BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Masalah Tanah mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia, semakin maju suatu masyarakat, kedudukan tanah akan semakin menjadi penting, dan pula menjadi topik dalam hal kebutuhan akan tempat tinggal demikian pula halnya dengan tanah sebagai tanah garapan, terlebih terhadap suatu daerah yang mempunyai kecenderungan yang berpenduduk padat. Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat dengan UUPA) menyatakan bahwa hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 yang menyebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Turun temurun menunjukkan bahwa hak tersebut dapat berlangsung terus selama pemilik masih hidup, dan jika ia meninggal dunia maka hak tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. 1 Hukum waris itu sendiri sangat berkaitan dengan pewarisan dimana mengandung arti bahwa pewarisan adalah perpindahan hak milik kepada
1
Ahmad Rhofiq, 2003, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
355.
1
2
pihak lain karena pemiliknya meninggal dunia 2. Peralihan hak milik terjadi demi hukum artinya dengan meninggalnya pemilik maka ahli warisnya memperoleh hak milik, peralihan atas hak waris yang berupa tanah melalui surat keterangan waris yang dibuat oleh para ahli waris, diketahui atau disahkan oleh pejabat yang berwenang, kemudian dilakukan pendaftaran pada Kantor Pertanahan setempat agar dicatat dalam buku tanah tentang pemegang hak yang baru yaitu atas nama ahli waris. Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya waris menurut hukum Burgelijk Wetboek (selanjutnya disingkat dengan BW), dan adat. Masing-masing hukum tersebut memilki karakter yang berbeda dengan yang lain. Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual. Sistem waris kolektif yaitu harta warisan dimiliki secara bersama-sama, dan ahli waris
tidak diperbolehkan untuk
memiliki
secara pribadi.
Jika
ingin
memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli waris yang lain. Sistem waris mayorat yaitu harta waris dimiliki oleh ahli waris yang tertua, dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang muda baik perempuan atau laki-laki sampai mereka dewasa dan mampu mengurus dirinya sendiri. Sistem waris individual yaitu harta warisan bisa dimiliki secara pribadi oleh ahli waris, dan kepemilikan mutlak ditangannya. 3
2
Soepomo, 1984, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita cetakan ke-9, Jakarta, h. 82. 3 Subekti, 1991, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Cetakan ke-4, Alumni, Bandung, h. 7.
3
Mengenai masalah pewarisan, masyarakat Bali memiliki sistem pewarisan yang berakar pada sistem kekerabatan patrilinial yang menyebabkan pertalian kewangsaan lebih dititikberatkan menurut garis keturunan pria. Maka kedudukan pria lebih diutamakan dari wanita. Pria adalah penerus keturunan bapaknya yang ditarik dari satu bapak asal, sedangkan wanita disiapkan untuk menjadi anak orang lain yang akan memperkuat keturunan orang lain. Oleh karena itu apabila satu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak mempunyai keturunan dikatakan “putus keturunan”. Sistem kekerabatan ini di Bali dikenal sebagai sistem keturunan laki-laki purusha.4 Demikian pula halnya apabila ada peralihan hak, apakah itu merupakan peralihan hak lewat jual beli, gadai, atau hibah. Bagi peralihan hak lewat jual beli, gadai, atau hibah, bagi peralihan melalui Adat masih tetap tidak diurus atau ditandatangani oleh Kadaster, akan sebaliknya semua yang merupakan peralihan hak diharuskan untuk melalui Notaris. Hak milik atas tanah, demikian pula setiap peralihan, pembebanan dengan hak-hak lain, dan hapusnya hak milik atas tanah harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Pendaftaran ini merupakan alat pembuktian yang kuat Pasal 23 UUPA. Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya atas hak milik diterbitkan tanda bukti hak berupa sertifikat. Sertifikat menurut Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (selanjutnya disingkat dengan PP No. 24 Tahun 1997) tentang Pendaftaran Tanah adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk
4
Hilman Hadikusuma, 1987, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, h. 33.
4
hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas rumah susun, dan hak tanggungann yang masing-masing sudah dibukukan dalam Buku Tanah yang bersangkutan.5 Pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum dikenal dengan sebutan rechts cadaster/legal cadaster. Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah ini, meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subjek hak, dan kepastian objek hak. Pendaftaran tanah ini menghasilkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Kebalikan dari pendaftaran tanah yang rechts cadaster, adalah fiscaal cadaster, yaitu pendaftaran tanah yang bertujuan untuk menetapkan siapa yang wajib membayar pajak atas tanah. 6 UUPA mengatur pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Pendaftaran tanah ini menjadi kewajiban bagi pemerintah maupun pemegang hak atas tanah. Ketentuan tentang kewajiban bagi pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia diatur dalam Pasal 19 UUPA, yaitu : (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah, diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi : a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
5
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenamedia Group, Jakarta, h. 198. 6 , 2005, Hukum Agraria Dan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 91.
5
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. (3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial-ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. (4) Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Pasal 3 huruf a PP No. 24 Tahun 1997 menyatakan tujuan dari pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Lebih lanjut untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, diberikan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan Pasal 4 ayat (1) PP No. 24 tahun 1997.7 Dari ketentuan-ketentuan tersebut jelaslah bahwa seorang atau beberapa orang yang memiliki hak atas tanah maka mereka secara hukum dapat mengalihkan hak mereka kepada orang lain dengan cara menjual. Namun dalam kenyataannya belakangan ini banyak timbul masalah berupa sengketa tanah akibat pewarisan seperti perebutan hak milik antar sesama ahli waris, penjualan harta 7
Maria S. W. Sumardjono, 2009, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, h. 142.
6
warisan tanpa sepengetahuan ahli waris lain, pembagian harta warisan yang tidak proporsional, terjadinya sengketa yang mengakibatkan putusnya hubungan kekeluargaan, masuknya pihak lain diluar garis keturunan pewaris dalam pembagian harta warisan, adanya ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan digunakan dalam pembagian harta warisan, hingga terjadinya kasus gugat waris yang sampai dibawa ke jalur pengadilan. Berdasarkan fenomena-fenomena diatas maka penulis tertarik untuk membuat skripsi mengenai “PENYELESAIAN SERTIFIKAT TANAH WARIS DALAM JUAL BELI YANG DILAKUKAN OLEH AHLI WARIS LAIN.”
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.2.1 Bagaimanakah upaya penyelesaian sertifikat tanah waris agar dapat diperjualbelikan oleh ahli waris lain? 1.2.2 Bagaimanakah akibat hukumnya apabila dalam penyelesaian sertifikat tanah waris terjadi sengketa antara sesama ahli waris perihal proses jual beli tanah tersebut?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
7
Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut : 1.3.1. Pertama akan membahas mengenai upaya penyelesaian sertifikat tanah waris agar dapat diperjualbelikan oleh ahli waris lain. 1.3.2. Kedua akan membahas mengenai akibat hukum yang terjadi apabila dalam penyelesaian sertifikat tanah waris terjadi sengketa antara sesama ahli waris perihal jual beli tanah tersebut.
1.4. Orisinalitas Penelitian Penulis menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi dengan judul “Penyelesaian Jual Beli Tanah Waris Yang Dilakukan Oleh Ahli Waris Lain” ini merupakan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli penulis. Jika terdapat referensi terhadap karya orang lain atau pihak lain, maka dituliskan sumber dengan jelas. Beberapa penelitian dengan jenis yang sama yang ada dalam internet atau perpustakaan skripsi diantaranya tentang “Penguasaan Hak Atas Tanah Yang Belum Di Bagi Waris Ditinjau Dari Perspektif Hukum Agraria Nasional” dan “Kekuatan Mengikat Akta Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Yang Dibuat Oleh Notaris”. Dari kedua penelitian tersebut terdapat perbedaan dengan penelitian ini karena penelitian ini berfokus pada penelitian tentang “Penyelesaian Jual Beli Tanah Waris Yang Dilakukan Oleh Ahli Waris Lain”. Berikut terlampir matrik perbedaan penelitian yang telah ada dengan penelitian ini: No
Penulis
Judul
No
Rumusan Masalah
8
1
Baiq
Lisa Penguasaan
Hak
Atas 1
Bagaimana status dan
Mayasari
Tanah Yang Belum Di
kedudukan
Pratiwi
Bagi Waris Ditinjau Dari
penguasaan atas tanah
(Alumni
Perspektif Hukum Agraria
yang
Universias
Nasional
waris?
Mataram)
2
hukum
belum
dibagi
Apakah
akibat
hukumnya hak
pengalihan
atas tanah
belum
yang
dibagi
waris
kepada pihak ketiga? 2
I
Nyoman Kekuatan Mengikat Akta 1
Eka
Dwi Pengikatan Jual Beli Hak
Bagaimana
kekuatan
mengikat
akta
Permana
Milik Atas Tanah Yang
pengikatan jual beli hak
(Alumni
Dibuat Oleh Notaris
milik atas tanah yang
Universitas Udayana)
dibuat oleh notaris? 2
Apakah hak milik atas tanah dengan
sudah
beralih
dibatnya
akta
pengikatan jual beli hak milik atas tanah?
1.5. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
9
1.5.1. Tujuan Umum 1. Untuk melatih diri dalam upaya menyatakan pikiran secara tertulis dan sesuai dengan fakta yang terjadi. 2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya bidang pendidikan tentang jual beli dan hukum waris di dalam ruang lingkup hukum perdata. 1.5.2. Tujuan Khusus Melakukan pengkajian secara cermat dan mendalam perspektif
Hukum
Bisnis yaitu: 1. Untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan upaya penyelesaian sertifikat tanah waris agar dapat diperjualbelikan oleh ahi waris lain. 2. Melakukan identifikasi akibat hukum yang terjadi apabila dalam penyelesaian sertifikat tanah waris terjadi sengketa antara sesama ahli waris perihal jual beli tanah tersebut. 1.6. Manfaat Penelitian 1.6.1. Manfaat Teoritis 1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan sekaligus sebagai sumbangan pemikiran ilmu khususnya dalam materi mengenai jual beli tanah dan hak-hak para ahli waris sehingga dapat membantu mempersiapkan diri sebagai generus penerus yang bewawasan tinggi untuk masa depan. 2. Untuk memperluas pengetahuan mengenai penyelesaian jual beli tanah waris melalui teori-teori hukum agraria sebagai dasar hukumnya yang
10
tentunya berkaitan dengan jual beli tanah waris pada kantor pertanahan yang bersangkutan.
1.6.2. Manfaat Praktis 1. Memperluas pengetahuan dalam hal mekanisme penyelesaian sertifikat tanah waris agar nantinya dapat diperjualbelikan oleh ahli waris lainnya dan mengenai akibat hukum yang terjadi apabila ahli waris lain tidak setuju jika tanah tersebut diperjualbelikan. 2. Kiranya dapat membantu jika suatu saat dihadapkan pada penyelesaian kasus serupa yang berkaitan dalam hal jual beli khususnya jual beli tanah waris.
1.7. Landasan Teoritis Sehubungan dengan permasalahan yang diajukan maka dipandang perlu untuk membahas atau mengajukan kerangka teoritis. Kerangka teoritis yang dimaksudkan tiada lain untuk dapat memberikan landasan-landasan teori terhadap pembahasan atas permasalahan yang diajukan. Adapun beberapa teori, asas-asas hukum serta pandangan sarjana sebagai pembenaran teoritis adalah sebagai berikut : 1. Teori Keberlakuan Kaidah Hukum Kaidah Kaidah Hukum menurut Sifatnya, antara lain :
11
a) Hukum yang imperatif yaitu bersifat a priori harus ditaati, mengikat dan memaksa. Tidak ada pengecualian seorang pun di mata hukum (a quality before the law). b) Hukum yang fakultatif yaitu tidak secara a priori mengikat. Kaidah fakultatif bersifat sebagai pelengkap.8 Menurut Bentuknya, Kaidah Kaidah Hukum meliputi : a. Kaidah hukum yang tidak tertulis biasanya tumbuh dalam masyarakat dan bergerak sesuai dengan perkembangan masyarakat. b. Kaidah hukum yang tertulis, biasanya dituangkan dalam bentuk tulisan pada undang-undang dan sebagainya. Kelebihan kaidah hukum tertulis yaitu adanya kepastian hukum, mudah diketahui dan penyederhanaan hukum, serta kesatuan hukum. Teori berlakunya Kaidah Hukum, yaitu sebagai berikut :9 a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi atau berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara kondisi dan akibat. Secara filosofis, kaidah hukum berlaku apabila dipandang sesuai dengan cita-cita masyarakat.
8 9
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 189. Zulkarnaen, 2012, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia, Bandung, h. 52.
12
b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah tersebut berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut teori pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut diterima dan diakui oleh masyarakat. Adapun menurut teori paksaan, berlakunya kaidah hukum apabila dipaksakan oleh penguasa. c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. d) Kaidah hukum sebaiknya mengandung tiga aspek, yaitu yuridis, sosiologis dan filosofis. Jika hanya berlaku secara yuridis, kaidah hukum hanya merupakan hukum yang mati, sedangkan apabila hanya berlaku secara sosiologis karena dipaksakan, kaidah hukum tidak lebih dari sekedar alat pemaksa. Apabila hanya memenuhi syarat filosofis, kaidah hukum tidak lebih dari kaidah hukum yang dicita-citakan. Menurut Zeven Bargen, berlakunya kaidah hukum secara yuridis, apabila kaidah hukum itu terbentuk sesuai dengan tata cara atau prosedur yang berlaku. Sementara Logemann berpendapat bahwa kaidah hukum berlaku secara yuridis
13
apabila pada kaidah hukum terdapat hubungan kausalitas, yakni adanya kondisi dan konsekuensi. 10 Gustav Radbruch berpendapat bahwa dalam keberlakuan kaidah hukum harus dapat dilihat dari kewenangan-kewenangan pembentuk UU dan faktor faktor yang memengaruhi berlakunya hukum dalam masyarakat, sehingga hukum tersebut berlaku efektif. 11 Ciri Ciri kaidah hukum yang membedakan dengan kaidah lainnya, yaitu : 1. Bertujuan menciptakan keseimbangan antara kepentingan. 2. Mengatur perbuatan manusia yang bersifat lahiriah. 3. Dijalankan oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat. 4. Bertujuan mencapai kedamaian (ketertiban dan ketenteraman). Meskipun dalam kehidupan masyarakat terdapat kaidah yang mengatur tingkah laku manusia, kaidah hukum masih diperlukan karena : 1. Masih banyak kepentingan lain dari manusia dalam pergaulan hidup yang memerlukan perlindungan karena belum mendapat perlindungan yang sepenuhnya dari kaidah agama, kesusilaan, kaidah sopan santun, kebiasaan dan adat. 2. Kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari kaidah kaidah tersebut, dianggap belum cukup terlindung karena apabila terjadi 10 11
Ibid, h. 53. Ibid
14
pelanggaran terhadap kaidah tersebut, akibat atau ancamannya dipandang belum cukup kuat.12 2. Teori Kepastian Hukum Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum. 13 Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut : a. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut yuridis. b. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan
12 13
Ibid Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, h. 158.
15
c. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility). Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan. 14 Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. 15 Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, 14
Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, h. 59. 15 Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,Bandung, h. 23.
16
tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.16
3. Teori Asas Pewarisan a. Asas Kematian Asas ini diatur berdasarkan pada Pasal 830 KUH Perdata; “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Dengan perpedoman pada ketentuan pasal di atas berarti tidak akan ada proses pewarisan dari pewaris ke ahli waris kalau pewaris belum meninggal dunia. b. Asas Hubungan Darah dan Hubungan Perkawinan Asas ini terdapat dalam Pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 a KUH Perdata. Asas hubungan daerah merupakan salah satu asas yang esensial dalam setiap sistem Hukum Kewarisan, karena faktor hubungan darah dan hubungan perkawinan menentukan kedekatan seseorang dengan pewaris, dan menentukan tentang berhak atau tidaknya bagi seseorang menjadi ahli waris. 17 c. Asas Perderajatan 16
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Toko Gunung Agung, Jakarta, h. 82. 17 Riduan Syahrani, op. cit, h. 32.
17
Dalam KUH Perdata asas Hukum Kewarisan ini didasarkan pada prinsip; de naaste in het bloed erf hetgoed. Bila berpedoman pada prinsip di atas, maka yang berhak mewaris hanyalah keluarga yang lebih dekat dengan pewaris, sekaligus menentukan pula bahwa keluarga yang lebih dekat derajatnya dari pewaris akan menutup hak mewarisnya bagi keluarga yang lebih jauh derajatnya. d. Asas Pergantian Tempat (Plaatsvervulling) Mengingat asas ini merupakan penerobosan asas ketentuan yang mengatakan bahwa “yang berhak menerima warisan haruslah ahli waris yang masih hidup pada waktu si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini seolah-olah menyalahi ketentuan bahwa “keluarga yang derajatnya lebih dekat akan menutup keluarga yang derajatnya lebih jauh”, padahal sesungguhnya asas ini, malahan menjadi solusi atas kedua ketentuan di atas, sebab bila kedua ketentuan di atas dijalankan secara ketat, maka dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpatutan terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia daripada pewaris, sehingga si cucu tidak menerima harta warisan yang seharusnya orang tuanya terima sebagai ahli waris, hanya karena orang tuanya meninggal dunia lebih dahulu. e. Asas Bilateral. Asas ini berarti seseorang tidak hanya mewarisi dari garis Bapak saja, akan tetapi juga mewaris menurut garis ibu, demikian juga dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan. Asas ini memberi hak dan kedudukan yang sama
18
antara anak laki-laki dan perempuan dalam hal mewaris, bahkan dengan asas bilateral ini menetapkan juga suami isteri untuk saling mewaris. 18 Asas Bilateral sama dengan asas individu, selain berlaku dalam Hukum Kewarisan menurut KUH Perdata, juga berlaku dalam Hukum Kewarisan menurut Hukum Islam, dan Hukum Adat yakni dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan parental. f. Asas Individual Sesuai dengan namanya, maka asas ini menentukan tampilnya ahli waris untuk mewarisi secara individu-individu (perseorangan) bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok clan, suku atau keluarga. Asas ini mengandung pengertian bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan, sehingga dalam pelaksanaan seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai dan setiap ahli waris berhak menurut kadar bagiannya tanpa harus terikat dengan ahli waris lainnya. 19 Konsekwensi dari ketentuan ini adalah harta warisan yang sudah dibagi-bagikan atau dialihkan kepada ahli waris secara perseorangan itu menjadi hak miliknya. Karena itu, asas ini sejalan dengan ketentuan pada Pasal 584 KUH Perdata bahwa salah satu cara memperoleh hak milik adalah melalui pewaris. g. Asas Segala Hak dan Kewajiban Pewaris Beralih Kepada Ahli Waris
18 19
Abdul Manan, 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, h. 208. Ibid, h. 213.
19
Yang dimaksudkan segala hak dan kewajiban pewaris dalam asas ini adalah hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Dalam Hukum Kewarisan menurut KUH Perdata, asas ini berhubungan erat dengan hak saisine, sedang “hak saisine sendiri bersumber dari pemeo hukum Perancis yang berbunyi: Le mort saisit Le vif, yang maksudnya bahwa bagi yang meninggal dunia berpegang pada yang masih hidup”. Dengan berpedoman pada prinsip hukum ini, berarti apabila seseorang meninggal dunia, maka segala harta kekayaannya, baik aktiva maupun pasiva akan berpindah kepada ahli warisnya. Berpedoman pada prinsip di atas, maka menurut Wirjono Prodjodikoro. “layak kalau BW mengenal tiga macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, dan dapat memilih salah satu dari tiga sikap itu, yaitu : 1). Menerima seluruhnya menurut hakikat yang tersebut dalam BW (hak dan kewajiban) 2). Menerima dengan syarat yaitu, hutang-hutangnya 3). Menolak menerima harta warisan. Dalam hukum adat berlaku ketentuan bahwa, “harta kekayaan sebagai harta keluarga/kerabat diperuntukkan sebagai dasar hidup materil dari generasi ke generasi berikutnya”
kemudian terdapat juga ketentuan yang menyebutkan
20
bahwa, “Hutang-hutang yang ada dan timbul pada dan karena kematian si pewaris juga merupakan bagian harta peninggalan, meskipun dalam arti negatif”. 20 Dalam ketentuan undang-undang, para ahli waris yang telah menerima warisan hanya diwajibkan memukul beban (utang-utang, kewajiban-kewajiban) dari pewaris seimbang dengan yang diterima dari warisan. Dalam Pasal 1100 KUH Perdata ditegaskan bahwa, “Para waris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat dan lain-lain beban, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan”. Kemudian dengan kewajiban melakukan pembayaran yang dipukul secara perseorangan akan disesuaikan dengan jumlah besar bagiannya dengan tetap tidak mengurangi hak-hak para berpiutang, termasuk para berpiutang hipotik atas seluruh harta peninggalan pewaris selama belum terbagi. (Pasal 1101 KUH Perdata).21 4. Teori Asas-Asas Hak Milik Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas, pertama asas “Nemo plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorangpun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam
20 21
Ibid Effendi Perangin, 2006, Hukum Waris, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 3.
21
possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya. 22 1.8. Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah penelitian hukum empiris, yakni hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata.23 Dalam konteks ini hukum tdak sematamata dikonsepkan sebagai sebagai suatu gejala normatif yang otonom , sebagai ius constituendum (law as what ought to be), dan tidak pula semata-mata sebagai ius constitutum ( law as what it is in the book), akan tetapi secara empiris sebagai ius operatum (law as what it is in society). Hukum sebagai “law as what it is in society”. Hukum sebagai gejala sosio empirik dapat dipelajari di satu sisi sebagai suatu independent variable yang menimbulkan efek-efek pada pelbagai kehidupan sosial, dan di lain sisi sebagai suatu dependent variable yang muncul sebagai akibat berbagai ragam kekuatan dalam proses sosial (studi mengenai law in process).24 1.8.2 Sifat Penelitian Sifat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat deskriptif, penelitian deskriptif secara umum, termasuk juga didalamnya penelitian ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, 22
Adrian Sutedi, 2008, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 8. 23 , 2013,Pedoman pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana,hal.79. 24 Ibid, h. 80.
22
gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain di masyarakat.25 Dalam skripsi ini menggali teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat dalam literature maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian yang terdahulusudah mulai ada dan bahkan jumlahnya cukup memadai sehingga dalam penelitian ini hipotesis boleh ada atau boleh juga tidak. Penelitian deskriptif dapat membentuk teori-teori baru yang dapat memperkuat teori yang sudah ada. 1.8.3 Data dan Sumber Data Data dan sumber data yang digunakan dalam menunjang penelitian ini yaitu: a. Data Primer Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu dari wawancara dengan para informan26 dan responden. Data ini diperoleh dengan mengadakan penelitian secara langsung dilapangan yang akan dilakukan dengan pihak terkait, dalam hal ini yaitu pihak Badan Pertanahan Nasional Kota Denpasar selaku informan dan pihak ahli waris dari alm. Agung Raka selaku responden. b. Data Sekunder Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang dilakukan untuk menggali data-data yang didasarkan pada literatur-literatur dan
25
Ibid, h. 81. Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, h. 30. 26
23
data-data yang terkait dengan penyelesaian sertifikat tanah waris, peraturan perundang-undangan terkait, pendapat para sarjana, dan atau artikel yang diperoleh dari internet. Sumber data sekunder terdiri dari dua bahan hukum yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat dan memiliki kekuatan hukum, seperti peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata b. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 c. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari studi kepustakaan yang dilakukan dengan menelaah pendapat pakar hukum yang dimuat dalam literatur hukum, hasil penulisan yang berupa hasil penelitian para ahli hukum yang dijadikan dokumen-dokumen hukum.
c. Data Tersier Data Tersier adalah data yang berupa kompilasi antara data primer dengan data sekunder yang memberi petunjuk atau penjelas terhadap dataa primer dan data sekunder seperti kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia. 1.8.5 Teknik Pengumpulan Data
24
Dalam pengumpulan data, digunakan tiga cara pengumpulan data yaitu: 1. Teknik Wawancara (interview) Teknik Wawancara (interview) ini digunakan untuk memperoleh jawaban – jawaban yang relevan dengan masalah yang sedang diteliti seperti wawancara dengan ahli waris, dan Badan Pertanahan Nasional Kota Denpasar. 2. Teknik Studi Dokumen Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian normatif maupun penelitian hukum empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. 1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif atau yang sering diebut dengan analisis deskriptif kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun sekunder, akan diolah dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data yang lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data. Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis.