BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi ini semakin pesat perkembangan di berbagai bidang teknologi, termasuk bidang informasi. Perkembangan informatika mengakibatkan ketidak berjarakan antara informasi dibelahan dunia, sehingga informasi mudah sekali untuk masuk, terjadi pengadopsian beberapa kebiasaan dan pola hidup yang tidak sehat dimana dianggap sebagai pola hidup modern dari belahan dunia lain seperti kebiasaan merokok, mengkonsumsi makanan siap saji (fast food) yang memiliki kadar lemak jenuh tinggi, minuman beralkohol, stress, kerja berlebihan, kurang beristirahat dan berolahraga. (Auryn, 2007). Hal ini bisa menyebabkan pola penyakit mengalami pergeseran di masyarakat luas dari penyakit menular menuju ke penyakit tidak menular seperti kanker, kardiovaskular, stroke dan sebagainya. Stroke adalah gangguan fungsi otak lokal atau luas yang terjadi secara mendadak dan cepat, yang berlangsung lebih dari 24 jam dan dapat menyebabkan penderita meninggal karena gangguan peredaran darah otak. Gangguan fungsi otak ini bisa menyebabkan kematian, kelumpuhan, gangguan bicara, menurunkan kesadaran dan lain-lain (World Health Organization, 1995).
1
2
Pada tahun 2001, WHO melaporkan terdapat 20,5 juta jiwa di dunia yang menderita stroke, dan 5,5 juta jiwa diantaranya telah meninggal dunia. Di Kanada, stroke menjadi penyebab utama kematian ketiga. Lebih dari 50.000 jiwa di Kanada terkena stroke, dan 14.000 jiwa diantaranya meninggal setiap tahunnya. Setiap 10 menit ada satu jiwa penduduk Kanada yang terkena stroke setiap tahunnya. Sekitar 300.000 jiwa di Kanada hidup dengan efek kelumpuhan dari stroke (Heart and Stroke Foundation Of Canada, 2000). Menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) Di Indonesia, stroke merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah jantung dan kanker. Menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada sekitar 500.000 penduduk terkena stroke. Dari jumlah tersebut, sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di kasur (Misbach). Stroke merupakan penyakit yang sering menimbulkan permasalahan yang komplek baik dari segi kesehatan, ekonomi maupun sosial serta membutuhkan penanganan yang komprehensif termasuk upaya pemulihan dalam jangka waktu lama ( Mulyatsih, 2003). Terapi sangat diperlukan sebagai upaya mencegah stroke ulang dan memperbaiki kualitas hidup penderita stroke yang mengalami gangguan fungsional seperti hemiparesis dan keterbatasan gerak. Sesuai dengan
3
firman Allah yang telah tertulis dalam Al-Qur’an surat Ar-Ra’d (13) ayat 11: % Íp¯PoÙÉe y xJ ´ …… % Íp¯PoÙÉe ¹/` %4Ü ´ °°® ... Ü1³R«Æá5 ´ “…., Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…”
Makna dari ayat tersebut ialah Allah tidak akan merubah keadaan seseorang tanpa adanya upaya dari orang tersebut. Pada penderita stroke yang mengalami kecatatan, perlu adanya upaya untuk memperbaiki kecacatan. Salah satu upaya untuk memperbaiki kecacatan yaitu dengan melakukan fisioterapi (World Health Organization, 1995). Fisioterapi dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi fisik seoptimal mungkin pasca stroke. Sebelum memulai fisioterapi, seorang fisioterapis akan melakukan penilaian mengenai kesulitan gerak yang diakibatkan oleh kondisi stroke. Fisioterapi menggunakan berbagai metode atau tehnik latihan, diantaranya positioning (pola anti spastik) untuk menggerakkan sendi dan otot agar tidak kontraktur, latihan keseimbangan (duduk, berdiri, duduk ke berdiri), latihan berjalan, latihan komunikasi dan sebagainya (Lee,1990). Efikasi fisioterapi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia, tingkat sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan adanya pervalensi yang lebih tinggi pada keterbatasan fungsional fisik di masyarakat jepang yang terkena stroke.
