BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih menjadi masalah karena merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada bayi baru lahir. Masalah ini tidak hanya dihadapi oleh negara berkembang saja melainkan juga negara maju. World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat empat juta kematian bayi baru lahir setiap tahun. Angka kematian neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup dan 98% berasal dari negara berkembang (WHO, 1996; Darmstadt dkk., 2005). Data WHO yang dikutip dari Child Health Research Project Special Report: Reducing Perinatal and Neonatal Mortality (1999) menyebutkan bahwa 42% kematian neonatus terjadi karena berbagai bentuk infeksi seperti infeksi saluran pernapasan, tetanus neonatorum, sepsis neonatorum, dan infeksi gastrointestinal. Angka kejadian sepsis neonatorum di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,8-18 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 1268%, sedangkan di negara maju angka kejadian sepsis neonatorum berkisar antara tiga per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian 10,3% (Watson dkk., 2003). Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta periode Januari sampai September 2005 menyebutkan bahwa angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka kematian sebesar 14,18% (Rohsiswatmo, 2005).
1
2
Angka kejadian sepsis neonatorum di RSUP Sanglah Denpasar selama Januari 2003 sampai Desember 2004 adalah sebesar 5,3% dengan angka kematian sebesar 56% (Kardana, 2011). Sepsis neonatorum sebagai salah satu penyakit infeksi bayi baru lahir masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini. World Health Organization juga melaporkan case fatality rate kasus sepsis neonatorum masih tinggi, yaitu sebesar 40%. Hal ini terjadi karena banyak faktor risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi dengan baik (Black, 1999). Sepsis yang terjadi merupakan dampak atau akibat dari masalah sebelumnya pada bayi maupun ibu. Hipoksia atau gangguan sistem imun bayi, asfiksia dan bayi berat lahir rendah atau bayi kurang bulan dapat mendorong terjadinya infeksi yang berakhir dengan sepsis neonatorum. Ketuban pecah dini, ketuban berbau, panas badan sebelum melahirkan, keputihan yang tidak diobati, infeksi saluran kemih meningkatkan risiko sepsis pada bayi baru lahir. Sepsis neonatorum dapat menimbulkan kerusakan otak, disebabkan oleh meningitis, syok septik atau hipoksemia, dan kerusakan organ-organ lainnya seperti gangguan fungsi jantung, paru, hati, dan ginjal (Rohsiswatmo, 2005). Sepsis neonatorum sering tidak terdeteksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Gejala dan tanda klinis sepsis klasik pada anak sepsis jarang ditemukan pada neonatus sehingga menyulitkan dalam mendiagnosis sepsis neonatorum (Narasimha dan Kumar, 2011). Biakan darah yang merupakan baku emas diagnosis membutuhkan waktu cukup lama, yaitu sekitar tiga sampai lima
3
hari. Pemeriksaan penunjang seperti C-reactive protein (CRP), rasio I:T, jumlah total leukosit maupun trombosit apabila tidak digabungkan dengan pemeriksaan penunjang lain menjadi tidak spesifik dan sulit dipakai sebagai pegangan dalam diagnosis pasti pasien sepsis. Keadaan ini menyebabkan keterlambatan pemberian antibiotik serta mengakibatkan kematian bayi atau kecacatan yang memerlukan pengobatan seumur hidup. Gambaran klinis yang tidak spesifik dapat mengakibatkan penanganan berlebihan dan penggunaan antibiotik spektrum luas yang berdampak buruk, mengingat pola resistensi dan toksisitasnya kemudian (Modi dan Carr, 2000; Bang dkk., 2005). Diagnosis sepsis neonatorum sulit ditegakkan secara dini karena gejala klinis tidak khas, pemeriksaan penunjang tidak spesifik, serta pemeriksaan biakan darah sebagai baku emas membutuhkan waktu cukup lama. Waktu yang tepat untuk memulai terapi antibiotik menjadi masalah para klinisi. Berbagai upaya dilakukan
dalam
pendekatan
diagnosis
sepsis
neonatorum
dalam
perkembangannya. Beberapa rumah sakit menggunakan faktor risiko sepsis, gambaran klinis, pemeriksaan penunjang, atau kombinasi berbagai pemeriksaan penunjang dalam pendekatan diagnosis sepsis neonatorum (Rodwell dkk., 1998). Khair dkk. (2010) menggunakan Hematologic Scoring System (HSS) untuk diagnosis sepsis neonatorum. Kriteria yang digunakan adalah beberapa pemeriksaan hematologik sehingga dikenal dengan istilah HSS. Sistem skoring ini terdiri dari tujuh parameter hematologi, yaitu rasio imatur dan total neutrofil, jumlah total sel polymorphonuclear (PMN), rasio imatur dan matur neutrofil, jumlah imatur PMN, jumlah total leukosit, perubahan degeneratif pada sel PMN
4
serta jumlah trombosit (Khair dkk., 2010). Perubahan sistem hematologi pada pasien sepsis neonatorum terjadi akibat respon inflamasi terhadap sepsis. Perubahan tersebut adalah peningkatan atau penurunan jumlah leukosit, penurunan jumlah trombosit, dan perubahan morfologi leukosit seperti terdapat granulasi toksik, vakuolisasi, serta Dohle bodies. Sistem skoring hematologi ini didapatkan melalui pemeriksaan darah lengkap serta blood smear dari darah perifer pasien (Warren dan Ward, 2005). Penelitian oleh Khair dkk. di Dhaka menganalisis hubungan masingmasing parameter terhadap kejadian sepsis neonatorum serta mencari skor yang optimal untuk mendiagnosis sepsis neonatorum. Pemeriksaan baku emas penelitian ini adalah kultur darah yang diambil hanya dari satu sisi tubuh bayi. Hasil dari penghitungan sistem skoring dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok bukan sepsis, kemungkinan sepsis serta kemungkinan besar sepsis (Khair dkk., 2010). Sistem skoring menggunakan cara ini dapat dipakai pada pasien sepsis neonatorum awitan dini maupun awitan lambat. Sistem ini mempunyai kelebihan, yaitu mudah dilakukan, biaya relatif murah, sederhana karena hanya melakukan satu jenis pemeriksaan darah perifer, dan hasil pemeriksaan darah tidak memerlukan waktu lama sehingga dapat mendiagnosis sepsis neonatorum lebih dini (Ghosh, 2001). Penelitian menggunakan sistem skoring hematologi untuk diagnosis sepsis neonatorum belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian yang dilakukan pada daerah yang berbeda akan menunjukkan hasil yang berbeda pula. Hal ini karena
5
penelitian dilakukan di daerah yang memiliki karakteristik subjek masing-masing serta demografi yang berbeda-beda. Pola kuman penyebab sepsis juga berbeda di setiap daerah dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Perbedaan pola kuman di negara berkembang sering ditemukan, walaupun bakteri gram negatif sebagian besar menjadi penyebab utama sepsis neonatorum (Modi dan Carr, 2000). Sistem skoring hematologi juga berguna untuk daerah dengan fasilitas terbatas yang tidak memiliki sarana pemeriksaan kultur darah. Sistem skoring hematologi dapat digunakan untuk mendiagnosis sepsis neonatorum bila mempunyai nilai spesifisitas yang tinggi (neonatus tidak terinfeksi memiliki hasil negatif) dan nilai duga positif (bila hasil positif maka neonatus tersebut terinfeksi) yang tinggi, yakni lebih dari 85% (Laishram dan Khuraijam, 2013). Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti ini berbeda dengan penelitian yang telah ada. Hal ini karena pada penelitian ini tidak dicari hubungan masing-masing parameter dalam sistem skoring hematologi serta hasil yang diperoleh dari sistem skoring ini adalah hanya positif atau negatif menderita sepsis neonatorum. Baku emas yang digunakan adalah pemeriksaan kultur darah. Kultur darah dua sisi (sisi kanan dan kiri) subjek digunakan pada penelitian ini. Kultur darah dikatakan positif apabila didapatkan patogen yang sama pada kedua sisi subjek. Sepsis neonatorum dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, atau jamur, dan pada penelitian ini akan lebih difokuskan pada penyebab bakteri. Uraian dalam latar belakang masalah di atas memberi dasar bagi peneliti untuk meneliti penggunaan sistem skoring hematologi untuk diagnosis sepsis neonatorum.
6
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1.
Apakah sistem skoring hematologi sensitif (nilai sensitivitas lebih dari 85%) untuk mendiagnosis sepsis neonatorum di RSUP Sanglah?
2.
Apakah sistem skoring hematologi spesifik (nilai spesifisitas lebih dari 85%) untuk mendiagnosis sepsis neonatorum di RSUP Sanglah?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Mengetahui nilai diagnostik sistem skoring hematologi untuk diagnosis sepsis neonatorum. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Mengukur sensitivitas sistem skoring hematologi terhadap kultur darah. 2. Mengukur spesifisitas sistem skoring hematologi terhadap kultur darah.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat bidang akademik Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif pemeriksaan untuk penegakan diagnosis sepsis neonatorum yang relatif lebih murah dan lebih cepat dikerjakan.
7
1.4.2 Manfaat bidang pelayanan masyarakat Penelitian
ini
diharapkan
memberikan
manfaat
untuk
meningkatkan kualitas tata laksana pasien sepsis neonatorum. 1.4.3 Manfaat pengembangan penelitian Dari data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya.