BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan yang harus dihadapi dan tak dapat dihindari oleh pemerintah atau negara indonesia adalah kemiskinan, pemerintah belum mampu menghadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut, padahal setiap pemimpin Negara Indonesia selalu mengiming-imingi pengentasan kemiskinan sebagai misi utama mereka disamping misi-misi yang lain. Secara umum, penanggulangan kemiskinan sampai saat ini sangat sulit untuk diatasi oleh pemerintah. Misalnya, gelandangan dan pengemis merupakan salah satu fakta sosial yang terjadi di dalam masyarakat, dan merupakan salah satu masalah yang belum mampu untuk diatasi oleh pemerintah. Padahal jelas kita ketahui bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang tercantum dalam Pasal 34 ayat 1 dikatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Maka secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semua orang miskin dan semua anak terlantar pada prinsipnya dipelihara oleh negara, tetapi pada kenyataanya yang ada di lapangan bahwa tidak semua orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Selain itu, dalam upaya menanggulangi gelandangan dan pengemis pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 31 Tahun 1980 tentang penanggulangan gelandang dan pengemis. Pengaturan lain terhadap gelandangan dan pengemis juga terdapat dalam Perkapolri
No. 14 Tahun 2007 tentang 15 Universitas Sumatera Utara
penanganan gelandangan dan pengemis antara lain mengatur tentang cara preventif dan penegakan hukum dalam menangani gelandang dan pengemis. Demikian halnya yang tercantum dalam Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 504 dan Pasal 505 bahwa negara melarang untuk gelandangan dan pengemis. Pasal 504 KUHP 1. Barang siapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama 6 minggu. 2. Pengemisan yang dilakukan oleh 3 orang atau lebih, yang berumur di atas 16 tahun, diancam dengan pidana kurungan lama 3 bulan. Pasal 505 KUHP 1. Barang siapa bergelandang tanpa pencarian, di ancam karena melakuukan pengelandangan dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan. Penggelandangan yang dilakukan 3 orang atau lebih yang berumur di ats 16 tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan. Selain itu, dalam Peraturan Daerah kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 juga diatur mengenai Larangan Gelandangan dan Pengemis dan Praktek Susila di Kota Medan. Maka dengan berbagai peraturan tersebut, sudah tentu bahwa pemerintah wajib untuk melindungi dan memberdayakan GEPENG (gelandangan dan pengemis) dan anak-anak terlantar tersebut. Seseorang dapat dikatakan sebagai anak apabila ia berusia di bawah 18 tahun dan belum terikat oleh suatu perkawinan, karena jika belum berusia 18 tahun tetapi telah melakukan perkawinan maka ia dapat dikatakan telah dewasa. Penanganan masalah anak merupakan masalah yang harus dihadapi oleh semua pihak yang bukan hanya orang tua atau keluarga saja, 16 Universitas Sumatera Utara
tetapi juga setiap orang yang berada di dekat anak tersebut harus dapat membantu pertumbuhan anak dengan baik. Mengenai anak terlantar banyak hal yang sebenarnya dapat mengatasinya seperti adanya panti-panti yang khusus menangani masalah anak terlantar, tetapi karena kurangnya perhatian dari pemerintah untuk mendukung pelaksanaan tersebut maka kelihatannya panti-panti tadi tidak berfungsi dengan baik. Masalah gelandangan dan pengemis adalah merupakan salah satu masalah sosial sebagai dampak dari proses pembangunan nasional itu sendiri. Dari tesis Nurmayana dikatakan bahwa kotalah sebenarnya yang merupakan tempat asal gejala gelandangan. Masalah ini perlu mendapat penanganan sedini mungkin secara konsepsional dan pragmatik, agar tidak membawa dampak negatif yang lebih rawan serta dapat mengganggu stabilitas di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, ketertiban masyarakat, dan juga menimbulkan citra negatif terhadap keberhasilan pembangunan nasional dewasa ini. Menurut Susenas tahun 2000 mencatat bahwa jumlah anak terlantar usia 618 tahun mencapai 3.156.365 anak atau 5,4 persen dari jumlah anak di indonesia, yang terbagi di pedesaan 2.614.947 dan di Perkotaan sebanyak 541.415 anak. sedangkan tahun 2004 anak terlantar meningkat menjadi 3.308.642 anak. Selanjutnya jumlah anak rawan terlantar pada tahun 2000 mencapai 10.349.240 anak. Dari jumlah tersebut, yang tinggal di pedesaan sebanyak 7.320.786 anak dan diperkotaan sebanyak 3.046.454 anak. Data anak terlantar menurut sensus penduduk tahun 2000 mencapai 28.544.797 anak dimana yang di Pedesaan sebanyak 17.117.934 anak dan di perkotaan sebanyak 11.426.863 anak. Sedangkan menurut data sensus penduduk pada tahun 2004 jumlah balita terlantar 17 Universitas Sumatera Utara
sebanyak 1.138.126 anak.
