1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejak manusia ada dan mulai mengenal berbagai macam kebutuhan yang harus didapatkan, maka berkembang pula pola pikir manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah mengalami perkembangan dari jaman prasejarah sampai dengan masa sekarang, manusia telah banyak memiliki kepentingan antar manusia itu sendiri, maka perlu adanya aturan untuk menghindari konflik antar manusia tersebut. Kebutuhan sekarang ini yang banyak dibutuhkan oleh manusia untuk kepentingan perekonomiannya berkaitan dengan perbankan.
Menurut
Undang-Undang No.7 Tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 (selanjutnya disebut dengan Undang-undang Perbankan) memberi pengertian tentang apa yang disebut bank. “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Bank merupakan salah satu pihak yang turut berperan dalam bidang perekonomian. Lembaga tersebut merupakan lembaga keuangan yang mempunyai nilai strategis dalam kehidupan ekonomi suatu negara. Dari pengertian dan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa bank berfungsi sebagai "'Financial intermediary", yakni dengan usaha utama menghimpun dan
2
menyalurkan dana masyarakat, serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran. Dua fungsi itu tidak bisa dipisahkan. Sebagai badan usaha bank akan selalu berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang dijalankannya. Sebaliknya, sebagai lembaga keuangan bank mempunyai kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja.1 Bank sebagai lembaga yang melakukan kegiatan perbankan secara umum yaitu pengumpulan dana, pemberian kredit, mempermudah sistem pembayaran dan penagihan, yang tidak kalah penting karena kapasitas bank sendiri dengan jaringannya yang luas, keahlian yang sangat memadai di bidang keuangan, peralatan yang begitu canggih, administrasi yang lebih teratur dibandingkan lembaga lainnya maupun karena permintaan masyarakat banyak, maka bank juga harus memberikan jasa-jasa umum yang notabene merupakan fungsi dari bank yang dibutuhkan masyarakat yaitu melakukan kegiatan penyertaan modal, menyewakan tempat penyimpanan (safe deposit box), usaha dan pensiun.2 Berdasarkan segi pendapatannya menurut Undang-undang Perbankan, kegiatan usaha bank digolongkan menjadi dua, yaitu jasa yang menghasilkan pendapatan bunga seperti pemberian kredit dan pendapatan non bunga seperti menyewakan safe deposit box, transaksi valuta asing dan lain sebagainya.
1
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Ctk. Pertama, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 59 2 Gunarto Suhardi, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum, Ctk. Keempat, Kanisius, Yogyakarta, 2006, hlm. 119
3
Menurut Pasal 6 huruf h Undang-undang Perbankan tentang usaha bank umum disebutkan bahwa kegiatan usaha bank umum adalah “menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga”. Terdapat adanya unsur "menyediakan tempat” pada ketentuan pasal tersebut. Secara umum, bank menyediakan jasa seperti tabungan, deposito, dan giro, namun dalam perkembangannya, bank konvensional juga menyediakan jasa yang dapat dijadikan media bagi nasabah untuk menyimpan barang yang dianggap berharga, yaitu disimpan dalam suatu tempat yang lazim disebut dengan Safe Deposit Box (SDB). Penyediaan tempat untuk menyimpan barang ini merupakan kegiatan usaha bank guna memenuhi kebutuhan masyarakat karena ada beberapa kalangan menganggap menyimpan barang berharga di rumah tidak selalu aman, terutama ketika semua orang sedang bepergian keluar dari rumah, oleh karena itu pengamanan terhadap benda-benda berharga dan dokumendokumen penting akan lebih baik disimpan kedalam safe deposit box. Berdasarkan pra penelitian yang diperoleh dari pimpinan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto berpendapat bahwa kebijakan dalam perjanjian safe deposit box itu setiap bank mempunyai standar yang berbeda. Perjanjian safe deposit box termasuk dalam kategori perjanjian baku atau standar yang pada umumnya akan menguntungkan pada pihak bank sendiri. Dalam hal ini perjanjian yang menjadi pokok yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap nasabah yang mengadakan hubungan hukum dengan pihak bank yang dibakukan dalam perjanjian, meliputi :
4
rumusan, model dan ukuran. Model perjanjian baku dapat berupa blangko nasabah perjanjian, lengkap dengan formulir yang dilengkapi dengan syaratsyarat perjanjian maupun klausula-klausula tertentu yang biasanya sulit dipahami nasabah dalam waktu yang singkat. Menurut pendapat M. Djumhana : Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga (safe deposit box). Bank menyewakan kotak dengan ukuran, dan jangka waktu tertentu kepada nasabah untuk digunakan sebagai sarana penyimpan barang-barang berharga miliknya, tanpa diketehui mutasi, dan isinya oleh bank. Pendapatan bank atas kegiatan usaha penyediaan dan penyewaan safe deposit box, yaitu berupa imbalan (fee) atas jasa yang disediakannya, berupa biaya sewa yaitu biaya pemakaian yang harus dibayar setiap tahun, serta biaya deposit untuk jaminan kunci, hanya saja biaya jaminan kunci ini akan dikembalikan ketika nasabah tidak lagi menyewa safe deposit box tersebut, 3 Penjelasan Pasal 6 huruf h Undang-undang Perbankan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “menyediakan tempat” dalam ketentuan ini adalah kegiatan bank yang semata-mata melakukan penyewaan tempat penyimpanan barang dan surat berharga (safety box) tanpa perlu diketahui mutasi dan isinya oleh bank. Mengenai perjanjian sewa-menyewa terdapat dalam Pasal 1548 KUHPerdata disebutkan bahwa “Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya”, sedangkan dalam Pasal 1550 3
M. Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Ctk. Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 319
5
KUHPerdata disebutkan pihak yang menyewakan diwajibkan karena sifat perjanjian dan dengan tak perlu adanya sesuatu janji untuk itu : 1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa ; 2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian, hingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan ; 3. Memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram daripada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa. Mengenai risiko dalam perjanjian sewa-menyewa disebutkan dalam Pasal 1553 KUHPerdata, dalam bukunya Subekti berpendapat bahwa : Peraturan tentang risiko dalam dalam sewa-menyewa itu harus kita kita ambil dari pasal 1553 tersebut secara mengambil kesimpulan. Dalam pasal ini dituliskan bahwa, apabila barang yang disewa itu musnah karena suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dari perkataan “gugur demi hukum” inilah kita simpulkan bahwa masingmasing pihak sudah tidak dapat menuntut sesuatu apa dari pihak lawannya, hal mana berarti bahwa kerugian akibat musnahnya barang yang dipersewakan dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan. Dan ini memang peraturan risiko yang sudah setepatnya, karena pada asasnya setiap pemilik barang wajib menanggung segala risiko atas barang miliknya. 4 Dengan demikian, dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian safe deposit box itu tunduk pada KUHPerdata yaitu perjanjian sewa-menyewa dan pada ketentuan umum perjanjian. Disisi lain, safe deposit box itu juga merupakan suatu kegiatan usaha perbankan yang diatur dalam Undang-undang Perbankan, dimana dalam perjanjian dengan bank biasanya dituangkan dalam bentuk baku atau standar yang pada umumnya
4
hlm.44
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Ctk. Kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995,
6
menguntungkan kepada pihak bank, dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian safe deposit box selain tunduk pada ketentuan KUHPerdata juga tunduk pada ketentuan perbankan. Pertanyaan yang muncul dari skripsi ini yaitu mengenai bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai penyewa dalam perjanjian safe deposit box sehubungan dengan tempat penyimpanan barang atau box yang disewakan bank itu masih dalam penguasaan bank jika terjadi overmacht, bagaimana jika terjadi wanprestasi dan hal-hal lainnya yang terkait dengan statusnya sebagai nasabah bank. Penelitian ini dilakukan di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto, mengingat bank tersebut merupakan salah satu bank terbesar di Purwokerto, sehingga bank tersebut juga sering melakukan kegiatan usaha penyewaan tempat menyimpan barang dan surat berharga. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan tersebut khususnya dalam lingkup safe deposit
box, sehingga penulis dalam skripsinya memberi judul : “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH BANK SEBAGAI PENYEWA DALAM PERJANJIAN SAFE DEPOSIT BOX (SDB) DI PT BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) Tbk PURWOKERTO”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan atas latar belakang tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang dapat diambil yaitu bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah bank sebagai penyewa dalam perjanjian safe deposit box di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto ?
7
C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perlindungan hukum nasabah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto dalam perjanjian safe deposit box. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis dan berguna dalam pengembangan studi ilmu hukum, khususnya yang mengkaji tentang perlindungan hukum dalam perjanjian safe deposit box. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara praktis, yang dapat memberikan wawasan ilmu pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat, serta pihak bank dalam melakukan jasa perbankan khususnya safe deposit box, agar dalam pembuatan perjanjian safe deposit box, baik pihak bank maupun pihak nasabah dapat memperoleh perlindungan hukum. Disamping itu, memberikan informasi atau gambaran kepada peneliti-peneliti selanjutnya tentang perlindungan hukum dalam perjanjian safe deposit box.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Bank 1. Pengertian Bank dan Perbankan 1.1. Pengertian Bank Bank adalah istilah yang tentunya tidak asing bagi masyarakat dewasa ini. Hampir seluruh pelosok Indonesia sudah ada bank yang beroperasi dan juga hampir segala kegiatan perekonomian masyarakat tidak lepas dari lembaga yang bernama bank. Menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat adalah salah satu kegiatan bank yang sudah pasti dikenal masyarakat dengan baik yaitu menabung dan pemberian kredit. Menurut pendapat Kasmir : Dalam pembicaraan sehari-hari, bank dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan dan deposito. Kemudian bank juga dikenal sebagai tempat untuk meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya. Disamping itu, bank juga dikenal sebagai tempat untuk menukar uang, memindahkan uang atau menerima segala macam bentuk pembayaran dan setoran seperti pembayaran listrik, telepon, air, pajak, uang kuliah dan pembayaran lainnya.5 Prof.G.M. Verryn Stuart, dalam bukunya, Bank Politik, berpendapat bahwa bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang
5
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 25
9
diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral. 6 Berkaitan dengan pengertian bank, Pasal 1 angka 2 Undang-undang Perbankan juga disebutkan bahwa “Bank adalah badan usaha yang menghimpun
dana
dari
masyarakat
dalam
bentuk
simpanan
dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Berbagai penulis buku tentang perbankan di dalam memberikan pengertian atau batasan terhadap bank boleh dikatakan tidak selalu memberikan rumusan yang sama hal ini dipengaruhi oleh latar belakang penulis maupun latar belakang pendidikan dari penulis. Selain itu yang ikut mempengaruhi rumusan tersebut adalah situasi atau kondisi perbankan pada saat rumusan tersebut dibuat. Seperti diketahui bank merupakan suatu bentuk usaha yang dinamis. 1.2. Pengertian Perbankan Definisi perbankan secara hukum terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Perbankan, yaitu : “Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”. Dikaitkan dengan pengertian perbankan di atas, maka hukum perbankan (Banking Law) adalah hukum yang mengatur masalah perbankan.
6
Thomas Suyatno, dkk, Kelembagaan Perbankan, Gramedia, Jakarta, 1997, hlm. 1
10
Munir Fuady mendefinisikan secara umum bahwa : Hukum perbankan yaitu merupakan seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang- undangan, yurisprudensi, doktrin dan lain-lain sumber hukum yang mengatur masalah perbankan sebagai lembaga dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, hak, kewajiban, tugas, dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, dan lain-lain peraturan yang berkenaan dengan dunia perbankan tersebut.7 Menurut M.Djumhana : Hukum perbankan Indonesia adalah sebagai hukum yang mengatur masalah perbankan yang berlaku di Indonesia pada saat sekarang. Dengan demikian berarti akan membicarakan aturan-aturan perbankan yang positif masih berlaku sampai saat sekarang ini, sehingga peraturan hukum perbankan yang pernah berlaku pada masa lalu, bukan merupakan hukum positif jika peraturan itu sekarang sudah tak berlaku lagi. Namun peraturan-paraturan itu masih diperlukan sebagai bahan yang penting dalam rangka mempelajari sejarah perbankan Indonesia.8 Selain pengertian hukum perbankan, yang sama pentingnya yaitu pembahasan mengenai ruang lingkup dalam hukum perbankan itu sendiri. Hal tersebut merupakan suatu yang harus diketahui dan dipahami sebagai acuan kerangka berpikir dalam melakukan pembahasan mengenai kajian hukum perbankan secara lebih lanjut. Adapun yang merupakan ruang lingkup dari pengaturan hukum perbankan adalah sebagai berikut : 1. Asas-asas perbankan, seperti norma efisiensi, keefektifan, kesehatan bank, profesionalisme pelaku perbankan, maksud dan tujuan lembaga perbankan, hubungan hak dan kewajiban bank ; 2. Para pelaku bidang perbankan dan mengenai bentuk badan hukum pengelola, seperti dewan komisaris , direksi, karyawan, maupun pihak terafiliasi. Mengenai bentuk badan hukum pengelola, seperti PT, Persero, Perusahaan Daerah, Koperasi. Mengenai bentuk kepemilikan seperti milik pemerintah, swasta, atau bank asing ; 7
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Tahun 1998, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1999, hlm. 14 8 Muhamad Djumhana, Op.Cit, hlm. 1
11
3. Kaidah perbankan yang khusus diperuntukan untuk mengatur perlindungan kepentingan umum dari tindakan perbankan, seperti pencegahan persaingan yang tidak sehat dan perlindungan nasabah ; 4. Yang menyangkut dengan struktur organisasi yang berhubungan dengan bidang perbankan, seperti eksistensi dari dewan moneter dan Bank Sentral ; 5. Yang mengarah kepada pengamanan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh bisnis bank tersebut, seperti peraturan, sanksi, pengadilan, dan pengawasan.9 2. Asas, Fungsi dan Tujuan Perbankan 2.1. Asas Perbankan Berhubungan dengan pelaksanaan kemitraan antar bank dan nasabahnya, untuk terciptanya sistem perbankan yang sehat, kegiatan perbankan perlu dilandasi dengan beberapa asas. Adapun di dalam kegiatan perbankan sendiri dikenal beberapa asas yaitu : 1. Asas Demokrasi Ekonomi Asas demokrasi ekonomi ditegaskan dalam Pasal 2 Undangundang Perbankan. Pasal tersebut menyatakan, bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Ini berarti, usaha perbankan diarahkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Asas Kepercayaan Asas kepercayaan adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan
9
Munir Fuadi, Op.Cit, hlm. 15
12
nasabahnya. Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan padanya atas dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus
menjaga
kesehatannya
dengan
tetap
memelihara
dan
mempertahankan kepercayaan masyarakat kepadanya. Keamanan masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat diperolehnya kembali pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan dan disertai dengan imbalan. Apabila kepercayaan nasabah penyimpanan terhadap
dana
yang
disimpannya.
Berbagai
persoalan
dapat
menyebabkan ketidakpercayaan nasabah terhadap suatu bank. 3. Asas Kerahasiaan Asas kerahasiaan adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan
wajib
dirahasiakan.
Kerahasiaan
ini
adalah
untuk
kepentingan bank sendiri karena bank memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila bank menjamin bahwa tidak akan ada penyalahgunaan pengetahuan bank tentang simpananya. Dengan demikian, bank harus memegang teguh rahasia bank. 4. Asas kehati-hatian
13
Asas kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 Undangundang Perbankan yang diubah bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan
usahanya
berasaskan
demokrasi
ekonomi
dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. 2.2. Fungsi Perbankan Fungsi perbankan Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang Perbankan, yang menyatakan bahwa “Fungsi utama perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat”. Menurut M. Djumhana, bank berfungsi sebagai : a. Pedagang dana (money lender), yaitu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien. Bank menjadi tempat untuk penitipan dan penyimpanan uang yang dalam prakteknya sebagai tanda penitipan dan penyimpanan uang tersebut kepada kepada penitip dan penyimpan diberikan selembar kertas tanda bukti. Sedangkan dalam fungsinya sebagai
penyalur
dana,
bank
memberikan
kredit
atau
perdagangan
dan
membelikannya dalam suatu surat-surat berharga. b. Lembaga
yang
melancarkan
transaksi
pembayaran uang. Bank bertindak sebagai penghubung antara nasabah yang satu dengan yang lainnya jika keduanya melakukan
14
transaksi. Dalam hal ini kedua orang tersebut tidak secara langsung melakukan pembayaran tetapi cukup memerintahkan pada bank untuk menyelesaikannya.10 2.3. Tujuan Perbankan Perbankan di Indonesia mempunyai tujuan yang strategis. Dalam arti adanya lembaga perbankan dapat menyeimbangkan stabilitas nasional tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik dan sosial karena perbankan sesuai dengan fungsinya merupakan lembaga intermediasi yang berfungsi mengumpulkan dan menyalurkan dana ke masyarakat. Hal ini sesuai dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang Perbankan, yang berbunyi : “Perbankan
Indonesia
bertujuan
menunjang
pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”. 3. Jenis-jenis Bank Berdasarkan sejarah perkembangan perbankan di Indonesia yang beberapa kali telah mengalami perubahan perundang-undangan, maka jenis bank dapat dilihat dari aspek fungsinya, kepemilikannya, status dan kedudukan, serta cara menentukan harga. a. Jenis Bank Berdasarkan Fungsinya ; Berdasarkan Undang-undang Perbankan, penggolongan bank di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu : 10
M. Djumhana, Op.Cit, hlm. 82-83
15
1) Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya
memberikan
jasa
dalam
lalu
lintas
pembayaran (Pasal 1 angka 3 Undang-undang Perbankan). 2) Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal 1 angka 4 Undang-undang Perbankan). b. Jenis Bank Berdasarkan Kepemilikannya ; Jenis bank dilihat dari aspek kepemilikannya dibedakan menjadi : 1) Bank Umum Milik Negara, yaitu bank yang hanya dapat didirikan berdasarkan undang-undang. 2) Bank Umum Swasta, yaitu bank yang hanya dapat didirikan dan menjalankan usahanya setelah mendapatkan izin dari pimpinan Bank Indonesia. 3) Bank Campuran, yaitu bank umum yang didirikan bersamaan oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara
Indonesia,
dengan
berkedudukan di luar negeri.
satu
atau
lebih
bank
yang
16
4) Bank Milik Pemerintah Daerah, yaitu Bank Pembangunan Daerah.11 c. Jenis Bank Dilihat dari Status dan Kedudukannya ; Status dan kedudukan bank diukur dari kemampuannya dalam melayani masyarakat yang terdiri dari jumlah produk yang ditawarkan, modal, serta kualitas pelayanannya. Terdiri dari : 1) Bank Devisa, yaitu bank yang dapat melaksanakan transaksi ke luar negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing, misalnya transfer ke luar negeri, inkaso ke luar negeri, travelers cheque, pembukaan dan pembayaran Letter of Credit, dan transaksi lainnya. 2) Bank Non Devisa, yaitu bank yang belum memiliki ijin untuk melaksanakan transaksi ke luar negeri seperti yang dilakukan oleh Bank Devisa. Sehingga transaksi yang dilakukan oleh bank ini meliputi transaksi dalam negeri.12 d. Jenis Bank Dilihat dari Aspek Cara Menentukan Harga ; Jenis bank dilihat dari aspek menentukan harga, baik harga beli maupun harga jual dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1) Bank Konvensional, yaitu bank yang melaksanakan prinsip konvensional yang menggunakan dua metode, yaitu : a) Menetapkan bunga sebagai harga, baik untuk produk simpanan seperti giro, tabungan, deposito berjangka, maupun produk pinjaman (kredit) yang diberikan berdasarkan tingkat bunga tertentu.
