BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Di dalam berbagai literatur Ilmu Politik sering didapati penjelasan bahwa Pemilu merupakan sarana yang sangat penting bagi terselenggaranya sistem politik yang demokratis. Karena itu, tidak mengherankan banyak Negara yang ingin disebut sebagai Negara Demokratis menggunakan Pemilu sebagai mekanisme membangun legitimasi kekuasaan seperti yang pernah dipraktekkan oleh rezim Soeharto. Padahal Pemilu bisa disebut demokratis bila proses dan hasilnya berlangsung secara kompetitif, bebas, adil, terbuka dan damai yang dirasakan oleh partai politik dan rakyat pemilih. Demokrasi juga menggariskan bahwa Pemilu adalah kesempatan bagi partai oposisi dan rakyat untuk menjalankan mekanisme check and balances terhadap partai yang berkuasa (rulling party). Munafrizal Manan dalam karyanya yang berjudul Pentas Politik Indonesia Pasca Orde Baru, menceritakan tentang pelaksanaan Pemilu 1999 dan kekalahan partai politik Islam. 1 Dalam tulisan tersebut ia mengidentifikasikan kekalahan partai politik Islam dari segi sosio-politik adalah 1) Minimnya kesiapan partai mengikuti pemilu, 2) Kehadiran partai politik Islam tidak diiringi oleh momentum yang tepat, 3) Terlalu banyak berdiri partai yang berlabelkan Islam sehingga membingungkan para pemilih Islam. Selain itu terdapat juga deretan karya dari para Indonesianis yang konsen terhadap fenomena politik di Indonesia seperti karyanya Herbeth Feith dengan bukunya Pemilihan Umum 1955 di Indonesia yang diterjemahkan oleh Nugroho
1
Sutoro Eko "Krisis Demokrasi Elektoral" hal. 1. Dalam liihat Pradjarta Dirjdjosanjata, (Peny) Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004, Salatiga; Pustaka Pelajar, Juli 2006.
Universitas Sumatera Utara
Katjasungkana dan kawan-kawan. William Liddlle mengenai Pemilu Era Orde Baru, dan yang terakhir adalah persamaan Pemilu 1955 dengan Pemilu 1999 yang ditulis oleh Dwihgt Y. King. 2 Indonesia pada 17 Agustus 2007 genap berusia 62 tahun. Dalam kurun waktu 62 tahun tersebut Indonesia telah menyelenggarakan 9 (sembilan) kali pemilihan umum yakni; pemilihan umum yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999 dan 2004. Pada pemilu 1955 tidak kurang dari 28 partai poltik ikut serta sebagai kontestan, meskipun pesertanya banyak (multi partai), secara garis besar apabila dilihat secara idiologi dapat digolongkan ke dalam tiga golongan ideologi besar yaitu; Islam, Nasionalis, dan Komunis atau Sosialisme. Hasil Pemilu 1955 tidak memuaskan semua pihak baik golongan Islam maupun golongan Nasionalis tidak ada yang keluar sebagai pemenang dengan suara mayoritas lebih dari 50 prosen. Dalam pemilu 1955 tersebut ternyata partai-partai Islam terpuruk, kecuali Masyumi dan NU yang mendapatkan di atas 17 prosen suara. Sementara partaipartai Islam lainnya tidak mendapatkan suara yang lebih dari 10 persen. 3 Lili Romli dalam bukunya yang berjudul Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-partai Islam di Indonesia. Lili memfokuskan perhatiannya pada pertumbuhan partai-partai politik Islam pada masa pasca Orde Baru. Dan la juga menyinggung di dalam bukunya tersebut bahwa lahirnya partai-
2
Lihat Dwight Y. King, “Kontinuitas Basis Pendukung Partai Politik, 1955-1999 dalam Kompas 23-24 Mei 2000 3 Lili Romli, Ibid. hal. 50
Universitas Sumatera Utara
partai Islam dalam jumlah yang besar ternyata tidak diiringi oleh kemenangan partai-partai Islam tersebut 4. Berdasarkan catatan Lili Romli (2006), dinamika partai-partai politik Islam memiliki peran yang sangat signifikan dan mewarnai perjalanan bangsa Indonesia dari masa awal kemerdekaan dan demokrasi parlementer. Hal ini terlihat diawal - awal kemerdekaan, yaitu dalam rangka menyumbangkan peran dalam membangun dan menegakkan negara Republik Indonesia, Masyumi kadang-kadang bekerjasama dengan partai-partai sekuler dalam suatu kabinet koalisi. Namun ketika peralihan sistem pemerintahan dari Presidensil menjadi parlementer, dengan desakan BP KNIP yang dipimpin oleh Sutan Syahrir, Masyumi tidak masuk ke dalam pemerintahan meskipun beberapa anggotanya menjadi anggota kabinet akan tetapi keterlibatan mereka sebagai menteri atas nama pribadi. 5 Pada Kabinet Amir Syarifuddin I, Masyumi juga menjadi partai oposisi. Namun dalam Kabinet Amir II, Masyumi ikut serta dalam kabinet. Keikutsertaan ini dengan maksud mempengaruhi Perdana Menteri Amir Syarifuddin dalam perundingan dengan pihak Belanda. Ternyata usaha ini gagal dengan disepakatinya Perjanjian Renville. Akibat dari hasil perjanjian itu Masyumi kemudian menyatakan keluar dari Kabinet, Ketika memasuki Demokrasi Parlementer, berdasarkan UUDS 1950, peran partai-partai Islam mewarnai kehidupan demokrasi. Partai-partai Islam merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan dalam pembentukan kabinet. Setiap
4
Lihat Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes; Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2006, hal.4 5 Lili Romli, Ibid. hal. 43
Universitas Sumatera Utara
pembentukan kabinet, partai-partai Islam merupakan unsur penting yang harus dilibatkan apakah partai itu Masyumi. NU, PSII maupun Perti. Masyumi sendiri pernah memimpin kabinet sebanyak tiga kali; yaitu Kabinet Natsir (6 Agustus 1950 - 7 April 1951), kabinet Soekiman (27 april 1951 – 5 April 1952) dan Kabinet Burhanuddin Harahap (17 Agustus 1955 – 24 Maret 1956) 6 Fenomena perolehan suara partai-partai Islam yang tidak keluar sebagai pemenang tesebut dapat dilihat bahwa tidak semua umat Islam, yang mayoritas itu, memilih partai-partai Islam. Mereka juga, memilih partai-partai yang sekuler dan bahkan juga partai-partai yang atheis, seperti PKI. Dengan tidak semua memilih partai Islam, hal itu karena memang umat Islam Indonesia tidak lah umat Islam yang homogen dalam pemahaman terhadap Islam. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa umat Islam Indonesia juga terdiri dari Islam santri dan abangan. Mereka yang tergolong Islam abangan tentu memilih partai-partai yang sekuler, sedangkan mereka yang termasuk dalam kelompok santri memilih partai-partai Islam. 7 Kenyataan terpuruknya partai-partai Islam dalam mendulang suara ternyata di dalam perjalanan sejarah bangsa ini tidak mengalami perbaikan yang menggembirakan pada setiap pertarungan memperebutkan suara rakyat. Ini semakin nyata dengan marginalisasi partai politik Islam pada masa Demokrasi Terpimpin dan Orde baru. Realitas ini dapat kita lihat pada Demokrasi Terpimpin menurut Syafii Maarif, ada dua kelompok partai Islam dalam menyikapi
6
Lihat Herbeth Feith. The Decline of Constitutional Democracy In Indonesia, Ithaca and NewYork: Cornel University; Press. 1986. dalam Lili Romli, Ibid, hal 44. 7 Lihat Daniel S Lev. “Partai-Partai Politik Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin”, dalam Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988. hal15.
