BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Kekaisaran II merupakan suatu zaman demokrasi otoriter, yang diperkuat pada suatu masa dengan keberhasilan di bidang ekonomi dan politik luar negeri.1 Masa pemerintahan ini dipimpin oleh Louis Napoléon Bonaparte (selanjutnya disebut dengan Napoléon III) sebagai Presiden Republik Prancis. Awal mula ia terpilih, Prancis merupakan sebuah Negara Republik Demokratis dengan diadakannya pemilihan umum pada tanggal 10 Desember 1848. Empat tahun kemudian, ia mengeluarkan UUD untuk membentuk sebuah sistem pemerintahan yang otoriter dan bersifat presidensial.2 Bersamaan dengan itu, kekaisaran disahkan kembali. Selama menjalani masa pemerintahan, ia melakukan berbagai gebrakan baru yang sangat penting. Di antaranya adalah memperluas pengajaran hingga ke sekolah menengah dan memperluas pengaruh Gereja hingga tahap pendidikan sekolah. Gebrakannya membuat perkembangan pendidikan menjadi sangat pesat oleh kumpulan – kumpulan agama.3 Mulanya, Gereja memiliki fungsi yang sangat dominan pada jalannya kehidupan negara. Dalam bidang pemerintahan, agamawan menduduki posisi penting di kerajaan. Mereka memiliki peran ganda sebagai salah satu dari para pemimpin di kerajaan dan sebagai pemimpin upacara keagamaan di
1
Carpentier dan Lebrun, 2011, Sejarah Prancis dari Zaman Prasejarah Hingga Akhir Abad Ke-20 (p.305) 2 Ibid., (p.308) 3 Ibid. (2011)
1
Gereja. Selama berabad – abad, kursi pemerintahan diisi oleh para pastur dan uskup dari berbagai daerah. Dalam tataran kelas sosial, kedudukan mereka berada di bawah noble atau kaum bangsawan yang terdiri dari keturunan langsung kerajaan. Sama halnya dengan noble, agamawan berusaha menjaga posisi kelas sosial mereka tetap terjaga dengan menutup akses ilmu agama dari sentuhan masyarakat kelas bawah atau rakyat biasa. Rakyat tidak diperkenankan membaca Injil dan agamawan tidak akan menurunkan ilmu mereka kepada sembarang orang selain dari keinginan mereka sendiri. Para agamawan memiliki hak istimewa. Selain duduk dalam jabatan pemerintahan, mereka juga diberi hak untuk menarik pajak. Selain hal – hal yang telah disebutkan sebelumnya, Gereja tetap berfungsi sebagai tempat diadakannya serangkaian ibadah seperti misa, pengakuan dosa, dan lainnya.4 Masa revolusi menjadi masa perubahan bagi beberapa bidang. Dalam hal
pendidikan, mulai
terbuka akses untuk
menuntut
ilmu
sejak
dikeluarkannya UU Guizot tanggal 28 Juni 1833 tentang Pendidikan Dasar.5 Hal ini berlanjut pada masa pemerintahan Napoléon III, diperkuat dengan adanya UU tahun 1867 tentang pengadaan sekolah-sekolah hingga ke tingkat dusun, sehingga makin memantapkan perkembangan Prancis dalam hal pendidikan.6 Rakyat biasa yang mampu untuk menuntut ilmu kemudian menduduki pekerjaan penting seperti jaksa dan dokter. Makin majunya ilmu membuat rakyat mulai bisa mengkritisi berbagai hal, termasuk jalannya pemerintahan.
4
Durkheim, Émile, 1992, The Elementary Forms of Religious Life (p.76) Op.cit., (p.300) 6 Ibid., (p.311) 5
2
Selama masa pemerintahan Napoléon III, selain meraih kejayaan Prancis juga mengalami masa suram. Negara ini mengalami kekalahan dalam banyak perang. Naiknya pajak yang dibebankan kepada seluruh lapisan rakyat untuk membiayai perang dan peran yang makin dominan dalam sistem pemerintahan membuat rakyat membenci Gereja serta kaum agamawan. Rakyat menerima keberadaan Tuhan dalam kehidupan mereka, tetapi menolak para Gereja dan dogma.7 Rakyat kecewa melihat Gereja yang semula diharapkan menjadi tempat perlindungan rakyat Prancis di tengah krisis perang dan resensi ekonomi, ternyata justru mendukung keputusan Pemerintah untuk menaikkan pajak. Kebencian rakyat akan kaum agamawan yang memiliki hak untuk menikmati hasil pajak membuat mereka berniat mematikan fungsi kaum agamawan dengan mengakhiri peran Gereja pada urusan pemerintahan. Peran Gereja kemudian mengalami kemunduran pasca revolusi. Revolusi Prancis dan masa pemerintahan Kekaisaran II di abad ke sembilan belas adalah fase penting dalam sejarah Prancis. Pasang surut kehidupan masyarakat pada jaman tersebut menarik beberapa pengarang untuk mengalihkannya ke dalam karya sastra mereka. Salah satu pengarang abad ke sembilan belas tersebut adalah Émile Zola. Émile Zola (selanjutnya disebut dengan Zola) lahir pada tanggal 2 April 1840 di Paris. Ia menjalani masa kecil dan remajanya bersama ibunya di Aix-en-Provence kemudian menuntut ilmu pada sekolah menengah pertama
7
Ibid., (p.275)
3
dan lanjutan. Ia tidak lulus ujian baccalaureat di tingkat akhir sekolah sehingga ia terpaksa mencari nafkah.8 Jalan hidupnya yang keras menuntutnya untuk bekerja di berbagai bidang, dari menjadi pramuniaga, karyawan di percetakan Hachette, hingga karyawan sebuah penerbit surat kabar. Sejak saat bekerja di penerbit surat kabar, Zola menjadi gemar membaca terutama karya Claude Bernard dan Hyppolite Taine. Sesuai dengan pendapat Taine, Zola percaya bahwa perasaan dan sifat-sifat manusia telah ditentukan sebelumnya oleh hukum yang sama seperti yang mengatur biologi dan fisiologi, terutama sifat turunan. Keadaan psikologis sangat dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Baginya, roman dapat digunakan sebagai lampiran ilmu hayat dan kedokteran. Metode penulisannya harus berdasarkan pengamatan unsur-unsur yang terjadi di kehidupan nyata serta eksperimen dengan memanfaatkan keadaan dan lingkungan tempat para tokoh berkembang.9 Majunya dunia sastra membuat Zola tertarik untuk ikut terjun di dalamnya. Ia mulai menulis artikel dan novel. Kehidupan masyarakat pada masa itu menarik idenya untuk menuangkan kondisi nyata masyarakat ke dalam novelnya. Ia bahkan merangkai novel-novelnya dalam satu antologi yang menggambarkan kehidupan satu keluarga beserta keturunannya pada masa Kekaisaran II. Novel antologi yang dikenal dengan nama Les RougonMacquart, une histoire naturelle et sociale d’une famille sous le Second Empire (1868-1893) ini, menceritakan kehidupan keluarga besar Adelaïde 8 9
Husen, 2001. Mengenal Pengarang-Pengarang Prancis Dari Abad ke Abad. (p.138) (op.cit., : 139)
4
Fouque beserta tiga anaknya dan cucu – cucunya yang memiliki garis keturunan yang berbeda. Cucunya memiliki tiga marga besar yaitu Rougon, Mouret dan Macquart. Melalui tiga marga keluarga tersebut, Zola membahas kehidupan berbagai kelas yaitu kelas bangsawan, kelas pekerja, kelas menengah, serta kelas agamawan di bawah kekuasaan Kekaisaran II. Gambaran kehidupan kaum agamawan terdapat dalam beberapa novelnya berjudul La Conquête de Plassans (1874) dan La Faute de l’Abbé Mouret (1875).10 Novel La Faute de l’Abbé Mouret merupakan novel ke lima dari seri Les Rougon – Macquart, yang mengisahkan kehidupan seorang pastor bernama Serge Mouret dan kehidupan sehari – harinya di Gereja. Ia tinggal dengan adiknya bernama Désirée Mouret dan seorang pelayan bernama La Teuse. Ia hidup berkecukupan dengan hak istimewanya menarik pajak pada rakyat. Pergerakan rakyat yang semakin pesat baik sebelum maupun sesudah Revolusi Prancis membuat peran Gereja tergeser oleh kepentingan pribadi setiap rakyat untuk menaikkan status sosial mereka. Hal ini menyebabkan peran dirinya sebagai pastor mulai dianggap remeh. Orang tidak mau lagi pergi beribadah ke Gereja, terlebih untuk sekedar percaya akan adanya Tuhan dalam kehidupan mereka. Selain itu, di sisi lain kehidupannya sebagai pastor, ia memiliki rasa cinta kepada seorang wanita bernama Albine. Rasa cinta yang pada mulanya timbul tenggelam menjadi semakin nyata sejak mereka pertama kali bertemu. Hal ini membuatnya berpikir ulang untuk terus bertahan pada jalur hidupnya sebagai pastor.11 10 11
Husen, Ida Sundari, op.cit. (p.140) Zola, Émile. (1875)
5
Kisah berlatar belakang kehidupan kaum agamawan yang sehari – harinya berkutat dengan aktivitas peribadatan Gereja, jemaat, namun kemudian jatuh cinta dan bimbang mempertahankan statusnya sebagai kaum agamawan, menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Alasan lainnya, di dalam novel ini terjadi perubahan yang signifikan atas peran sang pastor di tengah gejolak kepercayaan rakyat terhadap peran dan fungsi Gereja.
2. Permasalahan Berkat UU Guizot tentang dibukanya akses pendidikan untuk rakyat, membuat ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat di Prancis. Rakyat menjadi lebih kritis dan mampu menanggapi perkembangan yang terjadi dalam kehidupan. Semakin lama, rakyat menjadi sadar akan peran Gereja yang
mendominasi
kehidupan
masyarakat
dan
Negara.
Akibatnya,
kepercayaan rakyat kepada Gereja mulai menurun. Pergeseran peran ini berimbas pada kehidupan kaum agamawan yang semula berpengaruh pada kehidupan masyarakat menjadi diremehkan. Perubahan yang cukup drastis terjadi dalam kehidupan l’Abbé Mouret akibat terjadinya pergolakan peran dan fungsi Gereja serta kaum agamawan di Prancis. Hal ini menimbulkan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana kehidupan l’Abbé Mouret sebagai representasi kaum agamawan di masa Kekaisaran II? Mengapa demikian? 2. Ideologi apa yang ingin disampaikan oleh Zola melalui novel La Faute de l’Abbé Mouret?
6
3. Tujuan Penelitian Secara global, penelitian ini memiliki tujuan untuk menjelaskan kaitan antara gejolak yang terjadi di Gereja pada masa Kekaisaran II dan pengaruhnya terhadap kehidupan kaum agamawan. Secara khusus, penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana contoh kehidupan kaum agamawan dalam menghadapi pasang surut kepercayaan masyarakat kepada Gereja melalui tokoh utama yaitu Serge Mouret (atau yang dikenal dengan nama l’Abbé Mouret). Selain itu, penelitian ini akan menjelaskan dinamika yang dialami tokoh utama dalam kehidupannya akibat pergeseran peran dan fungsi Gereja.
4. Landasan Teori Penelitian ini akan menggunakan teori Sosiologi Agama dari Max Weber. Dalam teori ini, Weber membahas tentang keterkaitan agama dengan kehidupan masyarakat. Teori ini dirasa memiliki keterkaitan yang sama dengan pokok pembahasan yaitu keterkaitan agama dengan kehidupan masyarakat, sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian. Menurut Weber, imam atau pastor adalah komponen pokok dari sistem keagamaan. Fungsinya adalah menjembatani hubungan antara manusia dengan Tuhan. Selain itu, mereka diterjunkan ke dalam sebuah masyarakat di suatu ranah tertentu. Mereka menggunakan kekuatan agama sebagai sebuah kapasitas independen untuk memandu takdir manusia. Mereka memperoleh
7
cukup independensi dari tatanan sosial yang dibentuk secara tradisional dalam rangka menegakkan aturan sosial dan mengubahnya jika dibutuhkan.12 Aturan sosial yang dimaksud disini terdiri dari dua tipe yaitu etika agama dan tabu. Etika agama berkaitan dengan penguatan orientasi atau pola umum tindakan, sedangkan tabu berkaitan dengan perintah dan larangan bagi tindakan tertentu. Menurut Weber, Tuhan menetapkan sejumlah kewajiban, dan dipahami sebagai pemberi hukum umum yang melaluinya manusia diwajibkan untuk mematuhinya. Persoalan agama dianggap sebagai kekuatan bagi perubahan sosial.13 Weber (2012) menjelaskan bahwa rasionalisasi merupakan konsep yang melegitimasi orientasi manusia di dalam dan terhadap dunia, yang memberi makna untuk berbagai tujuan manusia. Hal ini menyiratkan tindakan-tindakan manusia yang diorientasikan pada tujuan tertentu, artinya, muncul sebuah fokus kepada „cara‟. Rasionalisasi yang dimaksud oleh Weber bersifat intelektual, yang di dalamnya rasionalisasi tersebut meletakkan sejumlah kewajiban pada manusia terkait perilaku yang seharusnya dalam menjalani hidup. Di dalamnya, terdapat kepentingan pribadi demi melayani ide-ide.14 Kesetiaan pada Gereja, selain juga gerakan sektarian di agama, muncul seiring perkembangan kota-kota. Ini terlihat dari konsep yang dihasilkan Kristen perdana yang berpijak dari konsep jabatan dan konsep komunitas sebagai lembaga.15 Komunitas keagamaan mengarah pada suatu
12
Weber, Max. 2012. Sosiologi Agama : a Handbook. (p.34) Ibid,. (p.35) 14 Ibid., (p.37-38) 15 Ibid., (p.257) 13
8
kolektivitas yang memiliki karakter religius berbeda dari orang-orang di sekitarnya, persisnya, kelompok yang diistimewakan secara keagamaan di sebuah masyarakat, sebuah „sekte‟, kelompok kecil yang radikal dan ekstrem.16 Menurut Weber, kapasitas dari jenis-jenis gerakan religius menuju pengorganisasian yang efektif, khususnya yang terkait „umat‟ sangat beragam. Umumnya, kapasitas mereka cenderung menghasilkan gerakangerakan „elitis‟ lantaran mereka merasa menerima status superior di dalam agama, lalu meninggalkan kelompok masyarakat yang lain demi mengejar status kenyamanan yang gamang, tidak lagi peduli dengan kenyamanan yang sudah mereka terima dari status sekulernya.17 Teks-teks suci (dari kitab suci) menjadi fokus bagi kompetensi intelektual yang istimewa dan menghasilkan prestise tersendiri di bidang keagamaan, sehingga di ranah budaya, sistem-sistem doktrin keagamaan ini kian terasionalisasikan. Kelompok-kelompok yang memiliki otoritas khusus lantaran tulisan-tulisan suci itu pun mendapatkan posisi istimewa di dalam sistem keagamaan masyarakatnya secara keseluruhan.18 Demikian penjelasan singkat tentang teori yang akan digunakan untuk penelitian mengenai dinamika kehidupan tokoh utama sebagai agamawan di masa Kekaisaran II. Pemilihan teori Sosiologi Agama ini dirasa cocok, karena dapat menjawab permasalahan serta berkesinambungan dengan pokok pembahasan nantinya.
16
Ibid., (p.43) Ibid., (p.42-43) 18 Ibid., (p. 44) 17
9
5. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan metode analisis wacana kritis Norman Fairclough melalui tiga tahap yaitu tahap deskriptif, tahap interpretasi, dan tahap eksplanasi. Mula-mula, pada tahap deskriptif akan dibuat kartu data berdasarkan peristiwa yang terjadi di dalam novel, tokoh yang terlibat, waktu dan tempat kejadian, aksi yang dilakukan, serta narasi atau dialog yang terkait. Selanjutnya kartu data diklasifikasi yang dirasa berkaitan dan menjawab pertanyaan penelitian ini. Kemudian pada tahap interpretasi, dengan menggunakan kartu data yang telah diklasifikasi, data tersebut akan dianalisis dengan teks sastra (wacana) sebagai bahan penelitian. Analisis tersebut meliputi tiga aspek yaitu teks-teks bahasa (baik lisan maupun tulisan), praksis kewacanaan (produksi dan interpretasi teks) dan praksis sosiokultural. Teks sastra akan dianalisis untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra. 19 Data kemudian dikaitkan dengan teori Sosiologi Agama dari Max Weber. Kemudian, menarik kesimpulan berdasarkan data yang telah dianalisis.