11
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta ; Pustaka Utama Grafiti, 2003, hlm 56-58 12 Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta; Ekonisia, 2002, hlm. 30
17
b) Untuk jasa-jasa bank lainnya, pihak bank menggunakan atau menerapkan berbagai biaya dalam nominal atau prosentase tertentu. Sistem penetapan biaya ini disebut fee based. 2) Bank Syariah (bank bagi hasil), yaitu bank yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah Islam.13 4. Kegiatan Usaha Bank Jasa perbankan diatur dalam Bab III tentang jenis dan usaha bank dalam Undang-undang Perbankan. Dalam Pasal 6 Undang-undang Perbankan, telah dijelaskan usaha-usaha bank umum. “Usaha Bank Umum meliputi : a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ; b. Memberikan kredit ; c. Menerbitkan surat pengakuan hutang ; d. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya : 1. Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud ; 2. Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud ; 3. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah ; 4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ; 5. Obligasi ; 6. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ; 7. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ; e. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah ; f. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana
13
Ibid, hlm. 30-31.
18
telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya ; g. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga ; h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga ; i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak ; j. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek ; k. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya ; 1. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat ; m. Menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ; n. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pasal 7 Undang-undang Perbankan menyebutkan : “Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Umum dapat pula : a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ; b. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank antara perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ; c. Melakukan kegiatan penyertaan modal untuk sementara untuk
19
mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memnuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ; dan d. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku”. Dalam Pasal 13 Undang-undang Perbankan, dijelaskan usaha-usaha Bank Perkreditan Rakyat. Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi : a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ; b. Memberikan kredit ; c. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ; d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/atau tabungan pada bank lain. Tujuan utama bank melaksanakan kegiatan penggunaan dana atau penanaman dana adalah untuk memperoleh penghasilan berupa pendapatan. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan bahwa “Pendapatan adalah arus kas masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktifitas normal perusahaan selama suatu periode yang mengakibatkan kenaikan ekuitas dan tidak secara langsung berasal dari kontribusi penanaman modal”. Pendapatan merupakan salah satu bagian dari penghasilan selain keuntungan. Pendapatan umumnya timbul dari transakasi dan peristiwa
20
ekonomi seperti penjualan, penghasilan jasa (fee), bunga, deviden, royalti dan sewa. Pendapatan yang diperoleh bank akan berpeluang meningkatkan perolehan laba dan akan mempengaruhi presentase kerja yang dicapai suatu bank. Jenis pendapatan yang diperoleh bank atas produk dan jasa yang diberikan kepada masyarakat menurut Kasmir dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu pendapatan bunga (interest income) dan pendapatan non bunga (fee based income). Pendapatan bunga (interest income), adalah pendapatan yang diperoleh dalam bentuk bunga atas pemberian kredit sebagai penyalur dana kepada masyarakat, baik perorangan atau badan usaha dan juga penempatan dana kepada bank lain. Sedangkan pendapatan non bunga (fee based income) adalah pendapatan provisi, fee atau komisi yang diperoleh dari pemasaran produk maupun transaksi jasa perbankan. Teguh Pudjo Muljono mengungkapkan tiga jenis pendapatan bank beserta sifatnya, yaitu sebagai berikut : Pertama, pendapatan perkreditan sebagaimana halnya pada biaya dana, besar kecilnya pendapatan perkreditan ini juga selain tergantung kepada besarnya suku bunga kredit yang berlaku, juga akan tergantung dengan jangka waktu pemakaian kredit tersebut oleh para debitur yang bersangkutan. Kedua, komponen pendapatan lain yang cukup besar yaitu dari hasil transaksi di bidang valuta asing dalam segala bentuknya. Salah satu pendapatan dari perdagangan valuta asing yaitu berupa selisih kurs. Ketiga, jenis pendapatan lainnya ada dalam jasa-jasa perbankan. Jasa tersebut biasanya tidak berbentuk suatu ikatan untuk suatu jangka waktu yang panjang. Dimana pelaksanaannya dilakukan transaksi, di sisi lain tarif-tarif yang dikenakan pada jasa-jasa perbankan biasanya dilakukan oleh bank.
21
Malayu Hasibuan menyatakan bahwa “Jasa adalah setiap kegiatan atau manfaat yang dapat diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak pula berakibat pemilikan sesuatu dan produksinya dapat atau tidak dapat dikaitkan dengan suatu produk”. Jasa-jasa bank adalah salah satu aktifitas pada perbankan nasional yang bertujuan memberikan kemudahan bagi nasabah dalam melakukan transaksi keuangannya, dan di sisi lain merupakan sumber penerimaan bagi perbankan. Sumber penerimaan dari jasa bank dikenal dengan nama pendapatan provisi dan komisi atau pendapatan non bunga. Biasanya, pendapatan provisi dan komisi atau pendapatan non bunga ini lebih sering dikenal dengan nama fee based income. Fee based income menurut Lapoliwa, adalah pendapatan bank dalam bentuk komisi. Komisi tersebut berasal dari jasa-jasa yang telah diberikan kepada para nasabah diantaranya, jasa dalam bentuk transfer dalam negeri, inkaso dalam negeri, perdagangan dalam negeri, safe deposit box (SDB), credit card, dana rekening titipan dan dana setoran. B. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum dan Nasabah 1. Pengertian Perlindungan Hukum dan Nasabah 1.1. Pengertian Perlindungan Hukum Lembaga perbankan adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, guna tetap mengekalkan kepercayaan masyarakat
terhadap
bank,
pemerintah
harus
berusaha
melindungi
22
masyarakat dari tindakan lembaga atau oknum bank yang tidak bertanggungjawab dan merusak sendi kepercayaan masyarakat. Apabila suatu saat terjadi merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tersebut, hal tersebut merupakan bencana bagi ekonomi negara secara keseluruhan dan keadaan tersebut sangat sulit untuk dipulihkan kembali.14 Menurut Sulistyandari, perlindungan hukum itu berkaitan tentang bagaimana hukum itu memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak dan kewajiban terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya untuk mempertahankan haknya tersebut. 15 Berdasarkan ketentuan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum itu merupakan bentuk tentang bagaimana caranya hukum itu memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak dan kewajiban terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya untuk mempertahankan haknya tersebut. Mengenai hak dan kewajiban, Nicolai memberikan pengertian sebagai berikut : “ Een recht houdt in de (rechtens gegeven) urijheid om een bepalde feitelijke handeling te verichten of n ate laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak op het verichten van een handeling door een ander. Een plicht implieert een verplichting om een bepaalde handeling te verichten of na laten”.
14
Muhamad Djumhana, Op.Cit, hlm.337 Sulistyandari, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Pengawasan Perbankan di Indonesia, Laros, Sidoarjo, 2012, hlm. 282 15
23
(Hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu).16 Dalam menganalisis perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia, Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan perlindungan hukum represif yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Di dalam perlindungan hukum bagi rakyat ini minimal ada dua pihak, dimana perlindungan difokuskan pada salah satu pihak, pemerintah di satu pihak dengan tindakan-tindakannya, berhadapan dengan rakyat yang dikenai tindakan-tindakan pemerintah tersebut. Segala sarana, diantaranya peraturan perundang-undangan yang memfasilitasi pengajuan keberatan-keberatan oleh rakyat sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk definitif, merupakan perlindungan hukum yang preventif. Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh peradilan merupakan perlindungan hukum yang represif.17 1.2. Pengertian Nasabah Sebelum mengarah lebih lanjut mengenai hubungan bank dengan nasabah penyimpan, perlu kita ketahui tentang definisi dari nasabah, nasabah penyimpan dan simpanan. Menurut Undang-undang Perbankan, disebutkan bahwa :
16 17
Ibid, hlm. 283 Ibid, hlm. 283-284
24
“Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank (Pasal 1 angka 16 Undang-undang Perbankan)”. “Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasbah yang bersangkutan (Pasal 1 angka 17 Undang-undang Perbankan)”. “Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan (Pasal 1 angka 18 Undang-undang Perbankan)”. “Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (Pasal 1 angka 5 Undang-undang Perbankan)”. 2. Hubungan Hukum Bank dengan Nasabah Hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana, dapat terlihat dari hubungan yang muncul kegiatan usaha bank yang utama yaitu menghimpun
dana
dari
masyarakat
dalam
bentuk
simpanan
dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentukbentuk lainnya dalam meningkatkan taraf hidup orang banyak, yang dalam melaksanakan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat penyimpan dana dilakukan dengan perjanjian penyimpanan antara bank dengan nasabah
25
penyimpan bentuk simpanan dapat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.deposito,giro dan tabungan. Adapun hubungan hukum yang dimaksud terdiri dari : a. Hubungan Kontraktual Dalam hubungan kontraktual ini, hak-hak nasabah penyimpan lahir dari kontrak atau perjanjian penyimpanan dana yang dibuat oleh bank dengan nasabah penyimpan sendiri. Selain itu hak-hak nasabah penyimpan juga diatur dalam atau diberikan oleh KUHPerdata maupun ketentuan hukum perbankan. Hanya saja perjanjian penyimpanan dana dalam praktik isinya ditentukan oleh pihak bank, seperti berapa besar dan perhitungan bunga atau jasa simpanan, biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh nasabah penyimpan dan biasanya perjanjian penyimpanan dana merupakan perjanjian standar atau baku yang biasanya terdapat ketentuan yang lebih menguntungkan pihak bank.18 Hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan yang dilahirkan atau didasarkan dari perjanjian penyimpanan dana, bank berkedudukan sebagai pihak debitur, karena bank adalah sebagai pihak yang berkewajiban mengembalikan simpanan nasabah penyimpan sesuai yang diperjanjikan dan nasabah penyimpan berkedudukan sebagai pihak kreditur, karena nasabah
18
Ibid, hlm. 300
26
penyimpan
adalah
sebagai
pihak
yang
berhak
atas
pengembalian
simpanannya dari bank yang sesuai dengan yang diperjanjikan.19 Dapat disimpulkan hubungan bank dengan nasabah penyimpan merupakan hubungan antara orang perseorangan yang merupakan lingkup hukum perdata (hubungan kontraktual). Sehingga, dalam hubungan kontraktual ini nasabah penyimpan mendapatkan perlindungan hukum dalam bidang perdata, dimana telah dalam perlindungan hukum perdata pada prinsipnya warga negara boleh mengatur sendiri menurut pandangan hubungan satu sama lain (asas otonomi).20 b. Hubungan Non Kontraktual Antara bank dengan nasabah penyimpan terdapat hubungan non kontraktual yang sering disebut dengan asas-asas khusus dari hubungan nasabah dengan bank. Menurut Zulkarnain Sitompul, asas khusus tersebut antara lain hubungan kepercayaan (fiducia relation), hubungan kerahasiaan (confidential relation) dan hubungan kehati-hatian (prudential relation).21 Hubungan non kontraktual ini adalah bahwa hubungan nasabah penyimpan dengan bank itu muncul bukan karena adanya kontrak atau perjanjian, melainkan hubungan itu bisa muncul karena adanya hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan/atau hukum tidak tertulis seperti hukum kebiasaan dalam perbankan yang mengaturnya.22 19
Ibid, hlm. 297 Ibid, hlm. 301 21 Ibid, hlm. 293 22 Ibid, hlm. 303 20
27
Asas khusus yang dimaksud dalam hubungan non kontraktual ini dapat dilihat dalam Undang-undang Perbankan, diantaranya : 1. Hubungan kepercayaan Hubungan ini tersimpul dari Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5 dan Pasal 3 Undang-undang Perbankan. Dari beberapa pasal tersebut dapat diketahui
bahwa
bank
adalah
lembaga
perantara/intermediasi
(intermediary institution), dimana bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, disini muncul hubungan hukum antara bank (debitur) dengan nasabah penyimpan (kreditur), nasabah penyimpan mempercayakan dana simpanannya kepada bank untuk dikelola, untuk itu nasabah penyimpan berhak atas pengembalian simpanan dengan bunga. 23 2. Hubungan kehati-hatian Hubungan kehati-hatian tersimpul dalam Pasal 2, Pasal 8, Pasal 11 dan Pasal 29 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Perbankan. Beberapa pasal tersebut dapat dideskripsikan bahwa ketentuan perbankan di Indonesia menganut prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha, artinya dalam melaksanakan kegiatan usaha seperti pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank harus hatihati dengan memperhatikan dua hal. Pertama, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
23
Ibid, hlm. 304
28
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Kedua, bank wajib memperhatikan mengenai ketentuan batas maksimum dalam pemberian kredit atau kegiatan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal
11
Undang-undang
Perbankan
dan
peraturan
pelaksanaannya. 24 3. Hubungan kerahasiaan Hubungan kerahasiaan diatur dalam Pasal 40 dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 42A, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 47, Pasal 47A dan Pasal 51 Undang-undang Perbankan. Pasal 40 Undang-undang Perbankan dapat diketahui adanya hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan yaitu bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, apa yang menjadikan kewajiban bagi bank tersebut merupakan hak bagi nasabah penyimpan untuk dirahasiakan simpanan dan identitasnya, dan jika terjadi pelanggaran terhadap kewajiban tersebut pihak bank apakah itu dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi mendapatkan sanksi pidana atau denda sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-undang Perbankan. 25 4. Hubungan menjamin dana simpanan
24 25
Ibid, hlm. 308 Ibid, hlm. 315
29
Hubungan ini diatur dalam Pasal 37B Undang-undang Perbankan. Ketentuan pasal tersebut dapat diketahui adanya hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan yaitu bank mempunyai kewajiban untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan melalui Lembaga Penjamin Simpanan dan apa yang menjadi kewajiban bank adalah hak bagi nasabah penyimpan untuk dijamin simpanannya. Oleh karenanya Pasal 37B merupakan salah satu ketentuan dari Undangundang Perbankan yang bertujuan untuk memberi perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan. 26 5. Hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah Hubungan hukum ini diatur dalam Pasal 29 ayat (4) Undangundang Perbankan tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Ketentuan pasal tersebut dapat diketahui adanya hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan, dimana bank mempunyai kewajiban untuk menyediakan informasi
mengenai
kemungkinan
timbulnya
risiko
kerugian
sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank dan nasabah penyimpan mempunyai hak untuk memperoleh informasi tersebut. 27 6. Hubungan kepedulian terhadap pengaduan nasabah Hubungan ini diatur dalam peraturan Bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Pada saat 26 27
Ibid, hlm. 317 Ibid, hlm. 325
30
terjadi pelanggaran kewajiban bank dalam hubungan non kontraktual, dimana dalam hubungan ini hak-hak nasabah muncul dari Undangundang Perbankan dan peraturan pelaksanaannya dan nasabah penyimpan merasa dirugikan atas pelanggaran kewajiban bank tersebut, maka nasabah penyimpan dapat menuntut bank atas dasar perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang mengatakan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian. 28 C. Tinjauan Tentang Perikatan 1. Pengertian Perikatan Perjanjian menimbulkan suatu hubungan antara dua orang yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut Abdulkadir Muhammad, perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah bersusun.
28
Ibid, hlm. 328-329
31
Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum
29
, dari uraian ini
dapat dinyatakan bahwa perikatan itu adalah hubungan hukum. Hubungan hukum itu timbul karena adanya peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian dan keadaan. Objek hubungan hukum itu adalah harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur dan pihak yang wajib memenuhi tuntutan itu disebut debitur. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa perikatan adalah hubungan hukum mengenai harta kekayaan yang terjadi antara kreditur dan debitur.30 2. Jenis-jenis Perikatan Setelah dijelaskan mengenai pengertian perikatan berdasarkan pengaturan dalam KUHPerdata atau di luar KUHPerdata, Subekti membagi jenis-jenis perikatan yang merupakan sumber dari perikatan yang dilihat dari bentuknya yaitu : 1. Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertanggung jawabkan (ospchortende voorwade). Suatu contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau saya lulus dari ujian. 2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshepaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang. 29
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 198 30 Ibid, hlm. 199
32
3. Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah. 4. Perikatan tanggung menanggung (hoofdelijk atau solidair) ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek. 5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakikatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya. 6. Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi. 31 3. Wanprestasi dan Akibatnya Setiap perjanjian sebagaimana telah dikemukakan dimuka, selalu memuat suatu hal tertentu. Dalam hal ini, suatu hal tertentu tersebut adalah prestasi. Sehingga sebelum mengutarakan pengertian wanprestasi, perlu dikemukakan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan prestasi.