Universitas Sumatera Utara
Demokrasi Terpimpin.
Kelompok pertama. Masyumi yang
memandang
keikutsertaan dalam sistem politik otoriter sebagai penyimpangan dari ajaran Islam. Kelompok kedua, yaitu Liga Muslim, anggotanya terdiri dari NU, PSII, dan Perti, berpandangan bahwa turut serta dalam sistem Demokrasi Terpimpin adalah sikap realistik dan pragmatis. 8 Bagi kelompok yang turut serta dalam Demokrasi Terpimpin, jangan dilihat dari kaca mata hitam putih tapi dipandang dari sudut strategi untuk menyelamatkan Islam. Sedangkan bagi kelompok yang menolak Demokrasi Terpimpin berpandangan bahwa Demokrasi Terpimpin, karena menerapkan praktik-praktik otoriterian dalam pemerintahannya, harus ditolak. Hal itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Menurut Deliar Noer, ternyata partai-partai Islam yang bergabung dalam Demokrasi Terpimpin bukan menambah keuntungan namun malah merugi. Ini dapat dilihat dari perolehan kursi di DPR-GR. Jumlah kursi Wakil partai-partai Islam bukannya bertambah malah menurun, yaitu dari 115 kursi (hasil pemilu 1955) menjadi 43 kursi. 9 Bagi Slamet Effendy Yusuf keberadaan NU dalam Demokrasi Terpimpin dalam upaya menandingi PKI dalam setiap aksi-aksi atau program-program yang dilaksanakan oleh PKI. Hal ini dapat dilihat dimana PKI setiap mendirikan ormas-ormas underbownya selalu ditandingi oleh NU. 10 Pada Era Orde Baru posisi partai Islam secara umum dan kehidupan berdemokrasi semakin berada pada posisi yang semakin terpuruk. Sudah menjadi
8
Lihat Syafii Maarif. Islam dan Politik; Teori Belah Bumbu Masa Demokrasi Terpimpin, Jakarta: Gema Insani Pers. 1996. hal. 53. 9 Lihat Deliar Noer, "Islam dan Politik: Mayoritas atau Minoritas? ", dalam Prisma No. 5 tahun 1998, hal. 14. 10 Lihat Slamet Effendy Yusuf, Dinamika Kaum Santri, Jakarta: Rajawali Pers, 1993, hal. 48.
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan umum pada saat itu jika pelaksanaan Pemilu pada Era Orde Baru hanyalah sebuah rekayasa politik belaka sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan yang telah ada. Seperti yang dikemukakan oleh William Liddle, bahwa pemilu-pemilu Orde Baru bukanlah alat yang memadai untk mengukur suara rakyat. Hal itu karena pemilu-pemilu pada Orde Baru dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan birokrasi, Tangan-tangan itu tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemilu, tetapi juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi partai politik milik pemerintah, yaitu Golkar. Dalam setiap pemilu kompetisi ditekan seminimal mungkin dan kebebasan serta keberagaman pandangan tidak diperbolehkan atau dilarang. 11 Di Era Orde Baru dilakukan penyederhanaan partai politik. Partai-partai politik Islam berfusi dan membentuk partai baru yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), persaingan antara Golkar sebagai partai pemerintah dengan PPP sebagai representasi partai Islam berjalan dengan sengit Dalam konteks Pemilu 1977 Liddle melukiskan suasana Pemilu 1977 sebagai pertarungan dua kekuatan, The Government Versus Islam. Dalam Pemilu ini Golkar berhadapan langsung dengan PPP. Golkar merupakan personifikasi dari sekulerisasi dengan program pembangunan ekonomi, sementara PPP personifikasi sebagai kekuatan Islam dengan menggunakan ka'bah sebagai lambangnya. Tumbangnya rezim Soeharto menandakan lahirnya Era Reformasi, Eforia kebebasan menjadi ciri yang tidak dapat di bendung pada era ini. Hampir semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami perubahan yang cukup signifikan. Pada bidang politik menandai dimulainya kehidupan berpolitik yang
11
Lihat R. William Liddle, Pemilu-pemilu Orde Baru, Jakarta: LP3ES, 1992, hal. 46.
