisis, metode, serta teknik analisis data. 1.7.1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang lebih menekankan pada deskripsi dan interpretasi penulis terhadap fenomena – fenomena sosial melalui penjabaran berupa kata – kata tertulis sebagai hasil pengamatan dan analisis dari objek yang diamati. Sharon Hartin Iorio menjelaskan bahwa peneliti kualitatif berusaha menjelaskan dunia daripada mengukurnya. Penelitian kualitatif bersifat menyeluruh dan interpretatif. Biasanya peneliti kualitatif turun kelapangan untuk mengumpulkan data dengan cara observasi, pengamatan dan interaksi dengan orang-orang yang menjadi subjek penelitian. Namun peneliti kualitatif juga dapat meneliti teks, atau artefak dimana mereka merekam apa yang mereka temukan (secara tertulis, video, atau bahkan gambar sebagaimana halnya meme), kemudian menganalisis dan menafsirkannya untuk kemudian menunjukkan bahwa dunia itu masuk akal untuk dipelajari.41 Materi yang dikaji dalam penelitian kualitatif biasanya berkaitan dengan studi kasus, pengalaman pribadi, introspektif, kisah hidup, wawancara, observasi, sejarah, interaksional dan teks visual.42 Dalam hal ini 41
Sharon Hartin Iorio, Qualitative Research in Jurnalism : Taking it to the Streets, Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, Mahwah, New Jersey, London, 2004, hlm.6. 42 Norman K Denzin dan Yvonna S Lincoln, Handbook of Qualitative Research, Sage Publication, London, 1994, hlm.2.
22
penelitian terkait citra DPR dalam meme politik di sosial media termasuk dalam riset teks visual dalam penelitian kualitatif. Penelitian ini lebih kepada merepresentasikan perspektif dan pendapat individu yang dalam hal ini adalah akun @demo_krazy di sosial media instagram dengan bantuan teori semiotika yang dijadikan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. 1.7.2. Objek Penelitian Objek dalam penelitian terkait citra DPR dalam meme politik di sosial media ini adalah meme politik yang terdapat dalam akun @demo_krazy di sosial media instagram, dimana meme politik disini mengandung tanda atau simbol yang mengacu pada pemaknaan terkait citra DPR yang berusaha disampaikan melalui meme politik tersebut. 1.7.3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode semiotika Roland Barthes yang membagi aspek tanda (signified dan signifier) ke dalam dua tingkatan sistem pemaknaan tanda yang dikenal dengan denotatif dan konotatif. 43 Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yakni mengumpulkan dan menganalisis data posting yang ditampilkan dalam akun @demo_krazy, dan kemudian dilakukan reduksi data untuk menetapkan data yang akan digunakan sebagai objek penelitian. Data yang digunakan sebagai objek kajian penelitian terkait citra DPR dalam meme politik di sosial media ini adalah data yang ditampilkan (data posting) oleh akun @demo_krazy selama bulan September 2014 hingga Maret 2015. Hal ini dikarenakan dalam kurun waktu tersebut DPR mengalami masa peralihan dan masa awal jabatan, sehingga citra yang kemudian muncul atau yang dimunculkan bisa saja citra “baru”, atau citra yang “melekat” pada DPR. Selain itu pada masa-masa tersebut meme DPR 43
Roland Barthes, op.cit. hlm. 108.
23
pun banyak ditampilkan oleh akun @demo_krazy karena isu terkait DPR itu sendiri menjadi sorotan seiring dengan momen pergantian dan peralihan masa awal jabatan DPR yang menarik perhatian banyak publik. Dengan melakukan pengumpulan, analisis, dan klasifikasi data posting dari akun @demo_krazy sejak September 2014 hingga Maret 2015, diketahui bahwa jumlah posting oleh akun @demo_krazy adalah sebanyak 326 kali atau sebanyak 326 data posting yang telah ditampilkan oleh akun @demo_krazy, dengan jumlah meme sebanyak 124 yang mendominasi jumlah data posting dari akun tersebut. Sedangkan 202 postingan lainnya dalam akun @demo_krazy merupakan Quote, Foto, Video, Kartun, Gambar, Teks, dan Screen Capture (berita online, Koran, twitter, dan instagram). Dari keseluruhan jumlah data posting dalam bentuk meme yang ditampilkan oleh akun @demo_krazy, tidak semua digunakan sebagai data atau objek penelitian. Untuk menentukannya peneliti menggunakan teknik reduksi data (data reduction) atau proses pemilihan dan penyederhanaan data dalam penelitian. Reduksi data dalam penelitian ini akan membantu dalam mengarahkan, menggolongkan data, mengorganisasikan data dengan membuang data yang dirasa tidak diperlukan.44 Proses reduksi data dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan analisis terhadap 124 data meme, untuk melihat dan mengklasifikasikan meme yang mengangkat isu terkait DPR. Dari 124 meme tersebut diketahui bahwa meme yang mengangkat isu DPR berjumlah 18 meme dimana 106 meme lainnya mengangkat isu-isu beragam seperti isu terkait masalah korupsi, presiden Jokowi, Kapolri, KPK, Ahok, dan lain sebagainya, dimana isu terkait DPR adalah isu yang paling banyak ditampilkan dalam bentuk meme oleh akun @demo_krazy tersebut.
44
B B Miles dan A.M Huberman, Analisa Data Kualitatif, UI Press, Jakarta, 1992, hlm. 16.
