BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966, selanjutnya disebut sebagai UU Kepariwisataan), Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Apabila dilihat dari Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587, selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah), urusan pariwisata dikualifikasikan sebagai urusan pemerintahan konkuren sub urusan pemerintahan pilihan. Berkaitan dengan urusan pemerintahan, sesuai dengan UU Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren tersebut diserahkan kepada daerah dan menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Urusan pemerintahan 1
2 konkuren yang menjadi kewenangan daerah terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan pemerintahan wajib terdiri atas urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Pemetaan urusan pemerintahan pilihan dilakukan untuk menentukan daerah yang mempunyai urusan pemerintahan berdasarkan potensi, proyeksi penyerapan tenaga kerja, dan pemanfaatan lahan. Sedangkan urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Adapun urusan pemerintahan secara lengkap dapat disampaikan sebagai berikut : URUSAN PEMERINTAHAN
ABSOLUT
KONKUREN
WAJIB
Berkaitan dengan Pelayanan Dasar
Tidak Berkaitan dengan Pelayanan Dasar
UMUM
PILIHAN
a. Kelautan dan perikanan; b.Pariwisata; c. Pertanian; d.Kehutanan; e. Energi dan sumber daya mineral; f. Perdagangan; g.Perindustrian; dan h.Transmigrasi.
Salah satu urusan pemerintahan pilihan yang dipilih Pemerintah Daerah di Provinsi Bali mendasarkan pada pembagian diatas adalah urusan bidang
3 pariwisata. Hal ini berkaitan dengan potensi yang berkembang pesat di Bali, khususnya Kabupaten Badung. Potensi utama sektor pariwisata Bali termasuk yang ada di Kabupaten Badung adalah keindahan alam dan keunikan budayanya sebagai daya tarik wisata. Sementara itu, salah satu daya tarik wisata yang sedang berkembang saat ini adalah wisata bahari (marine tourism). Dalam UU Kepariwisataan tidak ditemukan definisi mengenai wisata bahari. Konsep wisata bahari dapat ditemukan dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : PM.96/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Wisata Tirta (selanjutnya disebut Permenbudpar) yang merupakan tindak lanjut dari UU Kepariwisataan. Wisata bahari dikemukakan sebagai bagian dari wisata tirta. Hal ini dapat disimak pada Pasal 1 angka 3 Permenbudpar yang menyatakan bahwa, “Wisata bahari adalah penyelenggaraan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut”. Jenis usaha wisata bahari meliputi : a. Wisata selam; b. Wisata perahu layar; c. Wisata memancing; d. Wisata selancar; e. Dermaga bahari, dan sub jenis lainnya. Agar usaha wisata bahari ini dapat beroperasional, pengusaha pariwisata diwajibkan untuk mendaftarkan usahanya terlebih dahulu kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Hal ini telah diatur dalam Pasal 15 UU Kepariwisataan, dimana ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran usaha pariwisata
4 diatur dengan Permenbudpar. Selanjutnya Pasal 3 Permenbudpar menyatakan sebagai berikut : (1) Pendaftaran usaha pariwisata, kecuali untuk sub-jenis usaha dermaga bahari, ditujukan kepada Bupati atau Walikota tempat kedudukan kantor. (2) Pendaftaran usaha pariwisata khusus untuk sub-jenis usaha dermaga bahari, ditujukan kepada Bupati atau Walikota tempat dermaga bahari berlokasi. (3) Pendaftaran usaha pariwisata untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditujukan kepada Gubernur. Sebagai tindak lanjut dari Permenbudpar tersebut, maka Bupati Badung menetapkan Peraturan Bupati Badung Nomor 13 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Pariwisata (Berita Daerah Kabupaten Badung Tahun 2012 Nomor 13, selanjutnya disebut sebagai Perbup Badung). Sebagaimana telah disampaikan diatas bahwa wisata bahari tersebut dilakukan di kawasan perairan laut, sedangkan sesuai dengan UU Pemerintahan Daerah, laut merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi. Pasal 27 UU Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa : (1) Daerah Provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut yang ada diwilayahnya. (2) Kewenangan Daerah Provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; b. Pengaturan administratif; c. Pengaturan tata ruang; d. Ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan e. Ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara. (3) Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. (4) Apabila wilayah laut antardua Daerah provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari wilayah antardua Daerah provinsi tersebut.