Universitas Sumatera Utara
bebas adalah dengan lahirnya partai-partai politik bagaikan jamur di musim hujan. Dan ini juga menandai bangkitnya kembali partai-partai Islam. Seperti yang telah penulis ceritakan singkat mengenai pemilu yang telah diselenggarakan oleh Indonesia. Pemilu 1955 dan Pemilu 1999 merupakan Pemilu yang mengundang perhatian banyak kalangan dibandingkan dengan PemiluPemilu lainnya. Ini disebabkan penilaian oleh banyak pihak bahwa kedua Pemilu tersebut adalah Pemilu yang memenuhi hampir semua persyaratan Pemilu yang demokratis. Dan karenanya berbeda sekali dengan Pemilu lainnya yang diselenggarakan oleh Orde baru, yang banyak terjadi kecurangan, manipulasi, diskriminasi dan intimidasi. 12
Selain itu Pemilu 1999 adalah Pemilu kali
pertamanya yang diselenggarakan pada Era Reformasi. Kiranya Indonesia pada tahun 2004 lalu, masih dapat dikategorikan ke dalam fase transisi. Salah satu hal yang menonjol pada tahap ini ialah apa yang disebut sebagai Eforia politik. Eforia ini juga masih terasa dan dapat dilihat dengan banyaknya partai politik peserta Pemilu yang akan bertanding untuk memperebutkan "kursi" kekuasaan di dalam pemerintahan. Dalam konteks Islam politik, Eforia politik itu membawa akibat munculnya kembali orientasi Islam struktural dan Islam politik melalui bentuk berdirinya partai-partai yang berasas, bersimbol, dan berbasis dukungan Islam. Ini merupakan salah satu fenomena politik yang menarik pasca Soeharto. Fenomena 12
Munafrizal Manan menambahkan bahwa hampir semua ahli politik sepakat pemilupemilu pada masa Orde Baru tidak berlangsung dengan bebas, jujur, adil, dan demokratis. Sebaliknya, yang tampak justru banyak upaya manipulasi, kecurangan, diskriminasi, dan intimidasi. Telah banyakstudi yang dilakukan untuk menunjukkan fakta yang terjadi tersebut. Diantaranya adalah studi yang dilakukan oleh Alexander Irwan dan Exlriana, Pemilu Pelanggaran Asas Luber: Hegemoni Tak Sampai (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995) studi ini berusaha membongkar praktik-praktik pelanggaran dan kecurangan yang terjadi dalam pemilu 1999.
Universitas Sumatera Utara
itu merupakan refleksi kemajemukan umat Islam dan keberagaman kepentingan kelompok Islam. Lahirnya partai-partai tersebut adalah buah dari Eforia politik yang sulit dielakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang selama ini berlangsung telah memberikan kebebasan bagi warga Negara untuk berserikat atau berorganisasi.
NO
Tabel 1.1 Partai Politik Islam Peserta Pemilu 1999 NAMA PARTAI SINGKATAN
1.
Partai Persatuan Pembangunan
PPP
2.
Partai Bulan Bintang
PBB
3.
Partai Keadilan
PKS
4.
Partai Nahdatul Ulama
PNU
5.
PP
PP
6.
PPI Masyumi
PPI Masyumi
7.
Partai Syarikat Islam Indonesia
PSII
8.
Partai Kebangkitan Umat
PKSU
9.
Partai Kebangkitan Muslim Indonesia
Partai KAMI
10.
Partai Umat Islam
PUI
11.
Partai Abdul Yatama
PAY
12.
Partai Indonesia Baru
PIB
13.
Partai SUM
SUM
14.
PSII 1905
PSII 1905
15.
Partai Masyumi Baru
PMB
16.
Partai politik Islam Demokrat
PID
Universitas Sumatera Utara
17.
Partai Umat Muslimin Indonesia
PUM1
Sumber: Tabloid Portibi Trobos, Edisi Perdana, Februari 2004 Jika dibandingkan dengan partai Islam yang pernah ada tahun 1950-an, jumlah partai ber-asas Islam yang muncul saat ini jauh lebih banyak. Pada pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai pemilu. 15 diantaranya adalah partai politik yang secara sah menjadikan Islam sebagai asasnya (lihat tabel 1.1).
Tabel 1.2 Partai Politik Islam Peserta Pemilu 2004 No NAMA PARTAI SINGKATAN 1. Partai Persatuan Pembangunan PPP 2. Partai Keadilan Sejahtera PKS 3. Partai Bintang Reformasi PBR 4. Partai Bulan Bintang PBB 5. Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia PPNUI Sumber : Tabloid Portibi Trobos, Perdana, Februari 2004
Dan pada Pemilu 2004 yang lalu diikuti oleh 24 partai politik peserta pemilu, 5 diantaranya adalah partai politik Islam (lihat tabel 1.2). Hal ini sangat bertolak belakang dengan fakta pada masa sebelum era reformasi yang menempatkan kekuatan politik Islam berada pada posisi yang marjinal atau outsider. Pada masa itu, oleh pemerintah partai Islam dipandang sebagai kategori politik yang menjadi pesaing utama terhadap idiologi Negara. Karenanya, pemerintah berupaya melemahkan dan menjinakkan partai-partai Islam. 13 Meskipun demikian, yang menarik adalah ternyata Eforia Islam politik yang mengejawantah melalui banyaknya muncul partai Islam tersebut tidak dengan
13
Lihat Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Bant, Jakarta; Gema Insani Pers, 1996. hal. 15
Universitas Sumatera Utara
serta merta membuahkan kemenangan partai politik Islam. Secara Nasional tampak pada hasil Pemilu 1999 yang menempatkan sejumlah partai politik Islam mengalami keterpurukan dalam meraup perolehan suara. Partai Persatuan Pembangunan pada Pemilu 1999 memperoleh 10,72% atau 11.329.905 suara di susul dengan Partai Bulan Bintang yang memperoleh 1,94% atau 2.049.708 suara, kemudian Partai Keadilan sekarang bernama PKS memperoleh 1,36% atau 1.436.565 suara dan Partai Nahdatul Ulama memperoleh 679.179 suara. Perolehan suara partai-partai politik di atas ternyata tidak dapat dipertahankan bahkan di tingkatkan pada Pemilu 2004 ini dapat kita lihat Partai Persatuan Pembangunan memperoleh 9.248.764, Partai Keadilan Sejahtera mengalami peningkatan yang signifikan yakni mendapatkan 8.325.020 suara, dan Partai Nahdatul Ummah mendapat 895.610 suara. Ini juga menunjukkan bahwa meskipun di Indonesia secara statistik mayoritas penduduknya adaiah beragama Islam, namun dalam hal pilihan politik umat Islam tidak secara otomatis menjadi pendukung partai-partai Islam. Artinya label Islam tetap belum menjadi daya tarik dalam kancah politik di Indonesia. 14 Ternyata argumentasi di atas tidak sepenuhnya benar jika kita lihat untuk perolehan partai politik Islam pada tingkatan Kabupaten/Kota. Dibeberapa kota di Indonesia seperti; Jakarta, Medan, dan Yogyakarta. Partai Keadilan Sejahtera atau PKS menjadi pemenang pada Pemilu legislatif 2004. seperti yang terjadi di Medan. Fenomena atau fakta ini menjadi sangat menarik bagi penulis, karena ditengah keterpurukan partai-partai Islam dalam menggalang suara secara 14
Manafrizal Manan, Op. Cit hal. 135-136.