24
Dari 18 meme yang mengangkat isu mengenai DPR, peneliti mengangkat 9 meme untuk kemudian dijadikan sebagai objek penelitian melalui proses reduksi data dengan didasarkan pertimbangan atas poin-poin terkait analisis citra, dan juga respon dari khayalak, dimana meme yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah meme yang mendapatkan banyak respon dari khalayak/netizen baik dalam bentuk komentar maupun likes. Proses pengklasifikasian meme sebagaimana yang dijelaskan tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini.
326 Postingan Akun @demo_krazy
202 Lainnya (Quote, Foto, video,
124 Meme
18 Meme DPR
106 Meme Lainnya
Kartun,Gambar,Teks, dan Screen Capture (berita online, Koran, twitter, dan instagram).
9 Meme Politik Terkait DPR
Gambar 1.3. Proses Klasifikasi Data Meme Sembilan meme politik yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian terkait citra DPR dalam meme politik di sosial media ini mengangkat beragam isu terkait DPR pada masa peralihan jabatan (dari anggota DPR periode 2009-2014) dan masa awal jabatan (anggota DPR terpilih periode 2014-2019), dimana tiga gambar meme ditampilkan pada masa peralihan jabatan DPR periode 2009-2014, dan enam gambar meme yang ditampilkan pada masa awal jabatan DPR terpilih periode 2014-2019. Untuk kemudian sampai pada proses analisis data, data-data (meme politik) yang telah dikumpulkan atau diidentifikasi sebelumnya direkam
25
(captured) dalam bentuk gambar, kemudian dilampirkan, dan dianalisis melalui proses pengamatan, identifikasi, pemahaman, dan pemaknaan atas simbol atau tanda yang terdapat dalam meme politik tersebut. selain itu, studi kepustakaan juga dilakukan dengan mengumpulkan literatur – literatur yang mendukung dalam proses analisis data. 1.7.4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data diperlukan untuk membantu dalam memahami dan memaknai realitas yang berujung pada temuan-temuan yang akan menjawab permasalahan yang sebelumnya dipertanyakan dalam rumusan masalah penelitian. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sebelum dan sepanjang penelitian untuk memaksimalkan proses analisis data dan juga karena penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode semiotika yang dalam pemrosesan data nya lebih menekankan pada interpretasi penulis. Metode semiotika yang dipilih dalam penelitian ini adalah semiotika Roland Barthes yang melihat makna melalui tingkatan tanda denotatif dan konotatif melalui proses analisis terhadap penanda (signifier) dan petanda (signified).45 Dalam hal ini hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) dalam tingkat denotatif, yang dalam penelitian ini adalah simbol visual (teks & gambar) dan hubungannya dengan makna objektif dari simbol tersebut, menghasilkan tanda denotasi yang juga berperan sebagai penanda (signifier) dalam tingkat konotatif, dimana hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) dalam tingkat konotatif itulah yang akan menghasilkan tanda konotasi yang berupa mitos atau metalanguage yakni bahasa kedua yang berlaku seperti halnya bahasa pertama yang menghasilkan makna lain dari suatu tanda (makna kedua) sebagai bentuk pesan yang dituturkan.46 Yang mana dalam penelitian ini adalah makna lain
45 46
Graham Allen, op.cit, hlm. 44. Ibid, hlm. 44.
26
dari simbol-simbol visual (selain dari sekedar humor dan kritik) yang ditampilkan oleh akun @demo_krazy dalam bentuk meme politik. Untuk kemudian melihat citra politik DPR yang berusaha disampaikan oleh akun @demo_krazy melalui meme politik tersebut, maka dilakukan analisis terhadap makna konotasi dari simbol – simbol visual meme politik terkait DPR dengan menggunakan faktor-faktor pembentuk citra politik yang dikemukakan oleh Erick Louw yakni identitas, kepercayaan, dan ideologi, untuk kemudian menghasilkan pemaknaan atas citra politik DPR yang ditampilkan oleh akun @demo_krazy dalam meme politik di sosial media instagram. 1.8. Sistematika Penulisan Penelitian mengenai citra DPR yang ditampilkan dalam meme politik oleh akun @demo_krazy di sosial media instagram ini akan dipaparkan dalam 5 bab dengan rincian sebagai berikut:
Pada bab I yakni pendahuluan, akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritik, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Pada bab II, akan dijelaskan lebih jauh mengenai literatur, terkait meme sebagai media komunikasi politik, yang mana bab ini merupakan pengembangan dari kajian teoritik yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Bab III akan membahas tentang konteks penelitian yakni meme pada akun @demo_krazy di sosial media instagram, serta penjelasan sekilas mengenai akun @demo_krazy yang menjadikan sosial media khususnya instagram sebagai media komunikasi politik.
Pada bab selanjutnya yakni bab IV akan dijelaskan terkait hasil penelitian yakni pemaknaan dari tanda-tanda yang terkandung dalam
27
meme politik pada akun @demo_krazy di sosial media instagram yang memberikan gambaran tentang citra DPR yang ditampilkan oleh akun @demo_krazy di sosial media instagram.
Pada bab terakhir yakni bab V atau penutup akan dibahas mengenai kesimpulan terkait hasil penelitian dan hasil analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, dan saran yang dibutuhkan terkait penelitian serta rekomendasi yang diharapkan dapat berguna bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang akan mengkaji objekobjek yang sejenis.
28