BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Manusia sebagai mahluk hidup mempunyai suatu kebutuhan yang harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan kehidupannya dan untuk dapat hidup lebih baik. Pemenuhan kebutuhan tersebut sudah merupakan pembawaan sejak lahir atau biasa disebut dengan naluri, dengan naluri tersebut manusia berusaha untuk memenuhinya (Bibit Suprapto 1990; 22). Adapun kebutuhan manusia yang sifatnya universal dapat dibagi menjadi tiga yaitu; (1) kebutuhan hidup mendasar atau primer, (2) kebutuhan sosial, (3) kebutuhan integratif. (Kuswanto, 1987: 9). Kebutuhan mendasar atau primer ini terdiri dari kebutuhan makan, minum, istirahat, pakaian, kesehatan, dan kebutuhan biologis atau seksual. Kebutuhan biologis atau seksual ini muncul karena adanya dorongan untuk berproduksi dengan tujuan agar mendapatkan anak sebagai generasi penerus dari sebuah keluarga. Bagi manusia pemenuhan kebutuhan biologis ini diatur sesuai dengan norma-norma yang berlaku, yaitu melalui perkawinan. (Kuswanto, 1987). Perkawinan merupakan penyaluran dorongan naluri seksual secara benar dan sah dan merupakan lembaga yang melegalisir hubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan yang hidup terikat sebagai suami istri, selain itu juga perkawinan merupakan pembeda antara hubungan seksual untuk ummat manusia dengan hubungan seksual cara binatang (Bibit Suprapto, 1990; 27) 1
Perkawinan dipandang dari sudut kebudayaan adalah pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan sexnya, ialah kelakuan-kelakuan sex, terutama persetubuhan. Perkawinan menyebabkan bahwa seorang laki-laki dalam pengertian masyarakat tidak dapat bersetubuh dengan sembarang wanita lain tetapi hanya
dengan
satu
atau
beberapa
wanita
tertentu
dalam
masyarakat.
(Koentjaraningrat, 1980: 90). Jadi disamping pengaturan tentang bagaimana seharusnya manusia melangsungkan hubungan biologis dalam rangka memenuhi naluri dan kebutuhan biologisnya, perkawinan juga mengatur bagaimana seorang suami atau istri melakukan penyesuaian diri dengan pasangannya masing-masing (Sulastomo, 1983: 12). Tujuan manusia melakukan perkawinan dapat dilihat dari beberapa sudut seperti dari sudut pandang agama, bahwa manusia melaksanakan perkawinan dengan tujuan: memenuhi tuntutan hajat tabiat manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariat (Soemiyati, 1982: 12). Sedangkan dari sudut pandang biologis perkawinan, maka manusia melakukan perkawinan dengan tujuan untuk mendapatkan anak sebagai generasi penerus (Sulastomo, 1983: 9). Adapun tujuan perkawinan menurut adat adalah untuk melaksanakan seruan
agama dan untuk
(Depdikbud, 1978: 25).
2
menjaga kelangsungan keturunan
Manusia sebagai mahluk yang berbudaya dan memiliki peraturan-peraturan tertentu dalam memenuhi kebutuhan biologis atau sexnya diatur lewat suatu lembaga yang disebut perkawinan. Agar tidak merugikan satu pihak maka dalam perkawinan tersebut terdapat aturan-aturan mengenai perkawinan baik yang berdasarkan undangundang formal, hukum agama maupun berdasarkan adat dimana ia tinggal (Mawardi, 1974: 67). Perkawinan sejak tahun 1974 telah diatur melalui suatu undang-undang yang dikenal dengan undang-undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil, karena berkaitan erat dengan akibat-akibat perkawinan, baik yang menyangkut dengan anak (keturunan) maupun yang berkaitan dengan harta (Anshary 2010; 12-15). Undangundang Nomer 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah merumuskan kriteria keabsahan suatu perkawinan, yang diatur dalam pasal 2, sebagai berikut: 1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Didalam hukum islam, rukun nikah itu terdiri dari: 1. Calon mempelai laki-laki, dan calon mempelai perempuan. 2. Wali dari mempelai perempuan. 3. Dua orang saksi. 4. Ijab dan kabul.
