BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejak berakhirnya perang dingin, isu hak asasi manusia merupakan wacana yang menjadi topik perdebatan dalam hubungan internasional, tak terkecuali di kawasan Asia Tenggara. ASEAN yang didirikan pada 1967 sebagai kawasan berbentuk security community, dikarenakan adanya kehadiran kepentingan dan identitas bersama di antara negara anggota untuk menciptakan hubungan damai di dalamnya1. Sayangnya kepentingan untuk menciptakan kawasan yang damai dan stabil seringkali diwarnai berbagai gejolak yang menjurus pada sejumlah isu pelanggaran hak asasi manusia. Isu hak asasi manusia masih menjadi wacana sensitif di kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut terbukti dengan masih adanya sejumlah pelanggaran hak asasi manusia di negara-negara anggota ASEAN. Kondisi ini menunjukkan sebuah ironi dimana negara-negara anggota ASEAN memulai kesepakatan untuk menghargai HAM dengan mempromosikan dan memproteksi sebagaimana yang tercermin dalam pembentukan “ASEAN Charter” pada 20 November 2007 di Singapura2, sebagai sebuah perjanjian bersama yang mengikat secara hukum dalam suatu wadah bersama. Dalam piagam ASEAN Bab I, pasal 1 (ayat 7) yang dikatakan sebagai “Komunitas ASEAN” adalah sebuah komunitas
yang ditujukan untuk
memperkuat demokrasi dan melindungi hak asasi manusia. Kemudian, pada pasal 14 juga disebutkan bahwa untuk memajukan dan melindungi hak-hak asasi dengan
membentuk
badan
mengimplementasikan
hal
Hak
Asasi
tersebut
Manusia maka
ASEAN.
Untuk
dibentuklah
The
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) pada 23
1
Amitav Acharya. 2001. Constructing A Security Community In South-East Asia: ASEAN And The Problems of Regional Order. London and New York: Routledge,p.18-19 2 Asean Charter (http://www.aseansec.org/publication/ASEAN-Charter.pdf), diakses pada 31 Mei 2014
1
Oktober 20093. Kemajuan komitmen ASEAN terhadap hak asasi manusia juga dapat dilihat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN (AHRD)4 dan roadmap komunitas ASEAN 2009-20155. Berbagai langkah di atas merupakan suatu bentuk untuk menghargai dan mengakui keberadaan hak asasi manusia. Ironisnya, ASEAN sebagai kawasan yang dianggap berhasil dalam memelihara stabilitas perdamaian, keamanan dan pembangunan ekonomi kawasan, masih belum sebanding dengan langkahlangkahnya untuk mempromosikan dan menegakkan HAM. Berbagai sorotan dunia internasional terhadap pelanggaran hak asasi di ASEAN masih tinggi. Sejumlah persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang telah dan masih terjadi di kawasan Asia Tenggara diantaranya di Kamboja terkait kasus genosida berupa kejahatan kemanusiaan pada era Pol Pot yang belum terselesaikan dan konflik perbatasan Kamboja-Thailand atas klaim kuil Preah Vihear yang menimbulkan sejumlah penduduk menjadi korban serangan baku tembak antara keduanya. Selanjutnya, di Thailand terdapat sejumlah aksi penembakan maupun pengeboman terhadap Melayu Pattani dari pemerintah pusat Thailand sebagai respon separatisme yang menimbulkan korban ratusan masyarakat Pattani yang mayoritas beragama Muslim. Di Malaysia juga terjadi pelanggaran HAM dalam bentuk diskriminasi rasial dan pemberlakuan Internal Security Act. Di Filipina, terjadi pelanggaran HAM terkait terjadinya krisis demokrasi, di mana adanya penentangan pihak militer terhadap pemerintahan Marcos yang menyebabkan pertumpahan darah dan perang sipil terkait pelanggaran HAM terhadap suku Moro-Mindanao. Pelanggaran HAM terhadap Etnis Konghuchu pada era Orde Baru dan beberapa kelompok minoritas agama seperti Ahmadiyah dan kasus
3
Tan Hsien Li. 2011. The ASEAN Inter-Govermental Commission on Human Right: Institutionalishing Human Rights In Southeast Asia, Cambridge: Cambridge University Press, p.4 4 The Asean Human Right Declaration ditandatangani pada 18 November 2012 dalam KTT ASEAN ke 21 di Pnom Penh, Kamboja. 5 ASEAN berkomitmen untuk untuk mempromosikan perkembangan politik dalam kepatuhan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, aturan hukum dan tata pemerintahan yang baik, penghormatan dan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental sebagaimana tertulis dalam Piagam ASEAN
