BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecenderungan untuk meneliti tentang tasawuf dan tokohnya dari aspek teologi belum banyak dilakukan. Padahal konsep tasawuf tidak bisa terpisahkan dari ajaran teologi. Apabila diperhatikan, kajian-kajian mengenai kesufian lebih cenderung kepada konsep sufi sebagai suatu ilmu tersendiri. Hal ini diterapkan baik pada tema-tema yang dikaji, maupun pada tokoh yang dikemukakan. Hal tersebut terlihat dari kajian waḥdat al-wujūd, tazkiyat al-nafs, rūḥ, waḥdat al-adyān, konsep tarekat, insān kāmil, interpretasi, dan tema lainnya yang menjadi icon pembahasan. Tema-tema tersebut dapat dilihat dari Alone to Alone karya Henry Corbin yang banyak diminati peneliti Ibn ‘Arabī (638 H.), Falsafat al-Ta'wīl karya Naṣr Ḥāmid, dan A Mystical Philosophy of Muḥyiddīn Ibn ‘Arabī karya Abū al-‘Alá Afīfī. Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa penelitian yang menyentuh seluruh aspek dalam ranah kesufian masih belum komprehensif. Di sisi lain, ketika tema-tema yang disebutkan di atas banyak digeluti, kajian terhadap aspek akidah atau teologi yang dianut seorang sufi terkesan diabaikan. Padahal aspek teologi bagi para tokoh sufi menjadi konsep sentral dan vital, walaupun terdapat pandangan Frithjof Schuon penulis The Transcendent Unity of Religions yang lebih menonjolkan kesatuan agama-agama. Ini dikarenakan Ia mencoba melakukan pendekatan ontologis terhadap konsep “Kebenaran” (Truth), 1 sehingga terkesan berusaha keras mengangkat “sekat-sekat” teologis yang ekslusif. Begitu juga, Ignaz Goldziher tampak lebih cenderung memahami konsep kesufian dari aspek pluralisme keagamaan. Ignaz menilai bahwa tokoh-
1
Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions, (London: Faber and Faber Limited, t.th), 15. Aḥmad Amīn menilai bahwa dalam sejarah terdapat Ikhwān alṣafā yang juga menggunakan pendekatan ontologis dalam kajian spiritual. Hal ini terlihat dari keyakinan pluralitas yang mereka anut dengan memadukan ajaran aliran pemikiran dan ajaran agama apa pun. Selain nabi-nabi yang dikenal di kalangan agama Semit, tokoh seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, dan Zoroaster juga diyakini sebagai nabi. Lihat, Aḥmad Amīn, Ẓuhr al-Islām, (Beirut: Dār al-Kutub, 2007), 2/112 dan 114. Oleh karena itu, ditemukan ungkapan mereka bahwa:
ﻭﺍﻟﺨﻼﻑ ﻓﻰ ﺍﻷﺳﺎﻣﻲ،ﻭﻛﻞ ﺍﻷﺩﻳﺎﻥ ﻟﻴﺴﺖ ﺇﻻ ﻁﺮﻗﺎ ﺗﻮﺻﻞ ﺇﻟﻰ ﻏﺎﻳﺔ ﻭﺍﺣﺪﺓ
“Semua agama merupakan jalan-jalan menuju satu tujuan yang satu, walaupun nama-nama agama tersebut berbeda”. Lihat ‘Irfān ‘Abd al-Majīd Fattāḥ Nash’at alFalsafah al-ṣūfīyah wa-Taṭawwuriha. (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1973), 83
1
tokoh sufi seperti Ibn ‘Arabī 2 dan Jalāl al-Dīn al-Rūmī telah melangkah dan menembus batas-batas teologis. Hal ini, ungkap Ignaz, terlihat dari konsep “agama cinta” yang ia korelasikan antara Ibn ‘Arabī dan Rūmī.3 Bahkan, Ignaz mengemukakan perbedaan utama yang menunjukkan keterpisahan aspek kesufian dan teologi di kalangan Muslim. Ia berpandangan bahwa para teolog Muslim hanya mendapatkan ilmu pengetahuan dengan bangunan teori spekulatif, sedangkan para sufi memperolehnya dengan cara lain, yaitu intuisi. Literatur ilmu kalam malah dianggap asing di kalangan sufi (alien to them). 4 Perspektif yang dibangun Ignaz, tampak memisahkan aspek teologis dari konsep kesufian. Di samping itu, hal lain yang dapat ditemukan adalah penegasan status teologi yang dianut sangat berpengaruh terhadap perolehan kualitas rohani seorang sufi, walaupun banyak teori yang menyebutkan bahwa kesufian bebas dari nilai dan status teologi. Hal ini terlihat dari bagian pertama dari al-Futūḥāt al-Makkīyah karya Ibn ‘Arabī> yang menjelaskan aspek teologi sebelum jauh membicarakan tentang tasawuf. Begitu juga al-Sha‘rānī (973 H.) yang mengemukakan aspek akidah 2
Karya Ibn ‘Arabī yang biasa dijadikan untuk tema pluralisme adalah Tarjumān al-Ashwāq, (Beirut: al-Maṭba‘ah al-Unsīyah, 1312 H.), 39-40. Penilaian berdasarkan ontologis ini didukung oleh Martin Lings. Martin mengatakan bahwa semua ajaran mistik adalah bertujuan sama, yaitu mencapai satu kebenaran yang ia sebut dengan the One Truth. Martin Lings, What Is Sufism, (London: Unwin Paperbacks, 1981), 22. 3 Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton: Princeton University Press), 152. Anggapan tersebut diamini oleh ‘Irfān ‘Abd al-Majīd Fattāḥ seorang peneliti tasawuf di Universitas Kuwait. Ia menilai bahwa agama Ibn ‘Arabī adalah “agama cinta” sebagaimana diungkapkannya dalam Tarjumān al-Ashwāq. ‘Irfān ‘Abd al-Majīd, Nash’at al-Falsafah, 83. Ibn ‘Arabī mengatakan:
ﺃﺩﻳﻦ ﺑﺪﻳﻦ ﺍﻟﺤﺐ ﺃﻧﻰ ﺗﻮﺟﻬﺖ ﺭﻛﺎﺋﺒﻪ ﻓﺎﻟﺤﺐ ﺩﻳﻨﻲ ﻭﺇﻳﻤﺎﻧﻲ
“Aku beragama dengan agama cinta, kemana pun kendaraannya menghadap maka cinta adalah agamaku dan imanku”. Lihat Ibn ‘Arabi>, Tarjumān al-Ashwāq, (Beirut: al-Maṭba‘ah al-Unsīyah, 1312 H.), 40. Tetapi tampaknya penilaian tersebut terlihat tergesa-gesa dan belum menampilkan ungkapan Ibn ‘Arabi> yang lain secara lengkap. Ini dikarenakan ia juga mengatakan bahwa.
ﻭﺍﻟﺠﻬﻞ ﺑﺎﻟﻌﻴﻦ ﺇﻳﻤﺎﻧﻲ ﻭﺗﻮﺣﻴﺪﻱ... ﺍﻟﻌﻠﻢ ہﻠﻟ ﺩﻳﻨﻲ ﺇﺫ ﺃﺩﻳﻦ ﺑﻪ
“Aku beragama dengan mengenal Allah, sedangkan kebodohan terhadap zatNya adalah iman dan tauhidku”. Lihat, Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt al-Makkīyah, bab ke 72 al-ḥajj wa Asrāruhu al-Hadīth al-Thānī wa-Thalāthūn. Sayang sekali, ungkapan ini tidak begitu dipertimbangkan untuk tidak hanya mengatakan “agama cinta”, tetapi ia juga menggagas “agama ilmu”. Agama dalam pengertian ini bukan berarti Ibn ‘Arabī membuat memeluk agama-agama baru. 4 Ignaz Goldziher, Introduction, 153.
2
dengan sebutan ‘Aqīdat al-Qawm (akidah kaum sufi) pada kitab al-Anwār al-Qudsīyah. 5 Bahkan al-Sha‘rānī merumuskan teologi yang tidak terpisahkan dari aspek kesufian dalam kitabnya, al-Yawāqīt al-Jawa>hir fī ‘Aqā’id al-Kabā’ir. Adapun pandangan Abū al-‘Alá ‘Afīfī mengenai hal ini terdapat dalam karyanya, A Mystical Philosophy of Muhyiddin Ibn ‘Arabī> tidak sepenuhnya benar. Afīfī menuturkan bahwa ia menulis buku tersebut karena terpacu dari karya-karya sarjana Muslim klasik yang lebih cenderung menulis tentang aspek ortodoks atau heterodoks Ibn ‘Arabī. Ia berpandangan bahwa masih banyak aspek esoteris yang luput dari objek kajian. Kenyataan tersebut tampaknya sudah mulai berbeda, bahkan terbalik dari kesimpulan Afīfī. Hal ini terlihat dari penelitian-penelitian tentang kajian sufi, terutama Ibn ‘Arabī lebih cenderung kepada aspek kesufian dan mengabaikan aspek teologi. Sementara itu, penulis-penulis dari kalangan sufi pun, seperti ‘Abd al-Majīd al-Khālidī (1319 H.), malah berpandangan bahwa seseorang tidak akan sampai (wuṣūl) kepada Allah kecuali berakidah yang benar. Akidah yang benar menjadi syarat pertama seseorang wuṣūl kepada Allah. Adapun akidah yang benar bagi ‘Abd al-Majīd adalah akidah ahl al-sunnah berdasarkan manhaj Ash‘arīyah dan Mātūrīdīyah. 6 Hal ini dikuatkan oleh Muḥammad Gumushkhānawī yang berpandangan bahwa wuṣūl (prinsip) utama kesufian adalah berpegang kepada akidah ahl al-sunnah. Hal tersebut berbeda dengan Mullā ṣadra yang cenderung mengutamakan teologi Shī‘ah yang ia anut. ṣadra menegaskan bahwa siapa yang tidak cinta kepada ahl al-bayt maka tidak akan sampai ke hadirat Allah. Begitu juga, Muḥammedī seorang cendikiawan Muslim Shī‘ah menegaskan bahwa kemurnian teologis merupakan kunci keberhasilan dalam mencapai ma‘rifah. 7 Muḥammedī menekankan bahwa pertanyaan pertama yang akan dikemukakan kepada seseorang adalah P5F
P6F
5
P
P
Al-Sha‘rānī, al-Anwār al-Qudsīyah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmīyah, 1992), 13. Bandingkan dengan ungkapan al-Qushayrī jauh sebelum al-Sha‘rānī, menyebut akidah sufi dengan term aqā’id al-ṭā’ifah (akidah golongan sufi). al-Qushayrī>, alRisālah al-Qushayrīyah. (Kairo: al-Maktabat al-Risālah, t.th.), 22. 6 ‘Abd al-Majīd, al-Sa‘ādah al-Abadīyah, (Istanbul: Hakekat Kitabevi, 1997), 8. Tokoh Naqshabandi lain seperti Muḥammad bin Sulaymān al-Baghdādī murid Mawlānā Khālid pembaharu tarekat Naqshabandi juga mengatakan hal yang sama bahwa hanya Ahl al-Sunnah yang akan sukses dalam mencapai ma‘rifat dan hikmah yang luhur. Muḥammad bin Sulaymān al-Baghdādī, al-Hadīqah al-Nadīyah, (Istanbul: Hakekat Kitabevi, 1997), 2. 7 Muḥammed Muḥamedi Re Shahrī, Mabānī al-Ma‘rifah, alih bahasa dari bahasa Persia: Dr. ṣālih al-ṣālih, (Qum: al-Hūda, 1991), 18.
3
apakah status akidahnya?, bukan bagaimana amalannya. Selain itu, ia mengemukakan bahwa ada korelasi antara kejahilan dalam akidah dengan kekufuran. Berdasarkan hal ini, ia menegaskan bahwa inti utama dari penyimpangan teologis adalah kejahilan, sebagaimana inti utama dari keteguhan iman adalah pengetahuan. 8 Di dalam teologi Shī‘ah, para penapak jalan spiritual yang akan berbahagia kelak di akhirat hanyalah para pengikut ‘Alī atau Shī‘ah itu sendiri. 9 Bahkan, al-Zarandī (757 H.) menyimpulkan dari penukilannya terhadap pandangan Abū Manṣūr bin Ziyād (418 H.) bahwa tradisi spiritual Islam dalam formulasi tasawuf pertama kali dimunculkan oleh kalangan ahl bayt, lebih tepatnya adalah Zayn al-‘Ābidīn. 10 Namun ironis, terdapat kritikan tajam dari pemuka Shī‘ah terhadap para tokoh dari kalangan Shī‘ah dan Sunni yang cenderung kepada tradisi kesufian. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Muḥammad al-ḥirr al-‘Āmilī (1102 H.) dengan karyanya Risālat al-Itsná ‘Asharīyah fī al-Radd ‘alā al-ṣūfīyah. Judul yang dipilih al-ḥirri tampak sangat puritan terhadap kalangan sufi. Al-ḥirri menilai bahwa konsep teologi ḥulūl, ittiḥād dan waḥdat al-wujūd merupakan konsep yang fallac (keliru). Ia menegaskan bahwa berpijak dengan tiga konsep tersebut merupakan kebatilan. Bahkan, al-ḥirri memastikan bahwa konsep maḥabbah dalam tasawuf merupakan sia-sia. 11 Ia juga menganggap bahwa konsep kashf (penyingkapan rohani terhadap alam ghaib) merupakan ilusi yang bertentangan dengan teologi yang murni. 12 Berdasarkan hal tersebut, maka wajar jika ditemukan ungkapan teolog Shī‘ah bahwa kelompok teolog yang selamat dan sampai kepada Allah adalah Shī‘ah itu sendiri. 13 Penekanan terhadap kemurnian teologi juga diperoleh dari alShaykh al-Akbar Ibn ‘Arabī yang pernah menegaskan bahwa seseorang yang berakidah menyimpang, seperti ḥulūl (Allah menempati sesuatu), P8F
P
P9F
P10F
P
P
P1F
P
P12F
8
P
Muḥammed, Mabānī al-Ma‘rifah, 58. Mujtabá al-Musāwī al-Larrī, Dirāsat fī Usus al-Islām, (t.p.: Markaz alThaqāfah Nashr al-Islām fī al-‘Ālam, 1998), 338. 10 Jamāl al-Dīn al-Zarandī, Ma‘ārij al-Wuṣūl, tahqiq: Muḥammed Kāẓim alMaḥmoudī, (t.p.: Majma‘ al-Thaqāfat al-Islāmīyah, 1425 H.), 115. 11 Muḥammad al-ḥirrī al-‘Āmilī, Risālat al-Ithná ‘Asharīyah fī al-Radd ‘alá al-ṣūfīyah, (Qum: al-Mathba‘ah al-‘Ilmīyah, t.th.), 57. 12 Muḥammad al-ḥirrī al-‘Amilī, Risālat, 81-87. 13 Ma‘an al-Amīn al-Anṭākī, Limādhā Ikhtartu Madhhab al-Shi‘ah Madhhab Ahl al-Bayt (Qum: Mathba‘at ‘Ilmīyah, 1962), 12. 9
4
berarti agamanya ma‘lūl (sakit). 14 Ibn ‘Arabī sangat menekankan aspek kemurnian teologi ketika menjelaskan konsep kesufiannya, sehingga ia menegaskan bahwa tidak ada ‘penawar’ untuk mengobati seseorang yang berakidah ḥulūl. Begitu juga konsep ittiḥād, Ibn ‘Arabī menilai bahwa seseorang yang berakidah seperti itu adalah mulḥid (ateis). 15 Di Nusantara, juga banyak ditemukan penegasan dari tokoh-tokoh klasik seperti ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī yang menegaskan prinsip akidah adalah sebagai pijakan utama agar seorang sālik tidak tersesat. 16 ‘Abd al-ṣamad menilai akidah Sunni yang ia anut sebagai akidah yang dianut oleh kelompok Ash‘arīyah dan Sufi. 17 Namun demikian, tokoh-tokoh sufi Nusantara tampak mencoba bijak dalam mengajarkan ajaran kesufian sesuai dengan tingkatan spiritual seorang murid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi penyimpangan teologis ketika seorang sālik menapaki jalan spiritual. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Shihāb al-Dīn al-Palimbānī yang menulis risalah khusus mengenai tauhid Sunni ketika berbicara kesufian. Ia menyebutkan keberatannya terhadap para pemula (mubtadi’) spiritual terhadap kajian tasawuf yang dipengaruhi ajaran Ibn ‘Arabī>. Ia memberikan contoh kajian tersebut seperti martabat tujuh yang telah populer di Nusantara (Jawi) pada masa itu. Ia mengingatkan bahwa kajian tersebut tidak akan meningkatkan kualitas spiritual para pemula, tetapi yang terjadi adalah kekeliruan teologis. 18 Di sisi lain, penulis menemukan teori-teori yang berusaha untuk memberikan kategorisasi corak dari ajaran tokoh-tokoh sufi. Hal ini terlihat dari pandangan Ibrāhīm Hilāl yang cenderung kepada pengelompokan tasawuf kepada corak Sunni dan Falsafi. Ia merumuskan bahwa tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang dipengaruhi konsep P15F
P
P16F
P17F
14
Ibn ‘Arabi>>, al-Futūḥāt al-Makkīyah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2006), 7/129 bab ke-559. Pada masa sebelumnya, al-Qushayri>> juga menegaskan bahwa para tokoh sufi membangun latihan spiritual mereka berdasarkan akidah yang benar dan tauhid yang lurus, terhindar dari bid‘ah, dan sesuai dengan akidah salaf dan ahl al-sunnah. Al-Qushayrī, al-Risālah, 22. 15 Ibn ‘Arabi>>, al-Futūhāt, 7/129. 16 ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī, Hidāyat al-Sālikīn (Jakarta: S. A. Al-‘Aidrusi, t.th.), 19-27. Kitab ini masih tulisan tangan yang kemudian dicetak oleh Sayyid al‘Aydrūsī di Jakarta. Dan bandingkan dengan karya ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī, Sayr alSālikīn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, t.th.) 1/34 17 ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī, Sayr al-Sālikīn, 1/21. 18 Shihāb al-Dīn al-Palimbānī, al-Risālah, 5. Sebuah manuskrip Arab Melayu yang diterjemahkan ke bahasa Inggris dan Indonesia oleh G.W.J. Drewes, Directions for Travellers on The Mystical Path (Leiden: The Hague-Martinus Nijhoff, 1977), 90.
5
ishrāqī (iluminasi) al-Fārabī. Hilāl menegaskan bahwa konsep ishrāqī tersebut mempunyai peran besar dalam melahirkan konsep ma‘rifah (pengenalan kepada Allah) pada ranah kesufian. Ia cenderung berpendapat demikian karena menilai bahwa hasil dari konsep ma‘rifah di kalangan sufi falsafi tidak jauh berbeda dengan para filosof itu sendiri. Hal ini sangat kental, ungkap Hilāl, jika dilakukan komparatif antara beberapa konsep tertentu dari dua ranah tersebut, maka akan ditemukan banyak persamaan. Ia menyontohkan kesamaan tersebut ketika dilakukan kajian komparatif terhadap interpretasi konsep walāyah (kewalian), nubuwwah (kenabian), wahyu, mukjizat, dan keramat para wali. 19 Bahkan, pandangan yang lebih cenderung menekankan dikotomis antara teologi dan kesufian sangat kental pada kajian Nicholson, salah seorang guru besar yang berpengaruh pada ‘Afīfī. Nicholson pernah memberikan penilaian bahwa konsep panteis yang dikembangkan oleh Ibn ‘al-Fārid} bukan sebuah sistem berpikir. Namun ia lebih cenderung menilai tokoh ini sebagai pengembang ajaran dhawq yang ia sebut dengan state of feeling. 20 Suatu sistem berpikir (state of thought) mengarah kepada kecenderungan teologis yang dianut seseorang. Hal ini menyebabkan Nicholson sering menyebut Ibn al-Fārid} atau tokoh lain yang hampir sama dengannya, seperti al-ḥallāj sebagai bagian Mohammedan theosophists (golongan teosofi Islam). Kecenderungan ini, menyebabkan Nicholson tidak jauh berbeda dengan Masignon yang memisahkan tokoh ortodoks dan tasawuf. Tokoh ortodoks yang sering menjadi kutipannya adalah seperti al-Ghazālī. Al-Ghazālī dianggap bukan sebagai seorang sufi, tetapi hanya kelompok ortodoks. 21 ‘Abd al-Qādir Mahmūd menilai bahwa teori Nicholson mengenai kesufian lebih P19F
P
P20F
19
P
Ibrāhīm Hilāl, Taṣawwuf bayn al-Dīn wa-al-Falsafah (Kairo: Dār alNahd}ah, 1979), 33. Tampaknya teori ini diikuti oleh banyak penulis lainnya. Ini terlihat M. Jalal Sharf peneliti filsafat dan tasawuf di Alexandaria yang menggunakan padangan tersebut untuk menilai al-ḥārith al-Muḥāsibī sebagai pengasas tasawuf Sunni. Tasawuf Sunni diartikannya sebagai tasawuf yang dibangun berdasarkan ajaran alQur’an dan Sunnah. Lihat M. Jalāl Sharf, al-Taṣawwuf al-Islāmī fī Madrasat alBaghdād (Alexandaria: Dār al-Maṭba‘at al-Jāmi‘ah, 1972), 167. 20 Nicholson, Studies in Islamic Mysticism (Cambridge: Curzen Press, 1994), 7. 21 Nicholson, Studies, 80. juga lihat Nicholson, History of Islamic Mystism, 83. Pandangan ini juga terdapat pada peneliti Salafi; Muṣthafa Halabi, yang menulis Ibn Taymīyah wa-Tasawwuf . Ia berkesimpulan bahwa-al-Ghazali kurang disukai oleh para penganut tasawuf falsafi karena sangat setia pada prinsip shariat. Lihat Muṣṭafá ḥalabī, Ibn Taymīyah wa-Taṣawwuf (Kairo: Dār Ibn al-Jawzī, 2005), 286-287.
6
cenderung membandingkannya dengan konsep spiritual Kristen.22 Adapun Masignon, dalam persepsi ‘Abd al-Qādir, lebih cenderung berkesimpulan bahwa substansi tasawuf Islam adalah tasawuf Kristen itu sendiri. Berbeda dengan Ignaz Goldhiher yang berpandangan bahwa tasawuf Islam merupakan hasil dari persentuhan pemikiran Islam dengan tradisi mistik Hindu dan persia, kemudian sesuai dengan perjalanan sejarah dipengaruhi oleh Kristen. 23 Berdasarkan pijakan teologis konsep kesufian, ‘Abd al-Qādir merumuskan bahwa tasawuf terbagi tiga, yaitu tasawuf Salafi, Sunni, dan Falsafi yang ia sebut dengan fī mā warā’ alsalafī wa-al-sunnī (di balik salafi dan sunni). Sebenarnya, pengelompokkan ini lebih banyak menlahirkan dampak negatif daripada dampak positif, terutama dalam manipulasikan teks-teks tasawuf untuk dipaksa mengikuti bangunan teori tersebut. Ini dikarenakan teori tersebut mengesankan bahwa para sufi mempunyai banyak perbedaan antara satu dengan yang lain, walaupun untuk sebagian konteks memang benar. Tetapi, di antara para sufi yang dianggap berbeda sendiri tidak merasakan bahwa mereka berbeda secara prinsipil. Bahkan generasi sufi belakangan selalu menggunakan, bahkan membela konsep sufi-sufi sebelumnya. Seperti pembelaan yang dilakukan oleh Ibn ‘Arabī> terhadap konsep nubuwwah dan walāyah al-Ghazālī, bahkan ia menyebut ḥujjat al-Islām tersebut dengan gelar ṣāḥib al-kashshāf. 24 Namun ironis, kecenderungan kajian-kajian tasawuf terlihat berusaha keras mencari titik "panas", sehingga mengindikasikan bahwa konsep seorang sufi dengan yang lain kontradiktif. Bahkan masing-masing sufi telah membuat konsep sendiri yang berbeda daripada tokoh lainnya. Beberapa peneliti lokal seperti Abdur Rahim Yunus yang menulis peran tasawuf dalam kekuasan Buton pada abad kesembilan belas, juga lebih cenderung kepada pengelompokan tasawuf kepada dua garis besar. Kelompok pertama adalah tasawuf teosofi, yaitu aliran tasawuf yang mengembangkan ajaran Wujūdīyah Muḥammad bin Abdullah, Shams alDīn al-Sumatranī, dan ‘Abd al-Ra’ūf Singkle. 25 Adapun kedua adalah P24F
22
P
‘Abd al-Qādir Maḥmūd, al-Falsafah al-ṣūfīyah fī al-Islām (Kairo: Dār alFikr al-’Arabī, t.th.), 3. 23 ‘Abd al-Qādir Maḥmūd, al-Falsafah, 3. Bandingkan Ignaz Goldziher, Introduction, 140-148. 24 Ibn ‘Arabi>>, al-Futūḥāt, juz 3 h. 6 25 Abdur Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad Ke-19 (Jakarta: INIS, 1995), 67.
7
tasawuf tarekat yang mengembangkan ajaran kesufian dengan media tarekat-tarekat sufi. 26 Bahkan hal yang fatal dari kajian yang dilakukan peneliti Barat seperti Nicholson ketika mencoba menerjemahkan suatu term dalam ranah tasawuf kepada ungkapan yang mengindikasikan makna yang tidak dimaksudkan oleh sufi itu sendiri. Hal ini seperti penerjemahan kata ḥulūl kepada incarnation (inkarnasi). Nicholson menganggap bahwa ajaran ini sangat dekat dengan konsep Kristen yang berkeyakinan adanya kesatuan dua hal yang berbeda. 27 Suatu ungkapan pengalaman spiritual (dhawq) ketika diinterpretasikan dengan pendekatan teologi akan berindikasi kepada status keimanan dan kekafiran. Penerjemahan yang tidak sepadan tersebut mengingatkan penulis kepada tokoh kontroversial, yaitu al-ḥallāj (309 H.). Ketika ungkapanungkapan esoteris mereka dipahami secara teologis maka pada saat itu Ibn Abū Dāwud seorang ahli hukum pada masa itu menuduhnya telah menyimpang, atau tokoh lain seperti al-Suhrawardī> al-Maqtūl. Hal ini berbeda dengan sikap al-Ghazālī yang mencoba memahami ungkapan mereka dengan meminimalisasikan perspektif teologis untuk sesuatu yang esoteris. Kebijaksanaan al-Ghazālī terlihat jelas ketika ia menegaskan bahwa ungkapan mereka bukanlah ungkapan teologis, sehingga tidak patut dikafirkan apalagi dihukum mati. al-Ghazālī malah mencoba memberikan pendekatan filosofis terhadap ungkapan esoteris al-ḥallāj yang mengindiksikan terbebas dari “taring” teologis yang akan menjeratnya. 28 Berdasarkan kenyataan tersebut, teori komparatif Nicholson yang terkesan menginklusifkan konsep kesufian sehingga menyetarakannya dengan spiritual Kristen akan terbentur dengan rumusan tokoh sufi itu sendiri. Benturan ini akan terjadi terutama ketika banyak tokoh sufi yang menekankan penerapan teologi Sunni untuk wuṣūl kepada Allah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh ‘Abd al-Majīd al-Khālidī yang menempatkan vitalitas teologi seseorang ketika ingin belajar kesufian.29 Karya-karya ‘Abd al-Majīd banyak mempengaruhi dinamika tasawuf dari P26F
P27F
P
P
P28F
26
P
Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf, 71. Nicholson, Studies, 79. 28 al-Ghazālī, Mishkāt al-Anwār juz 4 dari Mujmū‘āt al-Rasā'il (Beirut: Dār alKutub al-‘Ilmīyah, 1994) h. 11-12. Yūsuf seorang peneliti Tarekat Qadīrīyah di Mesir menemukan bahwa para sufi mewajibkan seseorang murid untuk meluruskan akidahnya ketika memasuki jalan spiritual. Yūsuf M. ṭahā Zaydān, al-ṭarīq al-ṣūfī (Beirut : Dār alJīl, 1991), 21. 29 ‘Abd al-Majīd, al-Sa‘ādah al-Abadīyah, 8. 27
8
tarekat Naqshabandīyah di wilayah Nusantara, terutama Minangkabau. Pengaruh tersebut terlihat dari penerjemahan kitab al-Sa‘ādah alAbadīyah karya ‘Abd al-Majīd yang disesuaikan dengan bahasa Melayu Minangkabau oleh Shaykh ‘Abd al-Qadīm Belubus 30 dan Shaikh Ayas ṣulthani (1973 M.) di Payakumbuh. 31 Di dalam khazanah intelektual nusantara, karya tulis yang kebanyakan menggunakan bahasa Melayu sebagai pengantar, merupakan sebuah fakta sejarah yang menarik dikaji. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh transmisi tokoh-tokoh Muslim klasik terhadap corak keberagaman umat Islam Nusantara, terutama corak teologi. Islam sebagai sebuah agama yang menggunakan bahasa Arab sebagai sarana secara tidak langsung mempengaruhi tradisi intelektual penganutnya yang non-Arab. Hal tersebut juga terlihat dari corak intelektual para sarjana Muslim Nusantara klasik. Ini terbukti dari hasil karya yang mereka wariskan. Sesuai dengan masa tersebut, karya tulis berupa tulisan tangan atau manuskrip merupakan salah satu cara mereka mengilmiahkan apa yang mereka ketahui. Di antara mereka ada yang menulis dengan bahasa Arab, seperti Nūr al-Dīn al-Ranirī, Abd al-Ra’ūf al-Jāwī, Yūsuf alMakassari>, dan Muḥammad ‘Aydrūs Buton. Namun, sangat banyak di antara mereka yang menulis dengan bahasa Melayu aksara Arab, termasuk empat ulama yang disebutkan di atas. Selain itu, ḥamzah Fansūrī di Aceh sangat mencolok dengan karya tulis yang condong kepada ajaran tasawuf Wujūdīyah dalam pelbagai sya'irnya, seperti Sya'ir Perahu. Ia pernah mengungkapkan bahwa teologinya tidak seperti para teolog semasa dengannya, baik dalam masalah sifat Allah, perbuatan dan zat-Nya. Tetapi tidak ditemukan pengakuan langsung darinya mengenai kecenderungan tarekat sufi apa yang ia pelajari dalam karyanya. Namun, memang ada yang berasumsi bahwa ia pernah mempelajari tarekat Qādirīyah, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Hadi. Hal ini dikarenakan Abdul Hadi menemukan penyebutan nama Abd al-Qādir Jaylanī di karyanya. Asumsi tersebut belum tentu benar seutuhnya, karena penukilan nama tersebut sangat mungkin ditemukan pada seorang penulis yang bukan bertarekat Qādirīyah. 30
‘Abd al-Qadīm Belubus, al-Sa‘ādah al-Abadīyah; Pada Menyatakan Wiridwirid Amalan Tariqah Naqshabandīyah (Bukittinggi: Sa‘dīyah, 1392 H.) 31 Adapun risalah yang ditulis Ayas ṣultānī pernah penulis edit ulang dari bahasa Minangkabau ke bahasa Indonesia, tetapi masih untuk kalangan internal tarekat Naqshabandīyah di Payakumbuh.
9
Di samping itu, di negeri yang sama terdapat ‘Abd al-Ra‘ūf alJāwī yang juga tidak memisahkan aspek teologi dengan praktik kesufian. Hal ini terlihat dari karyanya, kitab ‘Umdat al-Muḥtājīn yang masih berupa manuskrip. Kitab ini merupakan salah satu bukti sejarah yang menunjukkan bahwa corak akidah yang pernah diajarkan pada periode awal Islam berkembang di Nusantara. Kitab tersebut berbicara mengenai tentang bagaimana mengenal Allah secara ilmu tauhid pada bagian awa. ‘Abd al-Ra’ūf menuliskannya dengan bahasa Melayu. Ini dikarenakan tujuan utamanya adalah agar para murid dengan mudah memahaminya. Ia banyak membicarakan mengenai sifat dua puluh yang wājib dan mustaḥīl, jā’iz yang pernah dikembangkan oleh al-Sanūsī. Sehingga, sangat wajar jika ditemukan penukilan yang terhadap perkataan al-Sanūsī dalam kitab tersebut. Sebagaimana al-Sanūsī, ia menyebutkan bahwa pengenalan tersebut tercakup dalam kalimat tauhid. 32 Namun, ‘Abd al-Ra‘ūf tampaknya tidak mau kajian akidah tersebut kering dari nuansa spiritual. Oleh karena itu, ia mencoba mengemukakan rahasia dan faedah dari kalimah tauhid tersebut. 33 Setelah itu, ia menjelaskan ajaran kesufian berdasarkan tarekat Qādirīyah dan Shaṭṭārīyah sampai akhir kitab. Selain itu, tokoh Palembang yang dianggap sebagai Shaykh Jāmi‘, sebagai bentuk ungkapan keberhasilan ‘Abd al-ṣamad dalam menjelaskan ilmu zahir (syariat) dan batin (hakikat) secara bijak, merupakan ulama produktif mengembangkan ilmu keislaman. Hal ini menunjukkan bahwa ia mampu menjelaskan aspek kesufian dengan prinsip teologi Sunni yang ia anut. Ia menulis banyak karya, seperti Sayr al-Sālikīn sebagai terjemahan sekaligus komentar atau Sharḥ} terhadap Mukhtaṣar Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya saudara dari Abū Hāmid al-Ghazālī (505 H.) yaitu Aḥmad al-Ghazālī. Kitab tersebut mencakup penjelasan tentang ilmu akidah, fiqh, dan tasawuf. ‘Abd al-ṣamad tampak cenderung kepada tarekat Sammānīyah dalam dunia tasawuf. Hal ini terlihat dari komentarkomentar yang ia kemukakan dalam kitab tersebut banyak bersumber dari Shaykh al-ṭarīqah al-Sammānīyah Muḥammad ‘Abd al-Karīm alSammān seorang ulama Madinah yang hidup di akhir abad ke 18 M. Namun tampaknya ia tidak lupa mengulas tentang inti ajaran dari tarekat Khalwātīyah sebagai induk tarekat Sammanīyah. Suatu hal yang unik, ketika ia menulis kitab Fiqh, Hidāyat al-Sālikīn, ‘Abd al-ṣamad tampak tidak mau karangannya kering dari nuansa teologis dan spiritual. Hal ini terbukti dari ulasan yang lumayan mendalam di bagian awal kitab dengan P31F
P32F
P
P
32
‘Abd al-Ra‘ūf al-Jāwī, ‘Umdat al-Muḥtājīn (Perpustakaan Nasional: ML 301), 2. Kitab ini masih dalam bentuk manuskrip. 33 ‘Abd al-Ra‘ūf al-Jāwī, ‘Umdat, 5-7.
10
kajian teologis, dan ulasan panjang ajaran inti tarekat Sammanīyah di bagian akhir kitab. Kajian tasawuf yang kental dengan nuansa teologis juga bisa dilihat dari kitab al-Durr al-Nafīs karangan Muḥammad Nafīs al-Banjārī. Tidak jauh berbeda dengan ‘Abd al-ṣamad, Nafīs juga cenderung mengembangkan ajaran tarekat Sammanīyah. Namun ia lebih banyak membicarakan permasalahan spiritual yang banyak disebut tasawuf filosofi dalam dunia akademis belakangan ini. Namun tampaknya Nafis berpandangan bahwa ajaran tasawuf dalam kategori ini tidak bertentangan dengan akidah Sunni. Selain itu, pengaruh yang lebih dinamis lagi tampak dari karya Yūsuf al-Makassari>. Ia dengan jelas mengemukakan kecenderungannya pada tarekat Qādirīyah dan Naqshabandīyah. Bahkan ia diyakini pengikutnya sebagai penggagas ‘pengawinan’ dua tarekat tersebut. Kecenderungan serupa juga ditemukan dari karya Muḥammad ‘Aydrūs (1851 M.) seorang raja dari kerajaan Buton. Keterlibatannya dalam kancah politik tampak tidak mempengaruhi ketertarikannya terhadap dunia tasawuf. Ia menulis kitab Mu’nisat al-Qulūb dengan bahasa Arab, sebagai karya yang menunjukkan kepiawaiannya sebagai seorang penulis dan guru tarekat. Tetapi belum bisa dipastikan tarekat apa yang ia tulis, walaupun secara umum inti ajaran tarekat yang ia tulis sangat mirip dengan tarekat Khalwātīyah dan Sammānīyah. Bahkan tradisi tersebut tidak berhenti pada masa-masa klasik tesebut, namun sebaliknya masih berkesinambungan sampai ke masa sekarang. Hal ini terlihat dari karya tulis ‘Abd al-Manāf Amin Khaṭīb (2006 M.) yang memimpin dua tarekat –Naqshabandīyah dan Shaṭ}ṭarīyah sekaligus- dari Padang Sumatra barat. Ia meneruskan tradisi kaum Tuo yang selalu kritis terhadap perkembangan teologi. Ia mencoba menulis berbagai hal, di antaranya akidah, permasalahan fiqh, dan tasawuf. Hal ini sebagaimana dibuktikan dalam penelitian Oman Fathurahman. ‘Abd al-Manāf tampak lebih cenderung kepada tasawuf yang berorientasi kepada tarekat Shaṭṭārīyah, walaupun ia sangat memahami tarekat Naqshabandīyah. Hal ini terlihat dari pembelaannya terhadap nilai ortodoksi tarekat Shaṭṭārīyah. Namun ‘Abd al-Manāf tampak sangat kritis terhadap teologi puritan yang diusung kaum mudo. Ia menilai mereka sebagai penganut akidah Wahhābīyah yang menyimpang, sehingga ia mengumpulkan beberapa masalah teologi dan hukum yang dinilai menyimpang dari mereka. 11
Kenyataan tersebut merupakan penegasan dari para tokoh sufi itu sendiri mengenai nilai dasar teologi yang menjadi pijakan ajaran kesufian mereka. Berdasarkan hal itu, aspek akidah yang melahirkan status keimanan seseorang merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan bagi mereka. Oleh karena itu, penulis ingin mencoba menjelaskan bahwa perbedaan mereka tidaklah serumit dan "sepanas" sebagaimana diasumsikan sebelumnya. Justru di antara mereka terjalin ikatan yang kuat bagaikan seorang murshid dengan murid walaupun tidak bertemu di alam nyata. Ini dikarenakan baik tokoh sufi yang tergolong falsafi maupun sunni sangat menjaga etika terhadap para pendahulu mereka, apalagi ketika mereka membahas apa yang telah dibahas oleh para pendahulu B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Permasalahan yang akan muncul dari kajian ini berkaitan erat dengan permasalahan teologis yang dianut ulama Nusantara klasik. Ketika banyak asumsi yang dibangun bahwa kalangan Sunni cenderung lebih ortodoks dan kaku, maka akan memunculkan pelbagai teori. Hal ini terlihat dari pandangan Nicholson yang beranggapan bahwa tidak ada sufi dari kalangan Sunni. Teori ini terkesan banyak mengenyampingkan aspek historis terhadap perkembangan Sufi di kalangan Sunni. Di antara tokohtokoh yang dikategorikan sebagai tasawuf “Sunni” adalah al-Junayd, Abū ṭayyib al-Makkī, al-Qushayri>, al-Ghazālī, dan lainnya. Adapun tasawuf “Falsafi” bukan berarti bahwa tokoh sufi tersebut adalah seorang filosof. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam ketegori ini adalah seperti Abū Yazīd, al-ḥallāj, al-Suhrawadī al-Maqtūl, Ibn Sab‘īn, Ibn ‘Arabī>, dan Mullā ṣadra (ṣadr al-Dīn). Teori ini tampaknya kontradiktif dengan banyak sosok sufi yang bermunculan dari kalangan Sunni. Bahkan, banyak tokoh Sunni yang mengembangkan tasawuf teoritis yang biasa disebut dengan tasawuf falsafi. Ketertarikan mereka terhadap hal tersebut tidak menyebabkan mereka kehilangan status kesunnian dari teologinya. Ini terlihat dari sosok ‘Abd al-ṣamad al-Palembanī al-Makkī yang dengan terus terang menisbahkan dirinya kepada Abū al-ḥasan al-Ash‘arī> pendiri teologi Sunni Ash‘arīyah. Di lain pihak, Mullā ṣadra terbukti tidak kehilangan identitas teologi Shī‘ah yang menjadi nilai dasar kesufiannya ketika mengikuti pelbagai konsep Ibn ‘Arabī>. Hal ini terlihat dari ratusan ungkapan Ibn 12
‘Arabī yang dikutip dan diikutinya, namun identitas Shī‘ah tidak diabaikannya. Namun, sebagaimana disebutkan Azyumardi Azra, terkesan ada kontradiksi antara tasawuf Falsafi dan ajaran Sunni terutama teologi Ash‘arīyah yang dikembangkan al-Ghazālī (505 H.). 34 Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk “mendamaikan” dua konsep tersebut, sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd al-ṣamad. Permasalahan yang muncul dari teori ini adalah pertanyaan baru apakah ‘Abd al-ṣamad sendiri merasa bahwa ajaran Ibn ‘Arabī> bertentangan dengan konsep al-Ghazālī, sehingga ia menulis Sayr al-Sālikīn sebagai terjemahan atau lebih tepat disebut sebagai saduran Mukhtaṣar Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn al-Ghazālī untuk mendamaikan kedua konsep tersebut. Ini pertanyaan yang belum terungkap dari teori tersebut. Di samping itu, Azyumardi Azra juga berpandangan bahwa ‘Abd al-ṣamad memahami Ibn ‘Arabī> melalui pendekatan Ghazalian. Namun ketika membaca karya-karya ‘Abd al-ṣamad, maka akan timbul asumsi lain bahwa kemungkinan besar ‘Abd al-ṣamad memahami al-Ghazālī berdasarkan konsep Ibn ‘Arabī. Selain itu, Nafīs al-Banjārī mempunyai teori menarik ketika menghadapi masalah ini. Ia menjelaskan bahwa sebenarnya kesufian, termasuk tasawuf Ibn ‘Arabī>, dibangun berdasarkan akidah Sunni yang lurus. Oleh karena itu, ia menilai bahwa tasawuf Falsafi Ibn ‘Arabī tidak bertentangan sedikit pun dengan prinsip teologi Sunni. Namun memang diakui, banyak kajian terhadap tokoh utama tasawuf -al-Shaykh al-Akbar Ibn ‘Arabī>- yang menilainya sebagai seorang Shī‘ah, atau paling kurang mengidentikkannya dengan ajaran Shī‘ah. Hal ini sangat wajar karena penulis Barat seperti Henri Corbin, Trimingham, Nicholson, dan lainnya berasumsi bahwa ajaran kewalian Ibn ‘Arabī sangat indentik dengan Shī‘ah. Bahkan Trimingham menegaskan bahwa teori kewalian sufi tidak lebih daripada salinan terhadap ajaran Shī‘ah. Oleh karena itu, ketika mendapati kebanyakan teks Ibn ‘Arabī banyak berkaitan dengan tema-tema utama kewalian, maka mereka berkesimpulan bahwa Ibn ‘Arabī adalah seorang Shī‘ah. Namun, hipotesa tersebut jauh hari telah ditanggapi oleh alSha‘rānī yang menemukan bahwa ajaran Ibn ‘Arabī> tidak bertentangan dengan teologi Sunni. Justeru al-Shaykh al-Akbar mencapai pemahaman tertinggi dalam memahami akidah Sunni, sehingga al-Sha‘rānī menyebutnya dengan aqīdat al-kabā’ir (akidah tokoh-tokoh agung). 34
Azyumardi Azra, Jaringan Islam Nusantara, 337.
13
Berdasarkan hal tersebut, tinjaun teologis terhadap ulama tasawuf Nusantara dengan pendekatan teologi, akan berakibat kepada polemik teologis yang tarik-menarik dengan teori-teori belakangan ini. 2. Pembatasan Masalah Penelitian dalam tesis ini lebih menekankan aspek teologis tokohtokoh tasawuf Nusantara. Penelitan ini akan mencoba memahami bagaimana tokoh-tokoh tasawuf Nusantara mengeksplorasi aspek akidah ketika berbicara kesufian dari teks-teks yang mereka tulis. Tokoh Nusantara tidak hanya tercakup pada wilayah Indonesia saja, tetapi juga mencakup wilayah selain Indonesia, seperti Patani Thailand. Adapun tokoh-tokoh yang dijadikan objek kajian utama, adalah tokoh-tokoh tasawuf Nusantara abad ketujuh belas sampai kesembilan belas seperti al-Rānīrī, ‘Abd al-Ra‘ūf al-Jāwī, ‘Abd al-ṣamad alPalimbāni. Hampir semua tokoh Nusantara termasuk sosok yang “setia” terhadap konsep tasawuf Ibn ‘Arabī>. Namun kajian menarik yang diteliti dari ketokohan mereka adalah sejauh mana konsekuensi teologi Sunni yang mereka anut berpengaruh terhadap konsep kesufian Ibn ‘Arabī yang mereka tempuh. 3. Perumusan Masalah Kajian ini lebih difokuskan pada tinjauan teologi yang dianut oleh tokoh-tokoh Nusantara. Berdasarkan itu, kajian ini akan berusaha menjawab, apakah tasawuf yang dikembangkan tokoh-tokoh Nusantara bertentangan dengan konsep teologi Sunni, sehingga diperlukan ada usaha “pendamaian”? Atau sebaliknya, malah memperkuat kesunnian mereka.
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan secara umum untuk membuktikan bahwa konsep teologi bagi tokoh-tokoh tasawuf sangat berpengaruh pada kesuksesan pencapaian kualitas spiritual. Di samping itu, akan terungkap bahwa konsep tasawuf perenial menjadi absurd dalam perspektif teologis. Secara lebih spesifik penulis akan mengungkapkan bahwa konsep teologi bagi pemikir tasawuf Nusantara menjadi nilai dasar dalam pencapaian spiritual yang luhur. D. Signifikansi Penelitian 14
Penelitian ini dapat menjadi bahan kajian atau pemikiran lebih lanjut dalam membandingkan aspek tasawuf dari perspektif teologis dan tasawuf dari aspek ontologis. Dua perspektif ini tampak memang kontradiktif secara literal pada teks-teks tasawuf. Namun penelitian ini akan memudahkan para peminat tasawuf dalam memahami secara bijak perbedaan dinamis antara aspek teologi tasawuf yang memang melahirkan ekslusivitas, dan aspek ontologi yang melahirkan tasawuf inklusif dan perenial. Pemahaman bijak terhadap dua pendekatan tersebut akan menumbuhkan sikap saling pengertian di antara para peneliti tasawuf. E. Penelitian Dahulu yang Relevan Belum ada kajian khusus yang membahas teologi dan pengaruhnya di Nusantara. Penelitian yang dilakukan kebanyakan berorientasi kepada konsep tasawuf Ibn ‘Arabī> dan pengaruhnya di Nusantara. Di antara penelitian tersebut seperti kajian historis yang dilakukan oleh Azyumardi Azra berjudul, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-17 dan 18”. 35 Ia meneliti proses transmisi keilmuan Islam melalui jaringan ulama Timur Tengah ke Nusantara. Hal ini diketahui dengan melacak karangan tokoh-tokoh Nusantara yang pernah belajar di Timur Tengah, terutama Makkah dan Madinah pada masa itu. Azyumardi Azra mengemukakan bahwa kebanyakan tokohtokoh yang menjadi tempat belajar para ulama Nusantara adalah para penganut ajaran Ibn ‘Arabī> yang “setia”. Ini terlihat dari tema-tema ajaran yang diajarkan oleh Muṣtafā al-Bakrī, Ah>mad al-Qushāshī, Ibrāhīm al-Kurani, dan lainnya. Mereka merupakan tokoh terdepan yang memberikan pengaruh besar dalam mengembangkan ajaran Ibn ‘Arabī bagi para ulama Nusantara yang belajar di sana. Dalam objek yang lebih khusus, ditemukan karya Abdur Rahim Yunus yang berjudul, “Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19”. 36 Ia menyebutkan dengan pendekatan historis pengaruh ajaran Ibn ‘Arabī> dalam formulasi Martabat Tujuh di kesultanan Buton. Bahkan, kesultanan Islam tersebut menjadikan prinsip Martabat Tujuh sebagai dasar pembuatan Undangundang kesultanan, sehing dikenal dengan Undang-undang Martabat Tujuh. 35 36
Diterbitkan di Jakarta oleh Kencana, 2005. Diterbitkan di Jakarta: INIST, 1995.
15
Dengan kajian lebih dekat, Zaim Rais menulis disertasinya yang berjudul The Minangkabau Traditionalist’s Respon to The Modernist Movement (1994). Disertasi ini membicarakan sikap Kaum Tuo menghadapi gerakan pembaruan yang dilakukakan Kaum Mudo. Ia mengemukakan bagaimana usaha Kaum Tuo mendamaikan antara adat dan shariat, sedangkan Kaum Mudo malah menyerang dan mengritisi eksistensi adat. Hal menarik lain yang ditampilkan adalah respon Sheikh Sa‘ad Mungka terhadap kritikan Ahmad Khatib yang berpandangan bahwa ritual tarekat menyimpang dari prinsip teologis. Namun, Zaim melakukan penelitian hanya melalui pendekatan sosio historis saja. Selain itu, pelacakan terhadap corak pemikiran kesufian ulama di Nusantara dilakukan oleh ṣolihin. Ia menulis Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara.37 Namun sayangnya, ṣolihin lebih banyak mengemukakan hasil penelitian orang lain daripada eksperimen terhadap karya tokoh sufi Nusantara secara langsung. Hal ini menyebabkan karya ṣolihin masih perlu diverifikasi lagi secara empiris. Karya Ahmadi Isa tampaknya berusaha lebih mengerucut kepada satu tokoh sufi dari Kalimantan Selatan, Nafis al-Banjārī. Ia menulis Ajaran Tasawuf Syekh Muhammad Nafis al-Banjārī 38 dengan pendekatan tasawuf. Ahmadi mencoba memberikan kontroversi seputar konsep tasawuf Nafis. Ia terlihat lebih membela Nafis sebagai seorang Sunni. Adapun Waḥdat al-Wujūd Ibn ‘Arabī> dan Panteisme 39 karya Kautsar Aẓari Noer tampak lebih menekankan aspek esoteris dari teks tasawuf Ibn ‘Arabī. Dalam hal ini, aspek teologis bukanlah sebagai alat pembaca teks, tapi hanya sebagai instrumen pembantu. Disertasi Muhammad Wildan Yahya yang berjudul Tasawuf Shekh Abdul Muhyi (2004) yang memfokuskan pokok penelitian mengenai ajaran tasawuf Nusantara yang dikembangkan oleh Abdul Muhyi dengan naskah-naskah yang terdapat di Pamijahan. Wildan tampaknya sangat kreatif dalam mengorelasikan tokoh tersebut dengan para tokoh sufi lain di Nusantara pada abad ketujuh belas dan delapan belas. Kajian teologis tampak sangat berperan banyak ketika Wildan membicarakan konsep sufistik Islam Jawa dan ajaran Abdul Muhyi. Kajian untuk masa yang lebih kekinian dilakukan oleh Fauzan Saleh dalam karyanya The Development of Islamic Theological Discourse in Indonesia (2003). Ia membicarakan perkembangan teologis di 37
Diterbitkan di Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Diterbitkan di Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. 39 Diterbitkan oleh Paramadina dengan judul Ibn ‘Arabi>> Wahdat al-Wujūd dalam Perdebatan, Jakarta: 1995. 38
16
Indonesia sejak awal abad ke-20 sampai akhir abad tersebut. Dalam hal ini, ia lebih menonjolkan konstruksi pro-modernis dalam menyikapi Islam ortodoks. Kajian ini terkesan mengabaikan kelompok lain yang tidak searah dengan tokoh-tokoh modernis.
F. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa langkahlangkah tertentu dalam menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya. Terlebih dahulu, penulis melakukan library research atau studi kepustakaan, dengan memperlakukan manuskrip sebagai sumber kajian yang setara dengan referensi yang telah dipublikasikan. Adapun objek yang menjadi sasaran penelitian adalah aspek teologi dalam teks yang ditulis ulama tasawuf Nusantara. Hal ini dilakukan dengan mengomparasikan konsep masing-masing tokoh dalam menempatkan urgensi teologi dalam mencapai kesuksesan spiritual. Namun tidak terbatas pada pendekatan komparatif semata, penulis juga melakukan analisa kritis terhadap teks-teks tersebut. Dalam hal ini, pendekatan teologis dengan menggunakan filologi sebagai alat juga tidak bisa diabaikan. Hal ini dikarenakan ada beberapa teks tersebut masih berupa manuskrip. Teks-teks yang masih berbentuk manuskrip akan diperlakukan sebagaimana rujukan yang telah dicetak, yaitu dibaca, dibandingkan, dan dikritisi jika diperlukan. Namun demikian, semua instrumen tersebut hanya bertujuan untuk mendapatkan deskripsi yang jelas terhadap teks-teks tasawuf dengan pendekatan teologi Islam. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan yang ditemukan di dalam teks tersebut akan dipahami berdasarkan prinsip teologi Islam. Namun, bukan berarti pengolahan data dengan pendekatan ini akan mengabaikan aspek esosteris dan metafisika tasawuf yang rumit. Beberapa term di dalam sumber-sumber kajian mesti dipahami dengan pendekatan metafora kesufian, sehingga tidak terjebak pada penilaian teologis yang kaku. Berdasarkan hal tersebut, metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi, yaitu menganalisa data tentang obyek yang diteliti berdasarkan isinya. Adapun sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitab Jawa>hir al-‘Ulūm fī Kashf al-Ma‘lūm karya al-Ranirī, Sullam al-Mustafīdīn dan ‘Umdat al-Muḥtajīn karya ‘Abd al-Ra’ūf -yang 17
masih berbentuk manuskrip- telah menjadikan status teologi sebagai kunci kesuksesan perjalanan spiritual. Kitab Zād al-Muttaqīn,, Lubb alḥaqā’iq, dan Sayr al-Sālikīn karya ‘Abd al-ṣamad merupakan sumber utama dalam perolehan data mengenai konsep teologi Sunni dan korelasinya dengan teolog Sunni yang mengembangkan ajaran Martabat Tujuh. Selain itu, kitab al-Durr al-Nafīs karya Nafīs al-Banjārī sangat membantu dalam memperoleh sinkronisasi aspek teologis dengan manifestasi Tuhan. Begitu juga karya ‘Aydrūs Buton seperti Hadīyat alBashīr, Fatḥ al-Raḥīm fī al-Tauhīd Rabb al-‘A
yang dengan lugas mengemukakan identitas teologisnya sebelum memaparkan kajian tasawuf falsafi secara komprehensif. Selain itu, karya yang lebih spesifik dari ‘Abd al-Ghanī alNablusī seperti Id}āḥ al-Maqṣūd fī Waḥdat al-Wujūd akan sangat membantu untuk menjelaskan substasi dari persoalan wujud di kalangan sufi. Dalam hal ini, tidak lupa digunakan karya Nicholson, Studies in Islamic Mystism yang menilai para teolog Sunni lebih menutup diri dari aspek esoteris. Begitu juga, Introdution to Islamic Theology and Law karya Ignaz Golziher sangat membantu dalam memahami perbedaan aspek teologi yang ekslusif daripada aspek esoteris yang inklusif. Selain itu, Falsafat al-Taṣawwuf al-Islamī karya ‘Abd al-Qādir Maḥmūd meminjamkan kepada penulis beberapa kerangka teori dalam memahami kajian tasawuf Barat. G. Sistematika Penulisan Tesis ini akan disajikan dalam beberapa bagian sebagaimana berikut: Pada bab pertama, penulis mengemukakan bab pendahuluan. Bagian ini menjelaskan bagaimana latar belakang ketertarikan dalam melakukan penelitian terhadap peran teologi dalam kajian sufi Nusantara. 18
Selain itu, dikemukakan rumusan masalah yang disertai dengan pembatasan masalah yang akan diteliti. Di samping itu, juga dikemukakan tujuan dan manfaat penelitian, serta penelitian terdahulu yang relevan dengan topik pilihan. Penulis juga mengemukakan metodologi yang digunakan dalam penulisan serta sistematikanya. Pada bab kedua, penulis mengemukakan pandangan yang mengelompokkan tasawuf kepada tiga kategori; tasawuf Sunni, tasawuf Falsafi, dan tasawuf Salafi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh pendahulu sufi seperti al-Ghazālī (505 H.), al-Suhrawardī>, Ibn ‘Arabī> (638 H.), dan tokoh-tokoh kontemporer yang meneliti tasawuf seperti Hilāl, ‘Abd al-Qādir Maḥmūd, dan Madkūr. Di samping itu, akan dikemukakan pendapat teolog-teolog klasik seperti al-Rāzi atau sufi seperti al-Qushayrī dan al-Ghazālī tentang posisi tasawuf sebagai teolog yang mandiri atau bagian dari salah satu aliran teolog Islam. Selain itu, juga disajikan pembahasan tentang kaidah dalam mengafirkan seseorang atau suatu paham, sehingga terlihat kapan para teolog seperti ‘Abd alQāhir al-Baghdādī (429 H.) berani mengafirkan suatu paham yang cenderung kepada tasawuf tetapi telah keluar dari substansi tasawuf Islam. Pada bab ketiga, dikemukakan tentang teologi apa saja yang berkembang sejak abad ke tujuhbelas sampai ke sembilanbelas. Di sini akan terlihat mengapa teologi salafi “versi” Ibn Taymīyah atau formulasinya dalam bentuk teologi Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb tidak mempengaruhi teologi umat Islam Nusantara sebelum abad dua puluh.. Hal tersebut dilakukan dengan menjelaskan terlebih dahulu perbedaan mencolok dari substansi teologi yang berkembang di Nusantara dengan teologi Salafi> atau Wahhābī. Setelah itu, akan dikemukakan kecenderungan teologi ulama tasawuf Nusantara kepada teologi Sunni Ash‘arīyah berdasarkan pengamatan terhadap manuskripmanuskrip yang dibaca. Dalam hal ini, diberikan kajian khusus untuk karya-karya Sulṭan Muḥammad ‘Aydrūs Buton yang berkaitan dengan teologi. Ini dikarenakan karya-karyanya terhadap kajian teologis lebih otoritatif daripada karya-karya lain yang hanya bersifat terjemahan atau komentar. Pada bab keempat, disajikan hasil pembacaan yang lebih sempit terhadap teks-teks tasawuf dari tokoh-tokoh yang telah disebutkan pada bab kedua. Lebih sempit dalam artian, akan dikemukan di dalamnya perdebatan yang paling menonjol, yaitu tentang konsep wujud. Pembacaan teks dilakukan dengan pendekatan teologis, sehingga memperoleh deskripsi mengenai peran dan status teologi dalam kajian 19
tasawuf mereka. Teks-teks yang menjadi bahasan di antara lain ada yang berbentuk manuskrip seperti kitab Jawa>hir al-‘Ulūm fī Kashf al-Ma‘lūm karya al-Rānīrī,‘Umdat al-Muḥtajīn karya ‘Abd al-Ra’ūf al-Jāwī dan Mu’nisat al-Qulūb karya Muḥammad ‘Aydrūs, dan ada yang telah berbentuk teks yang telah diterbitkan seperti Sayr al-Sālikīn dan Zād alMuttaqīn karya ‘Abd al-ṣamad, dan manuskrip lainnya yang berkaitan. Pada bab kelima, penulis akan memberikan kesimpulan dari kajian yang dilakukan sesuai dengan rumusan dan batasan masalah. Hal ini berupa hipotesa berdasarkan pembacaan dan analisa penulis pada bab-bab sebelumnya.
BAB II TASAWUF; DI ANTARA TEOLOGI DAN FILSAFAT Di dalam ranah pemikiran Islam, dikenal berbagai macam kategorisasi tasawuf. Hal ini terlihat dari teori-teori yang pernah berkembang pesat di awal abad ke-20 sampai sekarang. Di antara kategorisasi tersebut, yang paling banyak diikuti adalah pengelompokan tasawuf kepada kelompok Falsafi dan Sunni. Sebenarnya penggunaan dua term tersebut terlihat kurang cocok. Ini dikarenakan, biasanya term Sunni digandengkan dengan Shī‘ah atau Mu‘tazilah sebagai rival teologi. Namun tidak diketahui secara pasti atas alasan apa term Sunni dan Falsafi telah digunakan begitu saja oleh banyak peneliti sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan ini nantinya. Di kalangan akademisi Muslim sendiri tampaknya banyak yang cenderung kepada kategorisasi tersebut. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan Ibrāhīm Madkūr yang menyebutkan bahwa ada corak tasawuf yang ketat menjaga aspek syariah, sehingga disebut dengan tasawuf Sunni. 40 P39F
P
40
Ibrāhīm Madkūr, Fī al-Falsafah al-Islāmīyah: Manhāj wa-Tat{bīq (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1976), I/66. Pengelompokan ini juga diikuti oleh Dr. ‘Abd al-Fattāḥ Aḥmad Fu’ād. Ia mendefinisikan tasawuf Sunni sebagai sebuah tradisi kezuhudan dan spiritual dari al-Qur’an, Sunnah Nabi Saw, dan cara hidup sahabat. ‘Abd al-Fattāḥ
20
Adapun tasawuf yang kurang menjaga aspek tersebut, maka disebut dengan tasawuf Falsafi. Tetapi pengertian ini terkesan berlebihan dari kenyataan, karena Ibn ‘Arabī>> sendiri mendefinisikan tasawuf yang ia anut sebagai keteguhan dalam menjalankan etika syariat yang ẓāhir dan bātin. 41 Konsep ini dikembangkan lagi lebih jauh oleh ‘Abd al-Qādir Maḥmūd dengan menambahkan satu kelompok lain, yaitu tasawuf Salafi. 42 Di samping itu, ketiga term ini dalam literatur klasik memang sangat sulit ditemukan, jika tidak akan dinafikan secara mutlak. ‘Abd alQāhir al-Baghdādī -seorang teolog yang ketat dalam menilai penyimpangan teologis berbagai aliran dalam Islam- malah mengategorikan tasawuf sebagai salah satu dari delapan kelompok Sunni. 43 Tetapi ungkapan al-Ghazālī tentang seorang yang mampu menyelaraskan antara kehendak Tuhan dan kemampuan hamba dengan sebutan sunnī ṣūfī juga akan membuka celah terhadap pengristalan istilah tersebut. 44 Terlepas dari hal itu, penggunaan term baru dalam konteks ini pun bukanlah suatu hal yang terlarang, selama bisa dipertanggungjawabkan. Di samping itu, tampaknya Ibrāhīm Madkūr telah mengenal kategorisasi klasik terhadap tasawuf. Ia menyebutkan bahwa ada dua golongan tasawuf, yaitu mu‘tadilīn (moderat) dan mutaṭarrifīn (ekstrim). Aḥmad Fu’ād, Ibn Taymīyah wa-Mawqifuhu min al-Fikr al-Falsafi> (Kairo: al-Hay’ah al-Miṣrīyah al-‘A<mah li al-Kitāb, 1980), 225-226. 41 Ibn ‘Arabi>>, Is{t{ilāḥāt al-S{ūfīyah, tahqiq: ‘Abd al-Rah{mān H{asan Mah{mūd (Kairo: ‘Ālam al-Fikr, 1986), 28. Hal ini diperkuat oleh ‘Abd al-Rah{mān yang tidak mempercayai korelasi dua kata ini ; tasaawuf falsafi. Ia menegaskan bahwa filsafat adalah kekufuran murni, sedangkan tasawuf adalah keimanan murni. Ia menganalogikan keduanya bagaikan dua arah yang tidak akan bertemu selamanya. ‘Abd al-Rah{mān, “Taqdīm” dalam Ibn ‘Arabī, Tanbīhāt ‘alá ‘Ulūm al-H{aqīqat alMuh{ammadīyah (Kairo: ‘Ālam al-Fikr, 1986), 12. ‘Abd al-Fattāḥ Aḥmad Fu’ād mendefinisikan tasawuf Falsafi dengan pengertian yang lebih jauh menyudutkan dari pendapat Ibrāhīm Madkūr. Tasawuf Falsafi adalah aliran spiritual yang menyampurkan ajarannya dengan pemikiran Yunani, ajaran hikmah Timur klasik seperti India dan Persia, dan agama-agama lain seperti Kristen. Berdasarkan ini, ‘Abd al-Fattāḥ menegaskan bahwa tasawuf Falsafi menampakkan Islam pada zahirnya, sedangkan batinnya non-Islami. ‘Abd al-Fattāḥ Aḥmad Fu’ād, Ibn Taymīyah wa-Mawqifuhu min alFikr al-Falsafī (Kairo: al-Hay’ah al-Miṣrīyah al-‘A<mah li al-Kitāb, 1980), 226. 42 ‘Abd al-Qādir Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah fī al-Islām (Kairo: Dār alFikr al-‘Arabī, 1966), 78. Ibrāhīm Madkūr, Fī al-Falsafah, 66. 43 Ia menyebut mereka sebagai al-zuhhād al-s{ūfīyah, ‘Abd al-Qāhir alBaghdādī, al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, t.t.), 242. 44 Al-Ghazālī, Rawd}at al-T{ālibīn wa-‘Umdat al-Sālikīn dari Majmū‘āt alRasā’il al-Imām al-Ghazālī jilid II (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2006), 6.
21
Madkūr menyebut kelompok pertama sebagai tasawuf yang menjaga Sunnah (Sunnīyīn), dan kelompok kedua sebagai tasawuf yang menyimpang (Mubtadi‘īn). 45 Adapun Maḥmūd menyebut term lain, kelompok pertama sebagai tasawuf ijābī (positif), dan kelompok kedua sebagai tasawuf salbī (negatif). 46 A. Tasawuf “Sunni” Sebagaimana disinggung sebelumnya, Tasawuf Sunni sangat identik dengan penjagaan aspek syariah. Ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk menyebut tasawuf Sunni, seperti tasawuf akhlaqi. Walaupun pernah digunakan, tetapi peneliti seperti Madkūr, Maḥmūd, dan Hilāl lebih sering menggunakan term yang pertama. Tasawuf Sunni secara lebih spesifik adalah tasawuf yang berpegang teguh menjaga kemurnian teologi Ahl al-Sunnah. Hal ini ditegaskan oleh Maḥmūd bahwa tasawuf Sunni sangat ketat dalam menentang penyimpangan teologi. Penyimpangan teologi yang dimaksudkan adalah tasawuf yang meyakini konsep waḥdat al-wujūd.47 Madkūr dan Maḥmūd sepakat bahwa tokoh utama yang menjadi sentral dalam tasawuf Sunni adalah alGhazālī (505 H.). 48 Dalam hal ini, beberapa penulis lokal juga tertarik menggunakan term ini, seperti Alwi ṣihab yang menilai bahwa tasawuf Sunni merupakan tasawuf yang berwawasan moral praktis dan 49 bersandarkan al-Qur’an dan Sunnah. Alwi tampak banyak mengikuti pendekatan yang digunakan oleh Maḥmūd. Pembatasan definisi dari tasawuf Sunni kepada pengertian tersebut tidak selamanya bisa diterapkan. Ini dikarenakan tokoh tasawuf falsafi seperti Ibn ‘Arabī>>, dalam pengakuannya juga sangat kuat menjaga ortodoksi shari‘ah sebagaimana akan dibahas nanti. 45
Ibrāhīm Madkūr, Fi al-Falsafah al-Islāmīyah, I/66. ‘Abd al-Qādir Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 78. 47 ‘Abd al-Qādir Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 157. 48 Mah{mūd telihat menitik beratkan penyimpangan pada konsep wah{dat alwujūd yang memaknai tauhid dengan lā mawjūd illá Allāh (Tidak ada eksistensi hakiki melainkan Allah). Al-Ghazālī dipandang sebagai penjaga kemurnian spiritual Islam yang mencapai hakikat dengan syariat, dan menguatkan syariat dengan hakikat. ‘Abd al-Qādir Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 157. Adapun Madkūr tampak banyak menyinggung konsep h{ulūl daripada wah{dat al-wujūd. Dalam hal ini al-Ghazālī sebagai sufi yang berteolog Sunni banyak mengemukakan kritikannya. Madkūr, Fī al-Falsafah alIslamīyah, 66-67. Pendekatan ini tampaknya lebih mendekati kepada kebenaran historis, karena al-Ghazālī baru dihadapi konsep h{ulūl bukan wah{dat al-wujūd. 49 Alwi Shihab, Islam Sufistik (Bandung: Mizan, 2001), 32. Ini merupakan disertasinya berbahasa Arab ketika di Universitas ‘Ayn al-Shams Kairo yang berjudul al-Taṣawwuf al-Islamī wa-Atsaruhu fi Taṣawwuf al-Indūnisī al-Mu‘ās{ir. 46
22
Terlepas dari hal tersebut, Maḥmūd mempunyai pendekatan yang menarik dalam melirik sejarah tasawuf Sunni. Ia membagi periodesasi tasawuf Sunni kepada tiga generasi, bidāyāt al-t{arīq (periode awal), mutasawassit{āt al-t{arīq (periode tengah), dan nihāyāt al-t{arīq (periode akhir). a. Periode Awal Adapun pada periode awal, tokoh pertama dari kalangan tasawuf Sunni yang tertarik kepada ilmu Kalam adalah al-Muḥāsibī (243 H.). 50 Al-Muḥāsibī dianggap sebagai tokoh pertama karena beberapa alasan, pertama ia dibersarkan dalam komunitas ahl al-sunnah. Hal ini terlihat dari tokoh Aḥmad bin ḥanbal (242 H.) yang semasa dengannya. Adapun kedua, al-Muḥāsibī dihadapi oleh polemik dengan teologi Mu‘tazilah yang bermuatan politis di Baghdad, Baṣrah, dan Kufah. Sejarawan seperti al-Dhahabī menyebutkan bahwa al-Muḥāsibī pernah belajar ilmu Kalam kepada Ibn Kullāb 51 teolog ulung pada masa tersebut yang juga kritis terhadap Mu‘tazilah. Sedangkan ketiga, ia dianggap sebagai penggagas konsep tasawuf Sunni yang pada periode berikutnya berkembang pesat di tangan al-Ghazālī. Namun demikian, walaupun al-Muḥāsibī semasa dengan Aḥmad bin ḥanbal, tetapi hubungan mereka berdua tampak kurang harmonis. Aḥmad mengritisinya dengan keras bahkan melarang pembacān terhadap kitab-kitabnya karena al-Muḥāsibī mempunyai kecenderungan dalam membicarakan permasalahan spiritual. Tetapi kemudian, sebagaimana dikemukakan al-Dhahabī, Aḥmad malah tertarik dan kagum dengan ajaran al-Muḥasibī. Ini terlihat dari sikap Aḥmad yang sengaja
50
Al-Sulamī menyebutkan bahwa-al-ḥārith bin Asad al-Muh{āsibī Abū ‘Abd Allāh adalah ulama sufi yang juga mendalam dalam ilmu zāhir, mu‘āmalāt dan ishārāt. Ia adalah guru dari ulama Baghdad. Karangannya yang berkaitan dengan tasawuf adalah al-Ri‘āyah li ḥuqūq Allāh (Menjaga Hak-hak Allah). Ia mempunyai riwayat hadis sampai kepada Nabi Saw. dan kata-kata mutiara yang mengugah. Abū ‘Abd al-Raḥmān al-Sulami>, T{abaqāt al-S{ūfīyah, 33. 51 Ibn Kullāb merupakan teolog yang keras menetang wacana Mu‘tazilah yang cenderung mengatakan bahwa-al-Qur’an adalah makhluq. Ia menjadi guru Dāwud alẓahirī, dan diikuti pada periode berikutnya oleh Abū al-ḥasan al-Ash‘arī>. Selain itu, ia juga sempat mendengarkan ajaran-ajaran kesufian al-Junayd yang membuatnya kagum. Al-Dhahabī tidak mengetahui dengan pasti kapan Ibn Kullab wafat, tetapi ia memperkirakannya sebelum 240 H. Al-Dhahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’ (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1993), v. 11 h.175.
