BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang sangat
mendasar. Setiap manusia membutuhkan tempat tinggal untuk keberlanjutan hidup. Pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat sedangkan tanah di permukaan bumi tetap, bahkan mulai sedikit ketersediaannya akibat pembangunan yang semakin marak. Negara selaku wakil bangsa Indonesia diberikan kekuasaan untuk mengatur dan mengolah sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI 1945) bahwa: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Indonesia sebagai negara hukum, maka segala suatu hal harus berdasar pada hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD RI 1945. Hukum Tanah merupakan satu bidang hukum yang mandiri yang mempunyai tempat sendiri dalam tata hukum nasional. Objek pengaturan Hukum Tanah adalah hak-hak penguasaan atas tanah. Masa penjajahan, keberlakuan Hukum Agraria terutama perangkat hukum di bidang pertanahan masih bersumber pada Hukum Adat yang berkonsepsi
komunalistik-religius
dan
Hukum
Perdata
Barat
yang
individualistik-liberal.1 Pasal 33 UUD RI 1945 menjadi landasan konstitusional 1
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hlm. 2
1
2
bidang agraria di Indonesia, kemudian diundangkannya hukum nasional bidang agraria dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Lahirnya UUPA membuat reformasi di bidang pertanahan bersifaf komprehensif dan fundamental yang di dalamnya memuat tujuan, konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum dan garis-garis besar ketentuan pokok hukum agraria/tanah nasional.2 Telah ditegaskan dalam UUPA di bagian “berpendapat” bahwa Hukum Agraria Nasional ini berdasar atas Hukum Adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.3 Keberadaan UUPA ini seharusnya dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia terkait bidang pertanahan sehingga dalam rangka pembangunan nasional mampu mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera berdasarkan tujuan negara. Meski telah memiliki dasar konstitusi serta peraturan yang khusus mengenai pertanahan, seringkali terjadi permasalahan-permasalahan terkait tanah. Hal ini dikarenakan tanah memiliki nilai ekonomis yang tinggi di mata masyarakat. Masyarakat banyak berupaya untuk bisa memiliki atau menguasai tanah untuk kepentingannya. Banyak sengketa maupun konflik yang dialami masyarakat dalam hal pertanahan. Semakin hari kasus-kasus pertanahan semakin bertambah. Kebijakan agraria yang dipilih oleh pemerintah dalam menjalankan politik agraria di masing-masing periode penguasa juga mempengaruhi permasalahan pertanahan
2 3
Ibid. Konsideran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
3
Indonesia. Menurut Maria S.W. Soemardjono, tipologi kasus-kasus pertanahan dapat dikelompokkan, yaitu:4 1. 2. 3. 4. 5.
Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lain; Kasus-kasus berkenaan dengan peraturan landreform; Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk pembangunan; Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.
Zaman penjajahan, ketersediaan tanah masih sangat luas. Sebagian besar tanah masih tertutup hutan dan semak belukar, meskipun ada tanah-tanah yang dikuasai oleh penjajah dalam bentuk perkebunan-perkebunan. Guna memenuhi kebutuhan, banyak masyarakat pribumi yang membuka hutan untuk dijadikan sebagai lahan garapan dan tempat tinggal. Upaya membuka lahan tidak hanya terbatas di daerah asal masyarakat masing-masing, namun seringkali masyarakat berlaku sebagai pendatang di daerah lain. Terjadi permasalahan tanah di Desa Alasbuluh
dan
Desa
Wongsorejo,
Kecamatan
Wongsorejo,
Kabupaten
Banyuwangi yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Terjadi saling klaim antara masyarakat dengan sebuah perusahaan yang bernama PT. Wongsoredjo. Masyarakat mengklaim bahwa telah menempati lahan tersebut sejak zaman sebelum kemerdekaan, sedangkan PT. Wongsoredjo mengklaim merupakan pihak yang memegang bukti Hak Atas Tanah di lahan tersebut. Masyarakat yang menguasai tanah tersebut bermata pencaharian sebagai petani yang mengolah
4
Maria S.W. Soemardjono, 2008, Mediasi Sengketa Pertanahan: Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) di Bidang Pertanahan, Kompas, Jakarta, hlm.2
4
ladang untuk bercocok tanam. Masyarakat menguasai tanah di lokasi tersebut secara turun temurun.