Pada tahun 2011 terdapat 230 ribu anak jalanan di
indonesia, yang mengalami kenaikan bila dibandingkan pada tahun 2010 yaitu jumlah anak jalanan mencapai 200 ribu jiwa. Jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial di Sumatera Utara terus meningkat dari tahun ketahun. Sesuai data tahun 2007 yang di peroleh dari Dinas Sosial Sumatera Utara menunjukkan jumlah gelandang pengemis dan anak jalanan (Gepeng Anjal) mencapai 95.791 orang. Dengan rincian, 3.300 pengemis, 4.823 gelandangan dan 18.741 anak balita terlantar, 161.755 keluarga fakir miskin, dan yang paling besar jumlah keluarga yang tinggal di rumah tak layak huni (RTLH) mencapai 140.169 keluarga (KKSP, 2008). Menurut data resmi yang dirilis Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) menyebutkan sebanyak 800 hingga 900 anak di kota metropolitan Medan yang masih wajib pendidikan menjadi anak jalanan yang bekerja paruh waktu. 1 Berdasarkan data Dinas Sosial Sumut, di tahun 2009 tercatat ada 4.373 orang gelandangan dan 3.440 pengemis dengan total 7813 jiwa. Sedangkan di tahun 2012 kaum GEPENG mencapai 12.680. 2 Gelandangan dan pengemis di Kota Medan selama bulan Suci Ramadan tahun ini mengalami peningkatan sebesar 50 persen. Dari data Dinas Kesejahteraan Sosial Sumatera Utara (Sumut), secara keseluruhan di Sumut jumlah Gepeng 4.181 orang. Populasi Gepeng di Kota Medan merupakan tersebesar kedua, yakni sebanyak 1.023 orang. Sementara terbanyak pertama 1
Jurnal Efektivitas Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan Oleh Yakmi Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun oleh Fadlika Sya’bana 2
http://Medanbisnisdaily.com/news/read/2014/05/13/95168/memberdayakan_GEPENG_dan_a nak_jalanan/ diakses pada 6 oktober 2015 00.34 wib
18 Universitas Sumatera Utara
adalah di
Tapanuli Utara (Taput) sebanyak 2.255 orang khusus untuk
gelandangan, data dari Dinas Kesejahteraan Sosial Sumut, tercatat sebanyak 2.500 jiwa. khusus jumlah gelandangan saja di Medan sebanyak 1.676 orang. Jumlah tersebut terbesar dari 33 kabupaten/kota di Sumut lainnya. 3 Kebijakan mengenai larangan dan pengemis di kota Medan telah ditetapkan semenjak tahun 2003 yaitu terdapat di dalam Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan Dan Pengemis di Kota Medan. Akan tetapi pada realitanya Medan memiliki jumlah gelandangan terbesar dibandingkan dengan 33 kabupaten atau kota di sumatera utara. Peningkatan jumlah Gepeng dari tahun ketahunpun dapat dilihat pada lima tahun terakhir menjadi trend yang sangat pelik yang harus dihadapi oleh kota Medan. Harusnya kebijakan yang telah ditetapkan mempunyai kelanjutan dalam implementasi nyata pengurangan jumlah gelandangan dan pengemis tersebut. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik ingin meneliti hal ini, di mana judul penelitian ini adalah “ Proses Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan No. 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan (Studi Pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan)”. 1.2 Rumusan Masalah Mengacu pada latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
3
http://sumutpos.co/populasi-GEPENG-naik-50-persen/ diakses pada 6 oktober 2015 00.21 wib
19 Universitas Sumatera Utara
“ Bagaimana Proses Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan No. 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan (Studi Pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan)”? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui Bagaimanana Proses Implementasi Perda No. 6 Tahun 2003 tentang larangan gelandangan dan pengemis oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan. b. Untuk
mengetahui
bagaimana
sistem
pelayanan
yang
dilakukan
pemerintah dalam Peraturan Daerah Kota Medan No. 6 Tahun 2003 tentang larangan gelandangan dan pengemis di kota Medan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kota Medan. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah: 1. Manfaat secara ilmiah Sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan dan menuliskan karya ilmiah di lapangan berdasarkan kajian-kajian teori dan aplikasi yang diperolah dari Ilmu Administrasi Negara. 2. Manfaat secara akademis Hasil penelitian ini diharapkan mampu untuk memperkaya khasanah kepustakaan sehingga dapat menjadi sumbangan ilmiah, menambah bahan 20 Universitas Sumatera Utara
kajian akademik, referensi dan tambahan informasi bagi para pembaca mengenai Otonomi Daerah. 3. Manfaat secara praktis Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan masukan bagi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan untuk menangani masalah gelandangan dan pengemis. 1.5 Kerangka Teori Untuk memudahkan penulis dalam rangka menyusun penelitian ini, maka dibutuhkan teori-teori sebagai pedoman kerangka berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilih. Sugiyono menyebutkan kerangka teori merupakan landasan berpikir untuk melakukan penelitian dan teori yang dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek penelitian. Landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba. 4 1.5.1 Kebijakan Publik 1.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik Secara etimologis, istilah kebijakan publik atau policy berasal dari bahasa Yunani “polis” berarti negara kota yang kemudian masuk ke dalam bahasa Latin menjadi “politia” yang berarti negara. Akhirnya masuk ke dalam bahasa Inggris
4
Sugiyono Prof. Dr. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. (Bandung: CV. Alfa Beta) hal. 55
21 Universitas Sumatera Utara
“policie” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah atau administrasi pemerintahan. 5 Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. 6 Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik. Oleh karena itu, kita memerlukan batasan atau konsep kebijakan yang lebih tepat. Untuk keperluan analisis ada beberapa batasan kebijakan publik yang dapat digunakan, salah satunya menurut Robert Eyestone, ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. 7 Batasan lain diberikan oleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. 8 Konsep kebijakan publik dari Thomas R. Dye ini mengandung makna bahwa kebijakan publik tersebut dibuat oleh pemerintah, bukan swasta dan kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah. 9
5
Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik.(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), hal 22-25. 6 Winarno, Budi. Teori dan Proses Kebijakan Publik.(Yogyakarta: Media Pressindo, 2002), hal. 14 7 Ibid., hal 15 8 Subarsono, AG. Analisis Kebijakan Publik:Konsep, Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal 2 9 Ibid., hal 2
22 Universitas Sumatera Utara
Carl Friedrich memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. 10 Dan dalam pandangan Harrold Laswell dan Abraham Kaplan berpendapat bahwa kebijakan publik tersebut hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyarakat. 11 Ini berarti kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik-praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Batasan lain juga disebutkan oleh James Anderson. Ia mengatakan bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai beberapa implikasi, yakni: Pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabatpejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, atau mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Keempat, kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau negatif. Secara positif, kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk 10 11