23
mengundang al-Muḥāsibī untuk mendengarkan ungkapan-ungkapan yang menyegarkan spiritual. 52 Kecenderungannya kepada tasawuf ternyata tidak membuatnya meninggalkan aspek teologis. Al-Muḥāsibī justeru sangat ketat dalam masalah teologi, sehingga ia mengatakan bahwa tidak berlaku hukum waris antara dua agama yang berbeda. Agama yang dimaksud oleh alMuḥāsibī bukanlah agama selain Islam. Konteks pembicaraannya pada saat itu adalah ketika mengritisi ayahnya yang tidak percaya kepada takdir (Qadarīyah). Al-Muḥāsibī bahkan meminta ayahnya untuk menceraikan ibunya, karena Qadarīyah dinilainya telah mengingkari prinsip keimanan. 53 Adapun corak tasawuf yang dibangun oleh al-Muḥāsibī adalah orientasi kepada penyucian hati dari penyakit-penyakit rohani, menghindarkan diri dari aktivitas yang negatif, dan kehati-hatian terhadap tipuan (ghurūr) dalam beribadah. 54 Kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa al-Muḥāsibī merupakan tokoh tasawuf akhlaqi. Salah satu sebab ia dinamakan al-Muḥāsibī adalah ungkapannya, “Permulaan taat adalah wara‘, permulaan taqwa adalah muḥāsabah (instropeksi) diri, permulaan muḥāsabah adalah al-khawf (takut) dan rajā’ (harap), sedangkan dua hal tersebut permulaannya adalah mengenal janji baik (sorga) dan buruk (neraka)”. 55 Konsep tasawuf akhlaqi yang dikembangkan al-Muḥāsibī banyak mempengaruhi Dhū al-Nūn al-Miṣrī 56 (245 H.), Sirrī al-Saqtī (257 H.), al-Kharrāz (279 H.) dan al-Junayd (297 H.) yang dikategorikan Maḥmūd kepada periode kedua. Bahkan, konsep tasawufnya juga mempengaruhi tokoh poros pada masa-masa setelahnya, termasuk alGhazālī. 57 b. Periode Kedua
52
Al-Dhahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’, v. 11 h. 227. Al-Dhahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’, v. 12 h. 11. Abu Nu‘aim, ḥilyat alAwliyā’, v. 10 h. 75. 54 Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 176. 55 Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 181. 56 Ia adalah Abū al-Fayd} Dhū al-Nūn bin Ibrāhīm al-Mis{ri. Ia disebut oleh Abū Nu‘aim sebagai tokoh yang berbicara dengan penuh hikmah dan isharat. Al-Sulamī menilai bahwa ia adalah orang pertama yang berbicara tentang sistematika maqāmāt dan aḥwāl di Mesir. Abū Nu‘aim, ḥilyat al-Awliyā’, v. 4 h. 211. al-Sulami>, T{abaqāt alS{ūfīyah, 219. 57 Margaret Smith, Studies in Early Mysticism in The Near and Middle East (Oxford: Oneworld, 1995), 225. 53
24
Pada periode kedua, sebagaimana disebutkan sebelumnya, dimulai dari masa Dhū al-Nūn. Namun, tampaknya periodesasi yang digunakan Maḥmūd terlalu dekat. Ini dikarenakan masa wafat Dhū al-Nūn dengan al-Muḥāsibī (243 H.) hanya berjarak dua tahun yang menunjukkan bahwa sebenarnya mereka semasa. Oleh karena itu, tokoh yang tepat dijadikan sentral pada periode kedua tidak dimulai dari Dhū Nun, tetapi dari Sirrī al-Saqt{ī (257 H.), al-Kharrāz (279 H.) dan al-Junayd (297 H.). Tidak diketahui secara pasti apa alasan Maḥmūd dalam membuat periodesasi tokoh-tokoh tersebut. Terlepas dari permasalahan tersebut, Dhū al-Nūn dikenal sebagai orang yang pertama membicarakan tentang aḥwāl dan maqāmāt di Mesir. Begitu juga, Sirrī al-Saqt{ī merupakan orang yang melakukannya di Baghdad. Sirrī sangat menekankan kemurnian ibadah yang sesuai dengan Sunnah, sehingga ia mengatakan bahwa ibadah yang sedikit tetapi sesuai dengan Sunnah, lebih baik daripada banyak tetapi bercampur dengan bid‘ah. 58 Hal ini menunjukkan bahwa kesufiannya tidak menyebabkan dirinya mengabaikan aspek ortodoksi syariat. Sirrī berpandangan bahwa puncak pencapaian spiritual pada hakikatnya adalah pentauhidan terhadap Allah semata. Oleh karena itu, ia menyebutkan bahwa ada lima hal pencapaian kepuasan spiritual yaitu takut (khawf), harap (rajā’), cinta (ḥubb), dan kejinakan hati (uns) hanya kepada Allah semata. Adapun al-Kharrāz 59 juga termasuk sufi yang menekankan keselarasan antara syariat dan hakikat. Hal ini terlihat dari penegasannya bahwa segala sesuatu aspek hakikat yang bertentangan dengan zahir syariat adalah sia-sia. 60 Ia banyak membicarakan tentang konsep ma‘rifah dan maḥabbah. Ia berpandangan bahwa cinta Allah kepada Musa adalah setelah menjadikannya murād (yang diinginkan) setelah menjadi murīd (yang menginginkan). Walaupun ia juga berbicara tentang fanā’ dan baqā’, tetapi Maḥmūd menilai bahwa konsepnya berbeda dengan Abū Yazīd al-Bust{āmī (261 H.). Fanā’ dalam konsep al-Kharrāz adalah meleburkan ingatan dari segala sesuatu kepada mengingat Allah di dalam hati. Hal ini berbeda dengan Abū Yazīd, yang dalam penilaian Mamud, 58
Al-Sulamī, T{abaqāt al-S{ūfīyah, 32. Margaret Smith, Studies in Early Mystism, 236. 59 Dia adalah Ah{mad bin ‘Isā Abū Sa‘īd al-Kharrāz merupakan penduduk asli Baghdad sebagaimana Sirrī al-Saqt{ī. Perbedaan mereka adalah sebagaimana dijelaskan oleh al-Sulami>, bahwa-al-Kharrāz merupakan orang pertama yang berbicara tentang fanā’ dan baqā’ di Baghdad. al-Sulamī, T{abaqāt al-S{ūfīyah, 73. 60 Al-Sulamī, T{abaqāt al-S{ūfīyah, 74.
25
cenderung kepada fana’ dalam konsep ittiḥād. Hal ini terlihat dari pandangan al-Kharrāz yang mengatakan bahwa fana’ dari mengingat segala sesuatu adalah dengan mengaitkan (irṭibāt{) kepada mengingat Allah. Ia juga menegaskan bahwa awal dari tanda pencapaian tauhid adalah ketika seseorang keluar dari batas-batas alam, dan mengembalikannya kepada Zat yang mengendalikannya. 61 Adapun al-Junayd al-Baghdādī 62 tampak menjadi icon tasawuf moderat di kalangan sejarawan tasawuf. Hal ini terlihat dari pandangannya yang cukup ketat menjaga aspek ortodoksi syariah. Ia berpandangan bahwa seseorang yang tidak menghafal al-Qur’an dan menulis hadis maka tidak berhak menjadi penutan dalam disiplin ilmu tasawuf. Hal ini dikarenakan al-Junayd menilai bahwa tasawuf sangat berkaitan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan al-Junayd memandang kesetiaan seseorang mengikuti Sunnah merupakan kunci kesuksesan dalam perjalanan spiritual. Ia menegaskan bahwa semua jalan spiritual tertutup kecuali bagi pengikut Sunnah. 63 Tetapi, Ibrāhīm Hilāl terlihat kurang sepakat dengan pandangan ini. Ia menilai bahwa al-Junayd termasuk sufi yang menggunakan pendekatan falsafi. Hanya saja ia menilai al-Junayd masih tetap menjaga interpretasi Kitab Suci dengan hukum ẓāhir. 64 Di samping itu, aspek teologis yang menjadi pijakan sufi juga ditegaskan oleh al-Junayd bahwa substansi tauhid adalah menyucikan Allah yang qadīm dari sifat makhluk yang baru (al-ḥudūts). 65 Al-Junayd memandang bahwa kebebasan hakiki adalah ketika seseorang mencapai kemurnian tauhid. Hal ini terlihat dari ungkapannya bahwa, “Seorang sufi menjadi bebas ketika ia mentauhidkan Allah dalam ritual”. 66 Substansi tauhid yang menjadi pembicaraan al-Junayd adalah mengembalikan pengenalan dan penyaksian seorang kepada penyaksian di alam arwah. Ia menegaskan bahwa kemurnian tauhid yang pernah disaksikan setiap
61
Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 186. Al-Qushayrī menyebutnya sebagai sayyid ḥādzihi t{a’ifah (pemimpin sufi). Ia berasal dari Nahāwand namun besar di Irak. Ayahnya adalah penjual kaca. Ia mendalami fiqh Abū Tsawr dan berfatwa dengan maẓab Tsawrī ketika masih umur dua puluhan. Ia sempat belajar kepada sepupunya, yaitu Sirrī al-Saqt{ī. Al-Qushayrī, al-Risālah alQushayri>yah, 86. 63 Al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayri>yah, 86. 64 Ibrāhīm Hilāl, al-Taṣawwuf al-Islamī bayn al-Dīn wa-al-Falsafah, 54. 65 Al-Qushayrī, al-Risālah al-Qushayri>yah, 22. 66 Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 191. 62
26
orang di alam arwah tidak pernah berubah sama sekali, walaupun ia telah di dunia. 67 Adapun hubungan al-Junayd dengan tokoh-tokoh kontroversi semasanya seperti Abū Yazīd al-Bust{āmī dan al-ḥallāj. Maḥmūd mencatat bahwa sejarawan tasawuf tampak cenderung menilai al-Junayd kurang menyenangi al-ḥallāj. Adapun sikapnya terhadap Abū Yazīd tidak terlihat sikap polemik. Berdasarkan pengamatan Maḥmūd, ini dikarenakan kontroversi periwayatan yang berasal dari Abū Yazīd. 68 c. Periode Ketiga Tokoh sentral pada periode ketiga adalah Abū ḥāmid al-Ghazālī (505 H.). Ia digelari sebagai ḥujjat al-Islām karena kepiawaiannya menghadapi teologi-teologi yang berseberangan dengan Sunni. AlGhazālī diperselisihkan kedudukannya sebagai seorang sufi, filosof, faqih, atau teolog. Ada kemungkinan semua identitas tersebut menyatu di dalam dirinya. Hal ini terlihat dari semua disiplin ilmu yang dikuasai dan ditulisnya. Tetapi tidak sedikit yang keberatan dengan penilian ini, sebagaimana dikemukakan oleh Nicholson. Ia menilai bahwa al-Ghazālī bukanlah seorang sufi karena tidak cenderung kepada konsep Wujūdīyah seperti Ibn ‘Arabī>>. Dalam hal ini, Maḥmūd tampaknya tidak sepakat dengan penilaian Nicholson yang terlihat berlebihan. Justru sebaliknya, Maḥmūd menilai bahwa al-Ghazālī merupakan tokoh sufi yang berusaha menghidupkan kembali pengetahuan dalam keagamaan. Adapun kecenderungan tasawuf al-Ghazālī adalah tasawuf akhlāqi. 69 Hal menarik yang dilakukakan al-Ghazālī adalah menggali konsep ma‘rifah dengan pendekatan psikologi. Hal ini terlihat dari karangannya al-Risālah al-Ladunīyah. Ia berbicara di dalamnya tentang filsafat ilmu dan proses pencapaian ma‘rifah dengan pendekatan ilmu kejiwaan. Dari segi nilai suatu ilmu maka al-Ghazālī menegaskan bahwa objek ilmu yang paling mulia dan tinggi adalah Allah Swt. Yang Menciptakan alam semesta. Dengan demikian, ilmu yang mulia adalah ilmu mengenal-Nya atau Ilmu Tauhid. Bahkan ilmu ini wājib d}arūrī bagi setiap orang yang berakal sehat. 70 Adapun konsep al-Ghazālī dalam mengklasifikasikan ilmu, maka secara umum ia membagi ilmu ke dalam dua bagian, yaitu ilmu shari‘at dan ilmu ‘aqlī. Kebanyakan ilmu shari‘at
67
Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 191. Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 193. 69 Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 199. 70 Al-Ghazālī, al-Risālah al-Ladunīyah h. 58. 68
27
dianggap ilmu ‘aqlī oleh pakarnya, dan sebaliknya kebanyakan ilmu ‘aqlī dianggap sebagai ilmu syari‘at oleh pakarnya. 71 Lebih lanjut, al-Ghazālī membagi ilmu syari‘at ke dalam dua bagian, pertama uṣūl (bersifat pokok) yaitu Ilmu Tauhid yang bersifat ilmiah. Ilmu ini membahas segala hal yang berhubungan dengan zat Allah seperti sifat qadīm, sifat fi‘līyah, dan sifat zat. 72 Kedua, ilmu furū‘ (bersifat cabang) yaitu ilmu-ilmu yang bersifat amaliyah. Ilmu ini mencakup tiga hak, yaitu hak Allah, hak hamba, hak jiwa. 73 Kepiawaian al-Ghazālī dalam menjelaskan konsep filosofis hierarki pengetahuan menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya menolak filsafat. Walaupun ia menolak tiga aspek filsafat 74, namun bukan berarti ia tidak menerima sama sekali. Sikap al-Ghazālī yang kritis terhadap filsafat bukan tidak beralasan kuat. Ia menilai bahwa tiga aspek tersebut berbenturan kuat dengan prinsip teologi Sunni yang dianutnya. AlGhazālī menilai tiga aspek tersebut menyebabkan seseorang melanggar prinsip tauhid, sehingga berujung kepada kekafiran. 75 Adapun selain tiga hal tersebut, maka al-Ghazālī berpandangan bahwa itu tidak menjerumuskan kepada kekufuran. Tetapi mereka minimal mirip dengan Mu‘tazilah yang dinilainya aliran bid‘ah. Namun, Al-Ghazālī sangat keberatan dalam mengafirkan aliran bid‘ah, sebaliknya ia menentang jika ada yang cenderung menghukumi demikian. Al-Ghazālī memandang bahwa perbedaan Sunni dan Mu‘tazilah hanyalah dalam interpretasi terhadap kitab suci. Kekeliruan dalam interpretasi tidaklah menyebabkan mereka kafir dalam akidah. 76 Pandangan al-Ghazālī mengenai akidah tampak juga menarik. Berdasarkan prinsip teologi yang ia anut, al-Ghazālī membangun afiliasi tasawuf dengan teologi falsafi. Ia menegaskan bahwa kemurnian teologis tidak didapat dengan metode argumentatif dalam ilmu Kalam dan spekulasi filsafat. Tetapi kemurnian teologis dicapai dengan pendekatan dhawq ṣūfī (intuisi sufi). Kebenaran yang dicapai secara intuitif melebihi 71
Al-Ghazālī, al-Risālah al-Ladunīyah h. 63. Al-Ghazālī, al-Risālah al-Ladunīyah h. 63. 73 Al-Ghazālī, al-Risālah al-Ladunīyah h. 65. 74 Pertama, pandangan sebagian filosof bahwa alam qadīm. Kedua, ilmu Allah hanya bersifat partikular (juz’īyat). Ketiga, ketidakpercayaan mereka terhadap kebangkitan jasad dan pengumpulannya di hari Kiamat. Al-Ghazālī, Tahāfut alFalāsifah (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1972), 308. al-Ghazālī, al-Munqidh min al-D}alāl (Beirut: al-Maktabah al-Sha‘bīyah, t.t.), 51-52. 75 Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah, 307-308. 76 Al-Ghazālī, al-Iqtis{ād fi al-I‘tiqād (Beirut: Dār al-Fikr, 2007), 178. 72
28
pencapaian kebenaran rasional. 77 Maḥmūd menilai bahwa kecenderungan al-Ghazālī tersebut menyebabkannya melangkah dari pendekatan rasional (manhaj ‘aqlī) ke pendekatan praktis (manhaj tajarrubī). 78 Selanjutnya, ia mengatakan bahwa rahasia keilahian tidak akan dicapai kecuali dengan latihan spiritual yang ia sebut dengan t{arīq al-irādah. Berdasarkan aktivitas tersebut seorang sufi membuktikan eksistensi dirinya. Hal ini dinilai oleh Maḥmūd, banyak mempengaruhi filsafat yang dikembangkan Descartes yang mengatakan bahwa dengan berpikir maka seseorang menjadi ada. Hal ini berbeda dengan pandangan Augustinus bahwa dengan bersalah maka seseorang menjadi ada. 79 Hal lain yang menarik dari al-Ghazālī adalah toleransinya terhadap pengalaman spiritual yang dianggap kontroversi bagi para ahli fiqh dan teolog lainnya. Hal ini terlihat dari cara al-Ghazālī memahami konsep ḥulūl al-ḥallāj. Ia menegaskan bahwa ungkapan-ungkapan alḥallāj tidak boleh dipahami berdasarkan term teologis yang kaku. Justeru, pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengomparasikan term teologi dan tasawuf, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami konsep ḥulūl. Ini dikarenakan, menurut al-Ghazālī, ḥulūl versi al-ḥallāj (309) tidak dapat disamakan dengan konsep ḥulūl dalam kajian teologi.80 Adapun terhadap Abū Yazīd (261 H.), al-Ghazālī terlihat tidak mengritisi P76F
P
P7F
P
P78F
P79F
P
Ah{mad Amin, ẓuhr al-Islam (Beirut: Dār al-Kutub, 1999), v. 3 h. 129. Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 200 78 Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 200. 79 Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 201. 80 Al-Ghazālī, Mishkat al-Anwar (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 1994) h. 11-12. Ia menyatakan: "Para ahli ma`rifat sepakat bahwa setelah mencapai langit hakiki, maka mereka tidak akan melihat pada wujud alam melainkan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Benar. Tetapi di antara mereka ada yang mengalami keadaan ini sebagai ma`rifat ilmiyah (‘`irfān ilmī), dan ada juga yang mengalaminya sebagai rasa (dhawq) dan h{al sehingga hilang dari mereka keuniversalan alam semesta. Kemudian mereka larut dalam keesaan murni Tuhan (fardāniyah muhid}d}ah). Pada saat itu, akal mereka hilang sehingga menjadikan mereka seperti orang yang tercengang. Tidak ada tersisa satu ruang pun untuk mengingat selain Allah, bahkan juga untuk mengingat diri mereka sendiri. Tidak ada yang tersisa menurut mereka melainkan hanya Allah, sehingga mereka mabuk keras dalam mengendalikan akal. Bahkan di antara mereka ada yang berkata: "Akulah al-H{aqq (Allah)." Ada yang yang berkata: "Maha suci aku, karena keagunganku." Ada juga yang berkata: "Tidak ada satu pun di sorga melainkan Allah." Perkataan orangorang yang sedang rindu (`ushshāq) dalam keadaan rindu adalah rahasia langsung bukan menceritakan (yuh{kī). Ketika kemabukan tersebut telah reda dan kesadaran mereka kembali kepada penguasaan akal sebagai mizan Allah di bumi, maka mereka tahu bahwa keadaan demikian bukanlah hakikat dari ittih{ād (penyatuan) tetapi hanya penyerupaan dengan ittih{ād (yang dipahami dalam Ilmu Kalam-pent)..."80 al-Ghazālī, Mishkāt alAnwār, 11. 77
29
sama sekali. Tetapi ia malah menjadikan ajaran-ajaran Abū Yazīd sebagai konsep yang penting untuk diikuti.81 Sikap toleransi al-Ghazālī dipahami oleh Maḥmūd secara lebih luas. Maḥmūd mencoba mengomentari kritikan Qāsim bahwa al-Ghazālī kurang adil, karena bisa toleransi terhadap para sufi dan tetapi tidak toleransi terhadap para filosof. Maḥmūd menjawab bahwa pada masa muda al-Ghazālī memang demikian, tetapi dengan pertambahan umur, ia menjadi toleran baik kepada sufi maupun filsafat. Hal ini dikemukakan Maḥmūd setelah membaca kitab Fayṣal al-Tafriqah karya al-Ghazālī. 82 Namun, pandangan ini tampaknya berlebihan, karena al-Ghazālī hanya bermaksud toleran kepada para teolog atau para filosof yang mempunyai pandangan berseberangan dengan teologi Sunni, terutama teologi Mu‘tazilah. Hal ini sebagaimana dikemukakan sebelumnya. 83 Adapun mengenai aspek-aspek yang tidak bisa dikompromikan dengan prinsip teologi Sunni, al-Ghazālī tampak tidak berubah. Dalam masalah takdir, al-Ghazālī juga mencoba menyatukan konsep Sunni dengan tasawuf. Ia mengatakan bahwa penisbahan almashī’ah (kehendak) dan al-kasab (usaha) kepada makhluk, maka terjerumus kepada teologi Qadarīyah. Adapun penafian terhadap kedua hal tersebut merupakan Jabarīyah. Teologi yang benar menurut al-Ghazālī adalah menisbahkan al-mashī’ah kepada Allah dan al-kasab kepada makhluk. Ia menyebut teologi ini dengan akidah seorang sunni dan sufi yang lurus (sunnī ṣūfī rashīd). 84 B. Tasawuf “Falsafi” Penamaan ini termasuk teori baru yang tidak ditemui di kalangan sejarawan Muslim klasik. Sebagai contoh, Ibn Khaldūn (808 H.) filosof historis yang terkenal dengan konsep evolusi sejarah, hanya menyebut kelompok tasawuf dalam kategori ini dengan mazhab ahl al-tajallī wa-almaẓāhir wa-al-h>ad}ārāt (kelompok yang meyakini menifestasi Tuhan). Ia membedakan dengan kelompok sufi yang menafikan wujud selain Allah secara mutlak. Kelompok kedua disebut sebagai mazhab yang lebih ganjil (ra’y aghrab) dari yang pertama. 85 Tetapi kategorisasi Ibn Khaldūn
81
Al-Ghazālī, Rawd}at al-T{ālibīn (Beirut: Dār al-Kutub, 2006), 8. Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 238. 83 Al-Ghazālī, Fays{al al-Tafriqah (Beirut: Dār al-Kutub, 2006), 98-99. 84 Al-Ghazālī, Rawd}at al-T{ālibīn, 6. 85 Ibn Khaldūn, Tārīkh Ibn Khaldūn, (Beirut: Dār al-Turāth al-‘Arabī), I/471, ia menyebutkan bahwa ahl al-nazhr (teolog dan filosof) tidak sanggup untuk 82
30
tersebut memang membuka celah untuk melahirkan dikotomi terhadap tasawuf. Adapun kategorisasi tasawuf falsafi tampak baru muncul di awal abad keduapuluhan. Dalam hal ini, Ibrāhīm Hilāl yang cenderung kepada pengelompokan tasawuf kepada corak Sunni dan falsafi, merumuskan bahwa tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang dipengaruhi konsep ishrāqī (iluminasi) al-Fārābī. Hilāl menegaskan bahwa konsep ishrāqī tersebut mempunyai peran besar dalam melahirkan konsep ma‘rifah (pengenalan kepada Allah) pada ranah kesufian. Ia cenderung berpendapat demikian karena menilai hasil dari konsep ma‘rifah di kalangan sufi falsafi tidak jauh berbeda dengan para filosof itu sendiri. Hal ini sangat kental, ungkap Hilāl, jika dilakukan komparatif antara beberapa konsep tertentu dari dua ranah tersebut, maka akan ditemukan banyak persamaan. Ia menyontohkan kesamaan tersebut ketika dilakukan kajian komparatif terhadap interpretasi konsep walāyah (kewalian), nubuwwah (kenabian), wahyu, mukjizat, dan keramat para wali. 86 Tokoh-tokoh pada periode awal yang dikategorikan penganut tasawuf falsafi antara lain Abū Yazīd al-Bust{amī. Ia dikenal dengan konsep fanā’ yang mengantarkannya kepada ittiḥād. Ia berpandangan bahwa penyatuan dengan Allah merupakan sebuah totalitas. Pada tahapan tersebut yang menyintai (muḥibb) dan yang dicintai (maḥbub) telah menjadi satu. Adapun al-ḥallāj pada periode pertengahan dianggap sebagai penggagas konsep ḥulūl (inkarnasi). Namun tampaknya anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Hal ini dikarenakan juga banyak ungkapan al-ḥallāj yang menunjukkan konsep ḥulūl. Oleh karena itu, Maḥmūd menggandengkan mazhab ḥulūl al-Fārābī dengan al-ḥallāj. 87 Konsep tersebutlah kemudian yang mengantarkannya kepada hukuman mati, yang tak terlepas dari tendensi politik atau teologi. Pembicaraan tasawuf falsafi tidak menarik jika tidak menampilkan al-Suhrawardī (587 H.) yang bernasib tidak jauh berbeda dengan al-ḥallāj. memikirkannya, karena kerumitan yang terdapat di dalamnya; Ibn Khaldūn, Muqaddimah (Kairo: Dār Ibn al-Haytsam, 2005), 395. 86 Ibrāhīm Hilal, Tas{awwuf bayn al-Dīn wa Falsafat (Kairo: Dār al-Nahd}ah, 1979), 33. Tampaknya teori ini diikuti oleh banyak penulis lainnya. Ini terlihat M. Jalal Sharf peneliti filsafat dan tasawuf di Alexandaria yang menggunakan padangan tersebut untuk menilai al-Harith al-Muh{āsibī sebagai pengasas tasawuf Sunni. Tasawuf Sunni diartikannya sebagai tasawuf yang dibangun berdasarkan ajaran al-Qur’an, Sunnah. Lihat M. Jalal Sharf, al-Taṣawwuf al-Islamī fī Madrasat al-Baghdād (Alexandaria: Dār al-Mat{ba‘at al-Jāmi‘ah, 1972), 167. 87 Mah{mūd, al-Falsafah al-S{ūfīyah, 327.
31
Inilah yang menyebabkan ia digelari dengan al-maqtūl (yang dihukum mati). Ia dikenal dengan konsep tasawuf ishrāqī di kalangan sejarawan. Tidak seperti tokoh-tokoh lain, ia merupakan tokoh yang terang-terangan menegaskan bahwa ajarannya tentang al-anwār (cahaya) telah pernah digagas oleh Plato, Hermes sampai para filosof pada zaman Ampadokles. 88 Hilāl menilai bahwa tasawuf yang dikemukakan alSuhrawardī sangat mirip denga konsep filosofis yang dikembangkan alFārābī dan Ibn Sina. Tetapi Hilāl mengakui, bahwa al-Suhrawardī ternyata masih menilai cacat konsep kedua tokoh tersebut, karena mereka kering dari pendekatan intuisi (dhawq). 89 Ketika al-Fārābī menyebutkan terori ilmuniasi kepada sembilan tingkatan, dan Ibn Sina kepada sepuluh tingkatan, maka al-Suhrawardī mengatakan bahwa tingkatan tersebut tidak hanya terbatas pada bilangan tersebut. Namun, iluminasi al-anwār pada hierarki Akal akan berlanjut lebih banyak dari sepuluh, dua puluh, ratusan, bahkan tak terhingga. 90 Tampaknya konsep ini mendekati pemahaman Ibn Taymīyah yang keberatan dengan pembatasan al-Fārābī dan Ibn Sīnā. Ibn Taymīyah mengatakan bahwa "akal" yang sepuluh atau sembilan tersebut terdapat di langit tiada lain adalah para malaikat di dalam term agama. Namun Ibn Taymīyah menjawab dengan selingan berbagai ayat al-Qur'an bahwa jumlah mereka tidak diketahui kecuali oleh Allah. Para malaikat dalam Islam adalah para utusan Allah, mereka diperintahkan mentadbir langit, dan lain sebagainya. 91 Tetapi tampaknya, al-Suhrawardī> pun tak luput dari objek kritikan Ibn Taymīyah yang menilai bahwa konsep iluminasi dan kausalitas dalam konsep heirarki akal dan jiwa merupakan ungkapan lain dari tawallud (lahir/anak) terhadap Allah. Konsep heirarki menerapkan bahwa akal dan jiwa yang mereka anggap sebagai malaikat merupakan kausalitas dari Allah. Allah adalah sumber segala ma‘lūlāt (hasil dari sebab akibat). 92 Menurut Ibn Taymīyah, Allah tidaklah membutuhkan sebab (tawallud al-ma‘lūl) ketika menciptakan segala sesuatu, tetapi jika Dia berkehendak hanya dengan mengatakan "kun" (terjadilah!). 93 Kritikan ini menunjukkan ketimpangan dari pemahaman Ibn Taymīyah itu sendiri. Al-Suhrawardī, ḥikmat al-Ishrāq (Teheran: Mishkāt ‘Ulūm Insānī, 1373 H.), 11. Hilal dalam Tas{awwuf, 103. 89 Ibrāhīm Hilal, Tas{awwuf, 103. 90 Ibrāhīm Hilal, Tas{awwuf, 103. 91 Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwā (Riyād}: Majma‘ al-Malik Fahd, 1995), v. 4 h. 119. 92 Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwā, v. 4 h. 127. 93 Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwā, v. 4 h. 128. 88
32
Ini dikarenakan filosof-filosof Muslim tersebut tidak pernah meyakini proses tawallud pada zat Allah. Sufi Teolog Istilah ini memang tidak biasa digunakan. Tetapi bukan berarti hal ini baru disadari dan ditemukan. Beberapa peneliti tasawuf kontemporer seperti Alexander Knysh tampak mulai membaca indikasi ini, walaupun ia tidak mengemukakan istilah ini. Ia hanya sampai mengatakan ‘teologi sufi' dalam perspektif usaha mendamaikan keduanya atau salah satunya memanfaatkan yang lain. Ia menyebutkan bahwa al-Ghazālī memperkuat atau menyegarkan Islam Sunni dengan menggabungkannya dengan beberapa dasar tasawuf. Ini berbeda dengan pengikut Ibn ‘Arabī> yang ingin mempertahankan keyakinan mereka. Mereka berusaha menampilkan ayat atau hadis yang memperkuat asumsi bahwa tasawuf mempunyai dasar dalam Islam. 94 Hal ini dikarenakan teori-teori tasawuf Ibn ‘Arabī>> (638 H.) mulai diperdebatkan dikalangan teolog. Ia memang lebih dikenal sebagai tokoh yang mengusung ajaran waḥdat al-wujūd, 95 walaupun term tersebut sebagaimana diakui Wiliam Chittick tidak ditemukan dalam karyanya. 96 Claude Addas –penulis yang sangat detail menulis tentang tokoh ini, mengakui bahwa tema wujūd memang problematis dalam karya Ibn ‘Arabī. Ia mensinyalir peran ṣadr al-Dīn al-Qūnawī dalam mempopulerken istilah ini ketika mensistematikakan ajaran gurunya; Ibn ‘Arabī 97. Di sisi lain, penisbahan konsep ini kepada Ibn ‘Arabī juga dikarenakan ‘jasa’ Ibn Taymīyah yang mengritisi secara tajam. Tetapi ambiguitas pemahaman Ibn Taymīyah tampak sangat mencolok ketika menyamakan menyamakan konsep waḥdat al-wujūd Ibn ‘Arabī dengan ḥulul dan ittiḥād. Berdasarkan penyamaan ini ia menilai Ibn ‘Arabī sebagai penganut ateisme (ahl al-ilḥād). Sikap serupa juga diikuti oleh
94
Alexander Knysh, Ibn ‘Arabi> in the Later Islamic Tradition (New York: Sunny Press, 1999), 52-53. 95 Ibn Taymīyah menilai bahwa hanya ada satu eksistensi dalam pandangan Ibn ‘Arabi>>. Eksistensi tersebut adalah Wājib al-wujūd, yaitu Tuhan, yang merupakan substansi (‘ayn) mumkin al-wujūd yaitu alam. Ibn Taymīyah bahkan mengeneralisir bahwa dalam pandangan Ibn ‘Arabī> eksistensi alam semesta merupakan substansi Tuhan. Ibn Taymīyah, Majmū‘, v. 2 h. 112. 96 William C. Chittick, T{he Sufi Path of Sufi (New York: State University of New York Press, 1989), 78. 97 Claude Addas, Quest, 208 dan 232.
33
Ibn al-Qayyim. Ia menegaskan bahwa kelompok penganut ittiḥād merupakan kaum sufi yang berpaham waḥdat al-wujūd. 98 Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, maka ditemukan untuk sementara bahwa konsep ini pernah diungkapkan oleh Ibn Sab‘īn (613669 H.). Ia menjadikan ungkapan waḥdat al-wujūd sebagai terjemahan dari wujūd al-waḥdah al-muṭlaqah. 99 Tetapi ‘Alī ‘Abd al-Jalīl –seorang peneliti Ibn ‘Arabī di Mesir- tidak pernah menyebutkan tokoh Ibn Sab‘īn sebagai orang yang mempopulerkan konsep ini. Malah ia memberikan asumsi yang jauh, bahwa walaupun Ibn ‘Arabī populer dengan konsep tersebut, tetapi pemikiran tersebut telah ada sebelum Islam. Bahkan, untuk konteks Ibn ‘Arabī, ‘Alī menyebutkannya berasal dari pengaruh Ibn Rushd. Ia mencoba ‘memaksakan’ bahwa Ibn Rushd berteman dengan Ibn ṭufayl yang mengarang kisah ḥayy bin Yaqẓān. Di dalamnya tersirat ajaran wahdat al-wujūd. 100 Di samping itu, Ibrāhīm Hilal dan ‘Abd al-Rahmān ḥasan Maḥmūd dari Kairo terlihat sangat keberatan dengan tuduhan tersebut. 101 Hilāl, misalnya, mengemukakan bahwa sebenarnya Ibn ‘Arabī>> menolak penyamaan substansi antara Tuhan dan alam. Hilal menemukan bahwa Ibn ‘Arabī malah sangat kuat menekankan aspek kehambaan, terutama bagi seorang sālik yang telah mencapai martabat insān kamil.102 Dalam pengamatan penulis, Ibn ‘Arabī menegaskan kalimat, “Tuhan adalah Tuhan, sedangkan hamba tetaplah hamba” minimal sebanyak lima kali di dalam al-Futūḥāt al-Makkīyah. 103 Ortodoksi Ibn ‘Arabī>> dalam masalah ilmu kalam sangat jelas terlihat dalam permulaan al-Futūḥāt. Ia menyebutkan hierarki teologis berdasarkan tingkatan wawasan dan spiritual seseorang. Dalam hal ini, ia 98
Ibn al-Qayyim, al-S{awā‘iq al-Muh{arriqah (Riyād}: Dār al-‘Ās{imah, 1998), v. 2 h. 791. 99 Ibn Sab‘īn, Risālat al-Iḥāṭah dari Rasā’il Ibn Sab‘īn tahqiq: A}hmad Farīd alMazīdī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah), 211; Ibn Sab‘īn, Risālat al-Naṣīḥah aw alNūrīyah, 247; Ibn Sab‘īn, Risālah, 346. 100 ‘Alī ‘Abd al-Jalīl, al-Rawḥīyah ‘inda Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabi> (Kairo: Dār al-Nahd}ah al-Miṣrīyah, t.t), 462-463. 101 Ibrāhīm Hilal, al-Taṣawwuf, 141; ‘Abd al-Rahmān ḥasan Maḥmūd (ed.), “Taqdīm” dalam Ibn ‘Arabī, Tanbīhāt ‘alá ‘Ulūm al-ḥaqīqah al-Mu}ammadīyah al‘Alīyah, (Kairo: Maktabat ‘A. 102 Ibrāhīm Hilal, al-Taṣawwuf, 141. 103 Ibn ‘Arabi>> mengatakan ﻓﺎﻟﺭﺏ ﺭﺏ ﻭﺍﻟﻌﺑﺩ ﻋﺑﺩ ﻓﻼ ﺗﻐﺎﻟﻁ ﻭﻻ ﺗﺧﺎﻟﻁ, Ibn ‘Arabi, al-Futuh{āt al-Makkiyah, bab 351. selain itu terdapat ungkapan yang mirip pada bab 22, bab 558, bab 559 sebanyak dua kali.
34
menawarkan empat tingkatan teologi, pertama adalah akidah ‘awwām (awam). Akidah awam merupakan representasi Ibn ‘Arabī sebagai seorang Sunni. Ia menjelaskan bahwa akidah bukanlah sia-sia karena mereka tidak menempuh metode penakwilan sebagaimana ahli kalam. 104 Ia menegaskan persaksian bahwa akidah awam adalah akidah yang ia anut. 105 Kedua adalah ahl al-rusūm yang menunjukkan akidah Ibn ‘Arabī>> berdasarkan premis-premis teologis yang tiada lain adalah bangunan pemikiran Ash‘arīyah dan Maturidīyah. Ibn ‘Arabī lebih menyukai pendekatan diskursif dalam mengritisi penyimpangan pemikiran daripada menggunakan kekerasan. Tujuan para teolog adalah untuk mematahkan argumentasi musuh Islam dan menjaga kemurnian teologi awam. 106 Dalam hal ini, Claude Addas menilai bahwa Ibn ‘Arabī mencoba mengembangkan spekulasi teologis dengan meminjam beberapa aspek dari filsafat. 107 Ketiga adalah akidah al-ikhtiṣāṣ yang menunjukkan tarik-menarik antara teologi Ash‘arīyah dan sufi. Ia menyebutnya dengan ungkapan akida antara pemikiran dan intuisi. Keempat adalah akidah alKhullāṣah yang merepresentasikan puncak pencapaian para sufi. Akidah inilah yang ia jelaskan hampir dalam semua bab pada kitab al-Futūḥāt. 108 Ini berbeda dengan Ibn Sab‘īn yang memang mencoba mengambil jarak dari mutakallimīn (ahli kalam). Ia terlihat tidak mau berkompromi sebagaimana Ibn ‘Arabī. 109 Penegasan Ibn ‘Arabī>> mengenai ini mengindikasikan bahwa kitab tersebut sebenarnya tidak lepas dari pembicaraan tentang konsep akidah, baik berupa penjelasan kaidah berpikir, kritik teologis, maupun serangan terhadap sebagian aspek filsafat dan tasawuf yang dianggapnya menyimpang. Adapun pandangan Ibn ‘Arabī>> mengenai al-Ghazālī juga perlu diperhatikan. Tampak bahwa tidak terjadi ‘bias’ dalam pemikiran Ibn ‘Arabī terhadap pandangan al-Ghazālī. Ibn ‘Arabī termasuk orang yang melakukan pembelaan terhadap al-Ghazālī, sehingga menyebutnya 104
Ibn ‘Arabi>>, al-Futūh{āt al-Makkiyah, I/59. Ibn ‘Arabi>>, al-Futūh{āt al-Makkiyah, I/65. 106 Ibn ‘Arabi>>, al-Futūh{āt al-Makkiyah, I/60. Ian Almond, Sufism and Deconstruction (London and New York: Routledje, 2004), 10. 107 Claude Addas, Quest for the Red Sulphur; The Life of Ibn ‘Arabi> (Cambrigde: The Islamic Texts Society, 1993), 105. Adapun‘Ali ‘Abd al-Jalīl menilai bahwa Ibn ‘Arabī memang lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani, Ali ‘Abd alJalīl, al-Rawḥīyah, 444. 108 Ibn ‘Arabi>>, al-Futūh{āt al-Makkiyah, I/65. 109 Ibn Sab‘īn, Risālat Budd al-‘Ārif, 301. 105
35
sebagai ṣāḥib al-kashf (ahli kasyaf) atau aṣḥābunā (sahabat kita dari kalangan sufi). Ibn ‘Arabī menyebut al-Ghazālī lebih dari 18 kali dalam kitabnya al-Futūḥāt sebagai tokoh yang cenderung ia bela dan terima konsep pemikirannya. Adapun sanggahannya terhadap ḥujjat al-Islām, ditujukan pada isi kitab Mad}nūn ‘alá Ghayr Ahlihi. Hal ini karena alGhazālī mencoba memahami Allah melalui pendekatan logika. 110 Besar kemungkinan kitab tersebut dikarang al-Ghazālī sebelum menjadi sufi. Sedangkan, di dalam Fuṣūṣ al-ḥikam ia merasa keberatan dengan pandangan teologi al-Ghazālī yang berpendapat bahwa Allah bisa dikenal tanpa memikirkan alam semesta. 111 Dua kritikan ini terkesan kontradiktif, tetapi hal tersebut merupakan bukti bahwa Ibn ‘Arabī sangat tertarik pada permasalahan teologi. Namun demikian, ketokohan al-Ghazālī terlihat berpengaruh pada pemikiran teologis Ibn ‘Arabī>>. Hal menarik dari sikap Ibn ‘Arabī dalam hal ini adalah ketika memandang al-Ghazālī bukan sebagai seorang tokoh Ash‘arīyah semata, tetapi sebagai pembangun teologi sufi. Ide-ide al-Ghazālī sangat berpengaruh pada ‘Arabī dalam beberapa tema teologi, di antaranya mengenai konsep tajsīm dan tanzīh, kritikan terhadap kelompok kebatinan, dan kenabian. Dalam tema-tema kesufian, Ibn ‘Arabī sering mengutip dan mengembangkan pandangan al-Ghazālī, seperti pembahasan mengenai maqām ḥayrah, zuhud, penciptaan A. 112 Selain al-Ghazālī, karya-karya al-Juwaynī dan al-Isfaraynī yang berteologi Ash‘arīyah juga tampak mempengaruhi Ibn ‘Arabī>>. Pembacaan terhadap karya-karya tersebut bisa dipastikan pernah dilakukan Ibn ‘Arabī>, karena teologi Ash‘arīyah merupakan aliran yang paling populer di Andalusia pada saat itu dan karya-karya mereka merupakan rujukan utama dalam teologi Ash‘arīyah. 113
110 111
Ibn ‘Arabi>>, al-Futūh{āt, v. 6 h. 248. Ibn ‘Arabi>>, Fus{ūs{ al-H{}ikam (Beirut: Dār al-Kutub al-Islāmīyah, 2003)
h. 67. 112
Ibn ‘Arabi>>, al-Futūh{āt, VIII/386. Claude hanya menyebutkan terjadinya hubungan antara mereka berdua, tetapi tidak menyebutkan materi yang diperoleh Ibn ‘Arabī, Claude Addas, Quest, 214. Alexander Knysh menyebutkan bahwa justru Ibn ‘Arabi adalah salah satu tokoh yang melanjutkan formulasi komprehensif terhadap teologi sufi yang telah dibangun al-Ghazālī. Alexander Knysh, Ibn‘Arabī in the Later Tradition, 52. 113 Claude Addas, Quest, 103.
36
Selain persoalan teologi, konsep tasawuf falsafi Ibn ‘Arabī>> yang disoroti adalah insān kāmil sebagaimana disinggung pada pembahasan eksistensi hamba sebelumnya. Ibn ‘Arabī pertama kali menyebut kata "insān kāmil" di dalam kitabnya Fuṣūṣ al-ḥikam pada mutiara hikmah ilahiyah kata Adamiyah. Ini menunjukan bahwa ia telah menyebutkan kata insān kāmil pada awal pembahasan. Ibn ‘Arabī>> menisbahkan kata ini kepada Nabi Adam ketika diangkat menjadi khalifah. Alam semesta menjadi sempurna dengan keberadaan khalifah. Alasannya, lanjut Ibn ‘Arabī>, karena seorang khalifah menjadi pemelihara (ḥafīẓ) ciptaan Allah sebagaimana ia memelihara khatm al-khazā’in (cincin perbendaharaan sebagai simbol kekuasaan). Perbendaharaan atau kekuasaan tersebut senantiasa tertutup dan tidak ada seorang pun yang bisa membukanya, kecuali dengan izin dari Allah. Adapun seorang khalifah menggantikan Allah dalam memelihara alam, sehingga senantiasa terjaga selama seorang khalifah yang telah menjadi insān kāmil berada di dalamnya. 114 Kemudian, Ibn ‘Arabī>> menyebutkan bahwa tidak sah kekhalifahan dalam artian ini kecuali bagi insān kāmil. Ini dikarenakan pada insān kāmil telah terhimpun dua ṣūrah (citra), yaitu ṣūrah alam dan ṣūrah Tuhan. Ia menyebutkan bahwa dua ṣūrah tersebut ibarat yad (kekuasaan) Tuhan. Menariknya, Ibn ‘Arabī menyebutkan, bahwa penyebab Iblis tidak tergolong insān kāmil dikarenakan ia hanyalah salah satu bagian dari alam, sedangkan alam adalah bagian dari Adam. Sehingga, tidak terhimpun pada Iblis dua ṣurah. 115 Lebih lanjut, Ibn ‘Arabī>> menjelaskan bahwa insān kāmil muncul dalam bentuk zahir sebagai jasad manusia, dan dalam bentuk batin sebagai citra Tuhan. 116 Must{afā bin Sulaymān Bālī memberikan komentar bahwa yang dimaksud dengan citra Tuhan adalah nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Oleh karena itu, tegas Must{afā bin Sulaymān, jika Ibn ‘Arabī menyebutkan huwa fī kull mawjūd, maka bukan bermakna bahwa Allah ḥulūl (menempati) dan ḥulūl (bersatu) dengan alam. 117 Komentar ini sangat penting sekali, karena kebanyakan orang menilai, ketika Ibn ‘Arabī mengatakan "tajallī” Tuhan pada alam", dalam artian ḥulūl dan ḥulūl. Padahal, Ibn ‘Arabī sendiri telah menolak konsep ḥulūl di 114
Ibn ‘Arabi>>, Fus{ūs{ al-H{ikam diterbitkan bersamaan dengan Sharḥ} Must{afā bin Sulaymān Bālīzādeh (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2003), 27. 115 Ibn ‘Arabi>>, Fus{ūs{ al-H{ikam, 36. 116 Ibn ‘Arabi>>, Fus{ūs{ al-H{ikam, 36. 117 Must{afā bin Sulaymān Bālī, Sharḥ{ Fus{ūs{ al-H{ikam (Beirut: Dār alKutub al-‘Ilmīyah, 2003), 36.
37
dalam kitabnya Rūh al-Quds. 118 Penolakan tersebut menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabī sepakat untuk tidak mengembangkan konsep kesufian yang terpisah dan bertentangan dengan prinsip teologi. Kembali kepada insān kāmil, jika kita telusuri karya agung Ibn ‘Arabī>> maka kita tidak akan banyak menemukan kata insān kāmil. Namun, Ibn ‘Arabī biasa menggunakan ungkapan qut{b (poros). Bagi Ibn ‘Arabī>, qut{b tersebut hanya ada satu semenjak Allah menciptakannya, dan tidak akan pernah mati. Dia adalah ruh Nabi Muhammad Saw yang sebelumnya berlangsung pada sekalian Nabi dan Rasul. 119 Ibn ‘Arabī berpiijak pada hadis Nabi Saw, "Aku telah menjadi Nabi, sedangkan Adam masih dalam berupa antara air dan tanah." 120 Selain itu, Ibn ‘Arabī>> juga tidak lupa menyebutkan bahwa di setiap zaman ada qut{b-qut{b, terutama setelah wafat jasad Nabi Muhammad Saw. Di antara mereka ada yang bertugas memelihara hukum kerasulan seperti ulama dari kalangan sahabat, tabi‘in, seperti al-Tsawrī, Ibn ‘Uyaynah, Ibn Sīrīn, dan lainnya. Ada di antara mereka yang memelihara ahwāl dan asrār kenabian, seperti ‘Alī, Ibn ‘Abbās, Salmān, Abū Hurayrah, dan lainnya. 121 Lebih dari itu, Ibn ‘Arabī>> memberikan dua kategori manusia, insān kāmil dan insān ḥayawān. Insān kāmil merupakan wakil Tuhan yang mengenal Allah dengan mushāhadah dan kashf. Sedangkan, insān ḥayawān mengenal Allah dengan akalnya setelah menggunakan sarana-sarana pikiran. 122 Berdasarkan kajian di atas, terlihat bahwa kategorisasi tasawuf Falsafi tidak serta merta membatasi penelitian lainnya untuk mengungkapkan aspek ortodoksi pada seorang tokoh sufi yang dianggap peneliti sebelumnya sebagai tokoh tasawuf Falsafi. Begitu juga sebaliknya, tidak tertutup kemungkinan bahwa tokoh sufi yang diklaim sebagai tasawuf Sunni mempunyai pandangan filosofis yang sama, bahkan lebih maju dari tokoh falsafi lainnya. Hal ini terlihat dari ketokohan al-Ghazālī yang sering diklaim sebagai tokoh tasawuf Sunni atau Akhlaqi, yang terkesan hanya membicarakan masalah moral. Namun setelah dilakukan kajian terhadap karangannya, ditemukan pemikiran filosofis yang sangat kental seperti 118
Ibn ‘Arabi>>, Rūḥ al-Quds (Damaskus: Mu'assasat al-‘Ilm, 1963), 55. Ibn ‘Arabi>>, al-Futūhāt al-Makkīyah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2006), I/231. 120 Hadis di atas diriwayatkan oleh al-ḥākim, al-Mustadrak (Beirut: Dār alKutub al-‘Ilmīyah, 1990), v. 5 h. 665. 121 Ibn ‘Arabi>>, al-Futūh{āt, v. 1 h. 231. 122 Ibn ‘Arabi>>, al-Futūh{āt, v. 5 h. 416. 119
38
terdapat dalam Mishkāt al-Anwār, Ma‘ārij al-Quds, al-Risālah alLadunīyah, dan lainnya. Begitu juga sebaliknya, Ibn ‘Arabī>> terlihat sangat berkompeten ketika membicarakan persoalan teologi Sunni dan moral yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah di dalam al-Futūḥāt. Ibn ‘Arabī juga melakukan pembelaan terhadap al-Ghazālī dalam beberapa kesempatan sebagaimana disebutkan di atas. C. Tasawuf Sebagai Firqah atau Bagian dari Teologi Sunni Firqah biasa diidentikkan dengan suatu aliran teologis yang terpisah dari yang lain. Ibn al-Khat{īb Fakhr al-Rāzi> (606 H./1209 M.) yang pernah mengemukakan gagasan pemikirannya mengenai sejarah aliran teologi, lebih cenderung beranggapan tasawuf adalah suatu firqah. Ia menilai bahwa pendapat yang mengatakan tasawuf bukan sebagai salah satu firqah dalam Islam adalah asumsi yang keliru. Al-Rāzī lebih cenderung menilai tasawuf sebagai gerakan teologis yang berdiri sendiri. Ini dikarenakan objek ajaran tasawuf adalah mengenal Allah dengan penyucian jiwa (taṣfīyah) dan memisahkan diri dari belenggu hawa nafsu (‘alā’iq al-badanīyah). 123 Al-Rāzī memuji ajaran ini, namun bukan berarti ia sepakat dengan beberapa golongan dalam tasawuf. Berdasarkan hal tersebut, ia mengemukakan enam golongan dalam ajaran tasawuf. Pertama aṣḥāb al-‘ādāh yaitu golongan yang menjadikan substansi ajaran mereka untuk memperindah penampilan ẓahir (tazyīn al-ẓāhir). Ini terlihat dari tradisi menggunakan khirqah (kain simbolis dalam pengajaran suatu tarekat sufi). Kedua, aṣhāb al-‘ibādah yaitu golongan sufi yang menyibukkan diri mereka dengan kezuhudan, ibadah, dan meninggalkan kesibukan duniawi. Ketiga, aṣhāb al-ḥaqīqah yaitu golongan sufi yang menyibukkan dirinya dengan kontemplasi setelah mereka selesai melaksanakan ibadah wajib. Mereka tidak menyibukkan diri dengan ibadah sunnah, tetapi lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga hati mereka dari hal-hal yang menghalangi aktivitas berzikir. Tiga kelompok ini sangat dipuji oleh al-Rāzī. 124 Adapun keempat, aṣhāb al-nūrīyah yang meyakini bahwa ada dua hijab pada diri manusia, yaitu nūrī (sifat maḥmūdah) dan nārī (sifat madhmūmah). Kelima, ḥulūlīyah yaitu mereka meyakini terjadi kesatuan 123
Fakhr al-Rāzi>, I‘tiqād Firaq al-Muslimīn wa-al-Mushrikīn (Kairo: Maktabat al-Kullīyāt al-Azharīyah, 1978), 115. al-Ghazālī mendefinisikan dengan ungkapan lain, “Tasawuf adalah memfokuskan diri dalam pengabdian, dan menggantungkan hati kepada sifat rububīyah (ketuhanan)”. Al-Ghazālī, Rawd}at alT{ālibīn wa-‘Umdat al-Sālikīn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2006), 16. 124 Fakhr al-Rāzi>, I‘tiqād, 115.
39
baik dalam bentuk ḥulūl maupun ittiḥād, sehingga mereka menyatakan telah mendapatkan pengalaman spiritual yang menakjubkan. Ajaran ini dihubungkan oleh al-Rāzī dengan ajaran Rāfid}ah yang meyakini bahwa Allah ḥulūl kepada imam mereka. Bahkan ia menegaskan ajaran ini pertama kali muncul dari golongan Rāfid}ah. Ia memberikan penilaian bahwa ajaran ini dikarenakan mereka tidak mempunyai ilmu ‘aqlīyah (ilmu kalam dan mant{iq) yang memadai. Keenam, al-mubāḥīyah yang berpandangan bahwa seorang pecinta Tuhan akan diangkat dari mereka kewajiban menjalankan syariat. Mereka dinilai oleh al-Rāzī beragama sebagaimana aliran Mazdakīyah dalam agama Thanuwīyah. 125 Ini berbeda dengan al-Qushayri> (465 H.) yang menyebut kaum sufi sebagai t{}ā’ifah (kelompok) yang tergabung ke dalam aliran teologi Ahl al-Sunnah dan Salaf. Ia beralasan bahwa hal tersebut terbukti dari penolakan mereka terhadap tamthīl (penyerupaan dengan makhluk) dan ta‘t{}īl (penegasian) pada sifat Allah. Dalam hal ini, Ibn Taymīyah memuji al-Qushayrī dan menyepakati penjelasannya. 126 Penegasan ini tampak dikuatkan dari penjelasan al-Ghazālī bahwa prinsip tasawuf adalah makan yang halal, mengikut Nabi Saw dalam akhlaq, perbuatan, perintah, dan sunnahnya. Al-Ghazālī menambahkan bahwa seseorang yang tidak menghafal al-Qur’an dan menulis hadis berarti tidak mengikuti haluan tasawuf. Ini dikarenakan tasawuf berkaitan erat dengan al-Qur’an dan Sunnah. 127 Al-Ghazālī (505 H.) menyebut kaum sufi dengan t{uruq al-sūfīyah yang menunjukkan makna plural, yaitu jalan-jalan sufi. Penyebutan ini terlihat dari penjelasan al-Ghazālī setelah keluar dari perdebatan kalam, falsafat, dan kebatinan. Ini menunjukkan bahwa al-Ghazālī menyadari bahwa kaum sufi mempunyai metode yang beragam. Ia menyebutkan bahwa “jalan” kesufian adalah kesempurnaan yang dicapai dengan ilmu dan amal. Semua hal tersebut berorientasi kepada kejernihan jiwa dari P124 F
P125F
P126F
P
P
P
125
Ini merupakan agama yang mirip dengan Majusi. Namun perbedaan mereka adalah mengenai keyakinan bahwa kegelapan (ẓalam). Mereka sepakat mengatakan bahwa cahaya bersifat azali, tetapi majusi menilai kegelapan tidak qadim, sedangkan Tsanuwīyah meyakininya qadim. Fakhr al-Rāzi>, I‘tiqād, 116. T{āhā ‘Abd al-Ra’ūf dan Must{afā al-Harawī, al-Murshid al-Amīn (Kairo: Maktabat al-Kullīyāt al-Aẓarīyah, 1978), 138. 126 Al-Qushayrī, Al-Risālah al-Qushayri>yah, 22. Ibn Taymīyah mengatakan: “Ini merupakan perkataan yang benar, karena perkataan para tokoh sufi yang dipercaya oleh umat dengan kejujuran, mereka berada dalam ajaran Salaf dan Ahl al-Sunnah, terutama dalam hal penolakan tamthīl dan ta‘t{īl.” Ibn Taymīyah, al-Istiqāmah, I/91. 127 Al-Ghazālī, Rawd}at al-T{ālibīn, 17.
40
hawa nafsu dan sifat yang tercela, serta menghiasinya dengan sifat yang baik dan kontemplasi kepada Allah. 128 Dalam hal ini, ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī (429 H.) yang pada dasarnya sangat ketat –bahkan pada tahap tertentu sangat ekstrim- dalam penerapan konsep-konsep teologi, malah mengategorikan tasawuf sebagai bagian dari teologi Ahl al-Sunnah. Ia menganggap tasawuf sebagai bagian sebagaimana fiqih dan hadis menjadi bagiannya. Ia sepakat dengan penukilan ‘Abū ‘Abd al-Raḥmān al-Sulamī yang mengarang T{abaqāt alṣūfīyah. ‘Abd al-Qāhir di dalam kitab Uṣūl al-Dīn membenarkan bahwa semua tokoh yang disebutkan di dalam T{abaqāt merupakan tokoh-tokoh Sunni yang menjalankan kehidupan sufi, kecuali tiga tokoh. Pertama adalah Abū ḥilmān al-Dimashqī yang dianggap ‘Abd al-Qāhir sebagai penganut ajaran ḥulūl. Kedua, al-ḥallāj (309 H.) yang dianggap ‘Abd alQāhir masih diperdebatkan. Ia mengakui bahwa tokoh sufi seperti Ibn ‘At{ā’, Ibn Khafīf (347 H./981 M.), dan Ibn al-Qāsim al-Naṣr Ābādhī mengakui kewalian al-ḥallāj. Ketiga, al-Qannād yang dianggap mengikuti ajaran Mu‘tazilah. 129 Adapun di dalam kitab al-Farq bayn al-Firaq, ‘Abd al-Qāhir dengan tegas mengatakan bahwa penganut ajaran ḥūlūl yang ia sebut dengan ḥulūlīyah keluar dari Islam sebagaimana akan dijelaskan nanti. 130 Kenyataan ini menunjukkan bahwa para teolog yang disebutkan di atas sepakat bahwa seorang tokoh sufi akan menjadi keluar dari substansi tasawuf ketika ia mengalami penyimpangan teologis. Berdasarkan pandangan al-Rāzī dan ‘Abd al-Qāhir, penyimpangan tersebut adakalanya dalam bentuk ajaran ḥulūl dan ittiḥad. Bahkan, tokoh terakhir menambahkan penyimpangan teologis kepada ajaran Mu‘tazilah. Hal ini mengindikasikan dengan kuat ajaran ḥulūl dan ittiḥād yang dimaksud adalah dari aspek teologis, karena ‘Abd al-Qāhir menyetarakannya dengan penyimpangan kepada teologi Mu‘tazilah. D. Takfīr dalam Teologi Sunni; Vonis atas Penyimpangan Tasawuf Berdasarkan penjelasan terdahulu, terlihat bahwa para teolog Sunni mempunyai kaidah tersendiri dalam menetapkan batas-batas kekafiran. Hal ini biasa diterapkan terhadap gejala-gejala teologis yang 128
Al-Ghazālī, al-Munqidh min al-D}alāl (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2006), 56-57. 129 ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī, Us{ūl al-Dīn (Lahore: al-Maktabat al‘Utsmānīyah, t.t{.), 315-316. Penjelasan lebih lengkap dapat ditemui dalam ‘Abd alQāhir al-Baghdādī, al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, t.t.), 198. 130 ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī, al-Farq bayn al-Firaq, 193.
41
berkembang di tengah umat Islam. Pembahasan ini akan membantu dalam memahami pandangan teolog –terutama Sunni- dalam menilai suatu paham kesufian yang "Islami" atau telah keluar dari koridor teologi. Dengan hal tersebut telihat bahwa beberapa teolog tidak rela menyebut ajaran spiritual yang "menyimpang" sebagai tasawuf. Dalam hal ini, tampak bahwa pengafiran bukanlah sesuatu yang mudah dituduhkan. Oleh karena itu, terdapat penegasan atau usaha beberapa tokoh Sunni dalam menetapkan batas-batas kekafiran. Ini terlihat dari penegasan Abū al-ḥasan al-Ash‘arī> (324 H.) yang menolak mengafirkan setiap orang yang mengaku berkiblat ke Ka‘bah yang ia sebut sebagai ahli kiblat, karena semuanya menyembah kepada Tuhan yang sama. Al-Ash‘arī menambahkan bahwa perbedaan yang terdapat pada aliran teologis hanyalah perbedaan ungkapan. 131 Ungkapan ahli kiblat dapat diterjemahkan sebagai orang-orang yang telah bershahadat, walaupun mereka Muktazilah dan Shī‘ah. Namun, dalam beberapa informasi yang berbeda terdapat bahwa Ash‘arī mengecam Muktazilah.132 Terlepas dari itu, penegasan al-Ash‘arī menunjukkan sikap moderatnya dalam menetapkan batas kekafiran, yaitu berkiblat yang sama atau bersyahadat yang sama. Berdasarkan hal tersebut, al-Ījī (756 H.) juga menegaskan untuk tidak mengafirkan ahli kiblat dalam batas-batas tertentu, antara lain penegasian keberadaan Allah sebagai pecipta, syirik, mengingkari kenabian, pengingkaran terhadap ajaran yang telah diketahui secara d}arūrī (pasti), dan pengingkaran terhadap sesuatu halal dan haram. Batasan ini merupakan kaidah baku dalam teologi Sunni. Adapun selain lima hal tersebut, maka al-Ījī hanya menyebutkan bahwa pengingkarnya disebut sebagai ahli bid‘ah. Al-Ījī menyadari bahwa penegasan ini berbeda dengan sikap Fuqāhā (ahli hukum Islam). 133 Penjelasan al-Ījī terlihat sangat sederhana. Dalam hal ini, alGhazālī (505 H.) telah mengemukakan konsep yang jauh lebih maju dua abad sebelum al-Ījī. Al-Ghazālī menyebutkan kaidah takfīr secara lebih 131
Ibn ‘Asākir, Tabyīn Kazhb al-Muftarī (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Arabī, 1404 H.); Al-Dhahabī, Tārīkh al-Islām (Beirut: Dar al-Kutub, ttp.) IV/464. al-Dhahabī, Siyar A’lām al-Nubalā (Beirut: al-Risālah, 1993), 15/88; Shams al-Dīn al-Safāraynī, Lawāmi‘ al-Anwār al-Bahīyah (Damaskus: Mu'assasah al-Khāfiqayn, 1982), I/276. Teksnya adalah:
، ﻷﻥ ﺍﻟﻛﻝ ﻳﺷﻳﺭﻭﻥ ﺇﻟﻰ ﻣﻌﺑﻭ ٍﺩ ﻭﺍﺣﺩ، ﺃﺷﻬﺩ ﻋﻠﻲ ﺃﻧﻲ ﻻ ﺃﻛﻔﺭ ﺃﺣﺩﺍً ﻣﻥ ﺃﻫﻝ ﺍﻟﻘﺑﻠﺔ:ﻓﻘﺎﻝ .ﻭﺇﻧﻣﺎ ﻫﺫﺍ ﻛﻠﻪ ﺍﺧﺗﻼﻑ ﺍﻟﻌﺑﺎﺭﺍﺕ 132 133
Al-Dhahabī, Tārīkh al-Islām, IV/464. Al-Ījī, al-Mawāqif (Beirut: ‘Ālam al-Kutub, t.t.), 320.