2
Sunni-Syiah di Indonesia. Berikut Tabel sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di negara anggota ASEAN yang telah dilaporkan ke AICHR. Tabel 1.1. Sejumlah Pelanggaran HAM ASEAN yang dilaporkan ke AICHR 6 Negara Brunei Darussalam
Kamboja
Indonesia
Laos Malaysia
Myanmar
Filipina
Singapura
Kasus Pelanggaran HAM Keinginan Pemerintah Brunei Darussalam menerapkan hukum syariah pada Mei 2014 yang juga berlaku untuk warga non-Muslim. Salah satu hukum syariah yang dianggap tidak sesuai norma HAM yaitu penerapan hukum cambuk dan rajam hingga mati kepada beberapa pelanggar diantaranya perempuan hamil diluar nikah, menyebarkan agama lain, meninggalkan sholat jumat, dll. Pada Mei 2012, penangkapan dan pemidanaan 13 aktivis perempuan dalam aksi protes memperjuangkan hak ganti rugi akibat penggusuran di kawasan danau Boeung Kak, Phnom Penh serta penganiayaan oleh aparat kepolisian. Perusakan rumah dan tempat ibadah warga Ahmadiyah dan syiah di sejumlah daerah, polemik keberadaan GKI yasmin di Bogor. Hilangnya aktivis lingkungan Sombath Somphone sejak Desember 2012. Penangkapan dan pemukulan sejumlah peserta aksi BERSIH dalam menuntut pelaksanaan Pemilu 2012 yang jujur dan adil serta sejumlah bentuk diskriminasi rasial dan pemberlakuan Internal Security Act. Kerusuhan etnis di negara bagian Rakhine pada Juni 2012 yang mengakibatkan sejumlah kerusakan dan korban baik dari etnis Rohingya maupun Rakhine hingga memunculkan pergerakan anti-muslim dan memicu kekerasan. Pembunuhan sejumlah wartawan dalam konvoi politik tertentu yang sedang menyerahkan dokumen kepentingan pemilu pada November 2009 yang dikenal pembantaian Magulndanao. Pemerintah melakukan deportasi terhadap sejumlah pengemudi bus asal China dan menangkap lima lainnya karena mogok kerja, dimana mogok kerja adalah pelanggaran hukum bagi pekerja bidang jasa kecuali atasan telah mendapat pemberitahuan 14 hari
sumber didapatkan dari Laporan Penelitian Wahyudi Djafar, dkk. 2014. “Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia di ASEAN. Infid, p. 41-48 dan disadur dari berbagai media massa 6
3
Thailand
Vietnam
sebelumnya. Pengadilan pidana Bangkok menghukum Somyot Prueksakasemsuk, aktivis politik Thailand yang dituduh menghina monarki Thailand pada 2011 dan pengajuan tindak pidana oleh militer AL Thailand terhadap dua wartawan, Alan Morison dan chutima Sidasathian atas tuduhan pencemaran nama baik dalam memperlakukan pencari suaka pada 2014 Penahanan para Blogger yang melakukan kritikan kepada pemerintah melalui internet yang dianggap melakukan makar terhadap terhadap pemerintahan Vietnam.
Berdasarkan sejumlah negara ASEAN, salah satu negara anggota yang masih menjadi sorotan internasional terkait pelanggaran HAM adalah Myanmar. Kondisi Myanmar mempersulit persepsi ASEAN di negara-negara mitra dialog termasuk kesangsian kepemimpinan ASEAN oleh Myanmar periode 2014. Isu permasalahan domestik Myanmar hampir tidak pernah absen dari agenda pertemuan intern para Menteri Luar Negeri ASEAN serta antara ASEAN dan mitra dialognya, bahkan karena desakan Amerika Serikat, Myanmar nyaris dibahas dalam forum PBB. Isu tentang tindakan Junta Militer di Rangon terhadap gerakan pro demokrasi yang dimotori Aung San Syu Kyi, sebagai sebuah isu yang bukan saja akan mempengaruhi kohesivitas jangka panjang ASEAN dan citra internasionalnya, tetapi juga hubungan ASEAN dengan negara-negara lain maupun institusi internasional di luar ASEAN. Wacana pelanggaran HAM yang masih terjadi hingga saat ini yaitu terhadap etnis-etnis minoritas, salah satunya Etnis Muslim Rohingya. Menurut data Amnesti Internasional pada periode 1991-1992, kurang lebih 250 ribu Etnis Rohingya mengungsi dan memasuki wilayah Bangladesh. Permasalahan Rohingya menjadi sorotan publik internasional setelah diketemukannya ribuan Etnis Rohingya dari Myanmar terdampar di Aceh pada 2009 dan mengungkapkan perlakuan buruk yang mereka terima selama berada di Thailand, salah satunya