Universitas Sumatera Utara
Nasional, namun terdapat partai Islam yakni PKS yang mampu memenangkan pertarungan untuk kursi legislatif pada level Kabupaten/Kota. Alasan tadi lah yang membuat penulis mengangkat fenomena ini menjadi judul penelitian yang akan penulis laksanakan. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah salah satu partai Islam yang lahir sebagai buah dari reformasi. Awalnya partai ini bernama Partai Keadilan (PKS) karena tidak dapat melampaui batas minimal perolehan 2 persen suara pada pemilihan umum 1999 (electoral threshold) maka partai ini berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Sebelum menjadi sebuah partai, aktivis-aktivis partai ini masih tergabung dalam suatu wadah seperti gerakan. Kegiatan yang sering mereka laksanakan sebelum membentuk partai bahkan sampai dengan sekarang ini adalah Pesantren Kilat atau biasa disebut dalam Bahasa Arab Dauroh. Kemudian setelah adanya partai maka perekrutan anggota dilaksanakan secara resmi melalui Training Orientasi Partai (TOP). PKS juga sering dikatakan sebagai partai dakwah karena aktivitas kadernya yang memiliki kontiunitas dalam menggelar pengajianpengajian dari rumah ke rumah dari mesjid ke mesjid. Partai yang dipimpin oleh Hidayat Nur Wahid sebagai Presiden Partai Keadilan di awal berdirinya. Partai ini dapat dikatakan sukses dalam merebut hati konstituennya di Indonesia, meskipun partai ini gagal melewati batas electoral threshold namun partai ini dapat bangkit kembali dan menunjukkan jati diri partai tersebut layak sebagai salah satu organisasi yang turut memberikan pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dibuktikannya pada Pemilu 2004
Universitas Sumatera Utara
secara Nasional PKS berhasil memperoleh 7,34 % suara (8.325.020) dan berhasil memperoleh 45 kursi di DPR RI (8.18%) dari total kursi yang diperebutkan di DPR RI.15 Di tingkat daerah baik tingkat I atau tingkat II di beberapa daerah di Indonesia
PKS
berhasil
keluar
sebagai
pemenang
dalam
pertarungan
memperebutkan kursi di DPR. Salah satunya adalah di Kota Medan. Pada Pemilu legislatif 2004 di Kota Medan PKS berhasil menjadi “pemenang” dalam menempatkan kader-kadernya di kursi “Dewan Perwakilan Rakyat Kota Medan. Dengan memperoleh 160.887 suara, kemudian disusul oleh Partai Golongan Karya pada peringkat kedua dengan perolehan 121.001 suara” Disusul dengan Partai Demokrat yang memperoleh 111.634 suara, kemudian diikuti oleh PDIPerjuangan dengan perolehan suara 105.893 suara. Dan selanjutnya ditempat terakhir disusul oleh Partai Amanat Nasional dengan perolehan 100.812 suara. Di propinsi Sumatera utara PKS hanya mampu memenangkan pertarungan hanya di Kota Medan saja, tidak untuk kabupaten/kota lainnya. Seperti di Binjai dan Deli Serdang PKS dikalahkan oleh partai lama yakni Partai Golongan Karya. Bahkan PKS tidak dapat memenangkan pertarungan di kabupaten/kota yang notabene penduduknya mayoritas beragama Islam seperti di Tapanuli Selatan; PKS hanya mampu memperoleh 17.431 suara dikalahkan oleh partai Golongan Karya dengan perolehan 82.627 suara. Jika kita coba bandingkan perolehan suara PKS dengan partai Islam lainnya secara nasional, PKS berada di urutan tiga besar setelah PPP dan PBB pada pemilu 1999. PPP memperoleh 11.329.905 suara, disusul dengan PBB 15
Dapat dilihat dan diolah dari Hasil Pemilu 2004 Rapat Komisi Pemilihan Umum 5 Mei 2004
Universitas Sumatera Utara
dengan perolehan 2.049.708 suara, kemudian PKS yang pada waktu itu PK dengan memperoleh 1.436.708 suara. PKS semakin membuktikan dirinya sebagai partai yang diterima oleh konstituen di Indonesia yakni pada pemilu 2004, untuk partai politik Islam PKS memperoleh 8.325.020 suara dan hanya berada di bawah PPP yang berhasil memperoleh 9.248.764 suara.
2. Perumusan Masalah Adapun yang menjadi perumusan masalah yang penulis kemukakan di dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana desksripsi relasi antara Pemilihan Umum dan Sistem Kepartaian dalam Sistem Politik Indonesia
2.
Bagaimana peran Partai Politik Islam dalam Sistem Politik Indonesia
3.
Bagaimana eksplorasi peranan PKS dalam pemilihan umum legislatif DPRD Kota Medan 2004
3. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui deskripsi singkat tentang pemilihan umum dan sistem kepartaian dalam Sistem Politik Indonesia.
2.
Untuk mengetahui peran PKS pada pemilihan umum legislatif DPRD Kota Medan 2004
3.
Eksplorasi terhadap peran partai keadilan sejahtera dalam pemilihan umum legislatif kota medan 2004
Universitas Sumatera Utara
4. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan bermanfaat bagi: 1. Bagi Partai-partai Islam secara umum dapat melihat seberapa besar konstituen yang memilih partai-partai yang berasaskan Islam 2. Khusus bagi PKS dapat membuat strategi untuk merebut konstituen yang beragama Islam agar tidak memilih partai Islam lainnya. 3. Bagi akademisi dapat menjadi referensi tambahan untuk tema partai politik dan Pemilu 4. Bagi penulis sebagai sarana mengasah kemampuan dalam membaca, menulis, berpikir sekaligus menganalisa tentang fenomena Pemilu dan partai politik Islam khususnya PKS di Kota Medan.