42
ketat dan terperinci dibandingkan tokoh lain. Kaidah tersebut ia kemukakan dalam beberapa karya, pertama di dalam Fad}ā’iḥ alBāt{inīyah. Ia mengemukakan kaidah tersebut sebagai jawaban beberapa pertanyaan tentang keharusan takfīr terhadap aliran Bāt{inīyah. AlGhazālī menjawab dengan menetap dua klasifikasi berdasarkan ajaran mereka, pertama ajaran yang hanya disalahkan, disesatkan, dan dibid‘ahkan. Kedua adalah ajaran yang wajib dikafirkan. 134 Adapun yang termasuk klasifikasi pertama ini adalah keyakinan aliran kebatinan dengan keimamahan ahl bayt, sedangkan yang lain adalah perampas kekuasaan, dan para imam ma‘ṣūm (terpelihara dari dosa). Ia menambahkan bahwa ajaran keimamahan tersebut tidak mempengaruhi akidah kepada Allah dan Hari Kiamat. Mereka, lanjut alGhazālī, mempercayai Allah dan Hari Kiamat sebagai aliran Sunni. 135 Ketika al-Ghazālī dihadapi pertanyaan bukankah mereka melanggar ijmā‘ (konsensus), maka ia menjelaskan bahwa indikasi mereka melanggar tidak pasti sepenuhnya. Bahkan, pelanggar ijmā‘ juga tidak bisa serta-merta dikafirkan. Al-Ghazālī menyadari bahwa tokohtokoh Islam tidak semua sepakat dalam mengakui ijmā‘ sebagai dalil. Ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Naẓām. Oleh karena itu, al-Ghazālī tidak sepakat untuk mengafirkan mereka. 136 Al-Ghazālī juga tidak sepakat dalam mengafirkan aliran kebatinan yang menilai Abū Bakar, ‘Umar, dan beberapa sahabat lainnya sebagai fasik. Ia menegaskan bahwa hanya kata “sesat” yang pantas untuk mereka. Ini dikarenakan Abū Bakar sama seperti sahabat lainnya. Ketika seseorang, al-Ghazālī menyontohkan, menuduh Abū Bakar berzina, maka ia hanya akan dihukumi ḥad (hukuman) dengan delapan puluh kali pukulan jilid. Tetapi al-Ghazāli membedakan dengan kasus seseorang yang menuduh Abū Bakar dan beberapa tokoh besar sahabat sebagai kafir. Mereka memang pelangggar ijmā‘, tetapi kekafiran mereka bukan karena hal ini. Mereka dinilai kafir oleh al-Ghazālī karena mendustakan Nabi Saw yang menyatakan keagungan sahabatnya. Al-Ghazālī dengan tegas mengemukakan bahwa siapa yang mengingkari satu kata saja dari sabda Nabi Saw adalah kafir berdasarkan ijmā‘. 137 Adapun ajaran yang mesti dikafirkan dalam pandangan al-Ghazālī adalah penyimpangan terhadap ajaran keesaan Allah, syirik, mengingkari
134
Al-Ghazālī, Fad}ā’ih{ al-Bāt{inīyah, 46. Al-Ghazālī, Fad}ā’ih{ al-Bāt{inīyah, 46-47. 136 Al-Ghazālī, Fad}ā’ih{ al-Bāt{inīyah, 47-48. 137 Al-Ghazālī, Fad}ā’ih{ al-Bāt{inīyah, 149. 135
43
kenabian dan Hari Kiamat. 138 Namun terlihat jelas bahwa al-Ghazālī tidak mengafirkan aliran Bāt{inīyah, karena tidak mereka tidak menyimpang dalam masalah tersebut. Konsep ini tampaknya dikemukakan oleh alGhazālī untuk meluruskan kesalahan sebagian teolog Sunni yang terlanjur mengafirkan aliran Bāt{inīyah. Ini dikarenakan takfīr berimplikasi berat, yaitu kehalalan membunuh mereka dan merampas harta mereka. 139 Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī (429 H.) yang toleran terhadap kelompok sufi, tetapi tidak memaafkan aliran Bāt{inīyah. Berdasarkan penelitiannya, ‘Abd al-Qāhir menilai bahwa Bāt{inīyah secara substansi sama dengan Majusi dan Thanuwīyah. Tokoh-tokoh mereka seperti ‘Abd Allāh bin Maymūn al-Qadāḥ dan ḥamdān bin Qarāmit{ melakukan interpretasi sesuai dengan ajaran Majusi pada masa al-Ma’mūn. Mereka pada dasarnya meyakini ada dua pencipta alam. Oleh karena itu, ia dengan tegas mengatakan bahwa aliran Bāt{inīyah adalah aliran kafir yang paling merusak pada masanya. 140 ‘Abd al-Qāhir cenderung untuk mengatakan bahwa penganut ajaran ḥulūlīyah telah keluar dari agama Islam. Geneologis kelompok mereka dalam pandangan ‘Abd al-Qāhir adalah kembali kepada kelompok Shī‘ah Rāfid}ah yang jauh menyimpang (ghullāt). Ia menyebutkan lima kelompok yang identik kelompok ini dari sepuluh macam yang ia temui, tetapi hanya memastikan penisbahan teologi ḥulūl kepada empat golongan, yaitu Saba’īyah, Rizāmīyah, Muqanna‘īyah, ḥilmanīyah. Adapun golongan ḥalājīyah yang dinisbahkan kepada alHallāj (309 H.), maka terlihat bahwa ia tidak secara eksplisit memastikannya. Malah ‘Abd al-Qāhir lebih memilih untuk menukil pendapat orang yang mengafirkan dan membela kewaliannya. Ia menambahkan bahwa memang mayoritas teolog sepakat dalam mengafirkannya. Disebutkan bahwa dari kalangan fuqahā’, terdapat tokoh yang tidak menetapkan kekafiran kepadanya, seperti Abū al-‘Abbās bin Surayj (306 H.) yang wafat tiga tahun sebelum hukum mati dijatuhkan. Ini berbeda dengan Muḥammad bin Dāwud yang memfatwakan hukum P137F
P
P138F
P
P139F
138
Al-Ghazālī, Fad}ā’ih{ al-Bāt{inīyah, 151. Al-Ghazālī, Fays{al al-Tafriqah, 79. 140 ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 323. ‘Abd al-Qāhir mencoba menyebutkan lebih lengkap kekufuran mereka. Penyimpangan mereka dalam tauhid adalah anggapan bahwa Tuhan adalah yang pertama menciptakan sesuatu kedua. Setelah itu, Dia bersama dengan sesuatu yang kedua tersebut mengatur alam. Keyakinan ini bagi ‘Abd al-Qāhir sama persis dengan ajaran Majusi yang meyakini bahwa Tuhan pertama kali menciptakan shetan. Setelah itu, Dia mengatur hal-hal yang baik, dan shetan mengatur hal-hal yang buruk. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 329. 139
44
mati baginya. 141 Adapun di kalangan sufi yang terlihat kurang senang tetapi tidak mengafirkannya, seperti ‘Amrū bin ‘Utsmān al-Makkī (297 H.), Abū Ya‘qūb al-Aqt{a‘ (330 H.), dan al-Junayd. Hal ini berbeda dengan Ibn ‘At{ā’ al-Baghdādī (309 H.) yang wafat pada tahun yang sama dengan al-ḥallāj, begitu juga Abu al-Qāsim al-Naṣar Ābādī (367 H.) di Naisapur dan al-Daynūrī (340 H.). Tiga tokoh ini masih menganggap al-ḥallāj sebagai bagian dari sufi yang lurus. 142 Perbedaan persepsi dari mereka ini merupakan hal yang unik dan dinamis. Ini dikarenakan mayoritas mereka adalah sahabat al-Junayd yang memang telah pernah memberikan peringatan kepada al-ḥallāj. Di samping itu, terlihat bahwa ‘Abd al-Qāhir sendiri membuka kemungkinan kepentingan politik dalam penghukuman al-ḥallāj. Ia mengatakan bahwa al-ḥallāj dekat dengan pejabat-pejabat tinggi khalifah saat itu, yaitu Ja‘far al-Muqtadir. Hal membuat Ja‘far merasa terancam secara politik. Berdasarkan hal ini, Ja‘far memutuskan untuk memenjarakan al-ḥallāj. Sementara itu, ia meminta fatwa kepada para fuqahā’ mengenai kehalalan darahnya. Ja‘far tampak melihat fatwa Qād}i Ibn Abī Dāwud menguntukkannya secara politik, sehingga menetapkan hukum mati baginya. 143 Hal ini memperkuat asumsi bahwa ‘Abd al-Qāhir memang tidak berani memastikan kekafiran al-ḥallāj. Khusus untuk konteks ini, ‘Abd al-Qāhir terlihat sangat hati-hati dalam menerapkan kaidah takfīr. Pada karya lain, seperti Fayṣal al-Tafriqah tokoh besar al-Ghazāli menjelaskan kaidah takfīr secara lebih sederhana. Terlihat dari penjelasannya bahwa karya ini ditulis untuk mengritisi teolog Sunni semasa dan sebelumnya yang berlebihan dalam mengafirkan sekte selain pengikut Ash‘arīyah. Ia menegaskan bahwa berbeda pendapat dengan teologi al-Ash‘arī>yah atau Mu‘tazilah atau Hanbālīyah bukanlah penyebab kekafiran. Selain itu, ia menyangkal anggapan bahwa hukum kafir disebabkan karena berbeda dengan teolog pendahulu. Ini dikarenakan Mu‘tazilah lebih dahulu muncul daripada Abū al-Hasan alAsh‘arī, tetapi bukan berarti ia kafir. Bagitu juga al-Bāqillāni> berbeda dalam satu hal dengan al-‘Ash‘arī, tetapi hal tersebut hanya berkaitan dengan masalah ungkapan bahasa. 144 Ia mengatakan bahwa kufur adalah segala bentuk pendustaan terhadap ajaran Nabi Saw, sedangkan iman adalah membenarkan ajarannya. Ia menambahkan bahwa mengapa P142F
P
P143F
P
141
‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī, al-Farq bayn al-Firaq, 197. ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī, al-Farq bayn al-Firaq, 197. 143 ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī, al-Farq bayn al-Firaq, 197. 144 Al-Ghazālī, Fays{al al-Tafriqah, 77. 142
45
Yahudi dan Naṣrani dihukumi kafir, yaitu karena mereka mendustai Nabi Saw. 145 Kaidah takfīr dengan ungkapan yang berbeda juga dikemukakan oleh al-Ghazālī dalam al-Iqtiṣād. Ia memberikan kategorisasi yang lebih terperinci dan lengkap. Namun, ia terlebih dahulu mengingatkan bahwa pengafiran seseorang berimplikasi berat. Ini dikarenakan akan memastikan keberadaannya di dalam neraka setelah meninggal, halal dibunuh dan dirampas hartanya. Dalam menetapkan kekafiran seseorang diketahui dari ijmā‘, dalīl, dan qiyās. Ia menolak penetapan kekafiran berdasarkan analisa akal semata. Ia mengakui bahwa untuk mengungkapkan seseorang mendustakan agama atau mengingkarinya memang dilakukan dengan sarana akal. Namun, penetapan kekafirannya adalah bukanlah otoritas akal, tetapi dengan syariat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ia memberikan beberapa kategorisasi kafir atau sesat berdasarkan hierarki tertentu. 146 Adapun yang tingkatan pertama, pengingkaran Yahudi, Nasrani, Majusi, Paganisme, dan sejenis mereka. Al-Ghazālī menegaskan bahwa takfīr terhadap mereka telah ditetapkan di dalam Syariat. Selain kelompok ini mengikuti konsep takfīr ini. Pada tingkatan kedua, pengingkaran Brahmana (Hindu) terhadap prinsip kenabian, begitu juga pengingkaran Dahrīyah (kelompok Materialis) terhadap eksistensi pencipta alam. Mereka dihukumi kafir sebagaimana tingkatan pertama. Tetapi al-Ghazālī menambahkan bahwa Dahrīyah lebih utama dikafirkan daripada Brahmana, Yahudi ,dan Nasrani. 147 Pada tingkatan ketiga, orang-orang yang membenarkan eksistensi pencipta, kenabian, bahkan mempercayai Nabi Muhammad Saw. Tetapi juga meyakini pemahaman yang bertentangan dengan syariat, meskipun mereka percaya kepada Nabi Saw. Mereka adalah para filosof (falāsifah). Al-Ghazālī tidak sepakat dalam menetapkan hukum kafir terhadap para filosof kecuali dalam tiga hal. Pertama apabila mereka mengingkari Hari Kebangkitan, kenikmatan sorga, dan kepedihan azab di neraka. Kedua, apabila mereka meyakini bahwa Allah hanya mengetahui alam semesta secara universal (kullīyāt), bukan secara partikular (juz’īyāt). Ketiga, apabila mereka meyakini bahwa alam qadīm, sedangkan keqadīman Allah hanya ibarat sebab (‘illat) terhadap alam yang menjadi ma‘lūl (yang disebabkan). 148 Adapun tokoh sufi lain seperti al-Jīlī, walaupun bisa berpikir positif bahwa ketiga 145
Al-Ghazālī, Fays{al al-Tafriqah, 79. Al-Ghazālī, al-Iqtis{ād, 80. 147 Al-Ghazālī, al-Iqtis{ād, 81. 148 Al-Ghazālī, al-Iqtis{ād, 81. 146
46
bagian yang disebutkan di atas masih menyembah Allah, tetapi menegaskan bahwa mereka tetaplah syirik dan tidak sempurna karena hanya menyembah Allah dari satu aspek. Pengafiran mereka dalam hal ini adalah karena satu hal saja, yaitu ketidaksempurnaan tauhid. 149 Pada tingkatan keempat, aliran Mu‘tazilah, Mushabbihah, dan aliran teologi lain selain filosof. Mereka membenarkan syariat dan tidak memperbolehkan pendustaan karena suatu tujuan maslahat. Mereka tidak sibuk dalam berspekulasi terhadap suatu pengingkaran syariat. Namun mereka mencoba alternatif lain yaitu interpretasi (ta’wīl). Al-Ghazālī menambahkan bahwa permasalahan mereka adalah kekeliruan dalam melakukakan penakwilan. Ia menegaskan bahwa sebaiknya tidak mencoba menlancarkan tuduhan kafir kepada mereka. Ini dikarenakan berimpliklasi berat sebagaimana disebutkan sebelumnya padahal mereka terjaga “darah” dan harta yang dimiliki karena konsekuensi shahadat. AlGhazālī mengingatkan dengan tegas bahwa membunuh orang yang telah bershahadat adalah kesalahan besar. Ia menganalogikan kesalahan tersebut dengan sikap tidak membunuh seribu orang kafir lebih ringan daripada membunuh seseorang yang telah bershahadat. Al-Ghazālī dengan teguh menyatakan bahwa hal tersebut sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam hadis “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, sampai mereka bershahadat” 150. Ia menentang sikap pentakfiran terhadap mereka, karena sikap tersebut hanya dimotivasi oleh kefanatikan. Padahal kekeliruan, ungkap al-Ghazālī, dalam melakukan interpretasi tidak berimplikasi kafir. Ia memastikan bahwa usaha dalam mengafirkan mereka tidak berdasarkan kepada argumen yang kuat. 151 Sikap ini terlihat telah diterapkan oleh tokoh-tokoh Sunni sebelum al-Ghazālī, seperti alBāqillāni>. Ia hanya menyebut aliran teologi seperti Khawārij, Rāfid}ah, dan Mu‘tazilah sebagai aliran yang menyimpang dan tersesat. Belum ditemukan tuduhan kafir yang dilancarkan oleh al-Bāqilllānī terhadap mereka, walaupun ia sangat genjar menyerang argumentasi mereka. 152 Hal ini berbeda dengan ‘Abd al-Qāhir (429 H.) yang menilai bahwa terdapat delapan sekte dalam Rāfid}ah yang mesti dikafirkan. 149 150
Al-Jīlī, al-Insān al-Kāmil, 124-129. al-Ghazālī, al-Munqidh, 38-44. Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim. teksnya adalah,
ﻓﺈﺫﺍ ﻗﺎﻟﻭﻫﺎ ﻓﻘﺩ،ﺃﻣﺭﺕ ﺃﻥ ﺃﻗﺎﺗﻝ ﺍﻟﻧﺎﺱ ﺣﺗﻰ ﻳﻘﻭﻟﻭﺍ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﷲ ﻣﺣﻣﺩ ﺭﺳﻭﻝ ﷲ ﻋﺻﻣﻭﺍ ﻣﻧﻲ ﺩﻣﺎءﻫﻡ ﻭﺃﻣﻭﺍﻟﻬﻡ ﺇﻻ ﺑﺣﻘﻬﺎ 151
Al-Ghazālī, al-Iqtis{ād, 82. Ini telihat dari karyanya al-Ins{āf yang berisi kritik terhadap aliran selain Sunni, al-Bāqillāni>, al-Ins{āf, tahqiq: M. Zāhid al-Kawtsarī (Kairo: al-Khānjī, 1993 M.), 70. 152
47
Mereka adalah al-Bayānīyah 153, al-Mughīrīyah 154, pengikut ‘Abdullāh bin Mu‘āwīyah 155, Manṣūrīyah 156, al-Khat{t{ābīyah 157, pengikut alMuqni‘ 158, al-Sabā’īyah 159, dan al-Kāmilīyah 160. Ia menegaskan bahwa mereka telah keluar (murtad) dari Islam. 161 Pada bab lain, ia menyebutkan bahwa mereka dihukumi seperti penyembah berhala. Adapun terhadap aliran Karrāmīyah dalam pandangan ‘Abd al-Qāhir harus dihukumi kafir. 162 ‘Abd al-Qāhir tampak lebih berani lagi ketika memberikan penjelasan beberapa hal yang menyebabkan beberapa tokoh aliran Mu‘tazilah dihukumi kafir. Di antara mereka adalah Wāṣil bin ‘At{ā’163, 153
‘Abd al-Qāhir menyebutkan bahwa sekte al-Bayānīyah meyakini Allah mempunyai rupa seperti manusia, akan binasa kecuali wajah-Nya, dan Allah menitis (h{ulūl) kepada imam mereka yaitu Bayān bin Sam‘ān setelah menitis kepada Abū Hāshim. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 331. al-Shahrastāni menambahkan bahwa mereka memang kelompok yang ghulāt (berlebihan) terutama masalah penitisan tuhan kepada para imam. al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 122. 154 Al-Mughīrīyah meyakini bahwa Allah mempunyai anggota tubuh seperti huruf Hija’īyah dan Allah h{ulūl kepada al-Mughīrah bin Sa‘īd. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl alDīn, 331. 155 Mereka meyakini Allah h{ulūl kepada ‘Abdullāh. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl alDīn, 331. 156 Mereka adalah pengikut Abū al-Mans{urrr al-‘Ijlī mi‘raj ke langit, lalu ketika bertemu Allah maka diusapi oleh tangan-Nya. Mereka menghalalkan darah kelompok lain. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 331. 157 Mereka adalah pengikut Abu al-Khat{t{āb al-Asadī yang meyakini penitisan Tuhan kepada Ja‘far al-S{ādiq, lalu ia sendiri mengaku sebagai tuhan. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 331; ‘Abd al-Qāhir, al-Farq Bayn al-Firaq, 170. 158 Pengikut al-Muqni‘ meyakini bahwa Tuhan h{ulūl kepada imam mereka. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 331. 159 Mereka adalah pengikut ‘Abdullāh bin Sabā’ yang menyatakan bahwa ketuhanan ‘Alī bin ‘Abī T{ālib, ‘Ali berada di awan dan suaranya muncul pada saat petir. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 332; ‘Abd al-Qāhir, al-Farq Bayn al-Firaq, 170. 160 Mereka mengafirkan sebagaian sahabat Nabi Saw yang tidak membai‘at ‘Alī, lalu juga mengafirkan ‘Alī karena tidak memerangi mereka. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 332. ‘Abd al-Qāhir, al-Farq Bayn al-Firaq, 170. 161 ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 331. al-Shahrastānī menyebutkan bahwa jumlah sekte yang ghulāt terdapat sebelas. Mereka adalah delapan sekte yang disebutkan oleh ‘Abd al-Qāhir, dan ditambahkan dengan sekte tiga sekte lainnya yaitu al‘Albā’īyah, al-Kiyālīyah, al-Nu‘mānīyah. Al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 42. ‘Abd al-Qāhir, al-Farq Bayn al-Firaq, 170. 162 ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 331. Ini dikarenakan mereka meyakini bahwa Allah mempunyai batas (h{ad), batas pada jihat bahwa, istiwā’ dengan menyentuh ‘Arsh. Allah menempati tempat. Mereka biasa disebut dengan Mujassimah. 163 ‘Abd al-Qāhir menyimpulkan bahwa keyakinan Wās{il mengenai takdir. Keyakinan tersebut berimplikasi kepada penetapan banyak pencipta selain Allah. Wās{il membuat keyakinan baru mengenai tempat lain antara surga dan neraka bagi orang fasiq.
48
Abū al-Hudhayl 164, al-Naẓẓām 165, al-Mu‘ammar 166, Bishr bin alMu‘tamir 167, al-Jāḥiẓ 168, Thumāmah 169, dan Baghdādīyūn 170. ‘Abd alQāhir malah dengan berlebihan mengatakan bahwa kekufuran Mu‘tazilah sangat banyak, sehingga tidak dapat dihitung kecuali oleh Allah. 171 Pada tingkatan kelima, golongan yang tidak mendustakan atau mengingkari prinsip-prinsip syariat yang diketahui secara mutawātir dari Nabi Saw. al-Ghazālī memberikan contoh orang-orang yang termasuk ke dalam golongan ini, seperti seseorang yang berkata bahwa salat tidak wajib, orang yang mendengar ayat al-Qur’an maka ia berkata saya tidak Wās{il menilai ‘Alī sebagai orang fasiq. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 335. alShahrastānī menambahkan bahwa Wās{il pada awalnya mengikuti ajaran al-H{asan alBas{rī, tetapi ia berubah setelah mempelajari kitab-kitab filsafat. Al-Shahrastānī, alMilal wa-al-Nih{al, 36. 164 Ia meyakini bahwa kekuasaan Allah akan berakhir dengan kehancuran alam semesta. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 335. Ia dipengaruhi oleh ‘Utsmān bin Khālid alT{awīl murid Wās{il. Wafat pada tahun 235 H. Al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 42. 165 Ia meyakini bahwa ilmu Allah tidak meliputi aspek partikular dari alam semesta. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 335. al-Shahrastānī menambahkan bahwa-alNaẓẓām mengatakan Allah tidak mempunyai kuasa terhadap keburukan dan maksiat. AlShahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 42. 166 Ia mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan a‘rād} (accidents). Allah hanya menciptakan ajsām, lalu ajsām menciptakan a‘rād} dengan sendirinya. Ia menyifati manusia dengan kriteria yang serupa dengan Allah. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl alDīn, 336. al-Shahrastānī menambakan bahwa Mu‘ammar tokoh terdepan dalam Qadarīyah untuk menegasikan sifat Allah, takdir baik dan buruk. Al-Shahrastānī, alMilal wa-al-Nih{al, 52. 167 Ia meyakini bahwa manusia terkadang menciptakan a‘rād}, pendengaran, penglihatan, dan semua pengetahuan secara tawallud. Ia merupakan orang pertama yang mengemukakan konsep tawallud dalam masalah af‘āl (aktivitas hamba). ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 336. Al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 50. 168 Ia meyakini bahwa manusia tidak mempunyai perbuatan kecuali irādah. Ia juga mengatakan bahwa pengetahuan bersifat d}arūrah. Manusia tidak dimasukkan oleh Allah kepada surga dan neraka, tetapi keduanya yang menarik manusia. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 336. 169 Ia menyatakan pengatahuan bersifat d}arūrah sebagaimana al-Jāh{iẓ. Ia menyatakan bahwa kaum Dahrīyah dan orang kafir akan menjadi tanah pada hari Kiamat, sehingga tidak akan mendapatkan azab. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 336. 170 Mereka adalah pengikut al-Jubbā’ī (mantan) guru al-Ash‘arī>, dan Abū Hāshīm bin al-Jubbā’ī. Secara umum mereka meyakini bahwa pada dasarnya Allah tidak mendengar kecuali dengan makna pengetahuan-Nya terhadap objek yang didengar. AlJubbā’ī meyakini bahwa Allah mematuhi keinginan hamba-Nya. ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 336. Namun al-Shahrastānī menjelaskan bahwa mereka merupakan tokoh Mu‘tazilah Bas{rah, bukan Baghdād . Al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al, 63. 171 ‘Abd al-Qāhir, Us{ūl al-Dīn, 336.
49
tahu kalau itu berasal dari Nabi Saw, orang yang mengakui kewajiban haji, tetapi ia dengan sengaja mengatakan tidak mengetahui Ka‘bah. AlGhazālī menegaskan bahwa mereka pada dasarnya harus dihukumi kafir, tetapi terjaga dari tuduhan tersebut karena pernah bershahadat dengan terang-terangan. Al-Ghazālī mengatakan bahwa mereka tidak dikafirkan karena melanggar ijmā‘, sebagaimana diterapkan oleh sebagian teolog Sunni. Ini dikarenakan ia tidak sepakat pengingkaran ijmā‘ adalah kekufuran. Ini dikarenakan ijmā‘ hanyalah sebuah kesepakatan kepada suatu pendapat. 172 Tampaknya, ini sikap al-Ghazālī terhadap kelompok yang pada saat ini disebut dengan Liberalisme. Ia tidak serta-merta menilai mereka kafir, kecuali pengingkaran mereka ditujukan kepada dalil yang terdapat dalam Kitab dan Sunnah. Pada tingkatan keenam, al-Ghazālī menyebutkan bahwa mereka adalah orang yang tidak secara terus terang mendustakan agama. Mereka juga tidak mendustakan hal-hal yang telah diketahui secara mutawātir, tetapi mengingkari beberapa hal yang telah dimaklumi dalam agama kecuali ijmā‘. Apabila terdapat spekulasi terhadap suatu ayat dan hadis, maka mereka menyebutnya dengan interpretasi. Al-Ghazālī menyontohkan bahwa seseorang yang mengatakan bahwa ada kemungkinan diutus seorang “rasul” setelah Nabi Muhammad Saw. alGhazālī menyadari bahwa ungkapan ini tentu menyebabkan teolog tanpa ragu untuk mengafirkannya karena melanggar hadis “tidak ada lagi nabi setelahku -ﻻ ﻧﺑﻲ ﺑﻌﺩﻱ-. Tetapi ternyata, ungkap al-Ghazālī, orang tersebut memahami bahwa nabi berbeda dengan rasul, karena yang pertama lebih tinggi dari yang kedua sehingga pemahamannya tidak bertentangan dengan teks literal hadis. Dalam menghadapi hal tersebut, al-Ghazālī lebih memilih untuk tidak mengafirkannya. 173 Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa para teolog Sunni sepakat dalam mengafirkan orang yang meyimpang dalam masalah tauhid, syirik, mengingari kenabian dan hari Kiamat. Namun mereka tidak sepakat dalam menjatuhkan hukum kafir terhadap sekte-sekte yang dianggap menyimpang. Al-Ghazālī lebih memilih untuk mengatakan bahwa mereka menyimpang dalam artian sesat dan bid‘ah. Adapun ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī memilih untuk menghukumi mereka sebagai orang kafir berdasarkan alasan yang dipandang kuat. BAB III KECENDERUNGAN TEOLOGI DI NUSANTARA P172F
172 173
Al-Ghazālī, al-Iqtis{ād, 82. Al-Ghazālī, al-Iqtis{ād, 83.
50
P
Keberadaan perkembangan teologi selain Sunni di Nusantara memang tidak menutup kemungkinan. Dalam hal ini, aliran teologi selain Sunni yang sering disebutkan pernah berkembang di antaranya adalah Shī‘ah. Besar kemungkinan aliran ini pernah mempengaruhi corak keagamaan Nusantara. Ini terlihat dari beberapa peninggalan budaya Shi‘ah, seperti Tabuk di Minangkabau dan Bengkulu. Tetapi secara filologis, pengaruh tersebut sulit dibuktikan sampai saat ini. Hal itu terlihat dari peninggalan manuskrip di Aceh yang tidak mengindikasikan tanda-tanda keberadaan Shī‘ah. Tidak tertutup kemungkinan bahwa karya-karya ulama Shī‘ah ‘dimusnahkan’ ketika Sunni berkuasa, atau sebaliknya. Namun sangat berlebihan jika mengatakan bahwa ḥamzah Fanṣurī>, Shams al-Dīn al-Sumatrānī dan Shaykh Siti Jenar sebagai tokoh-tokoh Shī‘ah. Hal ini sebagaimana dikemukakan beberapa peneliti lokal seperti Slamet Muljana. Asumsi ini dikemukakan Muljana berdasarkan anggapan ‘awam’ bahwa tasawuf Wujūdīyah adalah ajaran yang diikuti oleh Shi’>ah. 174 Asumsi ini tentu sangat mudah ‘dipatahkan’ dengan menunjukkan karya-karya yang berkaitan dengan tokoh-tokoh yang disebutkan di atas. ḥamzah Fanṣūri, misalnya, adalah penganut tarekat Qādirīyah yang didirikan oleh tokoh besar Sunni yang bermazhab ḥanbalī, yaitu ‘Abd al-Qādir al-Jaylānī. Begitu juga, Shams al-Dīn mengemukakan dengan tegas bahwa ia menganut teologi Ahl al-Sunnah wa-al-Jamā‘ah dan mengikuti mazhab fiqih Shāfi‘ī. 175 Ini tidak berbeda dengan Shaykh Siti Jenar yang menjadi salah satu sumber inspirasi ajaran Wujūdīyah dalam Serat Wirit Hidayat Jati karya Ranggawarsita (18021873). 176 Simuh menguatkan bahwa konsep Wujūdīyah para wali – 174
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negaranegara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LkiS, 2009), 159-161. Buku ‘laris’ ini sangat kontroversial dan terlalu mudah membuat asumsi sejarah tanpa menunjukkan teori yang kokoh dan bukti-bukti konkrit. Buku ini tidak lebih dari pengulangan asumsi sejarah yang disampaikan oleh guru Slamet Muljana, yaitu Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis Tuanku Rao. 175 Ungkapan ini sebagaimana dikutip langsung oleh Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan bahwa Sham al-Dīn mengatakan dalam kitab Mir’āt al-Mu’minīn, “I‘tiqād Ahl al-Sunnah wa-al-Jamā‘ah yang pada mazhab al-Shāfi‘ī”. Naskah ini dikoleksi di Universitas Leiden Belanda dan pernah dikaji oleh Van Niewenhuijze dalam disertainya tahun 1945. Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis terhadap Paham Waḥdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud) Tuhan-Alam-Manusia dalam Tasawuf Shamsuddin Sumatrani (Padang: IAIN-IB Press, 1999), 8 dan 58. 176 Simuh mentransliterasikan Serat Wirit ini bahwa Ranggawarsita, “Punika warahipun Hidayat Jati, ingkang anedahaken dunungipun pangkating ngelmu makrifat,
51
termasuk Siti Jenar- dipengaruhi kuat oleh teologi Ash‘arīyah. Hal tersebut terlihat dari ungkapan teologis bahwa “Sifat bukan zat, tetapi juga bukan lain dari zat” yang diikuti di dalam teks. 177 Adapun dari kuantitas naskah yang dapat ditemukan di beberapa tempat, seperti di Aceh, maka akan ditemukan angka yang menakjubkan. Di Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (YPAH), misalnya, dikoleksi sekitar 314 teks dalam 232 bundel naskah. Dari jumlah tersebut terdapat 41 teks (13 %) yang berkaitan dengan tauhid, dan 47 teks (15 %) yang berkaitan dengan tasawuf. Ini menunjukkan bahwa teks tasawuf menempati peringkat kedua setelah teks fiqih yang berjumlah 74 teks (24 %). 178 Hal yang sama juga ditemukan dari hasil jumlah naskah yang berhasil diperikan dalam Katalog Naskah Tanoh Abee Aceh Besar. Dari 367 teks yang terdapat dalam 280 bundel naskah, maka ditemukan 54 teks (15%) tauhid dan 55 teks (15%) tasawuf. Teks tauhid menempati peringkat kedua setelah teks fiqih yang berjumlah 99 teks (27 %). 179 Ini merupakan jumlah yang besar dibandingkan teks al-Qur’an, hadis, tafsir, tatabahasa, dan lainnya. Namun perlu diperhatikan bahwa pengelompokan ini bukanlah sesuatu yang mutlak jika merujuk langsung kepada kandungan teks itu sendiri. Ini dikarenakan tidak sedikit teks tasawuf yang memulai dengan pemaparan tentang dasar tauhid, sebaliknya juga banyak teks tauhid yang mengemukakan aspek tasawuf di medal saking wirayatting wiradat, wewejanganipun para wali ing tanah Jawi”. Ranggawarsita menyebutkan delapan wali dan salah satunya adalah Kangjeng Susuhunan ing Kajenar yang mengajarkan konsep penyaksian. Serat Wirit diterbitkan oleh Administrasi Jawi Kandha di Surakarta tahun 1908, Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawasita: Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati (Jakarta: UI-Press, 1998), 170. 177 Simuh, Mistik Islam Kejawen, 286. Ungkapan ini merupakan kaidah utama dalam teologi Ash‘arīyah yang diinspirasi dari konsep Ibn Kullāb. Abū al-ḥasan alAsh‘arī>, Maqālāt al-Islāmīyīn (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turath al-‘Arabī, t.t.), 169. Abū Isḥāq al-Isfaraynī, al-Tabṣir fī al-Dīn tahqiq Kamāl Yūsuf al-Hawt (Beirut: ‘Ālam alKutub, 1983), 165. Kaidah ini tampak dapat dimaklumi oleh tokoh sufi seperti Ibn ‘Arabi>. Bahkan, Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa ungkapan ini adalah penjelasan yang bagus. Tetapi dari aspek kashf, Ibn ‘Arabi di dalam al-Futūḥāt menyatakan keberatannya terhadap ungkapan ini. Ibn ‘Arabī, al-Futūḥāt, I/71; Muṣṭafā bin Sulaymān Bālī Zādeh, Sharḥ} Fuṣūs al-ḥikam (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2003). 178 Oman Fathurahman dan Munawar Holil, Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh (C-DATS-TUFS,YPAH Banda Aceh, PPIM UIN Jakarta, MANASSA: Jakarta, 2007), viii. 179 Oman Fathurahman dkk, Katalog Naskah Tanoh Abee Aceh Besar (Komunitas Bambu, TUFS, Manassa, PPIM UIN Jakarta, PKPM, dan Dayah Tanoh Abee: Jakarta, 2010), xvii-xviii.
52
tengah atau di akhir pembahasan. 180 Apabila disepakati bahwa teks tasawuf tergabung dalam teks tauhid, maka jumlah presentasenya akan melebihi teks fiqih. Ini berarti naskah tauhid dan tasawuf merupakan dominasi terbanyak. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perhatian ulama Nusantara sangat besar terhadap kajian teologi dan tasawuf. Baik teks tauhid yang terdapat di YPAH maupun Tanoh Abee, hampir semuanya mempunyai tema yang sama, yaitu tentang sifat dua puluh dalam teologi Sunni. Materi ini dipopulerkan sebelumnya oleh alSanūsī, sehingga tidak jarang teks-teks tersebut hanya berupa terjemahan dari karya tokoh ini, atau saduran darinya. Ini dikecualikan dengan beberapa kitab tertentu yang menjadikan karya tokoh lain sebagai sumber utama seperti al-Yawāqīt wa-al-Jawa>hir karya al-Sha‘rānī yang lebih menonjolkan konsep tauhid Ibn ‘Arabī>> yang dianggapnya cenderung kepada Sunni. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa Sunni merupakan teologi yang dianut oleh ulama Nusantara, terutama pada abad ketujuh belas sampai kesembilan belas. Oleh karena itu, keberadaan teologi lain seperti Shī‘ah pada abad ketujuh belas sangat sulit dibuktikan. Begitu juga, perkembangan teologi lain seperti paham Wahhābīyah yang didirikan oleh Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb (1115-1206 H.) sulit ditemukan, baik pada naskah maupun pada tradisi. ia banyak terinspirasi oleh ajaran Ibn Taymīyah (663-728 H.) Meskipun gerakan Wahhābīyah telah pesat sejak masa Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb (1115-1206 H./1703-1792 H.). Berdasarkan hal ini, akan dikemukakan penulusuran terhadap indikasi keberadaan pengaruh teologi Ibn Taymīyah dan Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb di Nusantara. A. Teologi Ibn Taymīyah di Nusantara Sudah menjadi kebiasaan ketika mendengar nama Ibn Taymīyah, maka terlahir persepsi bahwa ia adalah penentang yang kritis terhadap tasawuf Ibn ‘Arabī. Di sisi lain, Ulama Nusantara lebih cenderung kepada tasawuf Ibn ‘Arabī. Bahkan hampir semua tokoh sufi Nusantara adalah 180
Di akhir kitab Umm al-Barāhīn dijumpai pemaparan tasawuf dan praktiknya. Begitu juga beberapa teks tasawuf di Nusantara seperti ‘Umdat al-Muḥtājīn karya ‘Abd al-Ra’ūf al-Jāwī lebih dahulu memaparkan konsep teologi Sunni sebelum praktik ajaran tarekat. Dalam hal ini, Oman Fathurahman dan Munawar Holil mengategorikan teks Bidāyat al-Hidāyah karya Muḥammad Zayn Ibn al-Faqīh Jalāl al-Dīn sebagai teks tauhid, meskipun ia mengakui di dalamnya juga dibicarakan tentang tasawuf. Ia juga mengategorikan teks Fatḥ al-Raḥmān fi Sharḥ} Risālat al-Walī Ruslān sebagai teks tauhid, walaupun kandungan teksnya lebih banyak membicarakan tasawuf. Oman Fathurahman dan Munawar Holil, Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh, 39 dan 49.
53
pengikut Ibn ‘Arabi. Berdasarkan hal ini, secara umum terlihat bahwa ulama Nusantara telah bertentangan dengan Ibn Taymīyah, walaupun secara tidak langsung. Dalam hal ini, sejauh penulusuran literatur yang dilakukan, terlihat bahwa teologi Ibn Taimīyah tidak mewarnai corak teologi ulama Nusantara. Hal ini terlihat dari kajian keislaman yang berkembang sejak kedatangan al-Rānīrī sampai awal abad kesembilan belas. Pada awal abad kesembilan belas baru muncul kecenderungan kepada teologi Ibn Taymīyah dalam formulasi Wahhābīyah. Ini tampak dari kebangkitan gerakan Padri di Sumatra Barat. Hal ini terjadi setelah tiga orang Minangkabau yang menunaikan haji ke Makkah tahun 1803 M. Setelah kepulangan mereka, muncul gejolak politik dan keagamaan di Sumatera Barat. Christine Dobbin menyebutkan bahwa gejolak tersebut merupakan kebangkitan gerakan Padri untuk periode pertama, yaitu sejak tahun 1803 M. sampai 1819 M. Adapun pada periode kedua, dimulai dari 1807 M. sampai 1832. 181 Tapi sayang sekali, belum ditemukan satupun peninggalan literatur dari kaum Padri yang secara terang-terangan menunjukkan pengaruh Ibn Taymīyah dan Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb. Adapun yang ditemukan adalah beberapa naskah peninggalan Tuanku Imam Bonjol yang menjadi pemimpin gerakan Padri periode kedua, tetapi karyanya tidak menunjukkan kecenderungan tersebut. Sejauh ini, baru diketahui kaum tuo mengritisi kaum mudo, karena alasan mereka mengikuti ajaran Wahhābīyah. Dari kritikan inilah muncul beberapa keterangan dari musuh teologi Wahhābīyah lokal –yang dalam konteks ini adalah kaum tuo- yang menyebutkan ajaran apa saja yang dipermasalahkan. Seperti ‘Abdul Manaf Khathib (2006 M.) yang sempat menjelaskan penyimpangan Wahhābīyah lokal dari teologi Sunni. Tetapi terlihat bahwa penjelasan tersebut sama atau mungkin saja menukil dari karya Siradjuddin Abbas (1980 M./1400 H.) yang terkenal sebagai kaum tuo yang produktif untuk “menyerang” ajaran Wahhābīyah. Penjelasan tersebut terlihat dari ungkapan Siradjuddin bahwa kaum Wahhābīyah meyakini Allah duduk di atas ‘Arasy atau langit, padahal mereka menyatakan Tuhan tidak serupa dengan makhluk. Selain itu, yang relevan dengan konteks kajian ini, sebagaimana disebutkan Siradjuddin, 181
Cristine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri (Depok: Komunitas Bambu, 2008), 202 dan 257; Mahmud Yunus secara umum lebih cenderung mengatakan kebangkitan Wahabi yang utama adalah 1821-1832, atau periode kedua dari kategorisasi Dobbin. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), 30.
54
kelompok Wahhābīyah lokal melarang untuk mempelajari sifat dua puluh seperti yang biasa dilakukan oleh ulama Sunni. 182 Namun baik Siradjudin maupun Khathib tidak menyebutkan sumber dari naskah. Terlepas dari hal itu, permasalahan lain yang muncul adalah apa yang menjadi bukti bahwa teologi Ibn Taymīyah yang menjiwai gerakan Wahhābīyah tidak berkembang di Nusantara. Pembuktian tersebut hanya dapat dipastikan dengan menelusuri menelusuri literatur yang berasal dari abad ketujuh belas sampai kesembilan belas. Penelusuran tersebut tentu tidak bersifat kajian filologis dan kodikologis semata, tetapi lebih memperhatikan kepada muatan yang terkandung dalam teks. Tetapi sebelum melangkah jauh, perlu dikemukakan teologi Ibn Taymīyah yang belakangan menginspirasi kebangkitan gerakan Wahhābīyah di Nejd, agar dapat dibandingkan dengan teks teologi di Nusantara. Hal ini akan bermanfaat untuk memastikan bahwa teks-teks teologi dan tasawuf pada abad ke-17 sampai 19 pernah dipengaruhi oleh Ibn Taymīyah atau tidak dipengaruhi sama sekali. Apabila diperhatikan, maka tampak jelas bahwa Ibn Taymīyah bercita-cita untuk mencapai konsep tauhid yang terlepas dari bid‘ah dan syirik. Hal inilah yang ia sebut dengan substansi ajaran Salaf. Ibn Taymīyah menyeru untuk kembali kepada akidah Salaf terutama yang dikembangkan oleh Aḥmad bin ḥanbal (242 H.) Tetapi Ibn Taymīyah sendiri mencoba memberikan inovasi -yang sebenarnya tergolong hal tabu di kalangan Salaf- dalam konsep akidah. Ia menegaskan bahwa tauhid terbagi kepada tiga bagian. Pertama, tauhid rubūbīyah yang berarti penyaksian terhadap ketuhan Allah terhadap sebagala sesuatu. Kedua tauhid ulūhīyah yang berarti penyembahan mutlak kepada Allah Yang Maha Esa. Ia memastikan bahwa para rasul diutus untuk menyebarkan tauhid yang kedua ini. 183 Ketiga tauhid asmā’ dan ṣifāt yang berarti penetapan terhadap nama-nama dan sifat Allah. Ia berpandangan bahwa
182
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi‘i cet ke-19 (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2009). ‘Abdul Manaf Khathib, Risālah Mīzān al-Qalb (Manuskrip), 54-55. Karya ini ditulis di Batang Kapuak kecamatan Koto Tangah Tabing Padang Sumbar. 183 Ibn Taymīyah, Istiqāmah (Madinah: al-Jāmi‘ah Ibn Su‘ūd, 1403 H.), ii/31. Ia mengatakan:
ﻓﺎﻟﺗﻭﺣﻳﺩ ﺍﻟﺫﻱ ﺑﻌﺙ ﷲ ﺑﻪ ﺭﺳﻠﻪ ﻭﺃﻧﺯﻝ ﺑﻪ ﻛﺗﺑﻪ ﻫﻭ ﺃﻥ ﻳﻌﺑﺩ ﷲ ﻭﺣﺩﻩ ﻻ ﺷﺭﻳﻙ ﻟﻪ ﻓﻬﻭ ﺗﻭﺣﻳﺩ ﺍﻻﻟﻭﻫﻳﺔ ﻭﻫﻭ ﻣﺳﺗﻠﺯﻡ ﻟﺗﻭﺣﻳﺩ ﺍﻟﺭﺑﻭﺑﻳﺔ ﻭﻫﻭ ﺍﻥ ﻳﻌﺑﺩ ﺍﻟﺣﻕ ﺭﺏ ﻛﻝ ﺷﻲء ﻓﺄﻣﺎ ﻣﺟﺭﺩ ﺗﻭﺣﻳﺩ .ﺍﻟﺭﺑﻭﺑﻳﺔ ﻭﻫﻭ ﺷﻬﻭﺩ ﺭﺑﻭﺑﻳﺔ ﺍﻟﺣﻕ ﻟﻛﻝ ﺷﻲء ﻓﻬﺫﺍ ﺍﻟﺗﻭﺣﻳﺩ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻣﺷﺭﻛﻳﻥ 55
yang pertama adalah tauhid orang yang syirik. 184 Inilah keanehan dari term yang digunakan Ibn Taymīyah dalam menyebutkan tauhid bagi orang musyrik. Lebih dari itu, Ibn Taymīyah menyangka bahwa tauhid rubūbīyah adalah puncak tauhid orang yang menjalani ajaran tasawuf. Ia mengasumsikan bahwa tauhid rubūbīyah merupakan substansi dari pengalaman rohani yang dicapai sufi ketika fanā’ dan baqā’. Tauhid yang terhenti sampai tahapan ini akan menyebabkan seorang sufi tidak lagi memandang baik dan buruk. 185 Sebagaimana Ibn Taymīyah, Ibn alQayyim juga menguatkan bahwa tauhid rubūbīyah merupakan objek utama dalam kajian ilmu kalam dan pencapaian spiritual tertinggi di kalangan sufi, padahal keimanan tidak cukup sampai taraf tersebut. 186 Dengan penuh kesadaran, Ibn Taymīyah dan Ibn al-Qayyim telah menyamakan tauhid yang dicapai oleh penganut tasawuf dan ahli ilmu kalam dengan keyakinan orang musyrik. Terlepas dari kebenaran atau kekeliruan Ibn Taymīyah, tiga pembagian tauhid menjadi ciri khas dari teologi yang ia ajarkan. Berdasarkan hal ini, maka hampir setiap karya teologis yang dipengaruhi oleh ajaran Ibn Taymīyah memulai penulisan dengan tiga konsep tauhid tersebut. Hal ini terlihat dari karya-karya murid-murid Ibn Taymīyah seperti Ibn al-Qayyim al-Jawzīyah dan Ibn Abī al-‘Īzz (792 H.). 187 Begitu juga, terlihat dari karya-karya Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb (11111202 H.) dan pengikut-pengikutnya. 188 Adapun sebaliknya, apabila ada karya teologis Sunni yang tidak dipengaruhi oleh pemikiran tokoh ini, 184
Ibn Taymīyah, Istiqāmah, ii/31; Ibn Taymīyah, Iqāmat al-Dalīl ‘alá Ibthāl al-Taḥlīl, II/97. Ibn al-Qayyim, Ighāthat al-Lahfān fī Maṣā’id al-Shayṭān (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1975), ii/135. Ibn Abī al-‘Izz, Sharḥ} al-ṭaḥāwīyah (Kairo: Dār al-ḥadith, 2008), 1. Ibn Taymīyah menyebutkan dalam Iqāmat al-Dalīl: ُﻭﺑ ﱠﻳ ِﺔ ِ َﻓ َﻛﺎﻥَ ْﺍﻟ ُﻛ ﱠﻔﺎ ُﺭ ُﻳﻘِﺭﱡ ﻭﻥَ ِﺑ َﺗ ْﻭﺣِﻳ ِﺩ ﺍﻟﺭﱡ ﺑ ْ ْ ْ َ َ ﱢ ُ ْ ُ َ ُ ََﻉ ﻓِﻳ ِﻪ َﻭ َﻛﺎﻧﻭﺍ ﻣَﻊَ َﻫﺫﺍ ُﻣﺷ ِﺭﻛِﻳﻥ ِ َﻭﻫ َُﻭ ِﻧﻬَﺎ َﻳﺔ ﻣَﺎ ﻳُﺛ ِﺑﺗ ُﻪ ﻫَﺅُ ﻻ ِء ﺍﻟ ُﻣ َﺗ َﻛﻠﻣُﻭﻥَ ﺇﺫﺍ َﺳﻠِﻣُﻭﺍ ﻣِﻥْ ﺍﻟ ِﺑﺩ. Teks ini diungkapkan oleh Ibn al-Qayyim dan Ibn Abī al-‘Izz dengan ungkapan yang hampir sama. 185 Ibn Taymīyah, Iqtid}ā’ al-Shirāṭ al-Mustaqīm, tahqīq: Muḥammad ḥāmid alQafā (Kairo: Sunnah al-Muḥammadīyah, 1369 H.), 461. Ibn Taymīyah mengatakan:
ﺇﻥ ﻁﺎﺋﻔﺔ ﻣﻣﻥ ﺗﻛﻠﻡ ﻓﻲ ﺗﺣﻘﻳﻕ ﺍﻟﺗﻭﺣﻳﺩ ﻋﻠﻰ ﻁﺭﻳﻕ ﺃﻫﻝ ﺍﻟﺗﺻﻭﻑ ﻅﻥ ﺃﻥ ﺗﻭﺣﻳﺩ ﺍﻟﺭﺑﻭﺑﻳﺔ ﻫﻭ .ﺍﻟﻐﺎﻳﺔ ﻭﺍﻟﻔﻧﺎء ﻓﻳﻪ ﻫﻭ ﺍﻟﻧﻬﺎﻳﺔ ﻭﺃﻧﻪ ﺷﻬﺩ ﺫﻟﻙ ﻋﻧﻪ ﺍﺳﺗﺣﺳﺎﻥ ﺍﻟﺣﺳﻥ ﻭﺍﺳﺗﻘﺑﺎﺡ ﺍﻟﻘﺑﻳﺢ
Ibn al-Qayyim, Ighāthat al-Lahfān, i/75. Ibn al-Qayyim, ṭarīq al-Hijratayn wa Bāb al-Sa‘adatayn (Dimām: Dār Ibn al-Qayyim, 1994), 55 dan 98. Aḥmad bin Ibrāhīm, Sharḥ} Qaṣīdah Ibn al-Qayyim (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1406 H.), i/132. 187 Ibn Abī al-‘Izz mendahulukan penyebutan tauhid sifat sebelum rubūbīyah dan ulūhīyah. Ibn Abī al-‘Izz, Sharḥ} al-ṭaḥāwīyah, 18-19. 188 Ini seperti karya Sa‘īd al-Jandūl yang memberikan komentar terhadap Kitāb al-Tawhīd karya Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb. Sa‘īb al-Jandūl, al-Durr al-Nad}īd (Riyād}: Mustawda‘ ‘A<m, 1979), 36. 186
56
maka akan lebih cenderung memulai kajian teologi dari pembagian sifatsifat Allah sebagaimana dilakukan oleh al-Sanūsī. Dalam hal ini Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb, misalnya, menyebutkan bahwa Nabi Saw memerangi kelompok musyrik Arab, padahal mereka telah bertauhid rubūbīyah. Tetapi keyakinan mereka belum ditambah dengan tauhid ulūhīyah. Ia sepakat dengan pendapat Ibn Taymīyah dalam hal ini, bahkan ia memujinya sebagai ungkapan yang terbaik. 189 Hal yang sama dikatakan oleh ḥāfiẓ bin Aḥmad ḥukmī komentator ajaran Ibn Taymīyah- dengan menyebut mereka secara eksplisit, ahl al-awthān (penyembah berhala). 190 Selain itu, tema penting dari implikasi konsep tauhid ulūhīyah adalah penolakan terhadap tradisi tawassul sebagaimana diperbolehkan dalam teologi Sunni Ash‘arīyah. Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb, misalnya, berani menganggap orang Islam yang bertawasul kepada malaikat, para nabi, dan orang saleh dalam kelompok mushrikīn (orangorang yang syirik). Dalam pemahamannya, tawassul adalah meminta kepada selain Allah. 191 Tetapi di tempat lain, ketika menulis risalah kepada penduduk al-Quṣaym, Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb menolak isu yang menyebutkan bahwa ia mengafirkan orang-orang yang bertawassul. 192 Selain itu, permasalahan yang menjadi pemicu pemikiran Ibn Taymīyah tidak berkembang pesat di Nusantara adalah pandangannya terhadap tasawuf. Ibn Taymīyah menyadari perdebatan mengenai kemunculan tasawuf. Ketika dihadapi perbedaan pendapat mengenai asal istilah tasawuf; berasal dari kata ṣuffah (sahabat yang tinggal di mesjid Nabawi), ṣafā-ṣafwah (kesucian), atau pakaian dari ṣūf} (wol). Ibn Taymīyah menilai pendapat yang benar adalah yang terakhir, yaitu sūf. 193 Secara umum, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Aḥmad bin Muḥammad al-Banānī bahwa Ibn Taymīyah tidak sepenuhnya menentang ajaran tasawuf. Tokoh yang digelari oleh pengikutnya Shaykh al-Islām ini, lebih cenderung mengritisi ajaran tasawuf yang ‘bertentangan’ dengan 189
Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb, Mu’allafāt al-Shaykh al-Imām Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb (Riyād}: al-Jāmi‘ah Muḥammad Ibn Su‘ūd, t.t.), 19 dan 145. 190 ḥāfiẓ bin Aḥmad ḥukmī, Ma‘ārij al-Qabūl (Dimām: Dār Ibn al-Qayyim, 1900), ii/401. 191 Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb, Mu’allafāt al-Shaykh, 151 dan 154. ḥafīẓ bin Aḥmad ḥukmī, Ma‘ārij al-Qabūl, ii/523. 192 Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb, Mu’allafāt al-Shaykh, 12. 193 Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwa, X/195.
57
al-Qur’an dan Sunnah. 194 Tentu saja ajaran yang ‘bertentangan’ dalam pengertian yang terbatas dengan pemahamannya terhadap dua sumber ajaran Islam tersebut. Dalam hal ini, belum tentu tokoh-tokoh yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran Islam merasa bertentangan seperti dikatakan Ibn Taymīyah. Ketika menghadapi perdebatan teologis, Ibn Taymīyah memandang penyimpangan dalam perdebatan para teolog sama dengan kerancuan ajaran Yahudi. Ini berbeda sedikit ketika ia mengomentari penyimpangan tasawuf dipandang Ibn Taymīyah sebagai kerancuan yang mirip dengan Nasrani. Ia menambahkan bahwa hal itulah yang menyebabkan banyak teolog yang cenderung kepada apa yang ia sebut dengan al-ḥurūf, ungkapan yang menunjukkan keunggulan dalam menulis dan berdebat tentang pengetahuan dan keyakinan. Adapun kebanyakan sufi, maka ia menilai lebih cenderung kepada aspek esoteris dalam hal aṣwāt, ungkapan yang mengisyaratkan tentang syair sufi yang berbentuk samā‘. 195 Selain itu, ia menilai konsep tasawuf tentang wujūd muṭlaq dan tajallī lebih mirip dengan perkataan majānīn (orang-orang gila). 196 Ibn Taymīyah memandang para teolog yang ia sebut sebagai mutakallimīn dan ahli tasawuf dengan penilaian yang sama. Ketika ia mengatakan bahwa sebagaimana mutakallimīn telah menulis karya teologis yang berpaling dari al-Qur’an dan Sunnah, maka hal yang sama juga terjadi dengan kaum sufi. Ia menyontohkan karya al-Qushayri> “alRisālah” yang tidak lagi mengikuti tradisi salaf, karena hanya menukil dari generasi salaf yang terakhir. Begitu juga dengan al-Kalābadhī dan alSulami>. Walaupun ia mengakui bahwa tokoh terakhir pernah menulis Sayr al-Salaf –judul yang digemari oleh Ibn Taymīyah- tetapi ia berkilah bahwa al-Sulamī hanya mengemukakan di dalamnya aḥwāl dan maqāmāt dari generasi salaf, terutama di Baṣrah. 197 Hal ini memperkuat asumsi Ibn Taymīyah bahwa tasawuf bukan bersumber dari cara hidup Nabi Saw dan para sahabat. Tetapi tasawuf dalam pandangannya berasal dari cara hidup zuhud yang pernah berkembang di kota Baṣrah. Ia menganalogikan
194
Aḥmad bin Muḥammad al-Banānī, Mawqif al-Imām Ibn Taymīyah min alTaṣawwuf wa-al-ṣūfīyah (Makkah: Jāmi‘at Umm al-Qurā, 1992), 15. 195 Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwa, II/42. 196 Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwā, II/167>. 197 Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwā, II/379. al-Qushayri> memang memulai dari tokoh-tokoh salaf yang terakhir, seperti Ibrāhīm bin Ad-ham, Dhū al-Dūn al-Miṣrī, Fud}ayl bin ‘Īyad}} dan tokoh lainnya. Al-Qushayrī, al-Risālah, 63, 65, 66.
58
perkembangan tersebut dengan kemunculan ahli fiqih rasionalis (ahl alra’y) yang bersumber dari metode ulama di Kufah. 198 Perbandingan lain yang dikemukakan oleh Ibn Taymīyah adalah metode perolehan pengetahuan antara teolog dan filosof, ahli hadis dan Sunnah, dan tasawuf. Teolog dan filosof mengagung-agungkan metode rasionalitas. Metode ini bukannya suatu yang hebat bagi Ibn Taymīyah, tetapi malah banyak kerusakan dan kontoversial. Ia menilai mereka sebagai makhluk Allah yang paling banyak kontroversial, sehingga setiap golongan menolak pendapat yang lain karena memandang pendapatnya qat‘ī (kuatdan pasti). Adapun di kalangan ahli hadis, terdapat golongan kecil yang berargumen dengan hadis yang lemah dan mawd}ū‘ untuk menguatkan pendapat mereka. Hal ini berbeda dengan kaum sufi yang membangun pengetahuan mereka berdasarkan mimpi-mimpi dalam tidur (manāmāt), perasaaan (adhwāq), dan imajinasi (khayālāt) yang dinilai sebagai penyingkapan spiritual (kashf). Padahal, ungkap Ibn Taymīyah, kashf yang mereka maksud hanyalah khayalan yang tidak realistis dan ilusi yang tidak benar. 199 Tetapi di sisi lain, Ibn Taymīyah terlihat mencoba menerima beberapa aspek teologi dari kalangan sufi. Hal ini dapat diketahui dari komentarnya ketika al-Junayd mendefinisikan tauhid sebagai ungkapan untuk mengesakan Allah Yang Maha Qadīm dari alam yang ḥādith (baru). Ia mengatakan bahwa siapa yang mengikuti metode al-Junayd maka akan mendapat keselamatan, kesuksesan, dan kebahagiaan spiritual. 200 Dalam hal ini, Ibn Taymīyah mengelompokkan kaum sufi kepada dua golongan, golongan yang lurus dan yang sesat. Golongan ini terkesan minoritas dalam pandangan Ibn Taymīyah, karena ia menyebut yang kedua sebagai jumlah terbanyak. Hal ini jelas ketika ia menyebut kathīr min al-mutaṣawwifah wa-al-fuqarā’ (kebanyakan dari ahli tasawuf dan “faqir”) menganggap imajinasi dan ilusi sebagai kashf. 201 Adapun golongan minoritas tersebut, justru adalah tokoh yang ia nilai sebagai 198 199
Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwā, X/367. Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwā, XI/339. Ibn Taymīyah mengatakan:
َ ﺕ َﻳﻌْ َﺗﻘِ ُﺩﻫَﺎ َﻛ ْﺷ ًﻔﺎ َﻭﻫِﻲَ َﺧﻳ َ ﺍﻕ َﻭ َﺧﻳ ٌ َﺎﻻ ﺕ ٍ َﺎﻻ ٍ ﺻﻭﱢ َﻓ ِﺔ َﻭﺍ ْﻟﻔُ َﻘﺭَ ﺍ ِء َﻳ ْﺑﻧِﻲ َﻋﻠَﻰ َﻣ َﻧﺎﻣَﺎ َ َﻭ َﻛﺛِﻳ ٌﺭ ﻣِﻥْ ﺍ ْﻟ ُﻣ َﺗ ٍ ﺕ َﻭﺃَ ْﺫ َﻭ َﻏ ْﻳ ُﺭ ُﻣ َﻁ ِﺎﺑ َﻘ ٍﺔ َﻭﺃَ ْﻭﻫَﺎ ٌﻡ َﻏ ْﻳ ُﺭ ﺻَﺎ ِﺩ َﻗ ٍﺔ 200
Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwā, XIV/355>. Ibn Taymīyah, al-ḥasanah waal-Sayyi’ah, tahqiq M. Jamīl al-Ghāzī (Madinah: Maṭba‘ah al-Madanī, t.t.), 17.
ﻙ ِ ﻫ َُﻭ ﺇ ْﻓ َﺭﺍ ُﺩ ْﺍﻟ ُﺣ ُﺩﻭ: َﻭ َﺑﻳ َﱠﻥ ﻟَ ُﻬ ْﻡ ْﺍﻟ ُﺟ َﻧﻳْﺩ َﻛ َﻣﺎ َﻗﺎ َﻝ ﻓِﻲ ﺍﻟ ﱠﺗ ْﻭﺣِﻳ ِﺩ َ ﻙ َﻣﺳْ َﻠ َ َ َﻓ َﻣﻥْ َﺳﻠ. ﺙ َﻋﻥْ ْﺍﻟﻘِﺩَ ِﻡ ﺎﻥ َﻗ ْﺩ ﺍﻫْ َﺗﺩَ ﻯ َﻭ َﻧ َﺟﺎ َﻭ َﺳ ِﻌ َﺩ َ ﺻﻭﱡ ﻑِ َﻭ ْﺍﻟ َﻣﻌْ ِﺭ َﻓ ِﺔ َﻛ َ ْﺍﻟ ُﺟ َﻧﻳْﺩ ِﻣﻥْ ﺃَﻫْ ِﻝ ﺍﻟ ﱠﺗ 201
Ibn Taymīyah, Majmū Fatāwā, XI/339.
59
shuyūkh al-ṣūfīyah al-kibār seperti Fud}ayl bin ‘Īyād}, Ibrāhīm bin Adham, Abū Sulaymān al-Dārānī, ‘Amrū bin ‘Uthmān al-Shiblī, al-Junayd, Sahl al-Tastarī, dan Abū ‘Abd Allāh al-Syayrāzī>, Ma‘rūf al-Kharkhī.202 Ia pernah mengatakan bahwa pada ajaran mereka terdapat keimanan dan pengetahuan benar. Pengelompokan ini tampak didukung oleh Mulā ‘Alī al-Qārī -salah seorang pengritis tasawuf Ibn ‘Arabī>-. 203 Adapun kelompok kedua adalah tokoh seperti al-ḥallāj (309 H.), Ibn ‘Arabī>>, Ibn Sab‘īn, dan Ibn al-Fārid}. Ibn Taymīyah menilai bahwa konsep tasawuf kelompok kedua justru dianggap kafir oleh kelompok yang kedua. Ia memberikan contoh hal tersebut dengan metode Ibn Sab‘īn yang membalut pemikiran filsafat dengan bahasa tasawuf. 204 Tetapi tuduhan Ibn Taymīyah ini terlihat tidak relevan, karena Ibn Sab‘īn sendiri adalah pengritis yang tajam terhadap filsafat, bahkan juga terhadap teolog. 205 Namun bukan berarti Ibn Sab‘īn menolak bahwa seorang sufi terlepas dari teolog. Justru ia mengatakan bahwa di antara penyebab kesempurnaan spiritual dalam tasawuf adalah berpijak pertama kali kepada teologi Sunni Ash‘arī, 206 walaupun Ash‘arī tidak luput dari kritikannya. Di samping itu, Ibn Taymīyah juga tidak konsisten menggunakan term ittiḥād, ḥulūl dan waḥdat al-wujūd dengan pemaknaan yang berbeda. Ia menyebut Ibn ‘Arabī>> sebagai tokoh besar Ittiḥadīyah yang sering tidak sepakat dengan al-Junayd. 207 Ibn Taymīyah menilai Ittiḥadīyah seperti Ibn ‘Arabī dan Ibn Sab‘īn sama dengan golongan Shī‘ah Qarāmiṭah dan Ikhwān al-Shafā yang cenderung kepada kebatinan. Tetapi yang mengherankan adalah ungkapannya bawa dua tokoh tersebut sebagai ittiḥādīyah ahl waḥdat al-wujūd (Ittiḥādīyah dari golongan waḥdat al-wujūd) –bentuk penggabungan dua term yang tidak lazim-. 208 Di sisi lain, walaupun ia mengatakan bahwa pemikiran Ibn ‘Arabī> tergolong kafir, tetapi ia mempunyai komentar lain terhadapnya. Ibn Taymīyah mengatakan bahwa pemikiran Ibn ‘Arabī lebih mendekati 202
Ibn Taymīyah, Majmū Fatāwā, II/107. Ibn Taymīyah, al-‘Aqīdah al-Isfahānīyah, 164. ‘Alī al-Qāri, al-Radd ‘alá al-Qā’ilīn bi Waḥdat al-Wujūd, 93. 204 Ibn Taymīyah, al-Kaylānīyah, 21; Ungkapan yang sama juga ia kemukakan di Ibn Taymīyah, al-Nubuwwāt (Kairo: Maṭba‘ah al-Salafi>yah, 1386 H.), 160. 205 Ibn Sab‘īn, Risālah Budd al-‘Ārif, 301. 206 Ibn Sab‘īn, Sharḥ} Risālat al-‘Ahd, 118. 207 Ibn Taymīyah, al-Istiqāmah (Madinah: Matba‘ah al-Jam>i‘ah Muḥhammad Ibn Su‘ūd, 1403), 93. 208 Ibn Taymīyah, ‘Aqidah al-Asfahānīyah (Riyad}: Maktabah al-Rusyd, 1415 H>), 77. 203
60
kepada Islam daripada Ibn Sab‘īn, al-Qūnawī (673 H.), dan al-Tilimsāni> dan pengikut-pengikut mereka. 209 Kembali kepada usaha pembuktian bahwa teologi Ibn Taymīyah memang pernah atau sebaliknya tidak pernah mempengaruhi perkembangan teologi Nusantara, maka dapat dilakukan dengan mengetahui kandungan dari karya-karya ulama tasawuf Nusantara yang populer pada abad ketujuh belas sampai sembilan belas yang berkaitan dengan permasalahan teologi. Dapat dikatakan bahwa secara umum, nama “Ibn Taymīyah” lebih identik dengan penentangan terhadap tasawuf. Ini terlihat dari karya-karya yang dihasilkannya, seperti Furqān bayn Awliyā’ al-Rah>man wa-Awliyā al-Syayṭān (Pembeda antara Wali Allah dan Wali Syetan) dan Bughyat al-Mustafīdīn. Salah seorang tokoh yang akan sering disebutkan di sini adalah Nūr al-Dīn al-Rānīrī, untuk dijadikan contoh dari ketiadaan pengaruh Ibn Taymīyah terhadapnya. Walaupun ada yang mengidentikkan al-Rānīrī dengan Ibn Taymīyah dalam menyerang ajaran ḥulūl dan ittiḥād, tetapi nama tokoh terakhir memang tidak pernah muncul dalam karya al-Rānīrī. Ini dikarenakan al-Rānīrī –sebagaimana akan dijelaskan pada bab keempat- adalah penganut ajaran Wujūdīyah juga. Bahkan ia telah mencapai tingkitan spiritual yang tinggi, sehingga mempunyai otoritas untuk mengajarkan beberapa tarekat. Hal ini terbukti dari pegakuan Yūsuf al-Makassari> yang pernah belajar tarekat Qādirīyah dari al-Rānīrī.210 Berdasarkan hal ini, sulit diterima bahwa Ibn Taymīyah mempengaruhi sikap keagamaan al-Rānīrī. Ada beberapa karya al-Rānīrī yang berkaitan dengan teologi, pertama Durrat al-Farā’id} bi Sharḥ} al-‘Aqā’id. Kitab ini merupakan saduran dalam bahasa Melayu dari karya Sa‘d al-Dīn al-Taftāzānī yang melakukan komentar terhadap Mukhtaṣar al-‘Aqā’id karya Najm al-Dīn ‘Umar al-Nasafī. 211 Apabila diperhatikan kitab sumber yang dijadikan 209
Ibn Taymīyah, Majmū Fatāwā, II/121. Ia mengatakan:
ﻭﻓﻰ ﻛﺗﺑﻪ ﻣﺛﻝ ﺍﻟﻔﺗﻭﺣﺎﺕ ﺍﻟﻣﻛﻳﺔ ﻭﺃﻣﺛﺎﻟﻬﺎ ﻣﻥ ﺍﻻﻛﺎﺫﻳﺏ ﻣﺎﻻ ﻳﺧﻔﻰ ﻋﻠﻰ ﻟﺑﻳﺏ ﻫﺫﺍ ﻭﻫﻭ .ﺃﻗﺭﺏ ﺇﻟﻰ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻣﻥ ﺍﺑﻥ ﺳﺑﻌﻳﻥ ﻭﻣﻥ ﺍﻟﻘﻭﻧﻭﻯ ﻭﺍﻟﺗﻠﻣﺳﺎﻧﻰ ﻭﺃﻣﺛﺎﻟﻪ ﻣﻥ ﺃﺗﺑﺎﻋﻪ 210
Yūsuf al-Makassari>, Safīnat al-Najāḥ dalam Tudjimah, Syekh Yusuf Makasar; Riwayat dan Ajarannya (Jakarta: UI-Press, 1997), 200. Yūsuf mengatakan: “Sesugguhnya aku mengambil kelompok syekh ini [tarekat Qādiriyah] dari syekh kami, sandaran kami yag alim, yang mulia, yang arif, yang sempurna, yang mempersatukan ilmu syariat dan hakikat, yang berhak atas makrifat dan tarekat, tuan kami Syekh Muḥammad al-Jilān, yang terkenal dengan panggilan Syekh Nūr al-Dīn Hasanjī b. Muḥammad Humayd al-Ursha al-Rānīrī.” 211 Tudjimah menyebutkan bahwa C.A.O. van Nieuwenhuyze menjelaskan dalam disertasinya mengenai ketiadaan kolofon dalam naskah ini. Tetapi ia meyakinkan
61
saduran dalam Durrat al-Farā’id}, maka terlihat bahwa kitab tersebut merupakan literatur yang cenderung kepada teologi Sunni Māturīdīyah. Ini dikarenakan kedudukan al-Nasafī di kalangan Māturīdīyah seperti Abū ḥāmid al-Ghazālī di kalangan Ash‘arīyah. Al-Nasafī dipandang sebagai orang yang berjasa dalam mempertahankan dan mengembangkan teologi Māturīdīyah di abad pertengahan. Hal ini terlihat dari penggunaan literatur yang ditulis al-Nasafī mendominasi kurikulum kajian teologi di kalangan pengikut Abū Manshūr al-Māturīdī yang bermazhab Hanafi dalam fiqih. Bahkan, Kitāb al-Tawḥīd karya al-Māturīdī pun tidak populer. Ini tentu lebih mengherankan lagi bahwa al-Nasafī pun tidak pernah merujuk langsung atau menyebutkan nama al-Māturīdī serta karyanya Kitāb al-Tawhīd dalam Mukhtaṣar al-‘Aqā’id. Terlepas dari kenyataan tersebut, terlihat bahwa karya al-Nasafī dalam teologi sangat berpengaruh besar dalam kajian teologi Sunni. Ini terlihat dari penetapan Universitas al-Azhar yang telah memilih Mukhtaṣar karya al-Nasafī sebagai kurikulum pokok dalam teologi. 212 Ini telah berlangsung lama sebelum abad kedua puluh, bahkan hal tersebut masih eksis sampai saat ini. Pilihan al-Rānīrī terhadap kitab ini sebagai sumber saduran tentu beralasan. Ini dikarenakan teologi Māturīdīyah tidak memiliki banyak perbedaan dengan teologi Ash‘arīyah yang dianut umat Islam Nusantara. Tetapi ada kemungkinan lain, yaitu kecenderungan al-Rānīrī memilih kitab tersebut karena ia memang telah mempelajarinya ketika masih di India atau di ḥaramayn. Dalam hal ini, penyebutan Ahl al-Sunnah memang diidentikkan dengan Ash‘arīyah dan Māturīdīyah. Oleh karena itu, kebanyakan Ash‘arīyah tidak merasa keberatan dalam mempelajari literatur Maturīdīyah. Karya kedua adalah Asrār al-Insān yang berisi penolakan alRānīrī terhadap keyakinan kaum Wujūdīyah yang mengatakan bahwa ruh bersifat qadīm. Penukilan yang dilakukan oleh al-Rānīrīi menunjukkan bahwa ia lebih cenderung merujuk kepada tokoh-tokoh sufi yang beraliran teologi Ash‘arīyah. Ini terlihat dari rujukannya kepada Nūr al-
bahwa naskah tersebut ditulis sebelum tahun 1045 H.. Tujdimah menyebutkan bahwa ada dua naskah yang berkaitan dengan teks tersebut, tertapi naskah pertama hilang. Adapun dalam naskah kedua disebutkan kolofon tanggal 1185 H. Tudjimah, Asrār alInsān fī Ma‘rifa al-Rūḥ wa ‘L-Raḥmān (Jakarta: Penerbit Universitas Djakarta, 1960), 10-11. Mikrofilm di Leiden Or. A. 35 d. 212 Fatḥullāh Khulayf, “Muqaddimah Taḥqīq” dalam Abū Manshūr al-Māturīdī, Kitāb al-Tawḥīd (Istanbul: al-Maktabah al-Islamīyah, 1979), 9.
62
Dīn ‘Abd al-Raḥmān Jāmī (817 H.), 213 Zakariyā al-Anshārī, Abū Isḥāq alIsfaraynī, Abū Hāmid al-Ghazālī (505 H./1111 M.), dan tokoh lainnya. Setelah al-Rānīrī, kepulangan ‘Abd al-Ra’ūf ke Aceh juga memperkuat teologi Sunni yang pernah diajarkan sebelumnya oleh alRānīrī. Ia menulis berbagai karya yang berkaitan dengan teologi dan tasawuf, seperti Sullam al-Mustafīdīn. Karya ini sebagaimana akan dikemukakan nanti, merupakan bukti paling kuat menunjukkan keteguhan ‘Abd al-Ra’ūf dalam menyebarkan ajaran Sunni dan pendiriannya yang tegas dalam mengritisi ajaran Wujūdīyah “versi” Hamzah. 214 Karya ‘Abd al-Ra’ūf lain yang bersifat semi teologi-tasawuf mengindikasikan teologi Sunni Ash‘arīyah. Hal ini terlihat bagian pertama dalam kitab ‘Umdat al-Muḥtājīn. 215 Kitab tersebut berbicara mengenai tentang bagaimana mengenal Allah melalui ilmu tauhid dan penerapannnya dalam ajaran tasawuf, terutama tarekat Syaṭṭārīyah dan Qādirīyah. ‘Abd al-Ra’ūf menulisnya dengan bahasa Melayu. Keberadaan kitab ‘Umdat merupakan salah satu bukti tertulis yang menunjukkan bahwa akidah dan tasawuf yang pernah diajarkan di Nusantara bercorak Sunni. Tokoh Sunni lain dari yang kurang dibicarakan adalah Muḥammad Zayn Ibn Faqīh Jalāl al-Dīn yang menjadi guru Dāwud bin ‘Abdullāh al-Faṭāni>. 216 Muḥammad Zayn menulis karya yang sangat berpengaruh kepada perkembangan teologi di Nusantara. Karya tersebut adalah Bidayat al-Hidāyah. Sebenarnya, teks ini adalah terjemahan dari Umm al-Barāhīn karya al-Sanūsī, tetapi penulisnya sering menambahkan beberapa penjelasan tambahan sebagaimana biasa dalam tradisi penerjemahan di Nusantara. 217 Pada abad kedelapan belas, karya-karya teologis yang ditulis oleh ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī dan beberapa rekannya yang sama-sama menuntut ilmu di ḥaramayn mulai mendominasi kurikulum pembelajaran tauhid di Nusantara. Karya ‘Abd al-ṣamad yang paling monumental adalah Sayr al-Sālikīn. Hampir setiap peneliti tradisi keislaman Nusantara mengenal karya ini. Walaupun ‘Abd al-ṣamad berniat menerjemahkan, 213
Al-Rānīrī, Asrār al-Insān manuskrip dikoleksi oleh Perpusnas K.B.G. 427, 2r. Naskah ini disunting juga oleh Tudjimah, Asrār al-Insān fi Ma‘rifa ‘l-Raḥmān, 26. 214 ‘Abd al-Ra’ūf, Sullam al-Mustafīdīn¸ h. 81-82. Oman Fathurahman, Katalog Naskah Dayah Tahoh Abee, 47. 215 ‘Abd al-Ra’ūf, ‘Umdat al-Muḥtājīn, 5-7. 216 Azra, Jaringan Ulama, 328. 217 Oman Fathurahman dan Munawar Holil, Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh, 37. Oman Fathurahman dkk, Katalog Naskah Dayah Tanoh Abee, 57-59.
