BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Negara yang demokratis memiliki keunggulan tersendiri, karena dalam setiap pengambilan kebijakan mengacu pada aspirsi masyarakat. Masyarakat sebagai tokoh utama dalam sebuah negara demokrasi memiliki peranan yang sangat penting. Salah satu peranan masyarakat dalam negara demokrasi adalah partisipasi masyarakat dalam politik dalam hal ini pemilihan umum. Masyarakat memiliki peran yang sangat kuat dalam proses penentuan eksekutif dan legislatif baik dipemerintah pusat maupun daerah. Oleh karena itu perlu pendidikan politik yang harus diketahui oleh masyarakat agar pada saat pelaksaan pemilihan umum masyarakat tidak asal pilih dan hanya ikut-ikutan saja. Pendidikan politik yang baik akan menciptakan masyarakat yang cerdas sehingga masyarakat akan dapat memilih dengan baik pemimpin mereka. Dengan demikian keinginan dan harapan masyarakat dapat dilaksanakan oleh pemerintah melalui kebijakannya. Isi dari UU No. 32 tahun 2004 memuat beberapa perubahan, namun salah satu perubahan yang signifikan adalah mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam UU No. 32 yang terdiri dari 240 pasal, 63 pasal diantaranya mengatur tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung yaitu pasal 56 sampai dengan pasal 119. 1
1
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hal., 56
1 Universitas Sumatera Utara
Keputusan untuk memilih sistem pilkada langsung bukan datang secara tiba-tiba. Beberapa faktor mendorong percepatan digunakannya sistem langsung tersebut, dengan semangat utamanya memperbaiki kehidupan demokrasi. 2 Sebagai sebuah sistem, pemilihan kepala daerah melalui perwakilan DPR selama ini banyak memungkinkan terjadinya penyimpangan antara lain dalam proses pemilihan dan pelantikan yang diwarnai dugaan kasus politik uang dan intervensi pengurus partai politik di tingkat lokal maupun pusat. Pemilukada sering disebut sebagai kemenangan demokrasi massa atau demokrasi perwakilan. Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemilik kedaulatan sejati sehingga sudah sewajarnya apabila kepercayaan dan amanah yang diberikan kepada wakil rakyat tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan baik, maka kepercayaan dan amanah tersebut dikembalikan pada pemiliknya sendiri. Dengan begitu, manipulasi dan intervensi berlebihan gaya politisi dan anggota DPRD dapat dihindarkan. Pemilihan Umum kepala daerah bukan sekedar wujud pengembalian kedaulatan di tangan rakyat, lebih dari itu rakyat berperan langsung. Dalam bukunya Memahami Politik, Ramlan Surbakti mengemukakan faktor yang mempengaruhi partisipasi politik seseorang yaitu kesadaran politik dan kepercayaan orang tersebut kepada pemerintah. Aspek kesadaran politik seseorang meliputi kesadaran terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga
2
Joko Prihatmoko, Pemilihan Kepala daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal., 25-27
2 Universitas Sumatera Utara
negara, baik hak-hak politik, hak ekonomi, maupun hak-hak mendapat jaminan sosial dan hukum. 3 Pelaksanaan pilkada merupakan suatu rangkaian kegiatan yang masingmasing saling terkait seperti yang tertuang dalam pasal 65 ayat (3) tahapan pelaksanaan pilkada meliputi: 4 a. Penetapan daftar pemilih b. Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah c. Kampanye d. Pemungutan suara e. Penghitungan suara f. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan. Media massa merupakan sebuah media, saluran, sarana, wadah atau suatu alat dan tempat yang dipergunakan untuk proses komunikasi massa. Komunikasi massa disini diartikan sebagai komunikasi yang disampaikan kepada orang banyak atau dalam hal ini adalah masyarakat. Komunikasi atau penyampaian suatu informasi dari media masa itu memiliki pengaruh, baik kepada masyarakat maupun kepada pemerintah. 5 Berbicara tentang komunikasi politik itu sendiri, komunikasi politik adalah proses penyampaian informasi politik dari pemerintah kepada masyarakat dan 3
Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, Semarang: IKIP Press, 1995, hal., 91 UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 5 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca – Orde Baru, Jakarta: Kencana, 2010, hal.282. 4
3 Universitas Sumatera Utara
sebaliknya, dimana pemerintah membutuhkan informasi tentang kegiatan rakyatnya dan sebaliknya rakyat juga harus mengetahui apa saja yang dikerjakan oleh pemerintahnya. Media komunikasi politik secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu media tradisional, media semi dan media modern. Media tradisional adalah media dengan tatap muka, langsung berhadapan secara tatap muka dengan komunikasi, baik secara individual, maupun kelompok dan organisasi. 6 Media semi disebut juga dengan sebutan media lama atau old media. Yang dimaksud media semi adalah seperti media cetak seperti surat kabar, majalah, koran, brosur dan media penyiaran, dan seperti radio. Dan Kemudian yang terakhir adalah Media Baru atau new media. Media baru ini merupakan alat atau sarana yang baru marak di era globalisasi ini, seperti televisi digital, internet dan sebagainya. Peranan yang dilakukan oleh Media massa menurut Denis Mc Quail, ada 5 peranan yaitu: 1. Media massa sebagai pencipta lapangan kerja, barang, maupun jasa serta mengembangkan industri lain terutama dalam hal periklanan/promosi 2. Media massa sebagai sumber kekuatan alat kontrol, manajemen dan inovasi masyarakat
6
HARMONIS, Perbandingan Sistem Komunikasi Politik Presiden Soeharto dan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jakarta:, Hal. 38-39
4 Universitas Sumatera Utara
3. Media massa sebagai lokasi/ tempat dimana untuk menampilkan peristiwa atau fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat 4. Media massa sebagai sarana pengembangan macam-macam kebudayaan, tata cara atau gaya hidup seseorang dalam masyarakat 5. Media masssa sebagai sumber dominant pencipta citra individu, kelompok, maupun masyarakat Meliahat peranan media massa diatas, perlu diakui bahwa pers atau media massa di dalam Negara demokrasi itu sangat besar hubungan perannya dengan masyarakat. Media massa menjadi jembatan atau kendaraan yang menhubungkan atau menyalurkan kepentingan-kepentingan politik baik itu vertical maupun horizontal. Adapun dalam Bab II pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers disebutkan bahwa “Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.” Sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa, “Pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.Fungsi dari Pers (media massa) ada 4 fungsi seperti: 1. Informasi (to inform) Fungsi Pers sebagai media informasi adalah sarana untuk menyampaikan informasi secepatnya kepada masyarakat luas. Berbagai keinginan, aspirasi, pendapat, sikap, perasaan manusia bisa disebarkan melalui pers. Penyampaian informasi tersebut dengan ketentuan bahwa informasi yang
5 Universitas Sumatera Utara
disampaikan harus memenuhi kriteria dasar yaitu aktual, akurat, faktual, menarik, penting benar, lengkap, jelas, jujur, adil, berimbang, relevan, bermanfaat, dan etis. 2. Pendidikan (to educated) Fungsi pendidikan ini antara lain membedakan pers sebagai lembaga kemasyarakatan dengan lembaga kemasyarakatan yang lain. Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi komersial untuk memperoleh keuntungan finansial. Pers sebagai media pendidikan ini mencakup semua sektor kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Dengan demikian pers memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan pendidikan politik sehingga masyarakat dapat memahami model atau sistem politik yang berlaku di Indonesia. 3. Hiburan (to entertaint) Media massa berfungsi sebagai media hiburan, disini media massa harus mampu
memerankan
fungsinya
sebagai
sarana
hiburan
yang
menyenangkan bagi semua lapisan masyarakat. Hiburan yang dimaksud adalah media massa yang menyajikan karya-karya tulis atau informasi yang mungkin lepas atau diluar mengenai politik, seperti kartun, majalah anak, dongeng di media cetak, dan lain-lain. 4. Kontrol Sosial (Social Control)
6 Universitas Sumatera Utara
Media massa sebagai alat kontrol sosial politik dengan artian media massa sebagai penyampai (memberitakan) isu-isu atau keadaan yang dibuat oleh pemerintah bertentangan dengan kehendak rakyat. Besarnya peran media massa terhadap kehidupan masyarakat, dimana peran media yang sangat kuat tersebut dapat mempengaruhi dan merubah persepsi atau cara berpikir individu, kelompok atau masyarakat terhadap isu-isu atau fenomena politik yang terjadi di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh Lukman Hakim, “Media mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Media memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi. Dan persepsi mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Berbagai pemberitaan media memberikan masukan kepada kognisi individu, dan kognisi akan membentuk sikap.” 7 Kekuatan peran media massa tersebut sebenarnya juga dapat merubah budaya politik atau partisipasi politik masyarakat Indonesia menjadi lebih baik. Partisipasi politik adalah suatu kegiatan dari warga Negara baik secara langsung maupun tidak langsung (tidak sengaja) terkait dengan kebijakan–kebijakan
7
http://lukmanulhakim.multiply.com/journal/item/11, diakses pada tanggal 27
Oktober 2013
7 Universitas Sumatera Utara
pemerintah dapat dilakukan oleh individu-individu maupun kelompok secara spontan maupun dimobilisasi. 8 Kekuatan media massa ini juga digunakan oleh pemerintah maupun suatu kelompok masyarakat tertentu di suatu pemerintahan untuk mempengaruhi opini publik dalam membentuk rasionalitas pemilih. Dimana dengan peran media massa ini dapat dijadikan alat komunikasi politik oleh orang-orang yang mempunyai kekuatan dan kepentingan politik. Kepentingan politik inilah yang menjadikan media massa sebagai dari kegiatan politik untuk dapat mencapai dari tujuan kepentingan itu sendiri. Kegiatan politik banyak dilakukan oleh Pemerintah (lembaga-lembaga dan peranannya) dan partai-partai politik karena karena fungsi mereka dalam bidang politik, dan kegiatan politik inilah yang akan mempengaruhi terhadap partisipasi politik.9 Kita lihat seperti para calon-calon legislatif ataupun para kandidat Capres/Cawapres dari masing-masing partai politik dalam persiapan Pemilu 2014 yang saat ini kurang dari satu tahun lagi. Disini bisa kita lihat bagaimana cara mereka untuk menarik simpati dari rakyat. Partai politik dalam mancari simpati ataupun mencari suara pemilih dari rakyat, partai politik pasti akan membutuhkan media yang bisa memfasilitasi komunikasi politik dari partai politik tersebut. Melalui media, informasi pesan-pesan politik yang ingin disampaikan oleh partai
8 9
Anthonius Sitepu, Teori-Teori Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hal. 92 Anthonius Sitepu, Teori-Teori Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hal. 93
8 Universitas Sumatera Utara
politik tersebut akan lebih mudah tercapai. Apalagi peran dan perkembangan media massa saat ini sangat besar dan pesat. Banyak sekali cara komunikasi politik melalui media massa, bisa seperti komunikasi politik melalui media tradisional, dalam artian masing-masing partai politik atau masing-masing para calon turun langsung ke lapangan atau langsung merujuk kepada masyarakat (daerah pemilih) masing-masing. Dengan cara ini kedekatan emosional antara para calon legislatif lebih dekat, namun jika melalui dengan cara ini saja komunikasi politik/ kegiatan politik akan kurang efisien. Maka dari itu kegiatan politiknya harus juga melalui cara media semi (old media) seperti pencitraan melalui reklame, pamflet, media massa seperti Koran, majalah, dan radio. Dengan melalui media massa seperti ini akan menambah keefektifan dalam kegiatan politik itu sendiri dalam mancari simpati atau suara pemilih dari rakyat. Inilah cara-cara yang sring juga dilakukan oleh para calon dan partai politik yang akan maju dalam pemilihan umum. Apalagi di zaman modern era globalisasi ini, muncul media massa baru (new media) atau media elektronik seperti televisi dan internet. Media yang seperti inilah yang digunakan oleh partai-partai politik untuk berlomba-lomba dalam kegiatan politik yang mereka lakukan. Kita tahu sekarang banyak stasiunstasiun televisi yang sekarang dikuasi oleh orang-orang yang mempunyai kekuassan dan kepentingan politik atau dari orang-orang partai politik sekalipun, seperti MNC Group yang sekarang dikuasai oleh seorang pengusaha sekaligus orang partai yaitu dari partai Hanura. Kemudian stasiun televisi swasta TV One
9 Universitas Sumatera Utara
juga telah dikuasai oleh Bakrie Group yang notabanenya adalah orang politik dari partai Golkar. Selain itu masih banyak yang lain stasiun-stasiun televisi swasta lain yang dikuasai oleh orang-oarang yang mempunyai kepentingan politik. Seperti inilah dari salah satu contoh peran media massa ini sangat penting dan berpengaruh dalam masyarakat. Dengan kegiatan politik/komunikasi politik seperti ini, dapat mengubah budaya, perilaku dan partisipasi politik yang ada dalam masyarakat. Mungkin awalnya masyarakat yang sebelumnya tidak tahu tentang sosok atau tokoh-tokoh politik (caleg/capres) dari partai-partai terntentu, dengan melalui media masssa masyarakat kemudian akan menjadi tahu tentang sosok mereka dan background mereka. Dengan pengetahuan tersebut, masyarakat menjadi lebih antusias atau lebih berpartisipasi dalam menggunakan hak suaranya untuk memilih di ajang Pemilu. Sebenarnya dalam pendekatan perilaku (behavioralism approach), bahwa individulah yang secara aKtual melakukan kegiatan politik, sedangkan perilaku lembaga (struktur) politik pada dasarnya adalah merupakan perilaku individu yang berpola tertentu. 10 Disini bisa kita lihat bahwa individu atau orang yang mempunyai kepentingan politik sendirilah yang menjadi peranan penting dalam melakukan komunikasi politik, lambing atau dalam hal ini partai politik hanya sebagai wadah dan media pendukung untuk membantu melaksanakan kegiatan politik kepada masyarakat.
10
Anthonius Sitepu, Teori-Teori Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hal. 87
10 Universitas Sumatera Utara
Menurut Smith dalam bukunya surbakti (2010:169), mengatakan bahwa terdapat empat factor yang memberikan pengaruh terhadap perilaku politik seorang actor politik, yaitu berawal dari lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik, sistem hukum sistem ekonomi, sistem budaya dan sistem media masa. 11 Kemudian yang kedua adalah lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian actor, seperti keluarga, agama, kelompok pergaulan dan sekolah. Dan yang terakhir adalah struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. 12 Jadi disini dapat dikatakan bahwa masyarakat atau rakyat berpartisipasi politik dengan menggunakan hak suaranya dalam pemilu untuk memilih salah satu kandidat/calon dari partai politik tertentu, itu bukan murni memilih karena kesadaran diri masing-masing individu dalam kelompok masyarakat, tetapi bisa saja para individu dalam masyarakat tersebut menggunakan hak suaranya karena dampak dari media massa dan adanya imbalan tertentu dari pihak yang mempunyai kepentingan politik tersebut. Sehingga meskipun partisipasi politik di Indonesia menjadi tinggi, tetapi dalam maslah budaya politik kita cenderung masih abu-abu. Dalam artian banyak dari pemilih suara (rakyat) yang memilih calon legislatif/eksekutif dengan hanya tahu melalui sebatas media massa seperti reklame atau Koran, ini berarti masyarakat banyak yang memilih berdasarkan tingkat popularitas dari masing11 12
Ibid, hal. 89 Ibid, hal. 89
11 Universitas Sumatera Utara
masing calaon legislatif/eksekutif saja, bukan dari tingkat kualitas atau kapabilitas dari masing-masing calon tersebut. Hal ini diperjelas dalam teori perilaku pemilih party identification model bahwa “persepsi pemilih atau partai-partai politik yang ada atau adanya korelasi atau kedekatan emosional pemilih terhadap partai-partai politik tertentu. 13 Dengan demikian hanya oaring-orang yang mempunyai kedekatan emosional yang akan memilih partai-partai tertentu dalam menggunakan hak suaranya. Dan untuk mendapatkan kedekatan emosional terhadap masyarakat, partai politik harus melalui media massa. Dengan begitu besarnya peran medi massa dalam membentuk rasionalitas pemilih
sudah
seharusnya
dapat
membentuk
rasionalitas
pemilih
dan
meningkatkan partisipasi politik pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara pada tahun 2013, namun kenyataannya begitu kontras dengan harapan, yang terjadi bahwa angka Golput sangat tinggi pada Pilgubsu tahun 2013. Angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput) pada pelaksanaan pemilihan Gubernur Sumatera Utara sebanyak 5.309.442 (51,49%) dari jumlah calon pemilih yang terdaftar 10.310.872. Dari DPT 10.310.872 pemilih hanya 5.001.430 (48,506%) yang menggunakan hak suaranya dan sebanyak 139.963 (1.357%) surat suara yang tidak sah dan hanya 4.861.467 (47,149%) surat suara yang sah.
13
Anthonius Sitepu, Teori-Teori Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hal. 91 12 Universitas Sumatera Utara
Rendahnya partisipasi politik masyarakat dapat kita lihat pada pelaksanaan pemilihan langsung Gubernur Sumatera Utara yang dilaksanakan pada 9 Maret lalu. Representasi pemilih sangat rendah sekali. Dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Tingkat Provinsi dalam Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013, telah menetapkan pasangan nomor 5, Gatot dan Tengku Erry (Ganteng) menjadi pemenangnya. Mereka meraih total suara 1.604.337 atau 33, 50 persen dari suara sah. 14 Jika berdasarkan jumlah suara yang terdaftar di DPT, pasangan tersebut hanya mendapatkan suara 15,56 persen rakyat Sumatera Utara. Angka 15,56 persen didapat setelah total suara yang mereka dapatkan dibagi dengan jumlah suara di DPT sebesar 10.310.872. Sebuah persentase yang sama sekali tidak menunjukkan representasi keterpilihan seorang Gubernur. Tingkat partisipasi pemilih hanya 48,50 persen, dengan demikian angka yang tidak ikut memilih atau golput mencapai 51,50 persen. Berdasarkan penghitungan KPU surat suara sah dalam Pilgub Sumut yang berlangsung pada 7 Maret lalu tersebut, sebanyak 4.861.467 suara, sementara tidak sah sebanyak 139.963 suara. Dengan demikian total partisipasi pemilih sebanyak 5.001.430 jiwa. Sedangkan jumlah pemilih yang terdaftar di DPT berjumlah 10.310.872. 15 Sementara di pemilukada Sumatera Utara, pasangan Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi di posisi teratas dengan perolehan suara 1.604.337 suara (33%). Disusul pasangan nomor urut 2 dari PDI Pejuangan Effendi MS Simbolon – Jumiran Abdi dengan 1.183.187 suara (24,34%), kemudian pasangan nomor 14 15
www.KPU.go.id http://politik.kompasiana.com/2013/03/11/sisi-lain-dari-kemenangan-golput-di-pemilukadasumut-536062.html
13 Universitas Sumatera Utara
urut 1 Gus Irawan Pasaribu – Soekirman memperolah 1.027.433 suara (21,13%). nomor urut 4 Amri Tambunan-Rustam Effendi (RE) Nainggolan (Amri-RE) memeroleh 594.414 suara (12,23%). Di posisi terakhir pasangan nomor urut 3 Chairuman Harahap-Fadly Nurzal (Charly) meraih 452.096 suara (9,30%). 16 Salah satu parameter tumbuhnya demokrasi di Indonesia adalah semakin terbukanya kesempatan bagi warga negara dalam partisipasi politik. Bentuk konkret partisipasi politik yang mudah ditemui adalah keikutsertaan dalam pemilu dan pemilukada. Sejumlah pemilukada telah digelar sejak awal tahun 2013, di antaranya yang menarik untuk dicermati adalah pemilukada Sumatera Utara sebagai salah satu barometer politik di pulau sumatera.
2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka perumusan masalah dalam penelitia ini adalah sebagai berikut: 1. Peran seperti apakah yang dimainkan oleh media massa dalam menciptakan rasionalitas pemilih dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 di Kecamatan Medan Johor 2. Sejauh mana pengaruh media dalam menciptakan rasionalitas pemilih dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 di Kecamatan Medan Johor 3. Sejauh mana pengaruh media massa terhadap partispasi politik masyarakat
16
www.KPU.go.id
14 Universitas Sumatera Utara
dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 di Kecamatan Medan Johor ? 4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat tidak memberikan suaranya pada Pemilukada Sumatera Utara 2013 di Kecamatan Medan Johor 3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin di capai dalam penelitian sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui peran media massa dalam membentuk rasionalitas yang tidak menggunakan hak suaranya dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara di Kecamatan Medan Johor 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk tidak memberikan suaranya pada Pemilukada Sumatera Utara 2013 di Kecamatan Medan Johor 4. Pembatasan Masalah Suatu penelitian membutuhkan pembatasan masalah dengan tujuan untuk dapat menghasilkan uraian yang sistematis dan tidak melebar, dikarenakan keterbatasan peneliti dalam biaya, tenaga, waktu dan pikiran, maka penelitian ini dibatasi pada kecamatan Medan Johor saja dimana Kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan yang cukup itnggi tingkat Golput pada Pilgubsu tahun 2013 lalu.
15 Universitas Sumatera Utara
5.
Manfaat Penelitian Adapun hasil dari tulisan ini memberi sumbangsih manfaat, diantaranya:
5.1.
Kegunaan Teoritik 1. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu Politik. 2. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah di Sumatera Utara sebagai salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi.
5.2.
Kegunaan Praktis 1. Memberi gambaran mengenai media massa dalam mempengaruhi rasionalitas pemilih dan partisipasi pemilih dalam Pilgub 2013 2. Memberi informasi kepada publik terkait dengan Kontribusi media dalam menciptakan rsionalitas pada pemilih dalam PilGub Sumut 2013. 3. Memberi informasi kepada pemerintah sebagai acuan dalam mewujudkan tujuan pemilihan kepala daerah
dan mewujudkan pendidikan dan
pembangunan politik yang merata bagi masyarakat.
6. Kerangka Teori 6.1. Pengertian Peran Mengenai definisi peran, Pratama, Fauzi, Setiawan, Zafriady & Fallo (2008) dan Tangkilisan (2005) mengungkapkan bahwa peran dapat didefinisikan sebagai suatu aspek dinamis dari adanya suatu kedudukan (posisi/status sosial). Aspek dinamis tersebut mencakup rangkaian wewenang, hak dan kewajiban yang menyertai keberadaan dari kedudukan tersebut. Lebih lanjut, Pratama dkk. menyebutkan bahwa suatu peran mencakup tiga hal, yaitu:
16 Universitas Sumatera Utara
•
Peran meliputi norma-norma terkait posisi dan tempat (kedudukan) dalam masyarakat,
•
Peran merupakan konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu (atau organisasi) dalam masyarakat.
•
Peran sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial. Struktur sosial sendiri dapat diartikan sebagai suatu jalinan atau pola hubungan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu antara lain kelompok-kelompok sosial, institusi sosial, norma sosial dan stratifikasi sosial (Henslin, 2007). Dalam istilah yang lebih sederhana, peran merupakan perilaku individu yang penting bagi pihak-pihak selain dirinya dalam suatu masyarakat.
Henslin (2007) mendefinisikan peran (role) sebagai perilaku, kewajiban dan hak yang melekat pada suatu status. Lebih jauh, Henslin menyebutkan bahwa arti penting sosiologis dari suatu peran adalah “…memaparkan apa yang diharapkan dari (sese)orang“. Jika masyarakat dianalogikan sebagai sebuah pementasan drama, maka peran diibaratkan sebagai aturan yang “...mengekang orang – mengatakan kepada mereka kapan harus ‘masuk’ dan kapan harus ‘keluar’…“. Dengan kata lain, peran dapat diartikan sebagai batasan-batasan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh, patut dan tidak patut dilakukan oleh seseorang (atau suatu institusi) di tengah masyarakat di sekitarnya.
17 Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa definisi tersebut, dapat didefinisikan bahwa dalam sudut pandang sosiologi ‘peran partai politik’ dapat diartikan sebagai apa yang diharapkan masyarakat dari keberadaan partai politik ditengah masyarakat tersebut. Harapan dari masyarakat tersebut mencakup perilaku, kewajiban dan hak yang idealnya melekat pada suatu partai politik. Lebih lanjut, berbicara tentang peran partai politik ditengah masyarakat berarti berbicara tentang norma-norma serta perilaku-perilaku yang menunjukkan arti penting (urgensitas) partai politik terhadap masyarakat yang menjadi konstituennya.
6.2. Peran Media Massa dalam membuat Rasionalitas Pemilih dan Partisipasi Pemilih dalam Pilbugsu 2013 Media menyenangkan
massa hati
hadir
di
seseorang
tengah-tengah dalam
masyarakat
menumbuhkan
bukan
perasaan
saja
tertentu.
Tumbuhnya perasaan senang atau percaya dan marah pada media massa erat kaitannya dengan pengalaman individu bersama media massa tersebut. Menurut McLuhan (Rakhmat, 2004:219) bentuk media telah mempengaruhi khalayak. Bentuk media telah mempengaruhi kita bukan apa yang di siarkan media, tetapi komunikasi yang kita pergunakan. Media massa bekerja untuk menyampaikan informasi kepada khalayak, informasi dapat membentuk dan mempertahankan citra. Mc. Luhan (Rakhmat, 2004 : 224) menyatakan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang, atau tempat yang tidak alami secara langsung. Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat modern orang banyak memperoleh informasi tentang dunia dari media massa. Menurut Wilbur Schram
18 Universitas Sumatera Utara
(Rakhmat, 2004 : 208) Media massa memenuhi kebutuhan fantasi dan informasi, hiburan dan informasi. Konsepsi mengenai peranan media massa telah banyak menjadi sorotan para ahli komunikasi dewasa ini antara lain, Effendy mengatakan bahwa media massa atau mass communication meliputi pers, radio, televisi dan sebagainya. Berdasarkan pendapat tersebut maka media massa dapat di defenisikan sebagai alat berkomunikasi atau penghubung secara umum dalam bentuk media, cetak, media elektronik, pers, serta perfilman, dan sebagainya. Bentuk komunikasi massa yang melalui sarana komunikasi tersebut akan menimbulkan arus informasi dari komunikator dan komunikan. Media massa yang terkait secara fungsional dalam proses komunikasi dapat di kategorikan dalam dua kategori yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan lambang bahasa yang tertulis maupun tidak tertulis. Bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam komunikasi terutama setelah di temukannya media massa seperti surat kabar, majalah, radio, Film, dan televisi yang menghendaki penggunaan bahasa dengan cara dan gaya yang berlainan. Demikian pula komunikasi non verbal adalah komunikasi dengan gejela-gejela yang menyangkut gerak-gerik, sikap, ekspresi muka, pakdian yang bersifat simbolik. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang secara simultan, serta di ikuti perkembangan masyarakat dan peradabannya, komunikasi bermedia mengalami kemajuan pula dengan memindahkan komunikasi berlambang bahasa dengan komunikasi berlambang gambar atau warna. Oleh karena itu dalam proses komunikasi massa yang menggunakan media televisi, radio, film, dan media
19 Universitas Sumatera Utara
lainnya pun sebagai media, mengandung bahasa, suara, gambar, warna, yang melanda komunikasi masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya dan bangsa Indonesia khususnya. Berdasarkan paradigma Efendy (1999:86) tersebut komunikasi adalah proses penyampain pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Sifat massal dari suatu pesan komunikasi lewat media massa memberi kesan, bahwa pesan akan nilai itulah yang di anut oleh massa (memenuhi syarat demokrasi massa), walaupun mungkin sekali merupakan suatu pesan yang dihayati secara pribadi oleh wartawan yang membahas suatu topik dan kebetulan lolos sensor penanggung jawab redaksi (SusantoSunario:1995). Memang ada beberaparus di dalam masyarakat yang tidak menyetujui unsur sensual dan Seksualitas,dalam sajian informasi, namun karena pendapat ini dapat mematikan kehidupan media massar maka pendapat-pendapat tersebut hampir tak pernah di munculkan oleh pihak media massa, karena akan mengakhiri eksistensinya sendiri. Untuk itu Lasswel menghendaki agar komunikasi di jadikan objek studi ilmiah, bahkan setiap unsur di teliti secara khusus. Fungsi media massa dalam pembangunan nasional sangat membantu mempercepat proses peralihan masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Apalagi jangkauan media massa amat luas bahkan relatif tidak terbatas dan mampu menembus segenap lapisan masyarakat. Karena itu, perlu di manfaatkan dengan mendayagunakan segala kekuatan yang di milikinya untuk tujuan pembangunan di segala bidang, khususnya pembangunan dunia pendidikan,
20 Universitas Sumatera Utara
karena pendidikan merupakan bekal dalam menentukan corak suatu bangsa serta pengarah pemikiran guna mendapatkan perbaikan moral yang cenderung menyimpang akibat sekian dari imbas negatif media massa. Media massa mempunyai kekuatan yang sangat signifikan dalam usaha mempengaruhi khlayaknya. Keberadaan media massa mempunyai peranan penting dalamusaha memberikan informasi penting bagi masyarakat, pengetahuan yang dapat memperluas wawasan, sarana hiburan sebagai pelepas ketegangan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah peranan media sebagai kontrol sosial untuk memberikan kritik maupun mendukung kebijakan pemerintah agara memotivasi masyarakat. Media massa merupakan institusi baru yang berkaitan dengan produksi dan distribusi pengetahuan dalam arti luas. Media massa mempunyai sejumlah ciri-ciri yang menonjol, diantaranya adalah penggunaan teknologi yang relatif maju untuk produksi (massal) dan penyebaran pesan, mempuyai organisasi yang sistematis dan aturan-aturan sosial serta sasaran pesan yang mengarah pada audiens dalam jumlah besar yang tidak bisa ditentukan apakah meraka menerima pesan yang disampaikan, atau malah menolaknya. Institusi media massa pada dasarnya terbuka, beroprasi dalam dimensi publik untuk memberikan saluran komunikasi reguler dari berbagai pesan yang mendapat persetujuan sosial dan dikehendaki oleh banyak individu.
21 Universitas Sumatera Utara
Dalam komunikasi massa menurut Winarni dipusatkan pada komponenkomponen komunikasi massa, yaitu variabel yang dikandung dalam setiap tindak komunikasi dan bagaimana variabel ini bekerja pada media massa, kelima komponen tersebut adalah: 1. Sumber. Komunikasi massa adalah suatu organisasi kompleks yang mengeluarkan biaya besar untuk menyusun dan mengirimkan pesan. 2. Khalayak. Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, yaitu khalayak yang jumlahnya besar yang bersifat heterogen dan anonim. 3. Pesan. Pesan dalam komunikasi massa bersifat umum, maksudnya adalah setiap orang bisa mengetahui pesan-pesan komunikasi dari media massa. 4. Proses. Ada dua proses dalam komunikasi massa yaitu: 1) Komunikasi massa merupakan proses satu arah. Komunikasi ini berjalan dari sumber ke penrima dan tidak secara langsung dikembalikan kecuali dalam bentuk umpan balik tertunda. 2) Komunikasi massa merupakan proses dua arah (Proses seleksi). Baik media ataupun khalayak melakukan seleksi. Media menyeleksi khalayak sasaran atau penerima menyeleksi dari semua media yang ada, pesan manakah yang mereka ikuti. 5. Konteks komunikasi massa berlangsung dalam suatu konteks sosial. Media mempengaruhi konteks sosial masyarakat, dan konteks sosial masyarakat mempengaruhi media massa. (Winarni, 2003 : 4-5)
22 Universitas Sumatera Utara
Setiap
disiplin
ilmu
dalam
komunikasi
memiliki
ciri-ciri
dan
karekateristik yang berbeda-beda, adapun beberapa karakteristik komunikasi massa yang sering digunakan pada media massa yaitu: 1. Sifatnya satu arah, walaupun beberapa media massa terkadang melibatkan khalayak secara langsung dengan diadakannya dialog interaktif, namun itu hanya untuk kepentingan terbatas. 2. Selalu ada proses seleksim misalnya, setiap media memilih khalayaknya, demikian juga dengan khlayak yang juga menyeleksi medianya, baik jenis maupun isi siaran dan berita, serta waktu untuk menikmatinya. 3. Menjangkau khalayak secara luas. Dengan adanya satuu stasiun pemancar pesan atau informasi dapat disampaikan dalam cakupan satu negara. Namun dalam karakteristik ini sistem ekonomi dan sosial juga ikut berperan. 4. Berusaha membidik sasaran tertentu, informasi yang disampaikan harus menarik minat orang-orang sehingga informasi tersebut disalurkan kepada orang lain 5. Komunikasi dilakukan oleh institusi sosial yang harus peka terhadap kondisi lingkungannya. Ada interaksi tertentu yang berlangsung antara media dan masyarakat. Untuk memahami sebuah masyarakat kita harus menelaah latar belakang, asumsi dan keyakinan-keyakinan dasarnya. Untuk itu diperlukan penguasaan atas sejarah, sosiologi, ilmu ekonomi
23 Universitas Sumatera Utara
dan filsafat demi memahami sebuah masyarakat secara benar. (Rivers, 2004 :18) Dalam komunikasi massa, umpan balik relatif tidak ada atau bersifat tunda, komunikator cenderung sulit untuk mengetahui umpan balik komunikan secara segera. Untuk mengetahuinya, maka biasanya harus diadakan seminar terbuka yang menghubungkan antara komunikator dan komunikan secara langsung, diadakannya survey atau penelitian. (Vardiansyah, 2004:33). 6.2.1.Pengaruh Media Pada Pemilih Dunia politik hampir tidak dapat dipisahkan dari opini publik sebagai salah satu objek politik dan media sebagai sarananya. Dalam setiap Pemilu (Pemilihan Umum) kita dapat melihat bagaimana media membentuk dan mempengaruhi opini publik, termasuk hubungan yang terjalin antara media dengan pelaku politik, seperti politisi, partai politik dan masyarakat umum. Iklaniklan politik peserta Pemilu banyak bermunculan menjajakan platform-nya. Pertanyaannya, dalam konteks politik, bagaimana media dapat membentuk dan mempengaruhi opini masyarakat, sehingga secara mayoritas publik menerima semua keputusan-keputusan politik, atau dalam konteks Pemilu, menyebabkan masyarakat dengan mantap menetapkan pilihan kepada parpol tertentu? Namun, sebelum melangkah lebih jauh, apa sebetulnya opini publik itu. Opini
publik
merupakan
pandangan
orang
banyak
yang
tidak