3
Jenis perkawinan secara universal dapat digolongkan menjadi dua yaitu; (1) perkawinan monogami (mono = satu, gamein = kawin) yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, seorang suami hanya memiliki seorang istri dan seorang istri hanya memiliki seorang suami sampai salah seorang atau keduanya meninggal dunia ataupun kemudian bercerai tidak ada pergandaan dalam hal ini. (2) perkawinan poligami ( poly = banyak, gamein = kawin ) yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan, atau seorang perempuan kawin dengan beberapa orang laki-laki. Maksudnya seorang suami mempunyai beberapa orang istri atau sebaliknya seorang istri mempunyai beberapa orang suami. Perkawinan model ini dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu poligini bila seorang suami mempunyai beberapa orang istri dan polyandri bila seorang istri mempunyai beberapa orang suami. karena pada masa sekarang polyandri jarang terjadi dan istilah ini kurang populer, maka istilah poligami diartikan sama dengan poligini yang kurang populer pula, di mana seorang suami mempunyai beberapa orang istri yang biasanya berjalan berangsur tidak sekaligus (Suprapto Bibit 1990; 61). Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat adalah perkawinan poligini karena perkawinan ini mengandung pandangan yang kontroversial (Mulia, 2004; 43). Perkawinan poligini kerap menjadi isu yang sangat menarik untuk diteliti seperti yang diketahui bahwa semenjak tahun 1928 salah satu tuntutan dari emansipasi wanita adalah supaya diatur dan dicegah perkawinan poligini yang sewenang-wenang (Shanti, 1988: 176). Sehingga untuk tegaknya hak asasi manusia terutama hak kaum wanita dalam perkawinan maka muncullah undang4
undang perkawinan RI No.1 Tahun 1974. Agar pengadilan dapat mengabulkan permohonan izin poligami tersebut, pengajuan perkara tersebut harus memenuhi alasan-alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomer 1 tahun 1974, yakni: 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. 2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Kemudian persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang akan mengajukan permohonan izin berpoligami kepada pengadilan sebagai mana diatur dalam Pasal 5, adalah: 1. Harus ada persetujuan dari istri 2. Harus ada kepastian bahwa sang suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri dan anak-anak mereka. 3. Harus ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Dari ketentuan-ketentuan peraturan tersebut tampak jelas bahwa untuk melakukan perkawinan poligini dibutuhkan persyaratan yang sangat berat, tidak hanya kesanggupan berlaku adil, tetapi diperlukan pula persetujuan dari istri terdahulu. Disini tampak sekali bahwa undang-undang sangat mempersulit bagi seorang untuk melakukan perkawinan poligami (Anshary 2010; 89-91). Namun tidak demikian yang terjadi pada masyarakat Mamben Lauk, sebagian besar warganya melakukan perkawinan poligini tanpa mengindahkan persyaratan5
persyaratan yang sudah ditentukan oleh negara dalam undang-undang No1 Tahun 1974 seperti yang tercantum di atas sehingga berdampak kepada sang istri beserta anak-anaknya. Desa Mamben Lauk merupakan salah satu bagian dari Kecamatan Wanasaba Kabupaten Lombok Timur, Desa ini tergolong cukup homogen dimana masyarakatnya semua asli Suku Sasak yang sudah lama menetap di Desa Mamben Lauk. Keadaan seperti ini tentunya tidak ada perbedaan yang berarti baik dalam bidang sosial budaya maupun agama. Lahirnya Desa Mamben Lauk diperkirakan pada abad ke- 13 yaitu tahun 1545 M, dari masa pemerintahan kerajaan Selaparang. Desa Mamben Lauk berasal dari Bahasa Arab yaitu “Naban”
artinya membina
(sebagai wilayah pembinaan Agama kerajaan Selaparang). Kerajaan Selaparang bukan saja berfungsi sebagai kerajaan saja tetapi sebagai salahsatu kerajaan penyebar agama bagi masyarakat Lombok pada umumya dan pada masyarakat Mamben Lauk pada khususnya, penyebaran Agama Islam ke Desa Mamben Lauk oleh kerajaan Selaparang tergolong sukses hal ini bisa dilihat dari jumlah penduduk yang berjumlah 16.712 jiwa, kesemuanya memeluk Agama Islam. Keberhasilan dari kerajaan Selaparang dalam hal penyebaran agama juga terlihat sekali dari corak kehidupan di Desa Mamben Lauk, corak kehidupan di daerah ini banyak bersumber dari Ajaran Agama Islam sehingga apa yang diperbuat dan apa yang diucapkan merupakan panutan dari Ajaran agama Islam, salah satunya tentang perkawinan poligini yang diperbolehkan dalam Ajaran Agama Islam. Secara umum argumentasi yang dijadikan landasan kebolehan berpoligini oleh Masyarakat
6
Desa Mamben Lauk yaitu tertuang dalam Ajaran Islam adalah firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat an-Nisa disebutkan bahwa: Jika kamu takut tidak dapat berbuat adil terhadap perempuan-perempuan yatim (jika kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap mereka (dalam perkawinan poligini), maka nikahilah seorang saja atau (nikahilah) budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih kepada perbuatan yang tidak aniaya (Al-Qur,an Surat an-Nisa Ayat 3). Argumen yang sifatnya umum inilah yang menjadi pedoman masyarakat Desa Mamben Lauk untuk melakukan perkawinan poligini yang dikenal dengan istilah perkawinan memedu. Hasil pengamatan di lapangan jumlah perkawinan memedu yang dilakukan oleh masyarakat Desa Mamben Lauk, semakin bertambah dari tahun ke tahun, kondisi ini salah satu penyebabnya adalah kecenderungan untuk melakukan perkawinan memedu di ikuti dari satu generasi ke generasi berikutnya, misalnya si bapak pelaku perkawinan memedu maka ada kecenderungan diantara anak-anaknya ada yang melakukan perkawinan memedu baik yang sebagai pelaku utama ataupun sebagai korban perkawinan memedu. Oleh karena itu sekalipun tidak terdaftar secara resmi jumlah masyarakat Desa Mamben Lauk yang melakukan perkawinan memedu terus bertambah dari tahun ketahun. Perkawinan memedu berdampak terhadap harkat dan martabat perempuan baik sebagai istri pertama maupun istri muda. Konflik sering terjadi diantara istri-istri dalam keluarga yang memedu, bahkan konflik itu melibatkan keluarga luas dari istri 7