63
tetapi penambahan hal-hal baru banyak ditemukan di dalamnya. Di permulaan kitab terlihat bahwa ‘Abd al-ṣamad menegaskan dan menjelaskan jati dirinya sebagai seorang Sunni Ash‘arīyah. Ia menyebutkan bahwa teologi yang dijelaskannya adalah akidah Ahl alSunnah wa-al-Jamā‘ah. 218 Selain itu, terdapat Muḥammad Arshad al-Banjārī> (1122-1227 H./1710-1812 M.) yang menulis kitab Sabīl al-Muhtadīn. Terdapat keambiguan beberapa penulis sejarah dalam menilai kitab ini. Azyumardi Azra, misalnya, mengira bahwa Arshad menulis kitab ini sebagai kitab fiqih, sehingga memperkuat asumsi bahwa tokoh Banjar ini adalah seorang ahli fiqih. 219 Asumsi ini akan menjadi benar jika maksudnya adalah Sabīl al-Muhtadīn li Tafaqquh fī al-Dīn. Tetapi akan menjadi sangat keliru jika kitab yang dimaksud adalah Sabīl al-Muhtadīn fī Ma‘rifat Uṣul al-Dīn yang berarti “Jalan orang yang mendapat petunjuk dalam mengenal pokok-pokok agama’ yang juga dikarang oleh Arshad. Judul kedua membicarakan tentang teologi Sunni, sehingga dapat dipastikan bahwa Arshad adalah seorang teolog, di samping juga terbukti sebagai seorang ahli fiqih. Arshad tidak pernah membicarakan di dalam kitab ini satu aspek pun mengenai hukum fiqih. Tetapi Azyumardi Azra benar ketika mengatakan bahwa Arshad juga seorang yang ahli tasawuf, tetapi bukan karena ada kitab Kanz al-Ma‘rifah sebagaimana diasumsikan Azyumardi Azra, karena karya ini masih diperdebatkan penisbahannya kepada Arshad. Tetapi sosok sufinya diperkuat karena Arshad pernah mempelajari tarekat Sammānīyah dari pendirinya. 220 Ini sudah menjadi keberuntungan tokoh-tokoh Nusantara, jika mereka dapat langsung belajar dari tokoh besar seperti Shaykh al-Sammān. Semasa dengan Arshad, tokoh Banjar lain semasa dengannya adalah Muḥammad Nafīs al-Banjārī>. Nafīs terlihat lebih kental dengan sosok kesufiannya. Namun ia tidak merasa keberatan sebagaimana tokoh lain untuk mengatakan sebagai pengikut Ash‘arīyah. Selain itu, meskipun ia mengemukakan tentang konsep wujūd yang sangat filosofis, tetapi Nafīs juga tidak merasa probematis ketika mengatakan bahwa tasawuf
218
‘Abd al-ṣamad al-Palimbani, Sayr al-Sālikīn, I/21. Muḥammad Arshad al-Banjārī, Sabīl al-Muhtadīn fī Ma‘rifat Uṣul al-Dīn manuskrip dikoleksi oleh Perpusnas ML 68, 1. Ditulis dalam katalog dengan judul yang keliru Tauhid dari al-Bukhari yang seharusnya Tauhid dari al-Banjārī, tetapi ini pun bukan judulnya sebagaimana telah disebutkan. 220 Azra, Jaringan Ulama, 316. 219
64
yang diikutinya adalah al-Junayd al-Baghdādī. 221 Karyanya yang masih bisa ditemukan sekarang adalah al-Durr al-Nafīs. Di dalamnya menjelaskan tahapan tauhid dalam dua perspektif; teologi Ash‘arīyah dan tasawuf. Terdapat tokoh lain yang kurang populer, seperti Muḥammad ‘Alī bin ‘Abd al-Rashīd al-Jāwī al-Qādī al-Sumbāwī. Ia menetap di Makkah tetapi tidak diketahui secara pasti kapan lahir dan wafatnya. Hanya diketahui bahwa ia menerjemahkan kitab al-Yawāqīt al-Jawa>hir karya al-Sha‘rānī. Ia memulai menulis terjemahan tersebut tahun 1243 tanpa menyebutkan bulannya. Ia menyelesaikan terjemahannya pada tahun yang sama yaitu, tanggal 18 Dhū al-Qa‘dah 1243. Ia menutup tulisannya dengan mendoakan siapapun yang menyalin dan membaca kitab tersebut dengan bertawassul. Ia mengatakan bi jāhi al-Nabī wa-ālihi wa-aṣḥābihi (dengan kemulian Nabi, keluarga dan sahabatnya). 222 Sebuah tradisi berdoa yang biasa dilakukan ulama Nusantara lainnya. Hal memperkuat asumsi bahwa ajaran Ibn Taymīyah dan Wahhabīyah tidak mempengaruhi tokoh ini. Setelah itu, muncul Dāwud bin ‘Abdullāh al-Faṭāni> yang diperkirakan Azyumardi Azra hidup di separuh terakhir abad kedelapanbelas dan separuh abad kesembilan belas (1153 H-1265/17401847 M.) memiliki berbagai karangan yang relevan dengan kajian ini. 223 Di antaranya, ia menulis Sullam al-Mubtadī fī Ma‘rifat ṭarīqat al-Muhtadī yang berkaitan dengan teologi Sunni dan hukum Islam. 224 Ia tergolong ulama tasawuf karena mempunyai geneologis spiritual kepada Shaykh Muḥammad bin ‘Abd al-Karīm al-Sammān, meskipun tidak langsung belajar kepadanya. 225 Selain itu, terdapat Muḥammad ṭayyib bin Mas‘ūd al-Banjārī yang tergolong tokoh ulama Nusantara abad kesembilan belas. Ia berasal dari Banjar Kalimantan Selatan, tetapi tidak banyak diketahui apakah ia mempunyai hubungan kerabat dengan Muḥammad Arshad al-Banjārī. Muḥammad ṭayyib menyebutkan bahwa ia selesai menulis kitab teologi Sunni yang berjudul Miftaḥ al-Jannah fī Bayān al-‘Aqīdah pada hari 221
Muḥammad Nafīs al-Banjārī, al-Durr al-Nafīs manuskrip dikoleksi oleh Perpusnas W. 32 berasal dari koleksi H. von de Wall, 2. 222 Muḥammad ‘Alī, [Tarjamah] al-Yawāqīt al-Jawa>hir >, (Singapura, Jeddah, dan Indonesia: al-ḥaramayn, t.t.), 2 dan 55. 223 Azra, Jaringan Ulama, 327. 224 Dāwud menulis teologi Sunni yang ia lihat sebagai fard}u ‘ayn, Dāwud bin ‘Abdullāh al-Faṭanī, Sullam al-Mubtadī fī Ma‘rifat ṭarīqat al-Muhtadī, (Singapura, Jeddah: al-Haramayn, t.t.), 3-5. 225 Azra, Jaringan Ulama, 327.
65
Senin 16 Syawwāl 1274 H/1859 M. 226 Ini menunjukkan bahwa ia menulis kitab ini 47 tahun setelah Arshad al-Banjāri> wafat. Ilyās Ya‘qūb alAzharī yang melakukan taṣḥīḥ terhadap kitab ini hanya menyebutkan bahwa Muḥammad ṭayyib dengan gelar al-‘A
66
Selain itu, Nawawī al-Bantānī juga menulis Kāshifat al-Sajā fī Sharḥ Safīnat al-Najā. Sebagaimana kitab al-Thimār al-Ya yang kelak menjadi pembaharu di kalangan ulama tradisionalis, dan Daḥlān al-Kadīri> yang produktif. ṣiddīq al-Banjārī terlihat sangat setia mengikuti tradisi pendahulunya seperti Arshad al-Banjārī> dan ṭayyib al-Banjārī yang menulis teologi dasar. ṣiddīq menulis tidak kurang dari dua karya teologis, seperti Fatḥ al-‘Alīm fī Tartīb al-Ta‘līm dan Risālah fī ‘Aqā’id 230
Nawawī al-Bantanī, Kāshifat al-Sajā, 123. Ismā‘īl al-Minangkabawī, Kifāyat al-Ghulām (Singapura dan Jeddah: alHaramayn, t.t.), 2. 231
67
al-Imān. 232 Pada dasarnya dua kitab ini membicarakan tema yang sama yaitu teologi Sunni, tetapi kitab yang pertama lebih luas dengan mengemukakan aspek keimanan eskatologi. 233 Ia juga sangat kental dengan metode teologis yang dikembangkan oleh al-Sanūsī. 234 Di samping itu, Hāshim Ash‘arī> menulis risalah yang berjudul Risalah Ahl al-Sunnah wa-al-Jamā‘ah. Ia menulis satu pasal di dalamnya mengenai teologi yang dianut oleh ulama Nusatara “ahl Jāwī”. Di dalamnya terlihat jelas penegasan bahwa mereka sepakat bahwa dalam uṣūl al-dīn menganut teologi Ash‘arīyah. Ia melihat bahwa baru pada awal tahun 1330 Hijrīyah mulai bermunculan golongan-golongan menyimpang, seperti gerakan salafīyūn dan pengikut Muḥammad ‘Abduh yang dipengaruhi oleh Ibn Taymīyah, Ibn al-Qayyim, Ibn ‘Abd al-Hādī, dan Mu}hammad bin ‘Abd al-Wahhāb. 235 Selain itu, ia juga mengritisi perkembangan golongan Ibāhīyūn yang memang telah ada sejak zamanzaman sebelumnya. Hāshim tidak mau menyebut mereka sebagai bagian dari tasawuf. 236 Tokoh semasa dengan ḥāshim Ash‘arī seperti Daḥlān al-Kadīri> juga masih mengikuti tradisi ulama Nusantara abad ke-19 dengan kuat. Karya Daḥlān al-Kadīrī yang berjudul Sirāj al-ṭālibīn juga dengan terus terang menunjukkan teologi Sunni Ash‘arīyah mengakar kuat di kalangan ulama Nusantara. 237 Walaupun ia wafat pada awal abad ke-20, tetapi Daḥlān termasuk tokoh yang beruntung karena masih bisa berinteraksi dengan ulama yang pernah belajar di ḥaramayn pada akhir abar ke-19. Daḥlān mempunyai metode yang sama dengan Nawawī al-Bantanī, yaitu menulis karya dalam bahasa Arab. Di dalam kitab ini ia melakukan kritikan terhadap Ibn al-Qayyim murid dari Ibn Taymīyah. Ini 232
Dua kitab ini diterbitkan oleh Maṭba‘ah Aḥmadīyah di Singapura tahun 1936
M. 233
‘Abd al-Raḥmān Siddīq al-Banjārī, Fatḥ al-‘Alīm fī Tartīb al-Ta‘līm (Singapura: Maṭba‘ah Aḥmadīyah, 1936), 75. Ia menyebutnya sebagai pelengkap kajian teologis “Takmilat fī Dhikr al-Jannah wa-al-Nār”. 234 Abd al-Raḥmān Siddīq al-Banjārī, Fatḥ al-‘Alīm, 4-9. Abd al-Raḥmān Siddīq al-Banjārī, Risālah fī ‘Aqā’id al-Imān (Singapura: Maṭba‘ah Aḥmadīyah, 1936), 30-31. 235 Hāshim Ash‘arī, Risalah Ahl al-Sunnah wa-al-Jamā‘ah (Jombang: alMaktabah al-Islāmī, t.t), 9; Ia juga mengritisi gerakan Wahhābīyah dalam kitab lain. Hāshim Ash‘arī, al-Nūr al-Mubīn (Jombang: al-Maktabah al-Islāmī, t.t), 72. 236 Hāshim Ash‘arī, Risalah, 11. Ibāhīyūn adalah golongan yang beranggapan bahwa hukum fiqih tidak berlaku lagi bagi seorang yang mencapai kejernihan jiwa. Ibn ‘Arabī, Ruh al-Quds, 67. 237 Nama lengkapnya adalah Iḥsān bin Mu}hammad Daḥlān al-Jampasī alKadīrī.
68
dikarenakan Ibn al-Qayyim mengritisi ungkapan-ungkapan esoteris sufi, tetapi pengritis ini –seperti dijelaskan Daḥlān tidak memahami konteks pembicaraan mereka. Suatu kalimat ‘ejekan’ yang dikemukakan Daḥlan adalah, “fa al-Ghazālī fī wād wa-al-munkir fi wād” (al-Ghazāli di suatu lembah, dan pengritisinya di lembah yang lain). Al-munkir dalam hal ini adalah Ibn al-Qayyim. 238 Tetapi tanpa disadari oleh Daḥlān, ditemukan ‘sedikit’ pengaruh Ibn Taymīyah di dalam karyanya ini. Ini terlihat dari ungkapannya bahwa orang kafir juga mengakui tauhid rubūbīyah sesuai dengan interpretasi Ibn Taymīyah terhadap beberapa ayat tertentu. 239 Namun, jika diamati Daḥlān tidak bermaksud sama sekali untuk mengikuti Ibn Taymīyah, apalagi ‘mengekor’ kepada paham Wahhābīyah. Ia hanya bermaksud untuk menyimpulkan penjelasan ‘Alī al-Qārī (1114 H.) seorang komentator al-Fiqh al-Akbar. Tetapi ia tidak menyadari bahwa ‘Alī alQārī sedikit terpengaruh oleh karya Ibn Abī al-‘Izz murid Ibn Taymīyah. Ibn Abī al-‘Izz menulis komentar terhadap al-‘Aqīdah al-ṭaḥāwīyah dengan prespektif lain. Ia memasukkan di dalamnya beberapa pemikiran al-Dārimī al-Qādī dan Ibn Taymīyah yang lebih cenderung kepada pemahaman tekstual. Selain itu, penolakan Daḥlān terhadap Ibn Taymīyah dan paham Wahhābīyah akan terlihat pada pembahasan tertentu. Terutama pada pembahasan mengenai kesucian Allah dari jihhat arah, kemaksuman para nabi, dan tawassul. 240 Dalam hal ini, Daḥlān al-Kadīri> terlihat banyak terinspirasi oleh karya-karya al-Sayyid Aḥmad Zaynī Daḥlan (1304 H./1886 M.) mufti di Makkah. Tokoh terakhir termasuk ulama yang paling gencar mengritisi paham Wahhābīyah. Beberapa karyanya terlihat menyerang Wahhābīyah dan pendirinya secara transparan. Ini terlihat dari kritikannya dalam kitab al-Durar al-Sunni>yah fī al-Raddi ‘alā al-Wahhabīyah. Judul dari kitab ini dengan jelas menunjukkan penolakannya terhadap ajaran Wahhābīyah. Aḥmad Zaynī Daḥlān menolak prasangka kelompok Wahhābīyah yang 238
Daḥlan al-Kadīrī, Sirāj al-ṭalibīn (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), I/27-32. Kitab ini diterbitkan kembali oleh penerbit al-ḥaramayn di Surabaya dengan sedikit ralat. Ini dikarenakan pada cetakan Dār al-Fikr disebutkan bahwa kitab ini dikarang oleh Shaykh Aḥmad Zaynī Daḥlan seorang mufti Shāfi‘īyah di Makkah. Padahal pengarangnya adalah Daḥlan dari Kediri Jawa Timur. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa penjelasan dari Daḥlan al-Kadīrī yang menukil perkataan Shaykh Aḥmad Zaynī Daḥlan mengenai masalah tawassul. Daḥlān al-Kadīri>, Sirāj al-ṭālibīn, 466. 239 Daḥlan ak-Kadīrī, Sirāj al-ṭālibīn, I/110. ‘Alī al-Qārī, Sharḥ} al-Fiqh alAkbar (Beirut: Dār al-Kutub al-Islāmīyah, 2007), 22. Ibn Abī al-‘Izz, Sharḥ} al-‘Aqīdah al-ṭahāwīyah, 29. 240 Daḥlān al-Kadīri>, Sirāj al-ṭalibīn, I/156 dan 464-467.
69
mengharamkan bertawassul. Ini dikarenakan mereka menuduh umat Islam yang bertawassul meminta sesuatu kepada selain Allah. Justru, ungkap Aḥmad, bahwa bertawassul pada hakikatnya hanya meminta kepada Allah. Ketika ada di antara ulama Wahhābīyah beralasan bahwa pengharaman tawassul bertujuan untuk sadd al-dharī‘ah, maka sikap meluruskan paham yang harus dilakukan adalah mengajarkan orang yang bertawassul agar tidak melafazkan kalimat yang keliru. 241 Selain itu, pengaruh dari karya al-ḥabīb ‘Alawī bin Aḥmad keturunan ketiga dari al-ḥabīb ‘Abdullāh al-ḥaddād juga terlihat dari karya Daḥlān al-Kadīri>. ‘Alawī menulis kritikannya terhadap ajaran Wahhābīyah dalam kitab Miṣbāḥ al-Anām wa-Jilā’ al-ẓalām fī Radd Shubah al-Bid‘ī al-Najdī. Dua kata terakhir dimaksudkan kepada nama Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb al-Najdī pendiri gerakan Wahhābīyah. ‘Alawī menulis kitab ini karena melihat dampak negatif dari gerakan Wahhābīyah di beberapa wilayah Arab, seperti negeri Oman (buldān ‘Ummān). 242 ‘Alawī lebih cenderung berusaha ‘membunuh’ karakter Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb dan gerakannya. Di samping itu, masih terdapat banyak karya-karya ulama pada abad ke 17 sampai 19 yang tidak dikenal saat ini. Bahkan tidak jarang nama para penulis tersebut tidak disebutkan dalam sejarah Islam. Ini bukan berarti kesalahan ahli sejarah, tetapi memang akses dan penelitian serius terhadap naskah-naskah yang memuat pikiran mereka masih kurang dilakukan. Beberapa kitab yang berkaitan dengan teologi sesuai dengan penelitian ini akan dikemukakan pada bagian ini. Hal ini terlihat kitab Durr al-Nāẓirah Tanabbuhan li durr alFakhirah yang ditulis oleh Sirāj al-Dīn bin Jalāl al-Dīn 243 dan kitab 241
Aḥmad Zaynī Daḥlān, al-Durar al-Sunni>yah fī al-Raddi ‘alá alWahhabīyah (Kairo: t.t.), 10. Belakangan kitab ini diterbitkan kembali dengan editan yang rapi oleh al-Maktabah al-ḥaqīqah atau Hakekat Kitabevi di Istanbul Turki. Aḥmad Zaynī Daḥlān, al-Durar al-Sunnīyah fī al-Raddi ‘alá al-Wahhabīyah (Istanbul: alMaktabah al-ḥaqīqah, 2002), 16-17. Daḥlān al-Kadīri>, Sirāj al-ṭalibīn, I/464-467. Selain Dahlān al-Kadirī, Hāshim Ash‘arī> juga mempunyai jalur geneologis keguruan kepada Zaynī Daḥlān dalam periwayatan al-Jāmi‘ al-ṣaḥīḥ karya al-Bukhārī. Hāshim Ash‘arī, “Sanad ṣaḥ}īḥ al-Bukhāri” dalam ‘Iṣām al-Dīm (ed.al.), Ishad al-Sārī fī Jam‘i Muṣannafāt al-Shaykh Hāshim Ash‘arī (Jombang: al-Maktabah al-Islāmī, t.t), 6. 242 al-ḥabīb ‘Alawī bin Aḥmad, Miṣbāḥ al-Anām wa Jilā’ al-ẓalām fī Radd Shubah al-Bid‘ī al-Najdī, (Kairo: al-Maṭba‘ah al-‘A<mirah al-Sharqīyah, t.t.), 1. 243 Sirāj al-Dīn bin Jalāl al-Dīn, Durr al-Nāẓirah Tanabbuhan li Durr alFakhirah, (Naskah Perpusnas: ML 340). Di dalam Daftar Sementara Naskah-Naskah Perpustakaan Nasional: 20 Mei 1993 (Jakarta: Perpusnas, 1993), disebutkan dengan judul Ad-Durah an-Nazirah dan Akidah bi Miftah al-Aka'id, tentu saja ini penamaan yang keliru karena judul kitab ini sebagaimana disebutkan pengarang adalah Durr al-
70
Ma‘rifat al-Dīn wa-al-Īmān dengan pengarang anonim. Tidak banyak yang bisa ditelusuri dari riwayat hidup pengarang kitab pertama, apalagi yang kedua. Tetapi dapat dipastikan bahwa Sirāj al-Dīn bermukim di Aceh ketika menulis kitab tersebut. Ini sebagaimana dikemukakannya sendiri bahwa risalah tersebut ditulis dengan bahasa Jawi (Melayu) Aceh. Adapun judul kedua besar kemungkinan kitab ini berasal dari Makasar, namun tidak dapat dipastikan siapa pengarangnya. Ada isyarat bahwa kitab ini bersumber dari Muḥammad Jaylanī. Sama halnya dengan kitab Durr al-Nāẓirah, kitab ini tidak dikarang karena permintaan siapa pun. Terlihat dari pengantar pengarang bahwa ia menulis kitab ini karena terinspirasi oleh hadis yang menyebutkan tanya jawab Jibril dan Nabi Muḥammad. Tanya jawab tersebut berkisar kepada penjelasan tentang islam, iman, dan ihsan. 244 Berdasarkan kenyataan ini, maka ada dua indikasi yang terlihat dari sikap ulama tasawuf Nusantara tempo dulu dalam memandang korelasi antara teologi dan tasawuf. Apabila memperhatikan karya-karya ulama Aceh seperti ‘Abd al-Ra’ūf, maka terlihat bahwa tasawuf adalah bagian dari teologi. Atau dalam ungkapan lain, tasawuf merupakan hasil dari penyelaman yang mendalam terhadap teologi. Adapun indikasi kedua, sebagian mereka berpandangan bahwa teologi adalah prinsip dasar dalam mengontrol perkembangan spiritual, sehingga tidak semua orang harus mempelajari tasawuf. Namun, diharuskan bagi setiap orang yang mau belajar tasawuf untuk mempelajari teologi terlebih dahulu. Indikasi ini telihat dari karya-karya mereka yang disebutkan sebelumnya. B. Materi Teologi dalam Naskah Nusantara Objek pembicaraan teologis yang dikemukakan tokoh-tokoh Nusantara tidak terlepas dari tema-tema yang dikaji oleh teolog Sunni Timur Tengah klasik. Secara umum terlihat bahwa pengaruh sistematika teologi al-Sanūsī dan al-Nasafī justru lebih menonjol daripada konsep Abū al-ḥasan al-Ash‘arī> atau pun Abū Manṣūr al-Māturīdī. Ini akan disadari ketika materi dalam karya-karya ulama Nusantara lebih Nazirah Tanabbuhan li Durr al-Fakhirah. kitab ini selesai disalin pada waktu Dhuha hari Sabtu. Tetapi sayang sekali, penyalin atau pangarang tidak menyebutkan tahun penulisan. Besar kemungkinan kitab ini berasal dari abad ke-18. Sirāj al-Dīn, Durr alNāẓirah, 1v. 244 Ma‘rifat al-Imān wa-al-Islām, Perpusnas ML 383, 84r. Pengarang mengatakan, "Kemudian dari itu, maka inilah suatu risalah ku namai akan dia Pengenal Agama dan Iman...(teks berbahasa Arab), bermula dikarena bahwasannya datang Jibrail kepada Rasulullah Saw pada hal yaitu menanyai ia akan Rasulullah Saw daripada Islam..."
71
cenderung kepada pembagian sifat nafsīyah, salbīyah, ma‘ānī, dan sistematika lain yang berkaitan dengannya. Tetapi juga tidak sedikit mereka yang mengorelasikannya dengan konsep kesufian. Dalam hal ini, terlihat dari al-Ranīrī menulisi beberapa kitab tersebut dengan Durr al-Farāid} bi Sharḥ} al-‘Aqā‘id. Sesuai dengan judulnya, kitab ini merupakan komentar (Sharḥ}) terhadap kitab Sharḥ} al-Aqā’id karya Sa‘d al-Dīn. Al-Ranīrī menulis kitab ini dengan bahasa Melayu agar mudah dipahami oleh khalayak umum. Disebutkan bahwa naskah ini disalin pada tahun 1045 H./1635 M. oleh Lebai Rahim. 245 Ini mengindikasikan bahwa naskah disalin pada masa al-Ranīrī masih di Aceh, karena ia wafat pada tahun 1658 M - yaitu 23 tahun sebelum ia wafat atau 9 tahun sebelum ia meninggalkan Aceh tahun 1054 H. 246 Hal yang sama juga dilakukan oleh ‘Abd al-Ra’ūf al-Jāwī yang mengritisi Hamzah dan Shams al-Dīn berdasarkan teologi Sunni. Tentu saja ini menjadi problematis, karena mereka sepakat dalam menyatakan sebagai pengikut teologi Sunni, tetapi sebagian mereka menentang keras sebagian yang lain. Adapun ‘Abd al-Ra’ūf menjadikan teologi bagi pemula tersebut sebagai pijakan untuk menjalani ajaran kesufian. Ini terlihat dari kitab ‘Umdat al-Muḥtājīn dan Sullam al-Mustafīdīn yang sangat setia menerapkan teologi Sunni. Ia mulai dengan membicarakan sifat dua puluh yang wājib dan mustaḥīl, jā’iz sebagaimana dikembangkan oleh alSanūsī. Ini tampak dari penukilannya terhadap perkataan al-Sanusi dalam kitab tersebut. Sebagaimana al-Sanūsī, ia menyebutkan bahwa pengetahuan sifat-sifat Allah tercakup dalam kalimat lā ilāh illá Allāh. 247 Namun, ‘Abd al-Ra’ūf tampaknya tidak mau kajian akidah tersebut
245
Kitab ini pernah dikatalogisasi pertama kali pada tahun 1992 dengan nomor 46/NKT/YPAH/1992. Pada tahun 2005, kitab ini dikatalogisasi lagi oleh Oman Fathurahman dan Munawar Holil dengan nomor 55D/TH/19/YPAH/2005. Selain itu, terdapat naskah lain yang sama dengan nomor 144/TH/20/YPAH/2005. Oman Fathurahman dan Munawar Holil, Katalog Naskah Ali Hasjmi Aceh, (Jakarta: Manassa, PPIM, C-DATS, TUFS, 2007), 53-54. 246 Takeshi Ito menduga berdasarkan informasi dari laporan penulis-penulis Belanda bahwa-al-Ranīrī meninggalkan Aceh pada tahun 1054 dikarenakan kalah berdebat dengan Sayf al-Rijāl. Sayf al-Rijāl masih menjadi tokoh misterius yang belum banyak diungkapkan dan dikaji. Dalam dugaan sementara, ia adalah ilmuwan yang berasal dari Minangkabau. Artikel Takeshi Ito, Why Did Nuruddin ar-Raniri Leave Aceh in 1054 A.H.?, artikel ini diakses dari http://www.kitlv-jounals.nl. 247 ‘Abd al-Ra’ūf, ‘Umdat al-Muḥtājīn, 2.
72
kering dari nuansa spiritual. Oleh karena itu, ia mencoba mengemukakan rahasia dan faedah dari kalimah tauhid tersebut. 248 Hal yang sama juga dikemukakan Sirāj al-Dīn dalam Durr alNāẓirah. Sirāj al-Dīn lebih memfokuskan kajian terhadap hal-hal yang wajib, mustahil, dan jā'iz pada Allah teologis, tanpa menyinggung aspek tasawuf sebagaimana ‘Abd al-Ra’ūf. Penulisan kitab ini tidak disebabkan permintaan murid atau penguasa sebagaimana biasa menjadi inspirasi bagi banyak penulis. Nūr al-Dīn al-Ranīrī, misalnya, setelah menjabat Shaykh al-Islām di Aceh lebih sering menulis kitab karena permintaan penguasa atau karena permintaan murid-muridnya yang berhadapan dengan penganut Wujūdīyah. Inilah kelebihan dari kitab Durr al-Nāẓirah, Sirāj al-Dīn memang ingin mengemukakan apa yang ia pahami dari kitab Durrah al-Fākhirah agar bisa dipahami oleh orang Melayu dengan harapan Allah akan melimpahkan keridaan kepadanya. 249 Memang tradisi meringkas dan mengomentari kitab-kitab matan menjadi tradisi para ulama pada masa ini. Berdasarkan hal tersebut, Sirāj al-Dīn memutuskan untuk menulis kitab ini dengan bahasa Melayu, kecuali dalam menyebutkan hal-hal yang inti. Hal ini terlihat ketika ia menukil kaidah dalam teologi “al-wājib mā lā yutashawwar ‘adamuhu" (wajib dalam teologi adalah sesuatu yang tidak tergambarkan dalam pikiran ketiadaannya). 250 Pembacaan terhadap kitab ini membutuhkan pemahaman bahasa Arab yang baik, karena pengarang sering menggunakan kata serapan dari bahasa Arab. Ini terlihat dari ungkapannya bahwa dalam kajian teologi harus diketahui tafrīq (perbedaan) antara wajib, mustahil, dan jā'iz. 251 Sebagaimana kecenderungan ulama Nusantara lainnya, Sirāj alDīn tampak tidak lepas dari pengaruh kajian teologi Sunni yang menerapkan keyakinan berdasarkan pengenalan sifat dua puluh. Namun ada perbedaan Sirāj al-Dīn dengan al-Sanūsī yang telah berhasil mempopulerkan kajian sifat dua puluh. Apabila diperhatikan metode alSanūsī dalam memaparkan kaidah teologi, maka ia terlihat sangat terpaku pada natījah (kesimpulan) Aristotelian. Berbeda dengan Sirāj al-Dīn yang 248
‘Abd al-Ra’ūf, ‘Umdat al-Muḥtājīn, 5-7. ‘Abd al-Ra’ūf, Sullam alMustafīdīn manuskrip koleksi YPAH 11B, 64-65. Kitab ini merupakan komentar dan terjemahan salah satu dari karya teologis al-Qushāshī. 249 Sirāj al-Dīn, Durr al-Nāẓirah, 1r-1v. 250 Sirāj al-Dīn, Durr al-Nāẓirah, 1v. Ia menyebutkan, "Maka tergerak di dalam hatiku untuk menta'lifkan dan menterjemahkan suatu risalat[h] mukhtaṣar dengan bahasa Jawi Āsyī (Aceh), sekira-kira pendapat akalnya dan pahamnya." 251 Sirāj al-Dīn, Durr al-Nāẓirah, ia menyebutkan "Hendaklah diketahui akan tafrīq tiap-tiap...”
73
selalu berusaha mengaitkannya dengan dalil-dalil al-Qur'an. Ia berangkat dari ayat: "Katakanlah hai Muḥammad, lihatlah apa-apa yang di langit dan di bumi" dalam menjelaskan bahwa memang Allah mempunyai duapuluh sifat wajib. Tetapi ayat ini diterjemahkan oleh Sirāj al-Dīn dengan lebih luas, bahwa dengan memperhatikan langit dan bumi maka akan mengantarkan kepada pengenalan zat Allah yang wājib al-wujūd.252 Kitab ini dengan jelas menunjukkan kecenderungannya kepada akidah Sunni Ash‘arīyah dengan menukil dan menyebutkan pemikiran Abū alHasan al-Asy‘arī. 253 Terlepas dari hal tesebut, harus diakui bahwa sebagian naskah di Nusantara sangat berkaitan dengan tauhid. Hal ini menyebabkan kebanyakan pembahasan dalam teks-teks tasawuf dimulai dengan menjelaskan ajaran teologi Sunni. Tampaknya ulama yang menjadi pengarang atau penyalin pada masa lalu merasa keberatan untuk memisahkan dua konteks tersebut kecuali ketika menulis kitab tauhid untuk kalangan awam. Ini sebagaimana dilakukan oleh Arshad al-Banjārī ketika menulis kitab Sabīl al-Muhtadīn. Kitab tersebut bertujuan untuk menjelaskan tauhid bagi kalangan awam yang dianggap pemula (mubtadi’) saja. 254 Ketika tokoh-tokoh lain menyebutkan kewajiban seorang muslim adalah mengetahui sifat-sifat yang wajib, mustahil, dan jā’iz secara langsung, maka Arshad mengungkapkan dengan pendahuluan yang lebih mendasar. Ia mengatakan bahwa kewajiban seorang seorang muslim yang telah berakal dan baligh baik laki dan perempuan adalah memahami makna dua kalimat syahadat. Ia mengatakan bahwa pemahaman tersebut akan menghasilkan “i‘tiqad yang putus tiada shakk ẓann wahm”, yang ditambahi oleh ṭayyib bahwa keyakinan tersebut harus ‘muwāfaqah dengan [yang] sebenarnya’. 255 Ini berbeda dengan Ismā‘īl alMinangkabawī yang langsung mengungkapkan empat hal yang membuat syahadat dianggap benar. Ismā‘īl menyebutkan bahwa keimanan menjadi sah dengan pengetahuan, dilafazkan di lidah (iqrār), dibenarkan di hati (taṣdīq), dan diamalkan oleh anggota tubuh. Tetapi ia tidak berhenti di sana, Ismā‘īl meneruskan bahwa rukun syahadat ada empat hal, yaitu
252
Sirāj al-Dīn, Durr al-Nāẓirah, 2r. Sirāj al-Dīn, Durr al-Nāẓirah, 4v. 254 Arshad al-Banjārī>, Sabīl al-Muhtadīn, 24. 255 Arshad al-Banjārī>, Sabīl al-Muhtadīn, 3. ṭayyib al-Banjārī, Miftaḥ alJannah fī Bayān al-‘Aqīdah, 6. 253
74
menetapkan (ithbāt) keberadaan zat Allah, menetapkan sifat sifat-Nya, menetapkan af‘āl-Nya, dan menetapkan kebenaran Nabi Saw. 256 Dalam hal ini, ‘Abd al-Raḥmān ṣiddīq -generasi penerus setelah Arshad dan ṭayyib al-Banjārī- tidak memulai kajian teologinya dengan menjelaskan pengertian sifat-sifat dua puluh. Tetapi ia memulai dengan mengemukakan pembagian hukum ‘aqlī. Siddīq mempunyai konsep yang lebih sistematis dari dua pendahulunya tersebut. Ini terlihat dari sistematikannya yang lebih teratur. Bahkan, ia mencoba memisahkan penjelasan argumentatif yang bersifat rasional dan tekstual. 257 Adapun pemaknaan terhadap syahadat, baru ia jelaskan setelah selesai mengemukakan dalil-dalil rasional dan tekstual dari sifat-sifat Allah. Ia menyebutkan bahwa implikasi dari kalimat tauhid adalah menegasikan semua tuhan kecuali hanya kepada Allah. 258 Hal menarik dari penjelasan ṣiddīq adalah kesimpulannya terhadap objek kajian teologi di akhir pembahasan. Ia mengatakan bahwa objek pembahasan teologi hanya tiga macam, ilāhīyāt (ketuhanan), nabawīyāt (kenabian), dan sam‘īyāt (tekstual dalil naqli). 259 Adapun pengarang Ma‘rifat al-Dīn wa-al-Īmān yang anonim juga mengemukakan penjelasan mengenai makna syahadat –pembahasan yang tidak ditemui dalam karya sebelumnya- dengan penjelasan rinci. Disebutkan bahwa syahadat berarti pengenalan dan pernyataan yang tidak diselubungi oleh keraguan terhadap keesaan Allah. Pengarang juga menjelaskan tentang rukun syahadat yang terdiri empat hal. Pertama, menetapkan (ithbāt) zat Allah Yang Qadīm, kekal, dan berdiri sendiri dengan kemutlakan-Nya. Kedua, menetapkan sifat Allah. Sebagaimana dalam kebanyakan kitab teologi Sunni, meyakini sifat Allah berarti meyakini sifat-sifat yang wajib, mustahil, dan jā'iz. 260 Ketiga, menetapkan 256
Ismā‘īl, Kifayat al-Ghulām, 1. ‘Abd al-Raḥmān ṣiddīq, Fatḥ al-‘Alīm, 10. Ia menyebutkan pasal tersendiri dengan judul “Fī al-Dilālah al-Naqlīyah ‘alá al-‘Aqā’id al-Madhkūrah”. 258 ‘Abd al-Raḥmān ṣiddīq, Fatḥ al-‘Alīm, 49. 259 Ia mengatakan,“Pertama, ilāhīyāt yaitu mas’alah yang dibahaskan padanya daripada barangyang wajib bagi Allah subhānahu wa ta‘ālā dan barang yang mustahil atasnya dan barang yang harus [atau jā’iz] padanya. Kedua, nabawīyāt yaitu mas’alah yang dibahaskan padanya daripada barangyang wajib bagi pesuruh Allah bagi mereka itu dan barang yang mustahil atas mereka itu dan barang yang harus pada mereka itu. Ketiga, sam‘īyāt yaitu segala mas’alah yang tiada dipertemui ia melainkan daripada pendengaran dan tiada diketahui yang demikian itu melainkan daripada jalan wahyu kepada pesuruh Allah.” ‘Abd al-Raḥmān ṣiddīq, Fatḥ al-‘Alīm, 61. 260 Ma‘rifat al-Islam, 96r. Pengarang tampak dipengaruhi kuat oleh dialeg lokal dalam menyebutkan kata serap dalam bahasa Arab. Ini terlihat dari penyebutan ithbāt 257
75
af‘āl Allah. Pengaran kitab ini menjelaskan bahwa penetapan terhadap af‘āl Allah adalah dengan meyakini dalam hati bahwa Dia berbuat segalanya dengan kekuasaan-Nya sendiri. Adapun keempat berkaitan dengan penetapan kepercayaan kepada rasul. 261 Adapun mengenai hukum untuk bersyahadat, dari aspek akidah syahadat dinilai sebagai sebuah kewajiban (fard}). Pengarang menegaskan bahwa syahadat diwajibkan baik bagi laki-laki maupun perempuan, dengan kriteria mereka telah berakal, baligh. Kecenderungan kepada Asya‘arīyah bukan kepada Maturidīyah terlihat dari penjelasan pengarang yang menyebutkan cara melaksanakan syahadat. Ia mengatakan bahwa syahadat dilafazkan dengan lidah, dibenarkan oleh hati (menyinggahkan dengan hati), dan diamalkan oleh anggota badan. 262 Kembali ke Arshad, ia berpandangan bahwa pengetahuan tentang hukum aqlī, syar‘ī, ‘ādī dan sifat-sifat Allah yang wajib, mustahil, jā’iz merupakan usaha konkrit untuk mengenal makna dua kalimat syahadat. Hal yang sama juga dilakukan oleh Muḥammad ṭayyib al-Banjārī ketika menulis Miftaḥ al-Jannah fī Bayān al-‘Aqīdah. 263 Perbedaannya terletak pada penjelasan ṭayyib yang secara jujur mengemukakan bahwa karyanya merupakan saduran dari Umm al-Barāhīn karya al-Sanūsī dan beberapa kitab lain yang memberikan Sharḥ} terhadapnya. 264 Namun, baik Arshad maupun ṭayyib, mereka terlihat memang terinsiprasi oleh al-Sanūsī, sehingga tidak heran jika objek yang dikaji tidak berbeda sama sekali. Inilah yang membedakan mereka dengan Ismā‘il yang tidak hanya terpaku pada al-Sanūsī. 265 Di samping itu, terdapat ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī menegaskan teologi yang ia anut adalah Ahl al-Sunnah wa-al-Jamā‘ah. Bahkan secara eksplisit ia mengatakan keharusan mempelajari teologi Sunni berdasarkan ajaran Ash‘arīyah dan ṣūfīyah. 266 Ia juga mengemukakan kewajiban seorang Muslim –sebagaimana tokoh lain- untuk mengenal sifat wājib, mustaḥīl, dan jā’iz. Ia memberikan kategorisasi yang sistematis dalam mempelajari teologi Sunni sesuai dengan apa yang dikemukakan almenjadi isbat. Penjelasan mengenai sifat wajib, mustahil, dan jā'iz dikemukakan pada kajian lanjutan, Mafrifat al-Islam, 100v. 261 Ma‘rifat al-Islam, 98r. 262 Ma‘rifat al-Islam, 100r. 263 Arshad al-Banjārī>, Sabīl al-Muhtadīn, 3. ṭayyib al-Banjārī, Miftaḥ alJannah fī Bayān al-‘Aqīdah, 4-6. 264 ṭayyib al-Banjārī, Miftaḥ al-Jannah fī Bayān al-‘Aqīdah, 3 265 Ismā‘īil, Kifayat al-Ghulām, 2. 266 ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī, Sayr al-Sālikīn, (Beirut: Dār al-Kutub al‘Ilmīyah, t.th.), v. 1 h. 21.
76
Ghazālī di dalam Iḥyā’. 267 Di akhir kitab Sayr al-Sālikīn, ‘Abd al-ṣamad menyebutkan identitasnya sebagai seorang sufi yang mengikuti fiqih alSyāfi‘ī dan menganut teologi ‘Ash‘arīyah. 268 Ini menunjukkan bahwa dalam kerangka pemikiran ‘Abd al-ṣamad tidak ada masalah kontradiktif antara teologi Sunni yang ia anut dengan aspek kesufian yang ia dalami. Bahkan kerangka pemikiran ini akan terlihat lebih jelas lagi ketika ia menulis Zād al-Muttaqīn –sebagaimana akan dikemukakan pada bab selanjutnya-. Hal ini juga tidak berbeda dengan Shihāb al-Dīn al-Palimbānī269 yang juga berasal dari Palembang. Ia menerjemahkan dan mengomentari kitab al-Risālah karya Shaykh Ruslān al-Dimashqī. 270 Shihāb al-Dīn keberatan jika seorang pemula dalam teologi dan tasawuf membaca kitabkitab yang bernuansa filosofis. Besar kemungkinan, ia bermaksud kitab tersebut adalah Tuḥfat al-Mursalah karya Muḥammad bin Fad}lullāh alBurhānpūri>. Ini dikarenakan membaca karangan mereka akan menyebabkan kesalahan pemahaman karena perbedaan term-term yang digunakan. 271 Shihāb al-Dīn menegaskan bahwa kewajiban seorang awam yang mukallaf terlebih dahulu adalah mengetahui ilmu uṣūl al-dīn. Ia menyebut ilmu tersebut dengan ilmu tauhid kepada Allah. Kedua, mengetahui ilmu fiqh agar ibadah menjadi sah. Ketiga ilmu tasawuf berdasarkan ilmu tauhid. Ia merujuk kepada kitab Jawharat al-Tawḥīd karangan alSanusi. 272 Shihāb al-Dīn memberikan tiga kategori pembagian tauhid, yaitu dhātī, ṣifātī, dan af‘ālī. Adapun dhātī merupakan tahap tauhid ketika P26 F
P
P267F
P
P268F
P269F
P
P
P270F
P271F
267
‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī, Sayr al-Sālikīn, v. 1 h. 21-24. ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī, Sayr al-Sālikīn, v. 1 h. 276. 269 Drewes menyebutnya sebagai the Palembang theologian (teolog dari Palembang). Tidak banyak informasi mengenai hidupnya, tetapi Drewes memperkirakan Shihāb al-Dīn hidup sekitar tahun 1750-an. Shihāb al-Dīn menulis kitab al-Risālah yang berisi ajaran tentang tauhid yang diterapkan ke ranah tasawuf. Oleh karena itu, Shihāb al-Dīn tidak hanya teolog, tetapi juga seorang sufi ulung. 270 Kitab ini juga diberikan komentar oleh ‘Abd al-Ghanī al-Nabulīsī dengan judul Khamrah Ilḥān dikoleksi oleh Tokyo University, yang sebelumnya diperoleh dari Daiber Collection no. 70. 271 Ia mengatakan bahwa “Maka sebab itulah baiklah berwasiat jumhur ahli ilmu al-tauhid dengan menegahkan [melarang] ia akan orang yang mubtadi lagi awam dengan mutala‘ah ia akan kitab ahl wahdat al-wujud, yakni kitab martabat tujuh yang masyhur di dalam negeri Jawi, dan melihat kitab ahli salik agar tidak tergelincir i‘tiqad orang yang awam. Shihāb al-Dīn, al-Risālah, 5. Disunting oleh Drewes, Directions for Travellers on the Mystism Path, 90. 272 Shihāb al-Dīn, al-Risalah, 9, Drewes, Directions, 92. 268
77
seorang hamba merasa sadar bahwa ia diciptakan oleh Allah. Adapun tauhid si}fātī merupakan tahapan ketika seorang hamba merasa bahwa Allah yang menjadikan hidupnya. Sebagaimana sebelumnya, ia menegaskan bahwa inilah makna ungkapan tahlil pada konteks ini. Adapun tauhid af‘ālī adalah keyakinan seorang hamba bahwa Allah telah menciptakan perbuatannya. Ia menegaskan bahwa apabila keyakinan berdasarkan tiga kategori tersebut terlupakan oleh seseorang, maka ia akan terjebak kepada syirik khafī (tersembunyi). 273 Penegasan tersebut mengindikasikan bahwa Shihāb al-Dīn sangat ketat menjaga kemurnian teologi. Hal ini ia mulai dari tingkatan dasar, yaitu kalangan awam atau pemula. Secara bertahap Shihāb al-Dīn mengantarkan pembacanya kepada tauhid ahli sufi dengan menerapkan tiga konsep tersebut pada kehidupan nyata. Ia mengutip ungkapan sufi-sufi terdahulu bahwa tiga tauhid tersebut bisa dipahami dari perkataan, “Tidaklah aku melihat alam melainkan aku melihat Allah sebelumnya”, “Tidaklah aku melihat alam melainkan aku melihat Allah di dalamnya”, dan “Tidaklah aku melihat alam melainkan aku melihat Allah setelahnya”. Shihāb al-Dīn tidak sepakat dengan opini bahwa seorang sufi yang telah sampai ke hadirat Allah, maka kewajiban syariat menjadi gugur darinya. Malah ia menegaskan bahwa siapa saja yang berpikiran demikian, maka terjebak kepada kekufuran. Bahkan ia tidak keberatan untuk mengutuk ungkapan demikian. 274 Shihāb al-Dīn terlihat sangat teguh memegang teologi Sunni, sehingga ia sungkan untuk menyerang aliran teologi lain. Ia melarang seorang sālik untuk menganut teologi yang menyimpang. Kelompok yang menyimpang, menurut Shihāb al-Dīn, adalah Mu‘tazilah, filsafat, dan Qadarīyah, bahkan semua firqah selain Sunni. 275 Sejalan dengan ini, materi teologi yang kemukakan al-Nawāwī terlihat lebih cenderung kepada perdebatan murni. Ini terlihat dari ungkapannya mengenai pertanyaan-pertanyaan yang dianggap penting dalam ajaran Wahhābīyah, seperti dimana Allah dan lainnya, maka Nawawī Bantani mencoba menegasikannya. Ia mengatakan bahwa seseorang akan mencapai kesempurnaan iman dengan meninggalkan empat kata tanya; pertanyaan ayn (dimana Allah), kayf (bagaimana), matā (kapan), dan kam (berapa). Apabila ada yang bertanya dimana Allah?, Nawawī menyarankan agar dijawab bahwa Allah ada tanpa 273
Shihāb al-Dīn, al-Risalah, 10, Drewes, Directions, 92 Shihāb al-Dīn, al-Risālah, 15, Drewes, Directions, 92 . 275 Shihāb al-Dīn, al-Risālah, 21, Drewes, Directions, 97. 274
78
membutuhkan tempat dan tidak berlaku baginya masa. Ketika ada yang bertanya bagaimana Allah, ia mengatakan bahwa “Tidak ada yang serupa dengan-Nya’. Ketika ditanyakan kapan Allah ada, maka ia mengatakan bahwa Allah ada tanpa permulaan dan kekal tanpa akhir. 276 Walaupun tidak secara langsung ia mengatakan dua pertanyaan pertama berasal dari Wahhābīyah, tetapi terlihat bahwa al-Nawāwi menyindir ajaran mereka. Ini dikarenakan terdapat sebuah hadis yang menjadi pokok dasar keimanan dalam Wahhabīyah. Hadis tersebut populer dengan sebutan hadis jāriyah (budak perempuan). Ketika perempuan tersebut ditanya “ayn Allāh?” (dimana Allah?) maka ia menjawab fī al-samā’ (di langit). Hadis ini menjadi pertanyaan prinsipil dalam ajaran Wahhābīyah untuk menilai kesempurnaan iman seseorang. 277 Terlepas dari permasalahan tersebut, Nawawī juga dikenal sebagai sufi, sehingga karya-karyanya sering dihiasi ungkapan-ungkapan tasawuf. Berkaitan dengan hal ini, ia menyebutkan hierarki iman menjadi lima tingkatan. Pertama iman taqlīd, yang berarti meyakini sesuatu yang dikatakan orang lain tanpa mengetahui argumennya. Ia menilai bahwa seseorang yang beriman dengan taqlīd tergolong berdosa karena melakukan usaha rasional, padahal orang tersebut mempunyai kemampuan dan potensi. Kedua iman ilmu, yang berarti keyakinan berdasarkan pengetahuan terhadap dalil-dalilnya. Nawawī mengatakan bahwa tingkatan kedua ini disebut juga dengan ‘ilm al-yaqīn. Ketiga iman ‘ayyān, yang berarti keimanan yang telah disertai dengan murāqabah 276
Nawawī al-Bantanī, Kāshifat al-Sajā, 9. Mālik bin Anas, al-Muwaṭṭa’ pada Kitāb al-‘Itq wa-al-Walā’, no. 1269. Muslim bin al-ḥajjāj, ṣaḥīh Muslim pada Kitāb al-Masājid (Beirut: Dār al-Fikr, 1992), I/242. Abū Dāwud, Sunan Abū Dāwud (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), kitāb al-ṣalah no. 930 h. 222-223. Hadis ini memang kuat secara zahir sanad, tetapi terdapat id}ṭrāb (kontradiktif) pada sanad dan matannya. Malik meriwayatkannya dari sahabat yang bernama ‘Umar bin al-ḥakam. Muslim dan dua riwayat oleh Abū Dāwud diriwayatkan dari Mu‘āwiyah bin al-ḥakam. Abū Dāwud menambahkan riwayat lain dari sahabat alSyarīd. Adapun kontradiksi di dalam matan, maka ditemukan sebagian riwayat yang diriwayatkan oleh tiga ahli hadis tersebut dengan redaksi atashhadīna an lā Ilāha illá Allāh? (apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah) bukan Ayn Allāh?. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hadis yang mud}ṭarib adalah d}a‘ì>f. Berikut ini adalah hadis jāriyah versi Mālik. 277
ُ ﺣَ ﱠﺩ َﺛﻧِﻲ ﻣَﺎﻟِﻙ َﻋﻥْ ﻫ َِﻼ ِﻝ ﺑ ُ ْﻥ ﺍ ْﻟﺣَ َﻛ ِﻡ ﺃَ ﱠﻧ ُﻪ َﻗﺎ َﻝ ﺃَ َﺗﻳ ْﺕ ﺭَ ﺳُﻭ َﻝ ِ َﺎﺭ َﻋﻥْ ُﻋﻣَﺭَ ﺑ ٍ ْﻥ َﻳﺳ ِ ْﻥ ﺃﺳَﺎ َﻣ َﺔ َﻋﻥْ َﻋ َﻁﺎ ِء ﺑ ِ ﱠ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ً ُ ُ ْ ْ ﺟﺋﺗﻬَﺎ َﻭ َﻗ ْﺩ ﻓﻘِ َﺩ ْ ﺎﺭﻳَﺔ ﻟِﻲ َﻛﺎ َﻧ ُ ﷲ ُ َﻋﻠَ ْﻳ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻡ َﻓﻘُ ْﻠ ْﺕ َﺷﺎﺓٌ ﻣِﻥ ﻥﱠ ﺇ ﷲ ﻝ ُﻭ ﺕ ﻳَﺎ ﺭَ ﺳ َﺟ ِ َ َ ﷲ ِﱠ ِ ﺕ َﺗﺭْ ﻋَﻰ َﻏ َﻧﻣًﺎ ﻟِﻲ َﻓ ِ ِ ُ َ َ ﱢ َ َ ٌ ُ ﺕ ﻣِﻥْ َﺑﻧِﻲ ﺁ َﺩ َﻡ َﻓﻠَ َﻁ ْﻣ ُ ﺕ َﻋﻠَ ْﻳﻬَﺎ َﻭ ُﻛ ْﻧ ُ ﺕ ﺃ َﻛﻠَﻬَﺎ ﺍﻟﺫ ْﺋﺏُ َﻓﺄﺳِ ْﻔ ْ َﺍ ْﻟ َﻐ َﻧ ِﻡ َﻓﺳَﺄ ْﻟ ُﺗﻬَﺎ َﻋ ْﻧﻬَﺎ َﻓ َﻘﺎﻟ ﺕ َﻭﺟْ َﻬﻬَﺎ َﻭ َﻋﻠَﻲﱠ ﺭَ َﻗﺑَﺔ ﺃ َﻓﺄﻋْ ﺗِﻘُﻬَﺎ ﷲ ُ َﻋﻠَ ْﻳ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻡ ﺃَ ْﻳﻥَ ﱠ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ْ َﺕ ﻓِﻲ ﺍﻟ ﱠﺳﻣَﺎ ِء َﻓ َﻘﺎ َﻝ َﻣﻥْ ﺃَ َﻧﺎ َﻓ َﻘﺎﻟ ْ َﷲ ُ َﻓ َﻘﺎﻟ ﷲ َﻓ َﻘﺎ َﻝ ِ ﺕ ﺃَ ْﻧﺕَ ﺭَ ﺳُﻭ ُﻝ ﱠ َ ﷲ ِ َﻓ َﻘﺎ َﻝ ﻟَﻬَﺎ ﺭَ ﺳُﻭ ُﻝ ﱠ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ﷲ ُ َﻋﻠَ ْﻳ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻡ ﺃَﻋْ ﺗِ ْﻘﻬَﺎ َ ﷲ ِ ﺭَ ﺳُﻭ ُﻝ ﱠ 79
dalam hatinya setiap saat. Ini dinamakan dengan ‘ayn al-yaqīn. Keempat iman ḥaqq, yang berarti keimanan yang disertai dengan penyaksian terhadap Allah pada setiap sudut di alam semesta. Ini disebut dengan ḥaqq al-yaqīn. Kelima iman ḥaqīqah yang berarti keimanan yang disertai dengan fanā’ diri dan alam semesta, sehingga tidak menyaksikan kecuali kepada-Nya. Tetapi Nawawī mengingatkan bahwa kewajiban seorang Muslim hanyalah sampai taraf kedua, meskipun taraf ini masih terhijab dari zat Allah. Adapun tiga tingkat terakhir adalah anugerah dari Allah kepada orang tertentu yang justru terhijab dari makhluk. 278 Ada dua indikasi yang terlihat dari sikap ulama tasawuf Nusantara tempo dulu dalam memandang korelasi antara teologi dan tasawuf. Apabila memperhatikan karya-karya ulama Aceh seperti ‘Abd al-Ra’ūf, maka terlihat bahwa tasawuf adalah bagian dari teologi. Atau dalam ungkapan lain, tasawuf merupakan hasil dari penyelaman yang mendalam terhadap teologi. Adapun indikasi kedua, sebagian mereka berpandangan bahwa teologi adalah prinsip dasar dalam mengontrol perkembangan spiritual, sehingga tidak semua orang harus mempelajari tasawuf. Namun, diharuskan bagi setiap orang yang mau belajar tasawuf untuk mempelajari teologi terlebih dahulu. Indikasi ini telihat dari karya-karya mereka yang disebutkan sebelumnya. C. Pengaruh Teologi Sunni “Versi” al-Sanūsī; Kajian terhadap Naskah Islam Buton Bagian ini akan memperlihatkan kecenderungan teologi Sunni dalam naskah yang ditemukan di Buton. Pembicaraan khusus untuk naskah Buton dipandang sangat perlu, karena kajian naskah yang serius untuk sementara ini –ketika kajian ini ditulis- masih banyak terfokus kepada temuan yang terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan (Bugis). Padahal di belahan timur Indonesia masih banyak situs-situs yang menyimpan naskah. Ini terlihat dari warisan intelektual di Buton. Dalam konteks ini, teologi Sunni sangat kental dalam naskah-naskah yang terdapat dalam keraton Buton, walaupun kesultanan ini sangat kental dengan ajaran martabat tujuh. Ini kelak akan memperkuat asumsi bahwa ulama tasawuf Nusantara tidak merasa ‘bertentangan’ dengan teologi Sunni. Hampir saja karya-karya teologi dan tasawuf yang pernah ditulis di Buton tersebut terabaikan. Ini mungkin masih tergolong wajar bagi sebagian orang, tetapi itu bukanlah hal yang adil. Ketika karya-karya 278
Nawawī, Kāshifat al-Sajā, 9.
80
ulama Nusantara dari Sumatera sering disebutkan, tetapi karya ulama Buton yang juga menakjubkan malah jarang dikaji. Bukanlah hal yang aneh jika disebutkan Tanbīh al-Māsyī karya ‘Abd al-Ra’ūf, begitu juga tidak asing jika disebut Sayr al-Sālikīn karya ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī. Namun akan asing jika disebutkan Hadīyat al-Bashīr karya Muḥammad ‘Aydrūs. Ia seorang teolog, sufi sekaligus sultan di kesultanan Buton. Secara intelektual, dapat dikatakan bahwa kejayaan tertinggi di kesultanan Buton adalah pada masa Muḥammad ‘Aydrūs yang bergelar Sultan Qā'im al-Dīn I. Tidak diketahui pasti pada tahun berapa ia lahir. Tetapi yang jelas adalah masa pemerintahan ‘Aydrūs adalah antara 18241851 M. atau selama 27 tahun. Ia adalah seorang penguasa yang cinta ilmu. Hal ini membuat kepercayaan pihak kesultanan bertambah kepada ‘Aydrūs. Berbeda dengan sultan sebelumnya, ‘Aydrūs tidak diturunkan dari jabatannya sebagaimana Sultan Muḥammad Anhār al-Dīn yang hanya memerintah selama setahun, yaitu dari tahun 1822-1823 M. Terlepas dari hal tersebut, pembicaraan khusus mengenai ‘Aydrūs dengan pendekatan filologi memang hal yang mutlaq. Ini dikarenakan ‘Aydrūs mempunyai keunikan dibandingkan ulama Nusantara lain lain yang pernah ada. Selain seorang sultan ia, adalah teolog dan sufi yang ulung. Pembuktian hal ini tentu tidak cukup dengan pernyataan begitu saja. Namun penulusuran karya-karya ‘Aydrūs adalah jalan satu-satunya. Ketika pertama kali pembacaan teks dilakukan, setiap pembaca yang kritis tentu akan curiga bahwa sangat sulit seorang non-Arab mampu menulis dengan bahasa Arab fasih dan tata bahasa yang bagus. Namun inilah kenyataan dari seorang ‘Aydrūs, ia seakan-akan bukan seorang Melayu, tetapi sufi dari negeri Arab. Kecurigaan negatif tersebut akan hilang ketika anak dari ‘Aydrūs –yaitu Muḥammad ṣālih} Sultan Qā'im al-Dīn II- menyinggung sedikit mengenai sosok ayahnya dalam teks Ibtidā' Sayr al-‘Ārifiin Ilā Allāh ilā Intihā’ Sirr al-Wāqifīn fī Allāh. Keterangan ṣāliḥ merupakan satu-satunya informasi mengenai kejeniusan ayahnya. 279 Selain itu, faktor lain yang memungkinkan hal itu adalah Muḥammad ṣālih}, Ibtidā' Sayr al-‘Ārifīn Ilá Allāh ilá Intihā’ Sirr alWāqifīn fī Allāh, 3r. Naskah ini telah didokumentasikan dalam bentuk microfilm rol ke2, Perpusnas no. 161/PN/M/97. Teks ini mempunyai banyak kemiripan dengan karya Ibn ‘Arabi> yang berjudul al-Anwār fī mā Yamnaḥu ṣāḥib al-Khalwah min al-Asrār. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan ṣāliḥ memang mengambil atau hanya menyalin dari karya Ibn ‘Arabī. ṣaliḥ sendiri mengatakan bahwa ia menulis kitab ini hanya berdasarkan ‘sesuatu’ yang telah diijazahkan oleh al-Shaykh al-muḥ{aqqiq al-akbar kepada murid-muridnya. Orang tersebut tidak lain adalah al-Shaykh al-Akbar Ibn ‘Arabī. Muḥammad ṣāliḥ, Ibtidā' Sayr, 3v. Ibn ‘Arabī, al-Anwār fī mā Yamnaḥu ṣāḥib al279
81
arabisasi yang kuat dalam kraton kesultanan Buton, baik kraton sebagai pusat pemerintahan maupun sebagai pusat pendidikan. Berdasarkan pertimbangan ini, bisa saja ‘Aydrūs berpikir tidak perlu untuk menerjemahkan kitab-kitab yang berbahasa Arab ke bahasa lokal. Kehebatan ‘Aydrūs dapat dilihat dari penuturan ṣālih} yang juga belajar kepada orang nomor pertama di Buton ini. Ia mengatakan bahwa ayahnya adalah tokoh yang menjadi guru spiritualnya (bāb futūḥī) sekaligus tokoh intelektual produktif. Ia menyebutkan bahwa ‘Aydrūs mempunyai karya yang banyak dengan ungkapan, shāḥib al-tashānif wa ta'ālīf.280 Ia menyebut ‘Aydrūs dengan gelar lain, yaitu sebagai orang yang ahli dalam menyucikan jiwa dan mengenalkan kepada jalan spiritual. Bahkan sebagaimana para murid sufi dalam tradisi Arab menyebut gurunya sebagai al-‘Ārif billāh al-Quddūs Shaykh Muḥammad ‘Aydrūs. Dilihat dari gaya bahasa dan tata bahasa yang digunakan, terkesan bahwa ṣāliḥ juga menguasai bahasa Arab, bahkan ia mumpuni dalam menggunakan ungkapan sastra dalam tersebut, meskipun ada beberapa kejanggalan. 281 Memang di dalam tradisi keilmuan Islam, yang paling mengerti kualitas keilmuan dan spiritual seorang guru adalah muridnya yang telah mencapai maqam yang sama atau mendekati. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa kitab tersebut ditulis berdasarkan ijazah spritiual yang diberikan oleh ‘Aydrūs kepadanya. 282 Tidak terlihat pengaruh ajaran Wahhābīyah dalam karya mereka berdua. Ini sebagaimana terlihat dari karya teologi ‘Aydrūs yang cendrung kepada Sunni Ash‘arīyah. Selain itu, ṣālih} juga dengan terangterangan mengungkapkan doa tawassul dan tabarruk. Dua hal yang sangat dilarang dalam ajaran Wahhābīyah. ṣāliḥ, misalnya, mengungkapkan bahwa karya-karyanya adalah karena keberkahan ayahnya, ‘Aydrūs. Oleh karena itu, ia berdoa agar Allah mengangkat derajat spiritual ayahnya dengan bertawassul kepada Nabi Muḥammad. 283
Khalwah min al-Asrār tahqiq: ‘Abd al-Raḥmān ḥasan Maḥmūd (Kairo: ‘A
ﻓﻛﺗﺑﺗﻪ ﻭﻟﻭ ﻟﺳﺕ ﻣﻥ ﺃﻫﻠﻪ ﻣﻌﺗﻣﺩﺍ ﻋﻠﻰ ﺑﺭﻛﺔ ﻭﺍﻟﺩﻱ ﻭﺳﻳﺩﻱ ﻭﺳﻧﺩﻱ ﻭﻣﺭﺷﺩﻱ ﻭﺷﻳﺧﻲ ﻭﺑﺎﺏ ﻓﺗﻭﺣﻲ ﺻﺎﺣﺏ ﺍﻟﺗﺄﻟﻳﻑ ﻭﺍﻟﺗﺻﻧﻳﻑ ﻭﺍﻟﻧﻧﻅﻳﻑ ﻭﺍﻟﺗﻌﺭﻳﻑ ﺇﻟﻰ ﻁﺭﻳﻕ ﺍﻟﻠﻁﻳﻑ ﺍﻟﻌﺎﺭﻑ ہﻠﻟ .ﺍﻟﻣﻠﻙ ﺍﻟﻘﺩﻭﺱ ﺍﻟﺷﻳﺦ ﺍﻟﻌﻳﺩﺭﻭﺱ 282 283
Muḥammad ṣālih}, Ibtidā' Sayr, 3v. Muḥammad ṣālih}, Ibtidā' Sayr, 3v.
82
Namun sayang, kejayaan keilmuan tersebut semakin memudar dengan melemahnya pemerintahan kesultanan Buton setelah ‘Aydrūs dan ṣālih}. Hal ini terlihat dari karya-karya setelah mereka yang sangat lemah dalam penguasaan bahasa Arab dan rujukan keilmuan yang kurang otoritatif. Tetapi, kemunduran tersebut memang tidak bersifat parsial. Ini dikarenakan hampir terjadi secara regional di wilayah Nusantara. Hasil karya ‘Aydrūs bisa menepis anggapan Snouck Hurgronje yang menilai bahwa karya kebanyakan ulama –dalam hal ini Aceh dijadikan contohdalam bahasa Melayu. Snouck menambahkan bahwa kitab berbahasa Melayu tersebut diolah dari sumber Arab yang biasanya hanya pendahuluan, penutup, dan beberapa keterangan yang merupakan "karya pengarang". Adapun selebihnya adalah terjemahan. 284 Justru kenyataan yang ditemukan di Buton adalah sebaliknya. Hanya sedikit ditemukan karya ‘Aydrūs yang bersifat terjemahan. Ini dikarenakan hampir semua karya mereka menggunakan bahasa Arab dan bersifat otoritatif. Berikut ini, akan diulas beberapa karya ‘Aydrūs yang relevan dengan kajian ini. ‘Aydrūs menulis beberapa karya mengenai teologi, seperti Hadīyat al-Bashīr fi Ma‘rifat al-Qadīr. 285 Kitab ini menjelaskan teologi Sunni yang telah baku sebagaimana dikembangkan oleh al-Sanūsī. ‘Aydrūs memulai dengan menyebutkan bahwa Allah sebagai zat wājib alwujūd yang memiliki semua kesempurnaan dan maha suci dari segala kekurangan. 286 Apabila al-Sanūsī mengatakan bahwa hal-hal yang wajib 284
C. Snouck Hurgronje, Aceh; Rakyat dan Adat Istiadatnya Jilid II, trans. Sutan Maimoen (Jakarta: INIS, 1997), 5. 285 Naskah terdapat dalam mikrofilm Perpusnas RI no. 58, 129/Arab/19/62 koleksi Faoka Zahari, terdiri dari 24 halaman, 19 baris setiap halaman. Keterangan yang ditulis di dalam mikrofilm dalam menyebutkan judul tampak terdapat kesalahan. Tertulis “Hadīyatul Basyru fiy Ma‘rifatul Qadim”, sedangkan di dalam naskah tertulis Hadīyat al-Bashīr fī Ma‘rifat al-Qadīr. 286 Muḥammad ‘Aydrūs, Hadīyat al-Bashīr fī Ma‘rifat al-Qadīr, 1v. ‘Aydrūs mengatakan:
ﺍﻋﻠﻡ ﻳﺎ ﺃﺧﻲ ﺃﺭﺷﺩﻧﻰ ﷲ ﻭﺇﻳﺎﻙ ﺃﻥ ﺫﺍﺕ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻲ ﻭﺍﺟﺏ ﺍﻟﻭﺟﻭﺩ ﺍﻟﺟﺎﻣﻊ ﻟﻛﻝ ﻛﻣﺎﻝ ﺍﻟﻣﻧﺯﻩ ﻋﻥ ﻛﻝ ﻧﻘﺹ
‘Abd al-ṣamad juga pernah mengungkapkan sebelum al-‘Aydrūs ungkapan yang semakna dalam bahasa Melayu. Ia menyebutkan, “Ketahui olehmu bawasa[n]nya wajib atas tiap-tiap orang yang ‘aqil baligh itu mengetahui ia keadaan zat Allah ta‘ālā dan segala sifat-Nya dan af‘al-Nya. Bermula keadaan zat Allah ta‘ālā bahwasa[n]nya wajib kita i‘tiqadkan akan keadaan Allah ta‘ālā itu zat wājib al-wujūd yang mustahiq bagi segala sifat kemalāt dan maha suci Ia dari sifat kekurangan.” ‘Abd al-ṣamad, Sayr al-Sālikīn, 21. Ia juga mengatakan, “Allah ta‘ālā itu mempunyai segala sifat kemuliaan dan kesempurnaan, dan tiada diperhingga[k]an, dan yang mempunyai alam jabarūt yaitu alam asmā’ dan sifat”. ‘Abd al-ṣamad, Sayr al-Sālikīn, 24.