6. Tinjauan Pustaka Penelitian dengan menggunakan novel La Faute de l’Abbé Mouret sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Sri Yunarsih, mahasiswa Sastra Prancis UGM, dalam skripsinya yang berjudul “Tinjauan terhadap Roman La Faute de l’Abbé Mouret karya Émile Zola” pada tahun 1994. Ia mengungkap
19
Damono, Supardi Djoko, 1986, Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas (p.2)
10
persoalan utama dalam novel tersebut yaitu norma dan kebebasan, melalui unsur intrinsik novel seperti tema, judul, alur, setting, tokoh dan penokohan. Selain itu, terdapat penelitian yang menggunakan kehidupan agamawan dengan pendekatan analisis wacana. Pada tahun 2010, Hastomo Mawadya Sulistiyandi, melakukan penelitian dengan judul “Satire tentang Hipokrisi dalam Naskah Drama Le Tartuffe karya Molière : Pendekatan Analisis Wacana”. Ia mengungkapkan makna sindiran yang disampaikan Molière melalui novel tersebut atas kemunafikan seseorang menggunakan kedok untuk mengelabui orang lain serta menyindir kaum agamawan pada abad ke-17 yang menggunakan kesalehannya untuk mendapatkan kekuasaan. Skripsi lainnya dengan menggunakan pendekatan yang sama dilakukan oleh Retno Iswandari, mahasiswa Sastra Indonesia UGM, pada tahun 2010 meneliti tentang “Kegilaan dalam empat novel : Dadaisme, Bako, Saman dan Kalatidha” dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis Norman Fairclough. Skripsi tersebut menjelaskan kegilaan yang ditanggapi oleh masyarakat dengan reaksi yang berbeda – beda. Ada yang menganggap kegilaaan sebagai suatu hiburan atau sebagai hal untuk dipergunjingkan dan ada pula yang merasa empati atas kegilaan yang dialami oleh salah satu tokoh dengan mengasuhnya sebagai bentuk tanggung jawab dari masyarakat sekitar. Skripsi ini membuktikan, bahwa kegilaan dalam empat novel tersebut tidak lepas dari latar sosial yang menjadi salah satu penyebab utama. Pada tahun 2010, sebuah tesis dengan menggunakan pendekatan yang sama dilakukan oleh Sunarsih, mahasiswa Program Studi Linguistik
11
Pascasarjana, berjudul “Analisis Wacana Kritis terhadap Wacana Israel dan Palestina dalam Ensiklopedi Digital Microsoft Student Encarta 2009”. Ia mendeskripsikan praktik penggunaan bahasa dan praktik ideologi di balik sebuah wacana. Ia mengungkap pertarungan makna dalam membentuk suatu konstruksi pemikiran tertentu dalam benak khalayak luas pada wacana konflik Israel dan Palestina pada suatu jurnal yang diterbitkan oleh Microsoft, yaitu Microsoft Student Encarta 2009. Tesis dalam jurnal ProQuest berjudul The Representation of Nature in Zola’s La Faute de l’Abbé Mouret karya Anne Marie Chin dari Universitas McMaster Kanada (1974), menjelaskan tentang representasi alam yang ada di dalam novel, seperti dunia tumbuhan, dunia hewan, serta matahari. Masingmasing menggambarkan kehidupan duniawi yang dijalani oleh Serge Mouret bersama Albine. Sebuah artikel berjudul A Study of the Priest Type In the Novels of Édouard Estaunié ditulis oleh Christina Crane. Crane menjelaskan cara Édouard Estaunié, seorang novelis Prancis abad ke, menggambarkan tokohtokoh yang ia ciptakan melalui karakternya, khususnya tokoh pastor, yang terdapat pada beberapa novelnya seperti L'Empreinte, La Vie secrète (Taffin), L'Appel de la route (Manchon, Valfour), Tels qu'ils furent (Monseigneu), L'Epave (Salomon), dan Les Jauffrelin (Rouville). Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, belum ada yang meneliti tentang kehidupan agamawan di masa Kekaisaran II. Oleh karena itu, penelitian dengan menggunakan objek material novel La Faute de l’Abbé Mouret dengan objek formal “Dinamika Kehidupan Tokoh Utama sebagai agamawan
12
pada masa Kekaisaran II” layak untuk dilakukan. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan perspektif baru tentang kehidupan agamawan di tengah gejolak peran dan fungsi Gereja pada masa tersebut.
7. Sistematika Penyajian Penelitian ini akan disajikan dalam 4 bab, terdiri dari: 1. Bab I : berisi tentang Latar Belakang, Permasalahan, Landasan Teori, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka, Sistematika Penyajian. 2. Bab II : berisi tentang Sejarah Singkat Gereja Katolik di Prancis, Kehidupan Agamawan Sebelum dan Sesudah Masa Kekaisaran Kedua di Prancis, Émile Zola dan keluarga besar Rougon-Macquart. 3. Bab III : berisi tentang Analisis Wacana Kritis Kehidupan Kaum Agamawan dan Ideologi dalam Novel La Faute de l’Abbé Mouret. 4. Bab IV : berisi tentang Kesimpulan, Résumé, Daftar Pustaka, serta Lampiran.
13