terorganisasi, tersebar di mana-mana, dan karena kesamaan pandangan terhadap sesuatu, mereka secara sadar atau tidak dapat bergerak serentak dan bersatu-padu menyikapi sesuatu tersebut. Untuk itu, opini publik bisa diciptakan dan 24 Universitas Sumatera Utara
direncanakan. Seringkali kalau tidak selalu muatan berita sebuah media massa bermisi pembentukan opini publik. Jika sekarang lebih banyak orang memandang Usamah bin Ladin (Osama bin Laden) sebagai seorang teroris, hal itu karena tulisan yang membentuk opini publik Usamah bin Ladin sebagai teroris lebih banyak dan dominan ketimbang tulisan yang menyanjungnya sebagai pejuang pembela Islam. Untuk membentuk opini publik, yang perlu dilakukan hanyalah mengintensifkan informasi yang harus sampai ke publik sesuai yang diinginkan. Misalnya, jika ingin membentuk citra yang baik tentang organisasi A, maka ekspos terus-menerus kiprahnya yang baik-baik. Dengan demikian, opini publik dapat mengandung kesan positif maupun negatif, tergantung pada kepentingan orang atau lembaga yang mengarahkan media untuk mencitrakan kesan tersebut. Dalam penyelenggaraan Pemilu yang lalu, kiprah media dalam menyusun – lebih tepatnya membentuk opini masyarakat – tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Masyarakat lebih mengenal suatu partai politik, proses dan mekanisme Pemilu, dan tetek bengek lainnya, lebih banyak mengetahuinya melalui media. Pemilu 2004 dianggap sukses apabila publik memilih partai dan kandidat yang bisa menyelenggarakan negara sesuai dengan cita-cita bangsa. Karenanya, publik membutuhkan informasi yang berkualitas tentang semua peserta Pemilu, sehingga menjadi pemilih yang well informed. Di sinilah kemudian media memainkan peranan sangat krusial. Dalam Pemilu, media juga dapat mempengaruhi perilaku memilih, masyarakat. Secara luas, media lebih cenderung menguatkan tujuan-tujuan yang
25 Universitas Sumatera Utara
ada dalam pemungutan suara daripada merubahnya. Peran utama media dalam suatu pemilihan umum ialah menfokuskan perhatian masyarakat pada kampanye yang sedang berlangsung serta berbagai informasi seputar kandidat dan isu politik lainnya. Walaupun mungkin tidak memberi dampak langsung untuk merubah perolehan jumlah suara, namun media tetap mampu mempengaruhi banyaknya suara yang terjaring dalam suatu pemilu. Secara implisit, masyarakat membuat suatu penilaian terhadap pihak maupun cara yan ditempuh untuk memenangkan pemilihan, atau isu-isu panas yang diperdebatkan. Penilaian personal yang dipengaruhi kuat oleh media ini diam-diam bisa berdampak pada pengurangan jumlah suara bagi pihak yang kalah. Ulasan dini seputar pemilu atau laporan berdasarkan survei secara random dapat memperkuat penilaian masyarakat, terutama tentang siapakah yang akan menjadi pemenang dan mendorong terbentuknya diantara pihak yang merasa kalah atau menjadi pecundang. Jadi, jangan terlalu yakin jika poling-poling sms di berbagai stasiun televisi tidak memiliki dampak apa-apa, setidaknya besarnya angka poling pada Cagub-Cawagub A, akan mengusik atau menciutkan hati Cagub-Cawagub B, atau lainnya. Masyarakat yang mengidolakan atau akan memilih Cagub-Cawagub C misalnya, mau tidak mau akan ”dipaksa” untuk ”meringis” tatkala melihat jagonya berada di urutan buncit dalam poling sms, meski hampir semua percaya bahwa itu bukan representasi masyarakat Indonesia. Inilah gambaran opini publik yang begitu dahsyatnya mampu diciptakan oleh media. Media dalam konteks ini berperan sebagai ruang publik bagi masyarakat. Ruang publik terdiri dari organ-organ penyedia informasi dan
26 Universitas Sumatera Utara
perdebatan politis seperti surat kabar dan jurnal; termasuk ruang publik adalah juga lembaga-lembaga diskusi politis seperti parlemen, klub-klub politik, klubklub sastra, perkumpulan publik, rumah minum, dan warung kopi, balaikota, dan tempat-tempat publik lainnya yang menjadi ruang terjadinya diskusi sosial politik. Ditempat-tempat itu kebebasan berbicara, berkumpul, dan berpartisipasi dalam debat politik dijunjung tinggi (Juliawan, Basis No. 11-12, 2004). Kepublikan yang terjadi dalam ruang publik dengan sendirinya mengandung daya kritis terhadap proses-proses pengambilan keputusan yang tidak bersifat publik. Upaya Habermas untuk menjelaskan konsep ruang publik (public sphere) menuntunnya pada konklusi bahwa dalam perkembangannya, hampir selama satu abad kemudian fondasi-fondasi sosial bagi ruang publik ini nyaris terjebak di dalam proses pembusukan. Membicarakan ruang publik bahkan hampir tanpa menemukan esensi nyata dari keberadaan ruang publik itu sendiri (Habermas, 2007:1-40). Habermas menelusuri bahwa dalam fase perkembangan konsep ini sejak zaman Yunani, sama sekali tidak ditemukan negasi antara konsep ruang privat dan ruang publik. Keduanya menyumbang kekuatan terbesar bagaimana sebuah wacana mengalir dan diperdebatkan secara terbuka. Sebuah kenyataan yang saat ini justru bertolak belakang. Habermas merumuskan unsur normatif dari ruang publik, yakni sebagai bagian dari kehidupan sosial, dimana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi tentang
27 Universitas Sumatera Utara
masalah-masalah politik. Arti penting dari refleksi Habermas ini terletak pada konsepsinya tentang proses diskursus, yang diidealkannya haruslah berbentuk perdebatan yang rasional dan kritis. Perdebatan ini dipagari oleh aturan-aturan yang melarang penggunaan bahasa yang bersifat emotif, dan fokus terhadap isi serta kerangka yang rasional saja. Pada titik inilah Habermas menyumbangkan sebuah konsep yang dia sebut tindakan komunikatif (communicative action) yang secara filosofis menjadi mesin kerja dari berfungsinya ruang publik tadi. Dalam dunia modern, sulit untuk membayangkan bahwa ruang publik hanya terjadi pada media-media sosial dan tempat-tempat publik seperti abad ke17 yang dilukiskan Habermas. Saat mana internet dan dunia maya sudah betulbetul menciptakan transformasi sosial, maka harapan akan ruang publik lebih merupakan sebuah harapan terciptanya teknologi informasi yang berpihak pada sisi-sisi humanisme ketimbang industri (Green, 2002; Wilhelm, 2003; Briggs & Burke, 2006). Landasan normatif yang digunakan dalam melihat dinamika masyarakat komunikatif adalah partisipan debat memiliki kepentingan bersama atas kebenaran, yang berarti mereka juga harus dapat menunda perbedaan status, sehingga mereka berbicara dalam keadaan setara. Disamping itu, sikap kritis merupakan salah satu unsur kunci yang memegang peranan, sehingga berbagai bentuk argumentasi yang disodorkan dapat diuji melalui debat publik, dan partisipan dapat menemukan makna secara bersama sebagai hasil dari proses debat rasional kritis tersebut (Calhoun, 1993). Dalam konteks itu, media memainkan peran yang semakin obyektif dalam diskursus ruang publik. Namun sayangnya, penelusuran Habermas atas keterlibatan media sejak awal abad ke- 17
28 Universitas Sumatera Utara
dalam konstelasi wacana publik menunjukkan sikap mengambil jarak yang justru membuat media terperangkap dengan dunianya sendiri : dunia komoditas dan kompetisi yang tidak mencerdaskan esensi ruang publik. Peran media tradisional, seperti televisi, majalah, dan surat kabar, di dalam masyarakat demokratis tampak semakin problematik. Problematikanya terletak pada sejauh mana media tersebut mampu menjadi tempat bagi sikap kritis publik ataupun debat rasional tentang berbagai problem yang berkaitan dengan kehidupan bersama. Demokrasi memang telah menjadi “ideologi” dominan didalam kehidupan politik modern. Akan tetapi, jarak antara perumusan ideologi yang luhur dengan implementasi praktisnya tampak sangat jelas, sehingga atas itu semua, sebuah pertanyaan penting layak kita ajukan, “apakah cita-cita ideal demokrasi dapat tercapai, terutama dengan meningkatkan peran praksis komunikatif di dalam ruang publik?” Jawaban utopis Habermas pada akhirnya sangat menyandarkan diri pada kesediaan media massa ikut bertanggung jawab dalam proses dialektis dinamis ruang publik. Realitas yang hari demi hari nampak semakin menjauhkan harapan Habermas. Alih-alih menjadi ruang bagi partisipasi masyarakat di dalam debat rasional, media telah melakukan proses reifikasi terhadap berita-berita yang mereka tayangkan. Menjadikan media sebagai ruang iklan, dimana politisi dapat menjual ide-ide mereka untuk dibeli oleh rakyat. Konsekuensinya, politisi jujur yang tidak sering tampil di media serta secara aktif “menjual” ide-idenya di televisi akan cepat kehilangan pamor, seberapapun jenius dan luhurnya ide-ide yang dikembangkan. Pada titik ini sampailah kita pada dunia pencitraan yang
29 Universitas Sumatera Utara
telah sukses menggunakan mesin-mesin psikologi persuasi (Setiyono, 2007; Firmanzah, 2007). Tidak lagi penting niat otentik tentang kemajuan bersama. Yang lebih diutamakan adalah struktur pesan dan bagaimana kekuatan pesan mampu menghipnotis khalayak. Esensi debat rasional kritis telah musnah seiring dengan gegap gempitanya dunia politis selebritis dalam media. Program debat politik pun dapat juga ditelaah sebagai upaya untuk menciptakan semacam ilusi kolektif dari partisipasi kritis publik, yang membuat warga seolah-olah merasa bahwa hak-hak politik demokratis mereka telah terpenuhi. Padahal yang terjadi sesungguhnya ada proses “pengebirian hak berpolitik”. Apapun peran yang dapat dijalankan oleh media dalam pemilu, tetapi yang menjadi perhatian adalah media harus dikembalikan kepada fungsinya yaitu sebagai pilar demokrasi dan melakukan pendidikan politik bagi masyarakat. Media juga seharusnya tidak acuh terhadap kritik, masyarakat juga mempunyai hak untuk mengkritisi media yang keblabasan. Begitu besar pengaruh dan peran media dalam perpolitikan, hendaknya dimanfaatkan secara bijaksana oleh media itu sendiri. Terkadang seorang tokoh atau pihak tertentu yang masih bermasalah di masa silam atau kini nampak begitu kemilau dan tiba-tiba bersih sehingga masyarakat pun lengah dengan kepahitan yang pernah ada. Terus berputar pada masa lampau juga tidak akan mencerahkan bangsa ini, namun melupakan masa lalu juga bukan syarat bagi perbaikan diri, terlebih suatu bangsa. Kontrol masyarakat untuk selalu melihat dan menempatkan media dengan proposional, kritis dan obyektif sangatlah diperlukan. Hendaknya media juga mendorong masyarakat untuk melakukan kritikal kontrol, sehingga terjalin kerjasama yang
30 Universitas Sumatera Utara
benar-benar secara positif antara media dan masyarakat dan membawa manfaat dan kontribusi bagi kedua belah pihak (pihak media massa dan terutama, pihak masyarakat).
6.3. Rasionalitas Pemilih Pemilih rasional adalah orang yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Pemilih rasional akan memilih partai politik, anggota legislatif, dan pasangan presiden/wakil presiden, yang menurut perhitungan pribadinya akan membawa keuntungan baginya di masa depan, apa pun bentuk keuntungan itu. Menyebut bahwa pemilih sudah rasional paling tidak mengandung dua asumsi mendasar. Pertama, objek pilihan mempunyai diferensiasi. Kedua, pemilih itu terdidik. Terdidik di sini berarti tahu atau mempunyai kemampuan untuk mengakses informasi mengenai pilihannya. Pemilih bisa dikatakan rasional jika dia memiliki informasi yang cukup untuk menentukan pilihan. Pilihannya bisa dikatakan rasional jika pilihan yang tersedia bervariasi. Tanpa variasi dari pilihan yang tersedia, sulit untuk mengatakan bahwa keputusan atau pilihan pemilih bersifat rasional. Paling tidak ada dua alasan, mengapa pemilih yang rasional penting untuk demokrasi. Pertama, pemilih rasional akan mendorong parpol mengajukan calon yang bukan hanya populer, tapi juga berkualitas. Ke depan, hal ini akan mendorong kaderisasi politik yang lebih baik. Parpol yang tidak berhasil menghasilkan dan mengajukan calon yang berkualitas akan kehilangan dukungan dari pemilih rasional. Kedua, pemilih rasional akan membuat demokrasi menjadi transformatif. Selama ini, demokrasi di Indonesia hanya berfungsi sebagai proses agregasi
31 Universitas Sumatera Utara
preferensi dan aspirasi publik. Demokrasi di Indonesia belum mampu mentransformasi preferensi dan aspirasi elite. Pemilih yang rasional akan menolak elite yang hanya mengandalkan popularitas dan yang tidak mampu menampung dan menjawab aspirasi mereka. 17 Ada dua kemungkinan dalam rasionalitas pemilih. Pertama, pemilih tidak menentukan pilihannya berdasarkan rasionalitas karena mereka memilih bukan berdasarkan perbedaan calon. Kedua, pemilih memilih dalam bounded rationality atau dengan modal pengetahuan yang (sangat) terbatas mengenai pilihan yang ada. Jadi, pilihan yang dijatuhkan pada satu calon bukan karena pertimbangan rasional, tapi didasarkan pada kekurangtahuan tentang perbedaan antara calon. Pemilih rasional akan memilih calon yang bukan hanya mereka kenal, tapi juga berkualitas, karena calon yang berkualitas dan bukan calon yang populer yang akan memberikan keuntungan buat pemilih. Tanpa kapabilitas dan kapasitas yang tinggi, hampir tidak mungkin calon mampu membawa keuntungan buat pemilihnya. Sebenarnya Teori Pilihan Rasional diadopsi oleh ilmuwan politik dari ilmu ekonomi. Karena didalam ilmu ekonomi menekankan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini senada dengan perilaku politik yaitu seseorang memutuskan memilih kandidat tertentu setelah mempertimbangkan untung ruginya sejauh mana program-program yang disodorkan oleh kandidat tersebut akan menguntungkan dirinya, atau sebaliknya malah merugikan. Para pemilih akan cenderung memilih kandidat yang
17
Ibid
32 Universitas Sumatera Utara
kerugiannya paling minim. Dalam konteks teori semacam itu, sikap dan pilihan politik tokoh-tokoh populer tidak selalu diikuti oleh para pengikutnya kalau ternyata secara rasional tidak menguntungkan. Beberapa indikator yang biasa dipakai oleh para pemilih untuk menilai seorang kandidat khususnya bagi pejabat yang hendak mencalonkan kembali, diantaranya kualitas, kompetensi, dan integrasi kandidat. Pilihan rasional melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk kalkulasi antara untung dan rugi. Ini disebabkan karena pemilih tidak hanya mempertimbangkan
ongkos
memilih
dan
kemungkinan
suaranya
dapat
mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatifalternatif berupa pilihan yang ada. Pemilih di dalam pendekatan ini diasumsikan memiliki motivasi, prinsip, pendidikan, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Pilihan politik yang mereka ambil dalam pemilu bukanlah karena faktor kebetulan atau kebiasan melainkan menurut pemikiran dan pertimbangan yang logis. Berdasarkan informasi, pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki pemilih memutuskan harus menentukan pilihannya dengan pertimbangan untung dan ruginya untuk menetapkan pilihan atas alternatif-alternatif yang ada kepada pilihan yang terbaik dan yang paling menguntungkan baik untuk kepentingan sendiri (self interest) maupun untuk kepentingan umum. 18
18
Dennis Kavanagh, Political Science and Political Behavior, dalam FS Swartono, dan Ramlan
Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana, Jakarta, hal.146
33 Universitas Sumatera Utara
Sehingga pada kenyataannnya, terdapat sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa terdapat variabel-variabel lain yaitu faktor situasional yang juga turut mempengaruhi pemilih ketika menentukan pilihan politiknya pada pemilu. Hal ini disebabkan seorang pemilih tidak hanya pasif, terbelenggu oleh karakteristik sosiologis dan faktor psikologis akan tetapi merupakan individu yang aktif dan bebas bertindak. Menurut teori rasional, faktor-faktor situasional berupa isu-isu politik dan kandidat yang dicalonkan memiliki peranan yang penting dalam menentukan dan merubah referensi pilihan politik seorang pemilih karena melalui penilaian terhadap isu-isu politik dan kandidat dengan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional, seorang pemilih akan dibimbing untuk menentukan pilihan politiknya. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara. Sementara orientasi kandidat mengacu pada persepsi dan sikap seorang pemilih terhadap kepribadian kandidat tanpa memperdulikan label partai yang mengusung kandidat tersebut. Pengaruh
isu
yang
ditawarkan
bersifat
situasional
(tidak
permanent/berubah-ubah) terkait erat dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, politik, hukum, dan keamanan khususnya yang kontekstual dan dramatis. Sementara itu dalam menilai seorang kandidat menurut Him Melweit, terdapat dua variabel yang harus dimiliki oleh seorang kandidat. Variabel pertama adalah kualitas instrumental yaitu tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh kandidat apabila ia kelak menang dalan pemilu. Variabel kedua adalah
34 Universitas Sumatera Utara
kualitas simbolis yaitu kualitas keperbadian kandidat yang berkaitan dengan integrasi diri, ketegasan, kejujuran, kewibawaan, kepedulian, ketaatan pada norma dan aturan dan sebagainya. Pendapat Ramlan Surbakti dan Him Melweit tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dan Nimmo 19 dalam bukunya Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek yang mengatakan bahwa: Pemberi suara yang rasional pada hakikatnya aksional diri, yaitu sifat yang intrinsik pada setiap karakter personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian suara pada kebanyakan warganegara. Orang yang rasional : 1. Selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternative 2. Memilah alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama saja atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain 3. Menyusun alternatif-alternatif dengan cara yang transitif; jika A lebih disukai daripada B, dan B daripada C, maka A lebih disukai daripada C 4. Selalu memilih alternatif yang peringkat preferensi paling tinggi dan 5. Selalu mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatifalternatif yang sama, dan bahwa pemberi suara rasional selalu dapat mengambil keputusan apabila dihadapkan pada altenatif dengan memilah 19
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, CV. Remaja Karya, Bandung, hal 148
35 Universitas Sumatera Utara
alternatif itu, yang lebih disukai, sama atau lebih rendah dari alternatif yang lain, menyusunnya dan kemudian memilih dari alternatif-alternatif tersebut yang peringkat preferensinya paling tinggi dan selalu mengambil keputusan yang sama apabila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama. Penerapan teori rational choice dalam ilmu politik salah satunya adalah untuk menjelaskan perilaku memilih suatu masyarakat terhadap tokoh atau partai tertentu dalam konteks pemilu. Teori pilihan rasional sangat cocok untuk menjelaskan variasi perilaku memilih pada suatu kelompok yang secara psikologis memiliki persamaan karakteristik. Pergeseran pilihan dari satu pemilu ke pemilu yang lain dari orang yang sama dan status sosial yang sama tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan sosiologis maupun psikologis. Dua pendekatan terakhir tersebut menempatkan pemilih pada situasi dimana mereka tidak mempunyai kehendak bebas karena ruang geraknya ditentukan oleh posisi individu dalam lapisan sosialnya. Sedangkan dalam pendekatan rasional yang menghasilkan pilihan rasional pula terdapat faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang, misalnya faktor isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan. Dengan demikian muncul asumsi bahwa para pemilih mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik tersebut. dengan kata lain pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Individu sebagai penyokong legitimasi sistem pemilihan demokratis adalah seorang warga negara yang memiliki kemampuan untuk mengetahui 36 Universitas Sumatera Utara
konsekwensi dari pilihannya. Kehendak rakyat merupakan perwujudan dari seluruh pilihan rasional individu yang dikumpulkan (public choice). Dalam konteks pemilu di Australia, istilah public digunakan untuk mewakili masyarakat Australia
yang
terdiri
dari
individu-individu
dengan
keanekaragaman
karakteristiknya. Mereka bertindak sebagai responden dalam pemilu yang masingmasing memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk melakukan pilihan politik. Public choice dalam konteks pemilu sangat penting artinya bagi kelangsungan roda pemerintahan di suatu negara. Bagaimana agenda politik dalam suatu negara itu disusun, tergantung dari pilihan masyarakat terhadap agenda yang ditawarkan melalui pemilihan umum. Akan tetapi yang menjadi permasalahan dari pilihan kolektif semacam ini adalah bagaimana mengkombinasikan berbagai macam prefensi individu-individu kedalam sebuah kebijakan yang akan diterima secara luas oleh masyarakat. 20 Terkait dengan hal tersebut, pemilu digunakan sebagai sarana untuk menentukan suara terbesar dari masyarakat, karena hanya pilihan mayoritaslah yang akan mendominasi arah politik suatu negara. Disamping itu, dalam perannya sebagai individu yang independen, manusia akan selalu mengejar seluruh kepentingannya dengan maksimal dan membuat pilihan-pilihan yang sulit untuk diwujudkan oleh pemerintah di negaranya, akan tetapi dalam peran manusia sebagai anggota sebuah komunitas atau masyarakat, hal itu tidak berlaku.
20
James Q. Wilson, New Politics, New Ellites, Old Publics, dalam Marc K. Landy dan Martin A. Levin, The New Politics of Public Policy, The Johns Hopkins University Press, London, 1995, hal 263, dalam skripsi Dani Tri Anggoro, Kemenangan Tony Blair dalam Pemilu Inggris 2005,Unej, 2006,hal 11- 14
37 Universitas Sumatera Utara
Buchanan dan Tullock mengajarkan bahwa dalam menentukan suatu public choice, terdapat aspek-aspek yang lebih daripada sekedar memenuhi peraturan politik pemerintah dalam pemilu. Aspek-aspek tersebut meliputi pilihan-pilihan untuk membuat suatu keputusan sosial dengan mempertimbangkan lembaga-lembaga perekonomian yang bebas dari campur tangan pemerintah, disamping mekanisme pemerintahan lain yang terpusat dalam suatu negara dan lembaga-lembaga yang menggabungkan antara sektor publik dan sektor privat. Lebih lanjut Buchanan dan Tullock menyatakan bahwa untuk menghasilkan keputusan sosial tersebut dibutuhkan adanya integrasi antara politik dan ekonomi. Integrasi tersebut akan sangat berguna untuk memahami hal-hal seperti mengapa pemerintah melakukan pengaturan terhadap sistem pasar, redistribusi terhadap kekayaan, serta bagaimana kekuatan pasar dapat mempengaruhi tujuan-tujuan politik. Semua segi-segi ekonomi dan politik tersebut hanya dapat dipahami jika kita memandangnya dari perspektif teori yang sama. 21 Tidak semua pilihan menggunakan prinsip-prinsip rasionalitas didalam menentukan pilihannya. Pemilih yang berprinsip rasional lebih banyak ditemukan pada orang-orang yang bermukim didaerah urban. Tingkat pendidikan yang membawa serta pemahaman akan politik mempunyai korelasi positif terhadap perilaku pemilih yang semakin rasional. Penduduk yang bermukim di negara-
21
Peter C. Ordeshook, The Emerging Discipline of Political Economy, dalam James E. Alf dan Kenneth A. Shelpse, Perspective on Positive Political Economy, Cambridge University Press, Melbourne, 1990, hal.15. dalam skripsi Dani Tri Anggoro, Kemenangan Tony Blair dalam Pemilu Inggris 2005,Unej, 2006,hal 14
38 Universitas Sumatera Utara
negara maju berat, seperti Australia terkenal memiliki tingkat pendidikan yang sangat tinggi, hal itu dapat dilihat dari tingkat buta huruf yang sangat minim. Oleh karena itu menurut Saiful Mujani 22, seorang pemilih akan cenderung memilih parpol atau kandidat yang berkuasa di pemerintahan dalam pemilu apabila merasa keadaan ekonomi rumah tangga pemilih tersebut atau ekonomi nasional pada saat itu lebih baik dibandingkan dari tahun sebelumnya, sebaliknya pemilih akan menghukumnya dengan tidak memilih jika keadaan ekonomi rumah tangga dan nasional tidak lebih baik atau menjadi lebih buruk. Pertimbangan ini tidak hanya terbatas pada kehidupan ekonomi, melainkan juga kehidupan politik, sosial, hukum dan keamanan. Menurutnya dalam mengevaluasi kinerja pemerintah, media massa terutama yang massif seperti televisi memiliki peranan yang sangat menentukan. Melalui informasi yang berasal dari media massa, seorang pemilih dapat menilai apakah kinerja pemerintah sudah maksimal atau malah jalan ditempat.
6.4. Perilaku Pemilih (Voting Behavior) Penulis menggunkan teori perilaku pemilih agar kulaifikasi dari sikap serta oreintasi masyarakat didalam memilih dapat dikarakteristikkan berdasar
tiga
pendekatan yang penulis pakai yaitu : pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis dan pendkatan pilihan rasional.