31
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 35
33
Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur di dalam setiap perikatan, baik perikatan yang bersumber pada perjanjian, undangundang maupun yang lainnya. Prestasi dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat suatu ataupun tidak berbuat sesuatu. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu yang dimaksud adalah melakukan sesuatu perbuatan seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian, misalnya prestasi untuk membuat sebuah patung, dan sebagainya. Adapun pengertian prestasi tidak berbuat sesuatu, adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan yang telah diperjanjikan, misalkan tidak melakukan pemasangan iklan seperti yang telah diperjanjikan. Wanprestasi terjadi, disebabkan oleh kesalahan debitur sendiri. Wanprestasi itu sendiri berarti prestasi buruk. Menurut Subekti, wanprestasi dapat berupa hal-hal seperti berikut : a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan melakukan ; b. Melaksanakan
apa
yang
diperjanjikan,
akan
tetapi
tidak
sebagaimana yang diperjanjikan ; c. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, akan tetapi terlambat ; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.32
32
R.Subekti, Hukum Perjanjian, Ctk. Kedua belas, Intermesa, Jakarta, 1990 hlm. 46
34
Persoalannya adalah, sejak kapan saat seorang debitur dapat dikatakan wanprestasi. Dalam hal ini perlu diperhatikan, apakah dalam perjanjian itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Perjanjian yang tidak ditentukan tenggang waktu pemenuhan prestasinya, maka debitur perlu diperingatkan secara tertulis yang berisi suatu perintah bahwa debitur segera atau pada waktu tertentu harus memenuhi kewajibannya. Jika tidak dipenuhi, ia telah dinyatakan wanprestasi atau lalai, namun apabila dalam perjanjian tersebut telah ditentukan tenggang waktu pemenuhan prestasinya, maka debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, lewatnya waktu yang ditentukan.” Akibat hukum yang diterima oleh debitur yang wanprestasi adalah sanksi atau hukuman. Menurut Abdulkadir Muhamad, tentang akibat hukum wanprestasi adalah ; “Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi, adalah hukuman atau sanksi berikut ini : a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata). Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan. b. Dalam perjanjian timbal balik, wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUHPerdata). c. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 KUHPerdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.
35
d. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 ayat 1 HIR). Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku bagi untuk semua perikatan. e. Memenuhi perjanjian, jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata)”.33 4. Overmacht dan Risiko Istilah overmacht secara umum diartikan sebagai keadaan memaksa. Menurut Abdulkadir Muhammad : ”Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhi prestasi oleh debitur karena terjadi peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan”.34 Selanjutnya, Abdulkadir Muhammad mengemukakan pendapat bahwa unsur-unsur yang dapat dipenuhi prestasi dalam keadaan memaksa itu ialah : a. Tidak penuhi prestasi, karena suatu peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda yang menjadi obyek perikatan, ini selalu bersifat tetap. b. Tidak dipenuhi prestasi, karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara. c. Peristiwa itu tidak bisa diketahui atau diduga akan terjadi, pada waktu membuat perikatan baik, oleh debitur maupun oleh kreditur, jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur”.35 Terjadinya overmacht, debitur tidak disalahkan, karena keadaan tersebut timbul di luar kemauan dan kemampuan debitur. Misalnya barang yang menjadi obyek perjanjian musnah atau hancur karena banjir. Sehubungan 33
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982. hlm. 24 Ibid, hlm. 27 35 Ibid, hlm. 28 34
36
dengan itu pengertian overmacht dibedakan menjadi dua, yakni overmacht yang bersifat tetap dan overmacht yang bersifat sementara. Overmacht yang bersifat tetap, adalah apabila debitur tidak dapat lagi memenuhi, atau kalaupun masih mungkin untuk memenuhinya tidak mempunyai arti lagi bagi debitur, misalnya barang yang menjadi obyek perjanjian musnah, karena bencana alam. Akibat hukum dari overmacht bersifat tetap, adalah hapusnya perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan overmacht bersifat sementara, adalah apabila overmacht itu hanya mengakibatkan tertundanya pelaksanaan pemenuhan prestasi untuk sementara waktu. Apabila overmacht tersebut berakhir, maka kreditur masih berhak menuntut pemenuhan prestasi. Adanya dua macam overmacht tersebut, muncul dua macam teori : a. Teori obyektif Dasar teori ini adalah ketidakmungkinan. Teori ini mengatakan, bahwa seorang debitur dapat mengemukakan dalam keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasinya tidak mungkin dapat dilaksanakan bagi setiap orang. Misalnya, sebuah hotel terbakar di luar kesalahan pemiliknya, maka pihak hotel tidak dapat melaksanakan kewajibannya menyediakan kamar. b. Teori subyektif Teori ini mengatakan, bahwa terdapat keadaan memaksa jika
debitur
yang
bersangkutan
mengingat
keadaan
atau
kemampuan pribadinya, tidak dapat memenuhi prestasinya.
37
Menurut teori ini debitur masih mungkin memenuhi prestasinya, meskipun mengalami kesulitan-kesulitan. Pengaturan overmacht di dalam KUHPerdata terdapat pada Pasal 1244 dan Pasal 1245. Pasal 1244 KUHPerdata mengatakan bahwa debitur diharuskan membayar ganti kerugian, apabila debitur tidak dapat membuktikan bahwa tidak tepatnya dalam melaksanakan perjanjian itu, karena sesuatu hal yang tidak dapat diduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, kecuali jika ada itikad buruk pada debitur, sedangkan Pasal 1245 KUHPerdata pada pokoknya menentukan bahwa tidak ada ganti kerugian yang harus dibayar, apabila karena keadaan memaksa atau suatu kejadian yang tidak disengaja, debitur berhalangan memberi atau berniat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. Selanjutnya persoalan yang timbul dengan adanya overmacht ini, adalah siapa yang harus memikul risiko. Pengertian risiko itu sendiri menurut Subekti : “Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena kejadian di luar kesalahan salah satu pihak”.36 Mengenai risiko ini, undang-undang membedakannya menjadi dua, yaitu risiko pada perjanjian sepihak dan risiko pada perjanjian timbal balik. Pada perjanjian sepihak, persoalan risiko hanya diatur dalam Pasal 1237 KUHPerdata, yang menentukan bahwa “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan atas tanggungan si berpiutang”.
36
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.Cit, hlm. 98
38
Atas
ketentuan
Pasal
1237
KUHPerdata
tersebut,
Subekti
menjelaskan bahwa : “Perikatan tanggungan dalam hal ini sama dengan “risiko”. Dengan begitu, dalam perikatan untuk berikan suatu barang tertentu tadi, jika barang ini belum diserahkan, musnah karena suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si berutang”, yaitu yang berhak menerima barang itu.”37 Perjanjian timbal balik persoalan mengenai risiko diatur oleh Pasal 1460 dan Pasal 1545 KUHPerdata. Pasal 1460 KUHPerdata menentukan : ”Jika kebendaan yang dijual itu suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya”. Kesimpulan yang dapat ditarik dari ketentuan pasal tersebut adalah bahwa perjanjian jual beli suatu barang tertentu, risiko ditanggung oleh pembeli yang dalam penyerahan barang tersebut berkedudukan sebagai kreditur, karena ia berhak menuntut penyerahan barangnya. D. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Ketentuan tentang perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata. Sebelum mendapatkan gambaran yang jelas tentang pengertian perjanjian, perlu dikemukakan bahwa Buku III KUHPerdata tersebut berjudul “Tentang Perikatan”. Artinya, perjanjian memiliki hubungan yang erat dengan perikatan, dalam hal ini perjanjian itu merupakan salah satu sumber dari perikatan.
37
Ibid
39
Definisi tentang perjanjian diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata, yakni “Pejanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata tersebut dianggap mengandung kelemahan, sehingga oleh para sarjana turut serta memberikan rumusan tersendiri mengenai pengertian perjanjian. Menurut Sudikno Mertokusumo, berpendapat : “Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.38 Sedangkan Subekti, mengemukakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.39 2. Asas-asas Hukum Perjanjian Dalam perjanjian dijumpai beberapa asas hukum, baik berhubungan dengan lahirnya perjanjian, isi perjanjian, akibat perjanjian maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian. a. Asas Konsensualisme. Asas konsensualisme berhubungan dengan kapan saat lahirnya perjanjian. Istilah Konsensualisme itu sendiri berasal dari kata “Konsensus” yang berarti kesepakatan. Maksud dari kesepakatan adalah bahwa antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tercapai suatu persesuaian kehendak. Apa yang dikehendaki pihak yang satu harus pula dikehendaki oleh pihak lain.
38
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum :Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 97 39 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Ctk. Kesebelas, Intermesa, Jakarta, 1990, hlm. 1
40
Menurut asas konsensualisme , perjanjian telah lahir sejak saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak mengenai pokok-pokok perjanjian. Subekti, dalam hal ini mengemukakan : “Asas konsensualisme mempunyai arti yang penting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan tercapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjia itu (dan perikatan yang ditimbulkannya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus”.40 b. Asas Kebebasan Berkontrak. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian. Asas kebebasan berkontrak ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Para pihak diberi kebebasan untuk membuat aturanaturan sendiri mengenai perjanjian yang mereka adakan, namun, apabila mereka tidak menentukan sendiri, maka terhadap aturan-aturan mengenai
perjanjian
tersebut
mereka
tunduk
pada
ketentuan
KUHPerdata. c. Asas Pacta Sunt Servanda. Asas pacta sunt servanda dikenal sebagai asas kekuatan mengikatnya perjanjian. Asas ini berhubungan akibat suatu perjanjian. Perjanjian dibuat berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat
40
Ibid, hlm. 5
41
sahnya suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut akan mengikat para pihak yang membuatnya sebagai undang-undang. Hal ini berarti para pihak yang mengadakan tidak dapat melepaskan diri secara sepihak terhadap perjanjian yang bersangkutan tanpa kesepakatan yang secara sengaja memutuskan perjanjian secara sepihak tanpa kesepakatan pihak lainnya, maka dapat dinyatakan wanprestasi. d. Asas Itikad Baik. Asas itikad baik berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian. Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Maksud perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik adalah bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan mengindahkan norma kepatutan dan kesusilaan. Dalam hal ini undang-undang tidak memberikan pengertian tentang apa yang di maksud dengan kepatutan dan kesusilaan. Abdulkadir Muhammad, mengemukakan : “jika dilihat dari katanya, kepatuhan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan, sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Dari kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai “nilai yang patut, pantas, layak, cocok, sopan dan beradab, sebagaimana bersama-sama dikehendaki oleh masingmasing pihak yang berjanji.”41 3. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian yang isinya sebagai berikut : 1. Kesepakatan. 41
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Op.Cit, hlm. 93
42
2. Kecakapan. 3. Objek tertentu. 4. Kausa yang halal. Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suatu perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif. Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif. Menurut pendapat Subekti : Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dengan syarat obyektif. Dalam hal syarat obyektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya : Dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null and void. Dalam hal suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib suatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan voidable (bahasa Inggris) atau vernietigbaar (bahasa Belanda). 42 Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas, dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak bebas, yaitu paksaan, kekhilafan dan penipuan.
42
R. Subekti, Op.Cit, hlm. 20
43
Paksaan yang dimaksud adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya, salah satu pihak, karena diancam dan ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Kekhilafan terjadi apabila salah satu puhak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Misalnya, sesorang membeli sebuiah lukisan yang dikiranya lukisan Basuki Abdullah, tetapi kemudian ternyata hanya turunan saja. Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannnya. Misalnya, mobil yang yang ditawarkan diganti dulu mereknya, dipalsukan nomor mesinnya dan lain sebagainya.43 Adapun penjelasan dari masing-masing syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut : 1. Kesepakatan Kata
sepakat
berarti
persesuaian
kehendak,
maksudnya
memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya ”sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara apapun sepertinya
43
Ibid, hlm. 23-24
44
tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.44 J.Satrio
menyatakan,
kata
sepakat
sebagai
persesuaian
kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.45 Adapun suatu sepakat dapat dikatakan cacat, jika pihak yang memberikan perizinan atau menyetujui perjanjian itu dilakukan secara tidak bebas. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata, sepakat yang didasarkan pada kehendak yang tidak bebas, maka sepakatnya tidak sah dan menurut Pasal 1449 KUHPerdata, tetap lahir perjanjian, akan tetapi atas dasar tuntutan dari pihak yang merasa memberikan sepakatnya secara tidak bebas, perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Hal ini dikarenakan adanya unsur kesesatan/kekhilafan, paksaan dan penipuan.46
44
R. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 4 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 129 46 Nur Wakhid, Diktat ; Syarat Sahnya Perjanjian, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto, 2009, hlm. 26 45
45
Kesimpulannya, bahwa di dalam kata sepakat terkandung petunjuk bahwa setidak-tidaknya ada dua pihak yang saling memberikan persetujuan. Dikatakan saling memberi persetujuan jika mereka memang menghendaki apa yang disepakatinya secara timbal balik. Untuk adanya perjanjian diperlukan adanya sepakat, sebaliknya jika tidak ada kata sepakat, maka tidak lahir perjanjian, sedangkan untuk sahnya perjanjian, disamping diperlukan adanya sepakat, maka sepakatnya sendiri haruslah merupakan sepakat yang sah. 2. Kecakapan Dalam Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Berdasarkan KUHPerdata pada umumnya seseorang dikatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, yaitu telah mencapai umur 21 tahun.
Selanjutnya Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian : 1. Orang yang belum dewasa 2. Mereka yang berada di bawah pengampuan 3. Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-
46
undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu. Orang yang belum dewasa menurut Pasal 330 KUHPerdata yaitu orang yang belum berumur 21 tahun, tetapi meskipun belum berumur 21 tahun, apabila seseorang telah atau pernah menikah dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian. Ukuran belum dewasa untuk sekarang ini juga telah dijelaskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan menganut asas yang berbeda dengan KUHPerdata mengenai kriteria dewasa. Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Perkawinan mengatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah menikah ada di bawah kekuasaan orang tuanya. Pasal 47 ayat (2) Undang-undang Perkawinan mengatakan bahwa orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam maupun diluar pengadilan. Pasal 50 Undang-undang Perkawinan mengatakan bahwa anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah perwalian. 47 Kesimpulannya, bahwa anak yang belum dewasa berada di bawah kekuasaan orang tuanya
atau walinya
sampai
yang
bersangkutan berumur 18 tahun. Orang yang berada di bawah pengampuan yaitu orang yang terganggu jiwanya, lemah akalnya dan pemboros berada di bawah
47
Tim Pengajar Hukum Perdata, Buku Ajar ; Hukum Perdata, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto, 2005, hlm. 26
47
pengampuan (atau paling tidak suatu ketika akan berada di bawah pengampuan).48 Menurut KUHPerdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (Pasal 108 KUHPerdata). Untuk perjanjian mengenai soal-soal kecil yang dapat dimasukkan dalam pengertian keperluan rumah tangga, dianggap si istri dimasukkan dalam golongan orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian.49 Berkaitan dengan ketidakcakapan istri, dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan, maka istri adalah cakap bertindak. Hal itu dapat disimpulkan dalam Pasal 31 ayat (2), 35 ayat (2) dan 36 ayat (2). Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Perkawinan mengatakan bahwa masing-masing pihak (suami maupun istri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Perkawinan mengatakan bahwa harta bawaan adalah tetap di bawah penguasaan masingmasing. Pasal 36 ayat (2) Undang-undang Perkawinan mengatakan bahwa terhadap harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak untuk sepenuhnya melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.50 Dengan demikian orang dikatakan cakap adalah apabila ia telah berumur 18 tahun atau sudah menikah sebelum usia tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjiannya akan sah apabila dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa dan tidak dibawah pengampuan. 48
J. Satrio, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 282 R. Subekti, Op.Cit, hlm. 18 50 Tim Pengajar Hukum Perdata, Op.Cit, hlm. 30 49
48
3. Objek tertentu Yang dimaksud dengan objek tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam KUHPerdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2). Kesimpulannya, perjanjian akan sah jika sudah memenuhi syarat, kalau jenis objek perjanjiannya saja yang sudah ditentukan. Ketentuan tersebut harus ditafsirkan, bahwa objek perjanjian harus tertentu, sekalipun masing-masing objek tidak harus secara individual tertentu.51 4. Kausa yang halal Yang dimaksud dengan kausa disini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Subekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian. 51
J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op.Cit, hlm. 293
49
Pada Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undangundang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum. Kesimpulannya, perjanjian akan sah jika isinya harus halal (tidak terlarang), sebab isi perjanjian itulah yang akan dilaksanakan. Mereka mengadakan perjanjian dengan maksud untuk melaksanakan isi perjanjian tersebut dan berdasarkan Pasal 1320 jo Pasal 1337 KUHPerdata bahwa isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 52 4. Jenis-jenis Perjanjian Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUHPerdata, peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUHPerdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturanperaturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu : 1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, dan lain-lain. 2. Perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang 52
Ibid, hlm. 305
50
ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai Undang-undang bagi masing-masing pihak.53 Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut 54 : 1. Perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli. 2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban. Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya : hibah. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 3. Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoemd). Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk Undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V s/d XVIII KUHPerdata. Di luar perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjianperjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli. 4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). 5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan. 6. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. 53
R. M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978, hlm. 10 54 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 90-93
51
a. perjanjian liberatoir : yaitu perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) dalam Pasal 1438 KUHPerdata. b. perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. c. perjanjian untung-untungan : misalnya prjanjian asuransi, Pasal 1774 KUHPerdata. d. Perjanjian publik : yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas. 7. Perjanjian campuran. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa), tetapi menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. 8. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya adalah perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V s.d. XVIII Buku Ketiga Kitab Undangundang Hukum Perdata. Diluar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tetapi banyak terjadi dalam masyarakat. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian yang berlaku dalam Hukum Perjanjian. Misalnya : perjanjian sewa beli. 5. Berakhirnya Perjanjian Pada umumnya suatu perjanjian akan berakhir apabila tujuan perjanjian itu telah tercapai, yaitu masing-masing pihak telah memenuhi prestasi sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan dalam perjanjian, namun perlu dikemukakan, bahwa hapusnya perjanjian adalah berbeda dengan hapusnya perikatan. Sebab dapat terjadi suatu perikatan hapus, sedangkan perjanjian yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Hal ini dapat terjadi, karena di dalam suatu perjanjian sering kali terdiri dari beberapa perikatan.
52
Sebagai contohnya, adalah dalam perjanjian jual beli. Dengan dibayarnya harga barang, maka perikatan mengenai pembayarannya menjadi hapus, sedangkan perikatan mengenai penyerahannya masih tetap ada. Suatu perjanjian akan hapus apabila semua perikatan dalam perjanjian dapat menyebabkan hapusnya semua perikatan, yakni apabila suatu perjanjian berlaku surut, misalnya karena wanprestasi. Disamping itu, suatu perjanjian juga dapat hapus atau berakhir dengan cara-cara berikut : a. Apabila telah ditentukan sendiri oleh para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan dengan penetapan waktu tertentu ; b. Apabila telah ditentukan oleh undang-undang tentang batas waktu berlakunya suatu perjanjian, misalnya perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tidak boleh lebih dari lima tahun ; c. Ditentukan oleh para pihak atau undang-undang, bahwa apabila terjadi suatu peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir, misalnya jika salah satu pihak meninggal dunia ; d. Dengan pernyataan penghentian oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak dengan memperhatikan tenggang waktu pengakhiran menurut kebiasaan-kebiasaan setempat, misalnya perjanjian sewamenyewa yang waktunya tidak ditentukan di dalam perjanjian ; e. Putusan hakim karena ada salah satu pihak mengajukan tuntutan untuk mengakhiri perjanjian ;
53
f. Selama masih berlangsungnya suatu perjanjian para pihak mengadakan kesepakatan untuk mengakhiri perjanjian yang mereka buat. E. Tinjauan Tentang Perjanjian Sewa-menyewa 1. Pengertian Perjanjian Sewa-menyewa Perjanjian sewa-menyewa merupakan salah satu perjanjian khusus yang ketentuan-ketentuannya terdapat dalam bab ketujuh Buku III KUHPerdata. Sistematika Buku III KUHPerdata terdiri dari dua bagian, yaitu ketentuan umum (Bab I tentang perikatan-perikatan umumnya, Bab II tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian dan Bab IV tentang hapusnya perikatan-perikatan) dan ketentuan khusus yang memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang telah ditentukan oleh KUHPerdata (Bab V-XVIII ditambah Bab VII A Pasal 1457-1864 KUHPerdata). Dalam hal ini perjanjian sewa-menyewa merupakan salah satu bagian yang diatur dalam ketentuan khusus disamping perjanjian yang lainnya, seperti misalnya perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar, perjanjian penitipan barang, dan lain sebagainya. Menurut Pasal 1548 KUHPerdata disebutkan bahwa “Sewa-menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya”.
54
Meskipun KUHPerdata telah memberikan definisi tentang perjanjian sewa-menyewa, namun demikian beberapa sarjana masih memandang perlu untuk memberikan definisi sendiri. M. Isa Arif, memberikan definisi : “Bahwa perjanjian sewa-menyewa adalah suatu persetujuan di mana pihak yang satu berkewajiban untuk memberikan kenikmatan suatu benda kepada pihak yang lain dengan harga yang oleh pihak yang lain disetujui untuk dibayar.”55 Subekti, memberikan definisi: “Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi untuk menyerahkan suatu barang untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu, sedang pihak lain menyanggupi untuk membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu yang telah ditentukan.”56 Dengan terdapatnya beberapa definisi mengenai perjanjian sewamenyewa tersebut dapat disimpulkan bahwa di dalam sewa-menyewa terdapat unsur-unsur sebagai berikut : a. Menyerahkan suatu barang untuk dinikmati.
Barang yang diserahkan sebagai obyek dalam perjanjian sewamenyewa adalah bukan untuk dimiliki melainkan hanya dikuasai, dipakai atau dinikmati, sehingga dalam sewa-menyewa hak milik tidak beralih. Dengan perkataan lain penyerahan barang dalam sewa-menyewa hanya bersifat penyerahan kekuasaan belaka, bukan penyerahan hak milik, seperti halnya dalam perjanjian jual beli. Oleh karena dalam sewa-menyewa tidak terjadi penyerahan hak millik, maka pihak yang menyewakan tidak harus sebagai pemilik barang
55
M. Isa Arif, Perikatan Bersumber Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hlm. 43
56
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1984, hlm. 84
55
yang menjadi obyek sewa-menyewa. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Subekti : “Karena kewajiban yang menyewakan adalah menyerahkan barang untuk dinikmati dan bukannya menyerahkan hak milik atas barang itu, maka ia tidak usah pemilik dari barang tersebut. Dengan demikian, maka seorang yang mempunyai hak nikmat-hasil dapat secara sah menyewakan barang yang dikuasainya dengan hak tersebut.”57 Barang dijadikan obyek sewa-menyewa dalam hal ini. Ketentuan umum sewa-menyewa mengatakan bahwa semua jenis barang baik yang bergerak maupun tak bergerak, dapat disewakan. Ketentuan umum tentang sewa-menyewa ini termuat dalam bagian kesatu Bab VII Buku III KUHPerdata. Adapun ketentuan khusus mengatur tentang perjanjian sewamenyewa juga diterapkan ketentuan-ketentuan umum Buku III KUHPerdata sepanjang di dalam ketentuan khusus menyimpang. Ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur perjanjian sewa-menyewa terdapat pada Bab VII Buku III KUHPerdata. Menurut sistematikanya, Bab VII Buku III KUHPerdata dibagi menjadi empat bagian, yaitu : Bagian I : Tentang ketentuan-ketentuan umum. Bagian II : Tentang aturan-aturan yang sama-sama berlaku terhadap penyewaan tanah. Bagian III : Tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi sewa rumah dan perabot rumah.
57
R. Subekti, Op.Cit, hlm. 40
56
Bagian IV : Tentang aturan-aturan yang khusus berlaku bagi sewa tanah. Sehubungan dengan barang yang dapat menjadi obyek sewa-menyewa ini, Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapat : “Oleh karena maksud dari sewa-menyewa adalah untuk dikemudian hari mengembalikan barang kepada pihak yang menyewakan, maka tidak mungkin ada persewaan barang yang pemakaiannya berakibat musnahnya barang itu, misalnya barang-barang makanan.”58 b. Selama waktu tertentu.
Pasal 1548 KUHPerdata menyebutkan perkataan “waktu tertentu”, bukanlah berarti bahwa untuk berlangsungnya sewa-menyewa harus ditentukan lebih dahulu suatu jangka waktu yang telah tertentu. Namun, masing-masing pihak harus dapat menghentikan atau mengakhiri sewamenyewa tersebut, dengan memperhatikan tenggang waktu tertentu menurut adat dan kebiasaan setempat. Dalam pelaksanaannya pun sering terjadi bahwa sewa-menyewa diadakan untuk jangka waktu yang tidak tertentu. c. Pembayaran suatu harga.
Pembayaran suatu harga sewa merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam sewa-menyewa. Dalam hal ini pembayaran harga sewa merupakan hak yang akan diterima oleh yang menyewakan. Pusat yang menjadi perhatian adalah wujud pembayaran harga sewa. Dalam hal ini apakah harus berwujud uang ? Ternyata KUHPerdata sendiri tidak memberikan ketentuan. Dalam kenyataan sehari-hari pembayaran 58
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Cetakan Kedelapan, Sumur, Bandung, 1985, hlm. 43
57
dengan sejumlah uang adalah pembayaran harga sewa yang paling umum. Dalam hal ini, karena uang disamping alat pembayaran yang sah, juga paling mudah dan praktis. Berhubungan dengan hal ini, Subekti berpendapat : “Kalau jual beli harga harus berupa uang, karena kalau berupa barang perjanjiannya bukan jual beli lagi tetapi tukar-menukar, tetapi dalam sewamenyewa tidaklah menjadi keberatan bahwa harga sewa itu berupa barang atau jasa.”59 Dengan
kesepakatan
yang
tertuang
dalam
perjanjian,
maka
pembayaran harga sewa dengan bentuk barang atau jasa tersebut tidak akan merubah sifat dari perjanjian sewa-menyewa itu sendiri. 2. Subyek dan Obyek Perjanjian Sewa-menyewa Perjanjian sewa-menyewa terdapat dua subyek, yaitu yang menyewakan dan penyewa. Kedua subyek dalam sewa-menyewa tersebut masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Apa yang menjadi hak yang menyewakan merupakan kewajiban bagi penyewa, sebaliknya apa yang menjadi kewajiban yang menyewakan merupakan hak penyewa, dengan perkataan lain pihak yang menyewakan dan pihak penyewa dalam beberapa hal dapat kedudukan sebagai kreditur dan dalam hal berkedudukan sebagai debitur. Subyek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum. Subyek perjanjian sewa-menyewa tersebut berupa orang, maka disyaratkan orang yang dimaksud harus sudah dewasa, sehat pikirannya dan oleh peraturan hukum tidak
59
R. Subekti, Op.Cit, hlm. 41
58
dibatasi atau dilarang dalam hal melakukan perbuatan hukum yang sah, misalnya tidak dilarang oleh peraturan kepailitan. Adapun yang dimaksud dengan sudah dewasa, adalah apabila sudah mencapai usia 21 tahun atau sudah kawin, meskipun belum mencapai usia 21 tahun. Pada umumnya seseorang dikatakan dapat melakukan perbuatan hukum apabila telah mencapai kedewasaan disamping memenuhi aturan yang telah ditentukan di atas, sedangkan ukuran dewasa sekarang ini menurut Pasal 47 ayat
(1) Undang-undang Perkawinan mengatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah menikah ada di bawah kekuasaan orang tuanya, yang artinya anak tersebut belum dapat melakukan perbuatan hukum. Apabila orang-orang belum dewasa berkehendak mengadakan perjanjian sewa-menyewa, maka yang harus bertindak adalah orang tua atau walinya, sedangkan untuk orang yang tidak sehat pikirannya, maka yang harus bertindak adalah pengawasnya. Untuk orang yang di bawah pengampuan yang mewakili adalah pengampunya dan untuk orang yang berada dalam keadaan pailit yang bertindak adalah Balai Harta Peninggalan (BHP). Pembahasan berikutnya adalah mengenai obyek perjanjian sewamenyewa yang dalam hal ini obyek perjanjian sewa-menyewa adalah suatu barang yang disewa dan harga sewa. Sehubungan dengan barang yang dapat dijadikan obyek dalam perjanjian sewa-menyewa ini, Bab VII Buku III KUHPerdata di dalam ketentuan umumnya hanya menyebutkan bahwa semua jenis barang baik yang bergerak maupun tak bergerak dapat disewakan. Ketentuan mengenai barang yang disewa tersebut
59
masih sangat umum dan luas, oleh karena itu beberapa sarjana memberikan pendapatnya.
3. Hak dan Kewajiban Pihak-pihak Perjanjian Sewa-menyewa 3.1. Hak yang menyewakan Sebagaimana
diketahui
perjanjian
sewa-menyewa
merupakan
perjanjian timbal balik, artinya masing-masing pihak harus berprestasi, sehingga dalam banyak hal apa yang merupakan hak penyewa menjadi kewajiban yang menyewakan dan sebaliknya kewajiban penyewa merupakan hak bagi yang menyewakan. Hak-hak pihak yang menyewakan tersebut diantaranya : a. Menerima pembayaran harga sewa pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian yang bersangkutan ; b. Perlakuan yang baik atas barang yang disewakannya ; c. Menerima kembali barang yang disewakan setelah jangka waktu sewa berakhir ; d. Menurut pembatalan perjanjian sewa-menyewa dengan disertai penggantian kerugian, atau melepaskan sewanya kepada orang lain. 3.2. Kewajiban yang menyewakan
Kewajiban-kewajiban pihak yang menyewakan harus dilaksanakan sebagaimana telah ditentukan oleh KUHPerdata, diantaranya : a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa. b. Memelihara barang yang disewakan dengan seksama, sehingga barang
tersebut
dapat
dipakai
dimaksudkan dalam perjanjian.
oleh
penyewa
sebagaimana
60
c. Memberikan kepada penyewa kenikmatan yang tenteram atas barang yang disewakan, selama berlangsungnya sewa-menyewa. d. Melakukan pembetulan-pembetulan pada barang yang disewakan yang perlu untuk dilakukan, kecuali pembetulan-pembetulan kecil yang menjadi kewajiban penyewa. e. Menanggung segala cacat dari barang yang disewakan yang merintangi pemakaian barang tersebut, sekalipun pihak yang menyewakan tidak mengetahuinya pada waktu perjanjian sewamenyewa tersebut dibuat. f. Mengenai kerugian apabila cacat-cacat di atas mengakibatkan bagi penyewa.
Perlu ditambahkan bahwa kewajiban pihak yang menyewakan untuk
memberikan kenikmatan
yang tenteram
di
atas adalah
dimaksudkan untuk menanggulangi atau menangkis tuntutan-tuntutan hukum dari pihak ketiga atas barang yang disewakan, namun kewajiban untuk memberikan kenikmatan yang tenteram atas barang yang disewakan ini tidak termasuk pengamanan-pengamanan dalam arti gangguan-gangguan fisik, dalam hal gangguan-gangguan fisik yang dialami penyewa di dalam penggunaan barang yang disewakannya menjadi tanggungan penyewa. 3.3. Hak penyewa Dalam perjanjian sewa-menyewa pihak penyewa mempunyai hak-hak sebagai berikut :
61
a. Menerima barang yang disewakan pada waktu dan dalam keadaan seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian yang bersangkutan. b. Memperoleh kenikmatan yang tenteram atas barang yang disewakan selama sewa-menyewa tersebut berlangsung. c. Menuntut kepada pihak yang menyewakan supaya uang sewa dikurangi dalam hal penyewa mendapat gangguan-gangguan dari pihak ketiga atas dasar hak yang dikemukakan pihak ketiga tersebut. Dalam hal ini, maka tuntutan tersebut sepadan dengan sifat gangguan tersebut. d. Menuntut agar pihak yang menyewakan ditarik sebagai dalam perkara apabila penyewa digugat oleh pihak ketiga di pengadilan. e. Berhak atas ganti kerugian apabila pihak yang menyewakan menyerahkan barang yang disewakannya dalam keadaan cacat, sehingga
mengakibatkan suatu kerugian bagi
penyewa
dalam
penggunaannya. 3.4. Kewajiban penyewa
Kewajiban-kewajiban penyewa yang harus dilaksanakan adalah : a. Berdasarkan ketentuan Pasal 1560 KUHPerdata, pihak penyewa harus melaksanakan dua kewajiban utama, yaitu : - Menggunakan barang yang disewanya sebagai seorang bapak rumah yang baik. - Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang ditentukan.
b. Melakukan pembetulan-pembetulan kecil dan sehari-hari atas barang yang disewanya.
62
c. Melengkapi sendiri perabotan rumah secukupnya dalam hal disewa tersebut sebuah rumah kediaman, kecuali apabila penyewa memberikan cukup jaminan untuk pembayaran uang sewa.
d. Bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewanya, kecuali apabila penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut dapat terjadi karena suatu hal di luar kesadaran penyewa. Adapun yang dimaksudkan dengan kewajiban untuk menggunakan barang yang disewanya sebagai seorang bapak rumah yang baik adalah kewajiban untuk menggunakan barang yang disewanya seolah-olah barang tersebut adalah kepunyaan sendiri. Apabila ternyata penyewa menggunakan barang yang disewanya dengan tujuan lain yang menyimpang dari apa yang dimaksudkan di dalam perjanjiannya, maka yang menyewakan berhak untuk meminta pembatalan.
4. Sewa Tertulis dan Sewa Lisan Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian konsensual, namun oleh undang-undang diadakan perbedaan (dalam akibat-akibatnya) antara sewa tertulis dan sewa lisan
60
. Sewa-menyewa yang diadakan tertulis, maka sewa
itu berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan sudah habis, tanpa diperlukannya sesuatu pemberitahuan pemberhentian untuk itu. Sebaliknya, kalau sewa-menyewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak
60
47
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Ctk. Kedelapan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm.