pertama atau istri tua dengan keluarga luas istri kedua atau istri muda serta keluarga luas dari pihak suami. Perendahan derajat kaum perempuan dan konflik dalam rumah tangga merupakan permasalahan yang tidak diinginkan oleh siapapun oleh karena itu bagaimana proses pengambilan keputusan untuk melakukan perkawinan memedu sangat menarik juga untuk dikaji. Segala sesuatu tentu ada proses dan hasil atau dampaknya berkenaan dengan itu maka dampak perkawinan memedu baik dalam hubungan suami dengan istri pertama beserta keluarganya maupun hubungan antar para istri beserta keluarganya perlu dikaji juga. Hal inilah yang memotivasi penulis sebagai Mahasiswa Antropologi untuk mengkaji lebih khusus dan mendalam tentang “perkawinan Memedu di Desa Mamben lauk Kecamatan Wanasaba Kabupaten Lombok Timur NTB.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitin dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang pengambilan keputusan melakukan perkawinan memedu ? 2. Bagaimana proses perkawinan memedu ? 3. Bagaimana implikasi perkawinan memedu dalam kehidupan rumah tangga hasil perkawinan memedu ?
8
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian di bagi menjadi dua: 1. Tujuan Umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk memahami perkawinan memedu di Desa Mamben Lauk Kecamatan Wanasaba Kabupaten Lombok Timur NTB. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana latar belakang pengambilan keputusan melakukan perkawinan memedu di Desa Mamben Lauk. b. Untuk mengetahui bagaimana proses perkawinan memedu di Desa Mamben Lauk. c. Untuk mengetahui implikasi perkawinan memedu terhadap keberlanjutan keluarga tersebut.
1.3.2 Manfaat Penelitian Melalui tulisan ini diharapkan mendapatkan manfaat sebagai suatu masukan dan informasi dalam ilmu pengetahuan mengenai perkawinan memedu di Desa Mamben Lauk. Dan juga sebagai masukan bagi para pembaca dengan harapan semoga dapat menambah wawasan mengenai perkawinan memedu yang terjadi di Desa Mamben Lauk Kecamatan Wanasaba Kabupaten Lombok Timur.
9
Adapun manfaat teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain, sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan topik yaitu perkawinan memedu di
Desa Mamben Lauk Kecamatan Wanasaba Kabupaten Lombok Timur NTB. b. Hasil dari penelitian dapat menambah pengetahuan tentang fenomena yang terjadi pada masyarakat Mamben Lauk terkait masalah perkawinan memedu. 2. Manfaat praktis a. Dari hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi lembaga perkawinan agar lebih ketat mengawasi praktek memedu yang terjadi pada masyarakat Lombok pada umumnya dan pada masyarakat Mamben lauk pada khususnya. b. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat
yang
menginginkan
perkawinan
memedu
dengan
mempertimbangkan implikasi yang ditimbulkan oleh adanya perkawinan memedu bagi keluarga.
10
1.4 Kerangka Teori dan Konsep 1.4.1 Kerangka Teori Mengacu pada rumusan masalah yang diangkat, maka perlu kerangka teori yang dianggap relevan untuk memahami gejala yang dianalis. Untuk itu maka perlu dijabarkan teori tentang tujuan perkawinan, proses perkawinan dan implikasinya yang dapat dijabarkan sebagai berikut: 1.4.1.1 Tujuan Perkawinan Sebagaimana perkawinan biasa, seorang laki-laki tertarik kepada wanita lantas berusaha untuk mengawininya tidak terlepas dari beberapa pertimbangan mengapa laki-laki itu memilih jodoh si dia sebagai calon istrinya. Pertimbangan itu tidak terlepas dari empat macam alternatif yaitu karena kecantikannya, karena keturunannya, karena kekayaannya dan karena agama atau budi pekertinya. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dalam Hadisnya menyatakan: wanita itu dinikahi karena empat macam pertimbangan yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, kedua tanganmu akan terpelihara. ( Riwayat Bukhari-muslim dalam Bibit Suprapto 1990; 179). Perkawinan tidak hanya bermodalkan cinta antara laki-laki dan wanita, melainkan menurut pula kesetaraan status sosial ekonomi, (Goode 1982, dalam Atmadja 2010; 251). Selain berdasarkan diri pada cinta atau tresna, juga mempertimbangkan bibit-bobot-bebet. Bibit berarti menimbang calon pendamping berdasarkan latar belakang keturunan. Bobot berarti menimbang tingkat pendidikan,
11
pangkat, dan derajat. Bebet berarti menimbang sifat, watak dan tingkah laku (Edraswara 2002 dalam Atmadja 2010; 251). Manusia memiliki naluri untuk mengembangkan keturunan dan kelangsungan hidup guna mewarisi cita-cita hidupnya. Dalam hal inilah manusia melaksanakan perkawinan, selain itu manusia melaksanakan perkawinan memiliki tujuan. Adapun tujuan orang melakukan perkawinan antara lain sebagai berikut: 1. Untuk memperoleh keturunan yang sah. Memperoleh atau mempunyai anak dalam penghidupan manusia mengandung dua segi kepentingan, yaitu kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Kepentingan umum yaitu berhubungan dengan keturunan yang akan menjadikan penyambung keturunan dan perkembangan guna meramaikan kemakmuran manusia, sedangkan kepentingan pribadi yakni keinginan manusia untuk memperoleh anak, bisa dipahami karena itulah yang diharapkan oleh orang tua yakni dapat membantu kedua orang tuanya kelak. 2. Untuk memenuhi tuntunan hajat hidup tabiat kemanusiaan. Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia dengan jenis laki-laki dan perempuan saling mengandung daya tarik antara yang satu dengan yang lainnya. Dilihat dari sudut pandang biologis daya tarik itu adalah kebirahian atau sekssual, tetapi hajat sekssual itu bukanlah satu-satunya daya tarik untuk melangsungkan perkawinan.
12
3. Untuk menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan Salah satu faktor yang menjerumuskan manusia ke dalam kancah kejahatan dan kerusakan adalah karena pengaruh bahwa nafsu atau gairah sekssual. Apabila kerusakan tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya, dan tidak ada saluran yang sah, maka manusia itu akan mencari jalan yang tidak halal dan dapat menyebabkan kerusakan serta kejahatan bagi dirinya dan orang lain. Karena itulah satu-satunya cara untuk menghindari hal tersebut adalah dengan cara perkawinan. 4. Membentuk rumah tangga yang merupakan basis pertama dari masyarakat. Keluarga merupakan satu-kesatuan yang nyata dari bangsa manusia, keluarga sebagai kelompok masyarakat tempat lahirnya dan berkembangnya peradaban manusia. Tampa adanya perkawinan tidak ada keluarga dengan sendirinya dan tidak ada yang mempersatukan unsur-unsur bangsa manusia sebagai kelanjutan tidak ada peradaban. Hanya keluarga dapat menyusun bangsabangsa manusia dan dengan keluarga bisa terbentuk peradaban” (Nadiman, 1987: 11). 5. Untuk menumbuhkan aktivitas dalam mencari rezeki dan memperbesar rasa tanggung jawab. Dalam rumah tangga suami bertanggung jawab mencari rezeki untuk keluarganya. Di dalam rumah tangga pula orang berbuat sesuatu kebajikan kepada manusia, perasaan dan kewajiban semakin tumbuh, kehidupan rumah tangga sebagai latihan untuk kebajikan, sebab di dalamnya orang berusaha melaksanakan kewajiban dan rasa tanggung jawab, belajar 13
menghargai hak orang lain untuk memproleh kebahagiaan dan kenikmatan (Nadiman, 1987: 34-40). 6. Untuk mempererat hubungan persaudaraan Perkawinan juga merupakan sarana untuk mempererat hubungan persaudaraan atau ukhuah, bagi umat islam tentu saja ukhuwah islamiah, bagi untuk ruang lingkup sempit maupun luas. Secara umum laki-laki mempunyai motivasi yang menyebabkan terjadinya perkawinan poligini seperti yang ada dibawah ini: a. Motivasi seksual yaitu motivasi yang dipergunakan oleh laki-laki itu di dalam hal perpoligini hanyalah untuk memberi kepuasan seksual (kepuasan syahwati) bagi dirinya. b. Motivasi ekonomi yaitu motivasi yang menyangkut kebutuhan materi atau kebutuhan jasmani, kebutuhan makan minum kebutuhan sandang pangan dan papan serta kebutuhan hidup lainnya yang bersifat materi. c. Motivasi politik, yang sebenarnya motivasi ini tidak secara langsung tetapi sulit untuk diketahui oleh orang awam, kecuali oleh orang-orang tertentu. d. Motivasi perjuangan, baik perjuangan politik, perjuangan keagamaan, perjuangan ideologi, dan sebagainya. e. Motivasi regenerasi, motivasi untuk mendapatkan keturunan. f. Motivasi kebanggaan diri yaitu laki-laki yang dapat melaksanakan poligini bukanlah sembarang orang, hanyalah orang-orang pilihan yang dapat melaksanakannya. 14
g. Motivasi keagamaan dan menalurikan sosial budaya tertentu.
1.4.1.2 Proses Perkawinan Mengingat perkawinan merupakan peristiwa sosial yang luas, maka orang akan berinisiatif kawin (di dalam hampir semua masyarakat di dunia itu selalu lakilaki yang memenuhi syarat-syarat (Koentjaraningrat, 1992: 1003). Lebih lanjut Koentjaraningrat membagi syarat-syarat kawin itu dapat dilihat dalam adat istiadat berbagai suku bangsa yang ada di dunia yakni ke dalam tiga macam: a. Maskawin atau Bride-Price Maskawin atau bride-Price adalah sejumlah harta yang diberikan oleh pemuda kepada gadis, dan kaum kerabat gadis sebagai pengganti kerugian yang dialami oleh keluarga atau kerabat si gadis. Dan besar kecilnya maskawin tergantung dari perundingan kedua belah pihak. Pada dasarnya maskawin itu adalah sebagai syarat perkawinan kemudian dicampur dengan berbagai unsur-unsur kebudayaan. b. Pencurahan tenaga untuk kawin atau Bride-service Yaitu adat untuk melamar gadis dengan cara bekerja bagi keperluan keluarga sigadis. Pada banyak masyarakat di dunia adat ini malahan berdampingan dengan adat menetap sesudah menikah didekat rumah keluarga atau kerabat suami.
15
c. Pertukaran gadis atau Bride-Exchange Yakni mewajibkan bagi seseorang yang melamar seorang gadis untuk menyediakan gadis dari kaum kerabat gadis yang dilamar. Namun adat seperti ini tidak banyak di dunia (Koentjaraningrat, 1992: 103-106). Seperti yang telah dikemukakan, bahwa tujuan perkawinan yang dikehendaki adalah untuk membentuk keluarga bahagia kekal dan sejahtera. Untuk mencapai itu Saragi mengatakan bahwa “untuk mencapai tujuan ini pada prinsipnya calon suami dan isteri haruslah telah masak jiwa serta raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan” (Saragi, 1992: 17). Lebih lanjut Saragi mengatakan bahwa syarat-syarat perkawinan berdasarkan hukum adat dan undang-undang perkawinan RI No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut: a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Maksudnya bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal serta sesuai pula dengan hak-hak asasi manusia, maka calon-calon yang akan melangsungkan perkawinan haruslah atas dasar keinginan mereka, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. b. Untuk melangsungkan perkawinan, seorang pria yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. c. Dalam hal salah seseorang dari orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin atau hendak cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup dari orang tua yang mampu menyatakan kehendak. 16
d. Dalam hal kedua orang tua yang telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka cukup dari wali orang yang memelihara atau orang yang masih mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas. e. Atau bisa di pengadilan setempat setelah mendengar dari orang-orang yang tersebut di atas (Saragi, 1992: 17-18). Selain itu juga kalau ada warga yang ingin melakukan perkawinan poligini agar perkawinan tersebut mendapatkan pengabulan dari pengadilan maka pengajuan perkara tersebut harus memenuhi alasan-alasan sebagai mana diatur dalam pasal 4 Undang-undang Nomer 1 Tahun 1974, yakni sebagai berikut: a. Istri tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Kemudian persyaratan yang lain yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang kan mengajukan permohonan izin berpoligini kepada pengadilan, sebagaimana diatur dalam pasal 5, adalah sebagai berikut: a. Harus ada persetujuan dari istri b. Harus ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keprluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. c. Harus ada jaminan bahwa suami akan bisa berlaku adil terhap istri-istri dan anak-anaknya.
17
1.4.1.3 Implikasinya Dengan adanya perkawinan poligini jelas tidak akan terlepas dari problematika yang melingkupinya sebagaimana layaknya kehidupan perkawinan dan keluarga. Apalagi perkawinan poligini merupakan perbuatan cukup sensitif, maka menjadi penyebab mudah tersinggung dan terbakar oleh sifat-sifat amarah, baik suami maupun istrinya baik dari istri tua maupun dari istri muda beserta anak-anak mereka. Problematika dalam kehidupan poligini tidak dapat dihindarkan begitu saja tampa adanya usaha dari yang bersangkutan untuk mengatasinya. Terjadinya perkawinan poligini tidak terlepas dari adanya problem yang terjadi dalam kehidupan perkawinan atau kehidupan keluarga adalah hubungan antara suami dengan istri atau antara mereka dengan orang tua dan mertuanya. Problematika keluarga yang sering dan lebih bersifat khusus adalah problematika yang terjadi dalam hubungan antara suami dengan istri itu sendiri baik yang menyangkut kemesraan,
kepuasan
masing-masing fihak
dalam
kehidupan
seksual
dan
problematika lain yang menyangkut antara keduanya. Problematika keluaraga yang menyangkut poligami yang sering terjadi dan menyebabkan terjadinya poligini karena kekurang puasan suami terhadap istri, si suami melihat istrinya kurang bergairah dalam hubungan seksual sehingga sang suami merasa kurang tercukupi masalah seksnya.