4
perlakuan Angkatan Laut Thailand yang mengembalikan mereka ke laut Andaman dengan sedikit perbekalan dan perahu tanpa mesin7. Etnis Rohingya mendiami dua kota di Utara Negara Bagian Rakhine, yang dulu dikenal dengan nama Arakan, wilayah bagian barat Myanmar. Fisik Etnis Rohingya yang dianggap berbeda oleh Pemerintahan Myanmar sehingga menjadi salah satu faktor permasalahan karena dianggap sebagai bukan warga negara. Ironisnya Negara Bangladesh, yang secara fisik dianggap mirip menganggap bahwa Etnis Rohingya bukan bagian dari warga negaranya. Akibatnya, Etnis Rohingya dianggap sebagai orang-orang tanpa kewarganegaraan atau stateless. Kondisi seseorang tanpa kewarganegaraan dalam kehidupan sehari-hari, dapat menjadi akar penyebab pelanggaran hak-hak lainnya seperti hak pendidikan, kesehatan, pernikahan, pekerjaan, bahkan hak politik. Tidak hanya kondisi stateless, kesulitan untuk mendapatkan status pengungsi dan hak-hak sipil di negara lain juga dialami8. Sayangnya, permasalahan Etnis Rohingya kemudian senyap dan akhirnya menjadi sorotan kembali setelah terjadinya kekacauan pada 2012 setelah terjadi eskalasi konflik antara Buddha Arakan dengan Muslim Rohingya. Beberapa jaringan media dan pemerhati HAM melaporkan bahwa eskalasi konflik terjadi secara sistematis terhadap muslim Rohingya meliputi pemukulan, pemenggalan, pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran tempat tinggal, pengusiran dan isolasi bantuan ekonomi yang didukung oleh pendeta Buddha lokal dan aparat keamanan Myanmar9. Tercatat 650 orang Etnis Rohingya tewas, 1.200 warga hilang, dan sekitar 80 ribu lainnya kehilangan tempat tinggal dan lantas mengungsi ke daerah perbatasan atau luar negeri10. Tidak hanya di domestik Myanmar, kondisi memprihantinkan Etnis Rohingya juga terjadi di negara-negara lain seperti Thailand, Malaysia, Indonesia, Bangladesh. Selain isu pelanggaran HAM, isu human trafficking dan radikalisme juga dialamatkan berkaitan dengan
7
The Equal Right Trust. 2014. The Human Right of Stateless Rohingya In Thailand, p.9 Kristy Crabtree. Between A Crocodile And Snake. Hufingtonpost 3 Mei 2010 (http:www/hufingtonpost.com/kristy-crabee/between-a-crocodile-and). 9 Andrew R.C. Marshall. The War of the Rohingnyas, Reuters - Special Report, 15 June 2012, 10 Safril Mubah. SBY dan Genosida Rohingya. Jawa Pos, 24 Juli 2012 8
5
Etnis Rohingya semisal adanya isu penyerangan kuil Budha di Makasar dan rencana pengeboman kedutaan besar Myanmar di Indonesia11. Meningkatnya berbagai sorotan dunia terhadap isu pelanggaran hak-hak asasi terhadap Rohingya, menjadikan permasalahan ini tidak hanya permasalahan domestik Myanmar. Sebagai negara anggota ASEAN, kondisi Myanmar yang berangsur-angsur memulai proses demokrasi menjadikan isu HAM menarik perhatian publik baik organisasi pemerintahan maupun non-pemerintahan. Selain itu, ASEAN sebagai institusi regional yang sedang berupaya menunjukkan keseriusan dalam upaya promosi dan penegakan HAM, isu Etnis Rohingya jelas menjadi hambatan dan sorotan dunia internasional. Ditemukannya indikasi pelanggaran HAM dengan kondisi memprihatinkan di negara-negara anggota ASEAN lainnya, Etnis Rohingya menjadi bahasan dalam beberapa forum pertemuan ASEAN. Pada Agustus 2012, jajaran kementerian luar negeri ASEAN telah mengeluarkan pernyataan sikap atas permasalahan ini. Sayangnya, sikap antar anggota ASEAN dalam penyelesaian Rohingya diwarnai perbedaan respon satu sama lain.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, pertanyaan yang diajukan yaitu “bagaimana respon negara anggota ASEAN secara individu (negara) maupun kolektif (institusi regional) atas pelanggaran HAM? Dalam tesis ini difokuskan terhadap Etnis Rohingya sebagai contoh kasus pelanggaran HAM di kawasan ASEAN.
