BAB I PENDAHULUAN
1. 1.
Latar Belakang Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sampai saat ini masih tinggi, dan ini
merupakan suatu problem kesehatan yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2006 – 2007 AKI di Indonesia adalah 244 per 100.000 kelahiran hidup, dan pada tahun 2008 menjadi 235 per100.000 kelahiran hidup dan diharapkan pada tahun 2009 menjadi 226 per100.000 kelahiran hidup. Sebagian besar (60-80%) kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh perdarahan saat melahirkan, persalinan macet, sepsis, tekanan darah tinggi pada kehamilan dan komplikasi dari aborsi. Komplikasi kehamilan/persalinan atau yang menyebabkan kematian ibu tak bisa diperkirakan sebelumnya, dan sering terjadi beberapa jam atau hari setelah persalinan. Kematian seorang ibu sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan dan kehidupan anak-anak yang ditinggalkannya. Jika seorang ibu meninggal, maka anak-anak yang ditinggalkannya mempunyai tiga hingga sepuluh kali lebih besar untuk meninggal dalam waktu dua tahun bila dibanding dengan mereka yang masih mempunyai orang tua (Azwar, 2002). Pemerintah Indonesia dalam upaya penurunan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir telah melaksanakan suatu progam yaitu Program Making Pregnancy Safer (MPS). Program ini memiliki target proses untuk tahun 2010 yaitu meningkatkan kunjungan ibu hamil pertama kali kepada petugas kesehatan (KI)95%,
kunjungan yang ke empat ibu hamil kepada petugas kesehatan (K4 90%, pertolongan oleh tenaga kesehatan 20% dari seluruh ibu hamil, kunjungan pertama kepada neonatal oleh petugas kesehatan pada umur 8-28 hari (KN II) 90% dari seluruh kelahiran, (Depkes RI, 2001). Berdasarkan laporan dari Human Development Index (HDI) pada tahun 2006 peringkat AKI untuk kawasan ASEAN, Singapura (24), Brunei Darusalam (32), Malaysia (61), Thailand (76) Philipina (77) dan Indonesia berada pada peringkat terendah yaitu (108). AKI yang tinggi menunjukkan kualitas hidup perempuan masih rendah. Hal ini pada akhirnya akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia secara umum. Kematian ibu secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada tingkat kematian bayi (Meutia, 2006). Data MDGS (Millennium Development Goals) tahun 2006 menunjukkan kondisi kualitas sumber daya manusia yang rendah membawa posisi Indonesia berada pada peringkat ke 108 dari 177 negara. Pemerintah Indonesia menargetkan menurunkan AKI sebesar tiga per empat atau 125 per 100.000 pada tahun 2010. Istilah 3 terlambat dan 4 terlalu merupakan fenomena yang paling sering terjadi dan merupakan faktor pendukung penyebab AKI. Istilah 3 terlambat yaitu terlambat dalam mengenali tanda bahaya dan harus mencari pertolongan ke fasilitas kesehatan, terlambat dalam mencapai fasilitas kesehatan yang memadai, dan terlambat dalam menerima pelayanan kesehatan yang cukup memadai pada setiap tingkatan. Istilah 4 terlalu yaitu terlalu muda untuk menikah, terlalu sering hamil dan terlalu banyak melahirkan dan terlalu tua untuk hamil (Depkes, 2004)
Penelitian yang dilakukan Fortuna (2004), menunjukkan bahwa terjadi peningkatan insiden hipertensi pada kehamilan di atas usia 35 tahun, berisiko dua atau tiga kali lipat dibandingkan dengan hamil pada usia produktif, selain itu juga risiko tinggi akan dialami oleh bayi yang akan dilahirkan (Prawirohardjo, 1997). Di Sumatera Utara sendiri, penyumbang tertinggi AKI adalah Kabupaten Nias Selatan 931/100.000 jauh dari angka nasional 226/100.000. (Profil Dinkes Propinsi Sumut, 2006). Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki 28 kecamatan, dan dari 28 kecamatan itu, Kecamatan Barumun Tengah tercatat memiliki AKI yang paling tinggi.