83
pada Mawlānā ada dua puluh sifat, maka ‘Aydrūs mengatakan hal yang wajib pada Haaq dengan jumlah yang sama. 287 Karya lain seperti Tanqīyat al-Qulūb fī Ma‘rifat ‘Alām al-Ghuyūb dengan berbahasa Arab juga berkaitan dengan teologi. ‘Aydrūs menegaskan bahwa kitab tersebut bertujuan untuk membedakan ahli bidah dan Ahl al-Sunnah. Namun ada aspek lain dari kitab ini adalah mengaitkan kajian teologi dengan permasalahan kesultanan dan kerakyatan. Suatu hal yang menarik dari sultan sekaligus ulama ketika menyertakan unsur ketaatan politik di dalam kitab akidah. 288 Di dalam kitab ini, ‘Aydrūs sebagaimana ulama Nusantara lain tampak cenderung kepada akidah Ahl al-Sunnah dengan aliran kalam Ash‘arīyah. Hal ini terlihat dari kajian yang ia kemukakan dengan memulai kajian terhadap sifat wājib, mustaḥīl dan jā’iz bagi Allah dan bagi rasul. 289 Kembali kepada teks Hadīyat al-Bashīr, terlihat bahwa ‘Aydrūs tidak terpaku kepada teks al-Sanūsī yang sangat sederhana. Ia berusaha untuk mempermudah dengan memberikan pendahuluan dalam membagi dua puluh sifat Allah. Ia menyebutkan bahwa dua puluh sifat tersebut terbagi kepada empat kategori. Pertama sifat nafsīyah yaitu sifat wujūd. Kedua, sifat salbīyah yang terdiri dari enam sifat, yaitu qidam, baqā’, mukhālafatuhu li al-ḥawādits, qiyāmuhu bi nafsihi, dan waḥdānīyah. Adapun al-Sanūsī memberikan nama pada dua kategori tersebut setelah menyebutkan enam sifat. Selain itu, ditambah dengan tujuh sifat ma‘ānī dan tujuh sifat ma‘ānawīyah. 290 ‘Aydrūs terlihat tidak berbeda dengan al-Sanūsī dalam menjelaskan ta‘alluq (kolerasi) pada sifat-sifat ma‘ānī. Ia menyebutkan P289F
P
287
Al-Sanūsī, ‘Aqīdah al-Sanūsīyah, (Surabaya: Maktabah Muḥammad bin Aḥmad Nabhān), 15. Muḥammad ‘Aydrūs, Hadīyat al-Bashīr, 1v. Al-Sanūsī berkata:
◌ِ Adapun ‘Aydrūs menyebutkan:
ﻓﻣﺎ ﻳﺟﺏ ﻟﻣﻭﻻﻧﺎ ﺟﻝ ﻭﻋﺯ ﻋﺷﺭﻭﻥ ﺻﻔﺔ ﻓﻣﺎ ﻳﺟﺏ ﻓﻲ ﺣﻘﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﺷﺭﻭﻥ ﺻﻔﺔ
288
‘Aydrūs, Tanqīyat al-Qulub fi Ma‘rifat ‘Allām al-Ghuyūb, Mikrofilm Perpusnas no. 158 , 2. Pada deskripsi tertulis nama naskah “Allamul Ghuyub”, tetapi setelah dibaca lebih lanjut judulnya lumayan panjang sebagaimana dituliskan di atas. 289 ‘Aydrūs, Tanqīyat al-Qulūb, 2-4. 290 ‘Aydrūs, Hadīyat al-Bashīr, 1v. Al-Sanūsī, ‘Aqīdah, 19. ‘Aydrūs mengatakan:
.ﻭﻫﻲ ﻋﻠﻰ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﻗﺳﺎﻡ ﻭﻫﻲ ﻧﻔﺳﻳﺔ ﻭﺳﻠﺑﻳﺔ ﻭﻣﻌﺎﻧﻲ ﻭﻣﻌﺎﻧﻭﻳﺔ
Al-Sanūsī mengatakan:
.ﻓﻬﺫﻩ ﺳﺕ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻷﻭﻟﻲ ﻧﻔﺳﻳﺔ ﻭﻫﻲ ﺍﻟﻭﺟﻭﺩ ﻭﺍﻟﺧﻣﺳﺔ ﺑﻌﺩﻫﺎ ﺳﻠﺑﻳﺔ 84
bahwa sifat ‘ilm 291 (ilmu) dan kalām berkaitan dengan semua hal yang bersifat wājibāt, 292 mustaḥīlāt, dan jā’izāt. 293 Di dalam Umm al-Barāhīn al-Sanūsī menjelaskan bahwa ilmu Allah yang berkaitan dengan tiga hal tersebut bukan berarti bahwa Allah mengetahui sesuatu tanpa membutuhkan usaha untuk mencari tahu dan membuktikannya. Ini dikarenakan ilmu Allah bersifat azali dan abadi. 294 Al-Juwaynī (478 H.) menjelaskan bahwa ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan terhadap sesuatu sesuai dengan kenyataannya. Al-Juwaynī mengemukakan bahwa ilmu terbagi dua, ilmu qadīm (tidak berawal) dan ḥādith (baru). Ilmu qadīm hanya dimiliki Allah, karena berkaitan dengan semua ma‘lūmāt (objek yang diketahui) yang tidak terhingga. Namun al-Juwaynī mengingatkan bahwa cakupan ilmu Allah tersebut tidaklah bersifat d}arūrī dan kasabī. Adapun ilmu ḥādith terbagi kepada d}arūrī, badīhī, dan kasabī. 295 Dalam hal ini, tokoh sufi seperti Ibn ‘Arabī>> juga menjelaskan bahwa Allah Maha Tahu terhadap segala sesuatu. Tidak terdapat perubahan pada ilmu Allah dengan perubahan yang terjadi objek yang diketahui. Selain itu, Ibn ‘Arabī juga menjelaskan bahwa ilmu Allah meliputi kullīyāt (universal) dan juz'īyāt (partikular). 296 Ungkapan ini sangat berkaitan erat dengan sikap al-Ghazālī yang menentang keras al-Farābī dan Ibn Sīnā yang menyebutkan bahwa ilmu Allah hanya berkaitan dengan kullīyāt saja. 297 291
Al-Bayjūrī seorang pensyarah al-‘Aqīdah al-Sanūsīyah menjelaskan bahwa sifat ilmu merupakan sifat yang terdapat pada zat Allah. Kaitan sifat ini dengan segala sesuatu adalah iḥaṭah yang berarti Allah mengetahui segala sesuatu dengan keadaan sebenarnya. Pengetahuan-Nya bersifat tetap, karena tidak didahului ketidaktahuan sebelumnya. Al-Bayjūrī, ḥāshiyah al-Bayjūri>, (Surabaya: Maktabah Muḥammad bin Ahmad bin Nabhān, tth.), 21. 292 Ungkapan wājibāt dikembalikan kepada makna wajib ‘aqlī, yaitu sesuatu yang tidak terpikirkan oleh akal ketiadaannya. Dalam ungkapan lain ini bisa dikatakan sesuatu yang pasti ada. Begitu juga mustaḥīl adalah sesuatu yang tidak terpikirkan oleh akal keberadaannya. Adapun jā’iz sesuatu yang dapat dipikirkan oleh akal keberadaan dan ketiadaannya. Al-Dasūqī, ḥāshiyah al-Dāsūqī, (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), 31. alSanūsī, Umm al-Barāhin, (Surabaya: al-Hidayah, t.th.), 31-32. 293 ‘Aydrūs, Hadīyat al-Bashīr, 2r. 294 al-Sanūsī, Umm al-Barāhin, 108. 295 Al-Juwaynī, al-Irshād, 10. D}arūrī berarti ilmu yang tidak diusahakan penemuannya, namun ketidaktahuan terhadapnya menyebabkan suatu kemudaratan. Badīhī mempunyai arti sama dengan d}arūrī, tetapi tidak disertai kemudaratan dan hajat. Kasabī berarti ilmu yang diperoleh berdasarkan kemampuan seseorang untuk memeperolehnya. Al-Juwaynī, al-Irshād, 11. 296 Ibn ‘Arabī, al-Futūhāt, v. 1 h. 63. 297 Al-Ghazālî, Tahāfut al-Falāsifah ed. Dr. Sulaymān Dunyá, (Mesir: Dār alMa‘ārif, 1972), 306.
85
Ini berbeda dengan sifat qudrat 298 dan irādah 299 yang hanya berkaitan dengan mumkināt (hal-hal yang mungkin terjadi). Hal yang tergolong mumkināt terdiri empat macam, pertama mumkin wajada wa intafā (sesuatu yang mungkin terjadi tetapi telah berlalu dan tiada) seperti Nabi Adam. Kedua, mumkin mawjūd (mungkin terjadi saat ini) seperti keberadaan manusia dan makhluk lain di dunia saat ini. Ketiga, mumkin sa yūjad (mungkin akan terjadi) seperti Hari Kebangkitan. Keempat, mumkin ‘ilm al-bidāyat la yūjad (mungkin terjadi tetapi tidak pernah ada) seperti keberadān lautan dari yāqūt. Namun, ‘Aydrūs menyebutkan bahwa walaupun tidak pernah ada, jika Allah menginginkannya maka sangat mungkin terjadi. 300 Ungkapan ini menunjukkan bukan berasal dari alSanūsī, namun ‘Aydrūs terlihat berusaha mensistematiskan hal-hal yang berkaitan dengan topik tersebut. Ibn ‘Arabī> juga berbicara tentang irādah atau maShī‘ah, dengan mengemukakan ungkapan "Mā syā'a kāna, wa mā lam yashā’ an yakūna lam yakun" (apa pun yang Dia kehendaki niscaya terwujūd, dan sedangkan apa pun yang tidak dikehendaki-Nya niscaya tidak terwujud). 301 Dalam hal ini, ‘Aydrūs menjelaskan bahwa Allah berkehendak untuk menciptakan kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan, serta keimanan dan kekufuran. Namun, ia mencoba menepis anggapan Mu‘tazilah bahwa Allah hanya berkehendak terhadap hal yang baik saja. ‘Aydrūs menolak anggapan tersebut dengan mengatakan bahwa tidak ada suatu keniscayaan dari kehendak (irādah) Allah dengan perintah (amr). Hal ini berarti bahwa Allah menginginkan ada keimanan dan kekufuran, tetapi tidak memerintahkan kecuali keimanan. Mengenai hal tersebut, Ibn ‘Arabī juga menyinggung bahwa segala kebaikan dan keburukan memang terjadi sesuai dengan kehendak Allah yang azali. Ia menegaskan bahwa pada hakikatnya tidak ada yang berkehendak di alam semesta selain Allah. 302 ‘Aydrūs menyebutkan bahwa ada kaitan keumuman dan kekhususan antara irādah dan amr. Ia membagi beberapa permasalahan antara dua hal ini menjadi empat bagian. Pertama, terkadang Allah memerintahkan dan menginginkannya sekaligus seperti keimanan para P297F
P29F
P
P298F
P
P
P30 F
P
P301F
298
P
Al-Bayjūrī menjelaskan bahwa qudrah berarti sifat Wujūdīyah yang berkaitan dengan ījād (pengadaan) sesuatu yang mumkin atau meniadakannya. AlBayjūrī, ḥāshiyah al-Bayjūri>, 20. 299 Al-Bayjūrī menjelaskan bahwa irādah berarti sifat Wujūdīyah yang berkaitan dengan mengkhususkan sesuatu yang mumkin menjadi sesuatu yang boleh terjadi baginya. Al-Bayjūrī, ḥāshiyah al-Bayjūri>, 20. 300 ‘Aydrūs, Hadīyat al-Bashīr, 2r. 301 Ibn ‘Arabī, al-Futūhāt, v. 1 h. 63. 302 Ibn ‘Arabī, al-Futūhāt, v. 1 h. 63.
86
nabi. Kedua, terkadang tidak memerintahkan dan tidak menginginkan, seperti kekufuran di kalangan para nabi. Ketiga, terkadang memerintahkan tetapi tidak menginginkannya, seperti Abū Jahl yang diperintahkan beriman tetapi Allah tidak menginginkan keimanan untuknya. Keempat, terkadang menginginkan tetapi tidak memerintahkan, seperti hal-hal yang haram. Allah menginginkan keberadaan hal yang diharamkan, tetapi Dia tidak memerintahkannya. 303 Dalam hal ini, alSyahrastānī juga pernah menepis anggapan sebagian Mu‘tazilah bahwa apabila Allah menginginkan keburukan maka Dia akan disifati oleh keburukan. Hal ini yang menyebabkan Mu‘tazilah menolak bahwa Allah menghendaki keburukan, tetapi Dia hanya menginginkan kebaikan selalu. Al-Syahrastānī menegaskan bahwa rasionalisasi Mu‘tazilah tidaklah tepat, karena Allah menginginkan ketaatan tetapi Dia tidak disifati sebagai muṭī‘ (orang yang taat), menginginkan salat tetapi Dia bukan orang yang salat, dan bisa diterapkan kepada semua kehendak Allah yang lain. 304 Di samping itu, ‘Aydrūs mempunyai perbedaan penjelasan dengan al-Bayjūri> yang memberikan komentar terhadap karya al-Sanūsī. Al-Bayjūrī hanya menyebutkan bahwa mumkināt berarti sesuatu yang kemungkinan keberadaan dan ketiadaannya sama. 305 Namun mereka sepakat dalam mengatakan bahwa sifat sama‘ dan bashar berkaitan dengan semua mawjūdāt, baik sesuatu yang bersifat qadīm maupun ḥādith. Berbeda dengan sifat ḥayat yang tidak berkaitan dengan sesuatu pun. 306 Dalam konteks yang sama, Ibn ‘Arabī> menyebutkan bahwa sifat samā‘ Allah tidak dihijab oleh jarak yang jauh, karena Dia Maha Dekat, sebaliknya walaupun bersifat Maha Ghaib, sifat bashar Allah tidak terhalang oleh benda. 307 Dalam masalah kalām, al-Sanūsi menegaskan bahwa kalām-Nya tidak berhuruf dan bersuara. Al-Bayjūrī menjelaskan ungkapan al-Sanūsī bahwa kalām Allah bersifat qadīm, sehingga mustahil berhuruf dan bersuara. Ini dikarenakan huruf dan suara meniscayakan permulaan (taqdīm) dan pengakhiran (ta’khīr) suatu kata. Dua keniscayaan tersebut merupakan sifat makhluk yang mustahil disifatkan kepada Allah. 308 ‘Aydrūs tidak membahas dengan terperinci tentang hakikat sifat kalām 303
‘Aydrūs, Hadīyat al-Bashīr, 2v. Al-Syahrastānī, Nihāyat al-Aqdām fī ‘Ilm al-Kalām, 85. 305 Al-Bayjūrī, ḥāshiyah, 13 dan 21. Ibn Sab‘īn, Sharḥ} Risālat al-‘Ahd, 119. 306 ‘Aydrūs, Hadīyat al-Bashīr, 2r. Al-Sanūsī, al-‘Aqidah, 22. 307 Ibn ‘Arabī, al-Futūhāt, v. 1 h. 63. 308 Al-Sanūsī, al-‘Aqidah, 22. Al-Bayjūri, ḥāshiyah, 22. 304
87
pada pembahasan sifat ma‘ānī. Tampaknya, ia merasa cukup dengan mengatakan bahwa kalām Allah bersifat qadīm. Tetapi ia mengemukakan pembicaraan mengenai ini pada pembahasan khusus tentang keimanan kepada Kitab Suci. Ia menyebutkan bahwa kalam Allah itu azali dan berdiri pada zat-Nya. Oleh karena itu, kalam-Nya tidak terdiri dari huruf, suara, permulaan (taqdīm), pengakhiran (ta’khīr), jeda, tajwīd, lantunan (laḥn), perubahan akhir baris kata (i‘rāb), pengerasan suara (jahr), dan pengecilan suara (sirr). 309 Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibn ‘Arabī> (638 H.) yang ikut menjelaskan bahwa kalām Allah bersifat qadīm azali sebagaimana sifatNya yang lain. Ia menegaskan bahwa Allah berdialog dengan Nabi Mūsā dengan kalām qadīm. Bahkan, sifat kalām-Nya yang disebut dengan alQur'an, Zabur, Taurat, dan Injil tanpa menggunakan huruf, suara, lantunan, dan bahasa. Ini dikarenakan Allahlah yang menciptakan semua huruf, suara, lantunan, dan bahasa. 310 Dalam menjelaskan hal yang jā’iz pada sifat Allah, maka ‘Aydrūs menjelaskan bahwa segala sesuatu yang mungkin terjadi atau tidak dijadikan, termasuk kepada hal yang jā‘iz bagi Allah. Ia menyontohkannya dengan beberapa hal, Allah boleh memberikan pahala dan siksa kepada siapa pun yang dikehendakinya dan pengutusan nabi dan rasul. 311 Al-Sanūsī mempunyai penjelasan yang menarik dan kontroversial dalam hal ini sebagaimana dianut oleh semua pengikut ‘Ash‘arīyah. Ia menjelaskan bahwa salah satu hal yang jā’iz secara rasional (aqlī) bagi Allah adalah kebolehan menyiksa orang yang beriman dan taat dan memberi kesenangan orang yang durhaka di akhirat. AlSanūsī menekankan bahwa hal ini dari aspek rasionalitas bukan syariat. Allah mempunyai hal mutlak dalam keesaan-Nya. Al-Sanūsi menegaskan bahwa segala sesuatu adalah kreasi-Nya, sehingga Dia tidak mungkin didikte oleh siapa pun. Oleh karena itu, seandainya Dia menginginkan azab bagi yang beriman dan kesenangan bagi yang durhaka maka tidak ada yang menghalangi-Nya. 312 Penegasan serupa juga ditemukan dalam ungkapan ‘Aydrūs. Ia menyebutkan bahwa kehendak Allah tidaklah karena Dia membutuhkannya. Begitu juga, kehendak-Nya untuk memberikan pahala bagi orang yang beriman bukan berarti sebagai 309
‘Aydrūs, Hadīyat al-Bashīr, 3v. Ia mengatakan:
ﻛﻼﻡ ﷲ ﺍﻷﺯﻟﻲ ﺍﻟﻘﺎﻳﻡ ﺑﺫﺍﺗﻪ ﺍﻟﻌﻠﻳﺔ ﺍﻟﻣﻧﺯﻩ ﻋﻥ ﺍﻟﺣﺭﻭﻑ ﻭﺍﻟﺻﻭﺕ ﻭﻣﺎ ﻓﻰ ﻣﻌﻧﺎﻩ ﻭﺍﻟﻧﻘﺩﻳﻡ . ﺍﻟﺟﻬﺭ ﻭﺍﻟﺳﺭ،ﻭﺍﻟﺗﺄﺧﻳﺭ ﻭﺍﻟﺳﻛﻭﺕ ﻭﺍﻟﺗﺟﻭﻳﺩ ﻭﺍﻟﻠﺣﻥ ﻭﺍﻹﻋﺭﺍﺏ 310
Ibn ‘Arabī, al-Futūhāt, v. 1 h. 63. ‘Aydrūs, Hadīyat al-Bashīr, 2v. 312 Al-Sanūsī, Umm al-Barāhīn, 47. 311
88
sebuah hukum sebab akibat yang mesti terjadi. Tetapi Dia memberikan pahala sebagai bentuk kemuliaan-Nya dan janji-Nya kepada hamba. 313 Dalam hal ini, harus dibedakan bahwa secara rasional Allah bersifat mutlak, tetapi secara syariat disebutkan bahwa Dia tidak menyalahi janjiNya, maka pahala bagi orang beriman adalah karena janji-Nya. Selain itu, pendekatan ilmu kalam terlihat sangat kental ketika ia menjelaskan konsep alam. Ia menjelaskan bahwa alam terdiri dari dua, ‘ayn (substansi) dan ‘ardh (aksiden). Ada ‘ayn yang tidak menerima posibilitas pemisahan (qismah), tidak bertempat, tidak tersusun dari elemen-elemen tertentu. Hal ini sebagaimana populer dalam ilmu kalam disebut dengan jawhar. 314 Tampaknya ‘Aydrūs kurang menambahkan satu kata, yaitu fard} sehingga menjadi jawhar fard. Adapun kategori kedua adalah ‘ayn yang dapat terpisah, bertempat, dan tersusun dari elemen tertentu. Substansi ini disebut dengan jism. 315 Suatu jism menerima posibilitas untuk mempunyai warna, rasa, bau, hawa, gerak, diam, bersatu dan terpisah. Hal ini dijelaskan oleh ‘Aydrūs untuk menekankan agar tidak terimajinasikan Tuhan memiliki criteria tersebut. Pada tataran ini, ‘Aydrūs mennginterpretasikan kalimat tauhid dengan ungkapan, Lā ma‘būda bi ḥaqqin illá Allāh (tidak ada yang disembah selain Allah). 316 Aspek lain yang meyakinkan bahwa ‘Aydrūs sangat setia kepada teologi Sunni adalah sikapnya terhadap permasalahan politik yang terjadi di kalangan sahabat Nabi Saw. Ia secara umum mengemukakan tentang keutamaan sahabat Nabi Saw. ‘Aydrūs tampak tidak sepakat dengan sikap Syi‘ah yang lebih mengutamakan ‘Alī dan merendahkan banyak sahabat utama. Tetapi ‘Aydrūs tetap menyebutkan kejeniusan dan kelebihan ‘Alī bin Abī ṭālib. 317 ‘Aydrūs menyebutkan bahwa sahabat yang paling utama adalah empat sahabat yang menjadi khalīfah rāsyidīn. Setelah itu, sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira dengan surga, al-sābiqūn al-awwalūn (sahabat yang masuk Islam pada periode awal), aṣḥāb bay‘at al-rid}wān
313
‘Aydrūs, Hadīyat al-Bashīr, 2v. ‘Aydrūs, Tanqīyat al-Qulūb, 14. 315 ‘Aydrūs, Tanqīyat al-Qulūb, 14. 316 ‘Aydrūs, Tanqīyat al-Qulūb, 14. 317 ‘Aydrūs, Tanqīyat al-Qulūb, 5. Ia malah menyebutkan bahwa kejeniusan Ali merupakan Ijmā‘, ﻭﻗﺎﻡ ﻋﻠﻳﻪ ﺍﻹﺟﻣﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﻏﺯﺍﺭﺓ ﻋﻠﻲ. Ia menukil ungkapan ali, ﻟﻭ (ﺷﺋﺕ ﻷﻭﻓﺭﺕ ﺳﺑﻌﻳﻥ ﺑﻌﻳﺭﺍ ﻣﻥ ﺗﻔﺳﻳﺭ ﻓﺎﺗﺣﺔ ﺍﻟﻛﺗﺎﺏkalau aku mau, tentu aku akan memenuhi 70 onta pembawa kitab yang berisi tafsir al-Fātiḥah). ‘Aydrūs memberikan penilian bahwa ungkapan tersebut dikarenakan keluasan wawasan Ali. 314
89
(sahabat yang ikut dalam pengambilan sumpah setiap di bahwa pohon rid}wān). 318 Dalam hal ini, ‘Aydrūs menilai bahwa orang yang merendahkan sahabat Nabi Saw sebagai kefasikan. 319 Malah, ‘Aydrūs memilih untuk diam terhadap perselisihan yang pernah terjadi di kalangan sahabat. 320 Sikap ini berangkat dari penghargaan Nabi Saw terhadap perselisihan yang terjadi di kalangan sahabat. ‘Aydrūs memilih untuk menyimpulkan bahwa jika mereka benar akan mendapatkan dua kebaikan, dan jika salah mendapat satu kebaikan. 321 Apabila diperhatikan kajian teologi yang dikemukakan ‘Aydrūs tidak keluar dari teologi Sunni yang telah disistematikan oleh al-San>usī. Tetapi ia mencoba memberikan beberapa tambahan dan pengungkapan yang berbeda. Selain itu, maka dapat dikatakan bahwa materinya sama dengan ‘aqīdat al-‘awwām yang pernah dikemukakan Ibn ‘Arabī>. Ini juga dikemukakan ‘Abd al-Rā’uf dalam Sullam al-Mustafīdīn dan Arshad al-Banjārī> dalam Sabīl al-Muhtadīn. Namun perbedaannya adalah ‘Aydrūs mencoba mengebalorasi sendiri dengan kemampuan bahasa Arab yang dimilikinya.
318 319
‘Aydrūs, Tanqīyat al-Qulūb, 6. Hal ini didasarinya kepada beberapa hadis Nabi Saw, seperti,
َﻻ َﺗ ُﺳﺑﱡﻭﺍ ﺃَﺻْ َﺣ ِﺎﺑﻲ َﻓﻠَ ْﻭ ﺃَﻥﱠ ﺃَ َﺣ َﺩ ُﻛ ْﻡ ﺃَ ْﻧ َﻔﻕَ ﻣ ِْﺛ َﻝ ﺃ ُ ُﺣ ٍﺩ َﺫ َﻫﺑًﺎ َﻣﺎ َﺑﻠَﻎَ ُﻣ ﱠﺩ ﺃَ َﺣ ِﺩ ِﻫ ْﻡ َﻭ َﻻ َﻧﺻِ ﻳ َﻔ ُﻪ
“Janganlah menghujat sahabatku, karena seandainya di antara kalian menginfakkan emas sebanyak bukit Uhud, maka kalian tidak akan sanggup mencapai satu mud dari pahala yang mereka peroleh, bahkan setengahnya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhārī, al-Jāmi‘ al-Shaḥīḥ, no. 3397. Muslim, al-Jāmi‘ al-Shaḥīḥ, no. 4610. Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud, no. 4039. al-Tirmidhī, Sunan al-Tirmidhī, no. 4796. 320
‘Aydrūs, Tanqīyat al-Qulūb, 6.
ﻭﻳﺟﺏ ﻋﻠﻳﻧﺎ ﺍﻟﺳﻛﻭﺕ ﻋﻣﺎ ﻳﺟﺭﻱ ﺑﻳﻥ ﺍﻟﺻﺣﺎﺑﺔ ﺭﺿﻲ ﷲ ﻋﻧﻬﻡ ﻣﻥ ﺍﻟﻣﻧﺎﺯﻋﺎﺕ ﻭﺍﻟﺣﺭﺍﺑﺎﺕ ﻭﺗﻘﺎﺗﻝ ﺑﻌﺿﻬﻡ ﺑﻌﺿﺎ ﺑﺳﺑﺏ ﺍﺧﺗﻼﻓﻬﻡ ﻓﻰ ﺍﻻﺟﺗﻬﺎﺩ ﻓﺗﻠﻙ ﺩﻣﺎ ﻁﻬﺭ ﷲ ﻣﻧﻬﺎ ﻭﻧﺛﺑﺕ .ﺍﺣﺭﻱ ﺍﻻﺟﺗﻬﺎﺝ ﻟﻛﻝ ﻣﻧﻬﻡ ﻭﻟﻠﻣﺻﻳﺏ ﻓﻳﻬﺎ ﺃﺟﺭﺍﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﺟﺗﻬﺎﺩﻩ ﻭﺇﺻﺎﺑﺗﻪ 321
‘Aydrūs, Tanqīyat al-Qulūb, 6.
90
BAB IV PERDEBATAN KONSEP WUJUD DALAM PRESPEKTIF TEOLOGI DAN TASAWUF Konsep wujud telah menjadi tema perdebatan panjang dalam filsafat, teologi, dan tasawuf. Ini terlihat pada banyak karya dari tiga disiplin ilmu di atas yang tidak terlepas dari tema tersebut. Tetapi ternyata tema ini tidak semata murni dijadikan bahan diskusi. Namun seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, tema tersebut tentu tidak terpisah dari fenomena sosial politik dan keagamaan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan tema ini malah menjadi ‘keberuntungan’ dan ‘kesialan’ bagi seseorang yang terlibat di dalamnya. Ketika konsep ini menjadi bahan perdebatan teologis, maka akan muncul kesimpulan akhir bahwa seorang pembicara konsep wujud adalah benar atau salah, dan beriman atau kafir. Hal ini memang wajar, karena konsep tersebut telah mulai menyentuh wilayah ketuhanan; sesuatu yang paling sakral di kalangan teolog dan sufi. Ketika seorang teolog melihat bahwa ada orang lain yang menyentuh wilayah ini dengan cara ‘tidak benar’ maka akan muncul kritikan darinya yang berujung kepada pengafiran. Namun sikap inilah yang menjadi permasalahan ketika otoritas keagamaan dikawal oleh politik, maka ‘hukum kafir’ pun menjadi malapetaka tokoh yang dikafirkan. Ini sebagaimana terjadi pada al-ḥallāj di Baghdād, pengikut ḥamzah di Aceh, dan Siti Jenar di Jawa. Lain halnya jika tuduhan kafir tersebut hanya sampai pada tataran disikusi dan karya ilmiah, maka tidak akan terjadi malapetaka tersebut. Ini sebagaimana terlihat dari kritikan Ibn Taymīyah terhadap karya-karya Ibn ‘Arabī>>, Ibn Sab‘īn, dan tokoh sufi lainnya. Justru Ibn Taymīyah yang menjadi korban dari ‘malapetaka’ lain yang masih bersifat teologis, sehingga akhir nafasnya dihembuskan ketika masih dalam jeruji besi. Tetapi tetap saja, substansi pemikiran Ibn Taymīyah lahir kembali pada abad kedelapan belas dalam formulasi Wahhābīyah yang dikawal oleh kekuasaan politik, sehingga menimbulkan masalah-masalah yang baru. 91
Berikut ini, akan dikemukakan dilema konsep ini di kalangan Muslim, terutama mereka yang tergolong kepada teolog dan sufi dengan mengorelasikannya dengan teks-teks klasik di Nusantara.
A. Dilema Konsep Wujūd Konsep wujūd mempunyai peran penting dalam memahami eksistensi Allah dan makhluk. Makhluk dalam ungkapan teologi biasa disebut alam. Parviz Morewedge menyebutkan bahwa penggunaan term “wujūd” yang berarti eksistensi mempunyai kaitan dengan filsafat Aristotels. Ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi esse dan existens. Bahkan tidak hanya terbatas kepada Aristoteles, peneliti dari Timur Tengah pun seperti Musṭafá Ghalūs mengakui bahwa perdebatan tentang term tersebut berasal dari filsafat Yunani kuno lain. 322 Namun bukan berarti Praviz cenderung menganggap sama antara term wujūd yang dipahami filosof Muslim dengan filosof Yunani. Hal ini terlihat ketika ia menjelaskan konsep Ibn Sīnā yang mengategorisasikan wujūd kepada tiga pembagian, pertama, wājib al-wujūd, yaitu sesuatu yang ada dengan sendirinya sehingga disebut dengan wujud mutlak. Kedua, mumkin al-wujūd, yaitu sesuatu yang keberadaannya bergantung kepada eksistensi lain. Ketiga, mumtani‘ al-wujūd adalah sesuatu yang mustahil menjadi ada. 323 Parviz menolak pendapat yang mengatakan bahwa konsep P321F
P32 F
P
P
322
Parviz Morewedge, “The Neoplatonic Structure of Some Islamic Mystical Doctrines” dalam Parviz Morewedge (ed.al.), Neoplatonism and Islamic Thought (State University New York Press, 1992), 57; Musṭafá Ghalūs, al-Wujūdīyah fī al-Mīzān (Kairo: Fākhirah, 1985), 11. J. Gregory menyimpulkan bahwa The One sebagai the cause of the eternal Beuty of the Intelligible. John Gregory, The Neoplatonists A Reader (London and New York: Routledge, 1999), 24; Ibn Sab‘īn, Sharḥ} Risalat al-‘Ahd, 171. 323 Dr. Aḥmad Maḥmūd ṣubḥī seorang guru besar filsafat di Universitas Iskandariyah mengemukakan bahwa pembagian mawjūd kepada wājib al-wujūd dan mumkin al-wujūd merupakan konsep para filosof. Tetapi sayag sekali ia tidak menyebutkan filosof yang dimaksud. Adapun konsep yang berasal dari teolog adalah pembagian mawjūd kepada qadīm dan ḥādith. Qadīm adalah sesuatu yang tidak mempunyai awal pada wujudnya. Dia adalah Allah semata. Adapun ḥādith adalah sesuatu yang mempunyai permulaan wujud, yaitu segala sesuatuselain Alla ṣubḥī menjelaskan bahwa “qadīm” dalam term teologi dimaksudkan untuk sesuatu yang mustahil disandarkan kepadanya pelaku yang lain. Adapun menurut para filosof sangat mungkin keberadaan sesuatu bersama Allah pada zaman azali, sehingga mereka memperbolehkan penyandaran suatu pelaku pada yang qadīm. Aḥmad Maḥmūd ṣubḥi, Fī ‘Ilm al-Kalām; Dirāsah Falsafi>yah li Ārā’ al-Firaq al-Islāmīyah fi >Uṣūl al-Dīn (Beirut: Dār al-Nahd}ah al-’Arabīyyah, 1985), 288-289.
92
wājib al-wujūd atau Necessary Existent mempunyai kaitan dengan konsep the One Plotinus. Ini dikarenakan wājib al-wujūd identik dengan Ultimate Being (Wujud Asal). Tetapi ia mengakui bahwa hubungan sintaksis konsep the One Plotinus memang mempunyai hubungan dengan the infinite Descartes. Pendapat ini diperkuat juga oleh ‘Ināyatullāh Iblāgh al-Afghāni>, terutama dalam konteks tasawuf. al-Afghānī merincikan bahwa konsep wujud dalam tasawuf tidak hanya berbeda dengan Platonis, tetapi juga berbeda dengan filsafat India dan Persia. 324 Sedangkan di kalangan filosof Muslim sendiri, konsep in dipopulerkan oleh al-Farābī dan Ibn Sīnā, walaupun mereka bukan orang pertama. Ibn Sīna mengatakan bahwa wājib al-wujūd adalah sesuatu yang keberadaannya tanpa sebab ‘illah. Ia juga menyebutnya sebagai wājib alwujūd li dhātihi.325 Adapun mumkin al-wujūd tidak mempunyai unsur d}arūrī untuk menunjukkan keberadaannya atau ketiadaannya. Berdasarkan hal tersebut filosof dan teolog Muslim setelahnya, seperti alGhazālī ikut mengembangkannya lebih jauh, di samping juga mengritisi mereka dalam beberapa hal. Walaupun konsep ini tidak ditemukan dalam tradisi kenabian, tetapi teolog-teolog Sunni maupun Mu‘tazilah dapat menerimanya. Bahkan al-Ghazālī malah menjadikannya sebagai dasar dalam membicarakan filsafat ketuhanan. Tetapi ia tidak mengategorikan mumtani‘ al-wujūd dalam kategorisasi wujud sebagaimana al-Farābī. AlGhazāli hanya membagi kepada dua, wājib al-wujūd dan mumkin alwujud.> Ia menyebutkan bahwa wājib al-wujūd merupakan sesuatu yang keberadaannya mutak, tidak berkaitan dengan yang lain. Sebaliknya, mumkin al-wujūd adalah sesuatu yang keberadaanya terkait dengan yang lain. 326 Al-Ghazālī menyebutkan duabelas keniscayaan yang ia anggap sebagai kaidah yang terkandung dari makna wājib al-wujūd. Konsep ini nanti akan menjadi pegangan tokoh Sunni yang cenderung kepada perdebatan tentang wujūd. Kaidah pertama, wujūd tersebut tidak terdiri dari jism. Ini dikarenakan jism terdiri dari kumpulan elemen-elemen yang P324F
P325F
P
P
324
Parviz Morewedge, “The Neoplatonic Structure”, 58 dan 70. ‘Ināyatullāh Iblāgh al-Afghāni>, Jalāl al-Dīn bayn al-ṣufīyah wa ‘Ulamā’ al-Kalām (Kairo: Dār alMiṣr al-Lubnānīyah, 1997), 161. 325 Ibn Sīnā, al-Ishārāt wa-al-Tanbīhāt tahqiq Sulaymān Dunyá (Kairo: 1983), 145;Al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Niḥal, (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), 348. Muḥammad al-Bahī, al-Jānib al-Ilāhī min al-Tafkīr al-Islāmī (Kairo: Dār al-Kātib al-’Arabī, 1967), 458 dan 516. 326 Al-Ghazālī, Maqāṣid al-Falāsifah, tahqiq: Sulaymān Dunyá (Kairo: Dār alMa‘arif, 1960), 210.
93
tersusun, sedangkan wājib al-wujūd tidak mungkin demikian. 327 Kedua, Dia bukan jism karena terdiri dari ṣūrah (bentuk) dan hāyūlī (esensi). Ketiga, Dia juga bukan seperti ṣūrah (bentuk) dan hāyūlī (esensi). Ini dikarenakan dua hal ini saling berkaitan, sehingga tidak ada bentuk tanpa esensi atau esensi tanpa bentuk. Keempat, sebuah keniscayaan bahwa wujudnya adalah substansi (māhīyah) dari zatnya. Kelima, Dia tidak berkaitan dengan yang lain sebagaimana yang lain berkaitan dengan-Nya. “Kaitan” dalam konteks ini berarti dua keberadaan tersebut saling mempunyai hubungan sebab bagi yang lain. 328 Keenam, Dia tidak berkaitan dengan yang lain, dalam artian bahwa hubungan keseteraan (tad}āyuf). Berbeda dengan kaidah sebelumnya yang menyebutkan hubungan sebab (‘illah). 329 Ketujuh, sebuah keniscayaan bahwa wājib alwujūd hanya tunggal, karena jika ada dua maka terjadi “tandingan” terhadap yang lain. 330 Kedelapan, tidak ada sifat zā’idah (tambahan) terhadap zat-Nya, sehingga jika sifat tersebut dinegasikan maka zat-Nya menjadi tidak ada. Ini mengindikasikan bahwa zat-Nya berkaitan dengan sifat tersebut, sehingga menjadi sesuatu yang tersusun dari beberapa elemen. Kesembilan, Dia mustahil berubah-rubah, karena sesuatu yang berubah maka muncul baginya sifat yang baru. Kesepuluh, tidak bersumber dari-Nya kecuali satu hal tanpa perantara dan berurutan. Adapun jika lebih dari satu maka terdapat perantara dalam kemunculannya. Kesebelas, Dia bukan jawhar atau ‘arad}. Oleh karena itu, Dia berdiri sendiri tidak bertempat sebagaimana jawhar. Kedua belas, sebuah keniscayaan bahwa segala sesuatu selain wājib al-wujūd bersumber dari-Nya. Segala sesuatu itulah yang disebut dengan mumkin al-wujūd. 331 Semua pemikir Muslim klasik sepakat bahwa wājib al-wujūd tersebut hanyalah Allah semata. Begitu juga dengan mumkin al-wujūd adalah alam semesta. 332 Namun ketika mereka mencoba untuk 327
Al-Ghazālī, Maqāṣid, 210-211. al-Ghazālī, Fad}ā’iḥ al-Bāṭinīyah, 83. Al-Ghazālī, Maqāṣīd, 212. Ia menyebutnya dengan ungkapan: .ﻛﻝ ﻭﺍﺣﺩ ﻣﻧﻬﻣﺎ ﻋﻠﺔ ﻟﻶﺧﺭ 329 Al-Ghazālī, Maqāṣīd, 212. al-Ghazālī, al-Maqṣad al-Asnā tahqiq Bisām bin ‘Abd al-Wahhāb al-Jābī (Qubrūṣ: al-Jafān wa-al-Jābī, 1987), 61. al-Ghazālī, Ma‘ārij alQuds fī Madārij Ma‘rifat al-Nafs (Beirut: Dār al-ĀFāq al-Jadīdah, 1975), 164. 330 Al-Ghazālī, Maqāṣid, 211-213. 331 Al-Ghazālī, Maqāṣid, 210-219. Adapun di dalam kitab yang lain seperti Ma‘ārij al-Quds ia hanya menyebutkan delapan kriteria yang tercakup pada term wājib al-wujūd, al-Ghazālī, Ma‘ārij al-Quds, 163-164. 332 Ibn Sab‘īn, Sharḥ} Risālat al-‘Ahd, 171. Muḥammad al-Bahī, al-Jānib alIlāhī, 520. 328
94
menerapkannya pada tataran yang lebih luas maka akan timbul persoalan yang lumayan rumit. Tetapi pembuktian falsafi dalam hal ini, terlihat ditentang keras oleh Ibn Taymīyah. Ia melihat bahwa metode-metode tersebut tidak bermanfaat kecuali sedikit. Ia menganalogikannya bagaikan sepotong daging di atas gunung yang tinggi, sehingga tidak banyak yang dapat mencapainya. Dalam hal ini, terlihat bahwa Ibn Taymīyah tidak ingin mempersulit pembuktikan wujud Allah yang wājib al-wujūd. Kritikan ini juga diamini oleh Ibn al-Qayyim yang mengatakan bahwa kesia-siaan pembuktian ilmu kalam akan menyebabkan mereka menjadi orang yang paling banyak menyesali umurnya. 333 Ibn Taymīyah menyebutkan kelemahan pendekatan ini dalam beberapa hal yang kurang sistematis. Pertama, pendekatan tersebut akan membuat banyak orang putus asa sebelum sampai kepada natījah (hasil) metode ini. Kedua, ada dua kemungkinan dari pendekatan ini, yaitu adakalanya menghasilkan natījah yang mushtabihah (tidak pasti) sehingga memunculkan perdebatan baru, dan adakalanya khafīyah (samar) sehingga tidak dipahami kecuali orang-orang yang pintar. 334 Inilah, ungkap Ibn Taymīyah, penyebab utama mengapa setiap filosof atau teolog berbeda pendapat. Setiap mereka berpandangan bahwa Allah tidak bisa dikenal kecuali dengan metode yang ditempunya. 335 Namun, kritikannya tersebut tampak melunak ketika menemukan bahwa Abū alḥasan al-‘Ash‘arī menggunakan metode falsafi tentang konsep ṣifāt dan ‘ard} untuk menjelaskan kelemahan Mu‘tazilah mengenai sifat Allah. Ibn Taymīyah yang sebelumnya terlihat menganggap metode ini tidak bernanfaat kecuali sedikit, malah mengakui bahwa perdebatan alAsh‘arī> sangat bermanfaat dalam mengungkapkan kekeliruan uṣūl (prinsip ajaran) Mu‘tazilah. 336 Tetapi kritikan Ibn Taymīyah terlihat tidak berpengaruh kepada perkembangan teologi dan tasawuf yang filosofis. Hal ini terlihat dari kemunculan tokoh sufi seperti ‘Abd al-Karīm al-Jīlī (767-805 H.) ”Ibn ‘Arabī> al-saghīr (junior)” setelah kematian Ibn Taymīyah tahun 728 H. Ia beranjak dari teologi Sunni untuk menjelaskan term-term rumit dalam konsep wujud dan menyelesaikan problem yang ditemukan dalam kajian 333
Ibn Taymīyah, Majmū Fatāwā, II/22. Ibn al-Qayyim, al-ṣawā‘iq alMursalah, II/663. Ibn al-Qayyim, Shifā’ al-‘Alīl (Beirut: Dār al-Fikr, 1978), 155. Aḥmad bin Ibrāhīm, Tawd}īh al-Maqāṣid, I/360. 334 Ibn Taymīyah, Majmū Fatāwā, II/22. 335 Ibn Taymīyah, Majmū Fatāwā, II/22. 336 Ibn Taymīyah, Dar’u al-Ta‘ārud} al-‘Aql wa-al-Naql (Riyad}: Dār alKunūz al-Adabīyah, 1391), II/402.
95
Ibn ‘Arabī. Ia mensistematiskan konsep kewalian tertinggi insān kāmil yang pernah dikembangkan Ibn ‘Arabī. Bahkan ia mengarang Sharḥ Mushkilāt untuk menjelaskan istilah rumit dalam al-Futūḥāt al-Makkīyah; terutama dari bab ke-559. Motivasi penulisan kitab ini, tampak berkaitan dengan ’kegelisahannya’ ketika ada orang yang mampu memperoleh dan membaca naskah kitab al-Futūḥāt tetapi kemampuannya lemah untuk memahami sesuatu yang dituju oleh Ibn ‘Arabī>. 337 Hal yang sama juga pernah disinggung oleh ‘Abd al-Ghanī al-Nablusī, bahwa kritikan terhadap Ibn ‘Arabī hanya disebabkan ketidakpahaman terhadap istilah kesufian. 338 Dalam hal ini, boleh jadi kritikan Ibn Taymīyah terhadap teolog dan sufi disebabkan ketidakmampuan tersebut, walaupun ia telah mencoba membaca karya-karya mereka. Atau ada kemungkinan lain, bahwa Ibn Taymīyah memang sangat memahami, tetapi ia menganggapnya menyulitkan keimanan sehingga keluar bermacam kritikan yang disebutkan di atas. Dalam konteks kajian ini, apakah sikap Ibn Taymīyah yang mempengaruhi al-Rānīrī>? Atau memang al-Rānīrī sangat mengerti konsep wujud baik dalam konsep teolog maupun Sunni, sehingga ia melihat ada penyimpangan dalam ajaran ḥamzah dari teologi yang ia anut. Atau kemungkinan terakhir, sebagaimana populer diasumsikan oleh Takeshi Ito bahwa al-Rānīrī bersaing kedudukan yang ’strategis’ di kesultanan Aceh dengan pengikut ḥamzah, walaupun akhirnya ia kalah oleh Sayf al-Rijāl sang tokoh Wujūdīyah ’misterius’ dari Minangkabau. 339 Jawaban dari permasalahan ini akan dijumpai dari metode alRānīrī> dalam mengritisi ḥamzah. Bagi al-Rānīrī, misalnya, penganalogian Allah dan alam yang dilakukan ḥamzah tidaklah hal yang baru. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika bahasa yang diungkapkan ‘keliru’, maka berakibat kepada konsekuensi teologis yang berbahaya. Adapun pembelaan al-Attas terhadap ḥamzah memang wajar dikemukakannya. Namun terlihat bahwa al-Attas tidak berusaha memahami secara adil terhadap term-term teologis yang menjadi sumber permasahan di antara mereka. Di sisi lain, Al-Attas sebenarnya mencoba 337
Al-Jīlī, Sharḥ} Mushkilāt al-Futūḥāt al-Makkīyah, naskah tulisan tangan dikoleksi oleh Perpustakaan King Saud University MS. 3987, 2v. 338 ‘Abd al-Ghanī al-Nablusī, I
96
memahami kategorisasi tauhid Wujūdīyah yang dikemukakan oleh alRānīrī>. Ini terbukti dari penukilannya terhadap pendapat Al-Rānīrī yang menyebutkan bahwa ada dua kategori penganut tauhid Wujūdīyah, pertama golongan Wujūdīyah Muwaḥḥid yaitu ahli sufi yang mempunyai pemahaman yang benar. Adapun yang kedua, golongan Wujūdīyah Mulḥidah yaitu para penganut ajaran ḥulul dan ittiḥad. 340 Al-Attas terlihat berusaha keras membuktikan bahwa sebenarnya ḥamzah bukanlah kelompok yang kedua, tetapi ia adalah Wujūdīyah Muwaḥḥid. Namun demikian, jika pendapat al-Attas dibenarkan maka secara tidak langsung al-Rānīrī> harus dinilai keliru dalam mengritisi teologi ḥamzah. Atau di sisi lain akan dibenarkan anggapan bahwa al-Rānīrī mempunyai kepentingan politik. Dugaan ini diperkuat dengan anggapan bahwa ada sebuah literatur dari Timur Tengah yang mengoreksi kesalahpahaman sebagian orang-orang Melayu (Jāwīyīn) tentang konsep wujud. Setelah ditelusuri, ternyata literatur yang dimaksud adalah karya al-Kurānī. Ini dapat dibuktikan dari ungkapan Al-Kūrānī (1023-1102 H./1614-1690 M.) yang menyebutkan bahwa ia mendengar informasi mengenai kajian konsep wujud yang berkembang pesat di Nusantara. Namun ia menyayangkan bahwa kajian tersebut tidak disertai dengan pemahaman yang komprehensif terhadap ilmu syariat. 341 Walaupun teks tersebut tidak secara ekplisit menyebut ḥamzah atau al-Rānīrī>, tetapi hal tersebut menjadi bukti bahwa ada kesamaan isu yang berkembang antara Islam di Nusantara dengan Timur Tengah. P340F
P
Al-Rānīrī, ḥujjat al-ṣiddīq li Daf‘i al-Zindīq dikoleksi oleh Perpusnas ML 301, 78r-v;al-Attas, A Contemporary on the Hujjat al-ṣiddiq of Nur al-Dīn al-Rānīrī>, (Kualalumpur: Ministry of Culture, 1986), 61. Sebenarnya al-Rānīrī bukan orang yang pertama memberikan klasifikasi ini. Ini terlihat dari kritikan Mulā ‘Alī al-Qārī terhadap tasawuf Ibn ‘Arabi>. Al-Qārī menyebutkan bahwa tokoh yang dikritisinya tersebut telah membagi kaum Wujūdīyah kepada dua aliran yang disebutkan di atas. ‘Alī al-Qārī, alRadd ‘alá al-Qā’ilīn bi Waḥdat al-Wujūd, 93. 341 Literatur yang dimaksud adalah Itḥāf al-Dhakī karya Ibrāhīm al-Kūrānī> seorang ahli hadis dan sufi di Madina Kitab ini merupakan salah satu sharḥ yang otoritatif terhadap kitab Tuḥfat al-Mursalah karya Muḥammad bin Fad}lullāh alBurhānfūrī. Kitab tersebut membicarakan tentang teori wujud berdasarkan teologi Sunni namun sangat kental dengan konsep filosofis. Ibrāhīm al-Kūrānī dengan terperinci menjelaskan rasionalisasi ajaran Martabat Tujuh Ibrāhīm al-Kūrānī, Itḥāf al-Dhakī, 3r. 340
ﺃﻣﺎ ﺑﻌﺩ ﻓﻘﺩ ﺻﺢ ﻋﻧﺩﻧﺎ ﻣﻥ ﺃﺧﺑﺎﺭ ﺟﻣﺎﻋﺔ ﻣﻥ ﺍﻟﺟﺎﻭﻳﻳﻥ ﺃﻥ ﺑﻼﺩ ﺟﺎﻭﺓ ﻗﺩ ﻓﺷﺎ ﻓﻰ ﺃﻫﻠﻬﺎ ﺑﻌﺽ ﻛﺗﺏ ﺍﻟﺣﻘﺎﺋﻕ ﻭﻋﻠﻭﻡ ﺍﻷﺳﺭﺍﺭ ﻓﺗﺩﺍﻭﻟﻬﺎ ﺃﻳﺩﻯ ﺍﻟﻧﺎﺱ ﻣﻥ ﻳﻧﺳﺏ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻌﻠﻡ ﻣﻧﻬﻡ ﺑﺎﻟﻘﺭﺍءﺓ ﻭﺍﻹﻗﺭﺍء ﻣﻥ ﻏﻳﺭ ﺇﺗﻘﺎﻥ ﻟﻌﻠﻡ ﺷﺭﻳﻌﺔ ﺍﻟﻣﺻﻁﻔﻰ ﺍﻟﻣﺧﺗﺎﺭ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻳﻪ ﻭﺳﻠﻡ ﻓﺿﻼ ﻋﻥ ﺇﺗﻘﺎﻧﻪ ﻟﻌﻠﻡ .ﺍﻟﺣﻘﺎﺋﻕ ﺍﻟﻣﻭﻫﻭﺏ ﻷﻫﻝ ﻁﺭﻳﻕ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻟﻣﻘﺭﺑﻳﻥ ﺍﻷﺧﻳﺎﺭ 97
Ibrāhīm al-Kurānī yang dikenal sebagai tokoh utama pengganti alQushāshī, memang sangat banyak menulis tanggapan mengenai perkembangan Islam Nusantara. Sebagai contoh, al-Kūrānī> menyebutkan bahwa ia menyayangkan penyimpangan pemahaman tokoh Nusantara terhadap konsep wujud, terutama ketika dalam membaca kitab Tuḥfat al-Mursalah. 342 Al-Kūrānī mengatakan tidak mungkin orang tersebut akan mendalami secara benar ilmu hakikat. Dalam hal ini, dapat dipastikan bahwa al-Rānīrī> bukan orang yang dimaksudkan sebagai ”orang yang tidak mendalami syariat” . Ini dikarenakan ia merupakan ulama yang tekun dan ketat menjaga syariat, baik melalui karya tulis maupun dari dedikasinya di Aceh. 343 Begitu juga dengan ḥamzah Fanṣurī>, juga ’belum tentu’ ia yang dimaksud dalam kitab tersebut, karena ḥamzah termasuk orang yang sering menekankan penjagaan syariat, tarikat, hakikat, dan ma‘rifat secara benar. 344 Di dalam risalah lain, sebagaimana ditemukan oleh ‘Abd al-Ghanī al-Nablusī, yang berjudul al-Maslak al-Jalī fī ḥukm Shaṭḥ al-Walī alKūrānī> menuliskan sikapnya terhadap kelompok Wujūdīyah. Sejauh ini belum ditemukan secara eksplisit tokoh siapa yang dimaksud oleh alKūrānī. Tetapi dari kutipan yang ia tampilkan, kelompok tersebut memang sangat identik dengan pengikut ḥamzah. Ia menyebutkan bahwa kelompok yang mempunyai tradisi keilmuan dan kezuhudan ini mengatakan ”Inna Allāh ta‘alā nafsunā wa wujūdunā” (Sesungguhnya Allah adalah diri kita dan wujud kita). Dalam hal ini, terlihat bahwa alKūrānī telah mengetahui polemik dua kelompok yang terjadi di komunitas ia sebut sebagai ahl jāwah. Kelompok pertama di antara mereka menerima interpretasi terhadap kalimat ini, sedangkan kelompok yang kedua langsung menilainya sebagai kufr ṣarīḥ (kekafiran yang P341F
P
P342 F
P
P34 F
342
P
Beberapa teks dari manuskrip yang ditemukan menunjukkan penyebutan judul kitab ini tidak konsisten. Pertama ada yang menganggap dua kata ini sebagai kata majemuk (id}āfah), sehingga dibaca menjadi Tuḥfat al-Mursala Lihat ‘Abd al-Ghanī, Nukhbat al-Mas’alah fī Sharḥ} Tuḥfat al-Mursalah, 2v. Kedua, dua kata ini dianggap sebagai kata sifat (mawṣūf), sehingga menjadi al-Tuhfah al-Mursala Lihat Ibrāhīm alKūrānī>, Itḥāf al-Dhakī bi Sharḥ} al-Tuhfah al-Mursalah, 1r. al-Kūrānī juga pernah menjawab beberapa pertanyaan ahl Jāwah dalam beberapa risalah lain seperti al-Maslak al-Jalī dan Kashf al-Manẓar limā Yarāhu al-Muḥtd}ar. Judul pertama berkaitan dengan kelompok Wujūdīyah, sedangkan yang kedua berkaitan dengan hadis talqin yang diamalkan sebagian besar umat Islam di Nusantara saat itu. Ibrāhīm al-Kūrānī Kashf alManẓar limā Yarāhu al-Muḥtd}ar naskah mikrofilm Buton dikoleksi oleh Perpusnas rol ke-3. 343 Aḥmad Daudy, “Allah dan Manusia”, 306. 344 Penekanan Hamzah tersebut dapat dilihat dari beberapa shairnya dalam kitab Zīnat al-Wāḥidīn, 62-63 dan 71.
98
nyata). Adapun kelompok kedua –sesuai dengan informasi yang diterima al-Kūrānī- dipuji sebagai seorang yang alim terhadap ilmu lahir dan batin. 345 Tidak salah lagi bahwa kelompok yang mengatakan kalimat tersebut adalah kelompok Wujūdīyah mempunyai ciri-ciri yang sama dengan Wujūdīyah Mulḥidahah yang dikritisi oleh al-Rānīrī>>. Al-Rānīrī juga menukilkan perkataan yang menjadi bahan pembicaraan al-Kūrānī, ”ﺇﻥ ﷲ ﻧﻔﺳﻧﺎ ﻭﻭﺟﻭﺩﻧﺎ-Inna Allāh ta‘alā nafsunā wa-wujūdunā” tetapi dengan redaksi ”ﺇﻥ ﷲ ﻧﻔﺳﻧﺎ ﻭﻭﺟﻭﺩﻧﺎ ﻭﻧﺣﻥ ﻧﻔﺳﻪ ﻭﻭﺟﻭﺩﻩ-Inna Allāh nafsunā wawujūdunā, wa-naḥnu nafsuhu wa-wujūduhu”. 346 Hal ini diperkuat dengan kritikan ‘Abd al-Ra’ūf –sebagaimana akan dibahas nanti- terhadap Wujūdīyah dengan menyebutkan secara langsung nama ḥamzah. Berdasarkan hal ini, maka dapat diperkirakan bahwa orang yang dimaksud al-Kūrānī> adalah ḥamzah. 347 Namun tidak diketauhi secara pasti siapa yang ia sebut sebagai ahl jāwah yang menanyakan permasalahan, walaupun untuk sementara ini bisa diasumsikan bahwa orang tersebut adalah ‘Abd al-Ra’ūf. Ini dikarenakan ‘Abd al-Ra’ūf adalah murid dari al-Kūrānī, sehingga besar kemungkinan sang guru mendapatkan informasi dari muridnya ini. Asumsi ini disepakati oleh Ahmad Daudy. Tetapi sayang sekali, Ahmad Daudy tidak melakukan penelitian langsung kepada teks yang ditulis al-Kūrānī>. Daudy terlihat dipengaruhi oleh Voorhoeve. 348 Di sisi lain, Ahmad Daudy –walaupun mengerti perdebatan teologis al-Rānīrī> dan pengikut ḥamzah- terlalu menonjolkan aspek psikologis al-Rānīrī sebagai seorang yang ’keras’ karena berasal dari India. 349 Terkesan bahwa Daudy juga ’kurang senang’ dengan sikap al-Rānīrī, sehingga memperluas kekesalannya dengan membawa permasalahan psikologis. Tersirat bahwa Daudy merasa prihatin dengan ḥamzah sebagai ’pribumi’. Terlepas dari hal tersebut, harus diakui bahwa literatur yang digunakan al-Rānīrī> untuk menyerang ḥamzah sangat kaya. Hal itu P345 F
P
P346F
P
P347F
P348F
P
P
Ibrāhīm al-Kūrānī>, al-Maslak al-Jalī fī ḥukm Shaṭḥ al-Walī dalam ‘Abd alRaḥman> Badawī, Shaṭaḥāt al-ṣufīyah (Kairo: Dār al-Nahd}ah al-Miṣrīyah, 1949), 151. manuskrip dari teks ini dikoleksi di al-ẓāhirīyah Damaskus no. 4008. Apabila di dalam kitab Itḥaf al-Dhakī ia menyebut ﺟﻣﺎﻋﺔ ﻣﻥ ﺍﻟﺟﺎﻭﻳﻳﻥmaka di dalam kitab al-Maslak ia menyebutkan ﺃﻫﻝ ﺟﺎﻭﺓ. 346 Ibrāhīm al-Kūrānī>, al-Maslak al-Jalī, 151; al-Rānīrī>>, al-ḥill al-ẓill, 81. 347 ‘Abd al-Ra’ūf mengritisi Hamzah dalam kitab Sullam al-Mustafīdīn manuskrip dikoleksi oleh YPAH 11B, 82. 348 Ahmad Daudy, “Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin arRaniry” Disertasi IAIN Jakarta 1981, 60. 349 Ahmad Daudy, “Allah dan Manusia”, 62. 345
99
terlihat dari pemaparan kritikannya yang berdasarkan referensi yang banyak. Al-Rānīrī tampak sangat jujur dalam menukil suatu pendapat. Sebagaimana layaknya karya ilmiah, al-Rānīrī selalu menyebutkan referensi yang otoritatif dalam menukil pendapat seseorang. Hampir pada semua karangannya yang bersifat teologis, al-Rānīrī menyempatkan untuk mewaspadai perkembangan paham Wujūdīyah versi ḥamzah Fanṣurī. Namun sejauh pembacaan yang dilakukan, tidak terlihat bahwa al-Rānīrī berobsesi untuk mempertahankan jabatan. Justru sebaliknya, ia hanya menginginkan kemaslahatan di dunia dan akhirat. Ia mengatakan di penutup kitab al-ḥill al-ẓill ia mengatakan “Mudah-mudahan ku peroleh bahagia dunia dan akhirat”. 350 Tetapi pertanyaan yang muncul mengapa hasil penilaian dari alRānīrī> terhadap kelompok Wujūdīyah tersebut lebih tegas daripada alKūrānī>. Al-Kūrānī, misalnya, terlihat mencoba lebih fleksibel dengan membuka empat macam penafsiran terhadap ungkapan “Inna Allāh nafsunā wa wujūdunā”. Pertama, orang yang mengatakannya masih dalam tahapan aghyār, yaitu masih belum lenyap dalam perbuatan, sifat, dan zat Allah. Kedua orang tesebut mencapai tahapan af‘āl, yaitu menyaksikan perbuatan Allah baik pada aspek lahir dan batin. Ketiga orang tersebut mencapai tahapan sifat dan nama, yaitu menyaksikan sifat dan nama Allah. Keempat orang tersebut mencapai tahapan zat, yaitu menyaksikan zat Allah semata. Al-Kūrānī mengatakan bahwa jika orang yang mengatakan kalimat tersebut telah keluar dari tahapan pertama, maka ia adalah muwahḥid fī al-tawhīd. Bahkan al-Kūrānī menyatakan jika memang benar begitu, maka orang tersebut adalah pewaris kenabian (wali) atau wārith muḥammadī. Tetapi jika orang tersebut masih pada tahapan aghyār maka al-Kūrānī sepakat untuk menghukumi kafir terhadapnya. 351 Adapun al-Rānīrī> yang langsung berhadapan dan berinteraksi dengan kelompok Wujūdīyah melihat bahwa ungkapan mereka akan berimplikasi kepada teologi yang negatif. Apakah al-Rānīrī tidak membuka interpretasi lain untuk memahami ungkapan aneh yang tergolong shaṭḥ tersebut. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa alRānīrī juga seorang sufi yang mencapai tingkat spiritual tinggi melalui beberapa tarekat, sehingga Yūsuf al-Makassari> mau belajar tarekat Qādirīyah darinya. P349F
P350F
P
350
Al-Rānīrī, al-ḥill al-ẓill manuskrip dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional ML 301, 82v. 351 Ibrāhīm al-Kūrānī>, al-Maslak al-Jalī, 157.
100
Al-Rānīrī memahami bahwa ungkapan aneh di atas berbenturan dengan tauhid yang hakiki sebagaimana dikemukakan tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ia menyontohkan bahwa bagaimana bisa ada ungkapan ”kita” pada wujud Allah, padahal Ibn ‘Aṭā’illāh pengarang al-ḥikam menyatakan penegasian mutlak unsur ’kita’ pada Allah. Ibn ‘Aṭā’illah menyebutkan bagaimana mungkin Allah Maha Ada digandengkan dengan alam yang tiada. Ia mengatakan sebaliknya, bagaimana mungkin alam yang bersifat baru (ḥadith) bisa menjadi eksis dibandingkan Allah yang bersifat qadīm. 352 Al-Rānīrī menjelaskan -sebagaimana Ibn ‘Abbād memberikan komentar- bahwa alam yang bersifat ‘adam adalah kegelapan (ẓulmah), sedangkan Allah Yang Maha Ada adalah cahaya (Nūr). Berdasarkan ini, al-Rānīrī> mengatakan kemustahilan dua hal ini bersatu. Ia menambahkan bahwa alam semesta adalah batil atau tidak ada sama sekali kecuali hanya Allah semata. 353 Di samping itu, terdapat perbedaan utama antara al-Rānīrī> dan kelompok yang ia sebut dengan Wujūdīyah Mulḥidah itu adalah bahasa yang digunakan menginterpretasikan konsep wujud Ibn ‘Arabī>. Perbedaan tersebut bagi al-Rānīrī menyebabkan konsekuensi teologis yang fatal. Konsekuensi teologis yang fatal itulah yang membuat alRānīrī berani membantah ḥamzah, serta menilainya terjebak dalam kesesatan dan kekufuran. Sebenarnya, permasalahan ini sangat berbeda dengan kasus ḥallaj (309 H.) yang tidak disenangi oleh rivalnya (Ibn Abī Dāwud). Ibn Abī Dāwud bukanlah ahli fiqih yang tidak mengerti term kesufian sebagaimana al-Rānīrī. Berdasarkan hal ini, tidak mengherankan jika al-Rānīrī juga menyebut dirinya sebagai Wujūdīyah, karena ia sangat memahami konsep tersebut. Memang harus diakui bahwa ekslusivitas konsep teologi akan berimplikasi kepada sikap politik atau malah sebaliknya. Ini diabadikan dalam sejarah, seperti perdebatan teologis yang melebar kepada permasalahan politik pada masa ‘Abbasīyah. Ini terjadi ketika Mu‘tazilah yang dianggap ’rasionalis’, malah tidak menjaga rasionalitas dalam kebebasan berpendapat. Namun jika ditelusuri prinsip teologi Mu‘tazilah, maka hal tersebut sangat wajar terjadi sebagai konsekuensi teologis yang dimiliki setiap aliran kalam. Tema sentral yang menyebabkan Mu‘tazilah menghalalkan darah teolog lain sesama Muslim adalah penciptaan al352
Ibn ‘Aṭā’illāh, al-ḥikam, (Kairo: Dār al-Salām, 2006), 8; Ibn ‘Abbād, Sharḥ} al-Hi}kam (Semarang : Toha Putra, t.t.), 18 ; 352 Al-Rānīrī, al-ḥill al-ẓill, 80v-81r ; ‘Abdullāh al-Sharqāwī, Sharḥ} al-ḥikam (Semarang : Toha Putra, t.t.), 18. 353 Al-Rānīrī, al-ḥill al-ẓill, 80v-81r; Ibn ‘Abbād, Sharḥ} al-Hi}kam (Semarang : Toha Putra, t.t.), 18.
101
Qur’an. Setiap orang yang berpandangan bahwa al-Qur’an adalah qadīm adalah kafir. Isu ini tentu jauh lebih ringan daripada permasalahan yang dihadapi al-Rānīrī>. Di kalangan teolog Sunni juga ditemui hal serupa. Hal ini sebagaimana ditemui dari teologi yang dikembangkan oleh ‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī (429 H.) yang menulis kritikan terhadap Mu‘tazilah dan aliran teologi lainnya di dalam kitab Uṣul al-Dīn dan al-Farq bayn alFiraq. Al-Baghdādī tidak segan untuk menganggap kafir Muktazilah dalam konteks tertentu sebagaimana telah dikemukakan pada bab kedua. 354 Pandangan tersebut berbeda dengan tokoh Sunni moderat seperti al-Ghazālī. Ia tidak sepakat dalam menganggap kafir Mu‘tazilah dan Mujassimah. Ia menegaskan bahwa kekeliruan dalam interpretasi terhadap teks suci tidaklah menyebabkan seseorang kafir. Karena Mu‘tazilah dan Mujassimah, ungkap al-Ghazālī, pada dasarnya tidak mengingkari syariat. Tetapi hanya keliru dalam memberikan interpretasi. 355 Dalam hal ini, al-Rānīrī> tampak terlihat tidak bisa sedikit tasāmuḥ (toleransi) terhadap kekeliruan ungkapan-ungkapan ḥamzah berdasarkan pertimbangan prinsip teologi yang dipandangnya vital. Di sisi lain, al-Rānīrī termasuk tokoh Nusantara yang sangat serius mengikuti ajaran Ibn ‘Arabī>. Hal ini terlihat dari tema-tema yang ditampilkan dalam karya-karyanya, seperti teori wujud, sifat Allah, nur Muhammad, a‘yān thābitah, hierarki tajallī yang sering disebut dengan P35F
P354F
354
‘Abd al-Qāhir al-Baghdādī, Uṣul al-Dīn, (Lahore: al-Maktabah al‘Uthmanīyah, t.t.), 335. ia menyebutkan bahwa menganggap Mu‘tazilah menjadi kafir harus ditetapkan karena beberapa hal, di antaranya keyakinan Wāṣil bin ‘Aṭā’ mengenai takdir yang akan menjerumuskannya kepada penetapan dua pencipta secara tidak langsung, keyakinan bahwa ada tempat (manzilah) di antara dua manzilah, penolakan terhadap kekhalifahan ‘Alī dan kredibilitasnya serta anggapan posibilitas tarhadap kefasikan para sahabat, berkurangnya qudrah Allah berkurang seiring dengan lenyapnya alam semesta, anggapan Abū Hudhayl bahwa jisim tidak tidak ada batas, anggapan Mu‘ammar bahwa Allah tidak menyiptakan ‘arad} (accident) seperti warna, suhu dan cuaca, manusia mempunyai sifat ketuhanan, manusia tidak mempunyai perbuatan kecuali berupa irādah (kehendak), pengetahuan hanyalah keniscayaan, anggapan Mu‘tazilah di Baghdad bahwa Allah tidak melihat dan mendengar kecuali dalam artian al-ilm bi al-masmū‘ (mengetahui substansi yang didengar tetapi bukan mendengar), anggapan al-Jubba’ī bahwa Allah menaati keinginan hamba-Nya. Al-Baghdādī menegaskan bahwa kekeliruan yang menyebabkan mereka kafir sangat banyak sehingga bisa diperinci kecuali oleh Alla Al-Baghdadi, Uṣūl al-Dīn, 335-336. 355 Al-Ghazali, al-Iqtiṣād fī al-I‘tiqād, (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), 178.