4
Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan kognitif serta perilaku kesehatan yang buruk (Honjo, 2009). Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan orang atau keluarga dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan akan mempermudah proses pembelajaran dikarenakan proses yang didapat dalam masa pendidikan formal akan meningkatkan pembentukan jaringan neuronal (Wahyuliati, 2010). Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi penerimaan pasien dalam edukasi sebelum dilakukan fisioterapi. Berdasarkan berbagai hal di atas, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana efiksai fisioterapi terhadap derajat paresis berdasarkan tingkat pendidikan penderita stroke untuk memperoleh hasil fisioterapi yang maksimal. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas muncul pertanyaan penelitian: “Seberapa besar pengaruh efikasi fisioterapi berdasarkan tingkat pendidikan tinggi, menengah, dan dasar terhadap perbaikan derajat paresis penderita stroke?” C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah :
5
Untuk mengetahui pengaruh efikasi fisioterapi berdasarkan tingkat pendidikan terhadap perbaikan derajat paresis penderita stroke. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui perbedaan rerata perbaikan derajat paresis penderita stroke di awal dan setelah tiga bulan diterapi latihan berdasarkan tingkat pendidikan. b. Untuk mengetahui perbedaan rerata perbaikan derajat paresis penderita stroke berdasarkan tingkat pendidikan yaitu tinggi, menengah, dan dasar setelah di fisioterapi. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Ilmu Kedokteran Memberikan kontribusi dalam ilmu kedokteran mengenai pengaruh tingkat pendidikan terhadap efikasi fisioterapi pada penderita stroke dalam memperbaiki derajat paresis. 2. Klinisi Penelitian ini bermanfaat bagi praktek klinisi untuk mengedukasi dan membimbing penderita stroke dalam menjalankan fisioterapinya, sehingga mendapatkan hasil yang lebih maksimal pada perbaikan derajat parese penderita.
6
3. Penyuluh Kesehatan Penelitian ini bermanfaat sebagai data dan informasi bagi penyuluh kesehatan sehingga dapat digunakan untuk mengedukasi masyarakat sesuai dengan kemampuan dan kondisi masyarakat. 4. Peneliti Peneliti mendapatkan data dan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya. E. Keaslian Penelitian Ditemukan suatu penelitian oleh
Wina Yulinda pada tahun 2009,
dengan judul “Pengaruh Empat Minggu Terapi Latihan Pada Kemampuan Motorik Penderita Stroke Iskemia”. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian prospektif observasional kohort, tanpa kelompok kontrol. Penelitian dilakukan selama dua bulan di RSUP H. Adam Malik Medan. Penderita stroke iskemia berjumlah 44 orang yang diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Analisis uji t dependen menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna baik berdasarkan nilai indeks Barthel maupun nilai MMT (Manual Muscle Testing) di awal dan setelah empat minggu terapi latihan (nilai P<0,05). Disimpulkan bahwa terapi latihan memiliki pengaruh positif pada perbaikan kemampuan motorik penderita stroke iskemia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini memfokuskan pada efikasi fisioterapi terhadap derajat paresis berdasarkan status ekonomi penderita stroke. Pada penelitian Wina
7
(2009), tidak meneliti tentang tingkat pendidikan pada penderita stroke, dan hanya meneliti tentang stroke iskemik. Penelitian yang lain dilakukan oleh Irdawati pada tahun 2008 yang berjudul “Perbedaan Pengaruh Latihan Gerak Terhadap Kekuatan Otot pada Pasien Stroke Non-Hemoragik Hemiparese Kanan Dibandingkan dengan Hemiparese Kiri”. Metode penelitian
yang digunakan adalah
penelitian eksperimental, dengan rancangan two group pretest dan posttest. Penelitian ini menggunakan dua kelompok pasien. Hasil uji statistik Mann-Whitney menyimpulkan tidak ada perbedaan yang bermakna pada kenaikan nilai kekuatan otot antara pasien hemiparese kanan dan hemiparese kiri (p=0,828). Rerata kenaikan nilai kekuatan otot 57,10% pada pasien stroke hemiparese kanan dan 71,92% pada pasien stroke hemiparese kiri. Kesimpulannya adalah tidak terdapat perbedaan kenaikan nilai kekuatan otot antara pasien stroke hemiparese kanan dibandingkan dengan hemiparese kiri setelah diberikan latihan gerak. Perbedaan penelitian ini dan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini memfokuskan pada efikasi fisioterapi terhadap derajat paresis berdasarkan tingkat pendidikan penderita stroke. Penelitian Irdawati (2008) tidak meneliti tentang tingkat pendidikan pada penderita stroke terhadap derajat paresis, dan hanya meneliti pasien stroke non-hemoragik hemiparese kanan yang dibandingkan dengan hemiparese kiri.