PENDAHULUAN
Latar belakang Konflik Laut Cina Selatan merupakan salah satu konflik yang mengalami dinamika serius dan masih tanpa solusi. Konflik ini menjadi persolan bagi beberapa negara di Asia Tenggara dan Cina yang mengklaim wilayah laut ini. Saling klaim ini disebabkan oleh perebutan terhadap kekayaan sumber daya alam yang terletak di dasar Laut Cina Selatan. Perebutan wilayah laut yang terjadi antara Brunei Darussalam, Cina, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam ini memiliki implikasi serius bagi keamanan dan kedaulatan masing-masing negara. Jika ditinjau dari fakta sejarah, terdapat beberapa bukti otentik yang menunjukkan bahwa Laut Cina Selatan, yang meliputi terumbu, karang, dan bebatuan, telah dimanfaatkan oleh masyarakat Cina sebagai wilayah penangkapan ikan. Di dalam Scattered Books of the Zhou Dynasties atau Yi Zhou Shu diceritakan bahwa kelompok barbar yang hidup di laut bagian selatan Cina telah memberikan upeti kepada penguasa Dinasti Xia (2100-1600 SM) hingga Dinasti Han (206 SM – 220) berupa kerang mutiara dan penyu sisik. Tempat di mana kelompok tersebut tinggal diyakini sebagai kepulauan Paracel dan Spratly. Arkeolog Wang Hengjie membuktikan bahwa Chu State of the Spring and Autumn Period telah berhasil menguasai kelompok barbar di laut bagian selatan Cina dan meminta mereka untuk mengirimkan upeti berupa penyu sisik dan beberapa sumber daya alam langka lainnya untuk pemerintah pusat.1 Terdapat beberapa fenomena penting yang menjadikan Laut Cina Selatan sebagai lahan perebutan kekuasaan bagi negara-negara di sekelilingnya. Pada tahun 1816, Raja Gia Long yang berkuasa di Vietnam memerintahkan sekumpulan orang untuk melakukan penelitian dan pemetaan di wilayah kepulauan Paracel.2 Kemudian, pada tahun 1907, Cina mengirimkan pasukan angkatan laut untuk merencanakan eksploitasi sumber daya alam dan empat tahun setelahnya, bertepatan dengan kemenangan kelompok nasionalis di Cina, diikuti dengan pemindahan pusat administratif dari kepulauan Paracel ke Pulau Hainan.3 Kemudian, pada tahun 1939, Jepang berhasil menguasai kepulauan Paracel dan Spratly, dengan akses kontrol terhadap Paracel melalui yurisdiksi Hainan dan Spratlys melalui yurisdiksi Taiwan.4 Pada titik ini, Taiwan mulai terlibat dalam persoalan konflik Laut Cina Selatan. Di tahun 1950, seorang warga Filipina bernama Tomas Cloma mencabut bendera milik Cina yang telah tertancap di Itu Aba, salah satu pulau di kepulauan Spratly, dan mengklaim Jianming Shen, ‘Territorial Aspects of the South China Sea Island Disputes,’ dalam M. Nordquist & J.N. Moore (eds.), Security Flashpoints: Oil, Islands, Sea Access, and Military Confrontation, Martinus Nijhoff, London, 1998, pp. 150-152. 2 M.S. Samuels, Contest for the South China Sea, Methuen and Company, New York, 1982, p. 61. 3 R.C. Severino, Where the World is the Philippines?: Debating Its National Territory, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2011, p. 76. 4 S. Tonnesson, ‘The History of the Dispute,’ dalam T. Kivimaki (ed.), War or Peace in the South China Sea?, NIAS Press, Copenhagen, 2002, p. 10. 1