5 (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. Dari uraian tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengaturan administratif antara lain berkaitan dengan aspek perizinan, kelaikan, dan keselamatan pelayaran. Dengan demikian maka pengelolaan ruang laut sampai dengan 12 (dua belas) mil di luar minyak dan gas bumi merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi termasuk penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut. Dengan demikian, dari uraian tersebut diatas dapat disampaikan bahwa berdasarkan Permenbudpar dan Perbup Badung untuk Usaha Wisata Selam pendaftarannya merupakan kewenangan Bupati, sedangkan wilayah beroperasinya dan pemanfaatan ruang laut merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi. Dampak dari pengaturan tersebut, Bupati Badung menyerahkan Penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam kepada Pemerintah Daerah Provinsi Bali melalui surat Nomor : 556/776/Adm.Eko, tanggal 5 Maret 2015, perihal : Kepastian Pelayanan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP). Persoalan lebih lanjut adalah terjadi ketidakjelasan dalam penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam akibat dari Pemerintah Daerah Provinsi Bali tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam, oleh karena itu penelitian tentang : “PENERBITAN
TANDA
DAFTAR
USAHA
WISATA
SELAM
DI
KABUPATEN BADUNG DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014” menjadi aktual dan menarik untuk dilakukan.
6 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan pokokpokok permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan kewenangan penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam sebelum dan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ? 2. Bagaimana akibat hukum terhadap kewenangan penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung setelah berlakunya
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2014
tentang
Pemerintahan Daerah ? 3. Faktor-faktor apa yang menghambat dalam penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam di Kabupaten Badung setelah berlakunya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang akan dibahas, maka perlu adanya batasan-batasan tertentu yang tercakup dalam ruang lingkup masalah. Adapun yang menjadi ruang lingkup masalahnya, adalah mengenai pengaturan kewenangan penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam sebelum dan setelah berlakunya UU Pemerintahan Daerah, akibat hukum terhadap kewenangan penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung setelah berlakunya UU Pemerintahan Daerah dan apa yang menjadi faktor-faktor penghambat dalam penerbitan Tanda
7 Daftar Usaha Wisata Selam di Kabupaten Badung setelah berlakunya UU Pemerintahan Daerah.
1.4. Orisinalitas Penelitian Untuk
menunjukan
orisinalitas
penelitian
ini,
penulis
melakukan
pemeriksaan perpustakaan. Dari hasil pemeriksaan tersebut dapat disampaikan bahwa ada penelitian terdahulu yang sejenis namun dari segi substansi berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang sejenis dengan penelitian ini adalah sebagai berikut : NO.
1.
2.
JUDUL PENELITIAN
TAHUN TEMPAT
RUMUSAN MASALAH
Kewenangan Pengelolaan Wisata Bahari oleh Pemerintah Desa di Kabupaten Badung (Suatu Studi Pengelolaan Wisata Bahari di Desa Pecatu)
2014
Fakultas 1. Bagaimana Hukum kewenangan Universitas pemerintah desa Udayana dalam pengelolaan wisata bahari di Desa Pecatu? 2. Faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat pengelolaan wisata bahari di Desa Pecatu?
Pengaturan Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Laut
2015
Fakultas 1. Bagaimana Hukum kewenangan Universitas pemerintah daerah Brawijaya dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di wilayah laut?
8 NO.
JUDUL PENELITIAN
TAHUN TEMPAT
RUMUSAN MASALAH 2. Apa akibat hukum dan solusi pengaturan kewenangan pemerintah daerah dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di wilayah laut?
1.5. Tujuan Penelitian Dalam suatu karya ilmiah pastilah mempunyai tujuan tertentu. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.5.1. Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung dalam penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam dengan berlakunya UU Pemerintahan Daerah. 1.5.2. Tujuan Khusus Sesuai dengan permasalahan yang dibahas adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan kewenangan penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam sebelum dan setelah berlakunya UU Pemerintahan Daerah. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum terhadap kewenangan penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung setelah berlakunya UU Pemerintahan Daerah.
9 3. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menghambat dalam penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam di Kabupaten Badung setelah berlakunya UU Pemerintahan Daerah.
1.6. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian secara umum dalam penulisan penelitian ini terdiri dari manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis, yang dapat dijabarkan sebagai berikut : 1.6.1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan dan manfaat teoritis sebagai bahan penelitian bagi lembaga Fakultas Hukum Universitas Udayana dan sebagai bahan referensi pada perpustakaan. Selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan pengembangan dalam ilmu hukum yang berkaitan dengan bidang pemerintahan daerah khususnya pariwisata. 1.6.2. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk memberikan pengalaman belajar dan melakukan penelitian bagi mahasiswa sehingga mahasiswa mengetahui jalannya praktek hukum di masyarakat secara langsung. 2. Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam mengambil kebijakan terkait Penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam.
10 1.7. Landasan Teoritis 1.
Teori Negara Hukum Negara Indonesia adalah negara hukum yang pada dasarnya segala tingkah
laku manusia haruslah diatur berdasarkan dengan adanya hukum yang ada, hal tersebut tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku setiap manusia dan karena itu pada hukum berupa norma yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat.1 Baharudin Lopa menyatakan, dengan penegasan sebagaimana Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut maka mekanisme kehidupan perorangan, masyarakat, dan negara diatur oleh hukum (tertulis maupun tidak tertulis). Artinya baik anggota masyarakat maupun pemerintah wajib mematuhi hukum tersebut.2 Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan dua istilah dalam bahasa asing, yaitu : a. Rechtsstaat (Belanda), digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law system. b. Rule of law (Inggris), menunju tipe negara hukum dari negara Anglo Saxon atau negara-negara yang menganut common law system.3
1
Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h. 179. 2 Baharudin Lopa, 1987, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, h. 101. 3 Gede Atmadja, I Dewa, 2010, Hukum Konstitusi : Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, h.157.
11 Konsep negara hukum di Indonesia disamakan begitu saja dengan konsep rechtstaat dan konsep the rule of law. Hal ini dapat dimaklumi karena bangsa Indonesia mengenal istilah negara hukum melalui konsep rechtsstaat yang pernah diberlakukan Belanda pada masa kedudukannya di Indonesia, pada perkembangan selanjutnya terutama sejak perjuangan menumbangkan apa yang dalam periodesasi politik disebut perjuangan menumbangkan orde lama negara hukum begitu saja diganti dengan the rule of law.4 Menurut Bagir Manan unsur-unsur terpenting dari negara hukum, dikemukakan terdiri dari : 1. Ada UUD 1945 sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya. 2. Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang secara khusus menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka. 3. Ada pemencaran kekuasaan negara atau pemerintah (spreading van de staatsmacht). 4. Ada jaminan terhadap hak asasi manusia. 5. Ada jaminan persamaan dimuka hukum dan jaminan perlindungan hukum. 6. Ada asas legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus didasarkan atas hukum (undang-undang).5 Dari uraian tersebut diatas dapat disimak bahwa adanya unsur legalitas dalam unsur negara hukum mengamanatkan agar setiap tindakan pemerintah harus berdasar atas hukum. Bila dikaitkan dengan penelitian ini maka setiap tindakan pemerintahan dalam hal ini penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam harus berdasarkan atas hukum.
4
Philipus M Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsinya, Penangannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta, (selanjutnya disingkat Philipus M Hadjon I), h. 66-67. 5 Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 35.
12 2. Teori Kewenangan Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi.6 Wewenang dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangundangan diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut : a) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat UndangUndang kepada organ pemerintahan; b) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya; c) Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya di jalankan organ lain atas namanya.7 Pelimpahan kewenangan dalam jabatan kenegaraan, menurut pendapat Suwoto Mulyosudarmo menggunakan istilah kekuasaan, karena kekuasaan dapat mencakup lebih luas dari wewenang. Pada dasarnya pemberian kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu : kekuasaan yang bersifat atributif dan derivatif. Kekuasaan yang diperoleh secara atribusi (attributie) menyebabkan terjadinya pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada yang menyebabkan adanya kekuasaan yang baru. Kekuasaan derivatif (afgeleid) adalah yang diturunkan atau diderivikasikan kepada pihak lain. Pembentukan kekuasaan bisa terjadi pada saat yang bersamaan dengan 6 Philipus M Hadjon, 1998, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid)” Pro Justitia Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, (selanjutnya disingkat Philipus M Hadjon II), h. 90. 7 Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara,UII Press, Yogyakarta, h.73-74.
13 pembentukan lembaga yang memperoleh kekuasaan dan bisa terjadi kemudian sesudah lahirnya lembaga atau badan.8 Dalam konteks penelitian ini, berkaitan dengan wewenang dapat disampaikan bahwa setiap organ pemerintahan harus memiliki kewenangan dalam melakukan tindakan hukum. Dalam hal ini, organ manapun yang menerbitkan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam harus memiliki kewenangan untuk itu. 3. Teori Otonomi Daerah Otonomi Daerah berperan penting dalam pembagian wewenang yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah yang kemudian didistribusikan lagi kepada instansi yang berwenang untuk itu. Dalam Pasal 1 angka 6 UU Pemerintahan Daerah menegaskan tentang pengertian otonomi daerah, yaitu “Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Selanjutnya Sarundajang dalam buku karangan Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik yang berjudul Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik mengartikan otonomi daerah merupakan : a. Hak mengurus rumah tangganya sendiri bagi suatu daerah otonom, hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintahan (pusat) yang diserahkan kepada daerah. b. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu diluar batas-batas wilayah daerahnya. c. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya. 8
Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara,PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, h.39.
14 d. Otonomi daerah tidak membawahi otonomi daerah lainnya.9 Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka desentralisasi di bidang pemerintahan. Menurut Tresna, yang dimaksud dengan desentralisasi dalam kaitan desentralisasi kenegaraan (staatkundige decentralisatie) adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur daerah lingkungannya sebagai usaha mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara. Desentralisasi kenegaraan
ini
dibedakan
antara
desentralisasi
territorial
(territorial
decentralisatie) dan desentralisasi fungsional (functionele decentralisatie). Desentralisasi territorial yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi), sedangkan desentralisasi fungsional yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu. 10 Pengertian ini sejalan dengan yang dikemukakan Amrah Muslimin maupun Rondinelli dan Cheema. Amrah Muslimin berpendapat desentralisasi itu sebagai “pelimpahan kewenangan pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu mengurus rumah tangganya sendiri”.11 Selanjutnya Rondinelli dan Cheema, mendefinisikan desentralisasi itu sebagai “The transfer planning, decision making, or administrative authority from the central government to its field organizations, local administrative units, semi autonomous
9
and
parastatal
organizations,
local
government,
or
non
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, 2014, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, cet. IV, Nuansa, Bandung, h. 110. 10 Kuntana Magnar, 1984, Pokok-pokok Pemerintah Daerah Otonom dan Wilayah Administratif, Armico, Bandung, h. 15-16. 11 Amrah Muslimin, 1986, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, h. 15.
15 governmental organizations.12 Secara lebih tegas lagi, mengenai kewenangan yang dilimpahkan dapat disimak pendapat Scligman tentang desentralisasi sebagaimana dikutip oleh Ermaya Suradinata yang mengemukakan desentralisasi itu sebagai “suatu proses penyerahan wewenang dari pemerintah yang lebih tinggi (yang mempunyai kekuasaan) kepada pemerintah yang lebih rendah derajatnya, menyangkut bidang legislatif, yudikatif, atau administratif”.13 Berkaitan dengan otonomi daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan demi kepentingan masyarakatnya. Mengingat dominasi potensi Kabupaten Badung adalah pariwisata maka sebagai daerah otonom, Kabupaten Badung diberi ruang untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya pariwisata secara optimal termasuk didalamnya mengatur mengenai wisata selam. 4. Teori Perizinan Salah satu bentuk dari kewenangan yang dimiliki oleh Daerah adalah perizinan yang bertujuan untuk mengendalikan setiap perilaku atau kegiatan yang dilakukan oleh individu atau golongan. Pengendalian melalui perizinan merupakan pengendalian yang bersifat preventif yang merupakan usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan terhadap norma dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat dan dilakukan sebelum terjadinya penyimpangan dengan maksud untuk melakukan pencegahan sedini mungkin guna menghindari kemungkinan terjadinya tindakan penyimpangan.
12 Rondinelli and Cheema, 1983, Decentralization and Development : Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publication, Beverly Hills, London, h.18. 13 Ermaya Suradinata, 1993, Kebijaksanaan Pembangunan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Perkembangan Teori dan Penerapan, Ramadan, Bandung, h. 46.
16 Menurut Ateng Syafrudin, izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan dimana hal yang dilarang menjadi boleh. Penolakan atas permohonan izin memerlukan perumusan limitatif.14 Sejalan dengan diberlakukannya UU Pemerintahan Daerah dimana daerah diberi kekuasaan atau wewenang mengatur rumah tangganya sendiri dan dengan demikian mau tidak mau pemerintah daerah harus membiayai pengeluarannya dengan menggunakan pendapatan daerahnya karena pemerintah pusat tidak mungkin menanggung seluruh pengeluaran daerah yang
ada.
Dengan
adanya
kondisi
tersebut
maka
pemerintah
daerah
memberlakukan suatu ketentuan tentang perizinan yang dapat menambah pendapatan daerahnya serta untuk menjalankan tertib administrasi. Izin yang dapat diberlakukan oleh pemerintahan daerah antara lain : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.
Izin Lokasi; Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT); Izin Mendirikan Bangunan (IMB); Izin Gangguan (HO); Izin Reklame; Izin Trayek; Izin Penggunaan Trotoar; Izin Pembuatan Jalan Didalam Kompleks Perumahan, Pertokoan dan sejenisnya; Tanda Daftar Perusahaan (TDP); Izin Usaha Perdagangan; Izin Usaha Industri/Tanda Daftar Industri; Tanda Daftar Gedung; Izin Pengambilan Air Permukaan. Dalam kaitan dengan teori perizinan, sesuai dengan penelitian ini maka
Pemerintah Daerah Kabupaten Badung berwenang menerbitkan perizinan dalam hal ini menerbitkan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam. Dimana tujuan penerbitan
14
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, op.cit, h. 91.
17 Tanda Daftar Usaha tersebut agar dapat mengendalikan kegiatan wisata selam di wilayahnya. 5. Teori Efektivitas Hukum Teori Efektivitas Hukum menurut Soerjono Soekanto, efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing atau merubah perilaku manusia sehinga menjadi perilaku hukum.15 Apabila seseorang membicarakan masalah berfungsinya hukum dalam masyarakat, biasanya pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum benar-benar berlaku atau tidak. 16 Dalam teori hukum, biasanya dibedakan antara tiga macam hal berlakunya hukum sebagai kaidah. Tentang hal berlakunya kaidah hukum ada anggapan sebagai berikut : 1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, dalam hal ini Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya berdasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatnya, ini didasarkan pada teori “Stufenbau”. Dalam hal ini perlu diperhatikan, apa yang dimaksudkan dengan efektivitas hukum yang dibedakannya dengan hal berlakunya hukum, oleh karena efektivitas merupakan fakta. 2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa dan hal itu terlepas dari masalah apakah masyarakat menerima atau menolak (teori kekuasaan) atau kaidah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). 3. Kaedah hukum berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. 17 Pada dasarnya berlakunya hukum dari perspektif sosiologis adalah mengenai efektivitas hukum yang akan melihat pengaruh dari kaedah hukum
15
Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, CV. Ramadja Karya, Bandung, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), h. 80. 16 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III), h. 29. 17 Ibid, h. 13-14.
18 tersebut. Menelaah efektivitas suatu perundang-undangan pada dasarnya membandingkan antara realitas hukum dengan ideal hukum. Dalam hubungannya dengan penelitian ini, akan dikaji dari teori efektivitas hukum sebagaimana telah diuraikan diatas, apakah aturan yang mengatur mengenai kewenangan penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam dapat berlaku efektif dan kemungkinan adanya beberapa faktor baik yuridis maupun non yuridis yang menghambat pelaksanaan penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam.