22
Saiful Mujani, Penjelasan Aliran dan Kelas Sosial sudah tidak memadai, dalam http://islamlib.com?page.php?page=article&id=703
39 Universitas Sumatera Utara
Perilaku merupakan sifat alamiah manusia yang membedakannya atas manusia lain, dan menjadi ciri khas individu atas individu yang lain. Dalam konteks politik, perilaku dikategorikan sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah, dan diantara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakkan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Ditengah masyarakat, individu berperilaku dan berinteraksi, sebagian dari perilaku dan interaksi dapat ditandai akan berupa perilaku politik, yaitu perilaku yang bersangkut paut dengan proses politik. Sebagian lainnya berupa perilaku ekonomi, keluarga, agama, dan budaya. Termasuk kedalam kategori ekonomi, yakni kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa, menjual dan membeli barang dan
jasa,
mengkonsumsi
barang
dan
jasa,
menukar,
menanam,
dan
menspekulasikan modal. Namun, hendaklah diketahui pula tidak semua individu ataupun kelompok masyarakat mengerjakan kegiatan politik. Memilih ialah suatu aktifitas yang merupakan proses menentukan sesuatu yang dianggap cocok dan sesuai dengan keinginan seseorang atau kelompok, baik yang bersifat eksklusif maupun yang inklusif. Memilih merupakan aktifitas menentukan keputusan secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Surbakti (tahun:1992) menilai perilaku memilih ialah keikutsertaan warga Negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum
40 Universitas Sumatera Utara
Perilaku pemilih merupakan realitas sosial politik yang tidak terlepas dari pengaruh faktor eksternal dan internal. Secara eksternal perilaku politik merupakan hasil dari sosialisasi nilai-nilai dari lingkungannya, sedangkan secara internal merupakan tindakan yang didasarkan atas rasionalitas berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih. Misalnya saja isu-isu dan kebijakan politik, tetapi pula sekelompok orang yang memilih kandidat karena dianggap representasi dari agama atau keyakinannya, sementara kelompok lainnya memilih kandidat politik tertentu karena dianggap representasi dari kelas sosialnya bahkan ada juga kelompok yang memilih sebagai ekspresi dari sikap loyal pada ketokohan figur tertentu. Sehingga yang paling mendasar dalam mempengaruhi perilaku pemilih antara lain pengaruh elit, identifikasi kepartaian sistem sosial,media massa dan aliran politik. 1. Pendekatan Sosiologis Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial ini misalnya berdasarkan umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan cukup menentukan dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal seperti keangggotaan seseorang didalam organisasi keagamaan, organisasi profesi, kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya, maupun kelompok informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-
41 Universitas Sumatera Utara
kelompok kecil lainnya. Ini merupakan sesuatu yang vital dalam memahami perilaku politik, karena kelompok-kelompok ini mempunyai peranan besar dalam bentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Jadi bisa dikatakan bahwa keangotaan
seseorang kepada
kelompok-kelempok soisal tertentu dapat
mempengaruhi seseorang didalam menentukan pilihnaya pada saat pemilu. Hal ini tidak terlepas dari seringnya anggota kelompok, organisasi profesi dan kelompok okupasi berinteraksi satu sama lain sehingga timbulnya pemikiran-pemikiran untuk mendukung salah satu dari caleg yang mengikuti pemilu. Gerald pomper merinci pengaruh pengelompokan sosial dalam kajian voting behavior ke dalam 2 variabel yaitu predisposisi (kecendrungan) sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih. Apakah preferensi politik ayah atau ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak, sedangkan predisposisi sosial ekonomi berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis dan sebagainya. Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih nampaknya sangat mempengaruhi dimana nilai-nilai agama selalu hadir didalam kehidupan privat dan public dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi para pemilih. Di kalangan partai politik, agama dapat melahirkan dukungan politik dari pemilih atas dasar kesamaan teologis, ideologis, solidaritas dan emosional. Fenomena partai yang berbasis agama dianggap menjadi daya tarik kuat dalam preferensi politik. Dalam literatur perilaku pemilih, aspek agama menjadi pengamatan yang penting. Pemilih cenderung untuk memilih partai agama tertentu yang sesuai
42 Universitas Sumatera Utara
dengan agama yang dianut. Di Indonesia faktor agama masih dianggap penting untuk sebahagian besar masyarakat. Misalnya seorang muslim cenderung untuk memilih partai yang berbasis Islam dan sebaliknya
seorang non-muslim
cenderung untuk memilih partai non-muslim. 2. Pendekatan psikologis Psikologi adalah ilmu sifat, dimana fungsi-fungsi dan fenomena pikiran manusia dipelajari. Setiap tingkah laku dan aktivitas masyarakat dipengaruhi oleh akal individu. Sedangkan ilmu politik mempelajari aspek tingkah laku masyarakat umum sehingga ilmu politik berhubungan sangat dekat dengan psikologi. i Pendekatan ini muncul merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap pendekatan sosiologis. Secara metodologis, pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk memperjelaskan perilaku pemilih. Disini para pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi, artinya sikap seseorang merupakan refleksi dari kepribadian dan merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya. Pendekatan psikologis menganggap sikap sebagai variabel utama dalam menjelaskan perilaku politik. Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, menurut Greenstein ada 3 yakni: 1. Sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap objek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut.
43 Universitas Sumatera Utara
2. Sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang diseganinya atau kelompok panutan. 3. Sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, artinya sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan dan eksternalisasi diri. Namun, sikap bukanlah sesuatu hal yang cepat terjadi, tetapi terbentuk melalui proses yang panjang, yakni mulai dari lahir sampai dewasa. Pada tahap pertama, informasi pembentukan sikap berkembang dari masa anak-anak. Pada fase ini, keluarga merupakan tempat proses belajar. Anak-anak belajar dari orangtua menganggap isu politik dan sebagainya. Pada tahap kedua, adalah bagaimana sikap politik dibentuk pada saat dewasa ketika menghadapi situasi di luar keluarga. Tahap ketiga, bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompokkelompok acuan seperti pekerjaan, gereja, partai politik dan asosiasi lain. Melalui proses sosialisasi ini individu dapat mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi politiknya serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik di dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah. Sosialisasi bertujuan menungkatkan kualitas pemilih. Pemilih rasional adalah orang yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Pemilih rasional akan memilih partai politik, anggota legislatif, dan pasangan presiden/wakil presiden, yang menurut perhitungan pribadinya akan membawa keuntungan baginya di masa depan, apa
44 Universitas Sumatera Utara
pun bentuk keuntungan itu. Menyebut bahwa pemilih sudah rasional paling tidak mengandung dua asumsi mendasar. Pertama, objek pilihan mempunyai diferensiasi. Kedua, pemilih itu terdidik. Terdidik di sini berarti tahu atau mempunyai kemampuan untuk mengakses informasi mengenai pilihannya. Pemilih bisa dikatakan rasional jika dia memiliki informasi yang cukup untuk menentukan pilihan. Pilihannya bisa dikatakan rasional jika pilihan yang tersedia bervariasi. Tanpa variasi dari pilihan yang tersedia, sulit untuk mengatakan bahwa keputusan atau pilihan pemilih bersifat rasional. Paling tidak ada dua alasan, mengapa pemilih yang rasional penting untuk demokrasi. Pertama, pemilih rasional akan mendorong parpol mengajukan calon yang bukan hanya populer, tapi juga berkualitas. Ke depan, hal ini akan mendorong kaderisasi politik yang lebih baik. Parpol yang tidak berhasil menghasilkan dan mengajukan calon yang berkualitas akan kehilangan dukungan dari pemilih rasional. Kedua, pemilih rasional akan membuat demokrasi menjadi transformatif. Selama ini, demokrasi di Indonesia hanya berfungsi sebagai proses agregasi preferensi dan aspirasi publik. Demokrasi di Indonesia belum mampu mentransformasi preferensi dan aspirasi elite. Pemilih yang rasional akan menolak elite yang hanya mengandalkan popularitas dan yang tidak mampu menampung dan menjawab aspirasi mereka. Ada dua kemungkinan dalam rasionalitas pemilih. Pertama, pemilih tidak menentukan pilihannya berdasarkan rasionalitas karena mereka memilih bukan berdasarkan perbedaan calon. Kedua, pemilih memilih dalam bounded rationality atau dengan modal pengetahuan yang (sangat) terbatas mengenai pilihan yang
45 Universitas Sumatera Utara
ada. Jadi, pilihan yang dijatuhkan pada satu calon bukan karena pertimbangan rasional, tapi didasarkan pada kekurangtahuan tentang perbedaan antara calon. Pemilih rasional akan memilih calon yang bukan hanya mereka kenal, tapi juga berkualitas, karena calon yang berkualitas dan bukan calon yang populer yang akan memberikan keuntungan buat pemilih. Tanpa kapabilitas dan kapasitas yang tinggi, hampir tidak mungkin calon mampu membawa keuntungan buat pemilihnya. 6.5. Konsep Rasionalitas Gerak pendulum sejarah peradaban umat manusia, biasanya selalu diawali dengan
munculnya
berbagai
pemikir
dan
pemikiran
yang
melakukan
pemberontakan atas segala keadaan pada zamannya. Pemikir, baik itu ilmuwan terlebih para filsuf merupakan representasi munculnya ‘kegelisahan’ atas situasisituasi yang melingkupinya. Kegelisahan itu kemudian melahirkan sejumlah
pemikiran
cerdas
yang
mengubah
‘tatanan’,
mempertanyakan
‘kebenaran’ yang selama ini diterima begitu saja, menuju suatu progressivitas (kemajuan) peradaban kemanusiaan. Terminologi kemajuan (progress) sebuah peradaban kemudian menjadi satu-satunya ukuran kebenaran. Logika kebenaran peradaban adalah logika kemajuan dengan penemuan sains dan teknologinya sebagai salah satu ‘keunggulan’ komparatif manusia ‘maju’. Implikasi logisnya, peradaban modern; utamanya semenjak abad Renaisans, terlebih pada abad Pencerahan, -dengan demikian- adalah representasi kebenaran peradaban dengan mengesampingkan kenyataan historis ‘kemajuan’ yang dicapai abad-abad sebelumnya. Modernisme
46 Universitas Sumatera Utara
menurut Bambang Sugiharto (1996: 29) sebagai gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang awalnya diinspirasikan oleh rasionalisme Descartes, dikokohkan oleh gerakan Pencerahan (enlightenment / aufklarung) dan mengabadikan dirinya hingga abd ke-20 melalui dominasi sains dan kapitalisme ii. Menariknya, hampir segenap bangunan peradaban modern, mungkin peradaban lainnya, selalu meletakkan ‘manusia’ sebagai subjek otonom, pusat kesadaran dunia yang mempunyai ‘hak’ penuh secara bebas mengembangkan kreativitasnya tanpa belenggu otoritas apapun, termasuk otoritas agama. Pada konteks inilah, humanisme sebagai sebuah aliran kefilsafatan yang menempatkan ‘kebebasan’ manusia; baik berpikir, bertindak dan bekerja, sebagai segalagalanya, berpengaruh secara signifikan terhadap munculnya bangunan peradaban modern. Sementara Habermas menyatakan bahwa terdapat kaitan antara kekuasaan dan pengetahuan dengan memaparkan suatu ‘politik epistemologi’ (Mumby, dalam: Miller, 2002: 66). Teori Habermas mengungkapkan kebutuhan epistemologis dan etis bagi adanya suatu komitmen pada sebagian pemikir untuk secara kritis merefleksikan keyakinan-keyakinan pribadi dan sosialnya (Endres, 1996: 1). Lebih lanjut dikatakan Habermas, Terdapat konsep-konsep dasar dan asumsi-asumsi dasar yang menjadi landasan ontis pembacaan Habermas atas realitas sosial. Konsep-konsep tersebut adalah tentang kepentingan, dunia-hidup, sistem, argumentasi, rasionalitas, dan kolonisasi dunia-hidup. Adapun asumsiasumsi dasar yang pokok adalah hubungan antara kepentingan dan pengetahuan;
47 Universitas Sumatera Utara
komunikasi dan bentuk-bentuk interaksi sosial; dan syarat-syarat ontis adanya konsensus rasional. Kepentingan (Interesse) adalah orientasi dasar yang berakar pada kemampuan manusia dan menjadi sarana dasariah manusia untuk melestarikan keberadaannya, dan untuk menentukan dan mengkreasi dirinya sendiri (Howe, 2000: 6). Kaitan antara konsep rasionalitas dengan pendekatan filasafat politik memang menyisakan hubungan yang intim. Menurut sebuah penilaian, filsafat politik ada sejak manusia menyadari dapat hidup satu sama lain dengan cara yang lebih bermanfaat. Dengan ini, kerjasama di antara manusia dimungkinkan, dan usaha mengembangkan atau menata kehidupan bersama yang ideal melalui rasionalitas (dan ini berarti menggantikan naluri), mulai dikembangkan. Dengan rasionalitas manusia menyadari bahwa berbagai pilihan terbuka untuk mengatur dan mengembangkan kehidupan bersama, meskipun tidak selalu jelas mana diantara berbagai pilihan itu yang dapat dianggap paling baik, bahkan pertimbangan yang relevan untuk menentukan berbagai pilihan itu juga sering kabur. Demikian berarti manusia sadar atas pilihannya, dengan pertimbangan rasio dan kesadaran bertindak. Dalam konteks politik (praktis), konsep tentang rasionalitas seharusnya menjadi muara besar dalam penentuan pilihan. Apa yang memang masuk di akal sewajarnya menjadi apa yang dilakukan. Namun ternyata, kenyataan di lapangan menunjukkan berbeda. Sejalan dengan kritikan Ali Syari’ati bahwa humanisme liberal (kapitalisme) yang sekarang mendominasi dunia memunculkan anomali dalam dirinya. Konsepsi tentang rasionalitas tak tampak dalam kenyataan praktek
48 Universitas Sumatera Utara
pilihan masyarakat. “Ia adalah tukang sihir baru yang menyihir kemanusiaan hingga masuk ke dalam penjara baru roda-roda raksasa tak berbelas kasihan dari mekanisme tekno-birokrasi” Oleh karenanya, tak menjadi aneh ketika proyek besar “rasionalisasi” gagal dalam realitas empirik tertentu. Fragmentasi pilihan masyarakat menjadi bukti akan kelemahan filsafat ini. 6.6. Konsep Pilkada Menurut ajaran John Locke, pemerintah berasal dari persetujuan yang diperintah. Ajaran ini membangkrutkan sistem pewarisan kepemimpinan politik patriarkis secara turun-temurun yang pada masanya diakui yang tersahih. Locke juga mewanti bahwa penguasa yang kemudian terbukti tidak mampu, tidak mau, atau malahan ingkar pada kewajiban asasinya melindungi hak dan kebebasan dasar rakyat, maka ketidakmauan, ketidakmampuan dan keingkaran semacam itu merupakan pembenaran bagi rakyat untuk melengserkannya. Rousseau yang terilhami pemikiran Locke juga menyatakan bahwa kesepakatan masyarakat adalah dasar legitimasi kekuasaan di antara manusia (conventions formthe basis of all
legitimate
authority
among
men).
