INKLUSI KEUANGAN DAN PERTUMBUHAN INKLUSIF SEBAGAI STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA
I MADE SANJAYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Inklusi Keuangan dan Pertumbuhan Inklusif sebagai Strategi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 I Made Sanjaya NIM H151110131
ii
RINGKASAN
I MADE SANJAYA. Inklusi Keuangan dan Pertumbuhan Inklusif sebagai Strategi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan M. PARULIAN HUTAGAOL. Pembangunan yang berkelanjutan menjadi syarat perlu bagi keberhasilan suatu negara, namun demikian belum cukup apabila tidak diikuti dengan pembangunan yang inklusif. Pembangunan yang inklusif dimaknai sebagai pertumbuhan yang tidak hanya menciptakan peluang ekonomi baru, tetapi juga menjamin aksesibilitas yang sama terhadap peluang yang tercipta untuk semua segmen masyarakat, khususnya bagi masyarakat miskin. Perkembangan perekonomian Indonesia selama 12 tahun terakhir menunjukan hal yang membanggakan, laju pertumbuhan perekonomian terus meningkat dari 4,4 persen pada tahun 2002 menjadi lebih dari 6 persen di tahun 2012. Selain itu, perubahan angka kemiskinan yang ditunjukan oleh besarnya tingkat penduduk miskin di Indonesia juga menunjukan hal yang positif. Sepanjang tahun 2002-2012 persentase jumlah penduduk miskin di Indonesia terus berkurang dari 20,2 persen menjadi 11,8 persen (BPS, 2014). Sementara itu pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi di Indonesia ternyata menimbulkan kesenjangan pendapatan yang tinggi. Angka rasio Gini tahun 2012 mencapai 0,400 dan meningkat menjadi 0,413 pada tahun 2013. Fakta diatas menunjukkan adanya sesuatu yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih terkait dengan proses dan pelaksanaan pembangunan ekonomi di Indonesia. Pengentasan kemiskinan perlu dilakukan dengan segera dan komperhensif. Salah satu cara mengentaskan kemiskinan adalah dengan inklusi keuangan. Penyediaan akses terhadap layanan keuangan merupakan hal penting yang perlu dilakukan karena hal tersebut berdampak pada perubahan pola konsumsi, investasi, pendidikan, dan menciptakan pendapatan bagi masyarakat miskin sehingga memperluas peluang pertumbuhan serta menciptakan pertumbuhan inklusif. Metode pembentukan indeks pertumbuhan inklusif dalam dihitung dengan menggunakan konsep fungsi peluang sosial (Social Opportunity Function) yang hampir sama dengan fungsi kesejahteraan sosial (Ali & Son, 2007). Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2007-2010 dominan digunakan karena SUSENAS menyediakan data yang sangat luas dan relatif konsisten setiap tahunnya. Partisipasi seluruh masyarakat dalam proses pertumbuhan menjadi bagian dari pertumbuhan inklusif yang multidimensi. Pendidikan dan pengetahuan mengenai aspek keuangan (financial education dan financial literacy) perlu diberikan kepada masyarakat miskin. Meningkatnya pengetahuan dan pendidikan keuangan di masyarakat akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin dan memperkecil ketimpangan. Penyediaan akses layanan dan jasa-jasa sektor keuangan yang terjangkau bagi masyarakat miskin secara langsung membuat kelompok masyarakat miskin ikut berpartisipasi dan menjadi agen pertumbuhan ekonomi sehingga menciptakan pertumbuhan yang inklusif yang dalam jangka panjang dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Kata kunci: kemiskinan, inklusi keuangan, pertumbuhan inklusif.
SUMMARY
I MADE SANJAYA. Financial Inclusion and Inclusive Growth as Poverty Alleviation Strategy in Indonesia. Supervised by NUNUNG NURYARTONO and M. PARULIAN HUTAGAOL. Sustainable development becomes a necessary condition for developing country however it is not enough without inclusive growth included. Inclusive growth is defined as growth that not only creates new economic opportunities, but also ensures equal access to the opportunities created for all segments of society, especially for the poor. The Indonesian economic groeth rate for the last 12 years shows a tremendous result, it increase from 4,4 percent in 2002 to greater than 6 percent in 2012. In addition, changes in the poverty figures indicated by the level of the poor population rate in Indonesia also shows a positive result. Throughout the 2002-2012, the percentage of the poor population in Indonesia has continued to decrease from 20,2% to 11,8% (BPS, 2014). Meanwhile, at the same time economic growth in Indonesia apparently cause high income discrepancies. The Gini ratio 2012 reached 0,400 and increase to 0,413 in 2013. Both facts above indicate that poverty alleviation and inequality are two main issues need to be resolved immediately in order to achieve sustainable development in Indonesia. Poverty alleviation needs to be done immediately and comprehensively. One of the strategies is through financial inclusion. Providing access to financial services is a substantial thing to be done because it will have an impact on changes in patterns of consumption, investment, education, and creating revenue for the poor and also expanding growth opportunities as well as creating inclusive growth. The measurement of inclusiveness either of financial sector and growth is needed in order to analyze the influence of financial inclusion to he inclusive growth. An index of financial inclusion and inclusive growh then developed by using the method the concept of social opportunity function which is almost similar as the social welfare function (Ali & amp; Son, 2007). National Social Economic Survey Data (SUSENAS) 2007-2010 predominantly used because SUSENAS’ data are very broad and relatively consistent each year. The participation of the whole community in the growth process becomes part of the multidimensional inclusive growth. Education and knowledge regarding financial aspects (financial education and financial literacy) needs to be given to the poor. Increasing the financial knowledge and education in the community will enhance the quality of life of the poor and minimize the inequality gaps. Provision of access services and financial sector of services that are affordable for the poor directly make the poor people participate and become an agent of economic growth thus creating an inclusive growth which in the long run will be able to detract the level of poverty in Indonesia. Keywords: financial inclusion, inclusive growth, poverty.
iv
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
INKLUSI KEUANGAN DAN PERTUMBUHAN INKLUSIF SEBAGAI STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA
I MADE SANJAYA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
vi
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani M.Si
Judul Tesis Nama NIM
: Inklusi Keuangan dan Pertumbuhan Inklusif sebagai Strategi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia : I Made Sanjaya : H151110131
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Nunung Nuryartono, MSi Ketua
Dr Ir M. Parulian Hutagaol, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Nunung Nuryartono, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 18 Juli 2014
Tanggal Lulus:
viii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini adalah pertumbuhan inklusif, inklusi keuangan dan kemiskinan dengan judul Inklusi Keuangan dan Pertumbuhan Inklusif sebagai Strategi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Terimakasih Penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Nunung Nuryartono, MSi dan Bapak Dr Ir M. Parulian Hutagaol, MSi selaku pembimbing, Bapak Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MSi dan Ibu Dr Ir Sri Mulatsih, MSi yang telah memberi banyak saran dan masukan dalam penyempurnaan isi tulisan ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) yang telah memberikan dukungan baik dalam bentuk finansial maupun penyediaan data-data yang dibutuhkan penulis. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, serta seluruh keluarga atas doa dan dukungan moril dalam penyelesaian penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini dapat berguna dan memberikan kontribusi bagi semua pihak terutama di bidang pendidikan. Bogor, Agustus 2014
I Made Sanjaya
x
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pertumbuhan Inklusif Pendefinisian Inklusi Keuangan Inklusi Keuangan dalam Pertumbuhan Inklusif – Penelitian Terdahulu Kerangka Pikir Hipotesis Penelitian METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data Indeks Pertumbuhan Inklusif Indonesia Indeks Inklusi Keuangan Indonesia Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Inklusif: Regresi Panel DINAMIKA PERTUMBUHAN INKLUSIF DAN INKLUSI KEUANGAN DI INDONESIA Dinamika Pertumbuhan Inklusif Indonesia Akses dan Distribusi Peluang Kesehatan di Indonesia Akses dan Distribusi Peluang Pendidikan di Indonesia Dinamika Inklusi Keuangan Indonesia Peningkatan Akses Masyarakat Miskin Terhadap Sektor Keuangan Formal Skala Industri Keuangan Indonesia Penyesuaian Layanan dan Kebutuhan Masyarakat STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DAN PERAN INKLUSI KEUANGAN DALAM PERTUMBUHAN INKLUSIF KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
xi xii xii xii 1 1 4 4 4 5 5 5 6 7 9 9 10 10 10 10 14 17 21 21 23 24 25 33 34 36 37 39 39 40 41 43 56
xii
DAFTAR GAMBAR 1 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia (2002-2012) 2 Kerangka Pikir Penelitian 3 Kurva Peluang 4 Ilustrasi Pergeseran Kurva Peluang 5 Ilustrasi Perhitungan Indeks Inklusi Keuangan 6 Kurva Peluang Layanan Sosial Indonesia (2007-2010) 7 Kurva Peluang Kesehatan Indonesia (2007-2010) 8 Kurva Peluang Pendidikan Indonesia (2007-2010) 9 Perkembangan Nilai IIK Indonesia.
2 9 11 13 16 21 24 25 31
DAFTAR TABEL 1 Ringkasan Tinjauan Pustaka 2 Dimensi-Dimensi Indeks Inklusi Keuangan 3 Dugaan Hubungan Variabel Penjelas Terhadap Indeks Pertumbuhan Inklusif 4 Indeks Peluang Akses Kesehatan, Pendidikan, dan Akses Sosial Indonesia (2007 – 2010) 5 Nilai Indeks Dimensi-dimensi penyusun Indeks Inklusi Keuangan 6 Indeks Inklusi Keuangan Indonesia, 2007-2010 (3 Dimensi). 7 Indeks Inklusi Keuangan Indonesia, 2007-2010 (2 Dimensi) 8 Statistik Deskriptif Nilai Indeks Inklusi Keuangan Indonesia Berdasarkan Kelompok Provinsi 9 Nilai Dimensi Indeks Inklusi Keuangan Indonesia 10 Hasil Regresi Data Panel Inklusi Keuangan dan Pertumbuhan Inklusif di Indonesia
8 15 18 22 26 29 30 32 35 37
DAFTAR LAMPIRAN 1 Definisi Inklusi Keuangan 2 Nilai Indeks Inklusi Keuangan Indonesia (2007-2010) 3 Nilai Indeks Dimenesi Aksesibilitas, Ketersediaan, Penggunaan, Jarak Euclidean 1 dan Jarak Euclidean 2 (2007-2010) 4 Profil Layanan Keuangan Mikro Indonesia 5 Ketersediaan dan Indeks Peluang Kesehatan (2007-2010) 6 Ketersediaan dan Indeks Peluang Pendidikan (2007-2010) 7 Ketersediaan dan Indeks Peluang Sosial (2007-2010) 8 Regresi panel Pertumbuhan Inklusif Indonesia (Pooled Least Square) 9 Regresi panel Pertumbuhan Inklusif Indonesia (Random Effect Model) 10 Regresi panel Pertumbuhan Inklusif Indonesia (Fixed Effect Model) 11 Hasil Uji Hausman 12 Hasil Uji Chow
43 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun terakhir berada pada kisaran 5-6 persen. Pertumbuhan ekonomi sangat diperlukan untuk bisa mengatasi berbagai persoalan yang masih mengemuka diantaranya pengurangan jumlah penduduk miskin dan pengangguran. Sebagaimana salah satu tujuan dari Millenium Development Goal bahwa pada tahun 2015 penduduk miskin di dunia pada umumnya dan Indonesia berkurang menjadi setengahnya. Namun demikian fakta yang ada menunjukkan bahwa penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia sampai dengan tahun 2013 masih belum seperti yang diharapkan (Gambar 1). Secara lebih rinci keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, pengurangan jumlah penduduk miskin dan kesenjangan di Indonesia adalah sebagai berikut. Perkembangan perekonomian Indonesia selama 12 tahun terakhir menunjukan hal yang membanggakan, laju pertumbuhan perekonomian terus meningkat dari 4,4 persen pada tahun 2002 menjadi lebih dari 6 persen di tahun 2012. Selain pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, perubahan angka kemiskinan yang ditunjukan oleh besarnya tingkat penduduk miskin di Indonesia juga menunjukan hal yang positif. Sepanjang tahun 2002 sampai dengan 2012 persentase jumlah penduduk miskin di Indonesia terus berkurang dari 20,2 persen menjadi 11,8 persen (BPS, 2014). Namun demikian terlihat bahwa laju pengurangan angka kemiskinan semakin melambat. Sementara itu pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi di Indonesia ternyata menimbulkan kesenjangan pendapatan yang tinggi. Angka rasio Gini tahun 2012 mencapai 0,400 dan meningkat menjadi 0,413 pada tahun 2013, angka ini merupakan angka yang cukup tinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Kedua fakta diatas menunjukkan adanya sesuatu yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih terkait dengan proses dan pelaksanaan pembangunan ekonomi di Indonesia. Sebagaimana yang disampaikan oleh ADB (2002) bahwa pembangunan yang berkelanjutan menjadi syarat perlu bagi keberhasilan satu negara, namun demikian belum cukup apabila tidak diikuti dengan pembangunan yang inklusif. Pembangunan yang inklusif dimaknai sebagai pertumbuhan yang tidak hanya menciptakan peluang ekonomi baru, tetapi juga menjamin akses yang sama terhadap peluang yang diciptakan untuk semua segmen masyarakat, khususnya bagi masyarakat miskin (Ali dan Son, 2007).
2
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia (2002-2012) Fenomena melambatnya laju pengurangan jumlah penduduk miskin salah satunya dikarenakan adanya faktor internal berupa kenaikan harga BBM pada tahun 2005 yang memberikan tekanan cukup tinggi bagi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Demikian juga halnya kelompok masyarakat yang berada tepat atau sedikit di atas garis kemiskinan. TNP2K (2014) menyatakan bahwa selama rentang waktu Maret – April 2013, tingkat inflasi berada pada posisi 5,02 persen yang meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 2012 pada periode yang sama (2,95 persen). Inflasi yang tinggi tersebut dikarenakan adanya peningkatan harga bahan bakar bersubsidi pada bulan Juni (premium dan solar); kenaikan harga beras pada bulan September 2012 dan kenaikan harga pada beberapa komoditas lainnya seperti daging ayam, telur, cabe, dan lainnya. Kenaikan harga bahan pangan tersebut berdampak cukup besar pada masyarakat miskin karena hampir 65 persen pendapatan mereka digunakan untuk konsumsi. Pada saat yang sama, pengeluaran masyarakat miskin meningkat. Dari data yang ada, sebanyak 20 persen masyarakat termiskin mengalami peningkatan pengeluaran untuk konsumsi sebesar 7,7 persen. Peningkatan ini lebih rendah daripada kenaikan garis kemiskinan sebesar 7,85 persen. Peningkatan pengeluaran konsumsi masyarakat miskin yang tidak lebih tinggi daripada peningkatan garis kemiskinan menyebabkan jumlah masyarakat miskin semakin besar. Berbagai program anti kemiskinan telah digulirkan oleh pemerintah dengan dana mancapai Rp 402,4 triliun selama periode 2006-2012, diantaranya mencakup Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Beras Miskin (RASKIN), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS), Program Keluarga Harapan (PKH), dan lainnya. Secara statistik dan dari aspek anggaran tentu saja hal ini dapat dikatakan bahwa program-program pengentasan kemiskinan belum secara efektif menurunkan angka kemiskinan yang terjadi di Indonesia.
3 Sementara itu pemerintah memiliki strategi upaya pengurangan jumlah penduduk miskin melalui 4 klaster utama yaitu: 1. Memperbaiki Program Perlindungan Sosial Sistem perlindungan sosial dimaksudkan untuk membantu individu dan masyarakat menghadapi goncangan-goncangan (shocks) dalam hidup, seperti jatuh sakit, kematian anggota keluarga, kehilangan pekerjaan, ditimpa bencana atau bencana alam, dan sebagainya. Sistem perlindungan sosial yang efektif akan mengantisipasi agar seseorang atau masyarakat yang mengalami goncangan tidak sampai jatuh miskin. 2. Meningkatkan Akses Terhadap Pelayanan Dasar Akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi, serta pangan dan gizi akan membantu mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh kelompok masyarakat miskin. Disisi lain peningkatan akses terhadap pelayanan dasar mendorong peningkatan investasi modal manusia (human capital). 3. Pemberdayaan Kelompok Masyarakat Miskin Upaya penanggulangan kemiskinan sangat penting untuk tidak memperlakukan penduduk miskin semata-mata sebagai obyek pembangunan. Upaya untuk memberdayakan penduduk miskin perlu dilakukan agar penduduk miskin dapat berupaya keluar dari kemiskinan dan tidak jatuh kembali ke dalam kemiskinan. 4. Pembangunan Inklusif Klaster keempat adalah pembangunan yang inklusif yang diartikan sebagai pembangunan yang mengikutsertakan dan sekaligus memberi manfaat kepada seluruh masyarakat. Partisipasi menjadi kata kunci dari seluruh pelaksanaan pembangunan. Pengentasan kemiskinan perlu dilakukan dengan segera dan komperhensif. Strategi pengentasan kemiskinan yang efektif perlu dilakukan dalam memberantas kemiskinan di Indonesia. Salah satu cara adalah dengan inklusi keuangan. (Demirgüç-Kunt et al, 2008) menyatakan bahwa sektor keuangan merupakan induk dari proses pembangunan. Sistem keuangan yang inklusif dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan fasilitas-fasilitas yang aman dan efisien bagi kegiatan dalam sektor keuangan. Inklusi keuangan dapat dijadikan sebagai suatu strategi yang dapat mengatasi masalah ketimpangan dan kemiskinan. Penyediaan akses layanan dan jasa-jasa sektor keuangan yang terjangkau bagi masyarakat miskin secara langsung dapat membuat kelompok masyarakat miskin berpartisipasi dan menjadi agen pertumbuhan ekonomi. Pemerataan jangkauan pelayanan jasa keuangan akan mampu menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi baru yang lebih cepat dan menyeluruh. Adanya inklusi keuangan akan mampu menciptakan pertumbuhan yang lebih merata dan menyebar keseluruh wilayah Indonesia (pertumbuhan inklusif). Pentingnya inklusi keuangan yang berdasarkan atas prinsip pemerataan dan pertumbuhan harus menjadi perhatian bagi para pembuat kebijakan, untuk itu inklusi keuangan sangat dibutuhkan dalam proses pengentasan kemiskinan. Hal ini penting dilakukan untuk menjawab tantangan pemerintah Indonesia yang saat ini mempunyai target untuk terus menurunkan angka kemiskinan menjadi 8-10 persen pada tahun 2014.
4 Perumusan Masalah Sebagaimana yang telah dijelaskan, laju pertumbuhan yang cukup tinggi tidak diikuti dengan penurunan jumlah orang miskin di Indonesia dan pemerataan. Pertumbuhan yang inklusif dengan dukungan inklusi keuangan harus menjadi komitmen pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Pertumbuhan inklusif adalah penyetaraan pertumbuhan ekonomi yang salah satu caranya adalah melalui inklusi keuangan. Inklusi keuangan meningkatkan akses masyarakat untuk terlibat lebih dalam aktifitas perbankan, meningkatkan kesadaran dan akses perbankan, dan meningkatkan kapasitas rumah tangga miskin serta Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk dapat berinteraksi dengan perbankan. Berdasarkan uraian singkat diatas, ada beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana perkembangan pertumbuhan inklusif di Indonesia? 2. Bagaimana perkembangan inklusi keuangan di Indonesia? 3. Bagaimana keterkaitan inklusi keuangan dan pertumbuhan inklusif? 4. Bagaimana strategi yang dapat diterapkan dalam pengentasan kemiskinan melalui inklusi keuangan dan pertumbuhan inklusif?
Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi inklusi keuangan dan pertumbuhan inklusif yang terjadi di Indonesia. Namun, secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab beberapa permasalahan, yaitu: 1. Menganalisis pertumbuhan inklusif di Indonesia. 2. Menganalisis inklusi keuangan di Indonesia. 3. Menganalisis peran inklusi keuangan dalam pertumbuhan inklusif di Indonesia. 4. Merumuskan strategi pengentasan kemiskinan melalui inklusi keuangan dan pertumbuhan inklusif di Indonesia.
Manfaat Penelitian Merujuk pada tujuan penelitian diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan setidaknya dua manfaat, yaitu: 1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memperkaya konsep atau teori yang mendorong perkembangan ilmu pengetahuan terkait dengan inklusi keuangan. 2. Manfaat praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan tinjauan bagi pihak-pihak terkait dalam merumuskan strategi peningkatan kesejahteraan, pemerataan distribusi pendapatan maupun peluang/kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
5 Manfaat bagi penulis dengan dilakukannya penelitian ini adalah diharapkan dapat memperoleh kesempatan untuk lebih mendalami dan memperluas pengetahuan tentang peran pemerintah dalam mengatasi kemiskinan yang terjadi di Indonesia melalui inklusi keuangan.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis kondisi pertumbuhan inklusif dan inklusi keuangan Indonesia periode 2007 – 2010 di 33 provinsi. Inklusi keuangan dalam penelitian ini dibatasi pada kelompok masyarakat dan rumah tangga miskin di Indonesia. Fokus penelitian ini adalah pada pertumbuhan ekonomi, ketimpangan dan kemiskinan. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang sebagian besar bersumber dari Badan Pusat Statistik yaitu Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Metode yang digunakan dalam penelitian ini disadur dari penelitian sejenis yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan beberapa penyesuaian.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Pertumbuhan Inklusif Keberlanjutan dan efektivitas pertumbuhan dalam mengurangi tingkat kemiskinan dapat dilakukan jika pertumbuhan tersebut inklusif. Dalam pertumbuhan inklusif tidak ada diskriminasi apapun dalam keterlibatan semua pihak maupun sektor ekonomi yang tercakup di dalamnya. Studi yang dilakukan oleh (Klasen, 2010) menyatakan bahwa pertumbuhan inklusif sangat erat kaitannya dengan konsep pertumbuhan yang pro-kemiskinan. Sehingga, hasil capaian dalam pertumbuhan inklusif adalah menurunnya tingkat atau jumlah kelompok yang tidak diuntungkan. Konsep pertumbuhan inklusif dijabarkan secara berbeda-beda oleh beberapa peneliti. Menurut Bank Dunia melalui The Commission on Growth and Development (2008) pertumbuhan inklusif merupakan pertumbuhan yang fokus pada perluasan skala ekonomi, perluasan akses aset perekonomian dan pasar yang pada akhirnya menciptakan kemerataan peluang bagi generasi selanjutnya. Mereka juga mengungkapkan bahwa pertumbuhan inklusif adalah sebuah konsep yang mencakup ekuitas, kesetaraan peluang dan perlindungan di pasar, dan transisi tenaga kerja yang sangat dibutuhkan untuk kesuksesan strategi pertumbuhan. Pertumbuhan inklusif diperlukan untuk mengentaskan kemiskinan secara cepat dan berkelanjutan yang memberikan manfaat serta mengikutsertakan seluruh masyarakat untuk berkontribusi dalam proses pertumbuhan. Menurut International Disability and Development Consortium (IDDC, 2013), pertumbuhan inklusif merupakan sebuah proses untuk memastikan bahwa semua kelompok yang
6 terpinggirkan (termarginalkan/miskin) dapat terlibat dalam proses pembangunan. Konsep tersebut mengupayakan pemberian hak bagi kelompok/kaum yang termarginalkan di dalam proses pembangunan. Pertumbuhan dianggap sebagai pertumbuhan yang pro-kemiskinan apabila masyarakat miskin diuntungkan yang tercermin dari beberapa ukuran kemiskinan yang disepakati secara luas (Ravallion & Chen, 2002). Lebih jauh lagi, (Kraay, 2004) menyatakan bahwa pertumbuhan dikatakan pro-kemiskinan jika dan hanya jika pendapatan dari masyarakat miskin tumbuh lebih cepat daripada pendapatan masyarakat secara keseluruhan (penurunan ketimpangan pendapatan). Dengan fokus pada ketimpangan, pertumbuhan inklusif dapat menciptakan hasil yang optimal bagi masyarakat miskin maupun masyarakat tidak miskin.
Pendefinisian Inklusi Keuangan Sampai dengan saat ini tidak ada definisi tertentu yang menggambarkan inklusi keuangan. Berbagai peneliti mendefinisikan inklusi keuangan dengan definisinya masing-masing. Dalam beberapa literatur, inklusi keuangan didefinisikan sebagai isu yang lebih luas dari inklusi sosial. Definisi dari inklusi keuangan juga sering dianggap sebagai antitesis dari eksklusi keuangan. (Leyshon & Thrift, 1995) mendefiniskan inklusi keuangan sebagai antitesis dari eksklusi keuangan, yaitu berbagai proses yang menyediakan kepada sejumlah kelompok sosial atau individu tertentu untuk mendapatkan akses kepada sistem keuangan formal. Mereka menjelaskan bahwa eksklusi keuangan memberikan dampak yang sangat penting bagi pertumbuhan yang tidak imbang karena eksklusi keuangan menciptakan perbedaan pendapatan dan ketimpangan semakin kuat. Eksklusi keuangan juga didefiniskan sebagai ketidakmampuan untuk mendapatkan akses layanan keuangan yang diperlukan dalam bentuk yang tepat. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya permasalahan aksesibilitas, perbedaan kondisi, harga, dan pengecualian diri untuk merespon sebuah persepsi atau pengalaman negatif (Sinclair, 2001). Sama halnya dengan Leyshon dan Thrift, (Carbo et al, 2005) mendefinisikan eksklusi keuangan sebagai ketidakmampuan beberapa kelompok masyarakat dalam mengakses sistem keuangan. Dalam perkembangannya pemerintah India melalui Committee on Financial Inclusion in India, memperkenalkan inklusi keuangan sebagai sebuah proses dalam penyediaan akses layanan keuangan dan kredit yang memadai yang dibutuhkan oleh kelompok masyarakat seperti masyarakat berpendapatan rendah dengan biaya yang terjangkau (Rangarajan Committee, 2008). (Sarma, 2012) kemudian menterjemahkan inklusi keuangan sebagai sebuah proses yang dapat memastikan kemudahan untuk mendapatkan akses, ketersediaan dan penggunaan layanan sistem keuangan formal bagi seluruh masyarakat. Terdapat beberapa definisi lain terkait inklusi keuangan yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada dasarnya terdapat tiga kata kunci dalam inklusi keuangan yaitu: penyediaan akses, kelompok masyarakat, dan sistem keuangan. Berdasarkan ketiga kata kunci tersebut, dalam penelitian ini inklusi keuangan didefinisikan sebagai penyediaan akses bagi masyarakat termarginalkan (masyarakat miskin) untuk
7 dapat memiliki dan menggunakan layanan sistem keuangan. Seperti definisi yang dibuat oleh Sarma (2012), terdapat tiga dimensi yang harus diperhatikan dalam inklusi keuangan yaitu aksesibilitas, ketersediaan, dan penggunaan layanan sistem keuangan. Perbedaan yang ada terkait dengan definisi inklusi keuangan pada penelitian ini adalah mengenai kelompok masyarakat. Sarma (2012) menuliskan bahwa ketiga dimensi yang ada diukur untuk keseluruhan masyarakat, sedangkan dalam penelitian ini ketiga dimensi tersebut diukur untuk kelompok masyarakat tertentu yaitu masyarakat miskin. Hal ini dikarenakan masyarakat miskin lebih mendapatkan dampak dari masalah aksesibilitas terhadap sektor keuangan dibandingkan dengan masyarakat tidak miskin.
Inklusi Keuangan dalam Pertumbuhan Inklusif – Penelitian Terdahulu Masyarakat miskin rentan terhadap eksklusi keuangan karena masalah utama mereka muncul dari kebutuhan finansial. Dengan memanfaatkan skala ekonomi dan membuat kebijakan penggunaan subsidi layanan keuangan formal yang ditargetkan, penurunan bahkan penghapusan ketidaksempurnaan pasar dapat dilakukan dan memfasilitasi inklusi keuangan untuk masyarakat miskin. Hal tersebut akan berdampak pada meningkatnya pendapatan masyarakat miskin. Penyediaan akses layanan keuangan memiliki potensi untuk mengangkat masyarakat miskin keluar dari lingkaran kemiskinan. Inklusi keuangan akan menciptakan budaya menabung, penghematan, dan memungkinkan untuk terciptanya mekanisme pembayaran yang efisien dan rendah biaya. Penyediaan akses terhadap layanan keuangan merupakan hal penting yang perlu dilakukan karena hal tersebut berdampak pada perubahan pola konsumsi, investasi, pendidikan, dan menciptakan pendapatan bagi masyarakat miskin sehingga memperluas peluang pertumbuhan serta menciptakan pertumbuhan inklusif (Dixit & Ghosh, 2013). Dalam perkembangannya, belum banyak literatur yang meneliti terkait dengan inklusi keuangan dan pertumbuhan inklusif secara bersamaan. Untuk itu, salah satu tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran dari inklusi keuangan terhadap pertumbuhan inklusif. Terdapat empat pustaka yang menjadi acuan utama penelitian ini (Tabel 1).
8 Tabel 1. Ringkasan Tinjauan Pustaka Penelitian Judul: (Measuring Inclusive Growth) Peneliti: Ifzal Ali dan Hyun Hwa Son Tahun: 2007
Judul: (Financial Inclusion and Development: A Cross Country Analysis) Peneliti: Mandira Sarma dan Jesim Pais Tahun: 2008
Judul: (Inclusive Growth: Measurement and Determinants) Peneliti: Rahul Anand, Saurabh Mishra, dan Shanaka J. Peiris pada working paper IMF Tahun: 2013 Judul: (Financial Inclusion for Inclusive Growth) Peneliti: Vijay Kelkar Tahun: 2010
Keterangan Tujuan: Membentuk Indeks Pertumbuhan Inklusif Pendekatan Metode: Kurva Peluang Sosial Fokus penelitian: Sektor kesehatan dan pendidikan di Filipina Isu: Indeks yang terbentuk dapat menunjukan bagaimana pertumbuhan terdistribusi secara merata bagi seluruh lapisan masyarakat Hasil Penelitian: Analisis pergerakan dinamis pertumbuhan inklusif antar dua titik waktu Tujuan: Membandingkan inklusivitas sektor keuangan beberapa negara Pendekatan Metode: Financial Inclusion Index(IFI) Fokus penelitian: Pembentukan Indeks Inklusi Keuangan beberapa negara Isu: Menganalisis indeks inklusi keuangan pada negara Maju dan Berkembang Hasil: Analisis faktor-faktor sektor perbankan yang mempengaruhi inklusi keuangan Tujuan: Membentuk Indeks Pertumbuhan Inklusif terpadu Pendekatan Metode: Consumer Choice Literature, fungsi kesejahteraan sosial Fokus penelitian: Pembentukan Indeks Pertumbuhan Inklusif dan faktor-faktor yang mempengaruhinya Isu Utama: Dasar-dasar dalam pencapaian pertumbuhan inklusif Hasil Penelitian: Analisis stabilitas makroekonomi, modal manusia, dan perubahan struktural adalah dasar untuk mencapai pertumbuhan inklusif Tujuan: Menganalisis bahwa pertumbuhan inklusif membutuhkan inklusi keuangan Pendekatan Metode: Kualitatif Fokus penelitian: Inklusi Keuangan dan Pertumbuhan Inklusif Isu Utama: Inklusi keuangan merupakan induk dari semua bidang pemasaran. Semakin inklusif sektor keuangan, semakin menipis kesenjangan dan ketimpangan untuk pertumbuhan yang inklusif. Hasil lain: Menjelaskan tentang bagaimana produk-produk jasa keuangan dapat dijangkau oleh masyarakat termarginalkan.
9 Kerangka Pikir Jasa dan layanan yang disediakan oleh sektor keuangan formal belum sepenuhnya dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan oleh pernyataan Bank Dunia yang mengatakan bahwa 50 persen masyarakat Indonesia masih mempunyai akses yang sangat terbatas untuk mendapatkan layanan jasa keuangan yang terjangkau, terutama masyarakat semi perkotaan dan perdesaan. Di samping itu, rasio Gini di Indonesia masih besar, hal ini menunjukan bahwa hasil pertumbuhan yang ada belum dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Sehingga dibutuhkan strategi inklusi keuangan yang dapat memberikan akses yang terjangkau kepada masyarakat miskin terhadap layanan sektor keuangan yang akan menciptakan pertumbuhan inklusif. Hal ini akan menurunkan ketimpangan, kemiskinan, dan membentuk pertumbuhan yang menyeluruh sehingga dapat menjadi sebuah strategi dalam penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia (Gambar 2).
Sektor Keuangan
Target Masyarakat Miskin (Excluded people)
Pertumbuhan Ekonomi
Ketimpangan tinggi Kemiskinan Pertumbuhan tidak inklusif
Inklusi keuangan
Pertumbuhan Inklusif
1. Akses yang lebih baik 2. Jasa dan layanan keuangan yang terjangkau
Ketimpangan rendah Kemiskinan turun Pertumbuhan menyeluruh
Penanggulangan Kemiskinan dan Ketimpangan
Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian
Hipotesis Penelitian Perumusan hipotesis penelitian ini adalah bahwa secara rata-rata kondisi inklusi keuangan di Indonesia masih rendah. Inklusi keuangan secara signifikan
10 mempengaruhi indeks pertumbuhan inklusif yang terjadi. Beberapa strategi dalam pencapaian pertumbuhan yang inklusif melalui inklusi keuangan mutlak diperlukan dengan tujuan pengentasan kemiskinan. Para pembuat kebijakan diharapkan dapat meningkatkan inklusivitas keuangan dengan tujuan menjadikan pertumbuhan ekonomi menjadi pertumbuhan yang inklusif yang akan meningkatkan laju pengurangan jumlah orang miskin dan menurunkan ketimpangan yang terjadi selama ini.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Data sekunder digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini. Data tersebut berasal dari berbagai sumber seperti Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, Bank Dunia, dan sumber lain yang terkait. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dominan digunakan karena SUSENAS menyediakan cakupan data yang sangat luas dan relatif konsisten setiap tahunnya. Data SUSESNAS yang digunakan adalah data set pada tahun 2007 – 2010.
Metode Analisis Data Indeks Pertumbuhan Inklusif Indonesia Metode pembentukan indeks pertumbuhan inklusif dalam penelitian ini mengacu pada metode yang digunakan oleh (Ali & Son, 2007) yang mengatakan bahwa pertumbuhan inklusif dihitung dengan menggunakan konsep fungsi peluang sosial (Social Opportunity Function) yang hampir sama dengan fungsi kesejahteraan sosial. Perhitungan pertumbuhan inklusif didasarkan pada maksimisasi fungsi peluang sosial yang bergantung pada dua faktor yaitu banyaknya ketersediaan peluang rata-rata di masyarakat, dan bagaimana peluang tersebut didistribusikan ke seluruh masyarakat. Pertumbuhan inlusif terjadi pada saat adanya perpindahan rata-rata peluang sosial dari masyarakat tidak miskin kepada masyarakat miskin. Sebagai contoh, jika ada sejumlah n orang didalam suatu populasi dengan pendapatan masing-masing sebesar x1, x2, x3,…, xn, dimana x1 merupakan pendapatan masyarakat yang paling rendah, dan xn menunjukan pendapatan masyarakat yang paling tinggi. Fungsi kesejahteraan sosial (S) dapat dituliskan dengan sistem persamaan sebagai berikut:
S S x1 , x2 , x3 ,....., xn ........................................................................................(1)
11 hampir sama dengan fungsi kesejahteraan sosial, fungsi peluang sosial (P) dapat didefinisikan sebagai berikut:
P P y1 , y2 , y3 ,..., yn
....................................................................................... (2)
dimana yi merupakan besarnya peluang yang dimiliki oleh orang ke-i dengan pendapatan sebesar xi dan yn merupakan besarnya peluang yang dimiliki oleh orang ke-n dengan pendapatan sebesar xn. Peluang disini dapat diartikan dengan berbagai bentuk pelayanan sosial misalnya; kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja, dan lainnya. Nilai peluang di dalam fungsi tersebut berupa nilai biner yaitu 0 dan 100, dimana nilai 0 (nilai terendah) akan diperoleh jika seseorang tidak memiliki peluang (akses) terhadap jasa/layanan yang tersedia, dan nilai 100 akan dimiliki oleh mereka yang memperoleh peluang (akses) terhadap layanan yang ada. Dengan begitu, nilai peluang rata-rata yang dimiliki oleh seluruh masyarakat dapat dirumuskan sebagai berikut:
y
1 n yi n i 1 ......................................................................................................... (3)
dimana nilai peluang rata-rata (𝑦̅) tersebut juga mencerminkan persentase banyaknya masyarakat (n) yang memiliki peluang (akses) yang tersedia. Rata-rata akses peluang (𝑦̅) C D B 𝑦̅ 𝑦̅ ∗
A Persentase populasi (0 < pp < 100)
pp = 100 Mencakup seluruh individu
Keterangan: AD = kurva peluang sosial dimana masyarakat dengan pendapatan yang lebih tinggi memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat dengan pendapatan yang lebih rendah. BD = kurva peluang sosial dimana setiap individu dalam masyarakat menikmati sejumlah peluang yang sama. CD = kurva peluang sosial dimana masyarakat miskin memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat yang tidak miskin. Sumber: (Ali & Son, 2007) dengan penyesuaian.
Gambar 3. Kurva Peluang
12 Pengukuran besarnya perubahan yang terjadi pada distribusi peluang, membutuhkan nilai rata-rata peluang diseluruh masyarakat dan sebuah asumsi terkait dengan fungsi peluang sosial yang digunakan. Salah satu bentuk sederhana dari fungsi peluang sosial yang dapat digunakan adalah dengan cara membuat sebuah indeks dari luasan yang terbentuk di bawah kurva peluang. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 100
y *
y 0
pp
dp
.....................................................................................................(4)
indeks ini disebut dengan Indeks Peluang Sosial (𝑦̅ ∗ ). Semakin besar nilai dari indeks ini, maka akan semakin besar peluang yang tersedia di masyarakat. Tujuan dari pembangunan inklusif adalah dengan memaksimumkan nilai indeks peluang sosial tersebut. Jika setiap individu dalam masyarakat menikmati sejumlah peluang yang sama, maka hal itu akan ditunjukan dengan nilai yang sama antara 𝑦̅ ∗ dan 𝑦̅ (Kurva BD pada Gambar 3). Oleh karena itu, perbedaan antara 𝑦̅ ∗ dan 𝑦̅ akan menunjukan indikasi bagaimana peluang terdistribusi diantara individu. Jika 𝑦̅ ∗ memiliki nilai yang lebih besar dari 𝑦̅, maka dapat dikatakan peluang yang ada terdistribusi secara merata (pro-kemiskinan), dan sebaliknya, jika 𝑦̅ ∗ bernilai lebih rendah dari 𝑦̅ maka peluang yang ada tidak terdistribusi secara merata (anti-kemiskinan). Dengan ide seperti ini, maka dapat dibuat sebuah indeks yang menyatakan seberapa meratanya distribusi peluang yang ada, yang dinamakan Indeks Distribusi Peluang (φ) dengan persamaan:
y* y .................................................................................................................(5)
yang menunjukan bahwa peluang yang ada terdistribusi secara merata (tidak merata) jika nilai φ lebih besar (lebih kecil) dari 1. Berdasarkan persamaan tersebut, dapat diturunkan sebuah persamaan: y * y ...............................................................................................................(6)
yang menunjukan bahwa Indeks Peluang Sosial (𝑦̅ ∗ ) merupakan produk dari Indeks Distribusi Peluang dan rata-rata peluang yang tersedia di masyarakat. Pertumbuhan inklusif dapat dicapai dengan cara meningkatkan indeks pertumbuhan sosial. Indeks Peluang Sosial dapat ditingkatkan dengan tiga cara, yaitu; meningkatkan rata-rata peluang yang tersedia (𝑦̅), meningkatkan nilai Indeks Distribusi Peluang (φ) atau meningkatkan rata-rata peluang yang tersedia sekaligus Indeks Distribusi Peluang secara bersamaan (φ𝑦̅). Untuk memahami pergerakan pertumbuhan inklusif, dilakukan diferensiasi pada persamaan sebelumnya di kedua sisinya: dy * dy yd ..................................................................................................(7)
13 dimana 𝑑𝑦̅ ∗ mengukur derajat perubahan inklusivitas pertumbuhan. Pertumbuhan akan semakin inklusif jika 𝑑𝑦̅ ∗ > 0. Bentuk pertama sisi sebelah kanan pada persamaan di atas (𝜑𝑑𝑦̅) merupakan kontribusi dari peningkatan rata-rata peluang yang ada di masyarakat untuk pertumbuhan inklusif pada saat distribusi peluang tidak berubah dan bentuk kedua (𝑦̅𝑑𝜑) merupakan kontribusi dari perubahan nilai distribusi peluang pada saat rata-rata peluang yang ada tidak berubah. Kontribusi dari kedua hal tersebut menyebabkan implikasi kebijakan yang sangat penting. Keduanya dapat menerangkan bagaimana kebijakan pemerintah atau strategi pembangunan dapat mempengaruhi inklusivitas pertumbuhan. Sebagai contoh, jika 𝑦̅𝑑𝜑 memiliki nilai yang lebih besar dari 𝜑𝑑𝑦̅ pada persamaan 7, hal ini berarti strategi pembangunan fokus kepada pemerataan peluang dan memberikan masyarakat miskin peluang yang lebih besar dibandingkan dengan meningkatkan rata-rata peluang sosial untuk seluruh masyarakat (Gambar 4, kurva B2C2).