1.8. Metode Penelitian Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metedologi dan sistematis. Metedologi berarti menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah sedangkan sistematis berarti sesuai pedoman/aturan penelitian yang berlaku untuk karya ilmiah.18 Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.8.1. Jenis Penelitian Penelitian ini dapat dikualifikasikan sebagai penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa
18
Sutrisno Hadi, 2002, Metedologi Research, Sinar Grafika, Jakarta, h.4.
19 hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.19 Dalam penelitian ini yang diteliti adalah pelaksanaan dalam penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam di Kabupaten Badung setelah diterbitkannya UU Pemerintahan Daerah. 1.8.2. Jenis Pendekatan Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fakta (The Fact Approach) dan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach). Pendekatan fakta adalah pendekatan yang dilakukan dengan melihat langsung di lapangan berdasarkan fakta yang ada di Kabupaten Badung dalam penerbitan Tanda Daftar Usaha Wisata Selam oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung. Data yang diperoleh tersebut untuk selanjutnya dibahas dengan kajiankajian berdasarkan teori-teori hukum dan kemudian di sambung dengan pendekatan perundang-undangan. Sedangkan pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan berdasarkan pada norma-norma hukum/kaidah-kaidah yang berlaku yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Peraturan 19
Menteri
Kebudayaan
dan
Pariwisata
Nomor
:
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Cipta Aditya Bakti, Bandung, h. 134.
20 PM.96/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Wisata Tirta, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan, Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 15 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Wisata Selam, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2007 tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta, Peraturan Gubernur Bali Nomor 24 Tahun 2008 tentang Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta dan Peraturan Bupati Badung Nomor 13 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Pariwisata yang berkaitan dengan bahasan permasalahan ini. 1.8.3. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. 1.8.4. Data dan Sumber Data Adapun data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua) sumber, yaitu : a) Data Primer Untuk mendapatkan data primer maka dilakukan penelitian lapangan (Field Research), yaitu dengan cara melakukan penelitian secara langsung dari sumbernya yakni pada Dinas Pariwisata Provinsi Bali dan Dinas Pariwisata Kabupaten Badung.
21 b) Data Sekunder Untuk mendapatkan data sekunder dilakukan penelitian kepustakaan (Library Research) yang terdiri dari : 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mengikat yaitu berupa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UndangUndang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : PM.96/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Wisata Tirta, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan, Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 15 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Wisata Selam, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2007 tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta, Peraturan Gubernur Bali Nomor 24 Tahun 2008 tentang Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta dan Peraturan Bupati Badung Nomor 13 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Pariwisata.
22 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang isinya membahas bahan hukum primer, seperti buku-buku dan artikel hukum yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Selain itu juga digunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui internet. 1.8.5. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu Teknik Wawancara dan Teknik Studi Dokumen. 1. Teknik Wawancara Wawancara adalah proses interaksi dan komunikasi serta cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang diwawancarai. Wawancara ini dilakukan dengan narasumber terkait yaitu Kepala Bidang Pengendalian Usaha Pariwisata, Dinas Pariwisata Provinsi Bali dan Kepala Bidang Sarana Pariwisata, Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, dimana dilakukan dengan teknik tanya jawab dan diharapkan dapat berlangsung terarah. Disamping itu agar tercapai proses tanya jawab yang terbuka dari informan, maka tanya jawab tersebut dikembangkan di sekitar pokok permasalahan sehingga relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. 2. Teknik Studi Dokumen Teknik studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam melakukan penelitian ini dengan cara mengumpulkan data berdasarkan pada benda-benda berbentuk tulisan, dilakukan dengan cara mencari, membaca, mempelajari dan memahami data-data sekunder yang berhubungan dengan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji yang berupa buku-buku, majalah,
23 literatur, dokumen, dan peraturan yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti. 1.8.6. Pengolahan dan Analisis Data Apabila keseluruhan data yang diperoleh dan sudah terkumpul baik melalui studi dokumen ataupun dengan wawancara, kemudian mengolah dan menganalisis secara kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara data yang ada dan berkaitan dengan pembahasan, selanjutnya disajikan secara deskriptif analisis. Maksudnya data yang telah rampung dipaparkan dengan disertai analisis sesuai dengan teori yang terdapat pada buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, guna mendapat kesimpulan sebagai akhir dari penulisan penelitian ini.