BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sesuai
dengan
kodratnya
manusia
mempunyai
naluri
untuk
tetap
mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk membentuk keluarga, karena perkawinan ini mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah keluarga. Sebuah perkawinan dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih mengasihi antara kedua belah pihak suami dan istri, yang senantiasa diharapkan berjalan dengan baik, kekal dan abadi yang didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri. Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia,berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keluarga yang baik, bahagia lahir dan batin adalah dambaan setiap insan, namun demikian tidaklah mudah untuk mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia, langgeng, aman dan tentram sepanjang hayatnya. Perkawianan yang demikian itu tidaklah mungkin terwujud apabila diantara para pihak yang mendukung pelaksanaan perkawinan tidak saling menjaga dan berusaha bersama-sama dalam pembinaan
Universitas Sumatera Utara
rumah tangga yang kekal dan abadi. Disamping itu perkawinan juga ditujukan untuk waktu yang lama, dimana pada prinsipnya perkawinan itu akan dilaksanakan hanya satu kali dalam kehidupan seseorang. ”Dengan perkembangan zaman yang semakin pesat dan modern telah mempengaruhi cara berpikir manusia menjadi kritis sehingga perkawinan yang sakral dan suci dapat ternoda dengan adanya suatu perjanjian perkawinan.” 1 Perjanjian perkawinan sebenarnya berguna untuk acuan jika suatu saat timbul konflik. Meski semua pasangan tentu tidak mengharapkan konflik itu akan datang. Ketika pasangan harus bercerai, perjanjian itu juga bisa dijadikan rujukan sehingga masing-masing mengetahui hak dan kewajibannya. Perjanjian kawin atau pernikahan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 139, sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami dan istri, untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Jadi, perjanjian kawin dapat diadakan baik dalam hal suami-istri akan kawin campur harta secara bulat, maupun dalam hal mereka memperjanjikan adanya harta yang terpisah, artinya adanya harta diluar persatuan. Dalam hal mereka kawin dengan persatuan harta secara bulat, maka yang diperjanjikan adalah pengelolaannya. ”Perjanjian kawin adalah perjanjian yang diadakan oleh bakal/calon suami/istri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau
1
maksudnya makna dari perkawinan itu sendiri telah dikesampingkan, dimana perkawinan itu untuk menyatukan, namun dengan adanya perjanjian perkawinan telah ada niat untuk tidak menyatukan terutama masalah harta, walaupun perjanjian perkawinan itu sendiri di perbolehkan dan tidak ada peraturan manapun yang melarang tentang perjanjian perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
kekayaan sebagai akibat dari perjanjian mereka.” 2 Dengan demikian, perjanjian kawin perlu kalau calon suami istri pada saat akan menikah memang telah mempunyai harta atau selama perkawinan di harapkan didapatnya harta. Perjanjian kawin di Indonesia tidak begitu populer, karena mengadakan suatu perjanjian mengenai harta antara calon suami dan isteri, mungkin dirasakan banyak orang merupakan hal yang tidak pantas, bahkan dapat menyinggung perasaan. Lembaga hukum perjanjian kawin, pada dasarnya adalah lembaga dari hukum perdata barat. Namun pada saat ini, lembaga tersebut semakin diterima oleh kita sejalan dengan kemajuan ekonomi dan pembangunan pada umumnya, serta paham induvidulisme yang mulai merasut dalam kehidupan kita. Lembaga tersebut akhirnya merupakan suatu kebutuhan hukum bagi masyarakat Indonesia. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata, disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian di perlukan empat syarat, yaitu : 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal Keempat syarat diatas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, yang dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :
2
Komar Andasasmita, Hukum Harta Perkawinan Dan Waris, Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Teori dan Praktek), Ikatan Notaris Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Barat, 1987, hal. 53.