63
menghentikan sewanya, pemberitahuan mana harus dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat, jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggaplah bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama. 61 Perihal sewa tertulis itu diatur dalam Pasal 1570 KUHPerdata dan perihal sewa yang tidak tertulis (lisan) diatur dalam Pasal 1571 KUHPerdata, jika seorang penyewa sebuah rumah atau ruangan, setelah berakhirnya waktu sewa yang ditentukan dalam suatu perjanjian sewa tertulis, dibiarkan menempati rumah atau ruangan tersebut, maka dianggaplah si penyewa itu tetap menguasai barang yang disewakan atas dasar syarat-syarat yang sama, untuk waktu yang ditentukan oleh kebiasaan setempat dan tak dapatlah ia meninggalkan rumah atau ruangan itu atau dikeluarkan dari situ, melainkan sesudahnya
dilakukan
pemberitahuan
penghentian
sewanya
menurut
kebiasaan setempat (Pasal 1587 KUHPerdata).62 Uraian yang panjang lebar itu dimaksudkan bahwa sewa tertulis tersebut, setelah habis waktunya dan penyewa dibiarkan menempati rumah sewa, berubah menjadi sewa lisan tanpa waktu tertentu yang hanya dapat diakhiri menurut adat kebiasaan setempat.63 5. Berakhirnya Perjanjian Sewa-menyewa Undang-undang telah membedakan sewa-menyewa menjadi dua bentuk, yakni sewa-menyewa tertulis dan lisan, namun pembedaan itu dipandang penting untuk menentukan saat berakhirnya sewa-menyewa, 61
Ibid Ibid 63 Ibid 62
64
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1570 sampai dengan Pasal 1572 KUHPerdata dapat diketahui, bahwa dalam hal sewa-menyewa dibuat dengan tulisan, maka sewa berakhir demi hukum apabila waktu yang di tentukan telah lewat, tanpa perlu memberitahukan untuk pemberhentian sewa tersebut, sedangkan dalam hal sewa di buat dengan lisan, maka sewa-menyewa tersebut berakhir apabila pihak yang satu memberitahukan pada pihak yang lain, bahwa ia hendak memberhentikan atau mengikuti tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Apabila tidak ada pemberitahuan seperti itu, maka dianggap sewa tersebut diperpanjang untuk waktu yang sama. Undang-undang juga menentukan sebagaimana dikatakan oleh Pasal 1575 KUHPerdata, bahwa perjanjian sewa-menyewa tidak berakhir dengan meninggalkan pihak yang menyewa maupun pihak yang menyewa. 6. Risiko Dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Pengertian risiko sebagaimana dikemukakan di muka, adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh satu kejadian atau peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak. Dalam pada itu Bab VII Buku III KUHPerdata tidak menyebutkan secara jelas ketentuan mengenai risiko dalam perjanjian sewa-menyewa dan siapa yang harus memikulnya. Akan tetapi ketentuan tentang risiko merupakan kesimpulan dari Pasal 1533 KUHPerdata. Adapun Pasal 1153 KUHPerdata menentukan sebagai berikut : “Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja maka persetujuan sewa
65
gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah si penyewa minta pengurangan harga sewa, atau ia akan meminta bahkan pembatalan persetujuan sewanya ; tetapi tidak dalam satu dari kedua hal itupun ia berhak atas suatu ganti rugi”. Dengan demikian terhadap ketentuan Pasal 1553 KUHPerdata dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut : (1) Dalam hal barang yang menjadi obyek sewa-menyewa musnah sama sekali di luar kesalahan salah satu pihak, risiko sepenuhnya ditanggung oleh pemilik barang. (2) Dalam hal hanya sebagian barang yang disewakan musnah, maka penyewa dapat memilih membatalkan perjanjian atau pengurangan harga sewa. F. Tinjauan Tentang Perjanjian Baku 1. Pengertian Perjanjian Baku Perjanjian baku ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh masalah sosial dan ekonomi. Pihak pelaku usaha menerapkan perjanjian baku dengan menentukan syarat-syarat secara sepihak karena memerlukan transaksi yang cepat, berbiaya murah, efektif dan efisien. Konsumen mempunyai kedudukan yang lemah baik karena posisinya, maupun karena ketidaktahuannya, sehingga hanya menerima saja. Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai kedudukan lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, dan hanya menerima apa yang disodorkan. Pemakaian perjanjian baku tersebut sedikit banyaknya telah menunjukkan perkembangan yang sangat membahayakan kepentingan masyarakat, terlebih dengan mengingat bahwa awamnya
66
masyarakat terhadap aspek hukum secara umum, dan khususnya pada aspek hukum perjanjian.64 Menurut Sutan Remy Sjahdeni, yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.65 Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan dalam bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya.66
Abdulkadir Muhammad mendefinisikan perjanjian baku adalah perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang distandarisasikan atau dibakukan meliputi model, rumusan dan ukuran.67 Selain itu terdapat pula definisi resmi dari klausula baku yang diberikan dalam Pasal 1 ayat 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disebutkan 68: “Setiap peraturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
64
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka hukum Bisnis, Cetakan Pertama, Bandung : Alumni, 1994, hlm. 46 65 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993, hlm. 66 66 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hlm. 48 67 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 6 68 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
67
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. 2. Syarat-syarat Perjanjian Baku Adapun dalam perjanjian baku terdapat syarat-syarat baku, yang dimaksud disini adalah konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian
yang masih akan dibuat, jumlahnya tidak tentu tanpa
membicarakan terlebih dahulu isinya. Syarat-syarat ini biasanya terdapat dalam nota pembelian, tiket-tiket pengangkutan, angket pesanan dan sebagainya. Syarat-syarat dalam perjanjian baku yang selalu muncul dalam masyarakat antara lain meliputi tentang : 1. Cara mengakhiri perjanjian ; 2. Cara memperpanjang berlakunya perjanjian ; 3. Cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase ; 4. Penyelesaian sengketa melalui kepentingan pihak ketiga 69; Perihal syarat-syarat dalam perjanjian baku, Treitel menjelaskan bahwa syarat perjanjian baku dapat dimasukkan dalam perjanjian atau kontrak dengan penandatanganan atau dengan pemberitahuan. 1. Penandatanganan ( By Signature ) Seseorang yang menandatangani surat perjanjian adalah terikat oleh syarat-syarat yang ada meskipun ia tidak membacanya. Jadi tidak peduli apakah ia mengerti bahasa Inggris atau tidak ; 2. Pemberitahuan ( By Notice ) Apabila syarat telah tercetak diatas surat yang diserahkan dan suatu pihak kepada pihak yang lain diumumkan pada waktu 69
Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 67
68
perjanjian dibuat, syarat itu telah diberitahukan secara patut kepada pihak lawannya. 70 3. Jenis-jenis Perjanjian Baku Perjanjian baku dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu : 71 1. Perjanjian baku sepihak. Merupakan perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini adalah pihak kreditur
yang
lazimnya
mempunyai
kedudukan
ekonomi
kuat
dibandingkan pihak debitur. Kedua belah pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian kerja kolektif. 2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah. Merupakan perjanjian yang mempunyai objek berupa hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria, misalnya Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan. 3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau Advokat. Merupakan perjanjian yang sudah sejak semula disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan Notaris atau Advokat yang bersangkutan.
70
Purwahid Patrik, Hukum Kontrak Indonesia Seri Dasar Hukum Dagang 5, Elips, Bandung, 1997, hlm. 145 71 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hlm. 50
69
BAB III METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legisme positivism. Konsep ini mengemukakan bahwa hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga yang berwenang, selain itu konsep ini melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom terlepas dari kehidupan masyarakat. 2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Deskriptif maksudnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau gejala dari obyek yang diteliti secara menyeluruh dan sistematis tanpa mengambil kesimpulan secara umum. 3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto, Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman dan media Internet. 4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini ada dua jenis data yaitu :
70
1. Data Sekunder sebagai data utama, yang digolongkan dan diuraikan ke dalam : a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri dari peraturan dasar dan peraturan perundangundangan. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 3. Undang-undang No 10 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 4. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 5. Akta Perjanjian Safe Deposit Box (SDB) di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dalam penelitian ini menggunakan literatur buku-buku kepustakaan, hasil penelitian berupa data-data yang diperoleh dari di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto dan Internet. c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penelitian ini menggunakan kamus hukum. 2. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari informan sebagai pendukung data sekunder. Dalam hal ini, informan adalah PGS
71
(Pengganti Sementara) PNC (Pelayan Nasabah Cabang) PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto. 5. Metode Pengumpulan Data
a. Data Sekunder Pengumpulan data dilakukan melalui inventarisasi bahan hukum (studi kepustakaan) dan/atau sinkronisasi sumber bahan hukum yang sesuai dengan relevansi penelitian ini untuk mendapatkan hasil
penelitian
yang
lengkap,
objektif
dan
dapat
dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dalam penelitian ini, metode pengumpulan bahan hukum adalah dengan melakukan suatu inventarisasi data sekunder. b. Data Primer Dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara dengan PGS (Pengganti Sementara) PNC (Pelayan Nasabah Cabang) PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto. 6. Metode Penyajian Data
Data yang diperoleh selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian dan disusun secara sistematis yaitu bahwa keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan antara yang satu dengan yang lainnya, dan akan disesuaikan dengan pokok permasalahan, sehingga akan terbentuk satu kesatuan yang utuh mengenai masalah yang diteliti. 7. Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis
72
normatif kualitatif yaitu suatu analisis yang menjabarkan dan menafsirkan data dengan berdasarkan pada norma-norma hukum, doktrin-doktrin dan teori-teori ilmu hukum yang relevan dengan pokok permasalahan sehingga dapat menjawab permasalahan dan dapat diambil suatu simpulan.
73
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian yang dilakukan di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto, diperoleh data sekunder berupa akta Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box, Brosur Safe Deposit Box dan data primer berupa wawancara dengan pihak yang terkait dalam penelitian ini di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto. 1. Data Sekunder 1.1. Akta Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box 1.2. Para Pihak dalam Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box Contoh para pihak yang terlibat di dalam akta perjanjian sewamenyewa safe deposit box di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto adalah sebagai berikut : I. SUBAGIYO, SE,MM, Pemimpin Bidang Pelayanan Nasabah selaku kuasa dari Pemimpin PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto berdasarkan Surat Kuasa Pemimpin Cabang No.PWO/01/003 tanggal 21 Oktober 2009 dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut dan dengan demikian berdasarkan Anggaran Dasar Perseroan beserta perubahan-perubahannya yang terakhir sebagaimana termaktub dalam Akta No. 46 tanggal' 13 Juni 2008 yang dibuat di hadapan Fathiah Helmi, SH Notaris di
74
Jakarta dan telah mcndapatkan pcrsetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No. AHU-50609.AH.01.02.Tahun 2008 tanggal 12 Agustus 2008, berwenang bertindak untuk dan atas nama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta, Jl. Jend. Sudirman Kav 1, untuk selanjutnya disebut Bank. II. SET1A KRISBIANTORO, bertempat tinggal/berkedudukan di Jl. KS Tubun Gg. Belimbirg No. 10 RT 006 RW 007 Kel. Rejarari Kec. Purwokerto Barat, Kab. Banyumas sesuai SIM Nomor 761214140238, untuk selanjutnya disebut Penyewa. 1.3. Maksud dan Tujuan Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box Untuk mengadakan Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box. 1.4. Objek Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box 1 (satu) buah safe deposit box (untuk selanjutnya disebut "SDB") miilik bank dengan detail sebagai berikut : SDB Nomor
: 155
Ukuran
: 5 X 10 X 24 Inch
Nomor Kunci
: 155 ( asli dan duplikat)
Adapun keterangan yang termuat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto mengenai jangka waktunya 1 (satu) tahun dan harga sewa sebesar Rp.350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu rupiah).
75
1.5. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box a. Hak Penyewa 1. Penyewa hanya dapat menggunakan safe deposit box yang
disewanya untuk menyimpan perhiasan, surat-surat penting dan barang-barang berharga lainnya dan dilarang menggunakan safe deposit box untuk menyimpan senjata api, barang-barang yang dilarang oleh Undang-undang/Pemerintah dan zat-zat kimia yang diduga dapat membahayakan/merusak safe deposit box dan lingkungan sekitarnya. 2. Penyewa berhak memberi kuasa kepada pihak ketiga dengan
menggunakan formulir yang disediakan oleh bank, untuk membuka dan membuat apa yang dikehendaki terhadap isi safe deposit box tersebut dengan persetujuan bank. Pemegang kuasa harus orang yang telah dikenal baik oleh penyewa dan telah diperkenalkan kepada bank sesuai dengan kartu pengenal yang dimilikinya, yang aslinya diperlihatkan dan ditunjukkan kepada bank. 3. Hanya
penyewa
atau
pemegang
kuasa
yang
berhak
menandatangani dokumen yang berkaitan dengan penyewaan safe deposit box, dan untuk itu contoh tandatangani yang bersangkutan harus tercantum dalam formulir.
76
4. Penyewa atau pemegang kuasa diperbolehkan memasuki
ruangan khazanah tempat menyimpan safe deposit box dan berhak membuka safe deposit box yang disewanya guna mengeluarkan barang-barangnya pada setiap hari kerja dengan ketentuan setiap kunjungan ke dalam ruang khazanah maksimal 15 menit. 5. Penyewa atau pemegang kuasa hanya dapat membuka safe
deposit box dengan bantuan seorang petugas/pegawai bank yang ditunjuk. 6. Penyewa berhak untuk menghentikan sewa safe deposit box ini
secara sepihak setiap saat sebelum jangka waktu sewa berakhir, tetapi berhak menuntut bank untuk membayar ganti rugi mengembalikan bagian dari harga sewa untuk jangka waktu yang belum berjalan. b. Kewajiban Penyewa 1. Penyewa wajib membayar biaya sewa sesuai dengan jangka waktu yang telah dikehendaki. 2. Penyewa wajib menguasai dan menyimpan sendiri anak kunci safe deposit box dengan baik dan bertanggungjawab penuh atas kerugian yang timbul akibat hilang dan atau rusaknya anak kunci safe deposit box tersebut.
77
3. Apabila dipandang perlu dan atas permintaan bank, penyewa atau pemegang kuasa wajib memperlihatkan kepada bank isi safe deposit box yang disewanya. 4. Penyewa wajib segera memberitahukan kehilangan anak kunci dengan melampirkan asli surat tanda penerimaan laporan kehilangan dari kepolisian setempat terhitung sejak tanggal kehilangan tersebut. 5. Penyewa wajib memberitahukan secara tertulis kepada bank setiap kali terjadi perubahan alamat dan tempat tinggal penyewa. Segala akibat/kerugian yang timbul karena kelalaian pemberitahuan alamat/tempat tinggal tersebut menjadi tanggung jawab penyewa. 6. Penyewa wajib segera mengosongkan safe deposit box dan mengembalikan anak kunci yang dikuasainya dalam keadaan baik kepada bank paling lambat pada tanggal berakhirnya perjanjian safe deposit box ini. a. Hak Bank 1. Dalam hal perjanjian sewa ini tidak diperpanjang oleh
penyewa, sedangkan barang-barang yang disimpan dalam safe deposit box tidak diambil, bank berhak memperpanjang jangka waktu safe deposit box selama 15 (limabelas) hari terhitung mulai tanggal berakhirnya perjanjian ini tanpa persetujuan
78
terlebih dahulu dari penyewa, dan harga sewa perpanjangan menjadi beban penyewa. 2. Setelah lewat jangka waktu yang ditetapkan, bank tidak
bertanggungjawab dan tidak dapat dituntut ganti rugi atas kerugian dan kerusakan atas sebagian/seluruh berubahnya mutu, berkurangnya jumlah atau hilangnya barang yang disimpan dalam safe deposit box. 3. Bank berhak secara sepihak tanpa persetujuan dari penyewa
untuk melakukan pembongkaran terhadap safe deposit box yang disewa oleh penyewa apabila : a. Anak kunci hilang dan atau kunci safe deposit box rusak, sehingga safe deposit box tidak dapat dibuka tanpa membongkarnya terlebih dahulu.
b. Jangka waktu sewa telah berakhir tetapi tidak diperpanjang atau harga sewa tidak dibayar walaupun telah diperingatkan oleh bank. 4. Apabila terjadi pembongkaran sebagaimana yang dimaksud di
atas, maka bank berhak dan dengan ini diberi kuasa oleh penyewa untuk menjual barang-barang secara lelang yang disimpan dengan harga berapapun yang dianggap wajar oleh bank. Hasil penjualan barang tersebut selanjutnya akan digunakan untuk membayar uang sewa yang tertunggak, biaya notaris, serta biaya-biaya lain yang ditimbulkan olehnya dan
79
jika
ada
kelebihan,
bank
akan
menyimpannya
atau
dikembalikan kepada penyewa atau pemegang kuasa tanpa bunga apapun. b. Kewajiban Bank 1. Bank berkewajiban untuk menjaga safe deposit box agar senantiasa terkunci dengan baik. Bank bertanggungjawab atas kerugian
yang ditimbulkan secara langsung dari tidak
dipenuhinya kewajiban bank tersebut. 2. Bank wajib untuk membayar kembali harga sewa untuk jangka waktu yang belum berjalan, apabila karena ditetapkan bahwa safe deposit box yang bersangkutan tidak dapat diperpanjang lagi. 3. Sekurang-kurangnya 1 (satu) kali sebelum perjanjian ini berakhir, bank berkewajiban untuk memberitahukannya kepada penyewa mengenai akan berakhirnya perjanjian sewa safe deposit box ini. 1.6. Pembatasan Tanggung Jawab Bank Bank tidak bertanggung jawab atas : 1. Perubahan kualitas/kuantitas, kehilangan, atau kerusakan barang yang disimpan dalam SDB. 2. Resiko yang timbul karena force majeure yaitu bencana alam seperti banjir dan gempa bumi, perang, huru hara, pemogokan,
80
sabotase, atau kebakaran yang dapat mengakibatkan perubahan' fisik, kualitas dan/atau kuantitas dari barang simpanan. 3. Kerugian atau kehilangan yang diakibatkan oleh perampokan , penyerbuan atau perampasan dengan menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap Petugas atau Pejabat Bank ataupun terhadap penyewa atau kuasanya. 1.7. Penyelesaian Perselisihan dan Domisili Hukum 1. Apabila timbul perselisihan mengenai pelaksanaan Perjanjian ini para
pihak
sepakat
untuk
menyelesaikan
secara
musyawarah/mufakat, dengan menyampaikan kepada pihak lainnya mengenai perbedaan pendapat yang timbul. 2. Jika dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak dimulainya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini tidak tercapai mufakat, maka para pihak setuju untuk menyelesaikan melalui Pengadilan. Tentang Perjanjian ini dan segala akibatnya. para pihak sepakat memilih domisili hukum yang umum dan tetap di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Purwokerto. 1.8. Perubahan Perjanjian 1. Bank berhak-untuk melakukan perubahan dan /atau penambahan terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Perjanjian ini berdasarkan pertimbangan bank tanpa berkewajiban untuk meminta persetujuan kepada penyewa terlebih dahulu dan
81
perubahan tersebut merupakan bagian dan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini. 2. Perubahan-perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini akan diinformasikan oleh bank kepada penyewa dengan cara dan sarana yang dianggap baik oleh bank. 1.9. Lain-lain 1. Masing-masing pihak menjamin kepada pihak lainnya bahwa pihaknya akan melaksanakan perjanjian ini dengan itikad baik. Tidak satupun ketentuan dan atau penafsiran atas ketentuan dalam perjanjian ini akan digunakan oleh satu pihak untuk mengambil
keuntungan
secara
tidak
wajar
dan
atau
mengakibatkan kerugian bagi pihak lainnya. 2. Lampiran-lampiran yang ada pada perjanjian ini mengikat para pihak, serta merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini. 3. Perjanjian ini tunduk pada Hukum Negara RI, hal-hal yang tidak dan/atau belum diatur dalam perjanjian ini tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku bagi perjanjian, termasuk namun tidak terbatas pada Hukum Perjanjian yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 4. Dalam hal terdapat ketentuan dalam perjanjian ini yang dinyatakan batal atau tidak berlaku oleh peraturan perundang-
82
undangan yang berlaku, maka ketentuan lain dalam perjanjian ini dinyatakan tetap berlaku dan mengikat para pihak. 1.10.
Brosur Perjanjian sewa-menyewa Safe Deposit Box Sesuai brosur perjanjian sewa-menyewa safe deposit box PT Bank
Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto, pihak bank memberikan jaminan rasa aman tanpa kecemasan kepada pihak penyewa. Safe deposit box dianggap sebagai tempat yang terjamin keamanan dan kerahasiannya untuk menyimpan barang dan dokumen berharga, seperti polis asuransi, BPKB kendaran, sertifikat tanah, ijazah, saham, perhiasan, medali, barangbarang koleksi dan sebagainya, sehingga penyewa tidak perlu repot menyiapkan tempat khusus untuk menyimpan barang atau dokumen berharga. Keuntungan dari perjanjian sewa-menyewa safe deposit box adalah sebagai berikut : 1. Penyewa (nasabah) memperoleh Kartu Tanda Penyewa BNI Safe Deposit Box. 2. Ruang penyimpanan didukung oleh sistem keamanan canggih, tahan api dan tahan bongkar, serta dilindungi pengamanan 24 jam dan ditunjang sistem alarm paling canggih. 3. Terjamin keamanan dan kerahasiannya. 4. Tersedia berbagai jenis ukuran safe deposit box sesuai kebutuhan.