18
1.4.2 Konsep Perkawinan Perkawinan adalah suatu transaksi yang menghasilkan suatu kontrak di mana seseorang (pria atau wanita, korporatif atau individual, secara pribadi atau melaui wakil) memiliki hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang wanita secara seksual hak ini mempunyai prioritas atas hak untuk menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap wanita tersebut (kecuali yang melalui transaksi semacam), sampai kontrak hasil transaksi itu berakhir dan wanita yang bersangkutan dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough dalam Rojer Mar. Kessing 1992: 6). Berdasarkan sudut pandang Agama Islam bahwa perkawinan atau nikah adalah melakukan akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang lakilaki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan dasar suka-rela dan keredaan kedua belah pihak untuk mengujudkan suatu kebahagiaan hidup keluarga yang meliputi rasa kasih sayang dan ketentaraman dengan cara-cara yang diridoi oleh Allah (Soemiyati, 1982: 8). Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah ikatan lahir bathin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri, untuk membentuk keluarga sejahtera kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
19
Memedu Istilah “poligami” berasal dari bahasa Yunani, dari kata “Poly” yang berarti banyak dan “Gamein” yang artinya kawin. Dalam pengertian bahasa (leterleg) poligami berarti kawin banyak, mungkin seorang laki-laki kawin dengan banyak perempuan atau seorang perempuan kawin dengan banyak laki-laki atau dapat berarti sama banyak pasangan laki-laki dan perempuan yang mengadakan transaksi perkawinan (Anshary, 2010; 85). Dalam pengertian umum yang berlaku di masyarakat kita sekarang ini poligami diartikan seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita. Menurut antropologi sosial poligami memang mempunyai pengertian seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita atau sebaliknya. Poligami dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu: 1. Polyandri yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki. 2. Poligini yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan ( Bibit Suprapto, 1990; 71). Perkawinan seorang laki-laki dengan lebih satu wanita (Emiliana Mariah dkk 2003: 95-108). Menurut Depdikbud poligini ialah kebiasaan perkawinan ”seorang pria dengan beberapa wanita (istri). Adapun konsep yang ada di kalangan masyarakat Desa Mamben Lauk tentang Memedu yakni “ dengan mame si luek seninane” seorang laki-laki yang memiliki banyak istri.
20
1.5.1 Model
Budaya Islam Mamben
Faktor Domestik
Faktor Sosial Budaya
- Seksual
- Kepercayaan
- Kebanggaan
Perkawinan Memedu
- Lingkungan Keluarga
- Ingin Punya Anak
- Masyarakat
- Tabiat Buruk Istri
- Senggeger
- Ekonomi
Keluarga Harmonis / Disharmonis
21
1.5.2 Penjelasan Model Masyarakat Desa Mamben Lauk tergolong cukup homogen yaitu semua masyarakatnya asli Suku Sasak yang merupakan masyarakat yang sudah lama menetap. Keadaan tersebut di atas sudah barang tentu tidak ada perbedaan yang berarti baik dalam bidang sosial, budaya, dan agama. Berdasarkan sejarah terjadinya Desa Mamben Lauk sendiri berasal dari kata Naban yang artinya pembinaan dari kerajaan Selaparang, pembinaan disini yang dimaksud adalah pembinaan Ajaran Agama Islam. Pembinaan yang dilakukan oleh kerajaan Selaparang cukup dibilang sukses hal ini bisa dilihat dari jumlah masyrakat Mamben Lauk yang memeluk Agama Islam yakni (100%). Ajaran Agam Islam di daerah ini sangat terlihat sekali, hal ini dikarenakan ajaran-ajaran agama diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Maraknya fenomena perkawinan poligini atau perkawinan memedu yang terjadi di Desa Mamben Luak, disebabkan karena budaya yang sudah bercampur dengan ajaran agama yang tidak melarang adanya poligini bagi Umat Islam, ajaran agama tidak melarang seseorang memiliki istri lebih dari satu apabila bisa berlaku adil bagi istri-istrinya. Jika alasan ini dijadikan pembenaran bagi sebagian besar masyarakat Desa Mamben Lauk yang ingin melaksanakan perkawinan poligini, hal ini akan menimbulkan suatu pertanyaan, apakah agama dilahirkan oleh kebudayaan atau sebaliknya agama yang melahirkan kebudayaan, jika argumen yang sering di uangkapkan oleh Masyarakat Desa Mamben Lauk terkait dengan pertanyaan di atas, maka kita bisa simpulkan bahwa agamalah yang melahirkan kebudayaan berdasarkan alasan yang diungkapkan maka agamalah yang menjadi awal dari perkawinan 22
poligini selain dari alasan-alasan yang ada pada diri pelaku, sehingga perkawinan memedu yang ada di Desa Mamben Lauk. Selain yang disebutkan di atas, perkawinan memedu dipengaruhi juga oleh beberapa faktor, baik faktor yang ada dalam pelaku sendiri dan faktor dari lingkungan, adapun faktor penyebab terjadinya perkawinan poligini dari pelaku Yaitu: masalah seksual, kebanggaan, regenerasi, sifat dari sang istri, ekonomi. Faktor lingkungan yaitu Kepercayaan, lingkungan keluarga, masyarakat, senggeger. Faktor seperti yang disebutkan di ataslah merupakan pemicu terjadinya perkawinan poligini yang terjadi di Desa Mamben Lauk. Setelah terbentuknya perkawinan memedu maka sang suami memiliki dua istri bahkan lebih, hal ini tentu saja menjadi permasalahan yang akan dihadapi oleh sang suami, dimana di dalam ajaran Agama Islam yang telah memperbolehkan poligini dilakukan dengan syarat apa bila sang suami bisa berlaku adil bagi istri-istrinya dan anak-anaknya. Keluarga poligini bisa saja menjadi harmonis atau sebaliknya disharmonis, hal tersebut tidak lain ditentukan oleh sang suami jika sang suami bisa berlaku adil dan bisa memposisikan dirinya sebagai kepala keluarga maka perkawinan memedu tersebut bisa akan menjadi harmonis, tetapi sebaliknya jika sang suami tidak bisa berlaku adil dan tidak bisa memposisikan dirinya sebagai kepala keluarga maka keluarga tersebut besar kemungkinannya menjadi disharmonis.
23
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di Desa Mamben Lauk Kecamatan Wanasaba Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Alasan daerah ini diangkat sebagai lokasi penelitian karena di daerah ini masih banyak masyaraktnya yang melakukan praktek perkawinan poligini atau perkawinan memedu, sekalipun data tentang perkawinan memedu tidak jelas namun bisa diperkirakan jumlah masyarakat yang melakukan perkawinan memedu semakin bertambah dari tahun ketahun hal ini disebabkan karena perkawinan memedu di ikuti dari generasi ke generasi. Selain itu di lokasi ini juga masih banyak dijumpai bahkan sebagian besar dari pelaku perkawinan memedu melakukan praktek perkawinan poligini tanpa mengikuti persyaratan undang-undang perkawinan RI No.1 Tahun 1974. 1.6.2 Penentuan Informan Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, teknik penentuan informan dilakukan secara purposive sampling yaitu metode dengan cara memilih sampel-sampel tertentu dengan mengabaikan sampel-sampel lainnya, karena sampel tertentu itu memiliki ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki oleh sampel-sampel lainnya (Irawan, 1999: 183). Pilihan sampel secara purposive ini, karena sejumlah hal yang dicari tersebut tampil menonjol dan lebih mudah digali maknanya. Informan dalam penelitian ini adalah 6 keluarga perkawinan memedu yang ada di Desa Mamben Lauk. Penentuan informan dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: (a) keluarga yang dikenal oleh peneliti merupakan keluarga yang sudah lama 24
dikenal oleh peneliti dan mempunyai hubungan baik dengan peneliti. Hal ini tentunya dijadikan pertimbangan karena keluarga tersebut akan lebih menerima dan terbuka dan mudah berkomonukasi dengan peneliti, karena permasalahan yang diangkat oleh peneliti merupakan permasalahan ranah domistik keluarga sehingga permasalahanpermasalahan
dalam
keluarga
dianggap
tidak
boleh
diceritakan
bahkan
dipublikasikan kepada orang lain. (b) jumlah istri yang dimiliki pada saat dilakukan penelitian dalam hal ini dipilih informan yang memiliki istri 2 dan 3. (c) Keberlanjutan antara generasi yang melakukan perkawinan memedu, yaitu dari kakek diikuti oleh bapak, dari bapak diikuti oleh anak laki-lakinya demikian seterusnya. (d) usia atau umur dari para pelaku perkawinan memedu yaitu mereka yang berusia generasi anak 17-25, generasi bapak 30 tahun ke atas.
1.6.3 Pendekatan Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi. Pendekatan
ini
melihat
bahwa
pengalaman
subjektif
atau
pengalaman
fenomenologikal, dan suatu studi tentang kesadaran dari prespektif pokok dari seseorang atau menunjuk pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjek yang ditemui. Pendekatan ini memiliki riwayat yang cukup panjang dalam penelitian sosial termasuk psikologi, sosiologi, dan pekerjaan sosial. Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia. Sebagai bidang antropologi 25
psikologi, pendekatan ini mencoba mengkaji pengalaman kesadaran, yang berkaitan dengan pertanyaan seperti: bagaimana pembagian antara subjek (ego) dengan objek (dunia) muncul dengan bagaimana sesuatu hal di dunia ini diklasifikasikan. Kesadaran bukanlah dibentuk karena kebetulan dan dibentuk oleh sesuatu hal lainnya dari pada dirinya sendiri. Demikian juga, dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak ada kontrol diri terhadap kesadaran terstruktur. Sebagai yang terstruktur, kesadaran menciptakan “dunia” yang dialami oleh setiap orang, dimana dari ciri-ciri dunianya seperti apa aturan-aturan yang terorganisasikan, dan apa yang tidak dan dengan aturan apa objek dan kejadian itu berkaitan. Peneliti dalam pendekatan ini berusaha memahami arti peristiwa dan kaitankaitannya terhadap orang-orang yang berbeda dalam situasi-situasi tertentu, dimana yang ditekankan ialah aspek sujektif dari perilaku orang, peneliti berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang diteliti sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka disekitar peritiwa dalam kehidupan sehari-hari. Mahluk hidup memiliki berbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui intraksi dengan orang lain, dan bahkan pengertian pengalaman manusia yang membentuk kenyataan itu. Manusia kurang lebih sama dengan mesin kecil yang dapat melakukan sesuatu. Manusia hidup dalam imajinasinya, lebih banyak latar belakang simbolik dari pada yang kongkrit (Moleong, 2008: 18).