102
ta‘ayyun. Ini menunjukkan bahwa tema apa pun yang dikaji oleh ḥamzah Fanṣurī dan Shams al-Dīn juga didalami dan ditulis oleh al-Rānīrī. Walaupun beberapa peniliti seperti al-Attas menilai bahwa ḥamzah bukan tergolong Wujūdīyah Mulḥidah tetapi al-Rānīrī> mempunyai pandangan lain. Secara garis besar al-Rānīrī menegaskan bahwa ḥamzah dan pengikutnya keliru dalam memahami teks-teks Ibn ‘Arabī>>. 356 Dua perspektif inilah yang memang rumit dipahami, terutama bagi peneliti teologi Ibn ‘Arabī yang mempengaruhi ḥamzah dan Shams al-Dīn. Tidak sedikit yang mengira bahwa ḥamzah dan Shams alDīn adalah penganut waḥdat al-wujūd. Adapun al-Rānīrī sering dipandang sebagai orang yang anti terhadap konsep tersebut, karena ia seorang Sunni. Anggapan tersebutlah yang jauh hari telah diantisipasi oleh al-Rānīrī dalam kitab Jawa>hir al-‘Ulūm sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Al-Rānīrī mengingatkan agar pembaca karya-karya Ibn ‘Arabī tidak keliru dalam memahami ungkapan-ungkapan rumit sebagaimana ḥamzah. 357 P35F
P
P356F
P
B. KonsepWujūdīyah Muwaḥḥid > Nūr al-Dīn al-Rānīrī Sebagaimana pernah disinggung di atas bahwa al-Rānīrī> menilai dirinya juga sebagai penganut ajaran Wujūdīyah, tetapi lebih mengarah kepada pengesaan Allah secara hakiki. Inilah yang ia sebut dengan Wujūdīyah muwaḥḥid. Tetapi di sisi lain, Shams al-Dīn yang menjadi objek kritikan al-Rānīrī, juga mengaku sebagai muwaḥḥidi}n ṣiddiqin (penganut tauhid yang benar). 358 Apabila diperhatikan dari aspek metodologis maka konsep alRānīrī> mengenai ajaran Wujūdīyah lebih sistematis dan jelas daripada P357F
P
356
Al-Rānīrī, Jawa>hir al-‘Ulum fi Kashf al-Ma‘lum, manuskrip dikoleksi Perpusnas ML 462, 94. Pada naskah ini hanya ditulis bab ke-4 tentang a‘yān al-thābitah dan bab ke-5 tentang af‘āl Allāh yang disertai dengan pendekatan analogi Allah dan Alam dengan lebih dari sepuluh macam perumpaan. Al-Rānīrī tidak jarang mengemukakan prinsip teologi sufi yang mendasar dengan ungkapan bahasa Arab, baik itu yang berasal dari dirinya atau kutipan dari tokoh lain. Ia sangat sering menukil teks asli dari tiga tokoh, Ibn ‘Arabi>>, Nn>r al-Dīn al-Jāmī, dan ‘Abd al-Karīm al-Jīlī. Ini menunjukkan bahwa literatur yang digunakan al-Rānīrī>> sangat otoritatif. 357 Al-Raniri, Jawa>hir, 94. 358 Abdul Aziz Dahlan, Penilian Teologis terhadap Ajaran Wahdat al-Wujud (kesatuan wujud): Tuhan Alam dan Manusia (Jakarta: IAIN IB Press, 1999), 35. Ini sebagaimana diperolehnya dalam manuskrip Risalah Tubayyin ‘an Mulāḥazhat alMuwaḥidīn yang telah disunting oleh Van Niewenhuijze orang Belanda yang menulis disertasi tentang Shams al-Dīn, Samsu ‘l-Din van Pasai: Bijdrage tot de Kennis der Sumatraansche Mystiek. Tetapi, sebagaimana disayangkan Abdul Aziz, disertasi tersebut tidak terbaca oleh dosen IAIN karena berbahasa Belanda.
103
pemaparan ḥamzah dan Shams al-Dīn sebagaimana akan dikemukakan di sini. Tetapi juga harus diakui bahwa karya-karya al-Rānīrī, ḥamzah, dan Shams al-Dīn mempunyai kesamaan dan perbedaan, terutama dalam konsep wujud. Dapat dikatakan bahwa setiap ajaran kesufian bertujuan untuk merasakan eksistensi Allah dengan nyata. Dalam ungkapan lain, wājib alwujūd sebagai wujud hakiki adalah pokok persoalan yang mau mereka pecahkan. Namun sayang sekali, masing-masing mereka mempunyai ’gaya’ pengungkapan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, al-Rānīrī> dengan terus terang menyatakan bahwa ia mengikuti Ibn ‘Arabī>>, al-Jīlī, dan Nūr al-Dīn al-Jāmī. Walaupun tidak menggunakan term waḥdat al-wujūd, tetapi ungkapan al-Rānīrī terlihat lebih dekat kepada konsepsi Ibn ‘Arabī. Al-Rānīrī berpandangan bahwa sebenarnya tidak ada dualisme wujud. Ini dikarenakan eksistensi alam hanyalah pada tataran khayālī (imajinatif). Ia menegaskan bahwa tidak ada yang mawjūd melainkan hanya Allah semata. Adapun alam juga bukan berupa zā’id (tambahan) pada hakikat ilmu Allah yang biasa disebut dengan a‘yān thābitah. Tetapi al-Rānīrī mengingatkan bahwa hal tersebut hanyalah pada ahli hakikat yang mendapatkan kashf (penyingkapan rohani). Bahkan ia menyebutkan secara teoritis konsep ini juga dianut oleh ahli kalam. 359 Hal ini menunjukkan bahwa di satu sisi perspektif ineksistensi alam merupakan hasil dari fase perjalanan spiritual tertinggi yang bersifat subjektif bagi seorang sufi, dan di sisi lain merupakan sebuah konklusi dari teori ilmu kalam. Ketika dihadapi pertanyaan “Bukankah alam ini nyata bagi manusia?”, maka al-Rānīrī> menjelaskan bahwa konsep wujud tunggal adalah berdasarkan kashf sufi. Dalam konteks kashf, sebenarnya alam semesta tidak ada di sisi Allah sebagaimana dilihat manusia. Bagi alRānīrī, ketika seseorang mencapai kashf maka wujud alam hanya bersifat majāzī ẓill> (semu dan bayangan). Ia menganalogikannya dengan bayang-bayang yang kelihatan di dalam cermin atau bayang-bayang kayu yang kelihatan di dalam sungai. 360 Kata kunci dari pandangan ini adalah kashf P358F
P
P359F
P
359
Al-Rānīrī mengatakan:“Pada ahli taḥqīq (hakikat) alam semesta tiada yang mawjud. Segala-gala tiada yang mawjud malainkan ḥaqq (Allah) ta‘ala jua. Dan alam ini tiada ia zā’id (tambahan) pada hakikat ma‘lūm Allah ta‘ala, yaitu a‘yān thābitah Segalagala tiada ada ia mawjud. Dikarnai mustahil qiyām segala ḥādith (baru) dengan zat ḥaqq ta‘alha, [maka] Allah juga mustahil zat-Nya jadi ẓarf (sifat) atau maẓrūf (yang disifati) bagi yang lainnya. Al-Rānīrī, Jawa>hir, 14. 360 Al-Rānīrī, Jawa>hir, 17.
104
yaitu penyingkapan spiritual. Al-Rānīrī terlihat senada dengan pandangan al-Kūrānī> yang tidak menyamakan pandangan nyata dan kashf spiritual seorang sālik ketika menyaksikan perbuatan, sifat, dan zat Allah 361 Dalam hal ini, al-Rānīrī> menggunakan term a‘yān thābitah untuk menjelaskan hubungan eksistensi Allah dan alam. A‘yān thābitah merupakan bayangan zat Allah (ẓill al-dhāt al-ilahīyah). Adapun A‘yān al-khārijīyah (alam semesta) merupakan bayangan dari a‘yān thābitah. Dua hal ini merupakan bagian dari hierarki tanazzul Allah. Maka dari aspek tanazzul, “dia” adalah Allah sebagai substansi manusia. Namun bukan substansi dari aspek ta‘ayyun. 362 Berdasarkan konsep ini, al-Rānīrī menguatkan pendapatnya bahwa tidak ada yang wujud melainkan Allah saja. 363 Konsep ini memang sesuatu yang lazim di kalangan sufi klasik. Ini terlihat dari pandangan Ibn Sab‘īn mengenai wujud Allah yang muṭlaq. Wujud hanyalah satu, yaitu Allah yang disebut dengan al-wujūd al-muṭlaq. Pada dasarnya, alam –sebagaimana ditegaskan Ibn Sab‘īntidak memunyai wujud kecuali dengan bersandar kepada Allah. Tetapi ia mengingatkan sebelumnya, bahwa pernyataan ini harus dipahami dalam konteks bahwa alam sebagai sesuatu yang bersifat mumkin. 364 Apabila Allah adalah wujud muṭlaq, maka alam –yang dicontohkan Ibn Sabi‘īn dengan anā wa-anta “aku dan kamu”- adalah muqayyad. 365 Ibn Sab‘īn menyadari dengan konsep ini -yaitu “anā wa anta”- tidaklah ada karena tidak independen. Berdasarkan hal tersebut, ia menyatakan pertobatannya dari ungkapan “Tidaklah aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah setelahnya atau bersamanya atau sebelumnya”. Ia menegaskan bahwa pada tataran ini hanya dikatakan huwa huwa huwa (Dia; Allah).366 Ibn Sab‘īn menginginkan bahwa hanya ada wujud murni Allah semata. Konsep ini terlihat selaras dengan konsep yang dikemukakan oleh alRānīrī. Di sisi lain, hal ini akan berbeda dengan Ibn ‘Arabī>> yang berbicara pada tataran ontologis. Ibn ‘Arabī mengatakan bahwa anā anta, 361 362
ḥaqā’iq, 2.
Al-Kūrānī, al-Maslak al-Jalī, 157. Al-Rānīrī, Jawa>hir, 17. Ini juga dijelaskan oleh ‘Abd al-ṣamad, Lubb al-
363
Al-Rānīrī, Jawa>hir, 19. Ibn Sab‘īn, Sharḥ Risālah al-‘Ahd, 170; Ibn Sab‘īn, al-Risālah alRid}wānīyah, 412. 365 Ibn Sab‘ì>n, al-Risālah al-Rid}wānīyah, 412. 366 Ibn Sab‘ì>n, al-Risālah al-Rid}wānīyah, 412. 364
105
wa-naḥnu anta, anta huwa, wa-al-kull huwa (“Aku adalah Engkau, dan kami adalah Engkau, Engkau adalah Dia, dan segala sesuatu adalah Dia”), maka al-Rānīrī> menegaskan bahwa ungkapan tersebut hanya bisa dijelaskan berdasarkan konsep di atas. Ia mengatakan, jika anā adalah anta dikatakan pada martabat waḥdah –yaitu belum zahir pada a‘yān kharijīyah- maka perkataan Ibn ‘Arabī adalah benar. 367 Hal ini menunjukkan bahwa al-Rānīrī mempunyai sifat toleransi ketika ada yang mengungkapkan perkataan tersebut sesuai dengan konteks. Adapun jika ungkapan tersebut dikatakan setelah alam semesta menjadi zahir dan a‘yān khārijīyah telah berwujud nyata, maka al-Rānīrī> menilai ungkapan esoteris tersebut akan menyebabkan terjatuh kepada kekeliruan teologis yang berbahaya. Ini dikarenakan sesuatu yang zahir dan batin mempunyai implikasi hukum teologis yang berbeda. Ia menegaskan bahwa aspek batin merupakan sesuatu yang masih tersembunyi. Adapun aspek zahir merupakan sesuatu yang mempunyai sisi wujud khārijī (eksistensi yang tampak). 368 Inilah alasan mengapa alRānīrī menilai pernyataan kelompok Wujūdīyah pengikut ḥamzah dianggap sesat. Dalam pandangannya ḥamzah ketika spiritualnya sudah pada tataran a‘yān khārijīyah. Konsep ini juga tampak bisa menjelaskan kerumitan konsep Ibn ‘Arabī> mengenai substansi manusia. Ibn ‘Arabī pernah mengatakan bahwa alam semesta merupakan insān kabīr (biggest human), sehingga dihukumi dengan hukum manusia. Substansi Allah adalah batin manusia dan sumber potensi yang menjadikannya sebagai hamba. Berdasarkan analogi ini, substansi Allah adalah potensi alam (quwwa-al-‘ālam) yang menjadikannya “manusia besar”, sehingga alam senantiasa bertasbih kepada Tuhan. 369 Ibn ‘Arabī> tampak menjadikan konsep ini sebagai hasil dari pencapaian tertinggi keikhlasan. Ia mengatakan bahwa Allah menuntut manusia untuk beribadah karena ibadah menjadikan manusia sebagai hamba. Sebenarnya manusia tidak menjadi hamba melainkan dengan 367
Al-Rānīrī, Jawa>hir, 25. Ia menyebutkan bahwa ungkapan tersebut ditemui dalam kitab Ibn ‘Arabi> yang berjudul al-Manāzil al-Insanīyah Ini menunjukkan bahwa-al-Rānīrī> memang sangat tekun menelusuri karya-karya Ibn ‘Arabī. Menariknya, al-Rānīrī menerima kontekstualisasi pembicaraan Ibn ‘Arabī. 368 Al-Rānīrī, Jawa>hir, 25. 369 Ibn ‘Arabi>, al-Futūhāt, VII/207, bab ke 503. ia mengatakan.
ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻌﺎﻟﻡ ﻛﻠﻪ ﺇﻧﺳﺎﻥ ﻛﺑﻳﺭ ﻛﺎﻣﻝ ﻓﺣﻛﻣﻪ ﺣﻛﻡ ﺍﻹﻧﺳﺎﻥ ﻭﻫﻭﻳﺔ ﺍﻟﺣﻕ ﺑﺎﻁﻥ ﺍﻹﻧﺳﺎﻥ ﻭﻗﻭﺍﻩ ﺍﻟﺗﻲ . ﻛﺎﻥ ﺑﻬﺎ ﻋﺑﺩﺍً ﻓﻬﻭﻳﺔ ﺍﻟﺣﻕ ﻗﻭﻯ ﺍﻟﻌﺎﻟﻡ ﺍﻟﺗﻲ ﻛﺎﻥ ﺑﻬﺎ ﺇﻧﺳﺎﻥ ﻛﺑﻳﺭﺍً ﻋﺑﺩﺍً ﻣﺳﺑﺣﺎ ً ﺭﺑّﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ 106
substansi-Nya (huwīyatuhu). Pada tataran ini, rumit dikatakan bahwa manusia dinamakan “tuhan” dan “hamba” sekaligus. 370 Ini dikarenakan ketika dikatakan bahwa ia sebagai “tuhan” maksudnya adalah penafian terhadap substansi kemanusiaan. Adapun dikatakan hamba adalah penetapan unsur kehambaan. Ibn ‘Arabī> menyebut konsep ini dengan ungkapan al-majmū‘ (terkumpul). Ibn ‘Arabī beralasan bahwa ibadah pada dasarnya tidak mempunyai eksistensi dan atribut, kecuali dengan penggabungan. Adapun Allah sendiri tidak membutuhkan alam semesta ataupun ibadah, karena Dia Maha Esa dengan kekayaan-Nya. Setelah menegasikan eksistensi hamba dalam konteks penyembahan, barulah Ibn ‘Arabī menegaskan bahwa Allah adalah substansi dari hamba. Ketika menghadapi hadis yang menyebutkan jawaban Allah terhadap hamba yang membaca surah alFātiḥah, Ibn ‘Arabī menjelaskan bahwa Allah memuji diri-Nya sendiri, tetapi melalui hamba-Nya. Ia menukilkan bahwa seakan Allah berfirman ”Athnaytu ‘alā nafsī fi ṣūratī ‘abdī” (Aku memuji diri-Ku dalam formulasi hamba-Ku). 371 Sebenarnya Ibn ‘Arabī> menerima konsep ittiḥād, bahkan ia mengembangkannya. Tetapi penerimaan tersebut hanya pada tataran intuitif yang tidak akan berbenturan dengan prinsip teologi. Ketika ia mengatakan bahwa orang yang menganut ajaran ittiḥad maka ia terjebak kepada ilḥād. 372 Ini merupakan ittiḥād teologis, sehingga jika diterjemahkan ungkapan ilḥād adalah ingkar. Terkadang ilḥad lebih mirip dengan ateisme yang berarti pengingkaran wujud Tuhan karena P370F
P371F
P
370
Ibn ‘Arabi>, al-Futūhāt, VII/207. Ungkapan majmū‘ dalam terminologi yang digunakan Ibn ‘Arabi> merupakan salah satu metode pengenalan kepada Alla Ia menyebutkan bahwa ada tiga pengetahuan terhadap Allah, pertama imajinasi yang tertanam dalam diri manusia. Kedua, informasi dari wahyu, dan ketiga pengenalan intuitif yang ia sebut dengan majmū‘. Lebih lanjut ia mengatakan dalam sebuah syair 371
ﻭﺍﻟﺣﻕ ﻏﻳﺭ ﺍﻟﻌﺑﺩ ﻟﺳﺕ ﺗﺭﺍﻩ... ﻓﺎﻟﺣﻕ ﻋﻳﻥ ﺍﻟﻌﺑﺩ ﻟﻳﺱ ﺳﻭﺍﻩ ﻻ ﺗﻔﺭﺩﻧﻪ ﻓﺗﺳﺗﺑﻳﺢ ﺣﻣﺎﻩ... ﻓﺎﻧﻅﺭ ﺇﻟﻳﻪ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺟﻣﻭﻋﻪ ﻟ ﻣﻧﻙ ﻋﺑﺎﺩﺓ ﺗﻠﻘﺎﻩ... ﻫﺫﺍ ﻫﻭ ﺍﻟﺣﻕ ﺍﻟﺻﺭﻳﺢ ﻓﺄﺧﻠﺻﻭﺍ
Maka Allah adalah substansi hamba yang tiada selain-Nya, tetapi Allah bukanlah hamba sebagaimana engkau tidak melihatnya. Maka lihatlah terhadapnya dengan majmū‘-Nya, janganlah pisahkan sehingga engkau menghilangkannya. Inilah Dia, Alla Maka ikhlaskanlah dirimu, niscaya engkamu menjumpainya. 372 Ibn ‘Arabī, al-Futūhāt, VII/129. Di dalam kitab Rūḥ al-Quds ia mengatakan: "Celaanku terhadap kaum sufi adalah karena kelompok ḥulūlīyah, Ibāḥīyah dan sejenisnya dari mereka mengungkapkan berbegai klaim dan pura-pura dalam menampilkan (ungkapan-ungkapan aneh)." Ibn ‘Arabī, Ruh al-Quds, 67.
107
terjadi persatuan dua wujud. Ittiḥād teologis dalam kategori inilah yang ditolak oleh Ibn ‘Arabī. Tampaknya al-Rānīrī> juga ingin mengembangkan prinsip Ibn ‘Arabī tersebut, bahkan malah terkesan lebih ketat. Dari sudut pandangan lain, memang konsep inilah yang ditentang oleh Ibn Taymīyah. Ia memahami bahwa pemahaman mengenai ma‘rifat kepada Allah di kalangan sufi yang terbatas kepada pengenalan terhadap al-wujūd al-muṭlaq. Wujud yang mutlak tersebut ‘mengalir’ dalam alam semesta, sehingga keberadaan segala sesuatu yang ada adalah Allah sebagai ‘ayn wujūdnya. Ini dikarenakan Allah adalah zat yang wājib alwujūd. 373 Ini merupakan asumsi Ibn Taymīyah yang mencoba mempersempit pengertian terhadap wujud Allah di kalangan Sufi. Ibn Taymīyah menolak ungkapan juga Ibn Sab‘īn dan al-Qūnawī yang menyebutkan bahwa wujūd muṭlaq tersebut ada tanpa ada syarat dan kriteria tertentu. Ini dikarenakan pendapat tersebut menurut Ibn Taymīyah mempunyai konsekuensi pemikiran yang berbahaya, yaitu menganggap wujud Allah bagian dari wujud alam. Ini dikarenakan Allah telah dianggap sebagai bagian dari sesuatu yang mu‘ayyan (wujud yang telah jelas). 374 Tetapi jika dirujuk kepada Ibn Sab‘īn, maka ditemui pernyataan bahwa Allah yang berwujud muṭlaq bukan berarti menjadi bagian dari alam, karena memang alam tidak berwujud. Di beberapa tempat, justru ia memberikan penekanan tentang keberadaan wujud alam semesta yang plural. Namun, dalam hukum rasional alam semesta adalah tunggal, sedangkan keragamannya hanya pada tataran makhluk. Alam hanya ada karena qudrah Allah. Berdasarkan statemen ini, ia mengatakan bahwa qudrah Allah adalah substansi alam semesta. Apabila rasionalitas dari ungkapan ini diteruskan, maka sifat Allah tidaklah lain dari zat-Nya. Oleh karena itu, Allah adalah substansi dari alam semesta yang mumkin. 375 Namun, pemahaman ontologis ini terlihat sulit dipahami secara bijak oleh Ibn Taymīyah. Bahkan lebih dari itu, Ibn Taymīyah menegaskan keyakinan ini merupakan susbtansi dari kepercayaan kelompok Materialis yang menyangkal keberadaan Pencipta alam. Ia menambahkan bahwa dalam P372F
P37F
P
P
P374 F
373
P
Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwā, VII/590; Ibn al-Qayyim, Madārij al-Sālikīn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Arabī, 1973), III/519. Ibn Taymīyah mengatakan:
ْ َ ْ ﻭﺍﻟ ْ ْ ﺕ َﻓﻭُ ﺟﻭﺩ ﻛ ﱢﻝ ﻣﻭﺟﻭ ٍﺩ ِ ّﺎﺭﻱ ﻓِﻲ ْﺍﻟﻛﺎ ِﺋ َﻧﺎ ِ ﻌﻠ ُﻡ ﺎَہﻠ ﱠ ِ ﻟ ﻫ َُﻭ ﻋِ ْﻧ َﺩ ُﻫ ْﻡ ِﺑﺄ ﱠﻧ ُﻪ " ْﺍﻟﻭُ ﺟُﻭ ُﺩ ْﺍﻟﻣُﻁﻠَ ُﻕ " ﺍﻟﺳ َﻭ َﺣﻘِﻳ َﻘ ُﺔ َﻫ َﺫﺍ ْﺍﻟ َﻘ ْﻭ ِﻝ َﻗ ْﻭ ُﻝ ﺍﻟﺩﱠﻫْ ﺭ ﱠﻳ ِﺔ ﱠ. ﺏ ْﺍﻟﻭُ ﺟُﻭ ِﺩ ﻭﻥ ِ ﻫ َُﻭ َﻋﻳْﻥُ ﻭُ ﺟُﻭ ِﺩ َﻭﺍ ِﺟ َ ُﻭﻥ ﺃَﻥْ َﻳ ُﻛ َ ِﻳﻥ ُﻳ ْﻧ ِﻛﺭ َ ﺍﻟﻁ ِﺑﻳ ِﻌ ﱠﻳ ِﺔ ﺍﻟﱠﺫ ِ .ﻟ ِْﻠ َﻌﺎﻟَ ِﻡ ُﻣ ْﺑ ِﺩ ٌﻉ ﺃَ ْﺑ َﺩ َﻋﻪ 374 375
Ibn Taymīyah, ṣafadīyah, (t.p.: 1406), I/225. Ibn Sab‘īn, Sharḥ} Risālat al-‘Ahd, 119.
108
ajaran tasawuf diyakini hal yang sama dengan sifat Pencipta alam, yaitu wājib al-wujūd bi nafsihi (wajib ada dengan zatnya sendiri). Ibn Taymīyah menguatkan asumsinya ini dengan menukilkan informasi yang dengar dari kaum sufi tentang percakapan antara Ibn ‘Arabī>> dan alSuhrawardī>. Ibn ‘Arabī menanyakan tentang apakah mungkin terjadi dialog Tuhan dengan hamba-Nya ketika melakukan tajallī. Al-Suhrawardī memberikan jawaban bahwa hal tersebut sangat mungkin terjadi. Namun Ibn ‘Arabī menyela bahwa justru sebaliknya bahwa dialog tersebut tidak mungkin terjadi. Perbedaan tersebut terjadi karena Ibn ‘Arabī berbicara dalam konteks penyaksian zat, sedangkan orang kedua berbicara tentang penyaksian sifat. Berdasarkan kisah ini, Ibn Taymīyah menilai kebanyakan sufi -yang ia sebut sebagai ahl al-taṣawwuf wa-al-sulūk waal-ṭalibīn li ṭarīq al-ḥaqq- keliru dan menyimpang dari ajaran Nabi Saw. Tetapi ia sendiri merasa heran mengapa kaum sufi malah mengagungagungkan Ibn ‘Arabī dan al-Suhrawardī, padahal mereka membangun konsep kesufian berdasarkan ajaran ta‘ṭīl (penegasian sifat) dan ittiḥad yang rusak. 376 Ibn Taymīyah menilai ajaran sufi menyimpang karena dengan konsep “wujūd muṭlaq” maka terdapat penegasian nama dan sifat terhadap Allah. Bahkan Ibn Taymīyah menilai ajaran Ibn ‘Arabī>> dan al-Suhrawardī> dipengaruhi filsafat Yunani ketika mengatakan bahwa Tuhan memanifestasikan wujud-Nya yang universal dalam penampakan partkular (juz’ī). Sebagaimana filosof Yunani yang ia sebut sebagai almanṭiqīyīn al-yūnānīyīn, dua tokoh sufi ini juga meyakini bahwa substansi alam semesta disertai oleh jawāhir ‘aqlīyah. Ibn Taymīyah melanjutkan, maka terdapat pada subtansinya sesuatu yang disebut dengan insān ‘aqlī, dan seterusnya ada hewan ‘aqlī, nāṭiq ‘aqlī, dan jism ‘aqlī. Berdasarkan hal ini, maka Ibn Taymīyah dengan ringan mengatakan bahwa perkataan mereka lebih identik dengan perkataan “orang gila”, karena bertentangan dengan pendekatan indrawi dan rasioal. Adapun muridnya, Ibn al-Qayyim menyebut mereka sebagai orang-orang yang ateis (mulḥidūn atau Mulāḥidah). 377 376
Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwā, II/167. ‘Alī ‘Abd al-Jalīl, al-Rawḥīyah, 445. Ibn Taymīyah, Majmū‘ Fatāwā, II/167. Ia menambahkan bahwa wujud tersebut hanyalah ilusi dalam pikiran mereka. Tetapi ia juga menjelaskan di tempat lain bahwa pokok pikiran ini muncul dikarenakan para sufi dalam kategori ini mengikuti Plato. Plato memang dikenal sebagai filosof yang meyakini “ide” sebagai sesuatu yang nyata, walaupun memang tidak ada realitanya. Ibn Taymīyah, al-Jawa>b al-ṣaḥīḥ li man baddala Dīn al-Masīḥ, (Riyad}: Dār al-‘Aṣimah, 1414 ), II/407; Ibn al-Qayyim, Madārij al-Sālikīn >, III/519; Ibn al-Qayyim, Ighāthat al-Lahfān, II/253. 377
109
Ibn Taymīyah juga sempat menyinggung pembahasan tentang apakah bagi alam semesta yang bersifat mumkināt mempunyai a‘yān thābitah ketika masa ketiadaan alam semesta melainkan wujud Allah semata, atau Allah itu sendiri yang menjadi ‘ayn (substansi) dari mumkināt. Dalam hal ini, ia menghubungkan pendapat pertama kepada Ibn ‘Arabī>> yang mengarang Fuṣūṣ al-ḥikam. Adapun pendapat pertama dikaitkan kepada ṣadr al-Dīn al-Qūnawī murid Ibn ‘Arabī dan alTilmisa (perusak akal dan agama). 378 Lebih dari itu, Ibn Taymīyah menyebutkan bahwa pendapat yang menyebutkan wujud Allah sebagai ‘ayn (substansi) alam semesta merupakan keyakinan Itti}hādīyah Jahmīyah ḥulūlīyah . 379 Hal tersebut menunjukkan bahwa ia cenderung mengafirkan pendapat ini, karena ia berpandangan bahwa Jahmīyah tergolong kafir. Ini menggambarkan sikap emosional seorang Ibn Taymīyah dalam menghadapi perdebatan teologis. Di sisi lain, terlihat jelas bahwa Ibn Taymīyah memang tidak mempunyai pemahaman yang lugas mengenai perbedaan konsep ittihād, ḥulūl, dan waḥdat al-wujūd. Terkadangan ia menyebut Ibn ‘Arabī>> sebagai penganut ittiḥād, terkadang ia menuduhnya cenderung kepada ḥulūl, dan terkadang waḥdat al-wujūd. Ini tidak hanya dilakukan pada satu tokoh, tetapi kepada banyak tokoh besar sufi. Bahkan, ia menuduh satu tokoh dengan tiga konsep itu sekaligus. Sikap yang tidak konsisten ini juga diakui oleh Muḥammad Muṣṭafá al-ḥilmī. 380 Penentangan Ibn Taymīyah memang wajar terjadi, karena termterm yang dikemukakan Ibn ‘Arabī> memang rumit dipahami. Namun di sisi lain terlihat juga bahwa Ibn Taymīyah tidak berusaha untuk memahami secara objektif. Hal ini berbeda al-Rānīrī>> yang masih mengemukakan kajian tentang a‘yān> al-thābitah dengan lebih terperinci. Malah al-Rānīrī ingin membedakan konteks pembicaraan yang digunakan setelah terjadi tanazzul yang masih tergolong qadīm dengan keberadaan alam sebagai 378
Ibn Taymīyah, Iqāmat al-Dalīl, II/36. Ibn Taymīyah, al-Fatāwā al-Kubrā, VI/633. 380 Muḥammad Muṣṭafā al-ḥilmī, Ibn al-Fārid} wa-al-ḥubb al-Ilāhī (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1985), 190-191. 379
110
a‘yān kharijīyah. Dalam hal ini, ia menilai bahwa alam adalah baru (ḥādith). Al-Rānīrī bahkan berkesimpulan bahwa semua agama sepakat bahwa alam tergolong baru. Ia mengecualikan beberapa kelompok yang akan menjadi objek kritikannya, seperti Dahrīyah (materialisme), filosof, Wujūdīyah Mulḥidah, dan Sofis. Al-Rānīrī memahami bahwa para filosof berpandangan bahwa Allah menciptakan alam bukan sebagaimana dipahami teolog Sunni. Namun mereka berpendapat bahwa alam bagaikan keniscayaan sinar matahari dengan eksistensi matahari. 381 Ini mengandung arti bahwa sinar ada dengan keberadaan matahari itu sendiri. Berdasarkan analogi ini tidak bisa dikatakan bahwa sinar baru ada setelah ada matahari atau sebelum matahari. Tetapi keberadaan tersebut merupakan keniscayaan. Adapun kaum Wujūdīyah Mulḥidah, ungkap al-Rānīrī>, berpandangan bahwa alam adalah Allah itu sendiri, begitu sebaliknya bahwa Allah adalah alam. Allah tidak ada melainkan di dalam wujud alam semesta. 382 Berbeda dengan kaum Sofis yang berpandangan bahwa alam semesta tidak mempunyai substansi. 383 Ini menunjukkan bahwa alRānīrī memang tidak pernah dipengaruhi oleh Ibn Taymīyah dalam mengritisi konsep ḥulūl dan ittiḥād. Namun apabila diperhatikan ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabī> yang menjadi tokoh sumber, maka pemahaman kelompok Wujūdīyah ḥamzah terlihat mendapat tempat untuk beberapa konteks. Ketika Ibn ‘Arabī berbicara tentang nama dan sifat Allah ẓāhir dan Bāṭin, maka akan terlihat darimana ḥamzah mengambil sumber ajarannya. Ibn ‘Arabī menegaskan bahwa masing-masing nama tersebut mengandung dua klasifikasi, ẓāhir mutl}aq dan mud}āf, serta bāṭin muṭlaq dan bāṭin mud}āf. Ibn ‘Arabī terlebih dahulu menjelaskan tentang bāṭin mutlaq yaitu zat Tuhan, sifat-Nya, dan a‘yān thābitah dalam ilmu Allah. adapun bāṭin mud}āf adalah alam arwah. Ia menambahkan bahwa bāṭin mud}āf akan menjadi nyata jika dipandang dari tataran bāṭin muṭlaq. Tetapi sebaliknya, hal ini akan menjadi bāṭin jika dipandang dari ẓāhir muṭlaq. Ia mengartikan ẓāhir muṭlaq sebagai ungkapan terhadap alam nyata, yaitu alam ajsām. P381F
P
P382F
381 382
P
Al-Rānīrī, Jawa>hir, 44. Al-Rānīrī, Jawa>hir, 44. ia menyebutkan:
ﻭﷲ ﻫﻭ ﺍﻟﻌﺎﻟﻡ ﻭﺃﻥ ﷲ ﻟﻳﺱ ﺑﻣﻭﺟﻭﺩ ﺇﻻ،ﻭﻛﺫﺍ ﺍﻟﻭﺟﻭﺩﻳﺔ ﺍﻟﻣﻠﺣﺩﺓ ﻳﻘﻭﻟﻭﻥ ﺍﻟﻌﺎﻟﻡ ﻫﻭ ﷲ .ﻓﻰ ﺿﻣﻥ ﻭﺟﻭﺩ ﺍﻟﻛﺎﺋﻧﺎﺕ 383
Al-Rānīrī, Jawa>hir, 44. ia menukilkan:
ﻭﻛﺫﺍ ﺍﻟﺳﻔﺳﻁﺎﺋﻳﺔ ﺍﻟﻘﺎﺋﻠﻭﻥ ﺑﻧﻔﻲ ﺣﻘﺎﺋﻕ ﺍﻷﺷﻳﺎء 111
Al-Rānīrī terlihat tidak mau kompromi dan sedikit berlapang hati untuk menerima ungkapan kaum Wujūdīyah, dalam hal ini adalah ḥamzah dan Shams al-Dīn. Ia tidak bisa menilai pandangan-pandangan mereka sebagai ungkapan dhawqī (intuitif). Tetapi ia menilai pandangan mereka telah melanggar prinsip teologis. Ketika ungkapan ḥamzah lebih condong kepada konsep ittiḥād dan ḥulūl, maka al-Rānīrī> menegaskan bahwa yang terjadi bukanlah dua hal tersebut. Ini dikarenakan ia berpandangan bahwa mustahil zat yang qadīm bersatu atau menempati sesuatu yang baru. Tetapi yang terjadi adalah tajallī atau manifestasi zat kepada alam semesta. Al-Rānīrī menganalogikan dengan seseorang yang bercermin dengan bayangannya di dalam cermin. Orang tersebut melihat dirinya di dalam cermin, tetapi ia tidak masuk dan bersatu dengan bayangan dalam cermin. 384 Analogi lain yang membuat kaum Wujūdīyah keliru dalam pandangan al-Rānīrī> adalah perumpamaan laut dan ombak. Al-Rānīrī menilai Wujūdīyah berpandangan bahwa terjadi ittiṣāl (hubungan persatuan) antara air dan ombak yang berarti terjadi hubungan antara qadīm (Allah) dan ḥādith (alam). Al-Rānīrī tampak cenderung kepada penjelasan al-ṣāwī dalam Durr Manzhum bahwa hubungan antara Allah dan alam bukanlah sama persis seperti bersatunya air dan ombak. Ini dikarenakan hubungan air dan ombak bersifat empiris (hissī), sedangkan Allah dan alam bersifat abstrak (‘aqlī). 385 Al-Rānīrī menjelaskan bahwa penganalogian yang dilakukan kelompok Wujūdīyah mengabaikan banyak hal. Berdasarkan hal tersebut ia mengemukakan bahwa analogi yang benar adalah dengan menyebutkan bahwa zat Allah bagaikan air, sifat-Nya bagaikan rasa asin airnya, namaNya bagaikan penamaan “laut’ pada air, tajallī-Nya ibarat angin yang bergerak pada laut, sedangkan af‘alnya adalah kemunculan ombak. 386 Al-Rānīrī selalu menyisipkan peringatannya agar setiap Muslim tidak terpedaya oleh ungkapan kaum Wujūdīyah mulḥidah yang berpandangan bahwa Allah bersatu dengan alam. Ia menyebut kelompok ini sebagai kaum zindik, “Hai segala ahli Islam dengarlah kata mulḥid yang zindiq semata-mata kufur dijadikannya wujud Allah yang laysa kamithlihi shay’ itu bersuatu (bersatu) dengan makhluq yang muḥdath”. 384
Al-Rānīrī, Jawa>hir, 63. ia mengatakan:
ﻛﻣﺎ ﺍﻟﺭﺍء ﻓﻰ ﺍﻟﻣﺭﺃﺓ ﻻﺡ،ﻓﻣﺎ ﺣﻝ ﺫﺍﺕ ﺍﻟﺣﻕ ﻓﻰ ﺍﻟﻣﻣﻛﻧﺎﺕ ﺑﻝ ﺗﺟﻠﻰ ﺑﻌﻛﺱ ﻭﻣﺟﻝ ﻗﻭﺑﻼ .ﺑﻌﻛﺱ ﻭﻟﻛﻧﻪ ﻣﺎ ﺣﺎﻝ ﻓﻳﻬﺎ ﺗﻧﻘﻳﻼ 385 386
Al-Rānīrī, Jawa>hir, 69. Al-Rānīrī, Jawa>hir, 70.
112
Zindiq biasa diidentikkan dengan seseorang yang merusak agama, tetapi akar katanya menunjukkan arti yang senada dengan ilḥād. 387 Dalam hal ini, memang harus diakui bahwa al-Rānīrī> tampak sangat terpengaruh oleh kebiasaan teolog-teolog klasik seperti ‘Abd alQāhir al-Baghdādi (429 H.) yang tidak keberatan untuk mengafirkan dan menuduh zindik siapa saja yang melanggar prinsip akidah. Tetapi, ‘Abd al-Qāhir masih keberatan mengafirkan ḥallāj, sebagai tokoh yang dikafirkan pada zamannya. Ini berbeda dengan al-Rānīrī yang memang tidak sepakat dengan ungkapan-ungkapan Ha}mzah. Al-Rānīrī, sebagaimana disebutkan sebelumnya, menginginkan penegasan wujud mutlak bagi Allah semata dan menafikan dualisme wujud. Inilah sebenarnya substansi dari ajaran waḥdat al-wujūd yang diklaim berasal dari Ibn ‘Arabī>. Namun, seperti dikemukakan di atas, penisbahan waḥdat al-wujūd kepada Ibn ‘Arabī> adalah penyempitan wacana terhadap ajaran Ibn ‘Arabī. Ini dikarenakan Ibn ‘Arabī juga menerima ajaran ittiḥād dan ḥulūl pada tataran dhawqī bukan i‘tiqādī, bahkan mengembangkannya lebih jauh. Hal ini tentu berbeda dengan kritikan yang menerjemahkan fanā’ versi Ibn ‘Arabī dengan ungkapan lā mawjūda illá Allāh. Ibn Taymīyah memahami bahwa ungkapan tersebut mengindikasikan penyamaan wujud Allah dan makhluk. Ia mengatakan bahwa fanā’ dalam kategori ini berakibat kepada penegasian perbedaan antara Tuhan dan hamba. Fanā’ ini disebut oleh Ibn Taymīyah sebagai fana’ aliran yang sesat dan ateis, karena terjebak kepada ḥulūl dan ittiḥād.388 Ibn Taymīyah mempunyai interpretasi yang lain tentang ungkapan-ungkapan esoteris sufi. Ketika disebutkan “Aku tidak melihat sesuatu selain Allah” maka Ibn Taymīyah mencoba memberikan penafsiran yang dianggapnya lebih benar, yaitu “Aku tidak melihat ada tuhan atau pencipta atau pengatur selain Allah”. Ini dikarenakan ketika hati seseorang terikat oleh sesuatu yang lain, maka ia akan menghadap kepadanya. 389 P387F
P38F
P
P
387
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Dār al-ṣadir, t.t.), X/143. Zayn al-Dīn al-Rāzī, Mukhtār al-ṣiḥaḥ (Kairo : Dār al-Salām, 2006), 242 ; al-Fayūmī, al-Miṣmaḥ al-Munīr (Beirut : Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, t.t.), II/256. Ibn Manẓūr, Zayn al-Dīn al-Rāzī dan alFayūmī sepakat dalam menjelaskan bahwa kata zindīq merupakan serapan dari bahasa Persia ke Arab (fārisī mu‘arrab). Ibn Manẓur menambahkan bahwa kata ini berarti seseorang yang meyakini keabadian alam. Al-Fayūmī menambahkan bahwa kata ini identik dengan orang yang kurang berpegang kepada syariat. 388 Ibn Taymīyah, Majmū Fatāwā, X/222 389 Ibn Taymīyah, Majmū Fatāwā, X/222. ia mengatakan:
113
Adapun al-Rānīrī> memang terus terang menerima pemaknaan lā ilāha illá Allāh menjadi lā mawjūda illá Allāh. Dengan kriteria bahwa semua wujud dinegasikan kecuali wujud Allah yang wājib al-wujūd. Tidak ada hamba bahkan alam semesta sama sekali. Berdasarkan hal ini terlihat berbeda antara kritikan al-Rānīrī yang memang tidak menyamakan antara Tuhan dan hamba dengan Ibn Taymīyah yang memahami persamaan dari ungkapan tersebut. Bahkan terlihat bahwa alRānīrī sangat membedakan antara Allah dan hamba, dengan ungkapan bahwa Allah itu ada, sedangkan hamba pada hakikatnya tidak ada. Objek yang menjadi permasalahan bagi al-Rānīrī bukan pada ungkapan tersebut. Tetapi ia menolak ketika ada pemaknaan bahwa hamba lebur menjadi Tuhan atau Tuhan lebur menjadi hamba, seperti yang ia tuduhkan ke ḥamzah Fanṣūrī dan Shams al-Dīn. Shams al-Dīn pernah mengatakan, ”Maka hendaklah engkau yakini bahwa Allah adalah ilahmu, rabbmu, hakikatmu, wujudmu, dan batinmu”. 390 Adapun Ibn ‘Arabī> memaparkan tentang ittiḥād ketika membicarakan rahasia puasa. Ia berpandangan bahwa ketika Allah mengatakan bahwa “Puasa adalah milikku” maka pada saat Dia menafikan sifat “puasa” dari manusia. Ia mengatakan, “Kita bersama Allah dalam berpuasa”. Ini dianalogikan dengan ungkapan Bilqis ketika melihat istana yang ada di tempat Nabi Sulaiman, ka’annahu huwa (seakan-akan istana ini seperti istanaku). Padahal, ungkap Ibn ‘Arabī, itu adalah istananya sendiri, namun ia tidak menyadarinya. Berdasarkan itu Ibn ‘Arabī menegaskan bahwa pada tataran asrār (rahasia) ketika berpuasa terjadi ittiḥād. Apabila dikatakan bahwa yang berpuasa adalah manusia maka ungkapan tersebut benar. Begitu juga jika dikatakan bahwa puasa bukanlah untuk manusia tetapi milik Allah, maka ungkapan ittiḥād tersebut juga benar. Namun, Ibn ‘Arabī menggarisbawahi bahwa pernyataan ittiḥād pada konteks ini tidak lain adalah kebenaran penisbahan suatu atribut kepada salah satu dari dua substansi yang
ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻧﻭﻉ ﺍﻟﺛﺎﻟﺙ ﻣﻣﺎ ﻗﺩ ﻳﺳﻣﻰ ﻓﻧﺎء ﻓﻬﻭ ﺃﻥ ﻳﺷﻬﺩ ﺃﻥ ﻻ ﻣﻭﺟﻭﺩ ﺇﻻ ﷲ ﻭﺃﻥ ﻭﺟﻭﺩ ﺍﻟﺧﺎﻟﻕ ﻫﻭ .ﻭﺟﻭﺩ ﺍﻟﻣﺧﻠﻭﻕ ﻓﻼ ﻓﺭﻕ ﺑﻳﻥ ﺍﻟﺭﺏ ﻭﺍﻟﻌﺑﺩ ﻓﻬﺫﺍ ﻓﻧﺎء ﺃﻫﻝ ﺍﻟﺿﻼﻝ ﻭﺍﻹﻟﺣﺎﺩ ﺍﻟﻭﺍﻗﻌﻳﻥ ﻓﻰ ﺍﻟﺣﻠﻭﻝ ﻭﺍﻻﺗﺣﺎﺩ ﻭﻧﺣﻭ ﺫﻟﻙ ﻓﻣﺭﺍﺩﻫﻡ ﺑﺫﻟﻙ، ﻣﺎ ﺃﺭﻯ ﻏﻳﺭ ﷲ ﺃﻭﻻ ﺃﻧﻅﺭ ﺇﻟﻰ ﻏﻳﺭ ﷲ:ﻭﺍﻟﻣﺷﺎﺋﺦ ﺍﻟﻣﺳﺗﻘﻳﻣﻭﻥ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻝ ﺃﺣﺩﻫﻡ ﻣﺎ ﺃﺭﻯ ﺭﺑﺎ ﻏﻳﺭﻩ ﻭﻻ ﺧﺎﻟﻘﺎ ﻏﻳﺭﻩ ﻭﻻ ﻣﺩﺑﺭﺍ ﻏﻳﺭﻩ ﻭﻻ ﺇﻟﻬﺎ ﻏﻳﺭﻩ ﻭﻻ ﺃﻧﻅﺭ ﺇﻟﻰ ﻏﻳﺭﻩ ﻣﺣﺑﺔ ﻟﻪ ﺃﻭ ﺧﻭﻓﺎ ﻣﻧﻪ .ﺃﻭ ﺭﺟﺎء ﻟﻪ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻌﻳﻥ ﺗﻧﻅﺭ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻳﺗﻌﻠﻕ ﺑﻪ ﺍﻟﻘﻠﺏ ﻓﻣﻥ ﺃﺣﺏ ﺷﻳﺋﺎ ﺃﻭ ﺭﺟﺎﻩ ﺃﻭ ﺧﺎﻓﻪ ﺍﻟﺗﻔﺕ ﺇﻟﻳﻪ 390
Shams al-Dīn, Risālah Tubayyin, 42b-43a dari Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis, 106.
114
bersatu. Tetapi tetap ada penekanan terhadap perbedaan substansial di antara keduanya. 391 Namun pada tataran teologis, al-Rānīrī> menemukan celah yang membuat ḥamzah Fanṣūrī dan Shams al-Dīn menyimpang. Ia memberikan contoh kesalahan ḥamzah ketika mengatakan dalam Ruba‘ī bahwa, “Ombak dan air asalnya satu, seperti manikam muhiṭ yang nyatu”. ḥamzah juga mengatakan bahwa “Ana al-ḥaqq jangan takut, itulah ombak menjadi laut, berhenti angin ombaknya fani, pulang ke laut ḥayy Baqī”. ḥamzah menambahkan, “Ombak tiada bercerai daripada laut, Allah tiada bercerai dengan Alam”. Ungkapannya mengenai perumpamaan Alam dan Allah dengan menggunakan ombak dan air dalam pandangan al-Rānīrī menunjukkan konsep ittiḥād pada karya ḥamzah. Terkesan ada dualisme wujud yang menyatu antar satu dengan yang lain. Al-Rānīrī terlihat sangat tidak sepakat ketika ḥamzah mengatakan bahwa Allah tidak bercerai dengan Allah sebagaimana ombak tidak bercerai dengan laut. 392 Begitu juga, Shams al-Dīn mengatakan bahwa, “Ombak pada hakikatnya air laut jua, dari pihak ta‘ayyun lain daripada air laut, yakni pihak wujudnya yang ombak itu keadaan air laut jua”. Ungkapan ḥamzah dan Shams al-Dīn tersebutlah yang menyebabkan al-Rānīrī> melanjutkan interpretasi mereka terhadap kalimat tauhid. Konsekuensi teologis dari 391
Ibn ‘Arabi>, al-Futuḥāt, 2/175-176. bab ke-69 Pasal Qiyām Shahr Ramad}ān. Ungkapan yang semakna juga ia tulis pada bab ke-463. Pada bab ke-69, Ibn ‘Arabī> mengemukakan bahwa rahasia shahr ramad}ān yang menunjukkan keunikan ittihād pada pada tataran dhawqī.
ﻓﻣﻥ ﺃﻧﺎ ﻭﻣﻥ ﻫﻭ ﻫﻭ... ﻟﺳﺕ ﺃﻧﺎ ﻭﻟﺳﺕ ﻫﻭ ﻭﻳﺎ ﺃﻧﺎ ﻫﻭ ﺃﻧﺕ ﻫﻭ... ﻓﻳﺎ ﻫﻭ ﻗﻝ ﺃﻧﺕ ﺃﻧﺎ ﻭﻻ ﻫﻭ ﻣﺎ ﻫﻭ ﻫﻭ... ﻻ ﻭﺃﻧﺎ ﻣﺎ ﻫﻭ ﺃﻧﺎ ﺃﺑﺻﺎﺭﻧﺎ ﺑﻪ ﻟﻪ... ﻟﻭ ﻛﺎﻥ ﻫﻭ ﻣﺎ ﻧﻅﺭﺕ ﺃﻧﺎ ﻭﻫﻭ ﻭﻫﻭ ﻭﻫﻭ... ﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻭﺟﻭﺩ ﻏﻳﺭﻧﺎ ﻛﻣﺎﻟﻪ ﺑﻪ ﻟﻪ... ﻓﻣﻥ ﻟﻧﺎ ﺑﻧﺎ ﻟﻧﺎ Aku bukanlah aku, aku bukanlah dia, lalu siapa aku dan siapa dia Wahai “dia” katakanlah bahwa kamu adalah aku, wahai “aku” katakanlah bahwa dia adalah kamu Tidak!! Aku bukanlah dia, tetapi dia juga bukan dia. Karena kalau aku adalah dia, tentu aku tak bisa melihat, pandangan kami denganya untuknya. Tidak ada di alam semesta selain kami, hanya aku dan dia Maka siapa yang ada untuk kami dan dengan kami, kesempurnaanya adalah dengan wujudnya untuk dirinya. 392 Al-Rānīrī, Jawa>hir, 71 dan 72.
115
konsep mereka adalah mengartikan la ilaha illah menjadi “Tiada wujudku ini, [melainkan] hanya wujud Allah jua wujudku itu”. 393 Adapun al-Rānīrī> hanya menginginkan wujud tunggal. Ia berpandangan bahwa ombak tidak memiliki eksistensi, karena yang benar-benar ada hanyalah air. Adapun buih merupakan fi‘l (hasil dari perbuatan) dari air. Ia menegaskan bahwa hanya ada satu wujud, yaitu air. 394 Al-Rānīrī berusaha dalam meluruskan konsep tersebut dengan mencoba memberikan interpretasi ulang shahadat. Dalam pandangan alRānīrī>, kaum Wujūdīyah menginterpretasikan kalimat tauhid sesuai dengan konsep ittiḥād dan ḥulūl. Interpretasi terhadap ungkapan lā ilāha illá Allāh adalah dengan menyebutkan hakikat wujud mereka sebagai wujud Allah. Hal inilah yang membuatkan al-Rānīrī menulis banyak kitab untuk menyerang mereka. 395 Al-Rānīrī memberikan interpretasi kalimat tauhid menjadi empat ungkapan. Pertama, Tiada Tuhan melainkan hanya Allah, 396 sebagaimana dipahami secara umum. Kedua, tiada yang kukasihi dan tiada yang kukehendaki melainkan hanya Allah. 397 Ketiga, tiada ada wujudku dan wujud lainnya, karena yang ada hanyalah wujud Allah. 398 Keempat, semua wujud selain Allah pada hakikatnya tidak ada. Wujud hakiki adalah milik mutlak Allah. 399 Tetapi apabila diperhatikan interpretasi ini 393
al-Rānīrī>, Shifā’ al-Qulūb, Manuskrip Perpusnas ML 115, 6. Teks ini tergabung dalam satu naskah dengan Bayān al-Tajallī karya ‘Abd al-Ra’ūf Singkel atau al-Jāwī. 394 Al-Rānīrī, Jawa>hir, 73. ia mengatakan, “Tiada ada dalam dua itu melainkan suatu [satu] jua, yaitu air. Maka buih adalah fi‘il yang hādith, yaitu nama satu kelakuan air”. 395 Hal ini sebagaimana ia kemukakan dalam Jawa>hir al-Ma‘lūm, ḥill al-ẓill, Shifā’ al-Qulūb, dan lainnya. Di dalam pengantar Shifā’ al-Qulūb ia mengemukakan bahwa kaum Wujūdīyah menginterpretasikan kalimah tauhid dengan mengatakan, “Tiada wujudku ini, [melainkan] hanya wujud Allah jua wujudku itu”. Oleh karena itu, ia menulis risalah tersebut. al-Rānīrī>, Shifā’ al-Qulūb, 6. 396 Teksnya adalah, “Tiada Tuhan hanya Allah", al-Rānīrī>, Shifā’ al-Qulūb, 7. 397 Teksnya adalah, “Tiada kukasih dan tiada kukehendaki hanya Allah”. alRānīrī>, Shifā’ al-Qulūb, 7. 398 Teksnya adalah, “Tiada wujudku dan wujud lainnya, sebenar-benar ada itu wujud Allah jua”. al-Rānīrī>, Shifā’ al-Qulūb, 7. Hal ini berbeda dengan konsep Wujūdīyah yang ia pahami menafsirkannya dengan penyatuan wujud hamba dengan wujud Allah, “Tiada wujudku [melainkan] hanya wujud Allah”. 399 Teksnya adalah, “Segala wujud ma siwallah tiada ada itu, bagi-Nya wujud yang hakiki hanya yang ada pada-Nya itu wujud Maha Rabbi jua”. al-Rānīrī>, Shifā’ alQulūb, 7. hal ini senada dengan ungkapannya ketika menegaskan “Maka nyatalah tiada ada yang maujud hanya ḥaqq ta‘ala yang wājib al-wujūd”. Al-Rānīrī, Jawa>hir, 19.
116
bukanlah hal yang original dari al-Rānīrī>. Al-Rānīrī hanya mencoba menginterpretasikan kembali dari penjelasan al-Ghazālī (505 H.) sesuai dengan konteks perdebatan dan kritikannya terhadap kelompok Wujūdīyah. Hal tersebut dapat dilihat dari penjelasan al-Ghazālī dalam menginterpretasikan kalimat tauhid. Hal menarik dari al-Ghazālī adalah menerapkan pemaknaan tauhid kepada maqām tawakal (al-tawakkul). Namun perbedaannya adalah pada tingkatan pertama al-Ghazālī menyebutnya sebagai zikir orang munafik, karena membacanya hanya di lidah tidak dihayati dengan hati. 400 Adapun al-Rānīrī tidak menerangkannya sebagai kondisi orang munafik. Bahkan malah terkesan dikatakan oleh seorang yang benar-benar beriman. Pada tingkatan kedua, al-Ghazālī menyebutkan bahwa bacaan kalimat tauhidnya sesuai antara lidah dan hati. Pada tingkatan ketiga, sesorang yang melafazkan kalimat tauhid dengan memandang bahwa dirinya dan semua alam semesta berasal dari Allah. Al-Ghazālī memaknai ini sebagai ungkapan fanā’ pada hakikat fi‘il (perbuatan). Pada tataran ini, seorang sufi tidak memandang suatu perbuatan dan aktivitas pun di alam semesta melainkan Allah sebagai fā‘il (pelaku) tunggal. Pada tingkatan keempat, seseorang yang melafazkan kalimat tauhid dengan hanya memandang wujud zat Allah semata. Al-Ghazālī menyebutkan kata kunci dalam hal ini, yaitu “mushāhadah al-ṣiddiqīn” yang berarti penyaksian sufi yang ṣiddīqīn. Ia juga mengemukakan ungkapan serupa “la yarā” (tidak melihat) kecuali hanya wujud Allah. 401 Ini mengindikasikan bahwa waḥdat al-wujūd yang diusung al-Ghazālī bukanlah bersifat teologis, tetapi lebih kepada pengalaman perasaan dalam ruhani (dhawq). Ungkapan “la yarā fī al-wujūd illá al-wāḥida” (tidak melihat kecuali hanya wujud Allah) juga dikemukakan oleh Ibn ‘Arabī> (638 H.) dalam berbagai konteks pembicaraan dalam kitab al-Futūḥāt. Pertama, terlihat dari interpretasinya yang menghubungkan antara pendapat fiqih yang mewajibkan mengusap bagian atas dan bawah sepatu bagi orang 400
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, (Kairo: Dār al-ḥadīth, 2006), v. 4 307. alGhazālī mengatakan:
ﻫﻲ ﺃﻥ ﻳﻘﻭﻝ ﺍﻹﻧﺳﺎﻥ ﺑﻠﺳﺎﻧﻪ " ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﷲ " ﻭﻗﻠﺑﻪ ﻏﺎﻓﻝ ﻋﻧﻪ ﺃﻭ:ﺍﻟﺭﺗﺑﺔ ﺍﻷﻭﻟﻰ ﻣﻥ ﺍﻟﺗﻭﺣﻳﺩ ﺃﻥ ﻳﺻﺩﻕ ﺑﻣﻌﻧﻰ ﺍﻟﻠﻔﻅ ﻗﻠﺑﻪ ﻛﻣﺎ ﺻﺩﻕ ﺑﻪ ﻋﻣﻭﻡ ﺍﻟﻣﺳﻠﻣﻳﻥ ﻭﻫﻭ ﺍﻋﺗﻘﺎﺩ: ﻭﺍﻟﺛﺎﻧﻳﺔ.ﻣﻧﻛﺭ ﻟﻪ ﻛﺗﻭﺣﻳﺩ ﺍﻟﻣﻧﺎﻓﻘﻳﻥ ﻭﺫﻟﻙ ﺑﺄﻥ ﻳﺭﻯ، ﺃﻥ ﻳﺷﺎﻫﺩ ﺫﻟﻙ ﺑﻁﺭﻳﻕ ﺍﻟﻛﺷﻑ ﺑﻭﺍﺳﻁﺔ ﻧﻭﺭ ﺍﻟﺣﻕ ﻭﻫﻭ ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﻣﻘﺭﺑﻳﻥ: ﻭﺍﻟﺛﺎﻟﺛﺔ.ﺍﻟﻌﻭﺍﻡ ﺃﻥ ﻻ ﻳﺭﻯ ﻓﻲ ﺍﻟﻭﺟﻭﺩ ﺇﻻ: ﻭﺍﻟﺭﺍﺑﻌﺔ.ﺃﺷﻳﺎء ﻛﺛﻳﺭﺓ ﻭﻟﻛﻥ ﻳﺭﺍﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﻛﺛﺭﺗﻬﺎ ﺻﺎﺩﺭﺓ ﻋﻥ ﺍﻟﻭﺍﺣﺩ ﺍﻟﻘﻬﺎﺭ ﻷﻧﻪ ﻣﻥ ﺣﻳﺙ ﻻ ﻳﺭﻯ ﺇﻻ ﻭﺍﺣﺩﺍً ﻓﻼ، ﻭﻫﻲ ﻣﺷﺎﻫﺩﺓ ﺍﻟﺻﺩﻳﻘﻳﻥ ﻭﺗﺳﻣﻳﺔ ﺍﻟﺻﻭﻓﻳﺔ ﺍﻟﻔﻧﺎء ﻓﻲ ﺍﻟﺗﻭﺣﻳﺩ،ًﻭﺍﺣﺩﺍ ﺑﻣﻌﻧﻰ ﺃﻧﻪ ﻓﻧﻲ، ﻭﺇﺫﺍ ﻟﻡ ﻳﺭ ﻧﻔﺳﻪ ﻟﻛﻭﻧﻪ ﻣﺳﺗﻐﺭﻗﺎ ً ﺑﺎﻟﺗﻭﺣﻳﺩ ﻛﺎﻥ ﻓﺎﻧﻳﺎ ً ﻋﻥ ﻧﻔﺳﻪ ﻓﻲ ﺗﻭﺣﻳﺩﻩ،ًﻳﺭﻯ ﻧﻔﺳﻪ ﺃﻳﺿﺎ .ﻋﻥ ﺭﺅﻳﺔ ﻧﻔﺳﻪ ﻭﺍﻟﺧﻠﻕ 401
Al-Ghazālī, Iḥyā’, IV 522.
117
yang berwud}u’ dengan penyaksian mutlak terhadap wujud Allah. Ia mengatakan bahwa ketika seseorang hanya memandang wujud Allah ẓāhir dan bāṭin, maka wajar ada berpendapat bahwa mengusap bagian atas (ẓāhir) dan bawah (bāṭin) sepatu sebagai kewajiban. 402 Kedua, Ibn ‘Arabī menghubungkan penyaksian mutlak kepada pendapat dalam fiqih yang membolehkan berwud}u’ dengan air laut. Ia mengatakan bahwa terdapat perdebatan yang ganjil di kalangan ahli fiqih mengenai hal ini. Secara hakikat, ungkap Ibn ‘Arabī, air laut tercipta oleh sifat ghad}ab (marah) pada sifat Allah. Bersuci dengan air laut dalam konteks ini (ghad}ab) akan mengantarkan kepada kedekatan (qurb) dan penyampaian rohani (wuṣūl). Penyaksian ini merupakan penyebab perbedaan pandangan secara hakikat. Adapun secara zahir, ia menyebutkan bahwa pendapat yang tidak membolehkan dikarenakan terjadi perubahan rasa pada air laut. Pada tataran ini, sifat ghad}ab tidak mengantarkan kepada kedekatan kepada Allah, maka tidak diperbolehkan berwud}u’ dengan air laut. Namun pada penyaksian bāṭin, kemarahan dipandang hanya berasal dari Allah. Oleh karena itu, seorang sufi tidak memandang (lā yarā) kecuali Allah. 403 Pada konteks ketiga, Ibn ‘Arabī> menyebutkan penyaksian mutlak pada pembahasan tentang kiblat seorang hamba dalam salat. Ia mengakui bahwa ketika seseorang berada ka‘bah, maka ia wajib menghadapnya berdasarkan pandangan mata. Adapun ketika berada jauh, maka ia wajib menghadap ka‘bah berdasarkan ijtihad, bukan pandangan mata. Ini dikarenakan seorang hamba yang salat, wajib menghadapkan hatinya kepada Allah semata dengan segala gerakannya. Pada tataran ini, ia tidak lagi memandang kecuali Allah semata. Seseorang dinilai benar dalam menghadap kiblat ketika jauh darinya, berdasarkan arah (arah). Tidak ada kemestian harus menghadap kiblat dalam artian sebenarnya, yaitu berdasarkan pandangan mata. 404 Bahkan, ketika menginterpretasikan ayat 402
Ibn ‘Arabi>, al-Futūḥāt, I/522. Ia mengatakan:
ﻭﺗﺎﺭﺓ ﻳﻌﻠﻕ ﺍﻟﺗﻧﺯﻳﻪ ﺑﺎﻟﺣﻕ ﺳﺑﺣﺎﻧﻪ ﻅﺎﻫﺭﺍ ﻭﺑﺎﻁﻧﺎ ﻭﻫﻭ ﺍﻟﺫﻱ ﻻ ﻳﺭﻯ ﻓﻲ ﺍﻟﻭﺟﻭﺩ ﺇﻻ ﷲ ﻟﻐﻠﺑﺔ ﺳﻠﻁﺎﻥ ﺍﻟﻣﺷﺎﻫﺩﺓ ﻭﺍﻟﺗﺟﻠﻳﺎﺕ ﻋﻠﻳﻪ ﻓﻳﺭﻯ ﺍﻟﺣﻕ ﻅﺎﻫﺭﺍ ﻭﺑﺎﻁﻧﺎ ﻓﻼ ﻳﻘﻊ ﻣﻧﻪ ﺗﻧﺯﻳﻪ ﺍﻷﻋﻠﻰ ﺍﻟﺣﻕ ﺳﺑﺣﺎﻧﻪ ﻭﺍﻟﺗﻧﺯﻳﻪ ﻧﺳﺑﺔ ﻋﺩﻣﻳﺔ ﻻ ﻭﺟﻭﺩﻳﺔ ﻭﻫﻭ ﺍﻟﺫﻱ ﻳﻭﺟﺏ ﻣﺳﺢ ﻅﻬﻭﺭ ﺍﻟﺧﻔﻳﻥ ﻭﺑﻁﻭﻧﻬﻣﺎ 403 404
Ibn ‘Arabi>, al-Futūḥāt, I/ 529. Ibn ‘Arabi>, al-Futūḥāt, II/42-43. Ia mengatakan:
ﻓﻠﻬﺫﺍ ﺷﺭﻉ ﻟﻪ ﺍﺳﺗﻘﺑﺎﻝ ﺍﻟﺑﻳﺕ ﺇﺫﺍ ﺃﺑﺻﺭﻩ ﺣﻳﻥ ﺻﻼﺗﻪ ﻭﺍﺳﺗﻘﺑﺎﻝ ﺟﻬﺗﻪ ﺇﺫﺍ ﺗﻐﺎﺏ ﻋﻧﻪ ﻭﻓﺭﺿﻪ ﻓﻲ ﺍﺟﺗﻬﺎﺩﻩ ﺗﺑﺎﻝ ﻏﻳﺑﺔ ﺇﺻﺎﺑﺔ ﺍﻹﺟﺗﻬﺎﺩ ﻻ ﺇﺻﺎﺑﺔ ﺍﻟﻌﻳﻥ ﻭﺫﻟﻙ ﻟﻭ ﻛﺎﻥ ﻓﺭﺿﻪ ﺇﺻﺎﺑﺔ ﺍﻟﻌﻳﻥ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻌﺑﺩ ﻣﺄﻣﻭﺭ ﺑﺄﻥ ﻳﺳﺗﻘﺑﻝ ﺭﺑﻪ ﺑﻘﻠﺑﻪ ﻓﻲ ﺻﻼﺗﻪ ﺑﻝ ﻓﻲ ﺟﻣﻳﻊ ﺣﺭﻛﺎﺗﻪ ﻭﺳﻛﻧﺎﺗﻪ ﻻ ﻳﺭﻯ ﺇﻻ ﷲ ﻭﻗﺩ ﻋﻠﻣﻧﺎ ﺃﻥ ﺫﺍﺕ ﺍﻟﺣﻕ ﻭﻋﻳﻧﻪ ﻳﺳﺗﺣﻳﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻣﺧﻠﻭﻕ ﻣﻌﺭﻓﺗﻬﺎ ﻓﻣﻥ ﺍﻟﻣﺣﺎﻝ ﺍﺳﺗﻘﺑﺎﻝ ﻋﻳﻥ ﺫﺍﺗﻪ ﺑﻘﻠﺑﻪ ﺃﻱ ﻣﻥ ﺍﻟﻣﺣﺎﻝ ﺃﻥ ﻳﻌﻠﻡ ﺍﻟﻌﺎﻗﻝ ﺭﺑﻪ ﻣﻥ ﺣﻳﺙ ﻋﻳﻧﻪ ﻭﺇﻧﻣﺎ ﻳﻌﻠﻣﻪ ﻣﻥ ﺣﻳﺙ ﺟﻬﺔ ﺍﻟﻣﻣﻛﻥ ﻓﻲ 118
aynamā tuwallū fa thamma wajhullāh 405 maka ia mengatakan bahwa “wajah” segala sesuatu wajah-Nya dan zat-Nya. 406 Pada konteks ketiga, Ibn ‘Arabī> menyebutkan maqām seorang yang “miskin” kepada Allah. Seorang sufi yang mencapai maqam ini hanya memandang kekayaan dan kemuliaan milik Allah semata. Oleh karena itu, ia tidak memandang dengan pandangan matanya kecuali hanya Allah. 407 Pada topik keempat, Ibn ‘Arabī berbicara mengenai keikhlasan seorang sufi ketika bersedekah. Bagi seorang sufi, ungkap Ibn ‘Arabī, tidak ada perbedaan antara bersedekah di hadapan orang lain atau dalam keadaan sepi. Ini dikarenakan seorang sufi tidak melihat pada saat bersedekah kecuali hanya Allah. Hal tersebut menyebabkan Ibn ‘Arabī tidak menghiraukan peringatan al-Muḥāsibī dan al-Ghazālī mengenai riya’ dan ikhlas dalam bersedekah. Ibn ‘Arabī mengatakan bahwa hal tersebut hanya berlaku bagi orang awam, bukan sufi. 408 Pada masa yang hampir bersamaan dengan al-Rānīrī> di Timur Tengah, pembelaan makna wujud mutlak sehingga menjadi indentik dengan waḥdat al-wujūd juga dilakukan oleh tokoh-tokoh sufi yang beraliran Sunni. Ini seperti yang dilakukan oleh ‘Abd al-Ghanī al-Nāblusī (1050-1143 H./1640-1730 M.) yang separuh pertama dari umurnya masih termasuk pada abad ke-17. Walaupun ia juga dikenal sebagai ahli hadis, tetapi terlihat bahwa ‘Abd al-Ghanī mampu menyelaraskan aspek teologi, sufi, dan hadis di dalam dirinya. Ia menulis beberapa karya khusus untuk menyelesaikan polemik tentang pemahaman waḥdat al-wujūd, seperti Īd}āḥ al-Maqsūd min Waḥdat al-Wujūd dan Nukhbat al-Mas’alah Sharḥ} Tuḥfat al-Mursalah. 409 Judul pertama menunjukkan bahwa ia berusaha ﺍﻓﺗﻘﺎﺭﻩ ﺇﻟﻳﻪ ﻭﺗﻣﻳﺯﻩ ﻋﻧﻪ ﺑﺎﻧﻪ ﻻ ﻳﺗﺻﻑ ﺑﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﻣﺣﺩﺛﺎﺕ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻭﺟﻪ ﺍﻟﺫﻱ ﻳﺗﺻﻑ ﺑﻪ ﺍﻟﻣﺣﺩﺙ ﺍﻟﻣﻣﻛﻥ ﻷﻧﻪ ﻟﻳﻳﺱ ﻛﻣﺛﻠﻪ ﺷﻲء ﻓﻼ ﻳﻌﺭﻓﻪ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﺳﻠﻭﺏ ﻭﻫﺫﺍ ﺳﺑﺏ ﻗﻭﻟﻧﺎ ﺑﺎﻟﺟﻬﺔ ﻻ ﺑﺎﻟﻌﻳﻥ ﻭﺍﻹﺻﺎﺑﺔ .ﺇﺻﺎﺑﺔ ﺍﻹﺟﺗﻬﺎﺩ ﻻ ﺇﺻﺎﺑﺔ ﺍﻟﻌﻳﻥ ﻭﻟﻬﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻣﺟﺗﻬﺩ ﻣﺄﺟﻭﺭﺍ ﻋﻠﻰ ﻛﻝ ﺣﺎﻝ 405
QS. al-Baqarah: 115. Ibn ‘Arabi>>, al-Futūḥāt, I/ 44. Ia mengatakan: .ﻭﺟﻪ ﷲ ﻭﻭﺟﻪ{ ﻛﻝ ﺷﻲء ﺣﻘﻳﻘﺗﻪ ﻭﺫﺍﺗﻪ 407 Ibn ‘Arabi>, al-Futūḥāt, v. Ia mengatakan: 406
}ﻭﺃﻳﻧﻣﺎ ﺗﻭﻟﻭﺍ ﻓﺛﻡ...
ﻓﻬﺫﺍ ﺍﻟﻣﺳﻛﻳﻥ ﻟﻡ ﻳﺭ ﺑﻌﻳﻧﻪ ﺇﻻ ﷲ ﺇﺫ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﺭﻯ ﺍﻟﻌﺯﺓ ﺇﻻ ﻋﺯﺗﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻻ ﺑﻌﻳﻧﻪ ﻭﻻ ﺑﻘﻠﺑﻪ ﻭﻧﻅﺭ ﺇﻟﻰ ﺫﻟﺔ ﻛﻝ ﻣﺎ ﺳﻭﺍﻩ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﺎﻟﻌﻳﻥ ﺍﻟﺗﻲ ﻳﻧﺑﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻧﻅﺭ ﺇﻟﻳﻬﻡ ﺑﻬﺎ 408
Ibn ‘Arabi>, al-Futūḥāt pada bab al-Sab‘ūn; Waṣṣil fī ṣadaqat al-taṭawwu‘.