Di
Kecamatan Barumun Tengah terdapat dua puskesmas, yakni Puskesmas Binanga dan Puskesmas Sihapas. Berdasarkan data Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan 2006, AKI di Kecamatan Barumun Tengah tahun 2005 dan 2006 sebagai berikut : pada tahun 2005 AKI yang tercatat ada sebanyak 28, yang meninggal akibat persalinan. Penyebab kematian antara lain: perdarahan 9 orang, eklampsia 5 orang, hipertensi 6 orang, kelainan prematur 3 orang dan penyebab lainnya 5 orang. Pada tahun 2006, AKI di daerah ini meningkat menjadi 35 orang; dengan penyebab kematian sebagai berikut : akibat perdarahan 11 orang, eklampsia 6 orang, hipertensi 9 orang, kelainan prematur 5 orang, dan penyebab lain 4 orang. Jika dilihat persentasi kenaikan angka kematian ibu dari tahun 2005 sampai 2006 ada sebesar 25 %. Hal ini dapat diasumsikan pelaksanaan program penurunan
angka kematian ibu di Puskesmas Binanga Kecamatan Barumun Tengah masih menunjukkan kinerja yang rendah (Profil Dinkes Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006). Di wilayah Puskesmas Binanga saat ini melayani lebih kurang 38.910 jiwa penduduk di mana sekitar 8.523 di antaranya adalah ibu rumah tangga. Jumlah desa di Kecamatan Barumun Tengah sebanyak 57 desa. Jumlah tenaga bidan desa yang disediakan untuk melayani 57 desa tersebut sebanyak 39 orang. Artinya masih ada satu bidan melayani 2 desa. Sebaiknya untuk memaksimalkan kinerja bidan desa 1 orang bidan desa melayani 1 desa secara penuh. Berdasarkan jumlah bidan yang ada masih diperlukan sebanyak 18 bidan desa. Cakupan pelayanan bidan desa pada ibu nifas di daerah ini tercatat sebesar 75%. Cakupan KI mencapai 72 %, K2 mencapai 76 %, K3 mencapai 66% K4 68 %, namun hal ini masih lebih rendah jika dibanding dengan standar minimal nasional yaitu sebesar 90%. Adapun cakupan deteksi dini risiko tinggi ibu hamil hanya sebesar 11% dari jumlah seluruh ibu hamil yang ada (Profil Dinas Kesehatan Tapanuli Selatan, 2006). Berbagai upaya untuk menurunkan AKI telah dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan salah satunya yaitu penempatan bidan di desa yang diharapkan dapat memberikan harapan baru dalam upaya mendekatkan pelayanan kesehatan di tengah masyarakat. Penempatan bidan desa ini diharapkan juga berangsur-angsur akan menggantikan peran dukun beranak yang selama ini masih dipercayai oleh masyarakat untuk menolong persalinannya.
Gagasan pemerintah untuk dapat menurunkan angka kematian ibu dan perinatal melalui persalinan aman menuju well born baby dan well health mother merupakan komitmen politik, diikuti dengan penempatan bidan di desa sebanyak 50.000 orang dalam waktu singkat pada tahun 2003. Saat ini telah ditempatkan sekitar 18.000 bidan desa, tetapi hanya sebagian kecil yang mampu mewujudkan pondok bersalin desa (Depkes RI, 2004). Menurut Manalu, dkk (2006) adanya bidan desa saat ini telah menjadi pahlawan dalam menolong ibu melahirkan. Mereka merupakan pahlawan dalam kependudukan dan reproduksi sehat. Bidan desa telah memberikan pengetahuan tentang cara-cara yang terbaik ketika ibu mau melahirkanatau sesudah melahirkan. Sebanyak 70 ribu bidan desa memiliki pelayanan kesehatan. Saat itu sebanyak 70 ribu bidan tersebar di desa-desa seluruh Indonesia sehingga mampu memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Riyanto dan Kristiani (2006) tentang pengaruh program safe motherhood UNICEF terhadap kinerja bidan desa di Kabupaten Sorong menyebutkan bahwa untuk menurunkan AKI setiap ibu hamil harus berada dalam lingkungan aman dan sehat untuk melahirkan bayinya. Untuk itu diperlukan bantuan bidan desa yang memiliki life saving skill (LSS) dengan dukungan sarana dan prasarana, peningkatan pembinaan teknis desa, pelatihan manajemen KIA dan diperlukan pemantapan kelembagaan melalui koordinasi lintas program dan lintas sektoral.