5
Saat penjajahan oleh Belanda, lahan tersebut di Desa Wongsorejo dikuasai oleh tuan tanah dari Belanda dengan hak erfpacht. Tuan Tanah Belanda mengusahakan perkebunan dan menanaminya dengan pohon randu. Masyarakat yang mendiami di sekitar tanah hak erfpacht bekerja sebagai buruh tani dan kuli kasar. Petani pekerja membuka lahan hutan sendiri di luar kawasan hak erfpacht guna lahan pertanian serta didirikan sebuah dusun untuk mereka tinggal. Belanda yang kalah pada saat Perang Dunia II, meninggalkan Indonesia dan perkebunan miliknya. Sebagai daerah jajahan, maka Jepang yang menang di Perang Dunia II menguasai Indonesia. Jepang tetap mengijinkan para petani (masyarakat) untuk mengolah lahan dan mengembangkan hingga mengolah lahan perkebunan yang ditinggalkan Belanda. 3 (tiga) tahun berselang, setelah ditinggalkan oleh Jepang pada tahun 1945 dan Indonesia menyatakan kemerdekaannya, para petani tetap menggarap lahan pertaniannya, baik di sekitar kawasan bekas hak erfpacht maupun di dalam kawasan tanah bekas hak erfpacht yang dirabas. Penggarapan lahan tersebut dilakukan hingga sekarang.6 PT. Wongsoredjo mengklaim telah menguasai lahan bekas hak erfpacht yang telah dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Menurut pihak perusahaan, masyarakat yang tinggal di dalam perkebunan merupakan pekerja di perusahaan tersebut. Tahun 1988, diterbitkan HGU Nomor 9/Desa Wongsorejo atas nama PT.
5
Hasil wawancara (prapenelitian) dengan Bapak Yatno Subandio sebagai Ketua Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) pada 14 Desember 2014 pukul 14.00 WIB 6 Dokumen OPWB “Kronologis Perjuangan Petani Wongsorejo Banyuwangi yang Tergabung Dalam Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB)”, Tahun 2015
5
Wongsorejo berdasar Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 26 Mei 1987 Nomor SK/14/HGU/DA/1987 yang berlaku hingga 31 Desember 2012. Pemberian HGU untuk lahan perkebunan randu/kapuk ini diatas tanah seluas 603 Hektar (Ha). Selama masa pemilikan dan penguasaan HGU oleh perusahaan perkebunan tersebut, petani sering mengalami tekanan dikarenakan para petani penggarap tetap tinggal, mengusahakan dan mengolah tanah pertanian mereka di atas perkebunan randu/kapuk dari PT. Wongsorejo. Beberapa petani ada yang tinggal dan mengolah lahan di kawasan yang diklaim oleh PT. Wongsoredjo sebagai tanah perkebunan randu/kapuk yang mereka kelola, serta ada beberapa petani penggarap yang tinggal di luar kawasan perkebunan randu/kapuk namun masih mengusahakan dan mengolah lahan pertanian mereka yang berada di kawasan perkebunan randu. Petani yang tinggal di luar kawasan tersebut tinggal di pinggiran kawasan tepatnya menumpang di lahan milik orang lain, baik lahan perorangan maupun di lahan milik Perhutani.7 Hal ini tetap dilakukan para petani penggarap karena meyakini penguasaan tanah tersebut telah dilakukan secara turun-temurun bahkan sebelum PT. Wongsoredjo mendapatkan kepemilikan atas HGU untuk perkebunan randu/kapuk. Para petani penggarap tidak pernah meninggalkan tanah yang diklaim olehnya. Pada tahun 2011, PT. Wongsoredjo berupaya mengajukan perpanjangan HGU kepada instansi yang berwenang. Disahkannya Peraturan Daerah Banyuwangi Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2012-2032 (Perda Nomor 8 Tahun 2012) 7
Lahan konflik berbatasan langsung dengan lahan Perhutani di sebelah barat, lahan milik warga di sebelah utara, lahan HGU PT. Randu Mas di sebalah timur dan lahan milik warga di sebelah selatan.
6
mengakibatkan perubahan peruntukan kawasan dari perkebunan menjadi kawasan industri di Kecamatan Wongsorejo. Perubahan tata guna kawasan tersebut berdampak pada upaya perpanjangan HGU oleh PT. Wongsoredjo tidak dikabulkan. Tahun 2014, terbit sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah bekas HGU PT. Wongsoredjo untuk lahan seluas 480 Ha. Pemegang HGB tetap perusahaan yang sama, namun kepemilikan perusahaan tersebut beralih pada Januari 2014. Para petani penggarap tetap mengklaim memiliki hak atas penguasaan tanah yang telah dilakukan selama bertahun-tahun secara turun-temurun di tanah tersebut. Menurut Bapak Yatno Subandio, selaku Ketua Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB), bahwa saat ini tercatat masyarakat petani penggarap yang tergabung dalam OPWB dan mengalami konflik sejumlah 287 kepala keluarga (KK). Pada tahun 1970-an tercatat kurang lebih 344 KK yang menempati dan mengolah lahan di lokasi tersebut, namun ada beberapa keluarga petani yang memilih untuk mengikuti program transmigrasi pemerintah ke pulau-pulau lain di kawasan Nusantara. 8 Hingga saat ini masyarakat petani penggarap tetap menuntut Hak Atas Tanah yang telah didiaminya selama bertahun-tahun meski harus mengalami konflik dan terus berupaya mengatasi hal tersebut. PT. Wongsoredjo juga berusaha mempertahankan hak yang dimilikinya dengan berbagai upaya agar usaha perusahaan tersebut bisa berjalan dengan baik sesuai program perusahaan untuk membangun kawasan industri di lahan yang dihakinya. Perkembangan konflik yang terjadi selama bertahun-tahun perlu 8
Hasil wawancara (prapenelitian) dengan Bapak Yatno Subandio sebagai Ketua Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) pada 14 Desember 2014 pukul 14.00 WIB
7
ditelaah lebih lanjut dalam menggambarkan konflik yang terjadi secara keseluruhan. Selain kedua belah pihak di atas, menarik ditelisik bagaimana peran pemerintah dalam mengatasi konflik agar tercipta penyelesaian konflik yang tidak berlarut-larut. Peran pemerintah yang baik sebagai pihak ketiga yang netral sangat diperlukan sebagai penengah di antara kedua pihak yang sedang berkonflik. Upaya yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah, terutama pemerintah di tingkat daerah yang mengetahui pasti konflik yang terjadi untuk mengakhiri konflik dengan penyelesaian konflik yang adil. Hal ini menarik untuk dilakukan penelitian.
B.
Rumusan Masalah Berdasar latar belakang di atas, permasalahan yang akan diteliti adalah
sebagai berikut: 1. Bagaimana pola penguasaan tanah oleh masyarakat di Desa Alasbuluh dan Desa Wongsorejo? 2. Bagaimana konflik yang dialami masyarakat Desa Alasbuluh dan Desa Wongsorejo dalam melaksanakan penguasaan tanah? 3. Bagaimana upaya masyarakat Desa Alasbuluh dan Desa Wongsorejo mengatasi konflik penguasaan tanah yang dialami?
C.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pola penguasaan tanah oleh masyarakat di Desa Alasbuluh dan Desa Wongsorejo.
8
2. Untuk mengetahui dan menganalisis konflik yang dialami masyarakat Desa Alasbuluh dan Desa Wongsorejo dalam melaksanakan penguasaan tanah. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya yang dilakukan masyarakat Desa Alasbuluh dan Desa Wongsorejo untuk mengatasi konflik penguasaan tanah yang dialami.
D.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang penulis harapkan terbagi atas manfaat secara
teoritis dan manfaat secara praktis, yakni: 1.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk sumbangan pemikiran akademisi dalam pengembangan khasanah ilmu hukum khususnya Hukum Pertanahan di Indonesia sehingga dapat menambah wacana keilmuan dalam dunia keagrariaan.
2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi masyarakat guna memberikan informasi, gambaran, analisa dan pemahaman serta wawasan mengenai pola penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam masyarakat.
E.
Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran penulis, belum ada tulisan yang membahas tentang
Konflik Penguasaan Tanah Oleh Masyarakat di Kecamatan Wongsorejo
9
Kabupaten Banyuwangi. Penulis menemukan beberapa tulisan dari hasil penelusuran yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan dalam penelitian penulis. Penelitian tersebut antara lain: 1.
Tesis, Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tahun 2015, dengan judul “Konflik Hukum Tanah Eks Hak Guna Usaha di Kecamatan Dungalio Kabupaten Gorontalo” ditulis oleh Mohammad Rizal Y Mobongi, dengan permasalahan:9 1. Bagaimanakah kedudukan para pihak terhadap tanah eks HGU di Kecamatan Dungalio Kabupaten Gorontalo? 2. Solusi apa yang ditempuh dalam menyelesaikan konflik hukum tanah eks HGU di Kecamatan Dungalio Kabupaten Gorontalo? Kesimpulan: 1. Kedudukan hukum para pihak terhadap tanah eks HGU di Kecamatan Dungalio Kabupaten Goronatalo dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: a.
Pihak yang terlibat langsung yang terdiri dari: 1) kelompok Asni Cs, adalah kelompok yang berjumlah 23 orang yang menyatakan drinya sebagai pihak eks penggarap, yang bermohon kepada pemerintah untuk menggarap lahan Eks HGU dengan alasan orang tua mereka pernah menggarap dilahan eks HGU tersebut. 2) Kelompok Yasin CS, adalah kelompok yang berjumlah 14 orang yang menyatakan dirinya sebagai Penggarap terakhir, yang
9
Mohammad Rizal Y Mobongi, 2015, Tesis: Konflik Hukum Tanah Eks Hak Guna Usaha di Kecamatan Dungalio Kabupaten Gorontalo, Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
10
menggarap sampai dengan HGU berakhir (Penggarap Besar) 3) Kelompok Penggarap Kecil, adalah kelompok yang berjumlah 23 orang yang tidak bermasalah dan tidak dipermasalahkan, yang menguasai sebagian kecil lahan HGU hingga HGU berakhir. b.
Pihak yang tidak terlibat langsung yaitu pihak yang terlibat karena kewenangan yang dimiliki yang terdiri dari Pemerintah Daerah dan Kantor Pertanahan Gorontalo Konflik tanah eks HGU Motoduwo dan eks HGU Matolotahalu mengandung persoalan yang sangat kompleks sejak dari asal muasalnya hingga konflik yang terjadi sekarang ini. Dalam uraian di atas telah dijelaskan mengenai kronologis konflik HGU ini yang dibagi ke dalam tiga masa yaitu, masa sebelum berlakunya HGU, masa berlakunya HGU, dan pasca berlakunya HGU, diketahui dari setiap masa tersebut tanah eks HGU ini selalu dihiasi oleh permasalahan-permasalahan yang kemudian menjadi cikal bakal konflik yang terjadi saat ini. Faktor yang menjadi pendorong terjadinya Konflik tanah eks HGU yang mendasar di Kecamatan Dungalio Kabupaten Gorontalo adalah persoalan dasar berpijak/alas hak masing-masing kelompok yang dijadikan alasan menguatkan posisi/kedudukannya terhadap tanah eks HGU tersebut, agar berhak menerima redistribusi tanah. Dasar berpijak masing-masing kelompok adalah sebagai berikut:
11
a.
Kelompok Asni Cs 1) Keturunan dari Penggarap Asli sejak tahun 1935an 2) Penggarap Asli sejak tahun 1980an 3) Permohonan untuk melanjutkan mengelola sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku 4) Menempati/bermukim di areal sekitar tanah eks HGU
b.
Kelompok Yasin Cs 1) Kwitansi, yang terdiri dari kwitansi ganti rugi garapan, dan kwitansi pembelian 0,5 (setengah) pantango/persil 2) Surat Pernyataan Pengalihan Hak Atas Tanah Garapan Sawah
c.
Kelompok Penggarap Kecil Kenyataan materil dimana mereka memang sudah sekian lama dan turun temurun menggarap luasan lahan yang sama dan sampai dengan munculnya konflik ini tidak pernah ada komplain atau tidak pernah dipermasalahkan oleh pihak lain.
Adapun harapan dari ketiga kelompok ini dalam hal redistribusi tanah yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah adalah semoga redistribusi tanah eks HGU yang akan dilakukan memperhatikan, mempertimbangkan dengan bijaksana dan dapat mengakomodir keinginan dari pihak-pihak ini secara adil 2.
Solusi penyelesaian konflik tanah eks HGU Kecamatan Dungalio Kabupaten Gorontalo yang ditawarkan adalah sebagai berikut:
12
a.
Solusi untuk jangka pendek (mendesak) 1) Ketegasan dalam bertindak; 2) Mengurai konflik; 3) Du’lohupa
dan
Heluma
sebagai
alternatif
Penyelesaian
Sengketa; 4) Melakukan verifikasi kembali dengan lebih cermat, terhadap pihak-pihak calon penerima redistribusi lahan eks HGU, agar nantinya yang akan menerima redistribusi adalah benar-benar orang yang berhak. 5) Menggantikan
ganti
kerugian
kepada
pihak/kelompok
Penggarap yang lahannya diambil karena memiliki kelebihan maksimum kepemilikan lahan b.
jangka panjang 1) Mengefektifkan mekanisme pengawasan birokrasi 2) Mengefektifkan peranan desa sebagai lembaga perdamaian
Dalam
bahasan
mengenai
solusi
apa
yang
ditempuh
dalam
menyelesaikan konflik hukum tanah eks HGU di Kecamatan Dungalio Kabupaten
Gorontalo,
terlebih
dahulu
dikemukakan
mengenai
permasalahan hukum yang timbul dari eks HGU ini untuk dijadikan pertimbangan dalam memberikan solusi terhadap konflik yang terjadi. Permasalahan hukum yang dimaksud dikategorikan ke dalam 9 (sembilan) bagian: a.
Mengenai status penggarap
13
b. Mengenai Kwitansi Ganti rugi Garapan c.
Mengenai Putusan 0,5 pantango
d. Mengenai SK camat yang dicabut dan diganti oleh Surat Pemberitahuan dari Bupati e.
Mengenai Surat Pemberitahuan Bupati
f.
Mengenai Status Quo
g. Mengenai Redistribusi Lahan h. Mengenai Gugatan ke Pemda i.
Mengenai Penyerobotan lahan atau Penggunaan Lahan tanpa Ijin
Diketahui bahwa mengenai konflik eks HG ini sebelumnya memang telah
dilakuakn
langkah-langkah
konkret
sebagai
upaya
dalam
menyelesaikan konflik yang terjadi, seperti mengadakan pertemuan dengan dua belah pihak, untuk musyawarah, melakukan verifikasi kembali terhadap lahan konflik HGU, verifikasi terhadap lahan Eks Penggarap, membuat draft redistribusi, bahkan sampai dengan mediasi di pengadilan, namun kemudian masih menemui kendala seperti sebagai berikut: a.
Berhadapan dengan pihak yang masih awam tentang regulasi
b. Belum adanya titik temu dalam penyelesaian konflik, dan c.
Masing-masing pihak tidak legowo/tidak mau menerima kesepakatan yang telah dibuat, bahkan ada pihak-pihak yang tidak puas dan tidak jujur dalam memberikan keterangan.
Dengan solusi yang ditawarkan sebagaimana tersebut di atas, diharapkan
14
dapat menyelesaikan konflik tanah eks HGU di Kecamatan Dungalio Kabupaten
Gorontalo,
sekaligus
dapat
mencegah
terjadinya
konflik-konflik tanah dimasa yang akan datang. 2.