ﻭﺃﻣﺎ ﻣﺎ ﻳﺫﻛﺭ ﻋﺎﻣﺔ ﺃﻫﻝ ﻫﺫﺍ ﺍﻟﻁﺭﻳﻕ ﻛﺄﺑﻲ ﺣﺎﻣﺩ ﻭﺍﻟﻣﺣﺎﺳﺑﻲ ﻭﺃﻣﺛﺎﻟﻬﻣﺎ ﻣﻥ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ﻣﻥ ﺍﻟﺭﻳﺎء ﻭﻁﻠﺏ ﺍﻹﺧﻼﺹ ﻓﺈﻧﻣﺎ ﺫﻟﻙ ﺧﻁﺎﺏ ﺍﻟﺣﻕ ﺑﻠﺳﺎﻥ ﺍﻟﻌﻣﻭﻡ ﻟﻳﻌﻡ ﺑﺫﻟﻙ ﻣﺎ ﻫﻭ ﻟﺳﺎﻥ ﻣﻥ ﻻ ﻳﺭﻯ ﺇﻻ ﻟ ﻭﻧﺣﻥ ﺇﻧﻣﺎ ﻧﺗﻛﻠﻡ ﻣﻊ ﺃﻫﻝ ﷲ ﻓﻲ ﺫﻟﻙ 409
Nukhbat al-Mas’alah Sharḥ} Tuḥfat al-Mas’alah ini dikoleksi oleh perpustakaan King Saud University no. 785.
119
menjelaskan substansi dari waḥdat al-wujūd. Ia menyebutkan bahwa kitab tersebut ditulis untuk mengukuhkan kebenaran ungkapan kaum sufi bahwa tidak ada yang wujud bersama Allah segala sesuatu pun ( ﻻ ﺷﻲء ﻣﻊ )ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻭﺟﻭﺩ. 410 Adapun judul pertama masih dalam bentuk manuskrip merupakan komentar terhadap Tuḥfat al-Mas’alah yang menjadi primbon kajian al-martabah al-sab‘ah (martabat tujuh) karya Muḥammad bin Fad}lullāh al-Burhānpūri> al-Hindī (1029 H.). 411 Kitab Nukhbat alMas’alah dianggap lebih berbobot menurut ‘Abd al-ṣamad al-Palimbāni> dibandingkan semua sharaḥ yang ia temui. Tentu saja ia berpandangan bahwa kitab ini lebih utama daripada Itḥāf al-Dhakī bi Sharḥ} al-Tuḥfah al-Mursalah ilá al-Nabī al-Kūrānī>. 412 Secara sistematika dan ketajaman analisa memang benar apa yang dikatakan oleh ‘Abd al-ṣamad. Komentar ‘Abd al-Ghanī dalam Nukhbat al-Mas’alah sangat teologis dan falsafi. Ia tidak merasa keberatan untuk menukil pendapat filosof sekali pun untuk menjelaskan suatu konsep yang rumit. 413 Ini berbeda dengan metode alKūrānī yang masih kental dengan metode ahli hadis. Ia tidak langsung mengemukakan komentar terhadap kajian wujud sebagaimana ‘Abd alGhanī. Tetapi dari sisi lain, karya al-Kūrānī juga mempunyai kelebihan. Ia menyempatkan untuk mengemukakan unsur sejarah biografi dan geneologis spiritual dari pengarang kitab Tuḥfat al-Mursalah. Ia juga mengemukakan informasi penting tentang kapan Muḥammad bin Fad}lullāh selesai mengarang karyanya yang monumental tersebut, yaitu 999 H. Ini berbeda setahun dengan informasi yang diperoleh Azyumardi Azra, yaitu selesai pada tahun 1000 H. 414 Adapun di dalam I
P
P410F
P41F
P
P
P412F
P413F
410
P
P
‘Abd al-Ghanī al-Nāblusī, I yang merupakan murid al-Qushāshī (1071 ). Al-Qushāshī berguru kepada Abū al-Mawāhib Ahmad alSyannāwī (975 )yang merupakan murid dari Shibghatullāh (1015 ). Shibghatullāh merupakan sahabat dari Muḥammad bin Fad}lullāh al-Burhānpūri>, dan sama-sama berguru kepada Wajīh al-Dīn Aḥmad al-‘Alawī al-Hindī (988 ). al-Kūrānī, Itḥāf alDhakī, 11r-11v. 412 ‘Abd al-ṣamad, Sayr al-Salikīn, III/183. Ia mengatakan, “Beberapa kitab Sharḥ} Tuḥfat al-Mursalah yang telah hamba lihat, tetapi Sharḥ} Tuḥfat al-Mursalah karangan Sayyidī al-Shaykh ‘Abd al-Ghanī al-Nāblusī itu terlebih baik daripada segala Sharḥ} yang lain.” 413 Ini terlihat dari penukilannya terhadap perkataan Ibn Sīnā mengenai Islām ḥaqīqī. ‘Abd al-Ghanī al-Nāblusī, Nukhbat al-Mas’alah Sharḥ} Tuhfat al-Mas’alah (Perpustakaan King Saud University no. 785.), 51r. 414 Ibrāhīm al-Kūrānī>, Ittiḥaf al-Dhakī, 10v; Azra, Jaringan Ulama, 133.
120
mengemukakan pandangannya tentang perdebatan waḥdat al-wujūd. Ia langsung menyadari bahwa pembicaraan mengenai makna waḥdat alwujūd telah banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh terdahulu dan semasanya. Namun ia dapat memastikan bahwa penolakan terhadap waḥdat al-wujūd hanya terjadi karena orang tersebut kurang menganalisa, memiliki kelalaian hati, dan rohani yang terhijab. Dalam hal ini, ia menegaskan bahwa sebenarnya tidak penting untuk menolak kekeliruan orang yang kurang menganalisa. Namun koreksi terhadap mereka hanya bertujuan untuk meluruskan kesalahan paham terhadap makna yang sebenarnya. Ini dikarenakan yang berani mengungkapkan pemahaman benar tentang waḥdat al-wujūd adalah tokoh-tokoh yang dianggap ‘Abd al-Ghanī sebagai ahli hakikat dan kashaf. Mereka, lanjut ‘Abd al-Ghanī, telah dikenal sebagai tokoh yang mempunyai sejarah yang baik dan hati yang tulus. Mereka adalah Ibn ‘Arabī>>, Ibn al-Fārid}, al-‘Afīf al-Tilimsāni>, Ibn Sab‘īn, dan al-Jīlī. 415 ‘Abd al-Ghanī menegaskan bahwa pemahaman mereka dalam konteks ini tidak bertentangan dengan teologi Sunni. Ia menambahkan bahwa analisa yang kurang tepat terhadap terminologi yang berkembang di kalangan sufi memang menjadi penyebab utama pengafiran terhadap konsep ini. Perbedaan persepsi tokoh selain sufi dengan sufi sangat mungkin terjadi, karena pendifinisian yang berbeda. Tokoh sufi, seperti Ibn ‘Arabī>, menjadikan kashaf (penyingkapan rohani) sebagai sarana mencapai pengetahuan. Hal ini biasa disebut dengan intuisi. Berdasarkan ini, ‘Abd al-Ghanī menekankan bahwa sangat mungkin jika pengetahuan sufi tidak berdasarkan kontemplasi pikiran. Permulaan metode ilmu kesufian telah didasari dengan ketakwaan dan praktek amal salih, sedangkan selain sufi dimulai dengan membaca berbagai literatur dan transmisi keilmuan sesama manusia. Akhir dari ilmu mereka adalah penyaksian kepada Allah (shuhūd al-ḥayy al-Qayyūm). Adapun akhir dari keilmuan non-sufi adalah menghasilkan teori. 416 Dalam hal ini, ‘Abd al-Ghanī memulai menjelaskan substansi dari waḥdat al-wujūd. Sebenarnya, ungkap ‘Abd al-Ghanī, pemaknaan terhadap term tersebut telah dipahami secara d}arūrah (pasti) dalam agama, bahkan agama selain Islam. hal tersebut dikarenakan alam dengan segala jenis (jins), macam (naw‘), dan partikularnya diadakan, setelah sebelumnya tidak ada (‘adam). Keberadaannya dimunculkan dengan bersandar kepada wujud Allah, bukan dengan dirinya sendiri. 415 416
‘Abd al-Ghanī al-Nāblusī, I
121
Berdasarkan itu, ‘Abd al-Ghanī menyimpulkan bahwa demikian itu menunjukkan wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah. 417 Tampak bahwa penjelasan pertama ‘Abd al-Ghanī sangat persis dengan penjelasan al-Rānīrī>, tetapi kesimpulannya malah cenderung kepada pandangan ḥamzah. Keambiguan ini akan terjawab dari penjelasannya bahwa alam pada dasarnya ma‘dūm sejati dari aspek substansi dirinya. Tetapi dari aspek wujud Allah, maka ia eksis dengan keberadaan Allah. Wujud Allah dan wujud alam adalah satu wujud saja, yaitu wujud Allah. Ia menjelaskan bahwa bukan berarti bahwa wujud alam adalah wujud Allah pada substansi dan formulasinya. Tetapi ia ingin menegaskan bahwa substansi dan formulasi zat yang tetap pada dirinya adalah wujud Allah. Ini dikarenakan alam tidak mempunyai substansi yang hakiki sama sekali. 418 ‘Abd al-Ghanī mengakui bahwa dalam teologi al-Ash‘arī> ditetapkan bahwa wujud dari sesuatu adalah substansi dari zat sendiri. 419 Tetapi ia mengingatkan bahwa wujud yang menjadi sandaran semua zat serta formulasinya sehingga menjadi eksis adalah wujud Allah semata. 420 Terlihat bahwa penjelasan ‘Abd al-Ghanī berbenturan dengan konsep teologi secara literal. Namun ia mencoba menyelesaikan permasalahan tersebut sendiri. Ini diperoleh dari penjelasannya yang difokuskan kepada interpretasi terhadap kata “wujūd”. ‘Abd al-Ghanī berusaha untuk menyesuaikan konteks teologis dan esoteris kesufian, sehingga menghasilkan dua interpretasi. Pertama, apabila wujud dipahami sebagai substansi dari zat yang wujud, maka interpretasi ini bertujuan untuk menolak waḥdat al-wujūd. Ini dikarenakan penetapan substansi dari alam mengantarkan kepada pemahaman tentang keberadaan wujud kedua selain Allah. Walaupun ditetapkan wujud alam sebagai wujud kedua selain Allah, tetapi hanya eksis dengan bersandar kepada wujud Allah. Kedua, apabila wujud dipahami sebagai penjelasan terhadap eksistensi dari alam yang dijadikan ada, maka interpretasi ini malah cenderung kepada waḥdat al-wujūd. Ini dikarenakan semua wujud hanya ada karena dijadikan oleh Allah. 421
417
‘Abd al-Ghanī al-Nāblusī, I
122
Adapun di dalam kitab Nukhbat al-Mas’alah, ‘Abd al-Ghanī menjelaskan term-term kunci dalam memahami Tuḥfat al-Mursalah dengan ketat yang akan menguatkan jawabannya terhadap permasahan di atas. Kelak pengaruh kitab ini akan sangat terlihat pada kitab Zād alMuttaqīn yang ‘dianggap’ sebagai karya ‘Abd al-ṣamad al-Palimbāni>. Hal tersebut terlihat dari penjelasan yang rinci terhadap term kunci untuk menyebut Allah dengan ungkapan al-wujūd al-muḥid (Wujud Murni) sebagaimana Muḥammad bin Fad}lullāh menggunakannya. Wujud Murni tersebut merupakan hal yang mutlak bagi Allah. Apabila substansi wujudNya bukan muḥid}, maka ada tiga kemungkinan yang mustahil berlaku bagi-Nya. Pertama, substansi-Nya akan terdiri dari substansi lain yang umum dan khusus, sedangkan sesuatu yang terdiri dari dua hal tersebut niscaya bersifat hādith (baru). Kedua, substansi-Nya akan membutuhkan sesuatu yang wujūd, sedangkan Allah tidak membutuhkan sesuatu pun. Ketiga, Dia akan serupa dengan sesuatu yang baru, sedangkan Allah tidak serupa dengan segala sesuatu yang baru. 422 Dalam menjelaskan ungkapan al-Burhānpūri> bahwa al-wujūd almuḥid} tersebut merupakan substansi dari segala sesuatu yang ada (mawjūdāt), maka ‘Abd al-Ghanī mengemukakan bahwa mawjūdāt tersebut adalah sesuatu yang bersifat maḥsūsah (empiris) dan ma‘qūlah (metafisika). Tetapi ia menggarisbawahi bahwa memang substansi semua mawjūdāt adalah Allah, namun tidak sebaliknya. Ini dikarenakan bahwa semua mawjūdāt hanya ada dengan keberadaan Allah, bukan eksis dengan sendirinya. Ini berbeda dengan Allah yang ia sebut dengan alwujūd al-ḥaqq. Jika semua mawjūdāt dilihat dari substansinya yang banyak dan bermacam-macam maka bukanlah ia al-wujūd al-ḥaqq, tetapi semuanya adalah hasil dari kekuasaan-Nya dan penciptaan-Nya. 423 Namun dengan ungkapan yang rumit dan ambiguitas, ‘Abd alGhanī menyebutkan bahwa semua mawjūdāt tersebut tidak mempunyai substansi wujud selain dari al-wujūd al-ḥaqq. Ini dikarenakan jika ada substansi wujud selain dari-Nya, maka akan terdapat beberapa kemungkinan. Pertama ia akan mempunyai substansi wujud lain yang mutawallid (lahir) dari wujud Allah. Kemungkinan ini ditepis oleh ‘Abd al-Ghanī dengan mengatakan bahwa hal ini mustahil bagi Allah, karena Dia tidak melahirkan dan dilahirkan. Kedua, terdapat wujud lain yang keluar dari ‘adm (ketiadaan), maka ia membutuhkan wujud lain yang menjadikannya mawjūd. ‘Abd al-Ghanī juga mengatakan hal tersebut juga 422 423
‘Abd al-Ghanī al-Nāblusī, Nukhbat al-Mas’alah, 2v-3r. ‘Abd al-Ghanī al-Nāblusī, Nukhbat al-Mas’alah, 4r.
123
mustahil karena wujud itu tidak lain dari wujud alam yang baru. Ketiga, wujud lain tersebut adakalanya jawhar atau ‘arad}. Jika ia adalah suatu jawhar maka tidak mungkin ia mengandung lebih dari satu jawhar, sedangkan semua mawjūdāt mempunyai banyak jawhar. Jika ia adalah suatu ‘arad} maka tidak mungkin ia menjadi substansi semua mawjūdāt, karena ‘arad} tidak berdiri sendiri. ‘Arad} menjadi ada dengan keberadaan jawhar, sehingga ia bersifat ma‘dūmah (tidak ada) sebelum disifatkan kepada jawhar. 424 C. ‘Abd al-Ra’ūf al-Jāwī; Sebagai Pembela Penyokong Wujūdīyah alRānīrī> ‘Abd al-Ra’ūf sering dianggap sebagai “pahlawan” yang membela orang yang tertindas. Dalam konteks ini, ḥamzah dianggap sebagai orang yang tertindas oleh fatwa-al-Rānīrī>. Adapun al-Rānīrī sering dituduh salah kaprah dalam menghakimi pengikut ḥamzah. “Lagu lama” ini masih sering diputar dan dipublikasikan. ‘Abd al-Ra’ūf diyakini sebagai ”pendamai” kontroversi tersebut. Anggapan ini tampak didukung oleh Oman Fathurahman yang menyebutkan bahwa ‘Abd alRa’ūf tidak cenderung kepada salah satu dari dua tokoh tersebut. Oman Fathurahman menyadari bahwa ‘Abd al-Ra’ūf juga berusaha untuk menggugurkan interpretasi teologis ḥamzah, tetapi di sisi lain ia juga mengecam tindakan radikal al-Rānīrī. Ini dikarenakan al-Rānīrī memvonis mereka kafir dan harus dihukum mati. 425 Namun sayang sekali, sampai saat ini penilaian tersebut hanya sebatas dugaan. Hal ini terlihat dari pernyataan Oman Fathurahman sendiri bahwa diduga kuat ‘Abd al-Ra’ūf mengecam al-Rānīrī. Sebagaimana juga diakui dengan jujur oleh Azyumardi Azra, bahwa ia ”tidak” menemukan bukti dari ajaran ‘Abd al-Ra’ūf yang secara terang-terangan menentang ajaran ḥamzah. Namun ungkapan yang lebih tepat, seharusnya adalah ”belum” menemukan bukti. Ini dikarenakan di dalam beberapa karya ‘Abd al-Ra’ūf ditemukan sikap yang senada dengan vonis al-Rānīrī> terhadap ḥamzah. Tetapi perlu diperhatikan apakah Azyumardi Azra memang melakukan pembacaan terhadap karyaP42F
424
P
‘Abd al-Ghanī al-Nāblusī, Nukhbat al-Mas’alah, 4v. Oman Fathurahman, Tanbīh al-Māshī al-Mansūb ilā ṭarīq al-Qushāshī; Tanggapan as-Sinkili terhadap Kontroversi Doktrin Wujūdīyah di Aceh pada Abad XIIV, (Tesis UI Jakarta), 175-176. Oman Fathurahman mengutip ungkapan ‘Abd alRa’ūf untuk menguatkan dugaan tersebut, ”Peliharalah lidahmu dari gibah (membicarakan orang lain) dan dari mengkafirkan orang lain, karena pada keduanya terdapat dosa yang besar di sisi Tuhanmu yang Mahabesar”. 425
124
karya ‘Abd al-Ra’ūf yang masih dalam bentuk manuskrip, sehingga berasumsi dimikian. Atau ada kemungkinan lain, bahwa Azyumardi Azra mengikuti hipotesa Snouck Hurgronje. Snouck pernah menyimpulkan sendiri bahwa ia “tidak” pernah menemukan catatan bahwa ‘Abd al-Ra’ūf menentang ajaran ḥamzah, walaupun ia mengakui –sebagaimana Azyumardi Azra juga menyepakatinya- bahwa ada indikasi penentangan terhadap ajarannya. 426 Terlepas dari penilaian tersebut, apabila diperhatikan karya-karya ‘Abd al-Ra’ūf, maka akan ditemukan jawaban yang lebih objektif. Sebenarnya, ‘Abd al-Ra’ūf mempunyai pendirian yang tidak berbeda dengan al-Rānīrī>>. Hal ini terlihat dari pandangan yang ia kemukakan di dalam Sullam al-Mustafīdīn. ‘Abd al-Ra’ūf menyebut kelompok Wujūdīyah sebagaimana al-Rānīrī menyebutkannya. Perbedaannya, ia menamakannya dengan nama yang lebih eksplisit yaitu ahl al-waḥdah. Bahkan ada indikasi kuat bahwa ia mengikut al-Rānīrī dalam mengklasifikasi Wujūdīyah menjadi dua kelompok yang berbeda. Pertama, kelompok (ṭā’ifah) yang meyakini bahwa hanya ada satu wujud, yaitu wujud Allah. Ia menambahkan bahwa selain wujud Allah tidaklah memiliki wujud. Mereka meyakini bahwa semua wujud pada alam semesta pada hakikatnya adalah wujud Allah. 427 Kedua, kelompok Wujūdīyah yang meyakini bahwa wujud terbagi dua, haqīqī dan khayālī. Wujud haqīqī adalah wujud Allah yang mutlak, sedangkan khayālī adalah wujud alam semesta. 428 P426F
P427F
P
P
426
Snouck Hurgronje, Aceh; Rakyat dan Adat Istiadatnya, 15. ‘Abd al-Ra’ūf menyebutkan, “Bahwasannya segala ahli al-waḥdat terbahagi atas dua ṭā’ifah, […] ṭā’ifah daripada mereka itu i‘tiqadnya bahwasanya wujud itu suatu (satu) jua, yaitulah wujud Allah yang Maha Suci. Lain daripada wujud Allah itu tiada wujud bagi-Nya da jadinya pun tiada didapat. Maka pada i‘tiqad ṭā’ifah ini bahwa segala mawjūdāt itu segala wujud Allah Yang Maha Suci ḥaq Ta‘ālā lagi Maha Tinggi daripada kata mereka itu. Demikian itulah i‘tiqad Wujūdīyah yang d}alālat.” ‘Abd al-Ra’ūf, Sullam al-Mustafīdīn¸ 81-82. Dalam sebagian varian lain –selain koleksi YPAH- bagian teks ini tidak ditemukan. Hal ini memunculkan kecurigaan penambahan atau pengurangan pada teks koleksi YPAH ini. Tetapi itu pun tidak dapat dipastikan, karena jika naskah koleksi YPAH dituduh terjadi penambahan, maka varian lain juga patut dicurigai telah terjadi pengurangan. Tetapi sejauh ini, bagian ini sebenarnya masih bisa dikuatkan kevalidannya dengan kritikan senada yang dikemukakan ‘Abd al-Ra’ūf dalam Tanbīh al-Mashī. 428 ‘Abd al-Ra’ūf mengatakan, “ṭā’ifah daripada mereka itu i‘tiqadnya bahwasannya alam terbahagi atas dua bahagian, pertama wujud haqīqī, kedua wujud khayālī. Wujud haqīqī itu itulah wujud Haq Ta‘ālá yang mutlaq, dan wujud khayālī itulah wujud segala alam. ‘Abd al-Ra’ūf, Sullam al-Mustafīdīn¸ 82. 427
125
‘Abd al-Ra’ūf dengan ekplisit menyebutkan dua tokoh yang dihukumi sesat oleh al-Rānīrī>>. Ia menulis nama ḥamzah Fanṣūrī dan Shams al-Dīn al-Sumatrānī dengan jelas. Ia mengatakan aliran Wujūdīyah tersebut berkembang di negeri “Bawah Angin” tiada lain adalah dua nama tersebut; “Maka sekarang ku nyatakan pula kepadamu setengah daripada i’tiqad kaum Wujūdīyah yang di Bawah Angin yaitu ḥamzah Fansūrī dan Shams al-Sumatrānī dan segala yang mengikut dia akan keduanya.” Setelah itu, ‘Abd al-Ra’ūf menukil langsung beberapa perkataan ḥamzah Fansūrī dari beberapa karangannya. Pertama, Ia menyontohkan kekeliruan ḥamzah dalam memberikan interpretasi terhadap sebuah ungkapan yang dianggap hadis oleh sebagian sufi; “Siapa yang mengenal dirinya niscaya kenal Tuhannya”. ḥamzah mengatakan, sebagaimana dinukil oleh ‘Abd al-Ra’ūf, bahwa diri hamba dan alam semesta ada dalam ilmu Allah. Adapun perumpamaannya adalah seperti biji yang menunjukkan Allah dan pohon yang menunjukkan alam. Di dalam biji terdapat semua unsur pohon. ‘Abd al-Ra’ūf mengritisi konsekuensi logis dari penganalogian ini, yaitu alam keluar dari Allah sebagaimana pohon tumbuh dan keluar dari biji. Ia dengan tegas mengatakan bahwa interpretasi ḥamzah sebagai bentuk dari kekafiran. 429 Perkataan ḥamzah bahwa keberadaan hamba dan sekalian ada dalam ilmu Allah secara teologis adalah benar. Ini merupakan konsep wujūd mumkin ṣalūḥī; 430 suatu yang berpotensi untuk menjadi nyata dari ilmu Allah. Tetapi memang akan menjadi masalah jika pengungkapan analogi biji dan pohon digunakan oleh ḥamzah. Ini menyebabkan ia akan terjebak kepada ḥulūl teologis, bukan dhawqī (perasaan). Oleh karena itu, wajar jika seorang teolog dan sufi seperti ‘Abd al-Ra’ūf yang mengerti dampak ‘negatif’ dari analogi ‘nakal’ ḥamzah, langsung menilai keyakinan tersebut cenderung kepada kekafiran. Namun bukan berarti ia tidak menerima beberapa analogi tentang wujud. ‘Abd al-Ra’ūf juga tidak keberatan sebagaimana al-Rānīrī>> untuk menerima analogi wujud alam semesta dengan wujud bayangbayang yang terdapat di dalam cermin. Ia menjelaskan bahwa wujud yang terdapat dalam cermin tersebut pada hakikatnya tidak memiliki wujud. Ia menilai bahwa kelompok kedua tersebut adalah sufi sejati yang disebut P429F
P
429
‘Abd al-Ra’ūf mengatakan, ”…Dirinya dan [alam] semesta sekalian dalam ilmu Allah; tamsil seperti biji dan pohon, pohonnya dalam biji itu lengkap serta dengan biji itu. Maka itulah daripada perkataan Wujūdīyah itu bahwa seru sekalian semesta alam ada lengkap berwujud di dalam ilmu Haqq ta‘ālā. Maka keluarlah alam daripadanya seperti pohon kayu keluar daripada biji. Maka i‘tiqad yang demikian itu kufur.” 430 Al-Bayjūrī, ḥāshīyah ‘alá Matn al-Sanūsīyah, 20.
126
sebagai ahlullāh (wali Allah). 431 Berdasarkan hal tersebut, ‘Abd al-Ra’ūf lebih tepat disebut sebagai penyokong al-Rānīrī dalam mengritisi ḥamzah. D. Korelasi Konsep Tauhid dan Wujud ‘Abd al-ṣamad al-Jāwī alPalimbānī Tokoh yang akan menjadi sentral pembicaraan pada bagian ini adalah ‘Abd al-ṣamad. ‘Abd al-ṣamad lebih sering dikenal di dalam ranah sejarah lokal dengan penisbahan al-Jāwī al-Palimbānī, yaitu sebagaimana ‘Abd al-ṣamad sendiri menamai dirinya. 432 Sejarawan Arab seperti ‘Abd al-Razzāq al-Bayṭar pernah menulis biografi “sangat” singkat tentang tokoh ini dengan menyebutkan gelar al-sayyid dan nisbah al-Jāwī. 433 Hal ini bukanlah mengherankan karena ulama Arab tempo dulu memang mengenal orang-orang dari Nusantara dengan sebutan al-Jāwī. Apabila diperkirakan bahwa umur ‘Abd al-ṣamad sekitar 80-an, maka dapat dikatakan bahwa ia lahir di awal abad ke delapan belas (1700an) setelah beberapa tahun ‘Abd al-Ra‘ūf wafat, yaitu 1105 H. atau 1693 M. Ini memperkuat asumsi bahwa memang dua tokoh ini tidak pernah bertemu. Namun, wacana tentang wujūd tetap masih diminati oleh ‘Abd al-ṣamad, walaupun ia tidak pernah menyebutkan ḥamzah. Tetapi hal yang menarik dari ‘Abd al-ṣamad adalah ia tidak menganggap karyakarya tasawuf Shams al-Dīn bermasalah sebagaimana al-Rānīrī>> dan ‘Abd al-Ra’ūf menyebutkannya. ‘Abd al-ṣamad malah menempatkan karya Shams al-Dīn seperti Jawhar al-ḥaqā’iq dan Tanbīh al-ṭullāb fī Ma‘rifat al-Malik al-Wahhāb pada kurikulum tertinggi dalam ilmu tasawuf. Ini terlihat dari pernyataannya dalam Sayr al-Sālikīn. 434 Ia diasumsikan pernah menulis kajian tentang wujud yang mengacu kepada waḥdat al-wujūd dalam bahasa Arab. Kitab tersebut adalah Zād al-Muttaqīn. Ini sebenarnya adalah risalah kecil yang diperkirakan Azyumardi Azra memuat tentang doktrin-doktrin tasawuf ‘Abd al-ṣamad secara ringkas. Asumsi ini memang benar, walaupun
431
‘Abd al-Ra’ūf, Sullam al-Mustafīdīn¸ 82. Azra, Jaringan Ulama, 307. Ini terlihat dalam salinan naskah Zād alMuttaqīn fī Tawhīd Rabb al-‘Alamīn Mikrofilm Perpusnas no. 386, 1. ‘Abd al-ṣamad, Sayr al-Salikīn, I/2 dan IV/268. 433 Àbd al-Razzāq al-Bayṭar, Hilyat al-Bashar fī Tārīkh al-Qarn al-Thālith al‘Ashr (Damaskus: Maṭba‘at Majma‘ al-‘Ilm al-’Arabī, 1963>), I/851. Tetapi al-Baytār menyebutkan nama ayah ‘Abd al-ṣamad dengan nama yang lain, yaitu ‘Abd al-Raḥmān, sedangkan ‘Abd al-ṣamad sendiri menyebutkan nama ayahnya dengan ‘Abd Allāh. 434 ‘Abd al-ṣamad, Sayr al-Salikīn, III/183. 432
127
Azyumardi Azra mengakui bahwa ia belum menemukan kitab ini. 435 Di dalam kitab Zād al-Muttaqīn dikemukakan secara eksplisit dan sistematis tentang waḥdat al-wujūd . Tetapi penisbahan kitab ini kepada ‘Abd alṣamad masih perlu dipertanyakan, apakah ia sebagai pengarang atau cuma penyalin? Memang, sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa halaman depan yang menjadi cover risalah ini menyebutkan nama ‘Abd al-ṣamad al-Palimbāni sebagai pengarangnya. Kalimatnya adalah, “Hadhihi risālah al-musammá Zād al-Muttaqīn fī Tawhīd Rabb al-‘A
Azra, Jaringan Ulama, 347. Dari mikrofilm yang diperoleh dari Perpusnas, terlihat bahwa teks ini hanyalah risalah kecil ini pernah menjadi bahan kajian utama di kesultanan Buton. Ini dikarenakan naskah yang diabadikan dalam mikrofilm tersebut, ditemukan pada koleksi Mulku Zahari yang merupakan keturunan bangsawan di Buton. Salinan pertama (Naskah A) adalah milik Muḥammad ‘Aydrūs, dan kedua (naskah B) milik ‘Abd al-Khāliq bin ‘Abd Allāh al-Buṭunī sekretaris kesultanan pada masa Sultan Muḥammad ‘Aydrūs. Salinan ‘Aydrūs lebih jelas dibandingkan salinan ‘Abd al-Khāliq. Ini dikarenakan ‘Abd al-Khāliq hanya menulisnya dalam dua halaman dengan huruf yang sangat kecil dan padat. Terdapat 33-34 baris perhalaman, dan terdiri dari 14-17 kata pada setiap baris. Tetapi naskah B mempunyai teks tambahan yang berjudul Lubb al-ḥaqā’iq Terdapat hal menarik dari teks ini, yaitu pada penulisan judul. Judul pertama yang ditulis oleh penyalin adalah Waḥdat al-Wujūd. Tetapi kemudian penyalin naskah menyoret-nyoret judul pertama. Setelah itu, ditulis judul yang populer Zād al-Muttaqīn fī Tawhīd Rabb al-‘Ālamīn. Besar kemungkinan bahwa Wahdat al-Wujūd adalah judul pertama kitab ini, yang kemudian diganti untuk tujuan tertentu oleh pengarang teks. Pada naskah salinan berikutnya yang lebih muda juga dilakukan hal yang sama. Ini terlihat dari salinan ‘Abd al-Khāliq bin ‘Abd Allāh al-Buṭunī. Tampaknya penyalin hanya menyalin walaupun coretan yang terdapat dalam naskah sumber. Abd al-ṣamad, Zād alMuttaqīn naskah A dan B, 1. Selain itu, teks ini juga dinukil sepenuhnya oleh Muḥammad ‘Aydrūs di akhir karyanya yang berjudul Mu’nisah al-Qulūb pada mikrofilem yang sama. Muḥammad ‘Aydrūs, Mu’nisah al-Qulūb, 42-48. 436 ‘Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn naskah A dan B, 1.
128
juga menjadi guru dari ‘Abd al-ṣamad. 437 Oleh karena itu, konsep ‘Abd al-ṣamad tentang waḥdat al-wujūd di dalam risalah ini bukanlah orisinil dari pemahamannya sendiri, tetapi merupakan pemahamannya dari penjelasan sang guru; Shaykh al-Sammān. Tetapi kenyataan ini bukanlah suatu aib, karena memang tidak ada teks yang ‘terpisah’ dari teks yang lain. Dalam konteks ini, ungkapan-ungkapan yang terdapat pada risalah ini akan dinisbahkan kepada ‘Abd al-ṣamad. Ini dikarenakan interpretasi ‘Abd al-ṣamad terhadap ajaran al-Samān telah melahirkan risalah kecil tersebut. Teks Zād al-Muttaqīn merupakan karya tokoh sufi Nusantara yang paling relevan dalam menunjukkan kesatuan aspek teologi dan tasawuf. Selain itu, juga terdapat risalah lain yang berkaitan dengan tema ini, yaitu Lubb al-ḥaqā’iq. Dari kumpulan teks terlihat bahwa risalah kecil termasuk kepada Zād al-Muttaqīn, tetapi pada dasarnya teks ini berdiri sendiri dan terpisah. Ia menjelaskan di dalamnya tentang konsep teologis wujud yang mendasar sebagaimana dijelaskan oleh para teolog. Substansi yang dikemukakan oleh ‘Abd al-ṣamad tentang konsep wujūd di dalam risalah ini. terlihat lebih relevan dikaji sebelum waḥdat alwujūd. Berdasarkan pertimbangan ini, maka akan ditampilkan terlebih dahulu ulasan mengenai kitab Lubb al-ḥaqā’iq. Adapun yang dibicarakan oleh ‘Abd al-ṣamad di dalamnya adalah menjelaskan kategorisasi wujud. Ini berbeda dengan metode ahli kalām yang terhenti setelah menjelaskan tiga pembagian wujud menjadi wājib, mumkin, dan mumtani‘. Ia menjelaskan konsep ini sebagai pendahuluan dalam memahami tema penting dalam tasawuf, yaitu a‘yān thābitah. Dengan istilah yang sedikit berbeda dari para teolog, ‘Abd alṣamad mengemukakan bahwa ma‘lumāt –ungkapan lain yang digunakannya untuk kata wujūd- terdiri dari tiga macam. Pertama, alwājib yang didefinisikan sebagai wujud yang maha suci dari ketiadaan pada saat sebelum dan sesudah keberadaannya. Ia menyebut wujud dalam kategori ini sebagai wujūd muṭlaq; yang merujuk kepada wujud al-ḥaqq (Allah). Kedua, al-‘adam al-mumkin yang diartikan sebagai sesuatu yang tidak ada pada ilmu Allah yang azali, lalu Dia ‘mengeluarkan’ darinya selama-lamanya, sehingga akan selalu menjadi ada jika memang Dia menghendakinya. Tetapi jika Dia tidak menghendakinya, maka tidak akan 437
‘Abd al-ṣamad, Sayr al-Sālikīn, 183. Ia mengatakan: “Dan demikian lagi risalah yang hamba himpunkan akan dia daripada perkataan al-walī al-kāmil almukammil khatam ahl al-‘irfān Sayyidī al-Shaykh Muḥammad bin ‘Abd al-Karīm alSammān.” Setelah itu ia menyebutkan beberapa kalimat pembukaan yang memang sama dengan teks yang diperoleh dari mikrofilm Perpusnas.
129
ada selamanya. Inilah yang dipahami oleh ‘Abd al-ṣamad sebagai a‘yān thābitah yang akan menjadi pantulan dari manifestasi Wujud Mutlak. A‘yān thābitah tersebut sanggup dan siap menerima irādah dan perintah, sehingga ia masih mempunyai sha’n al-wujūd (kondisi wujud) dalam ketiadaannya, dan mempunyai tafrīq al-bāqī (pemisahan ketetapan wujud) ketika terjadi kebinasaan. 438 Dua istilah ini terkesan sulit dipahami. Tetapi jika diperhatikan maka akan diperoleh kejelasan maksud dari keduanya. Sha’n al-wujūd mengindikasikan keberadaan alam –sebagai contoh manusia- dalam ilmu Allah, ketika alam tersebut belum diwujudkan dalam alam nyata. Tafrīq al-bāqi > menunjukkan keberadaan suatu makhluk -seperti substansi manusia- yang masih tetap eksis walaupun telah binasa atau mati. Ketiga adalah al-‘adam al-muḥid}. ‘Abd al-ṣamad mendefinisikan term ini menjadi sesuatu yang tiada (ma‘dūm) sebagaimana dipahami dari ilmu Allah yang abadi. Ia menyontohkannya dengan keberadaan serikat bagi Allah. Keberadaan serikat bagi Allah mustahil ada dan tidak mungkin terjadi selamanya. Berbeda dengan a‘yān thābitah, ‘adam muḥid} tidak mungkin menjadi tempat manifestasi Allah. 439 ‘Abd alṣamad sangat benar dalam hal ini, karena tidak mungkin sesuatu yang tidak pernah ada sama sekali menjadi tempat pancaran sesuatu yang Maha Ada. Dalam hal ini, Ibn ‘Arabī>> pernah menegaskan bahwa ini dikarenakan sesuatu yang al-wujūd al-muḥid} itu lam yazal wa lā yazāl yang berarti ketiadaannya bersifat selama-lamanya. Ibn ‘Arabī juga menambahkan bahwa al-‘adam al-muḥid} adalah kegelapan, sebagai alwujūd al-muḥid} adalah cahaya. 440 ‘Abd al-ṣamad menyebutkan beberapa analogi untuk memahami istilah-istilah rumit ini. Analogi akan mampu membantu kerumitan term yang pernah digunakan oleh Ibn ‘Arabī>>. ‘Abd al-ṣamad bahwa pada dasarnya al-wujūd al-muhid} atau al-wujūd al-muṭlaq diumpamakan dengan ‘ishq (kerinduan). Ini dilihat dari aspek kemunculan kerinduan dari-Nya. Tidak mungkin terjadi kerinduan dalam ketunggalan-Nya, sehingga Dia memunculkan al-wujūd al-‘ām (alam semesta) yang bersumber dari a‘yān tha
Abd al-ṣamad, Lubb al-ḥaqāiq, 3r. Bandingkan dengan Ibn ‘Arabi>>, alFutūḥāt al-Makkīyah, bab 198 IV/84. Ibn ‘Arabī mengatakan:
ﻓﺎﻟﻭﺟﻭﺩ ﺍﻟﻣﺣﺽ ﻫﻭ ﷲ ﻟﻳﺱ ﻏﻳﺭﻩ ﻭﺍﻟﻌﺩﻡ ﺍﻟﻣﺣﺽ ﻫﻭ ﺍﻟﻣﺣﺎﻝ ﻭﺟﻭﺩﻩ ﻟﻳﺱ ﻏﻳﺭﻩ ﻭﺍﻷﻣﻛﺎﻥ ﺍﻟﻣﺣﺽ ﻫﻭ ﺍﻟﻌﺎﻟﻡ ﻟﻳﺱ ﻏﻳﺭﻩ ﻭﻣﺭﺗﺑﺗﻪ ﺑﻳﻥ ﺍﻟﻭﺟﻭﺩ ﺍﻟﻣﺣﺽ ﻭﺍﻟﻌﺩﻡ ﺍﻟﻣﺣﺽ ﻓﻳﻣﺎ ﻳﻧﻅﺭ .ﻣﻧﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻌﺩﻡ ﻳﻘﺑﻝ ﺍﻟﻌﺩﻡ ﻭﺑﻣﺎ ﻳﻧﻅﺭﻣﻧﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻭﺟﻭﺩ ﻳﻘﺑﻝ ﺍﻟﻭﺟﻭﺩ 439 440
Abd al-ṣamad, Lubb al-ḥaqāiq, 3r. Ibn ‘Arabi>>, al-Futūḥāt al-Makkīyah, IV/84 dan 85.
130
(‘A<shiq). Adapun al-wujūd al-muṭlaq adalah yang dirindukan (ma‘sy>uq). Orang merasa rindu adalah orang yang butuh (faqīr) kepada al-wujūd al-muṭlaq sebagai sesuatu yang dirindukan. Berdasarkan itu, ‘Abd al-ṣamad mengatakan bahwa al-wujūd al-‘ām atau al-wujūd alid}āfī -sebagai sesuatu yang tampak pada a‘yān thābitah- adalah pantulan bayangan dari al-wujūd al-muṭlaq. Oleh karena itu, mustahil dipisahkan al-wujud al-‘ām atau dijauhkan dari hakikat wujudnya. Dari aspek ini, maka al-wujūd al-‘ām adalah ‘ayn (substansi) dari al-wujūd al-muṭlaq, sedangan yang terakhir adalah sumber dan hakikat dari semua wujūd.441 Inilah yang dimaksud oleh ‘Abd al-ṣamad dan sufi besar lain seperti Ibn ‘Arabī ketika menyebutkan bahwa alam semesta adalah ‘ayn dari wujud Allah. Hal tersebut tidak mengindakasikan ittiḥād dan ḥulūl sama sekali. Ini dikarenakan Allah tidak masuk ke dalam satu unsur pun dari alam semesta, sebagaimana orang yang bercermin tidak pernah masuk ke dalam cermin. 442 Dalam memudahkan pemahaman mengenai hubungan antara dua wujud ini, maka ‘Abd al-ṣamad juga menambahkan bahwa kaum sufi menganalogikan al-wujūd al-muḥid} bagaikan seseorang yang rupawan yang ingin melihat wajahnya. Hal terjadi setelah orang tersebut melihat dirinya dari dekat, sehingga ia melihat dirinya dalam dirinya. Adapun a‘yān thābitah dianalogikan seperti cermin yang akan memantulkan secara terbalik kegagahannya. Adapun wujūd ‘ām (alam semesta) dianalogikan dengan bayangan dan bentuk yang muncul dalam cermin. Ia mempunyai kesamaan sifat dan gerak dengan rupawan yang bercermin. Tetapi tetap saja bahwa bayangan tersebut bukan si rupawan. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan bahwa sumber gambar tersebut adalah si rupawan; sumber makhluk adalah Allah. 443 Ungkapan ini dikemukakan Ibn ‘Arabī>> dengan kalimat al-ḥaqq ‘ayn al-‘abd” (Allah adalah substansi/sumber hamba). Tetapi dari sisi lain, Ibn ‘Arabī ingin menekankan perbedaan Allah dengan hamba dengan ungkapannya alḥaqq ghayr al-‘abd (Allah bukanlah hamba) dan “fa al-Rabb Rabb[un] wa-al-‘abd ‘abd[un]” (Tuhan adalah Tuhan itu sendiri dan hamba adalah hamba itu sendiri). 444 Dalam ungkapan lain, bisa dikatakan bahwa hamba
441
Abd al-ṣamad, Lubb al-ḥaqāiq, 3r-3v. Abd al-ṣamad, Lubb al-ḥaqāiq, 3v; Ibn ‘Arabi>>, al-Futūḥāt al-Makkīyah, VI/209-210. 443 Abd al-ṣamad, Lubb al-ḥaqāiq, 3v. 444 Ibn ‘Arabi>>, al-Futūḥāt al-Makkīyah, bab 503 VII/208 dan bab 558 VII/295. 442
131
tetap menjadi dirinya sendiri sebagaimana analogi “bayangan” yang ada dalam cermin akan senantiasa sebagai bayangan. Adapun ulasan terhadap kitab Zād al-Muttaqīn akan dikemukakan berikut ini. ‘Abd al-ṣamad mengemukakan konsep waḥdat al-wujūd sebagaimana diringkasnya dari perkataan al-Sammān. Ia menulis bahwa yang maksud kaum sufi dengan term waḥdat al-wujūd dapat dijelaskan dengan memberikan perincian makna fanā’ dan baqā’. Ada tiga tahapan fanā’ dan dua tahapan baqā’. Ia berpijak dengan hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Saw “ditarik” (judhiba) oleh “tarikan Allah” (jadhabāt alḥaqq). 445 Tahapan pertama pada fanā’ adalah fanā’ af‘āl (peleburan perbuatan). Makna dari term ini adalah peleburan perbuatan manusia dan semua makhluk dalam perbuatan Allah (fi‘l Allah). Ia menggunakan subjek orang pertama jamak, yaitu naḥnu yang berarti kita untuk menjelaskan perincian tahapan ini. Ia mengatakan,”Maka kita tidak melihat di alam semesta suatu perbuatan dari semua perbuata kecuali hanya fi‘l Allah”. 446 Al-Jīlī si “Ibn ‘Arabī>> al-ṣaghīr” mengungkapkan bahwa pada tingkatan ini, seorang sālik menyaksikan hanya Allah sebagai penggerak tunggal, sehingga terjadi penegasian terhadap peran makhluk dan penetapan peran tunggal Allah. Dalam hal ini, semua daya, kekuatan, dan kehendak (irādah) dinafikan dari semua makhluk, dan dihubungkan hanya kepada Allah. 447 ‘Abd al-ṣamad menambahkan bahwa penyaksian ini tidak membedakan apakah perbuatan tersebut berasal dari diri si sālik atau pun dari orang lain. Begitu juga, tidak dibedakan apakah perbuatan tersebut menurut manusia buruk atau baik. Ia menegaskan bahwa semua itu adalah perbuatan Allah. ‘Abd al-ṣamad tampak sepakat dengan Nafīs al-Banjārī> untuk menamakan tahapan ini dengan tawḥīd al-af‘āl (pengesaan perbuatan Allah). Konsep tawhīd al-af‘āl tersebut berpijak kepada firman Allah yang menyebutkan kisah Nabi Saw yang menang dalam perang Badr. Disebutkan bahwa ketika Muḥammad melempar maka pada hakikatnya bukan beliaulah yang melempar. Tetapi yang melempar adalah Allah. 448 Apabila diperhatikan interpretasi Ibn ‘Arabī>>, maka 445 446
447
Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 3r; B:2v. Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 3v; B: 2r. Teks arabnya adalah:
.ﻻ ﻧﺭﻯ ﻓﻰ ﺍﻟﻛﻭﻥ ﻓﻌﻼ ﻣﻥ ﺍﻷﻓﻌﺎﻝ ﺇﻻ ﻓﻌﻝ ﷲ
Al-Jīlī, al-Insān al-Kāmil, I/ 57. 448 Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 3v; B: 2r ; Nafīs al-Banjārī, al-Durr alNafīs, 4. rAyat yang dimaksud adalah al-Anfāl ayat 17:
ﷲ َﺭ َﻣﻰ َ َﻭ َﻣﺎ َﺭ َﻣﻳْﺕَ ﺇِ ْﺫ َﺭ َﻣﻳْﺕَ َﻭﻟَﻛِﻥﱠ ﱠ
132
akan ditemukan kejelasan ayat tersebut. Ia mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa yang melempar adalah Muhammad si “hamba”. Tetapi Allah menegasikan eksistensinya, sehingga Dialah yang menjadi pelaku. Allah menegasikan hamba, lalu menamai si “hamba” dengan nama diri-Nya. Hal ini, ungkap Ibn ‘Arabī>, tidaklah boleh dipahami kecuali dari satu perspektif. Perspektif itu adalah memandang si “hamba” dari sisi substansinya (‘ayn al-‘abd) bukan dari sisi dirinya sebagai hamba. Ini dikarenakan si “hamba” tidak pernah cocok dan layak untuk dinamai sebagai “tuan” atau “substansi”. 449 Tahapan kedua adalah fanā’ al-ṣifāt. ‘Abd al-ṣamad bahwa fanā’ al-ṣifāt merupakan ungkapan terhadap sifat manusia dan semua makhluk lebur dalam sifat Allah. Secara terperinci, maka seorang yang mencapai tahapan ini tidak lagi mempunyai sifat samā‘ (mendengar) kecuali dengan sifat samā‘ Allah, tidak mempunyai sifat baṣar (melihat) kecuali dengan baṣar Allah, begitu seterusnya sesuai dengan sifat ma‘ānī dalam teologi Sunni. Hal ini sama dengan penjelasan Nafīs al-Banjārī>, tetapi perbedaannya adalah ‘Abd al-ṣamad terkesan menggabungkan tawḥīd asmā’ dan ṣifāt. Adapun Nafīs lebih cenderung memberikan perincian dengan membedakan keduanya. 450 Ia berpijak kepada hadis panjang yang menyebutkan bahwa seorang hamba Allah akan mendapatkan cinta-Nya dengan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya melalui amalan tambahan (nawāfil). 451 Apabila dibandingkan dengan karya lainnya, seperti Sayr alSālikīn, maka dua tingkatan ini tergabung dalam satu tingkatan saja dari maqām tawhīd muqarrabīn (tingkatan tauhid orang-orang yang dekat kepada Allah). Ini dikarenakan ia sedang memberikan komentar alGhazālī yang mengemukakan tingkatan tauhid. ‘Abd al-ṣamad menyebutkan bahwa tingkatan muqarrabīn disebut juga sebagai gabungan tauhid af‘āl, asmā’, dan ṣifāt. Adapun tauhid dhāt dikelompokkannya kepada tingkatan keempat yaitu ṣiddiqīn, ketika mereka tidak menyaksikan kecuali wujud Allah semata. 452 Terlihat bahwa ‘Abd alIa juga mengemukakan ayat lain surat al-ṣāfāt ayat 96: 449
َﻭﷲ ُ َﺧﻠَ َﻘ ُﻛ ْﻡ َﻭ َﻣﺎ َﺗﻌْ َﻣﻠَ ْﻭ َﻥ
Ibn ‘Arabi>>, al-Futūḥāt al-Makkīyah, bab 558 pasal ḥad}rat al-taṣwīr,
VII/313. 450
‘Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 3v ;B: 2r; Nafīs al-Banjārī, al-Durr alNafīs, 8 dan 10. 451 ‘Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 3v ;B: 2r. 452 Al-Ghazālī mengatakan bahwa ada empat tingkatan tauhid yang menjadi substansi dari tawakkal. Pertama martabat munāfiqīn, yaitu orang yang melafazkan kalimat tauhid tetapi hatinya lalai dari Allah, bahkan mengingkarinya. Kedua martabat
133
ṣamad memaknai waḥdat al-shuhūd yang dikemukakan al-Ghazālī semakna dengan waḥdat al-wujūd . Hal ini diketahui dari penegasannya sendiri bahwa tingkatan keempat ini boleh diungkapkan sebagai waḥdat al-wujūd. 453 Selain itu, jika merujuk kepada al-Jīlī maka terdapat penjelasannya mengenai ini. ia mengingatkan bahwa setiap kali terjadi tajallī maka Allah memang meleburkan hamba-Nya dan menggantikanya, tapi tanpa terjadi ḥulūl zat Allah. Zat-Nya tidak juga akan berkaitan dengan hamba. Ungkapan tajalli dalam konsep al-Jili adalah keutamaan dan kemulian yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Peleburan eksistensi hamba yang digantikan dengan nama atau sifat Allah merupakan suatu keharusan. Ini dikarenakan peleburan yang tidak digantikan dengan nama atau sifat Allah adalah malapetaka. Dalam hal ini, al-Jili sangat menekankan eksistesi Tuhan dan hamba. 454 Tahapan ketiga yang terdapat dalam Zād al-Muttaqīn adalah fanā al-dhāt. Ia menjelaskan bahwa term ini menunjukkan bahwa zat manusia dan semua makhluk lebur dalam zat Allah. 455 Jika merujuk kepada Ibn Taymīyah maka fanā’ dalam konteks inilah yang menjadi objek kritikannya. Ibn Taymīyah menilai fanā’ dalam kategori ini sebagai konsep spiritual yang keliru, bahkan ateis. Ini dikarenakan ia memahami ungkapan tersebut dari sudut pandang yang berbeda dengan ‘Abd alṣamad yang tidak bermaksud untuk cenderung kepada ḥulūl dan ittiḥād. Dalam hal ini, ‘Abd al-ṣamad mengemukakan konsep ‘lebur’ yang ia pahami pada tahapan ketiga ini dengan jelas. Ia mengatakan bahwa inilah substansi dari ungkapan lā mawjūda illá Allāh. Adapun wujud selain Allah; yaitu wujud semua makhluk pada hakikatnya adalah tidak ada (‘adm). Ini dikarenakan wujud selain-Nya tidak berdiri sendiri pada zatnya, tetapi bersandar dengan zat Allah. Wujud selain Allah ditegaskan oleh ‘Abd al-ṣamad sebagai khayāl (imajinatif) dan wahm (ilusi) yang tidak ada sama sekali (bāṭil). Tetapi ia tidak berhenti pada kalimat ini. ‘Abd al-ṣamad malah menekankan bahwa konsep ini hanya bisa awam, yaitu membenarkan (taṣdīq) makna dari kalimat tauhid dengan hati sebagaimana umat Islam membenarkannya. Ketiga martabat muqarrabin, yaitu menyaksikan melalui penyingkapan spiritual dengan perantaraan cahaya Allah bahwa segala sesuatu bersumber dari Allah Yang Maha Esa semata. Keempat martabat ṣiddīqīn, yaitu tidak menyaksikan kecuali hanya Allah semata. Bahkan, ungkap al-Ghazāli, orang yang mencapai ini tidak melihat lagi keberadaan dirinya. Al-Ghazālī, Iḥyā ‘Ulūm al-Dīn, IV/304; ‘Abd al-ṣamad, Sayr al-Sālikīn, III/102-103. 453 Sayr al-Sālikīn, III/103. 454 al-Jīlī, al-Insān al-Kāmil, I/62. 455 ‘Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 4r ; B: 2r.
134
diterapkan ketika dihubungkan kepada Allah. Dalam ungkapan lain, ‘Abd al-ṣamad menggarisbawahi bahwa ketiadaan wujud manusia dan alam semesta adalah jika dinisbahkan kepada Allah. 456 Berdasarkan ini, konsekuensi logis dari ungkapan tersebut adalah jika dinisbahkan kepada manusia dan makhluk, maka wujud mereka menjadi nyata dan terbukti ada. Konsep ini yang sering terlupakan ketika membaca teks-teks yang membicarakan tentang waḥdat al-wujūd. Tahapan ketiga ini merupakan substansi dari konsep waḥdat al-wujūd. Ia menjadikan sya’ir Labīd yang juga dipuji oleh Nabi Saw, “ ﺃﻻ ﻣﺎ -ﺧﻼ ﷲ ﺑﺎﻁﻼ-Ketahuilah bahwa selain Allah itu batil” sebagai pijakan utama untuk menguatkan konsep ini. Selain itu, ia mengemukakan beberapa ungkapan di dalam al-Qur’an yang menyebutkan bahwa pada hari Kiamat akan lenyap semua hal kecuali wajah Allah. 457 ‘Abd al-ṣamad menambahkan hadis lain yang menjadi pijakannya, bahwa Allah telah ada sedangkan tidak ada siapa pun bersama-Nya. Ulama menambahkan, ungkap ‘Abd al-ṣamad, bahwa “Dia sekarang ada sebagaimana keadaann-Nya dulu ada”. 458 Apabila di halaman sebelumnya ia hanya mengatakan bahwa wujud alam jika dikaitkan kepada Allah bersifat khayāl, wahm, dan bāṭil, maka pada halaman berikut ia menambahkan dengan kata majāz (majazi). Penggunaan term “khayāl” terhadap selain Allah juga digunakan oleh Nafīs al-Banjārī> ketika menjelaskan tahapan ini. Dalam hal ini, ‘Abd al-ṣamad mengingatkan agar jangan terjebak kepada konsep ḥulūl dan ittiḥād, karena wujud Allah tidak berupa jism, jawhar, dan ‘arad} . Dia tidak akan menempati sesuatu dan bersatu dengannya, karena wujud-Nya Maha Suci dari batas (ḥudūd) dan sifat baru (ḥudūth). 459 Penempatan al-Sammān sebagaimana dipahami ‘Abd al-ṣamad terhadap tahapan fanā’ al-dhāt yang sangat identik dengan waḥdat alwujūd pada tahapan ketiga, menunjukkan bahwa pencapaian pada tataran ini bukanlah sebagai tingkat spiritual tertinggi. Tetapi masih ada dua tahapan lain yang lebih tinggi dari ini, yaitu tahapan keempat dan kelima. P456F
P457 F
P
P
P458F
456 457
458
‘Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 4r ; B: 2r. ‘Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 4v ; B: 2r. QS. Al-Raḥmān ayat 26-27:
(27) ( ﻭﻳﺑﻘﻰ ﻭﺟﻪ ﺭﺑﻙ ﺫﻭ ﺍﻟﺟﻼﻝ ﻭﺍﻹﻛﺭﺍﻡ26) ﻛﻝ ﻣﻥ ﻋﻠﻳﻬﺎ ﻓﺎﻥ
‘Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 4v ; B: 2r. Teksnya adalah:
" ﻭﻫﻭ ﺍﻵﻥ: " ﻛﺎﻥ ﷲ ﻭﻟﻡ ﻳﻛﻥ ﺷﻳﺋﺎ ﻣﻌﻪ" ﻭﺯﺍﺩ ﺍﻟﻌﻠﻣﺎء:ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻧﻳﻰ ﺻﻠﻰ ﻟ ﻋﻠﻳﻪ ﻭﺳﻠﻡ .ﻛﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻳﻪ 459
‘Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 5r ; B: 2v; Nafīs al-Banjārī, al-Durr alNafīs, 16-17.
135
Apabila tiga tahapan pertama termasuk bagian dari fanā’, maka dua tahapan terakhir merupakan bagian dari baqā’. Adapun tahapan keempat adalah baqā’ dalam penyaksian kuantitas alam semesta yang banyak dan beragam pada keesaan Allah. Ia menyebutnya dengan ungkapan shuhūd al-kathrah fī al-waḥdah. 460 ṣadr al-Dīn al-Qūnawī (673 H.) murid Ibn ‘Arabī>> pernah mengungkapkan bahwa al-waḥdah merupakan sifat dhātīyah bagi Allah, sedangkan alkathrah merupakan sifat dhātīyah bagi alam semesta. Dari aspek ini, maka dua sifat tersebut bertentangan. 461 Tetapi ‘Abd al-ṣamad mencoba menjelaskan bahwa penerapan dari ungkapan adalah seorang yang mencapai ini menyaksikan bahwa wujud makhluk berdiri dengan bersandar kepada wujud Allah, bukan dengan dirinya sendiri. 462 Di dalam Sayr al-Sālikīn ia pernah menjelaskan tahapan ini sebagai pencapaian martabat insān kāmil. Ia mendefinisikan bahwa ungkapan shuhūd alkathrah fī al-waḥdah berarti menyaksikan semua makhluk dalam “perintah” Tuhan Yang Maha Esa, yang bersifat waḥdānīyah. 463 Tahapan kelima adalah baqā’ dalam penyaksian keesaan Allah yang mutlak pada kuantitas alam semesta yang banyak dan beragam. Ia menyebutnya dengan ungkapan yang terbalik dari tahapan keempat, yaitu shuhūd al-waḥdah fī al-kathrah. Adapun makna dari ungkapan ini ia jelaskan dengan mengatakan bahwa seorang sālik menyaksikan bahwa Allah mawjūd pada setiap elemen yang terdapat pada alam semesta. Tetapi ia menggarisbawahi bahwa penyaksian tersebut hanya bersifat “dhawqī” bukan “qawlī lafẓī”, sehingga disaksikan pada tahapan ini wujud Allah pada setiap bagian elemen dari alam semesta dalam makna yang lebih luas; menyaksikan padanya huwīyah (hakikat) Allah, zat-Nya yang berdiri sendiri, kekuasaan-Nya dan keagungan-Nya. 464 Berdasarkan itu, ia menyebutkan di dalam Sayr al-Sālikīn bahwa shuhūd al-waḥdah fī al-kathrah berarti menyaksikan Tuhan yang mempunyai ‘perintah’ pada alam semesta. 465 Hanya bersifat dhawqī berarti sebatas perasaan dan pengalaman spiritual. Tidak bersifat qawlī lafẓī berarti penyaksian tersebut bukan pada tataran teologis. Ini dikarenakan jika penyaksian tersebut dipahami 460
‘Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 5r ; B: 2v. ṣadr al-Dīn al-Qūnawī, al-Nafaḥāt al-Ilāhīyah tahqiq: Aḥmad Farīd alFarīdī (Beirut: Dār al-Kutub, 2007), 58. 462 ‘Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 5v ; B: 2v. 463 ‘Abd al-ṣamad, Sayr al-Sālikīn, III/12. 464 ‘Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, A: 5v ; B: 2v. 465 ‘Abd al-ṣamad, Sayr al-Sālikīn, III/12. 461
136
dengan qawlī lafẓī maka akan mengakibatkan konsekuensi teologis. Konsep ini merupakan penegasan yang terpenting dari data-data yang diperoleh sejauh ini pada wacana wujūd. Dari penegasan tersebut, maka dapat dipahami titik kekeliruan penentang ajaran waḥdat al-wujūd seperti Ibn Taymīyah dan Ibn al-Qayyim. Ibn Taymīyah membaca teks-teks tasawuf yang sangat banyak ia sebutkan dalam karya-karyanya dengan kacamata teologis, sehingga terjadi bias terhadap objek yang dibaca. Apalagi pengikut mereka yang menentang tasawuf berdasarkan sumber sekunder yang diperoleh dari karya-karya yang mereka tinggalkan. Bahkan ‘Abd al-ṣamad secara lebih tegas menambahkan bahwa penyaksian ini tidak boleh dipahami sebagai konsep teologis seperti ḥulūl, ittiḥād, dan ‘aynīyah (substansif). 466 Ungkapan ini -sejauh data yang ditemukan seputar kajian wujūd- merupakan penegasan yang paling jelas dari konsep-konsep wujud yang pernah ada sebelumnya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ‘Abd al-ṣamad tidak menempatkan waḥdat al-wujūd yang dipahami dari fanā’ al-dhāt sebagai tingkatan tertinggi. Ini dikuatkan sendiri oleh kesimpulan ‘Abd al-ṣamad bahwa baqā’ lebih tinggi daripada fanā’. Ini dikarenakan fanā’ masih pada tataran aḥadīyah, sedangkan baqā’ pada tataran wāḥidīyah. Tetapi ia mengingatkan bahwa tidak akan sampai kepada baqā’ kecuali dengan melewati fanā’. Namun terdapat hal lain yang menarik dari konsep ‘Abd al-ṣamad, bahwa ia menilai dua term ini sebagai maqām, bukan ahwāl.467 Tetapi kajian ini tidak akan membicarakan dinamika perdebatan tokohtokoh sufi mengenai hal tersebut. Namun demikian, poin terpenting dari bagian ini adalah penegasan seorang sufi sekaligus teolog seperti ‘Abd al-ṣamad terhadap pemilahan dua kacamata yang berbeda. Boleh dikatakan bahwa semua ungkapan waḥdat al-wujūd dalam pemahaman ‘Abd al-ṣamad mesti dipahami dengan kacamata kesufian yang berpijak dari aspek perasaan dan pengalaman spiritual. Berdasarkan hal ini, penilaian teologis yang akan menghukuminya menjadi kafir atau mukmin tidak relevan diterapkan pada konteks ini. Namun, setiap perkembangan yang dicapai pada tahapan ini merupakan substansi dari penerapan tauhid itu sendiri.
BAB V 466 467
‘Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, 2v. ‘Abd al-ṣamad, Zād al-Muttaqīn, 2v.
137
PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan sebelumnya, terlihat jelas bahwa konsep dan tradisi tasawuf yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Nusantara pada abad ketujuh belas sampai kesembilan belas tidak terpisahkan dari teologi Sunni, terutama Ash‘arīyah. Ulama tasawuf Nusantara tidak berpandangan bahwa teologi Sunni yang mereka anut bertentangan dengan ajaran kesufian yang dikembangkan. Justru mereka menempatkan teologi Sunni sebagai pijakan awal dan kontrol terhadap perkembangan spiritual. Dalam hal ini, hanya al-Ranirī sebagai tokoh “pendatang” yang mengembangkan teologi Sunni Mātūridīyah, sedangkan yang lain lebih cenderung kepada Ash‘arīyah. Namun, mereka sepakat dalam menempatkan teologi Sunni sebagai pijakan dasar dalam mempelajari dan mengamalkan tasawuf. Sikap ini akan ditemukan secara konkrit dari karya-karya ‘Abd al-Ra’ūf, ‘Abd al-ṣamad, Nafīs al-Banjārī>, Yūsuf alMakassari>, Muḥammad ‘Aydrūs al-Buṭūnī, Ismā‘īl al-Minangkabawī, Nawawī al-Bantanī dan tokoh lainnya. Hampir semua tokoh tasawuf Nusantara menjadi pengikut tasawuf Ibn ‘Arabī>, walaupun terjadi perbedaan interpretasi dan ekspresi di kalangan mereka. Perbedaan tersebut mempunyai implikasi yang berat pada tatanan teologi dan politik mereka. Memang benar bahwa al-Ranirī mengritisi konsep tasawuf ḥamzah Fanṣūrī dan Shams al-Dīn alSumatrānī. Tetapi bukan berarti tiga tokoh ini tidak mempunyai tradisi yang sama, justru mereka adalah pengikut Ibn ‘Arabī yang ‘setia’. Ditemukan bahwa al-Ranirī berkesimpulan bahwa dua tokoh tersebut salah dalam menginterpretasikan konsep wujud yang pernah dikembangkan oleh Ibn ‘Arabī. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa al-Ranirī juga keliru dalam memberikan kesimpulan ini, sebagaimana diasumsikan selama ini. Tetapi, berdasarkan teks yang dikaji -seperti Jawa>hir al-Ma‘lūm sebagai karya yang paling luas membicarakan konsep wujud- terlihat bahwa al-Ranirī adalah penganut aliran Wujūdīyah yang lebih militan dan idealis. Ia menolak semua wujud, kecuali wujud Allah semata. Inilah yang ia pahami dari konsep alwujūd al-muṭlaq. Al-Ranirī berpandangan bahwa konsep inilah yang disebut sebagai sufi sejati dan sekaligus Sunni yang lurus. Adapun ḥamzah dan Shams al-Dīn dalam pandangan al-Ranirī masih terjebak kepada pengakuan terhadap dualisme wujud atau lebih. Sikap ini tentu sangat berbeda dengan sikap Ibn Taymīyah yang memang telah 138
“memusuhi” ajaran tasawuf Ibn ‘Arabī, walaupun pada akhirnya dua tokoh ini mempunyai sikap yang sama dalam menghukumi teologi tokoh yang dianggap “menyimpang”. Selain itu, terlihat bahwa ‘Abd al-Ra’ūf ternyata bukanlah sebagai pembela ḥamzah atau pengritis al-Ranīrī. Ini dikarenakan teks-teks yang dikarang oleh ‘Abd al-Ra’ūf justru lebih cenderung menyudutkan ajaran ḥamzah. Begitu juga, ‘Abd al-ṣamad al-Palimbānī yang dianggap sebagai “pendamai” antara tasawuf falsafi dan Sunni, ternyata tidak pernah berpandangan bahwa dua konsep tersebut bertentangan, sehingga perlu untuk didamaikan. Justru sebagaimana tokoh lainnya, ‘Abd al-ṣamad memang menjadikan teologi Sunni sebagai pijakan dan kontrol terhadap perkembangan spiitual seseorang. Ini terlihat dari ungkapannya dalam Zād al-Muttaqīn bahwa penyaksian spiritual bahwa Allah sebagai wujud yang maha tunggal “ada” dalam setiap elemen terkecil alam semesta. Penyaksian tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat lahiriah dan tekstual (lafẓī) dalam artian bahwa Allah bersatu (ittiḥad) dan bertempat (ḥulūl) di setiap elemen tersebut. Namun ‘Abd al-ṣamad mengingatkan bahwa penyaksian tersebut bersifat intuitif (ẓawqī). Berdasarkan hal ini, ‘Abd alṣamad tidak merasa keberatan untuk menghubungkan dirinya kepada komunitas pengikut teologi Sunni Ash‘arīyah. Tokoh semasanya, seperti Arshad al-Banjārī dan Nafīs al-Banjārī> juga dengan terus terang menyebut diri mereka sebagai pengikut teologi Sunni Ash‘arīyah. Dalam konteks ini Nafīs lebih cenderung kepada tasawuf daripada Arshad, walaupun mereka sama-sama belajar kepada guru spiritual yang sama, yaitu Muḥammad bin ‘Abd al-Karīm alSammān. Sampai abad kesembilan belas, teologi Sunni masih mengakar kuat di Nusantara, walaupun terdapat beberapa gejolak yang mengindikasikan pengaruh teologi lain. Kekuatan teologi yang kuat tersebut terlihat dari karya-karya Nawawī al-Bantanī dan Ismā‘īl alMinangkabawī dan tokoh lain. Karya-karya mereka –di samping karya ulama lain di ḥaramayn- masih mempengaruhi dengan kuat tradisi keagamaan pada abad berikut yang lebih majemuk. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan keagamaan yang “berjamur” pada abad keduapuluh. Adapun yang terbesar diantaranya adalah gerakan yang dibangun oleh ḥāshim Ash‘arī. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa sufi-sufi yang ada di Nusantara adalah teolog-teolog yang ulung. Mereka memulai 139
kajian spiritual dengan memahami teologi Sunni sebagai pijakan utama dan kontrol spiritual. B. Saran Walaupun kajian ini telah menunjukkan Sunni sebagai teologi yang dianut oleh ulama Nusantara -terutama mereka yang dikenal sebagai sufi- sampai abad kesembilan belas, tetapi bukan berarti hal tersebut akan bertahan selamanya. Justru pada abad berikutnya, terdapat geliat yang menunjukkan perkembangan teologi lain. Bahkan, boleh jadi sampai saat ini malah terjadi kemerosotan bersamaan dengan kondisi “intelektual” ḥaramayn yang telah didominasi oleh teologi yang berbeda dengan abadabad sebelumnya. Apabila ḥaramayn pada abad ketujuh belas sampai kesembilan belas adalah pusat pengembangan teologi Sunni Ash‘arīyah dan pengajaran tasawuf, maka sekarang justru dua disiplin ini dilarang dan dianggap menyimpang oleh ulama Wahhābīyah yang diberi kedudukan oleh penguasa. Oleh karena itu, besar kemungkinan sikap pelarangan dan pembid’ahan tersebut juga menular kepada tradisi keagamaan di Nusantara saat ini. Kenyataan mengenai hal ini membutuhkan kajian lebih lanjut yang lebih serius. Ini dapat dilakukan dengan menelusuri kembali karya-karya teologiis yang berkembang di kalangan Muslim di pusat-pusat pendidikan Islam seperti pesantren dan universitas.