Universitas Sumatera Utara
1. Syarat Subyektif, 3 yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan subyek perjanjian, terdiri dari : 1. Kesepakatan. 2. Kecakapan. 2. Syarat Obyektif, 4 yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan obyek perjanjian, terdiri dari : a. Hal tertentu. b.Sebab yang halal. Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan, hal ini diatur pada Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974. 5 Biasanya perjanjian dibuat untuk kepentingan hukum terhadap harta bawaan masing-masing suami ataupun isteri, meskipun undang-undang tidak mengaturnya secara jelas, segalanya diserahkan kepada para pihak. Sedangkan perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. 3
Suatu perjanjian yang tidak dapat memenuhi syarat-syarat subyektif dapat dimintakan pembatalannya. Dengan kata lain perjanjian ini semula sudah dilaksanakan atau berlaku bagi para pihak, tetapi karena tidak terpenuhinya syarat subyektifnya, yaitu adanya kesepakatan dan kecakapan dari para pihak, atas permintaan dari pihak yang meminta pembatalan dapat dinyatakan batal oleh hakim, jika tidak perjanjian tersebut selamanya sah dan berlaku. 4 Suatu perjanjian adalah batal demi hukum karena tidak terpenuhinya syarat obyektif dari perjanjian sehingga dari semula sudah batal. 5 Pasal 29 UUPK menyebutkan bahwa : a) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ke tiga sepanjang pihak ke tiga tersangkut. b) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan c) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan d) Selama perkawianan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ke tiga.
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, bukan hanya mengatur masalah harta benda dan akibat perkawinan saja melainkan juga meliputi kepentingan pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut dan tidak bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat (1), yang artinya: ”Hai orang-orang beriman penuhilah perjanjian yang kamu perbuat, yang berarti bahwa segala janji yang telah diperbuat dan yang telah diikat antara manusia demi kepentingan pergaulan sesama manusia mestilah dipenuhi”. 6 ”Jadi jikalau ada perjanjian yang diperbuat antara manusia dangan manusia, antara suami dan isteri, perjanjian itu adalah sah. Siapapun yang membuat perikatan berdasarkan perjanjian berarti mempunyai perjanjian berdasarkan syariat Islam.” 7 Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 1 tersebut diatas adalah suatu dasar untuk membuat perjanjian perkawinan untuk golongan penduduk yang menganut agama Islam, karena ayat tersebut tidak membatasi bentuk perjanjian. Oleh sebab itu terdapatlah satu perjanjian tentang perjanjian perkawinan, cuma cara dan bentuk perjanjian perkawinan tesebut tidak secara tegas di jelaskan dalm kitab Al-Qur’an dan Hadist juga belum dapat penjelasan tentang perjanjian perkawinan tersebut. Apabila perjanjian perkawinan ditinjau dalam UU No. 1 Tahun 1974, bahwa perjanjian perkawinan bertujuan untuk penegasan tentang pengaturan dan
6
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Penerbit PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, Juz 6, hal.1025. 7 T. Jafizham, Persintuhan Hukum Islam di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Penerbit CV. Percetakan Mestika, Medan, 1977, hal.173.
Universitas Sumatera Utara
permasalahan harta perkawinan antara suami isteri. Perjanjian perkawinan dibuat dengan tertulis, dibuat atas kesepakatan para pihak (suami isteri) dihadapan dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah sewaktu proses penandatangan. Dalam Hukum Islam, perjanjian semacam ini sudah tertera di halaman akhir buku nikah, yang disebut sighat ta’liq dan dibacakan suami. ”Perjanjian perkawinan baru sah apabila dilakukannya sesudah perjanjian. Sebab itulah taklik talak, yang juga termasuk dalam perjanjian, dilaksanakan sesudah perkawinan dilangsungkan.” 8 Perjanjian pernikahan sebenarnya berguna untuk acuan jika suatu saat timbul konflik. Meski semua pasangan tentu tidak mengharapkan konflik itu akan datang. Ketika pasangan harus bercerai, perjanjian itu juga bisa dijadikan rujukan sehingga masing-masing mengetahui hak dan kewajibannya. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kedudukan perjanjian perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ? 2. Bagaimanakah peran Notaris dalam pembuatan akta perjanjian Perkawinan ? 3. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian perkawinan dan penyelesaiannya ?