Tesis, Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tahun 2015, dengan judul “Faktor Terjadinya Konflik Pertanahan Dan Potensi Cara Penyelesaian Studi: Konflik Pertanahan di RW. 07 Kelurahan Cihaurgeulis, Kecamatan Cibeunyingkaler, Kota Bandung” ditulis oleh Ratih Diasari dengan permasalahan:10 1.
Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik pertanahan antara Departemen Pertahanan dan Keamanan/Angkata Bersenjata Republik Indonesia cq Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat Pusat Senjata Infanteri Komando Daerah Militer III/Siliwangi dengan Warga Masayarakat RW. 07 Kelurahan Cihaurgeulis, Kecamatan Cibeunyingkaler, Kota Bandung?
2. Bagaimanakah potensi cara penyelesaian konflik pertanahan yang dapat dirancang, guna terciptanya kepastian hukum dan keadilan? Kesimpulan: 1.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya konflik Pertanahan antara Warga Masyarakat dan Pussenif Kodiklat TNI AD Konflik Pertanahan yang terjadi antara warga masyarakat RW. 07 Kelurahan Cihaurgeulis, Kecamatan Cibeunyingkaler, Kota Bandung dan Pussenif Kodiklat TNI AD merupakan konflik hukum berupa saling
10
Ratih Diasari, 2015, Tesis: Faktor Terjadinya Konflik Pertanahan dan Potensi Cara Penyelesaian Studi: Konflik Pertanahan di RW. 07 Kelurahan Cihaurgeulis Kecamatan Cibeunyingkaler, Kota Bandung, Magister Kenotariatan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
15
klaim penguasaan hak atas tanah, yang dipicu pada penguasaan tanah oleh salah satu pihak. Konflik Pertanahan ini didasarkan pada beberapa faktor penyebab. Dari penelitian ini, Penulis membedakannya menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang menyebabkan munculnya konflik pertanahan yang berasal dari subjek konflik, yaitu warga masyarakat maupun Pussenif Kodiklat TNI AD, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang menyebabkan timbulnya konflik dari luar subjek konflik, yaitu oleh Lurah, Pemerintah Kota Bandung maupun BPN RI. Mengenai faktor internal yang menyebabkan konflik ini terjadi, diantaranya adalah kebutuhan warga aan tempat tinggal yang layak, status hak atas tanah yang belum jelas, ketidakpahaman warga masyarakat
akan
proses
pensertipikatan
tanah
dan
mekanisme
penyelesaian konflik pertanahan; serta tidak diberikannya informasi yang jelas kepada generasi berikutnya untuk memahami konflik pertanahan. Adapun dari faktor eksternal yang menjadi penyebabnya adalah adanya cacat administratif dalam penerbitan sertipikat, arsip pertanahan yang tidak ada, tidak lengkap dan tidak jelas, terbitnya SKT oleh Lurah Cihaurgeulis serta ketidakpedulian aktor konflik pertanahan untuk menyelesaikan konflik pertanahan. 2.
Potensi Cara Penyelesaian Konflik Pertanahan antara Warga Masyarakat dengan Pussenif Kodiklat TNI AD Mengacu
kepada
faktor
penyebab
dan
kelemahan-kelemahan
16
penyelesaian konflik pertanahan, maka setidaknya terdapat dua potensi cara penyelesaian konflik pertanahan yang bisa diambil oleh subjek konflik yaitu penyelesaian konflik dilakukan mediasi di Kantor wilayah BPN Propinsi/BPN RI dan penyelesaian di Pengadilan (PN atau PTUN). Mekanisme penyelesaian dengan mediasi adalah penyelesaian konflik pertanahan yang dilakukan dengan mempertemukan para pihak yang berkonflik dan memfasilitasinya dengan pihak yag ditunjuk oleh subjek konflik sebagai mediator. Mediasi di Kantor Wilayah BPN Jawa Barat/BPN RI berpedoman pada ketentuan Perkaban No. 3/2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan yang mengisyaratkan jika terdapat cacat administratif dalam penerbitan sertipikat penyelesaiannya dapat dilakukan di luar pengadilan. Namun, kenyataannya terkadang hal ini tidak dapat dilakukan karena menyangkut tanah milik instansi pemerintah yang membutuhkan putusan yang final dan mengikat jika berkaitan dengan penghapusan aset dalam putusannya. Keterlibatan BPN RI dalam penerbitan sertipikat yang mengarah pada tidak terbebasnya kepentingan instansi, dinilai juga menjadi kendala agar proses penyelesaiannnya dilakukan dengan cara mediasi. Oleh karena itu, dengan alasan di atas pengajuan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) lebih berpotensi dapat menyelesaikan masalah pertanahan yang terjadi di RW 07, Kelurahan Cihaeurgeulis, Kecamatan Cibeunying Kaler, Kota Bandung. 3.
Tesis, Program Pascasarjana Magister Kenegaraan Fakultas Hukum
17
Universitas Gadjah Mada, tahun 2011, dengan judul “Penyelesaian Konflik Penguasaan Tanah Eks Hak Guna Bangunan PT. Way Halim Permai” ditulis oleh Sukayadi, dengan permasalahan:11 1.
Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya konflik penguasaan tanah eks Hak Guna Bangunan PT. Way Halim Permai di Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung?
2.
Upaya-upaya apa yang sudah dilakukan dalam penyelesaian konflik penguasaan tanah eks Hak Guna Bangunan PT. Way Halim Permai di Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung?
3.
Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam penyelesaian konflik penguasaan tanah eks Hak Guna Bangunan PT. Way Halim Permai di Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung?
Kesimpulan: 1.
Bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya konflik penguasaan tanah bekas Hak Guna Bangunan PT. Way Halim Permai adalah: a.
Tidak tertibnya administrasi pertanahan Proses pemberian Hak Guna Bangunan kepada PT. Way Halim Permai seluas 200 Ha. berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala
Daerah
Tk.
I
Lampung
Nomor
AG.110/DA.67/SK/HGB/81 tidak dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana terhadap tanah-tanah yang telah dikuasai/digarap oleh warga masyarakat 11
Sukayadi, 2011, Tesis: Penyelesaian Konflik Penguasaan Tanah Eks Hak Guna Bangunan PT. Way Halim Permai”, Program Pascasarjana Magister Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
18
tidak dilakukan penyelesaian terlebih dahulu atau dikeluarkan (dienclave).
Sebagai
akibat
tidak
tertibnya
administrasi
pertanahan dalam proses penerbitan sertipikat tersebut, maka sertipikat HGB No.B.4/KD atas nama PT. Way Halim Permai tidak dapat memberi jaminan kepastian hukum hak atas tanah bagi pemegang haknya. b.
PT. Way Halim Permai sebagai pemegang hak yang sah atas tanah seluas 200 Ha, ternyata tidak melakukan kewajiban sebagai pemegang hak untuk memelihara tanah yang dihaki, dimana kenyataan di lapangan secara fisik belum seluruh tanah Hak Guna Bangunan tersebut dapat dan dikelola dan digunakan sesuai peruntukannya yaitu untuk pembangunan perumahan. Hal ini terbukti masih adanya tanah seluas 90,053 Ha yang masuk dalam HGB PT. Way Halim Permai kenyataan di lapangan telah dikuasai dan digarap oleh warga masyarakat.
c.
Masyarakat berpandangan bahwa penguasaan/penggarapan yang mereka lakukan adalah merupakan perbuatan hukum yang sah, karena diperoleh secara turun temurun, jual beli, ganti rugi dan sebagainya. Bukti bahwa mereka adalah pihak yang paling berhak atas tanah yang dikuasainya dibuktikan dengan adanya Surat Keterangan Pemakaian/Penggarapan Tanah Negara yang ditanda tangani oleh Lurah dan diketahui oleh Camat setempat.
2.
Upaya penyelesaian Konflik Penguasaan Tanah eks HGB PT. Way
19
Halim Permai Upaya-upaya
penyelesaian
yang
dilakukan
dalam
rangka
menyelesaikan konflik penguasaan tanah eks HGB PT. Way Halim Permai dilakukan: a.
Penyelesaian musyawarah (di luar pengadilan)
Penyelesaian musyawarah ini telah beberapa kali dilaksanakan baik melalui negosiasi maupun mediasi, dimana Pemerintah Kota Bandar Lampung bertindak sebagai mediator. Penyelesaian musyawarah tersebut dilakukan dengan cara mengadakan pertemuan dengan masyarakat yaitu dimulai pada tanggal 11 Juli 1995, tanggal 20 Juli 1995, tanggal 24 Juli 1995, namun tetap saja tidak dapat mencapai kesepakatan dalam menyelesaikan konflik penguasaan tanah eks HGB PT. Way Halim Permai b. Kebijakan pemerintah daerah Mengingat
penyelesiaan
melalui
musyawarah
tidak
dapat
diselesaikan, maka Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung telah mengambil
kebijakan
dalam
rangka
penyelesaian
konflik
penguasaan tanah eks HG PT. Way Halim Permai yaitu terakhir dengan dikeluarkannya Keputusan Walikota Bandar Lampung tanggal 13 Septeber 2001 Nomor 206/10/HK/200, dimana antara lain telah ditetapkan kembali peruntukan dan penggunaan tanah eks HGB PT. Way Halim Permai yaitu peruntukannya sebagian sebagai hutan kota, pemukiman penduduk disertai penataan fasilitas umum dan
20
fasilitas sosial. 3.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam rangka penyelesaian konflik penguasaan tanah eks HGB PT. Way Halim Permai a.
Masih adanya perbedaan persepsi antara warga masyarakat di satu sisi dengan Pihak Pemerintah dan PT. Way Halim Permai di pihak lain dalam menyikapi dan memahami mengenai penguasaan terhadap tanah Negara eks HGB PT. Way Halim Permai.
Masyarakat
menganggap
bahwa
tindakan
yang
dilakukan dengan menggarap/menguasai tanah Negara eks Hak Guna Bangunan PT. Way Halim Permai adalah merupakan perbuatan yang sah, karena masyarakat merasa sebagai pihak yang paling berhak atas tanah yang dimaksud. b.
Belum tumbuhnya iktikad baik dari para pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan permasalahannya melalui musyawarah, hal ini dibuktikan dengan masih adanya/ditunjukkannya sikap menghalang-halangi dari salah satu pihak ketika akan dilakukan pengecekan/pengembalian batas bidang tanah dalam rangka penataan peruntukan dan penggunaan tanahnya.
4.
Tesis, Program Pascasarjana Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada, tahun 2011, dengan judul “Evaluasi Advokasi Penyelesaian Konflik Sengketa Tanah (Studi Kasus Konflik sengketa Tanah Petani Toili & PT. Kurnia Luwuk Sejati di Kecamatan Toili Kabbupaten Banggai Propinsi
21
Sulawesi Tengah)” ditulis oleh Adriany Badrah, dengan permasalahan:12 1.
Mengapa advokasi gagal menyelesaikan konflik sengketa tanah antara petani Toili dan PT. Kurnia Luwuk Sejati?
Kesimpulan: 1. Konflik penguasaan lahan antara masyarakat Desa Piondo dan desa bukit dengan PT. Berkat Hutan Pusaka (BHP) sebagai perusahaan patungan PT Kurnia Luwuk Sejati dengan kepemilikan saham 60 persen, merupakan konflik yang telah berlangsung lama, konflik agraria ini setidaknya mulai terjadi sejak tahun 1990-1991 ketika PT. BHP mulai melakukan pengukuran terhadap areal Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikuasainya secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat Desa Piondo. 2. Banyak tanah milik masyarakat desa piondo yang diklaim oleh perusahaan sebagai areal HTI, bahkan menurut hasil investigasi FRAS Sulteng bahwa tidak kurang dari 184 Ha areal perkebunan milik masyarakat Desa Piondo tumpang tindih dengan areal HTI milik perusahaan. Akibat dari konflik, proses pemiskinan dan tumbuhnya barisan pekerja bebas karena sebagian dari mereka telah mengalami kehilangan kontrol atas tanah. 3. Kondisi warga transmigran yang makin terjepit oleh kekurangan tanah, justru kini semakin dipersempit wilayah kerja pertanian mereka. Lahan mereka yang sudah sempit, telah pula dirusak sumber-sumber airnya. Kasus ini, bisa disebut sebagai contoh menyedihkan dan merupakan 12
Adriany Badrah, 2011, Tesis: Evaluasi Advokasi Penyelesaian Konflik Sengketa Tanah (Studi Kasus Konflik Sengketa Tanah Petani Toili & PT. Kurnia Luwuk Sejati Kecamatan Toili Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah, Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada.
22
persoalan ketimpangan struktur agraria yang timbul atas lemahnya kontrol pemerintah terhadap sumber-sumber agraria. 4. Perlawanan terhadap pihak perusahaan kemudian muncul kembali pada tahun 2002. Petani yang semakin kekurangan tanah mulai melakukan pengambilalihan
kembali
tanah-tanah
yang
diklaim
oleh
pihak
perusahaan. Masyarakat menanami sejumlah tanaman tahunan di lahan tersebur. Komoditi yang paling banyak dijumpai adalah kakao, rambutan, dan sejumlah tanaman jangka panjang seperti durian. Situasi ini berlangsung cukup lama. Kegairahan menanam dan bertani yang cukup tinggi di tingkat petani, mempercepat proses produktivitas hasil kakao di daerah ini. Hal itu pula yang mendorong petani lainnya untuk terlibat. Proses pengambilalihan kembali atas lahan yang dikuasai bahkan sebagian telah ditanami oleh perusahaan terus berlangsung sampai dengan sekitar tahun 2004. 5. Hasil-hasil kesepakatan yang dihasilkan pada saat pertemuan sebagai upaya penyelesaian konflik tidak dijalankan oleh PT. KLS. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya iktikad baik dari pihak perusahaan untuk mengembalikan tanah petani. 6. Dalam proses advokasi konflik tanah antara petani Toili dan PT. KLS, nampak bahwa FRAS Sulteng tidak sepenuhnya konsisten dalam mengimplementasi seluruh rangkaian tahapan dalam proses advokasi. FRAS
Sulteng
lebih
cenderung
memilih
posisi
yang
saling
berhadap-hadapan dengan pihak perusahaan. Di mana, dalam hal pilihan
23
isu terlihat ingin mengurus semua hal. Sehingga isu utama, yakni pengembalian lahan usaha milik petani seringkali tertutupi. 7. Salah satu kelemahan FRAS adalah tidak menempatkan evaluasi sebagai bagian yang tidak terpisah dari seluruh rangkaian agenda advokasi yang dilakukan. Tahapan evaluasi tidak dipandang strategis karena tidak adanya aturan main yang dibuat secara lebih tegas. Advokasi identik dengan aksi massa, dan mengabaikan upaya penyelesaian sengketa melalui jalur-jalur lain, selain aksi massa. 8. Referensi dari keberhasilan advokasi konflik sengketa tanah antara petani Buol dan PT. HIP adalah secara umum, terdapat dua strategi besar yang dilakukan secara sinergis dalam melakukan gerakan advokasi hak atas tanah
perkebunan,
yakni
strategi
penguatan
ke
dalam
bentik
pembangunan organisasi dan pembangunan kesadaran petani. Strategi ini, Yayasan Sopalak Indonesia lakukan dengan live in di desa-desa. Tujuannya adalah membangun ikatan emosional dan interaksi secara lebih dekat. Melalui proses diskusi dan belajar bersama, maka dibentuklah Forum Petani Buol (FTB) sebagai alat perjuangan. Kemudian strategi selanjutnya yang dilakukan adalah dengan cara mendatangi
instansi-instansi
atau
lembaga-lembaga
birokrasi
pemerintahan 5.
Tesis, Program Pascasarjana Magister Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tahun 2008, dengan judul “Sumber-sumber dan Cara Penyelesian Konflik dalam Rangka Penggunaan Tanah untuk Enclave
24
Sipil
atau
Enclave
Militer”
ditulis
oleh
Yennesi
Rosita,
dengan
permasalahan:13 1. Bagaimana penentuan penyelesaian tuntutan ganti rugi/kompensasi terhadap penggunaan bersama pangkalan udara menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2006 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presiden nomor 65 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 6
Tahun
2006
tentang
Pengelolaan
Barang
Kekayaan
Milik
Negara/Daerah? 2. Apa yang menjadi sumber konflik dalam perjanjian penggunaan bersama tanah antar bandar udara dengan Pangkalan TNI? 3. Bagaimana cara penyelesaian konflik dalam penggunaan bersama bandar udara antara Pemerintah (dhi Departemen Perhubungan) dengan Pangkalan TNI? Kesimpulan: 1.
Setiap kegiatan pembangunan pasti memerlukan tersedianya tanah. Pelaksanaan proyek-proyek pembangunan bandar udara baru nantinya akan memberikan manfaat dan dampak yang signifikan kepada masyarakat, oleh karena itu perlu di dukung dengan payung hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang benar-benar mengatur substansi yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan saat ini.
2.
13
Dalam penguasaan bersama pangkalan udara/bandar udara baik untuk
Yennesi Rosita, 2008, Tesis: Sumber-sumber dan Cara Penyelesaian Konflik dalam Rangka Penguasaan Tanah untuk Enclave Sipil atau Enclave Militer, Program Pascasarjana Magister Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
25
enclave sipil atau enclave milier terdapat beberapa kompensasi yang harus dipenuhi oleh Para Pihak. Pemenuhan kompensasi selalu diprogramkan dalam 1 (satu) tahun anggaran, namun demikian apabila pemenuhan kompensasi tidak tepat waktu seringkali memicu konflik di lapangan. Sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik, maka dilakukan langkah-langkah melalui organisasi internal/musyawarah. 3.
Upaya pemisahan operasi/pengelolaan penerbangan antara sipil dan militer sudah dilakukan secara bertahap. Pemisahan antara sipil dan militer dalam operasi/pengelolaan bandar udara makin diperbesar, sehingga benturan kepentingan antara pihak sipil dan militer akan makin mengecil dengan pengurangan secara bertahap enclave sipil atau militer. Dengan koordinasi yang serasi dan selaras antara sipil atau militer tanpa melupakan aspek hankamnas, maka secara bertahap akan dilaksanakan pemisahan operasi/pengelolaan penerbangan sipil dan militer.
6.
Tesis, Program Pascasarjana Magister Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tahun 2007, dengan judul “Konflik Kewenangan di Bidang Pertanahan terhadap penguasaan tanah di Batam” ditulis oleh Bastoni Solichin, dengan permasalahan:14 1. Bagaimana konflik kewenangan di bidang pertanahan yang terjadi di Batam? 2. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik kewenangan tersebut?
14
Bastoni Solichin, 2007, Tesis: Konflik Kewenangan di Bidang Pertanahan terhadap Penguasaan Tanah di Batam, Program Pascasarjana Magister Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
26
Kesimpulan: 1. Konflik kewenangan bidang pertanahan yang pada saat ini terjadi di Batam disebabkan oleh adanya dualisme dalam menafsirkan konsep kewenangan bidang pertanahan, sehingga hal ini menimbulkan tarik ulur di antara instansi/dinas terkait. Konflik kewenangan yang dapat diidentifikasi meliputi konflik pada aspek perencanaan dan pengendalian pembangunan, perencanaan pemanfaatan dan pengawasan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana umum, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanahan serta pelayanan adminsitrasi penanaman modal. 2. Cara menyelesaikan konflik yang sudah dilakukan yaitu dengan melakukan rapat koordinasi antara Otorita Batam, Pemerintah Kota Batam yang difasilitasi oleh DPRD Kota Batam yang difasilitasi oleh DPRD Kota Batam khususnya untuk menyamakan visi dan persepsi, serta langkah konkret berbentuk terbitnya Perda No. 3 Tahun 2006 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Batam 2006-2011