BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi informasi membawa dampak terhadap perubahan gaya hidup masyarakat, termasuk perubahan pola konsumsi makanan yang lebih banyak mengkonsumsi jenis makanan cepat saji, makanan kemasan dan awetan yang belakangan ini semakin banyak dijual di pasar tradisional dan swalayan. Penggunaan bahan tambahan makan banyak sekali digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti senyawa L-asam glutamat yang digunakan dalam bentuk garamnya yaitu MSG. Berbagai merk dagang MSG telah dikenal di masyarakat secara luas seperti ajinomoto, vetsin, micin, sasa, miwon dan sebagainya (Maidawilis, 2010). Dalam kehidupan sehari-hari, MSG banyak dipakai dalam makanan sebagai bahan penyedap masakan untuk merangsang selera makan. Penggunaan MSG dalam makanan biasanya dilakukan dalam jangka waktu pemakaian yang cukup lama dan MSG diperjual belikan secara bebas (Wakidi, 2012). Saat ini ada beberapa makanan mengandung bumbu penyedap atau yang biasa dikenal dengan vetsin atau MSG. Vetsin atau MSG adalah penyedap rasa yang sering digunakan saat memasak untuk menyedapkan masakan. Setelah diberi sedikit vetsin, makanan dapat menjadi sedap karena di dalam vetsin itu terkandung asam glutamat (glutamic acid). Berbagai senyawa pembangkit citarasa yang beredar bebas di pasaran misalnya MSG, 5 nukleotida, maltol (soft drink), dioctyl sodium
Universitas Sumatera Utara
sulfosuccinate (untuk susu kaleng) dan lain sebagainya. Diketahui hanya MSG yang banyak menimbulkan kontroversi antara produsen dan konsumen (Winarno, 2004). Pada tahun 1959, Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat mengelompokkan MSG sebagai “generally recognized as safe” (GRAS), sehingga tidak perlu aturan khusus. Tetapi tahun 1968, muncul laporan di New England Journal of Medicine tentang keluhan beberapa gangguan setelah makan di restoran china sehingga disebut “Chinese Restaurant Syndrome”. Karena kompisisinya dianggap signifikan dalam masakan itu, MSG diduga sebagai penyebabnya, tetapi belum dilaporkan bukti ilmiahnya. Untuk itu, tahun 1970 FDA menetapkan batas aman konsumsi MSG 120 mg/kg berat badan/hari yang disetarakan dengan konsumsi garam. Mengingat belum ada data pasti, saat itu ditetapkan pula tidak boleh diberikan kepada bayi kurang dari 12 minggu. Tahun 1980, laporan-laporan tentang hubungan MSG dengan Chinese Restaurant Syndrome ini kembali banyak muncul berupa sakit kepala, palpitasi (berdebar-debar), mual dan muntah. Pada tahun ini pula diketahui bahwa glutamate berperan penting pada fungsi sistem syaraf, sehingga muncul pertanyaan (Ardyanto, 2004). Penelitian tentang MSG selama ini dilakukan pada hewan coba dalam masa neonatal, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari MSG digunakan oleh orang dewasa dan umumnya dalam jangka waktu yang lama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa MSG menimbulkan disfungsi reproduksi dan endokrin yang multipel pada hewan coba. Dada dan Blake (1984), menemukan bahwa pemberian MSG menurunkan sekresi hormon gonadotropin. Monosodium glutamat dapat mengganggu
Universitas Sumatera Utara
spermatogenesis (Nizamuddin, 2000) dan dapat menyebabkan terbentuknya mikronukleus pada sel sumsum tulang femur mencit (Handayani, 2012). Salah satu metode yang dipilih untuk pengamatan terhadap parameter biologis adalah melalui pengamatan histopatologi. Pemeriksaan histologi adalah salah satu cara untuk mendeteksi adanya komponen patogen yang bersifat infektif melalui pengamatan secara mikro anatomi. Pemeriksaan histopatologi dilakukan melalui pemeriksaan terhadap perubahan-perubahan abnormal pada tingkat jaringan, yang bertujuan untuk memeriksa penyakit berdasarkan pada reaksi perubahan jaringan, terjadinya perubahan pada jaringan diduga merupakan efek toksik dari satu zat tertentu (Kurniasih, 2002). Histopatologi mempunyai keuntungan yaitu dapat membantu memahami struktur histologi jaringan tubuh sesuai dengan kondisi yang sebenarnya pada waktu hidup, memberikan hasil yang benar-benar shahih (valid/akurat)
yang sangat
dibutuhkan oleh para peneliti untuk menjawab permasalahan yang timbul, disamping itu untuk menunjang diagnosa penyakit yang diderita oleh pasien dan efek toksik suatu zat lebih mudah dilihat secara histopatologi (Jusup, 2009) Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui efek pemberian MSG terhadap gambaran histopatologi ginjal, hati dan otak mencit. Sebagai pembanding digunakan siklofosfamid (50 mg/kgBB). Pemberian dosis dilakukan dengan mencampur pelet yang mengandung MSG 0,3% b/b, 0,6% b/b, 0,9% b/b
yang
diberikan selama 14 hari.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah: Apakah MSG dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada organ ginjal, hati dan otak mencit? 1.3 Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis: MSG menyebabkan kerusakan organ ginjal, hati dan otak mencit 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah: Mengetahui efek pemberian MSG terhadap gambaran histopatologi ginjal, hati dan otak mencit. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah: Masyarakat menjadi lebih waspada dalam mengkonsumsi makanan yang mengandung MSG dan mengetahui dampak yang di timbulkan MSG terhadap organ ginjal, hati dan otak.
Universitas Sumatera Utara
1.6
Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir penelitian ini adalah sebagai berikut:
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Parameter
Kontrol normal Pelet ad 10 g/hari Pembanding, Pelet ad 10 g/hari + siklofosfamid 50 mg/kgBB (ip) Pelet mengandung MSG 0,3% b/b
Jaringan ginjal
- Degenerasi hidrofil - Nekrosis
Jaringan hati
Jaringan otak
- Sel glia - Meningitis - Edema neurofil
Pelet mengandung MSG 0,6% b/b Pelet mengandung MSG 0,9% b/b
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
Universitas Sumatera Utara