83
Adapun ketentuan harga sewa safe deposit box tergantung pada jangka waktu penyewaannya dengan berbagai ukuran box yang telah disediakan oleh bank. Adapun ketentuannya sebagai berikut : 1. Ukuran 3 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 150.000,00/ 6 bulan dan Rp. 250.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp. 500.000,00. 2. Ukuran 5 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 250.000,00/ 6 bulan dan Rp. 350.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp. 500.000,00. 3. Ukuran 10 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 450.000,00/ 6 bulan dan Rp. 550.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp. 500.000,00. Kemudahan yang diberikan kepada penyewa untuk menyewa safe deposit box, diantaranya : 1. Cukup dengan memiliki rekening BNI (BNI Taplus, BNI Dollar atau BNI Giro). 2. Penyewa dapat dengan leluasa dan aman mengurus barang atau dokumen di ruangan khusus yang nyaman dan aman. 3. Persyaratan sewa mudah. Persyaratan sewa safe deposit box ini cukup dengan mengisi formulir aplikasi, melampirkan fotocopy KTP atau bukti identitas lain dan mengisi, serta menandatangani perjanjian safe deposit box yang telah ditentukan bank.
84
2. Data Primer Data yang bersumber dari hasil wawancara dengan PGS (Pengganti Sementara) PNC (Pelayan Nasabah Cabang) di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto. Adapun data-data yang diperoleh, sebagai berikut :
2.1. Data kaitannya dengan tidak disebutkannya hak dan kewajiban para pihak dalam akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box. Pada umumnya, nasabah tidak membaca secara detail tentang pasalpasal yang tertulis dalam akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box, khususnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak. 2.2. Data kaitannya dengan pihak nasabah yang tidak melaksanakan kewajibannya. Ada peringatan dari pihak bank bagi nasabah terkait tanggungjawab sebagaimana
mestinya
sebagai
nasabah
untuk
melaksanakan
kewajibannya, hal ini dapat berupa surat peringatan atau panggilan melalui via telepon kepada nasabah, namun jika masih tetap tidak ada tanggapan, maka pihak bank mendatangi alamat rumah penyewa. 2.3. Data kaitannya dengan perjanjian safe deposit box yang dikaitkan dengan perjanjian sewa-menyewa di dalam KUHPerdata. Box tidak diberikan kepada penyewa untuk dinikmati, namun pada prinsipnya, bank lebih ke alasan keamanan saja untuk menjaminkan isi safe deposit box yang aman, oleh karena itulah box dibuat dengan teknologi canggih, sehingga box tetap dalam penguasaan bank, yang
85
dinikmati penyewa adalah berbentuk penguasaan fisik berupa box di bank, bukti kepemilikan dan pemanfaatan sarana. 2.4. Data kaitannya dengan masalah-masalah yang sering timbul dalam perjanjian sewa-menyewa safe deposit box. Masalah yang sering timbul adalah : 1. Pada saat waktu sewa berakhir dan isi safe deposit box masih dalam penguasaan bank, namun penyewa ada di luar kota dan debet rekening penyewa pun kosong, sehingga bank terpaksa mencari salah satu keluarga, saudara atau ahli waris penyewa. Adapun penyewa diberi sanksi berupa denda 10% per bulan jika terlambat dalam pembayaran harga sewa safe deposit box. 2. Penyewa meninggal. Hal ini dapat dipindahtangankan dengan catatan harus ada keputusan dari pengadilan mengenai siapa ahli waris dari penyewa, harus satu orang ahli waris. Disamping itu, ada pula syarat berupa surat kematian penyewa yang harus diberikan ke pihak bank. 3. Anak kunci yang dipegang nasabah untuk membuka safe deposit box hilang, sehingga mereka melapor kepada bank untuk segera diatasi. Untuk memastikan bahwa anak kunci tersebut hilang, maka dimintakan surat laporan kehilangan dari pihak kepolisian. Berdasarkan hasil laporan tersebut, maka bank mencairkan uang jaminan anak kunci nasabah dan memanggil vendor ahli untuk membuka dan membuat anak kunci baru, proses pekerjaan tersebut disaksikan oleh petugas yang
86
berwenang dan dibuatkan Berita Acara pekerjaan pada ruangan safe deposit box. 2.5. Data kaitannya dengan perjanjian sewa-menyewa safe deposit box apabila terjadi kebakaran di bank. Apapun risikonya yang dalam hal ini jika terjadi kebakaran, bank tidak bertanggung jawab atas isi safe deposit box para penyewa, karena bank sudah memberikan pelayanan yang sangat canggih berupa box yang dibuat kuat, tebal dan tahan api, sehingga box tidak akan mungkin terbakar. 2.6. Data kaitannya dengan tanggung jawab keamanan (security) apabila terjadi perampokkan. Tidak bertanggungjawabnya security dapat diwajarkan apabila terjadi perampokkan, karena pihak bank tidak munafik akan merasa takut jika perampok mengancam atau dengan kekerasan melakukan tindakan yang semena-mena, apalagi jika menyangkut nyawa seseorang, namun hal ini dapat di asuransikan, khususnya penyewa safe deposit box, meskipun dalam akta tidak di tuliskan. Keterangan mengenai asuransi tidak dijelaskan lebih lanjut, karena dalam hal ini PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto sama sekali belum pernah mengalami adanya perampokkan.
2.7. Data kaitannya dengan hal-hal yang harus diperhatikan para pihak perjanjian sewa-menyewa safe deposit box.
87
Pihak bank maupun nasabah dalam perjanjian penyimpanan dengan safe deposit box harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Adanya biaya yang dibebankan kepada penyewa, antara lain uang sewa, uang agunan kunci dan denda keterlambatan pembayaran sewa. 2. Tidak menyimpan barang barang yang dilarang dalam safe deposit box. 3. Menjaga agar kunci yang disimpan nasabah tidak hilang atau disalahgunakan pihak lain. 4. Memperlihatkan barang yang disimpan bila sewaktu-waktu diperlukan oleh bank. 5. Jika kunci yang dipegang penyewa hilang, maka uang agunan kunci akan digunakan sebagai biaya penggantian kunci dan pembongkaran safe deposit box yang wajib disaksikan sendiri oleh penyewa. 6. Memiliki daftar isi dari safe deposit box dan menyimpan fotocopy (salinan) dokumen tersebut di rumah untuk referensi. 7. Penyewa bertanggung jawab apabila barang yang disimpan menyebabkan kerugian secara langsung maupun tidak terhadap bank dan penyewa lainnya. 2.8. Data kaitannya dengan subyek perjanjian sewa-menyewa safe deposit box.
88
Subyek yang menjadi nasabah safe deposit box dalam hal ini adalah sebagai berikut : 1. Orang Pribadi (Perorangan). 2. Badan Hukum (Non Perorangan). 2.9. Data kaitannya dengan kenaikkan harga sewa safe deposit box. Kenaikkan harga sewa safe deposit box berlaku sejak Juni 2012, kenaikkan harga sewa senilai Rp. 50.000,- dan uang jaminan kunci tidak berubah, adapun keterangannya sebagai berikut : 1. Ukuran 3 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 200.000,00/ 6 bulan dan Rp. 300.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp. 500.000,00. 2. Ukuran 5 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 300.000,00/ 6 bulan dan Rp. 400.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp. 500.000,00. 3. Ukuran 10 x 10 x 24 inci, harga sewa Rp. 500.000,00/ 6 bulan dan Rp. 600.000,00/ 12 bulan, serta jaminan kunci Rp. 500.000,00.
B. Pembahasan Menurut Kasmir, safe deposit box adalah jasa bank diberikan khusus kepada para nasabah utamanya. Jasa ini dikenal juga dengan nama safe loket. Safe deposit box berbentuk kotak dengan ukuran tertentu dan disewakan kepada nasabah yang berkepentingan untuk menyimpan dokumen-dokumen atau benda-benda berharga miliknya.72
72
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Ctk. Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 160
89
Perjanjian sewa-menyewa safe deposit box merupakan salah satu layanan perbankan dalam bentuk menyewakan kotak khusus yang digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga dalam jangka waktu tertentu kepada nasabah. Kotak yang di sewa ini tahan api dan dilengkapi dua buah kunci yang harus dibuka secara bersamaan. Pada dasarnya, perjanjian safe deposit box itu tunduk pada KUHPerdata yaitu perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1548 KUHPerdata) dan pada ketentuan umum perjanjian yang terdapat dalam buku III KUHPerdata. Selain tunduk pada ketentuan KUHPerdata juga tunduk pada ketentuan perbankan. Permasalahan yang muncul dalam skripsi ini yaitu tentang bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai penyewa dalam perjanjian safe deposit box di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto.
Gambaran diatas memberikan ilustrasi, bahwa fokus perlindungan hukum terhadap nasabah dalam bidang pelayanan jasa safe deposit box dapat berakibat pada kerugian yang dialami oleh nasabah, sehingga diperlukan suatu perlindungan hukum terhadap nasabah bank, khususnya pada nasabah safe deposit box. Perlindungan hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Perbuatan (hal tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”73
73
hlm. 874
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Buku Satu. Balai Pustaka, Jakarta, 1989,
90
Definisi
perlindungan
hukum
menurut
Syachrul
Machmud
menjelaskan bahwa : “Perlindungan hukum itu sendiri yaitu segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip “Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar)”.74 Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang melakukan wanprestasi.75 Konsep perlindungan hukum terhadap nasabah dalam penelitian ini menunjuk pada pendapat Sulistyandari, yaitu bahwa perlindungan hukum itu berkaitan tentang bagaimana hukum itu memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak dan kewajiban terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya untuk mempertahankan haknya tersebut.76
Mengenai hak dan kewajiban menurut Nicolai, hak mengandung kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau
74
Syachrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Dokter yang Diduga melakukan Medikal Malapraktik, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 81 75 Soedikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1991, hlm. 9 76 Sulistyandari, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Pengawasan Perbankan di Indonesia, Op.Cit, hlm. 282
91
menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.77 Data 1.5 mengenai hak dan kewajiban para pihak jika dikaitkan dengan pendapat Syachrul Machmud, Sudikno Mertokusumo, Nicolai dan Sulistyandari, maka dapat dideskripsikan bahwa perlindungan hukum meliputi daya upaya yang secara sadar dilakukan para pihak dalam perjanjian safe deposit box untuk memenuhi kesejahteraan hidup, melindungi subyek hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang disertai sanksi apabila ada yang melakukan wanprestasi, serta memberikan keadilan yaitu mengatur hak dan kewajiban. Sehubungan dengan konsep perlindungan tersebut, data 1.5 tentang hak dan kewajiban para pihak, apabila di interpretasikan berdasarkan pendapat Sulistyandari (sebagaimana disebut dalam Bab II), maka hubungan hukum antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual dan non kontraktual, maka pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap nasabah safe deposit box akan di pilah berdasarkan hubungan kontraktual dan non kontraktual. Hubungan kontraktual pada dasarnya berbicara mengenai hak-hak nasabah penyimpan yang lahir dari kontrak atau perjanjian penyimpanan dana yang dibuat oleh bank dengan nasabah penyimpan sendiri
78
, sedangkan
hubungan non kontraktual adalah bahwa hubungan nasabah penyimpan dengan bank itu muncul bukan karena adanya kontrak atau perjanjian, 77 78
Ibid, hlm. 283 Ibid, hlm. 300
92
melainkan hubungan itu bisa muncul karena adanya hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan/atau hukum tidak tertulis seperti hukum kebiasaan dalam perbankan yang mengaturnya.79 Hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah safe deposit box dapat di lihat dalam Pasal 6 huruf h Undang-undang Perbankan, bahwa kegiatan usaha bank antara lain adalah "menyediakan tempat” untuk menyimpan barang dan surat berharga", berdasarkan penjelasannya di dalam Undang-undang Perbankan, yang dimaksud dengan "menyediakan tempat" dalam ketentuan ini adalah kegiatan bank yang semata-mata melakukan penyewaan tempat penyimpanan barang dan surat berharga (safety box) tanpa perlu diketahui mutasi dan isinya oleh bank adalah jasa penyimpanan barang, yang disebut dengan safe deposit box (SDB). Perjanjian safe deposit box tunduk pada ketentuan perjanjian sewamenyewa (Pasal 1548 KUHPerdata), serta ketentuan umum tentang perjanjian yang di atur dalam Buku ke tiga (Bab I, II dan IV KUHPerdata) yaitu dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian. Adapun suatu perjanjian itu sah harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu adanya : 1. Kesepakatan. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain
79
Ibid, hlm. 303
93
dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.80 2. Kecakapan. Orang yang cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan kedewasaan sesuai dalam Undang-undang yang berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjiannya akan sah apabila dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa dan tidak dibawah pengampuan. Undang-undang mengatakan bahwa kedewasaan seseorang apabila telah berumur 18 tahun atau sudah menikah ( Pasal 47 jo Pasal 50 Undang-undang Perkawinan). 3. Objek tertentu. Objek tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. 4. Kausa yang halal. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak yang tidak dilarang oleh undangundang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
80
R. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Op.Cit, hlm. 4
94
Data 1.1, 1.2, dan 1.3 tentang akta perjanjian, para pihak, serta maksud dan tujuan perjanjian apabila dikaitkan dengan Pasal 6 huruf h Undang-undang Perbankan, Pasal 1548 KUHPerdata tentang perjanjian sewamenyewa dan Pasal 1320 KUHPerdata, maka dapat dideskripsikan bahwa perjanjian safe deposit box sah dan telah memenuhi syarat sahnya perjanjian. Hubungan hukum antara bank dengan nasabah dalam perjanjian safe deposit box ini juga berdasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang disebutkan, bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut M. Yahya Harahap, fokus perlindungan nasabah tertuju pada ketentuan peraturan perundang-undangan, serta ketentuan perjanjian yang mengatur hubungan antara bank dengan nasabahnya. Hubungan hukum yang terjadi antara bank dengan nasabah dapat terwujud dari suatu perjanjian. Pada umumnya, perjanjian yang sering dilakukan antara bank dengan nasabah telah dibakukan dengan sebuah perjanjian baku.81 Sutan Remy Sjahdeni menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis,
81
hlm. 283
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Ctk. Kedua, Alumni, Bandung, 1986,
95
harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lain yang spesifik dari objek yang diperjanjikan.82 Menurut Pitlo, latar belakang timbulnya perjanjian baku adalah disebabkan kerena keadaan sosial dan ekonomi, dimana perusahaan yang besar,
perusahaan
semi,
pemerintah
ataupun
perusahaan-perusahaan
pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka menentukan syarat-syarat tertentu secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) yang pada umumnya memiliki kedudukan (ekonomi) lemah, baik karena posisinya, maupun karena ketidaktahuannya hanya menerima apa yang disodorkan itu.83 Adapun ciri-ciri dari perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman, yaitu : a. Berbentuk tertulis, biasanya dalam bentuk formulir. b. Bersifat massal dan konfektif (tanpa memperhatikan perbedaan kondisi tiap-tiap individu). c. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat. d. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian itu.
82
Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 66 83 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 117
96
e. Terdorong oleh kebutuhannya, masyarakat (debitur) terpaksa menerima perjanjian itu. 84 Data 1.1 tentang akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box, apabila dikaitkan dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, M. Yahya Harahap, Sutan Remy Sjahdeni, Pitlo dan Mariam Darus Badrulzaman dapat di deskripsikan, bahwa perjanjian sewa-menyewa safe deposit box berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak dan merupakan perjanjian baku. Berdasarkan data 1.1 mengenai akta perjanjian, ketentuan ini dapat diketahui bahwa perjanjian safe deposit box menganut asas kebebasan berkontrak, artinya bahwa para pihak diberikan kebebasan untuk membuat suatu perjanjian dalam bentuk apa saja dan menentukan isi perjanjiannya sendiri asal tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, sehingga asas pacta sunt servanda yang dikenal sebagai asas kekuatan mengikatnya perjanjian berlaku adanya. Asas ini berhubungan akibat suatu perjanjian. Hal ini berarti para pihak yang mengadakan perjanjian safe deposit box tidak dapat melepaskan diri secara sepihak terhadap perjanjian safe deposit box tanpa kesepakatan yang secara sengaja memutuskan perjanjian secara sepihak tanpa kesepakatan pihak lainnya, sehingga jika ada yang menyimpang, maka dapat dinyatakan wanprestasi.
84
Ibid, hlm. 115
97
Berdasarkan uraian di atas, perjanjian safe deposit box menganut asas kebebasan berkontrak, karena walaupun ketentuan isi perjanjian telah ditentukan sepihak oleh bank, namun nasabah dalam hal ini telah menandatangani perjanjian safe deposit box, maka dengan demikian ada kebebasan berkontrak, karena pada dasarnya kebebasan berkontrak itu dapat berlaku jika sudah ada tanda tangan oleh para pihak, sehingga dalam hal ini, penyewa (nasabah) turut menentukan isi perjanjian yang ditentukan oleh bank. Sebagaimana telah disebutkan bahwa perjanjian safe deposit box adalah perjanjian sewa-menyewa, dalam hal ini perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang dilakukan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto tunduk pada ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata tentang perjanjian sewamenyewa, yang disebutkan bahwa “Sewa-menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya”. Adapun kewajiban dari pihak yang menyewakan menurut Pasal 1550 KUHPerdata : a. Menyerahkan (leveren) barangnya kepada si penyewa ; b. Memelihara barangnya sedemikian rupa, sehingga barangnya dapat dipakai secara yang dimaksudkan ;
98
c. Berusaha supaya si penyewa selama persetujuan sewa-menyewa berjalan, selalu secara tenteram dapat memakai dan menikmati barangnya yang disewa itu (rusting genot). Sedangkan kewajiban dari penyewa menurut Pasal 1560 KUHPerdata, yaitu : a. Memakai barang yang disewa secara sangat berhati-hati (als een goed huisvader) ; b. Membayar uang sewa pada waktu-waktu yang ditentukan dalam persetujuan sewa-menyewa. Data 1.4 mengenai objek perjanjian sewa-menyewa safe deposit box dan data 1.5 mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian safe deposit box apabila dikaitkan dengan Pasal 1548 KUHPerdata dan Pasal 1550 KUHPerdata, maka dapat dideskripsikan bahwa perjanjian safe deposit box telah memenuhi ketentuan dimana pihak yang menyewakan memberikan kenikmatan suatu barang yaitu berupa box dan penyewa membayar harga sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian, hal ini didukung data primer No. 2.3. Untuk membahas perlindungan hukum nasabah bank sebagai penyewa dalam perjanjian safe deposit box selain harus tunduk pada perjanjian sewamenyewa dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Perbankan, harus pula tunduk pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dikarenakan dalam penelitian ini konstruksi hukumnya terletak pada hubungan sewa-menyewa dimana kedudukan nasabah bank tersebut
99
sebagai penyewa atau konsumen dari yang menyewakan yaitu pihak bank yang hak-haknya diatur dalam undang-undang tersebut. Shidarta menyatakan bahwa “Perlindungan konsumen pada dasarnya merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mempunyai sifat melindungi konsumen beserta hak-haknya”.85 Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur hak konsumen, diantaranya sebagai berikut : Pasal 4 menyebutkan bahwa hak konsumen adalah : a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa ; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan ; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa ; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan ; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut ; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen ; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya ; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.86
Jika
isi
perjanjian
sewa-menyewa
safe
deposit
box
No:
PWO/04/109/2011 diintepretasikan berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka dapat diperoleh 85 86
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 14 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
100
inventarisasi perlindungan hukum bagi nasabah bank sebagai konsumen yang pada hakikatnya bertujuan melindungi hak-hak nasabah sebagai penyewa secara keseluruhan. Perlindungan hukum nasabah sebagai penyewa yang dimaksud adalah meliputi : 1. Perlindungan hukum terhadap hak atas kenyamanan yang diperoleh konsumen atas penyewaan terkandung dalam Pasal 2 ayat (2) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box, dimana penyewa mendapat hak untuk memperpanjang jangka waktu yang sama secara otomatis. Disamping itu, nasabah sebagai penyewa memperoleh kenyamanan terkait transaksi pembayaran uang sewa yang terkandung dalam Pasal 3 ayat (2) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box dengan cara mendebet melalui rekening penyewa nasabah sebagai penyewa pada pihak bank. Kenyamanan ini juga diperoleh nasabah sebagai penyewa untuk memeriksa barang yang disimpan dalam safe deposit box pada setiap hari kerja bank, hal ini tercermin dalam Pasal 6 ayat (1) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang menentukan bahwa penyewa dapat mengunjungi safe deposit box setiap hari kerja bank (senin s/d jumat) pada pukul 08.00 s/d 16.00. 2. Perlindungan hukum terhadap hak atas keamanan, perlindungan hukum ini secara yuridis tercermin dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang dapat disimpulkan bahwa penyewa wajib menyerahkan uang jaminan kepada pihak bank sebagai jaminan pembayaran penggantian anak kunci yang rusak/hilang dan uang
101
jaminan itu akan dikembalikan kepada penyewa manakala jangka waktu sewa berakhir. Disamping itu, perlindungan hukum atas hak keamanan ini tercermin pula dalam Pasal 5 ayat (1) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box, dimana safe deposit box hanya dapat dibuka dengan 2 (dua) anak kunci ; satu kenci master dipegang oleh bank dan satu kunci lainnya dipegang oleh penyewa. Dengan demikian, keamanan isi safe deposit box menjadi terjamin oleh karena untuk membuka safe deposit box harus dilakukan dengan 2 (dua) kunci secara bersama-sama. Selain itu perlindungan hukum terhadap hak atas keamanan ini juga diatur dalam Pasal 5 ayat (7) dan ayat (9) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang pada garis besarnya bank bertanggungjawab untuk melakukan perbaikan sarana safe deposit box yang diakibatkan adanya kerusakan atau sebabsebab lain, serta apabila safe deposit box yang disewakan tidak bisa dibuka/ditutup sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (3) akta perjanjian sewamenyewa safe deposit box. Dengan mendasarkan pada fakta normatif diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hak-hak atas keamanan nasabah sebagai penyewa safe deposit box secara nyata diatur dalam perjanjian yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada penyewa. 3. Perlindungan hukum terhadap hak atas informasi. Informasi bagi nasabah sebagai penyewa safe deposit box merupakan hal yang penting untuk diperoleh, guna mendukung terlaksananya perjanjian safe deposit box. Hal ini secara yuridis diatur dalam Pasal 3 ayat (3) dan
102
ayat (4) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box, dimana penyewa berhak untuk memperoleh informasi pendebetan rekening dan penyesuaian besarnya harga sewa dan biaya lainnya yang berkaitan dengan perjanjian. Disamping itu, penyewa juga berhak atas informasi bilamana pihak bank akan melakukan perbaikan sarana safe deposit box yang karena rusak atau sebab lain sebagaimana ditentukan Pasal 5 ayat (7) akta perjanjian sewamenyewa safe deposit box. Selanjutnya, penyewa juga berhak atas informasi mengenai perubahan dan/atau penambahan ketentuan yang ada pada perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) akta perjanjian sewamenyewa safe deposit box. 4. Perlindungan hukum terhadap kerahasiaan isi safe deposit box, masalah kerahasiaan isi safe deposit box menjadi hal yang penting bagi keamanan dan keselamatan barang yang disimpan di dalam safe deposit box. Menjaga kerahasiaan isi safe deposit box merupakan kewajiban hukum bagi bank dengan tujuan untuk memberi kebebasan kepada nasabah sebagai penyewa untuk menyimpan barang apa saja sepanjang barang-barang tersebut tidak dilarang dalam perjanjian safe deposit box. Jaminan kerahasiaan isi safe deposit box ini terkandung di dalam Pasal 5 ayat (2) akta perjanjian sewamenyewa safe deposit box yang menentukan petugas bank tidak diperbolehkan memeriksa wujud dari barang yang disimpan dalam safe deposit box. Dengan demikian, secara yuridis kerahasiaan isi safe deposit box benar-benar dijamin oleh bank, baik kerahasiaan mengenai jenis, barang, kualitas maupun kuantitas barang yang disimpan dalam safe deposit
103
box, hal ini tercermin dari keanekaragaman yang boleh dismpan dalam safe deposit box sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (3) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box. 5. Perlindungan hukum terhadap hak atas kebebasan pelimpahan kuasa, perlindungan hukum ini tercermin dalam ketentuan Pasal 5 ayat (5) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang menentukan jika penyewa perorangan meninggal dunia, maka yang berhak mengambil barang yang disimpan dalam safe deposit box adalah ahli waris dari pejabat/instansi yang berwenang dan identitas diri yang masih berlaku. Perlindungan hukum ini hanya dapat diperoleh nasabah atau penyewa manakala nasabah atau penyewa meninggal dunia, dengan menyerahkan syarat-syarat tertentu kepada bank sesuai syarat-syarat yang ada dalam akta perjanjian sewamenyewa safe deposit box. Disamping itu, perlindungan hukum terhadap hak atas kebebasan pelimpahan kuasa ini tercermin pula dalam Pasal 7 akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang antara lain menentukan : 1. PENYEWA dapat memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mengambil/menyimpan barang simpanan pada SDB yang disewanya dan segala akibat yang timbul dari pemberian kuasa tersebut menjadi tanggung jawab PENYEWA. 2. Apabila PENYEWA berrnaksud untuk memberikan kuasa kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, maka Penerima Kuasa harus datang bersama-sama dengan PENYEWA pada saat pembukaan sewa SDB untuk menandatangani Kartu Contoh Tanda Tangan dan Kartu Tanda Penyewa. 3. BANK tidak bertanggung jawab atas tindakan Penerima Kuasa yang dilakukan setelah kuasa berakhir, selama BANK belum memperoleh pemberitahuan mengenai berakhirnya kuasa tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dapat diintepretasikan bahwa hak untuk memberikan kuasa kepada pihak lain oleh penyewa baik untuk
104
mengambil atau menyimpan barang simpanan dalam safe deposit box secara yuridis dijamin dalam akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box, dengan syarat penyewa dan penerima kuasa harus datang bersama-sama pada saat pembukaan sewa safe deposit box untuk menandatangani kartu contoh tanda tangan dan kartu tanda penyewa. 6. Perlindungan hukum terhadap hak atas penyelesaian perselisihan dengan cara perdamaian. Perlindungan hukum ini tercermin dalam Pasal 12 ayat (1) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang menentukan bahwa “Apabila timbul perselisihan mengenai pelaksanaan perjanjian ini para pihak sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah/mufakat, dengan menyampaikan kepada pihak lainnya mengenai perbedaan pendapat yang timbul”. Berdasarkan pada fakta-fakta normatif tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa nasabah sebagai penyewa di dalam akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box secara umum mendapatkan perlindungan hukum atas hak-hak yang diatur dalam akta tersebut yang berupa : 1. Perlindungan hukum terhadap hak atas kenyamanan. 2. Perlindungan hukum terhadap hak atas keamanan. 3. Perlindungan hukum terhadap hak atas informasi. 4. Perlindungan hukum terhadap kerahasiaan isi safe deposit box. 5. Perlindungan hukum terhadap hak atas kebebasan pelimpahan kuasa. 6. Perlindungan hukum terhadap hak atas penyelesaian perselisihan dengan cara perdamaian.
105
Berkaitan dengan pernyataan tersebut diatas, Pasal 1338 KUHPerdata mengatur asas-asas pelaksanaan perjanjian meliputi : 1. Asas perjanjian sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. 2. Asas perjanjian tidak boleh ditarik secara sepihak. 3. Asas perjanjian dilakukan dengan itikad baik. Ketentuan tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pihak dalam suatu perjanjian yang mengandung arti bahwa pelaksanaan perjanjian safe deposit box harus dilaksanakan sesuai kesepakatan para pihak yang diatur dalam perjanjian itu sendiri. Apabila
perjanjian
sewa-menyewa
safe
deposit
box
No
:
PWO/04/109/2011 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, maka dapat diintepretasikan bahwa perjanjian safe deposit box yang dilaksanakan antara nasabah atau penyewa dengan bank yang berobjek safe deposit box No. 155 sebagaimana diatur dalam Pasal 1 akta perjanjian sewamenyewa safe deposit box dengan nilai perjanjian sebesar Rp. 350.000,sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box adalah merupakan perjanjian yang dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi penyewa maupun bank. Hal ini mengandung arti bahwa pelanggaran terhadap isi perjanjian merupakan pelanggaran terhadap undang-undang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hak-hak nasabah sebagai penyewa yang diatur dalam akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box No : PWO/04/109/2011 dijamin perlindungan hukumnya oleh asas bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang
106
sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata, hal ini tersirat dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box. Selanjutnya jika perjanjian sewa-menyewa safe deposit box dilihat dari berlakunya asas bahwa perjanjian tidak boleh ditarik sepihak dan asas itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewa-menyewa safe deposit box pada dasarnya telah mengatur asas tersebut yang secara tersurat maupun tersirat tercermin dalam Pasal 15 ayat (1) akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang menyatakan bahwa : ”Masing-masing pihak menjamin kepada pihak lainnya bahwa pihaknya akan melaksanakan perjanjian ini dengan itikad baik. Tidak satupun ketentuan dan/atau penafsiran atas ketentuan dalam perjanjian ini akan digunakan oleh satu pihak untuk mengambil keuntungan secara tidak wajar dan/atau mengakibatkan kerugian bagi pihak lainnya”. Dari fakta tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hakhak nasabah sebagai penyewa sebagaimana ditentukan dalam perjanjian sewamenyewa safe deposit box pada hakikatnya telah mendapatkan pelindunganan hukum di dalam pelaksanaannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Mengingat keterangan mengenai hak-hak yang dilindungi nasabah safe deposit box telah disebutkan, adapun keterangan lebih lanjut mengenai hak-hak yang tidak dilindungi terhadap nasabah safe deposit box yang diantaranya adalah terkait jika terjadinya wanprestasi yang dilakukan pihak bank dan jika terjadi overmacht yang dalam hal ini pihak bank memberi suatu pembatasan tanggung jawab.
107
Dalam perjanjian sewa-menyewa safe deposit box, apa yang menjadi kewajiban pihak penyewa adalah menjadi hak bagi pihak bank dan apa yang menjadi kewajiban bank adalah hak bagi penyewa, oleh karena itu perjanjian sewa-menyewa safe deposit box merupakan perjanjian timbal balik. Berdasarkan data 1.5 mengenai hak dan kewajiban, baik bank maupun nasabah terdapat persamaan dan perbedaan dengan ketentuan Pasal 1550 dan Pasal 1560 KUHPerdata. Persamaanya, yakni bank wajib memelihara dengan aman mengenai barang yang di sewakan yang dalam hal ini yaitu kotak safe deposit box, sehingga dapat digunakan sesuai dengan yang dimaksudkan oleh nasabah yaitu nasabah aman menyimpan barang-barangnya di dalam safe deposit box, serta bank juga berhak memperoleh uang sewa yang dibayarkan oleh nasabah. Adapun perbedaannya, perlu diuraikan disini bahwa perjanjian sewamenyewa safe deposit box memiliki kekhasan tersendiri. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa obyek perjanjian sewa-menyewa safe deposit box adalah kotak safe deposit box yang di sewa, sedangkan kotak safe deposit box yang disewakan oleh bank tidak diserahkan oleh bank kepada nasabah, yang diserahkan oleh bank adalah hak untuk menggunakannya, kotak safe deposit box tetap pada penguasaan bank. Dengan demikian, data 1.5 tersebut apabila dihubungkan dengan Pasal 1550 dan Pasal 1560 KUHPerdata yang dalam hal ini jika bank tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya sesuai perjanjian sewamenyewa safe deposit box tersebut, maka nasabah berhak menuntut bank atas dasar wanprestasi.
108
Selanjutnya inti dari suatu perjanjian adalah adanya prestasi yang harus dipenuhi. Pada umumnya, literatur yang ada membagi prestasi ke dalam tiga macam, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, namun, Ahmadi Miru tidak sependapat dengan pembagian tersebut karena, apa yang disebut sebagai macam-macam prestasi tersebut bukan wujud prestasi tetapi hanya cara-cara melakukan prestasi, yakni :87 a. Prestasi yang berupa barang, cara melaksanakannya adalah menyerahkan sesuatu (barang) ; b. Prestasi yang berupa jasa, cara melaksanakannya adalah dengan berbuat sesuatu ; c. Prestasi yang berupa tidak berbuat sesuatu, cara pelaksanaannya adalah dengan bersikap pasif yaitu tidak berbuat sesuatu yang dilarang dalam perjanjian. Walaupun pada umumnya prestasi para pihak secara tegas ditentukan dalam kontrak, prestasi tersebut juga dapat lahir karena diharuskan oleh kebiasaan, kepatutan, atau undang-undang. Oleh karena itu, prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak telah ditentukan dalam perjanjian atau diharuskan oleh kebiasaan, kepatutan atau undang-undang, tidak dilakukannya prestasi tersebut berarti telah terjadi ingkar janji atau disebut wanprestasi.88 Perlu dikemukakan disini, bahwa perjanjian safe deposit box termasuk perjanjian timbal balik pihak debitur dan kreditur. Karena sifat timbal baliknya tersebut, maka baik pihak kreditur maupun debitur harus menunaikan prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam undang-undang atau menurut
87
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 69-70 88 Ibid, hlm. 70
109
perjanjian itu sendiri. Oleh karena itu, wanprestasi dapat dilakukan oleh pihak debitur maupun kreditur. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut. Wanprestasi dapat berupa: a.
Sama sekali tidak memenuhi prestasi ;
b.
Prestasi yang dilakukan tidak sempurna ;
c.
Terlambat memenuhi prestasi ;
d.
Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.
Terjadinya wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang wanprestasi) dirugikan, sebagai contoh jika pihak lain tersebut adalah pedagang, maka bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan. Oleh karena pihak lain dirugikan akibat wanprestasi tersebut, pihak wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan : a. Pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi) ; b. Pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi). Dengan demikian, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan atau pemenuhan kontrak. Namun, jika dua kemungkinan pokok tersebut diuraikan lebih lanjut, kemungkinan tersebut dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu : 89
89
Ibid, hlm. 75
110
a. Pembatalan kontrak saja ; b. Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi ; c. Pemenuhan kontrak saja ; d. Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi. Pembagian atas 4 (empat) kemungkinan tuntutan tersebut di atas, sekaligus merupakan pernyataan ketidaksetujuan Ahmadi Miru, atas pendapat yang membagi atas lima kemungkinan, yaitu pendapat yang masih menambahkan satu kemungkinan lagi, yaitu “penuntutan ganti rugi saja” karena tidak mungkin seseorang menuntut ganti rugi saja yang lepas dari kemungkinan dipenuhinya kontrak atau batalnya kontrak, karena dibatalkan atau dipenuhinya kontrak merupakan dua kemungkinan yang harus dihadapi para pihak dan tidak ada pilihan lain, sehingga tidak mungkin ada tuntutan ganti rugi yang berdiri sendiri sebagai akibat dari suatu wanprestasi. Tuntutan apa yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Bahkan apabila tuntutan itu dilakukan dalam bentuk gugatan di pengadilan, pihak wanprestasi tersebut juga dibebani biaya perkara.90 Adapun mengenai akibat dari wanprestasi itu sesuai dalam Pasal 1267 KUHPerdata, yang berupa ; pembatalan kontrak saja, pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi, pemenuhan kontrak saja dan pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi.
90
Ibid, hlm. 75-76
111
Demikian juga dalam hal perjanjian sewa-menyewa safe deposit box antara bank dengan nasabah, penyewa dapat menuntut ganti kerugian jika dari pihak bank telah melakukan wanprestasi. Sebagai contoh, bank dapat dituntut ganti rugi atas kerugian dan kerusakan atas sebagian/seluruh berubahnya mutu, berkurangnya jumlah atau hilangnya barang yang disimpan dalam safe deposit box, karena pihak bank tidak memelihara dan menjaga safe deposit box dengan baik sesuai dengan keperluan yang dimaksudkan dalam perjanjian sewamenyewa safe deposit box. Dikaitkan dengan akibat wanprestasi, dengan demikian jika bank tidak melaksanakan kewajibannya dalam perjanjian sewa-menyewa safe deposit box tersebut, maka nasabah berhak menuntut bank atas dasar wanprestasi, sesuai dalam Pasal 1267 KUHPerdata yaitu berupa pemenuhan kontrak dan ganti rugi. Pada bab terdahulu telah dikemukakan mengenai pengertian overmacht dan risiko. Telah dikemukakan pula bahwa dengan terjadinya overmacht, maka akan timbul persoalan tentang siapa yang harus memikul risiko. Dalam perjanjian sewa-menyewa pada umumnya risiko ditanggung oleh pemilik barang. Hal ini merupakan kesimpulan dari Pasal 1533 KUHPerdata. Untuk lebih jelasnya Pasal 1533 KUHPerdata menyebutkan bahwa : ’’Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum’’.
112
Diketahui bahwa keadaan memaksa (overmacht) ialah keadaan tidak dapat dipenuhi prestasi oleh debitur, karena terjadi peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Adapun macam-macam overmacht, sebagiai berikut : 1. Overmacht yang bersifat mutlak (absolut) adalah suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan bagaimanapun tidak mungkin dilaksanakan. 2. Overmacht yang bersifat nisbi (relatif) adalah suatu keadaan yang memaksa yang menyebabkan suatu perikatan hanya dapat dilaksanakan oleh debitur dengan pengorbanan yang demikian besarnya, sehingga tidak lagi pantas kreditur menuntut pelaksanaan tersebut.91 Adapun untuk menentukan sifat memaksa dari overmacht yang bersifat nisbi ada 2 (dua) macam ukuran yaitu ukuran subyektif dan ukuran obyektif. Ukuran subyektif adalah ukuran bagaimana keadaan seseorang tertentu yang berbeda dengan orang lain. Ukuran ini menentukan apabila suatu keadaan menyebabkan orang tertentu tidak dapat melaksanakan perikatan karena hal-hal yang melekat pada diri orang bersangkutan, maka keadaan tersebut merupakan keadaan memaksa menurut ukuran subyektif, sedangkan yang dimaksud ukuran obyektif adalah ukuran bagaimana keadaan orang pada umumnya. Jika suatu keadaan menyebabkan semua orang tidak dapat melaksanakan perikatan, maka keadaan ini merupakan keadaan memaksa yang di ukur secara obyektif.92 Berdasarkan data 1.6 mengenai perjanjian sewa-menyewa safe deposit box apabila terjadi kebakaran di bank, maka dapat disimpulkan bahwa kejadian
91 92
Tim Pengajar Hukum Perdata, Buku Ajar ; Hukum Perdata, Op.Cit, hlm. 101 Ibid, hlm. 101-102
113
seperti terjadinya kebakaran dalam perjanjian sewa-menyewa safe deposit box dikategorikan sebagai overmacht yang bersifat mutlak (absolut), yang dalam hal ini pihak bank tidak bertanggungjawab, padahal maksud nasabah (penyewa) menyimpan barang berharga dalam safe deposit box adalah agar ada jaminan keamanan di bank sebagaimana yang dijanjikan, dengan demikian dalam hal ini pihak nasabah tidak dilindungi, karena jika terjadi kebakaran hingga barang yang disimpan dalam safe deposit box musnah, maka bank tidak bertanggungjawab, sehingga risiko di tanggung sendiri oleh nasabah safe deposit box, padahal bank mempunyai kewajiban untuk menjaga dan memelihara obyek perjanjian (box) agar dapat digunakan nasabah safe deposit box sebagaimana yang dijanjikan, terlebih seperti yang dimaksudkan dalam brosur bahwa obyek sewa dibuat tahan api dan tahan bongkar, serta dilindungi pengamanan 24 jam dan ditunjang sistem alarm paling canggih, jadi disini ada perluasan keadaan overmacht. Disamping itu, selain dikategorikan sebagai overmacht yang bersifat mutlak (absolut), kejadian overmacht perjanjian sewa-menyewa safe deposit box juga dapat di lihat dari ukuran subyektif, dimana untuk menentukan sifat memaksanya dari overmacht tersebut. Dari keterangan ini timbul pertanyaan apakah kehilangan atau kerusakan barang safe deposit box itu merupakan overmacht, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 8 dalam akta perjanjian sewamenyewa safe deposit box mengenai pembatasan tanggung jawab bank, yang menyebutkan bahwa : Bank tidak bertanggung jawab atas :
114
4. Perubahan kualitas/kuantitas, kehilangan, atau kerusakan barang yang disimpan dalam SDB. 5. Resiko yang timbul karena force majeure yaitu bencana alam seperti banjir dan gempa bumi, perang, huru hara, pemogokan, sabotase, atau kebakaran yang dapat mengakibatkan perubahan' fisik, kualitas dan/atau kuantitas dari barang simpanan. 6. Kerugian atau kehilangan yang diakibatkan oleh perampokan , penyerbuan atau perampasan dengan menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap Petugas atau Pejabat Bank ataupun terhadap penyewa atau kuasanya. Dari ketentuan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa hilang atau rusaknya barang yang di simpan dalam safe deposit box itu juga merupakan suatu overmacht. Dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis, dalam hal overmacht dan risiko seperti ini belum pernah terjadi sampai dengan mengakibatkan kerugian pada penyewa, seperti barangnya hilang atau rusak. Yang pernah terjadi adalah kunci untuk membuka kotak safe deposit box itu rusak, sehingga tidak dapat untuk membuka, yang dalam hal ini metode penanganan bank dengan langsung melakukan tindakan pembetulan. Dikaitkan dengan perjanjian sewa-menyewa safe deposit box yang terdapat adanya asas kebebasan berkontrak, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang, tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, walaupun perjanjian ini telah dibuat secara baku oleh pihak bank, maka dengan adanya kebebasan tersebut, dapat saja penyelesaian permasalahan yang dilakukan oleh pihak penyelenggara dalam hal ini adalah pihak bank yang dituangkan di dalam perjanjian sewa-menyewa safe deposit box kurang memenuhi rasa keadilan dan lebih menguntungkan pihak bank sebagai pihak yang menyelengarakan safe deposit box.
115
Adapun bahwa akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box tersebut dapat dilihat adanya beberapa klausula Eksonerasi
93
, yaitu klausula baku yang
sifatnya dapat merugikan konsumen (nasabah) atau klausula baku yang dilarang oleh undang-undang. Klausula eksonerasi tersebut cenderung menunjukkan adanya bentuk pembebasan tanggung jawab yang dilakukan oleh bank, sehingga penyewa atau nasabah yang akhirnya terpaksa menanggung segala risiko yang ada. Dengan demikian, karena dari perjanjian baku yang ditentukan sepihak oleh pihak bank dan adanya klausula eksonerasi di dalam akta, maka nasabah (penyewa) kurang mendapatkan perlindungan hukum, khususnya kaitannya dengan masalah terjadinya kehilangan/kerusakan barang safe deposit box dan terjadinya perampokan, sehingga merupakan bentuk pembatasan tanggung jawab dari pihak bank yang dalam hal ini dikaitkan dengan kewajiban bank yang harus menjaga dan memelihara obyek sewa (box) agar dapat digunakan oleh nasabah penyewa safe deposit box sesuai yang dimaksud dalam brosur bahwa ruang penyimpanan didukung dengan tahan api dan tahan bongkar, serta dilindungi pengamanan 24 jam dan ditunjang sistem alarm paling canggih, maka seharusnya pihak bank bertanggungjawab jika terjadi kehilangan/kerusakan dan perampokan. Berkaitan dengan keadaan tersebut, berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa adanya kesepakatan dari salah satu pihak yang membuat
93
http://ojomta.blogspot.com/2010/09/eksonerasi.com
116
perjanjian, maka perjanjian yang dibuat itu dapat dibatalkan. Pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Karenanya, para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya mengenai klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian, terutama praktek perjanjian safe deposit box yang ada di bank, tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya paksaan atau penipuan yang mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan apabila nasabah menimbulkan ketidakpatutan, maka dapat dituntut ke pengadilan dengan dasar itikad baik, sehingga tidak menutup kemungkinan isi perjanjian itu dapat mengalami perubahan. Perlindungan debitur terhadap perjanjian baku melalui itikad baik ialah yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3), bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Menurut Pitlo, tidak lain berarti bahwa kita harus menafsirkan perjanjian itu menurut kepatutan dan keadilan. Menafsirkan suatu perjanjian adalah menetapkan akibat-akibat daripadanya. Mengacu pada itikad baik orang dapat merubah atau melengkapi perjanjian di luar kata-kata aslinya, tetapi HR di negeri Belanda tetap tidak mau mengakui, bahwa asas itikad baik dapat menyampingkan isi perjanjian, sampai pada arrest HR tahun 1967 perkara mengenai HBU dan Saladin.94
94
154
Proyek ELIPS, Hukum Kontrak di Indonesia, Perpustakaan Nasional, Jakarta, 1998, hlm.
117
Meskipun Saladin gagal menggugat HBU (Hollandse Bank Unie), bahwa syarat eksonerasi itu bertentangan dengan itikad baik, tetapi setidaktidaknya HR telah mempertimbangkan bahwa asas itikad baik dapat menilai apakah syarat eksonerasi dari bank itu sah atau tidak. Dan mulai saat itu asas itikad baik dapat dipakai untuk menilai apakah syarat eksonerasi (perjanjian baku) itu sah atau tidak.95 Berdasarkan hal tersebut, dengan demikian walaupun dengan kontraknya jika terjadi kerusakan, kehilangan dan perampokkan atas barang yang di simpan nasabah kurang terlindungi, namun nasabah berhak menuntut berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata atas dasar itikad baik. Perlindungan hukum dalam perjanjian safe deposit box dapat pula ditinjau dari hubungan non kontraktual. Berdasarkan hubungan non kontraktual ini, perlindungan hukum dalam perjanjian safe deposit box dapat diperoleh dari Undang-undang Perbankan. Perlu diuraikan disini, bahwa hubungan non kontraktual ini meliputi adanya hubungan kepercayaan, hubungan kehati-hatian dan hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah, yang dalam hal ini berkaitan dengan perlindungan hukum dalam perjanjian safe deposit box. Asas perbankan yang dapat dikaitkan dari persoalan tersebut yaitu adanya asas kepercayaan, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan nasabahnya. Hubungan ini tersimpul dari Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5 dan Pasal 3 Undang-undang
95
Ibid
118
Perbankan.96 Bank perlu terus menjaga kesehatan bank nya, karena berbagai persoalan yang menimbulkan kerugian terhadap nasabah dapat menyebabkan ketidakpercayaan nasabah terhadap bank, khususnya dalam hal ini adalah nasabah safe deposit box. Ketentuan pasal-pasal tersebut merupakan perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-undang Perbankan terhadap nasabah safe deposit box atas dasar hubungan kepercayaan. Hubungan kehati-hatian tersimpul dalam Pasal 2, Pasal 8, Pasal 11 dan Pasal 29 ayat (1),(2),(3) Undang-undang Perbankan. 97 Ketentuan perbankan di Indonesia menganut prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha, yang artinya dalam hal ini pihak yang menyewakan safe deposit box itu harus dengan prinsip kehati-hatian untuk melindungi dan memelihara barang dalam safe deposit box yang dipercayakan kepadanya. Bank juga wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan, serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi pembayaran harga sewa. Ketentuan pasal-pasal yang terkait tersebut merupakan perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-undang Perbankan terhadap nasabah safe deposit box atas dasar hubungan kehati-hatian. Hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah diatur dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Perbankan tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Ketentuan pasal tersebut dapat diketahui adanya hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan, dimana bank mempunyai kewajiban untuk menyediakan informasi mengenai 96 97
Sulistyandari, Op.Cit, hlm. 304 Ibid, hlm. 308
119
kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank dan nasabah penyimpan mempunyai hak untuk memperoleh informasi tersebut,98 oleh karena itu bank harus memberikan informasi sejelas-jelasnya terhadap nasabah, khususnya dalam hal ini yaitu bagi nasabah safe deposit box. Ketentuan Pasal 29 ayat (4) tersebut merupakan perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-undang Perbankan terhadap nasabah safe deposit box atas dasar hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah. Pada konteks hubungan non kontraktual, perlindungan hukum dalam perjanjian safe deposit box dapat pula diperoleh dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lahirnya Undang-undang ini telah memberikan harapan-harapan besar bagi konsumen (nasabah), hal ini dikarenakan seorang konsumen akan mempunyai landasan, serta payung hukum untuk melindungi segala kepentingan-kepentingan dalam dunia usaha tidak terkecuali terhadap nasabah PT Bank Negara Indonesia (Persero), selain itu adanya Undang-undang Perlindungaan Konsumen akan semakin memudahkan pemerintah dan berbagai lembaga terkait untuk melakukan penataan, pembinaan, serta pendidikan kepada konsumen akan dapat memaksimalkan perannya dalam dunia perdagangan, bisnis, perbankan dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensi terhadap undang-undang adalah adanya sanksi bagi pelanggarnya, dengan demikian upaya untuk lebih menjadikan seorang
98
Ibid, hlm. 325
120
konsumen sebagai bagian yang patut mendapatkan perlindungan hukum benarbenar terwujud. Dengan diberlakunya undang-undang tersebut paling tidak akan semakin membuka peluang konsumen (nasabah) lebih kondusif dan nyaman karena akan senantiasa mendapatkan sebuah jaminan perlindungan yang maksimal. Dalam dunia perekonomian peran konsumen sebagai salah satu penggerak roda ekonomi suatu negara tidak akan dapat berjalan. Begitu besar peran dari seorang konsumen atau nasabah sering kali tidak diimbangi dengan perlakuan yang adil dari pihak-pihak tertentu, terutama para produsen nakal yang hanya mengandalkan modal besar, tanpa berpegang pada etika bisnis, kurang sadar akan pentingnya suatu perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen
sering
kali
menimbulkan
praktek
transaksi
yang
hanya
menguntungkan satu pihak saja yaitu penjual, yang dalam hal ini adalah bank oleh sabab itu kemudian muncul wacana untuk lebih menghargai eksistensi seorang konsumen dalam sebuah pasal besar menyangkut ekonomi dengan memunculkan sebuah Undang-undang Perlindungan Konsumen.
121
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis kemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa : 1). Perlindungan hukum terhadap nasabah bank sebagai penyewa dalam perjanjian sewa-menyewa safe deposit box telah diatur dan terlindungi berdasarkan akta perjanjian sewa-menyewa safe deposit box No : PWO/04/109/2011, yang meliputi : a. Perlindungan hukum terhadap hak atas kenyamanan. b. Perlindungan hukum terhadap hak atas keamanan. c. Perlindungan hukum terhadap hak atas informasi. d. Perlindungan hukum terhadap kerahasiaan isi safe deposit box. e. Perlindungan hukum terhadap hak atas kebebasan pelimpahan kuasa. f. Perlindungan hukum terhadap hak atas penyelesaian perselisihan dengan cara perdamaian. 2). Perlindungan hukum terhadap nasabah bank sebagai penyewa dalam perjanjian safe deposit box dikaitkan dengan wanprestasi dan overmacht, serta statusnya sebagai nasabah bank, berdasarkan : a. Hubungan kontraktual. Nasabah safe deposit box berhak mengajukan tuntutan atas dasar wanprestasi berdasarkan Pasal 1267 KUHPerdata dengan pemenuhan
122
kontrak dan ganti rugi jika pihak bank tidak melaksanakan prestasi sesuai yang di janjikan, sedangkan dalam hal jika terjadi kehilangan atau kerusakan, kebakaran dan perampokkan nasabah kurang terlindungi, karena dalam hal ini bank tidak bertanggungjawab, karena disini ada perluasan dari overmacht dan pembebasan tanggung jawab dari pihak bank, namun nasabah masih berhak menuntut berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata atas dasar itikad baik. b. Hubungan non kontraktual. Undang-undang Perbankan memberikan perlindungan hukum terhadap nasabah safe deposit box, diantaranya nasabah berhak menuntut atas dasar Pasal 16 dan Pasal 46 Undang-undang Perbankan mengenai adanya hubungan kepercayaan, Pasal 49 ayat (2) huruf b dan Pasal 52 Undang-undang Perbankan mengenai adanya hubungan kehati-hatian dan hubungan kepedulian terhadap risiko nasabah. B. Saran Mengingat perjanjian safe deposit box yang dibuat secara baku dan sepihak oleh bank, pihak bank seyogyanya memberikan informasi dan menjelaskan secara rinci dan jelas mengenai isi perjanjian dan akibat-akibat hukumnya, sehingga nasabah tahu mengenai apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam perjanjian safe deposit box tersebut.
123
DAFTAR PUSTAKA
LITERATUR Arif ,M, Isa, Perikatan Bersumber Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2003. Badrulzaman, Mariam, Darus, Aneka hukum Bisnis, Cetakan Pertama, Bandung, Alumni, 1994. Badrulzaman, Mariam, Darus, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Badrulzaman, Mariam, Darus, Pembentukan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 1981.
Hukum
Nasional
dan
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Buku Satu, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. Djumhana, M, Hukum Perbankan di Indonesia, Ctk. Keempat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Tahun 1998, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1999. Hasibuan, Malayu, Dasar-Dasar Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta, 2005. Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Ctk. Kedua, Alumni, Bandung, 1986. Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, Ctk. Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008. Machmud, Syachrul, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Dokter yang Diduga melakukan Medikal Malapraktik, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008. Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta: Ekonisia, 2002. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1988.
124
Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982. Muhammad,Abdulkadir, Perjanjian Baku Dalam Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.
Praktek
Perusahaan
Prodjodikoro Wirjono, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Cetakan Kedelapan, Sumur, Bandung, 1985. Patrik, Purwahid, Hukum Kontrak Indonesia Seri Dasar Hukum Dagang 5, Elips, Bandung, 1997. Proyek ELIPS , Hukum Kontrak di Indonesia, Perpustakaan Nasional, Jakarta, 1998. Satrio, J, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. Satrio, J, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang-undang, Ctk. Kedua, Bagian Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Satrio, J, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Grasindo, Jakarta, 2000. Sjahdeni, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993. Subekti, R, Aneka Perjanjian, Ctk. Kedelapan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1982. Subekti, R, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992. Subekti, R, Hukum Perjanjian, Ctk. Keduabelas, Intermesa, Jakarta, 1990. Subekti, R, Hukum Perjanjian, Ctk. Kesebelas, Intermesa, Jakarta, 1990.
125
Suhardi, Gunarto, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum, Ctk. Keempat, Kanisius, Yogyakarta, 2006. Sulistyandari, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Pengawasan Perbankan di Indonesia, Laros, Sidoarjo, 2012. Suryodiningrat, R,M, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung,1978. Suyatno, Thomas, dkk, Kelembagaan Perbankan, Gramedia, Jakarta, 1997. Tim Pengajar Hukum Perdata, Diktat ; Hukum Perdata, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto, 2005. Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Ctk. Pertama, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Wakhid, Nur, Diktat ; Syarat Sahnya Perjanjian, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto, 2009. Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2003. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. SUMBER LAIN Akta Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto. Brosur Perjanjian Sewa-menyewa Safe Deposit Box PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Purwokerto. http://ojomta.blogspot.com/2010/09/eksonerasi.com