Berdasarkan penelitian
Hayadi dan Kristiani (2006) di Bengkulu Selatan
menyebutkan upaya menurunkan kematian dan kesakitan ibu menuntut adanya hubungan yang erat antar berbagai tingkat sistem pelayanan kesehatan masyarakat yang
dimulai dari puskesmas. Upaya
tersebut mencakup berbagai upaya
pencegahan, deteksi dini komplikasi kehamilan, persalinan aman dan bersih, serta rujukan ke fasilitas rujukan yang memadai. Secara analisis statistik ada hubungan yang signifikan antara umpan balik atasan, motivasi dan insentif serta pengetahuan dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelayanan antenatal. Sebagai salah satu faktor penentu kinerja organisasi, kepuasan kerja merupakan faktor yang sangat kompleks karena kepuasan kerja dipengaruhi berbagai faktor, di antaranya adalah gaya kepemimpinan. Selanjutnya bahwa variabel demografik antara lain jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, dan masa kerja dan tingkat pendidikan berhubungan positif dengan kepuasan kerja (Tondok dan Andarika, 2003) Faktor karakteristik seperti umur merupakan variabel yang berhubungan dengan peningkatan kinerja bidan. Dalam penelitian Riyadi & Kusnanto (2006) di Sumenep Madura menyebutkan bahwa dengan bertambah umur seseorang (sampai batas umur tertentu yang tidak dapat ditetapkan karena sifat individu) maka variasi kegiatan, perasaan, kebutuhan, hubungan sosial semakin bertambah demikian halnya dengan petugas kesehatan semakin dewasa petugas kesehatan maka semakin tinggi kinerjanya. Penelitian Yani dkk (2007) di Tanjung Pinang juga menunjukkan bahwa secara statistik umur berpengaruh terhadap kinerja. Dijelaskan dalam penelitiannya bahwa
semakin tua usia bidan, semakin bertambah pengalaman sehingga dapat
meningkatkan kinerja bidan dalam upaya pencapaian program KIA. Disebutkan bahwa sebagian masyarakat menganggap faktor usia merupakan daya tarik tersendiri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena kebanyakan ibu-ibu hamil adalah usia muda secara psikis merasa lebih nyaman jika berinteraksi dengan bidan yang usianya lebih tua atau lebih senior jika dibanding dengan bidan yang masih muda, karena bidan usia lebih tua emosinya stabil dan lebih sabar dalam memberikan pelayanan. Faktor lama kerja menurut Yani dkk (2007) bahwa semakin lama bekerja maka akan memiliki pengalamam yang merupakan guru paling baik. Semakin lama bekerja semakin banyak pengalaman dan semakin banyak kasus yang ditangani oleh bidan maka bidan tersebut semakin mahir dan trampil dalam menyelesaikan pekerjaan. Kepercayaan masyarakat lebih cenderung kepada bidan yang telah lama bekerja, karena mereka menganggap bidan yang lama kerja sudah memiliki pengalaman. Masa kerja adalah rentang waktu yang telah ditempuh oleh seorang bidan dalam melaksanakan tugasnya, selama waktu itulah banyak pengalamam dan pelajaran yang dijumpai sehingga sudah mengerti apa keinginan dan harapan ibu hamil kepada seorang bidan. Masa kerja yang lama akan cenderung membuat seorang akan lebih merasa betah dalam lingkungannya, hal ini disebabkan karena telah beradaptasi dengan lingkungannya yang cukup lama sehingga bidan akan merasa nyaman dengan pekerjaannya.
Faktor tempat tinggal juga dapat berhubungan dengan kinerja bidan desa. Hasil penelitian Hayat (1999) di Desa Dalam ditemukan bahwa tempat tinggal bepengaruh
terhadap kinerja bidan di desa. Disebutkan bahwa untuk penempatan bidan di desa pada masa yang akan datang perlu memperhatikan dan mempertimbangkan tingkat kedewasaan dan kematangan. Bagi bidan yang menetap di desa akan memiliki kinerja yang baik, oleh karena itu perlu diberikan fasilitas pemondokan yang layak huni. Keberadaan bidan di desa secara terus menerus (menetap) menentukan efektifivitas pelayanannya, termasuk efektivitas Polindes. Selain itu, jarak tempat tinggal bidan yang menetap dengan Polindes perlu jadi perhatian. Bidan yang tidak tinggal di desa dianggap tidak mungkin melaksanakan pelayanan pertolongan persalinan di polindes. Untuk mempercepat tumbuh kembang Polindes dalam menunjang kinerja bidan harus selalu berada/tinggal di desa dan lebih banyak melayani masalah kesehatan masyarakat desa setempat. Faktor karakteristik lainnya seperti pelatihan dapat berhubungan dengan kinerja bidan. Menurut Notoatmodjo (2003) pelatihan bidan merupakan suatu upaya untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian bidan. Oleh karena itu setiap organisasi atau instansi yang ingin berkembang, pendidikan dan pelatihan bidan harus memperoleh perhatian yang lebih besar sehingga dapat meningkatkan kinerja bidan. Menurut Siagian (1995) secara konsep latihan berguna untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuan kerja seseorang atau sekelompok orang yang efektivitas dan produktifitasnya perlu ditingkatkan secara terarah dan terprogram. Berdasarkan hasil Penelitian Riyanto dan Kristina (2005) di Kabupaten Sorong menunjukkan ada hubungan antara pelatihan dengan kinerja bidan desa.
Peningkatan pelatihan bidan dan pengetahuan juga tidak kalah penting bagi bidan untuk meningkatkan kinerja. Menurut Notoatmodjo (2003)
pengetahuan
merupakan faktor dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Diperkuat dengan pendapat Blum yang dikutip Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan adalah bentuk tahu individu yang diperolehnya dengan penalaran, perasaan dan akal pikiran tentang segala sesuatu yang dihadapinya. Ketika individu sudah tahu, memahami kemudian melakukan tindakan. Hasil penelitian Hayadi dan Kristiani (2006) di Bengkulu Selatan menyatakan pengetahuan merupakan faktor dominan yang berhubungan dengan kinerja bidan pelayanan kesehatan. Kinerja individu dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan kemampuan. Hasil penelitian Salamuk dan Kusnanto (2006) di Puncak Jaya menunjukkan
bahwa pengetahuan berhubungan dengan kinerja bidan di
puskesmas. Kepemimpinan juga merupakan variabel yang dapat mempengaruhi kinerja bidan desa. Dalam penelitian Imron dan Kristiani (2005) di Lombok Barat menyebutkan pimpinan berhubungan positif dengan anggotanya. Hal ini akan mempengaruhi produktifitas dan kepuasan
anggota dengan kinerja. Pimpinan yang suportif,
memberikan teladan yang baik, memperjelas visinya, mengembangkan tujuan umum terhadap kelompoknya, dan pada akhirnya akan meningkatkan kepuasan kerja. Menurut
Davis dan Newstrom (1996) kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja mencapai tujuan. Kepemimpinan yang berhasil memerlukan perilaku yang menyatukan dan merangsang pengikutnya untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan dalam situasi tertentu. Menurut Siagian (1995) seorang pemimpin harus pemegang kemudi, sebagai katalisator, sebagai integrator, sebagai bapak dan sebagai pendidik untuk mencapai suatu tujuan. Selain faktor kepemimpinan dan faktor desain kerja dapat berhubungan dengan kinerja
bidan
desa. Dalam
penelitian
Budiharjo
(2006) di Jakarta Pusat
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara desain pekerjaan dengan perilaku kerja. Secara parsial koefisien korelasi desain pekerjaan terhadap perilaku kerja adalah kuat. Menurut Fatimah (2009) desain pekerjaan adalah fungsi penetapan kegiatan kerja seorang atau sekelompok bidan yang tujuannya untuk mengatur penugasan kerja agar dapat memenuhi kebutuhan organisasi. Menurut Gibson dkk (1993) bahwa desain pekerjaan mengacu pada proses yang diterapkan oleh para pimpinan untuk memutuskan tugas, pekerjaan, dan wewenang. Teknik desain pekerjaan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan pokok bidan, memenuhi kebutuhan pribadi dan mendorong keefektifan individu, kelompok dan organisasi. Faktor pemberian insentif juga merupakan salah satu yang faktor yang berhubungan dengan kinerja bidan. Dalam penelitian Aprizal (2006) di Rumah Sakit Jiwa Prof. HB. Sa’anin Padang menunjukkan ada hubungan insentif dengan kepuasan kerja. Insentif merupakan pemberian penghargaan dalam bentuk materi kepada seorang bidan sesuai dengan prestasi kerjanya. Ketika seorang sudah dipenuhi haknya dalam mendapatkan insentif, maka akan mendorong seseorang untuk merasakan kepuasan atas apa yang dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian Salamuk dan Kusnanto (2006) di Puskesmas Kabupaten Puncak Jaya menunjukkan bahwa insentif
yang diberikan kepada bidan bertujuan untuk meningkatkan kinerja bidan dalam pelayanan antenatal. Insentif non finansial merupakan salah satu bentuk perangsang kerja petugas bidan dalam meningkatkan kinerja. Faktor motivasi juga tidak kalah penting dalam meningkatkan kinerja bidan, Motivasi menjadi pendorong seseorang melaksanakan suatu kegiatan guna mendapatkan hasil yang baik.Oleh karena bidan yang mempunyai motivasi tinggi akan mempunyai kinerja yang tinggi juga. Hasil penelitian Sunarcahaya (2008) di Kabupaten Alor NTT bahwa faktor motivasi kerja secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja bidan, karena faktor motivasi telah memberi semangat kerja bidan baik dari dalam maupun dari luar bidan sehingga motivasi bidan dapat meningkatkan kinerja bidan. Rendahnya angka cakupan yang terdapat di Puskesmas Binanga Kecamatan Barumun Tengah tersebut dibanding dengan standar nasional diperkirakan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat akan pentingnya pemeriksaan kehamilan yang ditunjukkan dengan masih banyaknya ibu yang pergi ke dukun bayi, keterampilan dan sikap bidan desa yang menurut pendapat disekitar kurang mau berinteraksi secara aktif dengan masyarakat. Kebijakan pimpinan yang belum dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh para bidan, kelengkapan alat-alat di puskesmas dan keterjangkauan bidan dalam melaksanakan pekerjaannya, serta kurangnya peran bidan desa dalam upaya meningkatkan kesadaran kesehatan reproduksi di Kecamatan Barumun Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan.
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa betapa pentingnya faktor internal dari karakteristik individu, dan juga kepemimpinan, maka peneliti merasa perlu mengkaji lebih dalam apakah faktor karakteristik individu (umur, lama kerja, tempat tinggal, pelatihan, pengetahuan), faktor organisasi (desain kerja, kepemimpinan dan insentif), faktor psikologis (motivasi)
(tercapainya kegiatan pokok, tercapainya
kegiatan administratif) merupakan penyebab dari rendahnya angka kinerja bidan desa yang ditunjukkan dengan tingginya angka kematian ibu di Kecamatan Barumun Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: Bagaimana pengaruh karakteristik individu (umur, lama kerja, tempat tinggal, pelatihan, pengetahuan), faktor organisasi (desain kerja, kepemimpinan dan insentif), faktor psikologis (motivasi) terhadap kinerja bidan desa (tercapainya kegiatan pokok, tercapainya kegiatan administratif) di Kecamatan Barumun Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan.
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor karakteristik individu (umur, lama kerja, tempat tinggal, pelatihan, pengetahuan ), faktor organisasi (desain kerja, kepemimpinan dan insentif), faktor psikologis (motivasi) terhadap kinerja bidan desa (tercapainya kegiatan pokok, tercapainya kegiatan administratif) di Kecamatan Barumun Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan.
1.4. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ada pengaruh faktor karakteristik individu (umur, lama kerja, tempat tinggal, pelatihan, pengetahuan), faktor organisasi (desain kerja, kepemimpinan dan insentif), faktor psikologis (motivasi) terhadap kinerja bidan desa (tercapainya kegiatan pokok, tercapainya kegiatan administratif) di Kecamatan Barumun Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan.
1.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi Kepala Dinas Tapanuli Selatan, penelitian ini diharapkan memberikan masukan dalam rangka pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan dalam meningkatkan mutu pelayanan khususnya Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) serta upaya penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan. 2. Manfaat bagi bidan desa khususnya di kecamatan barumun Tengah Kabupaten Tapanuli Selatan sebagai bahan informasi dan acuan untuk meningkatkan kinerjanya dalam bekerja. 3. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja bidan desa 4. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan referensi bagi siapa saja yang membutuhkan atau menginginkan bahan referensi tersebut.