BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sampai saat ini sepsis masih merupakan masalah utama kesehatan dan penyebab kematian utama di dunia. Jumlah penderita sepsis di Amerika Serikat pada tahun 2000 mencapai 750.000 orang dan menyebabkan lebih dari 210.000 pasien meninggal tiap tahunnya. Angka kematian akibat sepsis di Amerika Serikat pada tahun 2001 berkisar antara 30% sampai 40% (Artero et al., 2012). Di Indonesia, berdasarkan penelitian di RS Dr Sutomo Surabaya tahun 2010, didapatkan angka kematian sepsis berat dan syok sepsis sebesar 77,8% (Puspitasari dan Wahyuparjitno, 2011). Pada awalnya, penatalaksanaan sepsis lebih ditekankan pada proses eliminasi agen penyebab, namun belakangan dipahami bahwa ketidakseimbangan respon imun tubuh terhadap infeksilah yang memegang peranan penting dalam menentukan perjalanan dan outcome sepsis. Sehingga pengetahuan mengenai bagaimana sebenarnya respon imun tubuh kita terhadap sepsis akan memberikan harapan baru dalam diagnosis dan penatalaksanaan sepsis. Sepsis merupakan suatu kondisi medis di mana sistem imun bekerja berlebihan dan melepaskan berbagai mediator ke dalam darah untuk melawan infeksi. Sistem imun memegang peranan penting dalam patofisiologi sepsis, namun sejauh mana peranan sistem imun tersebut masih belum jelas dipahami. Sepsis sendiri juga terbukti menekan respon imun yang ditandai dengan penekanan sel-sel imun dan sitokin-sitokin yang dihasilkannya (Muszynski dan Hall, 2011).
1
2
Pada awal kondisi sepsis, terjadi kondisi pro-inflamasi yang disebut sistemic inflamatory response sindrome (SIRS). Hal ini biasanya berlangsung selama beberapa waktu kemudian diikuti dengan kondisi compensatory anti-inflamatory response syndrome (CARS) yang ditandai dengan sel-sel imun innate yang hiporesponsif. Dalam hitungan jam sampai hari, pasien seharusnya akan mencapai kondisi kesimbangan yang disebut immunological homeostasis. Namun pada sebagian pasien terjadi kondisi anti-inflamasi yang berkepanjangan yang disebut dengan immunoparalysis. Berbagai studi menunjukkan bahwa derajat keparahan dan durasi kondisi immunoparalysis ini berhubungan erat dengan tingkat disfungsi organ dan mortalitas pada pasien sepsis. Berbagai penelitian saat ini sudah mulai diarahkan untuk mencari penanda kondisi immunoparalysis ini untuk mengetahui prognosis dari pasien-pasien sepsis (Munszynsky dan Hall, 2011; Gogos et al., 2010). Respon imun terhadap infeksi dibagi menjadi dua yaitu sistem imun awal yang sifatnya non spesifik (respon imun innate) dan respon imun yang sifatnya spesifik (respon imun adaptif). Pada proses infeksi, respon imun innate memegang peranan penting karena merupakan pertahanan awal melawan infeksi dan juga menentukan respon imun adaptif selanjutnya. Pada kondisi di mana terjadi defek pada salah satu komponen sistem imun innate, tubuh akan menjadi sangat rentan terhadap infeksi walaupun respon imun adaptifnya bekerja dengan sempurna (Murphy, 2011). Studi-studi tentang respon imun innate pada sepsis telah memberi harapan baru dalam mengukur keberhasilan terapi dan mengetahui prognosis pasienpasien sepsis. Sel natural killer (NK) merupakan salah satu sel efektor yang berperan dalam sistem imun innate. Sel ini bekerja pada sel mikroba target tanpa membutuhkan
3
proses adaptasi terlebih dahulu. Selain itu, sel NK juga menghasilkan berbagai sitokin-sitokin inflamasi yang berperan dalam proses imun awal (Kumar dan Abbas, 2010). Pemeriksaan hitung jumlah sel NK merupakan salah satu paramater respon imun innate yang dapat diukur. Studi-studi terdahulu mengenai hubungan antara jumlah sel NK dengan mortalitas pasien sepsis memberikan hasil yang berbeda-beda. Studi oleh Giamarellos-Bourboulis et al., pada pasien-pasien sepsis berat yang disebabkan oleh bakteri gram negatif menyimpulkan bahwa pasien dengan sepsis memiliki jumlah sel NK lebih tinggi daripada kontrol. Di mana, pasien sepsis dengan jumlah sel NK yang lebih tinggi ternyata memiliki angka survival yang lebih tinggi (GiamarellosBourboulis et al., 2006; Chiche et al., 2011). Studi lain oleh Andaluz-Ojeda et al., dengan melakukan pengukuran jumlah sel NK terhadap 50 pasien sepsis berat dan syok sepsis. Hasilnya, jumlah sel NK pada hari ke-1 secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang meninggal dibandingkan yang hidup. Dengan analisis multivariat didapatkan bahwa jumlah sel NK (>83 sel/mm3) pada hari ke-1 berhubungan erat dengan peningkatan risiko kematian pasien sepsis dan sepsis berat pada hari ke-28 (Andaluz-Ojeda et al., 2011). Namun studi oleh Klimpel et al., dan Puente et al., mendapatkan hasil yang berbeda. Mereka meneliti mengenai jumlah sel NK serta aktivitas sitotoksik sel NK pada pasien sepsis berat dan syok sepsis yang dinilai dengan mengukur kadar granzyme A dan B. Hasilnya adalah jumlah sel NK pasien sepsis berat dan syok sepsis lebih rendah daripada kontrol. Di mana, pasien dengan jumlah sel NK yang lebih rendah ternyata memiliki resiko kematian dan gagal organ yang lebih tinggi dari pada kontrol (Chiche et al., 2011).
4
Studi oleh Pablo et al., juga menunjukkan bahwa jumlah sel NK pasien syok sepsis lebih rendah daripada kontrol namun tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara pasien yang hidup maupun yang meninggal (Pablo et al., 2012). Karena perbedaan hasil di antara beberapa penelitian-penelitian terdahulu mengenai hubungan antara jumlah sel NK dengan mortalitas pasien sepsis berat, maka penelitian ini mencoba mencari risiko relatif kematian pada pasien sepsis berat dengan jumlah sel NK tinggi dibandingan dengan pasien sepsis berat dengan jumlah sel NK rendah pada pasien-pasien di RSUP Sanglah Denpasar. 1.2
Rumusan Masalah Berapakah risiko relatif kematian pada pasien sepsis berat dengan jumlah sel NK tinggi dibandingan dengan pasien sepsis berat dengan jumlah sel NK rendah pada pasien-pasien di RSUP Sanglah Denpasar?
1.3
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui risiko relatif kematian pada pasien sepsis berat dengan jumlah sel NK tinggi dibandingan dengan pasien sepsis berat dengan jumlah sel NK rendah pada pasien-pasien di RSUP Sanglah Denpasar.
1.4
Manfaat Penelitian 1. Manfaat akademik Dengan mengetahui adanya hubungan antara jumlah sel NK saat awal masuk rumah sakit dengan risiko relatif kematian pada pasien sepsis berat, akan memberi sumbangan pengetahuan yang berkaitan dengan peranan sel NK pada patogenesis sepsis berat. 2. Manfaat praktis Memberikan masukan bahwa jika pada penelitian ini ditemukan hubungan antara jumlah sel NK saat awal masuk rumah sakit dengan risiko relatif
5
kematian pada pasien sepsis berat, maka pemeriksaan jumlah sel NK dapat dipertimbangkan sebagai faktor prediktor kematian pada pasien sepsis berat.