Karena
eksistensi
penguasa
sesungguhnyalah berasal dari kesepakatan rakyat maka penguasa memiliki tugas asasi melindungi hak dan kebebasan rakyat, pemilik kekuasaan tertinggi. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Munculnya perhatian terhadap transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa adanya demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional (Smith, 1998).
49 Universitas Sumatera Utara
Pilkada
secara
langsung
merupakan
desain
kelembagaan
untuk
mempercepat proses demokrasi di daerah. Desain ini dimunculkan setelah melihat bahwa penguatan parlemen (DPRD) tidak mampu meningkatkan kualitas demokrasi secara substansial. Sebagaimana di tingkat nasional, adanya pemilu yang demokratis dan sistem multi partai telah memungkinkan adanya sistem perwakilan yang melibatkan kekuatan (descriptive representation). Tetapi, corak sistem perwakilan seperti itu, ditambah kekuasaan dan otoritas yang dimiliki tidak lantas membuat adanya interaksi yang lebih baik antara rakyat dan para wakil. Yang terjadi adalah adanya pergeseran proses politik saja, dari sebelumnya berpusat di eksekutif ke eksekuti-legislatif. Sifat proses politiknya sendiri tetap sama, elitis. Pilkada secara langsung dimaksudkan untuk meminimalisasi kecenderungan demikian. Menurut PP No. 6 tahun 2005, Pilkada adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasaarkan pancasila dan UUD 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi, bupati dan wakil bupati untuk kabupaten, serta walikota dan wakil walikota untuk kota. Pilkada merupakan perwujudan dari pasal UUD 1945 18 ayat (4) yang menegaskan bahwa Kepala Daerah yakni Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratik, sekalipun tidak ditegaskan “dipilih langsung oleh rakyat”. Untuk melaksanakan pasal 18 ayat (4) UUD 1945, maka dalam pemilihan kepala daerah diatur dengan UU No. 32 tahun 2004 sebagai revisi dari UU no. 22 tahun
50 Universitas Sumatera Utara
1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 56 ayat (1) menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Merujuk pada Peraturan KPU No. 72 tahun 2009, penyelenggaraan Pilkada berpedoman kepada asas mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib penyelenggara pemilu; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi; dan efektivitas. Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Kepala Daerah (KPUD). KPUD adalah KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota yang diberi wewenang
khusus
oleh
Undang-Undang
No.
32
tahun
2004
untuk
menyelenggarakan pemilihan di provinsi dan/atau kabupaten/kota. Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD bertanggung jawab kepada DPRD. Pelaksana pemungutan suara dalam pemilihan pada tingkat kecamatan, desa/kelurahan dan tempat pemungutan suara dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan. Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen)dari akumulasi
51 Universitas Sumatera Utara
perolehan suara sah dalam pemilihan umum angots DPRD di daerah yang bersangkutan. 7. Metode Penelitian Metode yang di pakai peneliti dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, Metode Deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya (Best, 1982 dalam Sukardi, 2004). Penelitian ini juga sering disebut noneksperimen, karena pada penelitian ini penelitian tidak melakukan kontrol dan manipulasi variabel penelitian Penelitian deskriptif adalah penelitian yang mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi, termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedanng berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Pendekatan yang digunakan adalah
kuantitatif, dengan format penelitian
eksplanasi yaitu penelitian yang ingin melihat hubungan atau korelasi diantara dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat 23
Dengan metode deskriptif, peneliti memungkinkan untuk melakukan hubungan antarvariabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal (West, 1982 dalam Sukardi, 2004). Di samping itu, penelitian deskriptif juga merupakan penelitian, dimana pengumpulan data untuk mengetes pertanyaan penelitian atau hipotesis yang berkaitan dengan keadaan dan kejadian sekarang. Mereka melaporkan keadaan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya. 23
Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Gramedia Utama
52 Universitas Sumatera Utara
Dengan menggunakan metode penelitian tersebut dapat menjawab permasalahan penelitian sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara media massa dengan rasionalitas pemilihpada Pilgubsu 2013 di Kelurahan Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan dan Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru.
2.
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara media massa dengan partisipasi politik pada Pilgubsu 2013 di Kelurahan Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan dan Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru.
3.
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat di Kelurahan Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan dan Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru untuk tidak memberikan suaranya pada Pemilukada Sumatera Utara 2013.
8. Populasi Dan Sampel 8.1. Populasi Populasi dalam penelitian ini
adalah semua pemilih yang tidak
menggunakan haknya serta suara yang tidak sah dalam Pilgubsu tahun 2013 yaitu sebanyak 63.904 orang di Kecamtan Meda Johor 24. Pemilih yang terdaftar dalam DPT tetapi tidak menggunakan haknya serta suara yang tidak sah inilah yang diidentifikasi sebagai populasi golput dalam penelitian ini.
24
Sumber kpusumut.go.id
53 Universitas Sumatera Utara
3.2. Sampel Sampel merupakan bagian kecil dari populasi yang menjadi contoh ataupun yang dapat mewakili keseluruhan populasi. cara pengambilan sampel menggunakan metode insidental sampling, yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan kebetulan yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui cocok sebagi sumber data. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan rumus Taro Yamane dalam menentukan sampel yang akan diteliti. Rumus Taro yamane :
n=
N N (d)² – 1
Keterangan : n
: Jumlah Sampel
N
: Jumlah Populasi
d
: Presisi 10% (0,1)dengan tingkat kepercayaan 90% Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Pemilihan Umum Provinsi
Sumut, bahwa jumlah Golongan Putih (Golput) pada pemilihan umum Pemilihan Gubernur Sumatera Utara di Kecamatan Medan Johor adalah sebanyak 63.904 orang atau sebanyak 61,3% . Maka dengan menggunakan rumus taro yamane dapatlah jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak : n=
63.904 63.904 (0,1)² + 1
n=
63.904 63.904 (0,01) + 1
n = 63.904 640,04 n = 99,8 54 Universitas Sumatera Utara
n ≈ 100 Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 100 orang dari total populasi 63.904. Penarikan sampel dilakukan secara stratified sampling, yaitu penarikan sampel sampai jumlah sampel mencapai 100 orang, maka diperolehlah jumlah sampel dari setiap kelurahan. Kelurahan Kedai Durian
= 2.585 x 100 = 4 orang 63.904
Kelurahan Suka Maju
= 6.085 x 100 = 10 orang 63.904
Kelurahan Kwala Bekala
= 18.054 x 100 = 28 orang 63.904
Kelurahan Titi Kuning
= 10.464 x 100 = 16 orang 63.904
Kelurahan Pangkalan Masyhur
= 15.595 x 100 = 24 orang 63.904
= 11.121 x 100 = 18 orang 63.904 Teknik sampling yang digunakan adalah metode accidental sampling, Kelurahan Gedung Johor
yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan kebetulan yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui cocok sebagai sumber data yaitu orang yang tidak menggunakan hak suaranya pada Pilgubsu 2013. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan rumus Taro Yamane dalam menentukan sampel yang akan diteliti. 9. Lokasi Penelitian Adapun Lokasi penelitian berada di kota Medan. Penulis memilih Kota Medan sebagai lokasi penilitian dikarenakan tingkat pluralitas masyarakat yang 55 Universitas Sumatera Utara
beragam dan tingkat dinamika politik yang tinggi baik di pemerintahan ataupun di masyarakat sehingga Kota Medan bisa dikatakan sebagai barometer politik di Sumatera Utara. Penelitian ini difokuskan di Kecamatan Medan Johor. Pemilihan Lokasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa di wilayah ini mewakili penduduk yang berpenghasilan dan berpendidikan tinggi dan penduduk yang berpenghasilan dan berpendidikan rendah, disamping ada faktor lain yakni tingkat partisipasi dalam mennggunakan hak pilih yang rendah Kecamatan Medan Johor berdasarkan data KPU Provinsi. 10. Sumber Data Untuk mencapai penelitian ini, maka diambil langkah-langkah pengumpulan data sebagai berikut : Bungin (2005 : 122 ) menyebutkan bahwa, sumber data terdiri dari : a.
Data Primer Data Primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari lokasi penelitian atau
objek penelitian. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari kuesioner dan wawancara sebagai pelengkap. b.
Data Sekunder
Data sekunder adalah Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan cara membaca buku, literatur-literatur, jurnal, koran dan berbagai informasi lainya yang berkenaan dengan masalah yang diteliti. Data sekunder ini dimaksudkan sebagai data penunjang guna melengkapi data primer.