Winarno, Budi, ibid., hal 16 Subarsono, AG. Ibid., hal 3
23 Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah. 12 Dari beberapa uraian diatas dan sejalan dengan pendapat dari Charles O. Jones, bahwa kebijakan publik terdiri dari komponen-komponen: 1. Goals atau tujuan yang diinginkan 2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan 3. Programs, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan 4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program 5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau sekunder). 13 Meskipun terdapat berbagai defenisi kebijakan publik yang telah dikemukakan diatas, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan dan berorientasi pada tujuan dan kepentingan masyarakat.
12 13
Winarno Budi, ibid., hal 16-18 Hessel Nogi S. Tangkilisan, Kebijakan Publik yang Membumi. 2003, hal 2-3
24 Universitas Sumatera Utara
1.5.1.2 Tahapan Kebijakan Publik Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses dan variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahapan. Seperti tahapan-tahapan kebijakan publik yang dikemukakan oleh William N. Dunn berikut ini: 14 1. Tahap penyusunan agenda Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa yang lain pembahasan untuk masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama. 2. Tahap formulasi kebijakan Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif kebijakan. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masingmasing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagi kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik. 14
William N. Dunn, Analisa Kebijakan Publik. 1998, hal. 24-25
25 Universitas Sumatera Utara
3. Tahap adopsi kebijakan Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan. 4. Tahap implementasi kebijakan Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana. 5. Tahap penilaian kebijakan Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat. 1.5.2 Implementasi Kebijakan Publik 1.5.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
26 Universitas Sumatera Utara
Menurut James P. Lester dan Joseph Stewart, implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang sangat luas, merupakan alat administrasi hukum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersamasama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. 15 Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran (output) maupun sebagai hasil. 16 Batasan lain mengenai implementasi kebijakan juga disebutkan oleh Van Meter dan Van Horn. Mereka membatasi bahwa implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompokkelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuantujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Dari beberapa defenisi implementasi kebijakan publik yang telah dikemukakan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi kebijakan publik adalah pelaksanaan kebijakan oleh mesin-mesin administrasi negara dalam mengatasi masalah. 1.5.2.2 Model-model Implementasi Kebijakan Publik Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah
jaminan
bahwa
kebijakan
tersebut
pasti
berhasil
dalam
implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik yang bersifat individu maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers 15
Budi Winarno, ibid, hal. 101 Ibid., hal. 102
16
27 Universitas Sumatera Utara
untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran. Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Untuk memperkaya pemahaman kita tentang berbagai variabel yang terlibat di dalamnya, maka kita akan melihat beberapa teori implementasi kebijakan sebagai berikut: 1. Teori George C. Edwards III (1980) Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: (a) komunikasi, (b) sumberdaya, (c) disposisi dan (d) struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain. 17 Komunikasi
Sumberdaya Implementasi Disposisi
Struktur Birokrasi Gambar 1.1: Faktor Penentu implementasi menurut Edwards III a. Komunikasi Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan
agar implementor
mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran
17
AG Subarsono. ibid, hal. 90-92
28 Universitas Sumatera Utara
kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelomok sasaran. b. Sumberdaya Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya di kertas menjadi dokumen saja. c. Disposisi Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan juga menjadi tidak efektif. d. Struktur birokrasi Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya
29 Universitas Sumatera Utara
prosedur operasi yang standar (standard operating procedure atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel 2. Teori Donald S. Van Meter dan Van Horn (1975) Menurut Meter dan Horn ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi kinerja implementasi, yakni: (a) standar dan sasaran kebijakan, (b) sumberdaya, (c) komunikasi, (d) karakteristik agen pelaksana, (e) disposisi implementor, dan (f) kondisi sosial, ekonomi dan politik.18 a. Standar dan sasaran kebijakan Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila
standar
dan
sasaran
kebijakan
kabur,
maka
akan
terjadi
multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi. b. Sumberdaya Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human resources). c. Hubungan antar Organisasi Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program. 18
AG Subarsono. ibid, hal. 99-101
30 Universitas Sumatera Utara
d. Karakteristik agen pelaksana Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program. e. Kondisi sosial, politik dan ekonomi Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompokkelompok kepentingan memberi dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan. f. Disposisi implementor Disposisi implementor inimencakup tiga hal yang penting, yakni : (1) respon implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (2) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. 3. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983), ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni : (a) karakteristik dari masalah (tractability of the problems), (2) karakteristik kebijakan/undang-undang (ability
31 Universitas Sumatera Utara
of statute to structure implementation) dan (3) variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation). 19 4. Teori Merilee S, Grindle (1980) Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (1980) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). 20 Variabel isi kebijakan mencakup : (a) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, (b) jenis manfaat yang diterima oleh target groups (c) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, (d) apakah letak sebuah program sudah tepat, (e) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci dan (f) apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai. Sedangkan variabel lingkungan mencakup : (a) seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan, (b) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa dan (c) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran. Maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model implementasi teori yang di kemukakan oleh George C. Edwards III.
19 20
Subarsono, AG. ibid., hal. 94 Subarsono, AG. ibid., hal. 93
32 Universitas Sumatera Utara
1.5.3 Hasil Penelitian Terdahulu
Menurut Gede Sedana didalam jurnalnya tentang faktor penyebab terjadinya gelandangan dan pengemis, Beberapa faktor penyebab terjadinya Gepeng terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya, faktor tersebut yaitu 21 :
1. Faktor internal yaitu individu dan keluarga Gepeng serta masyarakat , Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan ádalah suatu keadaan di dalam diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis.
Faktor-faktor
tersebut adalah : a. Kemiskinan individu dan keluarga; yang mencakup penguasaan lahan yang terbatas dan tidak produktif, keterbatasan penguasaan aset produktif, keterbatasan penguasaan modal usaha b. Umur c. Rendahnya tingkat pendidikan formal d. Ijin orang tua e. Rendahnya tingkat keterampilan (“life skill”) untuk kegiatan produktif f. Sikap mental
21
Ir. Gede Sedana, M.Sc. Mma. Faktor Penyebab Terjadinya Gelandangan Dan Pengemis. 2013
33 Universitas Sumatera Utara
2. Eksternal masyarakat, yaitu di kota-kota tujuan aktivitas gepeng. Faktorfaktor eksternal mencakup : a. Kondisi hidrologis b. Kondisi pertanian c. Kondisi prasarana dan sarana fisik d. Akses terhadap informasi dan modal usaha e. Kondisi permisif masyarakat di kota
Didalam jurnal Nungkei Feriustika Kesumawindayati Dan Chalid Sahuri mengungkapkan bahwa Setiap proses kegiatan dalam pelaksanaan pembinaan gelandangan dan pengemis tidak berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan yang ingin dicapai. Masalah yang mempengaruhi strategi pelaksanaan pembinaan gelandangan dan pengemis yaitu anggaran operasional yang tidak mencukupi, gelandangan dan pengemis yang berasal dari luar kota sedangkan syarat yang mengikuti pembinaan tersebut gelandangan dan pengemis yang memiliki identitas dan berasal dari kota tersebut, tidak adanya sanksi atau hukuman untuk gelandangan dan pengemis agar mereka jera, panti sosial yang tidak ada sehingga sulit untuk merehabilitasi gelandangan dan pengemis, tidak adanya kerjasama atau membangun kemitraan dengan instansi lain yang sesuai dengan ketentuan berlaku dalam Peraturan Daerah dan kurangnya sosialisasi dengan gelandangan dan pengemis yang terkena razia. Sehingga sulit untuk melakukan pelaksanaan pembinaan terhadap gelandangan dan pengemis yang
34 Universitas Sumatera Utara
berkeliaran di kota. Dengan demikian fenomena yang menyangkut gelandangan dan pengemis sulit untuk dapat tertangani dengan efektif. 22 Sedangkan Nurrohmah Setyaningrum mengungkapkan Persepsi pengemis anak tentang kegiatan mengemis yaitu, pengemis anak bisa mendapatkan uang tanpa harus meminta pada orang tua. Pengemis anak juga dapat bermain diselasela kegiatan mengemis yang dilakukannya, yang dilakukan di tempat istirahat mereka seperti di tempat parkir. Pengemis anak juga menganggap bahwa kegiatan mengemis yang dilakukannya untuk membantu orang tua mereka, karena penghasilan orang tua mereka dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Kegiatan mengemis yang dilakukan oleh pengemis anak dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya karena : 1. penghasilan mengemis yang menguntungkan. 2. tuntutan gaya hidup yang mencakup pola makan, uang jajan, fashion, dan majunya teknologi yang menjadikan mereka tidak ingin ketinggalan dengan untuk memiliki barang-barang seperti HP, TV, tape dan kompor gas 3. tidak adanya aturan yang melarang pengemis di sekitar pasar. 4. sikap satpam pasar dan pedagang yang seolah membiarkan dan menerima keberadaan pengemis yang berada di sekitar pasar. Hal ini cenderung menjadikan pengemis semakin terlena dengan kegiatan mengemis yang dilakoninya. Dampak kegiatan mengemis bagi anak terbagi menjadi dua yaitu 1. Dampak negatif 22
Nungkei Feriustika Kesumawindayati Dan Chalid Sahuri. Strategi Pelaksanaan Pembinaan Gelandangan dan Pengemis. 2014
35 Universitas Sumatera Utara