bahwa kepulauan Spratly adalah milik Filipina. Tindakan ini menuai kemarahan dari pihak Cina dan Vietnam, terutama saat tahun 1971, ketika Presiden Ferdinand Marcos mengklaim kepulauan Spratly menjadi milik Filipina.5 Di sisi yang lain, Brunei Darussalam dan Malaysia mengklaim sebagian dari wilayah kepulauan Spratly karena termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka. Hingga saat ini, konflik wilayah laut ini belum menemukan titik penyelesaian. Konflik di Laut Cina Selatan kembali menjadi isu hangat dalam hubungan internasional ketika orientasi politik luar negeri Cina di bawah pemerintahan Xi Jinping mengalami perubahan yang signifikan. Sejak memimpin Cina di tahun 2012, Xi memetakan sebuah upaya diplomatik yang mengesampingkan orientasi status-quo dengan meletakkan kepentingan nasional sebagai tujuan utama pada tingkat global, dan mengambil peran geopolitik yang berfokus di Asia.6 Upaya diplomatik itu khususnya terlihat pada kasus Laut Cina Selatan, melalui peningkatan eksistensi Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) di wilayah laut tersebut dan reklamasi di Kepulauan Paracel dan Spratly yang diwacanakan sebagai wujud kebangkitan dominasi Cina. Sebagai implikasinya, tindakan Cina menuai respon dari negara-negara yang bersengketa dan dilihat sebagai upaya untuk menguasai Laut Cina Selatan secara masif. Secara teoretik, Alistair Johnston tidak melihat sifat ‘asertif’ pada politik luar negeri Cina sebagai hal yang baru. Ia melihat bahwa tindakan Cina merupakan respon terhadap tindakan negaranegara lain yang provokatif.7 Pada titik ini, Johnston berusaha menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Cina bukan sebuah tindakan yang self-motivated, akan tetapi didorong oleh tindakan aktor lain. Di sisi yang lain, Henry Curtis menelaah bahwa konsistensi dari praktik politik luar negeri Cina tidak dilihat dari bagaimana ia merespon tindakan negara, melainkan bagaimana para pemimpin Cina melihat dunia. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa sejak zaman kekaisaran, revolusi Republik Rakyat Cina, hingga Republik Rakyat Cina modern, identitas Cina sebagai ‘Negara Tengah’ atau Zhong Guo adalah persepsi yang ada dan bersifat kontinu.8 Pandangan ini menunjukkan adanya faktor internal yang memengaruhi konstruksi politik luar negeri Cina. Merespon fenomena di atas, penulis ingin menelusuri lebih jauh perubahan karakteristik politik luar negeri Cina pada masa Xi Jinping. Terlepas dari asumsi untuk sekedar melihat perubahan tersebut sebagai respon terhadap tindakan negara lain yang provokatif, penulis ingin melihat pentingnya konstruksi sosial di level domestik yang berkontribusi dalam menentukan karakteristik politik luar negeri Cina dan memengaruhi hubungan Cina dengan negara-negara yang bersengketa di Laut Cina T. Okabe, ‘Coping with China,’ dalam J.W. Morley & M. Nishihara (eds.), Vietnam Joins the World, M. E. Sharpe, London, 1997, pp. 125-126. 6 Yong Deng, ‘China: The Post-Responsible Power,’ The Washington Quarterly, vol. 37, no. 4, 2014, p. 125. 7 A.I. Johnston, ‘How New and Assertive is China’s New Assertiveness?’ International Security, vol. 37, no. 4, Spring 2013, p. 7. 8 H. Curtis, ‘Constructing Cooperation: Chinese Ontological Security Seeking in the South China Sea Dispute,’ Journal of Borderland Studies, 25 July 2015, p. 9. 5
Selatan. Penulis akan mengkaji perubahan karakteristik politik luar negeri Cina dengan menggunakan pendekatan konstruktivis guna melihat pentingnya social forces yang memproduksi ide di level domestik.
Pertanyaan penelitian Penulis mengajukan pertanyaan penelitian: bagaimana implikasi dari karakteristik politik luar negeri Xi Jinping terhadap konflik Laut Cina Selatan?