5. Dasar - Dasar Teoritis 5.1. Perspektif Teori Pemilihan Umum Bagian ini perlu untuk penulis sampaikan agar penelitian yang akan dilakukan nanti memiliki landasan teori atau landasan berfikir dalam "membedah" atau memecahkan masalah yang ada. Teori adalah serangkaian konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. 16 Sedangkan menurut F.N Karliger teori adalah sebuah konsep atau konstruksi yang berhubungan satu dengan yang lain, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan yang sistematis dari fenomena. 17 16
Lihat Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989, hal. 37 17 Lihat Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rieneka Cipta, 1997, hal. 20
Universitas Sumatera Utara
Di dalam ilmu politik kita dapat mengenal dua macam pemahaman tentang demokrasi: Pertama, secara normatif. Pemahaman secara normatif bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh
sebuah
negara,
seperti kita
mengenali ungkapan
"Pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat" ungkapan normatif tersebut biasanya diterjemahkan dalam konstitusi pada masing-masing negara misalnya di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, Demokrasi dalam artian empirik, yakni demokrasi dalam kehidupan politik praktis, misalnya apakah pemerintah memberikan ruang gerak para warga untuk berpartisipasi dalam politik. 18 Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian makna demokrasi seperti yang dikembangkan di atas, memberikan suatu indikasi kepada kita bahwa dalam pandangan yang pertama pengertian itu lebih cenderung kepada penggunaan pendekatan dengan titik tolaknya berasal dari satu asumsi dasar yakni "Bagaimana keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan tersebut harus di buat". Sedangkan dalam pemikiran yang kedua, menunjukkan suatu bukti bahwa demokrasi itu senantiasa berhadapan dengan masalah yang substansial (apa yang seharusnya dibuat oleh pemerintah). 19 Dengan demikian jika kita kaitkan bagaimana relasi antara pemilihan umum dan demokrasi terletak pada esensi dari demokrasi secara empirik yakni; memberikan ruang gerak kepada rakyat untuk berpartisipasi secara aktif di dalam politik. Untuk mewujudkan partisipasi itu maka pemilu merupakan salah satu
18
Lihat P. Anthonius Sitepu, Sistem Politik Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006, hal.123 19 Ibid, hal. 124.
Universitas Sumatera Utara
instrumen demokrasi yang hadir sebagai wadah untuk mewujudkan hal itu. Selain itu Guillermo A. O' Donnell dan Phillipe C. Schmitter memandang Pemilu juga sebagai alat untuk membangunkan partai-partai agar bereaksi, karena "Partai adalah lembaga modern untuk merestrukturisasi dan mengumpulkan pilihanpilihan individual." 20 Pemilihan umum sering disebut sebagai "pesta demokrasi" dalam hal ini semua rakyat harus ikut memilih tanpa ada perbedaan. 21 Pemilu merupakan sarana demokrasi tanpa adanya Pemilu yang demokratis maka tidak terdapat demokrasi pada sebuah Negara. Pemilu dapat dinilai demokratis kalau dalam pelaksanaannya terpenuhi beberapa syarat yakni; 1) Pemilu dalam pelaksanaannya harus menjamin kerahasiaan dalam pemberian suara (secret ballot) dan kejujuran terutama dalam penghitungan suara, 2) Pemilu harus diikuti oleh beberapa partai politik yang saling berkompetisi secara fair dalam suatu sistem kepartaian yang telah dianut dan kompetitif. 3) Hasil Pemilu dipakai untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin Negara sebagaimana yang dianut oleh Negara pemilihan langsung (direct democracy) dan menentukan jumlah keanggotaan dan komposisi lembaga perwakilan sebagaimana Negara yang menganut prinsip demokrasi tidak langsung (indirect democracy) atau demokrasi perwakilan (representative democracy). Menurut UU No. 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum pasal 1 ayat 1 menyebutkan: Pemilu adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat dalam Negara
20
Guillermo A. O' Donnel dan Phillipe C. Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986, hal. 57-58. Dalam "Partai Politik dan Konsolidasi Demokrasi diIndonesia”, Paige Johnsons.Pada Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta: Penebar Swadaya, 19997, hal. 4 21 Lihat Parulian Donald, Menggugat PEMILU, Jakarta: Penebar Swadaya, 19997, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pada Pemilu legislatif 2004 dilaksanakan pemilihan untuk memilih orangorang yang dicalonkan oleh partai untuk duduk dalam kursi DPR-RI, DPRD-TK I, DPRD TK II, dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Pemilu ini menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Pemilih tidak lagi seperti memilih "kucing di dalam karung" seperti layaknya sistem Pemilu yang diterapkan pada pemerintahan Orde Baru. Pada Pemilu kali ini, pemilih langsung mencoblos nama calon Wakil rakyat yang dikehendakinya yang berasal dari partai yang ia percayai. Partai politik yang berhasil lolos untuk "bertarung" dalam Pemilu legislatif 2004 berjumlah 24 partai politik. Sebelumnya terdapat lebih dari 225 partai politik yang akan ikut berkompetisi pada putaran Pemilu 2004. Namun Departemen Kehakiman dan HAM serta KPU hanya meloloskan 24 partai politik. Ke-24 partai politik inilah yang berhak dan telah memenuhi segala ketentuan/persyaratan untuk menjadi peserta Pemilu.
5.2. Sistem Kepartaian Bentuk kepartaian dalam suatu negara dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah partai yang ada di negara tersebut. Hal ini menyangkut telah sistem kepartaian berdasarkan atas tipologis numerik (Numerical typology) yang secara statis dan tradisional membagi sistem kepartaian menjadi sebagai berikut: 22
22
P. Antonius Sitepu, Op. Cit. hal. 92
Universitas Sumatera Utara
1. Sistem Partai Tunggal (Single Party System) Partai tunggal merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang kedudukannya dominan diantara beberapa partai lainnya. Pola partai tunggal terdapat di beberapa Negara seperti Afrika, Eropa Timur dan RRC. Suasana kepartaian non kompetitif karena partai-partai yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing secara merdeka melawan partai itu. Negara yang paling berhasil untuk meniadakan partai-partai lain ialah Uni Soviet. Oposisi dianggap sebagai penghianatan. Partai tunggal serta organisasi yang bernaung di bawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan penggerak masyarakat dan menekankan perpaduan dari kepentingan partai dan kepentingan rakyat secara menyeluruh. 23
2. Sistem Partai Dwipartai (Two Party Sistym) Konsep Dwi partai merupakan dua partai, atau adanya beberapa partai tetapi dengan peran dominan dari dua partai dalam suatu negara. Hanya beberapa Negara yang memiliki sistem Dwipartai, antara lain Inggris dan Amerika Serikat. Sistem, Dwi Partai umumnya diperkuat dengan digunakannya sistem pemilihan single-member constituency (sistem distrik) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Sistem pemilihan ini mempunyai
23
kecenderungan
untuk
menghambat
pertumbuhan
dan
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia: Jakarta, 2000, hal. 167-168
Universitas Sumatera Utara
perkembangan partai kecil, sehingga dengan demikian memperkokoh sistem dwi partai dimana saja. 24
3. Sistem Multi Partai (Multi Party System) Pada masyarakat majemuk umumnya memiliki sistem multi partai. Dimana dalam suatu negara terdapat banyak perbedaan, seperti perbedaan agama, suku, dan ras. Dengan kondisi seperti ini maka golongan-golongan dalam masyarakat akan lebih cederung untuk menyalurkan loyalitas mereka pada organisasi yang sesuai dengan ikatan primordialnya dari pada bergabung dengan kelompok lainnya. Maka dari itu dianggap bahwa pola multi partai lebih mampu menyalurkan keanekaragaman budaya dan politik dalam suatu masyarakat. Sistem seperti ini dapat ditemukan diantaranya pada Belanda, Prancis, dan Indonesia. Dalam kaitannya dengan sistem pemilihan umum pola multi partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang (proportional representational) yang memberikan kesempatan luas kepada partai-partai politik untuk tumbuh berkembang berdasarkan golongan-golongan. Artinya, bahwa kepada partai-partai kecil meraih keutungan pada saat adanya kelebihan suara oleh partai besar dari satu daerah pemilihan yang dapat dialihkan ke daerah pemilihan lainnya guna menggenapi perolehan suara yang diperlukan untuk memenangi satu kursi di parlemen. Maka dengan perspektif seperti itu tampak jelas adanya korelasi antara sistem kepartaian dan sistem pemilihan umum. 25
24 25
Ibid., P. Antonius Sitepu, Op cit., hal. 19-20
Universitas Sumatera Utara
5.3. Partai Politik Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai serta citacita yang sama, dan yang mempunyai tujuan kekuasaan tersebut, melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. 26 Dapat juga dikatakan bahwa partai sebagai kekuatan politik adalah suatu gejala baru bagi semua negara di dunia ini, dalam artian bahwa umurnya tidak setua umur masyarakat manusia. Sejak tahun 1850, tidak ada satu negarapun di dunia ini kecuali Amerika Serikat mengenal partai dalam pengertian modern. Namun menurut catatan banyak ahli bahwa pada tahun 1950 - an, hampir semua nation-states di dunia sudah memiliki partai politik, dan bagi kebanyakan negara-negara jajahan partai politik menarik perhatian, karena partai politik bisa menjadi kekuatan tandingan untuk melawan penjajah. Bagi Indonesia sendiri kehidupan partai politik baru dapat dilacak kembali secara samara-samar sampai tahun 1908 dikatakan bahwa organisasi-organisasi yang memberi kesan adanya partai politik, dalam kenyataannya bukan partai dalam pengertian modern organisasi sebagai tujuannya merebut kedudukan dalam negara di dalam persaingan melalui pemilihan umum. Namun dapatlah dikatakan bahwa partai dalam artian modern, sebagai suatu organisasi massa yang berusaha untuk mempengaruhi proses politik, merombak kebijaksanaan dan mendidik para pemimpin dan mengejar penambahan para anggota, baru lahir di Indonesia ketika didirikan Sarekat Islam pada tanggal 10 September 1912 oleh Oemar Said Tjokroaminoto. Sejak itulah partai dianggap menjadi wahana yang bisa digunakan untuk mencapai tujuantujuan Nasionalis. 27
Joseph Lapalombara dan Myron Weiner dalam bukunya Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, disebutkan bahwa; partai politik merupakan a
26
Lihat Miriam Budiardjo, Partisipasi Politik dan Partai Politik, Jakarta: Gramedia, 1982, hal. 99. 27 P. Anthonius Sitepu, Op. Cit., hal. 90.
Universitas Sumatera Utara
creature of modern and modernizing political system. 28
Dalam awal
perkembangan partai politik dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Merupakan salah satu indikator gejala modernisasi masyarakat, dimana telah terjadi ledakan partisipasi masyarakat dan pemindahan hak-hak politik kepada masyarakat semakin luas. 2) teori situasi historis, dimana partai politik berkaitan dengan krisis yang terjadi di dalam suatu masyarakat. Menurut Maurice Duverger, proses lahirnya partai politik dapat ditelusuri dalam dua karakter: a) Partai politik yang berdiri atas dorongan individu perindividu yang memiliki kesepahaman, kesamaan pandangan dan satu idiologi, maka mereka sepakat mendirikan partai politik tersebut. b) Partai politik yang merupakan penjelmaan dari berbagai unsur organisasi yang karena merasa perlu untuk membangun kekuatan politik bersama (beraliansi) untuk tujuan suatu perjuangan politik maka organisasi-organisasi yang sepaham itu sepakat mendirikan partai politik. 29
5.3.1. Fungsi Partai Politik Dalam negara demokratis, partai politik menyelenggarakan fungsi: •
30
Sarana Komunikasi Politik
Dalam fungsi ini partai politik berfungsi untuk menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpang siuran pendapat dalam masyarakat berkurang.
28
Lihat Khairudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 64 29 Lihat Suroto, Partai-partai Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Citra Mandala Pratama, 2003, hal.32. 30 Miriam Budiardjo, Op cit.,hal. 163
Universitas Sumatera Utara
•
Sarana Sosialisasi Politik
Dalam hubungan ini partai politik berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi politik. Dalam usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilu partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin. Untuk itu partai berusaha menciptakan image bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Disamping itu partai politik juga menanamkan solidaritas partai dan mendidik anggotanya menjadi warga negara yang sadar sebagai warga negara. •
Sarana Rekrutmen Politik.
Berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. •
Sarana Pengatur Konflik
Dalam suasana demokrasi persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha untuk mengatasi. Di Indonesia terminologi Partai Politik di dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 2002 tentang partai Politik, pada Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepetingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. 31 Di atas telah dijelaskan sekelumit perjalanan cikal-bakal partai politik Indonesia pada masa pra kemerdekaan. Adapun yang menjadi tonggak lahir dan
31
Lihat Diany Lazuar Nasri, Undang-undang Nomor 31 tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003, Jakarta: Durat Bahagia, 2003, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
berkembangnya partai-partai politik di Indonesia pada masa pasca kemerdekaan ditandai dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 menyebutkan bahwa atas dasar usul Badan Pekerja (BP) Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) kepada pemerintah, agar memberikan kesempatan seluasluasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik. Dalam Diktum maklumat pemerintah 3 Nopember 1945 itu yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Moh. Hatta berbunyi sebagai berikut:
Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang benar segala aliran/paham yang ada dalam masyarakat
Pemerintah berharap supaya partai politik itu telah tersusun sebelumnya diselenggarakan pemilihan umum bagi anggota Badan Perwakilan Rakyat pada Januari 1946. 32 Menyusul Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 tersebut, tumbuh dan
berkembanglah setiap kelompok mendirikan partai politik sampai Januari 1946 berjumlah 10 partai politik. 33 Partai politik memiliki tujuan yang telah diatur di dalam UU No.31 tahun 2002 tentang Partai Politik. Pada pasal 5 dijelaskan bahwa tujuan partai politik ada 2 yakni;
32
Lihat "Transformasi Kekitatan-kekuatan Politik dalam Konfigurasi Politik Sistem Politik Indonesia", P. Anthonius Sitepu. Dalam Politeia: JurnalIlmu Politik, Medan: Jurusan Ilmu Politik Fisip - USU dan Laboratorium Jurusan Ilmu Politik FISIP - USU, 2005, hal. 26 33 Ibid
Universitas Sumatera Utara
1. Tujuan Umum Partai Politik untuk: a. Mewujudkan cita-cita Nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 b. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia 2. Tujuan khusus partai politik adalah memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 34 Sigmund Neuman bahwa di dalam negara demokratis, partai politik mengatur keinginan dan aspirasi berbagai golongan dalam masyarakat. Sedangkan dalam negara komunis partai politik bertugas untuk mengendalikan semua aspek kehidupan secara monolitik.
5.4. Partai Politik Islam Mengenai apa dan bagaimana kita melihat partai politik Islam, Eep Saifulloh Fatah membagi partai-partai Islam dalam 4 kelompok; Pertama, partai politik yang menjadikan komunitas muslim sebagai basis atau target massanya, Kedua, partai politik yang memakai label Islam sekalipun tidak berasaskan Islam. Ketiga, partai politik yang menjadikan Islam sebagai asasnya. Keempat, partai politik yang agenda dan platformnya secara tegas melayani kepentingan dan ideologi kalangan Islam. 35
34
Dianay, Op. Cit. hal. 4. Lihat Eep Saefullah Fatah, "Menuju Format Barn Politik Islam " Republika, 2 dan 4 Januari 1999. dalam Lili Romli, Op. Cit hal. 13. 35
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan klasifikasi yang dikemukakan oleh Eep Saifullah Fatah di atas maka agak sukar untuk mengidentifikasi dengan jelas tentang partai politik Islam. Namun demikian, paling tidak, berdasarkan klasifikasi tersebut kita dapat mengidentifikasi dimana secara garis besar partai-partai politik Islam yang berdiri pada Era Reformasi ini adalah: Pertama, partai politik yang menjadikan Islam sebagai asas dan program formalnya dan kedua, partai politik yang lebih mementingkan nilai-nilai Islam dari pada simbol-simbol Islam. Dengan kata lain partai model yang pertama lebih menekankan pendekatan formalistik sedangkan yang kedua lebih menekankan pendekatan substansialistik. 36 Dalam persepektif itu kiranya kita telah memiliki frame atau bingkai untuk dapat melihat dan mengklasifikasikan partai-partai politik Islam yang ada dan akan lahir nantinya. Hal ini sangat berguna untuk dimengerti agar tidak terjadi lagi praktek-praktek mengatasnamakan umat Islam dalam setiap jargon-jargon yang "dijual" oleh partai dalam rangka meraih konstituennya. Selain apa yang dituliskan oleh Eep Saifullah tadi yang mengidentifikasi atau mengklasifikasikan partai-partai Islam yang ada. Terdapat juga identifikasi yang disampaikan oleh Faisal Ismail. Sebelum membahas lebih jauh tentang apa yang dimaksud partai Islam oleh Faisal Ismail, penulis juga merasa penting untuk menyampaikan apa yang telah dituliskan oleh Eep Saifullah sangat bermanfaat bagi kita untuk memahami perilaku partai-partai Islam. Menurut Faisal Ismail partai politik Islam merupakan cerminan pada identitas, label dan simbol Islam, sekaligus tercermin pula pada visi dan misi perjuangan yang terekam daiam berbagai agenda dan program kerja yang sangat
36
Lili Romli, Ibid, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
relevan dengan nilai-nilai Islam. 37 Dalam penelitian ini, partai politik Islam yang dimaksud merujuk dari apa yang dikemukakan oleh Faisal Ismail di atas lebih spesifik lagi partai yang berasaskan Islam. Partai politik Islam yang menjadi peserta Pemilu legislatif 2004 sebanyak lima partai politik Islam sesuai dengan apa yang menjadi kategori politik Islam yang dimaksud di atas, yakni; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dipimpin oleh Hamzah Haz, Partai Bulan Bintang (PBB) yang diketuai oleh Yusril Ihza Mahendra, Partai Bintang Reformasi oleh KH. Zaenuddin MZ, Partai Keadilan Sejatera (PKS) sebagai Presiden Hidayat Nur Wahid dan yang terakhir Partai Persatuan Nahdatul Ummah (PPNU) yang di imami oleh Syukrom Ma'mun. 38 Pada penelitian Ini penulis hanya menyoroti Partai Keadilan Sejahtera sebagai salah satu partai politik Islam yang berhasil menjadi pemenang Pemilu legislatif 2004 di Kota Medan Sumatera Utara.
6. Metodologi Penelitian Ketepatan metodologi yang digunakan dalam melakukan penelitian mutlak sangat diperlukan. Menurut Antonius Birowo, metodologi mengkaji tentang proses penelitian yaitu bagaimana peneliti berusaha menjelaskan apa yang diyakini dapat diketahui dari masalah penelitian yang akan dilakukan. 39 Dalam hal penelitian ini yang menjadi metodologi yang penulis gunakan adalah penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif analitif.
37
Lihat Faisal Ismail, Pijar-pijar Islam Pergumulan Kultural dan Struktur, Yogyakarta: LESFI,2002, hal. 133 38 Lihat Mar'at. Sikap Manusia, Perubahan Serta Pengukurannya, Jakarta: Gramedia Widya Sarana, 1992, hal. 131 39 Lihat Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi,Yogyakarta: Gitanyali, 2004, hal. 71-72
Universitas Sumatera Utara
6.1. Jenis Penelitian Penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif analitif untuk melihat dan menganalisa bagaimana Pemilu Legislatif 2004 dan Kemenangan Partai Islam dalam hal ini adalah Partai Keadilan Sejahtera. Penelitian deskriptif yang penulis gunakan dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang ada. Fakta atau data yang ada dikumpulkan, diklasifikasikan dan kemudian akan dianalisa. 40 Pada penelitian deskriptif analitif, penulis memusatkan perhatian pada penemuan fakta sebagaimana keadaan sebenarnya yang ditemukan. Penelitian deskriptif analitif tidak hanya menawarkan
tetapi juga
melakukan
analisis
terhadap fakta dan data yang ditemukan. 41
6.2. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah suatu kelompok yang memiliki karateristik serupa sedangkan yang dimaksud dengan sampel adalah karakteristik yang memampukan peneliti untuk memerinci populasi menjadi kelompok yang lebih kecil.
42
Sebuah sampel adalah bagian dari populasi. Survey sampel adalah suatu prosedur dalam mana hanya sebagian populasi saja yang diambil dan dipergunakan untuk menentukan sifat serta ciri yang dikehendaki dari populasi.
43
Dalam mencari sampel, para ahli biasanya menggunakan probability sample. Probability sample adalah suatu sampel yang ditarik sedemikian rupa dimana
40
Lihat H. Hadari Nawawi dan H. Matini, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000, hal. 73 41 Lihat Arif Rahman, Sistem Politik Indonesia DalamPerspektif Struktural Fungsional, Surabaya: SIC. 2002. hal. 26. 42 Lihat Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, Jakarta: Kencana, Cetakan I, 2007, hal. 22 , 23 43 Lihat Moh Nazir, Phd, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988, hal.325
Universitas Sumatera Utara
suatu elemen individu dari populasi tidak didasarkan pada pertimbangan pribadi tetapi tergantung kepada aplikasi kemungkinan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan non-probablistik sampling untuk menentukan unit yang akan diambil menjadi sampel. Nonprobablistik sampling atau nonacak adalah suatu pendekatan pengambilan sampel berdasarkan karakteristik atau properti tertentu.44 Dari pendekatan ini bentuk yang tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini adalah Purposive sampling. Purposive sampling menekankan terhadap tujuan dari peneliti mengambil sampel yang dapat berdasarkan contoh yang unik dan menarik bagi peneliti. Dari uraian teoritis di atas maka, untuk penelitian ini sebagai sampel adalah Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan. Dipilihnya partai ini karena partai ini sebagai partai yang baru lahir pasca reformasi tetapi dapat keluar menjadi pemenang dalam pemilu legislatif 2004 di Kota Medan mengalahkan partai Islam lainnya bahkan partai Islam yang sejak lama telah ada seperti PPP. Dan yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah pengurus Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan yang dianggap mampu dan cukup mewakili untuk memberikan informasi. Selain itu ialah tim pemenangan Pemilu Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan.
6.3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan 2 cara/metode untuk pengumpulan data yakni; studi lapangan dan studi kepustakaan. Studi lapangan (primer) yang dimaksud adalah melakukan wawancara dan pengamatan terhadap Partai Keadilan Sejahtera. Dan
44
Lisa Harrison, Ibid, hal. 24
Universitas Sumatera Utara
studi Kepustakaan yang dimaksud adalah mengumpulkan berbagai bahan, data, literatur, dan tulisan tersebar lainnya yang berhubungan dengan Pemilihan Umum Legislatif 2004 dan partai politik Islam secara umum, lebih khususnya adalah Partai Keadilan Sejahtera di Kota Medan.
6.4. Teknik Analisa Data
Pada penelitian ini teknik analisa data yang digunakan adalah teknik kualitatif yakni teknik; tanpa menggunakan alat bantu atau rumus statistik. Adapun langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut; Pertama, pengumpulan data. Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data dan bahan baik dari buku, majalah, koran, jurnal kliping dan situs-situs yang memuat tentang sistem kepartaian partai politik Islam khususnya PKS. dan juga melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh dan ahli yang mengerti tentang PKS khususnya dan kaitannya dengan sistem kepartaian secara umum. Kedua, penilaian atau meng-analisis data. Dalam tahap ini setelah peneliti mengumpulkan dan mendapatkan semua data yang mendukung atau membantu dan memang sangat dibutuhkan dalam penelitian ini maka, penulis akan memisahkan bahan-bahan dan data-data yang diperoleh sesuai dengan sifatnya masing-masing. Kemudian penulis melakukan penilaian dan menganalisis data dan bahan yang tersedia. Ketiga, penyimpulan data yang diperoleh. Tahap ini adalah tahap terakhir pada penelitian ini. Dari hasil penilaian dan analisis yang penulis lakukan maka penulis mengambil kesimpulan yang dapat lebih bermanfaat dalam memahami penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
6.5. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini akan disajikan ke dalam 4 (empat) bab yakni; Bab I Pendahuluan; pada bab ini terdapat latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, pembatasan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori penelitian dan metodologi penelitian. Pada Bab II; bab II akan menyajikan deskripsi Pemilu legislatif 2004 di Medan dan juga profil Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan. Bab III dalam penulisan penelitian ini nantinya akan berisikan tentang penyajian data dan fakta yang didapat dari lapangan dan juga akan menyajikan pembahasan dan analisis dari data dan fakta tersebut. Bab IV pada penulisan penelitian ini adalah bab penutup yang di dalamnya akan berisi kesimpulan dan dan saran yang diperoleh dari bab-bab sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara