BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Anak adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang mana mereka perlu dilindungi harkat dan martabatnya serta dijamin hak-haknya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodratnya. Anak sebagai generasi penerus bangsa, selayaknya mendapatkan hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan secara memadai. Sebaliknya, mereka bukanlah objek (sasaran) tindakan kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari siapapun atau pihak manapun. Anak yang dinilai rentan terhadap tindakan kekerasan dan penganiayaan, seharusnya dirawat, diasuh, dididik dengan sebaik-baiknya agar mereka tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Hal ini tentu saja perlu dilakukan agar kelak di kemudian hari tidak terjadi generasi yang hilang (lost generation).1 Anak berhak mendapatkan pemeliharaan dan bantuan khusus keluarga sebagai inti dari masyarakat dan sebagai lingkungan alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraannya. Anak-anak hendaknya diberi perlindungan dan bantuan yang diperlukan, sehingga mampu mengemban tanggung jawab dalam masyarakat. Anak hendaknya diperlakukan dengan baik dalam lingkungan keluarga yang bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian. Anak harus dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan pribadi dalam masyarakat dan
1Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Nusantara, Bandung, 2006, hlm.18
1
dibesarkan dalam suasana perdamaian, tenggang rasa dan kemerdekaan.2 Maraknya aksi kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi pada anak, baik berupa kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, tidak mendapatkan perlindungan hukum dan hak asasi manusia yang memadai sehingga anak berulang kali menjadi korban. Nampaknya kita perlu menyadari bahwa permasalahan anak bukanlah hal yang sederhana. Penanggulangan permasalahan anak adalah sangat menuntut banyak pihak. Mereka bukan semata-mata tanggung jawab orang tua, melainkan juga menjadi tanggung jawab negara dan pemerintah serta masyarakat. Anak-anak adalah harapan masa depan bangsa dan menjadi tanggung jawab kita sendiri untuk melindunginya.3 Karena itu segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk kekerasan atau kejahatan harus segera dihentikan. Sebagai contoh bentuk pelanggaran hak-hak anak adalah kekerasan seksual termasuk didalamnya pencabulan. Menurut Seto Mulyadi (yang akrab dipanggil kak seto), anak Indonesia berada dalam bayang-bayang kejahatan. Berdasarkan catatan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) selama tahun 2003 terdapat 481 kasus kekerasan. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus tahun 2004 dimana 221 kasus merupakan kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis dan 106 permasalahan lainnya.4 Kemudian pada tahun 2007 kasus kekerasan
2Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.103104. 3 Ibid. 4 http://www.tempointeraktif.com/berita, diakses pada tanggal 14 November 2008
2
seksual mengalami kenaikan, jumlah anak-anak yang menjadi korban terutama korban pencabulan mencapai lebih dari 2000 anak.5 Melihat hal tersebut, untuk melindungi anak sebagai korban agar senantiasa aman dan terlindungi serta terhindar dari rasa trauma, maka yang harus dilakukan adalah memberikan perlindungan, menegakkan hukum dan keadilan sesuai peratutan perundang-undanngan yang berlaku. Seperti pada kasus pencabulan yang terjadi di daerah Tukangan, Yogyakarta. Seorang kakek (80 tahun) asal Muntilan, Jawa Tengah, mencabuli bocah perempuan, sebut saja Bunga (6 tahun). Perbuatan tersebut dilakukan saat korban bermain ke tempat pelaku pada hari Senin, 1 Oktober 2007, pukul 17.00 WIB. Kejadian tersebut berawal ketika Bunga meminta izin ibunya untuk bermain ke rumah pelaku, karena ibunya sudah mengenali pelaku dengan baik sehingga tidak ada perasaan curiga terhadap pelaku. Setelah kembali dari rumah pelaku, saat buang air kecil, kemaluan korban terasa perih. Kemudian oleh ibunya kemaluan korban diperiksa dan ternyata ditemukan bukti bahwa kemaluan korban bengkak, dan akhirnya Bunga mengakui bahwa sewaktu bermain di tempat pelaku, alat kelamin Bunga dibuat mainan oleh pelaku.6 Apa yang telah dipaparkan pada kasus di atas, menunjukkan bahwa ada hak-hak anak yang dilanggar yaitu setiap anak berhak tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat 5Jumlah Korban Pencabulan Anak Naik, terdapat dalam http://www.nandigramunited.blogspot.com/ppiindia-jumlah-korban-pencabulan-anak.html, diakses pada tanggal 14 November 2008 6 http://www.bluefame.com/index.php?showtopic=51296, diakses pada tanggal 14 November 2008
3
kemanusiaan. Anak juga berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ( Pasal 4 UU No. 23 tahun 2002 tentang perindungan anak).7 Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia.8 Kenyataannya saat ini upaya perlindungan tersebut belum dapat diberikan secara maksimal oleh pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat dan pihak-pihak lain yang berhak membantu. Keadilan yang diberikan oleh penerapan hukum melalui penjatuhan sanksi hukum yang dijatuhkan pada pelaku tidak adil atau tidak sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya. Ketidakadilan hukum inilah yang disebut-sebut dapat menjauhkan masyarakat yang tertimpa musibah (menjadi korban suatu kejahatan) untuk bersedia berurusan dengan dunia peradilan.9 Dari segi pemerintah, upaya yang belum dapat diberikan secara maksimal adalah kurangnya partisipasi dan sosialisasi tentang keberadaan Undang-Undang Perlindungan Anak dan lembaga-lembaga perlindungan anak seperti KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan LPA (Lembaga Perlindungan Anak) kepada masyarakat, sehingga masyarakat kurang paham tentang isi dari undang-undang tersebut dan peranan lembaga-lembaga 7 Hermma Lusyana, Perlindungan Anak Korban Kekerasan Seksual, terdapat dalam http://www.google.com/news/investigasihukum.html, diakses pada tanggal 14 November 2008 8 Wagita Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 67 9 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, PT. Refika Aditama, Bandung, 2001, hlm. 81
4
tersebut. Karena kurang pahamnya tentang isi undang-undang dan peranan lembaga-lembaga perlindungan anak, menyebabkan masyarakat takut atau enggan untuk melaporkan tindakan kejahatan seksual seperti pencabulan yang terjadi di lingkungan sekitarnya kepada aparat penegak hukum. Kemudian upaya yang belum diberikan secara maksimal oleh aparat penegak hukum dapat dilihat dari putusan yang dipakai untuk mengadili pelaku dipandang tidak relevan untuk memberikan efek jera bagi si pelaku. Aparat penegak hukum masih menggunakan KUHP untuk mengadili pelaku pencabulan dan belum menggunakan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak., padahal dalam undang-undang tersebut memberikan perlindungan yang lebih baik dibandingkan dengan KUHP. Misalnya, dalam Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak ada sanksi cukup tinggi berupa hukuman pidana penjara maksimal 15 (sembilan) tahun dan minimal 3 (tiga) tahun dengan denda maksimal Rp 300 juta dan minimal 60 juta tindakan yang berhubungan dengan perkosaan dan percabulan terhadap anak. Berbeda dengan yang terdapat dalam KUHP yang hanya menjatuhkan hukuman pidana penjara maksimal 9 (sembilan) tahun dan minimal 5 (lima tahun). Putusan dalam KUHP tersebut masih bersifat rendah, seperti putusan yang terdapat dalam Pasal 289 dan 292 KUHP. Pasal 289 “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbutan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Pasal 292 “Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul
5
dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara peling lama lima tahun.” Pihak-pihak lain yang berhak membantu dalam kasus pencabulan ini seperti KPAI yang berada di Tingkat Pusat dan LPA yang berada di Tingkat Daerah belum memberikan upaya perlindungan yang maksimal terhadap anak, terbukti bahwa masih banyak kasus tentang pencabulan terhadap anak yang didiamkan saja oleh lembaga tersebut. Hal ini karena kurang aktifnya lembaga tersebut dalam memberikan pengarahan atau sosialisasi terhadap masyarakat Usaha perlindungan hukum bagi anak sudah ada sejak lama, baik pengaturan dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam pelaksanaannya, baik oleh pemerintah maupun organisasi sosial. Namun demikian, usaha tersebut belum menunjukkan hasil yang memadai sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia. Keadaan ini disebabkan situasi dan kondisi serta keterbatasan yang ada pada pemerintah dan masyarakat sendiri belum memungkinkan mengembangkan secara nyata ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada.10 Adanya berbagai peraturan hukum yang secara jelas telah mengatur ancaman
sanksi
pidana
bagi
pelaku
pencabulan
hendaknya
segera
diimplementasikan oleh aparat penegak hukum dengan tetap memperhatikan kondisi anak korban perbuatan cabul. Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan anak sebagai korban perbuatan cabul, agar senantiasa merasa aman dan terlindungi serta dapat dihindarkan dari penderitaan yang ditimbulkan, maka yang harus dilakukan 10 Wagita Soetodjo, Hukum.... op.cit, hlm. 68
6
adalah melaksanakan perlindungan terhadap anak sebagai korban pencabulan.
B. Rumusan Masalah 1.
Apakah ketentuan undang-undang yang ada saat ini sudah melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul?
2.
Bagaimana praktek penegakan hukum yang telah dilakukan oleh LPA serta aparat penegak hukum dalam proses penyelidikan, penuntutan, dan putusan terhadap kasus pencabulan?
3.
Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi oleh LPA serta aparat penegak hukum dalam kasus anak sebagai korban pencabulan dan apa solusinya?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui bagaimana undangundang melindungi anak sebagai korban perbuatan cabul. 2. Untuk mengetahui bagaimana praktek penegakan hukum yang telah dilakukan LPA serta aparat penegak hukum dalam proses
penyelidikan,
penuntutan
dan
putusan terhadap kasus pencabulan 3. Untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh LPA serta aparat
7
penegak hukum dalam menangani kasus anak sebagai korban pencabulan beserta solusi-solusinya.
D. Tinjauan Pustaka Masalah kejahatan kesusilaan termasuk pencabulan merupakan perbuatan pidana yang diperlukan suatu tindakan penegakan hukum. Untuk mengatasi masalah tersebut, hendaknya pelaku diberi hukuman atau dipidana dan diperlukan juga suatu perlindungan terhadap anak yang menjadi korban pencabulan tersebut. Perbuatan cabul adalah suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan. Pencabulan sendiri di beberapa negara mempunyai pengertian yang berbedabeda. Di Amerika Serikat pencabulan atau sexual assault adalah kontak atau interaksi antara anak dan ornag dewasa di mana anak tersebut dipergunakan sebagai alat pemuas seksual oleh orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban termasuk kontak fisik yang tidak pantas, seperti memperlihatkan alat vital orang dewasa kepada anak. Sedangkan Belanda memberikan pengertian yang lebih umum untuk pencabulan, yaitu persetubuhan di luar perkawinan yang dilarang dan diancam pidana11. Di Indonesia pengertian pencabulan dirumuskan dalam pasal 289 KUHP “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam 11 Marry, Findy, Farius, Carey (FK UI), “Child Molestation (Pencabulan Pada Anak)”, terdapat dalam http://www.freewebs.com, diakses tanggal 14 November 2008
8
karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Kejahatan pencabulan tersebut memiliki persamaan dengan kejahatan perkosaan yaitu terletak pada unsur memaksa (dwingen) dengan kekerasan dan ancaman kekerasan. Perbedaannya terletak pada orang yang dipaksa bersetubuh pada perkosaan haruslah seorang perempuan sedangkan untuk pencabulan korbannya bisa laki-laki atau seorang perempuan.12 Perbedaan lainnya adalah jika dalam perkosaan terjadi kerusakan atau gangguan pada vagina, tetapi terjadi kerusakan atau gangguan selain vagina seperti anus, mulut, dan lain sebagainya, kejahatan kesusilaan tersebut digolongkan sebagai perbuatan cabul. Kejahatan merupakan salah satu kenyataan sosial yang memerlukan penanganan khusus, karena kejahatan dapat menimbulkan keresahan bagi negara dan masyarakat pada umumnya. Dalam kenyataannya sangatlah sulit untuk memberantas kejahatan secara tuntas, karena kejahatan selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Sedangkan hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan masyarakat belum sepenuhnya dapat diterapkan dalam memberantas kejahatan. Tindak pidana juga merupakan suatu perbuatan yang termasuk di dalam makna kejahatan. Menurut Arif Gosita, “Tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Undang-Undang hukum pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana. Jadi dalam arti luas, ini berhubungan dengan pembahasan masalah dari sudut hukum pidana dan kriminologi. Jadi berhubungan dengan kenisbian pandangan tentang kejahatan, delikuensi, deviasi, kualitas kejahatan yang 12 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 79
9
berubah-ubah : proses kriminalisasi dan deskriminalisasi suatu tindakan atau tindakan pidana mengingat, tempat, waktu, kepentingan, dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan pandangan hidup orang (berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebudayaan pada masa dan di tempat tertentu)”13 Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Barda Nawawi Arief melihat penegakan hukum adalah perwujudan suatu sanksi pidana yang dapat dilihat sebagai suatu proses perwujudan kebijakan melalui 3 (tiga) tahap14: 1.
Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang (Formulatif)
2.
Tahap pemberian atau penjatuhan pidana (Aplikatif)
3.
Tahap pelaksana pidana oleh aparat eksekusi pidana (Eksekutif)
Dalam penelitian tentang implementasi perlindungan hukum terhadap anak korban perbuatan cabul ini, penegakan hukum yang akan diteliti adalah penegakan hukum formulatif dan penegakan hukum aplikatif. Penegakan hukum formulatif yaitu penegakan hukum oleh undang-undang. Tahapan hukum formulatif merupakan suatu perencanaan dari pembuat undang-undang mengenai
apa yang akan dilakukan dalam menghadapi masalah tertentu,
dalam hal ini masalah tentang perlindungan anak, dan bagaimana melaksanakan perencanaan tersebut. Sedangkan penegakan hukum aplikatif yaitu tahap pemberian atau penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat 13
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Radar Jaya Offset, Jakarta, 1985, hlm. 123 14 Muladi dan Barda Nawawi A, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 91
10
penegak hukum mulai dari tahap penyidikan (kepolisian), penuntutan (kejaksaan) sampai putusan (pengadilan). Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia yang harus ditegakkan dan dilaksanakan. Dalam menegakkan hukum, harus ada tiga unsur yang diperhatikan, yaitu:15 1. Kepastian
Hukum
(Rechtssicherheit) 2. Kemanfaatan (Zweckmassigkeit) 3. Keadilan (Gerechtigkeit) Hukum mempunyai sifat memaksa, artinya dalam keadaan apapun keterikatan hukum tidak dapat disimpangi. Barang siapa telah melakukan pelanggaran hukum, harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan hukum.16 Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, kita menganut
asas yang dinamakan asas legalitas (principle of
legality), yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang (Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali) seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada dan berlaku bagi terdakwa sebelum orang dapat dituntut untuk dipidana karena perbuatannya.17
15 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.145 16 Wasis SP, Penganta Ilmu Hukum, UMM Press, Malang, 2002, hlm.19 17 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm.5
11
Dalam setiap penanganan perkara pidana, aparat penegak hukum seringkali dihadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus dilindungi untuk memulihkan penderitaannya karena telah menjadi korban kejahatan (secara mental, fisik, maupun material) dan kepentingan tersangka sekalipun dia bersalah, tetapi dia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum ada putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Maka dari itu pelaku harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah). Alat penegak hukum tidak hanya kepolisian dan kejaksaan. Akan tetapi jika diartikan secara luas, maka penegakan hukum menjadi tugas dari pembentuk undang-undang, hakim, instansi pemerintahan (bestuur), aparat eksekusi pidana.18 Ada berbagai permasalahan yang terkait dengan penegakan hukum yang berada pada instansi-instansi tersebut. 1. Kepolisian a. Kurang responsifnya Polri dalam memberikan pelayanan pada anggota masyarakat yang membutuhkan.19 b. Penanganan
keluhan
masyarakat
dianggap
belum
transparan. Sehingga masyarakat belum berani untuk
18 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 111-112 19 Awaloedin Jamin, Masalah dan Issue Manajemen Kepolisian Negara RI dalam Era Reformasi, Yayasan Brata Bhakti, Jakarta, 2005, hlm. 220
12
menyampaikan
keluhan
dengan
bukti-bukti
yang
memadai.20 c. Kurangnya kemampuan teknis profesional yang mampu menghadapi
transnasional
crime
untuk
memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat dan menegakkan hukum.21 2. Jaksa a. Dalam menangani kasus Jaksa Penuntut Umum (JPU) masih bersikap membatasi diri untuk menggali informasi dari korban, sehingga fakta-fakta yang diungkap pengadilan pun tidak maksimal.22 b. Dalam beberapa kasus misalnya tentang kasus kekerasan seksual
(pencabulan)
JPU
tidak
berupaya
untuk
menghadirkan saksi ahli seperti dokter atau psikolog untuk mengetahui beratnya luka korban.23 c. Karena tidak maksimalnya fakta yang dapat diungkap dalam persidangan mengakibatkan JPU pada akhirnya menjatuhkan tuntutan yang ringan. Tuntutan yang ringan ini, jelas tidak mewakili rasa keadilan bagi korban, padahal JPU adalah aparat yang mewakili korban di persidangan.24 20 Ibid. hlm.218 21 Ibid. hlm. 223 22 Ratna Batara Munti, Perjuangan Berat Perempuan Indonesia Menggapai Keadilan
terdapat dalam http://www.goggle.com/lbhapikjakarta, diakses tanggal 17 November 2008 di Tengah Berbagai Keterpurukan, 23 Ibid. 24 Ibid.
13
3. Hakim Hakim maupun pengadilan sebagai aparat penegak hukum yang perannya sangat penting dalam memutuskan suatu perkara, tidak luput dari berbagai kekurangan yang ada, terutama ada sorotan yang kuat mengenai kekuasaan kehakiman. Maka dari itu perlu ada parameter yang jelas tentang lembaga peradilan tersebut mengenai kemandiriannya. Tipe kemandirian kekuasaan kehakiman dapat dilihat dari segi kemandirian proses peradilannya, dimulai dari proses pemeriksaan perkara, pembuktian sampai pada putusan yang dijatuhkan. Parameter mandiri atau tidaknya suatu proses peradilan ditandai dengan ada atau tidaknya campur tangan (intervensi) dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman yang dengan berbagai upaya mempengaruhi jalannya proses peradilan baik secara langsung maupun tidak langsung.25 Sementara itu dari segi kemandirian hakimnya sendiri parameter mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan dan ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan profesinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari adanya campur tangan pihak lain.26 4. LPA (Lembaga Perlindungan Anak) a. Terbatasnya dalam memberikan tugas perlindungan karena kurangnya partner.27 25 Bambang Sutiyoso, Sri Hastuti Puspita Sari, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm.53 26 Ibid. hlm.54 27 Sudiman Telaumbanua, LPA Harus Mampu Berikan Yang Terbaik Untuk Anak Nias, terdapat dalam http://www.niasonline.net/2007/09/11.html, diakses tanggal 14 November 2008
14
b. Kurangnya LPA dalam berperan aktif melindungi anak korban kejahatan.28
Berbicara
tentang
perlindungan
anak,
tidak
lepas
dari
soal
kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Hal ini diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak29 Dalam Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1979 merumuskan hak-hak anak sebagai berikut: 30 1. anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. 2. anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa dan untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. 3. anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan 4. anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan
28 Ibid. 29 Darwan Prinst, Hukum…. op. cit,. .hlm. 79 30 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hlm.16-17
15
dengan wajar.
E. Definisi Operasional Dalam definisi operasional ini akan dijabarkan apa yang dimaksud dengan implementasi, perlindungan hukum, anak, korban dan pencabulan. Pengertian implementasi dalam kamus umum Bahasa Indonesia adalah penerapan. Sedangkan penerapan disini memiliki dua arti, yaitu:31 a. sebagai pelaksana dari peraturan yang telah ada ke dalam tindakan nyata di lapangan oleh para pelaksananya. b. dapat pula berarti merupakan suatu usaha untuk menyesuaikan suatu peraturan yang berlaku atau peratutan yang baru itu sebagai acuan bagi peraturan saat ini. Sementara pengertian implementasi dalam penulisan skripsi ini adalah penerapan dari segi normatif yaitu penerapan penegakan hukum dalam ketentuan undang-undang terhadap perlindungan anak korban perbuatan cabul dan penerapan dari segi empiris yaitu penerapan untuk melakukan suatu tindakan nyata oleh para penegak hukum (aparat hukum) dalam melindungi anak korban pencabulan. Hal tersebut berkaitan dengan pengertian perlindungan hukum. Jika implementasi lebih mengacu pada peranan undang31 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, terdapat dalam http//google.co.oid/kamusonline.com, diakses tanggal 17 November 2008
16
undang dan aparat penegak hukum dalam melindungi anak korban perbuatan cabul, maka perlindungan hukum dalam judul skripsi ini lebih menitik beratkan pada penegakan hukumnya berupa pemberian hukuman oleh aparat penegak hukum mulai tahap penyidikan (kepolisian), penuntutan (kejaksaan) sampai putusan (pengadilan). Secara konsepsional, dalam hukum di Indonesia, terdapat beberapa macam tentang pengertian anak 1. Menurut KUHP Pasal 45 KUHP mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Jadi bila ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Tetapi KUHP mengatur umur anak sebagai korban pidana adalah belum genap berumur 15 (lima belas) tahun sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294,
295,
297,
dan
lainnya.
Pasal-pasal
tersebut
tidak
mengkualifikasikannya sebagai tindak pidana, apabila dilakukan dengan/terhadap orang dewasa, akan tetapi sebaliknya menjadi tindak pidana karena dilakukan dengan/terhadap anak yang belum berusia 15 (lima belas) tahun.32 2. UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Yang disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 18 32 Darwan Prinst, Hukum… loc.cit.
17
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jadi, yang dimaksud anak di sini adalah anak yang berusia antara 8 (delapan) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Selain pengertian tentang anak di KUHP dan UU No. 23 Tentang Perlindungan Anak, dalam definisi operasional ini akan dibahas tentang hakhak anak yang tercantum dalam KUHP, Undang-undang di luar KUHP dan dalam Konvensi-konvensi Internasional. 1. KUHP, salah satu pasal yang menyebutkan tentang perlindungan terhadap anak adalah Pasal 289 yang memberikan sanksi sembilan tahun penjara bagi barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
untuk
melakukan
atau
membiarkan dilakukan perbutan cabul, 2. Undang-undang di luar KUHP a. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (2) memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak anak, yaitu setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. b.
Undang-undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 52 menyatakan bahwa :
18
1. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. 2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu di akui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
c. Undang-undang No. 4 tentang Kesejahteraan Anak Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, ditentukan: 1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. 2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna. 3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. 4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. d. Undang-undang No. 23 tentang Perlindungan Anak Dalam Pasal 3 Undang-undang No 23 Tahun 2002, yaitu: “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”. 3.
Konvensi-konvensi Internasional Hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diberikan perlindungan diantaranya adalah: hak untuk mendapatkan perlindungan jika anak mengalami konflik dengan hukum, hak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika anak mengalami eksploitasi sebagi pekerja anak, hak untuk mendapatkan perlindungan
19
khusus jika anak mengalami eksploitasi dalam penyalahgunaan obatobatan, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika anak mengalami eksploitasi seksual dan pelecehan seksual, hak untuk mendapatkan perlindungan khusus dari penculikan, penjualan dan perdagangan anak.
Masalah korban bukanlah masalah yang baru. Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Dapat dikatakan tidak mungkin ada suatu kejahatan jika tidak ada korban kejahatan.33 Korban merupakan orang yang menderita atau dirugikan akibat adanya pelanggaran hukum pidana maupun non-hukum pidana, atau orang yang menderita karena adanya suatu perbuatan manusia atau yang bukan perbuatan manusia. Yang termasuk dalam perbuatan manusia adalah perbuatan kejahatan atau perbuatan melawan hukum atau perbuatan lainnya yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan penderitaan kepada orang lain. Definisi korban dalam penelitian ini adalah orang yang menderita atau dirugikan baik secara fisik maupun non-fisik akibat mendapatkan tindakan kekerasan atau kejahatan yang dilakukan oleh orang lain melalui perbuatan pencabulan. Pada undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 13 Tahun 2006) Pasal 5 ayat 1 dijelaskan tentang hak dari saksi dan korban, antara lain: 1. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan 33 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (kumpulan karangan), Akademika Pressindo, Jakarta, 1983, hlm.43
20
harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya 2. memberikan keterangan tanpa tekanan 3. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus 4. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan 5. bebas dari pertanyaan yang menjerat 6. mendapat nasihat hukum Sementara itu, pengertian pencabulan (ontuchtige handelingen) adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun dilakukan pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. 34 Yang dimaksud pencabulan menurut penulis adalah perbuatan yang biasa dilakukan sebelum persetubuhan misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosok penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seseorang dan sebagainya secara paksa. Perbuatan tersebut dilakukan bukan terhadap istrinya yang sah atau korbannya tidak dalam ikatan perkawinan yang sah. Tindak pidana kesusilaan mengenai perbuatan cabul, dirumuskan dalam Pasal 289, 290, 292, 293, 294 dan 296 KUHP yang semuanya merupakan kejahatan kesusilaan.35 Dengan demikian, inti dari penelitian ini adalah hendak mengkaji bagaimanakah langkah-langkah konkrit dari aparat penegak hukum dalam 34 Adami Chazawi, Tindak Pidana…. op.cit, hlm. 80 35 Ibid. hlm. 77
21
melakukan perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan beserta kendala-kendala
yang
dihadapi
serta
bagaimanakah
undang-undang
melaksanakan peranannya untuk melindungi anak korban kejahatan kesusilaan terutama kasus pencabulan, sehingga dapat menawarkan solusi pemecahan yang nantinya dapat bermanfaat.
F. Metode Penelitian 1. Objek Penelitian a. Ketentuan
undang-undang
yang
ada
saat
ini
kaitannya
dengan
perlindungan anak sebagai korban perbuatan cabul b. Praktek penegakan hukum oleh LPA serta aparat penegak hukum dari proses penyelidikan, penuntutan dan putusan dalam kasus pencabulan c. Kendala-kendala yang dihadapi oleh LPA serta aparat penegak hukum dalam kasus anak sebagai korban pencabulan dan solusinya 2. Subjek Penelitian Populasinya
adalah
instansi
atau
lembaga
yang
berwenang
dalam
perlindungan anak serta aparat penegak hukum yaitu meliputi: c. Polisi Penulis dalam melaksanakan penelitian mengambil polisi sebagai subjek penelitian karena fungsi dari kepolisian itu sendiri adalah menegakkan hukum, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi dalam hal ini menerima laporan dari masyarakat tentang tindak pidana yang terjadi kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap laporan
22
tersebut.
d.
Jaksa
Penulis memasukkan jaksa sebagai subjek penelitian karena jaksa berperan membuat surat dakwaan atau penuntutan terhadap terdakwa dalam proses persidangan. Penulis ingin mengetahui apakah jaksa dalam membuat surat dakwaan atau penuntutan terhadap terdakwa menggunakan UndangUndang Perlindungan Anak atau menggunakan KUHP sebagai acuannya. e. Hakim Penulis memasukkan hakim sebagai subjek penelitian karena tugas hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya. Penulis ingin mengetahui apakah hakim dalam mengadili pelaku pencabulan sudah selayaknya menerapkan undang-undang yang lebih melindungi para anak dalam hal ini Undang-Undang Perlindungan Anak, seperti diketahui bahwa dalam KUHP tidak diatur secara jelas tentang masalah perlindungan anak sehingga sering diputus dengan putusan yang biasanya meringankan terdakwa. f. LPA (Lembaga Perlindungan Anak) Penulis menganggap bahwa LPA relevan menjadi subjek penelitian dikarenakan LPA merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang dalam situasi tertentu seperti anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang
23
tereksploitasi secara ekonomi dan seksual, anak yang diperdagangkan dan anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika.
Diambil sampel dari populasi yang dipilih dengan purpossive random sampling, yaitu menentukan sampel berdasarkan tujuan penelitian terhadap satu populasi yang homogen, misalnya kelompok orang dalam profesi tertentu.36 Pertimbangan pemilihan sampel ditentukan sendiri oleh peneliti, dikarenakan mereka dianggap berkompeten dalam permasalahan yang akan diteliti. 3. Sumber Data 1. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari subjek penelitian yang berupa wawancara 2. Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui kepustakaan (library research) dan studi dokumen. 4. Teknik Pengumpulan Data 1. Data primer, dilakukan dengan cara wawancara atau interview yaitu mengadakan tanya jawab dengan responden atau subjek penelitian untuk memperoleh keterangan yang diperlukan oleh peneliti. Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada kerangka permasalahan dengan memberikan
kesempatan
kepada
responden
untuk
menyampaikan
pendapatnya. 36 hlm. 13
, Pedoman Penyususnan Tugas Akhir, FH UII, Yogyakarta, 2008,
24
2. Data sekunder, dilakukan dengan cara: a. Studi kepustakaan, yakni dengan menelusuri dan mengkaji berbagai literatur seperti buku-buku dan peraturan perundang-undangan. b. Studi dokumen, yakni dengan mencari, menemukan dan mengkaji berbagai dokumen resmi seperti putusan pengadilan dan hal lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian.37 5. Metode
pendekatan
yang
digunakan
adalah
pendekatan
yuridis
normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif yaitu pendekatan dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku maupun pandangan pendapat para ahli yang digunakan untuk mengolah dan menganalisa data-data di lapangan yang disajikan dalam pembahasan, sedangkan yuridis empiris yaitu pendekatan dari sudut pandang hukum yang berlaku dalam masyarakat yang diterapkan oleh aparat penegak hukum. 6. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif yaitu menguraikan, membahas, menafsirkan temuan-temuan penelitian dengan sudut pandang atau pendekatan dalam bentuk yuridis normatif dan yuridis empiris. Analisis data ini merupakan proses untuk merumuskan kesimpulan atau generalisasi dari pertanyaan penelitian yang diajukan.38
37 Ibid. hlm. 14 38 Ibid. hlm. 15
25