Landasan konseptual Essential state Negara merupakan aktor yang sifatnya didasari oleh berbagai kepentingan yang fundamental. Alexander Wendt, salah seorang teoritisi konstruktivis terkemuka, memahami bahwa negara adalah entitas esensial yang interdependen dengan masyarakat, dalam artian tidak ada pemisahan hubungan antara negara dengan masyarakat, layaknya hubungan antara tuan dan pekerja atau guru dan murid. Di sini, hakikat dari masing-masing subjek terletak pada fungsinya yang berkaitan satu sama lain.9 Negara berdiri sebagai sebuah subjek imajinatif yang merepresentasikan masyarakatnya. Bagi Wendt, negara adalah essential state, yakni didorong secara fundamental berdasarkan identitas. Dalam logika berpikir Wendt, ide atau identitas memiliki keterkaitan dengan kepentingan (interests) dan tindakan (action): “Without ideas there are no interests, without interests there are no meaningful material conditions, without material conditions there is no reality at all.”10 Wendt percaya bahwa kepentingan subjektif dibentuk dari kepercayaan aktor mengenai identitasnya dan melalui hal tersebut akan muncul tindakan-tindakan. Kepentingan mengisyaratkan identitas atau ide karena seorang aktor tidak akan mengetahui keinginannya sampai dengan ia mengenal dirinya sendiri. Ketika identitas datang dari elemen kultural yang variatif, maka begitu pula kepentingan. 11 Oleh karena itu, Wendt melihat bahwa dalam proses mengidentifikasi negara, perlu untuk menelisik halhal spesifik yang memengaruhi arah berpikir suatu negara, yang akan berlanjut pada pembentukan orientasi politik luar negeri negara terhadap kondisi material pada lingkup eksternal.12 Konsep essential state akan digunakan oleh penulis dalam melihat karakteristik politik luar negeri Cina pada masa pemerintahan Xi Jinping. Penulis melihat bahwa ide yang dibangun atas refleksi historis terhadap kepentingan Cina di Laut Cina Selatan merupakan hal utama yang harus
9
A. Wendt, Social Theory of International Politics, Cambridge University Press, Cambridge, 2003, p. 199. Wendt, Social Theory of International Politics, p. 139. 11 A. Wildavsky, ‘Why Self-interest Means Less Outside of A Social Context,’ Journal of Theoretical Politics, vol. 6, no. 2, 1994, pp. 131-159. 12 Wendt, Social Theory of International Politics, p. 201. 10
dikaji dalam menentukan karakter politik luar negeri Cina. Dalam penelitian ini, penulis akan menelaah ide atau identitas yang dikonstruksikan oleh elemen-elemen dominan Cina, termasuk Xi, TPR, Partai Komunis Cina (PKC) dan nilai-nilai Konfusianisme, serta melihat korelasi ide tersebut dengan karakter politik luar negeri Cina. Setelah ide-ide tersebut diidentifikasi, penulis akan menarik sebuah pandangan umum tentang karakter politik luar negeri Cina terhadap konflik Laut Cina Selatan di era Xi Jinping.
Micro-level and Macro-level structures Wendt melihat bahwa politik internasional dibentuk oleh interaksi antarnegara yang berkeinginan (intentional actors), bukan negara yang diatur oleh strukturnya. Micro-level structure sebagai rasionalisasi utama berpikir Wendt menggambarkan sebuah lingkup di mana negara-negara dengan ide atau identitas yang berbeda berinteraksi satu sama lain (state-to-state interaction). Dalam titik ini, ide atau identitas yang dimiliki negara dan dimanifestasikan dalam bentuk politik luar negeri dipertimbangkan sebagai faktor penting dalam interaksi sosial antarnegara. Wendt melihat bahwa dalam struktur ini negara bukanlah aktor yang bertindak atas pengaruh struktur di mana ia berada, melainkan sebagai agen yang mendorong terciptanya struktur, yang tergantung pada pola interaksinya dengan negara lain. Meski demikian, dalam penggunaan cara berpikir ini, perlu terdapat batasan dalam melihat aktor yang berinteraksi. Menurut Wendt, aktor-aktor yang berinteraksi dalam politik internasional adalah mereka yang melihat satu sama lain sebagai ‘faktor penting’ dalam menentukan pilihan.13 Dalam konteks batasan ini, dapat dilihat bahwa hubungan antarnegara yang berinteraksi bersifat relational atau saling berkaitan. Interaksi yang terjadi pada bagian micro-level structure cenderung tidak dapat ditentukan hasilnya. Wendt tidak sepakat bahwa interaksi akan berakhir hanya sebagai konflik atau kerja sama. Hal ini tergantung pada bagaimana negara mengalami transformasi kepentingan berdasarkan hasil interpretasi terhadap situasi politik internasional beserta aktor-aktornya, layaknya seorang individu menyesuaikan kepentingannya dengan kondisi lingkungan sosial dan orang-orang di dalamnya.14 Berangkat dari kepentingan yang berbeda-beda, aktor-aktor berinteraksi; interaksi tersebut mengalami proses penyederhanaan membentuk sebuah kesepakatan kognitif yang berisi nilai, norma, dan kepercayaan. Dengan kata lain, mereka membentuk “shared idea” atau budaya. Bila dalam perspektif liberal dalam studi Hubungan Internasional kesepakatan cenderung dilihat sebagai platform kerja sama, Wendt melihat kesepakatan sebagai produk subjektivitas sosial yang abstrak, konstitutif, serta terbentuk dari proses signaling, interpreting, dan responding.15 Berdasarkan skema 13
Wendt, Social Theory of International Politics, p. 148. A. Wendt, ‘Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics,’ International Organization, vol. 46, no. 2, Spring 1992, p. 398. 15 Wendt, ‘Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics,’ p. 405. 14
ini, interaksi dari aktor-aktor yang terlibat akan jatuh pada dua bentuk budaya, yakni konflik atau kerja sama. Jika interaksi tersebut bekerja secara terus-menerus, “pembentukan standar secara resiprokal” ini akan menciptakan konsepsi mengenai ‘diri’ dan ‘lainnya’ dalam konteks atau isu tertentu, yang akan sulit untuk diubah tanpa faktor determinan yang kredibel. Dua bentuk budaya tersebut yang didefinisikan oleh Wendt sebagai macro-level structure. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan konsep micro-level structure untuk menelaah interaksi Cina dengan Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan. Dengan kerangka micro-level structure, kajian ini akan merujuk pada interaksi yang tengah berlangsung dan menekankan kepentingan-kepentingan negara tersebut. Penelusuran mengenai implikasi positif maupun negatif dari karakteristik politik luar negeri Cina terhadap konflik Laut Cina Selatan dapat dikaji secara mendalam. Di bagian lain, konsep macro-level structure akan digunakan untuk memprediksi hasil interaksi yang terbentuk di Laut Cina Selatan pada era Xi Jinping. Hal ini menjadi penting untuk menjelaskan kesepakatan atau budaya apa yang akan terbentuk di dalam konflik Laut Cina Selatan. Argumentasi utama Konstruktivisme menunjukkan bahwa karakteristik politik luar negeri Cina di era Xi Jinping merupakan irisan dari berbagai ide yang tumbuh di level domestik. Fakta bahwa Xi Jinping muncul sebagai pemimpin yang mengutamakan identitas, ideologi komunis sebagai tradisi berpikir PKC, nilai-nilai Konfusianisme, dan persepsi TPR mengenai keamanan Cina adalah sekumpulan faktor domestik yang melekat pada karakteristik politik luar negeri Cina di era Xi Jinping. Pada level analisis yang berbeda, konstruktivisme juga menunjukkan bahwa Cina mampu mengedepankan interaksi guna mencapai kesepakatan dengan sejumlah negara anggota ASEAN dan Taiwan daripada menggunakan cara kekerasan/perang. Cina menganggap negara-negara tersebut menjadi ‘faktor penting’ dalam menentukan pilihan. Namun, ketika militer Cina menunjukkan kekuatannya di Laut Cina Selatan, situasi konflik di wilayah ini memburuk. Tindakan Cina cenderung dinilai asertif oleh negara-negara di atas dan direspon dengan cara yang serupa. Sistematika penulisan Penelitian ini akan dibagi ke dalam lima bagian. Setelah Bagian Pertama ini, Bagian Kedua akan mendeskripsikan isu konflik Laut Cina Selatan sebelum era Xi Jinping dan membahas pentingnya perspektif konstruktivisme sebagai pandangan alternatif dalam kajian politik luar negeri Cina. Pada Bagian Ketiga, penulis akan mendeskripsikan karakteristik politik luar negeri di era Xi Jinping dan menganalisis ide-ide yang berkembang di level domestik dengan menggunakan konsep essential state.
Di Bagian Keempat, penulis akan menganalisis status dan kemajuan konflik Laut Cina Selatan di masa pemerintahan Xi Jinping. Menggunakan konsep micro-level structure, bagian ini akan menyajikan proses signaling, interpreting, dan responding oleh Brunei, Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan terhadap implementasi karakteristik politik luar negeri Cina. Skripsi akan diakhiri dengan Bagian Kelima, yang berisikan kesimpulan dan inferensi yang dapat ditarik dari hasil penelitian.