Lampiran Suntingan Teks 140
Suntingan teks berikut ini merupakan risalah yang berjudul Zād al-Muttaqīn fī Tawḥīd Rabb al-‘A
(ﻫﺫﻩ ﺍﻟﺭﺳﺎﻟﺔ ﺍﻟﻣﺳﻣﻰ ﺯﺍﺩ ﺍﻟﻣﺗﻘﻳﻥ ﻓﻰ ﺗﻭﺣﻳﺩ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻣﻳﻥ1) ﻟﻣﻭﻟﻧﺎ ﻭﺷﻳﺧﻧﺎ ﺇﻟﻰ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻟﺷﻳﺦ ﻋﺑﺩ ﺍﻟﺻﻣﺩ ﺍﺑﻥ ﻋﺑﺩ ﷲ .ﺍﻟﺟﺎﻭﻯ ﺍﻟﻔﻠﻣﺑﺎﻧﻰ ﻗﺩﺱ ﷲ ﺳﺭﻩ ( ﺑﺳﻡ ﷲ ﺍﻟﺭﺣﻣﻥ ﺍﻟﺭﺣﻳﻡ ﻭﺑﻪ ﻧﺳﺗﻌﻳﻥ ﺍﻟﺣﻣﺩ ﻟ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻣﻳﻥ3r) ، ﻭﺑﻌﺩ.ﻭﺍﻟﺻﻼﺓ ﻭﺍﻟﺳﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺳﻳﺩﻧﺎ ﻣﺣﻣﺩ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻪ ﻭﺻﺣﺑﻪ ﺃﺣﻣﻌﻳﻥ ﻓﻬﺫﺍ ﺃﻭﻝ ﻣﺎ ﺃﻟﻘﻰ ﻋﻠﻲّ ﺃﺳﺗﺎﺫﻧﺎ ﺍﻷﻋﻅﻡ ﻭﻣﻼﺫ ﺍﻷﻓﺧﻡ ﻗﻁﺏ ﺍﻟﺯﻣﺎﻥ ﻭﻏﻭﺙ ﺍﻟﻠﻬﻔﺎﻥ ﺍﻟﻌﺎﺭﻑ ہﻠﻟ ﺑﻼ ﻧﺯﺍﻉ ﻭﻟﻲ ﷲ ﺑﻼ ﺩﻓﺎﻉ ﻣﻭﻟﻧﺎ ﻭﺷﻳﺧﻧﺎ ﺍﻟﺳﻳﺩ ﺍﻟﺷﻳﺦ .ﻣﺣﻣﺩ ﺑﻥ ﻋﺑﺩ ﺍﻟﻛﺭﻳﻡ ﺍﻟﺳﻣﺎﻥ ﺍﻟﻣﺩﻳﻧﻰ ﺃﻣﺩﻧﺎ ﷲ ﺑﻣﺩﺩﻩ ﺁﻣﻳﻥ ﻗﺎﻝ.ﻭﻫﻲ ﺧﻣﺱ ﻛﻠﻣﺎﺕ ﻭﺑﻬﺎ ﺑﻔﺿﻝ ﷲ ﺣﺻﻝ ﻟﻧﺎ ﺍﻟﺟﺫﺏ ﺍﻹﻟﻬﻲ " ﺟﺫﺑﺕ ﻣﻥ ﺟﺫﺑﺎﺕ ﺍﻟﺣﻕ ﺗﻭﺍﺯﻳﻪ ﻋﻣﻝ:ﺍﻟﻧﺑﻰ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻳﻪ ﻭﺳﻠﻡ ﻭﻫﺫﺍ ﻣﺭﺍﺩ ﺍﻟﺻﻭﻓﻳﺔ ﺑﻭﺣﺩﺓ، ́˿˽ ﺛﻼﺛﺔ ﻓﻰ ﺍﻟﻔﻧﺎء ﻭﺍﺛﻧﺎﻥ ﻓﻰ ﺍﻟﺑﻘﺎء."ﺍﻟﺛﻘﻠﻳﻥ ﻓﺎﻷﻭﻝ ﻓﻧﺎء ﺍﻷﻓﻌﺎﻝ ﻭﻫﻭ ﻋﺑﺎﺭﺓ ﻋﻥ ﻓﻧﺎء ﺃﻓﻌﺎﻟﻧﺎ ﻭﺃﻓﻌﺎﻝ ﺟﻣﻳﻊ.ﺍﻟﻭﺟﻭﺩ ( ﺑﺣﻳﺙ ﻻ ﻧﺭﻯ ﻓﻰ ﺍﻟﻛﻭﻥ ﻓﻌﻼ3v ) ﺍﻟﺧﻠﻕ ﻓﻰ ﻓﻌﻝ ﷲ ﺳﺑﺣﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﺧﻳﺭﺍ، ﺳﻭﺍء ﻛﺎﻥ ﻣﻥ ﺃﻧﻔﺳﻧﺎ ﺃﻭ ﻣﻥ ﻏﻳﺭﻧﺎ،ﻣﻥ ﺃﻓﻌﺎﻝ ﺇﻻ ﻓﻌﻝ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ F 467
ﻫﺫﺍ ﻳﺩﻝ." " ﻛﺫﺍ ﺍﺷﺗﻬﺭ ﻭﻟﻳﻧﻅﺭ ﺣﺎﻟﻪ: ﻭﺫﻛﺭﻩ ﺍﻟﺣﺎﻓﻅ ﺍﻟﻌﺟﻠﻭﻧﻰ ﻓﻰ ﻛﺷﻑ ﺍﻟﺧﻔﺎ ﻭﻗﺎﻝ.́˿˽ﻟﻡ ﻧﺣﺩ ﻟﻪ ﺃﺻﻼ .1069 ﺭﻗﻡ222 ،(1988 ، ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻛﺗﺏ ﺍﻟﻌﻠﻣﻳﺔ: ﻛﺷﻑ ﺍﻟﺧﻔﺎء )ﺑﻳﺭﻭﺕ، ﺍﻟﻌﺟﻠﻭﻧﻲ.ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻏﻳﺭ ﺻﺣﻳﺢ 141
ﻛﺎﻥ ﺫﻟﻙ ﺍﻟﻔﻌﻝ ﺃﻭ ﺷﺭﺍ .ﻓﻛﻠﻪ ﻣﻥ ﻓﻌﻝ ﷲ ﻭﻳﻌﺑﺭ ﻋﻥ ﻫﺫﺍ ﺑﺗﻭﺣﻳﺩ ﺍﻷﻓﻌﺎﻝ. ﻭﺩﻟﻳﻠﻪ ﻗﻭﻟﻪ } :ﻭﻣﺎ ﺭﻣﻳﺕ ﺇﺫ ﺭﻣﻳﺕ ﻭﻟﻛﻥ ﷲ ﺭﻣﻰ{ ̂˿˽ ،ﻭﻻ ﺣﻭﻝ ﻭﻻ ˹ ̀˽ ﻗﻭﺓ ﺇﻻ ہﻠﻟ ﺍﻟﻌﻠﻰ ﺍﻟﻌﻅﻳﻡ .ﻭﻗﻭﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ} :ﻭﷲ ﺧﻠﻘﻛﻡ ﻭﻣﺎ ﺗﻌﻣﻠﻭﻥ{. ﻭﺍﻟﺛﺎﻧﻰ ﻓﻧﺎء ﺍﻟﺻﻔﺎﺕ ﻭﻳﻌﺑﺭ ﻋﻧﻬﺎ ﺑﺗﻭﺣﻳﺩ ﺍﻟﺻﻔﺎﺕ ﺃﻳﺿﺎ ،ﻭﻫﻭ ﻋﺑﺎﺭﺓ ﻋﻥ ﻓﻧﺎء ﺻﻔﺎﺗﻧﺎ ﻭﺻﻔﺎﺕ ﺟﻣﻳﻊ ﺍﻟﺧﻠﻕ ﻓﻰ ﺻﻔﺎﺕ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ،ﻳﻌﻧﻰ ﻻ ﺳﻣﻊ ﺇﻻ ﺳﻣﻊ ﷲ ﻭﻻ ﺑﺻﺭ ﺇﻻ ﺑﺻﺭ ﷲ ﻭﻻ ﻋﻠﻡ ﺇﻻ ﻋﻠﻡ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻻ ﺣﻳﺎﺓ ﺇﻻ ﺣﻳﺎﺓ ﷲ ﺇﻟﻰ ﻏﻳﺭ ﺫﻟﻙ ﻣﻥ ﺍﻟﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﻛﻣﺎﻻﺕ .ﻭﺩﻟﻳﻠﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻧﺑﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻳﻪ ﻭﺳﻠﻡ ﻓﻰ ﺍﻟﺣﺩﻳﺙ ﺍﻟﻘﺩﺳﻰ " :ﻣﺎ ﻳﺗﻘﺭﺏ ﺍﻟﻣﺗﻘﺭﺑﻭﻥ ) (4r ﺑﻣﺛﻝ ﻣﺎ ﺍﻓﺗﺭﺿﺕ ﻋﻠﻳﻬﻡ ﻭﻻ ﻳﺯﺍﻝ ﺍﻟﻌﺑﺩ ﻳﺗﻘﺭﺏ ﺇﻟﻰ ﺑﺎﻟﻧﻭﺍﻓﻝ ﺣﺗﻰ ﺃﺣﺑﻪ ﻓﺈﺫﺍ ﺃﺣﺑﺑﺗﻪ ﻛﻧﺕ ﺳﻣﻌﻪ ﺍﻟﺫﻱ ﻳﺳﻣﻊ ﺑﻪ ﻭﺑﺻﺭﻩ ﺍﻟﺫﻯ ﻳﺑﺻﺭ ﺑﻪ ﻭﻟﺳﺎﻧﻪ ﺍﻟﺫﻯ ﻳﻧﻁﻕ ﺑﻪ ﻭﻳﺩﻩ ﺍﻟﺗﻰ ﻳﺑﻁﺵ ﺑﻬﺎ ﻭﺭﺟﻠﻪ ﺍﻟﺗﻰ ﻳﻣﺷﻰ ﺑﻬﺎ ﻭﻗﻠﺑﻪ ﺍﻟﺫﻯ ˺ ̀˽ ﻳﺿﻣﺭ ﺑﻪ". ˻ ̀˽ ﻣﻥ ﺟﻣﻳﻊ ﻭﺍﻟﺛﺎﻟﺙ ﻓﻧﺎء ﺍﻟﺫﺍﺕ ﺃﻱ ﻓﻧﺎء ﺫﺍﺗﻧﺎ ﻭﺫﻭﺍﺕ ﺍﻟﻐﻳﺭ ﺍﻟﻣﺧﻠﻭﻗﺎﺕ ﻓﻰ ﺫﺍﺕ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﺣﻳﺙ ﻻ ﻣﻭﺟﻭﺩ ﺇﻻ ﷲ ﻭﻭﺟﻭﺩ ﻏﻳﺭﻩ ﻣﻥ ﺍﻟﺧﻠﻕ ﻓﻰ ﺣﻳﺯ ﺍﻟﻌﺩﻡ ،ﻷﻥ ﻭﺟﻭﺩ ﻏﻳﺭ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻻ ﻗﺎﺋﻡ ﺑﺫﺍﺗﻪ .ﺑﻝ ﻗﺎﺋﻡ ﺑﻭﺟﻭﺩ ﷲ ﻻ ﺑﻧﻔﺳﻪ .ﺑﻝ ﻭﺟﻭﺩ ﻏﻳﺭ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺧﻳﺎﻝ ﻭﻭﻫﻡ ﺑﺎﻁﻝ ﺑﺎﻟﻧﺳﺑﺔ ﺇﻟﻰ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ .ﻭﷲ ﻫﻭ ﺍﻟﺣﻕ ﺑﺎﻟﻧﺳﺑﺔ ﺇﻟﻰ ﻛﻝ ﺷﻲء .ﻛﻣﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻧﺑﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻳﻪ ﻭﺳﻠﻡ " :ﺃﺻﺩﻕ ﻛﻠﻣﺔ ) (4vﻗﺎﻝ ﺍﻟﺷﺎﻋﺭ ﻗﻭﻝ ﻟﺑﻳﺩ :ﺃﻻ ﻛﻝ ﺷﻲء ﻣﺎ ﺧﻼ ﷲ ﺑﺎﻁﻝ" ˽̀ ˼ .ﻭﺩﻟﻳﻠﻪ ﺃﻳﺿﺎ ،ﻗﻭﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ } :ﻛﻝ ﻣﻥ ﻋﻠﻳﻬﺎ ﻓﺎﻥ ﻭﻳﺑﻘﻰ ﻭﺟﻪ ﺭﺑﻙ ﺫﻯ ﺍﻟﺟﻼﻝ ﻭﺍﻹﻛﺭﺍﻡ{ ˽̀ ˽ .ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻧﺑﻰ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻳﻪ ﻭﺳﻠﻡ " :ﻛﺎﻥ ﷲ ﻭﻟﻡ ﻳﻛﻥ ﺷﻲء ﻣﻌﻪ" ˽̀ ˾ .ﻭﺯﺍﺩ ﺍﻟﻌﻠﻣﺎء " :ﻭﻫﻭ ﺍﻵﻥ ﻛﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻳﻪ". ﻭﺍﻟﺣﺎﺻﻝ ﺃﻥ ﻭﺟﻭﺩ ﻛﻝ ﺷﻲء ﺑﺎﻟﻧﺳﺑﺔ ﺇﻟﻰ ﻭﺟﻭﺩ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺧﻳﺎﻝ ﻭﻭﻫﻡ ﺑﺎﻁﻝ ﻭﻣﺟﺎﺯ ،ﻷﻥ ﺍﻟﻭﺟﻭﺩ ﺑﻳﻥ ﺍﻟﻌﺩﻣﻳﻥ ﻋﺩﻡ ﻭﻻ ﻭﺟﻭﺩ ﻟﻪ ﺣﻘﻳﻘﺔ F468
F469
F470
F471
F 472
F 473
F 47
̂˿˽ﺍﻟﻘﺭﺁﻥ ﺳﻭﺭﺓ ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ.17 . ˹̀˽ﺍﻟﻘﺭﺁﻥ ﺳﻭﺭﺓ ﺍﻟﺻﺂﻓﺎﺕ.97 : ˺̀˽ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺑﺧﺎﺭﻱ ﻭﺍﺑﻥ ﺣﺑﺎﻥ ﻭﺍﻟﺑﻳﻬﻘﻰ ﺑﻣﻌﻧﺎﻩ. ˻̀˽ﻓﻰ ﺍﻟﻧﺳﺧﺔ "ﺃ" :ﻏﻳﺭ. ˼̀˽ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺑﺧﺎﺭﻱ ﻓﻰ ﺍﻟﺟﺎﻣﻊ ﺍﻟﺻﺣﻳﺢ. ˽̀˽ﺍﻟﻘﺭﺁﻥ ﺳﻭﺭﺓ ﺍﻟﺭﺣﻣﻥ.23-22 : ˾̀˽ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺑﺧﺎﺭﻱ ﻓﻰ ﺍﻟﺟﺎﻣﻊ ﺍﻟﺻﺣﻳﺢ. 142
ﻣﺳﺗﻘﻠﺔ .ﺑﻝ ﻭﺟﻭﺩﻩ ﺑﻭﺟﻭﺩ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻭﺟﻭﺩ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻟﺣﻘﻳﻘﻰ ﻫﻭ ﻭﺟﻭﺩ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻭﺟﻭﺩﻩ ﻣﺣﻳﻁ ﺑﻛﻝ ﺷﻲء ﻛﻣﺎ ﻗﺎﻝ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ } :ﻭﷲ ﺑﻛﻝ ﺷﻲء ﻣﺣﻳﻁ{ .ﻭﻗﻭﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ } :ﻠﻟ ﺍﻟﻣﺷﺭﻕ ﻭﺍﻟﻣﻐﺭﺏ ﻓﺄﻳﻧﻣﺎ ﺗﻭﻟﻭﺍ ﻓﺛﻡ ﻭﺟﻪ ﷲ{ ˽̀ ˿ .ﻭﻭﺟﻭﺩ ̀ ̀˽ ﻏﻳﺭ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﺈﻥ ﻭﺟﻭﺩ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ́ ̀˽ ) (5rﻭﻟﻛﻥ ﻭﺟﻭﺩﻩ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻳﺱ ﺑﺟﺳﻡ ﻭﻻ ﻋﺭﺽ ﻻ ﻣﺗﺣﺩ ﺑﺷﻲء ﻭﻻ ﺣﻠﻭﻝ ﻓﻳﻪ ﻷﻧﻪ ﻣﻧﺯﻩ ﻋﻥ ﺍﻟﺣﺩﻭﺩ ﻭﺍﻟﺣﺩﻭﺙ ﻭﻣﻐﺎﻳﺭﻩ ﻟﻛﻝ ﺷﻲء ﻛﻣﺎ ﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻳﺱ ﻛﻣﺛﻠﻪ ﺷﻲء ﻭﻫﻭ ﺍﻟﺳﻣﻳﻊ ﺍﻟﺑﺻﻳﺭ. ﻭﺍﻻﺛﻧﺎﻥ ﻓﻰ ﺍﻟﺑﻘﺎء ﻭﻫﻣﺎ ﺷﻬﻭﺩ ﺍﻟﻛﺛﺭﺓ ﻓﻰ ﺍﻟﻭﺣﺩﺓ ﻭﺷﻬﻭﺩ ﺍﻟﻭﺣﺩﺓ ﻓﻰ ﺍﻟﻛﺛﺭﺓ ﻭﻣﻌﻧﻰ ﺷﻬﻭﺩ ﺍﻟﻛﺛﺭﺓ ﻓﻰ ﺍﻟﻭﺣﺩﺓ ﺷﻬﻭﺩﻙ ﺑﺄﻥ ﻭﺟﻭﺩ ﺍﻟﺧﻠﻕ ﻗﺎﺋﻡ ﺑﻭﺟﻭﺩ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻻ ﺑﻧﻔﺳﻪ ﻭﻣﻌﻧﻰ ﺷﻬﻭﺩ ﺍﻟﻭﺣﺩﺓ ﻓﻰ ﺍﻟﻛﺛﺭﺓ ﻫﻭ ﺷﻬﻭﺩﻙ ﺑﺄﻥ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻭﺟﻭﺩ ﻓﻰ ﻛﻝ ﺫﺭﺓ ﺍﻟﻭﺟﻭﺩ ﺷﻬﻭﺩﺍ ﺫﻭﻗﻳﺎ ﻻ ﺷﻬﻭﺩﺍ ﻗﻭﻟﻳﺎ ﻭﻟﻔﻅﻳﺎ .ﻭﻫﺫﺍﻥ ﻻ ﻳﺿﺩﺍﻥ ﻣﻌﻧﻰ ﺷﻬﻭﺩﻙ ﺑﺄﻥ ﷲ ﻣﻭﺟﻭﺩ ﻓﻰ ﻛﻝ ﺫﺭﺓ ﺍﻟﻭﺟﻭﺩ ﺷﻬﻭﺩ ﻫﻭﻳﺗﻪ ﻗﻳﻭﻣﻳﺗﻪ ﻭﻗﺩﺭﺗﻪ ﻭﻋﻅﻣﺗﻪ ﻣﻥ ﻏﻳﺭ ﺣﻠﻭﻝ ﻭﻻ ﺍﺗﺣﺎﺩ ﻭﻻ ﻋﻳﻧﻳﺔ(5v) . ﻭﺍﻟﺣﺎﺻﻝ ﺃﻥ ﺍﻟﻣﻘﺎﻡ ﻣﻘﺎﻣﺎﻥ ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﻔﻧﺎء ﻭﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﺑﻘﺎء .ﻭﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﺑﻘﺎء ﺃﻋﻠﻰ ﻣﻥ ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﻔﻧﺎء ﻷﻥ ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﻔﻧﺎء ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻷﺣﺩﻳﺔ ﻭﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﺑﻘﺎء ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﻭﺍﺣﺩﻳﺔ .ﻭﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﻔﻧﺎء ﻣﻘﺎﻡ ﻻ ﻣﻭﺟﻭﺩ ﺇﻻ ﷲ ﻭﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﺑﻘﺎء ﻣﻘﺎﻡ ﺷﻬﻭﺩﻙ ﺑﺄﻥ ﻭﺟﻭﺩ ﷲ ﺳﺎﺭ ﻓﻰ ﻛﻝ ﺫﺭﺓ ﺍﻟﻭﺟﻭﺩ .ﻭﻳﺳﻣﻰ ﻫﺫﺍ ﺍﻟﻣﻘﺎﻡ ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﺗﺟﻠﻰ ﻭﺍﻟﻅﻬﻭﺭ .ﻭﻫﺫﺍ ﺍﻟﻣﻘﺎﻡ ﺃﻳﺿﺎ ﻣﻘﺎﻡ "ﻣﺎ ﺭﺃﻳﺕ ﺷﻳﺋﺎ ﺇﻻ ﻭﺭﺃﻳﺕ ﷲ ﻣﻌﻪ ،ﻭﻣﺎ ﺭﺃﻳﺕ ﺷﻳﺋﺎ ﺇﻻ ﻓﻳﻪ ،ﻭﻣﺎ ﺭﺃﻳﺕ ﺷﻳﺋﺎ ﺇﻻ ﻭﺭﺃﻳﺕ ﷲ ﻗﺑﻠﻪ ،ﻣﺎ ﺭﺃﻳﺕ ﺷﻳﺋﺎ ﺇﻻ ﻭﺭﺃﻳﺕ ﷲ ﺑﻌﺩﻩ" .ﻭﻟﻛﻥ ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﺑﻘﺎء ﻻ ﻳﺣﺗﻝ ﺇﻻ ﺑﻌﺩ ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﻔﻧﺎء ﻭﻓﻧﺎء ﺍﻟﻔﻧﺎء.ﺍﻧﺗﻬﻰ. ﺟﻌﻠﻧﺎ ﷲ ﻭﺇﻳﺎﻛﻡ ﻣﻥ ﺃﻫﻝ ﺍﻟﺷﻬﻭﺩ ﻭﺍﻟﺫﻭﻕ ﻭﺃﻫﻝ ﺍﻟﻣﻧﺔ ﻭﺍﻟﺷﻭﻕ ) (6ﺑﺟﺎﻩ ﺳﻳﺩﻧﺎ ﻣﺣﻣﺩ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺣﺑﻪ ﻭﺳﻠﻡ ﻭﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻰ ﺳﻳﺩﻧﺎ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺣﺑﻪ ﻭﺳﻠﻡ ﺗﺳﻠﻳﻣﺎ ﻛﺛﻳﺭﺍ ﺩﺍﺋﻣﺎ ﺇﻟﻰ ﻳﻭﻡ ﺍﻟﺩﻳﻥ .ﺁﻣﻳﻥ .ﻭﺍﻟﺣﻣﺩ ﻟ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻣﻳﻥ. F 475
F47
F 476
˿̀˽ﺍﻟﻘﺭﺃﻥ ﺳﻭﺭﺓ ﺍﻟﺑﻘﺭﺓ.115 : ̀̀˽ﺍﻟﺟﻣﻠﺔ ﻏﻳﺭ ﻛﺎﻣﻠﺔ ﻭﻻ ﻧﻔﻬﻡ ﻣﺭﺍﺩﻫﺎ .ﻧﺳﺧﺔ "ﺃ" :ﻭﻭﺟﻭﺩ ﻏﻳﺭ ﷲ. ﻭﺯﺍﺩ ﺍﻟﻧﺎﺳﺦ ﻋﺑﺩ ﺍﻟﺧﺎﻟﻕ ﻓﻰ ﺯﻳﻝ ﻧﺳﺧﺔ "ﺏ" :ﻭﻭﺟﻭﺩﻩ -ﺃﻱ ﺑﻛﻝ ﺷﻲء -ﻏﻳﺭﷲ. ́̀˽ﻫﻛﺫﺍ ﻓﻰ ﺍﻟﻧﺳﺧﺗﻳﻥ ،ﻛﺎﻧﺕ ﺍﻟﺟﻣﻠﺔ ﻏﻳﺭ ﻛﺎﻣﻠﺔ ﻭﻻ ﻧﻔﻬﻡ ﻣﺭﺍﺩﻫﺎ. 143
C. Terjemahan (1) Inilah risalah yang berjudul Zād al-Muttaqīn fī Tawḥīd Rabb al-‘A
P479F
P
P
P480 F
479
Belum ditemukan sumbernya. Al-ḥāfīẓ al-‘Ajlūnī menyebutkan hadis ini dalam kumpulan hadis populer tetapi ia terkesan menganggapnya d}a’īf. al-‘Ajlūnī, Kashf alKhafā (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 1988), 222 no: 1069. 480 QS. al-Anfāl: 17. 481 QS. al-ṣāfāt: 96.
144
ada ilmu kecuali ilmu Allah, tidak ada kehidupan kecuali kehidupan Allah, dan seterusnya dari semua sifat-sifat yang sempurna. Dalil tahapan ini adalah sabda Nabi Saw dalam hadis qudsī: “Tidaklah mendekat orangorang yang ingin mendekat (kepadaku) (4r) dengan melaksanakan apaapa yang Aku wajibkan kepada mereka, dan senantiasa seorang hamba mendekat dirinya kepada-Ku dengan amalan-amalan tambahan sampai Aku mencintainya. Apabila aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang mana ia mendengar dengannya, dan pandangannya yang mana ia melihat dengannya, lisannya yang mana ia berbicara dengannya, dan tanganya yang mana ia memukul dengannya, dan kakinya yang mana ia berjalan dengannya, dan hatinya yang mana ia berpikir dengannya”. Ketiga, fanā’ al-dhāt yang berarti peleburan zat kita dan semua makhuk dalam zat Allah sekira-kira tidak ada yang maujud kecuali hanya Allah. Wujud makhluk itu dalam ketiadaan, karena wujud selain Allah tidak berdiri sendiri. Tetapi wujud selain Allah itu berdiri dengan keberadaan Allah, bukan dengan dirinya sendiri. Bahkan wujud selain Allah itu adalah hanyalah imajisai, ilusi kosong jika dikaitkan dengan Allah. Allahlah yang nyata jika kaitkan denga segala sesuatu. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Saw: Kata-kata yang paling benar (4v) dikatakan para penyair adalah perkataan Labīd: “Ketahulah bahwa segala sesuatu yang tidak ada Allah padanya adalah batil”. Dalil lain seperti firman Allah: “Segala sesuatu yang terdapat pada binasa kecuali hanya wajah Allah semata Maha Agung dan Mulia”. 482 Nabi Saw bersabda: “Allah telah ada sedangkan tidak ada sesuatu pun bersama-Nya”. Para ulama menambahkan: “Dia sekarang ada sebagaimana sediakala”. Dengan demikian, jika dikaitkan wujud segala sesuatu kepada Allah maka hanyalah imajisi dan ilusi yang kosong serta majazi. Ini dikarenakan wujud di antara dua ketiadaan adalah tiada sama sekali. Hal tersebut tidak mempunyai wujud hakiki yang berdiri sendiri. Tetapi wujudnya ada dengan wujud Allah. Wujud Allah adalah wujud hakiki. Wujud-Nya meliputi segala sesuatu sesuai dengan firman-Nya Allah Maha Meliputi segala sesuatu. Dan firman-Nya, “Milik Allahlah langit dan bumi, maka kemana pun kamu berpaling di sanalah wajah Allah”.483 tetapi wujud-Nya tidak berupa jism, ‘ard}, tidak bersatu dengan sesuatu, tidak ḥulūl. ini dikarenakan Allah suci dari batas, kebaruan, perubahannya P481 F
P
P482F
482 483
QS. Al-Raḥmān: 26-27 QS. Al-Baqarah: 115.
145
P
bagi segala sesuatu sebagaimana firman-Nya : “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, dan Dia Maha Mendengar dan Melihat”. 484 Adapun dua tingkatan pada baqā’ adalah penyaksian terhadap alam semesta yang plural dalam ketunggalan Allah (shuhūd al-kathrah fī al-waḥdat), dan penyaksian ketunggalan Allah dalam alam semesta yang plural (shuhūd al-waḥdat fī al-kathrah). Makna dari shuhūd al-kathrah fī al-waḥdat adalah penyaksianmu bahwa alam semesta beridiri pada wujud Allah, bukan dengan dirinya sendiri. Makna shuhūd al-waḥdat fī alkathrah adalah penyaksianmu bahwa Allah ada dalam setiap bagian terkecil alam semesta, tetapi dengan penyaksian yang berdasarkan perasaan (dhawq), bukan penyaksian yang dipahami dalam perkataan dan lafaz. Dua hal ini tidaklah bertentangan dengan makna penyaksianmu bahwa Allah ada dalam setiap bagian terkecil alam semesta, yaitu penyaksian terhadap hakikat-Nya, diri-Nya yang berdiri sendiri, kekuasaan-Nya, dan keagungan-Nya tanpa ada terjadi inkarnasi (ḥulūl), persatuan (ittiḥād), dan kesatuan substansi (‘aynīyah). (5v) Dengan demikian, ada dua maqām yaitu maqām fanā’ dan baqā’. Maqām baqā’ lebih tinggi daripada maqām fanā’. Ini dikarenakan maqām fanā’ adalah maqām aḥadīyah, sedangkan maqām baqā’ adalah maqām wāḥidīyah. Maqām fanā’ adalah maqām “Tidak ada yang maujud kecuali hanya Allah”, sedangkan maqām baqā’ adalah maqām penyaksianmu bahwa Allah ada dalam setiap bagian terkecil alam semesta. Maqām ini disebut juga maqām tajallī dan ẓuhūr. Tetapi maqām baqā’ tidak dicapai kecuali setelah melewati maqām fanā’ dan fanā’ al-fanā’. Selesai. Semoga Allah menjadikan kami dan kamu orang yang mencapai penyaksian, perasaan, anugerah, dan kerinduan (6) berkat kemulian junjungan kita Nabi Saw, keluarga, dan sahabatnya. Semoga Allah mencurahkan salawat dan salam kepada Nabi Saw, semua keluarga dan sahabat selama-lamanya sampai hari Kiamat. Amin. Segala puji milik Allah Tuhan sekalian alam.
484
QS. Al-Shūrá: 11.
146
Daftar Pustaka Abbas, Siradjuddin. Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi‘i cet ke-19. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2009, ‘Abd al-Jalīl, ‘Alī. al-Rawḥīyah ‘inda Muḥyī al-Dīn Ibn ‘Arabī, Kairo: Dār al-Nahd}ah al-Miṣrīyah, t.t. 147
‘Abd al-Majīd. al-Sa‘ādah al-Abadīyah. Istanbul: Hakekat Kitabevi, 1997. ‘Abd al-Qadīm. al-Sa‘ādah al-Abadīyah; Pada Menyatakan Wirid-wirid Amalan Thariqah Naqshabandīyah. Bukittinggi: Sa‘dīyah, 1392 H. ‘Abd al-Ra‘ūf. ‘Umdat al-Muḥtājīn. Perpustakaan Nasional: ML 301. ___________. Sullam al-Mustafidīn manuskrip dikoleksi oleh YPAH 11B. al-‘Ajlūnī. Kashf al-Khafā . Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 1988. ‘Alī, Muḥammad. [Tarjamah] al-Yawāqīt al-Jawāhir. Singapura, Jeddah, dan Indonesia: al-ḥaramayn, t.t. ‘Aydrūs, Muḥammad. Hadīyat al-Bashīr fī Ma‘rifat al-Qadīr Naskah dalam mikrofilm Perpusnas RI no. 158, 129/Arab/19/62 koleksi Faoka Zahari. _________________. Tanqīyat al-Qulub fi Ma‘rifat ‘Allām al-Ghuyūb mikrofilm Perpusnas no. 158. Abū Dāwud. Sunan Abū Dāwud. Beirut: Dār al-Fikr, 1994. Addas, Claude. Quest for the Red Sulphur; The Life of Ibn ‘Arabī. Cambrigde: The Islamic Texts Society, 1993 al-Afghānī, ‘Ināyatullāh Iblāgh. Jalāl al-Dīn bayn al-ṣufīyah wa ‘Ulamā’ al-Kalām. Kairo: Dār al-Miṣr alLubnānīyah, 1997. Aḥmad bin Ibrāhīm. Sharḥ} Qaṣīdah Ibn al-Qayyim. Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1406 H.
148
al-‘Āmilī,Muḥammad al-ḥirrī Risālat al-Ithná ‘Asharīyah fī al-Radd ‘alā al-ṣūfīyah. Qūm: al-Maṭba‘ah al-‘Ilmīyah, t.t. Amīn, Aḥmad. ẓuhr al-Islām. Beirut: Dār al-Kutub, 2007. al-Anṭākī, Ma‘an al-Amīn. Limādhā Ikhtartu Madhhab alShi‘ah Madhhab Ahl al-Bayt. Qūm: Maṭba‘at ‘Ilmīyah, 1962. Ash‘arī, Hāshim. “Sanad ṣaḥ}īḥ al-Bukhārī” dalam ‘Iṣām alDīm (ed.al.), Ishād al-Sārī fī Jam‘ Muṣannafāt alShaykh Hāshim Ash‘arī . Jombang: al-Maktabah alIslāmī, t.t. ______________. al-Nūr al-Mubīn. Jombang: al-Maktabah al-Islāmī, t.t. ______________.Risalah Ahl al-Sunnah wa-al-Jamā‘ah. Jombang: al-Maktabah al-Islāmī, t.t al-Attas. A Contemporary on the Hujjat al-ṣiddiq of Nur alDīn al-Ranīrī. Kualalumpur: Ministry of Culture, 1986. Anonim. Ma‘rifat al-Imān wa-al-Islām, Manuskrip dikoleksi Perpusnas ML 383. Azra, Azyumardi. Jaringan Islam Nusantara. Jakarta: Kencana, 2004. Bālīzādeh, Musṭafá bin Sulaymān. Sharḥ} Fus{ūs{ alH{}ikam. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2003. al-Bāqillānī. al-Ins{āf tahqiq: M. Zāhid al-Kawtharī. Kairo: al-Khānjī, 1993. al-Baghdādī, ‘Abd al-Qāhir. al-Farq bayn al-Firaq. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, t.t. ______________________. Us{ūl Maktabat al-‘Uthmānīyah, t.t{.
al-Dīn.
Lahore:
al-
al-Baghdādī, Muḥammad bin Sulaymān. al-Hadīqah alNadīyah. Istanbul: Hakekat Kitabevi, 1997. al-Bahī, Muḥammad. al-Jānib al-Ilāhī min al-Tafkīr alIslāmī. Kairo: Dār al-Kātib al-’Arabī, 1967. 149
al-Banānī, A}hmad bin Muhammad. Mawqif al-Imām Ibn Taymīyah min al-Taṣawwuf wa-al-ṣufīyah. Makkah: Jāmi‘at Umm al-Qurā, 1992. al-Banjārī, Muḥammad Arshad. Sabīl al-Muhtadīn fī Ma‘rifat Uṣul al-Dīn manuskrip dikoleksi oleh Perpusnas ML 68, 1. al-Banjārī, Muḥammad Nafīs. al-Durr al-Nafīs manuskrip dikoleksi oleh Perpusnas W. 32 berasal dari koleksi H. von de Wall, 2. al-Banjārī, Muḥammad ṭayyib. Miftāḥ al-Jannah fī Bayān al‘Aqīdah. Singapura, Jeddah, dan Indonesia: alḥaramayn, t.t. al-Bantanī, Nawawī. Fatḥ al-Majīd. Singapura, Jeddah, dan Indonesia: al-ḥaramayn, t.t. ________________. al-Farā’id} Surabaya: Dār al-‘Ilm, t.t.
bi
Sharḥ}
al-‘Aqā‘id.
________________. Kāshifat al-Sajā. Singapura, Jeddah, dan Indonesia: al-ḥaramayn, t.t. al-Bayjūrī. ḥāshiyah al-Bayjūrī. Surabaya: Muḥammad bin Ahmad bin Nabhān, t.t.a
Maktabah
al-Bayṭār, ‘Abd al-Razzāq. ḥilyat al-Bashar fī Tārīkh al-Qarn al-Thālith al-‘Ashr. Damaskus: Maṭba‘at Majma‘ al‘Ilm al-’Arabī, 1963. C. Snouck Hurgronje, Aceh; Rakyat dan Adat Istiadatnya Jilid II, trans. Sutan Maimoen. Jakarta: INIS, 1997. Chittick, William C. The Sufi Path of Sufi. New York: State University of New York Press, 1989. Daḥlān, Aḥmad Zaynī. al-Durar al-Sunnīyah fī al-Radd ‘alá al-Wahhābīyah. Kairo: t.t. __________________. al-Durar al-Sunnīyah fī al-Raddi ‘alá al-Wahhābīyah. Istanbul: al-Maktabah al-ḥaqīqah, 2002. Dahlan, Abdul Aziz. Penilaian Teologis terhadap Paham Waḥdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud) Tuhan-Alam150
Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Padang: IAIN-IB Press, 1999.
Sumatrani.
Daudy, Ahmad. “Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry” Disertasi IAIN Jakarta 1981. Dobbin, Cristine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri. Depok: Komunitas Bambu, 2008 Drewes, G.W.J. Directions for Travellers on The Mystical Path. Leiden: The Hague-Martinus Nijhoff, 1977. al-Dasūqī. ḥāshiyat al-Dāsūqī. Beirut: Dār al-Fikr, t.t. al-Dhahabī. Siyar A‘lām al-Nubalā’. Beirut: Mu’assasah alRisālah, 1993. _________, Tārīkh al-Islām Beirut: Dar al-Kutub, t.t. al-Faṭanī, Dāwud bin ‘Abdullāh. Sullam al-Mubtadī fī Ma‘rifat ṭarīqat al-Muhtadī, (Singapura, Jeddah: alHaramayn, t.t. Fathurahman, Oman dan Munawar Holil. Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh. C-DATS-TUFS,YPAH Banda Aceh, PPIM UIN Jakarta, MANASSA: Jakarta, 2007. Fathurahman, Oman. ”Tanbīh al-Māshī al-Mansūb ilā ṭarīq al-Qushāshī; Tanggapan as-Sinkili terhadap Kontroversi Doktrin Wujūdīyah di Aceh pada Abad XIIV” Tesis UI Jakarta. _______________. Katalog Naskah Tanoh Abee Aceh Besar. Komunitas Bambu, TUFS, Manassa, PPIM UIN Jakarta, PKPM, dan Dayah Tanoh Abee: Jakarta, 2010. Fattāḥ, ‘Irfān ‘Abd al-Majīd. Nash’at al-Falsafat al-ṣūfīyah wa Taṭawwurihā. Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1973. Fu’ād, ‘Abd al-Fattāḥ Aḥmad. Ibn Taymīyah wa Mawqifuhu min al-Fikr al-Falsafī. Kairo: al-Hay’ah al-Miṣrīyah al‘A<mah li al-Kitāb, 1980. al-Ghazālī. Rawd}at al-T{ālibīn wa ‘Umdat al-Sālikīn dari Majmū‘āt al-Rasā’il al-Imām al-Ghazālī jilid II. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2006.
151
_________. al-Munqidh min al-D}alāl. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2006. _________. Tahāfut al-al-Falāsifah ed. Dr. Sulaymān Dunyá. Mesir: Dār al-Ma‘ārif, 1972. _________. al-Risālah al-Ladunīyah dari Majmū‘āt alRasā’il al-Imām al-Ghazālī jilid II. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2006. _________. Fays{al al-Tafriqah. Beirut: Dār al-Kutub, 2006. _________. Mishkāt al-Anwār juz 4 dari Mujmū‘āt alRasā'il. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 1994. _________. al-Iqtis{ād fi al-I‘tiqād. Beirut: Dār al-Fikr, 2007. _________. Iḥyā’ ‘Ulum al-Dīn. Kairo: Dār al-ḥadīth, 2006. _________. Ma‘ārij al-Quds fī Madārij Ma‘rifat al-Nafs. Beirut: Dār al-ĀFāq al-Jadīdah, 1975. _________. Maqāṣid al-Falāsifah tahqiq: Sulaymān Dunyá. Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1960. _________. Tahāfut al-Falāsifah. Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1972 _________. al-Iqtiṣād fī al-I‘tiqād. Beirut: Dār al-Fikr, 1997. Ghalūs, Musṭafá. al-Wujūdīyah fī al-Mīzān. Kairo: Fākhirah, 1985. Goldziher, Ignaz. Introdution to Islamic Theology and Law. Princeton: Princeton University Press. Gregory, J. The Neoplatonists A Reader. London and New York: Routledge, 1999. ḥalīmī, Muṣṭafá. Ibn Taymīyah wa Taṣawwuf. Kairo: Dār Ibn al-Jawzī, 2005. _____________. Ibn al-Fārid} wa-al-ḥubb al-Ilāhī. Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1985 ḥukmī, Hāfiẓ bin Aḥmad. Ma‘ārij al-Qabūl. Dimām: Dār Ibn al-Qayyim, 1900.
152
al-ḥākim. al-Mustadrak. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 1990. al-ḥabīb ‘Alawī bin Aḥmad, Miṣbāḥ al-Anām wa-Jilā’ alẓalām fī Radd Shubah al-Bid‘ī al-Najdī. Kairo: alMaṭba‘ah al-‘A<mirah al-Sharqīyah, t.t. al-Ījī. al-Mawāqif (Beirut: ‘Ālam al-Kutub, t.t.), 320. Ibn ‘Abbād, Sharḥ} al-Hi}kam. Semarang : Toha Putra, t.t. Ibn ‘Arabī. al-Futuh{āt al-Makkīyah. Beirut: Dār al-Kutub al‘Ilmīyah, 2006. ________. al-Anwār fī mā Yamnaḥu ṣāḥib al-Khalwah min al-Asrār tahqiq: ‘Abd al-Raḥmān ḥasan Maḥmūd. Kairo: ‘A
__________. Tārīkh Ibn Khaldūn. Beirut: Dār al-Turāth al‘Arabi, t.t. Ibn Sab‘īn. al-Risālah al-Ridwānīyah. dari Rasā’il Ibn Sab‘īn tahqiq: A}hmad Farīd al-Mazīdī. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2006. ________. Risālat Budd al-‘A.. _________. al-ḥasanah wa-al-Sayyi’ah, tahkik M. Jamīl alGhāzī. Madinah: Maṭba‘ah al-Madanī, t.t. _________. al-Istiqāmah. Madinah: Matba‘ah al-Jam>i‘ah Muḥhammad Ibn Su‘ūd, 1403. _________. al-Jawāb al-ṣaḥīḥ li man Baddala Dīn al-Masīh. Riyād}: Dār al-‘A<ṣimah, 1414. _________. al-Nubuwwāt. Kairo: Maṭba‘ah al-Salafīyah, 1386 H. _________. Dar’ al-Ta‘ārud} al-‘Aql wa-al-Naql. Riyād}: Dār al-Kunūz al-Adabīyah, 1391. _________. Iqtid}ā’ al-ṣirāṭ al-Mustaqīm tahqīq: Muḥammad ḥāmid al-Qafaa. Kairo: Sunnah al-Muḥammadīyah, 1369 H. _________. Istiqāmah. Madinah: al-Jāmi‘ah Ibn Su‘ūd, 1403 H. _________. Majmū‘ Fatāwā. Riyād}: Majma‘ al-Malik Fahd, 1995. _________. ṣafadīyah. t.p.: 1406. 154
Ibrāhīm Hilāl, Taṣawwuf bayn al-Dīn wa-al-Falsafah. Kairo: Dār al-Nahd}ah, 1979. al-‘Izz, Ibn Abī. Sharḥ} al-‘Aqīdah al-ṭahāwīyah. Beirut: Dār al-ḥadit>h, 2006. al-Jandūl, Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb Sa‘īb. al-Durr alNad}īd. Riyād}: Mustawda‘ ‘A<m, 1979. al-Jīlī. al-Insān al-Kāmil. (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.) _____. Sharḥ Mushkilāt al-Futūḥāt al-Makkīyah, manuskrip dikoleksi oleh Perpustakaan King Saud University MS. 3987. al-Kadīrī, Daḥlan. Sirāj al-ṭalibīn. Beirut: Dār al-Fikr, 1997. al-Qārī, ‘Alī. Sharḥ} al-Fiqh al-Akbar. Beirut: Dār al-Kutub al-Islāmīyah, 2007. Khaṭīb, ‘Abd al-Manāf. Risālah Mīzān al-Qalb Manuskrip dikoleksi oleh ahli waris penulis di MTI Tabing. Knysh, Alexander. Ibn ‘Arabī in the Later Islamic Tradition. New York: Sunny Press, 1999. al-Kūrāni, Ibrāhīm. Kashf al-Manẓar limā Yarāhu alMuḥtad}ar naskah mikrofilm Buton dikoleksi oleh Perpusnas rol ke-3. _______________. al-Maslak al-Jalī fī ḥukmi Shatḥ al-Walī dalam ‘Abd al-Raḥman> Badawī, Shaṭaḥāt al-ṣufīyah. Kairo: Dār al-Nahd}ah al-Miṣrīyah, 1949), 151. manuskrip dari teks ini dikoleksi di al-ẓāhirīyah Damaskus no. 4008. _______________. Itḥāf al-Dhakī, manuskrip dikoleksi oleh al-Maktabah al-Azharīyah no. 9993 dan 288. Khulayf, Fatḥullāh. “Muqaddimah Taḥqīq”, dalam Abū Manshūr al-Māturīdī, Kitāb al-Tawḥīd. Istanbul: alMaktabah al-Islamīyah, 1979. Lings, Martin. What Is Sufism. London: Unwin Paperbacks, 1981. Madkūr, Ibrāhīm. Fī al-Falsafah al-Islāmīyah: Manhāj wa Tat{bīq. Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1976. 155
Maḥmūd, ‘Abd al-Qādir. Al-Falsafah al-ṣūfīyah fī al-Islām. Kairo: Dār al-Fikr al-’Arabī, t.t. Morewedge, Parviz. “The Neoplatonic Structure of Some Islamic Mystical Doctrines” dalam Parviz Morewedge (ed.al.), Neoplatonism and Islamic Thought. State University New York Press, 1992. Muhammad bin ‘Abd al-Wahhāb. Mu’allafāt al-Shaykh alImām Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb. Riyād}: alJāmi‘ah Muḥammad Ibn Su‘ūd, t.t. Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LkiS, 2009. Muslim bin al-ḥajjāj, ṣaḥīh Muslim. Beirut: Dār al-Fikr, 1992. Nicholson. Studies in Islamic Mysticism. Cambridge: Curzen Press, 1994. al-Palimbānī. Abd al-ṣamad. Lubb al-ḥaqā’iq, naskah mikrofilm Perpusnas no. 385. __________. Zād al-Muttaqīn naskah A dan B 1 naskah mikrofilm Perpusnas no. 385. __________. Hidāyat al-Sālikīn. Jakarta: S. A. Al-‘Aydrūsī, t.t. __________. Sayr al-Sālikīn. Beirut: Dār al-Kutub al‘Ilmīyah, t.t. al-Larrī, Mujtabā al-Musāwī. Dirāsat fi Usus al-Islām. t.p.: Markaz al-Thaqāfah Nashr al-Islām fī al-‘Ālam, 1998. Maḥmūd, ‘Abd al-Rah{mān, “Taqdīm” dalam Ibn ‘Arabī, Tanbīhāt ‘alá ‘Ulūm al-H{aqīqah al-Muh{ammadīyah. Kairo: ‘Ālam al-Fikr, 1986. al-Māturīdī, Abū Manshūr. Kitāb al-Tawḥīd. Istanbul: alMaktabah al-Islamīyah, 1979. al-Makassarī, Yūsuf. Safīnat al-Najāḥ dalam Tudjimah, Syekh Yusuf Makasar; Riwayat dan Ajarannya. Jakarta: UIPress, 1997.
156
al-Minangkabawī, Ismā‘īl. Kifāyat al-Ghulām. Singapura dan Jeddah: al-Haramayn, t.t. Almond, Ian. Sufism and Deconstruction. London and New York: Routledje, 2004), 10. al-Nāblusī, ‘Abd al-Ghanī. Nukhbat al-Mas’alah Syarḥ Tuhfat al-Mas’alah dikoleksi oleh Perpustakaan King Saud University no. 785. ____________________. I, al-Risālah al-Qushayrīyyah. Maktabah al-Risālah, t.t.
Kairo:
al-
al-Rānīrī. Jawāhir al-‘Ulum fī Kashf al-Ma‘lūm manuskrip dikoleksi Perpusnas ML 462. _______. Asrār al-Insān manuskrip dikoleksi oleh Perpusnas K.B.G. 427 _______. ḥujjat al-ṣiddīq li Daf‘ al-Zindīq dikoleksi oleh Perpusnas ML 301. _______. al-ḥill al-ẓill manuskrip Perpustakaan Nasional ML 301.
dikoleksi
oleh
_______. Shifā’ al-Qulūb Manuskrip Perpusnas ML 115. Teks ini tergabung dalam satu naskah dengan Bayān alTajallī karya ‘Abd al-Ra’ūf Singkel atau al-Jāwī. al-Rāzī, Fakhr. I‘tiqād Firaq al-Muslimīn wa-al-Mushrikīn. Kairo: Maktabat al-Kullīyāt al-Azharīyah, 1978. Ranggawarsita. Serat Wirit. Surakarta: Administrasi Jawi Kandha 1908. ṣāliḥ, Muḥammad. Ibtidā' Sayr al-‘Ārifiin Ilá Allāh Ilá Intihā’ Sirr al-Wāqifīn fī Allāh, manuskrip ini telah 157
didokumentasikan dalam bentuk mikrofilm, Perpusnas no. 385. ṣubḥi, Aḥmad Maḥmūd. Fī ‘Ilm al-Kalām; Dirāsah Falsafīyah li Ārā’ al-Firaq al-Islāmīyah fi >Uṣūl alDīn. Beirut: Dār al-Nahd}ah al-’Arabīyyah, 1985. Schuon, Frithjof. The Transcendent Unity of Religions. London: Faber and Faber Limited, t.t. Shahrī, Muḥammed Muḥamedī Re. Mabānī al-Ma‘rifah, alih bahasa dari bahasa Persia ke Arab: Dr. ṣālih al-ṣālih. Qum: al-Hūda, 1991. Sharf, M. Jalāl. al-Taṣawwuf al-Islāmī fī Madrasat alBaghdād. Alexandaria: Dār al-Maṭba‘ah al-Jāmi‘ah, 1972. Shihab, Alwi. Islam Sufistik. Bandung: Mizan, 2001. Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawasita: Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press, 1998. Sirāj al-Dīn bin Jalāl al-Dīn, Durr al-Nāẓirah Tanabbuhan li Durr al-Fākhirah, Manuskrip dikoleksi Perpusnas: ML 340 al-Safāraynī, Shams al-Dīn. Lawāmi‘} al-Anwār al-Bahīyah. Damaskus: Mu'assasah al-Khāfiqayn, 1982. al-Sanūsī. ‘Aqīdah al-Sanūsīyah. Surabaya: Muḥammad bin Aḥmad Nabhān, t.t.
Maktabah
_______. Umm al-Barāhin. Surabaya: al-Hidayah, t.t. al-Sha‘rānī. al-Anwār al-Qudsīyah. Beirut: al-Maktabah al‘Ilmīyah, 1992. al-Shahrastānī, al-Milal wa-al-Nih{al. Beirut: Dar al-Fikr, 1997. al-Sharqāwī, ‘Abdullāh, Sharḥ} al-ḥikam. Semarang : Toha Putra, t.t. Smith, Margaret. Studies in Early Mysticism in The Near and Middle East. Oxford: Oneworld, 1995. 158
al-Suhrawardī. ḥikmat al-Ishrāq. Teheran: Mishkāt ‘Ulūm Insānī, 1373 H. T{āhā ‘Abd al-Ra’ūf dan Must{afá al-Harawī. al-Murshid alAmīn. Kairo: Maktabat al-Kullīyāt al-Azharīyah, 1978. Takeshi Ito, “Why Did Nuruddin ar-Raniri Leave Aceh in 1054 A.H.?”, artikel ini diakses dari http://www.kitlvjounals.nl. Tim
Penyusun. Daftar Sementara Perpustakaan Nasional: 20 Mei Perpusnas, 1993.
Naskah-Naskah 1993. Jakarta:
Tudjimah. Asrār al-Insān fi Ma‘rifa al-Rūḥ wa ‘L-Raḥmān. Jakarta: Penerbit Universitas Djakarta, 1960. ________. Syekh Yusuf Makasar; Riwayat dan Ajarannya. Jakarta: UI-Press, 1997. Yunus, Abdur Rahim. Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad Ke-19. Jakarta: INIS, 1995. Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1996. al-Zarandī, Jamāl al-Dīn. Ma‘ārij al-Wuṣūl tahqiq: Muḥammed Kāẓim al-Maḥmoudī. t.p.: Majma‘ alThaqāfat al-Islāmīyah, 1425 H. Zaydān, Yusuf M. Thaha. al-ṭarīq al-ṣūfi.> Beirut : Dār al-Jīl, 1991.
159
Glossary A‘yān thābitah
A’yān khārijīyah ayn Allāh
Dhawq ḥulūl Insān kāmil
Ittiḥād Martabat Tujuh
: Substansi yang konstan yang mampu menerima pancaran dari manifestasi Wujud Mutlak. : Substansi alam semesta yang merupakan pancaran dari substansi yang konstan. : Pertanyaan tentang dimana Allah yang menjadi pertanyaan prinsipil dalam ajaran keimanan Salafi atau Wahhābīyah. : Intuisi dalam merasakan keberadaan Allah. : Tuhan menempati atau menyatu dengan makhluk, sehingga lebur dalam eksistensi makhluk. : Manusia paripurna yang telah sanggup menjadi objek manifestasi Tuhan secara sempurna. : Makhluk menyatu dengan Tuhan, sehingga lebur dalam eksistensi Tuhan. : Ajaran tentang proses kejadian alam semesta dengan tujuh hierarki wujud. Ini dimulai dari 160
wujud Allah yang mutlak sampai kepada pancaran-Nya ketujuh; insān kāmil. Mumkin : Aspek yang bisa ada atau tiada Mustaḥīl : Sesuatu yang tidak tergambar keberadaannya Rubūbīyah : Teori tauhid yang dikemukakan Ibn Taymīyah untuk mengatakan bahwa hanya Allah yang menjadikan dan mengatur alam semesta. al-Shaykh al-Akbar : Guru Agung sebuah gelar yang dialamatkan bagi Ibn ‘Arabī. Shuhūd al-kathrah fī al-waḥdah: Penyaksian terhadap kemajemukan alam semesta dalam keesaan Allah. Shuhūd al-waḥdah fī al-kathrah: Penyaksian terhadap keesaan Allah dalam kemajemukan alam semesta. Ta‘ayyun : Proses dalam pemancaran substansi wujud Tuhan Ta‘ṭīl : Sikap yang menegasikan sifat-sifat Allah Takfīr : Vonis kafir Tawallud : Tuduhan Ibn Taymīyah dalam menyebut teori pancaran wujud (emanasi). Ia menegaskan bahwa teori ini berimplikasi kepada keyakinan bahwa Allah beranak. Tawassul : Doa yang dipanjatkan dengan menyebutkan tiga hal (nama-nama Allah, amal saleh, dan nabi atau orang saleh) sebagai perantara atau sugesti untuk menguatkan keyakinan. tawḥīd al-af‘āl : Pengesaan Allah dalam perbuataan-Nya, yaitu dengan meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah perbuatan Tuhan. Tawhīd al-ṣifāt : Pengesaan Allah dalam sifat-Nya, yaitu dengan meyakini bahwa semua sifat adalah sifat Allah. Ulūhīyah : Teori tauhid yang dkemukakan Ibn Taymīyah untuk mengatakan bahwa hanya Allah yang berhak disembah;tauhid ibadah. Wajib : Sesuatu yang tidak tergambar ketiadaannya al-waḥdah al-muṭlaqah : Keesaan Allah yang mutlak tanpa atribut apa pun Wujūdīyah Mulḥidahah : Aliran tasawuf yang meyakini kesatuan Tuhan dengan makhluk, sehingga dualisme wujud berubah menjadi satu wujud. Wujūdīyah muwaḥḥidah : Aliran tasawuf yang hanya meyakini wujud Allah saja, sedangkan wujud selain-Nya adalah ilusi dan imajinasi. 161
Indeks Nama ‘Abd al-Ghanī, 19, 78, 98, 100,122, 123, 124, 125, 126 ‘Abd al-Majīd, 1, 2, 3, 9, 151, 154 ‘Abd al-Qādir Maḥmūd, 7, 19, 22 ‘Abd al-Ra‘ūf, 10, 14, 130, 151 ‘Abd al-Raḥmān Siddīq al-Banjarī, 68, 69 ‘Abd al-ṣamad, 5, 10, 11, 13, 14, 18, 20, 78, 107, 122, 123, 125, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 144 ‘Abd al-ṣamad al-Palimbāni al-Palimbānī, 122, 125, 131 ‘Alī al-Qārī, 61, 70, 99 ‘Aydrūs, 9, 11, 20, 68, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 130, 141, 144 Abbas, 55, 56 Abdul Aziz Dahlan, 52, 105, 116 Abdur Rahim Yunus, 7, 8, 16 Abū Yazīd, 12, 26, 27, 30, 32 Aceh, 9, 52, 53, 54, 64, 72, 73, 74, 81, 84, 93, 98, 100, 127 Aḥmad bin ḥanbal, 23, 24, 56 Aḥmad Zaynī Daḥlān, 71 Ahmad Daudy, 101 al-Ash‘ari, 13, 24, 43, 46, 50, 53, 73, 97, 125 162
al-Attas, 98, 99, 105 al-Bāqillāni, 46, 48 al-Bayjūri, 86, 87, 89 al-Bayjūrī, 86, 87, 89 al-Burhānpūri, 78, 122, 126 al-Dhahabī, 24, 43 Alexander Knysh, 33, 34, 37 al-Fārabi, 6 al-Ghazālī, 6, 7, 8, 10, 12, 13, 18, 19, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 36, 37, 39, 40, 41, 43, 44, 46, 47, 48, 50, 51, 63, 64, 70, 78, 87, 95, 96, 104, 119, 122, 136 al-ḥabīb ‘Alawī, 71 al-ḥallāj, 6, 8, 12, 27, 29, 32, 42, 45, 46, 61, 93 al-Jīlī, 47, 97, 105, 106, 123, 137 al-Junayd, 12, 24, 25, 26, 27, 45, 60, 61, 66 al-Kharrāz, 25, 26 al-Kūrānī, 99, 100, 101, 102, 107, 122, 123 al-Māturīdī, 63, 73 al-Muḥāsibī, 23, 24, 25, 122 al-Qūnawī, 34, 62, 112, 139 al-Qushayri, 3, 5, 12, 26, 27, 41, 59 al-Rānīrī, 20, 55, 62, 63, 64, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 110, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 122, 124, 126, 127, 128, 129, 130 al-Safāraynī, 43 al-Sanūsī, 10, 54, 57, 64, 68, 69, 73, 74, 75, 77, 81, 85, 86, 87, 88, 89 al-Sha‘rānī, 3, 14, 54, 66 al-Shahrastānī, 49, 50 al-Sharqāwī, 103 al-Suhrawardī, 19, 32, 33, 111 al-Suhrawardī, 8 al-Sulamī, 23, 25, 26, 42, 59 al-Tilimsāni, 37, 62, 123 Alwi Shihab, 23 al-Zarandī, 4 Arshad al-Banjari, 65, 67, 69, 75, 76, 77, 92, 142 Azyumardi Azra, 13, 15, 65, 66, 123, 127, 130 B Bālīzādeh, 38 C Chittick, 34 Claude Addas, 34, 36, 37 163
D Dāwud bin ‘Abdullāh al-Faṭāni, 64, 66 Dāwud bin ‘Abdullāh al-Faṭanī al-Faṭanī, 66 Daḥlān al-Kadīri, 69, 70, 71 Dhū al-Nūn, 25 Drewes, 5, 78, 79, 80 F Fakhr al-Rāzi, 39, 40, 41 Frithjof Schuon, 1 H ḥamzah, 9, 52, 93, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 108, 114, 116, 117, 118, 124, 126, 127, 128, 129, 130, 141, 142 ḥamzah Fanṣuri, 52, 100, 102, 105 Hāshim Ash‘ari, 68, 69, 71 Henry Corbin, 1 Hilāl, 6, 27, 31 I Ibn ‘Arabī, 1, 2, 3, 5, 7, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 23, 28, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 53, 54, 61, 62, 83, 87, 88, 89, 90, 92, 93, 97, 103, 105, 106, 108, 109, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 120, 121, 123, 124, 133, 134, 135, 139, 141 Ibn Abī al-‘Izz, 57, 70 Ibn al-Qayyim, 34, 56, 57, 58, 69, 70, 97, 110, 112, 140 Ibn Khaldūn, 31 Ibn Kullāb, 24, 53 Ibn Sab‘īn, 12, 34, 36, 61, 62, 89, 93, 94, 96, 107, 110, 111, 123 Ibn Taymīyah, 7, 21, 33, 34, 41, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 66, 68, 69, 70, 93, 96, 97, 98, 110, S111, 112, 113, 116, 137, 140, 142 Ibrāhīm Hilāl Ibrāhīm Madkūr, 21, 22 Ignaz Goldziher, 2, 7 ‘Ināyatullāh Iblāgh al-Afghāni, 95 Ismā‘īl al-Minangkabawī, 68, 76, 141, 142 M Madkūr, 19, 22, 23 Mahmud Yunus, 55 Margaret Smith, 25 Masignon, 6 164
Muḥammad ‘Abd al-Karīm al-Sammān, 11 Muḥammad ‘Aydrūs, 130 Muḥammad al-ḥirri al-‘Āmilī, 4 Muḥammad bin ‘Abd al-Wahhāb, 20, 54, 55, 57, 58, 71 Muḥammad ṭayyib, 66, 67, 77 Muḥammad Zayn Ibn Faqīh Jalāl al-Dīn, 64 Mullā ṣadra, 12, 13 N Nafīs al-Banjari, 11, 14, 18, 65, 135, 136, 138, 141, 142 Najm al-Dīn ‘Umar al-Nasafī, 63 Nawawī al-Bantanī, 67, 68, 70, 80, 141, 142 Nicholson, 6, 7, 8, 12, 14, 19, 28 O Oman Fathurahman, 12, 53, 54, 64, 127 P Parviz Morewedge, 94, 95 Plato, 1, 32, 112 R Ranggawarsita, 52, 53 S ṣālih, 4, 83, 84, 144 Shams al-Dīn, 8, 43, 52, 73, 105, 116, 117, 128, 130, 141 Simuh, 53 Sirāj al-Dīn bin Jalāl al-Dīn Sirāj al-Dīn, 72 Slamet Muljana, 52 Snouck Hurgronje, 84, 127
T ṭayyib al-Banjarī, 69, 76 Takeshi Ito, 73, 98 Tudjimah, 62, 63, 64, 160, 162 W Wāṣil bin ‘At{ā’, 50 Y Yūsuf al-Makassari, 9, 11, 62, 103, 141 165
Indeks Subjek A agama cinta, 2 ahl al-sunnah, 3, 5, 23 al-Futūḥāt al-Makkīyah, 2, 5, 18, 35, 98, 133, 134, 136 al-Insān al-Kāmil, 48, 135, 137 al-Risālah al-Ladunīyah, 28, 39 al-Sa‘ādah al-Abadīyah, 3 B Bāt{inīyah, 43, 44 Buton, 7, 8, 9, 11, 16, 18, 20, 68, 81, 82, 83, 84, 100, 130, 144 D Durr al-Nāẓirah, 72, 74, 75 F Falsafi, 19, 21, 31, 39, 94 Fayṣal al-Tafriqah, 30 Fuṣūṣ al-ḥikam, 36, 37, 112 H ḥaramayn, 66, 67, 70, 142, 143 Hidāyat al-Sālikīn, 5, 11 I Indonesia, 5, 9, 14, 17, 55, 66, 67, 82 J Jawa, 3, 17, 18, 20, 52, 54, 66, 70, 82, 93, 105, 106, 107, 108, 112, 113, 114, 115, 118, 119, 141 K Kairo, 3, 6, 7, 21, 22, 23, 28, 31, 32, 35, 40, 41, 48, 57, 61, 71, 83, 94, 95, 101, 103, 113, 115, 119, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 169 Kalimantan, 16, 67, 82 Khawārij, 48 Kufah, 24, 60 M Māturīdīyah, 63 Madinah, 11, 15, 56, 60, 61 166
Makkah, 15, 37, 55, 59, 66, 70, 71 mazhab ahl al-tajallī wa al-maẓāhir wa al-h>ad}ārāt, 31 Melayu, 5, 9, 10, 62, 64, 72, 73, 74, 83, 84, 85, 99 Mu‘tazilah, 21, 24, 29, 30, 42, 46, 48, 49, 50, 80, 88, 95, 97, 104 Mu’nisat al-Qulūb, 11, 20 mulḥidah, 115 N Naisapur, 46, 166 Nejd, 56 Nusantara, 5, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 52, 54, 55, 56, 58, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 69, 72, 73, 75, 81, 82, 84, 86, 93, 99, 100, 105, 130, 132, 141, 142, 143 Q Qādirīyah, 10, 11, 52, 62, 64, 103 Qadarīyah, 24, 31, 50, 80 Rāfid}ah, 40, 45, 48 R Rūh al-Quds, 38 S Salafi, 7, 19, 20, 22, 61 Sammānīyah, 11, 65 Sayr al-Sālikīn, 5, 10, 13, 18, 20, 65, 78, 82, 85, 130, 131, 136, 137, 139 Shaṭṭarīyah, 12 Shī‘ah, 3, 4, 13, 21, 45, 52, 54, 61 shuhūd al-kathrah fī al-waḥdah, 139 Sulawesi, 82 Sumatera, 55, 82 Sunni, 4, 5, 6, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 39, 42, 43, 44, 46, 48, 51, 52, 54, 55, 57, 58, 61, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 71, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 81, 82, 84, 85, 91, 92, 95, 97, 98, 99, 104, 105, 113, 122, 124, 136, 141, 142, 143 T Tanoh Abee, 53, 54, 64 Tarjumān al-Ashwāq, 2, 156 U ‘Umdat al-Muḥtājīn, 10, 54, 64, 74 T 167
Tuḥfat al-Mursalah, 78, 100, 122, 123, 125 W Wujūdīyah, 8, 9, 28, 52, 62, 63, 74, 87, 94, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 105, 106, 108, 113, 114, 115, 118, 119, 127, 128, 129, 141 Wujūdīyah Mulḥid, 99 Wujūdīyah Muwaḥḥid, 99 Y Yunani, 21, 36, 94, 111 Wahhābīyah, 12, 54, 55, 56, 68, 69, 70, 71, 80, 84, 93, 143 Z Zād al-Muttaqīn, 20, 78, 125, 130, 131, 132, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 142, 144, 147 Indeks Istilah A a‘yān kharijīyah, 108, 113 a‘yān thābitah, 105, 106, 107, 112, 114, 132, 133, 134 al-Shaykh al-Akbar, 13, 14, 83 B al-waḥdah al-muṭlaqah, 34 al-wujūd al-muṭlaq, 107, 110, 133 ayn Allāh, 80 D dhawq, 6, 8, 29, 32, 120, 149 F firqah, 40, 80 fanā’, 140, 149 H ḥujjat al-Islām, 27, 36 ḥulūl., 5, 30, 32, 38, 118, 149 I insān kāmil, 1, 37, 38, 39, 97, 139 ittiḥād, 4, 5, 26, 32, 34, 40, 42, 61, 62, 109, 112, 113, 114, 115, 117, 118, 134, 137, 138, 140, 149 J 168
Jawāhir, 151, 160 K kashf, 4, 36, 39, 53, 60, 106 kathīr min al-mutaṣawwifah wa al-fuqarā’, 60 kullīyāt, 47, 87 L lā mawjūda illā Allāh, 116, 137 M ma‘rifah, 4, 6, 26, 28, 31 manhaj, 3, 29 mawjūdāt, 89, 126, 128 Martabat Tujuh, 16, 18 mumkin, 34, 87, 94, 95, 96, 107, 111, 129, 132 mustaḥīl, 10, 74, 78, 86 mutl}aq, 114 O ontologi, 15 Q qadīm, 27, 28, 47, 64, 87, 89, 90, 94, 103, 104, 113, 114 R rubūbīyah, 56, 57, 58, 70 T ta‘ayyun, 105, 107, 118 ta‘ṭīl, 111 ta’wīl, 48 takfīr, 46 tasawuf, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 52, 53, 54, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 66, 68, 69, 72, 74, 75, 78, 79, 81, 82, 93, 95, 97, 99, 111, 130, 132, 140, 141, 142, 143, 144 tauhid, 5, 10, 23, 26, 27, 29, 45, 48, 51, 53, 54, 56, 57, 58, 60, 64, 65, 66, 70, 74, 75, 76, 78, 79, 91, 98, 103, 105, 118, 119, 136, 140 tawallud, 33, 50 tawassul, 58, 70, 71, 84 tawḥīd al-af‘āl, 135, 147 tawḥīd al-ṣifāt., 148 169
U Ultimate Being, 94 ulūhīyah, 56, 57, 58 W wājib, 10, 28, 74, 75, 78, 85, 86, 94, 95, 96, 106, 110, 111, 116, 119, 132 waḥdat al-wujūd, 1, 4, 23, 34, 61, 105, 106, 112, 115, 120, 122, 123, 124, 125, 130, 131, 132, 135, 137, 138, 140, 147
Biodata Penulis Arrazy Hasyim lahir pada hari Senin tanggal 21 April 1986 di Koto Tangah, Payakumbuh Sumatera Barat. Ia menamatkan Sekolah Dasar dan MTsN di kota yang sama. Setelah itu, melanjutkan ke MAN/MAKN 2 Payakumbuh dan pindah pada tahun 2002 ke MAN/MAKN 2 Bukittinggi sampai tamat pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, ia melanjutkan pendidikan S1 di dua instansi sekaligus; ilmu hadis di Darus-Sunnah sampai tamat 2008 dan jurusan Akidah Filsafat di UIN Syarif Hidayatullah sampai 2009. Ia menyelesaikan studinya sebagai lulusan terbaik pada dua lembaga pendidikan tersebut. Secara informal, pada tahun 2006 sampai 2008, ia aktif mengikuti Dawrat al-Tathqīf al-Shar‘ī li al-‘Ulūm al-Islāmīyah yang diadakan di Indonesia oleh Internationalize Zentrum Fur Islamiche Wissenschaften Jerman yang dipimpin oleh Prof. Dr. Hasan Hitoo. Pada tahun 2009, setelah tamat dari Akidah Filsafat, ia langsung melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sampai 2011) konsentrasi Pemikiran Islam. Selain itu, sehari-hari Arrazy mengabdikan dirinya untuk mengajarkan hadis dan akidah di Darus-Sunnah.
170