56 Universitas Sumatera Utara
11. Teknik Pengumpulan Data Dalam setiap proses penelitian, pengumpulan data bertujuan untuk mengungkapkan fakta mengenai perihal yang diteliti. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini digunakan beberapa metode yang dijadikan acuan untuk mengumpulkan data, yaitu sebagai berikut : 1. Observasi: Mengadakan pengamatan langsung untuk memperoleh gambaran nyata mengenai situasi kondisi sosial dari lokasi yang diteliti 2. Wawancara: Melakukan tanya jawab langsung dengan beberapa orang yang menguasai mengenai lokasi atau daerah yang akan diteliti juga sebagai verifikasi memperkuat data hasil kuesioner. 3. Studi Dokumentasi: Meneliti bahan-bahan tulisan dan dokumen Kelurahan 4. Kuesioner tertutup (angket): Suatu daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada responden (objek Penelitian) (Usman dan Akbar, 2004 : 66). Dan skala pengukurannya menggunakan ratting scale yaitu data kuantitatif yang dikualitatifkan dan menggunakan skala nilai 1-4, sebelum diberikan kepada responden, kuesioner tersebut terlebih dahulu diadakan pre-test yaitu pengujian dengan beberapa responden guna mengetahui reliabilitas dan validitas dari butir pertanyaan kuesioner tersebut (Singarimbun, 91 : 1981). Tabel 1.1 Bobot Kuesioner untuk Masing-masing Pilihan Jawaban PERNYATAAN
BOBOT
- Untuk alternatif jawaban A
4
- Untuk alternatif jawaban B - Untuk alternatif jawaban C - Untuk alternatif jawaban D Sumber: Ridwan 2004
3 2 1
57 Universitas Sumatera Utara
12. Teknik Analisa Data Sehubungan dengan permasalahan dari uraian-uraian di atas dan penelitian ini bersifat eksplanasi yakni ingin melihat hubungan antara variabel yang diteliti, maka peneliti menggunakan analisa dengan alat uji statistik menggunakan rumus-rumus sebagai berikut: a. Koefisien korelasi product momen dari Pearson : Yakni untuk mengukur hubungan X dan Y dengan Rumus:
rxy =
n ∑ xy − ∑ x ∑ y
(
n ∑ x 2 − (∑ x ) (n∑ y 2 ) − (∑ y ) 2 2
)
Di mana: n
= banyaknya pasangan pengamatan.
X
= skor variabel bebas (Tingkat Ekonomi).
Y
= skor variabel terikat (Partisipasi Politik Masyarakat) (Faisal, 2003 : 223 ).
Tabel 1.2.Intrepretasi dari Nilai Koefisien Korelasi
Interval Koefisien
Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 0,20 – 0,399 0,40 – 0,599
Sangat rendah Rendah Sedang
0,60 – 0,799
Kuat
0,80 – 1,000
Sangat Kuat
Sumber: (Bungin, 2001 : 212) 58 Universitas Sumatera Utara
b. Uji hipotesis dengan menggunakan uji r, untuk mengetahui signifikansi tidaknya hubungan X dengan Y. dengan jalan memperbandingkan r hitung dengan r tabel kemudian digambarkan dengan tabel distribusi normal agar diketahui penerimaan dan penolakan hipotesis. c. Uji koefisien determinasi, yakni untuk melihat besarnya pengaruh atau determinan variabel X terhadap Y dengan rumus: rxy 2 X 100%. (Sugiyono, 1999 : 27)
12. Definisi Konsep Konsep adalah unsur penelitian yang terpenting dan merupakan definisi yang dipakai oleh para peneliti untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomena social ataupun fenomena alami. Agar tidak menimbulkan kekaburan dan kesalaham didalam
pengertian konsep yang dipergunakan, maka perlu
ditegaskan batasan-batasan yang dipergunakan dalam tulisan ini. Adapun definisi konsep yang dikemukakan disini adalah sebagai berikut : 1.
Media Massa dan Fungsinya Media massa menjadi sangat efektif untuk melakukan propaganda karena
media massa memiliki kemampuan mempengaruhi masyarakat yang tinggi. Media massa dapat digunakan untuk self marketing melalui berita dan informasi yang disiarkan, misalnya pada waktu kampanye politik. Melalui informasi-informasi di media sebelumnya telah dikonstruksi, masyarakat pada akhirnya akan terpengaruh oleh berita-berita tersebut dan mengikuti kehendak si pembuat medianya itu sendiri. Sementara itu, fungsi media sebagai media informasi terlihat jelas pada saat terjadi krisis. Media massa menjadi alat penting dalam penyebaran informasi 59 Universitas Sumatera Utara
dan mengingatkan masyarakat akan kejadian-kejadian tertentu . Oleh karena itu, rating berita meningkat pada saat terjadi krisis karena setiap orang mengakses media untuk mendapatkan informasi dan konfirmasi tentang krisis yang sedang berlangsung.
Dalam komunikasi massa menurut Winarni dipusatkan pada komponenkomponen komunikasi massa, yaitu variabel yang dikandung dalam setiap tindak komunikasi dan bagaimana variabel ini bekerja pada media massa, kelima komponen tersebut adalah: 1. Sumber. Komunikasi massa adalah suatu organisasi kompleks yang mengeluarkan biaya besar untuk menyusun dan mengirimkan pesan. 2. Khalayak. Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, yaitu khalayak yang jumlahnya besar yang bersifat heterogen dan anonim. 3. Pesan. Pesan dalam komunikasi massa bersifat umum, maksudnya adalah setiap orang bisa mengetahui pesan-pesan komunikasi dari media massa. 4. Proses. Ada dua proses dalam komunikasi massa yaitu: 1) Komunikasi massa merupakan proses satu arah. Komunikasi ini berjalan dari sumber ke penrima dan tidak secara langsung dikembalikan kecuali dalam bentuk umpan balik tertunda. 2) Komunikasi massa merupakan proses dua arah (Proses seleksi). Baik media ataupun khalayak melakukan seleksi. Media
60 Universitas Sumatera Utara
menyeleksi khalayak sasaran atau penerima menyeleksi dari semua media yang ada, pesan manakah yang mereka ikuti. 5. Konteks komunikasi massa berlangsung dalam suatu konteks sosial. Media mempengaruhi konteks sosial masyarakat, dan konteks sosial masyarakat mempengaruhi media massa. (Winarni, 2003 : 4-5) 2.
Raionalitas Pemilih Pilihan rasional melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk
kalkulasi antara untung dan rugi. Ini disebabkan karena pemilih tidak hanya mempertimbangkan
ongkos
memilih
dan
kemungkinan
suaranya
dapat
mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatifalternatif berupa pilihan yang ada. Pemilih di dalam pendekatan ini diasumsikan memiliki motivasi, prinsip, pendidikan, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Pilihan politik yang mereka ambil dalam pemilu bukanlah karena faktor kebetulan atau kebiasan melainkan menurut pemikiran dan pertimbangan yang logis. Berdasarkan informasi, pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki pemilih memutuskan harus menentukan pilihannya dengan pertimbangan untung dan ruginya untuk menetapkan pilihan atas alternatif-alternatif yang ada kepada pilihan yang terbaik dan yang paling menguntungkan baik untuk kepentingan sendiri (self interest) maupun untuk kepentingan umum. 25 Sebenarnya Teori Pilihan Rasional diadopsi oleh ilmuwan politik dari ilmu ekonomi. Karena didalam ilmu ekonomi menekankan modal sekecil-kecilnya 25
Dennis Kavanagh, Political Science and Political Behavior, dalam FS Swartono, dan Ramlan Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana, Jakarta, hal.146
61 Universitas Sumatera Utara
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini senada dengan perilaku politik yaitu seseorang memutuskan memilih kandidat tertentu setelah mempertimbangkan untung ruginya sejauh mana program-program yang disodorkan oleh kandidat tersebut akan menguntungkan dirinya, atau sebaliknya malah merugikan. Para pemilih akan cenderung memilih kandidat yang kerugiannya paling minim. Dalam konteks teori semacam itu, sikap dan pilihan politik tokoh-tokoh populer tidak selalu diikuti oleh para pengikutnya kalau ternyata secara rasional tidak menguntungkan. Beberapa indikator yang biasa dipakai oleh para pemilih untuk menilai seorang kandidat khususnya bagi pejabat yang hendak mencalonkan dalam Pemilihan Gubernur Tahun 2013 adalah sebagai berikut: 1. Kualitas 2. Kompetensi 3. Integrasi kandidat. 3.
Partisipasi Politik Partisipasi politik adalah keitkutsertaan pada kebijaksanaan pemerintah
dan pada terrwujudnya kebijaksanaan itu. Partisipasi politik akan lebih banyak dijalankan apabila partisipasi itu dianggap lebih perlu dan lebih memadai, dengan demikian berarti bahwa lebih sedikit partisipasi politik apabila para warga menganggap partisipasi tersebut kurang perlu (efektif). Partisipasi politik akan lebih sedikit apabila semakin demokratis.
62 Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.3 Bentuk-bentuk partisipasi politik publik Partisipasi Konvensional Partisipasi Non-Konvensional •
Pemberian suara
•
Diskusi politik
•
Membentuk
dan
• • • • • • • •
bergabung
dalam kelompok kepentingan •
Komunikasi dengan penjabat politik
Pengajuan petisi Demonstrasi Konfrontasi Mogok Tindak kekerasan terhadap harta benda Tindak kekerasan terhadap manusia Revolusi Gerilya
Sumber : Gabriel Almond (dalam Leo Agustino, 2007:61) Disamping itu, Michael Rush dan Philip Althof menjelaskan beberapa bentuk aktivitas politik dan melihat apakah terdapat hubungan yang hirarkis antara peristiwa-peristiwa politik. Namun hirarki tersebut paling tidak secara sederhana dapat menunjukkan taraf atau luasnya partisipasi. Semakin tinggi tingkatan partisipasi, semakin sempit ruang partisipasinya. Dengan kata lain, ruang partisipasi akan terbuka lebar pada tingkat partisipasi yang lebih rendah 26. Tabel 1.4. Hirarki Partisipasi Politik Menduduki jabatan politik atau administrasi Mencari jabatan politik atau administrasi Keanggotaan aktif suatu organisasi politik Keanggotaan pasif suatu organisasi politik Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi political) Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik Partisipasi dalam rapat umum. Demonstrasi, dan sebagainya Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik Voting (pemberian suara) Apati total Sumber : M. Khoirul Anwar dalam Perilaku Partai Politik.
26
M. Khoirul Anwar, Op. Cit. Hal. 20.
63 Universitas Sumatera Utara
Adapun definisi operasional adalah sebagai berikut: Tabel 1.4. Definisi Operasional Variabel Media Massa Variabel Rasionalitas Variabel Partisipasi (X) Pemilih (Y1) Politik (Y2) Sumber Kualitas Pemberian suara Khalayak Kompetensi Pesan Integritas Proses Konteks
14.Sistematika pada tulisan Untuk mempermudah dalam pembuatan Skripsi, perlu diperhatikan dalam penyusunnannya. Oleh karena itu Sistematika Skripsi yang baik dan benar sangat diperlukan. Secara garis besar Skripsi dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu awal, isi, dan akhir. Cukup Sederhana, berikut adalah sistematika skripsi secara umum :Bagian awal skripsi terdiri dari halaman judul, halaman pengesahan, halaman motto dan persembahan, sari, kata pengantar, daftar isi,daftar gambar, daftar tabel, dan daftar lampiran.
1. Bagian isi skripsi terdiri dari lima bab yaitu: BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini memuat latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II: DESKRIPSI UMUM OBJEK PENELITIAN
64 Universitas Sumatera Utara
Bab ini akan menguraikan tentang gambaran umum deskripsi
lokasi
penelitian seperti profil Kecamatan Medan Johor, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya pada Pilgubsu tahun 2013 di Kecamatan Medan Johor BAB III: ANALISA HASIL PENELITIAN Bab ini berisikan hasil analisa dari penelitian yang telah dilakukan, dengan menggunakan teknik kualitatif dan kuantitatif untuk melihat pera media massa dalam membentuk rasionalitas pemilih serta partisipasi pemilih di Kecamatan Medan Joho dalam Pilgubsu tahun 2013, serta besarnya pengaruh media massa terhadap rasonalitas pemilih dan partisipasi pemilih di Kecamatan Medan Johor pada Pilgubsu tahun 2013. BAB IV: PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan. Kesmpula diberikan berdasarka analisa peneliti dengan mempertinbangkan data dan fakta di lapangan serta teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis. 2. Bagian akhir skripsi: terdiri dari daftar pustaka dan lampiran.
65 Universitas Sumatera Utara