8
T. Jafizham, Ibid., hal. 112.
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari perumusan masalah tersebut diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kedudukan perjanjian perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 2. Untuk mengetahui peran Notaris dalam pembuatan akta perjanjian Perkawinan. 3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian perkawinan dan penyelesaiannya. D. Manfaat Penelitian Ada dua manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini, yaitu bersifat teoritis dan bersifat praktis; 1. Bersifat Teoritis Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat mengembangkan pemikiran di bidang ilmu hukum, khususnya dalam disiplin ilmu hukum perkawinan dan khususnya lagi memberikan masukan terhadap kalangan akademisi dan praktisi dalam hal perjanjian perkawinan. 2. Bersifat Praktis Mengharapkan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi setiap kalangan, baik para pelaksana hukum di bidang perkawinan serta masyarakat luas.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian yang dilakukan di perpustakaan di Universitas Sumatera Utara, khususnya di Sekolah Pascasarjana, mahasiswa yang telah melakukan penelitian tesis dengan topik perjanjian perkawinan adalah: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Irma Febriani Nasution, 2005, dengan judul penelitian Perjanjian Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Hukum Islam, yang membahas tentang: a. Bagaimana perbedaan ketentuan perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam ? b. Bagaimana bentuk perjanjian perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam ? c. Bagaimana akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian perkawinan tersebut baik di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam ? Berkaitan dengan uraian diatas, bila dihubungkan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah tidak sama, walaupun Sdri. Irma Febriani Nasution dalam tesisnya membahas mengenai akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian perkawinan tersebut baik di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam, tetapi karena penelitian ini merupakan penelitian di Kota Medan, maka hasilnya akan berbeda.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas dalam hubungan hukum antara suami dan isteri. Dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, seperti kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban untuk memberi belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya. Perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Bab V dan hanya terdiri satu pasal saja, yaitu pasal 29, dijelaskan pada pasal tersebut bahwa ”Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.” Perjanjian perkawinan (huwelijksche voorwaarden) yang terbaru (modern) sekarang berasal dari kontrak-kontrak perkawinan yang lama, maka tidaklah mengherankan
ketika
zaman
Belanda
perjanjian
perkawinan
(huwelijksche
voorwaarden) itu masih sering tidak terbatas hanya kepada ketentuan mengenai kekayaan. Perjanjian perkawinan juga sering ditentukan hal-hal yang lain sifatnya, misalnya hak-hak dan kewajiban suami isteri, janji-janji dimana mereka akan bertempat tinggal, ketentuan tentang perwalian anak jika mereka pisah, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami isteri harus ada kesepakatan pada waktu membuat naskah perjanjian perkawinan sebelum atau sesudah perkawinan 9 tersebut dilangsungkan. Pada saat melangsungkan naskah perjanjian perkawinan dan menandatangani naskah tersebut, orang-orang itu harus sudah genap 18 tahun dan sudah harus cakap untuk melangsungkan perkawinan. Ketentuan tentang perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 29. Ketentuan perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam tercantum dalam Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam, dimana perjanjian tersebut dilafazkan secara lisan oleh suami pada saat berlangsungnya pernikahan dengan dihadiri oleh saksi-saksi. Pada dasarnya perjanjian perkawinan dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, yaitu harta calon suami ataupun harta calon istri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan kepada pihak calon pasangan yang akan menikah. Dalam
surat perjanjian perkawinan isinya tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama. Secara etimologi perjanjian disebutkan sebagai perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat, persetujuan antara dua pihak syarat, ketentuan, tangguh, penundaan batas waktu. 10 Dan disebutkan juga bahwa kontrak
9
Bagi pemeluk agama Islam dan di ucapkan atau di lafazkan oleh suami pada saat perkawinan dilangsungkan. 10 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Pertama, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hal. 350.
Universitas Sumatera Utara
sama artinya dengan perjanjian. 11 Oleh karena itu suatu perjanjian akan lebih luas juga tegas artinya, jika pengertian mengenai perjanjian tersebut diartikan sebagai suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 12 Secara umum yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian menurut pendapat Sayyid Sabiq adalah : 1) Tidak menyalahi hukum syari’ah yang disepakati adanya Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan yang melawan hukum Syariah, sebab perjanjian yang bertentangan dengan hukum syariah adalah tidak sah dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain, apabila isi perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum (Hukum Syariah), maka perjanjian yang diadakan dengan sendirinya batal demi hukum. 2) Harus sama ridha dan ada pilihan Maksudnya perjanjian yang diadakan oleh para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridha/rela akan isi perjanjian tersebut. Dalam hal ini tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain, dengan sendirinya perjanjian yang diadakan tidak mempunyai kekuatan hukum apabila tidak didasarkan kehendak bebas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. 3) Harus jelas dan gamblang Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi dari perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman diantara para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari. Dengan demikian pada saat pelaksanaan/penerapan perjanjian masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian atau yang mengikatkan diri dalam perjanjian haruslah mempunyai interprestasi yang sama tentang apa yang telah mereka perjanjikan, baik
11
Ibid, hal. 458. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hal. 78.
12
Universitas Sumatera Utara
terhadap isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian itu. 13 Dalam suatu perjanjian, dikenal adanya asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), maksud asas tersebut adalah bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat perjanjian yang berisi dan macam apapun, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat, untuk mengadakan perjanjian berisi apa saja dan dalam bentuk apa saja, sepanjang tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. 14 Menurut Abdul Kadir Muhammad, dalam suatu perjanjian memuat beberapa unsur, yaitu : 1. Ada pihak-pihak Pihak yang ada disini paling sedikit harus ada 2 (dua) orang. Para pihak bertindak sebagai subjek perjanjian tersebut. Subjek mana bisa terdiri dari manusia atau Badan Hukum. Dalam hal para pihak terdiri dari manusia, maka orang tersebut harus telah dewasa dan cakap melakukan hubungan hukum. 2. Ada persetujuan antara para pihak Para pihak sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian haruslah diberikan kebebasan untuk mengadakan tawar menawar (bargaining) diantara keduanya. Hal ini bisa disebut dengan asas konsensualitas dalam suatu perjanjian, konsensus mana harus tanpa disertai dengan paksaan, tipuan, dan kehakiman. 3. Ada tujuan yang akan dicapai Suatu perjanjian haruslah mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu yang ingin dicapai, dan dengan perjanjian itulah tujuan tersebut ingin dicapai atau dengan sarana perjanjian tersebut suatu tujuan ingin mereka capai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, yang dalam hal ini mereka selaku subjek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu, para pihak terkait dengan adanya ketentuan 13
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 2-3. 14 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, Cet-10, 1987, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 4. Ada prestasi yang harus dilaksanakan Para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi suatu prestasi, maka bagi pihak lain hal tersebut adalah merupakan hak dan begitupun sebaliknya. 15 Secara hukum perjanjian, publikasi tidaklah disyaratkan sama sekali, dengan alasan bahwa hak perseorangan hanyalah berlaku diantara para pihak dan penggantinya yang sah berdasarkan alas hak umum, dan tidak dapat berlaku kepada pihak ketiga. 16 Perjanjian tidak dapat menerbitkan kerugian dan keuntungan pada pihak ketiga di luar perjanjian, meskipun pihak ketiga mendalilkan bahwa ia mengetahui perbuatan hukum tersebut. Semua perjanjian yang telah di buat secara sah (yaitu yang memenuhi keempat persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata), akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi perjanjian tersebut akan mengikat dan melahirkan perikatan bagi para pihak dalam perjanjian. 2. Konsepsi Konsepsi adalah : “Salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya defenisi operasional adalah “untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai dan dapat ditemukan suatu
15
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit. hal 80-81. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 68. 16
Universitas Sumatera Utara
kebenaran.” 17 “Oleh keterlibatan hukum yang semakin aktif ke dalam perubahanperubahan yang menyangkut perubahan sosial, justru memunculkan permasalahan yang mengarahkan pada penggunaan hukum secara sadar sebagai sarana untuk dipatuhi dimana pada setiap aspek kehidupan ditemui adanya peraturan-peraturan hukum yaitu putusan-putusan pengadilan putusnya perkawinan akibat perceraian”. 18 Dalam kerangka konsepsionalnya adalah merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti yakni mengenai perjanjian perkawinan yang mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Oleh karena itu untuk penelitian ini harus didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan dan kebenarannya, yaitu : 1. Menurut istilah hukum Islam kata kawin sama dengan kata nikah atau kata Zawaj. Yang dinamakan nikah menurut syara’ ialah Akad (Ijab qabul) antara wali calon isteri dan mempelai laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu dengan memenuhi rukun dan syaratnya. 2. Menurut Hukum Islam, pernikahan atau perkawinan ialah Suatu ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum syari’at Islam.
17
Rusdi Malik, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 15. 18 Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I, 1994, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
3. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 4. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, jelas bahwa perkawinan itu tidak hanya merupakan ikatan lahir saja, ataupun ikatan batin saja, akan tetapi ikatan kedua-duanya sehingga akan terjalin ikatan lahir dan ikatan batin yang merupakan pondasi yang kuat dalam bentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. 5. Menurut Pancasila pada sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka antara perkawinan dengan agama atau kerohanian mempunyai hubungan yang sangat erat karena perkawinan bukan saja mempunyai unsur jasmani tetapi juga mempunyai unsur rohani yang mempunyai peranan penting dalam membentuk suatu keluarga. 6. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, pengertian perkawinan adalah sebagai berikut : a. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. b. Ikatan lahir batin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal dan sejahtera. c. Ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Universitas Sumatera Utara
7. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 8, 9 dan 10 bahwa tidak melanggar larangan perkawinan yaitu : a.
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas.
b.
Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping.
c.
Berhubungan semenda.
d.
Berhubungan susunan.
e.
Berhubungan saudara dengan isteri atau bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seseorang suami beristeri lebih dari seorang.
f.
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
g.
Telah bercerai untuk yang kedua kalinya sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan tidak menentukan lain (Pasal 10).
h.
Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 9.
8. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6 mengenai syarat-syarat persetujuan kedua calon mempelai dan syarat harus adanya izin kedua orang tua bagi mereka yang belum berusia 21 tahun, berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari bersangkutan tidak menentukan lagi. 9. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Universitas Sumatera Utara
10. Dengan terjadinya suatu akta nikah (perjanjian perkawinan), maka seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak dalam keluarga, demikian juga seorang perempuan yang menjadi isteri dalam suatu perkawinan memperoleh berbagai hak pula. 11. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dikatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42), anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43). 12. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ada 2 (dua) macam harta benda dalam perkawinan, yaitu : a. Harta bersama Yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal darimana harta ini diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari isteri atau suami, semuanya merupakan harta milik bersama suami-isteri. b. Harta bawaan Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri kedalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan. 13. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35 harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan antara suami isteri. Asas harta bersama ini pokok utamanya ialah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah
Universitas Sumatera Utara
harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang disebut harta syarikat. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 65 ayat (1) huruf b menentukan bahwa isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya. Huruf c dari pasal tersebut menentukan bahwa semua isteri mempunyai hak bersama yang terjadi sejak perkawinannya masingmasing G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Maksudnya bahwa penelitian ini merupakan penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai bagaimana kedudukan perjanjian perkawinan dan akibat hukumnya. Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. 19 Menggambarkan masalah-masalah hukum dan menganalisa masalah-masalah tersebut,sehingga dapat ditarik kesimpulan. Metode pendekatan yang dilakukan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yakni suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum melalui studi kepustakaan yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang 19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, h. 43.
Universitas Sumatera Utara
hidup ditengah-tengan masyarakat. 2. Lokasi Penelitian Sesuai dengan judul tesis yaitu “ Analisis Perjanjian Perkawinan dan Akibat Hukumnya”, maka lokasi penelitian ditetapkan di Kota Medan. Alasan dan pertimbangan lokasi penelitian ini adalah karena Kota Medan merupakan kota besar dan kebanyakan tingkat pendidikan dan status sosial masyarakatnya relatif tinggi. 3. Sumber Data a. Data Primer Data primer diperoleh dari penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara terhadap para responden dan nara sumber. Wawancara dilakukan
dengan maksud untuk dapat mengetahui lebih mendalam
tentang bagaimana kedudukan perjanjian perkawinan dan akibat hukumnya. b. Data Sekunder Data sekuder dalam penelitian ini adalah data-dat yang diperoleh dari penelitian/penelusuran kepustakaan yang mempunyai kekuatan mengikat yang dapat dibedakan atas bahan hukum primer, sekunder dan tertier. 20
20
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukumyang mengiikat, yakni norma-norma hukum seperti antara lain : Peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Selanjutnya bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekundwer. Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta, 1986, hal 55.
Universitas Sumatera Utara
4. Tehnik Pengumpulan Data Untuk memperoleh hasil yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka dalam penelitian tesis ini dipergunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut : a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalahmajalah, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan perjanjian perkawinan. b. Penelitian Lapangan (Field Risearch) Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang berkaitan dengan materi penelitian. Metode yang digunakan yaitu wawancara (depth interview) secara langsung kepada responden 21 dan informan 22 dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Yang dijadikan responden yaitu : 1) Kantor Departemen Agama.
21
Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 71, menyatakan responden merupakan pemberi informasi yang diharapkan dapat menjawab semua pertanyaan 22 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, Hal. 4, Menyebutkan informan adalah sumber informasi untuk pengumpulan data. Informan juga dapat didefinisikan sebagai orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan masalah objek penelitian. Perhatikan Valerie J. Gilchrist, key Informant Interviews,dalam Benjamin F. Crabteree dan William L. Miller, Doing Qualitative Research. Sage Publications, London New Delhi, 1992, Hal. 71, menyatakan bahwa terminologi informan berarti “the individual who provides information”.
Universitas Sumatera Utara
2) Kantor Urusan Agama. 3) Notaris. Disamping responden diatas, untuk melengkapi data primer ini juga dikumpulkan data melalui wawancara dengan Ketua Pengadilan Agama selaku informan. 5. Alat Pengumpulan Data Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang perjanjian perkawinan. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting. b. Wawancara 23 dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide) 24 . Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth interview).
23
Herman Warsito, Loc.cit, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) pedoman wawancara, dan situasi wawancara. 24 Ibid, hal. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara, menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan. Isi pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara.
Universitas Sumatera Utara
6. Analisis Data Analisis data 25 merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang di teliti. Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya. Untuk selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis dan penulisan. Sedangkan evaluasi dilakukan terhadap data dengan pendekatan kualitatif, yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan menggunakan metode abduktif yaitu penggabungan antara pemikiran deduktif dan pemikiran induktif yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan, dan dipresentasekan dalam bentuk deskriptif.
25
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sianar Gafika, Jakarta, 1996, hal. 7677, menyatakan terhadap data yang sudah terkumpul dapat dilakukan analisis kualitatif apabila : 1) Data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan pengukurannya, 2) Data tersebut skar diukur dengan angka, 3) Hubungan antara variabel tidak jelas, 4) Sample lebih bersifat non probabilitas, 5) Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan pengamatan, 6) Penggunaan teori kurang diperlukan. Bandingkan dengan pendapat Maria, S. W Sumardjono, yang menyatakan bahwa analisis kualitatif dan analisis kuantitatif tidak harus dipisahkan sama sekali apabila digunakan dengan tepat sepanjang hal itu mungkin keduanya saling menunjang. Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 103. Bandingkan juga dengan pendapat Burhan Ashshofa, Op.Cit, hal. 66. 7)
Universitas Sumatera Utara