BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sering mempengaruhi psikologis pasien. Prevalensi psoriasis bervariasi antara 0,1% sampai dengan 11,8% pada berbagai populasi. Insiden psoriasis di Eropa dilaporkan tertinggi di Denmark (2,9%) dan pulau Faeroe (2,8%) dengan insiden rata-rata di Eropa Selatan sebesar 2 persen (Gudjonsson dan Elder, 2012). Data dari beberapa rumah sakit di Indonesia pada tahun 2003-2006 menunjukkan insiden psoriasis rata-rata mencapai 96 kasus dari 22.070 kunjungan kasus baru atau 0,4% (Sugito dkk., 2008). Penelitian
terhadap
psoriasis
masih
terus
berkembang
tetapi
etiopatogenesis pasti dari psoriasis belum diketahui sampai saat ini. Faktor predisposisi yang memegang peranan penting pada respon inflamasi psoriasis adalah proses imun yang melibatkan sel T akibat interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Proses inflamasi akut pada psoriasis menyebabkan terjadinya peningkatan kadar C-reactive protein (CRP), karena adanya interaksi antara sitokin proinflamasi yaitu interleukin (IL) -6, tumor necrosis factor (TNF)-α dan IL-1β. Sitokin-sitokin tersebut diproduksi pada keratinosit serta jaringan adiposa.
1
2
Peningkatan kadar CRP pada psoriasis dapat terjadi pada reaksi inflamasi akut pasien psoriasis baru ataupun pada pasien psoriasis lama yang mengalami eksaserbasi akut (Agravat dan Sirajwala, 2013). Proses inflamasi yang terjadi pada psoriasis tidak hanya terjadi pada kulit tetapi juga terjadi inflamasi sistemik yang
dihubungkan
dengan
terjadinya
penyakit
kardiovaskular
seperti
atherosklerosis dan hipertensi. Psoriasis juga dihubungkan dengan terjadinya sindrom metabolik seperti dislipidemia, obesitas dan diabetes melitus (Ni dan Chiu, 2014). Beberapa penelitian juga menunjukkan peningkatan prevalensi penyakit
komorbid
pada
psoriasis
yaitu
adanya
peningkatan
penyakit
kardiovaskular maupun penyakit metabolik yang terjadi pada psoriasis. Penelitian Kim dkk. (2010) mendapatkan data bahwa pasien laki-laki penderita psoriasis meninggal 3-4 tahun lebih awal dibandingkan usia sebayanya pada populasi umum. Lesi kulit pada psoriasis memiliki gambaran klinis yang khas sehingga diagnosis psoriasis tidak sulit untuk ditegakkan. Gambaran klinis psoriasis berupa plak eritema berbatas tegas yang ditutupi oleh skuama tebal berwarna putih. Lesi kulit pada psoriasis terutama pada lesi kulit yang berat akan memberikan gangguan kosmetik pada pasien sehingga menyebabkan dampak psikologis maupun sosial. Pasien dapat merasa kurang percaya diri, kecemasan, depresi serta disfungsi seksual yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas hidup pasien (Jobling dan Naldi, 2006). Pada penelitian terhadap 6.194 pasien psoriasis berat didapatkan 79% pasien menyatakan bahwa psoriasis memiliki pengaruh
3
negatif terhadap dirinya (Krueger dkk., 2001). Stres psikologis pada pasien psoriasis dilaporkan terjadi pada 37% sampai 80% pasien (Griffiths dkk., 2010). Stres psikologis yang terjadi pada pasien psoriasis sebagian besar di akibatkan oleh derajat keparahan lesi kulit, rasa putus asa terhadap pengobatan dan kronisitas penyakit (Griffiths dkk., 2010 ; Gudjonsson dan Elder, 2012). Derajat keparahan pada psoriasis diukur dengan skor psoriasis area and severity index (PASI). Skor ini merupakan baku emas dalam pengukuran derajat keparahan penyakit, tetapi dapat memberikan variabililas dan subyektivitas yang tinggi antara satu penilai dengan penilai lainnya yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan dan prognosis dari pasien (Coimbra dan Santos-Silva, 2014). Biomarker pada psoriasis dapat digunakan sebagai penilaian dalam diagnosis, prognosis, respon terapi serta derajat keparahan (Coimbra dan SantosSilva, 2014). C-reactive protein merupakan salah satu biomarker pada pasien psoriasis yang dapat digunakan dalam menilai derajat keparahan psoriasis, memonitor terapi dan untuk memprediksi panjangnya periode remisi pada psoriasis. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa C-reactive protein dapat digunakan sebagai biomarker
dalam menilai derajat keparahan psoriasis
(Coimbra dan Santos-Silva, 2014; Bevelacqua dkk., 2006). C-reactive protein merupakan penanda inflamasi yang paling sensitif terutama diproduksi di hati dan disekresikan dalam waktu 6 jam pada inflamasi akut. Konsentrasi dalam plasma dapat mengalami peningkatan dua kali lipat dalam waktu 8 jam dan terjadi peningkatan konsentrasi tertinggi dalam 50 jam,
4
konsentrasi CRP dapat menurun dengan cepat dalam 5- 7 jam setelah pemberian terapi yang efektif serta menghilangnya stimulus inflamasi (Black dkk., 2004). Pemeriksaan CRP secara konvensional dengan menggunakan metode nephelometri dan pemeriksaan high sensitivity C-reactive protein (hsCRP) menggunakan metode latex imunoturbidimetri. Pada pemeriksaan dengan hsCRP dapat mengukur perubahan terkecil pada konsentrasi CRP yang terjadi diatas normal untuk dapat menentukan
terdapatnya inflamasi secara signifikan.
Pemeriksaan menggunakan hsCRP dapat mendeteksi kadar CRP serum < 1 mg/l, sedangkan pada pemeriksaan dengan menggunakan conventional C-reactive protein dapat mendeteksi kadar CRP serum ≥ 5mg/l (Callaghan, 2005). Pemeriksaan kadar CRP pada pasien psoriasis vulgaris dapat dilakukan pada pasien psoriasis dengan lesi aktif baik pada pasien baru ataupun pasien lama dengan eksaserbasi akut. Rocha-pereira dkk. (2004) melaporkan bahwa kadar hsCRP meningkat tinggi pada 97% sampai dengan 100% pasien psoriasis dengan lesi aktif derajat sedang sampai berat. Mereka juga menemukan bahwa kadar hsCRP meningkat secara signifikan pada pasien psoriasis dengan lesi aktif dibandingkan dengan pasien psoriasis yang tidak terdapat lesi. Coimbra dkk. (2010a) juga melaporkan tentang hubungan yang sama antara derajat keparahan dari psoriasis dengan kadar hsCRP. Penelitian lainnya melaporkan tidak adanya korelasi yang signifikan antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan skor PASI dengan kadar CRP serum (Takahashi dkk., 2014). Surgeant dkk. (2008) juga melakukan penelitian tentang CRP pada psoriasis, tetapi tidak mendapatkan hubungan yang positif antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan skor PASI
5
dengan kadar CRP, karena dalam penelitian tersebut menggunakan sampel yang besar, bentuk klinis psoriasis yang berbeda serta skor PASI dihitung oleh dermatologis yang berbeda-beda sehingga menyebabkan terjadinya bias karena PASI sangat subyektif. Berdasarkan data tersebut diatas, didapatkan bahwa hubungan antara derajat keparahan psoriasis dengan kadar hsCRP serum masih kontroversi. Karena adanya perbedaan hasil tersebut, perlu diteliti lagi hubungan antara derajat keparahan psoriasis vulgaris dengan kadar hsCRP serum.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah terdapat perbedaan kadar hsCRP serum antara subyek psoriasis vulgaris dengan subyek bukan psoriasis? 2. Apakah terdapat korelasi positif antara derajat keparahan dengan kadar hsCRP serum pada subyek psoriasis vulgaris?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan umum Mengetahui kadar hsCRP pada subyek psoriasis vulgaris
1.3.2
Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui adanya perbedaan kadar hsCRP serum antara subyek psoriasis vulgaris dengan subyek bukan psoriasis
6
2. Untuk mengetahui adanya korelasi positif antara derajat keparahan dengan kadar hsCRP serum pada subyek psoriasis vulgaris.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis 1. Memberi sumbangan ilmu pengetahuan bahwa terdapat perbedaan kadar hsCRP serum antara subyek psoriasis vulgaris dengan subyek bukan psoriasis. 2. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bahwa terdapat korelasi positif antara derajat keparahan dengan kadar hsCRP serum pada subyek psoriasis vulgaris. 1.4.2 Manfaat praktis Sebagai bahan pertimbangan penelitian selanjutnya tentang penggunaan hsCRP serum sebagai biomarker untuk menilai derajat keparahan psoriasis.