Sumber: (Ali & Son, 2007) dengan penyesuaian.
Gambar 4. Ilustrasi Pergeseran Kurva Peluang Pembentukan derajat inklusivitas pertumbuhan memungkinkan terjadinya trade-off antara y dan dimana jika y meningkat, nilai dapat saja berkurang atau sebaliknya. Sebagai contoh, jika 𝜑𝑑𝑦̅ bernilai positif dan 𝑦̅𝑑𝜑 bernilai negatif, maka peningkatan nilai rata-rata peluang yang ada di seluruh masyarakat terjadi karena peningkatan ketimpangan akses peluang yang ada di masyarakat. Gambar 4 mengilustrasikan kondisi tersebut dengan pergeseran kurva dari BC menjadi B4C4. Sebaliknya, jika 𝜑𝑑𝑦̅ bernilai negatif dan 𝑦̅𝑑𝜑 bernilai positif, hal ini berarti penurunan ketimpangan distribusi peluang sosial merupakan hasil dari berkurangnya rata-rata peluang yang ada di masyarakat (pergeseran dari kurva BC menjadi B1C1). Pergeseran kurva BC menjadi B2C2 pada Gambar 4 menunjukan
14 bahwa terjadi peningkatan nilai rata-rata peluang yang ada di masyarakat diikuti dengan penurunan ketimpangan akses peluang di dalamnya. Secara matematis kondisi ini dituliskan dengan nilai positif dari 𝜑𝑑𝑦̅ dan juga 𝑦̅𝑑𝜑. Perubahan pertumbuhan mengindikasikan hal yang buruk jika terjadi penurunan rata-rata peluang yang ada di masyarakat yang diakibatkan dari meningkatnya ketimpangan akses peluang (𝜑𝑑𝑦̅ bernilai negtif dan 𝑦̅𝑑𝜑 bernilai negatif), hal ini tergambarkan dari pergeseran kurva BC menjadi B3C3 pada Gambar 4. Inklusivitas pertumbuhan akan sangat tergantung bobot dari kontribusi masing-masing pengaruh. Nilai dari y dan tidak akan selalu berkebalikan, nilai y dapat saja naik (turun) bersamaan dengan nilai . Jika keduanya bernilai positif, maka pertumbuhan tersebut adalah pertumbuhan inklusif, tetapi jika keduanya bernilai negatif, maka pertumbuhan tersebut bukan merupakan pertumbuhan inklusif.
Indeks Inklusi Keuangan Indonesia Pengukuran nilai indeks inklusi keuangan dilihat dari tiga dimensi. Dimensidimensi tersebut adalah dimensi aksesibilitas (d1) dimana dalam dimensi aksesibilitas ini diukur seberapa jauh masyarakat miskin dapat mengakses sektor keuangan formal di Indonesia. Kedua, adalah dimensi ketersediaan (d2) yang mengukur seberapa besar layanan sektor keuangan tersebar untuk seluruh masyarakat di Indonesia. Ketiga, adalah dimensi penggunaan (d3) yang mengukur kemampuan masyarakat miskin dalam menggunakan layanan sektor keuangan formal yang tersedia. Pengukuran indeks inklusi keuangan dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan indeks untuk dimensi-dimensi dalam inklusi keuangan dengan persamaan sebagai berikut:
di wi
Ai mi ; i 1, 2,3. M i mi ................................................................................(8)
dimana: di = dimensi ke-i (d1 = aksesibilitas, d2 = ketersediaan, d3 = penggunaan) wi = bobot yang diberikan kepada dimensi ke-i Ai = nilai aktual dimensi ke-i Mi = nilai maksimum dimensi ke-i mi = nilai minimum dimensi ke-i Dimensi aksesibilitas menunjukan seberapa besar aksesibilitas masyarakat termarjinalkan (masyarakat miskin) terhadap layanan sektor keuangan formal yang tersedia. Aksesibilitas tersebut diukur berdasarkan kemampuan masyarakat miskin untuk ikut serta dalam sektor keuangan formal seperti bank dan lembaga keuangan formal lainnya. Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur kemampuan masyarakat miskin ikut serta dalam sektor keuangan formal adalah pendapatan masyarakat miskin yang didekati dengan status pekerjaan yang dimiliki. Masyarakat miskin dikatakan mampu untuk ikut serta dalam sektor keuangan formal jika mempunyai pendapatan tetap setiap bulannya.
15 Hal ini dilakukan karena pendapatan yang pasti dari masyarakat merupakan salah satu syarat institusi atau lembaga keuangan formal –misalnya bank– dalam menerima seorang nasabah. Semakin banyak masyarakat miskin yang bekerja dan memiliki pendapatan tetap, berarti semakin banyak masyarakat miskin yang sebenarnya memiliki akses kepada sektor keuangan formal sehingga hal tersebut akan meningkatkan nilai indeks inklusi keuangan. Dimensi ketersediaan menunjukan banyaknya layanan dan jasa lembaga keuangan formal terhadap keseluruhan masyarakat. Semakin besar nilai dimensi ini menunjukan bahwa layanan dan jasa keuangan formal mendukung proses inklusi keuangan. Variabel yang digunakan untuk pendekatan dimensi ketersediaan adalah rasio antara jumlah kantor bank (baik bank syariah, bank swasta, maupun bank daerah) terhadap 100.000 masyarakat dewasa. Semakin besar rasio tersebut menunjukan bahwa sektor keuangan formal cukup baik dalam menyediakan layanan maupun jasa keuangan bagi masyarakat. Kedua dimensi diatas tidak cukup untuk dijadikan indikator bahwa sebuah wilayah (negara maupun daerah) sudah mengalami inklusi keuangan yang lebih baik. Indikator penggunaan terhadap layanan sektor keuangan formal juga merupakan faktor penting dalam proses inklusi keuangan. Penggunaan layanan sektor keuangan formal menjadi dimensi ketiga dalam penelitian ini disebut dengan dimensi penggunaan. Dimensi penggunaan menunjukan seberapa banyak masyarakat miskin yang menggunakan layanan dan jasa keuangan yang diberikan oleh lembaga atau institusi keuangan formal. Semakin besar nilai dimensi penggunaan merupakan salah satu indikator semakin inklusif sektor keuangan di sebuah wilayah. Variabel yang digunakan untuk mengukur hal tersebut adalah jumlah rumah tangga miskin yang mendapatkan kredit perbankan dibandingkan dengan jumlah keseluruhan masyarakat miskin yang memiliki akses kepada sektor keuangan formal. Semakin banyak masyarakat miskin yang mendapat kredit dari perbankan akan meningkatkan nilai rasio tersebut sehingga indeks dimensi penggunaan akan semakin besar, yang menunjukan bahwa sektor keuangan semakin inklusif. Tabel 2. Dimensi-Dimensi Indeks Inklusi Keuangan Dimensi Dimensi Aksesibilitas (d1) Dimensi Ketersediaan (d2) Dimensi Penggunaan (d3)
Variabel Rasio jumlah masyarakat dewasa miskin yang memiliki pendapatan tetap dengan jumlah masyarakat dewasa miskin Jumlah kantor bank per 100.000 masyarakat dewasa Rasio jumlah rumah tangga miskin yang memperoleh kredit perbankan terhadap jumlah keseluruhan rumah tangga miskin.
Nilai di untuk i = 1, 2 atau 3 akan berada pada selang antara 0 dan wi (Gambar 5). Semakin tinggi nilai di mengindikasikan semakin sukses sebuah wilayah atau negara dalam pencapaian dimensi ke-i. Pencapaian inklusi keuangan sebuah negara ditunjukan oleh titik X = (d1,d2,d3). Dalam konteks dimensi, titik O = (0,0,0) merepresentasikan nilai terburuk, sementara titik W = (w1,w2,w3) –dimana w1, w2, dan w3 merupakan bobot yang diberikan untuk masing-masing dimensi– akan merepresentasikan situasi pencapaian yang ideal dan tinggi untuk semua dimensi.
16 Dimensi Aksesibilitas (d1)
W (w1,w2,w3) (w1,0,0)
Dimensi Penggunaan (d3)
X (d1,d2,d3) (0,0,w3)
d1 d3
O
---X1 ---------- 1-X2 IIK = 0,5 [X1 + X2]
(0,w2,0)
d2
Dimensi Ketersediaan (d2)
Sumber: (Sarma & Pais, 2008) dengan penyesuaian. Catatan: IIK = Indeks Inklusi Keuangan
Gambar 5. Ilustrasi Perhitungan Indeks Inklusi Keuangan Perhitungan indeks inklusi keuangan dihitung berdasarkan jarak antara titik terburuk dan capaian dimensi (O-X atau X1) juga jarak antara titik pencapaian yang ideal dan capaian dimensi (W-X atau X2). Hal ini dilakukan dengan rumus:
X1
d12 d 22 d32 w12 w22 w32 dan
w1 d1 w2 d2 w3 d3 2
X 2 1
2
w12 w22 w32
2
...........(9)
Persamaan (X1) menunjukan jarak Euclidcan (Euclidcan distance) X dari titik terburuk O, dinormalisasi dengan jarak titik terburuk O dan titik ideal W. Normalisasi ini dilakukan untuk mendapatkan nilai X1 yang ada diantara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai X1 menunjukan semakin tinggi inklusi keuangan. Persamaan (X2) merupakan jarak Euclidcan terbalik X dari titik ideal W. Dalam kasus ini jarak Euclidcan ditunjukan dari formula yang berada di sebelah kanan tanda negatif (-), kemudian di normalisasi dengan memberikan angka 1 didepan tanda negatif. Normalisasi terhadap jarak titik terburuk dan titik pencapaian ideal juga dilakukan untuk membuat nilai X2 berada diselang 0 dan 1 dan pembalikan dilakukan agar mendapatkan interpretasi dimana semakin tinggi nilai X2 maka semakin tinggi tingkat capaian inklusi keuangan. Mengadopsi dari penelitian yang dilakukan oleh Sarma, pada penelitian ini diasumsikan bahwa semua dimensi yang digunakan dalam pembentukan indeks inklusi keuangan sama pentingnya, maka dari itu wi = 1 untuk semua nilai i. Dalam kasus ini maka W = (1,1,1) sehingga persamaan indeks inklusi keuangan (IIK) menjadi:
17 IIK
2 2 2 1 d1 d 2 d3 1 2 3
1 d1
2
2 2 1 d 2 1 d3 3 ............................................ (10)
Persamaan IIK didapatkan dengan cara merata-ratakan nilai X1 dan X2 yang menunjukan posisi diantara titik terburuk dan titik paling ideal.
Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Inklusif: Regresi Panel Penelitian terkait dengan berbagai model pertumbuhan ekonomi berserta faktor-faktor yang mempengaruhi sudah banyak dilakukan sampai dengan saat ini. Penelitian-penelitian tersebut mempermudah pembuat kebijakan untuk mengetahui faktor-faktor penting apa saja yang dapat digunakan dalam sebuah kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan kemiskinan (laju pertumbuhan ekonomi yang cepat merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam menurunkan tingkat kemiskinan (Kraay, 2004) dan (López & Serven, 2004)). Pertumbuhan ekonomi tidak saja harus terjadi, tetapi juga harus dapat berlangsung dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi dapat terjadi dalam jangka panjang jika pertumbuhan tersebut menyebar secara merata diseluruh sektor ekonomi. Beberapa indikator untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi jangka panjang adalah pendidikan, keterbukaan perekonomian, kedalaman sektor keuangan, yang diasosiasikan dengan ketimpangan (Barro, 2000). Hal tersebut kemudian dijadikan sebagai proksi dari faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan inklusif. Pada bagian ini dijelaskan variabel-variabel kontrol yang banyak digunakan dalam literatur-literatur pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan dengan menggunakan data panel sepanjang tiga tahun (periode 2007-2010) dari 33 provinsi di Indonesia. Derajat pertumbuhan inklusif yang terbentuk dengan metode sebelumnya kemudian di regresi secara panel terhadap indeks inklusi keuangan dan faktor-faktor lain dengan persamaan: Yi*,t Yi*,t 1 0 1 Yi ,t 2 X i ,t i,t
............................................................... (11)
∗ ∗ dimana 𝑌𝑖,𝑡 − 𝑌𝑖,𝑡−1 merupakan derajat inklusivitas pertumbuhan (pertumbuhan inklusif) di provinsi ke-i pada waktu ke-t, dan 𝑌̅𝑖,𝑡 merupakan nilai inklusi keuangan periode ke-t provinsi ke-i yang digunakan untuk merepresentasikan kondisi sektor keuangan yang ada antar provinsi. Sementara itu, 𝑋𝑖,𝑡 merupakan sejumlah variabel kontrol pada provinsi ke-i dan periode ke-t. Variabel-variabel yang digunakan dalam model regresi panel pada penelitian ini diadopsi dari penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya. Beberapa variabel pertumbuhan inklusif yang menjadi standar perhitungan sebagai faktor yang mempengaruhi adalah sebagai berikut: pendapatan perkapita, inflasi, dan rasio kredit terhadap GDP. Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi pertumbuhan inklusif dalam penelitian ini dilihat dari sisi makro maupun mikro yaitu; indeks inklusi keuangan, indeks harga konsumen, rasio penyaluran kredit
18 mikro terhadap PDRB dan indeks sumberdaya manusia, sehingga model yang terbentuk adalah:
IPIi ,t 0 1 X 1i ,t 2 X 2i ,t 3 X 3i ,t 4 X 4i ,t i ,t
............................. (12)
dimana variabel penjelas diatas dapat diringkas pada tabel 3: Tabel 3. Dugaan Hubungan Variabel Penjelas Terhadap Indeks Pertumbuhan Inklusif Simbol IPI X1 X2 X3 X4
Keterangan Indeks Pertumbuhan Inklusif (indeks) Indeks Inklusi Keuangan (indeks) Indeks Harga Konsumen (indeks) Rasio kredit mikro kecil dan menengah terhadap PDRB (proporsi) Indeks Pembangunan Manusia (indeks)
Hipotesa (+) (-) (+) (+)
Inklusi keuangan diduga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan inklusif dimana dengan inklusi keuangan maka masyarakat yang belum mempunyai kesempatan (peluang) dapat berpartisipasi dan menjadi agen pembangunan melalui keikutsertaannya di dalam sektor keuangan. Dengan keikutsertaan mereka, maka semakin banyak agen ekonomi yang akan meningkatkan produktivitas sehingga laju pertumbuhan ekonomi semakin cepat dan menyeluruh. Ketidakstabilan harga yang dilihat dari indikator indeks harga konsumen (inflasi) diduga akan berhubungan negatif dengan pertumbuhan inklusif. Pada prinsipnya memang tidak semua inflasi berdampak negatif terhadap pertumbuhan. Selama yang terjadi adalah inflasi yang ringan (dibawah 10 persen), maka akan memberi semangat kepada pengusaha untuk memperluas produksinya, karena dengan kenaikan harga yang terjadi, pengusaha akan mendapatkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Selain itu peningkatan produksi juga akan memberikan dampak positif terhadap lapangan dan kesempatan kerja. Rasio kredit mikro terhadap PDRB digunakan sebagai proksi dari kekuatan finansial yang penting bagi masyarakat miskin suatu daerah. Variabel ini diduga akan berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan inklusif. Semakin besar rasio kredit mikro terhadap PDRB suatu daerah mengindikasikan semakin baik perputaran uang yang terjadi sehingga memungkinkan semakin banyak masyarakat miskin yang menerima manfaat dari hal tersebut. Variabel selanjutnya adalah indeks sumberdaya manusia (Indeks Pembangunan Manusia) yang diduga akan secara positif dan signifikan berpengaruh kepada inklusivitas pertumbuhan. Hal tersebut karena dengan meningkatnya kemampuan seseorang maka akan mengurangi keterbatasan mereka dalam memperoleh akses kepada jasa dan layanan publik yang tersedia. Model panel data digunakan untuk menganalisis peran dari inklusi keuangan terhadap pertumbuhan inklusif di Indonesia. Berdasarkan hasil regresi diatas kemudian dilanjutkan dengan menganalisis secara kualitatif bagaimana inklusi keuangan dapat digunakan sebagai salah satu solusi pengentasan kemiskinan di Indonesia. Penggunaan data panel memberikan beberapa keuntungan seperti: 1. Informatif. Penggunaan data panel adalah menggabungakan data time series dan data cross section, dengan begitu informasi lintas waktu dan individu
19 akan didapatkan. Penggunaan data panel juga mengurangi kolinieritas antar peubah, dan meningkatkan derajat kebebasan sehingga lebih efisien. 2. Identifikasi lengkap. Penggunaan model data panel mampu mengidentifikasi lebih baik dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi hanya dengan menggunakan data cross section saja ataupun data time series saja. 3. Kontrol heterogenitas individu. Dengan menggunakan metode estimasi data panel, secara eksplisit dapat memasukan unsur heterogenitas individu. Meskipun ada beberapa keuntungan yang didapat dengan menggunakan data panel, metode ini juga memiliki keterbatasan seperti: 1. Masalah dalam desain survei panel (cakupan, non-response, recall, frekuensi dan waktu) 2. Distorsi kesalahan pengamatan yang biasanya terjadi karena ketidaksesuaian respon. 3. Masalah selektivitas (Self-selectivity, Non-response, Attrition) 4. Cross section dependence. Pemilihan model yang digunakan dalam penelitian dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh dugaan yang tepat dan efisien. Pertimbangan statistik yang dimaksud adalah: Chow Test, Hausman Test, dan LM Test. Chow-Test Beberapa literatur menyebutnya dengan uji F-statistik yang digunakan untuk memilih model apakah menggunakan model Pooled Least Squares (PLS) atau Fixed Effect (FE). Hal ini dilakukan karena asumsi bahwa setiap unit cross-section memiliki prilaku yang sama adalah tidak realistis karena sangat besar kemungkinan setiap unit cross-section memiliki prilaku yang berbeda. Chow-test dilakukan dengan hipotesa statistik sebagai berikut: H0: Model PLS (Restricted) H1: Model FE (Unrestricted) F-statistik digunakan sebagai dasar penolakan terhadap hipotesis statistik H0.
RRSS URSS CHOW
URSS
N 1
NT N K .......................................................................... (13)
dimana: RRSS = Restricted Residual Sum Square URSS = Unrestricted Residual Sum Square N = Jumlah data cross section Hausman-Test Digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan penggunaan model fixed effect (FE) atau random effect (RE). Penggunaan model fixed effect memiliki kelemahan yaitu hilangnya derajat bebas dengan menggunakan variabel dummy, namun demikian penggunaan model random effect juga harus memperhatikan kebebasan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Hausman-test dilakukan dengan hipotesa statistik sebagai berikut:
20 H0: Model RE H1: Model FE Statistik Hausman dan perbandingan nilai chi-square sebagai dasar penolakan terhadap hipotesis statistik H0. Statistik Hausman dapat dirumuskan sebagai berikut: m b M 0 M1 '
1
b
X 2 K
.......................................................... (14)
dimana β adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, (M0) adalah matriks kovarians untuk dugaan model FE dan (M1) adalah matriks kovarians untuk dugaan model RE. LM-Test The Breusch-Pagan LM Test (LM-Test) digunakan sebagai pertimbangan statistik dalam memilih model RE atau PLS. Hipotesis statistik yang digunakan adalah sebagai berikut: H0: Model PLS H1: Model RE Dasar penolakan hipotesis statistik H0 adalah dengan menggunakan nilai statistik LM yang mengikuti distribusi chi-square. Statistik LM dihitung dengan menggunakan residual Ordinary Least Square (OLS) yang diperoleh dari hasil estimasi model pooled. Strategi Pengujian Strategi pengujian sangat dibutuhkan dalam estimasi model-model data panel. Strategi yang biasa dilakukan adalah dengan menguji terlebih dahulu Hausman-Test untuk pengujian model Random Effect atau Fixed Effect, selanjutnya dilakukan pengujian Chow-Test untuk menguji Model Pooled Least Square dan Fixed Effect. Kerangka pengambilan keputusan dalam pemilihan model data panel dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut: jika Chow-Test tidak signifikan, maka model yang digunakan adalah model Pooled Least Square, tetapi jika Chow-Test signifikan tetapi Hausman-Test tidak signifikan, maka model Random Effect yang digunakan. Selanjutnya jika kedua test baik Chow-Test maupun Hausman-Test signifikan, maka model yang digunakan adalah model Fixed Effect.
21
DINAMIKA PERTUMBUHAN INKLUSIF DAN INKLUSI KEUANGAN DI INDONESIA
Dinamika Pertumbuhan Inklusif Indonesia Indeks pertumbuhan inklusif diperoleh dengan cara mengintegrasikan tingkat pertumbuhan dan kemerataan menjadi satu kesatuan, dimana pertumbuhan inklusif sangat bergantung pada (i) ketersediaan dan (ii) distribusi pelayanan masyarakat. Dengan ketersediaan data yang dimiliki, maka peluang dalam mengukur pertumbuhan inklusif didefinisikan sebagai peluang sosial dimana dalam pembentukan peluang sosial digunakan dua indikator yaitu; akses terhadap kesehatan dan akses terhadap pendidikan. Rata-rata peluang masyarakat dalam mendapatkan layanan sosial (kesehatan dan pendidikan) dapat dikatakan belum cukup besar. Berdasarkan hasil penelitian, pada tahun 2010 sekitar 76,01 persen dari seluruh masyarakat di Indonesia memiliki peluang untuk mendapatkan layanan sosial, angka tersebut meningkat sekitar 12,49 persen dari tahun 2007. Akan tetapi, nilai Indeks Peluang yang didapatkan dari penelitian ini menunjukan bahwa kelompok masyarakat dengan pendapatan yang lebih tinggi memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan layanan sosial yang ada. Hal ini diperkuat dengan nilai Indeks Distribusi Peluang yang nilainya kurang dari 1 pada persamaan 5 (0,83 pada tahun 2007 dan 0,87 pada tahun 2010), yang menunjukan bahwa peluang sosial yang ada dinikmati oleh sebagian besar kelompok masyarakat yang tidak miskin. Hal ini tentunya mengindikasikan bahwa selama rentang waktu 2007-2010, kelompok masyarakat miskin belum memperoleh manfaat dari pembangunan khususnya pendidikan dan kesehatan.
Sumber: Perhitungan peneliti berdasarkan SUSENAS (2007-2010)
Gambar 6. Kurva Peluang Layanan Sosial Indonesia (2007-2010) Kemiringan ke atas grafik indeks peluang sosial pada Gambar 6 menunjukan bahwa masyarakat dengan pendapatan tinggi memiliki peluang untuk mendapatkan
22 akses tehadap layanan sosial yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat pendapatan rendah. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa terjadi ketimpangan dalam distribusi manfaat pertumbuhan ekonomi Indonesia dimana pertumbuhan yang terjadi bukan merupakan pertumbuhan yang pro kemiskinan. Gambar 6 menjelaskan bahwa terjadi peningkatan rata-rata peluang masyarakat Indonesia untuk mendapatkan layanan kesehatan maupun pendidikan antara tahun 2007 dan 2010 yang menunjukan bahwa nilai dy dalam persamaan 7 lebih besar dari 0. Pengukuran ketimpangan distribusi layanan sosial yang ada di masyarakat mengalami perubahan antar tahun 2007 dan tahun 2010. Hal ini dapat dilihat dari pergeseran grafik peluang sosial 2007 dan 2010, tetapi perubahan besarnya ketimpangan ini sulit dilakukan karena kedua kurva peluang sosial samasama bergerak secara pararel dan searah dengan distribusi pendapatan. Pada kasus ini, diperlukan nilai Indeks Distribusi Peluang untuk mengevaluasi perubahan nilai ketimpangan tahun 2007 dan 2010 ( d ). Tabel 4 menunjukan bahwa nilai Indeks Distribusi Peluang berubah tidak terlalu signifikan dari 0,84 di tahun 2007 menjadi 0,87 di tahun 2010 ( d 0 pada persamaan 7). Tabel 4. Indeks Peluang Akses Kesehatan, Pendidikan, dan Akses Sosial Indonesia (2007 – 2010) Kesehatan Pendidikan 2007 2010 2007 2010 10 38,10 32,48 63,44 82,01 20 36,03 32,23 65,33 84,37 30 35,41 32,24 66,78 86,20 40 35,09 31,65 67,80 87,69 50 35,05 31,41 68,77 88,69 60 35,08 31,97 69,97 89,63 70 35,08 31,95 71,25 90,42 80 35,16 32,48 72,80 91,24 90 35,30 32,86 74,58 91,55 100 35,64 33,34 76,51 91,55 Indeks Peluang rata-rata* 31,91 28,97 62,73 79,66 Indeks Distribusi Peluang** 0,90 0,87 0,82 0,87 Keterangan Tidak Tidak Tidak Tidak merata merata merata merata Keterangan: * Lihat persamaan 4 ** Lihat persamaan 5 Sumber: Perhitungan peneliti berdasarkan SUSENAS (2007-2010) Persentase Populasi
Sosial 2007 2010 53.93 67.96 54.91 69.96 55.91 71.51 56.64 72.83 57.39 73.71 58.32 74.47 59.32 75.16 60.54 75.82 61.96 76.05 63.52 76.01 52.37 66.15 0,84 0,87 Tidak Tidak merata merata
Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa rata-rata peluang sosial yang tersebar di seluruh masyarakat mengalami peningkatan begitu pula distribusi peluang sosial yang ada di masyarakat lebih terdistribusi walupun masih tidak merata (nilai Indeks Distribusi Peluang kurang dari 0). Hal ini menandakan bahwa pertumbuhan yang terjadi antara 2007 sampai dengan 2010 menjadi lebih inklusif dimana strategi pertumbuhan yang digunakan lebih efektif pada peningkatan ratarata peluang sosial yang ada di masyarakat dibandingkan dengan strategi pertumbuhan yang fokus pada pemerataan distribusi peluang sosial yang ada. Nilai inklusi pertumbuhan pada tahun 2007 menjadi lebih inklusif di tahun 2010 memberikan bukti nyata bahwa program-program yang dijalankan pemerintah cukup berhasil meningkatkan rata-rata peluang sosial di masyarakat. Sebagai contoh, Program Keluarga Harapan (PKH) yang dimulai pada tahun 2007
23 dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan sekaligus pengembangan kebijakan di bidang perlindungan sosial telah membantu masyarakat dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia khususnya masyarakat miskin. PKH adalah program yang memberikan bantuan tunai kepada RTSM. Sebagai imbalannya rumah tangga sangat miskin (RTSM) diwajibkan memenuhi persyaratan yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui aspek pendidikan dan kesehatan. RTSM peserta PKH menerima bantuan uang tunai yang besarnya mulai dari Rp 660.000 per bulan hingga Rp2.200.000 per bulan selama 6 tahun secara terus-menerus. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan income effect melalui pengurangan beban pengeluaran RTSM, dan memutus mata rantai kemiskinan RTSM melalui peningkatan kualitas kesehatan/nutrisi, pendidikan, dan kapasitas pendapatan anak (price effect) serta memberikan kepastian akan masa depan anak (insurance effect) dan mengubah perilaku (behaviour effect) keluarga miskin. Perhitungan nilai pertumbuhan inklusif dalam penelitian ini menggunakan dua indikator yaitu indikator kesehatan dan indikator pendidikan. Masing-masing indikator dianalisis lebih lanjut sebagaimana pada sub bab berikut.
Akses dan Distribusi Peluang Kesehatan di Indonesia Gambar 7 memberikan gambaran mengenai akses dan distribusi peluang terhadap layanan kesehatan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat sekitar 33-36 persen masyarakat Indonesia yang sakit dan menggunakan fasilitas layanan kesehatan (Puskesmas, Pustu, Rumah Sakit, dll) untuk berobat. Angka tersebut sangat memprihatinkan, walaupun pada tahun 2007 fasilitasfasilitas kesehatan terlihat lebih melayani masyarakat miskin (kemiringan yang menurun) tapi hal tersebut tidak terjadi di tahun 2010. Menariknya pada kurva peluang kesehatan tahun 2010, secara komulatif untuk 50 persen masyarakat dengan pendapatan terendah memiliki indeks distribusi peluang yang lebih besar dari 1 (kemiringan kurva negatif). Hal ini menunjukan bahwa masyarakat dengan pendapatan lebih rendah memiliki peluang layanan kesehatan yang lebih besar. Berbeda dengan 50 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi peluang layanan kesehatan lebih besar dimiliki oleh masyarakat dengan pendapatan yang lebih tinggi (kemiringan kurva positif).
24
Sumber: Perhitungan peneliti berdasarkan SUSENAS (2007-2010)
Gambar 7. Kurva Peluang Kesehatan Indonesia (2007-2010) Hal penting lainnya yang dapat dilihat pada Gambar 7 adalah terjadinya penurunan rata-rata ketersediaan peluang kesehatan bagi masyarakat yang digambarkan oleh pergeseran kurva peluang 2007 dan 2010. Penurunan tersebut terjadi jauh lebih besar dialami oleh 50 persen masyarakat terbawah dengan penghasilan yang rendah –jarak antara 2 grafik semakin melebar ketika melihat dari distribusi populasi paling tinggi–. Hal ini mengimplikasikan bahwa akses kesehatan yang ada di Indonesia semakin tidak merata di tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2007, kondisi ini diperkuat oleh terjadinya penurunan nilai indeks distribusi peluang kesehatan pada Tabel 4. Hasil penelitian menunjukan bahwa pertumbuhan yang terjadi pada sektor kesehatan bukan merupakan pertumbuhan yang inklusif. Dilihat dari derajat inklusivitas, Gambar 7 secara jelas menunjukan bahwa nilai rata-rata peluang masyarakat secara keseluruhan dalam mendapatkan layanan kesehatan adalah menurun ( dy 0 pada persamaan 7), termasuk juga pada distribusi layanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Tabel 4 menunjukan bahwa nilai indeks distribusi peluang layanan kesehatan yang ada diseluruh masyarakat turun dari 0,90 di tahun 2007 menjadi 0,87 di tahun 2010 ( d 0 pada persamaan 7).
Akses dan Distribusi Peluang Pendidikan di Indonesia Pendidikan berperan penting tidak hanya dalam pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dalam perbaikan kesenjangan sosial. Pendidikan yang lebih baik, akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan selanjutnya akan meningkatkan keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Pendidikan juga dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan dengan cara meningkatkan keterampilan dan produktivitas masyarakat miskin sehingga mereka dapat memperluas kemampuan untuk meningkatkan pendapatan dari penyediaan layanan sosial yang ada. Gambar 8 merepresentasikan kurva peluang untuk mendapatkan akses layanan pendidikan di Indonesia pada tahun 2007 dan 2010. Pada penelitian ini, layanan pendidikan diartikan sebagai kepemilikan ijasah, minimal sampai dengan sekolah dasar, hal ini disesuaikan dengan data yang tersedia. Terdapat dua hal yang
25 perlu diperhatikan dari kurva dibawah ini. Pertama adalah terjadinya peningkatan terhadap layanan pendidikan kepada seluruh masyarakat Indonesia dari tahun 2007 sampai tahun 2010 ( dy 0 pada persamaan 7). Lebih jauh lagi, distribusi layanan pendidikan tahun 2010 lebih merata dibandingkan dengan tahun 2007 ( d 0 pada persamaan 7). Hal ini digambarkan oleh nilai indeks distribusi peluang yang mengalami peningkatan dari 0,82 pada tahun 2007 menjadi 0,87 pada tahun 2010 (Tabel 4). Kedua, kemiringan kurva peluang yang terjadi menunjukkan bahwa walaupun pertumbuhan pada sektor pendidikan sudah lebih inklusif, akan tetapi peluang untuk mendapatkan layanan pendidikan masih lebih banyak dinikmati oleh masyarakat dengan pendapatan yang lebih tinggi (kemiringan keatas kurva peluang).
Sumber: Perhitungan peneliti berdasarkan SUSENAS (2007-2010)
Gambar 8. Kurva Peluang Pendidikan Indonesia (2007-2010) Hasil penelitian ini sekaligus menjadi bukti bahwa kebijakan pendidikan wajib belajar 6 tahun yang diikuti dengan tidak adanya pungutan untuk sekolah negeri departemen pendidikan nasional pada tahun 2009 mampu meningkatkan inklusivitas pertumbuhan pada sektor pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2010 rata-rata ketersediaan layanan pendidikan yang dapat diakses oleh masyarakat Indonesia terbilang sangat tinggi yaitu sekitar 91 persen, meningkat sebesar 15 persen dari tahun 2007. Dengan demikian kebijakan ini benar-benar dirasakan manfaatnya dan diharapkan bisa terus berjalan seiring amanat undang-undang terkait alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Berbagai kebijakan lanjutan diperlukan untuk bisa memperluas pelayanan pendidikan yang lebih merata di seluruh Indonesia.
Dinamika Inklusi Keuangan Indonesia Kebutuhan akan layanan keuangan seperti tabungan, kredit, tabungan, asuransi, dan pembayaran tagihan dari lembaga keuangan formal untuk mendapatkan kualitas kehidupan yang lebih baik sangat diperlukan oleh
26 masyarakat miskin. Akan tetapi fakta yang ada menunjukkan masih relatif minim jasa layanan keuangan yang dapat diakses oleh kelompok masyarakat miskin, terutama dari sector keuangan formal. Masyarakat miskin –terutama yang tinggal di pedesaan– lebih banyak mendapat akses untuk layanan-layanan tersebut dari sektor non-formal, seperti rentenir. Hasil studi Bank Dunia (2010) menunjukkan bahwa hanya sekitar 50 persen masyarakat Indonesia yang terlayani oleh jasa keuangan formal. Masih dominannya peran sektor informal terutama di wilayah pedesaan mengindikasikan bahwa pasar keuangan tidak berfungsi sebagaimana mestinya yang pada akhirnya merugikan kelompok masyarakat miskin. Sebagai gambaran: adanya pelepas uang yang beroperasi di wilayah pedesaan, dengan tingkat suku bunga tinggi akan merugikan nasabah yang kebanyakan adalah petani dan kelompok masyarakat miskin (Nuryartono, 2005). Hal tersebut tidak akan membantu masyarakat miskin untuk memperbaiki kualitas kehidupan mereka, karena para rentenir menginginkan tingkat pengembalian yang lebih besar dibandingkan dengan lembaga formal. Di samping keberadaan akses terhadap layanan lembaga keuangan formal, kualitas layanan yang diberikan tidak kalah penting. Inklusi keuangan yang berkualitas akan berjalan seiring dengan perkembangan sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan. Lebih jauh lagi, hal tersebut akan memperkuat sektor keuangan serta meningkatkan jumlah partisipasi masyarakat dalam pertumbuhan ekonomi. Fenomena-fenomena diatas dapat dilihat dari niai indeks inklusi keuangan Indonesia yang terbentuk dari penelitian ini. Secara rata-rata nilai indeks inklusi keuangan Indonesia yang terbentuk menunjukan angka yang rendah yaitu 0,203 pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 0,253 pada tahun 2010, dimana skala indeks inklusi keuangan yang terbentuk adalah 0 (terendah) dan 1 (tertinggi). Pembentukan indeks inklusi keuangan Indonesia menggunakan 3 dimensi yaitu dimensi aksesibilitas, dimensi ketersediaan, dan dimensi penggunaan. Indeks inklusi keuangan dihitung untuk 33 provinsi di Indonesia sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2010. Dengan keterbatasan data yang dimiliki, nilai indeks inklusi keuangan pada masing-masing provinsi bervariasi dan cenderung mengalami perubahan yang tidak signifikan selama periode 2007-2010. Tabel 5. Nilai Indeks Dimensi-dimensi penyusun Indeks Inklusi Keuangan Indonesia Keterangan Dimensi Aksesibilitas Min Max Mean Standard dev da rendah da sedang da tinggi Dimensi Ketersediaan Min Max Mean Standard dev dk rendah
Statistik Deskriptif Dimensi 2007 2008
2009
2010
0,129 0,410 0,270 0,074 21 12 0
0,192 1,000 0,424 0,188 10 21 2
0,219 0,386 0,299 0,048 21 12 0
0,191 0,450 0,287 0,057 24 9 0
0,075 0,816 0,218 0,144 29
0,075 0,840 0,221 0,147 28
0,094 0,987 0,250 0,159 27
0,098 1,000 0,259 0,158 27
27 Statistik Deskriptif Dimensi Keterangan 2007 2008 2009 2010 dk sedang 3 4 5 5 dk tinggi 1 1 1 1 Dimensi Penggunaan Min 0,018 0,020 0,033 0,040 Max 1,000 0,668 0,473 0,719 Mean 0,146 0,217 0,139 0,241 Standard dev 0,166 0,140 0,105 0,147 dp rendah 32 26 31 24 dp sedang 0 7 2 8 dp tinggi 1 0 0 1 Sumber: Hasil olah data, 2014 Keterangan: Min : Nilai indeks minimum Max : Nilai indeks maksimum Standa dev : Standar deviasi da : indeks dimensi aksesibilitas dk : indeks dimensi ketersediaan dp : indeks dimensi penggunaan
Seperti yang ditunjukan pada tabel 5, dari 33 provinsi secara rata-rata capaian indeks dimensi aksesibilitas, ketersediaan, dan penggunaan berturut-turut adalah 0,270; 0,218; 0,146 pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 0,287; 0,259; 0,241 pada tahun 2010. Hal ini menunjukan bahwa terjadi peningkatan inklusivitas sistem keuangan di Indonesia selama 4 tahun. Panel 1 menunjukan dimensi aksesibilitas. Dalam penelitian ini, nilai dimensi aksesibilitas ditentukan menjadi 3 bagian yaitu; rendah (da ≤ 0,3), sedang (0,3 ≤ da ≤ 0,7) dan tinggi (0,7 < da ≤ 1). Dari hasil perhitungan yang didapatkan, pada tahun 2007 tidak ada provinsi di Indonesia yang memiliki nilai indeks aksesibilitas yang tinggi. Nilai indeks aksestabiliatas menyebar di kategori rendah dan menengah. Provinsi-provinsi yang memiliki nilai indeks aksesibilitas rendah adalah Maluku, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Sulawesi tengah, Kep. Bangka Belitung, Jawa tengah, Nangro Aceh Darussalam, Lampung, Jawa Barat, Sulawesi Barat, Kep. Riau, Kalimantan Tengah, DKI. Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Papua Barat, Sulawesi Utara, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2010, provinsi-provinsi yang memiliki nilai IIKI dengan kategori menengah adalah Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Secara umum hal ini menggambarkan bahwa kepemilikan kesempatan masyarakat miskin di Indonesia untuk mendapatkan layanan keuangan formal adalah relatif masih rendah. Perubahan yang tidak begitu besar terjadi di tahun 2010 dimana jumlah provinsi yang memiliki nilai indeks dimensi aksesibilitas rendah meningkat menjadi 24 provinsi yang sebelumnya 21 provinsi di tahun 2007. Panel 2 tabel 5 menunjukan statistik deskriptif nilai indeks dimensi ketersediaan. Dalam pencapaian sistem keuangan yang inklusif, keberadaan layanan keuangan merupakan peran yang sangat penting. Dengan tersedianya kantor-kantor bank yang dapat dijangkau oleh masyarakat maka hal tersebut menunjukan penyebaran layanan keuangan. Semakin banyak dan semakin tersebarnya lokasi-lokasi kantor cabang bank maka jangkauan layanan keuangan akan semakin tinggi. Hal tersebut akan meningkatkan inklusivitas sistem keuangan suatu daerah. Tahun 2007 provinsi yang memiliki nilai indeks dimensi ketersediaan tinggi adalah DKI Jakarta, sedangankan pada kategori menengah, nilai indeks
28 dimensi ketersediaan dimiliki oleh Bali, Kep. Riau dan Sulawesi Utara. Provinsi– provinsi lain memiliki nilai indeks dimensi ketersediaan pada kategori rendah dengan nilai indeks terendah dimiliki oleh provinsi Nusa Tenggara Barat dengan nilai indeks 0,075. Pada perkembangannya, nilai indeks ketersediaan di 33 provinsi mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat pada tahun 2010 dimana nilai indeks dimensi ketersediaan provinsi DKI Jakarta meningkat dari 0,81 menjadi 1,0 yang menandakan bahwa capaian provinsi DKI Jakarta untuk dimensi ketersediaan adalah capaian yang maksimal. Dilihat dari indikator pembentuknya, hal ini diakibatkan oleh meningkatnya jumlah kantor Bank yang ada di DKI Jakarta sehingga membuat nilai indeks dimensi ketersediaan meningkat. Selain itu, jumlah provinsi yang sebelumnya memiliki nilai indeks dimensi ketersediaan yang rendah, berkurang pada tahun 2010 sebanyak 2 Provinsi yaitu Jawa Tengah dan Kalimantan Timur. Kedua provinsi ini pada tahun 2007 memiliki nilai indeks dimensi ketersediaan yang rendah, dan kemudian masuk dalam kategori menengah di tahun 2010. Panel 3 tabel 5 menunjukan dimensi penggunaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada tahun 2007 hanya provinsi Bali yang masuk dalam kategori tinggi dan tetap menjadi satu-satunya provinsi dengan nilai indeks penggunaan tinggi sampai dengan tahun 2010. Sedangkan nilai indeks dimensi penggunaan terendah dimiliki oleh Maluku, Papua Barat dan Kep. Bangka Belitung. Secara nasional dari 33 provinsi di Indonesia 73 persen diantaranya memiliki nilai indeks dimensi penggunaan dengan kategori rendah. Hal ini menunjukan dengan berbagai batasan yang ada, jumlah masyarakat miskin yang unbankable tersebar luas di Indonesia. Adapun provinsi-provinsi yang memiliki nilai indeks penggunaan dengan kategori menengah di tahun 2010 adalah: Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Banten, Sulawesi Barat, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Utara. Dengan menggunakan ketiga nilai indeks dimensi tersebut, pembentukan indeks inklusi keuangan dibentuk dan dikategorikan menjadi 3 kategori seperti halnya indeks dimensi: rendah, sedang, dan tinggi. Penentuan besaran dalam membagi ketiga kategori tersebut berdasarkan sebaran nilai indeks inklusi keuangan yang terjadi di 33 provinsi di Indonesia. Seperti yang telah diperkirakan, nilai Indeks Inklusi Keuangan di 33 Provinsi di Indonesia sangat bervariasi pada Tahun 2007-2010 (lihat Lampiran 2). Tahun 2007 nilai indeks inklusi keuangan bervariasi dari 0,145 sampai dengan 0,548. Sistem keuangan dengan nilai indeks tertinggi terjadi di Provinsi Bali sedangkan indeks terendah terjadi di provinsi Nusa Tenggara Barat. Seperti halnya pada tahun 2007, pada tahun 2008 dan 2010 berdasarkan hasil perhitungan indeks ini provinsi Bali dengan nilai indeks berturutturut sebesar 0,574 dan 0,554. Sementara itu, pada tahun 2009 provinsi DKI Jakarta memiliki nilai indeks tertinggi dengan angka sebesar 0,462. Provinsi yang memiliki nilai indeks inklusi keuangan terendah berbeda setiap tahunnya. Pada tahun 2007 Nusa Tenggara Barat (0,145) memiliki nilai indeks terendah, Lampung pada tahun 2008 dan 2009 (0,152 dan 0,175), dan Maluku pada tahun 2010 (0,181).
29 Tabel 6. Indeks Inklusi Keuangan Indonesia, 2007-2010 (3 Dimensi). Provinsi Nangroe Aceh Darusallam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kep, Riau Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Sumber: Pengolahan data, 2014
Indeks Inklusi Keuangan Indonesia 2007 2008 2009 0,170 0,207 0,193 0,200 0,212 0,192 0,195 0,268 0,208 0,207 0,235 0,211 0,209 0,276 0,215 0,171 0,181 0,215 0,209 0,246 0,235 0,150 0,152 0,175 0,197 0,431 0,203 0,271 0,431 0,264 0,408 0,555 0,462 0,186 0,253 0,205 0,222 0,268 0,240 0,274 0,290 0,278 0,187 0,229 0,218 0,211 0,195 0,176 0,548 0,574 0,451 0,145 0,174 0,179 0,176 0,208 0,198 0,165 0,217 0,212 0,219 0,347 0,254 0,221 0,352 0,246 0,243 0,335 0,285 0,236 0,379 0,330 0,198 0,265 0,221 0,204 0,269 0,231 0,164 0,236 0,189 0,195 0,331 0,223 0,171 0,327 0,223 0,174 0,240 0,182 0,255 0,451 0,205 0,193 0,332 0,226 0,242 0,264 0,244 0,203 0,248 0,226
2010 0,218 0,208 0,262 0,239 0,259 0,218 0,276 0,186 0,203 0,301 0,472 0,242 0,293 0,314 0,226 0,258 0,554 0,183 0,215 0,241 0,327 0,308 0,332 0,342 0,229 0,275 0,215 0,280 0,262 0,181 0,205 0,215 0,255 0,253
Seperti yang telah diperkirakan, nilai indeks inklusi keuangan akan bervariasi pada masing-masing provinsi akan tetapi tidak berubah signifikan setiap tahunnya. Untuk menunjukan konsistensi hasil penelitian, tabel 4 menyajikan indeks inklusi keuangan 33 provinsi di Indonesia dengan menggunakan 2 dimensi yaitu aksesibilitas dan ketersediaan yang secara umum memiliki nilai indeks yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan 3 dimensi1.
1
Dimensi penggunaan merupakan pengembangan baru yang dilakukan oleh Sarma, dan kedua dimensi lainnya biasa digunakan dalam pembentukan indeks inklusi keuangan selama ini. Dengan memperhitungkan dimensi penggunaan, maka nilai indeks inklusi keuangan cenderung akan lebih kecil karena seperti yang diduga bahwa layanan keuangan sektor formal di Indonesia belum termanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat Indonesia.
30 Tabel 7. Indeks Inklusi Keuangan Indonesia, 2007-2010 (2 Dimensi) Provinsi Nangro Aceh Darusallam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep, Bangka Belitung Kep, Riau Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Sumber: Pengolahan data, 2014
2007
Indeks Inklusi Keuangan Indonesia 2008 2009 0,507 0,510 0,500 0,506 0,502 0,504 0,518 0,519 0,502 0,510 0,509 0,500 0,507 0,517 0,501 0,505 0,503 0,513 0,515 0,520 0,502 0,511 0,511 0,521 0,502 0,613 0,500 0,513 0,513 0,507 0,582 0,563 0,634 0,509 0,504 0,509 0,505 0,502 0,501 0,507 0,505 0,501 0,506 0,504 0,505 0,525 0,512 0,507 0,533 0,500 0,505 0,510 0,515 0,512 0,522 0,525 0,525 0,501 0,520 0,514 0,500 0,553 0,506 0,504 0,531 0,505 0,500 0,508 0,500 0,505 0,508 0,502 0,503 0,511 0,503 0,505 0,500 0,501 0,503 0,505 0,501 0,501 0,509 0,500 0,504 0,554 0,503 0,503 0,516 0,502 0,507 0,628 0,500 0,504 0,510 0,501 0,504 0,508 0,504 0,502 0,503 0,502
2010 0,501 0,501 0,500 0,501 0,501 0,506 0,501 0,514 0,500 0,513 0,640 0,508 0,500 0,501 0,506 0,503 0,501 0,509 0,526 0,506 0,503 0,506 0,501 0,503 0,503 0,500 0,501 0,501 0,502 0,502 0,500 0,501 0,505 0,501
Tabel 7 menunjukan bahwa absennya dimensi penggunaan dalam membentuk indeks inklusi keuangan membuat nilai indeks cenderung lebih besar. Hal ini berakibat pada interpretasi yang tidak tepat dan overestimate. Oleh karena itu dimensi penggunaan memiliki alasan kuat untuk digunakan dalam pembentukan indeks inklusi keuangan. Untuk melihat nilai indeks inklusi keuangan secara nasional, perhitungan nilai dilakukan secara sederhana menggunakan metode yang sama dengan pembuatan ketiga indeks 33 provinsi. Gambar 2 berikut adalah perkembangan nilai indeks inklusi keuangan di Indonesia periode 2007-2010.
31
Sumber: Perhitungan peneliti berdasarkan SUSENAS (2007-2010)
Gambar 9.
Perkembangan Nilai IIK Indonesia.
Gambar 10 terdapat 2 buah grafik nilai inklusi keuangan di Indonesia periode 2007-2010. Grafik pertama menunjukan nilai indeks inklusi keuangan dengan menggunakan 3 dimensi (aksesibilitas, ketersediaan, dan penggunaan) dalam pembentukannya, dan lainnya adalah grafik nilai indeks inklusi keuangan yang hanya menggunakan 2 dimensi (aksesibilitas dan ketersediaan). Secara umum gambar 10 menunjukan kondisi nilai inklusi keuangan nasional Indonesia tahun 2007-2010. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dengan menggunakan 2 dimensi, nilai indeks inklusi keuangan cenderung akan lebih besar dan overestimate. Berdasarkan kategori yang telah ditentukan sebelumnya, nilai indeks inklusi keuangan Indonesia 3 dimensi selama 4 tahun masuk kedalam kategori rendah (berada pada nilai dibawah 0,3). Secara umum sistem keuangan Indonesia mengalami trend yang meningkat dari 0.23 pada tahun 2007 sampai pada posisi 0,25 di tahun 2010 (Gambar 10, grafik Indeks Inklusi Keuangan dengan 3 dimensi). Hal ini dapat diartikan bahwa terjadi peningkatan inklusivitas keuangan nasional Indonesia. Meskipun begitu terdapat provinsi yang mengalami penurunan nilai indeks inklusi keuangan seperti pada tahun 2007 dan 2010 yaitu provinsi Maluku Utara dimana pada tahun 2007 memiliki nilai sebear 0,255 dan di tahun 2010 sebesar 0,205 (Tabel 7). Dilihat dari perubahan nilai indeks inklusi keuangan Indonesia setiap tahunnya, terjadi penurunan perubahan yang cukup besar di tahun 2008-2009. Hal ini diduga dikarenakan adanya krisis global yang secara tidak langsung mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia. Tentunya hal ini dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hipotesis tersebut. Analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai indeks inklusi keuangan penting untuk dilakukan. Hubungan antara kesejahteraan masyarakat, pendapatan perkapita, infrastruktur, inflasi, dan variabel-variabel lain terhadap inklusi keuangan perlu dipelajari lebih mendetail. Akan tetapi, hal tersebut bukan merupakan fokus tulisan ini. Penelitian ini tidak difokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan indeks inklusi keuangan pada masing-masing provinsi, menjadi menarik jika melihat beberapa statistik deskriptif indeks inklusi keuangan yang terbentuk secara keseluruhan. Tabel 8 menunjukan statistik deskriptif nilai indeks
32 inklusi keuangan secara keseluruhan dengan mengelompokan masing-masing provinsi berdasarkan pertumbuhan ekonomi daerahnya. Pengelompokan ke-33 provinsi dilakukan dengan cara membagi menjadi 2 kelompok yaitu provinsi dengan pertumbuhan ekonomi diatas rata-rata nasional dan pertumbuhan ekonomi dibawah rata-rata nasional tahun 2010. Kelompok provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2010 adalah: Sumatera Utara, Jambi, Kep. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat. Sedangkan kelompok provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi nasional adalah: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kep. Bangka Belitung, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Papua. Tabel 8. Statistik Deskriptif Nilai Indeks Inklusi Keuangan Indonesia Berdasarkan Kelompok Provinsi Statistik Deskriptif Indikator-Indikator Penyusun Indeks Keterangan 2007 2008 2009 Total 33 Provinsi Min 0,145 0,152 0,175 Max 0,548 0,574 0,462 Indonesia 0,203 0,248 0,226 IIK rendah 31 21 30 IIK sedang 2 12 3 IIK tinggi 0 0 0 Kelompok provinsi berpendapatan rendah Min 0,150 0,152 0,175 Max 0,548 0,574 0,451 Indonesia 0,203 0,248 0,226 IIK rendah 16 12 16 IIK sedang 1 5 1 IIK tinggi 0 0 0 Kelompok provinsi berpendapatan tinggi Min 0,145 0,174 0,179 Max 0,408 0,555 0,462 Indonesia 0,203 0,248 0,226 IIK rendah 15 9 14 IIK sedang 1 7 2 IIK tinggi 0 0 0 Sumber: Pengolahan data, 2014
2010 0,181 0,554 0,253 25 8 0 0,186 0,554 0,253 13 4 0 0,181 0,472 0,253 12 4 0
Tabel 8 menunjukan statistik deskriptif dari hasil perhitungan indeks inklusi keuangan. Secara nasional nasional, nilai indeks inklusi keuangan di 33 provinsi di Indonesia masih dapat dikatakan cukup rendah. Hal ini terlihat dari sebaran jumlah provinsi pada masing-masing kategori IIKI. Sebanyak 31 provinsi memiliki nilai indeks inklusi keuangan yang rendah, 2 provinsi dengan nilai indeks inklusi keuangan menengah, dan tidak ada provinsi dengan nilai indeks inklusi keuangan tinggi pada tahun 2007. Hal ini mengalami kemajuan pada tahun 2008 dimana 10 provinsi yang sebelumnya memiliki nilai inklusi keuangan yang rendah, pada tahun
33 2008 masuk kedalam kategori menengah. Tetapi hal ini tidak berkelanjutan, karena pada tahun 2009 jumlah provinsi yang memiliki nilai indeks inklusi keuangan rendah kembali pada angka 30 provinsi, kembali berkurang menjadi 25 provinsi pada tahun 2010. Panel 1 Tabel 5 menggambarkan bahwa tidak ada satu provinsi di Indonesia yang memiliki nilai indeks inklusi keuangan yang tinggi. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian bagi pemerintah dalam upayanya meningkatkan peran sektor keuangan dalam menyejahterakan masyarakat khususnya masyarakat miskin. Panel 2 tabel 8 menunjukan kondisi indeks inklusi keuagan di 17 provinsi yang memiliki nilai pertumbuhan pendapatan daerah dibawah rata-rata pertumbuhan nasional. Dari 17 provinsi tersebut, hampir seluruhnya memiliki nilai indeks inklusi keuangan yang rendah, hanya provinsi Bali yang berdasarkan pertumbuhan GDP pada tahun 2010 merupakan provinsi dengan pertumbuhan ekonomi dibawah pertumbuhan nasional yang memimiliki nilai indeks inklusi keuangan dengan kategori menengah. Panel 3 tabel 8 menunjukan kondisi nilai indeks inklusi keuangan di 16 provinsi dengan pertumbuhan lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan nasional. Pada kelompok ini, secara-rata-rata terdapat 90 persen yang memiliki nilai indeks inklusi keuangan dengan kategori rendah. Provinsi-provinsi yang memiliki nilai indeks inklusi keuangan dengan kategori menengah pada kelompok ini adalah DKI Jakarta pada tahun 2007, Kep. Riau, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Maluku Utara pada tahun 2008, DKI Jakarta dan Sulawesi Utara pada tahun 2009, dan Kep. Riau, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Utara pada tahun 2010. Panel 2 dan Panel 3 pada tabel 8 mengindikasikan bahwa terjadi fluktuasi nilai indeks inklusi keuangan yang searah antara kelompok provinsi dengan pertumbuhan ekonomi dibawah rata-rata nasional dan kelompok provinsi dengan pertumbuhan ekonomi diatas rata-rata nasional. Jika dibandingkan, jumlah provinsi yang memiliki nilai indeks inklusi keuangan pada kategori menengah lebih banyak berada pada kelompok provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal ini menjadi alasan awal untuk mengatakan bahwa inklusi keuangan erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi hal tersebut perlu dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut.
Peningkatan Akses Masyarakat Miskin Terhadap Sektor Keuangan Formal Rendahnya nilai indeks aksesibilitas mengindikasikan bahwa masyarakat miskin di Indonesia belum memiliki aksesibilitas yang baik terhadap layanan keuangan sektor formal. Hal ini dikarenakan sebagian besar bekerja di sektor informal dan memperoleh pendapatan yang tidak menentu. Pendapatan yang tidak menentu tersebut menjadi kendala bagi masyarakat miskin untuk berinteraksi dengan lembaga keuangan formal. Bagi lembaga formal seprti Bank, pendapatan tetap dan pasti dari nasabah mereka menjadi jaminan bagi keberlangsungan usahanya, karena itu masyarakat miskin yang tidak mampu untuk memenuhi jaminan tersebut akan sulit untuk berinteraksi dengan lembaga keuangan formal. Kondisi ini dikenal dengan unbankable people.
34 Peningkatan aksesibilitas terhadap layanan keuangan formal penting dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Peningkatan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya: menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan di pedesaan terutama off farm activities, serta membangun jasa keuangan terutama lembaga keuangan mikro (microfinance) yang secara langsung mampu menyentuh aktivitas masyarakat pedesaan. Hal ini dapat ditempuh dengan cara financial deepening dan perluasan jangkauan. Salah satu hal yang bisa dilakukan oleh lembaga keuangan mikro adalah dengan memberikan pelayanan kepada usaha mikro kecil yang selama ini belum menikmati jasa pelayanan keuangan. Adanya pelayanan ini diharapkan akan memberikan dorongan bagi usaha mikro kecil untuk bisa meningkatkan kapasitas dan skala usahanya. Pelayanan jasa keuangan yang dilakukan oleh lembaga keuangan mikro tidak hanya terbatas pada pinjaman tetapi dapat juga dikembangkan berbagai produk jasa lainnya seperti layanan tabungan dan juga jasa pengiriman uang (remmitance). Berbeda dengan layanan keuangan sektor formal seperti bank, keberhasilan lembaga microfinance dalam meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap sektor keuangan sangat dipengaruhi oleh cepat-lambat dan mudah-sulitnya prosedur pengajuan kredit maupun administrasi yang sejalan dengan aspek sosial budaya masyarakat di perdesaan. Perluasan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan keuangan lembaga formal tidak hanya berarti masyarakat harus memenuhi persyaratan yang diajukan oleh perbankan, tetapi juga masyarakat harus memiliki pengetahuan dan memahami tentang layanan apa yang mereka butuhkan (financial education). Dengan begitu, lembaga keuangan formal seperti perbankan dapat mendesain jenis produk dan persyaratan yang mampu dijangkau oleh masyarakat. Beberapa cara yang telah dijelaskan sebelumnya tidak akan berjalan mulus tanpa peran dari pemerintah. Melalui peraturan-peraturan yang sesuai serta pembangunan infrastruktur, berarti pemerintah telah memfasilitasi penyebarluasan produk dan jasa keuangan lembaga formal agar dapat dijangkau oleh masyarakat. Sampai saat ini, pemerintah Indonesia sudah berperan aktif di sektor microfinance. Sebagai contoh, pemerintah mulai tahun 1940 telah membantu, memiliki, bahkan mengkooptasi berbagai bentuk lembaga microfinance dengan tujuan pembangunan sosial ekonomi (Afwan & Charitonenko, 2003). Peranan yang paling terlihat adalah investasi publik yang dilakukan pemerintah pada tahun 2002 dimana sebanyak lebih dari Rp. 150 triliun dialokasikan untuk sektor microfinance melalui 70 program pemerintah. Namun, sebagian besar intervensi pemerintah tersebut dirasa tidak berjalan dengan baik, seperti kredit subsidi yang mungkin akan berdampak pada melambatnya pembangunan microfinance yang berkelanjutan.
Skala Industri Keuangan Indonesia Selain masalah unbankable people yang telah dijelaskan pada bagian diatas, absennya layanan keuangan formal di pedesaan juga membuat nilai indeks inklusi keuangan di Indonesia rendah. Hal tersebut dapat tercermin dari indeks ketersediaan dalam hasil penelitian ini (Lampiran 3).
35 Tabel 9. Nilai Dimensi Indeks Inklusi Keuangan Indonesia 2007
Dimensi aksesibilitas (d1) 0,271
Dimensi ketersediaan (d2) 0,188
Dimensi Penggunaan (d3) 0,144
2008
0,284
0,187
0,269
2009
0,300
0,224
0,144
Tahun
2010 0,285 0,235 Sumber: Perhitungan peneliti berdasarkan SUSENAS 2007-2010 Keterangan: Skala indeks 0 sampai 1 (terburuk sampai terbaik).
0,238
Sedikitnya ketersediaan layanan keuangan formal (khususnya perbankan) terhadap masyarakat miskin di pedesaan maupun kepada UMKM merupakan kendala lain yang harus dihadapi dalam meningkatkan inklusi keuangan. Hal tersebut menjadikan fungsi intermediasi perbankan menjadi tidak optimal. Untuk mengatasi hal tersebut, microfinance mempunyai peran penting karena ini merupakan salah satu pilar dalam sektor jasa keuangan yang memiliki fleksibiltas, kemudahan dan mengetahui lebih banyak tentang masyarakat miskin dan UMKM di pedesaan. Sampai saat ini terdapat lebih dari 50.000 lembaga keuangan mikro tersebar diseluruh Indonesia dengan berbagai legal form, termasuk bank komersial, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Perusahaan, Yayasan, Bank Pembangunan Daerah, dan lainnya. Terlepas dari angka keberadaan lembaga keuangan mikro yang cukup besar, kemiskinan dan pengangguran masih tetap terjadi. Kemiskinan dan pengangguran tersebut terkonsentrasi di wilayah pedesaan yang seharusnya menjadi cakupan wilayah lembaga keuangan mikro. Kredit mikro sebagai salah satu layanan dari lembaga keuangan mikro sangat berperan dalam hal ini. Walaupun kredit mikro sudah tersalurkan cukup banyak, tetapi sebagai persentase terhadap GDP per kapita hal tersebut masih rendah. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pasar yang signifikan yang ditunjukan dari nilai rata-rata pinjaman kredit yang rendah (Sharder, 2004). Sangat sedikit dari lembaga keuangan mikro dengan skala yang besar memiliki misi pengentasan kemiskinan atau mandat untuk menerima nasabah berpendapatan rendah. Sebagai contoh, produk pinjaman BRI yang terbukti sangat sukses selama ini masih mensyaratkan agunan formal yang menjadi beban bagi nasabah berpendapatan rendah. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan antara jumlah deposit dan jumlah pinjaman mikro (Lampiran 4). Untuk mengatasi hal ini, pada tahun 1990-an banyak terjadi konversi lembaga keuangan mikro menjadi BPR dengan tujuan merangkul masyarakat berpendapatan rendah. Sayangnya, hanya sedikit dari mereka yang menganggap dirinya sebagai “microlenders” dan sebagian besar lainnya lebih tertarik untuk bersaing dengan bank komersial mendapatkan pasar usaha kecil dan pekerja yang berpendapatan tetap. Sampai dengan saat ini, transformasi lembaga keuangan mikro untuk mendapatkan status legal menjadi lembaga keuangan formal masih terjadi. Tentunya transformasi ini sangat berguna untuk dilakukan mengingat keberadaan lembaga keuangan mikro banyak berada di pedesaan yang dapat menjangkau masyarakat miskin. Dengan transformasi tersebut juga berarti lembaga keuangan mikro dengan keterbatasan yang ada dapat memperluas cakupannya sehingga lebih banyak masyarakat yang akan terlayani. Dilihat dari sisi makro, transformasi
36 lembaga keuangan mikro dapat juga dijadikan sebagai strategi pengentasan kemiskinan, ditambah lagi dengan melegalkan lembaga keuangan mikro yang ada, sehingga dapat memberikan jenis layanan keuangan yang lebih beragam sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin dan UMKM di pedesaan.
Penyesuaian Layanan dan Kebutuhan Masyarakat Sampai dengan November 2013, rasio penyaluran kredit UMKM terhadap total kredit adalah sebesar 18,5 persen. Angka ini masih rendah dan menjadi bukti bahwa terdapat jarak atau perbedaan antara kekakuan mekanisme prudensial perbankan dan kondisi masyarakat maupun UMKM yang un-bankable. Bukan hanya itu, hal ini juga membuktikan bahwa layanan keuangan yang tersedia belum dimanfaatkan atau digunakan dengan maksimal oleh masyarakat miskin maupun UMKM yang ada. Melalui indeks penggunaan dalam penyusunan indeks inklusi keuangan pada penelitian ini, didapatkan hasil yang juga mendukung hal tersebut. Rata-rata nilai indeks penggunaan layanan keuangan oleh masyarakat di Indonesia selama 2007-2010 adalah sebesar 0,199 dari skala 1. Rendahnya nilai indeks penggunaan tersebut dapat mencerminkan bahwa mungkin saja terdapat perbedaan antara layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat miskin dan layanan yang disediakan oleh lembaga keuangan. Sehingga penyerapan layanan keuangan yang diberikan oleh lembaga keuangan masih rendah. Dengan penggunaan indikator rasio jumlah masyarakat miskin yang menerima kredit terhadap masyarakat miskin yang memiliki rekening bank dalam pembentukan indeks penggunaan ini, terlihat jelas bahwa kepemilikan rekening bank tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat untuk dapat menggunakan layanan keuangan yang disediakan oleh perbankan. Problema ini erat kaitannya dengan pengetahuan masyarakat di bidang keuangan (financial literacy). Financial literacy dapat dijadikan sebagai upaya dalam mengembangkan inklusi keuangan di Indonesia. Pengetahuan akan keuangan yang baik membawa masyarakat ke dalam prilaku pengambilan keputusan keuangan yang lebih baik pula. Financial literacy dapat mendorong permintaan terhadap produk dan jasa keuangan dari berbagai kelompok masyarakat yang sampai saat ini belum menikmati layanan tersebut. Lebih jauh lagi, hal tersebut akan berdampak pada pencegahan krisis ekonomi. Dalam hal ini, kurang memadainya pemahaman masyarakat akan faktor risiko dan konsekuensi dari pemanfaatan produk dan layanan keuangan menyebabkan terjebaknya masyarakat pada penawaran produk dan layanan yang memberikan hasil yang besar namun berkualitas rendah. Selain itu, tingkat financial literacy yang rendah juga dapat mempengaruhi keberhasilan upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan perlindungan nasabah, mengingat perlindungan nasabah yang optimal harus mencakup tiga aspek, yaitu good faith dari lembaga keuangan, regulasi yang mencukupi, dan pemahaman masyarakat/nasabah yang memadai mengenai produk dan layanan keuangan. Financial literacy dan inklusi keuangan merupakan dua hal yang saling melengkapi. Masalah yang dihadapi saat ini terutama bagaimana meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan jasa dan produk keuangan. Namun, dengan meningkatnya financial literacy masyarakat, permintaan terhadap layanan produk
37 dan jasa keuangan berpotensi untuk semakin berkembang. Dengan demikian, financial literacy merupakan faktor penting untuk meningkatkan penggunaan layanan keuangan yang tersedia untuk meningkatkan inklusi keuangan suatu negara.
STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DAN PERAN INKLUSI KEUANGAN DALAM PERTUMBUHAN INKLUSIF
Selama ini telah banyak penelitian terkait dengan kebijakan-kebijakan yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, tetapi hanya sedikit yang meneliti terkait dengan pertumbuhan inklusif. Pertumbuhan yang cepat tidak diragukan lagi merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam pengurangan tingkat kemiskinan. Tetapi agar pertumbuhan yang cepat itu dapat berlangsung terus-menerus dalam jangka panjang, pertumbuhan tersebut harus menyeluruh dan merata. Hal ini sangat penting mengingat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan sangat erat kaitannya dengan ketimpangan, yang memunculkan pertanyaan faktor apa yang mempengaruhi pertumbuhan inklusif. Dengan menggunakan regresi data panel, penelitian ini membuktikan bahwa variabel-variabel ekonomi makro seperti inflasi, kredit, dan pendapatan serta variabel lain seperti indeks pembangunan manusia memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan inklusif. Begitu pula dengan indeks inklusi keuangan mempunyai peranan positif terhadap pertumbuhan inklusif di Indonesia (Lampiran 10). Tabel 10. Hasil Regresi Data Panel Inklusi Keuangan dan Pertumbuhan Inklusif di Indonesia Variabel Keterangan Dependen Indeks Pertumbuhan Inklusif (y) Independen Coeff Std. err Konstanta (C) -14,171 4,930 Indeks Inklusi Keuangan (IIK) 0,990 0,301 Indeks Harga Konsumen -0,030 0,005 Rasio kredit UMKM terhadp PDRB 0,676 0,061 Indeks Pembangunan Manusia 0,243 0,078 * signifikan pada taraf nyata 1 persen. Sumber: Perhitungan peneliti berdasarkan SUSENAS 2007-2010
R-sqr: 0,846 t-stat Prob* -1,720 0,0055 3,283 0,0017 -5,260 0,0000 10,947 0,0000 3,118 0,0028
Hasil penelitian membuktikan bahwa inklusi keuangan berperan signifikan dan cukup besar dalam pertumbuhan inklusif. Inklusi keuangan memberikan keuntungan bagi masyarakat miskin dan juga usaha kecil dan menengah di Indonesia. Peranan paling penting adalah bahwa inklusi keuangan memfasilitasi transaksi keuangan untuk agen ekonomi baru (masyarakat miskin dan usaha kecil dan menegah) dalam jumlah yang besar. Ketersediaan layanan jasa keuangan membantu mereka untuk mendapatkan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lain yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin. Inklusi keuangan membantu masyarakat miskin yang pada umumnya memiliki pendapatan
38 yang kecil, dan tidak tetap bahkan musiman untuk mengurangi resiko keuangan melalui tabungan, kredit, asuransi yang rendah biaya dan berkelanjutan. Sejalan dengan perannya pada masyarakat miskin, inklusi keuangan juga membantu pemilik usaha kecil dan menengah untuk dapat memanfaatkan kredit atau tabungan untuk mendapatkan investasi dalam bentuk aset yang produktif. Infrastruktur keuangan yang baik mendorong kemandirian dan membangun status ekonomi bagi masyarakat miskin dengan cara memberikan kemampuan bagi kelompok-kelompok yang selama ini “terpinggirkan” untuk ikut berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi. Dengan begitu, inklusi keuangan tidak hanya propertumbuhan tetapi juga pro-kemiskinan karena akan menurunkan tingkat ketimpangan dan mempercepat pengentasan kemiskinan. Kondisi inklusi keuangan yang baik tidak cukup jika tidak didukung oleh kondisi perekonomian makro maupun mikro yang baik. Hasil penelitian menunjukan bahwa stabilitas keuangan yang dilihat dari variabel Indeks Harga Konsumen (IHK) juga mempengaruhi pertumbuhan inklusif. Kondisi perekonomian yang tidak stabil dapat menjadi ancaman bagi pertumbuhan inklusif di Indonesia. Stabilitas harga secara keseluruhan sangat penting untuk memberikan kepastian berusaha bagi para pelaku ekonomi. Ketidakstabilan harga menimbulkan biaya yang tinggi bagi perekonomian dan masyarakat. Ketidakstabilan tersebut akan menyulitkan masyarakat, baik swasta maupun rumah tangga, untuk menyusun rencana ke depan, khususnya dalam jangka panjang yang dibutuhkan bagi investasi. Dalam pencapaian pertumbuhan inklusif, baik kondisi makro maupun mikro penting untuk diperhatikan secara seimbang. Penyaluran kredit kepada masyarakat dan usaha kecil sangat membantu untuk tercapainya pertumbuhan yang inklusif. Hasil penelitian membuktikan bahwa penyaluran kredit mikro (dengan menggunakan variabel proporsi jumlah kredit mkm yang disalurkan kepada usaha kecil dan menengah terhadap pendapatan domestik regional bruto) berpengaruh secara signifikan, selain itu penyaluran kredit umkm memiliki arah yang sama dengan pertumbuhan inklusif dimana semakin besar kredit yang disalurkan kepada masyarakat miskin atau usaha mikro kecil dan menengah akan meningkatakan nilai indeks pertumbuhan inklusif. Penyaluran kredit yang rendah biaya dan terjangkau bagi masyarakat miskin dan pemilik usaha kecil dan menengah sangat dibutuhkan selain karena jumlah mereka yang cukup besar, juga karena mereka berperan untuk menopang perekonomian negara. Praktik penyaluran kredit mikro yang baik akan membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin sehingga mereka dapat lebih terdidik dan mampu untuk ikut serta dalam perekonomian. Sistem kredit mikro berbeda dari kredit biasanya, dimana pada sistem kredit mikro peran lembaga keuangan mikro sangat penting untuk mendatangi calon nasabah (masyarakat miskin dan pemilik usaha kecil dan menengah) untuk kemudian diberikan pinjaman dengan bunga yang jauh lebih rendah dari kredit biasa. Untuk itu kualitas sumberdaya manusia (SDM) perlu ditingkatkan, hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa SDM –dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM)- mempunyai pengaruh positif yang signifikan dengan pertumbuhan inklusif.
39
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Inklusi keuangan di Indonesia dapat dikatakan masih rendah. Masyarakat miskin belum sepenuhnya bersentuhan dengan sektor keuangan formal. Hal ini dapat dilihat dari tiga sisi yaitu aksesibilitas, ketersediaan, dan penggunaan. Aksestabiliats masyarakat miskin untuk mendapatkan layanan dari lembaga keuangan formal masih kecil. Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh ketersediaan jumlah layanan keuangan formal. Bukan hanya jumlah lembaga formal yang tidak memadai, jangkauan lembaga formal yang telah ada-pun belum maksimal yang mengakibatkan tidak maksimalnya pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat. Dilihat dari sisi lain, masyarakat miskin sendiri belum secara maksimal menggunakan atau memanfaatkan layanan keuangan yang disediakan oleh lembaga keuangan formal di Indonesia. 2. Pertumbuhan di Indonesia secara umum dapat dikatakan sudah masuk pada tahap pertumbuhan inklusif, dimana tidak hanya laju pertumbuhan yang dicapai tapi juga distribusi kesempatan atau peluang juga diperhatikan. Terdapat dua pendekatan untuk melihat inklusivitas pertumbuhan Indonesia. Pertama adalah pada sektor kesehatan dimana dari hasil penelitian, terdapat penurunan peluang di masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan. Lebih buruk lagi, bukan hanya kesempatan yang semakin kecil tetapi juga kesempatan untuk mendapatkan layanan kesehatan lebih banyak dimiliki oleh masyarakat dengan pendapapatan yang lebih tinggi. Berbeda pada sektor pendidikan, dimana terjadi peningkatan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan akses pendidikan di Indoensia. Peningkatan ini cukup besar sehingga pada tahun 2011, hampir 93 persen masyarakat di Indonesia memiliki peluang untuk mendapatkan layanan pendidikan. Walaupun peluang yang tersedia lebih banyak dimiliki oleh masyarakat berpendapatan tinggi, dengan kata lain, dalam hal ini masyarakat miskin belum diuntungkan dalam pertumbuhan, sehingga inklusivitas pertumbuhan yang terjadi masih harus ditingkatkan. 3. Partisipasi seluruh masyarakat dalam proses pertumbuhan menjadi bagian dari pertumbuhan inklusif yang multidimensi. Inklusi keuangan sebagai salah satu dimensi tersebut dapat meningkatkan status sosial maupun status ekonomi dari masyarakat miskin. Salah satu instrumen yang penting dalam inklusi keuangan untuk mencapai pertumbuhan inklusif dan pengentasan kemiskinan adalah kredit mikro. Kebijakan yang tepat dan kondisi makroekonomi yang stabil akan sangat mempengaruhi kesuksesan penyaluran kredit mikro. Inklusi keuangan melalui instrumen kredit mikro dapat dijadikan sebagai strategi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di Indonesia. Dengan berbagai program maupun skema dalam penyaluran kredit mikro yang tepat kepada masyarakat, maka akan tercipta peningkatan kapasitas masyarakat termasuk di dalamnya lembaga keuangan mikro. Maka dari itu, inklusi keuangan merupakan hal yang dapat dijadikan sebagai strategi dalam pencapaian pertumbuhan inklusif yang pada akhirnya akan mereduksi ketimpangan yang ada di masyarakat dan mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.
40 Saran Berdasarkan hasil penelitian, beberapa saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut: 1. Dalam peningkatan nilai inklusi keuangan di Indoneisa, diperlukan adanya penyesuaian antara kebutuhan masyarakat dan layanan keuangan dari lembaga keuangan formal. Secara umum, lembaga keuangan mikro sedapatnya menyediakan lima layanan utama lembaga keuangan yaitu: tabungan, kredit, sistem pembayaran, dan asuransi. 2. Pembangunan lembaga keuangan mikro yang dapat menjangkau masyarakat miskin juga perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: (i) membentuk lembaga keuangan baru, atau (ii) meningkatkan potensi lembaga keuangan yang telah ada dengan tujuan memperlebar cakupannya. 3. Pendidikan dan pengetahuan mengenai aspek keuangan (financial education dan financial literacy) perlu diberikan kepada masyarakat miskin. Dengan meningkatnya pengetahuan dan pendidikan akan keuangan di masyarakat, maka akan meningkatkan kualitas masyarakat miskin tersebut. 4. Inklusi keuangan sangat membantu bagi keluarga berpenghasilan rendah. Hal ini dapat membantu mereka menghindari utang, meningkatkan kegiatan ekonomi mereka, meningkatkan pendapatan keluarga, dan melepaskan diri dari kemiskinan. Hal ini dapat terjadi hanya ketika mereka memiliki pengetahuan yang baik tentang penggunaan jasa keuangan dan produk. Anggota dari kelompok ini umumnya memiliki sedikit pendidikan formal dan pengetahuan keuangan yang sehat yang biasanya berkembang dengan itu. Jadi, jika suatu sistem keuangan yang inklusif adalah untuk membantu mengurangi kemiskinan, pemerintah harus mempromosikan kesadaran keuangan untuk kelompok ini.
41
DAFTAR PUSTAKA
Afwan, I., & Charitonenko, S. (2003). Commercialization of Microfinance: Indonesia. In BRI, Creating Opportunities for the Poor Through Innovation (pp. 207-220). Jakarta: PT. Bank BRI. Ali, I., & Son, H. (2007). Measuring Inclusive Growth. Asian Development Review, vol. 24, no. 1, 11-31. Anand, R., Mishra, S., & Peiris, S. (2013). Inclusive Growth: Measurement and Determinants. WP/13/135. Asian Development Bank, 2002, “Growth and Poverty: Lessons from the East Asian Miracle Revisited,” ADB Institute Research Paper No. 33 (Manila). Bank Dunia. (2013). Indonesia Economic Quarterly. Jakarta: World Bank. Barro, R. (2000). Inequality and Growth in a Panel of Countries. Journal of Economic Growth, 5-32. BPS. (2004). Situs Badan Pusat Statistik Indonesia. www.bps.go.id. Jakarta. Carbo, S., Gardner, E., & Molyneux, P. (2005). Financial Exclusion. Hampshire: Palgrave Macmillan. Demirgüç-Kunt, A., Beck, T., & Honohan, P. (2008). Finance for All? Policies and Pitfalls in Expanding Access. Washington D.C.: A World Bank Policy Research Report. Dixit, R., & Ghosh, M. (2013). Financial Inclusion for Inclusive Growth of India A Study of Indian States. International Journal of Business Management & Research (IJBMR), 147-156. Gardeva, A., & Rhyme, E. (2011). Opportunities and Obstacles to Financial Inclusion, Center for Financial Inclusion at ACCION International. Growth Commission. (2008). The Growth Report: strategies for sustained growth and inclusive development, World Bank, Washington. International Disability and Development Consortium. IDDC. (20 Desember 2013). Diunduh dari http://www.iddcconsortium.net/. Bank Indonesia. (Januari, 2004). Bank Indonesia. Diunduh dari http://www.bi.go.id/id/Default.aspx InterCAFE. (2013). Support to Bappenas in Financial Inclusion. Bogor: United States Agency for International Development (USAID). Kelkar, V. (2010). Financial Inclusion for Inclusive Growth. 39(1): 55–68. Klasen, S. (2010). Measuring and Monitoring Inclusive Growth: Multiple Definitions, Open Questions, and Some Constructive Proposals. ADB Sustainable Development Working Paper Series. Kraay, A. (2004). When is Growth Pro-Poor: Cross Country Evidence. IMF Working Paper. Krislock, N., & Wolkowicz, H. (2010). Euclidean Distance Matrices and Applications. EDM dan SDP/CORR. Leyshon, A., & Thrift, N. (1995). Geographies of Financial Exclusion: Financial Abandonment in Britain and the United States. Jstor, New Series, Vol. 20, No. 3 , 312-241. López, H., & Serven, L. (2004). The Mechanics of Growth-Poverty-Inequality Relationship. mimeo.
42 Nuryartono N, 2005. Impact of Small holders’ Access to Land and Credit Markets on Technology Adoption and Land Use Decisions: The Case of Tropical Forest Margins in Central Sulawesi, Desertasi. Rangarajan Committee. (2008). Report of the Committee on Financial Inclusion. India. Ravallion, M., & Chen, S. (2002). Measuring pro-poor growth. Elsevier, 93-99. Rosengard, J. K., & Prasetyantoko, A. (2011). Regulatory Constraints to Financial Inclusion in Indonesia. Asian Economic Policy Review. Sarma, M. (2012). Index of Financial Inclusion – A measure of financial sector inclusiveness. Sarma, M., & Pais, J. (2008). Financial Inclusion and Development: A Cross Country Analysis. Sharder, M. (2004). Regional Trends in Microfinance: Indonesia, Philipines, Sri Lanka, and Bangladesh. In BRI, Creating Opportunities for the Poor Through Innovation (pp. 1-22). Jakarta: PT. Bank BRI. Sinclair, S. (2001). Financial Exclusion: An Introductory Survey. Edinburgh: CRSIS/Heriot-Watt University. TNP2K. (2014, Januari). Poverty and Economy. Retrieved from http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Poverty%20Brief%20 January%202014%20English-1.pdf.
43
LAMPIRAN
Lampiran 1.
Definisi Inklusi Keuangan
No 1
Peneliti Anita Gardeva & Elisabeth Rhyne
2
Dr. Nimal A. Fernando
3
Tahun 2011
Judul Opportunities and Obstacles to Financial Inclusion
Definisi Full financial inclusion is a state in which all people who can use them have access to a suite of quality financial services, provided at affordable prices, in a convenient manner, and with dignity for the clients.
2009
The State of Financial Inclusion in Asia: An Overview
A financial system that offers permanent access to a broad range of high quality financial services to the entire active population of a country at an affordable cost
Asli DemirgucKunt dan Leora Klapper
2012
Measuring Financial Inclusion, The Global Findex Database
Well-functioning financial systems serve a vital purpose, offering savings, credit, payment, and risk management products to people with a wide range of needs. Inclusive financial systems allowing broad access to financial services, without price or nonprice barriers to their use
4
Giovanna Prialé Reyes, SBS Peru,* Luis Daniel Allaín Cañote, SBS Peru,* and Rafe Mazer, CGAP
2011
Financial Inclusion Indicators for Developing Countries: The Peruvian Case
Financial inclusion means that the majority of the population has broad access to a portfolio of quality financial products and services which include loans, deposit services, insurance, pensions and payment systems, as well as financial education and consumer protection mechanisms.
5
The Financial Action Task Force
2011
Anti Money Laundering and Terrorist Financing Measures and Financial Inclusion
Financial inclusion is about providing access to an adequate range of safe, convenient and affordable financial services to disadvantaged and other vulnerable groups, including low income, rural and undocumented persons, who have been underserved or excluded from the formal financial sector.
6
The Reserve Bank of India/RBI (2008) in Rajdeep Sahrawat (2010)
2008
Financial Inclusion – From Obligation to Opportunity
Financial inclusion is the process of ensuring access to financial services and timely and adequate credit where needed by vulnerable groups such as weaker sections and low income groups at an affordable cost
44 No 8
Peneliti World Bank Report
Tahun 2008
Judul Finance for All? Policies and Pitfalls in Expanding Access Financial Inclusion and Development: A Cross Country Analysis
Definisi The absence of price or non-price barriers in the use of financial services.
9
Sarma dan Pais
2008
10
Vijay Kelkar
2010
Financial Inclusion for Inclusive Growth
The delivery of financial services, including banking services and credit, at an affordable cost to the vast sections of disadvantaged and low-income groups who tend to be excluded.
11
Harun R Khan
2012
Issues & Challenges in Financial Inclusion:Policie s, Partnerships, Processes & Products
Viable and sustainable business models with focus on accessible and affordable products and processes, synergistic partnerships with technology service providers for efficient handling of low value, large volume transactions and appropriate regulatory and risk management policies that ensure financial inclusion and financial stability move in tandem.
12
Mandira Sarma
2008
Index of Financial Inclusion
The ease of access, availability and usage of the formal financial system by all members of the economy.
13
Bank Indonesia
2012
Booklet Perbankan Indonesia Edisi 2012
Perluasan akses perbankan kepada masyarakat khususnya layanan perbankan berbiaya rendah bagi masyarakat pedesaan.
14
Gerai Info (Newsletter Bank of Indonesia)
2012
article: Memperluas Akses Keuangan Untuk Bikin Rakyat Sejahtera
Inklusi keuangan adalah kegiatan menyeluruh yang bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan baik yang bersifat harga maupun nonharga terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan.
Financial inclusion is the process that ensures the ease of access, availability and usage of the formal financial system for all members of an economy
45 Lampiran 2.
Nilai Indeks Inklusi Keuangan Indonesia (2007-2010) Prop
2007
2008
2009
2010
Nanggroe Aceh Darussalam
0,170
0,207
0,193
0,218
Sumatera Utara
0,200
0,212
0,192
0,208
Sumatera Barat
0,195
0,268
0,208
0,262
Riau
0,207
0,235
0,211
0,239
Jambi
0,209
0,276
0,215
0,259
Sumatera Selatan
0,171
0,181
0,215
0,218
Bengkulu
0,209
0,246
0,235
0,276
Lampung
0,150
0,152
0,175
0,186
Kep. Bangka Belitung
0,197
0,431
0,203
0,203
Kep. Riau
0,271
0,431
0,264
0,301
DKI Jakarta
0,408
0,555
0,462
0,472
Jawa Barat
0,186
0,253
0,205
0,242
Jawa Tengah
0,222
0,268
0,240
0,293
DI Yogyakarta
0,274
0,290
0,278
0,314
Jawa Timur
0,187
0,229
0,218
0,226
Banten
0,211
0,195
0,176
0,258
Bali
0,548
0,574
0,451
0,554
Nusa Tenggara Barat
0,145
0,174
0,179
0,183
Nusa Tenggara Timur
0,176
0,208
0,198
0,215
Kalimantan Barat
0,165
0,217
0,212
0,241
Kalimantan Tengah
0,219
0,347
0,254
0,327
Kalimantan Selatan
0,221
0,352
0,246
0,308
Kalimantan Timur
0,243
0,335
0,285
0,332
Sulawesi Utara
0,236
0,379
0,330
0,342
Sulawesi Tengah
0,198
0,265
0,221
0,229
Sulawesi Selatan
0,204
0,269
0,231
0,275
Sulawesi Tenggara
0,164
0,236
0,189
0,215
Gorontalo
0,195
0,331
0,223
0,280
Sulawesi Barat
0,171
0,327
0,223
0,262
Maluku
0,174
0,240
0,182
0,181
Maluku Utara
0,255
0,451
0,205
0,205
Papua Barat
0,193
0,332
0,226
0,215
Papua
0,242
0,264
0,244
0,255
Indonesia 0,203 0,248 Sumber: Perhitungan peneliti berdasarkan SUSENAS 2007-2010
0,226
0,253
46
Lampiran 3.
Nilai Indeks Dimenesi Aksesibilitas, Ketersediaan, Penggunaan, Jarak Euclidean 1 dan Jarak Euclidean 2 (2007-2010)
2007 d1 d2 d3 X1 X2 d1 11 0,27 0,14 0,07 0,18 0,16 0,32 12 0,32 0,19 0,07 0,22 0,18 0,27 13 0,35 0,11 0,09 0,22 0,17 0,37 14 0,31 0,14 0,15 0,22 0,20 0,29 15 0,34 0,19 0,07 0,23 0,19 0,43 16 0,28 0,16 0,04 0,19 0,15 0,25 17 0,36 0,15 0,07 0,23 0,19 0,41 18 0,26 0,09 0,07 0,16 0,14 0,25 19 0,27 0,20 0,10 0,20 0,19 0,93 21 0,24 0,45 0,09 0,30 0,24 0,66 31 0,22 0,82 0,14 0,49 0,32 0,33 32 0,25 0,11 0,19 0,19 0,18 0,19 33 0,27 0,16 0,23 0,22 0,22 0,24 34 0,36 0,20 0,25 0,28 0,27 0,34 35 0,28 0,15 0,12 0,19 0,18 0,26 36 0,39 0,11 0,09 0,24 0,18 0,28 51 0,16 0,51 1,00 0,66 0,44 0,54 52 0,22 0,07 0,13 0,15 0,14 0,27 53 0,33 0,08 0,08 0,20 0,15 0,37 61 0,16 0,12 0,21 0,17 0,16 0,36 62 0,23 0,21 0,22 0,22 0,22 0,65 63 0,31 0,20 0,15 0,23 0,21 0,54 64 0,33 0,30 0,08 0,26 0,23 0,48 71 0,19 0,31 0,21 0,24 0,23 0,48 72 0,27 0,18 0,13 0,20 0,19 0,36 73 0,13 0,24 0,24 0,21 0,20 0,25 74 0,14 0,23 0,12 0,17 0,16 0,33 75 0,20 0,25 0,13 0,20 0,19 0,48 76 0,25 0,15 0,10 0,18 0,16 0,64 81 0,28 0,18 0,02 0,19 0,15 0,44 82 0,41 0,25 0,06 0,28 0,23 1,00 91 0,19 0,29 0,08 0,20 0,18 0,54 94 0,38 0,27 0,03 0,27 0,21 0,44 99 0,27 0,19 0,14 0,21 0,20 0,28 Sumber: Perhitungan peneliti berdasarkan SUSENAS 2007-2010 Prop
Prop d1 d2 d3 X1 X2
Propinsi Indeks dimensi aksesibilitas Indeks dimensi ketersediaan Indeks dimensi penggunaan Jarak euclidean 1 Jarak euclidean 2
11 12 13 14 15 16
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan
d2 0,15 0,18 0,12 0,13 0,18 0,16 0,16 0,09 0,23 0,42 0,84 0,10 0,16 0,21 0,15 0,10 0,51 0,08 0,09 0,11 0,18 0,19 0,30 0,30 0,17 0,24 0,21 0,29 0,17 0,20 0,26 0,34 0,26 0,19 17 18 19 21 31 32
2008 d3 0,14 0,18 0,29 0,27 0,20 0,12 0,13 0,09 0,08 0,20 0,51 0,43 0,39 0,31 0,27 0,19 0,67 0,16 0,13 0,16 0,17 0,30 0,22 0,35 0,25 0,31 0,16 0,20 0,10 0,02 0,06 0,07 0,05 0,27
X1 0,22 0,21 0,28 0,24 0,29 0,19 0,27 0,16 0,56 0,47 0,60 0,28 0,28 0,29 0,23 0,20 0,58 0,19 0,23 0,23 0,40 0,37 0,35 0,38 0,27 0,27 0,24 0,35 0,39 0,28 0,60 0,37 0,29 0,25
Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta Jawa Barat
X2 0,20 0,21 0,25 0,23 0,26 0,18 0,22 0,14 0,31 0,40 0,51 0,23 0,26 0,29 0,22 0,19 0,57 0,16 0,19 0,20 0,30 0,33 0,32 0,37 0,26 0,27 0,23 0,32 0,27 0,20 0,31 0,29 0,23 0,25 33 34 35 36 51 52
d1 0,27 0,30 0,29 0,23 0,27 0,37 0,33 0,34 0,27 0,26 0,22 0,25 0,30 0,35 0,32 0,28 0,37 0,30 0,37 0,36 0,33 0,34 0,37 0,22 0,26 0,29 0,25 0,26 0,27 0,28 0,28 0,27 0,39 0,30
d2 0,24 0,19 0,21 0,21 0,20 0,17 0,24 0,09 0,27 0,42 0,99 0,11 0,23 0,30 0,20 0,14 0,51 0,11 0,09 0,16 0,19 0,22 0,35 0,30 0,17 0,23 0,20 0,30 0,18 0,20 0,25 0,33 0,26 0,22
Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat
53 61 62 63 64 71
2009 d3 0,04 0,07 0,12 0,19 0,18 0,06 0,12 0,04 0,03 0,08 0,15 0,24 0,19 0,17 0,12 0,09 0,47 0,10 0,08 0,08 0,24 0,17 0,11 0,46 0,23 0,16 0,10 0,10 0,21 0,04 0,05 0,04 0,05 0,14
X1 0,21 0,21 0,22 0,21 0,22 0,24 0,24 0,20 0,22 0,29 0,59 0,21 0,24 0,28 0,23 0,19 0,45 0,19 0,22 0,23 0,26 0,25 0,30 0,34 0,22 0,23 0,20 0,23 0,23 0,20 0,22 0,25 0,27 0,23
Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara
X2 0,18 0,18 0,20 0,21 0,21 0,19 0,23 0,15 0,18 0,24 0,33 0,20 0,24 0,27 0,21 0,16 0,45 0,17 0,17 0,19 0,25 0,24 0,27 0,32 0,22 0,23 0,18 0,21 0,22 0,17 0,19 0,21 0,22 0,22 72 73 74 75 76 81
d1 0,23 0,26 0,27 0,26 0,28 0,32 0,33 0,32 0,25 0,19 0,21 0,24 0,29 0,36 0,30 0,25 0,45 0,27 0,38 0,35 0,30 0,36 0,30 0,20 0,27 0,27 0,26 0,25 0,25 0,27 0,27 0,26 0,39 0,28
d2 0,28 0,20 0,24 0,22 0,24 0,18 0,27 0,12 0,28 0,40 1,00 0,10 0,30 0,29 0,17 0,16 0,50 0,12 0,10 0,21 0,20 0,22 0,37 0,30 0,18 0,23 0,20 0,29 0,17 0,19 0,25 0,31 0,26 0,23
Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku
2010 d3 0,14 0,16 0,28 0,23 0,26 0,14 0,24 0,07 0,05 0,30 0,18 0,36 0,29 0,29 0,20 0,35 0,72 0,14 0,13 0,14 0,47 0,34 0,33 0,51 0,24 0,33 0,19 0,30 0,35 0,05 0,07 0,04 0,08 0,24 82 91 94 99
X1 0,22 0,21 0,26 0,24 0,26 0,23 0,28 0,21 0,22 0,31 0,60 0,26 0,29 0,32 0,23 0,27 0,57 0,19 0,24 0,25 0,34 0,31 0,33 0,36 0,23 0,28 0,22 0,28 0,27 0,19 0,22 0,24 0,28 0,25
Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
X2 0,21 0,20 0,26 0,24 0,26 0,21 0,27 0,17 0,19 0,29 0,34 0,23 0,29 0,31 0,22 0,25 0,54 0,18 0,19 0,23 0,31 0,30 0,33 0,32 0,23 0,27 0,21 0,28 0,25 0,17 0,19 0,20 0,23 0,25
47
Lampiran 4. No.
Profil Layanan Keuangan Mikro Indonesia
Lembaga Keuangan
Jumlah Lembaga
Jumlah Nasabah
Potfolio Outstanding (Miliar)
Bank 1 Unit BRI 4051 2405073 16700 2 BPR 2134 2064000 8264 Perusahaan 3 Unit Simpan Pinjam 34218 10141000 3629 Perusahaan Tabungan 4 1123 551000 708 dan Kredit 5 Credit Union 1071 296000 272 6 BMT (Syariah) 2938 73000 51 Swamitra 7 177 32000 127 (BUKOPIN) Non-Bank Financial Institution 8 Badan Kredit Desa 4518 1139216 595,377 9 LSM (NGO) 1148 522440 526,261 10 Major LDKP 1252 309320 1142,521 11 Pownshop 739 2807346 1853,393 TOTAL 53369 20340395 33868,554 Sumber: Presentasi Lembaga Keuangan Mikro Bina Swadaya, 2004
Jumlah Deposan
Total Deposit (Miliar)
29869197 5087000
27429 2148
10141000
1157
551000
151
296000
249 46
55000
56
534713 418949 1038356
23,558 377,426 806,252
27991215
32443,236
48
Lampiran 5.
Ketersediaan dan Indeks Peluang Kesehatan (2007-2010)
OI
2007 EOI
Avg
OI
2008 EOI
Avg
OI
2009 EOI
Avg
OI
2010 EOI
Avg
11
32,53
0,90
36,21
22,11
0,89
24,85
31,94
0,85
37,74
21,33
0,84
25,25
12
32,92
0,87
37,99
25,68
0,88
29,09
30,55
0,86
35,59
25,31
0,77
32,90
13
36,84
0,85
43,46
31,51
0,86
36,66
35,67
0,83
42,73
33,29
0,85
39,30
14
34,69
0,86
40,40
22,18
0,86
25,92
26,71
0,82
32,50
32,65
0,83
39,18
15
33,60
0,81
41,32
19,45
0,78
24,89
30,13
0,91
33,09
25,01
0,77
32,62
16
27,59
0,86
31,96
21,09
0,88
23,89
26,94
0,92
29,17
16,93
0,86
19,79
17
34,73
0,87
39,97
22,60
0,81
27,82
29,19
0,76
38,19
15,16
0,83
18,25
18
27,25
0,88
31,12
24,90
0,83
30,16
33,81
0,86
39,51
22,48
0,83
27,02
19
26,28
0,88
29,76
25,68
0,87
29,59
24,25
0,87
27,79
20,40
0,83
24,44
21
22,32
0,78
28,63
25,74
0,85
30,29
26,48
0,87
30,49
38,23
0,90
42,45
31
25,03
0,84
29,68
31,17
0,84
37,11
31,60
0,84
37,43
27,15
0,87
31,19
32
24,00
0,86
28,02
26,57
0,84
31,65
28,42
0,87
32,68
20,94
0,83
25,24
33
32,88
0,90
36,60
33,77
0,89
37,97
34,16
0,88
38,68
32,80
0,82
40,19
34
46,07
1,02
45,37
35,48
0,92
38,36
44,73
0,94
47,75
39,38
0,88
44,74
35
31,41
0,89
35,41
31,73
0,88
36,26
33,35
0,86
38,71
35,14
0,85
41,41
36
26,83
0,86
31,36
16,16
0,72
22,40
19,22
0,74
26,12
17,31
0,78
22,09
51
45,13
0,89
50,60
42,72
0,92
46,56
41,49
0,84
49,12
37,17
0,80
46,19
52
34,16
0,88
38,68
26,11
0,85
30,80
35,63
0,91
39,13
36,32
0,91
39,71
53
50,29
0,97
51,74
38,11
0,96
39,77
46,46
0,90
51,53
38,27
0,87
43,91
61
28,11
0,81
34,60
20,70
0,83
24,82
30,33
0,87
35,00
33,19
0,96
34,57
62
22,35
0,81
27,65
18,58
0,86
21,68
22,36
0,84
26,48
11,35
1,11
10,26
63
24,20
0,87
27,84
15,36
0,86
17,78
23,04
0,93
24,65
18,72
0,89
21,14
64
34,28
0,85
40,33
27,78
0,87
31,87
38,43
0,87
44,37
31,64
0,85
37,01
71
27,07
0,76
35,81
21,61
0,78
27,76
28,18
0,79
35,55
35,90
0,83
43,05
72
24,29
0,83
29,18
19,97
0,83
24,13
27,60
0,88
31,39
23,95
0,75
31,79
73
34,98
0,89
39,35
29,26
0,90
32,45
35,49
0,93
38,29
31,49
0,84
37,69
74
29,43
0,89
32,90
23,78
0,90
26,39
27,74
0,93
29,78
34,49
0,92
37,40
75
17,92
0,83
21,59
12,87
0,77
16,75
18,75
0,92
20,34
23,88
0,70
33,96
76
39,64
0,94
42,38
30,88
1,07
28,90
37,71
0,95
39,90
33,28
0,85
39,18
81
21,66
0,78
27,84
23,36
1,06
22,00
19,26
0,90
21,39
5,65
0,58
9,73
82
17,83
0,80
22,40
14,87
0,86
17,32
18,47
0,84
21,93
22,81
0,89
25,68
91
41,01
0,91
45,28
30,91
0,80
38,44
40,57
0,84
48,21
24,47
0,82
30,00
94
40,39
0,86
46,99
45,46
1,02
44,43
54,93
0,99
55,57
56,08
1,15
48,91
Indonesia
31,91
0,90
35,64
27,73
0,90
30,96
32,75
0,89
36,80
28,97
0,87
33,34
Prov
Sumber: Perhitungan peneliti berdasarkan SUSENAS 2008-2011 Keterangan: 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 31
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta
32 33 34 35 36 51 52 53 61 62 63
Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan
64 71 72 73 74 75 76 81 82 91 94
Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
49
Lampiran 6.
Ketersediaan dan Indeks Peluang Pendidikan (2007-2010)
OI
2007 EOI
Avg
OI
2008 EOI
Avg
OI
2009 EOI
Avg
OI
2010 EOI
11
67,50
0,85
79,13
81,80
0,88
92,80
72,23
0,84
Avg
86,07
81,77
0,88
12
67,86
0,85
80,29
82,79
0,89
93,26
69,48
92,50
0,83
84,19
85,35
0,89
96,33
13 14
58,06
0,80
72,37
65,58
0,83
78,62
83,57
0,89
94,17
81,98
0,89
92,55
60,60
0,79
76,43
83,27
0,87
95,65
70,86
0,84
84,41
85,13
0,88
96,56
15
61,75
0,81
76,37
81,25
0,88
91,87
65,44
0,81
80,51
87,23
0,90
96,67
16
61,78
17
57,30
0,84
73,77
81,16
0,80
71,47
82,67
0,88
92,03
66,45
0,83
80,40
86,95
0,90
96,94
0,89
93,18
65,00
0,83
78,32
85,18
0,89
95,81
18 19
56,35
0,81
69,18
57,07
0,83
69,00
81,68
0,89
91,54
62,67
0,81
77,45
84,51
0,88
95,54
82,55
0,89
93,10
62,39
0,84
74,55
76,93
0,84
92,00
21
69,13
0,83
83,57
83,96
0,90
93,73
75,13
0,86
87,29
80,39
0,88
91,72
31
81,17
32
62,49
0,88
92,06
82,97
0,89
93,17
81,64
0,87
93,83
87,39
0,90
97,42
0,82
76,41
81,91
0,88
92,64
66,03
0,81
81,18
83,43
0,88
94,49
33 34
60,09
0,83
72,71
82,95
0,89
93,64
66,08
0,82
80,50
78,18
0,86
90,51
70,23
0,83
84,83
85,73
0,89
96,13
73,26
0,84
87,53
78,39
0,86
90,80
35
60,77
0,82
74,11
84,85
0,89
95,15
67,15
0,83
80,75
72,47
0,82
88,06
36
62,39
0,79
78,82
79,55
0,88
90,53
66,64
0,80
82,96
83,44
0,88
94,39
51
71,24
0,85
84,11
84,52
0,90
94,27
72,85
0,84
86,93
81,96
0,89
92,57
52
64,33
0,86
75,02
80,35
0,88
91,39
70,59
0,88
80,67
65,86
0,81
80,97
53
57,33
0,81
70,47
83,97
0,89
94,07
64,13
0,84
76,68
80,01
0,87
92,19
61
54,51
0,80
67,75
82,12
0,89
92,15
63,52
0,84
75,47
81,33
0,88
92,91
62
69,17
0,84
82,36
82,98
0,88
93,77
69,41
0,83
83,91
80,91
0,85
94,97
63
57,46
0,81
70,78
83,45
0,89
94,28
60,66
0,80
75,42
86,76
0,89
97,19
64
71,61
0,83
86,35
84,14
0,89
94,39
74,60
0,83
89,34
80,73
0,87
93,02
71
64,20
0,82
78,76
84,40
0,88
95,38
62,34
0,78
79,71
89,48
0,90
99,50
72
67,30
0,85
79,23
82,03
0,88
92,84
69,34
0,84
82,85
77,10
0,83
92,34
73
59,57
0,82
72,97
83,24
0,89
93,91
63,62
0,81
78,45
70,30
0,82
86,02
74
65,44
0,84
78,17
82,46
0,89
93,05
69,25
0,84
82,79
83,45
0,88
95,00
75
47,14
0,76
61,87
83,82
0,89
94,45
50,95
0,74
68,51
88,24
0,90
98,56
76
61,25
0,87
70,58
83,47
0,90
93,03
63,86
0,86
74,30
82,87
0,91
90,71
81
72,22
0,86
83,51
84,42
0,89
94,56
72,71
0,85
85,43
82,46
0,88
93,20
82
60,98
0,79
76,83
84,11
0,89
94,22
64,57
0,82
78,68
88,07
0,89
98,45
91
71,42
0,84
84,82
84,25
0,89
94,24
74,91
0,87
85,99
72,92
0,80
91,00
94
74,70
0,89
83,95
85,76
0,90
95,09
79,54
0,89
89,63
40,61
0,64
63,32
Indonesia
62,73
0,82
76,51
83,11
0,89
93,50
67,49
0,83
81,72
79,66
0,87
91,55
Prov
Sumber: Perhitungan peneliti berdasarkan SUSENAS 2008-2011 Keterangan: 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 31
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta
32 33 34 35 36 51 52 53 61 62 63
Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan
64 71 72 73 74 75 76 81 82 91 94
Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
50
Lampiran 7.
Ketersediaan dan Indeks Peluang Sosial (2007-2010)
OI
2007 EOI
Avg
OI
2008 EOI
Avg
OI
2009 EOI
Avg
OI
2010 EOI
11
56,13
0,85
65,66
69,12
0,88
78,45
59,90
0,84
Avg
71,34
69,36
0,89
12
56,46
0,85
66,70
69,27
0,89
78,00
57,65
78,08
0,83
69,75
71,70
0,89
80,18
13 14
49,85
0,81
61,53
54,92
0,84
65,65
69,33
0,89
78,05
69,25
0,89
77,97
51,41
0,80
64,35
69,02
0,87
79,24
58,79
0,84
69,98
70,60
0,88
80,00
15
51,86
0,81
64,07
69,35
0,89
77,59
54,46
0,82
66,70
73,56
0,91
80,51
16
51,24
17
48,86
0,84
61,13
68,77
0,81
60,17
69,78
0,88
77,99
55,16
0,83
66,76
75,56
0,90
83,87
0,89
78,15
53,91
0,83
65,17
74,72
0,90
83,40
18 19
46,91
0,82
57,37
47,38
0,83
57,17
68,42
0,90
76,33
52,56
0,81
64,63
71,55
0,89
80,44
69,07
0,89
77,78
51,74
0,84
61,86
65,11
0,84
77,82
21
57,80
0,83
69,55
70,31
0,90
78,23
62,49
0,86
72,59
67,07
0,88
76,13
31
67,94
32
51,83
0,88
76,85
68,84
0,89
77,20
67,68
0,87
77,75
73,19
0,90
81,36
0,82
63,42
68,35
0,89
77,11
54,77
0,81
67,26
70,93
0,89
79,89
33 34
50,50
0,83
60,62
68,72
0,89
77,58
55,24
0,83
66,93
64,78
0,86
75,03
60,86
0,86
71,08
71,05
0,89
79,65
62,55
0,85
73,49
65,41
0,87
75,60
35
50,81
0,82
61,60
70,39
0,89
78,90
55,96
0,83
67,13
60,32
0,82
73,14
36
51,75
0,79
65,31
68,88
0,89
77,02
56,04
0,81
69,35
72,10
0,89
80,68
51
61,13
0,85
71,52
70,49
0,90
78,49
61,47
0,84
73,28
68,07
0,88
77,13
52
53,87
0,86
62,66
67,05
0,88
76,11
58,88
0,88
67,10
55,40
0,82
67,39
53
54,16
0,87
62,54
69,67
0,89
77,94
56,72
0,85
66,57
66,55
0,87
76,62
61
45,53
0,81
56,55
69,76
0,90
77,86
52,84
0,84
62,64
67,51
0,88
77,09
62
57,76
0,84
68,61
71,20
0,89
80,23
57,99
0,83
70,14
72,79
0,84
86,72
63
47,63
0,81
58,66
72,87
0,89
82,15
50,45
0,80
62,92
74,87
0,90
83,60
64
59,55
0,83
71,70
70,16
0,89
78,61
62,31
0,84
74,42
66,94
0,87
77,08
71
53,21
0,81
65,33
71,63
0,89
80,13
51,78
0,78
66,09
74,32
0,90
82,45
72
55,91
0,85
65,76
69,88
0,89
78,67
57,50
0,84
68,71
64,60
0,84
76,84
73
50,52
0,83
61,19
69,21
0,89
78,13
53,60
0,82
65,28
58,40
0,82
71,29
74
54,29
0,84
64,76
69,33
0,89
78,32
57,45
0,84
68,77
69,32
0,88
78,73
75
39,14
0,76
51,45
74,39
0,90
82,75
42,62
0,74
57,48
74,66
0,91
82,01
76
52,80
0,88
60,00
69,37
0,89
77,83
54,22
0,87
62,28
68,98
0,92
75,17
81
60,60
0,87
69,59
71,36
0,88
80,87
61,54
0,85
72,61
77,62
0,91
85,30
82
51,30
0,79
64,54
73,72
0,90
82,28
54,37
0,82
66,31
74,82
0,90
83,40
91
60,35
0,85
71,06
70,13
0,90
78,08
62,98
0,87
72,41
61,09
0,81
75,88
94
62,72
0,89
70,69
71,89
0,91
78,95
69,56
0,91
76,60
51,21
0,90
57,04
Indonesia
52,37
0,82
63,52
69,26
0,89
77,94
56,19
0,83
67,77
66,15
0,87
76,01
Prov
Sumber: Perhitungan peneliti berdasarkan SUSENAS 2008-2011 Keterangan: 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 31
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau DKI Jakarta
32 33 34 35 36 51 52 53 61 62 63
Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan
64 71 72 73 74 75 76 81 82 91 94
Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
51
Lampiran 8. Regresi panel Pertumbuhan Inklusif Indonesia (Pooled Least Square) Dependent Variable: GI Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 07/15/14 Time: 09:07 Sample: 2008 2010 Periods included: 3 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 99 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
FI HDI IHK CREDIT/RGDP C
0,239157 -0,006010 -0,004476 0,098191 0,962960
0,189379 0,004762 0,001692 0,057689 0,414272
1,262851 -1,262033 -2,645215 1,702086 2,324462
0,2098 0,2101 0,0096 0,0920 0,0223
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,134398 0,097564 0,175499 3,648745 0,008285
Mean dependent var S,D, dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0,086070 0,180727 2,895184 2,654233
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0,114804 2,958813
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0,082472 2,682397
52
Lampiran 9. Regresi panel Pertumbuhan Inklusif Indonesia (Random Effect Model) Dependent Variable: GI Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 07/15/14 Time: 09:07 Sample: 2008 2010 Periods included: 3 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 99 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
FI HDI IHK CREDIT/RGDP C
0,211516 -0,003644 -0,005859 0,124765 0,968562
0,208686 0,005713 0,002355 0,046329 0,495261
1,013562 -0,637721 -2,487725 2,693038 1,955659
0,3134 0,5252 0,0146 0,0084 0,0535
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0,000000 0,155705
Rho 0,0000 1,0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,121552 0,084171 0,176739 3,251732 0,015190
Mean dependent var S,D, dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0,082472 0,184683 2,936258 2,647394
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0,121552 2,936258
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0,082472 2,647394
53
Lampiran 10. Regresi panel Pertumbuhan Inklusif Indonesia (Fixed Effect Model) Dependent Variable: GI Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 07/15/14 Time: 09:05 Sample: 2008 2010 Periods included: 3 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 99 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
FI HDI IHK CREDIT/RGDP C
0,990841 0,243446 -0,030331 0,676033 -14,17133
0,301808 0,078053 0,005766 0,061752 4,930571
3,283016 3,118972 -5,260682 10,94755 -2,874176
0,0017 0,0028 0,0000 0,0000 0,0055
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S,E, of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,846646 0,757602 0,152118 9,508169 0,000000
Mean dependent var S,D, dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0,111076 0,319292 1,434672 2,748847
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0,542752 1,528377
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0,082472 2,673802
54
Lampiran 11. Hasil Uji Hausman Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: FIX Test cross-section random effects Test Summary
Chi-Sq, Statistic
Chi-Sq, d,f,
Prob,
52,521065
4
0,0000
Random
Var(Diff,)
Prob,
0,211516 -0,003644 -0,005859 0,124765
0,148328 0,017942 0,000078 0,022477
0,0020 0,0631 0,0059 0,0003
Cross-section random
** WARNING: estimated cross-section random effects variance is zero, Cross-section random effects test comparisons: Variable FI HDI IHK CREDIT/RGDP
Fixed 1,404196 0,245259 -0,030099 0,664006
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: GI Method: Panel Least Squares Date: 07/15/14 Time: 09:07 Sample: 2008 2010 Periods included: 3 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 99 Variable
Coefficient
Std, Error
t-Statistic
Prob,
C FI HDI IHK CREDIT/RGDP
-14,43483 1,404196 0,245259 -0,030099 0,664006
8,535165 0,438039 0,134069 0,009117 0,156919
-1,691219 3,205644 1,829352 -3,301503 4,231518
0,0958 0,0021 0,0722 0,0016 0,0001
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S,E, of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0,550302 0,289187 0,155705 1,503139 66,80951 2,107509 0,004877
Mean dependent var S,D, dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter, Durbin-Watson stat
0,082472 0,184683 -0,602212 0,367681 -0,209792 2,660483
55
Lampiran 12. Hasil Uji Chow Redundant Fixed Effects Tests Equation: FIX Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
d,f,
Prob,
Cross-section F
5,726910
(32,62)
0,0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: GI Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 07/15/14 Time: 09:05 Sample: 2008 2010 Periods included: 3 Cross-sections included: 33 Total panel (balanced) observations: 99 Use pre-specified GLS weights Variable
Coefficient
Std, Error
t-Statistic
Prob,
FI HDI IHK CREDIT/RGDP C
0,338147 -0,006875 -0,006801 0,356544 1,139723
0,200163 0,005315 0,002260 0,055823 0,472531
1,689353 -1,293456 -3,009799 6,387087 2,411952
0,0945 0,1990 0,0034 0,0000 0,0178
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S,E, of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0,393360 0,367545 0,245715 15,23794 0,000000
Mean dependent var S,D, dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0,111076 0,319292 5,675309 2,236017
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
-0,106048 3,697022
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0,082472 1,947101
RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap I Made Sanjaya, lahir pada tanggal 8 September 1987 di Kota Depok Jawa Barat, Penulis lahir sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan I Made Gora Pandi dan A, Etty Aguswati, Jenjang pendidikan penulis dimulai di Sekolah Dasar PSKD Kwitang VIII Depok pada tahun 1993. Lulus dari Sekolah Dasar, penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Depok sampai dengan tahun 2002. Tahun 2002 kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 49 Jagakarsa Jakarta Selatan sampai dengan tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Setelah menjalani satu tahun Tingkat Persiapan Bersama, penulis kemudian terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Managemen IPB. Selama mengikuti pendidikan di Departemen Ilmu Ekonomi penulis aktif sebagai pengurus dalam beberapa organisasi mahasiswa maupun kepanitiaan yang diadakan oleh Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan Kumpulan Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) IPB. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi setelah lulus dari pendidikan di IPB pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis kemudian bekerja sebagai asisten dosen di lembaga penelitian International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE-IPB) sampai dengan saat ini. Pada tahun 2011 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi di program pasca sarjana IPB dengan beasiswa penuh dari InterCAFE. Selama mengikuti program pasca sarjana di IPB penulis banyak melakukan penelitian-penelitian bersama dengan rekan kerja di InterCAFE. Penelitian yang dilakukan dalam karya ilmiah ini juga merupakan salah satu penelitian yang peniliti modifikasi dari penelitian yang penulis lakukan di InterCAFE.