Dampak negatif kegiatan mengemis yang dilakukan oleh anak-anak adalah anak merasa malu atau minder ketika berjumpa dengan teman sekolahnya dan dapat menyebabkan pengemis anak merasa ketagihan 2. Dampak positif Dampak positif mengemis bagi pengemis anak adalah pengemis anak dapat menabung/menyisihkan penghasilan dari mengemis untuk disimpan dan anak mampu memenuhi kebutuhan, seperti kebutuhan uang saku sekolah, kebutuhan uang jajan, dan kebutuhan peralatan sekolah. 23 Arie Kusuma, Nugroho Budi dan Nugroho Noto Susanto mengungkapkan Motivasi non-ekonomi pengemis adalah 24 : 1. Budaya. Mengemis menjadi satu-satunya pekerjaan (profesi) yang menjadi penunjang hidup. 2. Agama. Mengemis menjadi sebuah kegiatan yang didorong oleh faktor eksternal dan internasl. Faktor eksternal karena adanya kewajiban yang diharuskan oleh agama dalam menyantuni orang-orang miskin (dhu afa) sementara hal tersebut juga mempengaruhi sisi internal seseorang dimana dia merasa perlu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya 3. Lingkungan Sosial a. Mengemis menjadi salah satu kegiatan karena didorong oleh pengaruh kelompok tertentu dalam suatu lingkungan sehingga
23
Nurrohmah Setyaningrum. Fenomena Pengemis Anak Di Pasar. 2014 arie kusuma paksi, nugroho budi n., nugroho noto susanto. Motivasi Non-ekonomi Pengemis di kota Yogyakarta. 2013 24
36 Universitas Sumatera Utara
seseorang secara tidak sadar mengikuti segala aktivitas yang dilakukan oleh kelompok tersebut. b. Mengemis disebabkan oleh adanya permasalahan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga sehingga seseorang merasa tidak betah terhadap lingkungan tersebut dan akhirnya memilih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan menjadi pengemis. Hal serupa diungkapan Lita Yuniarti dalam jurnalnya yaitu, Penyebab mereka menjadi pengemis karena beberapa hal atau alasan. Ada alasan yang bersifat struktural, dia tidak bisa melakukan pekerjaan lain selain mengemis karena faktor fisik atau cacat yang dideritanya sehingga sektor usaha formal tidak mau menerimanya untuk bekerja. Kedua, karena faktor fisik yang mengalami kecacatan. Cacat yang dideritanya membuatnya melakukan pekerjaan sebagai pengemis karena tidak bisa melakukan pekerjaan lainnya yang lebih berat dan mengeluarkan banyak tenaga. Alasan ketiga yaitu karena malas dan kemiskinan kultural. Sifat dasar seseorang yang tidak ingin berusaha untuk melakukan pekerjaan yang lebih layak dan memilih mengemis karena dirasa itu pekerjaan yang sangat mudah tanpa mengeluarkan banyak tenaga dan tidak ada dorongan untuk mengusahakan pekerjaan yang lebih baik meskipun untuk hal tersebut sudah ada di depan mata. Alasan keempat adalah pemberian reward atau imbalan yang menggiurkan sehingga seseorang akan berusaha keras untuk mendapatkan uang dari mengemis itu. Untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi yang semakin mendesak, pengemis-pengemis tersebut melakukan suatu tindakan untuk mendapatkan penghasilan. Dan ketika pekerjaan yang mereka lakukan mendapatkan ganjaran
37 Universitas Sumatera Utara
atau reward yang menguntungkan, maka mereka cenderung melakukan pekerjaan tersebut secara terus-menerus. Dari mengemis mereka bisa mendapatkan uang dan mampu memenuhi kebutuhannya tersebut. Selain itu, mengemis adalah cara mudah untuk mendapatkan uang atau reward yang berlimpah, karenanya mereka tetap melakukan pekerjaannya sebagai pengemis meskipun dirasa tidak layak bagi masyarakat sekitar karena keluar dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Banyak cara yang dilakukan oleh masing-masing pengemis, dan cara yang berbeda-beda juga dilakukan oleh beberapa pengemis untuk mengemis. Cara yang umum dilakukan yaitu dengan berpakaian yang lusuh layaknya pengemis pada umumnya. Kedua adalah dengan bersikap jujur agar dapat dipercaya oleh orang dan dianggap pengemis yang baik. Cara ketiga adalah dengan memaksa sampai dia mendapatkan uang yang diinginkannya dari pengunjung. Cara yang terakhir adalah dengan menunggu pengunjung datang memberinya sedekah, cara ini dilakukan oleh pengemis cacat atau lumpuh karena selain kelumpuhannya itu menarik rasa iba orang, dia juga tidak bisa berjalan ke tempat lain karena keterbatasannya tersebut. 25 Jurnal yang ditulis oleh irka syuryani juga mengemukakan bahwa Pengemis meliputi : 1. Tidak tersedianya pekerjaan pokok 2.
Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan
3. Tidak mau bekerja keras, membuat mereka tidak mengingikan mencari pekerjaan yang lebih baik dan layak
25
Lita Yuniarti. Perilaku Pengemis Di Alun-Alun Kota Probolinggo. 2013
38 Universitas Sumatera Utara
4. Tidak disiplin, membuat mereka sulit memasuki dunia kerja terutama sektor formal yang membutuhkan tenaga kerja yang mempunyai disiplin tinggi 5. Tidak punya tanggung jawab, membuat mereka sulit diterima di dunia kerja karena tidak mempunyai tanggung jawab atas pekerjaan 6. Tidak punya percaya diri (budaya malu), membuat mereka membiarkan diri bekerja menjadi pengemis tanpa ada usaha untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dan terhormat Para pengemis menunjukkan diri sebagai orang miskin sehingga terlihat layak untuk dikasihani dan diberi sumbangan. Upaya yang dilakukan oleh pengemis seperti memanfaatkan anak kecil ketika mengemis untuk mendapatkan belas kasihan dari orang yang melihatnya agar memberikan sumbangan dan berpakaian lusuh untuk menutupi status sosial yang sebenarnya, karena pada saat di rumah atau ketika tidak mengemis, penampilan yang mereka tunjukan itu berbeda
ketika
mereka
mengemis.
Para
pengemis
cenderung
memaksa/mengintimidasi untuk mendapatkan sumbangan, sehingga masyarakat merasa terpaksa ketika memberi sumbangan kepada pengemis. 26 1.5.4
Kebijakan Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis Kebijakan yang mejadi landasan dari penelitian ini yaitu :
1. UU Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial
26
Perilaku pengemis di kota palembang (studi pada komunitas pengemis di kawasan masjid agung) oleh irka syuryani. 2013
39 Universitas Sumatera Utara
Setiap Warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaikbaiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial. Kesejahteraan Sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir bathin, yang memungkinkan bagi setiap Warga Negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak azasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila. Usaha-usaha Kesejahteraan Sosial ialah semua upaya, program, dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial. Pekerjaan Sosial ialah semua keterampilan teknis yang dijadikan wahana bagi pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial. "Jaminan Sosial" sebagai perwujudan dari pada sekuritas sosial adalah seluruh sistim perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi Warga Negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial. Tugas-tugas Pemerintah ialah : a.
Menentukan garis kebijaksanaan yang diperlukan untuk memelihara, membimbing, dan meningkatkan usaha kesejahteraan sosial;
b. Memupuk, memelihara, membimbing dan meningkatkan kesadaran serta rasa tanggungjawab sosial masyarakat;
40 Universitas Sumatera Utara
c. Melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan usaha-usaha kesejahteraan sosial. Usaha-usaha Pemerintah di bidang kesejahteraan sosial meliputi : a. Bantuan sosial kepada Warga Negara baik secara perseorangan maupun dalam kelompok yang mengalami kehilangan peranan sosial atau menjadi korban akibat terjadinya bencana-bencana, baik sosial maupun alamiah, atau peristiwa-peristiwa lain b. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial melalui penyelenggaraan suatu sistim jaminan sosial; c. Bimbingan, pembinaan dan rehabilitasi sosial, termasuk di dalamnya penyaluran ke dalam masyarakat, kepada Warga Negara baik perorangan maupun dalam kelompok, yang terganggu kemampuannya untuk mempertahankan hidup, yang terlantar atau yang tersesat; d. Pengembangan dan penyuluhan sosial untuk meningkatkan peradaban, perikemanusiaan dan kegotong-royongan. Alat kelengkapan Pemerintah dalam lapangan kesejahteraan sosial : a. Di tingkat Pusat ialah Departemen yang diserahi tugas urusan kesejahteraan sosial dengan seluruh aparatnya; b. Di tingkat Daerah ialah aparat-aparat yang diserahi tugas urusan kesejahteraan sosial di Daerah. Masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan usaha kesejahteraan sosial dengan mengindahkan garis kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan sebagaimana ditetapkan dengan Peraturan Perundangundangan. Untuk mencapai daya-guna dan daya-kerja sebesar-besarnya, bagi
41 Universitas Sumatera Utara
usaha masyarakat di bidang kesejahteraan sosial, ialah usaha kesejahteraan sosial dan pemenuhan jaminan sosial yang menyangkut kepentingan orang banyak, dapat dibentuk yayasan atau lembaga lain yang syarat-syarat dan cara-cara pembentukannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Perundang-undangan. 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya : a.
pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;
b.
meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya;
42 Universitas Sumatera Utara
c.
pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitasi dan telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.
Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga maupun bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat. Usaha rehabilitasi adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usahausaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia.
43 Universitas Sumatera Utara
Kebijaksanaan di bidang penanggulangan gelandangan dan pengemis ditetapkan oleh Menteri berdasarkan kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah. Dalam menetapkan kebijaksanaan, Menteri dibantu oleh sebuah badan koordinasi, yang susunan, tugas dan wewenangnya diatur dengan Keputusan Presiden. Usaha preventif dimaksudkan untuk mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis. Dilakukan antara lain dengan : a. Penyuluhan dan bimbingan sosial; b. Pembinaan sosial; c. Bantuan sosial; d. Perluasan kesempatan kerja; e. Pemukiman lokal; f. Peningkatan derajat kesehatan. Usaha represif dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan. Meliputi : a. Razia; b. Penampungan sementara untuk diseleksi; c. Pelimpahan.
44 Universitas Sumatera Utara
Gelandangan dan pengemis yang terkena razia ditampung dalam penampungan sementara untuk diseleksi. Seleksi sebagaimana di maksud dalam Pasal 11 di maksudkan untuk menetapkan kualifikasi para gelandangan dan pengemis dan sebagai dasar untuk menetapkan tindakan selanjutnya yang terdiri dari : a. Dilepaskan dengan syarat; b. Dimasukkan dalam panti sosial; c. Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya; d. Diserahkan ke pengadilan; e. Diberikan pelayanan kesehatan. Dalam hal seseorang gelandangan dan/atau pengemis dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya baik karena hasil seleksi maupun karena putusan pengadilan dapat diberikan bantuan sosial yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Menteri. Usaha rehabilitatif terhadap gelandangan dan pengemis meliputi usahausaha penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, bertujuan agar fungsi sosial mereka dapat berperan kembali sebagai warga masyarakat. Usaha penampungan ditujukan untuk meneliti/menyeleksi gelandangan dan pengemis yang dimasukkan dalam Panti Sosial. bertujuan untuk menentukan kualifikasi pelayanan sosial yang akan diberikan. Usaha penyantunan ditujukan untuk mengubah sikap mental gelandangan dan pengemis dari keadaan yang non produktif menjadi keadaan yang produktif. 45 Universitas Sumatera Utara
para gelandangan dan pengemis diberikan bimbingan, pendidikan dan latihan baik fisik, mental maupun sosial serta keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Usaha penyaluran ditujukan kepada gelandangan dan pengemis yang telah mendapatkan bimbingan, pendidikan, latihan dan keterampilan kerja dalam rangka pendayagunaan mereka terutama ke sektor produksi dan jasa, melalui jalur-jalur transmigrasi swakarya, dan pemukiman lokal. Usaha tindak lanjut ditujukan kepada gelandangan dan pengemis yang telah disalurkan, agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan dan pengemis. 2.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1983 Tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis dilaksanakan
melalui suatu Tim yang bersifat konsultatif dan koordinatif. Keputusan Presiden ini mempunyai tugas membantu Menteri Sosial dalam menetapkan kebijaksanaan Pemerintah di bidang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Keputusan Presiden ini mempunyai berfungsi : a. Mengajukan perumusan kebijaksanaan pelaksanaan penanggulangan gelandangan dan pengemis secara terpadu; b. Menyusun dan memperinci kebijaksanaan tersebut pada huruf a bagi tiap-tiap Departemen yang melaksanakan penanggulangan gelandangan dan pengemis sesuai dengan bidangnya masing- masing, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Keanggotaan Tim sebagaimana di maksud ini terdiri dari : 46 Universitas Sumatera Utara
a. Direktur Jenderal Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Departemen Sosial sebagai Ketua merangkap anggota; b. Direktur Rehabilitasi Tuna Sosial sebagai Sekretaris merangkap anggota; c. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat sebagai anggota d.
Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri sebagai anggota;
e. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan Keamanan sebagai anggota; f. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan sebagai anggota; g. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai anggota; h. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja sebagai anggota; i. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Transmigrasi sebagai anggota; j. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian sebagai anggota; k. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Perindustrian sebagai anggota. 3. Peraturan Daerah No. 6 tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara ditempat-tempat umum. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara baik berupa mengamen dan alasan lainnya untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
47 Universitas Sumatera Utara
Dilarang melakukan penggelandangan dan pengemisan berkelompok atau perorangan atau dengan cara apapun dengan mempengaruhi/menimbulkan belas kasihan orang lain. Dilarang dengan sengaja memperalat orang lain seperti bayi, anak kecil dan atau mendatangkan seseorang/beberapa orang untuk maksud melakukan pengemisan. Pengawasan terhadap peraturan daerah ini dilaksanakan secara terpadu di bawah koordinasi kepala daerah. Dalam hal-hal tertentu dan dipandang kepala daerah membentuk tim pengawasan terpadu teknis penanggulangan gelandangan dan pengemis akan diatur lebih lanjut dengan keputusan kepala daerah. Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap gelandangan dan pengemis serta susila berupa kegiatan yang berbentuk dan mencakup keterampilan-keterampilan serta keahlian lainnya. Barang siapa yang melanggar ketentuan peraturan daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Tindak pidana dimaksud adalah pelanggaran. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu dilingkungan pemerintah kota Medan diberi wewenang sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelanggaran ketentuan tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis di kota Medan. Wewenang sebagaimana dimaksud adalah : a. Menerima, mencari mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang pelanggaran ketentuan
tentang
penaggulangan
gelandangan
pengemis
agar
keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas
48 Universitas Sumatera Utara
b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan
tindak
pidana
yang
pelanggaran
ketentuan
tentang
penanggulangan gelandangan dan pengemis c. Meminta keterangan dan bahan bukti bagi orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelanggaran ketentuan tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis d. Melakukan
penggeledahan
untuk
mendapatkan
bahan
bukti
pembukuan pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut e. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka melaksanakan tugas penyidikan tindak pidana pelanggaran gelandangan dan pengemis f. Menyuruh berhenti seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung, memeriksa identitas orang dan atau dokumen, dan memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana pelanggaran ketentuan tentang penaggulangan gelandangan dan pengemis g. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai saksi h. Menghentikan penyidikan i. Melakukan tindak lain untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang pelanggaran ketentuan tentang penaggulangan gelandangan dan pengemis serta tuna susila menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan
49 Universitas Sumatera Utara
1.6 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional 1.6.1 Defenisi Konsep Dengan konsep peneliti melakukan anbstraksi dan menyederhanakan pemikirannya melalui penggunaan satu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Maka untuk mendapatkan batasan masalah yang jelas, defenisi konsep yang diberikan penulis adalah : a. Kebijakan publik adalah serangkaian pedoman dan dasar rencana yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi sebuah persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakatnya dengan hubungan yang mengikat. Jadi, kebijakan publik berpusat pada penyelesaian masalah yang sudah nyata. Kebijakan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Peraturan Daerah kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan b. Implementasi kebijakan adalah tindakan atau proses atau pelaksanaan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan dan dijalankan dengan berbagai program untuk mencapai tujuan dan kepentingan bersama. Implementasi kebijakan yang di maksud dalam penelitian ini adalah Implementasi Peraturan Daerah kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Medan dengan melihat variabel yang dikemukakan George C. Edwards III sebagai berikut : 1. Komunikasi, Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang
50 Universitas Sumatera Utara
menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelomok sasaran. 2. Disposisi, Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan juga menjadi tidak efektif. 3. Sumberdaya, Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni
kompetensi
implementor,
dan
sumberdaya
finansial.
Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya di kertas menjadi dokumen saja. 4. Struktur
birokrasi,
mengimplementasikan
Struktur kebijakan
organisasi memiliki
yang
bertugas
pengaruh
yang
signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek
51 Universitas Sumatera Utara
struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedure atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel 1.6.2 Defenisi Operasional Definisi operasional adalah sebagian petunjuk pelaksana bagaimana caranya mengukur suatu variabel atau suatu informasi ilmiah yang membantu penlitian sehingga dari informasi tersebut diketahui bagaimana caranya mengukur variabel penelitian tersebut. 27 Adapun yang menjadi indikator dari implementasi Perda Kota Medan Nomor 6 tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis adalah : a. Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas, yaitu meliputi sosialisasi, baik itu sosialisasi internal maupun eksternal, ditambah dengan adanya forum diskusi antar pegawai dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam implementasi kebijakan Perda Kota Medan Nomor 6 tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis b. Disposisi implementor, yaitu kognisi dinas sosial dan tenaga kerja dalam melaksanakan Implementasi Kebijakan Perda Kota Medan Nomor 6 tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis meliputi : 27
Singarimbun. 1999 hal. 46-47 52 Universitas Sumatera Utara
1. Netralitas maupun obyektivitas dinas sosial dan tenaga kerja kota medan, 2. Serta respon dari dinas sosial dan tenaga kerja kota Medan terhadap pelaksanaan Implementasi Kebijakan. c. Sumber daya, yaitu meliputi : 1. Sumber daya manusia yang terdiri dari jumlah pegawai, tingkat pendidikan pegawai, keahlian, keterampilan, dan kemampuan para pegawai untuk melaksanakan tugas dan fungsi pada dinas sosial dan tenaga kerja kota Medan. 2. Sumber anggaran yaitu sumber dan besarnya pembiayaan untuk melaksanakan Perda Kota Medan Nomor 6 tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis. 3. Fasilitas yaitu sarana dan prasarana yang diperlukan dalam melaksanakan Perda Kota Medan Nomor 6 tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis. d. Struktur birokrasi, yaitu meliputi struktur organisasi, pembagian tugas dan wewenang, garis komando atau rentang kendali serta ketepatan atau kesesuaian pelaksanaan program dengan tingkat struktural dinas sosial dan tenaga kerja kota Medan.
53 Universitas Sumatera Utara