26
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data 1.6.4.1 Metode Pengamatan Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode pengamatan, dalam arti peranan peneliti sebagai pengamat dalam hal ini tidak sepenuhnya sebagai pemeran serta tetapi melakukan fungsi pengamatan. Peneliti sebagai anggota purapura, jadi tidak melebur dalam arti sesungguhnya (Moleong, 2008: 177). Peneliti melihat secara langsung aktifitas keseharian informan dalam keluarga memedu. Baik yang dilakukan oleh sang suami, istri dan anak-anaknya, sehingga keluarga memedu tetap berjalan. Peneliti juga menetap beberapa bulan di Desa Mamben Lauk.
1.6.4.2 Metode Wawancara Metode wawancara digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan keteranganketerangan atau pandangan-pandangan lisan dari informan dengan bercakap-cakap berhadapan muka. Sehubungan dengan metode wawancara ini, maka dipergunakan wawancara secara bebas yakni dengan memberi keleluasan bagi para informan untuk menjawab pertanyaan dan pandangan-pandangannya secara bebas. Agar wawancara lebih terarah, disusun pedoman wawancara (interview guide) dalam bentuk pertanyaan terbuka sehingga memungkinkan penelitian mengajukan pertanyaan secara lebih mendalam tentang kehidupan perkawinan memedu yang terjadi di Desa Mamben Lauk Kecamatan Wanasaba Kabupaten Lombok Timur NTB. Wawancara dilakukan pada waktu tidak melakukan aktifitas apapun namun ada beberapa informan diwawancarai pada saat beraktifitas seperti; setelah sholat isya 27
hal ini dikarenakan informan tidak mau diganggu pada waktu beraktifitas seperti jualan keliling kampung, aktifitas keagamaan dan lain sebagainya. Namun ada juga informan yang mau diwawancarai sambil dibantu oleh peneliti untuk mengerjakan tugasnya seperti memperbaiki sepeda motor kebetulan salah satu informan bekerja sebagai montir di bengkelnya sendiri.
1.6.4.3 Metode Life History Penggunaan data lifehistory atau pengalaman individu yang diharapkan dapat memperoleh keterangan mengenai apa yang dialami oleh individu-individu tertentu sebagai warga dari masyarakat yang menjadi objek penelitian. Dari data semacam itu, peneliti dapat memperoleh suatu pandangan dari dalam, melalui tanggapan, interpretasi dan penglihatan individu yang menjadi objek penelitian terhadap realita dirinya (Koentjaraningrat, 1997: 158). Data pengalaman individu ini dilakukan dengan cara mendalam (dept interview) terhadap informan yang menyangkut latar belakang kehidupan keluarga dan pengalaman-pengalaman riwayat hidup dari awal sampai akhir memutuskan untuk melakukan perkawinan memedu. Untuk mendapatkan data lifehistory ini peneliti berkunjung kerumah beberapa keluarga pelaku perkawinan memedu yang menjadi informan atau pergi ketempat dimana pelaku perkawinan memedu bekerja dengan melakukan perjanjian terlebih dahulu.
28
1.6.4.4 Metode Kepustakaan Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Data ini sangatlah membantu dalam tahap penulisan. Dalam hal ini digunakan beberapa literatur atau buku acuan yang terkait dengan objek yang menjadi penelitian penulis. Peneliti juga mengambil data sebanyak-banyaknya sebagai data utama untuk memberikan gambaran mengenai permasalahan yang diangkat.
1.6.5 Analisis Data Data penelitian yang berupa berbagai informasi tentang pengalamanpengalaman dalam kehidupan sehari-hari yang diperoleh dari beberapa keluarga memedu dianalisis secara deskriptif. Data-data yang diperoleh berdasarkan metode dan teknik pengumpulan data di atas di kelompok-kelompokkan atau didistribusikan sesuai dengan kebutuhan analisis berdasarkan pada bab-bab yang telah direncanakan sebelumnya. Proses dalam menyusun pengelompokan data berdasarkan distribusinya tersebut di atas meliputi tiga tahapan, yaitu: a) Reduksi data: proses pemilihan, pemusatan perhatian dan penyederhanaan, pengabstrakan dan transpormasi data kasar yang diambil selama penelitian berlangsung. b) Tahapan penyajian data: merupakan penyusunan sekumpulan informasi menjadi suatu pernyataan yang kemudian dihasilkan melalui interpretasi data.
29
c) Tahap penulisan: data yang telah diinterpretasi ditulis dalam bentuk laporan penelitian yang terdiri dari 6 bab.
30