C. Literatur Review Keberadaan isu hak asasi manusia di ASEAN mengalami pertumbuhan yang signifikan dimana berbagai langkah untuk memajukan HAM mulai dijalankan dengan adanya upaya-upaya internalisasi nilai-nilai HAM di kawasan melalui pembentukan working group, tercapainya ASEAN Charter, terbentuknya komisi 11
Rahmat. FPI Attacks Buddhist Temples During Rohingya Protest. The Jakarta Globe,10 Agustus 2012
6
HAM ASEAN (AICHR) pada 2007 hinga deklarasi HAM ASEAN pada 2012. Upaya pelembagaan norma hak asasi manusia tidak hanya sebatas di kawasan namun juga di wilayah domestik beberapa negara anggota ASEAN semisal Philipina, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Namun tidak berarti pada Negara tersebut isu pelanggaran HAM tidak terjadi, termasuk Negara-negara anggota lainnya seperti hasil penelitian Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) pada 2010 dan SEAHRN (2011) dalam wacana HAM di ASEAN. Literatur-literatur sebelumnya terkait dengan diskursus pelanggaran HAM terhadap Etnis Rohingya selama ini masih terbatas pada pendeskripsian secara umum masalah yang dialami serta pelanggarannya yang dilihat dari perspektif hukum internasional seperti Hukum Pengungsi Internasional, Pidana Internasional dan peran organisasi internasional (missal UNHCR dan IOM) dalam menangani status pengungsi Rohingya. Isu Etnis Rohingya sebagai sebuah laporan pelanggaran HAM di kawasan Asia Tenggara ditulis oleh Irish Center Human Rights (ICHS) (2010) yang berjudul “Crimes Against Humanity In Western Burma: The Situation of The Rohingyas. Laporan tersebut menunjukkan adanya respon masyarakat sipil dalam organisasi internasional bahwa terjadi kejahatan kemanusiaan terhadap Etnis Rohingya di Myanmar Barat sesuai Statuta Roma pasal 7 dengan metode normatif. Hasil dari penelitian menunjukkan adanya kejahatan kemanusiaan terhadap Etnis Rohingya di Myanmar barat yang berbentuk perbudakan, deportasi atau pemulangan paksa, kekerasan seksual, dan penyiksaan sehingga dapat dinyatakan bahwa kejahatan kemanusiaan terhadap Rohingya di bagian barat Burma merupakan tindak pidana internasional sehingga layak disebut sebagai kasus genosida. Kondisi tersebut juga seperti yang dituliskan oleh Benjamin Zawacky (2013) dengan judul ‘Defining Myanmar’s Rohingya Problem”. Artikel tersebut mendefinisikan permasalahan yang dihadapi Etnis Rohingya di Myanmar dari tiga hal yaitu nasionalitas dan diskrimnasi, statelessness dan displacement, serta doktrin Responsibility To Protect. Kipgen (2013) berjudul “Addressing the Rohingya Problem” dalam Journal of Asian and African studies. Artikel tersebut
7
melihat masalah Rohingya dari sejarah singkat dan respon internasional atas keadaan riot yang pecah pada bulan Juni-Oktober 2012. Dengan melihat kondisi dan respon tersebut maka Kipgen mengkonsentrasikan pada persepsi umum terhadap konflik yang terjadi dengan kondisi demokratisasi negara Myanmar. Menurutnya keadaan tersebut dapat dipecahkan dengan menggunakan pendekatan consociational democracy. Sedangkan isu HAM Etnis Rohingya di luar Myanmar ditulis oleh Brad K Blitz (2010) yang menunjukkan adanya respon negara Burma, Malaysia, dan Thailand terhadap pengungsi Rohingya. Berbeda dengan tulisan laporan The Equal Right Trust (2014) yang menunjukkan adanya pelanggaran HAM terhadap Etnis Rohingya di Thailand. Hasil analisis dari laporan ini lebih menunjukkan kepada bagaimana peran Thailand sebagai negara yang telah mengadopsi tujuh instrument hak asasi manusia internasional namun melakukan tindakan diskriminatif terhadap Rohingya seperti penahanan, deportasi paksa, korban perdagangan manusia dan penyelundupan. Menurut laporan tersebut, keadaan diskriminasi yang dialami Rohingya dikarenakan statusnya yang stateless dan tidak diakui sebagai status pengungsi oleh otoritas Thailand. Berdasarkan literatur tersebut perbedaan penelitian ini dengan sebelumnya yaitu memfokuskan pada respon Negara-negara anggota Asean secara individual maupun kolektif terhadap isu pelanggaran HAM Etnis Rohingya. Dengan adanya perbedaan respon negara baik sebagai individu maupun kolektif sebagai institusi ASEAN dapat mempengaruhi sikap Negara-negara kawasan Asia Tenggara terhadap isu hak asasi manusia, khususnya Etnis Rohingya.
D. Kerangka Konseptual Hak Asasi Manusia dan diskursus di ASEAN Secara umum Hak Asasi Manusia adalah hak-hak fundamental yang dimiliki seseorang sejak dalam kandungan dan berlaku secara universal. Nilai universal HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development). Isu ini mulai menjadi pusat perhatian dalam percaturan
8
politik internasional setelah berakhirnya perang dunia kedua dengan dikukuhkan dalam instrumen internasional. Hak Asasi menurut kamus besar bahasa Indonesia merupakan hak dasar atau hak pokok sedangkan Hak Asasi Manusia adalah hak yang dilindungi secara internasional. Badan Persatuan Bangsa-bangsa menafsirkan Human right could generally be defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human being”12. Dalam deklarasi universal HAM 1948 disebutkan pada pasal 1 dan 2 sebagai konsepsi HAM sebagai berikut: (pasal 1) ”Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dari hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaual satu sama lain dalam semangat persaudaraan. (pasal 2) ”setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam pernyataan ini tanpa perkecualiaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau pendapat lain yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain..........................”. Pendefinisian Miriam Budiarjo tidak jauh berbeda dimana Hak Asasi merupakan hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin dan karena itu bersifat azasi serta universal13. Sedangkan Donely mendefinisikan sebagai hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena dia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau hukum positif melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia14. Dalam kehidupan bernegara, menurut James Nikel, HAM adalah normanorma yang bersifat politis yang pada umumnya terkait dengan bagaimana orang seharusnya
diperlakukan
oleh
negara
dan
institusi-institusinya.
Sebagai
konsekwensinya, maka pada tataran domestik, pemerintah diberikan kewenangan Muladi. 1995. (dalam Kunarto. 1997). “HAM dan POLRI”. Jakarta: PT. Cipta Manunggal. P. 9 Miriam Budiardjo. 1996. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: PT Gramedia. P.120 14 Jack donnely, 2003, “Universal Human Rights in theory and practice, Ithaca and London: Cornell University Press, p.7-21. 12 13
9
untuk melakukan variasi-variasi yang sesuai konteks di mana HAM tersebut diterapkan.15 Dalam konteks ini, Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi HAM. Sifat HAM sebagai high-priority norms yang artinya “sekelompok norma yang sangat pokok” dan “pelanggaran terhadapnya merupakan serangan serius atas keadilan”16. Maka dari itu, Pemerintah menjadi pihak utama penanggung jawab dalam merealisasikan dan memfasilitasi normanorma HAM. Karel Vasak mengklarifikasi substansi HAM menjadi tiga generasi sebagai satu kesatuan, saling berkaitan dan saling melengkapi. Generasi pertama konsep HAM berkaitan dengan hak sipil dan politik yaitu hak-hak liberal untuk tidak dicampuri dan hak partisipasi demokratik yang terkandung dalam konsep HAM klasik. Hak-hak tersebut seringkali diidentifikasikan sebagai hak-hak individu yang tercantum dalam pasal 2-21 DUHAM. Konsep tersebut lebih membatasi HAM pada tataran hubungan vertikal antara negara dengan individu. Pelanggaran yang sering terjadi yaitu dalam bentuk campur tangan negara terhadap kebebasan individu. Bentuk pelanggaran HAM generasi pertama yang dihadapi Rohingya berupa pembatasan agama, politik, hak milik, status kewarganegaraan, hingga tindak penganiayaan oleh negara. Generasi kedua merupakan konsep HAM yang mengharmonisasikan kepentingan-kepentingan individu (hak sipil-politik) dan kolektif (hak ekonomi, sosial dan budaya) seperti yang tercantum dalam pasal 22-27 DUHAM. Dalam HAM dimensi kedua menunjukkan bahwa negara bertugas sebagai penjamin hakhak atas pekerjaan, kesehatan, pendidikan, berkumpul dan lain sebagainya yang diterapkan
sesuai
kepentingan-kepentingan
kolektif.
Akibat
status
kewarganegaraan dan hukum Etnis Rohingya yang tidak diakui negara, sejumlah hak atas jaminan sosial, pekerjaan yang layak, penikmatan kebudayaan serta pendidikan anak-anak sangat dibatasi dan terdiskriminasikan. Pelanggaran tidak hanya dilakukan oleh pihak negara namun juga kelompok masyarakat lain.
Pranoto Iskandar, 2012, “hukum HAM Internasional: Sebuah pengantar kontekstual”, Cianjur: Institute for Migrant Rights press, p.51 16 James Nickel, 2014, human rights, at < http://plato.stanford.edu/entries/rights-human/> 15
10
Sedangkan generasi ketiga berkaitan dengan hak-hak kolektif masyarakat yaitu hak-hak dasar untuk menentukan nasib sendiri, hak atas pembangunan. Konsep HAM pada generasi ketiga tertuang dalam pasal 28 DUHAM. Generasi ini muncul sebagai bentuk kesadaran negara-negara selatan atau dunia ketiga atas tatanan internasional yang adil dan universalisme HAM. Hak-hak pokok dari generasi ketiga yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri, yang ditafsirkan sebagai hak-hak rakyat terjajah atas kemerdekaan politik dari kolonialisme, kebebasan mengatur sumber daya alam, hak atas pembangunan yang ditentukan sendiri, hak atas perdamaian, hak atas warisan budaya, dan hak atas lingkungan hidup yang baik17. Ketiga konsep tersebut juga diperkuat dengan kovenan PBB 1966 (kovenan tentang hak sipil dan politik serta kovenan tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri)18, sejumlah deklarasi, konvensi, dan perjanjian internasional lainnya dimana hampir semua negara mendukung dan meratifikasinya. Melalui Ratifikasi membuka proses integrasi norma hak-hak Asasi Manusia dalam sistem hukum nasional. Konsekwensinya adalah kewajiban negara dan warganya untuk menghormati, memenuhi dan melindungi semua HAM yang telah tercantum. Penetapan HAM sejatinya bertujuan sebagai bentuk perlindungan manusia baik dalam lingkup nasional maupun internasional dari upaya-upaya pelanggaran HAM. Perkembangan HAM sendiri dapat dikatakan sebagai sebuah proses dinamika difusi norma baik pada level internasional, regional maupun nasional. Seiring perkembangan tersebut, pelanggaran atasnya oleh aparat negara juga muncul bersamaan dengan kesadaran universal akan masyarakat sipil untuk turut serta mencermati, mengawasi dan bereaksi terhadap tindak pelanggaran HAM yang dikenal dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM berperan besar dalam perkembangan dan perlindungan HAM diantaranya dengan memberikan tekanan moral dan politik terhadap negara-negara pelanggar HAM
Manfred Nowak, 2003, “pengantar pada Rezim HAM Internasional” (terjemahan sri sulastini), depkumham & martinus nijhoff publisher, p.25 18 Ibid. 17
11
Ribuan kelompok dan organisasi HAM lokal, regional dan internasional membentuk sebuah jaringan global yangmana Keck dan Sikkink menyebutnya sebagai jaringan advokasi transnasional. Jaringan advokasi memiliki kontribusi besar untuk menempatkan norma sosial budaya yang akan mendorong proses integrasi regional-internasional19. Jaringan advokasi transnasional berperan sebagai salah satu kerangka untuk menganalisis evolusi norma dan mengacu pada bentuk spesifik organisasi yang terdiri dari berbagai aktor (lembaga internasional maupun domestik non-pemerintah, pejabat pemerintahan, organisasi internasional, media, akademisi, organisasi intergovermental regional maupun internasional) dengan share collective understanding dan identitas kolektif yang berkaitan dengan norma HAM20. Menurut Keck dan Sikkink, jaringan tersebut bertujuan untuk mengubah behaviour state, mempromosikan implementasi norma dengan memberikan tekanan, memonitoring pelaksanaan norma sesuai standar regional dan internasional serta berkontribusi mengubah prosedur, kebijakan, dan perilaku negara21. Berdasarkan pada jaringan tersebut, Sikkink dan Rise menjabarkan melalui “spiral model” yang terdiri dari lima fase22 yaitu Represion and activation of network; denial; Tactical concenssions; Prescriptive status; dan Rule-consistent behavior. Menurut mereka bahwa penyebaran isu hak asasi manusia pada dasarnya merupakan proses sosialisasi norma. Lima fase tersebut diidentifikasi untuk menggambarkan interaksi dinamis antara jaringan advokasi transnasional dan otoritas pelanggar hak23.Spiral model membangun sebuah hipotesis tentang kondisi di mana ada harapan pergerakkan dari satu fase dari model spiral ke fase berikutnya. Fase-fase antar spiral model dibedakan oleh respon dominan dari negara pelanggar norma HAM kepada masyarakat dan aktivitas jaringan transnasional. Jadi, spiral model ini untuk mengidentifikasi mode dominan 19
Keck dan Sikkink, 1999, Transnational advocacy networks in international and regional politics, UNESCO, p.89-90 20 Rise and sikkink. p21 21 Keck dan Sikkink.1998. Activists Beyond Borders:Advocacy Networks In International Politics. Ithacca: Cornell University Press. p.3 22 Thomas Risse, dkk. 1999. The Power Of Human Rights. New York: Cambridge University Press, p.18 23 Ibid,p.22-35
12
interaksi sosial pada masing-masing fase dan akhirnya mengspesifikasikan mekanisme sebab-akibat norma HAM universal yang berdampak pada perubahan struktur domestik maupun regional sebagai sebuah kesatuan kawasan. Dalam memandang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di negara pelanggar, jaringan advokasi transnasional memulai meletakkan pelanggaran yang terjadi ke dalam agenda internasional dengan bukti-bukti memadai yang telah terkumpul.
Aktivitas
jaringan
tersebut
memulai
kampanye
dengan
mempublikasikan tindakan pelanggaran yang terjadi, memunculkan kesadaran moral dan melobi pembuat kebijakan untuk memberikan tekanan. Respon awal yang terjadi, seringkali disanggah dan menolak memvalidasi pelanggaran tersebut atas nama norma hak asasi manusia. Hal tersebut dianggap sebagai bentuk legitimasi
intervensi
dalam
negeri,
terutama
negara-negara
yang
berprinsip“national sovereignty” dan “non-interference. Fase ketiga kemudian dimulai untuk mendiskripsikan situasi dimana negara menghadapi peningkatan tekanan dari luar. Dari kondisi tersebut muncullah upaya mengadopsi langkah-langkah tertentu untuk menenangkan kritik internasional yang ditujukan. Pemerintah biasanya memulai fase ketiga dengan membuat kebijakan yang berkaitan dengan kondisi HAM dan mempertimbangkan reputasi atau image internasional. Oleh karenanya, motivasi dari tactical concessions merupakan instrumen untuk mengurangi tekanan eksternal atau mempertahankan stabilitas domestik. Fase keempat, prescriptive status, mengindikasikan lebih lanjut terkait internalisasi norma dan praktik HAM yang nantinya dapat dilihat pada menguatnya kebijakan secara menyeluruh atau penerimaan terhadap norma HAM meskipun belum menjadi konsistensi perilaku. Berikutnya pada fase kelima, pemerintah telah menginstitusionalisasi norma HAM internasional ke dalam praktek kehidupan bernegara. Fase ini akan terjadi jika jaringan advokasi transnasional dan domestik mempertahankan tekanan untuk mencapai perbaikan berkelanjutan kondisi HAM. Fase kelima dianggap berhasil bila norma HAM internasional secara penuh terinstitusionalisasi, pemenuhan norma menjadi sebuah praktik kebiasaan, dan diperkuat dengan legalitas hukum.
13
Seiring perkembangan HAM, menjelang berakhirnya perang dingin, isu relativisme Budaya muncul sebagai respon atas klaim universal gagasan HAM internasional.
Gagasan atas relativisme Budaya muncul pada 1990-an yang
diusung oleh negara-negara berkembang dan negara Islam. Gagasan tentang relativisme budaya menyatakan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral24. Akibatnya hak asasi manusia perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara dimana semua kebudayaan mempunyai hak hidup atau martabat yang sama dan harus dihormati. Beberapa pemimpin diantaranya Lee Kwan Yew (Singapura) dan Mahathir Muhammad (Malaysia) mengajukan klaim yang dikenal dengan “nilai-nilai Asia” (Asian Value)25. Klaim ini didukung oleh mayoritas negara-negara Asia, termasuk negara-negara ASEAN. Proses perkembangan HAM negara-negara ASEAN cukup rumit dan panjang. Universalisasi HAM didukung oleh negara-negara ASEAN namun tidak sepenuhnya membenarkan konsep tersebut. Universalisasi nilai-nilai hak asasi manusia internasional dianggap lebih menitikberatkan aspek sosial dan kolektif atas hak asasi manusia. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan masyarakat yang hidup di kawasan Asia Tenggara dimana masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan asal, menghormati kultur dan custom secara turun temurun. Oleh karenanya, pemimpin-pemimpin ASEAN mengharuskan Hak asasi manusia yang didengungkan oleh PBB harus berjalan beriringan dengan kebudayaan timur Asia Tenggara26. Proses adaptasi pengakuan HAM disesuaikan dengan kondisi ASEAN seringkali menghasilkan bentuk-bentuk intitusionalisasi produk legalitas yang menimbulkan polemik dalam pelaksanaannya. Salah satu polemik tersebut terdapat pada wacana nilai-nilai HAM yang dianggap sebagai produk barat yang Eurocentric, proses kolonialisasi yang belum terlupakan dalam memori kolektif kebudayaan yang dulu dijajah oleh barat dan sulit diterapkan pada kebudayaan24
Jack donelly, p. 89-90. Tan hsien-Li, 2011, p. 25-26 26 Katsumata. 2009. ASEAN and Human Rights: Resisting Western Pressure or Emulating the West? The Pasific Review, p. 619-637. 25
14
kebudayaan lain seperti di wilayah ASEAN, sebagaimana kutipan yang tertuang dalam deklarasi Bangkok 1993 sebagai berikut: “Menyadari bahwa sungguhpun hak-hak asasi manusia bersifat universal, hak-hak asasi manusia harus dipertimbangkan dalam kerangka latar belakang sebuah proses pembentukan norma internasional yang dinamis dan terus berkembang, dengan mempertimbangkan ciri-ciri khas nasional dan wilayah serta berbagai latar belakang sejarah, kebudayaan, dan agama” Pernyataan dalam deklarasi Bangkok 1993 menunjukkan bahwa proses pengakuan norma HAM Internasional perlu mempertimbangkan kondisi budaya, geografis, dan pandangan politik suatu Negara. Dalam perkembangannya, proses diskusi terhadap hak asasi manusia lebih kondusif dimana proses demokratisasi mulai terjadi hingga terbentuknya AICHR sebagai mekanisme HAM regional. Perubahan tahapan penerimaan hak asasi manusia di ASEAN mengubah pola hubungan yang tidak hanya vertikal, yaitu negara dengan warga negaranya namun juga pola horizontal sehingga membawa konsekwensi pelanggaran HAM yang meluas dari segi aktor dan kewajiban yang tidak hanya menuntut pada Negara saja tapi juga aktor non-Negara27 seperti LSM yang terbentuk dalam jaringan transnasional. Melalui pembangunan jaringan LSM antar negara ASEAN, organisasi internasional, dan negara, para aktor diberi kesempatan untuk lebih banyak berdialog dan bertukar informasi. Forum-forum dialog dapat mendorong akuntabilitas negara atas praktik HAM dan tekanan moral-politik ketika terjadi pelanggaran HAM berat. Ironinya, produk legalitas intitusionalisasi HAM seringkali menjadi wacana-wacana khusus semata. Diskursus hak asasi manusia di ASEAN sebatas polemik karena dalam pelaksanaannya seringkali berbenturan dengan prinsip kedaulatan dan non-interferensi yang menjadi landasan hubungan internasional di wilayah Asia Tenggara. Akibatnya, penerimaan norma HAM pada masing-masing negara ASEAN memiliki perbedaan. Perbedaan norma HAM disesuaikan dengan
27
Jimly Asshidsiqie. “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”. Materi disampaikan dalam studium general pada acara The 1st National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005.
15
konsep nasional dan hukum domestik negara sehingga kebijakan atas HAM masih jarang menjadi prioritas utama diantara negara-negara anggota. Situasi tersebut mempersulit ASEAN di masa depan karena negara-negara mitra dialog bahkan internasional atau hubungan antar negara anggota yang notabene selalu mempersoalkan posisi ASEAN dalam kasus pelanggaran HAM, tak terkecuali Etnis Rohingya.
E. Argumen Utama Kondisi Etnis Rohingya yang mengalami berbagai tindak pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari penganiayaan hingga penolakan status warga negara menimbulkan permasalahan lain yang lebih luas. Perluasan masalah tidak hanya berdampak di domestik negara Myanmar/Burma saja, tapi hingga kawasan. Situasi dan kondisi ini menjadi berbanding terbalik dengan upaya ASEAN dan negara anggotanya untuk menjadi kawasan yang ikut serta dalam mempromosikan dan menegakkan HAM. Realitas adanya pelanggaran HAM di kawasan ASEAN, salah satunya terhadap Etnis Rohingya menjadi tidak luput dari sorotan media dan dunia internasional, baik lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan. Berbagai dugaan, tuduhan dan tekanan dari dunia Internasional menganggap masih rendahnya proses penegakan HAM dan institusi HAM di ASEAN untuk menyelesaikan permasalahan Etnis Rohingya. Maka dari itu, argumentasi utama dari kondisi tersebut yaitu adanya perbedaan respon negara-negara anggota ASEAN atas pelanggaran hak-hak yang dihadapi Etnis Rohingya mengakibatkan ASEAN sebagai institusi kolektif di Asia Tenggara memiliki kedudukan yang sulit untuk merespon dan mengambil kebijakan terkait.
F. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan model pendekatan studi kasus (case study). Metode studi kasus dipilih karena bertujuan untuk memberikan informasi
dan penjelasan
yang lebih
mendalam
terhadap
permasalahan yang ingin dijawab melalui penelitian. Melalui metode ini, penulis
16
ditantang untuk melakukan penelitian yang komprehensif dan mendalam terhadap kasusu yang diangkat. Sumber data dan informasi yang digunakan berupa data primer dan sekunder, dengan tehnik pengumpulan data melalui studi literaturdari berbagai media bacaan baik buku, majalah, dan surat kabar serta banyaknya media online baik jurnal, situs, maupun laporan hasil riset yang terkait dengan topik yang dibahas dalam penelitian menjadi sumber data yang digali dalam penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan proposal ini akan penulis bagi menjadi lima bab yang terdiri dari bab pertama berisikan tentang latar belakang penulisan, rumusan masalah, literature review, kerangka konseptual/ teoritis, argumen utama, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua menyajikan deskripsi tentang Etnis Rohingya sebagai wacana hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara. Pelanggaran hak asasi terhadap Etnis Rohingya dihubungkan dengan laporan dari Amnesty internasional, Human Right Watch, dan kelompokkelompok lain yang relevan. Bab ketiga, mengeksplorasi negara-negara anggota ASEAN menjadi beberapa kelompok dalam merespon pelanggaran hak asasi manusia terhadap Etnis Rohingya. Sedangkan bab keempat, menganalisis lebih lanjut respon ASEAN sebagai perkumpulan Negara-negara kawasan Asia Tenggara terhadap isu hak asasi manusia pada permasalahan Etnis Rohingya. Kesimpulan hasil penelitian dipaparkan pada bab lima.
17